37
Latar Belakang Sebagai sebuah lembaga peradilan yang baru dibentuk 13 Agustus 2003 lalu, dalam waktu yang relatif singkat, Mahkamah Konstitusi (MK) telah berhasil merebut perhatian masyarakat. Dari tahun ke tahun, perlahan tapi pasti MK mewujud menjadi lembaga tempat para pencari keadilan berkeluh kesah. Walaupun pada kenyataaanya tidak semua kasus bisa diselesaikan oleh MK, tetapi kita dapat melihat bahwa setidaknya gejala tersebut memperlihatkan berseminya harapan masyarakat terhadap MK, sebagai lembaga yang dipercaya mampu menegakkan keadilan substanstif, keadilan yang diidam- idamkan masyarakat, yang selama ini dianggap jauh dari jangkauan Sekalipun demikian, MK tidak menutup mata atas tudingan-tudingan miring yang dialamatkan kepadanya. Sebut saja, tudingan bahwa MK tidak independen, atau isu berkeliarannya makelar kasus tukang jual-beli perkara. Sajauh ini, MK selalu berhasil membuktikan bahwa isu-isu tersebut tidak benar adanya. MK harus diapresiasi karena 1

teori hkm s2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

teori hukum 1

Citation preview

Page 1: teori hkm s2

Latar Belakang

Sebagai sebuah lembaga peradilan yang baru dibentuk 13 Agustus 2003 lalu,

dalam waktu yang relatif singkat, Mahkamah Konstitusi (MK) telah berhasil merebut

perhatian masyarakat. Dari tahun ke tahun, perlahan tapi pasti MK mewujud menjadi

lembaga tempat para pencari keadilan berkeluh kesah. Walaupun pada kenyataaanya

tidak semua kasus bisa diselesaikan oleh MK, tetapi kita dapat melihat bahwa setidaknya

gejala tersebut memperlihatkan berseminya harapan masyarakat terhadap MK, sebagai

lembaga yang dipercaya mampu menegakkan keadilan substanstif, keadilan yang diidam-

idamkan masyarakat, yang selama ini dianggap jauh dari jangkauan

Sekalipun demikian, MK tidak menutup mata atas tudingan-tudingan miring yang

dialamatkan kepadanya. Sebut saja, tudingan bahwa MK tidak independen, atau isu

berkeliarannya makelar kasus tukang jual-beli perkara. Sajauh ini, MK selalu berhasil

membuktikan bahwa isu-isu tersebut tidak benar adanya. MK harus diapresiasi karena

amat jarang dan langka, suatu lembaga negara begitu responsif mengambil tindakan atas

sinyalemen yang ditujukan kepadanya. Pada berbagai pengalaman sebelumnya, banyak

lembaga negara justru membela diri dan melaporkan dugaan pencemaran. Respons yang

dilakukan MK sangat tegas ketika MK mengalami suatu permasalahan mereka langsung

membentuk Tim Investigasi untuk mengklarifikasi tuduhan dan bahkan menunjuk pihak

yang membuat “tudingan” sebagai pemimpin Tim Investigasi. Tidak hanya itu, MK juga

memberi keleluasaan bagi Ketua Tim untuk merekrut sebagian anggota Tim dan MK

sendiri mengajukan anggota lainnya.

Dan pada saat ini tertangkap ketua MK Akil Muchtar mencoreng dan

menjatuhkan nama baik MK yang saat ini menjadi tumpuan keadilan bagi masyarkat

1

Page 2: teori hkm s2

Indonesia. Akhirnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan suatu

kebijakan untuk menyelamatkan MK yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi

(MK), akan tetapi pengeluaran Perpu ini mendapat banyak penolakan oleh berbagai

pihak. Perppu tersebut dinilai inkonstitusional. Ketua Fraksi Partai Hanura Sarifuddin

Sudding menandaskan, substansi di dalam perppu terkait keterlibatan Komisi Yudisial

(KY) dalam pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) tidak

memiliki landasan hukum Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 ataupun undang-undang

di bawahnya. Pasalnya, hasil uji materi (judicial review) UU No 22 Tahun 2004 tentang

Komisi Yudisial (KY) telah menegaskan bahwa kewenangan pengawasan KY tidak

mencakup MK. ”Sehingga tidak ada lagi peran KY dalam pengawasan hakim. Ketika

masih masuk dalam perppu, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Sesuatu yang

dibatalkan MK itu final dan mengikat. Keberadaan perppu itu inkonstitusional

Dalam perppu tersebut disebutkan calon hakim konstitusi yang diajukan oleh

Mahkamah Agung (MA), DPR, dan Presiden akan terlebih dahulu dilakukan proses uji

kelayakan dan kepatutan oleh para ahli yang dibentuk oleh KY. Para ahli itu nantinya

akan diisi tujuh orang yang terdiri atas 1 orang diusulkan MA, 1 orang diusulkan DPR, 1

orang diusulkan pemerintah, dan 4 orang dipilih oleh KY berdasarkan usulan masyarakat

yang terdiri atas mantan hakim MK, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum

maupun praktisi hukum.

Presiden mengambil alih kewenangan MA dan DPR bahwa sudah diatur ada tiga

jalur pengajuan hakim MK, yang masing-masing sudah ada proses yang diatur. Ketika itu

diambil alih dengan bentuk panel, itu melanggar UUD, dua minggu waktu yang

2

Page 3: teori hkm s2

dibutuhkan dan tidak adanya substansi yang baru dinilai tidak memenuhi prasyarat

dikeluarkannya perppu yakni adanya kegentingan memaksa. Untuk menyelamatkan

demokrasi dan hukum di Indonesia serta mengembalikan kepercayaan masyarakat pada

MK, perlu perubahan kedua UU MK. Poin ini justru mendelegitimasi keberadaan MK

secara institusi. Karena menggeneralisasi hakim-hakim di MK serta tidak lagi merujuk

pada kasus Akil (mantan Ketua MK Akil Mochtar).

Selain persyaratan menjadi calon hakim MK yang perlu diperbaiki, dasar

pemikiran komposisi hakim MK yang terdiri atas unsur Presiden, DPR, dan MA perlu

dikaji kembali. Selain itu, penerbitan perppu ini juga tidak ada urgensinya lagi.

penerbitan perppu dilakukan jika negara berada dalam kegentingan yang memaksa

tindakan darurat. ”Hal itu tak terpenuhi,” Pasalnya secara kelembagaan, setelah lebih

kurang dua minggu sejak Akil Mochtar ditangkap KPK, hakim MK masih beroperasi

normal dan masih memenuhi kuorum untuk menentukan putusan perkara. ”Berbagai

tindakan yang dilakukan KPK, BNN, maupun PPATK sudah mulai membuat masyarakat

sedikit percaya pada institusi MK”. Namun terkait poin di dalam perppu yang

menyebutkan syarat hakim MK tidak boleh anggota parpol selama tujuh tahun

sebelumnya, cukup mewakili harapan masyarakat.

Pengawasan KY terhadap hakim MK belum tentu menjamin efektivitasnya,

karena KY masih disibukkan untuk mengawasi hakim MA, dan bisa jadi menimbulkan

”conflict of interest”. Sekarang ada langkah untuk memperkuat Majelis Kehormatan MK,

itu adalah salah satu solusi yang tepat. Pengamat hukum tata negara, Margarito mengakui

perppu MK memang bertentangan dengan konstitusi. Substansi yang jelas-jelas

melanggar adalah keterlibatan KY baik dalam rekrutmen hakim konstitusi maupun dalam

3

Page 4: teori hkm s2

pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Dia mengatakan, dalam putusan

MK No 5 Tahun 2006 telah dikatakan MK bukan objek pengawasan KY.putusan ini

bersandar pada 24B dan 24 C UUD 1945. ”Sampai saat ini kan pasal itu belum diubah,

lalu bagaimana mendapatkan landasan hukum yang membenarkan KY ikut lagi dalam

pengawasan hakim konstitusi,” katanya. Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra

menerangkan, nasib perppu MK ini bergantung dengan sikap para legislator di DPR.

Untuk itu, DPR harus bergerak cepat dalam memutuskan perppu ini. ”Kalau DPR

menolaknya maka perppu tersebut harus dicabut. Presiden harus ajukan RUU baru untuk

mengubah UU MK ke DPR untuk dibahas.

Pakar hukum tata negara UI Irman Putra Sidin mengungkapkan DPR harus segera

menyikapi lahirnya Perppu MK ini. Dalam penilaiannya, perppu ini seperti ancaman

utama bagi kekuasaan demokrasi, sehingga DPR diharapkan bisa menyelamatkan otoritas

demokrasi. ”Kalau perppu menjadi murah harganya, orang tidak butuh demokrasi lagi.

Karena Presiden kita bisa minta untuk mengeluarkan aturan yang berlaku.

Pada saat Presiden SBY berpandangan mengeluarkan Perpu it cukup alasan

konstitusional untuk menerbitkan Perppu agar membantu MK kembali mendapatkan

kepercayaan publik. Alasannya, sangat berbahaya jika MK yang punya kewenangan

menjaga konstitusi bernegara, mengawal demokrasi dan menegakkan pilar negara

hukum, tidak mendapatkan kepercayaan. ”Apalagi, tahun depan kita menyelenggarakan

pesta demokrasi Pemilu 2014, yang sangat strategis bagi keberlanjutan kehidupan

berdemokrasi di Tanah Air. Dalam perhelatan Pemilu 2014 tersebut, peran MK yang

dipercaya sangat penting, utamanya untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu.

4

Page 5: teori hkm s2

PEMBAHASAN

Dalam permasalah seperti ini akhirnya, penulis mencoba mengkolaborasi

bagaimana mengembalikan martabat Mahkamah Konstitusi dengan menggunakan teori

Roscoe Pound ?

Roscoe Pound dalam sebuah pernyataannya menyatakan bahwa fungsi hukum

adalah social engineering atau rekayasa sosial. Dalam pemikirannya ia menyatakan

bahwa putusan hukum yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan mampu merubah perilaku

manusia. Pendapat Roscoe Pound tersebut benar ketika ia memandang hukum sebagai

sebuah putusan-putusan hakim dalam sistem hukum anglo saxon atau common law.

Pernyataan Roscoe Pound tersebut pada awal orde baru dibawa ke Indonesia oleh

pakar-pakar hukum saat itu dengan pemikiran bahwa hukum merupakan alat rekayasa

sosial. Dalam sistem hukum sipil (civil law system) yang diterapkan di Indonesia, yang

menganut model hukum Eropa, hukum adalah sebuah aturan Undang-undang yang

notabene merupakan produk kekuasaan penguasa. Dalam konteks ini, maka hukum

diterapkan oleh penguasa yang memiliki kewenangan membentuk hukum, dan demi

hukum siapapun harus tunduk terhadap aturan hukum tersebut.

Pada kondisi yang demikian maka hukum menjadi alat pengendali penguasa

terhadap rakyatnya. Hukum menjadi alat legitimasi penguasa untuk berbuat terhadap

rakyatnya. Ketika kekuasaan  berada di tangan orang-orang yang zalim maka hukum

akan begitu ditakuti. Penguasa yang zalim akan menggunakan hukum untuk berbuat

sesuai dengan kehendaknya nyaris tanpa kendali, hal ini terjadi di banyak negara

berkembang yang mengadopsi teori Roscoe Pound tersebut. Ketika fenomena Reformasi

menyeruak di Indonesia, maka teori ini dijadikan sebagai salah satu kesalahan besar

5

Page 6: teori hkm s2

bidang hukum yang telah melahirkan penguasa yang out of control. Pertanyaan sederhana

adalah apakah Roscoe Pound begitu gegabah mengeluarkan teori yang melahirkan

penguasa yang sangat otoriter? Dalam hal ini rupanya telah terjadi kesalahpahaman atas

konsep berfikir Roscoe Pound tersebut. Teori Roscoe Pound yang sangat fenomenal

tersebut lahir dari sebuah sistem yang berbeda dengan sistem yang kita anut. Ia lahir dari

sebuah sistem hukum common law yang menganggap bahwa hukum adalah putusan yang

dijatuhkan oleh hakim (Hukumnya Hakim). Roscoe Pound lahir dalam dunia hukum yang

menganggap bahwa hukum itu dibentuk oleh kekuasaan hakim, bukan penguasa

eksekutif.

Hukum dalam sistem common law, dibentuk oleh hakim, para pihak yang

mengajukan masalah kepada pengadilan memohon keadilan agar diputuskan mana yang

benar dan adil oleh para hakim. Hakim kemudian akan memeriksa kasus tersebut dan

kemudian akan memutuskan apa yang seharusnya dipatuhi oleh para pihak. Hakim

membentuk hukum berdasarkan putusan hakim yang diharapkan akan merubah perilaku

para pihak yang awalnya tidak mengetahui yang benar menurut hukum, dan kemudian

akan bertindak serta berperilaku menurut hukum. Sehingga hukum mendidik ia untuk

paham akan hukum.

Secara langsung dapat dikatakan bahwa putusan pengadilan tersebut (law)

diharapkan telah mampu merekayasa atau merubah perilaku (engineering) masyarakat.

Dalam hal ini tidak ada unsur power penguasa untuk menekan kehendaknya terhadap

rakyat, melainkan hakim yang faham hukum mendidik masyarakat bagaimana

berperilaku yang sepatutnya. Hakim mendidik para pihak untuk berperilaku yang

awalnya diluar hukum menjadi manusia yang sadar hukum di tengah masyarakat. Konsep

6

Page 7: teori hkm s2

pemikiran Roscoe Pound ini menjadi salah kaprah ketika dimasukkan dalam siistem

hukum yang berbeda yaitu sistem civil law yang memandang hukum yang utama adalah

putusan penguasa dan bukan putusan hakim dalam sidang pengadilan! Ketika diterapkan

dalam sistem yang berbeda ternyata menghasilkan makna yang sangat berbeda dari

makna penerapan hukum yang dimaksud oleh Roscoe Pound. Roscoe Pound tentunya

tidak pernah membayangkan bahwa teorinya akan melahirkan penguasa yang absolut,

karena ia hanya berfikir bahwa hukum itu hakim bukan penguasa.

Hukum dalam pengertian Pound dimaknai sebagai sarana untuk melakukan

pembaruan di masyarakat. Tool tidak diterjemahkan menjadi ’’alat’’, tetapi ’’sarana’’.

Sebab, hukum berkaidah dengan konteks kemasyarakatan: faktor-faktor kepercayaan,

keyakinan, dan budayanya. Mazhab ini berkembang di Amerika Serikat sebagai reaksi

atas mazhab positivisme hukum yang diprakarsai John Austin (1790-1859) dan Hans

Kelsen (1881-1973) pada abad ke-19. Hukum sebagai sarana rekayasa sosial (law as a

tool of social engineering) kali pertama dikemukakan Roscoe Pound (1870-1964),

pemikir yang jadi pentolan mazhab hukum anthro-sociological jurisprudence.

Penerjemahan tool sebagai alat memiliki konotasi mekanistik kaku, yang mengabaikan

aspek-aspek kemasyarakatan. Pandangan Pound tersebut agaknya bertolak dari

pendekatan instrumentalisme hukum yang selalu berkutat pada proposisi.

Pertama, hukum memuat sumber doktrinal yang berupa nilai dan asas-asas di

mana memberikan isi dan bentuk pada perkembangan hukum. Kedua, hukum selalu

bersifat dinamis, tidak statis, dan secara alamiah selalu dalam keadaan berkembang.

Ketiga, hukum senantiasa berkembang secara teratur dalam suatu sistem untuk

7

Page 8: teori hkm s2

menghadapi tuntutan kemanusiaan. Keempat, tugas hukum untuk memelihara dan

menjaga agar proses perkembangan hukum dapat teratur dan bekerja secara bebas.

Di Indonesia, gagasan Pound diadopsi secara genius oleh Mochtar

Kusumaatmadja. Guru besar hukum internasional dari Universitas Padjadjaran itu

mengemukakan satu teori yang juga berangkat dari gagasan bahwa hukum mesti

difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial, yang disebutnya Teori Hukum Pembangunan.

Tulisan berikut berupaya menjelaskan dan mnjabarkan teori hukum pembangunan

Mochtar Kusumaatmadja dan relevansinya di masa kini.

Teori Hukum Pembangunan kali pertama diwacanakan kala Mochtar

Kusumaatmadja menjadi pembicara dalam seminar hukum nasional pada 1973. Padahal,

teori itu jauh-jauh hari sudah dimasukkan dalam materi hukum dalam Pelita I (1970-

1975) ketika ia menjabat menteri kehakiman. Ada dua ide utama dalam teori tersebut.

Yakni soal pendidikan hukum dan perubahan-perubahan di masyarakat. Dalam teorinya,

Mochtar Kusumaatmadja menggugat sistem pendidikan hukum nasional yang merupakan

tinggalan dari pendidikan hukum Belanda. Pendidikan hukum nasional hanya mendidik

mahasiswa menjadi tukang (craftsmanship), tetapi tidak mampu menganalisis perubahan-

perubahan di masyarakat dan menemukan solusi atas masalah penerapan hukum di

masyarakat.

Untuk mencapai kemampuan analisis tersebut, diperlukan metode pengajaran ke

metode Socrates yang telah berhasil diterapkan dalam sistem hukum berbasis common

law. Mochtar menghendaki lulusan hukum, selain memiliki keahlian (legal skilled), perlu

diikuti pula dengan etika dan tanggung jawab profesi. Mochtar menganjurkan agar setiap

lulusan hukum tidak hanya menguasai ilmu hukum saja, melainkan juga ilmu-ilmu sosial

8

Page 9: teori hkm s2

yang non-hukum seperti ekonomi, politik, dan sosiologi. Pendapat ini sebenarnya telah

lama dikemukakan oleh Pound, Eugen Ehrlich, Richard A. Posner, Robert Cooter, dan

Thomas Ulen.

Teori hukum pembangunan kemudian mengemukakan premis bahwa perubahan,

sebagai konsekuensi dari suatu masyarakat yang tengah membangun, mesti dilakukan

secara teratur. Perubahan yang teratur, menurut Mochtar, dapat dibantu oleh peraturan

perundang-undangan, keputusan pengadilan, atau kombinasi keduanya. Perubahan yang

tidak teratur melalui kekerasan, dengan demikian, harus ditolak. Fungsi hukum adalah

mempertahankan ketertiban dan keteraturan dan tujuan dari masyarakat yang sedang

membangun melalui kepastian hukum. Hukum harus dapat membantu, syukur-syukur

mempercepat, proses perubahan dalam masyarakat. Hukum yang baik mesti sesuai

dengan hukum yang hidup (the living law) di masyarakat. Implementasi fungsi hukum

tersebut hanya dapat diwujudkan oleh suatu kekuasaan yang bekerja dalam rambu-rambu

yang ditentukan hukum.

Romli Atmasasmita menyebutkan beberapa hambatan Teori Hukum

Pembangunan dalam praktik pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pertama,

kebiasaan kurang terpuji selama 50 tahun Indonesia merdeka, yakni bahwa pembuat

kebijakan sering memanfaatkan celah untuk menggunakan hukum sebagai alat dengan

tujuan mendahulukan kepentingan kekuasaan ketimbang kepentingan rakyat. Misalnya,

perampasan hak masyarakat adat atas tanah dengan dalih pembangunan gedung

pemerintah dan jalan raya tanpa kompensasi yang proporsional. Kedua, sukarnya

menentukan tujuan pembaruan hukum. Ketiga, sedikitnya data empiris yang dapat

digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif. Keempat, sukarnya

9

Page 10: teori hkm s2

mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur berhasil atau tidaknya usaha

pembaruan hukum, Kelima, para ahli hukum Indonesia menderita kebingungan soal

corak hukum yang dipandang cocok untuk dianut dan dipraktikkan dalam kehidupan

masyarakat di era globalisasi seperti saat ini. Oleh karena itu, Romli Atmasasmita

mengajukan evaluasi mendasar yang disebutnya reorientasi pembangunan hukum

nasional. Reorientasi ini meliputi, reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan

lokal (hukum adat) ke dalam sistem hukum nasional dan penataan ulang kelembagaan

aparatur hukum yang masih mengedepankan egoisme sektoral. Selain itu, masalah

pemberdayaan masyarakat secara khusus yang menitikberatkan pada partisipasi publik

terhadap kinerja birokrasi. Kemudian, masalah pemberdayaan birokrasi (bureaucratic

engineering) dalam konteks fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan.

Pemberdayaan birokrasi, menurut Romli, diharapkan dapat mengisi kelemahan Teori

Hukum Pembangunan. Selain itu, pemberdayaan birokrasi juga merupakan komponen

penting dari sistem hukum, di samping substansi, struktur, dan budaya hukum menurut

Lawrence M. Friedman.

Rekaya sosial (Social engineering) adalah campur tangan gerakan ilmiah dari visi

ideal tertentu yang ditujukan untuk mempengaruhi perubahan sosial. Rekaya sosial

merupakan sebuah jalan mencapai sebuah perubahan sosial secara terencana. Gerakan

ilmiah yang dimaksudkan disini adalah sebuah gagasan atas perubahan tingkat/taraf

kehidupan masyarakat demi tercapainya kesejahteraan dan kemandirian. Masyarakat

pada umumnya menginginkan adanya perubahan sosial kearah yang lebih baik sehingga

perubahan sosial harus dapat dilakukan secara berkesinambungan dan terencana

10

Page 11: teori hkm s2

Menurut Dr Jalaludin Rakhmat rekayasa sosial terjadi karena terdapat beberapa

kesalahan pemikiran manusia dalam memperlakukan masalah sosial yang disebut para

ilmuwan dengan sebutan intellectual cul-de-sac yang menggambarkan kebuntuan

berpikir.Salah satu bentuk kesalahan pemikiran lainnya adalah permasalahan sosial yang

kerap dikait-kaitkan dengan mitos ataupun kepercayaan manusia akan suatu gerakan

abtrak ‘ilusi’ yang tanpa disadari dapat merubah tatanan kehidupan bermasyaratnya.

Untuk itu perlu diadakannya rekayasa sosial agar kesalahan-kesalahan berpikir seperti ini

dapat diatasi sehingga masyarakat dapat melihat permaslahan yang dihadapinya sebagai

sesuatu yang konkrit. Rekayasa sosial timbul akibat adanya sentimen atas kondisi

manusia.Untuk itu perlu adanya perombakan yang dimulai dari cara pandang/paradigma

manusia atas sebuah perubahan.

Di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat beberapa pola atau cara penyelesaian

konflik yang berujung pada terciptanya konflik yang lain, entah itu konflik psikologial,

emosional maupun kontak fisik antar sesama individu ataupun kelompok masyarakat. Hal

inilah yang menjadi objek kajian dari rekayasa sosial ini dimana campur tangan sebuah

gerakan ilmiah lebih dimaksudkan untuk menggeser cara pandang masyarakat kearah

yang ‘benar’ demi tercapainya tujuan tertentu.

Masyarakat pada umumnya mempercayai sesuatu apabila mayoritas persepsi yang

berkembangkan merujuk pada pembenaran hal tersebut sehingga kelompok masyarakat

intelektual sering kali terlibat dalam perang cara pandang maupun gagasan yang terkesan

‘ego’ demi sebuah pengakuan atas cara berpikir dari masing-masing pihak.

Disinilah peran rekayasa sosial dalam merubah gaya bermasyarakat seperti ini.

Adanya gagasan atas perubahan sosial kearah yang lebih baik dengan cara yang benar

11

Page 12: teori hkm s2

dan lebih realistis dapat mendorong keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam

misi atas perubahan sosial tersebut. Pada dasarnya pola-pola kontrol sosial tidak

dimaksudkan untuk mengendalikan masyarakat tetapi lebih kepada cara untuk membuka

ruang bagi masyarakat untuk beraktualisasi sehingga dapat terlihat jelas peran dari

masyarakat tersebut dalam proses perubahan sosial.

Lawrence M. Friedman seorang adalah yang pertama mengemukakan fungsi

hukum sebagai rekayasa sosial yang kemudian dijadikan dasar atas kontrol sosial di

dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan yang dimaksudkan disini adalah efek dari

perubahan sosial yang dihasilkan dari rekayasa sosial itu sendiri. Hukum merupakan alat

utama dari hasil rekayasa sosial yang kemudian dijadikan dasar terbentuknya suatu

masyarakat yang sejahtera karena aturan-aturan yang diterapkan ditujukan untuk

terciptanya sebuah keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat.

Politik dan Rekayasa sosial adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan meskipun

pada dasarnya keduanya hampir tidak berbeda satu sama lainnya karena keduanya

bertujuan mengorganisir masyarakat untuk tujuan tertentu , hanya saja rekayasa sosial

punya ruang lingkup yang lebih luas serta tidak terbatas pada permasalahan kekuasan

semata.Dalam dinamika politik, rekayasa sosial kerap digunakan untuk mendapatkan

dukungan dari masyarakat. Politik mampu memicu adanya perubahan sosial apabila

masyarakat ikut berpartisipasi sebagai eksekutor dari perubahan itu tetapi tidak hanya

pemerintah, masyarakat pada pada umumnya mempunyai pola yang berbeda satu dengan

yang lainnya dalam menginpresentasekan jalan kepada perubahan sosial ini. sehingga

keseragaman pemikiran akan hal ini perlu dilakukan agar perubahan sosial ini dapat lebih

mudah direalisasikan.

12

Page 13: teori hkm s2

Dalam dinamika politik, William Dahl menganggap bahwa pemahaman terhadap

perubahan sosial dapat lebih mudah apabila membagi masyarakat menjadi dua kelompok,

yaitu masyarakat yang satu sebagai pihak konservatif dan lainnya sebagai pihak yang

radikal. Perbedaan pandangan dapat dilihat dari konfrontasi dua kubu ini sehingga

permasalahan paling substansif dari konflik inilah yang kemudian dijadikan referensi atas

perubahan sosial tersebut.

Dahl mengambil beberapa contoh negara yang pemimpinnya menggunakan

strategi ‘battle ideology’ atau perang ideologi lewat jalur konsolidasi “bawah tanah”

untuk menciptakan konflik , cara seperti ini digunakan oleh beberapa pesohor seperti

Khomeini ketika Revolusi Iran, dan Fidel Castro serta Che Guevara pada Revolusi Kuba.

Menurut Dahl perencanaan konflik melalui doktrin progresif kepada masyarakat

merupakan suatu syarat utama terciptanya perubahan sosial secara cepat , konflik harus

ada tetapi jalan keluarnya juga telah dipersiapkan dan itulah titik utama dari sasaran

perubahan sosial.Doktrinasi yang dilakukan bukan semata-mata timbul akibat

kesenjangan antara pemimpin dan masyarakat tetapi tuntutan atas perubahan sistem yang

tidak stabil dan tidak mampu meng-integrasi-kan masyarakat sehingga hasil dari konflik

ini tidak hanya berujung pada perubahan sistem politik (Reformasi) tetapi juga perubahan

yang lebih luas dan dalam (Revolusi). Hal serupa pada dasarnya pernah terjadi juga saat

Nazi melakukan upaya pembinasaan kaum yahudi pada perang dunia II.Tetapi pada

dasarnya tujuan Nazi bukan semata-mata melenyapkan kaum yahudi dari Jerman tetapi

semua penentang Nazi meskipun polemik yang kemudian berkembang adalah upaya

genocide yang dilakukan Nazi , hal inilah yang kemudian menjadi subjek dari rekayasa

13

Page 14: teori hkm s2

sosial dimana hasil dari hal itu adalah peperangan yang pada sadarnya sebagai jalan

kebebasan berpolitik bagi seluruh kaum semit di dunia.

Rekaya sosial merupakan alat yang mampu mengintegrasikan masyarakat, hal ini

dikarenakan adanya tujuan yaitu perubahan ataupun mengendalikan stagnasi akibat

keadaan yang telah memenui syarat sebagai masyarakat yang sejahtera. Sebagaimana kita

tahu dalam sejarah indonesia bahwa kemerdekaan diraih atas keinginan melepaskan diri

dari penjajahan, keinginan yang timbul disebabkan oleh keadaan yang sama dan perasaan

sepenanggunan pun timbul karena hal tersebut.

Berbicara tentang fungsi hukum, maka yang menjadi pokok kajian adalah

sejauhmana hukum dapat memberikan peranan  yang  positif dalam masyarakat, baik

dalam arti terhadap  setiap individu, maupun dalam arti masyarakat secara keseluruhan.

Hukum sebagai kaidah, atau hukum sebagai teori.

Dalam hubungan ini, banyak ahli yang telah mengemukakan pendapatnya, seperti

Lawrence M. Friedman yang dikutip oleh Soleman B. Taneko (1992: 37) yang

menyatakan bahwa “Fungsi Hukum itu meliputi :

1. Pengawasan/Pengendalian Sosial (Social Control).

2. Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement).

3. Rekayasa  Sosial (Social Engineering, Redistributive, atau Innovation)”.

Disini nampak bahwa menurut ahli tersebut di atas, pada dasarnya hukum mempunyai

tiga fungsi yang  harus diperankan dalam suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, juga

oleh Soerjono Soekanto (1992) mengemukakan fungsi hukum yang terdiri dari :

1. Untuk memberikan pedoman kepada warga masyarakat

14

Page 15: teori hkm s2

Bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap  dalam menghadapi masalah-

masalah dalam masyarakat yang terutama menyengkut kebutuhan-kebutuhan pokok.

Untuk menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan.

2. Memberikan pegangan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk mengadakan

pengendalian sosial (Social Control).

Jika kita menelaah kedua pendapat yang dikemukakan di atas mengenai fungsi hukum,

maka pada dasarnya kedua pendapat tersebut adalah sama, kendatipun dalam formulasi

yang berbeda.Secara kuantitatif fungsi hukum yang terdiri tiga seperti tersebut di atas,

oleh Soleman B. Taneko (1992), justru mengemukakan bahwa fungsi hukum mencakup

lebih dari tiga jenis seperti ungkapannya yang menyatakan bahwa “Adapun fungsi hukum

yang dimaksudkan ialah antara lain meliputi:

1. Memberikan pedoman/pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku.

2. Pengawasan/Pengendalian Sosial (Social Control).

3. Penyelesaian sengketa (Dispute Settlement).

4. Rekayasa Sosial (Social Engineering).

Kendatipun dalam pendapat yang terakhir menyebutkan empat fungsi hukum,

namun fungsi hukum yang disebutkan terakhir, yaitu sebagai rekayasa sosial, pada

dasarnya tercakup atau inklusif pada fungsi hukum lainnya. Dikatakan demikian, karena

fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarahan masyarakat, akan berdampak pula

sebagai upaya untuk melakukan perubahan dalam masyarakat, sebagaimana makna

fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial.Dengan demikian, kiranya dapat dimaklumi,

bahwa hukum di tengah-tengah masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting,

15

Page 16: teori hkm s2

terutama dilihat dari segi fungsi yang diembannya, dan diarahkan kepada terciptanya

suatu kondisi yang sangat diperlukan oleh masyarakat dalam pergaulan hidupnya.

Dalam uraian terdahulu, telah dikemukakan beberapa pendapat ahli yang

menjelaskan tentang jenis fungsi hukum di dalam masyarakat. Salah satu fungsi hukum

yang akan dibahas secara singkat disini adalah fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial.

Walaupun tidak semua ahli yang dikemukakan pendapatnya secara langsung menyebut

alat rekayasa sosial sebagai salah satu fungsi hukum, namun dapat dimaklumi, jika fungsi

ini juga tercakup dalam rumusan yang dikemukakan para ahli dimaksud.Untuk lebih

meyakinkan akan adanya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial ini,  perlu

diketengahkan pendapat Rusli Effendi (1991: 81), yang menegaskan bahwa “Suatu

masyarakat di manapun di dunia ini, tidak ada yang statis. Masyarakat manapun

senantiasa mengalami perubahan, hanya saja ada masyarakat yang perubahannya pesat

dan ada pula yang lamban. Di dalam menyesuaikan diri dengan perubahan itulah, fungsi

hukum sebagai a tool of engineering, sebagai perekayasa sosial, sebagai alat untuk

merubah masyarakat ke suatu tujuan yang diinginkan bersama, sangat berarti”. Penegasan

Rusli Effendy tersebut di atas, menunjukkan bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial

sangat diperlukan dalam proses perubahan masyarakat yang di manapun senantiasa

terjadi, apalagi dalam kondisi kemajuan yang menuntut perlunya perubahan-perubahan

yang relatif cepat.

Fungsi Hukum sebagai alat rekayasa sosial ini, juga sering disebut sebagai a tool

of engineering yang pada prinsipnya merupakan fungsi hukum yang dapat diarahkan

untuk merubah pola-pola tertentu dalam suatu masyarakat, baik dalam arti mengokohkan

suatu kebiasaan menjadi sesuatu yang lebih diyakini dan lebih ditaati, maupun dalam

16

Page 17: teori hkm s2

bentuk perubahan lainnya. Perubahan lainnya dimaksud, antara lain menghilangkan suatu

kebiasaan yang memang sudah dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat,

maupun dalam membentuk kebiasaan baru yang dianggap lebih sesuai, atau dapat

mengarahkan masyarakat ke arah tertentu yang dianggap lebih baik dari sebelumnya.

Dalam kaitan ini, dapat dimaklumi bahwa ditinjau dari segi eksistensi perubahan

yang merupakan sesuatu yang harus terjadi, maka fungsi hukum menjadi semakin penting

dan menentukan, terutama lagi dalam era reformasi yang digulirkan dewasa ini, atau era

pembangunan yang berkesinambungan. Fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial yang

semakin penting dalam era pembangunan tersebut, ditegaskan oleh Muchtar

Kusumaatmadja seperti yang dikutip oleh Soleman B. Taneko mengemukakan bahwa “Di

Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembangunan

masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam

pembangunan merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat diperlukan. Di

samping itu, hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah-arah

kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan tersebut. Sudah

tentu bahwa fungsi hukum di atas seyogianya dilakukan, di samping fungsi hukum

sebagai sistem pengendalian sosial”.Ini berarti bahwa disamping fungsi hukum sebagai

alat pengendalian sosial, juga salah satu fungsi lainnya yang sangat penting dan bahkan

justru harus dilaksanakan dalam era pembangunan, adalah fungsinya sebagai alat

rekayasa sosial. Tentu saja sebagai alat rekayasa harus diarahkan kepada hal-hal yang

positif dan bukan sebaliknya.

Walaupun sejumlah ahli memberikan pandangan positif terhadap fungsi hukum

sebagai sarana rekayasa sosial ini, namun fungsi tersebut tidak luput dari kritikan atau

17

Page 18: teori hkm s2

kelemahannya. Terhadap tanggapan dimaksud, seperti dikemukakan oleh Daniel S. Lev

yang dikutip oleh Achmad Ali (1996: 104), dengan menyatakan bahwa “membicarakan

hukum sebagai rekayasa sosial itu berarti memberikan kekuasaan yang amat penuh

kepada pemerintah. Kita selalu menggunakan istilah itu sebagai sesuatu yang netral,

padahal dipakainya istilah itu sebenarnya tidak netral. Istilah itu dapat dipakai untuk

tujuan yang baik dan dapat juga  dipakai  untuk  tujuan yang buruk. Istilah itu sendiri

mempunyai dua arti, pertama sebagai suatu prosedur, suatu cara untuk mengubah

masyarakat, dan yang kedua yang teramat penting adalah secara materiil, yaitu

masyarakat apa yang dikehendaki. Itu tidak mudah, kita harus bertanya macam

masyarakat apa yang dikehendaki oleh pemerintah dan oleh warga masyarakat.

Pandangan yang dikemukakan terakhir di atas, menunjukkan bahwa fungsi hukum

sebagai alat rekayasa sosial mempunyai arti yang tidak selalu positif, dan bahkan dapat

diartikan negatif, terutama karena ketidakjelasan arah yang akan dituju oleh hukum

dalam merekayasa masyarakat yang bersangkutan. Dampak negatif dari penggunaan

hukum sebagai rekayasa sosial adalah yang hanya membawa keuntungan bagi sebagian

kecil warga masyarakat, justru merugikan sebagian besar warga masyarakat lainnya.

Dengan pandangan tersebut, maka dapat dikatakan, bahwa fungsi hukum sebagai

sarana atau alat rekayasa sosial dalam aplikasinya perlu dilakukan secara ekstra hati-hati,

sehingga sejauh mungkin tidak membawa dampak negatif sebagaimana yang

dikhawatirkan, dan bahkan jika perlu dalam pelaksanaannya benar-benar tidak akan

melahirkan dampak seperti tersebut. Belajar pada pengalaman dan dari sejumlah contoh

yang dianggap negatif kaitannya dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial ini,

18

Page 19: teori hkm s2

maka memang masih ada upaya yang dilakukan agar implikasi fungsi hukum tersebut

tidak terarah kepada hal-hal yang negatif.

Dalam bukunya, Achmad Ali mengemukakan pandangan Daniel S. Lev yang

pada dasarnya memberikan sejumlah pertimbangan, jika akan melaksanakan fungsi

hukum sebagai alat rekayasa sosial. Dengan kata lain, agar rekayasa sosial tidak

mengarah kepada sesuatu yang dinilai  negatif, perlu dilakukan langkah-langkah tertentu

seperti yang dikemukakan dalam tulisan dimaksud. Namun yang paling penting dalam

kaitan ini adalah perlunya semua pihak yang terkait dengan aplikasi hukum di tengah

masyarakat, benar-benar konsisten, baik dalam arti kejujuran, kesamaan pandangan,

kerjasama, dan berbagai prinsip efektivitas lainnya.

19

Page 20: teori hkm s2

KESIMPULAN

Mengenai dalam hal Peraturan Pemerintah (PerPu) yang di buat oleh Presiden kita

terkait masalah menyelamatkan kewibawaan Mahkamah Konstitusi yang saat ini

mengalami “ketidak percayaan” masyarakat kepada lembaga Negara ini, maka sudah

pantas dan sewajarnya presiden dangan sigap mengeluarkan PerPu tersebut dikarenakan

mengingat pasal Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:“Dalam hal

ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah

pengganti undang-undang.” Dan Penetapan PERPU yang dilakukan oleh Presiden ini

juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan

oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.” Dari bunyi kedua pasal di

atas dapat kita ketahui bahwa syarat presiden mengeluarkan PERPU adalah dalam hal

ihwal kegentingan yang memaksa dikatakan bahwa subyektivitas Presiden dalam

menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar diterbitkannya

PERPU, memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai

keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu

undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan

materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga 2 (dua) pasal ini

memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah

pengganti undang-undang (Perpu)” sebenarnya UU dan Perpu dalam hierarki peraturan

perundang-undangan memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya

dibentuk dalam keadaan yang berbeda. UU dibentuk oleh Presiden dalam keadaan normal

20

Page 21: teori hkm s2

dengan persetujuan DPR, sedangkan Perpu dibentuk oleh Presiden dalam keadaan

genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang kemudian membuat

kedudukan Perpu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR kadang-kadang dianggap

memiliki kedudukan di bawah undang-undang. Berdasarkan Putusan MK Nomor

138/PUU-VII/2009, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang

memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU, yaitu:

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum

secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan

hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-

Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama

sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

Selebihnya, akan dinilai DPR apakah kegentingan yang memaksa itu benar terjadi

atau akan terjadi. Persetujuan DPR ini hendaknya dimaknai memberikan atau tidak

memberikan persetujuan (menolak). Jadi, yang menafsirkan suatu kegentingan memaksa

itu adalah dari subyektivitas Presiden. Inilah yang menjadi syarat ditetapkannya sebuah

PERPU oleh Presiden.

Adapun dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan yang baik maka

diperlukan Asas-asas untuk menjadi suatu pedoman atau suatu rambu-rambu dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Dalam bidang hukum yang

menyangkut pembentukan peraturan perundang-undangan negara, Burkhardt Krems

21

Page 22: teori hkm s2

menyebutkannya dengan istilah Staatsliche Rechtssetzung, sehingga pembentukan

peraturan menyangkut:

1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung);

2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung);

3. Metoda pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der Regelung); dan

4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der Ausarbeitung der

Regelung).

Paul Scholten mengemukakan bahwa, sebuah asas hukum (rechtsbeginsel) bukanlah

sebuah aturan hukum (rechtsregel). Untuk dapat dikatakan sebagai suatu aturan hukum,

sebuah asas hukum adalah terlalu umum sehingga ia atau bukan apa-apa atau berbicara

terlalu banyak (of niets of veel te veel zeide). Penerapan asas hukum secara langsung

melalui jalan subsumsi atau pengelompokkan sebagai aturan tidaklah mungkin, karena itu

terlebih dahulu perlu dibentuk isi yang lebih kongkrit. Dengan perkataan lain, asas

hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak dapat dimengerti tanpa asas-asas tersebut.

Scholten mengemukakan lebih lanjut, adalah menjadi tugas ilmu pengetahuan hukum

untuk menelusuri dan mencari asas hukum itu dalam hukum positif.

Berikut ini Penulis akan mengemukakan asas-asas pembentukan peraturan perundang-

undangan menurut pendapat dari I.C. van der Vlies dan pendapat dari A. Hamid S.

Attamimi serta menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan:

1. Asas-asas pembentukan peraturan negara yang baik.

Menurut I.C. van der Vlies di dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en

beginselen van behoorlijke regelgeving”, asas-asas pembentukan peraturan negara

22

Page 23: teori hkm s2

yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) dibagi dalam asas-asas yang

formal dan material. Asas-asas yang formal meliputi:

a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);

b. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);

c. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);

d. Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);

e. Asas consensus (het beginsel van consensus).

Asas-asas yang material meliputi:

a. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke

terminologi en duidelijke systemetiek);

b. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);

c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);

d. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);

e. Asas pelaksanaan sesuai dengan kemampuan individu (het beginsel van de

individuele rechtsbedeling).

23

Page 24: teori hkm s2

DAFTAR PUSTAKA

1. Johnson Alvin S, 2004, Sosiologi Hukum, Pt Rineka Cipta, Jakarta.

2. Irianto Sulistyowati dkk, 2012, Kajian Sosiol-Legal, Pustaka Larasan, Denpasar.

3. Walter Friedmann. 1994, Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme Filosofis dan

Problema Keadilan (Susunan II), Pt RajaGrafindo Persada, Jakarta..

4. Hamdan Zoelva. Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia.

www.hamdanzoelva.wordpress.com. 2008.

5. Hamdan Zoelva. Pengaruh Sistem Politik dalam Pembentukan Hukum di Indonesia.

http://chaplien77.blogspot.com/2008/05/pengaruh-sistem-politikdalam.html. 2005.

24