Upload
sani
View
1.678
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Tugas : Kelompok Tanggal Penyerahan : 12 November 2009
Batas Penyerahan : 12 November 2009
Tugas Mata Kuliah : Etika Bisnis
Ethics of Production
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Aida Vitalaya Hubeis
Oleh :
AKHMAD FAUZI PANE P 056080053.30E
DESI ARI SANTI P 056080093.30E
GANJAR PUTRA PANGGALIH P 056080133.30E
MASANI P 056080213.30E
ONGKI WIRATNO P 056080263.30E
PRITTA AMANDA P 056080293.30E
ROSIDI P 056080333.30E
Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis
Institut Pertanian Bogor
2009
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bicara etika bisnis berarti bicara tentang moral dan acuan berbisnis. Aspek
moral mencerminkan sesuatu yang normatif yakni adanya wilayah baik dan ada
pula wilayah buruk. Jadi kalau berbisnis jangan sampai sekalipun ada yang
dirugikan atau disusahkan atau didzolimi. Sementara, aspek acuan bermakna
adanya kesepakatan komunitas bisnis bahwa etika menjadi pedoman keseharian
mereka. Jadi harus dihormati dan dipraktekkan, bukan sebagai slogan.
Dalam kenyataannya mengapa masih saja ada penyimpangan etika dalam
berbisnis? Mengapa masih ada saja manipulasi mutu? Masih ingat beras oplosan,
daging gelonggongan, makanan berformalin dan boraks, dsb? Mengapa masih ada
komersialisasi di bidang pendidikan dan kesehatan? Mengapa masih banyak para
karyawan tidak memperoleh kesejahteraan yang wajar padahal bisnis perusahaan
tempat mereka bekerja terus berkembang? Mengapa masih banyak perusahaan
yang merusak lingkungan? Mengapa masih banyak pengusaha yang menghindari
pajak? Mengapa, mengapa dan mengapa…
Ada beberapa dugaan mengapa masih terjadinya praktek bisnis yang tidak
etik, antara lain:
(1) Pemahaman tentang etika yang kurang. Etika baru dipandang sebagai
”barang” pengetahuan, bukan simbol kesadaran. Karena itu tidak mustahil
ada pengusaha yang memandang etika tidak perlu memasuki wilayah bisnis.
Menurutnya biarlah etika itu urusan pribadi masing-masing.
(2) Ketidakpedulian terhadap etika bisnis. Dia memandang etika tidak jauh
dari nasib hukum. Hukum konon gampang dibeli. Apalagi etika yang relatif
tidak ada resikonya kalau dilanggar. Etika dianggap menghambat dalam
meraih pilihan-pilihan terbaik untuk meraih keuntungan dari bisnis.
(3) Sifat rakus yang meyebabkan terjadinya kedzoliman terhadap orang lain.
Tujuannya semata-mata mencari keuntungan besar. Sementara para
karyawan tidak diperhatikan kebutuhan hidupnya. Di sisi lain, tuntutan
konsumen tentang mutu dan harga diabaikan.
(4) Lemahnya kontrol sosial. Kalau toh ada berbagai instansi pengawas
tentang usaha-usaha bersifat monopoli, tentang mutu produk makanan dan
obat-obatan, dan produk industri lainnya serta tentang perlindungan hak-hak
karyawan namun upaya, hasil dan dampaknya kurang signifikan merubah
perilaku bisnis yang tidak etis.
Perumusan Masalah
Bisnis kotor di dunia khususnya di Indonesia tidak gampang dihentikan.
Fenomena mark-up harga, manipulasi mutu produk, suap bisnis, pencucian uang,
penyelundupan, penebangan hutan secara liar, dsb sudah merupakan bagian hidup
dari sebagian pelaku bisnis. Di samping karena faktor lingkungan, agaknya bisnis
kotor sangat dipengaruhi oleh moral perilaku bisnis yang langsung dan tidak
langsung terkait dengan bisnis. Dengan demikian prioritas pendekatan
pengubahan seharusnya mulai dari unsur manusia. Mengapa? Karena secara fitrah
manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih. Hanya faktor lingkungan yang
menyebabkan manusia dapat berubah menjadi tak beretika.
Bisnis sebagai sistem kehidupan sosial masyarakat sangat terkait dengan
sistem kehidupan sosial dalam wujud etika. Dengan demikian, mustahil sebuah
bisnis akan mampu berjalan tanpa ada latar belakang etika. Jika tiap orang yang
terlibat langsung dalam bisnis, seperti produsen, pengusaha, penjual, manajer,
karyawan dan konsumen bertindak tanpa memiliki etika maka secara teoritis suatu
bisnis akan terhenti.
Agama telah meletakkan fundamen tentang bagaimana secara normatif
berbisnis dilakukan dengan baik. Konsep ekonomi tidak berdiri sendiri, tetapi
sebagai bagian dari tata kehidupan berdasarkan agama. Sementara dalam Islam,
masalah bisnis yang diperkenankan adalah yang terkandung dalam tindakan
kemurahan hati, motif pengabdian, kejujuran, keadilan dan kesadaran akan Allah
(rasa takut dan takwa). Seorang Muslim -pelaku bisnis- diharuskan untuk
mempersenjatai diri dengan etika (nilai-nilai Islam).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Etika
Dalam banyak hal pembahasan mengenai etika tidak terlepas dari
pembahasan mengenai moral. Suseno (1987) mengungkapkan bahwa etika
merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Menurut Theodorus M. Tuanakotta (1997)
menyatakan bahwa etik merupakan sifat-sifat manusia yang ideal atau disiplin atas
diri sendiri diatas atau melebihi persyaratan atau kewajiban menurut Undang-
undang.
Sedangkan menurut S. Munawir (1987), etik merupakan suatu prinsip
moral dan perbuatan yang menjadi landasan bertindak seseorang sehingga apa
yang dilakukannya dipandang oleh masyarakat umum sebagai perbuatan terpuji
dan meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang. Etik yang disepakati
bersama oleh anggota suatu profesi disebut kode etik profesi.
Kode etik yang disepakati oleh anggota se-profesi akuntan disebut kode
etik akuntan. Kode etik akuntan dimaksudkan untuk membantu para anggotanya
dalam mencapai mutu pekerjaan yang sebaik-baiknya.
Menurut Madjid (1992) dalam Ludigdo dan Machfoedz (1999), etika
(etos) adalah sebanding dengan moral (mos) dimana keduanya merupakan filsafat
tentang adat kebiasaan (sitten). Site dalam perkataan Jerman menunjukkan arti
moda (mode) tingkah laku manusia. Oleh karenanya secara umum etika atau
moral adalah filsafat ilmu atau disiplin tentang tingkah laku manusia atau tindakan
manusia. Ward (1993) dalam Ludigdo dan Machfoedz (1999) mengungkapkan
bahwa etika tidak hanya perkataan benar atau salah, baik atau buruk, lebih jauh
etika merupakan suatu proses penentuan yang kompleks tentang apa yang harus
dilakukan seseorang dalam situasi tertentu, dimana proses itu meliputi
penyeimbangan pertimbangan sisi dalam dan luar yang disifati oleh kombinasi
unik dari pengalaman dan pembelajaran masing-masing individu.
Pengertian Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan bagian dari etika sosial yang tumbuh dari etika
pada umumnya. Etika bisnis beroperasi pada tingkat individual, organisasi dan
sistem (Ludigdo dan Machfoedz, 1999).
Selain itu, etika bisnis juga dapat diartikan sebagai berikut:
1) Merupakan sistem nilai yang dijabarkan dari filosofi perusahaan, paradigma
bisnis dan business values yang dianut oleh perusahaan sebagai acuan untuk
berhubungan dengan lingkungan internal maupun eksternal
2) Mengatur hubungan antara perusahaan (di dalam pengertian ini adalah
perusahaan sebagai suatu entitas) dengan pelanggan, pemegang saham,
individu dalam perusahaan, petani plasma, pemasok, kreditur, komunitas
(publik), Pemerintah, auditor, media massa atau pesaing
3) Menjelaskan bagaimana perusahaan (sebagai suatu entitas) beretika, bersikap
dan bertindak dalam upaya menyeimbangkan kepentingan perusahaan dengan
seluruh stakeholder lainnya.
Menurut K. Bertens, ada 3 tujuan yang ingin dicapai dari mempelajari
Etika Bisnis, yaitu:
1) Menanamkan atau meningkatkan kesadaran akan adanya dimensi etis dalam
bisnis. Menanamkan, jika sebelumnya kesadaran itu tidak ada, meningkatkan
bila kesadaran itu sudah ada, tapi masih lemah dan ragu.
Orang yang mendalami etika bisnis diharapkan memperoleh keyakinan bahwa
etika merupakan segi nyata dari kegiatan ekonomis yang perlu diberikan
perhatian serius.
2) Memperkenalkan argumentasi moral khususnya dibidang ekonomi dan bisnis,
serta membantu pebisnis/calon pebisnis dalam menyusun argumentasi moral
yang tepat.
Dalam etika sebagai ilmu, bukan hal penting adanya norma-norma moral,
tidak kalah penting adalah alasan bagi berlakunya norma-norma itu. Melalui
studi etika diharapkan pelaku bisnis akan sanggup menemukan fundamental
rasional untuk aspek moral yang menyangkut ekonomi dan bisnis.
3) Membantu pebisnis/calon pebisnis, untuk menentukan sikap moral yang tepat
didalam profesinya (kelak).
Tiga aspek pokok dari bisnis yaitu:
a. Sudut Pandang Ekonomis
Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi disini adalah adanya
interaksi antara produsen/perusahaan dengan pekerja, produsen dengan
konsumen, produsen dengan produsen dalam sebuah organisasi. Kegiatan
antar manusia ini adalah bertujuan untuk mencari untung oleh karena itu
menjadi kegiatan ekonomis. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak
bersifat sepihak, tetapi dilakukan melalui interaksi yang melibatkan
berbagai pihak.
Dari sudut pandang ekonomis, good business adalah bisnis yang bukan
saja menguntungkan, tetapi juga bisnis yang berkualitas etis.
b. Sudut Pandang Moral
Dalam bisnis, berorientasi pada profit, adalah sangat wajar, akan tetapi
jangan keuntungan yang diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain.
Tidak semua yang bisa kita lakukan boleh dilakukan juga. Kita harus
menghormati kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan, bahwa
dengan itu kita sendiri tidak dirugikan, karena menghormati kepentingan
dan hak orang lain itu juga perlu dilakukan demi kepentingan bisnis kita
sendiri.
c. Sudut Pandang Hukum
Bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis juga terikat dengan "Hukum",
Hukum Dagang atau Hukum Bisnis, yang merupakan cabang penting dari
ilmu hukum modern. Dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam
hubungan bisnis, pada taraf nasional maupun international. Seperti etika,
hukum juga merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa
yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum
lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan
hitam atas putih dan ada sanksi tertentu bila terjadi pelanggaran. Bahkan
pada zaman kekaisaran Roma, ada pepatah terkenal: "Quid leges sine
moribus" yang artinya "apa artinya undang-undang kalau tidak disertai
moralitas".
Dari sudut pandang moral, setidaknya ada 3 tolok ukur bahwa bisnis itu
baik, yaitu:
1. Hati Nurani
Suatu perbuatan adalah baik, bila dilakukan susuai dengan hati nuraninya,
dan perbuatan lain buruk bila dilakukan berlawanan dengan hati
nuraninya. Kalau kita mengambil keputusan moral berdasarkan hati
nurani, keputusan yang diambil "di hadapan Tuhan" dan kita sadar dengan
tindakan tersebut memenuhi kehendak Tuhan.
2. Kaidah Emas
Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah
mengukurnya dengan Kaidah Emas (positif), yang berbunyi: "Hendaklah
memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan"
Kenapa begitu? Tentunya kita menginginkan diperlakukan dengan baik.
Kalau begitu yang saya akan berperilaku dengan baik (dari sudut pandang
moral). Rumusan Kaidah Emas secara negatif: "Jangan perlakukan orang
lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda"
Saya kurang konsisten dalam tingkah laku saya, bila saya melakukan
sesuatu terhadap orang lain, yang saya tidak mau akan dilakukan terhadap
diri saya. Kalau begitu, saya berperilaku dengan cara tidak baik (dari sudut
pandang moral).
3. Penilaian Umum
Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk menentukan baik
buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan kepada
masyarakat umum untuk menilai. Cara ini bisa disebut juga audit sosial.
Sebagaimana melalui audit dalam arti biasa sehat tidaknya keadaan
finansial suatu perusahaan dipastikan, demikian juga kualitas etis suatu
perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum.
Etika Bisnis dalam Islam
Salah satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika bisnis.
Pengertian etika adalah a code or set of principles which people live (kaedah atau
seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia).
Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis
tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral berbeda dengan
etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan buruk, sedangkan
etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan
buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan
kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk apa alasan pikirannya,
merupakan lapangan etika.
Dikotomi Moral dan Bisnis
Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam
dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Maka tidak aneh bila masih banyak
ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang ekonom klasik Adam
Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung
jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan Theodore Levitt,
tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka.
Di Indonesia paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur di
Indonesia, sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam
jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan barang,
pengrusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan bank oleh para
konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang didepan mata kita
baik yang terlihat dalam media massa maupun media elektronik.
Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya
oleh para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya,
mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu
ekonomi? Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah
paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free).
Memasukkan gatra nilai etis sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, menurut
kalangan ekonom seperti di atas, akan mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi
tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka masih
bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral” Di sisi lain, etika bisnis
hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip
ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kebangkitan Etika Bisnis
Sebenarnya, pemikiran yang mengemukakan bahwa ilmu ekonomi bersifat
netral etika seperti di atas, akhir-akhir ini telah digugat oleh sebagian ekonom
Barat sendiri. Pandangan bahwa ilmu ekonomi bebas nilai, telah tertolak. Dalam
ilmu ekonomi harus melekat nuansa normatif dan tidak netral terhadap nilai-nilai
atau etika sosial. Ilmu ekonomi harus mengandung penentuan tujuan dan metode
untuk mencapai tujuan. Pemikiran ini banyak dilontarkan oleh Samuel Weston
(1994) yang merangkum pemikiran Boulding (1970), Mc Kenzie (1981) dan
Myrdal (1984).
Pada tahun 1990-an Paul Ormerof, seorang ekonom kritis Inggris
menerbitkan bukunya yang amat menghebohkan “The Death of Economics, Ilmu
Ekonomi sudah menemui ajalnya” (Ormerof,1994). Tidak sedikit pula pakar
ekonomi millenium telah menyadari makin tipisnya kesadaran moral dalam
kehidupan ekonomi dan bisnis modern. Amitas Etzioni menghasilkan karya
monumental dan menjadi best seller, The Moral dimension: Toward a New
Economics (1988). Berbagai buku etika bisnis dan dimensi moral dalam ilmu
ekonomi semakin banyak bermunculan.
Jadi, menjelang millenium ketiga dan memasuki abad 21, konsep etika
mulai memasuki wacana bisnis. Wacana bisnis bukan hanya dipengaruhi oleh
situasi ekonomis, melainkan oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik,
teknologi, serta pergeseran-pergeseran sikap dan cara pandang para pelaku bisnis
atau ahli ekonomi. Keburukan-keburukan bisnis mulai dibongkar. Mulai dari
perkembangan pasar global, resesi yang mengakibatkan pemangkasan anggaran
PHK, enviromentalisme, tuntutan para karyawan yang makin melampaui sekedar
kepuasan material, aktivisme para pemegang saham dalam perusahaan-perusahaan
go public atau trans nasional, kaedah-kaedah baru di bidang manajemen, seperti
Total Quality Management, rekayasa ulang dan benchmarking yang menghasilkan
pemipihan hirarki dan empowerment, semuanya telah meningkatkan kesadaran
orang tentang keniscayaan etika dalam aktivitas bisnis.
Contoh kecil kesadaran itu terlihat pada sikap para pakar ekonomi kapitalis
Barat -yang telah merasakan implikasi keburukan strategi spekulasi yang amat
riskan- mengusulkan untuk membuat kebijakan dalam memerangi spekulasi. Prof.
Lerner dalam buku “Economics of Control”, mengemukakan bahwa kejahatan
spekulasi yang agresif, paling baik bila dicegah dengan kontra spekulasi. Mereka
tampaknya belum berhasil menyelesaikan krisis tersebut, meskipun mereka
menanganinya dengan serius. Mungkin karena itulah Prof. Taussiq berusaha
memecahkan masalah ini dengan memperbaiki moral rakyat. Ia dengan lantang
berkomentar, “Obat paling mujarab, bagi kerusakan dunia bisnis adalah norma
moral yang baik untuk semua industri”.
Pandangan-pandangan di atas menunjukkan, bahwa di Barat telah muncul
kesadaran baru tentang pentingnya dimensi etika memasuki lapangan bisnis.
Perusahaan-perusahaan besar, model abad 21, kelihatannya juga mempunyai
kecenderungan baru untuk mengimplementasikan etika bisnis sebagai visi
masyarakat yang bertanggung-jawab secara sosial dan ekonomis. Realitas di atas,
dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh James Liebig, penulis
Merchants of Vision. Dalam penelitian itu, ia mewawancarai tokoh-tokoh bisnis di
14 negara. James Liebig menemukan enam perspektif, yang umum berlaku, sbb:
1) Bertindak sesuai etika,
2) Mempertinggi keadilan sosial,
3) Melindungi lingkungan,
4) Pemberdayaan kreatifitas manusia,
5) Menentukan visi dan tujuan bisnis yang bersifat sosial dan melibatkan para
karyawan dalam membangun dunia bisnis yang lebih baik, menghidupkan
sifat kasih sayang dan pelayanan yang baik dalam proses perusahaan,
6) Meninjau ulang pandangan klasik tentang paradigma ilmu ekonomi yang
bebas nilai. Perspektif di atas menunjukkan bahwa etika bisnis yang
selama ini jadi cita-cita, kini benar-benar menjadi mudah diwujudkan
sebagai kenyataan.
Islam Sumber Nilai dan Etika
Islam merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan
manusia secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan
yang komprehensif tentang etika bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok
kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal
organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam
bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik menyangkut hak milik dan hubungan
sosial.
Aktivitas bisnis merupakan bagian integral dari wacana ekonomi. Sistem
ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi
lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga
aspek nilai tidak begitu tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut.
Keringnya kedua sistem itu dari wacana moralitas, karena keduanya memang
tidak berangkat dari etika, tetapi dari kepentingan (interest). Kapitalisme
berangkat dari kepentingan individu sedangkan sosialisme berangkat dari
kepentingan kolektif. Namun, kini mulai muncul era baru etika bisnis di pusat-
pusat kapitalisme. Suatu perkembangan baru yang menggembirakan.
Al-Qur’an sangat banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis. (Qs.
62:10). Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang
harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4: 29) dan bebas dari
kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat administrasi transaksi
kredit (QS. 2: 282).
Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang bereputasi international yang
mendasarkan bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi (transenden). Dengan
dasar itu Rasulullah membangun sistem ekonomi Islam yang tercerahkan. Prinsip-
prinsip bisnis yang ideal ternyata pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya. Realitas ini menjadi bukti bagi banyak orang, bahwa tata ekonomi
yang berkeadilan, sebenarnya pernah terjadi, meski dalam lingkup nasional,
negara Madinah. Nilai, spirit dan ajaran yang dibawa Rasulullah itu, berguna
untuk membangun tata ekonomi baru, yang akhirnya terwujud dalam tata ekonomi
dunia yang berkeadilan.
Syed Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu
Sistesis Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu: tauhid,
keseimbangan (keadilan), kebebasan dan tanggung jawab.
Tauhid, merupakan wacana teologis yang mendasari segala aktivitas
manusia, termasuk kegiatan bisnis. Tauhid menyadarkan manusia sebagai
makhluk ilahiyah, sosok makhluk yang bertuhan. Dengan demikian, kegiatan
bisnis manusia tidak terlepas dari pengawasan Tuhan dan dalam rangka
melaksanakan titah Tuhan (QS. 62:10).
Keseimbangan dan keadilan, berarti bahwa perilaku bisnis harus
seimbang dan adil. Keseimbangan berarti tidak berlebihan (ekstrim) dalam
mengejar keuntungan ekonomi (QS.7:31). Kepemilikan individu yang tak
terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis, tidak dibenarkan. Dalam Islam,
harta mempunyai fungsi sosial yang kental (QS. 51:19).
Kebebasan, berarti bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas,
punya kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi,
manusia bebas mengimplementasikan kaedah-kaedah Islam. Karena masalah
ekonomi, termasuk kepada aspek mu’amalah, bukan ibadah, maka berlaku
padanya kaedah umum, “Semua boleh kecuali yang dilarang”. Yang tidak boleh
dalam Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan manusia
sesungguynya tidak mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab
dan berkeadilan.
Pertanggungjawaban, berarti bahwa manusia sebagai pelaku bisnis,
mempunyai tanggung jawab moral kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta
sebagai komoditi bisnis dalam Islam, adalah amanah Tuhan yang harus
dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Panduan Nabi Muhammad dalam Bisnis
Rasululah SAW, sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika
bisnis, di antaranya ialah:
Pertama, bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam
doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan
bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas
bisnis.
Kedua, kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku
bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-
banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam
Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang
lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis bukan
mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi
kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
Ketiga, tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad SAW sangat
intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam
melakukan transaksi bisnis.
Keempat, ramah-tamah. Seorang palaku bisnis, harus bersikap ramah
dalam melakukan bisnis.
Kelima, tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar
orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut.
Keenam, tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang
membeli kepadanya.
Ketujuh, tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah menumpuk dan
menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya
suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh. Rasulullah
melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
Kedelapan, takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam
perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar
diutamakan.
Kesembilan, Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada
Allah.
Kesepuluh, membayar upah sebelum kering keringat karyawan.
Pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus
sesuai dengan kerja yang dilakuan.
Kesebelas, tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi
kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang
sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik
sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang
tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara
pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam
Islam.
Keduabelas, tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya
bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan
individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat
terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal,
seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga keras,
mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam
karena dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan
diperhatikan secara cermat.
Ketigabelas, komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan
halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras,
ekstasi, dsb.
Keempatbelas, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan.
Kelimabelas, Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya.
Keenambelas, Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor)
belum mampu membayar.
Ketujuhbelas, bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba.
Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
BAB III
CONTOH KASUS
Menafsir Ulang Etika Produksi Gudeg
Rabu, 18 Juni 2008 | 10:04 WIB
Oleh Aris Rudianto
Salah satu makanan tradisional khas Yogyakarta yang telah mengalami
transformasi kultural adalah gudeg. Makanan gudeg juga bisa ditemukan di kota
lain, tetapi gudeg mempunyai cita rasa yang khas dan berbeda dengan gudeg yang
ada di daerah lain.
Gudeg Yogyakarta punya rasa manis yang khas. Masakan gudeg ada dua macam,
yaitu gudeg basah dan gudeg kering. Gudeg basah hanya satu kali dimasak dengan
direbus hingga habis airnya, gudeg kering minimal dua kali memasak hingga
benar-benar kering.
Gudeg sebagai kreativitas makanan ini memang cocok sebagai oleh-oleh, biasanya
yang jenis gudeg kering karena tidak mudah basi dan mampu bertahan hingga tiga
hari. Harganya pun variatif, mulai dari Rp 10.000 sampai Rp 50.000, tergantung
lauk yang dipilih dan jenis kemasannya. Bahkan, ada yang menawarkan paket
hemat Rp 5.000, dengan lauk tahu, tempe dan telur. Seperti kemasan gudeg-gudeg
di tempat lain, oleh-oleh khas Yogyakarta ini dapat dikemas menarik dengan
menggunakan besek (tempat dari anyaman bambu) atau kendil (guci dari tanah
liat yang dibakar).
Yang lebih unik, beberapa penjual gudeg ada yang dengan senang hati akan
memperlihatkan proses pembuatan gudegnya jika pengunjung menghendaki,
misalnya oleh penjual gudeg di daerah Wijilan. Kalau kita coba kembali mengulur
benang historis, kita akan mendapati fakta menarik bahwa gudeg tidak begitu saja
muncul dan kemudian menjadi trade mark daerah Yogyakarta, tetapi merupakan
proses transformasi budaya yang panjang.
Menyebut gudeg Yogyakarta otomatis ingatan kita akan tertuju pada sebuah
kampung yang terletak di sebelah timur Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta.
Dari kampung inilah, masakan khas yang berbahan dasar nangka mentah ini
menjadi populer hingga seantero dunia.
Tak heran wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta rasanya kurang lengkap jika
belum menyantap gudeg di tempat ini. Rasanya kita sangat perlu berterima kasih
pada pencetus pertama kali gudeg. Eksistensi gudeg yang telah mengakar kuat di
Yogyakarta ini kemudian menjadi krusial untuk dijaga stabilitas dan kualitasnya.
Akan tetapi, realitas sepertinya tak selalu menghargai jerih payah sejarah. Kalau
kita lebih teliti dalam mencermati perkembangan makanan ini, banyak sekali
kasus di mana penjual gudeg mengganti bahan bakunya dengan selain nangka
muda, tetapi misalnya sukun muda. Karena memang buah sukun mentah
mempunyai morfologi yang mirip dengan nangka mentah, tetapi dalam hal
kualitas rasa jelas dua buah ini tidak bisa bersifat subtitutif.
Penampilan setelah diolah pun akan berbeda. Lebih dari itu, pengolahan makanan
yang mayoritas masih secara manual membuat aspek kebersihan dan kesehatan
makanan kurang menjadi penetrasi oleh sebagian besar produsen gudeg.
Deteriorasi dalam produksi makanan seolah merupakan pemandangan wajib
dalam perjalanan produksi makanan kita. Ini merupakan strategi yang salah oleh
produsen ketika harga bahan baku melonjak naik. Jika fenomena yang masih
dalam skala kecil ini dibiarkan berlarut-larut, maka gudeg akan mengalami apa
yang dalam ilmu manajemen industri disebut sebagai masa kedewasaan atau
bahkan kemunduran, yaitu stabilitas preferensi konsumen akan goyah dan beralih
ke barang subtitusi.
Ekses riilnya gudeg akan bernasib sama dengan industri makanan lokal yang
cenderung mereduksi kualitas outletnya seiring dengan bertambah mahalnya harga
bahan baku. Implikasi jangka panjangnya, masyarakat akan mulai meninggalkan
gudeg sebagai ikon budaya hingga akhirnya tidak mempunyai nilai tambah seperti
makanan pada umumnya. Hal ini tidak hanya mengubah meski mungkin banyak
kalangan tidak menyadarinya rasa khas dan penampilan fisik gudeg, tetapi lebih
merupakan kecerobohan publik yang rentan berimplikasi pada terkontaminasinya
khazanah produk budaya dan tercerabutnya gudeg di hati pelanggannya.
Kecenderungan produsen mereduksi kualitas produknya seiring naiknya harga
bahan baku atau mutlak karena rakus ingin memperoleh pendapatan lebih banyak
ini bisa dijadikan indikator betapa buruknya paradigma siklus perekonomian
masyarakat. Faktor-faktor yang sangat esensial dan prinsipil dalam koridor
produksi seperti perbaikan kinerja atau kualitas produk, penciptaan diversifikasi
produk, serta usaha mempertahankan segmen dan pangsa pasarnya tak lagi
mendapat perhatian serius di benak produsen.
Ekonomi jangka panjang
Pemerintah sebaiknya segera turun tangan dengan semakin gencar memberikan
penyuluhan dan komunikasi tentang etika produksi dan orientasi ekonomi jangka
panjang. Pemahamann prinsip QFD (quality function development) juga harus
ditanamkan sejak dini kepada masyarakat mengingat upaya pendampingan seperti
inilah yang akan menumbuhkan rasa afiliasi masyarakat terhadap upaya
dinamisasi ekonomi pemerintah. Konsep QFD dikembangkan untuk menjamin
produk yang memasuki tahap produksi benar-benar akan dapat memuaskan
kebutuhan pelanggan dengan jalan membentuk tingkat kualitas yang diperlukan
dan dengan kesesuaian yang maksimum pada setiap tahap pengembangan produk.
Produsen kita harus lebih berpandangan futuristik dan menerapkan teknologi tepat
guna dengan berpijakan pada prinsip agroindustri bahwa keseluruhan bahan baku
yang terlibat dalam transformasinya menjadi suatu produk adalah bisa
dimanfaatkan dan tidak ada yang dibuang sia-sia. Misalnya dalam kasus proses
pengolahan bahan baku gudeg, biasanya kulit nangka muda serta biji-biji nangka
yang agak matang sehingga kurang baik jika diikutkan sebagai bahan utama
gudeg, maka biji tersebut bisa digunakan sebagai bahan pembuatan roti atau bisa
juga diolah dalam pembuatan bio-etanol (renewable energy yang ramah
lingkungan).
Sementara kulit nangka bisa dikumpulkan untuk selanjutnya ditransformasikan
menjadi bahan pakan ternak. Jadi, masyarakat harus mulai memberdayakan sistem
produksi berkelanjutan (sustainability production system). Namun, dalam
kenyataannya, pemanfaatan seperti ini tentu saja tak akan semudah membalik
telapak tangan.
Pemerintah perlu menjadi jembatan penghubung antara potensi seperti ini dengan
para pemilik agroindustri sehingga tercipta siklus ekonomi yang saling
menguntungkan. Selama ini pemerintah belum pernah mengatur regulasi yang
jelas terkait usaha menjaga eksistensi makanan tradisional ini. Khazanah-
khazanah budaya lokal harus terus diberdayakan untuk meningkatkan
perekonomian dan budaya masyarakat.
Aris Rudianto Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Jurusan Teknologi
Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
BAB IV
PEMBAHASAN
Etika bisnis tidak terbatas hanya mengetengahkan kaidah-kaidah berbisnis
yang baik (standar moral) dalam pengertian transaksi jual beli produk saja. Etika
juga menyangkut kaidah yang terkait dengan hubungan manajemen dan karyawan.
Apa karakteristik yang lebih rinci dari masalah deviasi etika bisnis seperti itu di
dalam perusahaan? Yang paling nyata terlihat adalah terjadinya konflik atasan dan
bawahan. Hal ini timbul antara lain akibat ketidakadilan dalam penilaian kinerja,
manajemen karir, manajemen kompensasi dan sistem pengawasan serta
pengembangan SDM yang diskriminatif. Semakin diskriminatif perlakuan
manajemen terhadap karyawannya semakin jauh perusahaan menerapkan etika
bisnis yang sebenarnya. Pada gilirannya akan menggangu proses dan kinerja
bisnis perusahaan. Namun dalam prakteknya pembatasan sesuatu keputusan
manajemen itu etis atau tidak selalu menjadi konflik baru. Hal ini karena
lemahnya pemahaman tentang apa itu yang disebut etika bisnis, masalah etika,
dan lingkup serta pendekatan pemecahannya.
Wujud dari masalah etika bisnis dapat dicirikan oleh adanya faktor-faktor:
(1) berkaitan dengan hati nurani, standar moral atau nilai terdalam dari manusia,
(2) karena masalahnya rumit, maka cenderung akan timbul perbedaan persepsi
tentang sesuatu yang buruk atau tidak buruk; membahagiakan atau
menjengkelkan,
(3) menghadapi pilihan yang serba salah, contoh kandungan formalin dalam
produk makanan; pilihannya kalau mau dapat untung maka biarkan saja tetapi
harus siap dengan citra buruk atau menarik produk dari pasar namun bakal
merugi dan
(4) kemajemukan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan; misalnya apakah
perusahaan perlu menggunakan teknologi padat modal namun dilakukan PHK
atau padat karya tetapi proses produknya akan kurang efisien.
Bentuk akibat penyimpangan etika bisnis internal perusahaan antara lain
terjadinya ketegangan diametris hubungan atasan dengan bawahan. Seperti
diungkapkan di atas hal ini terjadi karena ketimpangan antara lain dalam proses
penilaian kinerja, standar penilaian dan perbedaan persepsi atasan-bawahan
tentang hasil penilaian kinerja. Selain itu ukuran atau standar tentang karir sering
tidak jelas. Dalam hal ini pihak manajemen memberlakukan tindakan yang tidak
adil. Mereka menetapkan nilai sikap, gaya hubungan kepada atasan dan loyalitas
kepada atasan yang tinggi lebih besar ketimbang nilai kinerja faktual
karyawannya. Kasus lainnya adalah diterapkannya model nepotisme dalam
penyeleksian karyawan baru. Pertimbangan-pertimbangan rasional diabaikan.
Termasuk dalam proses rekrutmen internal. Jelas saja mereka yang potensial
tersisihkan. Pada gilirannya akan terjadi kekecewaan karyawan yang unggul dan
kemudian keluar dari perusahaan.
Dari contoh-contoh di atas maka tampak pihak perusahaan lebih
mengutamakan kepentingan meraih keuntungan ketimbangan menciptakan
kepentingan karyawan secara adil. Untuk memperkecil terjadi penyimpangan
penerapan etika bisnis maka perusahaan perlu:
(a) mengenali respon orang terhadap suatu masalah ketika dihadapkan pada
sesuatu yang dilematis dan ketidak-konsistenan dan
(b) melihat etika bisnis dari resiko yang dihadapi seseorang apakah dengan
keputusan personal ataukah keputusan sebagian besar orang lain ataukah
pertimbangan keputusan berbasis kepentingan perusahaan yang lebih besar secara
keseluruhan.
Ada etika ada pula estetika. Keduanya punya sisi perbedaan tipis. Etika
bicara tentang moral seseorang; apakah berperilaku salah atau benar; apakah baik
atau buruk. Sementara estetika bicara tentang keindahan akan sesuatu. Dari
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas, disebutkan bahwa Estetika secara
sederhana adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk,
dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai
estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang
dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan
cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. Kalau begitu apakah istilah
estetika bisa pas untuk digunakan dalam fenomena bisnis?
Estetika juga bisa digunakan dalam konteks bisnis. Misalnya saja ketika
kalangan arsitek hendak membuat bangunan perkantoran bertingkat pasti
dikaitkan dengan aspek-aspek untuk peruntukan apa; dan bagaimana dengan
situasi lingkungan, apakah mengganggu keindahan atau malah merusak
lingkungan. Yang pasti estetika suatu rancang bangun seharusnya didasarkan pada
strategi bisnis perusahaan dan pertimbangan lingkungan. Masih tergambar dalam
ingatan kita ketika sebagian masyarakat menolak keberadaan landmark di
Perempatan Gumawang, Wiradesa, Pekalongan yang dinilai berbahaya dan
mengurangi estetika penataan ruang. Apalagi, di sekitar tempat itu akan dibangun
objek wisata baru yaitu kampung batik.
Contoh lainnya yang dinilai relevan dengan penggunaan istilah estetika
adalah dalam penerapan gaya kepemimpinan. Disamping menggunakan etika dan
etiket atau tatacara pergaulan maka ada estetika. Disitu ada proses komunikasi
antara pemimpin atau manajer dengan para sub-ordinasinya. Ketika berinteraksi
maka akan betapa indahnya kalau manajer memperlakukan sub-ordinasinya
dengan cara-cara manusiawi. Betapa bahagianya seorang karyawan menerima
tegur sapa yang akrab dari atasannya; betapa indahnya suasana dialog ketika
seorang pemimpin mau mendengar dan merespon positif pendapat
subordinasinya; dan betapa agungnya seorang pemimpin mau mengakui
kesalahannya di hadapan rekan dan sub-ordinasinya.
Begitu juga ketika dunia bisnis semakin berkembang global maka
pergaulan bisnis internasional tak mungkin dihindari. Interaksi multibudaya
internasional sudah merupakan keharusan.Ketika itu terjadi maka muncullah
beragam budaya bahasa, budaya busana, budaya cara bicara, budaya makan,
budaya pengambilan keputusan, dsb. Misalnya ketika negosiasi atau resepsi
makan malam maka tampaklah ragam keindahan dalam berucap dan berbusana
dengan bahasa tubuh warna warni.Semuanya diupayakan serba indah dan penuh
pesona agar negosiasi dapat berjalan mulus.
Ketika perusahaan ingin menggapai keunggulan kompetetif maka salah
satu unsur yang ingin dicapainya adalah pengembangan loyalitas konsumen.
Untuk itu perusahaan harus mampu memberi produk bermutu dan layanan yang
terbaik kepada konsumen. Secara pengembangan nilai lalu dibangun suatu
jembatan emosional antara perusahaan dengan konsumen. Bentuknya adalah
tanggung jawab mutu dengan estetika tinggi, pelayanan ramah dan tepat waktu
dan konsumen diperlakukan secara aman dan nyaman secara berkelanjutan. Pada
gilirannya konsumen akan selalu merindukan untuk kembali membeli produk
perusahaan tersebut.
Menurut Richard De George, bila perusahaan ingin sukses/berhasil
memerlukan 3 hal pokok yaitu:
1. Produk yang baik
2. Managemen yang baik
3. Memiliki Etika
Selama perusahaan memiliki produk yang berkualitas dan berguna untuk
masyarakat disamping itu dikelola dengan manajemen yang tepat dibidang
produksi, finansial, sumberdaya manusia dan lain-lain tetapi tidak mempunyai
etika, maka kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi
perusahaan tsb.
Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam masyarakat modern.
Tetapi kalau merupakan fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat
dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan
sosial, termasuk juga aturan-aturan moral.
Mengapa bisnis harus berlaku etis, sebetulnya sama dengan bertanya
mengapa manusia pada umumnya harus berlaku etis. Bisnis disini hanya
merupakan suatu bidang khusus dari kondisi manusia yang umum. Jawabannya
yaitu:
Tuhan melalui agama/kepercayaan yang dianut, diharapkan setiap
pebisnis akan dibimbing oleh iman kepercayaannya, dan menjadi tugas
agama mengajak para pemeluknya untuk tetap berpegang pada motivasi
moral.
Kontrak Sosial, umat manusia seolah-olah pernah mengadakan kontrak
yang mewajibkan setiap anggotanya untuk berpegang pada norma-norma
moral, dan kontrak ini mengikat kita sebagai manusia, sehingga tidak ada
seorangpun yang bisa melepaskan diri daripadanya.
Keutamaan, menurut Plato dan Aristoteles, manusia harus melakukan
yang baik, justru karena hal itu baik. Yang baik mempunyai nilai intrinsik,
artinya, yang baik adalah baik karena dirinya sendiri. Keutamaan sebagai
disposisi tetap untuk melakukan yang baik, adalah penyempurnaan
tertinggi dari kodrat manusia. Manusia yang berlaku etis adalah baik
begitu saja, baik secara menyeluruh, bukan menurut aspek tertentu saja.
Kode Etik Perusahaan
Kode Etik (Patrick Murphy) atau kadang-kadang disebut code of conduct
atau code of ethical conduct ini, menyangkut kebijakan etis perusahaan
berhubungan dengan kesulitan yang bisa timbul (mungkin pernah timbul dimasa
lalu), seperti konflik kepentingan, hubungan dengan pesaing dan pemasok,
menerima hadiah, sumbangan dan sebagainya.
Latar belakang pembuatan Kode Etik adalah sebagai cara ampuh untuk
melembagakan etika dalam struktur dan kegiatan perusahaan. Bila Perusahaan
memiliki Kode Etik sendiri, otomatis mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memilikinya.
Manfaat Kode Etik Perusahaan:
1. Kode Etik dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika
telah dijadikan sebagai corporate culture. Hal ini terutama penting bagi
perusahaan besar yang karyawannya tidak semuanya saling mengenal satu
sama lainnya. Dengan adanya kode etik, secara intern semua karyawan terikat
dengan standar etis yang sama, sehingga akan mengambil kebijakan/keputusan
yang sama terhadap kasus sejenis yang timbul.
2. Kode Etik, dapat membantu menghilangkan grey area (kawasan kelabu)
dibidang etika (penerimaan komisi, penggunaan tenaga kerja anak, kewajiban
perusahaan dalam melindungi lingkungan hidup).
3. Kode Etik menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggung jawab
sosialnya.
4. Kode Etik, menyediakan bagi perusahaan dan dunia bisnis pada umumnya,
kemungkinan untuk mengatur diri sendiri (self regulation).
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas, antara etika (akhlak, moral), etiket (tatacara
pergaulan) dan estetika (keindahan) tak dapat dipisah-pisahkan. Ketiganya
menyatu. Dengan demikian ketika perusahaan dalam menyusun strategi bisnisnya
maka harus mulai ada kesatuan pemahaman tentang sisi visi, misi, tujuan dan
strateginya. Setiap strategi untuk memenangkan persaingan harus tergambarkan
pada kesatuan antara gagasan (moral dan tanggung jawab), bentuknya (estetika)
dan pendekatannya (tekniknya).
Saran
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak etika dalam dunia
bisnis, bahkan kepatuhan kepada etika bisnis, sesungguhnya, bersifat kondusif
terhadap upaya meningkatkan keuntungan pengusaha atau pemilik modal.
Misalnya, para pengusaha sekarang, percaya bahwa kesenjangan gaji yang tidak
terlalu besar antara penerima gaji tertinggi dan terendah dan fasilitas-fasilitas yang
diterima oleh kedua kelompok karyawan ini, akan mendorong peningkatan kinerja
perusahaan secara menyeluruh. Karyawan yang dulu cendrung dianggap sebagai
sekrup dalam mesin besar perusahaan, kini diberdayakan. Perempuan yang selama
ini sering menjadi korban tuntutan efisiensi, sekarang mendapatkan perhatian
yang layak.
Perusahaan-perusahaan besar kinipun berlomba-lomba menampilkan citra
diri yang sadar lingkungan, bukan saja lingkungan fisik tetapi juga lingkungan
sosial dan budaya. Jika di sarang kapitalisme sendiri, (Amerika dan Eropa) telah
mulai berkembang trend baru bagi dunia bisnis, yaitu keniscayaan etika,
(meskipun mungkin belum sempurna), tentu kemunculannya lebih mungkin dan
lebih dapat subur di negeri kita yang dikenal agamis ini.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa eksistensi etika dalam
wacana bisnis merupakan keharusan yang tak terbantahkan. Dalam situasi dunia
bisnis membutuhkan etika, Islam sejak lebih 14 abad yang lalu, telah menyerukan
urgensi etika bagi aktivitas bisnis.
Pemerintah sebaiknya segera turun tangan dengan semakin gencar
memberikan penyuluhan dan komunikasi tentang etika produksi dan orientasi
ekonomi jangka panjang. Pemahaman prinsip QFD (quality function development)
juga harus ditanamkan sejak dini kepada masyarakat mengingat upaya
pendampingan seperti inilah yang akan menumbuhkan rasa afiliasi masyarakat
terhadap upaya dinamisasi ekonomi pemerintah. Konsep QFD dikembangkan
untuk menjamin produk yang memasuki tahap produksi benar-benar akan dapat
memuaskan kebutuhan pelanggan dengan jalan membentuk tingkat kualitas yang
diperlukan dan dengan kesesuaian yang maksimum pada setiap tahap
pengembangan produk.
Produsen kita harus lebih berpandangan futuristik dan menerapkan
teknologi tepat guna dengan berpijakan pada prinsip agroindustri bahwa
keseluruhan bahan baku yang terlibat dalam transformasinya menjadi suatu
produk adalah bisa dimanfaatkan dan tidak ada yang dibuang sia-sia. Jadi,
masyarakat harus mulai memberdayakan sistem produksi berkelanjutan
(sustainability production system).
Pemerintah perlu menjadi jembatan penghubung antara potensi seperti ini
dengan para pemilik agroindustri sehingga tercipta siklus ekonomi yang saling
menguntungkan. Selama ini pemerintah belum pernah mengatur regulasi yang
jelas terkait usaha menjaga eksistensi makanan tradisional ini. Khazanah-
khazanah budaya lokal harus terus diberdayakan untuk meningkatkan
perekonomian dan budaya masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sonny Keraf dan Robert Haryono Imam, Etika Bisnis : Membangun Citra
Bisnis Sebagai Profesi Luhur, (Yogyakarta; Kanisius, 1995)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/18/10042420/function.session-start
http://www.deshion.com/artikel/bisnis/129-etika-bisnis-dalam-islam.html
http://idotobing.blogspot.com/2009/04/pengantar-manajemen.html
http://ronawajah.wordpress.com/2007/08/09/bisnis-kotorkembali-ke-khitah/
http://ronawajah.wordpress.com/2007/10/06/beretika-bisnismudahkah/
http://ronawajah.wordpress.com/2007/12/26/penyimpangan-etika-bisnis-internal/
http://ronawajah.wordpress.com/2008/04/03/estetika-bisnis/
K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000)
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Al-Kaustar, 2000)
Sondang P Siagian, Etika Bisnis, (Jakarta, Pustaka Binaman Pressindo, 19960)