Upload
abdi-hataramura
View
229
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
teori hukum 1
Citation preview
Latar Belakang
Sebagai sebuah lembaga peradilan yang baru dibentuk 13 Agustus 2003 lalu,
dalam waktu yang relatif singkat, Mahkamah Konstitusi (MK) telah berhasil merebut
perhatian masyarakat. Dari tahun ke tahun, perlahan tapi pasti MK mewujud menjadi
lembaga tempat para pencari keadilan berkeluh kesah. Walaupun pada kenyataaanya
tidak semua kasus bisa diselesaikan oleh MK, tetapi kita dapat melihat bahwa setidaknya
gejala tersebut memperlihatkan berseminya harapan masyarakat terhadap MK, sebagai
lembaga yang dipercaya mampu menegakkan keadilan substanstif, keadilan yang diidam-
idamkan masyarakat, yang selama ini dianggap jauh dari jangkauan
Sekalipun demikian, MK tidak menutup mata atas tudingan-tudingan miring yang
dialamatkan kepadanya. Sebut saja, tudingan bahwa MK tidak independen, atau isu
berkeliarannya makelar kasus tukang jual-beli perkara. Sajauh ini, MK selalu berhasil
membuktikan bahwa isu-isu tersebut tidak benar adanya. MK harus diapresiasi karena
amat jarang dan langka, suatu lembaga negara begitu responsif mengambil tindakan atas
sinyalemen yang ditujukan kepadanya. Pada berbagai pengalaman sebelumnya, banyak
lembaga negara justru membela diri dan melaporkan dugaan pencemaran. Respons yang
dilakukan MK sangat tegas ketika MK mengalami suatu permasalahan mereka langsung
membentuk Tim Investigasi untuk mengklarifikasi tuduhan dan bahkan menunjuk pihak
yang membuat “tudingan” sebagai pemimpin Tim Investigasi. Tidak hanya itu, MK juga
memberi keleluasaan bagi Ketua Tim untuk merekrut sebagian anggota Tim dan MK
sendiri mengajukan anggota lainnya.
Dan pada saat ini tertangkap ketua MK Akil Muchtar mencoreng dan
menjatuhkan nama baik MK yang saat ini menjadi tumpuan keadilan bagi masyarkat
1
Indonesia. Akhirnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan suatu
kebijakan untuk menyelamatkan MK yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi
(MK), akan tetapi pengeluaran Perpu ini mendapat banyak penolakan oleh berbagai
pihak. Perppu tersebut dinilai inkonstitusional. Ketua Fraksi Partai Hanura Sarifuddin
Sudding menandaskan, substansi di dalam perppu terkait keterlibatan Komisi Yudisial
(KY) dalam pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) tidak
memiliki landasan hukum Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 ataupun undang-undang
di bawahnya. Pasalnya, hasil uji materi (judicial review) UU No 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial (KY) telah menegaskan bahwa kewenangan pengawasan KY tidak
mencakup MK. ”Sehingga tidak ada lagi peran KY dalam pengawasan hakim. Ketika
masih masuk dalam perppu, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Sesuatu yang
dibatalkan MK itu final dan mengikat. Keberadaan perppu itu inkonstitusional
Dalam perppu tersebut disebutkan calon hakim konstitusi yang diajukan oleh
Mahkamah Agung (MA), DPR, dan Presiden akan terlebih dahulu dilakukan proses uji
kelayakan dan kepatutan oleh para ahli yang dibentuk oleh KY. Para ahli itu nantinya
akan diisi tujuh orang yang terdiri atas 1 orang diusulkan MA, 1 orang diusulkan DPR, 1
orang diusulkan pemerintah, dan 4 orang dipilih oleh KY berdasarkan usulan masyarakat
yang terdiri atas mantan hakim MK, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum
maupun praktisi hukum.
Presiden mengambil alih kewenangan MA dan DPR bahwa sudah diatur ada tiga
jalur pengajuan hakim MK, yang masing-masing sudah ada proses yang diatur. Ketika itu
diambil alih dengan bentuk panel, itu melanggar UUD, dua minggu waktu yang
2
dibutuhkan dan tidak adanya substansi yang baru dinilai tidak memenuhi prasyarat
dikeluarkannya perppu yakni adanya kegentingan memaksa. Untuk menyelamatkan
demokrasi dan hukum di Indonesia serta mengembalikan kepercayaan masyarakat pada
MK, perlu perubahan kedua UU MK. Poin ini justru mendelegitimasi keberadaan MK
secara institusi. Karena menggeneralisasi hakim-hakim di MK serta tidak lagi merujuk
pada kasus Akil (mantan Ketua MK Akil Mochtar).
Selain persyaratan menjadi calon hakim MK yang perlu diperbaiki, dasar
pemikiran komposisi hakim MK yang terdiri atas unsur Presiden, DPR, dan MA perlu
dikaji kembali. Selain itu, penerbitan perppu ini juga tidak ada urgensinya lagi.
penerbitan perppu dilakukan jika negara berada dalam kegentingan yang memaksa
tindakan darurat. ”Hal itu tak terpenuhi,” Pasalnya secara kelembagaan, setelah lebih
kurang dua minggu sejak Akil Mochtar ditangkap KPK, hakim MK masih beroperasi
normal dan masih memenuhi kuorum untuk menentukan putusan perkara. ”Berbagai
tindakan yang dilakukan KPK, BNN, maupun PPATK sudah mulai membuat masyarakat
sedikit percaya pada institusi MK”. Namun terkait poin di dalam perppu yang
menyebutkan syarat hakim MK tidak boleh anggota parpol selama tujuh tahun
sebelumnya, cukup mewakili harapan masyarakat.
Pengawasan KY terhadap hakim MK belum tentu menjamin efektivitasnya,
karena KY masih disibukkan untuk mengawasi hakim MA, dan bisa jadi menimbulkan
”conflict of interest”. Sekarang ada langkah untuk memperkuat Majelis Kehormatan MK,
itu adalah salah satu solusi yang tepat. Pengamat hukum tata negara, Margarito mengakui
perppu MK memang bertentangan dengan konstitusi. Substansi yang jelas-jelas
melanggar adalah keterlibatan KY baik dalam rekrutmen hakim konstitusi maupun dalam
3
pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Dia mengatakan, dalam putusan
MK No 5 Tahun 2006 telah dikatakan MK bukan objek pengawasan KY.putusan ini
bersandar pada 24B dan 24 C UUD 1945. ”Sampai saat ini kan pasal itu belum diubah,
lalu bagaimana mendapatkan landasan hukum yang membenarkan KY ikut lagi dalam
pengawasan hakim konstitusi,” katanya. Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra
menerangkan, nasib perppu MK ini bergantung dengan sikap para legislator di DPR.
Untuk itu, DPR harus bergerak cepat dalam memutuskan perppu ini. ”Kalau DPR
menolaknya maka perppu tersebut harus dicabut. Presiden harus ajukan RUU baru untuk
mengubah UU MK ke DPR untuk dibahas.
Pakar hukum tata negara UI Irman Putra Sidin mengungkapkan DPR harus segera
menyikapi lahirnya Perppu MK ini. Dalam penilaiannya, perppu ini seperti ancaman
utama bagi kekuasaan demokrasi, sehingga DPR diharapkan bisa menyelamatkan otoritas
demokrasi. ”Kalau perppu menjadi murah harganya, orang tidak butuh demokrasi lagi.
Karena Presiden kita bisa minta untuk mengeluarkan aturan yang berlaku.
Pada saat Presiden SBY berpandangan mengeluarkan Perpu it cukup alasan
konstitusional untuk menerbitkan Perppu agar membantu MK kembali mendapatkan
kepercayaan publik. Alasannya, sangat berbahaya jika MK yang punya kewenangan
menjaga konstitusi bernegara, mengawal demokrasi dan menegakkan pilar negara
hukum, tidak mendapatkan kepercayaan. ”Apalagi, tahun depan kita menyelenggarakan
pesta demokrasi Pemilu 2014, yang sangat strategis bagi keberlanjutan kehidupan
berdemokrasi di Tanah Air. Dalam perhelatan Pemilu 2014 tersebut, peran MK yang
dipercaya sangat penting, utamanya untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu.
4
PEMBAHASAN
Dalam permasalah seperti ini akhirnya, penulis mencoba mengkolaborasi
bagaimana mengembalikan martabat Mahkamah Konstitusi dengan menggunakan teori
Roscoe Pound ?
Roscoe Pound dalam sebuah pernyataannya menyatakan bahwa fungsi hukum
adalah social engineering atau rekayasa sosial. Dalam pemikirannya ia menyatakan
bahwa putusan hukum yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan mampu merubah perilaku
manusia. Pendapat Roscoe Pound tersebut benar ketika ia memandang hukum sebagai
sebuah putusan-putusan hakim dalam sistem hukum anglo saxon atau common law.
Pernyataan Roscoe Pound tersebut pada awal orde baru dibawa ke Indonesia oleh
pakar-pakar hukum saat itu dengan pemikiran bahwa hukum merupakan alat rekayasa
sosial. Dalam sistem hukum sipil (civil law system) yang diterapkan di Indonesia, yang
menganut model hukum Eropa, hukum adalah sebuah aturan Undang-undang yang
notabene merupakan produk kekuasaan penguasa. Dalam konteks ini, maka hukum
diterapkan oleh penguasa yang memiliki kewenangan membentuk hukum, dan demi
hukum siapapun harus tunduk terhadap aturan hukum tersebut.
Pada kondisi yang demikian maka hukum menjadi alat pengendali penguasa
terhadap rakyatnya. Hukum menjadi alat legitimasi penguasa untuk berbuat terhadap
rakyatnya. Ketika kekuasaan berada di tangan orang-orang yang zalim maka hukum
akan begitu ditakuti. Penguasa yang zalim akan menggunakan hukum untuk berbuat
sesuai dengan kehendaknya nyaris tanpa kendali, hal ini terjadi di banyak negara
berkembang yang mengadopsi teori Roscoe Pound tersebut. Ketika fenomena Reformasi
menyeruak di Indonesia, maka teori ini dijadikan sebagai salah satu kesalahan besar
5
bidang hukum yang telah melahirkan penguasa yang out of control. Pertanyaan sederhana
adalah apakah Roscoe Pound begitu gegabah mengeluarkan teori yang melahirkan
penguasa yang sangat otoriter? Dalam hal ini rupanya telah terjadi kesalahpahaman atas
konsep berfikir Roscoe Pound tersebut. Teori Roscoe Pound yang sangat fenomenal
tersebut lahir dari sebuah sistem yang berbeda dengan sistem yang kita anut. Ia lahir dari
sebuah sistem hukum common law yang menganggap bahwa hukum adalah putusan yang
dijatuhkan oleh hakim (Hukumnya Hakim). Roscoe Pound lahir dalam dunia hukum yang
menganggap bahwa hukum itu dibentuk oleh kekuasaan hakim, bukan penguasa
eksekutif.
Hukum dalam sistem common law, dibentuk oleh hakim, para pihak yang
mengajukan masalah kepada pengadilan memohon keadilan agar diputuskan mana yang
benar dan adil oleh para hakim. Hakim kemudian akan memeriksa kasus tersebut dan
kemudian akan memutuskan apa yang seharusnya dipatuhi oleh para pihak. Hakim
membentuk hukum berdasarkan putusan hakim yang diharapkan akan merubah perilaku
para pihak yang awalnya tidak mengetahui yang benar menurut hukum, dan kemudian
akan bertindak serta berperilaku menurut hukum. Sehingga hukum mendidik ia untuk
paham akan hukum.
Secara langsung dapat dikatakan bahwa putusan pengadilan tersebut (law)
diharapkan telah mampu merekayasa atau merubah perilaku (engineering) masyarakat.
Dalam hal ini tidak ada unsur power penguasa untuk menekan kehendaknya terhadap
rakyat, melainkan hakim yang faham hukum mendidik masyarakat bagaimana
berperilaku yang sepatutnya. Hakim mendidik para pihak untuk berperilaku yang
awalnya diluar hukum menjadi manusia yang sadar hukum di tengah masyarakat. Konsep
6
pemikiran Roscoe Pound ini menjadi salah kaprah ketika dimasukkan dalam siistem
hukum yang berbeda yaitu sistem civil law yang memandang hukum yang utama adalah
putusan penguasa dan bukan putusan hakim dalam sidang pengadilan! Ketika diterapkan
dalam sistem yang berbeda ternyata menghasilkan makna yang sangat berbeda dari
makna penerapan hukum yang dimaksud oleh Roscoe Pound. Roscoe Pound tentunya
tidak pernah membayangkan bahwa teorinya akan melahirkan penguasa yang absolut,
karena ia hanya berfikir bahwa hukum itu hakim bukan penguasa.
Hukum dalam pengertian Pound dimaknai sebagai sarana untuk melakukan
pembaruan di masyarakat. Tool tidak diterjemahkan menjadi ’’alat’’, tetapi ’’sarana’’.
Sebab, hukum berkaidah dengan konteks kemasyarakatan: faktor-faktor kepercayaan,
keyakinan, dan budayanya. Mazhab ini berkembang di Amerika Serikat sebagai reaksi
atas mazhab positivisme hukum yang diprakarsai John Austin (1790-1859) dan Hans
Kelsen (1881-1973) pada abad ke-19. Hukum sebagai sarana rekayasa sosial (law as a
tool of social engineering) kali pertama dikemukakan Roscoe Pound (1870-1964),
pemikir yang jadi pentolan mazhab hukum anthro-sociological jurisprudence.
Penerjemahan tool sebagai alat memiliki konotasi mekanistik kaku, yang mengabaikan
aspek-aspek kemasyarakatan. Pandangan Pound tersebut agaknya bertolak dari
pendekatan instrumentalisme hukum yang selalu berkutat pada proposisi.
Pertama, hukum memuat sumber doktrinal yang berupa nilai dan asas-asas di
mana memberikan isi dan bentuk pada perkembangan hukum. Kedua, hukum selalu
bersifat dinamis, tidak statis, dan secara alamiah selalu dalam keadaan berkembang.
Ketiga, hukum senantiasa berkembang secara teratur dalam suatu sistem untuk
7
menghadapi tuntutan kemanusiaan. Keempat, tugas hukum untuk memelihara dan
menjaga agar proses perkembangan hukum dapat teratur dan bekerja secara bebas.
Di Indonesia, gagasan Pound diadopsi secara genius oleh Mochtar
Kusumaatmadja. Guru besar hukum internasional dari Universitas Padjadjaran itu
mengemukakan satu teori yang juga berangkat dari gagasan bahwa hukum mesti
difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial, yang disebutnya Teori Hukum Pembangunan.
Tulisan berikut berupaya menjelaskan dan mnjabarkan teori hukum pembangunan
Mochtar Kusumaatmadja dan relevansinya di masa kini.
Teori Hukum Pembangunan kali pertama diwacanakan kala Mochtar
Kusumaatmadja menjadi pembicara dalam seminar hukum nasional pada 1973. Padahal,
teori itu jauh-jauh hari sudah dimasukkan dalam materi hukum dalam Pelita I (1970-
1975) ketika ia menjabat menteri kehakiman. Ada dua ide utama dalam teori tersebut.
Yakni soal pendidikan hukum dan perubahan-perubahan di masyarakat. Dalam teorinya,
Mochtar Kusumaatmadja menggugat sistem pendidikan hukum nasional yang merupakan
tinggalan dari pendidikan hukum Belanda. Pendidikan hukum nasional hanya mendidik
mahasiswa menjadi tukang (craftsmanship), tetapi tidak mampu menganalisis perubahan-
perubahan di masyarakat dan menemukan solusi atas masalah penerapan hukum di
masyarakat.
Untuk mencapai kemampuan analisis tersebut, diperlukan metode pengajaran ke
metode Socrates yang telah berhasil diterapkan dalam sistem hukum berbasis common
law. Mochtar menghendaki lulusan hukum, selain memiliki keahlian (legal skilled), perlu
diikuti pula dengan etika dan tanggung jawab profesi. Mochtar menganjurkan agar setiap
lulusan hukum tidak hanya menguasai ilmu hukum saja, melainkan juga ilmu-ilmu sosial
8
yang non-hukum seperti ekonomi, politik, dan sosiologi. Pendapat ini sebenarnya telah
lama dikemukakan oleh Pound, Eugen Ehrlich, Richard A. Posner, Robert Cooter, dan
Thomas Ulen.
Teori hukum pembangunan kemudian mengemukakan premis bahwa perubahan,
sebagai konsekuensi dari suatu masyarakat yang tengah membangun, mesti dilakukan
secara teratur. Perubahan yang teratur, menurut Mochtar, dapat dibantu oleh peraturan
perundang-undangan, keputusan pengadilan, atau kombinasi keduanya. Perubahan yang
tidak teratur melalui kekerasan, dengan demikian, harus ditolak. Fungsi hukum adalah
mempertahankan ketertiban dan keteraturan dan tujuan dari masyarakat yang sedang
membangun melalui kepastian hukum. Hukum harus dapat membantu, syukur-syukur
mempercepat, proses perubahan dalam masyarakat. Hukum yang baik mesti sesuai
dengan hukum yang hidup (the living law) di masyarakat. Implementasi fungsi hukum
tersebut hanya dapat diwujudkan oleh suatu kekuasaan yang bekerja dalam rambu-rambu
yang ditentukan hukum.
Romli Atmasasmita menyebutkan beberapa hambatan Teori Hukum
Pembangunan dalam praktik pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pertama,
kebiasaan kurang terpuji selama 50 tahun Indonesia merdeka, yakni bahwa pembuat
kebijakan sering memanfaatkan celah untuk menggunakan hukum sebagai alat dengan
tujuan mendahulukan kepentingan kekuasaan ketimbang kepentingan rakyat. Misalnya,
perampasan hak masyarakat adat atas tanah dengan dalih pembangunan gedung
pemerintah dan jalan raya tanpa kompensasi yang proporsional. Kedua, sukarnya
menentukan tujuan pembaruan hukum. Ketiga, sedikitnya data empiris yang dapat
digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif. Keempat, sukarnya
9
mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur berhasil atau tidaknya usaha
pembaruan hukum, Kelima, para ahli hukum Indonesia menderita kebingungan soal
corak hukum yang dipandang cocok untuk dianut dan dipraktikkan dalam kehidupan
masyarakat di era globalisasi seperti saat ini. Oleh karena itu, Romli Atmasasmita
mengajukan evaluasi mendasar yang disebutnya reorientasi pembangunan hukum
nasional. Reorientasi ini meliputi, reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan
lokal (hukum adat) ke dalam sistem hukum nasional dan penataan ulang kelembagaan
aparatur hukum yang masih mengedepankan egoisme sektoral. Selain itu, masalah
pemberdayaan masyarakat secara khusus yang menitikberatkan pada partisipasi publik
terhadap kinerja birokrasi. Kemudian, masalah pemberdayaan birokrasi (bureaucratic
engineering) dalam konteks fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan.
Pemberdayaan birokrasi, menurut Romli, diharapkan dapat mengisi kelemahan Teori
Hukum Pembangunan. Selain itu, pemberdayaan birokrasi juga merupakan komponen
penting dari sistem hukum, di samping substansi, struktur, dan budaya hukum menurut
Lawrence M. Friedman.
Rekaya sosial (Social engineering) adalah campur tangan gerakan ilmiah dari visi
ideal tertentu yang ditujukan untuk mempengaruhi perubahan sosial. Rekaya sosial
merupakan sebuah jalan mencapai sebuah perubahan sosial secara terencana. Gerakan
ilmiah yang dimaksudkan disini adalah sebuah gagasan atas perubahan tingkat/taraf
kehidupan masyarakat demi tercapainya kesejahteraan dan kemandirian. Masyarakat
pada umumnya menginginkan adanya perubahan sosial kearah yang lebih baik sehingga
perubahan sosial harus dapat dilakukan secara berkesinambungan dan terencana
10
Menurut Dr Jalaludin Rakhmat rekayasa sosial terjadi karena terdapat beberapa
kesalahan pemikiran manusia dalam memperlakukan masalah sosial yang disebut para
ilmuwan dengan sebutan intellectual cul-de-sac yang menggambarkan kebuntuan
berpikir.Salah satu bentuk kesalahan pemikiran lainnya adalah permasalahan sosial yang
kerap dikait-kaitkan dengan mitos ataupun kepercayaan manusia akan suatu gerakan
abtrak ‘ilusi’ yang tanpa disadari dapat merubah tatanan kehidupan bermasyaratnya.
Untuk itu perlu diadakannya rekayasa sosial agar kesalahan-kesalahan berpikir seperti ini
dapat diatasi sehingga masyarakat dapat melihat permaslahan yang dihadapinya sebagai
sesuatu yang konkrit. Rekayasa sosial timbul akibat adanya sentimen atas kondisi
manusia.Untuk itu perlu adanya perombakan yang dimulai dari cara pandang/paradigma
manusia atas sebuah perubahan.
Di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat beberapa pola atau cara penyelesaian
konflik yang berujung pada terciptanya konflik yang lain, entah itu konflik psikologial,
emosional maupun kontak fisik antar sesama individu ataupun kelompok masyarakat. Hal
inilah yang menjadi objek kajian dari rekayasa sosial ini dimana campur tangan sebuah
gerakan ilmiah lebih dimaksudkan untuk menggeser cara pandang masyarakat kearah
yang ‘benar’ demi tercapainya tujuan tertentu.
Masyarakat pada umumnya mempercayai sesuatu apabila mayoritas persepsi yang
berkembangkan merujuk pada pembenaran hal tersebut sehingga kelompok masyarakat
intelektual sering kali terlibat dalam perang cara pandang maupun gagasan yang terkesan
‘ego’ demi sebuah pengakuan atas cara berpikir dari masing-masing pihak.
Disinilah peran rekayasa sosial dalam merubah gaya bermasyarakat seperti ini.
Adanya gagasan atas perubahan sosial kearah yang lebih baik dengan cara yang benar
11
dan lebih realistis dapat mendorong keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
misi atas perubahan sosial tersebut. Pada dasarnya pola-pola kontrol sosial tidak
dimaksudkan untuk mengendalikan masyarakat tetapi lebih kepada cara untuk membuka
ruang bagi masyarakat untuk beraktualisasi sehingga dapat terlihat jelas peran dari
masyarakat tersebut dalam proses perubahan sosial.
Lawrence M. Friedman seorang adalah yang pertama mengemukakan fungsi
hukum sebagai rekayasa sosial yang kemudian dijadikan dasar atas kontrol sosial di
dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan yang dimaksudkan disini adalah efek dari
perubahan sosial yang dihasilkan dari rekayasa sosial itu sendiri. Hukum merupakan alat
utama dari hasil rekayasa sosial yang kemudian dijadikan dasar terbentuknya suatu
masyarakat yang sejahtera karena aturan-aturan yang diterapkan ditujukan untuk
terciptanya sebuah keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat.
Politik dan Rekayasa sosial adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan meskipun
pada dasarnya keduanya hampir tidak berbeda satu sama lainnya karena keduanya
bertujuan mengorganisir masyarakat untuk tujuan tertentu , hanya saja rekayasa sosial
punya ruang lingkup yang lebih luas serta tidak terbatas pada permasalahan kekuasan
semata.Dalam dinamika politik, rekayasa sosial kerap digunakan untuk mendapatkan
dukungan dari masyarakat. Politik mampu memicu adanya perubahan sosial apabila
masyarakat ikut berpartisipasi sebagai eksekutor dari perubahan itu tetapi tidak hanya
pemerintah, masyarakat pada pada umumnya mempunyai pola yang berbeda satu dengan
yang lainnya dalam menginpresentasekan jalan kepada perubahan sosial ini. sehingga
keseragaman pemikiran akan hal ini perlu dilakukan agar perubahan sosial ini dapat lebih
mudah direalisasikan.
12
Dalam dinamika politik, William Dahl menganggap bahwa pemahaman terhadap
perubahan sosial dapat lebih mudah apabila membagi masyarakat menjadi dua kelompok,
yaitu masyarakat yang satu sebagai pihak konservatif dan lainnya sebagai pihak yang
radikal. Perbedaan pandangan dapat dilihat dari konfrontasi dua kubu ini sehingga
permasalahan paling substansif dari konflik inilah yang kemudian dijadikan referensi atas
perubahan sosial tersebut.
Dahl mengambil beberapa contoh negara yang pemimpinnya menggunakan
strategi ‘battle ideology’ atau perang ideologi lewat jalur konsolidasi “bawah tanah”
untuk menciptakan konflik , cara seperti ini digunakan oleh beberapa pesohor seperti
Khomeini ketika Revolusi Iran, dan Fidel Castro serta Che Guevara pada Revolusi Kuba.
Menurut Dahl perencanaan konflik melalui doktrin progresif kepada masyarakat
merupakan suatu syarat utama terciptanya perubahan sosial secara cepat , konflik harus
ada tetapi jalan keluarnya juga telah dipersiapkan dan itulah titik utama dari sasaran
perubahan sosial.Doktrinasi yang dilakukan bukan semata-mata timbul akibat
kesenjangan antara pemimpin dan masyarakat tetapi tuntutan atas perubahan sistem yang
tidak stabil dan tidak mampu meng-integrasi-kan masyarakat sehingga hasil dari konflik
ini tidak hanya berujung pada perubahan sistem politik (Reformasi) tetapi juga perubahan
yang lebih luas dan dalam (Revolusi). Hal serupa pada dasarnya pernah terjadi juga saat
Nazi melakukan upaya pembinasaan kaum yahudi pada perang dunia II.Tetapi pada
dasarnya tujuan Nazi bukan semata-mata melenyapkan kaum yahudi dari Jerman tetapi
semua penentang Nazi meskipun polemik yang kemudian berkembang adalah upaya
genocide yang dilakukan Nazi , hal inilah yang kemudian menjadi subjek dari rekayasa
13
sosial dimana hasil dari hal itu adalah peperangan yang pada sadarnya sebagai jalan
kebebasan berpolitik bagi seluruh kaum semit di dunia.
Rekaya sosial merupakan alat yang mampu mengintegrasikan masyarakat, hal ini
dikarenakan adanya tujuan yaitu perubahan ataupun mengendalikan stagnasi akibat
keadaan yang telah memenui syarat sebagai masyarakat yang sejahtera. Sebagaimana kita
tahu dalam sejarah indonesia bahwa kemerdekaan diraih atas keinginan melepaskan diri
dari penjajahan, keinginan yang timbul disebabkan oleh keadaan yang sama dan perasaan
sepenanggunan pun timbul karena hal tersebut.
Berbicara tentang fungsi hukum, maka yang menjadi pokok kajian adalah
sejauhmana hukum dapat memberikan peranan yang positif dalam masyarakat, baik
dalam arti terhadap setiap individu, maupun dalam arti masyarakat secara keseluruhan.
Hukum sebagai kaidah, atau hukum sebagai teori.
Dalam hubungan ini, banyak ahli yang telah mengemukakan pendapatnya, seperti
Lawrence M. Friedman yang dikutip oleh Soleman B. Taneko (1992: 37) yang
menyatakan bahwa “Fungsi Hukum itu meliputi :
1. Pengawasan/Pengendalian Sosial (Social Control).
2. Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement).
3. Rekayasa Sosial (Social Engineering, Redistributive, atau Innovation)”.
Disini nampak bahwa menurut ahli tersebut di atas, pada dasarnya hukum mempunyai
tiga fungsi yang harus diperankan dalam suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, juga
oleh Soerjono Soekanto (1992) mengemukakan fungsi hukum yang terdiri dari :
1. Untuk memberikan pedoman kepada warga masyarakat
14
Bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-
masalah dalam masyarakat yang terutama menyengkut kebutuhan-kebutuhan pokok.
Untuk menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan.
2. Memberikan pegangan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk mengadakan
pengendalian sosial (Social Control).
Jika kita menelaah kedua pendapat yang dikemukakan di atas mengenai fungsi hukum,
maka pada dasarnya kedua pendapat tersebut adalah sama, kendatipun dalam formulasi
yang berbeda.Secara kuantitatif fungsi hukum yang terdiri tiga seperti tersebut di atas,
oleh Soleman B. Taneko (1992), justru mengemukakan bahwa fungsi hukum mencakup
lebih dari tiga jenis seperti ungkapannya yang menyatakan bahwa “Adapun fungsi hukum
yang dimaksudkan ialah antara lain meliputi:
1. Memberikan pedoman/pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku.
2. Pengawasan/Pengendalian Sosial (Social Control).
3. Penyelesaian sengketa (Dispute Settlement).
4. Rekayasa Sosial (Social Engineering).
Kendatipun dalam pendapat yang terakhir menyebutkan empat fungsi hukum,
namun fungsi hukum yang disebutkan terakhir, yaitu sebagai rekayasa sosial, pada
dasarnya tercakup atau inklusif pada fungsi hukum lainnya. Dikatakan demikian, karena
fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarahan masyarakat, akan berdampak pula
sebagai upaya untuk melakukan perubahan dalam masyarakat, sebagaimana makna
fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial.Dengan demikian, kiranya dapat dimaklumi,
bahwa hukum di tengah-tengah masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting,
15
terutama dilihat dari segi fungsi yang diembannya, dan diarahkan kepada terciptanya
suatu kondisi yang sangat diperlukan oleh masyarakat dalam pergaulan hidupnya.
Dalam uraian terdahulu, telah dikemukakan beberapa pendapat ahli yang
menjelaskan tentang jenis fungsi hukum di dalam masyarakat. Salah satu fungsi hukum
yang akan dibahas secara singkat disini adalah fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial.
Walaupun tidak semua ahli yang dikemukakan pendapatnya secara langsung menyebut
alat rekayasa sosial sebagai salah satu fungsi hukum, namun dapat dimaklumi, jika fungsi
ini juga tercakup dalam rumusan yang dikemukakan para ahli dimaksud.Untuk lebih
meyakinkan akan adanya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial ini, perlu
diketengahkan pendapat Rusli Effendi (1991: 81), yang menegaskan bahwa “Suatu
masyarakat di manapun di dunia ini, tidak ada yang statis. Masyarakat manapun
senantiasa mengalami perubahan, hanya saja ada masyarakat yang perubahannya pesat
dan ada pula yang lamban. Di dalam menyesuaikan diri dengan perubahan itulah, fungsi
hukum sebagai a tool of engineering, sebagai perekayasa sosial, sebagai alat untuk
merubah masyarakat ke suatu tujuan yang diinginkan bersama, sangat berarti”. Penegasan
Rusli Effendy tersebut di atas, menunjukkan bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial
sangat diperlukan dalam proses perubahan masyarakat yang di manapun senantiasa
terjadi, apalagi dalam kondisi kemajuan yang menuntut perlunya perubahan-perubahan
yang relatif cepat.
Fungsi Hukum sebagai alat rekayasa sosial ini, juga sering disebut sebagai a tool
of engineering yang pada prinsipnya merupakan fungsi hukum yang dapat diarahkan
untuk merubah pola-pola tertentu dalam suatu masyarakat, baik dalam arti mengokohkan
suatu kebiasaan menjadi sesuatu yang lebih diyakini dan lebih ditaati, maupun dalam
16
bentuk perubahan lainnya. Perubahan lainnya dimaksud, antara lain menghilangkan suatu
kebiasaan yang memang sudah dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat,
maupun dalam membentuk kebiasaan baru yang dianggap lebih sesuai, atau dapat
mengarahkan masyarakat ke arah tertentu yang dianggap lebih baik dari sebelumnya.
Dalam kaitan ini, dapat dimaklumi bahwa ditinjau dari segi eksistensi perubahan
yang merupakan sesuatu yang harus terjadi, maka fungsi hukum menjadi semakin penting
dan menentukan, terutama lagi dalam era reformasi yang digulirkan dewasa ini, atau era
pembangunan yang berkesinambungan. Fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial yang
semakin penting dalam era pembangunan tersebut, ditegaskan oleh Muchtar
Kusumaatmadja seperti yang dikutip oleh Soleman B. Taneko mengemukakan bahwa “Di
Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembangunan
masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam
pembangunan merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat diperlukan. Di
samping itu, hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah-arah
kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan tersebut. Sudah
tentu bahwa fungsi hukum di atas seyogianya dilakukan, di samping fungsi hukum
sebagai sistem pengendalian sosial”.Ini berarti bahwa disamping fungsi hukum sebagai
alat pengendalian sosial, juga salah satu fungsi lainnya yang sangat penting dan bahkan
justru harus dilaksanakan dalam era pembangunan, adalah fungsinya sebagai alat
rekayasa sosial. Tentu saja sebagai alat rekayasa harus diarahkan kepada hal-hal yang
positif dan bukan sebaliknya.
Walaupun sejumlah ahli memberikan pandangan positif terhadap fungsi hukum
sebagai sarana rekayasa sosial ini, namun fungsi tersebut tidak luput dari kritikan atau
17
kelemahannya. Terhadap tanggapan dimaksud, seperti dikemukakan oleh Daniel S. Lev
yang dikutip oleh Achmad Ali (1996: 104), dengan menyatakan bahwa “membicarakan
hukum sebagai rekayasa sosial itu berarti memberikan kekuasaan yang amat penuh
kepada pemerintah. Kita selalu menggunakan istilah itu sebagai sesuatu yang netral,
padahal dipakainya istilah itu sebenarnya tidak netral. Istilah itu dapat dipakai untuk
tujuan yang baik dan dapat juga dipakai untuk tujuan yang buruk. Istilah itu sendiri
mempunyai dua arti, pertama sebagai suatu prosedur, suatu cara untuk mengubah
masyarakat, dan yang kedua yang teramat penting adalah secara materiil, yaitu
masyarakat apa yang dikehendaki. Itu tidak mudah, kita harus bertanya macam
masyarakat apa yang dikehendaki oleh pemerintah dan oleh warga masyarakat.
Pandangan yang dikemukakan terakhir di atas, menunjukkan bahwa fungsi hukum
sebagai alat rekayasa sosial mempunyai arti yang tidak selalu positif, dan bahkan dapat
diartikan negatif, terutama karena ketidakjelasan arah yang akan dituju oleh hukum
dalam merekayasa masyarakat yang bersangkutan. Dampak negatif dari penggunaan
hukum sebagai rekayasa sosial adalah yang hanya membawa keuntungan bagi sebagian
kecil warga masyarakat, justru merugikan sebagian besar warga masyarakat lainnya.
Dengan pandangan tersebut, maka dapat dikatakan, bahwa fungsi hukum sebagai
sarana atau alat rekayasa sosial dalam aplikasinya perlu dilakukan secara ekstra hati-hati,
sehingga sejauh mungkin tidak membawa dampak negatif sebagaimana yang
dikhawatirkan, dan bahkan jika perlu dalam pelaksanaannya benar-benar tidak akan
melahirkan dampak seperti tersebut. Belajar pada pengalaman dan dari sejumlah contoh
yang dianggap negatif kaitannya dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial ini,
18
maka memang masih ada upaya yang dilakukan agar implikasi fungsi hukum tersebut
tidak terarah kepada hal-hal yang negatif.
Dalam bukunya, Achmad Ali mengemukakan pandangan Daniel S. Lev yang
pada dasarnya memberikan sejumlah pertimbangan, jika akan melaksanakan fungsi
hukum sebagai alat rekayasa sosial. Dengan kata lain, agar rekayasa sosial tidak
mengarah kepada sesuatu yang dinilai negatif, perlu dilakukan langkah-langkah tertentu
seperti yang dikemukakan dalam tulisan dimaksud. Namun yang paling penting dalam
kaitan ini adalah perlunya semua pihak yang terkait dengan aplikasi hukum di tengah
masyarakat, benar-benar konsisten, baik dalam arti kejujuran, kesamaan pandangan,
kerjasama, dan berbagai prinsip efektivitas lainnya.
19
KESIMPULAN
Mengenai dalam hal Peraturan Pemerintah (PerPu) yang di buat oleh Presiden kita
terkait masalah menyelamatkan kewibawaan Mahkamah Konstitusi yang saat ini
mengalami “ketidak percayaan” masyarakat kepada lembaga Negara ini, maka sudah
pantas dan sewajarnya presiden dangan sigap mengeluarkan PerPu tersebut dikarenakan
mengingat pasal Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:“Dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang.” Dan Penetapan PERPU yang dilakukan oleh Presiden ini
juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.” Dari bunyi kedua pasal di
atas dapat kita ketahui bahwa syarat presiden mengeluarkan PERPU adalah dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa dikatakan bahwa subyektivitas Presiden dalam
menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar diterbitkannya
PERPU, memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai
keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu
undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan
materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga 2 (dua) pasal ini
memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perpu)” sebenarnya UU dan Perpu dalam hierarki peraturan
perundang-undangan memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya
dibentuk dalam keadaan yang berbeda. UU dibentuk oleh Presiden dalam keadaan normal
20
dengan persetujuan DPR, sedangkan Perpu dibentuk oleh Presiden dalam keadaan
genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang kemudian membuat
kedudukan Perpu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR kadang-kadang dianggap
memiliki kedudukan di bawah undang-undang. Berdasarkan Putusan MK Nomor
138/PUU-VII/2009, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang
memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU, yaitu:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum
secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan
hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-
Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama
sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Selebihnya, akan dinilai DPR apakah kegentingan yang memaksa itu benar terjadi
atau akan terjadi. Persetujuan DPR ini hendaknya dimaknai memberikan atau tidak
memberikan persetujuan (menolak). Jadi, yang menafsirkan suatu kegentingan memaksa
itu adalah dari subyektivitas Presiden. Inilah yang menjadi syarat ditetapkannya sebuah
PERPU oleh Presiden.
Adapun dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan yang baik maka
diperlukan Asas-asas untuk menjadi suatu pedoman atau suatu rambu-rambu dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Dalam bidang hukum yang
menyangkut pembentukan peraturan perundang-undangan negara, Burkhardt Krems
21
menyebutkannya dengan istilah Staatsliche Rechtssetzung, sehingga pembentukan
peraturan menyangkut:
1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung);
2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung);
3. Metoda pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der Regelung); dan
4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der Ausarbeitung der
Regelung).
Paul Scholten mengemukakan bahwa, sebuah asas hukum (rechtsbeginsel) bukanlah
sebuah aturan hukum (rechtsregel). Untuk dapat dikatakan sebagai suatu aturan hukum,
sebuah asas hukum adalah terlalu umum sehingga ia atau bukan apa-apa atau berbicara
terlalu banyak (of niets of veel te veel zeide). Penerapan asas hukum secara langsung
melalui jalan subsumsi atau pengelompokkan sebagai aturan tidaklah mungkin, karena itu
terlebih dahulu perlu dibentuk isi yang lebih kongkrit. Dengan perkataan lain, asas
hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak dapat dimengerti tanpa asas-asas tersebut.
Scholten mengemukakan lebih lanjut, adalah menjadi tugas ilmu pengetahuan hukum
untuk menelusuri dan mencari asas hukum itu dalam hukum positif.
Berikut ini Penulis akan mengemukakan asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan menurut pendapat dari I.C. van der Vlies dan pendapat dari A. Hamid S.
Attamimi serta menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan:
1. Asas-asas pembentukan peraturan negara yang baik.
Menurut I.C. van der Vlies di dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en
beginselen van behoorlijke regelgeving”, asas-asas pembentukan peraturan negara
22
yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) dibagi dalam asas-asas yang
formal dan material. Asas-asas yang formal meliputi:
a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
b. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
c. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
e. Asas consensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang material meliputi:
a. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke
terminologi en duidelijke systemetiek);
b. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
d. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
e. Asas pelaksanaan sesuai dengan kemampuan individu (het beginsel van de
individuele rechtsbedeling).
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Johnson Alvin S, 2004, Sosiologi Hukum, Pt Rineka Cipta, Jakarta.
2. Irianto Sulistyowati dkk, 2012, Kajian Sosiol-Legal, Pustaka Larasan, Denpasar.
3. Walter Friedmann. 1994, Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme Filosofis dan
Problema Keadilan (Susunan II), Pt RajaGrafindo Persada, Jakarta..
4. Hamdan Zoelva. Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia.
www.hamdanzoelva.wordpress.com. 2008.
5. Hamdan Zoelva. Pengaruh Sistem Politik dalam Pembentukan Hukum di Indonesia.
http://chaplien77.blogspot.com/2008/05/pengaruh-sistem-politikdalam.html. 2005.
24