Upload
adi-fc
View
229
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tugas sekolah
Citation preview
C. Tembang
1. Definisi Tembang
Tembang adalah karya sastra berujud rangkaian kata dengan aturan tertentu
dan cara membacanya dilagukan dengan suara atau dengan lagu tertentu.
2. Macam Tembang
Sejauh penelusuran yang dilakukan oleh para ahli, di Jawa pernah hidup
beberapa jenis tembang yang masih bisa dilacak jejak-jejak keberadaannya.
a. Tembang Kawi (kakawin)
Kakawin adalah karya sastra puisi pada jaman sastra Jawa Kuna. Oleh
karena itu menggunakan media bahasa Jawa Kuna atau disebut juga bahasa
Kawi. Jenis karya sastra ini tergolong tembang karena memiliki aturan tertentu,
serta pembacaannya menggunakan lagu. Adapun aturan penyusunannya adalah:
1) satu bait terdiri dari empat baris,
2) jumlah suku kata tiap baris sama,
3) pola metrum tiap baris sama,
4) berbahasa Jawa Kuna.
Perpaduan aturan kedua dan keempat menghasilkan metrum (nama-nama)
tembang. Beberapa contoh metrum (nama) tembang kakawin:
- Asambhada
- Kuwalayakusuma
- Kumudasara
- Wrsabhagatiwilasita
- Sagaralangö
- Basantatilaka
Tradisi pembacaan kakawin dengan lagu khusus, meskipun di Jawa
sendiri sudah tidak ada, tetapi di Bali masih terus berlangsung hingga kini.
Tradisi itu disebut dengan makakawin. Kakawin tertua yang ditemukan adalah
Kakawin Ramayana yang diperkirakan dibuat pada masa pemerintahan Dyah
Balitung (820-832 Saka). Tradisi penulisan kakawin masih berlanjut hingga
kini di Bali, meskipun hanya sebatas penyalinan dari lontar-lontar kuna.
Beberapa contoh karya sastra yang berbentuk kakawin: kakawin Ramayana
yang tidak diketahui pengarangnya; kakawin Arjunawiwaha karya Kanwa;
kakawin Gatotkacasraya karya Panuluh; kakawin Bharatayuddha karya Sedah
dan Panuluh; kakawin Nagarakrtagama karya Prapanca.
b. Tembang Gedhe
Kesusatraan jaman Surakarta, oleh Poerbatjaraka disebut sebagai jaman
pembangunan dan juga jaman pembuatan karya-karya baru. Pada masa ini
banyak sekali karya sastra Jawa Kuna yang digubah ulang dalam bahasa Jawa
Baru. Gubahan itu menghasilkan bentuk karya sastra yang baru pula. Salah
satunya adalah tembang gedhe atau sekar ageng. Bentuk ini merupakan derivasi
dari kakawin, oleh karena itu beberapa aturan kakawin masih terlihat, yaitu
jumlah baris dan jumlah suku kata tiap baris. Selengkapnya aturan dalam
penggubahan tembang gedhe ini adalah:
1) setiap satu bait (sapada) terdiri dari empat baris atau empat pada pala,
2) setiap dua pada pala disebut satu pada dirga,
3) empat pada pala disebut satu padeswara,
4) jumlah suku kata setiap pada pala sama, dikenal sebagai laku atau lampah.
Berdasarkan jumlah suku kata setiap pada pala atau satu laku, tembang gedhe
dibagi menjadi empat:
1) 10 suku kata atau kurang disebut salisir,
2) 11 sampai 20 suku kata disebut siliran atau siriran,
3) 21 sampai 30 suku kata disebut raketan,
4) 31 suku kata atau lebih disebut dhendha atau simparan.
Beberapa contoh tembang gedhe:
- Sudirawicitra
- Maduretna
- Merak nguwuh
- Kuswarini
- Candrakusuma
- Manggalagita
- Pamularsih
- Sikarini
- Kuswaraga
Sampai saat ini tembang gedhe masih sering dilagukan. Jenis tembang ini
tidak asing bagi para praktisi karawitan, karena banyak di antaranya digunakan
sebagai cakepan bawa maupun gerongan.
c. Tembang Tengahan
Tembang tengahan merupakan turunan dari bentuk karya sastra Jawa
Tengahan yang bernama Kidung. Bentuk karya sastra ini timbul pada jaman
Majapahit, kemudian tradisi penulisannya dilanjutkan di Bali. Kidung sendiri
tidak dimasukkan dalam golongan tembang karena tidak dapat dilacak jejak-
jejak penggunaan lagu dalam pembacaannya. Sedangkan tembang tengahan
masih dapat didengarkan pelantunannya, karena memiliki fungsi yang sama
dengan tembang gedhe dalam dunia karawitan. Penggubahan tembang
tengahan adalah ditentukan oleh:
1) jumlah gatra (baris) setiap pada (baris),
2) jumlah suku kata setiap gatra atau setiap pada lingsa (baris), disebut guru
wilangan,
3) suara vokal setiap akhir gatra (baris), disebut guru wilangan.
Beberapa contoh metrum tembang tengahan:
- Balabak
- Wirangrong
- Juru demung
- Dudukwuluh
- Gambuh
- Lontang
- Palugon
d. Tembang Dhagelan
Tembang dhagelan dulu berdiri sebagai jenis tembang tersendiri. Pada
perkembangannya tembang ini hanya merupakan varian dari tembang
tengahan. Bahkan sekarang tidak dibedakan lagi dari tembang tengahan.
Contoh tembang dhagelan adalah tembang balabak.
e. Tembang Macapat
Tembang macapat disebut juga tembang cilik. Jenis tembang ini mulai
terkenal sejak jaman Surakarta awal. Banyak karya sastra jaman Surakarta yang
digubah dalam bentuk tembang macapat. Satu karya sastra jaman Surakarta
yang sangat terkenal yang digubah dalam bentuk tembang macapat adalah
Serat Rama, gubahan Yasadipura. Penggubahan tembang macapat didasari
oleh:
1) guru gatra: jumlah gatra (baris) setiap bait (pada)
2) guru lagu: suara vokal setiap akhir gatra
3) guru wilangan: jumlah suku kata setiap gatra (baris)
Nama-nama tembang macapat adalah:
- Asmaradana
- Dhandhanggula
- Durma
- Kinanthi
- Maskumambang
- Mijil
- Pangkur
- Pucung
- Sinom
Dari lima jenis tembang tersebut, saat ini di Jawa hanya tinggal dikenal
tiga: tembang gedhe; tembang tengahan dan tembang macapat.
3. Membuat Tembang
Salah satu indikator yang bisa dikembangkan adalah kemampuan siswa
membuat tembang. Tentu harus didahului kemampuan guru dalam hal serupa.
Sebelum memulai, Guru bisa menengok kembali pendapat Rahmanto tentang tiga
rambu-rambu yang layak dipertimbangkan. Pertama, bahasa yang sesuai dengan
tingkat penguasaan bahasa peserta didik. Kedua, bahan sastra juga harus
disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan psikologis peserta didik. Seperti
telah diketahui bahwa peserta didik tingkat sekolah menengah (usia 13-16 tahun)
berada pada tahap realistik, di mana anak telah terlepas dari dunia fantasi dan
sangat berminat pada realitas. Anak-anak pada usia ini senang sekali menganalisa
fakta-fakta kehidupan. Ketiga, pertimbangkan pula latar belakang budaya. Peserta
didik tentu akan lebih tertarik pada bahan-bahan yang dekat dengan latar belakang
budayanya. Sehingga bahan-bahan yang akan diajarkan sebaiknya diusahakan
sesuai dengan latar belakang budaya peserta didik.
Dari pertimbangan atas tiga hal di atas maka akan didapat tembang yang
menggunakan bahasa sederhana sesuai tingkat penguasaan bahasa peserta didik;
isinya sesuai dengan taraf psikologi serta latar belakang budaya peserta didik.
Di antara tiga jenis tembang yang masih sangat akrab bagi orang Jawa,
tembang macapat-lah yang masih sering digunakan sebagai media penuangan
gagasan dan isi hati, sehingga masih banyak bermunculan tembang macapat
dengan kata-kata baru yang disesuaikan dengan maksud dan keperluannya. Dua
jenis tembang yang lain, tembang gedhe dan tembang tengahan, hanya tinggal kita
terima apa adanya, tidak ada lagi gubahan baru.
Berdasarkan pertimbangan di atas, pembuatan tembang ini diarahkan pada
pembuatan tembang macapat. Setelah guru memahami tiga rambu Rahmanto di
atas, maka yang harus dipahami berikutnya adalah aturan tembang macapat: guru
gatra, guru lagu dan guru wilangan. Setelah itu tentukan tema yang akan diangkat,
dilanjutkan dengan perangkaian kata-kata sehingga memenuhi aturan tembang
macapat. Hasil akhirnya adalah bait tembang macapat dengan kata-kata yang
dapat dipahami oleh peserta didik.
4. Membaca Tembang
Cara membaca karya tembang tentu saja dengan dilagukan. Persoalan ini
yang sering menjadi momok bagi para guru. Sebenarnya cukup banyak guru yang
mampu melantunkan tembang macapat, tetapi kadang-kadang merasa tidak
percaya diri karena merasa nadanya kurang pas padahal tidak tersedia alat bantu
gamelan.
Pada dasarnya membaca tembang adalah melantunkan nada, khususnya
nada gamelan. Permasalahan lain, tidak semua peserta didik memiliki latar
belakang budaya gamelan, sehingga tidak banyak pula yang memiliki referen nada
gamelan. Kondisi ini tidak perlu dirisaukan. Guru bisa menggunakan nada-nada
piano dengan cara men-transpos nada gamelan ke nada-nada piano, seperti contoh
di bawah ini:
Slendro sanga 1 2 3 5 6 1
Nada piano do re mi sol
l
a do
Slendro manyura 2 3 5 6 1 2
Nada piano Do re Mi sol la do
Pelog nem 1 2 3 5 6
Nada piano m
i
fa sol si d
o
Pelog Barang 2 3 5 6 7
Nada piano fis sol si do re
Tentu saja transpos nada ini hanyalah langkah mudah untuk menggali
potensi nada yang dimiliki peserta didik. Pengenalan nada gamelan sesungguhnya
tetap harus dilakukan, mengingat nada-nada gamelan memiliki kekhasan yang
tidak dimiliki nada-nada lain.
5. Memarafrase Tembang
Selayaknya sebuah puisi, tembang penuh dengan permainan kata. Cukup
banyak materi tembang yang bisa diambil dari kitab-kitab lama maupun majalah-
majalah berbahasa Jawa, tetapi kendalanya adalah bahasa yang kadang-kadang
sulit dimengerti, karena tidak fungsional. Munculnya bahasa arkhais, dasa nama,
variasi bunyi dan lain-lain yang menyebabkan sulitnya pemahaman bahasa ini
memang hal yang biasa dalam tembang, demi kepentingan terpenuhinya kaidah-
kaidah metrum. Pada pembelajaran tingkat lanjut, peserta didik tetap
diperkenalkan pada sastra-sastra lama sebagai sumber penggalian nilai-nilai budi
pekerti.
Masalah yang muncul berikutnya adalah bagaimana memarafrasekan
sebuah tembang. Pertama yang harus dipersiapkan adalah kamus Bahasa Jawa.
Setelah tersedia kamus, kemudian cermatilah petunjuk di bawah ini:
a. kalimat-kalimat atau frasa-frasa yang menggunakan aturan baliswara (inversi)
harus dibalik dulu, sehingga menjadi kalimat atau frase yang wajar,
b. jika terdapat kata-kata arkhais, harus dicari padanannya dalam kamus,
c. jika ada kata majemuk atau kata yang mengandung sandi dalam
pembentukannya, harus diurai terlebih dahulu,
d. untuk menyelaraskan kalimat hasil parafrase, kadang-kadang boleh membuang
atau menambahi kata-kata tertentu,
e. demikian pula dengan imbuhan, kadang-kadang bisa ditambah atau dikurangi,
f. kadang-kadang untuk mengerti maksud sebait tembang, diperlukan parafrase
bait di bawahnya atau di atasnya, tidak cukup hanya memarafrase sebait saja.
6. Contoh TembangPocungBasa ngelmu, mupangate lan panemuPasahe lan tapaYen satria tanah jawiKuna-kuna kang ginilut tri prakaraLila lamun, kelangan noragegetunNrima yen katamanSak serik sameng dumadiTri legawa nalangsa srah ing bathara.Bathara gung ing nguger jroning jejantungJenek hyang wisesaSana pasenedan suciNora kaya si mudha mudhar angkara.
GambuhSekar gambuh ping catur(7/u)Kang cinatur polah kang kalantur(10/u)Tanpa tutur katula-tula katali(12/i)Kadaluarsa katutuh(8/u)Kapatuh pandadi awon(8/o)
SinomPangeran kang sipat murah(8/a)Njurungi kajating dasih(8/i)
Ingkang temen tinemenan(8/a)Pan iku ujaring dalil(8/i)Nyatane ana ugi(7/i)Iya kiyageng ing Tarub(8/u)Wiwitane nenedha(7/a)Tan pedhot tumekeng siwi(8/i)Wayah buyut canggah warenge kang tempa(12/a)
DhandhanggulaEling-eling pra kadang den eling(10/i)Uripa ing ndonya tan lama(10/a)Bebasan mung mampir ngombe(8/e)Cinecep nulya wangsul(7/u)Mring asale sangkane nguni(9/i)Begja kang wus pana]sangkan paranipun(7/a)Dedalankang den ambah(8/a)Mring rahayu lumampah(7/a)
MaskumambangGereng-gereng Gathotkaca sru anangisSambaté mlas arsaLuhnya marawayan miliGung tinamêng astanira
KinanthiAnoman malumpat sampun,Praptêng witing nagasari,Mulat mangandhap katingal,Wanodyâyu kuru aking,Gelung rusak awor kisma,Ingkang iga-iga kêksi.
PangkurMingkar mingkuring angkara,Akarana karenan mardi siwi,Mangka nadyan tuwa pikun,Yen tan mekani rasa,Yekti sepi sepa lir asepa samun,Samangsane pakumpulan,Gonyak ganyuk nglelingsemi.