Upload
erlinpharm
View
456
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN KELENGKAPAN RESEP PEDIATRI YANG BERPOTENSI MENIMBULKAN MEDICATION ERROR DI 2 RUMAH SAKIT DAN
10 APOTEK DI YOGYAKARTA
Th.B. Titien Siwi Hartayu, Aris Widayati *) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Intisari
Medication error (ME) merupakan kesalahan yang terjadi pada proses
pengobatan yang sebenarnya dapat dicegah apabila faktor-faktor penyebab dapat diidentifikasi secara dini (Cohen, 1991). Medication error dapat terjadi pada fase prescribing, transcribing, dispensing dan administration.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional-deskriptif yang dilakukan terhadap resep untuk anak-anak di 2 rumah sakit (RS I: n= 315, RS II: n=1051) dan 10 apotek (n=612) di Yogyakarta, yang diambil secara aksidental dilengkapi wawancara dengan dokter penulis resep serta apoteker penerima resep di rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidaklengkapan resep yang banyak dijumpai adalah tidak tercantumnya berat badan (RS I: 65,71%; RS II: 100%; Apotek: 98,53%) dan umur pasien (RS I: 49,84%; RS II: 100%; Apotek: 14,05%). Faktor lain yang potensial yaitu adanya resep racikan dengan >3 jenis obat (RS I: 23,81%; RSII: 65,65%; Apotek: 3,43%) dan adanya aturan pakai yang tidak sesuai yaitu obat kausatif kombinasi obat simptomatika (RS I; 73,97%; RS II: 74,88%; Apotek: 73,37%).
Menurut dokter penyebab tidak lengkapnya penulisan resep adalah tingginya tingkat kesibukan dokter sehubungan dengan banyaknya pasien (rata-rata 60 pasien per dokter) dan format blanko resep tidak lengkap. Bagi dokter tidak ada masalah untuk memenuhi kelengkapan resep, bila diperlukan dan tidak mengganggu pelayanan. Menurut apoteker bahwa resep yang tidak lengkap tetap dapat dilayani dengan terlebih dulu konfirmasi ke dokter penulis resep. Kata kunci: medication error, peresepan pediatri
________________
Bab I. Pendahuluan
Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang
masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau
konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohen, 1991, Basse & Myers, 1998).
Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
disebutkan bahwa pengertian medication error adalah kejadian yang merugikan
89
pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang
sebetulnya dapat dicegah. Kejadian medication error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase
prescribing, fase transcribing, fase dispensing dan fase administration oleh pasien.
Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase penulisan
resep. Fase ini meliputi: obat yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat pasien
atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat yang tidak ada indikasinya, tidak
tepat dosis dan aturan pakai. Pada fase transcribing, error terjadi pada saat
pembacaan resep untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena
tulisan yang tidak jelas, misalnya Losec® (omeprazole) dibaca Lasix® (furosemide),
aturan pakai 2 kali sehari 1 tablet terbaca 3 kali sehari 1 tablet. Salah dalam
menterjemahkan order pembuatan resep dan signature juga dapat terjadi pada fase
ini. Error pada fase dispensing terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan resep
oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan terjadinya error adalah salah dalam
mengambil obat dari rak penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip
atau dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya. Selain itu, salah dalam
menghitung jumlah tablet yang akan diracik, ataupun salah dalam pemberian
informasi. Sedangkan error pada fase administration adalah error yang terjadi pada
proses penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau
keluarganya. Error yang terjadi misalnya pasien salah menggunakan supositoria yang
seharusnya melalui dubur tapi dimakan dengan bubur, salah waktu minum obatnya
seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi diminum bersama makan.
Menurut Cohen (1991) dari fase-fase medication error di atas, dapat
dikemukakan bahwa faktor penyebabnya dapat berupa: 1) Komunikasi yang buruk,
baik secara tertulis (dalam resep) maupun secara lisan (antar pasien, dokter dan
apoteker). 2) Sistem distribusi obat yang kurang mendukung (sistem komputerisasi,
sistem penyimpanan obat, dan lain sebagainya). 3) Sumber daya manusia (kurang
pengetahuan, pekerjaan yang berlebihan). 4) Edukasi kepada pasien kurang. 5) Peran
pasien dan keluarganya kurang.
90
Medication error yang terjadi pada fase apapun tentu merugikan pasien dan
dapat menyebabkan kegagalan terapi, bahkan dapat timbul efek obat yang tidak
diharapkan. Menurut Buck (1999), beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh dokter
dalam penulisan resep untuk anak-anak, yaitu: 1) Mengetahui kebutuhan terapi
pasien, alergi obat, potensial interaksi obat. 2) Menuliskan berat badan anak. 3)
Menggunakan nama generik. 4) Menghindari penggunaan singkatan nama obat. 5)
Waspada terhadap peresepan obat yang “look alike” dan “sound alike”, contohnya
Celebrex® dan Cerebyx®. 6) Menyesuaikan dosis dengan referensi yang terkini. 7)
Pembulatan dosis dilakukan terhadap angka terdekat. 8) Untuk pecahan
menggunakan angka nol di depan koma (contoh: ..,5 mg sebaiknya ditulis 0,5 mg )
dan menghindari angka nol dibelakang koma (contoh: 5,0 mg, cukup ditulis 5 mg). 9)
Memeriksa ulang semua hitungan dan satuannya. 10) Menggunakan instruksi dosis
yang spesifik, hindari instruksi semacam “prn” atau “ titrate”, 10) Menghindari order
secara verbal.
Hasil cohort study oleh Kozer, et al (2005) melibatkan 1532 peresepan pasien
anak-anak di ICU 12 Rumah Sakit di Amerika yang disampling secara random,
sekitar 10% di antaranya mengalami medication error yang terinci menjadi
prescribing error (10.1%) dan drug administration error (3,9%). Medication error
pada anak-anak merupakan kejadian yang penting, jika dibandingkan dengan
kejadian pada dewasa maka potensi merugikannya tiga kali lipat. Dari studi terhadap
10788 peresepan pediatri, 616 potensial untuk terjadi error. Sejumlah 120 (19,5%)
termasuk kategori sangat membahayakan, 115 (18,7%) potensial terjadi ADR
(Adverse Drug Reaction), 5 kasus (0,8%) adalah ADR yang dapat dicegah.
Sehubungan dengan hal tsb., ada tiga cara yang dinyatakan dapat mencegah
medication error yaitu: 1) Penulisan resep oleh dokter secara komputerisasi (76%). 2)
Ward clinical pharmacist (81%). 3) Peningkatan komunikasi antar dokter,
apoteker/perawat dan pasien (86%) (Fortescue et al, 2003).
Penerapan sistem komputerisasi untuk peresepan atau Computerized
Physician Order Entry (CPOE) mempunyai potensial untuk menurunkan angka
91
kejadian medication error (medication error rate / MER). Suatu hasil penelitian oleh
King, et al (2003), menunjukkan CPOE mampu menurunkan MER 40% lebih rendah
dibanding kelompok kontrol (ratio=0,60; 95%, CI=0,48; 0,74) dengan total pasien
5786.
Berdasarkan laporan dari USP Medication Error Reporting Program,
beberapa hal berikut dapat dilakukan ketika dokter menulis resep untuk mencegah
salah interpretasi terhadap penulisan resep, yaitu: 1) Mencantumkan identitas dokter
yang tercetak dalam kertas resep. 2) Menuliskan nama lengkap obat (dianjurkan
dalam nama generik), kekuatan, dosis dan bentuk sediaan. 3) Nama pasien, umur dan
alamat, juga berat badan dan nama orang tua untuk pasien anak (Katzung and
Lofholm, 1997).
Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa Apoteker harus memahami dan
menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam
proses pengobatan. Dalam pelayanan resep Apoteker harus melakukan skrining resep
yang meliputi: 1) Persyaratan administratif (a. nama, SIP dan alamat dokter, b.
tanggal penulisan resep, c. tanda tangan / paraf dokter penulis resep, d. nama, alamat,
umur jenis kelamin dan berat badan pasien, e. nama obat, potensi, dosis dan jumlah
yang diminta, f. cara pemakaian yang jelas, g. informasi lainnya). 2) Kesesuaian
farmasetika (a. bentuk sediaan, b. dosis, c. potensi, d. stabilitas, e. inkompatibilitas, f.
cara dan lama pemberian). 3) Pertimbangan klinis (a. efek samping, b. alergi,
c. interaksi, d. kesesuaian indikasi, dosis, pasien, dan lain-lain).
Untuk memudahkan cara pemakaian, pemberian terapi pada kelompok anak-
anak memerlukan bentuk sediaan khusus, misal sirup atau puyer. Sayangnya,
seringkali kemudahan cara pakai tidak mendukung ketepatan aturan pakai yang harus
dipenuhi. Padahal, aturan pakai (signatura) sangat penting karena berkaitan dengan
ketersediaan obat di dalam tubuh yang diperlukan untuk mencapai tujuan terapi.
Sebagai contoh, untuk obat simtomatika seperti obat penurun panas, diperlukan hanya
pada saat demam. Ketika suhu tubuh kembali normal maka obat simtomatika harus
92
segera dihentikan karena sudah tidak diperlukan lagi. Sedangkan obat kausatif seperti
antibiotika, diperlukan dalam jumlah dan waktu tertentu sehubungan dengan
ketersediaannya di dalam tubuh untuk mencapai tujuan terapi. Dengan demikian,
meskipun kondisi tubuh tampak sudah baik (terasa nyaman) tetapi obat tetap harus
diberikan sampai jumlah dan waktu yang diperlukan terpenuhi. Jika kedua obat
diberikan bersama dalam satu racikan puyer/sirup maka obat simtomatika akan terus
terminum padahal sudah tidak diperlukan lagi. Keadaan itu akan dapat memicu
timbulnya efek yang tidak diinginkan dan tentunya akan mempengaruhi keberhasilan
terapi. Hal tersebut sering terjadi pada peresepan racikan. Sayangnya tidak banyak
data tentang kejadian medication error terutama di Indonesia. Hal itu kemungkinan
karena tidak teridentifikasi secara nyata, tidak dapat dibuktikan atau tidak dilaporkan.
Mengingat berbagai hal di atas, apa yang seharusnya dilakukan para farmasis
sebagai mitra kerja dokter untuk mencegah terjadinya medication error dengan
mengidentifikasi secara dini dan menganulir faktor-faktor pemicunya menjadi hal
yang sangat penting.
Bab II. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional-deskriptif dengan
rancangan cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dan
wawancara mendalam kepada dokter penulis resep. Penelitian dilakukan pada resep
pasien anak-anak di 10 Apotek di Yogyakarta (Januari – Maret 2005), resep pasien
anak-anak rawat jalan di Rumah Sakit I (September – Nopember 2004) dan Rumah
Sakit II (Oktober – Desember 2005) dengan metode convinience atau accidental
nonprobabilistic sampling (Trochim, 2003).
Variabel penelitian meliputi:
1. Kelengkapan resep meliputi: identitas dokter, identitas pasien, nama obat, bentuk
sediaan, kekuatan, jumlah obat dan signatura (aturan dan cara pakai).
93
2. Jumlah obat dalam kombinasi / racikan dan kesesuaian aturan pakai dalam
kombinasi obat yaitu adanya obat yang mempunyai aturan pakai yang berbeda
(obat simptomatika dan kausatif) yang diresepkan dalam satu resep racikan.
3. Wawancara mendalam terhadap 2 orang dokter penulis resep dan apoteker
penerima resep di rumah sakit.
Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar kerja, dan dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. identifikasi kelengkapan resep meliputi identitas dokter ( nama, alamat, No. SIK,
spesialisasi), identitas pasien (nama, umur, berat badan, nama orang tua, alamat),
petunjuk bentuk sediaan obat (BSO), kekuatan obat, jumlah obat, cara pakai,
aturan pakai, dan waktu minum.
2. identifikasi kombinasi/racikan obat lebih dari 3 jenis.
3. identifikasi kombinasi/racikan obat dengan aturan pakai yang berbeda.
4. melakukan wawancara mendalam terhadap 2 orang dokter penulis resep dan
apoteker penerima resep di rumah sakit.
Data yang tercatat dalam lembar kerja dan hasil wawancara diolah secara
deskriptif dan dianalisis dengan kajian mendalam.
Bab III. Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi tertinggi ketidaklengkapan
resep yang dapat memicu terjadinya medication error adalah tidak tercantumnya
berat badan (RS I: 65,71%; RS II: 100%; Apotek: 98,53%) dan umur pasien (RS I:
49,84%; RS II: 100%; Apotek: 14,05%). Berat badan pasien pediatri merupakan data
penting sebagai dasar perhitungan dosis obat. Jika informasi berat badan tidak ada
dalam resep maka perhitungan dosis obat sulit ditentukan dan juga tidak dapat
dijamin ketepatannya. Perhitungan dosis dapat pula didasarkan pada umur pasien lalu
dikonversikan ke dalam berat badan, namun pada kenyataannya berat badan tiap anak
berlainan meskipun umurnya sama.
94
Faktor penting lain yang berpotensi cukup tinggi dan sering dijumpai adalah
adanya resep racikan dengan lebih dari 3 jenis obat (RS I: 23,81%; RSII: 65,65%;
Apotek: 3,43%) dan adanya aturan pakai yang tidak sesuai yaitu pada obat kausatif
yang dicampur dengan obat simptomatika dalam racikan (RS I; 73,97%; RS II:
74,88%; Apotek: 73,37%).
Pada resep pediatri, nama orang tua dan alamat sangat penting dituliskan. Hal
ini perlu untuk pelacakan jika terjadi kesalahan dalam pelayanan resep. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa RS I: 98,73% tidak terdapat nama orang-tua dan
63,17% tidak ada alamatnya, di RS II: 100,00% tidak ada nama orang-tua maupun
alamat, sedang di apotek 100,00% tidak ada nama orang-tua dan 81,70% tidak ada
alamat pasien. Nama orang tua dan alamat merupakan hal sederhana dan seringkali
terabaikan tetapi sesungguhnya mempunyai peran sangat penting dalam pencegahan
terjadinya kesalahan penggunaan obat.
Pada penelitian ditemukan resep di apotek tanpa nama pasien (2,12%) dan
penyerahan obat hanya berdasarkan nomor urut yang diberikan apotek. Hal tersebut
merupakan temuan yang menarik karena mempunyai potensi yang besar untuk
menimbulkan terjadinya kesalahan.
Pada penelitian ini juga ditemukan adanya resep tanpa kekuatan obat (RS I:
3,81%, RS II: 5,80%, Apotek: 48,04 %), padahal kekuatan obat diperlukan dalam
penentuan dosis. Mengingat adanya obat yang sama, dikemas dengan kekuatan
berbeda, misalnya amoksisilin 500 mg dan amoksisilin 250 mg, kotrimoksasol dan
kotrimoksasol forte, maka kekuatan obat perlu ditulis dalam peresepan. Ada
kesepakatan tidak tertulis dalam pelayanan obat baik di rumah sakit maupun di
apotek bahwa jika kekuatan obat tidak ditulis maka diberikan obat dengan kekuatan
kecil. Namun apakah ada jaminan bahwa obat dengan kekuatan kecil itu akan mampu
memenuhi dosis untuk tercapainya tujuan terapi.
Penulisan jumlah obat dalam resep mutlak diperlukan untuk menentukan lama
terapi pasien. Jika jumlah obat tidak dituliskan, maka berapa banyak obat yang harus
diberikan kepada pasien tidak dapat ditentukan, akibatnya resep tidak dapat dilayani.
95
Untuk dapat melayaninya diperlukan konfirmasi ke dokter, padahal untuk konfirmasi
bukan merupakan hal yang mudah dilakukan mengingat tingkat kesibukan kedua
belah pihak, yaitu dokter dan farmasis. Keadaan itu berpotensi menghambat
pelayanan, disamping itu juga akan dapat memberikan peluang untuk
penyalahgunaan misalnya pada resep psikotropika pasien bisa menuliskan sendiri
jumlah obatnya sesuai keinginannya. Pada penelitian ini ditemukan adanya resep
tanpa jumlah obat baik di apotek (3,59%) maupun di rumah sakit (RS I; 0,95% dan
RS II 0,19%).
Pada resep, signatura atau aturan dan cara pakai obat harus dituliskan dengan
lengkap dan jelas agar tidak memicu terjadinya administration error. Misalnya obat
harus diminum 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan, harus dikunyah
dulu atau langsung ditelan bersama air matang, atau harus dihisap seperti permen,
dsb. Dengan informasi tersebut diharapkan pasien akan dapat menggunakan obat
dengan benar. Pada penelitian ini ditemukan resep tanpa signatura baik di rumah
sakit (RS I: 0,63% dan RS II: 0,38%) maupun di apotek (3,76%).
Dalam resep racikan, petunjuk pembuatan bentuk sediaan seperti m.f.pulv.dtd;
m.f. suppositoria, m.f. unguentum, dan lain-lain harus dituliskan dengan jelas, karena
setiap bentuk sediaan mempunyai tujuan tertentu, dan dapat mempengaruhi dosis
obat (m.f.pulv. dengan dtd. atau tanpa dtd.). Dengan demikian, penulisan order
bentuk sediaan ini juga tidak kalah pentingnya apalagi untuk pasien anak-anak yang
lebih sesuai dengan bentuk sediaan obat tertentu, misalnya pulveres atau sirup. Hasil
penelitian menunjukkan adanya resep yang tidak mencantumkan petunjuk bentuk
sediaan yang diminta (RS I: 6,67%; RS II: 61,94%; apotek: 22,71%).
Menurut American Medical Association (AMA) (1994), disebutkan bahwa
suatu kombinasi obat dikatakan rasional jika mengandung tidak lebih dari 3 macam
obat dan tidak boleh mengandung lebih dari satu macam obat dengan aksi
farmakologis yang sama. Pada penelitian ini ditemukan adanya resep racikan dengan
lebih dari 3 jenis (RS I: 23,81%, RS II: 65,65%, Apotek: 3,43%). Resep dengan
96
aturan pakai tidak sesuai (RS I: 26,03%, RS II: 25,12%, Apotek: 26,63%) yaitu
pencampuran antara obat yang bersifat simptomatika dan obat kausativa dalam satu
racikan. Obat simptomatika seperti analgetika, antipiretika, mukolitika dan lainnya
digunakan ”jika perlu” atau ”prn”, misalnya jika masih nyeri untuk pemakaian
analgetika, dan ketika demam untuk pemakaian antipiretika. Obat kausatif digunakan
sampai kausanya diperkirakan telah tereradikasi. Misalnya antibakteri digunakan
minimal selama 5 hari dengan harapan setelah terpapar antibakteri selama 5 hari
maka bakteri penginfeksi telah tereradikasi. Berdasarkan hal tersebut seharusnya
pemberian antipiretika (parasetamol) dan antibiotika (amoksisilin) tidak dapat
digabung dalam satu racikan.
Tabel I. Frekuensi Ketidaklengkapan Resep Pasien pediatri di Rumah Sakit I, Rumah Sakit II dan 10 Apotek di Yogyakarta Tahun 2005
No Ketidaklengkapan Resep pada Komponen
Rumah sakit I (n=315) (%)
Rumah sakit II (n=1051) (%)
Apotek (n=612) (%)
1 Nama dokter 1,27 0,28 1,47 2 Spesialisasi 1,90 2,38 38,40 3 Nama pasien 0,00 0,00 2,12 4 Umur 49,84 100,00 14,05 5 Berat badan 65,71 100,00 98,53 6 Nama ortu 98,73 100,00 100,00 7 Alamat 63,17 100,00 81,70 8 Kekuatan obat 3,81 5,80 48,04 9 Jumlah obat 0,95 0,19 3,59 10 Signature 0,63 0,38 3,76 11 Petunjuk bentuk sediaan 6,67 61,94 22,71 Tabel II. Persentase Potensial Medication Error pada Resep Kombinasi/Racikan
untuk pediatri di Rumah Sakit I, Rumah Sakit II dan 10 Apotek di Kota Yogyakarta
No Potensial Medication Error Rumah sakit I (n=315)
(%)
Rumah sakit II (n=1051) (%)
Apotek (n=612)
(%) > 3 obat 23,81 65,65 3,43 1 Jumlah obat dalam racikan < 3 obat 76,19 34,35 96,57 Tidak sesuai 26,03 25,12 26,63 2 Kesesuaian aturan pakai
obat simptomatik dan kausatif
Sesuai 73,97 74,88 73,37
Hasil wawancara mendalam dengan apoteker penerima resep, pelayanan resep
yang tidak lengkap selalu dikonfirmasikan ke dokter. Untuk Instalasi Farmasi di RS,
97
konfirmasi dapat dilakukan dengan relatif lebih mudah, namun jika frekuensi
konfirmasi cukup tinggi seperti pada kasus tidak adanya petunjuk bentuk sediaan
yang harus dibuat (61,94%) maka hal itu akan mengganggu keduabelah pihak, baik
instalasi farmasi maupun dokter. Ketidaklengkapan supersciptio terjadi di RS karena
pasien adalah karyawan RS atau keluarganya yang bertemu dokter tidak di poliklinik
sehingga dokter menulis resep tidak pada blangko resep yang seharusnya.
Hasil wawancara mendalam dengan dokter penulis resep diketahui penyebab
tidak lengkapnya penulisan resep adalah tingginya tingkat kesibukan dokter
sehubungan dengan banyaknya pasien yang harus dilayani setiap kali praktek (rata-
rata 60 pasien per dokter). Selain itu format blanko resep yang tersedia tidak lengkap.
Akibatnya pengisian data pasien pada blanko resep menjadi tidak lengkap. Dalam
wawancara tersebut terungkap bahwa bagi dokter tidak ada masalah untuk memenuhi
persyaratan kelengkapan resep yang diperlukan, sejauh formatnya dapat menunjang
keperluan dan tidak mengganggu pelayanan. Untuk obat racikan dengan jumlah obat
lebih dari 3 jenis dengan aturan pakai tidak sesuai, dokter mengemukakan hal tersebut
dilakukan karena memang dibutuhkan untuk terapi dan tingginya tingkat kesibukan
sehingga tidak cukup waktu untuk menuliskannya secara terpisah. Dokter
mengharapkan apoteker dapat mengatasinya secara profesional sesuai peraturan yang
berlaku.
Bab IV. Kesimpulan dan Saran
Dikaji dari aspek kelengkapan resep maka dapat disimpulkan bahwa semua
peresepan pediatri pada penelitian ini berpotensi menimbulkan medication error
dengan faktor penyebab tingkat kesibukan dokter yang relatif tinggi dan blangko
resep yang tidak mengakomodasi aspek kelengkapan resep yang dipersyaratkan. Hal
ini menunjukkan bahwa pelayanan obat terutama pada pediatri belum dapat dikatakan
aman dan diperlukan adanya perbaikan.
98
Perbaikan dapat dilakukan dengan pengembangan model resep baik manual
atau komputerisasi yang dapat menunjang kebutuhan data pasien maupun obatnya
mengacu pada peraturan yang berlaku.
_________________
Daftar Pustaka
AMA (American Medical Association), 1994, Drug Evaluations Annual, AMA, USA Buck, L.M., 1999, Preventing Medication Error in Children, in Pediatric
Pharmacotherapy, A Monthly Review for Health care Professionals of the Children’s Medical Center, Vol. 5 Number 10, Oct.
Basse, B. and Myers, L., 1998, Medication Error - Definition and Procedure, Hill Country Memorial Health System Frederickburg, Texas.
Chambers, F.H., 2002, Antimicrobial Agents, in Hardman, G.J., Limbird, E.L., Gilman, G.A., (eds): Pharmacological Basic of Therapeutics, 10th Ed., p.1143-1169, McGraw-Hill, New York.
Cohen, M.R.,, 1991, Causes of Medication Error, in: Cohen. M.R., (Ed), Medication Error, American Pharmaceutical Association, Washington, DC.
De Vries,T.P.G.M., Henning, R.H., Hogerzeil, H.V., Fresle, D.A., 1994, Guide to good prescribing, WHO, Geneva.
Dwiprahasto, 2003, Penggunaan Obat Pada Anak, Ibu Hamil, dan Ibu Menyusui, Makalah, Seminar Kajian Resep Dokter dan Strategi Pelayanan Obat Masa Kini di Apotek, FK UGM, Yogyakarta.
Fortescue, E.B., et al, 2003, Prioritizing Strategies for Preventing Medication Errors and Adverse Drug Events in Pediatric Inpatients, Pediatrics, American Academy of Pediatrics, Vol. III. No. 4 April, p.722-729.
Gennaro, A.R., 1985, Remington’s Pharmaceutical Sciences, 17th Edition, Merck Publishing Company, Easton, USA.
Hughes, J., 1998, Paediatrics, in: Hughes, J., Donnelli, R., James – Chatgilaou, G. (Eds)., Clinical Pharmacy A Practical Approach, SHPA, Australia, 36 -49
Katzung, B.G., and Lofholm, P.W., 1997, Peresepan Rasional dan Penulisan Resep, dalam: Katzung, B.G., Basic & Clinical Pharmacology, diterjemahkan oleh Agoes, H.A., (ed), Edisi VI, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, hal: 1010 – 1021
Kausal, R., Jaggi, T., Walsh, K., Fortescue, E.B., Bates, D.W., 2004, Pediatric Medication Errors: What Do We Know? What Gaps Remain?, Ambulatory Pediatrics, Vol. 4, number 1, P. 73-81.
KepMenKes RI Nomor 26 MenKes/Per/1981, Departemen Kesehatan RI, Jakarta KepMenKes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Standar Pelayanan Kefarmasian
di Apotek, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
99
King, W.J., Paice, N., Rangrej, J., Forestell, G.J., Swartz, R., (2003), The Effect of Computerized Physician Order Entry on medication Errors and Adverse Drug Events in Pediatric Inpatients, Pediatrics, Vol. 112 No. 3 September, P. 506 – 509.
Kozer, E. , et al, 2005, Variables Associated With Medication Errors in Pediatric Emergency Medicine, Pediatrics, American Academy of Pediatrics, March 4, p. 737-743
Prest, M., 2003, Penggunaan Obat Pada Anak – Anak, dalam: Aslam, M., Tan, C.K., Prayitno, A. (Eds), Farmasi Klinis Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien, Gramedia, Jakarta, 191 – 199.
_________________________
100