Upload
vothien
View
241
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
Aedeagus drosophilid
Fauna Indonesia merupakan Majalah llmiah Populer yang diterbitkan oleh
Masyarakat Zoologi Indonesia (MZI). Majalah ini memuat hasil pengamatan
ataupun kajian yang berkaitan dengan fauna asli Indonesia,
diterbitkan secara berkala dua kali setahun
ISSN 0216-9169
Redaksi
Mohammad Irham
Pungki Lupiyaningdyah
Nur Rohmatin Isnaningsih
Conni Margaretha Sidabalok
Sekretariatan
Yulianto
Yuni Apriyanti
Alamat Redaksi
Bidang Zoologi Puslit Biologi - LIPI
Gd. Widyasatwaloka, Cibinong Science Center
JI. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong 16911
TeIp. (021) 8765056-64
Fax. (021) 8765068
E-mail: [email protected]
Foto sampul depan : Aedeagus drosophilid - Foto : Awit Suwito
Aedeagus drosophilid - Foto: Awit Suwito
PEDOMAN PENULISAN
Redaksi FAUNA INDONESIA menerima sumbangan naskah yang belum pernah diterbitkan, dapat
berupa hasil pengamatan di lapangan/ laboratorium atau studi pustaka yang terkait dengan fau-
na asli Indonesia yang bersifat ilmiah popular.
Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan summary Bahasa Inggris maksimum 200 kata
dengan jarak baris tunggal.
Huruf menggunakan tipe Times New Roman 12, jarak baris 1.5 dalam format kertas A4 dengan uku-
ran margin atas dan bawah 2.5 cm, kanan dan kiri 3 cm.
Sistematika penulisan:
a. Judul: ditulis huruf besar, kecuali nama ilmiah spesies, dengan ukuran huruf 14.
b. Nama pengarang dan instansi/ organisasi.
c. Summary
d. Pendahuluan
e. Isi:
i. Jika tulisan berdasarkan pengamatan lapangan/ laboratorium maka dapat
dicantumkan cara kerja/ metoda, lokasi dan waktu, hasil, pembahasan.
ii. Studi pustaka dapat mencantumkan taksonomi, deskripsi morfologi, habitat
perilaku, konservasi, potensi pemanfaatan dan lain-lain tergantung topik tulisan.
f. Kesimpulan dan saran (jika ada).
g. Ucapan terima kasih (jika ada).
h. Daftar pustaka.
5. Acuan daftar pustaka:
Daftar pustaka ditulis berdasarkan urutan abjad nama belakang penulis pertama atau tunggal.
a. Jurnal
Chamberlain. C.P., J.D. BIum, R.T. Holmes, X. Feng, T.W. Sherry & G.R. Graves. 1997. The use
of isotope tracers for identifying populations of migratory birds. Oecologia 9:132-141.
b. Buku
Flannery, T. 1990. Mammals of New Guinea. Robert Brown & Associates. New York. 439 pp.
Koford, R.R., B.S. Bowen, J.T. Lokemoen & A.D. Kruse. 2000. Cowbird parasitism in
grasslands and croplands in the Northern Great Plains. Pages 229-235 in Ecology and
Management of Cowbirds (J. N.M. Smith, T. L. Cook, S. I. Rothstein, S. K. Robinson, and
S. G. Sealy, Eds.). University of Texas Press, Austin.
c. Koran
Bachtiar, I. 2009. Berawal dari hobi , kini jadi jutawan. Radar Bogor 28 November 2009.
Hal.20
d. internet
NY Times Online . 2007.”Fossil 'nd challenges man’s timeline”. Accessed on 10 July 2007
(http://www.nytimes.com/nytonline/NYTO-Fossil-Challenges-Timeline.html).
6. Tata nama fauna:
a. Nama ilmiah mengacu pada ICZN (zoologi) dan ICBN (botani), contoh Glossolepis incisus, na-
ma jenis dengan author Glossolepis incisus Weber, 1907.
b. Nama Inggris yang menunjuk nama jenis diawali dengan huruf besar dan italic, contoh Red
Rainbow'sh. Nama Indonesia yang menunjuk pada nama jenis diawali dengan huruf besar,
contoh Ikan Pelangi Merah.
c. Nama Indonesia dan Inggris yang menunjuk nama kelompok fauna ditulis dengan huruf
kecil, kecuali diawal kalimat, contoh ikan pelangi/ rainbowHsh.
7. Naskah dikirim secara elektronik ke alamat: [email protected]
i
KATA PENGANTAR
Fauna Indonesia edisi penghujung tahun 2013 ini menampilkan ulasan-ulasan menarik dari dunia fauna
Indonesia. Sembilan topik ulasan yang disampaikan kepada pembaca meliputi hasil-hasil eksplorasi, eksperimenn
dan kajian pustaka yang tentunya akan menambah wawasan tentang kekayaan hayati nusantara. Topik artikel
kali ini sangat bervariasi mulai dari informasi biologis satwa-satwa yang unik seperti cumi-cumi kerdil dan siput
ektoparasit pada ekosistem terumbu karang sampai kepada paparan fauna yang berpotensi ekonomi tinggi.
Artikel-artikel pada edisi ini sangat relevan dengan kondisi keanekaragaman hayati dan program
pemerintah Indonesia. Keanekaragaman hayati Indonesia yang tinggi masih banyak belum terungkap sementara
itu laju kehilangannya jauh lebih cepat dari penemuan-penemuannya. Oleh karena itu, apapun hasil penelitian
yang berbasis keanekaragaman hayati sangat penting bagi usaha konservasi dan pemanfaatannya.
Studi-studi yang mendukung ketahanan pangan dan ekonomi rakyat menjadi salah satu aspek penting
dalam penggalian potensi fauna nusantara. Dalam edisi ini tiga artikel menjabarkan potensi ekonomis dari satwa
Indonesia, yaitu penangkaran kura-kura, serangga pada umbi taka dan Rusa Timor di tanah Papua. Jika ditilik
lebih lanjut maka potensi fauna dapat terkait pada potensi sebagai satwa kesayangan, hama pada tanaman dan
sumber protein. Hal-hal tersebut jika dikembangan dengan baik niscaya penilaian dan pandangan masyarakat
terhadap keanekaragaman hayati Indonesia semakin positif.
Semoga banyak pencapaian positif pada tahun 2013 bagi para pembaca Fauna Indonesia dan Selamat
Tahun Baru 2014 semoga satwa kita semakin lestari dan termanfaatkan dengan bijak.
Selamat membaca.
Redaksi
ii
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI ...................................................................................................................... i DAFTAR ISI .............................................................................................................................................. ii KAJIAN ULANG STATUS KODOK Rhacophorus bifasciatus van Kampen 1923 DAN Rachoporus poecilonotus Boulenger, 1920 ASAL SUMATRA.............................................................. 1 Hellen Kurniati KOMPOSISI DAN PATOFISIOLOGI BISA (VENOM) ULAR SERTA NILAI TERAPI DAN AKTIVITAS FARMAKOLOGISNYA ................................................................................... 6 Aditya Krishar Karim PERTUMBUHAN KURA-KURA DADA MERAH JAMBU Myuchelys novaeguineae schultzei (VOGHT,1911) DI PENANGKARAN (Bagian 2) ........................................................................... 24 Mumpuni
ASPEK BIOLOGI DAN EKOLOGI SIPUT EKTOPARASIT FAMILI EPITONIIDAE(GASTROPODA: MOLLUSCA) ......................................................................................................... 29 Ucu Yanu Arbi Idiosepius STEENSTRUP, 1881 CUMI-CUMI KERDIL DARI PERAIRAN INDONESIA (CEPHALOPODA : IDIOSEPIIDAE) ................................................................................................ 38 Nova Mujiono KARAKTER SERANGGA PADA TANAMAN KECONDANG
(TACCACEAE: Tacca leontopetaloides) DI KARIMUNJAWA, JAWA TENGAH ................. 43 Erniwati TEKNIK MENGGAMBAR SPESIMEN FAUNA SECARA DIGITAL .................................... 52 Awit Suwito
PROFIL Rusa Timor (Cervus timorensis moluccensis Müller, 1839) YANG DIPELIHARA
DI MANOKWARI ................................................................................................................................... 61 Freddy Pattiselanno
52
TEKNIK MENGGAMBAR SPESIMEN FAUNA SECARA DIGITAL
Awit Suwito
Museum Zoologicum Bogoriense, Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI
Summary
Qualified scientific drawings are not just pieces of scientific work with art value but are also of potential historical value such
as Darwin’s and Audubon’s illustrations. A series of steps to produce digital scientific drawings will be briefly discussed in
this paper. (e line drawings are inked using Adobe Illustrator CS4 which producing vectors of lines, curves or shapes
independent on picture resolution. Overall this paper will provide useful basic of digital scientific drawings to those working
with taxonomy.
Sejak awal ilmu taksonomi yang berkaitan
dengan pertelaan jenis baru, tidak terlepas dari gambar
atau ilustrasi spesimen dari jenis bersangkutan. Kita
maklumi bahwa keberadaan suatu ilustrasi sebagai
pelengkap dari deskripsi jenis sangat penting, karena
dari sebuah gambar dapat memberikan banyak
informasi yang terdiri atas ribuan kata bila
diungkapkan dalam kalimat.
Pada awal-awal pertelaan jenis baru, deskripsi
ciri-ciri morfologi dan gambar yang ditampilkan sangat
sederhana. Hal ini memungkinkan terjadinya salah
penafsiran dan munculnya nama-nama sinonim
dikemudian hari. Perkembangan tampilan pertelaan
jenis baru semakin lengkap dan gambar yang
ditampilkan semakin akurat dengan tujuan untuk
menghindari kesalahan persepsi pada saat orang
memeriksa jenis yang sama dikemudian hari. Gambar
atau ilustrasi yang ditampilkan belakangan ini, jarang
menampilkan morfologi habitus secara keseluruhan,
tetapi hanya terbatas pada ciri-ciri yang dianggap
sangat penting sebagai pembeda dengan jenis lainnya.
Ilustrasi dalam sistematika merupakan bagian
integral dari ilmu pengetahuan itu sendiri dan
memberikan referensi visual yang berharga untuk
bahan tekstual. Oleh sebab itu, keberadaannya tak
terpisahkan dari setiap publikasi penelitian. Tanpa
mereka, penggambaran spesies, genera, atau
keanekaragaman hayati akan nyaris mustahil.
Proses pembuatan gambar dalam sistematik
dapat dibilang gampang-gampang susah. Dibilang
gampang, karena kita sudah begitu kenal dengan
spesimen yang akan kita gambar. Bagian tersulit
adalah bagaimana memindahkan detail yang terlihat
di bawah mikroskop menjadi suatu goresan pena di
atas kertas. Mungkin diantara kita masih banyak yang
beranggapan bahwa untuk menggambar tersebut
hanya cocok untuk orang-orang yang berbakat ‘seni’
saja. Oleh sebab itu, beberapa bidang mungkin
Fauna Indonesia
Vol 12 (2) Desember 2013: 52-60
53
membutuhkan seorang ilustrator untuk
menjembataninya. Jika berhasil, interaksi
memungkinkan para ilmuwan untuk menggambarkan
apa yang mereka lihat dengan penekanan pada detail
yang signifikan dan penghapusan karakteristik yang
mengganggu atau tidak relevan dengan tujuan mereka.
Ini membutuhkan kerjasama dan saling pengertian
yang baik dan waktu yang lama. Dalam kesempatan
ini, saya akan mencoba menguraikan beberapa teknik
menggambar berdasarkan pengalaman pribadi, yang
dapat diaplikasikan untuk taksa lain. Secara garis
besar tulisan ini akan menjelaskan secara singkat
tentang penggambaran secara konvensional,
menggunakan Camera lucida dan secara digital dengan
memanfaatkan perkembangan fotografi dan program
edit gambar Adobe Illustrator.
1. Klasik
Teknik ini kita sebut saja secara klasik, karena kita
menggambar secara langsung dari spesimen yang kita
amati, baik di bawah mikroskop ataupun bukan. Kita
harus memindahkan detail spesimen yang terlihat ke
dalam bentuk sketsa di atas kertas secara akurat. Ini
mungkin yang memunculkan pendapat perlu bakat
seni untuk menggambar karena dirasakan sangat sulit.
Oleh sebab itu, kita kadang membuat garis-garis
khayal untuk sumbu panjang dan lebar, untuk
membantu dalam menentukan posisi garis yang kita
buat. Penjiplakan habitus yang berbentuk simetris,
misal gambar kumbang dari dorsal, biasanya cukup
kita buatkan gambar separuhnya saja. Gambar
utuhnya merupakan separuh jiplakan yang kita buat
Dibuatkan garis bantu panjang, lebar dan garis tengah spesimen
Menggambar garis pinggiran spesimen
dengan patokan garis bantu
Hasil akhir sketsa berdasar bentuk
spesimen aslinya Separuh gambar dicopy lalu digabung
pada garis tengahnya
b a
c d
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 52-60
54
dengan gambar copynya. Mungkin di lain kesempatan
akan saya uraikan dengan lengkap dan teknik lain yang
paling efisien dalam membuat jiplakan seperti gambar
kumbang tersebut(Gb. 1).
2. Camera lucida
Untuk menggambar spesimen yang berukuran
kecil atau bagian genital biasanya diamati di bawah
mikroskop stereo atao compound. Ada alat khusus
yang disebut drawing tube (Camera lucida) yang
ditempelkan pada badan mikroskop, sehingga melalui
lensa okuler kita dapat melihat spesimen dan
bayangan pada bidang lain sebagai refleksi dari tube
tersebut (Gb. 2). Dengan menaikkan atau
menurunkan pencahayaan kita dapat melihat
dominansi antara kedua bayangan dihasilkan,
sebaiknya dipilih pencahayaan yang menghasilkan
antara tampilan spesimen dan bayangan dari tube
berimbang. Di bawah lensa tube diletakkan kertas
bersih atur posisi tepat di tengah, ada baiknya tiap
sudutnya di selotip biar tidak berpindah posisi selama
sedang menggambar.
Setelah bayangan spesimen fokus, kita mulai
jiplak pinggiran yang terluar dengan menggunakan
pinsil pada kertas tadi. Tidak usah khawatir bila
gambar yang diperoleh bergerigi, toh nanti akan
diperhalus lagi saat di jiplak ulang dengan pena. Yang
terpenting adalah garis yang dihasilkan utuh dan
secara proporsional sesuai dengan tampilan di lensa
okuler. Bila sketsanya telah selesai, kita jiplak
menggunakan kertas kalkir atau kertas biasa dengan
menggunakan pena hitam.
Proses penjiplakan biasanya dilakukan pada meja
khusus beralaskan kaca dan di bawahnya dilengkapi
dengan lampu TL. Sketsa tadi diletakkan pada kaca
dan diatasnya kertas untuk menjiplak. Lampu
dinyalakan, sehingga memberikan bayangan yang jelas
tembus pada kertas di atasnya. Kita tinggal mengikuti
garis yang terlihat dengan pena. Usahakan goresannya
tidak terputus, kalau garis yang kita buat sedikit
bergerigi jangan khawatir karena tidak akan kelihatan
pada saat gambar tersebut diperkecil.
Gambar 2. Penjiplakan dengan cara menggunakan drawing tube (camera Lucida)Sumber: http://e-book.lib.sjtu.edu.cn/iupsys/Proc/mont2/mpv2ch05.html
Gambar 3. Edit gambar dari hasil scan dengan
menggunakan Adobe Photoshop
Gambar yang telah selesai selanjutnya discan, pilih
model black and white dan resolusi yang tinggi (misal
diatas 300 dpi.). File hasil scan (jpeg, bmp, TIFF atau
PNG) kadangkala menghasilkan bayangan di salah
satu sisinya, atau gambar yang dihasilkan agak kelabu,
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 52-60
55
sehingga perlu diedit fase kontras atau kecerahannya
di Adobe Photoshop (Gb. 3). Kita juga dapat
menghapus dan memperbaiki bagian-bagian garis yang
salah pada saat proses penjiplakan.
3. Digital
Saat ini sudah banyak mikroskop, baik yang stereo
maupun compound, yang dilengkapi dengan kamera.
Kalaupun bila tidak ada kameranya, kita dapat
menggunakan DinoLite Digital Microscope (2005)
yang secara sederhana dan murah. DinoLite dipasang
pada tube untuk lensa okuler kemudian dihubungkan
dengan komputer atau laptop yang sudah diinstal
drivernya. Kita bisa mengamati langsung spesimen
yang kita periksa pada monitor komputer. Sehingga
kita tidak perlu lagi menggambar sambil mengamati
spesimen di bawah mikroskop. Cukup ambil gambar
yang paling fokus, lalu dicetak dan selanjutnya tinggal
menjiplak dengan cara yang telah diterangkan
sebelumnya.
Namun karena mikroskop memiliki keterbatasan
fisik depth-of-field atau distorsi optik yang melekat
dalam teknologi fotografi tradisional, maka kita perlu
mengambil foto beberapa kali sehingga diperoleh serial
foto. Selanjutnya, serial foto tersebut diproses dengan
software embeding gambar seperti Helicon focus atau
software gratisan seperti CombineZP (http://
hadleyweb.pwp.blueyonder.co.uk) dan gambar yang
dihasilkan diharapkan memiliki fokus yang merata
(Gb. 4). Proses penjiplakan dapat dilakukan dengan
dua cara: pertama secara konvensional (seperti yang
telah diterangkan sebelumnya) dan kedua secara
digital.
A. Penjiplakan secara konvensional
Gambar hasil proses Helicon Focus/
CombineZP diedit di Helicon Filter atau Adobe
Photoshop, pengeditan terutama pada kecerahan dan
kekontrasan gambar sehingga akan memudahkan
dalam penjiplakan. Foto yang sudah diedit dicetak
pada ukuran kertas A4. Proses penjiplakan sama
dengan yang diterangkan sebelumnya, hanya saja
sekarang yang dijiplak berupa foto spesimen bukan
berupa sketsa garis hasil dari camera lucida. B. b. b.
Serial foto
aedeagus
drosophilid
Digabung
dengan
program
Helicon
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 52-60
Gambar 4. Proses penggabungan gambar seri dengan program Helicon Focus atau Combine ZP sehingga dihasilkan gambar dengan ketajaman yang merata
56
B.Penjiplakan secara digital
Pada penjiplakan secara digital, kita tidak
perlu mencetak foto yang akan digambar terlebih
dahulu dan tidak menggunakan pena. Proses
penjiplakan langsung dilakukan dalam program
Adobe Illustrator, baik versi yang terbaru atau yang
lebih lama. Dalam kesempatan ini saya menggunakan
Adobe Illustrator CS4 (baca Tutorial5 hari: Terampil
Menggunakan Adobe Illustrator CS4. 2009)
Kita siapkan gambar atau foto yang paling
bagus dan sudah diberi skala ukuran, lalu buka di
program Adobe Illustrator CS4. Misal, kita akan
membuat gambar bagian epandrium dari jenis lalat
drosophilid. Sengaja saya ambil contoh yang agak
rumit untuk sekalian menjelaskan tentang teknik
pembuatan rambut halus, bristle dan duri (spine).
Kemudian klik File Menu, buat file baru,
isikan nama filenya, dengan ukuran A4 dan resolusi
300 dpi. Sorot file epandrium, copy lalu disalinkan
pada file yang baru kita buat. Sehingga pada window
artboard sekarang ada gambar epandriumnya,
posisinya terletak pada layer 1. Lalu buatkan layer
baru dengan cara mengklik ikon menu layer bagian
bawah pada menu palet di sebelah sisi kanan layar.
Klik ikon pensil pada toolbox sisi kiri layar untuk
mengaktifkan alat pensil dan beri ketebalan satu pixel
dengan memilih ikon stroke pada menu palet. Proses
penjiplakan akan lebih mudah bila menggunakan pen
tablet karena gerakan kursor akan lebih leluasa, tetapi
kali ini kita coba menggunakan mouse biasa saja. Klik
mouse sebelah kanan, tetap ditahan sambil digerakkan
(drag) mengikuti pinggiran gambar epandrium terluar,
mulai dari pinggir paling atas sampai bawah.
Garis yang terbentuk akan berwarna merah
dengan banyak titik (anchor points), klik tanda panah
putih (direct selection tool) pada toolbox sebelah
kanan (Gb. 5). Kita bisa mengatur ulang posisi garis
yang menyimpang dari gambar aslinya dengan cara
menggerakkan titik tertentu atau menarik titik hitam
(control handle) untuk mengatur kembali bentuk
garisnya. Garis yang terluar atau menjadi rangka
gambar keseluruhan yang paling jelas kelihatan,
biasanya saya pakai ketebalan 1 point (ini sangat
bergantung pada ukuran gambar) sedangkan garis
penyokong lainnya atau garis yang tidak begitu jelas
kelihatan dengan ketebalan 0.25 point atau berupa
garis putus-putus. Bila dirasakan sudah sesuai dengan
gambar yang kita jiplak, maka semua garis pada layer 2
ini digabungkan dengan cara: pilih layer 2 yang
menjadikan layer ini yang aktif. Klik Menu utama
Select, klik All in active Artboard maka semua garis
akan dipilih berwarna merah. Kemudian klik Menu
utama Object dan pilih Group, maka sekarang semua
garis menjadi satu kesatuan (Gb. 6). Bila ingin
merubah kondisi group ini tinggal pilih Ungroup.
Setelah setiap bagian epandrium sudah dijiplak,
selanjutnya kita lengkapi dengan bagian-bagian yang
lebih detail. Permukaan epandrium ditutupi rambut-
rambut halus, bristle dan duri untuk itu kita coba
untuk membuat pola rambut atau bristle terlebih
dahulu.
Gambar 5. Penampakan garis yang baru dibuat pada layer 2 (warna merah)
Gambar 6. Penggabungan semua garis yang dibuat pada layer 2
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 52-60
57
Cara membuat rambut halus
Pada file yang baru, klik ikon zoom sampai
mentok. Klik ikon pensil, kemudian buatkan bentuk
tetes air dengan ‘tapered stroke’, sehingga pada bagian
ujung atas berbentuk runcing (Gb. 7). Klik ikon
brushes pada menu palet, klik tanda segitiga sudut
kanan atas dan pilih New brush. Pilih New ArtBrush,
klik arah panah yang ke atas sehingga efeknya bila kita
apuskan kuas dengan pola ini maka bagian pangkal
akan tebal dan meruncing pada bagian ujungnya.
Sementara, informasi lainnya dibiarkan dalam bentuk
defaultnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
masalah pewarnaan dari pola brush tersebut.
Perhatikan ikon Stroke dan Fill pada toolbox sisi kiri
paling bawah, yang menunjukkan bahwa pola tersebut
diisi dengan warna hitam dan pinggirannya dengan
stroke putih.
Setelah diklik OK, maka hasil pola ini akan
muncul pada display bentuk-bentuk brush yang
pernah dibuat lalu disimpan. Sekarang kita coba pola
ini, apakah sesuai dengan bentuk rambut atau bristle
yang kita inginkan. Klik ikon PaintBrush, pilih pola
brush yang telah kita buat. Drag kursor sekitar 5 cm,
maka akan dihasilkan seperti bristle dengan pangkal
yang membulat dan runcing pada bagian ujungnya
berwarna hitam penuh dan pinggirannya warna putih.
Gambar 7. Bentuk dasar dalam pembuatan pola brush untuk bristle
Cara pewarnaan ini sengaja kita pilih terutama pada
saat kita akan membuat banyak bristle dengan posisi
saling tumpang tindih.
Ketebalan stroke dapat kita rubah dengan
mengklik Stroke pada menu palet, pada weight coba
isikan angka 0.25 point, maka bristle yang baru kita
buat berubah menjadi lebih ramping mendekati
bentuk rambut halus. Bila kita isikan angka yang lebih
besar maka bentuknya akan makin tebal, mendekati
bentuk duri (Gb. 8).
Gambar 8. Pengaturan ukuran ketebalan brush
Seandainya kita menginginkan bristle yang
hanya kelihatan garis pinggirannya saja, sedangkan
bagian dalamnya putih. Caranya adalah dengan
mengklik ikon palet warna, kemudian klik stroke dan
pilih warna hitam, terus klik Fill dan pilih warna
putih. Bristle yang terbentuk berubah menjadi garis
pinggirannya saja yang berwarna hitam, sedangkan
bagian dalamnya putih (Gb. 9).
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 52-60
58
Gambar 9. Pengaturan warna pada pola brush
Dari satu pola brush ini, dapat kita pakai
untuk membuat rambut halus, bristle atau pun duri,
caranya hanya dengan mengubah angka ketebalan dan
panjang pendeknya garis yang dibuat. Namun,
kadangkala pola brush itu tidak cocok untuk membuat
spine, misal karena ujungnya terlalu runcing, sehingga
kita perlu membuat pola brush baru dengan mengubah
bagian ujung atasnya tidak runcing tetapi agak
membulat.
Setelah hasil sketsa pola brush ini sesuai
dengan gambar aslinya, maka kita mulai membuat
rambut-rambut halus dulu. Untuk memudahkan
dalam menata masing-masing garis yang kita buat,
maka semua rambut halus kita tempatkan pada layer
baru (layer 3), garis-garis yang aktif akan ditandai
dengan warna hijau.
Gambar kita perbesar, sehingga rambut-
rambut halus kelihatan jelas, minimal pangkal
rambutnya jelas kelihatan berupa titik. Klik
paintbrush tool, pilih pola brush yang akan kita pakai
dan tentukan besarnya ukuran stroke, misal 0.5 point,
arah rambut dan panjangnya disesuaikan dengan
gambar aslinya (Gb. 10). Kita harus pahami dan
membayangkan bentuk 3Dimensi dari objek yang akan
kita gambar ini. Sehingga pola sebaran rambutnya
benar-benar mengikuti bentuk dari masing-masing
permukaan keping atau bagian epandrium. Hindari
membuat rambut yang berderet rapi dengan jarak dan
panjang yang seragam, karena gambar yang dihasilkan
akan janggal, tidak menggambarkan kedalaman 3D-
nya. Contohnya pada saat menjiplak rambut-rambut
pada bagian cercus yaitu keping yang membulat
setengah lingkaran. Peletakan rambut mesti
diperhitungkan benar-benar untuk memberikan kesan
permukaan yang membulat. Sebagai gambaran pada
gambar berikut diperlihatkan antar bagian cercus yang
diisi dengan deretan rambut yang tertata rapi (A) dan
cercus yang diisi dengan rambut-rambut yang
sebarannya mengikuti bentuk setengah lingkaran
(membulat) (Gb. 11). Permukaan cercus terkesan
membulat diperlihatkan pada gambar B, sedangkan
pada gambar A terkesan rata. Bila pembuatan rambut-
rambut ini selesai, maka segera digroupkan dengan
cara aktifkan layer 3, kemudian klik menu Select, klik
Object dan pilih Brush Stroke rambut-rambut akan
terpilih dengan warna hijau dan kemudian klik menu
Object dan pilih Group.
Gambar 10. Pembuatan rambut-rambut halus
Gambar 11. Menentukan sebaran rambut berdasarkan
bentuk permukaan cercus
A B
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 52-60
59
Cara membuat bristle dan spine
Tahapan membuat bristle mirip dengan
membuat rambut-rambut halus, cuman karena
ukurannya yang lebih panjang jadi terkesan lebih
rumit. Pertama buat layer baru (layer 4), klik pola
brush yang akan dipakai, misalkan kita pakai pola
tanpa diisi warna hitam, dengan penebalan 1 point.
Sebelum mulai membuat bristle, biasanya saya
membuat bulatan kecil dengan kuas atau pencil sebagai
pangkal bristle, beri stroke 0.5 atau 0.75 point. Ini
sebagai patokan kita pada saat mendrag garis berawal
dari masing-masing pangkal bristle. Penjiplakan
dimulai dari bristle dengan posisi paling bawah dan
sesuaikan panjangnya dengan gambar aslinya (Gb. 12).
Gambar 12. Pembuatan bristle dan duri pada epandrium
Bila semua bristle sudah terjiplak, maka bagian
selanjutnya adalah penjiplakan duri yang tahapan
kerjanya sama dengan pembuatan rambut dan bristle.
Pertama dibuatkan bulatan sebagai pangkal duri
dengan kuas atau pensil, Untuk durinya, kita pakai
pola brush yang diisi warna hitam. Seandainya dari
gambar yang kita jiplak tidak begitu jelas mengenai
bentuk dan jumlahnya, maka kita harus mengecek
ulang spesimennya. Terakhir adalah membuat garis
skala 0.1 mm. Layer gambar aslinya kita geser ke luar
dari bidang Artboard, sehingga yang tinggal adalah
sketsa hasil jiplakannya (Gb. 13).
Gambar 13. Gambar hasil penjiplakan foto epandrium
dengan Adobe Illustrator CS4
Gambar yang telah selesai dapat disimpan
dalam Adobe Illustrator dengan ekstension file *.AI,
tetapi bila ingin di simpan dalam bentuk *.jpeg atau
*.TIFF maka pilih gambar tsb., dicopy dan disalinkan
pada file baru di Adobe Photoshop.
Mudah-mudahan uraian di atas cukup jelas
dan dapat dipahami sehingga dapat dipraktekkan
sendiri. Pemahaman tentang dasar pembuatan garis
dan pola brush perlu banyak latihan agar
menghasilkan bentuk garis yang sesuai dengan yang
kita inginkan. Proses penjiplakan disarankan memakai
pen tablet karena akan tebih mudah dan cepat dari
pada menggunakan mouse biasa.
Daftar Pustaka
Adobe System Inc. , 2008. Adobe Photoshop CS4,
version 11.0.2
Adobe System Inc. , 2008. Adobe Ilustrator CS4,
version 14.0.0
DinoLite Digital Microscope, 2005, AnMo Electronic
Corporation, Taipei, Taiwan
(www.anmo.com.tw)
Hadley, A.2010. CombineZP: Image Stacking
Software (http://
hadleyweb.pwp.blueyonder.co.uk)
Kolb, Bryan. 2009. Brain plasticity and behavioral
change. Psychology: IUPsyS Global Resource
(http://e-book.lib.sjtu.edu.cn/iupsys/Proc/
mont2/mpv2ch05.html)
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 52-60
60
Tutorial5 hari: Terampil Menggunakan Adobe
Illustrator CS4. 2009. Ed. Dwi Prabantini.
Wahana Komputer, Semarang. 256 pp.
Fauna Indonesia Vol 12 (2) Desember 2013: 52-60
Awit Suwito
Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI
Gd. Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta – Bogor KM. 46
Cibinong 16911
Email: [email protected]