Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 95-114.
ISSN: 0854-5499
HAMBATAN EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA JINAYAH PADA
MAHKAMAH SYAR’IYAH BIREUEN
THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF SYARIAH LAW CASE
HELD BY SYAR’IYAH COURT BIREUEN
Oleh: Muazzin *)
ABSTRACT
The existence and authority Syar'iyah Courts regulated in Qanun Number 10 of 2002 on
the Islamic Syari'ah Courts. Since the Year 2007 to Year 2010, the Syar’iyah Court
Bireun has examined on jinayah case as many as 27 cases. Although the Court's
decision in the case already have permanent legal force, yet one of the case is
conducted or executed by the State Attorney Bireun. The results showed that there are
some things that cause no or not execution judgement of judge Syar'iyah Court Bireun,
Syar'iyah Court Bireun and the State Attorney Bireun have no special budget to carry
out additional tasks as implementing agencies in the implementation of Islamic Law in
Aceh, Qanun Aceh does not give authority to the institutions of law enforcement to make
arrests of suspects, accused and convicted in the case jinayah.
Keywords: Execution, Judgement of Judge, Case Jinayah.
A. PENDAHULUAN
Keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam memeriksa dan mengadili
perkara Jinayah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA). Bab XVIII Pasal 11 Undang-Undang tersebut menentukan bahwa
Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara
yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan
jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam (ayat 3). Lebih lanjut pasal ini juga
menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) diatur dengan Qanun
Aceh.
Ketentuan UUPA tersebut merupakan pengaturan dan penegasan kembali tentang
keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah yang sudah diatur dalam Qanun Nomor 10
Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam. Pasal 49 Qanun ini menetapkan bahwa perkara-
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin
96
perkara dalam bidang perdata yang meliputi hukum keluarga, hukum perikatan dan hukum
tentang harta benda serta perkara-perkara dalam bidang pidana, yang meliputi qishash-diyat,
hudud dan ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syar’iyah.
Untuk mewujudkan kepastian hukum, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 dalam Pasal 53 dan
54 dinyatakan bahwa hukum materil dan formil yang bersumber dari Syari’at Islam tersebut,
yang akan dilaksanakan di Aceh, terlebih dahulu akan dituangkan dalam bentuk Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian Syari’at Islam yang akan dilaksanakan
oleh Hakim Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota dan Hakim Mahkamah Syar’iyah Provinsi
melalui putusan dan penetapannya itu harus dituangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu.
Hampir satu dasawarsa pemberlakuan Syari’at Islam dan berfungsinya Mahkamah
Syar’iyah sebagai institusi peradilan dalam rangka pelaksanaan Syari’at Islam tersebut di
Provinsi NAD, ternyata telah memunculkan beberapa permasalahan yang secara langsung atau
tidak langsung turut mempengaruhi kapasitas Mahkamah Syar’iyah dalam menjalankan
fungsinya dalam memeriksa dan mengadili, khususnya dalam perkara jinayah yang merupakan
lingkup kewenangan baru bagi lembaga ini, seiring dengan pemberlakuan Syari’at Islam. Salah
satu permasalahan penting adalah belum atau tidak dilaksanakannya (eksekusi) putusan
Mahkamah Syar’iyah dalam perkara Jinayah, padahal putusan tersebut sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah penelitian untuk memperoleh
jawaban atas permasalahan yang diidentifikasikan dalam penelitian ini yaitu mengapa terjadi
penangguhan pelaksanaan (eksekusi) putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Bireun dan apa saja
upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun agar
putusan Hakim dalam perkara Jinayah dapat dilaksanakan (dieksekusi).
*)
Kontrak Penelitian dengan Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala Nomor: 032/H11.2/SP3/2010. Muazzin,
S.H.,M.H., Adalah Staf Pengajar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).
97
B. TINJAUAN PUSTAKA
Penegakan hukum demi suatu keadilan harus dilakukan melalui suatu proses yang
berkesinambungan dalam menanggulangi tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Salah
satu cara penanggulangan tersebut dilakukan melalui suatu sistem yaitu Sistem Peradilan Pidana
(Criminal Justice Sistem) sebagai sistem yang berfungsi menanggulangi tindak pidana yang
terjadi dalam masyarakat. Penanggulangan tersebut dilakukan dengan menekan tingkat
kejahatan hingga pada tingkat yang terendah.
Di Indonesia proses penegakan hukum mempunyai suatu sistem yaitu Sistem Peradilan
Pidana yang dimulai dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan1
. Menurut Kunarto2
sistem peradilan pidana dapat digambarkan sebagai
berikut:
“... adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Menanggulangi berarti usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi masyarakat. Sistem dianggap berhasil apabila sebagian dari laporan maupun
keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan dengan
diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat
pidana.”
Romli Atmasasmita3 mengartikan Sistem Peradilan Pidana sebagai interkoneksi antara
keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Sistem Peradilan
Pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usaha-usaha untuk menanggulangi kejahatan
yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat.
Sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal istilah Sistem Peradilan Pidana terpadu (Integrated
Criminal Justice Sistem). Sasaran yang ingin dicapai antara lain kelancaran dalam proses
peradilan pidana sejak tahap penyidikan, penuntutan, putusan atau vonis hakim sampai dengan
1 Chainur Arrasjid, Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminal, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1999, hlm.19.
2 Kunarto, Batu Sandungan, Cipta Manunggal, Jakarta, 1999, hlm.240.
3 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem), Bina Cipta, Bandung, 1996, hlm.14.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin
98
eksekusi4. Seluruh komponen dari sistem peradilan pidana, ikut bertanggung jawab untuk
menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan dalam masyarakat.
Tanggung jawab tersebut merupakan keharusan bagi setiap komponen. Keterpaduan kerja
dari sistem peradilan pidana dapat diamati dari komponen-komponen sistem peradilan pidana
sebagai berikut:
1. Kepolisian
Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Adapun langkah pertama yang dilakukan oleh
subsistem kepolisian sebagai salah satu komponen Sistem Peradilan Pidana adalah
melakukan penyelidikan yang dapat memberikan tanda adanya dugaan keras tentang adanya
kejahatan yang kemudian diteruskan dengan tindakan penyidikan. Dalam melaksanakan
penyidikan dinyatakan antara lain dengan menjamin hak-hak tersangka dan perlakuan
terhadap tersangka secara layak dan sebagai subyek. Kedudukan polisi sebagai penyidik
yang mandiri tidak terlepas dari fungsi penuntutan dan pengadilan dimana terjalin hubungan
koordinasi fungsional dan institusional serta adanya sinkronisasi pelaksanaan.
Hubungan koordinasi dan kansultasi penyidik dan penuntut umum merupakan
hubungan kerjasama positif yang sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing
dalam rangka penanganan perkara pidana pada tingkat penyidikan. Hubungan kerjasama
positif tersebut diarahkan kepada usaha untuk mempersiapkan pelaksanaan tugas penuntutan
dengan cara meletakkan dasar-dasar penuntutan sejak dilaksanakan penyidikan5. Ketentuan
yang menghubungkan polisi dengan jaksa dalam KUHAP merupakan suatu ketentuan yang
4 Anthon F. Susanto, “Membangun Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Ligitasi, Fakultas Hukum Unpas, Bandung, Vol.3 No.1 Januari-Juni 2002.
5 Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm.204.
Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).
99
penting yang dapat menjembatani dua hal yaitu koordinasi fungsional antara polisi dan jaksa
yang harus bekerjasama secara terpadu dalam suatu Sistem Peradilan Pidana dan kesadaran
akan tanggung jawab dalam peranan masing-masing komponen.
2. Kejaksaan
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
dalam BAB I Bagian Pertama Pasal 1 Butir 1 menyebutkan bahwa Jaksa adalah pejabat
yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum
serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan yang dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Keterpaduan Sistem Peradilan Pidana merupakan kegiatan penanganan suatu perkara
secara bersama yakni antara penyidik, penuntut umum, pengadilan dan lembaga
penmasyarakatan. Keempat unsur atau komponen tersebut saling terkait, saling pengaruh
mempengaruhi dan saling ketergantungan6.
3. Pengadilan
Pengadilan merupakan komponen ketiga dalam subsistem peradilan pidana. Lembaga
peradilan merupakan pelaksana atau pemeriksa suatu perkara dengan suatu putusan hakim
yang bersifat mengikat, putusan mana dapat berupa pemidanaan terhadap orang yang
bersalah. Bekerjanya subsistem pengadilan diawali dengan pelimpahan berkas perkara dari
penuntut umum yang dilanjutkan dengan memeriksa dan diakhiri dengan memutuskan
perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak menurut cara yang diatur
oleh undang-undang. Pada hakekatnya pengadilan merupakan tempat pengujian dan
perwujudan negara hukum, merupakan barometer dari kemampuan bangsa melaksanakan
6 Leden Marpaung, Putusan Bebas Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm.98
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin
100
norma-norma hukum dalam negara, sehingga yang bersalah menerima hukuman yang
setimpal dengan perbuatannya. Hakim sebagai komponen dari subsistem peradilan pidana
bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasrkan Pancasila melalui perkara-
perkara yang dihadapkan kepadanya.
4. Lembaga Pemasyarakatan
Komponen terakhir dari subsistem peradilan pidana adalah Lembaga Pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri menurut bahasa Indonesia berasal dari dua kata yaitu
“Lembaga” dan “Pemasyarakatan”. Lembaga berarti organisasi yang bermaksud melakukan
suatu penyelidikan atau usaha ilmiah. Pemasyarakatan berarti kegiatan untuk melakukan
pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (narapidana, anak didik pemasyarakatan dan
yang lainnya), berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan
bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang
berlaku sejak diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995 menyebutkan bahwa:
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan
Warga Pembinaan Pemasyarakatan berdsarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu
antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.
Dalam hukum pidana terdapat tiga hal pokok yang menjadi dasar pijakan dan harus
dikembangkan untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Ketiga hal tersebut adalah mengenai:
a) subyek hukum pidana, yaitu berkaitan dengan siapa yang dapat dihukum, b) perbuatan
Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).
101
apa saja yang dapat dihukum, dan c) hukuman apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku
perbuatan yang dapat dihukum. Kebijakan kriminal (criminal policy) dalam bidang
hukuman (jenis hukuman) terus menerus mencari solusi yang tepat untuk menentukan jenis
hukuman yang efektif, sehingga di dalam konsep rancangan KUHP yang baru terdapat
beberapa jenis hukuman baru yang tidak terdapat dalam KUHP sekarang, seperti:
pengawasan, kerja sosial, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat. Selain
itu ada juga dalam bentuk tindakan, seperti perawatan di rumah sakit jiwa, perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, perbaikan akibat-akibat tindak pidana dan
latihan kerja7.
Dalam kebijakan hukum pidana, pemberian hukuman untuk menanggulangi kejahatan
merupakan salah satu upaya disamping upaya-upaya lain. Penganganan kejahatan melalui
sistem peradilan pidana merupakan sebagian kecil dari penanganan kejahatan secara
keseluruhan. Penanganan melalui sistem peradilan pidana ini dikenal dengan istilah ”upaya
penal”, yaitu dengan menggunakan peraturan perundang-undangan pidana. Disamping itu
ada upaya lain yaitu ”upaya non penal” yang penekanannya ditujukan kepada faktor
penyebab terjadinya kejahatan. Keseluruhan penanganan atau penanggulangan kejahatan ini
merupakan politik kriminal (kebijakan hukum pidana).
Dari sudut pengertiannya, kebijakan hukum pidana (criminal policy) atau politik
kriminal adalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini
merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy).
Kesemuanya merupakan bagian dari politik sosial (social policy) yakni usaha dari
masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya8.
Dengan demikian, kebijakan kriminal merupakan bagian dari kebijakan sosial yang
bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Usaha untuk mencapai kesejahteraan
7 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, Hlm.46.
8 Muladi, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm.1.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin
102
masyarakat dalam kebijakan kriminal itu dapat dilakukan melalui jalur ”penal” dan ”non
penal”. Jalur penal lebih diarahkan kepada penggunaan hukum pidana setelah terjadinya
kejahatan. Sedangkan jalur non penal lebih diarahkan kepada usaha mencari faktor kondusif
terjadinya kejahatan. Dalam hal ini yang diupayakan adalah menghilangkan sebab-sebab
timbulnya kejahatan, yang antara lain adalah karena tidak efektifnya hukuman yang
diterapkan.
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor pendorong
penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-
mata dengan upaya penal. Disinilah keterbatasan upaya penal dan oleh karena itu harus
ditunjang oleh jalur non penal. Salah satu jalur non penal untuk mengatasi masalah-masalah
sosial tersebut adalah lewat jalur kebijakan sosial (social policy) 9.
Perlunya sarana non penal diintensifkan dan diefektifkan adalah karena diragukannya
atau dipermasalahkannya efektifitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal10
.
Jadi yang perlu diperhatikan dengan penggunaan jalur non penal itu adalah bagaimana
upaya menghilangkan faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan. Dalam hal ini tentunya
perlu dicari sebab-sebab terjadinya kejahatan. Pembuatan ketentuan perundang-undangan
merupakan salah satu cara untuk pencegahan kejahatan.
Tujuan pemidanaan yang tercantum dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) Baru Pasal 47 yang menyebutkan bahwa:
(1) Pemidanaan bertujuan untuk:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadikannya oranh yang baik dan berguna;
9 Barda Nawawi Arief, Upaya Non-Penal dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah, disampaikan pada Seminar Kriminologi VI di Semarang, 1991, hlm.8.
Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).
103
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan
merendahkan martabat manusia.
Dalam penjelasan Pasal 47 Rancanan KUHP Baru tersebut ditegaskan bahwa dalam
tujuan pertama jelas tersimpul pandangan tentang urgensi perlindungan masyarakat. Tujuan
kedua, bermaksud bukan saja untuk merehabilitasi tetapi meresosialisasi terpidana dan
mengintegrasikannya ke dalam masyarakat. Sedangkan tujuan ketiga, adalah dimaksudkan
untuk mengembalikan keseimbangan kehidupan sosial yang telah terguncang oleh karena
kejahatan terpidana, yaitu dengan cara membalas kejahatan terpidana dengan pemidanaan
sehingga diharapkan dapat memuaskan perasaan dendam si korban. Adapun tujuan keempat
hakekatnya merupakan tujuan yang lebih bersifat spiritual dimana terbalasnya rasa bersalah
pada diri terpidana baru dapat dicapai apabila ia telah sampai pada sikap tobat yang
sesungguhnya.
Terkait dengan pembentukan dan kewenangan Mahkamah Syar,iyah dalam memeriksa
dan mengadili perkara Jinayah, memiliki sejarah yang panjang. Baerawal dari ketentuan
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh menyatakan bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama
di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam
masyarakat (Ayat 1). Lebih lanjut dinyatakan bahwa Daerah mengembangkan dan mengatur
penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan tetap
menjaga kerukunan hidup antar umat beragama (Ayat 2).
Aturan mengenai pelaksanaan Syari’at Islam dalam undang-undang tersebut kemudian
disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tantang Otonomi Khusus
10 Barda Nawawi Arief, Ibid., hlm.15.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin
104
Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada
konsideran menimbang huruf (e) Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Provinsi NAD).
Dalam pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa Peradilan
Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan
nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun
(Ayat 1). Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas Syari’at Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan
Qanun Provinsi NAD. Kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) diberlakukan
bagi pemeluk agama Islam.
Apa saja yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah pada tingkat pertama dan
banding seperti yang disebutkan oleh Undang-Undang di atas diserahkan kepada Qanun
Provinsi NAD. Untuk itu telah disahkan sebuah Qanun yaitu Qanun Nomor 10 Tahun 2002
tentang Peradilan Syari’at Islam. Pasal 49 Qanun ini menetapkan bahwa perkara-perkara
dalam bidang perdata yang meliputi hukum keluarga, hukum perikatan dan hukum tentang
harta benda serta perkara-perkara dalam bidang pidana, yang meliputi qishash-diyat, hudud
dan ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syar’iyah.
Keberadaan Mahkamah Syar’iyah kembali mendapatkan pengaturan dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Bab XVIII Pasal 11 Undang-
Undang tersebut menentukan bahwa Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang
didasarkan atas syari’at Islam (Ayat 3). Lebih lanjut pasal ini juga menyatakan bahwa
Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).
105
ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah
(hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh.
Untuk mewujudkan kepastian hukum, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 dalam Pasal 53
dan 54 dinyatakan bahwa hukum materil dan formil yang bersumber dari Syari’at Islam
tersebut, yang akan dilaksanakan di Aceh, terlebih dahulu akan dituangkan dalam bentuk
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian Syari’at Islam yang akan
dilaksanakan oleh Hakim Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota dan Hakim Mahkamah
Syar’iyah Provinsi melalui putusan dan penetapannya itu harus dituangkan ke dalam Qanun
terlebih dahulu.
Dalam hubungannya dengan hukum materilnya, hingga sekarang telah disusun
beberapa buah Qanun yaitu:
1. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah
dan Syi’ar Islam.
2. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar (Minuman Keras).
3. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maysir (Perjudian).
4. Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (Perbuatan Mesum atau Pergaulan
Bebas).
5. Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.
Sementara itu mengenai kelembagaannya, telah disahkan Qanun Nomor 10 tentang
Peradilan Syari’at Islam dan Qanun Nomor 11 Tahun 2004 tentang Kepolisian Daerah, yang
antara lain mengatur tambahan tugas kewenangan polisi dalam penegakan Syari’at Islam di
Aceh. Sedangkan Qanun tentang Kejaksaan Provinsi NAD, yang mengatur tambahan
kewenangan dan tugas lembaga ini dalam menegakkan Qanun, atau untuk menggunakan
Qanun dalam penyidikan dan penuntutan serta kewajiban membawa perkara tersebut ke
Mahkamah Syar’iyah, masih dalam pembahasan. Sementara itu Qanun tentang hukum
formil akan disusun, dan akan dikerjakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan. Baik
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin
106
kemampuan untuk mempersiapkan rancangannya, melaksanakannya dan juga kemampuan
keuangan Daerah.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dalam wilayah yurisdiksi Mahkamah Syar’iyah Bireun
yang meliputi wilayah administratif Kabupaten Bireun. Pemilihan lokasi ini atas pertimbangan
bahwa berdasarkan data rekapitulasi perkara jinayah yang ditangani sampai tahun 2008, untuk
perkara Jinayah (maisir atau perjudian) sebanyak 70 perkara telah diperiksa dan diadili oleh
Mahkamah Syar’iyah Bireun. Namun dari keseluruhan perkara tersebut belum dilakukan
eksekusi oleh Kejaksaan Negeri Bireun. Padahal putusan Mahkamah Syar’iyah tersebut sudah
memiliki kekuatan hukum yang tetap, tetapi tidak dilaksanakan atau dieksekusi oleh kejaksaan.
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan tahapan penelitian, yaitu
penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian
lapangan dilakukan dalam upaya untuk mendapatkan data sekunder yang berupa teori-teori dan
konsep tentang Syari’at Islam, Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil. Data ini
diperoleh dengan mempelajari bahan-bahan kepustakaan berupa buku teks, hasil penelitian,
makalah yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Sementara itu melalui penelitian
lapangan akan diperoleh data primer yang diperlukan untuk mempertajam analisis dan
pembahasan. Data ini diperoleh dengan melakukan wawancara dengan mempergunakan alat
pengumpulan data Questioner dan Interview. Wawancara dilakukan dengan para responden dan
informan. Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah : (a) Hakim Mahkamah
Syar’iyah 5 orang; (b) Kepolisian 2 orang; (c) Kejaksaan Negeri 2 orang; (d) Dinas Syari’at
Islam 2 orang; (d) Terdakwa 10 orang.
Penentuan responden dilakukan berdasarkan tingkat akurasi (validitas) sumber
informasi, yaitu mereka yang mempunyai keterkaitan secara langsung dengan permasalahan
Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).
107
kapasitas Mahkamah Syar’iyah sebagai institusi peradilan dalam pelaksanaan Syari’at Islam di
Provinsi NAD.
Sedangkan yang dijadikan sebagai informan adalah : (a) Akademisi 4 orang; (b)
Tokoh Agama 4 orang; (c) Advokad/Pengacara 4 orang
Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, langkah berikutnya yang dilakukan
adalah memindahkan berbagai catatan dan data yang didapatkan dalam penelitian lapangan
melalui cara tabulasi data sesuai dengan topiknya masing-masing. Proses selanjutnya adalah,
data tersebut diedit kembali untuk diperiksa reabilitas dan vilidtasnya, agar data yang
dihasilkan benar-benar valid. Langkah berikutnya adalah melakukan analisis data. Dalam
menganalisis data dan mengambil kesimpulan, data sekunder dan data primer dianalisis dengan
metode kualitatif, selanjutnya akan disajikan dalam bentuk deskriptif analisis.
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Penangguhan pelaksanaan (eksekusi) Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah pada
Mahkamah Syar’iyah Bireun.
Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam menetapkan
bahwa perkara-perkara dalam bidang perdata yang meliputi hukum keluarga, hukum
perikatan dan hukum tentang harta benda serta perkara-perkara dalam bidang pidana, yang
meliputi qishash-diyat, hudud dan ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syar’iyah. Atas
dasar kewenangan tersebut, dalam rentang waktu 2007 sampai dengan 2010, Mahkamah
Syar’iyah Bireun telah memeriksa dan mengadili perkara jinayah sebanyak 27 perkara.
Keseluruhan perkara tersebut merupakan pelanggaran terhadap Qanun Nomor 13 Tahun
2003 tentang Maisir. Sementara pelanggaran terhadap ketentuan Qanun Nomor 12 Tahun
2003 dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tidak satupun diperiksa dan diadili oleh Mahkamah
Syar’iyah Bireun.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin
108
Meskipun keputusan Mahkamah Syar’iyah dalam perkara tersebut sudah memiliki
kekuatan hukum yang tetap, belum satu dari perkara tersebut dilaksanakan atau dieksekusi
oleh Kejaksaan Negeri Bireun. Padahal dalam Pasal 29 Qanun Nomor 13 Tahun 2003
tentang Maisir dinyatakan bahwa pelaksanaan ’uqubat dilakukan segera setelah putusan
hakim mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan penundaan pelaksanaan ’uqubat
hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat hal-
hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang
(Ayat 2). Ketentuan serupa juga diatur dalam Pasal 32 Qanun Nomor 12 Tahun 2003
tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya dan Pasal 27 Qanun Nomor 14 Tahun 2003
tentang Khalwat. Pihak kejaksaan tidak pernah menyampaikan laporan secara resmi tentang
alasan yang menyebabkan tidak atau belum dieksekusinya Putusan Mahkamah Syar’iyah
Bireun tersebut.11
Hasil penelitian memperlihatkan ada beberapa hal yang menyebabkan
Kejaksaan Negeri Bireun tidak atau belum melaksanakan (eksekusi) terhadap Putusan
Mahkamah Syar’iyah tersebut, yaitu:
a. Pemerintah Daerah tidak menyediakan anggaran yang cukup
Mahkamah Syar’iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun tidak memiliki
anggaran yang khusus untuk melaksanakan tugas tambahan sebagai institusi pelaksana
dalam pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Sebagai instansi vertikal kedua lembaga ini
mengelola anggaran yang bersumber dari APBN, sama seperti Pengadilan Agama dan
Kejaksaan Negeri di daerah lain di Indonesia.12
Dalam melaksanakan tugas tambahan
yang dibebankan kepada kedua lembaga ini tidak diikuti pengalokasian anggaran dari
APBD.
Pelaksanaan (eksekusi) Putusan Mahkamah Syar’iyah oleh Kejaksaan Negeri
Bireun, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Qanun tentang Maisir, dilakukan di
11
A. Karim, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus 2010.
Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).
109
suatu tempat yang dapat disaksikan oleh orang banyak dan dihadiri oleh Jaksa Penuntut
Umum dan tenaga kesehatan yang ditunjuk. Konsekuensi dari ketentuan pasal ini adalah
diperlukan anggaran yang besar untuk setiap kali melaksanakan eksekusi. Paling tidak
diperlukan dana sebesar Rp. 20.000.000,- setiap kali eksekusi. Dana tersebut diperlukan
untuk kebutuhan peralatan, honor petugas (kejaksaan, pengamanan, dan petugas
kesehatan) dan lainnya. Oleh karena itu, dalam menyiasati keterbatasan anggaran ini,
pelaksanaan eksekusi dilakukan terhadap beberapa orang terpidana.13
Kewenangan
pengelolaan anggaran untuk pelaksanaan (eksekusi) Putusan Mahkamah Syar’iyah
Bireun seluruhnya dibebankan kepada APBD Kabupaten Bireun melalui DIPA Dinas
Syariat Islam Kabupaten Bireun. Ironisnya, Dinas Syariat Islam tidak memiliki anggaran
untuk eksekusi putusan. Sejak tahun 2007 hingga 2009, Dinas Syariat Islam mengusulkan
anggaran untuk kegiatan tersebut, akan tetapi dihilangkan oleh panitia anggaran eksekutif
dengan alasan keterbatasan anggaran. Bahkan untuk tahun 2010 lalu, Dinas Syariat Islam
tidak mengusulkan lagi anggaran untuk pelaksanaan putusan mahkamah.14
Tahun
Anggaran 2010, jumlah anggaran yang dikelola oleh Dinas Syariat Islam untuk Bidang
Pengawasan Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah hanya sebesar Rp. 224.896.000,-.
Anggaran sebesar ini kemudian dibagi lagi untuk kegiatan yang dilaksanakan oleh dua
seksi, yaitu Seksi Penyidikan dan Pencegahan serta Seksi Pelaksanaan Syariat Islam.
Mengacu kepada jumlah anggaran yang tersedia tersebut, terlihat bahwa persoalan
ketersediaan anggaran ini merupakan penyebab utama yang mengakibatkan tidak atau
belum dieksekusinya Putusan Mahkamah Syar’iyah Bireun.
12 A. Karim, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus 2010. 13
Ricky Febriandi, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus 2010. 14
Ahmad Ajady, Sekretaris Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireun, Wawancara, Tanggal 31 Agustus 2010.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin
110
b. Tidak ada kewenangan untuk melakukan penahan
Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun Nomor 13 Tahun 2003
tentang Maisir, dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat tidak memberikan
kewenangan untuk melakukan penahanan kepada institusi penegak hukum dalam perkara
pelanggaran terhadap ketiga qanun tersebut. Sehingga tidak ada kekuatan yang dapat
memaksa terdakwa atau terpidana untuk mengikuti proses penegakan hukum yang
berjalan.
Tidak adanya kewenangan untuk melakukan penahanan ini merupakan masalah
tersendiri dalam penegakan ketentuan qanun di atas. Pada tingkat pemeriksaan di
mahkamah misalnya, ketika terdakwa dipanggil untuk menghadiri sidang, tidak bersedia
hadir. Mahkamah tidak diperkenankan untuk menjemput paksa supaya terdakwa
dihadirkan ke persidangan. Akibatnya membuat pemeriksaan menjadi lama dan berjalan
sangat lambat. Hal ini juga dapat terjadi pada saat eksekusi, pernah terjadi kasus di
Kabupaten Bireun, pada saat eksekusi akan dilaksanakan terpidana melarikan diri.
Karena tidak ada kewenangan untuk memaksa kepada penegak hukum, terpidana tidak
dikejar dan ditangkap kembali. Sekarang ini terpidana bebas berkeliaran tanpa ada upaya
dari penegak hukum untuk menangkap kembali.15
2. Upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri
Bireun agar Putusan Hakim dalam perkara Jinayah dapat dilaksanakan
(dieksekusi).
Uraian terdahulu memperlihatkan bahwa jumlah Putusan Mahkamah Syar’iyah
Bireun yang tidak atau belum dilaksanakan (tidak dieksekusi) oleh Kejaksaan Negeri
Bireun sangat besar, dan sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Apabila keadaan ini
Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).
111
berlangsung terus untuk waktu yang lama akan mengakibatkan kewibawaan Mahkamah
Syar’iyah sebagai institusi Peradilan Syari’at Islam (khusus dalam perkara jinayah) di
Provinsi Aceh akan melemah, dan kepastian hukum tidak dirasakan lagi oleh masyarakat.
Mahkamah Syar’iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun telah malakukan upaya-
upaya sehingga eksekusi putusan mahkamah dapat berjalan dengan lancar, sehingga
kepastian hukum dapat tercipta. Upaya tersebut adalah:
a. Penunjukan Hakim Pengawas dan Pengamat
Keberadaan Hakim Pengawas dan Pengamat ini sudah dikenal dalam lingkungan
Pengadilan Negeri. Hakim ini akan bertugas untuk memastikan bahwa keputusan yang
sudah ditetapkan oleh pengadilan sudah dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Apabila terpidana sudah ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan, Hakim
Pengawas dan Pengamat dapat melakukan pemeriksaan ke ruang tahanan terpidana
untuk memastikan apakah keputusan pengadilan sudah dilaksanakan atau belum.
Keberadaan Hakim Pengawas dan Pengamat ini diharapkan akan berperan
sekaligus untuk mengetahui apa saja kendala-kendala dalam pelaksanaan putusan
mahkamah. Sehingga dapat dicarikan upaya pemecahannya. Keberadaan Hakim
Pengawas dan Pengamat ini belum diatur dalam qanun, padahal peranannya sangat
menentukan.16
b. Koordinasi dengan lembaga terkait
Kejaksaan Negeri Bireun melakukan koordinasi dengan lembaga terkait,
khususnya Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireun. Koordinasi ini dilakukan untuk
memastikan bahwa tersedia dana dan mencukupi untuk pelaksanaan (eksekusi)
15 Bakhtiar, Panitera Sekretaris Mahkamah Syar’iyah Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus 2010. 16 A. Karim, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus 2010.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin
112
Putusan Mahkamah Syar’iyah Bireun. Pihak kejaksaan hanyalah sebagai pelaksana
saja, sedangkan pengelolaan anggaran adalah kewenangan dari Dinas Syariat Islam.17
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan dan dikemukakan saran sebagai
berikut :
A. Kesimpulan
1. Kurun waktu tahun 2007 hingga tahun 2010, Mahkamah Syar’iyah Bireun telah
memeriksa dan mengadili perkara jinayah sebanyak 27 perkara. Keseluruhan perkara
tersebut merupakan pelanggaran terhadap Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Maisir. Sementara pelanggaran terhadap ketentuan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 dan
Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tidak satupun diperiksa dan diadili oleh Mahkamah
Syar’iyah Bireun. Meskipun keputusan Mahkamah Syar’iyah dalam perkara tersebut
sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap, belum satu dari perkara tersebut
dilaksanakan atau dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Bireun.
2. Mahkamah Syar’iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun tidak memiliki anggaran
yang khusus untuk melaksanakan tugas tambahan sebagai institusi pelaksana dalam
pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Sebagai instansi vertikal kedua lembaga ini
mengelola anggaran yang bersumber dari APBN, sama seperti Pengadilan Agama dan
Kejaksaan Negeri di daerah lain di Indonesia.
3. Qanun Aceh tidak memberikan kewenangan kepada institusi penegakan hukum untuk
melakukan penahanan terhadap tersangka, terdakwa dan terpidana dalam perkara
17 Ricky Febriandi, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus 2010.
Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).
113
jinayah. Sehingga tidak ada kekuatan yang dapat memaksa terdakwa atau terpidana
untuk mengikuti proses penegakan hukum yang berjalan.
4. Mahkamah Syar’iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun malakukan upaya-upaya
seperti membentuk Hakim Pengawas dan Pengamat, melakukan koordinasi dengan
lembaga terkait sehingga eksekusi putusan mahkamah dapat berjalan dengan lancar,
sehingga kepastian hukum dapat tercipta.
B. Saran
1. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bireun harus memiliki
komitmen anggaran yang tinggi untuk mendukung pelaksanaan Syariat Islam di
Aceh, dengan memberikan dukungan anggaran yang tersedia dan mencukupi untuk
pelaksanaan (eksekusi) Putusan Mahkamah Syariah Bireun. Hal ini sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintahan
Aceh, yang secara ekplisit mengatur tentang dukungan anggaran dalam APBA bagi
Mahkamah Syar’iyah dan Kejaksaan selaku instansi vertikal.
2. Mengingat peranannya yang sangat penting, perlu diatur tentang masa penahanan
terhadap pelaku pelanggaran Qanun Jinayat. Tentang masa penahanan ini sebenarnya
sudah diatur dalam Rancangan Qanun Hukum Acara Jinayat sekarang ini sedang
dalam tahapan proses legislasi, sehingga belum ada hukum acara yang bersifat
khusus. Oleh karena itu upaya penyidikan dan penuntutan tetap menggunakan
KUHAP.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin
114
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi (2002), Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta.
Adami Chazawi (2002), Pelajaran Hukum Pidana, Bagian II, Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta.
Adami Chazawi (2002), Pelajaran Hukum Pidana, Bagian III, Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta.
Al Yasa’ Abubakar (2004), Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Anthon F. Susanto, “Membangun Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Ligitasi, Fakultas Hukum Unpas, Bandung, Vol.3 No.1 Januari-Juni 2002.
Barda Nawawi Arief (1991), Upaya Non-Penal dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah disampaikan pada Seminar Kriminologi VI di Semarang.
Chainur Arrasjid (1999), Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminal, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas hukum USU, Medan.
Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD (2004), Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, Edisi Ketiga, Banda Aceh.
Harun M. Husein (1991), Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Kunarto (1999), Batu Sandungan, Cipta Manunggal, Jakarta.
Leden Marpaung (1994), Putusan Bebas Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta.
Mardjono Reksodiputro (1995), Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Muladi, Barda Nawawi Arief (1992), Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung
Yahya Harahap (2001), Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika.
Romli Atmasasmita (1996), Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem), Bina Cipta, Bandung.
Rusydi Ali Muhammad (2003), Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Problema, Solusi dan Implementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Logos, Jakarta.