Upload
indra-yani
View
1.248
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
TEORI KEJAHATAN DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI
OLEH:
Abdi Saputra
Dwi Hikmawati
Ferdi Saputra
Indrayani
Khoiriah Safitri
Yuyun Sriwahyuni
PRODI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAANJURUSAN ILMU SOSIAL POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
1. Biografi Émile Durkheim
David Émile Durkheim (15 April 1858 - 15 November 1917) dikenal sebagai salah satu
pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa
pada 1895, dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial,
L'Année Sociologique pada 1896.
Durkheim dilahirkan di Épinal Prancis, yang terletak di Lorraine. Ia berasal dari keluarga Yahudi
Prancis yang saleh, ayah dan kakeknya adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekular
malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan
berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun demikian, latar belakang Yahudinya
membentuk sosiologinya, banyak mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan
seringkali masih berhubungan darah dengannya.
Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia masuk ke École Normale Supérieure pada
1879. Angkatannya adalah salah satu yang paling cemerlang pada abad ke-19 dan banyak teman
sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam
kehidupan intelektual Prancis. Di ENS Durkheim belajar di bawah Fustel de Coulanges, seorang
pakar ilmu klasik, yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca karya-
karya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah
terhadap masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik pertama dari banyak konflik
lainnya dengan sistem akademik Prancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial pada saat
itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaan tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua
terakhir dalam angkatannya ketika ia menempuh ujian agrégation syarat untuk posisi mengajar
dalam pengajaran umum dalam ilmu filsafat pada 1882.
Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Prancis dalam
Perang Prancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang
sekular. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik dan sangat nasionalistik sebagai jalan
satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Prancis yang memudar di daratan Eropa.
Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu
situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat
sikapnya sebagai seorang aktivis.
Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan
akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama setahun di
Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru
yang pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di
Prancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Prancis dan memperkenalkan
studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi
moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik.
Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian Kerja
dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan
perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah
manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun
mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia
menerbitkan jurnal L'Année Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-
tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang
digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan
akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh
tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi.
Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh kedudukan terhormat di
Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne. Karena universitas-universitas Prancis secara teknis
adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi ini
memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar, kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh
mahasiswa. Apapun pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa Dreyfus, untuk mendapatkan
pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia
secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan
sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir “Bentuk-bentuk
Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.
Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri
Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis, ia mengusahakan bentuk kehidupan Prancis
yang sekular, rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak terhindari
yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya. Sementara
Durkheim giat mendukung negarainya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada
semangat nasionalis yang sederhana (ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia
sasaran yang wajar dari golongan kanan Prancis yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi,
generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib militer, dan banyak dari
mereka yang tewas ketika Prancis bertahan mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki
Durkheim sendiri tewas dalam perang. Sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh
Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga
akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan meninggal pada 1917.
2. Latar Belakang Teori Anomie
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan
integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan
dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan
masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama
terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang
pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan
mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan
keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh
bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian
bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme
metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta sosial", istilah yang
diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak
terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan
yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu
yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya
daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti
bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan
perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat
tradisional dan masyarakat modern. Para penulis sebelum dia seperti Herbert Spencer dan
Ferdinand Toennies berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme
hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang mirip
dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil
menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai kemajuan
sosial, evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia berpendapat bahwa masyarakat-
masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap
orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya.
Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup
kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks
menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan
dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya,
karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam
masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-
sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam
masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan
orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian,
dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit
ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang
berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi
dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas
mekanis hukum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku
menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang
dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan
kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat
restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas
normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja
menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak
pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial
yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie
muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam "Bunuh Diri", yang
diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di
antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih
tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut
Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok
mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal
tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah
menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak
terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara
tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi
masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang
normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah
mempengaruhi para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis
yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat 'primitif' (artinya,
non Barat) dalam buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama"
(1912) dan esainya "Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua
karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk
pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat
'mekanis' (meminjam ungkapan Durkheim
Ada empat jenis bunuh diri akibat dari tipe anomik ini, antara lain:
- Pertama, anomi ekonomis akut (acute economic anomie) yakni kemerosotan secara
sporadis pada kemampuan lembaga-lembaga tradisional (seperti agama dan sistem-
sistem sosial pra-industrial) untuk meregulasikan dan memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosial.
- Kedua, anomi ekonomis kronis (chronic economic anomie) adalah kemerosotan
regulasi moral yang berjalan dalam jangka waktu yang cukup lama. Misalnya saja
Revolusi Industri yang menggerogoti aturan-aturan sosial tradisional. Tujuan-tujuan
untuk meraih kekayaan dan milik pribadi ternyata tidak cukup untuk menyediakan
perasaan bahagia. Saat itu angka bunuh diri lebih tinggi terjadi pada orang yang kaya
daripada orang-orang yang miskin.
- Ketiga, anomi domestik akut (acute domestic anomie) yang dapat dipahami sebagai
perubahan yang sedemikian mendadak pada tingkatan mikrososial yang berakibat
pada ketidakmampuan untuk melakukan adaptasi. Misalnya saja keadaan menjadi
janda (widowhood) merupakan contoh terbaik dari kondisi anomi semacam ini.
- Keempat adalah anomi domestik kronis (chronic domestic anomie) dapat dilihat pada
kasus pernikahan sebagai institusi atau lembaga yang mengatur keseimbangan antara
sarana dan kebutuhan seksual dan perilaku di antara kaum lelaki dan perempuan.
Seringkali yang terjadi adalah lembaga perkawinan secara tradisional sedemikian
mengekang kehidupan kalangan perempuan sehingga membatasi peluang-peluang
dan tujuan-tujuan hidup mereka
3. Teori Kejahatan dari Perspektif Sosiologi
A. Anomie: Emile Durkheim
Satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan melihat pada bagian-
bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing-masing berhubungan
satu sama lain. Dengan kata lain, kita melihat kepada struktur dari suatu masyarakat guna
melihat bagaimana ia berfungsi. Jika msyarakat itu stabil, bagian-bagiannya beroperasi
secara lancar, susunan-susunan sosial berfungsi. Masyarakat seperti itu ditandai oleh
kepaduan. Namun jika bagian-bagian komponennya tertata dalam satu keadaan yang
membahayakan keteraturan/ketertiban sosial, susunan masyarakat itu disebut
dysfunctional (tidak berfungsi). Sebagai analogynya, jika kita melihat sebuah jam dengan
seluruh bagian-bagiannya sangat sinkron. Ia berfungsi dengan tepat. Ia menunjukkan
waktu dengan akurat. Namun jika satu pernya yang kecil itu rusak, keseluruhan
mekanisme tidak lagi berfungsi secara baik. Demikianlah perspektif structural
functionalist yang dikembangkan oleh Emile Durkheim sebelum akhir abad ke-19.
Menurutnya penjelasan tentang perbuatan manusia (dan terutama perbuatan salah
manusia) tidak terletak pada diri si individu, tetapi terletak pada kelompok dan organisasi
sosial. Dalam konteks inilah Durkheim memperkenalkan istilah anomie (hancurnya
keteraturan sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai).
Durkheim meyakini bahwa jika sebuah masyarakat sederhana berkembang menuju
satu masyarakat yang modern dan kota maka kedekatan (intimacy) yang dibutuhkan
untuk melanjutkan satu set norma-norma umum ( a comman set of rules) akan merosot.
Kelompok-kelompok menjadi terpisa, dan dalam ketiadaan satu set aturan-aturan umum,
tindakan-tindakan dan harapan-harapan orang di satu sektor mungkin bertentangan
dengan tindakan dan harapan orang lain. Dengan tidak dapat diprediksinya perilaku,
sistem tersebut secara bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu berada dalam kondisi
anomie.
Bunuh diri akibat anomi. Anomi atau normlessness adalah keadaan moral dimana
orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidupnya. Nilai-
nilai yang biasa memotivasi dan mengarahkan perilakunya sudah tidak berpengaruh.
Adapun penyebab yang sering dijumpai yaitu musibah dalam bentuk apapun. Kehadiran
musibah menghantam cita-cita, tujuan dan norma hidupnya sehingga ia mengalami
kekosongan hidup. Hidup terasa tidak berharga. Pada kontek inilah, di Indonesia kasus
bunuh diri meningkat tajam sehingga orang rela bunuh diri dengan membakar diri,
gantung diri, minum racun dan sebagainya. Banyak orang kehilangan cita-cita, tujuan dan
norma dalam hidupnya.
Tidak sulit untuk mengerti mengapa dalam keadaan kejatuhan ekonomi tiba-tiba
menyebabkan angka bunuh diri meningkat, tapi mengapa orang juga jatuh dalam
keputusasaan seperti itu. Menurut Durkhiem faktor-faktor yang sama telah bekerja dalam
kedua situasi itu. Bukanlah jumlah uang yang ada yang menyebabkan hal itu, melainkan
sudden change (perubahan mendadak). Orang yang tiba-tiba mendapatka kekayaan lebih
banyak dari yang mereka pernah impikan memiliki kecenderungan meyakini bahwa tiada
satupun yang mustahil.
Durkheim mempercayai bahwa hasrat-hasrat manusia adalah tak terbatas, satu
“insatiable and bottomless abyss” (jurang yang tak pernah puas dan tak berdasar). Karena
alam tidak mengatur batas-batas biologis yang ketat untuk kemampuan manusia
sebagaimana ia mengatur makhluk lain seperti binatang-binatangg, menurut Durkheim
kita telah mengembangkan aturan-aturan sosial yang meletakkan suatu takaran yang
realistis diatas aspirasi-aspirasi kita. Aturan-aturan ini menyatu dengan kesadaran
individu dan membbuatnya menjadi merasa terpenuhi. Akan tetapi, dengan satu ledakan
kemakmuran yang tiba-tiba, harapan-harapan orang menjadi berubah. Manakala aturan-
aturan lama tidak lagi menentukan bagaimana ganjaran/penghargaan didistribusikan
kepada anggota-anggota masyarakat itu, maka di sana sudah tidak ada lagi pengekang
atau pengendali atas apa yang orang inginkan. Sekali lagi sitem itu menjadi runtuh.
B. Strain Theory: Robert K. Merton
Seperti halnya Durkheim, Robert Merton mengaitkan masalah kejahatan dengan anomie.
Tetapi konsepsi Marton tentang Anomie agak berbeda dengan konsepsi anomie dari
Durkheim. Masalah sesunguhnya, menurut Marton, tidak diciptakan oleh sudden social
change (perubahan sosial yang cepat) tetapi oleh social structure (struktur sosial) yang
menawarkan tujuan-tujuan yang sama untuk semua anggotanya tanpa memberi sarana yang
merata untuk mencapainya. Kekurangpaduan antara apa yang diminta oleh budaya (yang
mendorong kesuksesan), dapat menyebabkan norma-norma runtuh karena tidak lagi efektif
untuk membimbing tingkah laku. Marton meminjam istilah “anomie” dari Durkheim guna
menjelaskan keruntuhan sistem norma ini.
Menurut marton, di dalam masyarakat yang berorientasi kelas, kesempatan untuk menjadi
yang teratas tidaklah dibagikan secara merata. Sangat sedikit angota kelas bawah
mencapainya. Teori anomie dari Marton menekankan pentingnya dua unsur penting di setiap
masyarakat, yaitu: cultural aspiration atau culture goals yang diyakini berharga untuk
diperjuangkan, dan institusionalised means atau accepted ways untuk mencapai tujuan itu.
Jika suatu masyarakat stabil, dua unsure ini akan terintegrasi, dengan kata lain sarana harus
ada bagi setiap individu guna mencapai tujuan-tujuan yang berharga bagi mereka.
Berdasarkan perspektif di atas, struktur sosial merupakan akar dari masalah kejahatan
(karena itu kadang-kadang pendekatan ini disebut a structural explanation). Strain teori ini
berasumsi bahwa orang itu taat hukum, tetapi dibawah tekanan besar mereka akan melakukan
kejahatan; disparitas antara tujuan dan sarana inilah yang memberikan tekanan tadi.
Teori Merton menjelaskan kejahatan di Amerika Serikat, yaitu dengan terjadinya disparitas
yang luas dalam hal pendapatan di antara kelas-kelas masyarakat yang berbeda. Statistik
dengan jelas menunjukkan bahwa disparitas itu memang benar-benar ada. Keluarga-keluarga
Amerika yang tergolong termiskin kelima menerima kurang dari 5 persen dari seluruh
pendapatan di tahun 1985, sementara yang tergolong tertinggi kelima menerima 3,5 persen
dari seluruh pendapatan hampir sepuluh kali lipat. Income Amerika serikat pada tahun 1985
menunjukkan bahw median(angka tengah)dari income penduduk kulit putih adalah $24,700
sementara untuk penduduk black (kulit hitam), hispanik dan lain-lain adalah $17,700. Meski
demikian perlu diingat bahwa bukan hanya kekayaan atau income saja yang menentukan
posisi penduduk pada suatu tangga/jenjang social. Atribut lainnya dari kelas social adalah
pendidikan,prestis, kekuasaan atau bahkan bahasa.
Kesempatan untuk meningkat dalam jenjang sosial tadi memang ada, tetapi tidak tersebar
secara merata.seorang anak yang lahir dari sebuah keluarga miskin dan tidak berpendidikan,
misalnya hampir untuk memiliki peluang untuk meraih posisi bisnis atau professional
sebagaimana dimiliki anak yang lahir dari sebuah keluarga kaya dan berpendidikan.
Sekali lagi, semua orang dalam masyarakat memiliki tujuan-tujuan yang sama. Bisa
dibayangkan bahwa tujuan-tujuan itu dibentuk oleh miliyaran dollar iklan yang habiskan
setiap tahunnya untuk untuk menyebarkan pesan bahwa setiap orang dapat mengendarai
mobil sport yang mewah, berwisata ke Roma, Paris atau pulau Bali, memiliki rumah-rumah
indah di Gold Coast, dan sebagainya. Ringkasanya, dapat menikmati apapun yang mereka
inginkan.
Meski marton berpendapat bahwa kekurangan legitimate means bagi setiap orang untuk
mencapaikan tujuan-tujuan material dapat menciptakan masalah, dia juga berpendapat
tingginya angka penyimpangan tidak dapat semua mata dijelaskan atas dasar kekurangan
sarana-sarana tadi.
Amerika Serikat dalam pandangan Merton, merupakan suatu masyarakat yang “unusual”,
bukan semata-mata karena budaya telah menempatkan penekanan yang luar biasa pada
sukses secara ekonomi, tetapi juga karena tujuan itu juga universal sifatnya, ditawarkan
kepada setiap orang yang dapat mencapainya. Orang-orang miskin tidak diajarkan untuk
menerima saja apa yang tersedia bagi mereka diajarkan bahwa yang termiskin sekalipun
dapat mencapai posisi teratas.
Pertanyaannya, mengapa keinginkan untuk meningkatkan secara social tadi membawa
penyimpangan?masalhnya menurut Merton adalah struktur social yang membatasi akses
menuju tujuan melalui legitimate means. Anggota-anggota dari kelas bawah khususnya
terbebani sebab mereka memulai jauh dibelakang dalam lomba meraih sukses tersebut dan
mereka benar-benar haruslah orang yang sangat berbakat atau sangat beruntung untuk
mencapainya. Kesenjangan anatar apa yang diharapkan oleh budaya dan apa yang
dimungkinkan oleh struktur social menempatkan bagian terbesar populasi Amerika dalam
keadaan Strain/tekanan menimbulkan posisi menginginkan suatu tujuan yang tidak dapat
dicapai melalui sarana-sarana konvensional social. Menurut Merton.
Modes of Adaption
menurut Marton ada beberapa cara yang berbeda bagi anggota masyarakat untuk
memecahkan/mengatasi strain (ketegangan/tekkanan) yang dihasilkan dari
ketidakmampuan mencapai sukses. Untuk mengkonseptualisasi respon-respon yang bisa
terjadi tadi, Marton mengembangkan tipologi atau mode-mode adaptasi.
Marton menyadari bahwa kebanyakan orang, meskipun mereka memiliki sarana
yang terbatas tidak melakukan penyimpangan. Banyak orang tidak melakukan
penyimpangan, mereka menyesuaikan diri, melanjutkan mencapai tujuan budaya berupa
kesuksesan, dan percaya atas legitimasi sarana-sarana konvensional atau institutionalised
means dengan mana sukses akan dicapai. Ini merupakan mode adaptasi pertama yaitu
conformity
Marton menggambarkan empat metode adaptasi yang menyimpang. Kebanyakan
tingkah laku criminal, menurut Marton dapat dikatagorisasikan sebagai innovation,
karena adaptasi ini mencakup mereka yang tetap meyakini sukses yang dianggap
berharga namun beralih mengguanakn illegitimate means atau sarana-sarana yang tidak
sah jika mereka menemui dinding atau halangan terhadap sarana yang sah untuk
menemui sukses ekonomi tersebut.
Pada sisi yang berlawanan, orang-orang yang beradaptasi secara ritualism terlihat
menyesuaikan diri (conformity) dengan norma-norma yang mengatur institutionalized
means. Meski demikian, mereka meredakan ketegangan/tekanan mereka dengan
menurunkan skala aspirasi-aspirasi mereka sampai di titik yang mereka dapat capai
dengan mudah. Dibanding mengejar tujuan budaya tentang kesuksesan, mereka justru
berusaha menghindari resiko dan hidup dalam batas-batas rutinitas hidup sehari-hari.
Retreatism, pada sisi lain membuat respon yang lebih dramatis. Tertekan oleh
harapan-harapan sosial yang ditunjukkan oleh gaya hidup konvensional, mereka
melepaskan kesetiaan baik kepada cultural success goal maupun kepada legitimate
means. Mereka merupakan orang-orang yang “are in society but not it”. Mereka
melarikan diri dari syarat-syarat masyarakat dengan berbagai yang menyimpang,
misalnya alcoholism, drug addiction, psychosis, atau vagrancy
(penggelandangan/pengembara). Bunuh diri tentu saja merupakan penarikan diri paling
puncak.
Akhirnya, Marton menamai adaptasi terakhir dengan RebellionI yaitu adaptasi orang-
orang yang tidak hanya menolak tetapi juga berkeinginan untuk mengubah sistem yang
ada. Terasing dari tujuan yang berlaku dan ukuran-ukuran normatif, mereka mengajukan
penggantian dengan satu perangkat tujuan-tujuan dan sarana-sarana baru. Dalam
masyarakat AS contoh dari rebellion mungkin bisa disebut kalangan sosialis yang lebih
memilih sukses kelompok disbanding sukses individual dan dengan suatu norma yang
mengarahkan distribusi kekayaan secara merata dan sesuai kebutuhan dibandingkan
distribusi yang tidak merata dan sesuai dengan hasil dari kompetisi yang kejam.
Kritik terhadap Strain Theory
1. Terlalu berkonsentrasi pada kejahatan di tingkat bawah secara hirarki
ekonomi, teori ini melalaikan kejahatan yang dilakukan oleh kalangan
menengah dan atas
2. Bagaimana mungkin suatu masyarakat yang sangat heterogen seperrti AS
memiliki tujuan-tujuan yang disepakati setiap orang
3. Banyak juga orang-orang di masyarakat lain di luar AS yang mempunyai
sarana terbatas dalam mencapai tujuan-tujuan material tetapi mempunyai
angka kejahatan yang rendah, contohnya dua negara berkembang dan industry
yaitu Jepang dan Swiss
Daftar Pusataka
4. Contoh kasus Anomie
Ilustrasi terbaik dari konsep Durkheim tentang anomie adalah dalam satu diskusi
tentang bunuh diri (suicide) yang terjadi di negara-negaranya, Perancis, dan bukan tentang
kejahatan. Ketika Durkheim menganalisa data statistik ia mendapati bahwa angka bunuh diri
meningkat selama perubahan ekonomi yang tiba-tiba (sudden economic change), perubahan
itu depresi hebat ataupun kemakmuran yang tidak terduga. Dalam periode perubahan yang
cepat itu orang tiba-tiba terhempas ke dalam satu cara/jalan hidup yang tidak dikenal
(unfamiliar) aturan-aturan (rules) yang pernah membimbing tingkah laku tidak lagi dipegang.
Hal tersebut pernah terjadi pada tahun 1920-an ketika kekayaan diperoleh banyak
orang ditahun-tahun penuh harapan itu. Menjelang akhir, melewati juli, Agustus dan
September 1929, pasar modal memuncak menuju puncak-puncak baru. Keuntungan-
keuntugan luar biasa didapat dari spekulasi di pasar modal. Namun tiba-tiba, pada tanggal 24
Oktober 1929, satu hari yang dicatat sebagai black Thursday, pasar modal bangkrut. Tiga
belas juta saham dijual. Dengan makin banyaknya saham dijual, maka nilainya menjadi
terjerembab. Di penghujung kejatuhan itu, satu depresi hebat melanda negeri. Bank-bank
gagal. Pegadaian-pegadaian tutup. Bisnis-bisnis bangkrut. Orang-orang kehilangan
pekerjaan. Gaya hidup berubah dalam semalam. Tiba-tiba norma yang mengatur kehidupan
tidak lagi relevan. Orang menjadi tidak tahu arah dan bingung.
di Perancis tumbuh anomi suicide yakni individu yang merasa tidak bisa mengikuti
perubahan sosial yang sedang berlangsung cenderung menyendiri dan merasa tidak berharga
yang akhirnya mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri maka yang terjadi di Indonesia
karena memiliki watak yang berbeda (entah guilt culture atau shame culture?) seseorang
yang mengalami anomi, yang tak puas dengan situasi dan kondisi yang tidak menentu,
malahan cenderung menyakiti atau membunuh orang lain atau anomie homicide. Melalui
pemberitaan di media massa kita mengetahui hal yang sepele saja dapat menjadi alasan orang
untuk membunuh, hanya karena uang seratus rupiah saja bisa menjadi penyebab hilangnya
nyawa orang. Hanya karena tersinggung karena anggota kelompoknya dipalak oleh anggota
kelompok lain maka cukup alasan untuk menyerang kelompok lain. Karena jagoannya kalah
dalam pemilihan kepala daerah sudah lengkap alasan untuk kemudian bertindak murka.
Contoh:
Berbagai kejadian bunuh diri telah menjadi fenomena sosial yang sangat akrab dengan
kita. Bahkan, terdapat kecenderungan kasus-kasus bunuh diri mengalami peningkatan.
Sebagai contoh kasus di Kabupaten Blora. Hingga Oktober 2008, jumlah angka bunuh
diri meningkat enam kasus dibandingkan dengan 2007. Pada tahun 2007, terdapat 30
kasus, sedangkan pada 2008 menjadi 36 kasus. Motif bunuh diri terbanyak adalah
persoalan ekonomi, yang mencapai 40 persen, seperti dimuat dalam harian ini beberapa
waktu lalu. Motif lainnya adalah penyakit tak tersembuhkan, keluarga, dan sakit jiwa.
suporte dari jek mania dengan arek-arek malang. Yang secara berutal saling menyerang
sampai berjatuhan korban. Padahal masalahnya klub yang mereka belah kalah.
Kenakalan remaja, para remaja yang melakukan tawuran antar sekolah, misalnya ada
wanita yang menjadi rebutan, atau karena harga diri geng mereka di hina
Rakyat Indonesia saat ini sedang terjangkit gejala anomi sosial. Gejala itu ditandai
dengan sikap tanpa arah dan berpandangan sinis terhadap norma-norma yang berlaku.
Mereka cenderung bersikap brutal dan anarkistis. Aturan hukum formal dianggap angin
lalu. Ini terjadi karena adanya pembiaran terhadap tindakan-tindakan yang melawan
hukum. Misalnya bentrok antar kelompok
Daftar Pustaka
Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa. 2001. Kriminologi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/27/11044764/fenomena.bunuh.diri.nekrofilia.atau.anomi
http://cityzennews.suaramerdeka.com