19
Trauma Tembus Jantung Dr. Wuryantoro, SpB, SpBTKV PENDAHULUAN Jantung merupakan salah satu organ paling penting dalam tubuh manusia, yang terus menerus bekerja dari awal hingga akhir kehidupan. 1 Karena akses pembedahan yang sulit dan gerakan jantung yang ritmik dan terus menerus, manipulasi bedah pada jantung sempat menjadi sesuatu yang tabu pada awal era pembedahan modern. 2 Akibatnya, penanganan trauma jantung baru mulai berkembang pada awal abad ke-19 1,2,3 , walaupun perlukaan jantung sudah tercatat sejak 3000 tahun sebelum Masehi seperti ditulis dalam Edwin Smith Papyrus 1,3 . Saat ini, trauma tembus jantung masih merupakan cedera yang berbahaya, namun sangat mungkin untuk diselamatkan. Wuryantoro melaporkan keberhasilan penanganan 6 kasus luka tusuk jantung tahun 1989 di RSUPN Cipto Mangunkusuom. Djoko J di RSCM melaporkan angka keberhasilan 50% dari 4 kasus yang didapatkan. 4 Keberhasilan penanganannya sangat bergantung pada keputusan untuk segera melakukan intervensi bedah, teknik bedah yang baik dan perawatan pasca bedah yang prima. 1,5 Angka kematian trauma tembus jantung sebelum sampai di rumah sakit berkisar antara 70-80%, sementara jika sudah sampai di rumah sakit, turun drastis hingga mencapai 23-35%. 6 SEJARAH 1

Trauma Tembus Jantung

Embed Size (px)

DESCRIPTION

trauma tajam jantung

Citation preview

Trauma Tembus Jantung

Dr. Wuryantoro, SpB, SpBTKV

PENDAHULUANJantung merupakan salah satu organ paling penting dalam tubuh manusia, yang terus menerus bekerja dari awal hingga akhir kehidupan.1 Karena akses pembedahan yang sulit dan gerakan jantung yang ritmik dan terus menerus, manipulasi bedah pada jantung sempat menjadi sesuatu yang tabu pada awal era pembedahan modern.2 Akibatnya, penanganan trauma jantung baru mulai berkembang pada awal abad ke-19 ADDIN EN.CITE

1,2,3, walaupun perlukaan jantung sudah tercatat sejak 3000 tahun sebelum Masehi seperti ditulis dalam Edwin Smith Papyrus1,3.Saat ini, trauma tembus jantung masih merupakan cedera yang berbahaya, namun sangat mungkin untuk diselamatkan. Wuryantoro melaporkan keberhasilan penanganan 6 kasus luka tusuk jantung tahun 1989 di RSUPN Cipto Mangunkusuom. Djoko J di RSCM melaporkan angka keberhasilan 50% dari 4 kasus yang didapatkan.4 Keberhasilan penanganannya sangat bergantung pada keputusan untuk segera melakukan intervensi bedah, teknik bedah yang baik dan perawatan pasca bedah yang prima.1,5 Angka kematian trauma tembus jantung sebelum sampai di rumah sakit berkisar antara 70-80%, sementara jika sudah sampai di rumah sakit, turun drastis hingga mencapai 23-35%.6 SEJARAHTrauma tembus jantung pertama kali tercatat di buku Iliad, karya Homer yang menceritakan kematian Sarpedon akibat perdarahan yang mematikan dari luka di jantungnya. Cerita lain yang tidak kalah tuanya berasal dari Edwin Smith Papyrus, yang ditulis sekitar 3000 tahun SM.1,3 Beck membagi sejarah trauma tembus jantung menjadi tiga periode, yaitu periode mistik, periode observasi dan eksperimen dan periode penjahitan. ADDIN EN.CITE

1,2,3 Periode pertama ditandai oleh tulisan-tulisan dari Hippocrates, Ovid, Celsus, Pliny, Aristoteles, dan Galen yang menyatakan bahwa luka pada jantung adalah luka yang fatal dan tidak mungkin disembuhkan. ADDIN EN.CITE

1,2,3

Periode berikutnya dimulai pada abad ke-17, dipelopori oleh Hollerius yang mencetuskan konsep bahwa luka di jantung dapat disembuhkan dan tidak semuanya fatal. Berbagai observasi dan percobaan binatang dilakukan untuk mengamati efek dari trauma tembus jantung dan bagaimana proses penyembuhannya.Baru pada 1882, dimulai periode ketiga, yaitu upaya langsung melakukan penjahitan pada luka di jantung. Dimulai oleh Block, yang melakukan penjahitan luka pada jantung kelinci. Beberapa ahli bedah di massa itu awalnya menunjukkan penolakan terhadap upaya melakukan pembedahan pada jantung, seperti ditunjukkan oleh Theodore Billroth. Namun belakangan upaya-upaya pembedahan pada luka di jantung menunjukkan kemajuan yang berarti, sampai pada apa yang bisa dilihat dewasa ini.

Upaya pertama untuk menjahit perlukaan pada jantung dilakukan oleh Axel Hermansen Cappelen (1895), pada pasien laki-laki, 24 tahun yang mengalami luka tusuk di dada kiri. Pasien menjalani torakotomi kiri, penjahitan luka di ventrikel dengan chromic-catgut, namun meninggal karena sepsis beberapa saat kemudian.1,3 Operasi bedah jantung pertama yang dinyatakan berhasil dan dikenal secara luas dilakukan oleh Ludwig Rehn (1896) pada seorang pria 22 tahun yang mengalami tusukan pada jantung dua hari sebelum operasi. Rehn menemukan lubang pada perikardium yang ketika dibuka, terdapat darah dan bekuan darah di dalamnya. Perlukaan pada ventrikel kanan dihentikan melalui penekanan dengan jari, dilanjutkan penjahitan dengan silk.2,3 MEKANISME CEDERASebagian besar luka tembus jantung disebabkan oleh trauma tusuk benda tajam atau trauma tembak,2,7 tergantung pada luas tidaknya akses kepada senjata api. Di Amerika Serikat, perbandingan trauma tembak dan trauma tusuk mencapai 2:12, sementara di Indonesia justru sebaliknya6. Penyebab lain adalah cedera impalement, tusukan fragment fraktur iga atau sternum dan cedera iatrogenik, seperti pada pemasangan/pencabutan pacemaker, terapi ablasi untuk aritmia, pemasangan kanul vena sentral dan pemasangan selang water sealed drainage.2 ANATOMI PREKORDIALPrekordial berasal dari bahasa Latin, yaitu prae (=di depan) dan cor (=jantung), yaitu suatu area di permukaan tubuh yang berada di depan jantung.2 Luka di prekordial dengan sendirinya mempunyai risiko menembus jantung.

Secara anatomi, area prekordial dibatasi di sisi kranial oleh sela iga III kiri, kaudal oleh arkus kosta kiri, medial oleh linea mid-klavikula kiri dan lateral di linea para sternal kanan.4,6

Gambar 1. Area Prekordial

Ventrikel kanan yang berada di sisi anterior jantung merupakan ruang jantung yang paling sering mengalami perlukaan pada trauma tembus, sementara atrium kiri, karena kecil dan hampir seluruhnya di sisi posterior, jarang mengalami cedera. ADDIN EN.CITE

2,4,6 Studi oleh Mazni dan Tjahjono di RSCM tahun 2002 memperlihatkan cedera terbanyak akibat luka tusuk prekordial adalah di Ventrikel kanan (57,14%), diikuti oleh ventrikel kiri (42,86%).6 Sementara di literature luar negeri, frekuensi relatif cedera pada ventrikel kanan adalah 43%, ventrikel kiri 34%, atrium kanan 18% dan atrium kiri 5%. Cedera yang melibatkan beberapa ruang jantung sekaligus mencapai 18%, dan cedera pada arteri koronaria 5%.2 PATOFISIOLOGIPerlukaan pada jantung memiliki serangkaian konsekuensi fisiologis yang unik dan membedakannya dari cedera-cedara lain di tubuh manusia. Di antaranya adalah tamponade jantung, yang tampilan klinisnya sangat beragam dan seringkali membingungkan. Patofisiologi tamponade jantung terkait dengan struktur perikardium yang disusun oleh jaringan ikat non elastis dengan compliance yang buruk. Darah yang masuk ke rongga perikardium akibat perdarahan akut akan meningkatkan tekanan intra perikardium melebihi tekanan ventrikel kanan dan mengurangi kemampuan pengisian ventrikel kiri, yang pada akhirnya menurunkan cardiac output. Sebagai kompensasi, kerja jantung akan meningkat, sebagaimana juga tegangan pada dinding miokardium, diiringi peningkatan kebutuhan oksigen jantung. Pada akhirnya, kebutuhan oksigen tersebut tidak tercapai, terjadi hipoksemia dan asidosis laktat. ADDIN EN.CITE

1,2,7 Bila tamponade tidak terbentuk, akan terjadi perdarahan hebat yang mengancam jiwa, karena jumlah darah yang melewati jantung setiap menitnya sama dengan yang beredar di seluruh tubuh, sesuatu yang juga harus menjadi pertimbangan sebelum memutuskan untuk melakukan manipulasi operatif pada jantung. Masuknya darah ke dalam pleura juga tidak boleh diremehkan karena dapat mengakibatkan hemato-toraks masif, yang mengganggu mekanisme bernapas dan sirkulasi pasien sekaligus.1,2

Karenanya menjadi jelas bahwa di samping efek buruk yang ditimbulkannya, tamponade jantung juga memiliki efek protektif. Yaitu dengan membatasi perdarahan dan mencegah hilangnya darah dalam jumlah mematikan akibat masuknya darah ke rongga toraks, sehingga pasien dapat sampai ke rumah sakit dalam keadaan hidup.1,2 Hal lain yang mungkin terjadi adalah disfungsi jantung akibat luka pada pembuluh koroner, miokardium atau katup jantung. Defek pada sekat jantung dapat mengakibatkan pirau intra-kardiak.2,7 Jika pasien berhasil melewati periode kritis, masalah berikut yang timbul sebagai sekuele lambat antara lain adalah pseudoaneurisma ventrikel, fistula arteri koronaria dengan ruang jantung, serta endo-/peri-karditis.2,8 Selain itu dari efek fisiologis pada jantung, terdapat pula efek psikologis sebagai sekuele lambat trauma tembus jantung. Efeks psikologis tersebut antara lain hipokondriasis, kompulsif, dan internalisasi.8 DIAGNOSISKlinis

Tampilan klinis trauma tembus jantung sangat beragam, mulai dari kondisi hemodinamik yang betul-betul stabil sampai kepada henti jantung. ADDIN EN.CITE

1,2,5,7,9,10,11,12 Tampilan klinis ini antara lain berhubungan dengan mekanisme cedera, lamanya waktu antara kejadian sampai ke rumah sakit, beratnya cedera yang ditimbulkan, dan ada tidaknya tamponade jantung.1,2 Tanda klasik seperti Trias Beck (hipotensi, peningkatan tekanan vena jugular, dan hilangnya bunyi jantung) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien. ADDIN EN.CITE

1,2,4,6 Demikian pula tanda khas seperti pulsus paradoksus, juga sulit dikenali pada keadaan darurat.1,2 Sementara pernapasan Kusmaul (peningkatan tekanan vena jugularis pada saat inspirasi) yang sering disebut dalam literatur trauma sebagai tanda penting, justru tidak pernah terjadi pada tamponade jantung.2 Sebaliknya, tanda nonspesifik seperti agitasi, takikardia, takipnea, hipotensi, diaphoresis dan akral dingin justru mendominasi gambaran klinis.2 Oleh karena itu, untuk menghindari luputnya diagnosis, setiap luka tusuk di area prekordial harus dianggap menembus jantung sampai terbukti sebaliknya. ADDIN EN.CITE

1,2,4,6

Foto Toraks2Hasil pemeriksaan foto toraks seringkali justru menyesatkan, karena siluet jantung jarang melebar pada tamponade akut. Gambaran yang membantu diagnosis adalah hematotoraks massif akibat masuknya darah dari luka di jantung ke dalam pleura, atau akibat perlukaan lain dari dinding dada / parenkim paru. Selain itu, benda asing yang tertahan di jantung juga dapat dikenali dari foto toraks. Kelainan lain yang dapat juga terlihat adalah pneumotoraks atau pneumoperitoneum.

Gambar 2. Foto Toraks : Pasien trauma tembus jantung dengan siluet jantung normalEchocardiografi dua dimensi dan FAST

Ekokardiografi dua dimensi dapat mendeteksi keberadaan darah dalam rongga perikardium dengan sensitivitas, spesifisitas dan akurasi masing-masing 56%, 96% dan 90%.1 Namun demikian, ekokardiografi memiliki keterbatasan pada keadaan dimana terdapat juga hematopneumotoraks.1,6 Keterbatasan lain adalah tidak tersedianya alat di ruang gawat darurat dan minimnya keterampilan untuk mengoperasikan alat ekokardiografi oleh ahli bedah, sehingga metode ini mulai ditinggalkan.2 Bertolak-belakang dengan ekokardiografi yang mulai ditinggalkan, Focussed assessment by sonography for trauma (FAST) justru semakin banyak dikerjakan pada luka tusuk prekordial. Metode ini cepat, non-invasif, tersedia di ruang gawat darurat dan dapat diulang dengan mudah. Hasil positif ditandai dengan gambaran an-echoic di sekitar jantung.2 Namun demikian, metode ini sangat bergantung pada pasien dan operator. Seperti juga ekokardiografi, keterbatasan lain FAST adalah pada pasien dengan trauma jantung disertai hematopneumotoraks dan pasien dengan tamponade yang terlokulasi akibat bekuan-bekuan darah.

Gambar 3. Efusi Pericardium

Perikardiosintesis

Walaupun perikardiosintesis merupakan tindakan yang sederhana dan dapat dikerjakan dengan cepat, aspirasi jarum ke dalam rongga perikardium memiliki angka negatif palsu dan positif palsu yang tinggi, sehingga tidak dapat diandalkan sebagai uji diagnostik. Dan lagi, karena perannya dalam terapi juga nyaris tidak ada (bekuan darah dalam rongga pleura sulit sekali dikeluarkan melalui sebuah jarum), tindakan ini tidak lagi dianjurkan. ADDIN EN.CITE

1,2,6

Pericardial Window ADDIN EN.CITE

1,2,7,13,14,15

Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Larrey pada tahun 1800-an. Sampai saat ini, pembuatan pericardial window melalui sayatan sub-xiphoid masih menjadi standar baku emas diagnosis pada luka tusuk prekordial, terutama pada rumah sakit dengan penggunaan ultrasonografi yang terbatas. Walaupun dapat dikerjakan dengan anestesi lokal, sebaiknya tindakan ini dikerjakan dalam anestesi umum sehingga mempermudah bila harus dilanjutkan dengan terapi definitif.

Sub-xiphoid pericardial window dikerjakan dengan melakukan insisi midline sepanjang 10 cm di atas prosesus xiphoideus sampai menembus jaringan subkutis disertai hemostasis yang adekuat. Dilanjutkan dengan memotong procesus xiphoideus setelah sebelumnya memegangnya dengan klem Allis atau Kocher. Setelah itu, jaringan lemak disingkirkan secara tumpul sampai mendapati perikardium. Perikardium kemudian diangkat diantara dua klem Allis, dan dibuka secara tajam dengan insisi longitudinal. Hasilnya dikatakan negatif jika yang keluar adalah cairan bening. Sebaliknya jika yang keluar adalah darah, maka dikatakan positif, yang menandakan adanya cedera pada jantung. Kadangkala, ketika perikardium dibuka tidak keluar cairan sama sekali, mengindikasikan telah terbentuk bekuan darah. Pada kasus semacam ini, dapat dimasukkan kanul suction untuk membebaskan bekuan darah dan mengalirkan darah keluar rongga perikardium. Setelah dinyatakan positif, maka tindakan selanjutnya adalah bedah definitif yaitu torakotomi dan kardiorafi.

Gambar 4. Sub-Xiphoid Pericardial Window

TORAKOTOMI RESUSITASI ADDIN EN.CITE

1,2,4,5,6,7,9,10,11,12,16

Adalah suatu prosedur resusitasi berupa torakotomi di ruang gawat darurat. Dasar pemikiran dari tindakan ini adalah bahwa pada trauma tembus jantung, secara fisiologis baik tamponade perikardium maupun perdarahan berlebihan dari luka di jantung hanya akan berujung pada respon sementara (transient) jika tidak dilakukan pembedahan, sehingga dalam hal ini tindakan resusitasi standar (A-B-C sesuai ATLS) yang berdiri sendiri tidak banyak memberi manfaat. Kandidat untuk tindakan ini adalah pasien luka tusuk prekordial yang masuk ke ruang gawat darurat segera setelah kejadian, dalam kondisi henti jantung atau hipotensi yang tidak responsif (tekanan darah sistolik kurang dari 60-70mmHg setelah penggantian volume). Pada keadaan ini, torakotomi resusitasi dikerjakan sambil secara simultan melakukan penilaian awal, evaluasi dan resusitasi sesuai dengan ATLS. Faktor prediktif prehospital yang berhubungan dengan mortalitas yang tinggi antara lain adalah tidak adanya tanda-tanda vital, pupil dilatasi, tidak adanya irama jantung dan tidak adanya gerakan ekstremitas.

Namun demikian, faktor penting yang harus diperhatikan sebelum melakukan tindakan torakotomi resusitasi adalah ketersediaan alat dan personel yang terlatih, di samping kebijakan dan protokol yang berlaku di rumah sakit tersebut.

Torakotomi resusitasi dikerjakan dengan melakukan torakotomi anterolateral kiri melalui sela iga IV atau V, paru-paru disingkirkan dari lapangan operasi, kemudian perikardium dibuka di anterior sejajar dengan jalannya nervus frenikus. Segera setelah efek tamponade dihilangkan, lakukan upaya mengembalikan cardiac output dan kontrol perdarahan secukupnya sehingga pasien dapat dipindahkan ke ruang operasi untuk operasi defitif. Cross clamping aorta tidak lagi dianjurkan karena justru meningkatkan risiko timbulnya cedera lain dan menyebabkan paraplegia. Jika diperlukan, insisi dapat diperluas ke kontralateral dengan terlebih dahulu membelah sternum dan meligasi arteri torasika inferior. PENATALAKSANAANPasien-pasien yang datang dengan luka tusuk prekordial yang tidak memenuhi indikasi torakotomi resusitasi dapat menjalani pemeriksaan tambahan seperti sudah diuraikan terlebih dahulu. ADDIN EN.CITE

1,2,4,7 Dengan tetap memelihara sense of emergency yang tinggi dan tidak menunda-nunda penanganan pasien. Segera setelah dipastikan adanya perlukaan pada jantung, maka harus dilakukan pembedahan definitif untuk kardiorafi. Insisi

Pendekatan bedah yang banyak dikerjakan adalah torakotomi anterolateral kiri seperti pada torakotomi resusitasi. Biasanya dipilih pada kasus-kasus yang sumber perdarahannya tidak diketahui dengan pasti, dan disertai dengan hematotoraks. Pendekatan lain adalah melalui insisi torakosternotomi bilateral (insisi Clamshell) memberikan akses yang luas ke mediastinum dan kedua rongga pleura, sehingga dianjurkan untuk dikerjakan pada pasien dengan luka tembak transmediastinal.2

Pendekatan terbaik adalah dengan sternotomi mediana (insisi Duval), karena memberikan akses yang baik ke jantung dan kedua rongga pleura dan cepat dikerjakan apabila tersedia gergaji sternum. Teknik ini merupakan prosedur terpilih pada hemoperikardium yang telah dikonfirmasi melaluai ultrasonografi perioperatif. Kesulitan yang mungkin timbul antara lain (1) gagal membuat insisi yang lurus di midline, (2) gagal membelah ligament suprasternal dan (3) gergaji sternum terjebak pada tulang atau pada perikardium.1

Pendekatan manapun yang dipilih, harap diingat bahwa segera setelah tamponade hilang, akan terjadi perdarahan hebat yang kadangkala sulit dikontrol, dan bahkan membutuhkan bantuan mesin pintas jantung paru (CPB = cardio-pulmonary bypass). Indikasi penggunaan CPB antara lain pada perdarahan yang tidak terkontrol, luka luas ventrikel kiri, pembuluh darah besar, pembuluh darah koronaria mayor atau perlukaan pada struktur intrakardiak.1,2 Manuver tambahan1Pada cedera di sisi paling lateral atrium kanan atau sisi superior/inferior atriocaval junction memerlukan maneuver oklusi inflow total dengan melakukan cross-clamping vena kava superior dan inferior. Toleransi jantung yang sudah cedera, asidotik dan iskemik terhadap manuver ini sangat terbatas.Manuver lain yang bisa dikerjakan adalah cross-clamping hilus paru-paru untuk melakukan kontrol perdarahan dari parenkim paru sehingga tidak terjadi emboli udara ke sirkulasi sistemik. Namun karena maneuver ini akan meningkatkan afterload ventrikel kanan, maka disarankan untuk melakukan pelepasan klem secara sekuensial sesering mungkin.

Penutupan luka atrium1Luka pada atrium dapat dikendalikan dengan oklusi parsial menggunakan klem vaskuler Satinsky, untuk kemudian melakukan penjahitan dengan benang monofilament 2-0 secara jelujur atau interrupted. Penjahitan hendaknya dikerjakan secara hati-hati karena berpotensi mencederai dinding atrium disekitar jahitan.Penutupan luka ventrikel1Penekanan menggunakan jari dapat dipakai untuk mengendalikan perdarahan dari luka di ventrikel sebelum melakukan penjahitan interrupted atau matras horizontal dengan benang monofilament 2-0. Pada luka tembak dengan kerusakan miokardium luas, seringkali diperlukan material bioprostesis seperti Teflon sebagai buttress untuk jahitan.

Penatalaksanaan Cedera Arteri Koronaria1Penjahitan yang tidak hati-hati di dekat arteri koronaria dapat menyebabkan penyempitan atau bahkan oklusi salah satu cabangnya, dan mengakibatkan infark pada miokardium. Penjahitan luka di arteri koronaria bagian proksimal memerlukan bantuan CPB, sedangkan untuk luka di bagian distal dapat diatasi dengan ligasi.

PROGNOSISFaktor utama yang mempengaruhi mortalitas pada trauma tembus jantung adalah mekanisme cedera dan status fisiologis saat tiba di rumah sakit. Luka tembak dan tidak adanya tanda vital saat datang di rumah sakit merupakan petanda prognosis yang buruk. Faktor lain masih diperdebatkan adalah (1) cedera satu ruang jantung dibandingkan beberapa ruang jantung sekaligus; (2) cedera ventrikel kiri dibandingkan ventrikel kanan; (3) ada tidaknya tamponade; (4) cedera jantung saja dibandingkan cedera multipel pada beberapa organ tubuh.2

SIMPULAN Trauma tembus jantung merupakan cedera unik yang mematikan dan terus menerus menjadi tantangan di bidang traumatologi terkait dengan pilihan prosedur diagnosis dan terapi. Subxiphoid pericardial window masih merupakan standar baku emas dalam diagnosis trauma tembus jantung.

Tidak dianjurkan lagi melakukan perikardiosintesis, baik sebagi diagnosis maupun terapi.

Torakotomi resusitasi berperan dalam kasus ekstrim namun perlu didukung sarana yang lengkap dan personel yang terlatih

DAFTAR PUSTAKA1.Asensio J., Soto S., Forno W., Roldan G., Petrone P., Gambaro E., et al. "Penetrating cardiac injuries: A complex challenge." Surg Today(2001) 31: 1041-53.

2.Kang N., Hsee L., Rizoli S. and Alison P. "Penetrating cardiac injury: Overcoming the limits set by Nature." Injury Int J Care Injured(2009) 40: 919-27.

3.Asensio J., Petrone P., Pereira B., PEfia D., Prichayudh S., Tsunoyama T., et al. "Penetrating cardiac injuries: A historic perspective and fascinating trip through time." J Am Coll Surg(2009) 208(3): 462-72.

4.Wuryantoro I. (2002). Trauma jantung. Penanganan trauma toraks. Rachmad K. Jakarta, Subbagian Bedah Toraks Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPNCM: 49-55.

5.Gao J., Gao Y., Wei G., Liu G., Tian X., Hu P., et al. "Penetrating cardiac wounds: Principles of surgical management." World J Surg(2004) 28: 1025-9.

6.Mazni Y. and Tjahjono A. (2002). Evaluasi penanganan luka tusuk prekordial di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta Dept Ilmu Bedah. Jakarta, Universitas Indonesia.

7.Ivatury R. and Rohman M. "The injured heart." Surg Clin North Am (1989) 69(1): 93-111.

8.Abbott J., Cousineau M., Cheitlin M., Thomas A. and Lim R. "Late sequelae of penetraing cardiac wounds." J Thorac Cardiovasc Surg(1978) 75(4): 510-8.

9.Attar S., Suter C., Hankins J., Sequeira A. and McLaughlin J. "Penetrating cardiac injuries." Ann Thorac Surg(1991) 51: 711-6.

10.DeGennaro V., Roberts B., Ching N. and Nealson T. "Aggressive management of potential penetrating cardiac injuries." J Thorac Cardiovasc Surg (1980) 79: 833-7.

11.Tavares S., Hankins J., Moulton A., Attar S., Ali S., Lincoln S., et al. "Management of penetrating cardiac injuries: The role of emergency room thoracotomy." Ann Thorac Surg (1984) 38(3): 183-7.

12.Trinkle J., Toon R., Franz J., Arom K. and Grover F. "Affaris of the wounder heart: Penetrating cardiac wounds." J Trauma(1979) 19(6): 467-72.

13.Alegre R. and Mon L. "Subxiphoid pericardial window in the diagnosis of penetrating cardiac trauma." Ann Thorac Surg (1994) 58: 1139-41.

14.Arom K., Richardson J., Webb G., Grover F. and Trinkle J. "Subxiphoid pericardial window in patients with suspected traumatic pericardial tamponade." Ann Thorac Surg(1977) 23(6): 546-9.

15.Santos G. and Frater R. "The subxiphoid approach in the treatment of pericardial effusion." Ann Thorac Surg(1977) 23(3): 467.

16.Richardson J., Flint L., Snow N., Gray L. and Trinkle J. "Management of transmediastinal gunshot wounds." Surgery (1981) 90(4): 671-6.

10