Upload
kickiy-alsqiy
View
28
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
dddddddd
Citation preview
TUGAS MANAJEMEN PERUBAHAN
1. Kepemimpinan transaksional adalah hubungan antara pimpinan dan bawahan yang
berlandaskan pada adanya pertukaran atau adanya tawar menawar antara pemimpin dan
bawahannya, motivasi pengikutnya atas dasar pertukaran reward.
Kepemimpinan transformasional memiliki 4 unsur yang mendasari berdasarkan tulisan
dari Bass dan Avolio, yakni charisma, inspiration, intellectual stimulation &
individualized consideration, dimana bawahan akan melakukan pekerjaan melebihi apa
yang telah ditetapkan.
Berdasarkan pengertian kepemimpinan transaksional dan transformasional dapat kita
bandingkan efektifitas dari kepemimpinan tadi terhadap capaian tujuan organisasi.
Kepemimpinan transformasional dirasa akan lebih efektif dan berkesinambungan
daripada kepemimpinan transaksional. Diawali dari personal sang pemimpin. Konsep
diri dari pemimpin transformasional cenderung lebih positif ditandai dengan stabilitas
emosi dan penghargaan diri yang tinggi yang menjadikan seorang pemimpin
transformasional akan sangat menghargai tugas dan kewajibannya dan berusaha
semaksimal mungkin mencapai tujuan organisasi sesuai bahkan melebihi target yang
telah ditetapkan sebagai perwujudan mempertahankan harga dirinya. Dia akan
melakukan terobosan-terobosan baru, menjadi inspirasi dari bawahannya dan orang-
orang di sekitarnya, cenderung tenang dan berhati-hati dalam bertindak serta
mengedepankan stimulasi-stimulasi yang cerdas/intelek, realistis dan visioner (ubah
status quo) serta mengesampingkan kepentingan pribadinya, pemimpin transformasional
akan mengedepankan kepentingan organisasi dengan menjadikan apa yang ia lakukan
bernilai serta menambah nilai bagi organisasi yang dipimpinnya. Sedangkan dari
hubungannya dengan bawahan pemimpin transformasional akan menjadi inspirasi positif
yang menjadikan motivasi kerja dari bawahannya meningkat, menjadikan para bawahan
menghayati tugas dan kewajiban mereka, menghargainya dengan berbuat semaksimal
mungkin agar dirinya bernilai bagi organisasi dan menambah nilai positif bagi
organisasi. Sikap tegasnya menjadikan dia dihargai dan dihormati oleh bawahannya
sehingga tercipta hubungan saling menghargai bukan karena materi namun kualitas
kerja/kinerja. Reward bukan menjadi hal utama yang mereka harapkan akan tetapi
bagaimana bekerja sebaik mungkin untuk capai target bahkan melebihi target yang
diberikan organisasi. Kepemimpinan transformasional merupakan kepemimpinan yang
etikal.
Sebaliknya, kepemimpinan transaksional menjadi kurang efektif karena tidak akan
berkesinambungan. Baik pemimpin maupun bawahan orientasi bukan lagi pencapaian
tujuan organisasi, bukan lagi apa yang dapat diberikan kepada organisasi namun apa
yang bisa organisasi berikan kepada mereka. Status quo cenderung masih dipertahankan
serta perilaku pemimpin dan bawahan menjadi money oriented. Penghargaan terhadap
tugas dan kewajiban cenderung rendah. Tidak ada terobosan-terobosan yang berarti yang
dilakukan untuk perubahan organisasi menjadi lebih maju. Pemimpin transaksional tidak
tegas dalam bertindak karena semua telah berdasarkan kesepakatan transaksional dengan
bawahan sehingga bawahan menjadi kurang menghormati dan menghargainya
(cenderung menyepelekan) sehingga bekerja sekehendak hati. Reward menjadi ukuran,
posisi tawar dalam pelaksanaan pekerjaan. Hal tersebut menjadikan organisasi stagnan,
sehingga sangat mungkin umur organisasi tidak akan bertahan lama karena digerogoti
dari internal organisasi. Kepemimpinan transaksional juga menyangkut nilai-nilai,
namun nilai-nilai tersebut hanya relevan dengan proses pertukaran atau keuntungan
timbal balik. Seorang pemimpin transaksional juga mengakui kebutuhan dan keinginan
bawahan, serta menjelaskan bahwa keduanya hanya bisa dicapai dengan memuaskan jika
para bawahan mencurahkan usahanya sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Efektifitas
transaksional ditentukan oleh kemampuan seorang pemimpin memberi imbalan bagi
pekerjaan yang berhasil dan hukuman bagi pelanggaran aturan main yang disepakati,
juga ditentukan oleh kemampuan seorang bawahan untuk menilai atau membandingkan
antara kebaikan dengan kekurangan dari transaksi yang dilakukan dengan pemimpinnya.
Kepemimpinan seperti ini mempunyai karakteristik utama, yakni pertukaran antara
produktivitas dengan imbalan atau hukuman. Salah satu kelemahannya adalah
berlakunya relatif singkat dan tidak mampu menghadapi perubahan lingkungan.
Apabila dibandingkan dengan spiritual leadership dan servant leadership, dapat
dijelaskan. Robert K Greenleaf seorang pencetus gerakan modern kepemimpinan pada
tahun 1970 dalam bentuk esainya mencetuskan, "pelayan sebagai Pemimpin,"di mana ia
menciptakan istilah "pemimpin adalah seorang pelayan". Robert K Greenleaf
memperkenalkan akan konsep Servant Leadership, yaitu menekankan peran seorang
pemimpin sebagai “steward” (pelayan). Konsep “servant leaderhip” adalah
kepemimpinan yang mendorong seseorang untuk melayani orang lain, sementara itu
tetap fokus pada upaya untuk mencapai apa yang menjadi tujuan utama (visi dan misi)
dari organisasi itu sendiri. Menurut Robert, model kepemimpinan seperti ini sangat
efisien dan efektif karena selain memiliki konsep yang berguna untuk diterapkan di
dalam bisnisnya, ia memiliki prinsip yang kuat untuk melayani orang, baik pelayanan
kepada karyawan,dan juga kepada masyarakat sekitarnya sebagai prioritas utama dan
pertama. Robert Greenleaf merumuskan bahwa pada dasarnya pertama-tama secara
alamiah seseorang ingin melayani, kemudian muncul sebuah kesadaran untuk
memimpin. Dengan demikian, tidak seperti kepemimpinan yang pendekatan “top-down
hierarchical style”, servant leadership menekankan “collaboration, trust, empathy, and
the ethical use of power.” Penekanan utama adalah mengembangkan orang sebagai
individu yang lebih manusiawi bukan pada kekuasaan dan posisi dari diri sendiri. Jadi
tujuan utamanya adalah untuk “pertumbuhan” anggota organisasi dan mengembangkan
teamwork dan keterlibatan semua anggota. Untuk servant leadership atau bisa disebut
kepemimpinan pelayanan menurut Robert Greenleaf memiliki sepuluh prinsip, yakni :
mendengarkan, empati, menyembuhkan, kesadaran umum terutama kesadaran diri,
persuasi, konseptualisasi, kejelian, stewardship, komitmen untuk pertumbuhan
orang/individu, community building/membangun komunitas.
Kepemimpinan pelayan adalah dasar bagi kepemimpinan yang efektif (Ken
Blanchard). Stephen Covey menyatakan bahwa kompetitif dari kepemimpinan pelayan
adalah yang berkaitan dengan pemberdayaan karyawan, bagaimana bangkit dari keadaan
sekarang dan melampaui alam kita kemudian masuk pada sebuah sumber motivasi baru.
Kepemimpinan pelayan begitu sangat inspiratif, sangat menggembirakan dan begitu
memuliakan. Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui filosofi pemberdayaan
yang mengubah bos menjadi pelayan dan pelatih. Pemberdayaan yang dilakukan akan
menjadi penentu antara kesuksesan organisasi yang abadi atau kepunahan organisasi
pada akhirnya. Kepemimpinan pelayan bukan tentang pencarian prestise atau materi
melainkan motivasi yang benar untuk melayani orang lain, berfokus untuk berbagi
informasi, membangun visi bersama, manajemen diri, tingginya tingkat saling
ketergantungan, belajar dari kesalahan, mendorong masukan kreatif dari setiap anggota
tim dan mempertanyakan asumsi saat ini dan model mental. Semangat kepemimpinan ini
dalam individu, organisasi dan masyarakat menawarkan salah satu harapan yang cerah
untuk masa depan kemanusiaan. Menurut Kent Keith menjadi kepemimpinan yang etis
(tentang melayani orang tidak menggunakan orang), praktis (tentang mengidentifikasi
dan memenuhi kebutuhan pelanggan) dan bermakna (membantu rekan-rekan dan
organisasi untuk tumbuh, meningkatkan layanan mereka kepada orang lain dan
berkontribusi terhadap penciptaan yang lebih adil, peduli, makmur, dan dunia yang
berkelanjutan).
Sementara spiritual leadership/ kepemimpinan spiritual menurut Stan Patterson, Ph.
D merupakan hatinya proses kepemimpinan. Selanjutnya kita mengenal konsep
kepemimpinan spiritual Fry. Fry (2003) mendefinisikan kepemimpinan spiritual sebagai
penggabungan nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang diperlukan untuk memotivasi diri
sendiri dan orang lain sedemikian rupa secara intrinsik sehingga mereka memiliki rasa
pertahanan spiritual melalui panggilan tugas dan keanggotaan. Terdapat dua hal yang
menjadi landasan pemikiran perlunya teori kepemimpinan spiritual, yakni : (1)
kebutuhan zaman akan organisasi-organisasi pembelajar membutuhkan kepemimpinan
spiritual; (2) oganisasi-organisasi pembelajar dapat menjadi sumber pertahanan spiritual
dan terutama memotivasi para pekerjanya secara intrinsik melalui visi,
harapan/keyakinan, dan cinta altruistik. Kepemimpinan spiritual meliputi tugas : (1)
menciptakan suatu visi dimana anggota-anggota organisasi mengalami perasaan
terpanggil dalam hidupnya, menemukan makna, dan membuat sesuatu yang berbeda; (2)
membangun suatu budaya sosial/organisasi berdasarkan cinta altruistik dimana
pemimpin dan pengikut sungguh-sungguh saling perhatian, peduli, dan menghargai satu
sama lain, sehingga menghasilkan rasa keanggotaan, merasa difahami dan dihargai. Pada
proses kepemimpinan spiritual pemimpin bertanggungjawab menyusun visi (juga
bertanggungjawab dalam menciptakan kesesuaian nilai antar level dalam organisasi
termasuk juga mengembangkan hubungan efektif antara organisasi dengan semua
pemangku kepentingan (stakeholders)), tujuan, misi, strategi dan implementasinya. Visi
yang di ciptakan dalam memobilisasi orang harus dapat menggambarkan dengan jelas
perjalanan dan tujuan akhir visi, memberikan daya tarik yang besar, merefleksikan
idealisme yang tinggi, mendorong harapan dan keyakinan, serta menegakkan suatu
standar yang prima (exelence) dan mengembangkan komitmen. Proses perwujudan visi
tersebut kemudian membentuk dasar konstruksi sosial budaya organisasi sebagai sebuah
organisasi pembelajar yang merupakan kombinasi dari ciri-ciri klan dan budaya adaptif,
serta membentuk sistem etik dan nilai-nilai inti yang mendasar. Otoritas dan tanggung
jawab didorong hingga level yang paling bawah. Self-directed dan pemberdayaan tim
ditempatkan dalam struktur vertikal dan lingkaran fungsional. Penerapan kepemimpinan
spiritual berdasarkan uraian di atas menjadikannya merupakan kepemimpinan yang
efektif, sesuatu yang dipandang perlu untuk suatu organisasi sukses dalam lingkungan
saat ini yang tidak dapat diramalkan, yang digerakkan oleh internet. Orang-orang
membutuhkan sesuatu yang dapat dipercaya, seseorang yang dapat dipercaya, dan orang-
orang yang dapat dipercaya kepadanya. Seorang pemimpin spiritual adalah orang yang
berjalan dimuka saat seseorang membutuhkan orang untuk diikuti (sesuai komponen
visi), berjalan di belakang ketika seseorang membutuhkan dorongan (sesuai komponen
harapan/keyakinan), dan berjalan di samping saat seseorang membutuhkan
teman/sahabat (sesuai komponen cinta altruistik). Ia memimpin melalui diskursus
intelektual dan dialog , dan keyakinan bahwa bila orang-orang dilibatkan dan mendapat
informasi yang tepat, dapat membuat keputusan intelektual dan bertanggungjawab atas
keputusan tersebut, yang mempengaruhi hidupnya. Fungsi kepemimpinan spiritual ini
menyerupai dengan prinsip kepemimpinan dari tokoh pejuang politik, kebudayaan dan
pendidikan nasional-pendiri taman siswa, yaitu Ki Hadjar Dewantara yang
mempergunakan trilogi kepemimpinan “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun
karsa, tutwuri handayani.”
2. Pilihan yang akan Saya ambil dalam mengatasi masalah kekurangan kompetensi
berhitung/akuntansi salah satu staf penagih terbaik Saya yakni Natalia adalah pertama
memanggil Natalia untuk mengkomunikasikan permasalahan tersebut. Bagaimana agar
permasalahan menghitung Natalia dapat teratasi dan tidak ada lagi kesalahan yang
mengakibatkan kerugian kepada perusahaan. Mengkomunikasikan beberapa
kemungkinan seperti menunjuk staf yang berkompeten akuntansi untuk membantu tugas
Natalia dalam berhitung sementara Natalia tetap melaksanakan tugasnya sebagai
penagih, atau dengan menambah staf baru yang memiliki kompetensi akuntansi yang
baik, atau dengan memberikan pelatihan akuntansi kepada Natalia agar permasalahan
akuntansinya dapat terselesaikan, kompetensi Natalia meningkat kesalahan berhitung
tidak ada lagi dan perusahaan dapat tetap berjalan bahkan menjadi lebih maju lagi.
Masing-masing kemungkinan harus dikomunikasikan dan dinegosiasikan kepada Natalia
dan atasan untuk menentukan pilihan mana yang terbaik baik untuk Natalia maupun
perusahaan disesuaikan dengan kondisi serta visi dan misi perusahaan. Titik berat dari
proses komunikasi dan negosiasi yang telah dilaksanakan lebih kepada poin terakhir
yakni dengan peningkatan kompetensi akuntansi dari Natalia yang dirasa akan
menimbulkan lebih sedikit beban, seperti keuangan perusahaan dibandingkan dengan
penambahan karyawan/staf baru di bidang akuntansi. Apabila negosiasi tersebut tidak
berhasil maka akan digunakan unsur paksaan untuk mengatasi permasalahan ini. Bila
Natalia menolak menjalankan pelatihan akuntansi kemungkinan Natalia diancam tidak
akan mendapatkan reward atau terkena punishment yang lain karena kinerja yang
menjadi tidak optimal dan merugikan perusahaan karena kurangnya kompetensi yang
dibutuhkan atau bahkan dapat dikeluarkan dari perusahaan. Kasus Natalia ini akan
menjadi bahan evaluasi bagi bagian pengembangan sumber daya serta bagian terkait
lainnya seperti bagian keuangan dan tingkat pimpinan dalam penetapan strategi
perusahaan terkait perubahan program perekrutan atau pengembangan SDM dalam
pencapaian visi dan misi perusahaan.
3. Apabila Saya menjadi manajer perusahaan dalam bidang jasa asuransi keuangan asing di
Jakarta yang akhir-akhir ini mengalami penurunan kinerja karyawan yang berdasarkan
hasil survey oleh Konsultan SDM bahwa penurunan kinerja tersebut dikarenakan suasana
dan lingkungan kerja tidak kondusif, sering terjadi konflik antar unit kerja serta
ketidakcocokan antara keinginan individu dengan tupoksinya, langkah-langkah yang
akan Saya ambil agar kinerja menjadi meningkat adalah dengan mengikuti langkah-
langkah perubahan dari Kurt Lewin sebagai berikut :
a. Unfreezing, merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya atau adanya
kebutuhan untuk berubah. Dalam permasalahan penurunan kinerja perusahaan ini
transformasi kepemimpinan efektif dan juga mekanisme perubahan struktural sangat
perlu untuk mensupport kekuatan kemudi internal. Bagaimana menciptakan suasana
dan lingkungan kerja yang kondusif dimulai dari figur kepemimpinan yang efektif
yang mampu mendorong karyawan, menginspirasi karyawan, mengarahkan dan
memberikan pemahaman yang baik kepada karyawan bahwa mereka harus berubah
untuk maju dengan pemahaman bahwa karyawan harus memiliki nilai tambah untuk
perusahaan dengan pelaksanaan tupoksi sesuai bidang/unit kerjanya serta
menempatkan kepentingan organisasi di atas kepentingan baik pribadi/individu
maupun kelompok karyawan. Mengkomunikasikan kepada karyawan secara tuntas
latar belakang-tujuan-dan hasil/dampak dari perubahan yang akan dilaksanakan
untuk mencapai tujuan/sasaran perubahan pada perusahaan yakni kinerja yang
semakin optimal.
b. Changing, merupakan langkah/tindakan untuk memperkuat tekanan (driving force)
ataupun untuk memperlemah penolakan (resistence) untuk berubah. Melakukan
pendekatan persuasuf kepada karyawan, membuka wawasan terhadap tantangan dari
pihak luar agar karyawan memahami ketatnya kompetisi yang akan dihadapi
perusahaan di masa yang akan datang sehingga peningkatan kinerja sudah bukan
merupakan kebutuhan tapi tuntutan/keharusan perusahaan. Mendorong karyawan
untuk mengadopsi cara baru dalam pola aturan perusahaan, bebas dari kegiatan rutin
yang tidak perlu (keluar dari zona nyaman), serta membangun kedinamisan tim yang
tidak sebangun. Meredam bahkan menghilangkan konflik yang timbul antar unit
kerja dengan meningkatkan partisipasi aktif setiap unit kerja untuk mengambil
keputusan dengan memberikan kemudahan dan dukungan. Memberikan posisi
penting kepada orang-orang yang menentang perubahan dalam proses pengambilan
keputusan. Bila langkah tersebut tidak berhasil baru kemudian menggunakan
paksaan/kekuatan kekuasaan kepada para penentang perubahan dengan memberikan
ancaman serta punishment bagi mereka yang membuat suasana dan lingkungan kerja
tidak kondusif dan menimbulkan konflik antar unit kerja (provokator) demi
terwujudnya peningkatan kinerja karyawan.Cara yang lain adalah dengan meletakkan
karyawan berhadapan langsung dengan pelanggan sehingga pelanggan yang tidak
puas akan menjadi wakil untuk membuat perubahan pada karyawan. Hal tersebut
mendorong karyawan untuk berfikir pada prospek pelanggan.
c. Refreezing, membawa kembali organisasi kepada keseimbangan yang baru. Untuk
menciptakan keseimbangan sistem dalam perubahan peningkatan kinerja yang
semula menurun adalah dengan menyatukan kembali sistem organisasi/perusahaan
dan dinamika tim dengan perubahan yang diinginkan yakni peningkatan kinerja
karyawan. Penyatuan sistem dan dinamika tim memang dapat dilaksanakan dengan
menambah insentif, bonus dan imbalan jasa (reward) di atas rata-rata industri. Akan
tetapi hal tersebut tidak dapat selalu menjamin peningkatan kinerja karyawan
perusahaan. Pemahaman terhadap nilai, tujuan, serta aturan perusahaanlah yang dapat
menjadikan perubahan pada perusahaan, pembentukan keseimbangan dalam sistem
serta peningkatan kinerja karyawan secara berkelanjutan. Pada tahap ini kondisi yang
diinginkan telah tercapai, akan menjadi stabil melalui aturan, sistem kompensasi dan
cara pengelolaan organisasi yang baru yang menjadikan jumlah penentang
perusahaan berkurang, jumlah pendukung makin bertambah dan kinerja karyawan
perusahaan meningkat.
4. Dalam pertemuan dengan tiga orang manajer terasnya, sebagai manajer kantor Haka
akan membicarakan masalah penyelenggaraan suatu program training dan
pengembangan hubungan manusiawi yang tepat bagi para supervisor, mengenai apa jenis
program tersebut dan kapan harus dilaksanakan, bukan apakah harus mengadakan
program itu atau tidak.
a. Dalam proses pembahasan terdapat beberapa permasalahan yang muncul yang baru
disadari oleh Haka. Yang merupakan gejala (symptom) adalah : bahwa para
supervisor memiliki beban kerja yang begitu sarat serta tingkat sensitifitas
manajemen teras terhadap pegawainya. Sedangkan yang merupakan masalah yang
sebenarnya adalah : tingkat berhenti kerja di antara staf administrasi dan
kesekretariatan yang sudah mencapai 25%, tingkat produktifitas yang lebih rendah
dari standar asuransi industri nasional, gaji pegawai yang rendah, serta
suasana/kondisi kantor yang tidak kondusif (menyesakkan dan suram).
b. Menurut Saya yang dimaksud Haka dengan “Training Hubungan Manusiawi” adalah
penerapan sosiologi dan psikologi dalam penyelenggaraan program manajemen
manusia di dalam organisasi. Manajemen klasik yang menggunakan pendekatan
efisiensi produksi dan keselarasan kerja yang sempurna tidak dapat diwujudkan,
sehingga muncullah mazhab perilaku. Hal tersebut dikarenakan para bawahan
seringkali kurang mengikuti pola perilaku yang rasional dalam mengoperasikan
pekerjaannya sehingga pendekatan manajemen klasik diperkuat dengan wawasan
sosiologi dan psikologi. Beberapa ahli teori hubungan manusiawi adalah : Hugo
Munsterberg, hidup tahun 1865-1916 dan telah memberikan kontribusi yang besar
dalam aplikasi psikologi guna membantu terwujudnya tujuan produktifitas sebagai
mana diharapkan oleh manager lain. Dalam bukunya Psychology and Industrial
Efficiency dikemukan peningkatan produktifitas dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
1. Menemukan orang yang terbaik atau (bawahan yang kualitas mentalnya terbaik
untuk pekerjaan tersebut);
2. Menciptakan pekerjaan yang baik (kondisi psikologis yang ideal untuk mencapai
produktifitas secara maksimum);
3. Menggunakan pengaruh psikologi yang disebut pengaruh yang paling mungkin
(the best possible effect) untuk memotivasi para bawahan.
Elton Mayo, hidup pada tahun 1880-1949. Mayo pada beberapa eksperimennya
menemukan bahwa insentif berupa finansial apabila diberikan tidak menyebabkan
peningkatan produktifitas. Kenaikan produktifitas disebabkan oleh adanya sebuah
rantai sikap yang rumit. Penyeliaan yang simpatik lebih memperkuat meningkatnya
motivasi kerja para bawahan. Para pekerja akan bekerja lebih keras, apabila mereka
yakin bahwa manajemen memikirkan kesejahteraan mereka. Pada tahun 1924,
dengan disponsori oleh National Reasearch Council, Mayo melakukan penelitian
Hawthorne. Kesimpulannya ternyata kelompok pekerja terpilih terjalin hubungan
emosional (merasa senasib) yang dapat meningkatkan produktivitas pekerja.
Perhatian pengawas (peneliti) terhadap mereka memotivasinya untuk meningkatkan
produktivitas kerja. Pengaruh terhadap meningkatnya produktivitas kerja disebut
sebagai Hawthorne Effect. Berdasarkan hasil penelitian Mayo dkk, menarik
kenesimpulan bahwa para bawahan akan bekerja lebih keras apabila mereka yakin
bahwa manajemen memikirkan tentang kesejahteraan (Welfare). Mereka dan para
penyelia memberikan perhatian khusus kepadanya. Kesimpulan lain yang
dikemukankan bahwa kelompok kerja informal (Lingkungan sosial bawahan)
memiliki pengaruh yang besar terhadap produktifitas. Gaya manager akan
memberikan kontribusi yang besar terhadap produktivitas sehingga pelatihan atau
training manajemen perlu mendapatkan perhatian yang mendalam, perlu berorientasi
pada pengajaran keterampilan manusiawi, bukan lagi keterampilan teknis. Mayo
memperkenalkan manusia sosial, didorong oleh keinginan untuk membentuk
hubungan dengan orang lain. Para ilmuwan perilaku telah memberikan kontribusi
yang besar bagi pemahaman kita akan motivasi antarindividu, perilaku kelompok,
hubungan antarpribadi ditempat kerja serta ahli pentingnya pekerjaan bagi tiap
individu. Hasil karya mereka menyebabkan para manajer menjadi lebih peka dalam
melakukan hubungan dengan bawahnya. Terdapat beberapa prinsip teori hubungan
manusiawi, sebagai berikut :
1) Pendekatan motivasi yang menghasilkan komitmen pekerja sangat dibutuhkan;
2) Manajemen tidak dapat dianggap sebagai proses yang kaku;
3) Manajemen harus sistematis;
4) Pendekatan yang digunakan dalam manajemen harus hati-hati;
5) Organisasi sebagai suatu keseluruhan;
6) Kepemimpinan diterapkan sesuai dengan situasi bawahannya;
7) Unsur manusia merupakan kunci utama yang menentukan sukses atau gagalnya
organisasi mencapai tujuannya;
8) Manajer masa kini harus dididik dan dilatih untuk memahami dan menerapkan
konsep-konsep manajemen;
9) Komitmen dapat ditingkatkan melalui partisipasi dan keterlibatan pekerja;
10) Pengawasan harus dibangun dalam pengertian positif, bukan mencari kesalahan
tetapi mencegah terjadinya kesalahan secara dini.
c. Menurut Saya Haka dapat meneruskan rencananya untuk menyelenggarakan program
training dan pengembangan hubungan manusiawi. Hal tersebut berdasarkan
permasalahan yang tengah dihadapi pada kantor dimana Haka menjadi manajer kantor
membutuhkan program pengembangan tersebut. Training manajemen perlu
mendapatkan perhatian yang mendalam, perlu berorientasi pada pengajaran
keterampilan manusiawi, bukan lagi keterampilan teknis semata untuk meningkatkan
produktifitas organisasi dan tercapainya tujuan organisasi yang lebih
berkesinambungan. Pendidikan dan latihan dipandang sebagai suatu invesatasi di
bidang sumber daya manusia yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dari
tenaga kerja. Oleh karena itu pendidikan dan latihan merupakan salah satu faktor
penting dalam organisasi perusahaan. Pentingnya pendidikan dan latihan disamping
berkaitan dengan berbagai dinamika (perubahan) yang terjadi dalam lingkungan
perusahaan, seperti perubahan produksi, teknologi, dan tenaga kerja, juga berkaitan
dengan manfaat yang dapat dirasakannya. Manfaat tersebut antara lain : meningkatnya
produktivitas perusahaan, moral dan disiplin kerja, memudahkan pengawasan, dan
menstabilkan tenaga kerja. Agar penyelenggaraan pendidikan dan latihan berhasil
secara efektif dan efisien, maka ada 5 (lima) hal yang harus di pahami, yaitu : (1)
adanya perbedaan individual; (2) berhubungan dengan analisa pekerjaan; (3) motivasi;
(4) pemilihan peserta; dan (5) pemilihan metode yang tepat.
d. Menurut Saya komentar Rosikin yang menyatakan bahwa pimpinan teras yang
seyogyanya mengikuti training hubungan manusiawi terlebih dahulu dapat
dipertimbangkan. Hal tersebut berdasarkan pada hasil penelitian yang dilaksanakan
oleh Mayo dimana gaya manager akan memberikan kontribusi yang besar terhadap
produktivitas sehingga pelatihan atau training manajemen perlu mendapatkan
perhatian yang mendalam, perlu berorientasi pada pengajaran keterampilan
manusiawi. Para pekerja akan bekerja lebih keras, apabila mereka yakin bahwa
manajemen memikirkan kesejahteraan mereka. Perhatian pengawas (peneliti) terhadap
mereka memotivasinya untuk meningkatkan produktivitas kerja. Pendidikan dan
latihan bagi tenaga kerja dapat diklasifikasikan kepada dua kelompok, pertama
pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja yang termasuk kepada kelompok tenaga
kerja operasional, kedua, pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja yang termasuk
kepada kelompok tenaga kerja yang menduduki jabatan manajerial. Untuk masing-
masing kelompok tenaga kerja tersebut diperlukan metode pendidikan yang berbeda
satu sama lain. Diharapkan dengan pelaksanaan training hubungan manusiawi di
tingkat pimpinan teras ditujukan agar pimpinan teras juga sama-sama dapat
memahami tanggung jawab mereka serta kondisi dari para pekerja/karyawannya
sebagai bentuk pemberian motivasi demi peningkatan produktifitas/kinerja organisasi.
e. Terkait pernyataan Haka bahwa kepemimpinan yang baik dapat mengatasi kondisi
kerja yang jelek, menurut Saya memang sebenarnya kepemimpinan yang baik adalah
dapat memahami situasi dan kondisi dimana dia memimpin untuk menetapkan
kebijakan kepemimpinan yang tepat sesuai dengan kondisi orang dan organisasi yang
dipimpinnya. Pendekatan yang digunakan harus hati-hati, tidak kaku namun tetap
sistematis, menerapkan konsep manajemen yang telah dipahami benar, serta dapat
meningkatkan komitmen dan motivasi melalui partisipasi dan keterlibatan pekerja.
f. Apabila Saya berada dalam situasi yang dihadapi Haka Saya akan mencoba untuk
mengikutsertakan pimpinan teras dalam program training hubungan manusiawi yang
dikemas dengan menggunakan metode yang berbeda antara tenaga kerja operasional
dengan pimpinan teras.
g. Jenis aktivitas training dan pengembangan yang akan Saya rekomendasikan bagi
supervisi lini pertama pada perusahaan adalah seperti kegiatan out bond. Pada
kegiatan ini terdapat permainan sebagai simbol, replika dari pekerjaan sehari-hari
yang menuntut kerja sama tim, membangun keterikatan emosional antar peserta.
Dalam melewati suatu wahana diperlukan komitmen tim yang kuat, kerja sama serta
melatih penciptaan ide-ide kreatif dalam penyelesaian permainan.
h. Cara menganalisis kebutuhan program sedemikian itu adalah pertama dengan melihat
terlebih dahulu kebutuhan orang dan materi yang urgen untuk dilaksanakan pada
kegiatan training dan pengembangan disesuaikan dengan perkembangan pasar,
tantangan serta tuntutan apa yang tengah menjadi trending topik sehingga
memerlukan penyesuaian terhadap oganisasi/perusahaan atau dapat dilihat dari
evaluasi strategi perusahaan, dari sana dapat dilihat bidang-bidang mana yang perlu
diadakan pengembangan. Setelah pemetaan selesai dilaksanakan maka dilanjutkan
dengan perencanaan program training dan pengembangan yang terlebih dahulu
dikomunikasikan secara jelas keseluruhan sasaran program disesuaikan dengan
kondisi perusahaan serta visi-misi perusahaan dilanjutkan pelaksanaan kegiatan
training dan pengembangan tersebut. Kemudian diadakan evaluasi secara berkala
terhadap hasil kegiatan training pengembangan untuk menyusun kebijakan perusahaan
selanjutnya.
i. Faktor lain yang dapat menimbulkan masalah yang dirujuk oleh Haka adalah :
Adanya resistansi terhadap program perubahan, yakni proses training dan
pengembangan yang akan dilaksanakan. Resistansi tadi dapat berasal dari pihak
pimpinan teras ataupun dari pihak manajer lini bahkan dari karyawan/pekerja
yang merasa zona nyamannya menjadi terganggu atas program tersebut.
Selain faktor resistansi, posisi dan status pekerja dalam bekerja merupakan sebab
tidak langsungnya. Sementara tingkat kepuasan pekerja terhadap hasil pekerjaan
merupakan sebab langsung dari merosot atau rendahnya produktivitas tenaga
kerja.
Salah satu faktor penting adalah faktor ekonomi, khususnya kesempatan atau
alternatif lain yang memungkinkan seseorang, atau sekelompok orang memilih
profesi sebagai sumber perekonomian mereka. Kebiasaan kerja yang ulet, teliti,
dan sabar merupakan unsur-unsur yang mendukung ke arah tercapainya
produktivitas yang tinggi. Selain ulet, teliti dan sabar, bukankah sifat-sifat
toleransi yang tinggi dan mudah diatur merupakan modal untuk penerapan
peraturan perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan pengupahan, sehingga
dengan demikian dapat lebih menguntungkan perusahaan.
Selanjutnya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi situasi kerja, khususnya
tentang sistem upah dan sistem bonus. Sistem upah dan sistem bonus dalam arti
yang objektif bukanlah masalah. Akan tetapi, bila hal yang objektif itu
diterjemahkan dalam pengertian yang subjektif, yang diinterpretasikan sebagai
ketidakadilan, pemerasan, dan sebagainya, sistem upah dan bonus tersebut
mempunyai pengaruh besar terhadap hubungan kerja yang tercipta, yang
selanjutnya ikut mempengaruhi tingkat produktivitas. Berdasarkan data-data
empiris, sistem upah yang umumnya diberlakukan di perusahaan-perusahaan
menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan. Dalam
pembagian keuntungan misalnya, kelompok kerja menempati posisi yang
marginal. Penetapan upah kerja didasarkan pada prinsip keuntungan yang
sebesar-besarnya bagi perusahaan, dan dinamika upah kerja tidak berkaitan
langsung dengan produktivitas. Artinya tinggi rendahnya upah riil banyak
tergantung pada manajer perusahaan, atau bahkan pada pemilik perusahaan
(Hikam, 1996; Wiranta, 1998: 17). Dalam penetapan upah, pekerja merupakan
kelompok yang tidak perlu dilibatkan dan mereka kurang menikmati keuntungan
perusahaan yang seharusnya mereka peroleh. Rendahnya upah kerja jelas
menyebabkan pekerja tidak betah bekerja dan mendorong pekerja berusaha
pindah kerja, mencari pekerjaan lain yang menjanjikan upah yang lebih besar.
Selain upah yang kecil, sistem pengupahan yang tidak mempertimbangkan masa
kerja juga mempunyai pengaruh yang kurang baik. Pekerja yang bekerja sebagai
operator, yakni tingkat terbawah dari pelapisan pekerja di perusahaan-perusahaan,
akan menerima upah yang sama, baik bulanan atau harian, dengan pekerja yang
baru masuk, sekalipun ia telah bekerja bertahun-tahun di perusahaan tersebut
(Wiranta, 1998). Sementara kesempatan untuk promosi menempati jenjang yang
lebih tinggi dalam struktur kepegawaian perusahaan sangat terbatas.
Training atau pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh perusahaan selain
tidak banyak, juga kurang mendukung promosi karir mereka. Latihan-latihan
yang diadakan lebih bermanfaat untuk meningkatkan ketrampilan pekerja dalam
menjalankan tugas mereka. Penetapan upah harian atau upah bulanan juga tidak
didasarkan pada aturan yang jelas. Di perusahaan-perusahaan, sering terjadi kasus
seseorang pekerja yang baru masuk memperoleh upah bulanan. Sementara
mereka yang telah bertahun-tahun bekerja di perusahaan tersebut tetap berstatus
sebagai pekerja dengan upah harian. Upah bulanan lebih menguntungkan pekerja
dibandingkan dengan upah harian. Seorang pekerja dengan upah bulanan akan
mendapatkan gaji penuh, sekalipun ia absen tidak masuk kerja asalkan dengan
alasan yang dapat diterima. Sementara pekerja dengan upah harian akan
menerima gaji dengan potongan jumlah hari tidak masuk, sekalipun dengan
alasan yang kuat. Sistem penggajian yang menempatkan para pekerja pada posisi
yang kurang menguntungkan dapat melahirkan interpretasi yang negatif, dan
yang seperti ini tentu saja akan berpengaruh pada semangat kerja mereka.
Faktor lain yang mungkin mempengaruhi suasana kerja dan yang lebih lanjut
menyebabkan rendahnya semangat kompetitif di kalangan pekerja adalah sistem
bonus dan penilaian prestasi yang kurang transparan. Penentuan siapa yang
berhak memperoleh uang insentif, bonus atau bentuk insentif yang lain, adalah
wewenang perusahaan. Pekerja tidak mengetahui secara jelas dasar penilaian
prestasi tersebut. Berdasarkan data lapangan, level terendah yang mengetahui
sistem penilaian ini adalah mandor/manajer. Lebih dari itu, hasil wawancara
dengan sejumlah manajer personalia dan manajer produksi memberi kesan kuat
bahwa pemberian insentif tidak didasarkan atas hak yang harus diperoleh pekerja,
tetapi pada usaha untuk meningkatkan produksi. Sistem pemberian uang insentif
dengan kriteria yang hanya diketahui oleh sekelompok kecil orang membuka
peluang terjadinya ketidakjujuran.
Selain menyebabkan munculnya sikap yang skeptis dan statis, kurang tumbuhnya
sikap kompetitif di kalangan pekerja juga mendorong lahirnya sikap yang cepat
puas dan kurangnya inisiatif, mereka sulit memahami bahwa keterkaitan antara
prestasi dan imbalan (upah) yang diperolehnya itu ada. Lebih-lebih bagi para
pekerja yang merasa seharusnya mendapat insentif karena prestasinya, ternyata
tidak memperoleh. Sementara yang kebetulan menerima uang insentif merasa
bahwa itu adalah atas kebaikan perusahaan, dan bukannya sesuatu yang memang
merupakan hak bagi mereka.
Sikap cepat puas diri terhadap hasil pekerjaan yang dicapai, apapun kualitasnya,
dapat membawa mereka pada skala ekonomi subsistem, dan yang lebih lanjut
akan berpengaruh pada kreativitas mereka. Sekalipun mereka tetap bekerja, akan
tetapi apa yang mereka lakukan lebih didasarkan pada pandangan tenaga atau
kemampuan yang ada untuk memperoleh hasil sekedar mencukupi kebutuhan,
bukannya berdasarkan prinsip ekonomi murni, yakni dengan kemampuan dan
tenaga yang dimiliki diusahakan untuk memperoleh hasil yang sebanyak-
banyaknya.