Upload
zuhrahgiatamah
View
60
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
totikolis
Citation preview
Totikolis merupakan kelainan kongenital dimana otot Sternocleidomastoideus mengalami fibrosis dan gagal memanjang sementara tubuh anak terus tumbuh sehingga terjadi deformitas progresif.
Etiologi
Faktor utama masih belum diketahui (idiopatik) Faktor resiko :
o Iskemik otot SCM di intrauterine karena posisinya yang menyimpang (presentasi bokong)
o Trauma saat kelahirano Riwayat lahir sungsang
PatofisiologiKeadaan iskemik pada otot SCM akan mengakibatkan otot tersebut mengalami fibrosis dan tidak akan berkembang seperti otot lainnya. Bila terjadi pada salah satu sisi otot CSM saja, maka akan menimbulkan manifestasi yang membuat kepala anak menjadi miring ke arah sisi yang terkena tersebut.
Manifestasi Klinis
Sering kelainannya tidak terlihat nyata dari usia 1-2 tahun. Leher menjadi tidak seimbang dan pendek pada bagian yang fibrosis Di sisi yang fibrosis, telinga mendekati bahu Garis mata dan garis bahu membentuk sudut (normalnya sejajar) Perkembangan muka dapat menjadi asimetris
Diagnosis
Riwayat kelahiran sukar atau sungsang Kepala miring ke arah yang sakit (singkirkan penyebab lain : anomali tulang, diskitis,
limfadenitis) Telinga mendekati bahu Terdapat benjolan berbatas tegas yang melibatkan satu atau kedua caput
sternocledomastoideus.
Tatalaksana
Bila diketahui sudah sejak bayi, maka dilakukan perentangan otot setiap hari untuk mencegah perkembangan deformitasnya.
Bila lehernya menjadi miring => koreksi dengan operatif. Otot yang berkontraksi dibelah (biasanya bagian bawah, tapi kadang-kadang juga pada ujung atas atau keduanya) dan kepala dimanipulasi agar posisinya netral. Setelah operasi, posisinya dipertahankan
dengan suatu tutup-tengkorak/skull cup yang diikatkan ke bawah aksila. Sesudah itu, dipakai ban leher polietilen hingga anak dapat mempertahankan posisi kepalanya dengan benar.
PrognosisSemakin muda ditatalaksana, semakin baik prognosis. Pola pikirAda bayi dengan keluhan kepala miring sebelah => periksa dan singkirkan kemungkinan anomali tulang, diskitis dan limfadenitis => bila memang tortikolis, tatalaksana berdasar usia. Bila masih muda, lakukan perentangan (membiasakan menoleh ke arah yang fibrosis, diberi ASI searah yang fibrosis, dll) => bila tidak bisa, operatif.
http://catatanmahasiswafk.blogspot.com/2012/03/tortikolis-congenital-muscular.html
TORTIKOLIS
Tortikolis adalah istilah medis untuk menggambarkan suatu keadaan pada leher yang terputar. Dalam bahasa latin "torus" artinya berputar dan "collum" artinya leher.
Tortikolis sering terjadi pada anak dan dibedakan menjadi 2 jenis yaitu: bawaan (congenital) dan yang didapat setelah lahir (acquired).
Apa yang dimaksud dengan tortikolis kongenital?
Pada tortikolis kongenital, terjadi kontraktur/ kekakuan otot sternokleidomastoid pada satu sisi. Otot sternokleidomastoid adalah otot pada leher yang berfungsi untuk menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Kekakuan pada otot ini akan mengakibatkanterjadinya keterbatasan pergerakan leher bayi karena pemendekan serabut-serabut otot tersebut.
Tortikolis kongenital terjadi pada 3-19 per 1.000 kelahiran bayi. Penyebab dari tortikolis kongenital belum diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa teori yang mengatakan bahwa trauma jalan lahir mungkin menjadi penyebabnya. Tortikolis kongenital biasanya terlihat pada usia 2-4 minggu kelahiran.
Gejalanya adalah kepala leher yang selalu menoleh ke satu sisi saja saat tidur, dan pergerakan leher yang sangat terbatas. Komplikasi dari tortikolis kongenital yang tidak diterapi adalah asimetri bentuk wajah dan asimetri bentuk kepala atau penglihatan ganda (diplopia).
Tip
Tortikolis cukup mudah dikenali oleh orangtua. Bayi/anak dengan tortikolis cenderung hanya menoleh terus ke satu sisi. Jika orangtua mendapati bayi/anak menoleh ke satu sisi saja segera bawa bayi/anak ke dokter untuk diperiksa.
Apa yang dimaksud tortikolis yang didapat setelah lahir?
Pada tortikolis yang didapat setelah lahir, biasanya penyebabnya diketahui yaitu:Cedera/peradangan pada saraf-saraf leherAbses retrofaringeal (nanah yang terletak di belakang tenggorokan)RadangtenggorokanPergeseran dari tulang belakang, terutama di daerah leherPerdarahan di sekitar tulang belakang daerah leherAdanya tumor di daerah tulang belakang kepalaPada tortikolis yang didapat setelah lahir, gejalanya hampir sama dengan tortikolis kongenital, yaitu leher bayi selalu menoleh ke arah yang sama dan pergerakan leher bayi yang terbatas.
Perbedaannya adalah biasanya terjadi beberapa bulan setelah kelahiran, ada faktor penyebab yang lebih jelas yang mendasarinya dan tidak terjadi komplikasi berupa asimetri wajah.
Bagaimana cara mengatasi tortikolis?
Prinsip pengobatan tortikolis, baik tortikolis kongenital atau tortikolis yang didapat sebenarnya hampir sama. Langkah pertama adalah memastikan apakah tortikolis tersebut memerlukan intervensi segera atau tidak.
Pada tortikolis kongenital kadang terjadi penyembuhan dengan sendirinya, dan bila dirasakan perlu dapat dilakukan fisioterapi dan latihan untuk otot sternokleidomastoid tersebut.
Penggunaan collar neck (penahan leher) pada tortikolis kongenital kadang diperlukan untuk membantu proses pemulihan. Pada tortikolis yang didapat, langkah awalnya adalah menangani penyebabnya. Pemberian obat-obat seperti pelentur otot dan penahan rasa sakit atau anti radang dapat membantu proses penyembuhan tortikolis.
KesimpulanTortikolis adalah istilah medis untuk menggambarkan keadaan leher yang terputar atau terpuntir.Tanda utama tortikolis adalah anak cenderung hanya menoleh ke satu sisi saja.Ada 2 jenis tortikolis yaitu tortikolis bawaan sejak lahir (kongenital) dan tortikolis yang didapat setelah lahir.Penanganan tortikolis disesuaikan dengan jenisnya. Penggunaan collar neck dan obat-obatan harus atas petunjuk dokter.
http://novia-ekaputri.blogspot.com/2010/09/tortikolis.html
TORTICOLIS
Kata Tortikolis berasal dari bahasa Latin , torta ( twisted = terputar ) dan collum ( leher ). Tortikolis menggambarkan posisi abnormal leher. Gangguan tortikolis yang paling sering ditemukan adalah Congenital Muscular Torticolis yaitu kondisi keterbatasan gerakan leher kongenital atau bawaan sejak lahir, dimana anak akan menahan atau memposisikan kepala pada satu sisi dengan dagu mengarah pada sisi yang berlawanan.
Apakah penyebab Tortikolis ?: Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui. Ada berbagai faktor yang dianggap sebagai penyebab diantaranya trauma lahir, malposisi in-utero, infeksi, iskemia jaringan, abnormalitas vertebra seperti rotary subluxation of the atlanto-axial joints atau hemivertebra, problem imbalance of extraocular muscles ( Ocular Torticollis ) serta ketidakseimbangan neurologis ( Benign Paroxysmal Torticollis ). Davids, Wenger dan Mubarak ( 1993 ) melalui penilaian anatomis, pemeriksaan klinis dan MRI menyatakan bahwa tortikolis merupakan gejala sisa dari uterine or perinatal compartment syndrome.
Otot sternocleidomastoid memendek karena berubah menjadi jaringan ikat akibat gangguan vaskularisasi atau karena posisi kepala saat intrauterin Ho BCS, Lee EH, Singh K (1999) yang meneliti 91 pasien tortikolis menemukan trauma lahir yang menyebabkan tortikolis adalah persalinan letak vertex dan sisi lesi tergantung letak bahu pada saat persalinan.
Trauma saat persalinan dapat menyebabkan perdarahan pada otot leher terutama otot sternocleidomastoid.. Weiner DS ( 1976 ) melaporkan 0.6% - 20% dari tortikolis mengalami juga hip dysplasia.
Apakah gejalanya ?: Pada bayi baru lahir, massa yang firm, non-tender didapatkan pada bagian tengah otot sternocleidomastoid. Kondisi ini tidak menyebabkan sakit tapi orangtua akan cemas karena leher terangkat dan terpaku pada satu sisi atau arah.
Kadangkala didapatkan massa lain yang dapat dilihat atau dirasakan pada otot ini yang merupakan hematoma yang sedang dalam proses membentuk jaringan ikat. Massa ini dapat sembuh total pada usia 3 bulan.
Jika tidak terkoreksi sebelum usia 1 tahun massa ini dapat berganti menjadi jaringan ikat sehingga otot semakin memendek , keterbatasan gerakan leher permanen. Kondisi ini mengakibatkan posisi kepala selalu miring ke satu sisi, dan jika dibiarkan anak bertumbuh dengan kondisi ini akan menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang tengkorak dan wajah, kepala dan wajah menjadi asimetris, datar pada sisi otot yang memendek dan mengakibatkan kelainan yang disebut plagiocephaly, kepala dan wajah menjadi miring pada satu sisi.
Datar pada satu sisi dan menonjol pada sisi lainnya. Artinya bila lebih dari usia 1 tahun hal ini tidak terkoreksi maka wajah yang tidak asimetris akan menetap.
Sisi kanan terlibat pada 75% kasus artinya anak menahan posisi kepala terangkat ke kanan, sedangkan wajah dan dagu berotasi ke kiri ( MacDonald D, 1969).
Bagaimana mengobati Tortikolis ?: Setelah melakukan pemeriksaan fisik dan radiologis untuk menyingkirkan kemungkinan adanya masalah pada daerah leher dan panggul, dokter akan dapat menentukan penyebab dari tortikolis. Pada awalnya terapi utama yang dilakukan adalah latihan peregangan secara halus dan lembut pada otot yang mengalami pemendekan 15-20 kali, 4-6 kali per-hari.
Pada tortikolis kanan, kepala terangkat ke kanan, wajah terputar ke kiri. Peregangan dilakukan dengan mengangkat wajah ke kiri ( telinga kiri mendekati bahu dan putar wajah ke kanan – dagu ke arah bahu kanan ).
Pada tortikolis kiri, kepala terangkat ke kiri dan wajah terputar ke kanan. Stretching dilakukan dengan dengan mengangkat kepala ke kanan ( telinga kanan mendekati bahu dan putar wajah ke kiri – dagu ke arah bahu kiri ).
Dibutuhkan bantuan orang lain untuk stabilisasi bahu saat melakukan peregangan. Latihan harus konsisten dan dilakukan sampai usia 1 tahun
http://ppnitapinrantau.blogspot.com/2012/03/torticolis.html
GAYA BERJALAN, KELAINAN POSTUR DAN MASALAH GANGGUAN IMOBILISASI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas,
dan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas.
Mobilisasi dan imobilisasi berada pada rentang dengan banyak tingkatan imobilisasi parsial
diantaranya. Beberapa klien mengalami kemunduran dan selanjutnya berada diantara
rentang mobilisasi—imobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi imobilisasi
mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas (Perry dan Potter, 1994).
Dalam makalah ini akan dibahas tentang gaya berjalan, dan kelainan postur tubuh
sebagaimana hal ini dipengaruhi oleh kedua faktor yang telah disebutkan diatas yaitu
mobilisasi dan imobilisasi
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian gaya berjalan
2. Bagaimana bentuk-bentuk kelainan postur tubuh
3. Apa pengertian imobilisasi dan masalah-masalah yang menyertainya
1.3 TUJUAN
Diharapkan mahasiswa mengetahui tentang macam-macam kelainan postur tubuh
serta masalah yang berhubungan dengan imobilisasi sehingga mahasiswa dapat mengerti
bagaimana akan melakukan pemberian asuhan keperawatan yang baik dan benar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 GAYA BERJALAN
Istilah gaya berjalan digunakan untuk menggambarkan cara utama atau gaya
ketika berjalan (Fish & Nielsen, 1993). Siklus gaya berjalan dimulai dari tumit
mengangkat satu tungkai dan berlanjut dengan tumit mengangkat tungkai yang sama.
Interval ini sama dengan 100% siklus gaya berjalan dan berlangsung 1 detik untuik
kenyamanan berjalan (Lehmann et al, 1992).
Dengan mengkaji gaya berjalan klien memungkinkan perawat untuk membuat
kesimpulan tentang keseimbangan, postur, keamanan, dan kemampuan berjalan tanpa
bantuan. Mekanika gaya berjalan manusia mengikuti kesesuaian sistem skeletal, saraf, dan
otot dari tubuh manusia (Fish & Nielsen, 1993).
2.2 KELAINAN POSTUR TUBUH
Ketidak
normalan
Deskripsi Penyebab Penatalaksanaan
Tortikolis Mencondongkan
kepala kesisi yang
sakit, dimana otot
sterno
kleidomastoideus
berkontraksi
Kondisi
kongenital atau
didapat
Operasi, pemanasan, topangan
atau imobilisasi, berdasarkan
penyebab dan tingkat
keparahan
Lordosis Kurva anterior
pada spinalis
lumbal yang
melengkung
berlebihan
Kondisi
kongenital.
Kondisi temporer
(mis. Kehamilan)
Latihan peregangan spinal
(berdasarkan penyebab)
Kifosis Peningkatan
kelengkungan
Kondisi
kongenital.
Latihan peregangan spinal,
tidur tanpa bantal,
pada kurva spinal
torakal
Penyakit tulang/
Ricket
Tuberkulosis
spinal
menggunakan papan tempat
tidur, memakai brace/jacket,
penggabungan spinal
(berdasarkan penyebab dan
tingkat keparahan)
Kifolordosis Kombinasi dari
dan lordosis
Kondisi
kongenital
Sama dengan metode yang
disunakan untuk kifosis dan
lordosis (berdasarkan
penyebab)
Skoliosis Karvatura spinal
lateral, tinggi
pinggul dan bahu
tidak sama
Kondisi
kongenital
Poliomielitis
Paralisis spatik
Panjang kaki
tidak sama
Immobilisasi dan operasi
(berdasarkan penyebab dan
tingkat keparahan)
Kifoskoliosis Tidak normalnya
kurva spinal
anteroposterior
dan lateral
Kondisi
kongenital
Poliomielitis
Kor Pulmonal
Immobilisasi dan operasi
(berdasarkan penyebab dan
tingkat keparahan)
Displasia
pinggul
kongenital
Ketidakstabilan
pinggul dengan
keterbatasan
abduksi pinggul,
dan kadang-
kadang kontraktur
adduksi (kaput
femur tidak
tersambung
dengan assebulum
karena abnormal
kedangkalan
Kondisi
kongenital
(biasanya dengan
kelahiran
sungsang)
Mempertahankan abduksi
paha yang terus menerus
sehingga kaput femur
menekan ke bagian tengah
asetabulum
Bebat abduksi, gips,
pembedahan
asetabulum)
Knock-knee
(genu-
valgum)
Kurva kaki yang
masuk ke dalam
sehingga lutut
rapat jika
seseorang berjalan
Kondisi
kongenital
Penyakit tulang/
Ricket
Knee brances, operasi jika
tidak dapat diperbaiki oleh
pertumbuhan
Bowlegs
(Genu varum)
Satu atau dua kaki
bengkok keluar
pada lutut, kondisi
ini normal sampai
usia 2-3 tahun
Kondisi
kongenital
Penyakit tulang/
Ricket
Memperlambat kurva jika
tidak dapat diperbaiki oleh
pertumbuhan
Dengan penyakit tulang
meningkatkan vitamin D,
kalsium, dan fosfor
Clubfoot 95%: deviasi
medial dan
plantar-fleksi kaki
(equinovarus)
5%: deviasi lateral
dan dorsifleksi
(calcaneovalgus)
Kondisi
kongenital
Gips, pembidaian seperti
Denis-Browne splint, dan
operasi (tergantrung tingkat
deformitas)
Footdrop Plantarfleksi,
ketidakmampuan
menekuk kaki
karena kerusakan
saraf patoreal
Kondisi
kongenital
Trauma
Posisi
Immobilisasi
Tidak ada (tidak dapat
dikoreksi)
Dicegah melalui terapi fisik
Pigeon-toes Rotasi dalam kaki
depan, biasa pada
bayi
Kondisi
kongenital
Kebiasaan
Pertumbuhan, menggunakan
sepatu terbalik
2.3 IMMOBILISASI
Gangguan mobilisasi fisik (immobilisasi) disefinisikan oleh North American
Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu keadaan ketika individu
mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Kim et al, 1995).perubahan
dalam tingkat mobilisasi fisik daqpat mengakibatkan instruksi pembatasan gerak dalam
bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu eksternal (mis.
Gips atau traksi rangka), pembatasan gerakan volunter, atau kehilangan fungsi motorik.
2.4 MASALAH DAN ETIOLOGI GANGGUAN IMMOBILISASI
Masalah yang berhubungan dengan immobilisasi dapat berpengaruh terhadap sistem tubuh
diantaranya:
A. PENGARUH FISIOLOGIS
Pengaruh fisiologis meliputi:
1. Perubahan Metabolik
Etiologi. Immobilisasi mengganggu fungsi metabolik normal, antara lain laju
metabolik; metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; ketidakseimbangan kalsium;
dan gangguan pencernaan. Keberadaan proses infeksius pada klien immobilisasi
mengalami peningkatan BMR diakibatkan karena demam atau penyembuhan luka.
Demam dan penyembuhan luka meningkatkan kebutuhan oksigen selular (McCance
dan Huether, 1994).
Intervensi. Ketika mengkaji fungsi metabolik, perawat menggunakan pengukuran
antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot, menggunakan pancatatan asupan dan
haluaran serta data laboratorium untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit maupun
kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka untuk mengevaluasi perubahan
transport nutrien, mengkaji asupan makanan dan pola eliminasi klien untuk
menentukan fungsi gastrointestinal.
2. Perubahan Sistem Respiratori
Etiologi. Klien pasca operasi dan immobilisasi beresiko tinggi mengalami komplikasi
paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah atelektasis dan
pneumonia hipostatik. Pada atelektasis, bronkiolus menjadi tertutup oleh adanya
sekresi dan kolaps alveolus distal karena udara yang diabsorpsi, sehingga
menghasilkan hipoventilasi. Bronkus utama atau beberapa bronkus kecil dapat
terkena. Luasnya atelektasis ditentukan oleh bagian yang tertutup. Pneumonia
hipostatik adalah peradangan paru-paru akibat statisnya sekresi. Atelektasis dan
pneumonia hipostatik, keduanya sama-sama menurunkan oksigenasi, memperlama
penyembuhan, dan menambah ketidaknyamanan klien (Long et al, 1993).
Intervensi. Pengkajian sistem respiratori harus dilakukan minimal setiap 2 jam pada
klien yang mengalami keterbatasan aktivitas. Perawat menginspeksi mengalami
keterbatasan aktivitas. Perawat menginspeksi pergerakan dinding dada selama siklus
inspirasi-ekspirasi penuh. Jika klien mempunyai area atelektasis, gerakan dadanya
menjadi asimetris. Selaia itu, perawat mengauskultasi seluruh area paru-paru untuk
mengidentifikasi gangguan suara napas, crackles, atau mengi. Auskultasi harus
berfokus pada area paru-paru yang tergantung karena sekresi paru cenderung
menumpukdi area bagian bawah. Pengkajian sistem respiratori lengkap
mengidentifasi adanya sekresi dan menentukan tindakan keperawatan yang
dibutuhkan untuk mengoptimalkan fungsi respiratori.
3. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Ada tiga perubahan utama yaitu:
· Hipotensi ortostatik
Adalah penurunan tekanan darah sistolik 25 mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika
klien bangun dari posisi berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada klien
imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah pada
ekstremitas bawah, dan penurunan respon otonom. Faktor-faktor tersebut
mengakibatkan penurunan aliran listrik vena, diikuti oleh penurunan curah
jantung yangterlihat pada penurunan tekanan darah (McCance and Huether,
1994).
· Beban kerja jantung
Jika beban kerja jantung meningkat maka konsumsi oksigen juga meningkat. Oleh
karena itu jantung bekerja lebih keras dan kurang efisien selama masa istirahat
yang lama. Jika imobilisasi meningkat maka curah jantung menurun, penurunan
efisiensi jantung yang lebih lanjutdan peningkatan beban kerja.
· Trombus
Adalah akumulasi trombosit, fibrin, faktor-faktor pembekuan darah, dan elemen
sel-sel darah yang menempel pada dinding bagian anterior vena atau arteri,
kadang-kadang menutup lumen pembuluh darah. Ada tiga faktor yang
menyebabkan pembentukan trombus:
- Hilangnya integritas dinding pembuluh darah (mis. Artherosklerosis)
- Kelainan aliran darah (mis. Aliran darah vena yang lambat akibat tirah
baring dan imobilisasi)
- Perubahan unsur-unsur darah (mis. Perubahan dalam faktor pembekuan
darah atau peningkatan aktivitas trombosit) (McCance and Huether, 1994)
Intervensi. Pengakajian keperawatan kardiovaskuler pada klien imobilisasi termasuk
memantau tekanan darah, mengevaluasi nadi apeks maupun nadi perifer,
mengobservasi tanda-tanda adanya statis vena (mis. Edema dan penyembuhan luka
yang buruk). Tekanan darah klien harus diukur, terutama jika berubah dari berbaring
(rekumben) ke duduk atau berdiri akibat resiko terjadi hipotensi ortostatik. Dengan
cara ini, kemampuan klien meninggalkan pengaman tempat tidur.
Perawat juga mengkaji nadi apeks dan perifer. Pada beberapa klien terutama
lansia, jantung tidak dapat mentoleransi beban kerja, dan berkembang menjadi gagal
jantung. Memantau nadi perifer memungkinkan perawat mengevaluasi kemampuan
jantung memompa darah. Tidak adanya nadi perifer di ekstrimitas bawah, terutama
jika sebelumnya ada, harus dicatat dan dipaorkan ke dokter. Perawat mengkaji sistem
vena karena trombosis vena profundan merupakan bahaya dari keterbatasan
mobilisasi dengan cara, perawat melepas stoking elastis klien dan/atau sequetial
compression devices (SCDs) setiap 8 jam dan mengobservasi betis terhadap
kemerahan, hangat, dan kelembekan. Tanda Homan (Homan’s sign) atau nyeri betis
pada kaki dorsifleksi, mengindikasikan adanya kemungkinan adanya trombus, tetapi
tanda ini tidak selalu ada (Beare dan Myers, 1994).
4. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Etiologi. Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi gangguan
mobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot klien melalui
kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi, penurunan stabilitas, dan
gangguan metabolisme kalsium dan gangguan mobilisasi sendi.
· Pengaruh otot
Akibat pemecahan protein, klien mengalami kehilangan massa tubuh,
yang membentuk sebagian otot. Massa otot menurun akibat metabolisme dan otot
tidak dilatih, maka akan terjadi penurunan massa yang berkelanjutan. Contohnya
akan terjadi atrofi, merupakan suatu keadaan yang dipandang secara luas sebagai
respon terhadap penyakit dan penurunan aktivitas sehari-hari, seperti paada
respons imobilisasi dan tirah baring (Kasper et al, 1993).
· Pengaruh skelet
Imobilisasi menyababkan dua perubahan terhadap skelet; gangguan
metabolisme kalsiumdan kelainan sendi. Imobilisasi berakibat pada resorpsi
tulang, sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis
(Holm, 1998).
Kelainan sendi adalah kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai
oleh sendi fleksi dan terfiksasi. Hal ini disebabkan tidak digunakannya, atrofi, dan
pemendekan serat otot. Satu macam kontraktur umum dan lemah yang terjadi
adalah foot droop.
Intervensi. Kelianan muskuloskeletal utama dapat didentifikasi selama pengkajian
keperawatan meliputi penurunan tonus otot, kehilangan massa otot, dan kontraktur.
Gambaran pengukuran antropometrik sebelumnya mengindikasikan kehilangan tonus
dan massa otot. Pengkajian rentan gerak adalah penting sebagai data dasar, yang
mana hasil pengukuran nantinya dibandingkan untuk mengevaluasi terjadi kehilangan
mobilisasi sendi. Rentang gerak diukur dengan menggunakan goniometer.
Disuse Osteoporosis tidak teridentifikasi oleh pemeriksaan fisik. Pada wanita post
menopause dan orang yang mengalami peningkatan kadar kalsium di darah dan di
urine kemungkinan beresiko besar demineralisasi tulang. Resiko Desuse Osteoporosis
harus dipertimbangkan ketika merencanakan tindakan keperawatan. Contohnya
perkusi dan fibrasi tulang rusuk harus dilakukan hati-hati pada klien yang
kemungkinan disuse osteoporosis karena resiko terjadi fraktur tulang rusuk.
5. Perubahan Sistem Integumen
Etiologi. Dekubitus adalah salah satu penyakit iatrogenik paling umum dalam
perawatan kesehatan dimana berpengaruh terhadap populasi klien khususnya—lansia
dan yang imoblisasi (Alterescu dan Alterescu, 1992). Dekubitus terjaid akibat iskemia
dan anoksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah membelok, dan kontriksi kuat
pada pembuluh darah akibat tekanan persisten pada kulit dan struktur dibawah kulit
sehingga respirasi selular terganggu, dan sel menjadi mati (Ebersole dan Hose, 1994).
Intervensi. Perawat harus terus-menerus mengkaji kulit klien terhadap tanda-tanda
kerusakan. Kulit harus diobservasi ketika klien bergerak, diperhatikan higienisnya,
atau dipenuhi kebutuhan eliminasinya. Pengkajian minimal harus dilakukan setiap 2
jam.
6. Perubahan Eliminasi Urine
Etiologi. Eliminasi urine klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak
lurus, urin mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam ureter dan kandug
kemih akibat gaya gravitasi. Jika klien dalam posisi rekumben atau datar, ginjal dan
ureter membentuk garis datar seperti pesawat. Ginjal yang membentuk urine harus
masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat kontraksi
peristaltikureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi
terisi sebelum urine masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut statis urine dan
meningkatkan resiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal.
Batu ginjal adalah batu yang kalsium yang terletak di dalam pelvis ginjal dan
melewati ureter. Klien imobilisasi beresiko terjadi pembentukan batu karena
gangguan metabolisme kalsium dan akibat hiperkalsemia (Holm, 1989).
Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut, asupan cairan yang terbatas, dan
penyebab lain, seperti demam, akan meningkatkan resiko dehidrasi. Akibatnya
haluaran urine menurun sekitar pada hari kelima atau keenam. Pada umumnya yang
diproduksi berkonsentrasi tinggi.
Urine yang pekat ini meningkatkan resiko terjadi batu dan infeksi. Perawatan
perienal yang buruk setelah defekasi, terutama pada wanita, meningkatkan resiko
kontaminasi saluran perkemihan oleh bakteri Escherechia coli. Penyebab lain infeksi
saluran perkemihan pada klien imobilisasi adalah pemakaian kateter urine menetap.
Intervensi. Status eliminasi klien harus dievaluasi setiap shift, dan total asupan dan
haluaran dievaluasi setiap 24 jam. Perawat harus menentukan bahwa klien menerima
jumlah dan jenis cairan melalui oral atau parenteral dengan benar.
B. PENGARUH PSIKOSOSIAL
Etiologi. Imobilisasi menyebabkan respons emosional, intelektual, sensoris, dan
sosiokultural. Perubahan status emosional biasa terjadi bertahap. Bagaimana juga
lansia lebih rentan terhadap perubahan-perubahan tersebut, sehingga perawat harus
mengobservasi lebih dini. Perubahan emosional paling umum adalah depresi,
perubahan perilaku, perubahan siklus tidur bangun, dan gangguan koping.
Intervensi. Perawat harus mengkaji perubahan status emosional untuk itu, perawat
harus mengobservasi selama beberapa hari sebelum menyimpulkan bahwa ia
mempunyai masalah depresi. Perawat juga harus mengobservasi perubahan perilaku,
perawat mencoba menentukan penyebab perubahan tersebut untuk mengidentifikasi
terapi keperawatan yang spesifik. Perawat juga mengobservasi perubahan
penggunaan mekanisme koping klien yang normal dalam beradaptasi terhadap
imobilisasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Gaya berjalan digunakan untuk menggambarkan cara utama atau gaya ketika
berjalan. Dengan mengkaji gaya berjalan klien memungkinkan perawat untuk membuat
kesimpulan tentang keseimbangan, postur, keamanan, dan kemampuan berjalan tanpa
bantuan. Masalah yang berhubungan dengan immobilisasi dapat berpengaruh terhadap
sistem tubuh yang berupa pengaruh fisiologis dan psikososial.
Perawat mengkaji klien dari bahaya imobilisasi dengan melakukan pemeriksaan
fisik dari ujung kepala sampai ujung kaki. Selain itu, pengkajian keperawatan harus
berfokus pada area fisiologis, sama seperti aspek psikososial dan perkembangan klien.
3.2 SARAN
Dalam mengkaji tentang masalah yang berhubungan dengan imobilisasi seorang
perawat harus hati-hati dan teliti dimaksudkan untuk menjaga supaya tidak terjadi cedera
baru kepada klien. Oleh karena itu, seorang perawat harus benar-benar menguasai dan
memahami tentang seluk beluk masalah-masalah yang berhubungan dengan mobilisasi.
http://nursing-academy.blogspot.com/2011/09/gaya-berjalan-kelainan-postur-dan.html
Torticollis spasmodic merupakan kekakuan pada otot-otot leher yang disebabkan karena kontraksi terus menerus dalam jangka waktu tertentu, bisa juga karena adanya gerakan involunter dari kepala. Tortikolis terjadi pada 1 dari 10.000 orang dan sekitar 1,5 kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria.Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur tetapi paling sering ditemukan pada usia antara 30-60 tahun. Penyakit ini juga bisa diderita oleh bayi sejak leher dengan mekanisme yang belum diketahui secara jelas, namun diduga karena posisi kepala saat berada di dalam kandungan ataupun saat proses persalinan. Pada masa lalu terjadinya tortikolis adalah kegagalan pada otot leher dimana timbul hysteria yang berlebihan. Dimana gejalanya sama dengan kelainan yang disebabkan secara organik. Ketika tortikolis diketahui berhubungan dengan efek voluter bentuk dari gejala yang ada adalah hysteria, dimana bentuk awal dari gejala ini adalah tic. Bentuk hysteria berasal dari gejala yang merupakan respon dari pengobatan dari terjadinya kelainan emosional yang utama.