186
New Public Managemen Perdebatan tentang kinerja administrasi publik di seluruh dunia selalu ditandai dengan ketidakpuasan. Baik politisi maupun warga, bahkan juga pegawai administrasi sendiri, mengkritisi administrasi dengan kata kunci: ”terlalu lamban, terlalu mahal, terlalu jauh dari kebutuhan manusia, korup, buruk mutu serta pemborosan anggaran dan sumber daya manusia”. Pada saat yang sama tengah dilakukan pula diskusi yang dipromotori oleh Bank Dunia, OECD dan institusi-institusi besar lainnya tentang “Good Governance” atau pemerintahan yang baik. Istilah ini dalam sebagian besar penggunaannya sering dikaitkan dengan frasa yang diawali dengan negasi seperti “tidak ada korupsi, tidak ada penyalahgunaan uang rakyat, tidak ada KKN, dls”. Padahal, kita bisa mencoba merumuskan tujuan “Good Governance” dengan kalimat positif, seperti definisi berikut: Good Governance adalah suatu bentuk pemerintahan dan adminisitrasi publik yang mampu bekerja secara efisien, yakni mampu memenuhi kebutuhan rakyat. Definisi ini sama dengan apa yang diharapkan dapat dihasilkan oleh “New Public Management”. New Public Management (NPM) merupakan sistem manajemen administrasi publik yang paling aktual di seluruh dunia dan sedang direalisasikan di hampir seluruh negara industri. Sistem ini dikembangkan di wilayah anglo Amerika sejak paruh kedua tahun 80-an dan telah mencapai status sangat tinggi khususnya di Selandia Baru. Perusahaan-perusahaan umum diprivatisasi, pasar tenaga kerja umum dan swasta dideregulasi, dan dilakukan pemisahan yang jelas antara penetapan strategis wewenang negara oleh lembaga-lembaga politik (APA yang dilakukan negara) dan pelaksanaan operasional wewenang oleh administrasi (pemerintah) dan oleh badan penanggungjawab yang independen atau swasta (BAGAIMANA wewenang dilaksanakan). Administrasi dan badan

tugas new publikMangement

  • Upload
    ira

  • View
    666

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: tugas new publikMangement

New Public Managemen

Perdebatan tentang kinerja administrasi publik di seluruh dunia selalu ditandai dengan ketidakpuasan. Baik politisi maupun warga, bahkan juga pegawai administrasi sendiri, mengkritisi administrasi dengan kata kunci: ”terlalu lamban, terlalu mahal, terlalu jauh dari kebutuhan manusia, korup, buruk mutu serta pemborosan anggaran dan sumber daya manusia”.

Pada saat yang sama tengah dilakukan pula diskusi yang dipromotori oleh Bank Dunia, OECD dan institusi-institusi besar lainnya tentang “Good Governance” atau pemerintahan yang baik. Istilah ini dalam sebagian besar penggunaannya sering dikaitkan dengan frasa yang diawali dengan negasi seperti “tidak ada korupsi, tidak ada penyalahgunaan uang rakyat, tidak ada KKN, dls”. Padahal, kita bisa mencoba merumuskan tujuan “Good Governance” dengan kalimat positif, seperti definisi berikut: Good Governance adalah suatu bentuk pemerintahan dan adminisitrasi publik yang mampu bekerja secara efisien, yakni mampu memenuhi kebutuhan rakyat. Definisi ini sama dengan apa yang diharapkan dapat dihasilkan oleh “New Public Management”.

New Public Management (NPM) merupakan sistem manajemen administrasi publik yang paling aktual di seluruh dunia dan sedang direalisasikan di hampir seluruh negara industri. Sistem ini dikembangkan di wilayah anglo Amerika sejak paruh kedua tahun 80-an dan telah mencapai status sangat tinggi khususnya di Selandia Baru. Perusahaan-perusahaan umum diprivatisasi, pasar tenaga kerja umum dan swasta dideregulasi, dan dilakukan pemisahan yang jelas antara penetapan strategis wewenang negara oleh lembaga-lembaga politik (APA yang dilakukan negara) dan pelaksanaan operasional wewenang oleh administrasi (pemerintah) dan oleh badan penanggungjawab yang independen atau swasta (BAGAIMANA wewenang dilaksanakan). Administrasi dan badan penanggungjawab melaksanakan tugas yang diserahkan oleh negara atas dasar perumusan “order”” secara kuantitatif dan kualitatif, lalu disepakatilah anggaran biaya untuk pelaksanaan order tersebut (order kerja dan anggaran umum). Dibawah Kedai Kebebasan menyajikan sebuah Occasional Paper yang pernah diterbitkan oleh Friedrich Naumann Stiftung - Indonesia mengenai New public Management (NPM), silahkan mengklik-nya.

Page 2: tugas new publikMangement

http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=60684

Peran Media Dalam Mewujudkan Good Governance(03 Apr 2008, 250 x , Komentar)

Oleh: Sudirman Karnay (Dosen Ilmu Komunikasi Unhas)

Kebijakan redaksional sejumlah media cetak dan elektronik dalam memberitakan kasus-kasus korupsi di tanah air akhir-akhir ini, seperti kasus BLBI, dan kasus korupsi lainnya, kiranya patut diapresiasi secara positif oleh semua pihak. Sebab diakui atau tidak, hal itu mendoong terwujudnya good governanceSalah satu kesimpulan penting forum Millenium Development Goals (MDGs) yang digelar PBB (2005) bahwa, agar berhasil dalam memberantas kemiskinan, tercapainya pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen per tahun, memperoleh bantuan internasional,

terbentuknya pemerintahan yang kompeten dan kredibel, serta berkinerjanya usaha swasta, tidak lain adalah good governance dan good corporate governance.Terlepas dari komitmen tersebut, isu hubungan media dan good governance belakangan ini,

memang ramai diperbincangkan oleh berbagai kalangan di seantero jagat. UNESCO bahkan menempatkan isu tersebut sebagai tema Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2005.

Pada peringatan tersebut disampaikan komitmen dan dedikasi berbagai pihak untuk membela kebebasan berekspresi, serta mengkaji kembali pemahaman tentang good governance yang terkait dengan hak untuk memperoleh informasi.

Sebelumnya lembaga PBB bagi pendidikan, dan ilmu pengetahuan dan kebudayaan ini, pernah mengeluarkan seruan agar media komunikasi massa memainkan peran sebagai pendorong pemberantasan korupsi.

Lewat peran strategisnya sebagai “anjing penjaga” (watch dog) media massa dapat menjamin kehidupan berbangsa dapat berjalan lurus dan efektif, bersih dari praktik penyimpangan yang tidak terpuji.

Itu berarti bahwa sejak awal lembaga dunia seperti PBB telah mengakui bahwa prinsip kebebasan memperoleh informasi, telah dianggap strategis untuk bisa diakses oleh masyarakat luas, dan untuk itu pers menjadi salah satu sarana penting untuk memastikan masyarakat bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

Dalam konteks kebebasan memperoleh informasi tersebut, maka setidaknya ada tiga konsep yang saling berkaitan satu sama lain, yakni ; kebebasan memperoleh informasi (public access to information),

sistem negara yang demokratis (democratic state), pemerintahan yang baik (good governance), serta pemerintahan yang terbuka (open government). Artinya, konsep pemerintahan yang baik,

Page 3: tugas new publikMangement

mensyaratkan adanya pemerintahan yang terbuka sebagai salah satu fondasinya, dan juga adanya jaminan terhadap kebebasan memperoleh informasi. Pemerintahan yang terbuka di sini juga didefinisikan sebagai pemerintahan yang transparan, terbuka dan partisipatoris.

Menurut Achmad Santosa (2001), pemerintahan yang terbuka mensyaratkan adanya jaminan atas lima hal, yakni hak untuk memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran publiknya (right to observe), hak untuk memperoleh informasi (right to information),

hak untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan public (right to participate), kebebasan berekspresi, yang salah satunya diwujudkan dalam kebebasan pers, hak untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan dari pelaksanaan hak-hak di atas.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Good Governance? Dalam arti sempit, istilah Good Governance (GG) sering diartikan sebagai kinerja suatu lembaga seperti pemerintah, organisasi perusahaan, dan organisasi masyarakat, yang memenuhi kriteria tertentu.

Menurut Rochman Achwan, (2000) paradigma GG menekankan arti penting kesejajaran hubungan antara institusi negara, pasar, dan masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, GG diartikan sebagai bentuk penjabaran nilai-nilai demokrasi yang menuntut adanya budaya civil sebagai pilar keberlangsungan demokrasi.

Meskipun terdapat banyak pengertian mengenai GG, namun pada hakikatnya, konsep GG merujuk pada kewajiban pemerintah untuk memenuhi tiga prinsip dasar, yakni :

Pertama, transparansi dalam proses pembuatan keputusan, baik menyangkut peraturan yang eksplisit dan prosedur tertentu yang diambil, dan siapa yang menjadi penanggung jawab dari suatu kebijakan.

Kedua, mekanisme institusional untuk mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah mereka pilih. Ketiga, sanksi yang tepat bagi mereka yang melanggar, agar terjadi pertanggujawaban.

Intinya, good governance adalah terbentuknya pemerintah dan pemerintahan yang bersih, tidak korup, yang kompeten dan kredibel. Yang pasti, ketiga unsur yang saat ini ada dalam masyarakat yaitu pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat civil, yang menjadi pihak yang ikut bermain dalam GG. (Setianto, 2003).

Untuk mewujudkan GG maka salah satu elemen sistem sosial pada tataran kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang diharapkan perannya adalah institusi media.

Peran media yang bebas dan independen dalam mendorong GG sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari peran ideal media itu sendiri, yaitu fungsi informasi, fungsi pendidikan, dan fungsi kontrol sosial.

Keterlibatan media memang bisa membantu dalam membingkai (frame) isu-isu yang berhubungan dengan korupsi dan pelayanan publik yang berkaitan erat dengan kepentingan warga masyarakat.

Page 4: tugas new publikMangement

Peran tersebut sangat relevan dengan prinsip-prinsip dalam GG seperti transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Transparansi, didasarkan pada adanya mekanisme untuk menjamin akses umum kepada pengambil keputusan.

Partisipasi, didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat bisa berperan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan akuntabilitas, menyatakan seberapa besar efektivitas pengaruh dari mereka yang diperintah terhadap orang yang memerintah.

Pentingnya peran media yang independen, juga pernah dilontarkan oleh Amartya Sen, dalam bukunya “Development as Freedom”, bahwa mengapa di India tidak pernah ada bahaya kelaparan, sedangkan di Tiongkok bahaya kelaparan terjadi.

Menurut ahli ekonomi pemenang Nobel 2001 ini, hal itu disebabkan di India ada kebebasan pers, ada keterbukaan informasi. Sedangkan di Tiongkok, tidak ada dan informasi di sana mengalami tekanan dari pemerintah. Dengan kata lain, kemiskinan bisa dihindari ketika negara tersebut memiliki pers yang bebas.

Joseph E Stiglitz, guru besar di Columbia University, sekaligus pemenang hadiah Nobel Ekonomi tahun 2001, memiliki pandangan yang sangat menarik dalam soal akses informasi (atau para ekonom menyebutnya sebagai “transparansi”) yang ia lihat sebagai hal krusial dalam melihat krisis ekonomi di Asia sejak 1997.

Stiglitz yang pernah menjadi anggota tim ekonomi Presiden Amerika di bawah kendali Clinton, dan juga pernah bekerja di World Bank, sangat concern dengan kondisi yang ia sebut sebagai asymetries of information, yaitu kondisi di mana terjadi kepemilikan informasi,

yang bisa terjadi antara para pekerja dan majikannya, antara kreditor dan debitor, antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi. Stiglitz mengatakan bahwa kondisi asymetries of information ini terjadi dalam berbagai kegiatan ekonomi, dan secara teoritis,

preposisi Stiglitz ini menyumbang fondasi yang lebih realistis terhadap perkembangan teori tentang buruh dan pasar uang.

Pandangan Stiglitz tersebut, seluruhnya didasarkan pada buku yang ditulisnya pada tahun 2002 “Globalization and its Discontent”. Konteks yang melatari buku ini terutama adalah analisis Stiglitz pada situasi krisis ekonomi Asia, di mana untuk melakukan economic recovery prinsip transparansi,

keterbukaan dan mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah, adalah bagian penting dari akuntalibitas pemerintahan dalam proses perbaikan ekonomi tadi.

Dasar Pandangan Stiglitz pula adalah mengeritik banyak kebijakan IMF (International Monetary Fund) yang justru sebaliknya memelihara kultur kerahasiaan (culture of secrety) dalam pelaksanaan economic recovery di berbagai negara,

padahal implikasi berbagai butir perjanjian dengan IMF itu tak saja mengikat lembaga pemerintah, tapi juga kepada banyak masyarakat luas.

Kultur kerahasiaan sebagai ditunjuk oleh Stiglitz memberikan peluang kepada para pejabat pemerintah untuk menghindari kebijakan mereka dianalisa, dievaluasi ataupun dikritik oleh masyarakat.

Page 5: tugas new publikMangement

Buat para pejabat pemerintah memang memelihara kultur kerahasiaan seperti ini membuat hidup mereka menjadi lebih enak, mereka bisa bertindak sesukanya tanpa ada yang mengontrol, dan kerahasiaan pula memungkinkan para pejabat pemerintah untuk menyembunyikan kesalahan mereka.

Persoalan lain yang ditunjukkan oleh Stiglitz adalah, kalaupun sebuah kebijakan tidak dilahirkan hanya untuk kepentingan sekelompok orang, ada pula pertanyaan kritis di situ: kepentingan siapa yang sesungguhnya dilayani dalam pembuatan kebijakan ini?

Kultur kerahasiaan ini pula yang memunculkan banyaknya protes dari masyarakat untuk memberikan keterbukaan yang lebih besar dan juga transparansi dalam pembuatan kebijakan pemerintah.

Salah satu unsur penting dari media yang makin bebas dan kaitannya dengan GG adalah tersedianya informasi yang terbuka bagi masyarakat untuk menunjukkan kinerja macam apa yang ditunjukkan oleh para pejabat dalam menjalankan pemerintahan.

Dalam masyarakat modern, ketersediaan informasi sangat penting artinya untuk mengukur kualitas pembuatan keputusan oleh pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, hal tentang informasi yang terbuka, berguna untuk masyarakat, menjadi penting artinya bagi pengembangan masyarakat,

dan terutama untuk memastikan bahwa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah berjalan sesuai dengan rencana, dan mencapai sasaran yang telah disusun sebelumnya.

Dalam teori-teori liberal-pun dikemukakan bahwa fungsi dari media massa adalah membuka ruang demokratisasi yang dilakukan dengan cara membuka peluang terjadinya kebebasan berekspresi, dan memberi kesempatan kepada berbagai kelompok masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya.

Melalui peliputannya yang investigatif, media massa mempunyai peluang untuk mengungkapkan berbagai tindak penyelewengan, baik yang dilakukan pemerintah, maupun lembaga swasta.

Peliputan investigasi memiliki kekuatan “akuntabilitas publik” yang mampu membongkar kebusukan di masyarakat serta mendorong terwujudnya demokratisasi. Hanya jika para jurnalis bebas untuk memonitor, menginvestigasi dan mengkritisi kebijakan dan tindakan administrasi publik, maka GG bisa diwujudkan. (**)

http://www.sulsel.go.id/explore-more/produk-hukum/kebijakan-pengembangan-20060829-255.html

Kebijakan Pengembangan SELASA, 29 AGUSTUS 2006

Page 6: tugas new publikMangement

Halaman 1 dari 4

Pendahuluan

 

Pemerintahan layaknya mahluk hidup

 

Arie de Geus (1997) menemukan bahwa sebuah institusi dapat dilihat sebagai sesosok mahluk hidup (a living organism). Ia hidup karena mengalami perubahan – perubahan seperti dilahirkan, sakit, tua, dan akan mati seperti mahluk hidup lainnya. Kalau ia mengalami perawatan yang baik, maka ia bisa berumur panjang. Sebagai contoh adalah Sumitomo, sebuah perusahaan dagang dari Jepang, yang pada saat ini sudah berumur 400 tahun. Stora di Swedia, bisa berumur sampai 700 tahun. Tapi mereka semua berubah – ubah dari waktu ke waktu, beradaptasi dengan lingkungan barunya.

 

Bagaimana dengan suatu bangsa ?  Memang harus diakui bahwa sangat jarang di dengar suatu bangsa mati di tengah jalan. Tetapi jangan salah, pemikiran bahwa bangsa tidak akan pernah mati telah membuat banyak yang terperangkap dalam manajemen pelayanan masyarakat yang buruk. Padahal sebuah negara dibangun berdasarkan dukungan masyarakat terhadap pemerintahnya

 

Perjalanan bangsa – bangsa dalam pemerintahan mengalami banyak perubahan. Perubahan itu dipicu oleh datang dan perginya teknologi yang melahirkan arus gelombang. Gelombang – gelombang itu menciptakan perubahan dalam pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat. Bentuk dan tata laksana pemerintahan yang dianggap tidak mengakomodir kebutuhan masyarakatpun lambat laut ditinggalkan. Apabila pada abad pertengahan mayoritas bangsa dikelola dengan bentuk pemerintahan monarki absolut, maka pada abad 21, ini pemerintahan berbentuk demokrasi telah menjadi acuan di mayoritas bangsa di dunia. Apabila dahulu pemerintahan dikelola dengan sistem menara gading, maka pada saat ini banyak masyarakat yang menuntut sistem pemerintahan yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat banyak.

 

PERUBAHAN DALAM MANAJEMEN PEMERINTAHAN

 

          Perubahan pemerintahan bangsa - bangsa terjadi secara bertahap sesuai dengan perjalanan waktu, berdasarkan buah pemikiran  para ahli dari tiap generasi.

          Dilihat dari sudut pandang pengelolaan pelayanan ke publik, maka perubahan manajemen

Index Artikel

Kebijakan Pengembangan

Halaman 2

Halaman 3

Halaman 4

Page 7: tugas new publikMangement

pemerintahan dipengaruhi oleh 3 (tiga) tahapan mahzab pemikiran yaitu mahzab klasik, neo klasik dan manajemen publik baru (new public management).

← Mahzab klasik lahir dari pemikiran kuat Frederick Taylor Scientific

Management, yang menitikberatkan  pada pencegahan korupsi dan

terjadinya in-efisiensi pada pelayanan publik.

Mahzab Klasik kemudian tergantikan oleh mahzab neo-klasik. Pengadopsian prinsip manajemen tanpa pemahaman yang mendalam terhadap perilaku manusia dan organisasi akan melahirkan pelayanan publik yang tidak konsisten (Simon 1976). Salah satu peninggalan penting yang lahir dari mahzab neo-klasik adalah mulai ditanamnya kesadaran pada para pemerintah untuk melakukan basis analisa untuk pengukuran perfomansi, proses audit, rasionalisasi dari jurisdiksi dan organisasi, serta sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran (Schick 1966; Greenhouse 1966; Gross 1969; Schick 1969).

Seiring dengan waktu, mahzab neo-klasik secara berlahan mulai digantikan oleh sebuah teori baru yang bernama new public management. Mahzab baru ini lahir dari kritik terhadap mahzab klasik dan neo-klasik yang dianggap hanya memproduksi sistem manajemen publik yang kaku, tidak berorientasi pasar serta birokratis.

Mahzab new public management ini mulai berkembang sejak tahun 80’an, tepat disaat dunia sedang dihadapi oleh resesi global yang menyebabkan menyusutnya tingkat perdagangan dan penerimaan pajak. Inti sari dari mahzabnew public management ini adalah suatu pemerintahan sebaiknya dikelola seperti layaknya sebuah perusahaan swasta.

E-GOVERNMENT SEBAGAI TULANG PUNGGUNG PERUBAHAN

Berkembangnya teknologi informasi telah menyentuh sendi – senti manajemen pemerintahan. Kombinasi antara  buah pemikiran mahzab new public management dengan teknologi informasi telah melahirkan konsep applikasi pemerintahan digital atau yang lebih populer disebut sebagai e-government.

Filosofi dasar dari e-government sendiri merupakan alat dari suatu perubahan system (organisasi, proses bisnis, sdm dan standard operating procedure) dalam pemerintahan. Fungsi utama dari e-government adalah alat bantu dalam penciptaan perubahan dalam pelayanan dari pemerintah kepada masyarakat.

          Disamping kekuatan daya jangkaunya, e-government dianggap mempunyai beberapa manfaat tambahan (Gore,1993) seperti :

1. Memperbaiki kinerja efektifitas dan efisiensi

2. Meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas dalam rangka

Good Corporate Governance

3. Mengurangi secara signikan total biaya administrasi yang dikeluarkan

pemerintah kepada para stakeholder-nya

4. Memberikan opportunity kepada Pemda untuk mendapatkan revenue

Page 8: tugas new publikMangement

stream yang baru.

5. Memberdayakan masyarakat dengan menciptakan masyarakat baru

yang lebih sejajar dan melek teknologi sehingga mampu

mengantisipasi perubahan global.

 

            Idealnya perubahan harus datang dari dalam dan mampu berubah sendiri tanpa mengalami suatu proses intervensi dari luar. Pemerintah Indonesia, pada tahun 1998 akhirnya mengalami perubahan drastis. Tetapi semua itu harus dilakukan melalui campur tangan asing, yaitu IMF, World Bank, dan Negara.

 

          Indonesiapun masih menghadapi pilihan – pilihan yang dilematis di tengah zaman yang tengah berubah. Perubahan dari segi pemerintahan adalah perubahan dari era pemerintah militer yang dipimpin oleh Soeharto menjadi pemerintahan demokratis yang dipimpin oleh pemimpin politik secara bergantian. Dari kehidupan yang relatif terkendali, menjadi kehidupan yang relatif bebas, bahkan cenderung kurang terkendali, liar, lepas, dan kompetitif. Singkatnya, berubah menjadi sangat dinamis. Lingkungan baru itu begitu bergejolak, bahkan terbuka. Dan layaknya suatu bangsa yang tidak lepas dari pengaruh global, Indonesiapun dari segi pemerintahan mulai bersentuhan dengan teknologi informasi, khususnya apa yang disebut dengan e-government.

 

E-GOVERNMENT SEBAGAI APLIKASI PERUBAHAN

         

Di Indonesia, kelahiran E-Government dibidani oleh Instruksi Presiden No. 3/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Pemerintahan Secara Elektronik. INPRES ini cukup merangsang lahirnya e-government di Indonesia. Sayangnya secara kualitatif dan kualitatif , peranan e-government di dalam roda pemerintahan hanya bagaikan riak – riak kecil di tengah gelombang besar laut.

 

Pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah masih terjebak dalam applikasi – applikasi dasar seperti pembuatan situs atau applikasi proses yang sifatnya terputus – putus, sehingga yang dalam kehidupan sehari – hari tidak memberikan manfaat yang mendalam terhadap masyarakat.

 

          Pada tahun 2004 ini mungkin akan gelombang besar yang berkaitan dengan e-government. Dengan mengambil tema reformasi manajemen keuangan publik, Departemen Keuangan sudah mengambil langkah maju untuk mengadakan perubahan terhadap proses penganggaran dan pengelolaan keuangan negara.

Page 9: tugas new publikMangement

          Dalam perubahan ini, Departemen Keuangan menggunakan applikasi e-government yang berbasis pada applikasi manajemen keuangan yang terintegrasi baik secara internal (Bea Cukai, Pajak, Anggaran dan Perbendaharaan) maupun secara eksternal (Kementerian Teknis dan Lembaga Bangsa).  Perubahan ini menawarkan reformasi total terhadap pengelolaan pemerintahan melalui bangsa.

          Tetapi semaju – majunya teknologi informasi yang ditawarkan atau besaran dana yang dimiliki, hal tersebut tidaklah menjamin terjadinya kesuksesan perubahan yang diimpikan. Banyak faktor dan variabel terkait, yang dapat menentukan keberhasilan dan kegagalan dari suatu tujuan perubahan. Hal inilah yang menjadi dasar dari munculnya disiplin ilmu manajemen perubahan atau yang lebih sering dikenal sebagai change management.

BIROKRASI KITA PERLU DIREFORMASI SECARA RADIKAL

Page 10: tugas new publikMangement

1.            PENDAHULUAN

 Teori Pemerintahan bukanlah sesuatu yang baru, konsep pemerintahan sudah muncul sejak adanya masyarakat itu sendiri. Secara sederhana Pemerintahan berarti: sebuah proses mulai dari pengambilan keputusan hingga implementasinya. Sepanjang pengertian pemerintahan sebagai proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan maka banyak pengamat lebih memfokuskan kepada : siapa saja yang  terlibat dalam pengambilan keputusan dan bagaimana bentuk lembaga formal yang akan menjalankannya. Belakangan ini istilah pemerintahan dan “pemerintahan yang baik” atau sering disebut good governance menjadi semakin sering digunakan dalam beberapa tulisan baik tulisan masalah sosial politik, pembangunan maupun masalah manajemen. Pemerintahan yang buruk dipandang sebagai suatu masalah dasar yang berada dalam tatanan masyarkat. Tulisan ini mencoba memaparkan dengan sederhana tentang keadaan birokrasi Indonesia sekarang ini, alasan perlunya reformasi total, dan apa saja upaya-upaya untuk mencari sebuah solusi agar good governance dan clean governance tercapai sesuai harapan masyarakat pada umumnya. 

2.            SEPERTI APA BIROKRASI SEKARANG INI

Secara umum masyarakat saat ini menganggap bahwa birokrasi kita sangat jelek, boros dan korup. Birokrasi pemerintah bagaikan kerajaan kecil tanpa kendali, spirit demokrasi belum merasuk dalam sistim birokrasi kita. Dibawah ini beberapa data yang dapat disajikan sebagai indikasi keadaan birokrasi saat ini:a. Data dari the political and economic risk consultancy (PERC), April 2006 

•        Tahun 1999 sebagai birokrasi terburuk kelima di Asia

•         Tahun 2000 sebagai birokrasi terburuk kelima di Asia

•         Tahun 2001 turun lagi menjadi birokrasi terburuk ketiga di Asia

•         Tahun 2005 semakin merosot menjadi birokrasi terburuk kedua di Asia  

b.   Catatan empiris hasil survei kompas tentang tingkat kemiskinan (Kompas 31 Agustus 2006) 

Medan :

a.      Lebih baik (12,1%)

b.      Tetap (51,7%)

c.      Lebih buruk (32,8%)

 Pontianak : a.   Lebih baik (33,3%)

b.   Tetap (47,6%)

c.    Lebih buruk (19,1%) 

Page 11: tugas new publikMangement

d.      Tidak tahu (3,4%)Banjarmasin:a.      Lebih baik (6,3%)

b.      Tetap (37,5%)

c.      Lebih buruk (56,2%) 

Padang: a.   Lebih baik (18,8%)

b.   Tetap (27,3%)

c.    Lebih buruk (54,5%) Jakarta:a.      Lebih baik (6,5%)

b.      Tetap (37,9%)

c.      Lebih buruk (53,6%)

d.      Tidak tahu (2,5%) 

Yogyakarta: a.   Lebih baik (2,5%)

b.   Tetap (35%)

c.    Lebih buruk (60%)

d.   Tidak tahu (2,5%) 

 Kemiskinan ini berhubungan langsung dengan jeleknya birokrasi. 

c.   Jumlah Prosedur dan lama waktu perizinan usaha di sejumlah negara berkembang dan maju (Data Koran Tempo 13 Nopember 2004) 

Negara Jumlah Prosedur Waktu (Hari)

Indonesia Malaysia

Thailand

Vietnam

China

Filipina

India

Australia

Perancis

Jepang

 129

8

11

12

11

11

2

10

6

 15130

33

56

41

50

89

7

42

21

  d.   Peringkat korupsi 8 negara di Asia (Sumber International Tranparancy report 2003 

Page 12: tugas new publikMangement

Peringkat Negara Skor

12

3

4

5

6

7

8

 Indonesia       Filipina            

Thailand          

Cina               

Korea Selatan

Malaysia  

Hongkong       

Singapura     

1,92,5

3,3

3,4

4,3

5,2

8,0

9,4

 e.   Hasil jajak pendapat harian kompas pada 16-17 maret 2005

•         sebanyak 62% responden menyatakan bahwa aparat pemerintah belum terbebas dari KKN dalam bekerjanya, dengan demikian masyarakat  sebagai pihak yang seharusnya mendapat pelayanan birokrasi belum puas.

•         sebanyak 50% responden mengatakan kerja aparat pemerintah sangat lambat •         hampir separoh responden menyatakan layanan aparat pemerintah cenderung berbelit-belit 

 3.            MENGAPA PERLU REFORMASI SECARA RADIKAL

Dengan melihat data-data tersebut diatas, maka reformasi birokrasi saat ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Paling tidak ada 3 alasan mengapa reformasi birokrasi menjadi sebuah keharusan. Pertama sebagai keharusan politik. Spirit penyelenggaraan negara paska orde baru adalah pengabdian kepada kedaulatan rakyat berbeda dengan zaman orde baru dimana birokrat sebagai abdi negara yang diorientasikan kepada kepentingan politis semata. Maindset lama yang berpandangan bahwa birokrat harus dilayani dan dihormati publik kini harus dirombak menjadi melayani publik, karena mereka bekerja dengan dibayar dari dana pajak yang dipungut dari rakyat.  Kedua sebagai sebuah keharusan ekonomi. Ruh reformasi adalah komitmen untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Komitmen ini telah dituangkan dalam berbagai jenjang peraturan perundangan-undangan. Semua sadar KKN telah membuat ekonomi negara rusak, bangkrut, inefisien dan high cost. Birokrasi selama ini masih dikenal sebagai penyumbang terbesar praktek KKN, dengan demikian birokrasi sebagai penyumbang terbesar kerugian negara, dan ini harus dihentikan. Ketiga tuntutan globalisasi. Interaksi global yang mekin terbuka dan intensif mensyaratkan performa birokrasi yang profesional, cekatan, efisien, dan efektif. Performa

Page 13: tugas new publikMangement

birokrasi dapat berdampak langsung bagi kegairahan investasi. Investor, baik domestik maupun asing, akan bersemangat mengembangkan usaha bila berhubungan dengan birokrasi yang profesional. Sebaliknya,  investor akan malas-malasan bahkan bisa akan angkat kaki dari Indonesia bila berinteraksi dengan birokrasi yang berbelit-belit, lamban, korup serta banyak menuntut biaya tinggi. Saat ini, kita membutuhkan banyak investasi untuk mendinamisir pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Sehingga angka pengangguran bisa ditekan, kemiskinan bisa diatasi, dan kesejahteraan lahir batin masyarakat bisa diwujudkan. Maka sekali lagi, reformasi birokrasi tidak bisa ditawar lagi.  

4.            PENDEKATAN TEORI

Untuk melakukan sebuah perubahan yang sangat mendasar diperlukan beberapa pendekatan terhadap teori-teori yang mungkin relevan sebagai sarana mencari solusi terbaik. Dibawah ini diuraikan teori-teori pendukung perubahan yang ingin dicapai.  a. Gareth R. Jones dan Jenifer M. George dalam Contemporary Management 

1)   Chapter 14, dalam chapter ini dapat disarikan sebagai berikut :

•         Memanage grup/team agar epektif dan efisien antara lain :

       -     Bagaimana memotivasi anggota untuk mencapai tujuan

       -     Mengurangi kecemburuan sosial dalam grup

       -     Membantu grup memanage konflik 

•         Kunci agar internal management team menjadi efektif :

      -         Beri rasa tanggung jawab yang cukup agar mandiri

      -         Tugas yang diberikan kepada team agar dapat menumbuhkan beberapa macam jalan keluar terbaik

      -         Seleksi anggota dengan hati-hati untuk melihat kemampuan dan semangat

      -         Manager harus memberi pengarahan, latihan dan bukan hanya mengawasi      -         Siapkan pelatihan yang diperlukan

      -         Team harus dievaluasi performancenya 

•         Kepemimpinan group :

Page 14: tugas new publikMangement

      -         Kepemimpinan epektif adalah rumus kunci dari tingginya performance grup, team dan organisasi

      -         Formal grup dibentuk oleh organisasi dan memiliki seorang pemimpin yang ditunjuknya

     -         Grup yang muncul dari sebuah independen dalam sebuah organisasi memiliki pemimpin informal yang diakui grup  

2)   Chapter 15, dalam chapter ini dapat disarikan sebagai berikut :

-     Pentingnya komunikasi yang baik :

-     Meningkatkan efisiensi terhadap teknologi baru dan kemampuan

-     Meningkatkan kualitas dan produk dari service

-     Meningkatkan tanggung jawab dan respon terhadap costumer

-     Menambah inovasi lewat komunikasi 

3)   Chapter 16, dalam chapter ini dapat disarikan sebagai berikut :

•         Konflik dalam organisasi :

-     Konflik yang timbul muncul karena tujuan, kepentingan atau nilai dari individu yang berbeda tidak bisa disatukan, dan kadang menghalangi kinerja masing-masing dalam rangka mencapai tujuan

-     Konflik tak bisa dihindari karena luasnya tujuan untuk masing-masing anggota organisasi

 -     Konflik dapat menjadi hal yang positif bila dimanage dengan baik 

4)   Chapter 17, dalam chapter ini diuraikan tentang pentahapan perubahan organisasi  dalam empat tahap sebagai berikut :

•         Tahapan perubahan organisasi : 

Penilaian, perlunya perubahan

 •    Pengenalan masalah

•    Identifikasi sumber masalahMemutuskan perubahan yang akan dibuat•    Memutuskan apa masa depan terbaik untuk organisasi

Page 15: tugas new publikMangement

•    Identifikasi masalah yang akan diambil Implementasi perubahan •    Memutuskan apakah perubahan itu dari atas kebawah atau sebaliknya•    Mengenalkan dan memanage perubahan Evaluasi perubahan •    Membandingkan setelah dan sebelum perubahan•    Menentukan mana yang tebaik 

b.   Teori Reedukatif dari Kurt Lewin

Menurut teori ini, orang tidak akan berubah semata-mata karena diminta, kecuali jika kebutuhan untuk berubah dijelaskan dan terdaftar konsensus bahwa perubahan dalam diusulkan merupakan suatu pembalikan peristiwa secara mengagumkan. Beberapa prinsip kunci Reedukasi :

•         Melalui sebuah proses, ini berarti  bahwa keyakinan dari prilaku orang yang menjadi target perubahan diketahui secara pasti oleh manager perubahan

•         Harus menyentuh budaya

•         Harus ada keterlibatan mereka yang menjadi sasaran perubahan

•         Harus didukung oleh faktor lingkungan

•         Harus ada keterlibatan peran kelompok

•         Pelatihan secara intensif 

c. Teori Jeff Davidson

•         Menurut teori ini, orang berubah ketika merasakan bahwa perubahan memang ditunjukkan untuk kepentingan terbaik mereka

•         Perubahan benar-benar siap digulirkan ketika individu mengadopsi sistem nilai dan keyakinan kelompok yang mendorong perubahan

•         Para target perubahan lebih mungkin untuk menerima perubahan seandainya mereka dapat berpartisipasi dalam perencanaan dan eksekusi perubahan itu

•         Reedukasi dapat terjadi apabila para target perubahan telah “mencair” dan mau menerima informasi, pandangan, dan metode baru. 

d.   Ciri umum good governance menurut Willy R. TjandraMenurut Willy R. Tjandra good governance memiliki 8 ciri umum, yaitu : akuntabilitas, transfaransi, keadilan, penerapan hukum, efektifitas dan efisiensi, responsibilitas, pendekatan konsensus dan partisipasi publik. Hal ini dianggap banyak kalangan dapat

Page 16: tugas new publikMangement

menjamin mengurangi tingkat korupsi, keterwakilan, terakomodasi dan responsif atas kebutuhan masyarakat. 

e. Teori Klitgaard mengatakan bahwa secara umum pola yang menjadi penyebab merebaknya korupsi dapat diungkapkan dengan rumus sebagai berikut :

C = M + D – A 

C : coruption

M : monopoly of power

D : discretion by officials

A : accountability 

5.            KONSEP REFORMASI BIROKRASI

a. Konsep UmumDari beberapa pendekatan teori diatas kita dapat mengambil intisarinya untuk dijadikan sebagai acuan dan pedoman untuk membuat sebuah konsep yang memadai dalam rangka reformasi birokrasi. Setidaknya ada 5 (lima) prinsip yang ditawarkan agar proses perubahan ini berjalan sesuai rencana.

•       Negara harus mampu mendesign ulang struktur dan kultur organisasinya agar siap dan mampu menjadi katalisator bagi institusi lainnya untuk menjalin sebuah kemitraan yang kokoh, otonom dan dinamis.

•       Kekuasaan yang dimiliki negara harus ditransformasikan dari yang semula dipahami sebagai kekuasaan menjadi kekuatan menyelenggarakan kepentingan, memenuhi kebutuhan, dan menyelesaikan masalah publik.

•       Dalam konsep apapun yang dibangun negara harus tetap bermain sebagai figur kunci namun tidak mendominasi serta memiliki kapasitas mengkoordinasi (bukan memobilisasi) institusi-institusi semi dan non pemerintah.

•       Negara, LSM, dan masyarakat lokal merupakan aktor-aktor, memiliki posisi dan peran yang saling menyeimbangkan

•       Negara harus mampu meningkatkan kualitas responsivitas, adaptasi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan kebutuhan, dan penyelesaian masalah publik.

b.      Sasaran yang ingin dicapai Sasaran yang ingin dicapai adalah birokrat KEE (Kecil Efektif Efisien),  dengan kualitas sebagai berikut :

Page 17: tugas new publikMangement

•         Transparan, akuntable, bersih dan bertanggung jawab serta dapat menjadi pelayan masyarakat, abdi masyarakat dan teladan masyarakat.

•         Memiliki organisasi yang kaya fungsi, ramping struktur, efisien dan efektif, dengan aparatur yang profesional, netral, sejahtera, tertib ketatalaksanaan, koordinasi baik dan bebas KKN 

c.      Pelaksanaan KonsepDalam pelaksanaannya diperlukan segala upaya dan usaha untuk mengaplikasikan konsep umum tersebut diatas yang terdiri dari : merubah mindset, upaya pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas moral dan restrukturisasi birokrasi. 

1)     Merubah Mindset Dari teori-teori tersebut diatas maka merubah pola fikir manusia merupakan hal yang paling utama. Bad Governance yang selama ini terjadi dalam birokrasi publik merupakan hasil sebuah proses interaksi yang komplek dari akumulasi masalah yang telah lama melekat dalam kehidupan birokrasi publik. MINDSET yang salah selama ini telah mengilhami perilaku birokrasi publik, MINDSET ini menyangkut misi dari keberadaan birokrasi publik itu sendiri, jati diri, fungsi dan aktivitas yang dilakukan birokrasi dalam kegiatannya sehari-hari. Perubahan MINDSET harus menjadi sebuah kewajiban bila kita ingin mewujudkan perilaku baru dari birokrasi publik dan melahirkan sosok pejabat publik yang berbeda dengan sekarang.  Misi utama birokrasi kolonial (yang masih diterapkan sekarang) adalah untuk mempertahankan kelangsungan kekuasaan pemerintah kolonial. Banyak prosedur, norma, tradisi yang masih melekat dan dipakai sampai sekarang. MINDSET baru harus berupa mengembangkan budaya baru yang sesuai dengan visi dan misi birokrasi sebagai AGEN PELAYANAN PUBLIK. Nilai tradisi dan misi birokrasi publik sebagai agen pelayanan harus ditumbuhkembangkan pada semua pejabat birokrasi.

2)     Pemberantasan Korupsi

•       Untuk mengembangkan strategi pemberantasan korupsi secara tepat perlu terlebih dahulu memahami akar permasalahan dalam setiap kontek sosial. Menurut Klitgaard secara umum pola yang menjadi penyebab merebaknya korupsi dapat diungkapkan dengan rumus sebagai berikut : 

C = M + D – A

 C = corruption

M = monopoly of power

D = discretion by officials

A = accountability 

Page 18: tugas new publikMangement

Peluang untuk melakukan korupsi cenderung meningkat jika seseorang memiliki monopoli atas kekuasaan dan diskresi (keleluasaan bertindak). Tetapi peluang korupsi dapat ditekan jika mekanisme akuntabilitas dapat ditingkatkan. Dengan demikian pemegang monopoli atas barang dan jasa dan memiliki wewenang untuk memutuskan harus DIPERSEMPIT dan akuntabilitas harus tetap DILAKSANAKAN DENGAN KETAT.

 •       Menyingkirkan orang-orang yang tidak jujur, evaluasi riwayat pekerjaan dan mengadakan tes integritas

•       Optimalisasi penerimaan SDM terutama kecakapan menyeleksi akuntan, auditor dan analis sistem

•       Manfaatkan jaminan atas kejujuran dari luar (LSM, Lembaga Pengawas, ICW dll)

•       Memperberat hukuman formal (berlakukan hukuman mati) untuk memberikan efek jera 

3)     Peningkatan kualitas moralAgar restrukturisasi dan pemberantasan korupsi efektif dan efisien maka penguatan harus dilakukan melalui peningkatan moral, religi dan etika pada para pelaku birokrasi (Prof. Dr. HM. Sidik Priadana, MS)Agenda pemberantasan korupsi selain dengan menempuh jalan penegakkan hukum juga perlu membereskan mentalitas yang buruk. Dalam kaitan mental mekanisme hukum memang berguna untuk meredam improvisasi mental buruk. Tapi sistim hukum hanya menyentuh permukaan, bila instrumen hukum gagal mengendus maka perilaku korup akan tetap bergerak secara kucing-kucingan. Akan lebih komprehensif kalau solusi permukaan dengan jalur hukum dilengkapi dengan solusi mental untuk perbaikan dari dalam jiwa manusia sehingga semangat perbaikan itu betul-betul lahir dari kesadaran yang mendalam.  Upaya ini dapat  dilakukan melalui kursus, training dan pelatihan-pelatihan leadership. 

4)     Restrukturisasi Birokrasi

Jelas bahwa kelemahan mendasar dalam perbaikan birokrasi pemerintahan adalah implementasinya. Perbaikan itu harus dipraktikkan, bukan sekedar diwacanakan, dianjurkan, diintruksikan, diundangkan dan sejenisnya. Harus ada konsep operatif dengan tahapan-tahapan yang tepat, akurat, dan mungkin untuk dilakukan. Sasaran dan target pada setiap tahapan harus ketat dan dibarengi dengan contoh (role model) dari pimpinan. Dan harus dikawal dengan penjaminan dan kendali mutu, lengkap dengan reward and punishment yang tegas, jelas dan adil. 

a)       Buat segera blue print atau rencana induk (grand design) tentang perubahan struktur organisasi pelayanan dan lengkapi dengan payung hukum dan batas waktu tanpa kompromi atau toleransi

Page 19: tugas new publikMangement

b)       Pensiunkan para pemimpin/manager yang tidak memiliki komitmen terhadap restrukturisasi

c)        Cegah inefisiensi, baik yang tergolong penyimpangan maupun yang tidak

d)       Jabatan eselon I dan eselon II harus dipegang oleh leader manager yaitu birokrat atau pejabat yang memahami, menghayati dan mempraktekkan management leadership

e)       Wujudkan segera standar kinerja dan indikator keberhasilan yang konkrit, jelas, dapat dipraktekkan, dan dapat diukur dengan mekanisme pengendalian yang efektif, efisien dan tepat sasaran

f)        Peningkatan gaji pegawai secara selektif dan signifikan sesuai standar hidup

g)      Rubah sistem pendidikan dari pendekatan kekuasaan menjadi pendekatan pelayanan

h)        Melakukan evaluasi terus menerus secara berkesinambungan yang sesuai dengan tujuan yang dikehendaki 

d.      Tahapan perubahan (4 tahun)Reformasi birokrasi dicanangkan dalam 4 (empat) tahap selama empat tahun dimaksudkan agar pemerintah hasil pemilihan umum/presiden dapat mengaplikasikannya pada kurun waktu jabatannya                                                                 Tahap 1                              Tahap 2                                  Tahap 3                                  Tahap 4

Penilaian, perlunya perubahan

 •    Pengenalan masalah

•    Identifikasi sumber masalah Memutuskan perubahan yang akan dibuat •    Memutuskan apa masa depan terbaik untuk organisasi•    Identifikasi masalah yang akan diambil Implementasi perubahan  •    Memutuskan apakah perubahan itu dari atas kebawah atau sebaliknya•    Mengenalkan dan memanage perubahan Evaluasi perubahan  •    Membandingkan setelah dan sebelum perubahan•    Menentukan mana yang tebaik 

                                   6 bulan                                        36 bulan                       6 bulan

  e.      AsumsiDalam mengaplikasikan konsep tersebut diatas, diasumsikan bahwa pemimpin perubahan harus memiliki otoritas penuh lintas departemen untuk membuat dan mengaplikasikan kebijakannya

Page 20: tugas new publikMangement

http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/informasi.htm

Paper Seminar / Diskusi

Kompilasi Bahan Diskusi Rutin Good Governance 

Page 21: tugas new publikMangement

Kata Pengantar

Good Governance telah menjadi ideologi baru negara-negara dan lembaga-lembaga donor internasional dalam mendorong negara-negara anggotanya menghormati prinsip-prinsip ekonomi pasar dan demokrasi sebagai prasyarat dalam pergaulan internasional. Istilah good governance mulai mengemuka di Indonesia pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan interaksi antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara luar dan lembaga-lembaga donor yang menyoroti kondisi obyektif situasi perkembangan ekonomi dan politik dalam negeri Indonesia. Ditinjau dari sisi semantik kebahasaan governance berarti tata kepemerintahan dan good governance bermakna tata kepemerintahan yang baik.

Menurut Lukman Hakim Saifuddin, anggota DPR RI dari Fraksi PPP, dalam Catatan tentang Persepsi Masyarakat Mengenai Good Governance di Indonesia, penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dapat diartikan sebagai suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan substansi dan implementasi yang diarahkan untuk mencapai pembangunan yang efisien dan efektif secara adil. Oleh karena itu, good governance akan tercipta manakala di antara unsur-unsur negara dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan dalam proses checks and balances dan tidak boleh satupun di antara mereka yang memiliki kontrol absolut.

Dalam menapaki sejarah hidupnya, Republik Indonesia mengalami dua kali malapetaka nasional. Sejak sebelum Perang Dunia Kedua, bahkan jauh sebelumnya, bangsa Indonesia dan para pemimpinnya mencita-citakan dan memimpikan kemerdekaan sepenuhnya. Tetapi dua kali juga impian itu kandas dan berakhir dengan pemusatan kekuasaan pada satu tangan (executive heavy), dengan kata lain tidak terwujudnya proses check and balance dengan segala dampaknya yang telah menyeret bangsa Indonesia pada keterpurukan ekonomi dan ancaman desintegrasi. Realitas historis ini menggiring kita pada wacana bagaimana meminimalisir peran negara (limitation of the state’s roles) yang menurut pandangan Satish Chandra Mishra (2000), adalah persoalan bagaimana melakukan penyesuaian struktural (structural adjusment) dalam bentuk antara lain deregulasi, restrukturisasi perbankan yang mengarah pada aspek economic governance dan ketika program penyesuaian struktural ini tidak berjalan dengan baik, tindakan yang perlu diambil adalah melakukan reformasi politik yang dalam pelaksanaannya menunjuk pada penerapan nilai-nilai non ekonomi yakni transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan atau sering juga disebut governance reform as an instrument of economic recovery in Indonesia.

Selaras dengan pandangan Satish Chandra Mishra, Dadang Solihin (2000) mengemukakan pendapat Rochman Achwan, seorang sosiolog dari UI yang menganalogikan good governance sebagai troika yang ditarik oleh tiga ekor kuda : negara, pasar, dan masyarakat. Dalam pandangan ini, negara memainkan peran yang

Page 22: tugas new publikMangement

sangat terbatas dalam pengelolaan ekonomi, dengan kata lain peran institusi negara semakin mengecil. Good governance ini akan tegak jika didukung oleh tiga pilar pasif yakni bersih, transparan, dan bertanggung–gugat dan beberapa pilar aktif/dinamis meliputi responsif, sigap, solid, fleksibel, terintegrasi, dan inovatif. Kedua jenis pilar tersebut, khususnya pilar aktif sangat berkaitan dengan kondisi bebas dari korupsi. Usaha-usaha anti korupsi adalah bersifat dinamis karena dalam jangka panjang akan memacu pertumbuhan ekonomi. 

Masyarakat melihat dan merasakan bahwa salah satu penyebab terjadinya krisis multidimensional hari ini adalah terjadinya abuse of power yang terwujud dalam bentuk KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan sudah sedemikian rupa mewabah dalam segala aspek kehidupan. Pelbagai kajian ihwal korupsi di Indonesia memperlihatkan korupsi berdampak negatif terhadap pembangunan melalui kebocoran, mark up yang menyebabkan produk high cost dan tidak kompetitif di pasar global (high cost economy), merusakkan tatanan masyarakat dan kehidupan bernegara (Dadang Solihin, Anti Korupsi dan Good Governance: 2000).

Lebih lanjut, menurut Lukman Hakim Saifuddin, masyarakat menilai praktek KKN yang paling mencolok kualitas dan kuantitasnya adalah justru yang dilakukan oleh cabang-cabang pemerintahan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini mengarahkan wacana pada bagaimana menggagas reformasi birokrasi pemerintahan (governance reform). Birokrasi pemerintahan itu sendiri terdiri dari tiga unsur utama yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan, dan SDM. Bila dibandingkan dengan kondisi Orla, birokrasi pemerintahan pada masa Orba relatif lebih baik, misalnya administrasi pemerintahan dan diklat PNS, namun hal-hal tersebut ternyata tidak menghasilkan birokrasi pemerintah yang efektif dan efisien yang berorientasi memberikan pelayanan yang terbaik. Berbagai faktor baik internal dan eksternal menjadi penyebab atau memiliki pengaruh terhadap kondisi buruk birokrasi tersebut selama 30 tahun terakhir. Salah satunya adalah intervensi politik terhadap birokrasi pemerintahan. Faktor eksternal, pada masa Orla bercirikan multi loyalitas terhadap parpol/golongan politik sedangkan pada masa Orba bernuansa monoloyalitas pada suatu partai/golongan politik tertentu. Dan saat ini, pada masa reformasi diupayakan netral. Sementara faktor internal adalah kondisi kelembagaan yang tidak efisien dan membengkak tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan, ketatalaksanaan (manajemen) yang kurang berorientasi efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dan pencapaian hasil optimal serta SDM yang berkualitas kurang baik dari segi kemampuan maupun perilakunya dan cenderung tidak terdistribusi dengan baik. Faktor-faktor internal dan eksternal ini harus terus menerus diperbaiki agar birokrasi pemerintahan menjadi efisien dan efektif dan mampu memberikan pelayan yang terbaik bagi negara dan masyarakat (Setiabudi : 2000)

Dalam kompilasi tulisan hasil diskusi rutin ini, tersaji pula kaitan antara bagaimana wujud partisipasi publik sebagai salah satu nilai good governance dengan pembiayaan pembangunan khususnya pinjaman luar negeri serta hubungannya dengan desentralisasi. Dalam membahas partisipasi publik, menurut Ikak G. Patriastomo, Staff Biro Analisis Sistem dan Prosedur Pembiayaan Bappenas, perlu dilihat berbagai masalah, pertama, apakah partisipasi masyarakat ini bisa dikembangkan ? Bila tidak atau belum adakah mekanisme yang dapat dikembangkan

Page 23: tugas new publikMangement

untuk mewujudkan partisipasi; kedua, apabila partisipasi memang sudah terjadi apakah partisipasi tersebut dapat berlangsung dalam setiap proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan/pengawasan. Ketiga, selain berbeda intensitas dan bentuknya, partisipannya juga berbeda-beda, bisa berupa individu, maupun lembaga swadaya masyarakat, lembaga perwakilan rakyat. Bentuk partisipasi dan siapa partisipan-nya akan menentukan efektifitas partisipasi itu sendiri (Ikak G. Priastomo : 2000).

Selanjutnya menyoal pelbagai permasalahan yang muncul berkaitan dengan pembiayaan pembangunan dan penyusunan APBN, dalam amatan Kennedy Simanjuntak, staf Biro Analisis dan Formulasi Pembiayaan Bappenas, akan menunjuk pada paling tidak satu pertanyaan ihwal akuntabilitas hal ini muncul sebagai akibat konsekuensi mengemukanya partisipasi publik dalam perencanaan dan pembiayaan pembangunan. Akuntabilitas tersebut mencakup empat hal, yaitu : (1) hierarchial accountabiltiy (ketaatan pada perintah atasan); (2) legal accountability (kepatuhan pada hukum dan peraturan) ; (3) political accountability dan (4) professional accountability yang menyangkut code of conduct (Kennedy Simanjuntak : 2000)

Telusuran literatur dan jelajah dinamika wacana yang berkembang dalam diskusi-diskusi rutin yang yang diselenggarakan oleh Sekretariat Pengembangan Public Good Governance akhirnya tiba pada suatu muara kesimpulan bahwa berbicara good governance di Indonesia akan menunjuk pada sekumpulan nilai–nilai (cluster of values) yang nota bene nilai–nilai yang sudah lama hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia, jadi bukan merupakan barang baru, hanya berbeda dalam hal aksentuasi dan kemasannya saja, sementara substansinya sama. Sekumpulan nilai-nilai yang dimaksud tersebut adalah 11 (sebelas) nilai-nilai good governance yakni (1) check and balances; (2) decentralization; (3) effectiveness; (4) efficiency; (5) equity; (6) human rights protection; (5) integrity; (6) participation; (7) pluralism; (8) predictability; (10) rule of law; dan (11) transparency.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mendekati, mengidentifikasi, mengurai, dan mengupayakan pemecahan persoalan penegakkan good governance. Hasil diskusi rutin juga merekomendasikan adanya tiga faktor determinan pencapaian good governance, yakni sumber daya manusia (human factor), lembaga atau pranata (institutions/system) dan budaya (cultures).

Sebagai upaya merespon pertanyaan tersebut, dalam kumpulan tulisan ini tersaji sekumpulan gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran berasal dari representasi akademisi, politisi, praktisi, dan simpul masyarakat lainnya yang dipresentasikan dalam rangkaian diskusi rutin yang dilaksanakan oleh Sekretariat Pengembangan Public Good Governance Bappenas.

Page 24: tugas new publikMangement

CATATAN TENTANG PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI

GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA 

 

1. Good  Governance  merupakan  suatu  konsepsi   tentang  penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang sesuai dengan cita terbentuknya suatu masyarakat madani. Mengingat di masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda, maka pembicaraan menyangkut good governance tidak semata terfokus pada unsur negara saja, tetapi juga berkait dengan institusi kemasyarakatan

2. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dapat diartikan sebagai suatu mekanisme pengelolaan sumberdaya dengan substansi dan implementasi yang diarahkan untuk mencapai pembangunan yang efisien dan efektif secara adil. Oleh karena itu, good governance akan tercipta manakala di antara unsur-unsur negara dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dll.) memiliki keseimbangan dalam proses checks and balances dan tidak boleh satupun di antara mereka yang memiliki kontrol yang absolut.

3. Masyarakat melihat dan merasakan bahwa sulitnya membangun good governance pada bangsa ini karena korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah sedemikian rupa mewabah di hampir semua sektor kehidupan. Masyarakat menilai praktek KKN yang paling mencolok kualitas dan kuantitasnya adalah justru yang dilakukan oleh cabang- cabang pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Hal ini terjadi karena kekuasaan terlalu menumpuk pada diri lembaga pembuat kebijakan publik tersebut, sehingga melahirkan abuse of power.

4. Good governance mensyaratkan adanya tanggungjawab, transparansi, dan partisipasi. Idealnya, ketiga hal itu akan ada pada diri setiap aktor institusional dimaksud jika nilai-nilai kemanusiaan dan nilai moral menjiwai setiap kiprahnya. Karenanya, faktor agama menjadi suatu keniscayaan dalam membentuk karakter pemimpin dan anak bangsa ini.

5. Sejalan dengan penanaman nilai-nilai kebajikan melalui agama, sistem dan tatanan kenegaraan dan kemasyarakatan yang ada haruslah menjamin lahimya tanggungjawab, transparansi, dan partisipasi tersebut. Hal-hal menyangkut sistem electoral, pembuatan kebijakan, pembuatan transaksi, pengelolaan sumberdaya, dan akses informasi misalnya, haruslah mampu melahirkan tanggungjawab dan membuka peluang sebesar-besamya bagi terciptanya transparansi. Hal yang tak kalah pentingnya adalah adanya partisipasi masyarakat. Dibutuhkan terbangunnya sistem pemberdayaan warga masyarakat guna memiliki kemampuan melakukan kontrol sosial.

Page 25: tugas new publikMangement

LiteraturI. LSM dan Participatory Development  

I.1. DAC Expert on Aid Evaluation, 1997, Evaluation of Programs Promoting Participatory Development and Good Governance: Synthesis Report, Development Assistance Committee OECD, Paris.

I.2. JICA, Participatory Development and Good Governance Reports of the Aid Study Conference, http: // www.jica.go.jp

I.3. Prijono, Onny S., 1996, Organisasi Non-Pemerintah (NGO’s): Peran dan Pemberdayaannya dalam Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka (eds.), CSIS, Jakarta.

I.4. Sulekale, Drs. Dalle Daniel, 1996, Meningkatkan Kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dalam Majalah Perencanaan Pembangunan, No. 04, Maret. 1996, Jakarta.

II. Pembangunan Pemerintahan   II.1. Gilpin, Robert, 1987, The Nature of Political Economy dalam Political Economy of

International Relations, Princeton University Press, Princeton, New Jersey. II.2. Hamid, Edi Suandi, 1999,Peran dan Intervensi Pemerintah dalam Perekonomian dalam

Jurnal Ekonomi Pembangunan No. 4 No. 1 1999, Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta.II.3. Rasyid, Riyas M.,1997, Pembangunan Pemerintahan Indonesia Memasuki Abad 21,

Makalah disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Politik pada Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta, 18 Februari 1997.

II.4. Tjiptoherijanto, Prijono, 1996, Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia di Sektor Pemerintah, Majalah Perencanaan Pembangunan, No. 05, Juni/Juli1996, Jakarta.

II.5. Wade, Robert, 1990, Governing the Market : Economy Theory and The Role of Government in East Asian Industrialization, Princeton University Press, Princeton New Jersey.

II.6. Wrihatonolo, Rendy R., 2000, Pokok-Pokok Penyelenggaraan Pembangunan Nasional (Suatu Pemikiran), Makalah untuk Majalah Perencanaan Pembangunan.

II.7. Mas’oed, Mochtar, 1989, Efektivitas dan Tanggung Jawab pada Masyarakat : Dilema Birokrasi dalam Perbandingan Sistem Politik ed. Mochtar Mas’oed dan Collin Mc. Andrews, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

II.8. Bappenas, 2000, Indonesia Governance Strategy Mission : Legal Reform in Relation with Clean and Good Government, Jakarta.

III. Globalization dan Governance   III.1. Washington, Sally, 1995, Globalization : What Challenges and Opportunities for

Governments ? dalam Strategic Management and Policy Making, OECD, Paris. III.2. 1985, Sharing Views on Globalization and Governance, makalah yang disampaikan

dalam Partnerships in Governance : Common Responses to the Challenge of Globalization, OECD, Paris.

IV. Decentralization   IV.1. 1999, Decentralization : Implications of Good Governance on Project

Implementation, Kertas Kerja Bappenas, Jakarta.IV.2. Huther, Jeff and Shah, Anwar, Applying a Simple Measure of Good Governance to the

Debate on Fiscal Decentralization, World Bank.IV.3. Oyugi, Walter O, 2000, Decentralization for Good Governance and Development,

Regional Development Dialogue Vol. 21 No. 1 Spring 2000, United Nations Center for Regional Development, Nagoya Japan.

IV.4. Patriastomo, Ikak G. (Biro Analisis Sistem dan Prosedur Pembiayaan- Bappenas) , 2000, Pinjaman Luar Negeri dan Kewenangan Pemerintah Daerah, makalah disampaikan pada Diskusi Rutin Sekretariat Pengembangan Public Good Governance Bappenas tanggal. 1 September 2000, Jakarta.

IV.5. Rowley, Charles K., 1998, On The Nature of Civil Society, The Independent Review, Winter 1998.

IV.6. Siagian, Faisal, 1994, Dinamika Pengaruh Kelompok Bisnis dalam Politik : Trend Indonesia Menuju Negara Korporatis, Analisis CSIS 1994.

IV.7. Tadjoedin, Muhammad Zulfan;, Suharyo, I. Widjajanti dan Mishra, Satish, 2000, Disparitas Regional dan Konflik Vertikal di Indonesia : Aspirasi terhadap Ketidakmerataan, United Nations Support Facility for Indonesia Recovery, Jakarta.

IV.8. National Planning in a Decentralized Framework, Bappenas

Page 26: tugas new publikMangement

IV.9. OECD, 2000, What is Decentralization, OECD, Paris

V. Teks Pidato   V.1. Annan, Kofi, 1997, Secretary General of United Nations, International Conference on

Governance for Sustainable Growth and Equity, United Nations, New York, 28 – 30 July 1997.

V.2. Kepala Bappenas, 2000, Partnership to Support Governance Reform in Indonesia : Draft Speech to a meeting of representatives of GOI – 26 January 2000, Jakarta.

VI. Transparansi  

VI.1. 1997, Good Governance in Foreign Aid Project and Program Management Framework, Bappenas, Jakarta.

VI.2. 1999, Transparansi dalam Pinjaman Luar Negeri, Bappenas, Jakarta.

VI.3. The TI Source Book: Setting the Stage for a National Integrity System, http://www.transparency.de/documents/sourcebook/a/chapeter_1/index.html.

VI.4. Pope, Jeremy, Ed., 1999, National Integrity Systems : The TI Source Book Third Edition, Transparency International, Berlin Germany.

VII. Governance Reform   VII.1. 2000, Strategies for Achieving the International Development Targets : Making

Government Work for Poor People, Department for International Development British Government.

VII.2. 2000, Proposed Initiatives to Eliminate Corruption, Collusion and Nepotism through Application of Principles of Good Governance and Quality Assurance, Department of Settlements and Regional Development.

VII.3. Laporan OECD, 1995, Policy Recommendations on Regulatory Reform, OECD, Paris.

VII.4. 2000, Indonesia Governance Strategy Mission Legal Reform in Relation With Clean and Good Government, Bappenas.

VII.5. OECD, 1999, Improving Ethical Conduct in the Public Service : Recommendation of the OECD Council, OECD, Paris.

VII.6. 1997, Best Practice Guidelines for Contracting Out Government Services, PUMA Policy Brief No. 2 Public Management Service, OECD February 1997

VII.7. 1998, Best Practice Guidelines for User Charging for Government Services, PUMA Policy Brief No. 3 Public Management Service, OECD March 1998.

VII.8. Tjokroamidjojo, Bintoro, Prof., 2000, Good Governance : Paradigma Baru Manajemen Pembangunan, Majalah Manajemen Pembangunan No. 30 Tahun IX, Mei 2000.

VII.9. Vishny, W. Robert dan Shleifer, Andrei, 1998, The Grabbing Hand : Government Pathologies and Their Cures, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, London, England.

VII.10. OECD, 1999, Regulatory Reform and Innovation, Jakarta

VII.11. Hadisumarto, Djunaedi (Chairman National Planning Agency (Bappenas) 2000, Governance Reform in Indonesia, Bappenas.

VIII.  Anti Corruption   VIII.1. Solihin, Dadang, 2000, Anti Corruption and Good Governance, disampaikan pada

Diskusi Mingguan Sekretariat Pengembangan Public Good Governance Bappenas tanggal 24 Agustus 2000, Bappenas.

  VIII.2. Asian Development Bank (ADB)-1998, Anticorruption Policy (Pdf File)

  VIII.3 Asian Development Bank (ADB)-2000, Anticorruption Policy Description and answer to frequeently Asked Questions (Pdf File)

 VIII.4. Asian Development Bank, 27-28 July 1999, Good Governance and AntiCorruption-

Indonesia - The road Forward For Indonesia, Paper Presented by the Asian Development Bank at the meeting of the Consultative Group on Indonesia.  ( Pdf File)

  VIII.5. ADB OECD Tokyo 30 November 2001, Anti-Corruption Initiative for Asia-Pacific - Combating Corruption In the New Millennium.  ( Pdf File)

  VIII.6. Asian Development Bank - The Governance Brief, Understanding public procurement ( Pdf File)

  VIII.7. International Monetary Fund - IMF Working Paper - June 2000, A game-Theoretic Analysis of Corruption in Bureaucracies, Era Dabla-Norris ( Pdf File)

 VIII.8. International Monetary Fund - IMF Working Paper - July 2000, Corruption, Structural

Reforms, and Economic Performance in the Transition Economies - George T.Abed and Hamid R.Davoodi ( Pdf File)

 VIII.8. International Monetary Fund - Governance of the IMF - 2000, Decision Making,

Institutional Oversight, Transparency and Accountability - Loe Van Houtven ( Pdf File) 

Page 27: tugas new publikMangement

VIII.?. 2000, Work Program on Anti-Corruption : A Concept Note, Partnership for the Reform of Governance in Indonesia, Jakarta.

IX. White Paper   IX.1. 2000, Draft Kerangka Acuan Kerja Penyusunan Buku Putih : Arah dan Strategi

Kebijakan Public Good Governance, Sekretariat Pengembangan Public Good Governance, Bappenas.

IX.2. 2000, Eliminating World Poverty : A Challenge for the 21st Century : White Paper on International Development, Presented to Parliament by Secretary of State for International Development by Command of Her Majesty, November 1997, UNSFIR.

IX.3. Sudarsono, Slamet. 2000, Draft Tinjauan Penatbiran terhadap Perencanaan dan Pembiayaan, Bappenas,

X. Publikasi Bappenas   X.1. Bappenas,2000, Laporan dan Rekomedasi Seminar Reformasi Peran dan Fungsi

Bappenas, 29 April 1999 Bappenas,Jakarta.X.2. Bappenas, 1999, Looking to the Future of the Indonesian Economy,

X.3. Bappenas, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 –2004

X.4. Bappenas, 2001, The Indonesian Economy in The Year 2001 : Prospects and Policies, Jakarta

XI. Planning and BudgetingXI.1. Isham, Jonathan, Kaufmann, Daniel and Pritchert, Lant H., Civil Liberties, 1997, Democracy

and the Performance of Government Projects dalam The World Bank Economic Review, Vol. 11 No. 2 May 1997, IBRD 

XI.2. OECD, 1997, Budgeting for the Future , Paris.

XI.3. OECD , 1996, Public Management Occasional Papers No. 14, Ethics in the Public Service : Current Issues and Practices, Paris. 

XI.4. OECD, 1998, Modern Financial Management Practices dalam 19th Annual Meeting of Senior Budget Officials, Paris 25 –26 May 1998.

XI.5. Gervais, Maurice (Senior Policy Planning Advisor, CIDA – BAPPENAS Development Planning Assistance) , 2000, Core Public Sector Management Reforms in Indonesia : An Agenda for delivering an effective government, CIDA.

XI.6. OECD, 2000, Public Management Reform and Economic and Social Development : Summary, dalam Back to PUMA Work on Budgeting and Financial Management, Paris.

XI.7. OECD, Building Policy Coherence dalam Back to PUMA Work on Strategic Governance and Policy-Making, Paris.

XI.8. OECD, 1997, The Changing Role of the Central Budget Office, OECD, Paris.

XI.9. Bappenas, 2000, List of Assisted Projects by Bilateral Donor Country, Bappenas 

XII. Partnerships   XII.1. The World Bank Group Request for Financing,2000, Title of Proposal Activity : World

Bank / UNDP Partnership to Support the Reform of Governance in Indonesia, World Bank Jakarta.

XII.2. Governing Board Keeps The Ball Rolling dalam Partnership for Governance Reform in Indonesia Volume IV – June 12, 2000, UNDP Jakarta.

XII.3. Tata Pemerintahan yang Baik dari Kita untuk Kita, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Sekretariat Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan UNDP, Jl. M.H. Thamrin 14 Jakarta.

XII.4. Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta 17 May 2000, UNDP.

XII.5. Informal CGI Meeting : Partnership for Governance Refirm in Indonesia, Jakarta Tuesday 13 June 2000.

XII.6. Partnership for Governance Reform in Indonesia , Programme Area : Governing Institution, Area of Initiative : Electoral Reform, UNDP Jakarta

XII.7. Partnership for Governance Reform in Indonesia, Programme Area : Decentralization, Area of Initiative : supporting local legislature, UNDP Jakarta.

XII.8. Partnership for Governance Reform in Indonesia, Programme Area : Decentralization, Area of Initiative : Capacity Building to facilitate decentralization, UNDP Jakarta.

XII.9. World Bank, 2000, Indonesia : Governance Partnership, Initial participant Survey Results and Selected Issues for Discussion, Background Handout Prepared by wolrd Bank as input to participatory discussion during October 10th Video link and Subsequent discussion, UNDP Jakarta .

Page 28: tugas new publikMangement

XII.10. UNDP, Governing Board to Meet, Partnership for Governance Reform in Indonesia , Volume II, May 10 2000.

XII.11. AusAid, 2000, Indonesia – Governance Sector Program : Identification Mission, Term of Reference, AusAid.

XII.12. UNDP, 2000, Governing Board Meeting on Friday 2 June ,2000, Partnership for Governance Reform in Indonesia.UNDP. 

XII.13. UNDP dan World Bank, 2000, Partnership to Support Governance Reform in Indonesia, UNDP dan World Bank

XII.14. Bappenas, 2000, Public Good Governance, A background paper for the BAPPENAS Secretariat on Public Good Governance Seminar 14 April 2000, Mandarin Hotel Jakarta 

XII.15. Transforming Public Sector Leadership : Building Partnerships for the New Millenium, April 24-28, 2000,CIDA

XII.16. UNDP dan World Bank, 2000, Partnership to Support Governance Reform in Indonesia, Jakarta Indonesia February , 2000 

XII.17. Setabudi, M.A., Drs., 2000, Reformasi Kelembagaan, makalah diskusi Public Good Governance untuk diskusi Mingguan Sekretariat Pengembangan Public Good Governance, Bappenas Jum’at 1 September 2000.

XII.18. Bappenas, 2000, Governance Reform in Indonesia, Bappenas.

XII.19. MENPAN RI, 2000, Pokok Pokok Materi Kerangka dan Agenda Public Good Governance, Rapat di Bappenas tanggal 28 Januari 2000.

XII.20. Mishra, Satish Chandra, 1999, Government and Governance : Understanding The Political Economy of the Reform of Institutions, paper presented to the LPEM/USAID Conference “ The Economic Issues facing the New Government”, Jakarta 18-19 Agustus 1999.

XII.21. Mishra, Satish Chandra, 1999, A Programme Document for The Government of Indonesia, Program Title : Indonesia : Policy Support for Sustained Economic and Social Recovery, UN Resident Coordinator System for Indonesia Interim Document, Jakarta 2000.

XII.22. Governing Board Meeting on Friday 2 June, 2000, Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta.

XII.23. Draft The Status of Governance in Indonesia : A Baseline Assesment, Produced behalf of the Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta October 2000.

XII.24. Partnership to Support Governance Reform in Indonesia, Jakarta

XII.25. Rajan, Ravi, 2000, Partnership for Governance Reform : Recommendations for Institutional Structure for the Partnership and Staffing Requirements, UNDP

XII.26. Enhancing Good Governance in Indonesia : A Current Assesment, Produced behalf of the Partnership for Governance Reform in Indonesia, October 2000.

XII.27. Stiglitz, Joseph, Senior Vice President and Chief Economist the World Bank, 1998, Redefining the Role of The State, Presented on the Tenth Anniversary of MITI Research Institute, Tokyo Japan, March 17, 1998.

A.  Peraturan dan Perundang-undanganA.1. Republik Indonesia. TAPMPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara

yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Jakarta, 1998.A.2. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara

Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Jakarta, 1999.A.3. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program

Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Jakarta, 2000.A.4. Instruksi Presiden RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi

Pemerintah. Jakarta, 1999.B. Buku 

B.1. Antlov, Hans. Masyarakat Sipil dan Demokrasi Akar Rumput. Sebuah Pemikiran untuk Indonesia dalam Rahz, M. Hidayat (ed.) Menuju Masyarakat Terbuka.Lacak Jejak Pembaruan Sosial di Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.

B.2. Arnstein, Sherry R. A Ladder of Citizen Participation dalam buku Classics Readings in Urban Planning, Jay M. Stein ed. McGraw-Hill, 1995

B.3. Basri, Faisal. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI. Distorsi, Peluang dan Kendala. Cetakan Ketiga. Jakarta, Penerbit Erlangga, 1997.

B.4. Benveniste, Guy. Birokrasi. Cetakan Keempat. PT. Rajagrafindo, Jakarta 1997. 

B.5. Djohan, Djohermansyah. Fenomena Pemerintahan. Yarsif Watampone, Jakarta, 1997

B.6. Fakih, Mansour. Masyarakat Sipil dan Perubahan Sosial di Indonesia: Sebuah Agenda dalam Rahz, M. Hidayat (ed.) Menuju Masyarakat Terbuka.Lacak Jejak Pembaruan Sosial di Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.

Page 29: tugas new publikMangement

B.7. Gant, George F. Development Administration: Concepts, Goals, Methods.Madison, The University of Wisconsin Press, 1979.

B.8. Giddens, Anthony. The Third Way. The Renewal of Social Democracy. Blackwell Publisher, 1998.

B.9. Giddens, Anthony. The Consequences of Modernity. Stanford, USA, Stanford University Press, 1990.

B.10. Hall, John A. Civil Society. Theory, History, Comparison. Cambridge,Polity Press, 1995.

B.11. Hikam, A.S. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta, LP3ES, 1996.

B.12. Klitgaard, Robert. Membasmi Korupsi. Diterjemahkan oleh Hermoyo dari judul asli Controlling Corruption. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998.

B.13. Klitgaard, Robert dan Baser, Heather. Working Together to Fight Corruption: State, Society and the Private Sector in Partnership, dalam Taschereau, Suzanne ed. Building Government-Citizens-Business. Institute on Governance, Ottawa, 1997.

B.14. Kohli, Atul. Demokrasi dan Pembangunan dalam Lewis, John P. dan Kallab, Valeriana (ed.). Mengkaji Ulang Strategi-Strategi Pembangunan. Jakarta, UI-Press, 1987.

B.15. Kumorotomo, Wahyudi. Etika Administrasi Negara. Cetakan Keempat. PT. Rajagrafindo, Jakarta 1999. 

B.16. Lok, Helen. Individu Pembaharu dan Masyarakat Terbuka: Sebuah Catatan Refleksi dalam Rahz, M. Hidayat (ed.) Menuju Masyarakat Terbuka.Lacak Jejak Pembaruan Sosial di Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.

B.17. Lubis, Mochtar dan Scott, James C. (Ed.). Bunga Rampai Korupsi. Cetakan Ketiga. LP3ES, Jakarta, 1995. 

B.18. Lubis, Mochtar dan Scott, James C. (Ed.). Korupsi Politik. Yayasan Obor, Jakarta, 1993. 

B.19.

Mansor, Norman dan Zakaria, Ahmad Nordin. Public Acoountability- The Malaysian Case pada Issues and Challenges for National Development. Faculty of Economics and Administration, University Malaya, 1990. Selected papers presented during the 21st Anniversary Conference, December 1987 

B.20. Noeh, Munawar Fuad. Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi. Zihrul Hakim, Jakarta, 1997.

B.21. Nirwandar, Sapta dan Tadju, Ibrahim (ed). Birokrasi dan Administrasi Pembangunan. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1992.

B.22. Osborne, David dan Ted Gaebler. Reinventing Government. Plume, New York, 1993.

B.23. Pope, Jeremy ed.. Pengembangan Sistem Integritas Nasional. Buku Panduan Transparency International. Grafiti, Jakarta, 1999.

B.24. Purchase, Bryne dan Hirshhorn, Ronald. Searching for Good Governance. Government and Competitiveness Project. Final Report. School of Public Policy, Queens University. Canada, 1994.

B.25. Rahardjo, Dawam (ed.). Membongkar Mitos Masyarakat Madani. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.

B.26. Rahardjo, Dawam. Masyarakat Madani: Agama, KelasMenengah, dan Perubahan Sosial. Jakarta, LP3ES, 1999.

B.27. Rahz, Muhammad Hidayat (ed.). Menuju Masyarakat Terbuka. Lacak Jejak Pembaruan Sosial di Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.

B.28. Soewartojo, Juniadi. Korupsi. Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan dalam Penanggulangannya. Restu Agung, Jakarta, 1995.

B.29. Stewart, J. D., The Role of Information in Public Accountability, dalam Hopwood, Anthony and Cyril Tomkins (ed.), Issues in Public Sector Accounting, Oxford: Phillip Allan Publishers Limited, 1984

B.30. Syafruddin Ateng. Memantapkan Pemerintah yang Bersih Kuat dan Berwibawa. Bandung, Penerbit Tarsito, 1982.

B.31. Taschereau, Suzanne and Campos, Jose Edgardo L. (ed.). Building Government-Citizen-Businesspartnership. Institute on Governance, Ottawa, 1997.

B.32. Taufik, Abdullah. Kata Pengantar dalam Dawam rahardjo. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta, LP3ES,1999.

B.33. Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustopadidjaya A. R. Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan. Perkembangan Teori dan Penerapan. Cetakan Keempat. LP3ES, Jakarta, 1996.

B.34. Turner, Mark and Hulme, David. Governance, Administration and Development. Making the State Work. Macmillan Press, London,1997.

B.35. Warsito, Rukmadi. Ketidakadilan Kemiskinan dan Birokrasi di Indonesia dalam Mardimin, Johanes (ed.) Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia. Jakarta,

Page 30: tugas new publikMangement

Kanisisus, 1996.B.36. Wibowo, I. Negara dan Masyarakat. Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina.

Jakarta, Kerjasama Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2000.B.37. Widjaja, H.A. Etika Pemerintahan. Edisi Kedua. Jakarta, Bumi Aksara, 1997.

B.38. Widjajono, Pertawidagdo. Memahami Analisis Kebijakan. Program Studi Pembangunan , PPS ITB, 1999.

B.39. Yusuf, Saifullah dan Salim, Fahruddin. Pergulatan Indonesia Membangun Demokrasi. Jakarta, Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Anshor, 2000.

C. Terbitan Khusus

C.1. International Monetary Fund (IMF). Good Governance. The IMF’s Role. IMF, Washington DC, 1997.

C.2.Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Akuntabilitas dan Good Governance. Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Jakarta, 2000.

C.3. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). Membangun Pondasi Good Governance di Masa Transisi.Jakarta, 2000.

C.4. Overseas Development Administration (ODA). Good Government, Technical Note No. 10. London, 1993.

C.5. Organisation for Economic and Co-operation Development. Governance in Transition. Public Management Reforms in OECD Countries. Paris, 1995.

C.6. Sekretariat Pengembangan Public Good Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Eksistensi Good Governance dalam Berbagai Perspektif. Bappenas, Jakarta, 2000.

C.7. World Bank. Governance and Development. Washington DC, 1992.

D. MakalahD.1. Buchanan, Ian. Indonesia Terburuk dalam Banyak Faktor. Booz-Allen and Hamilton, Jakarta,

2000. Makalah disajikan pada acara The 2nd Briefing, Leadership in Creating Value Through Corporate Restructuring yang diselenggarakan Kantor Menneg PBUMN di Jakarta pada tanggal 30 September 2000.

D.2. Hadisumarto, Djunaedi. Governance Reform in Indonesia. Bappenas, Jakarta, 2000.

D.3. Luhulima, C. P. F.. Governance, Civil Society and Democracy. Jakarta, 2000. Makalah disampaikan dalam Kursus Diplomat Caraka Madya VI. Jakarta, 29 Agustus 2000

D.4. Mishra, Satish Chandra. Government and Governance: Understanding the Political Economy of the Reform of Institutions. Jakarta, 1999. Makalah disajikan pada Konperensi tentang ‘The Economic Issues Facing the New Government” diselenggarakan oleh LPEM/USAID di Jakarta tanggal 18-19 Agustus 1999.

D.5. Mungkasa, Oswar. Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah yang Ideal. Jakarta, 2000

D.6. Budi, Setia. Reformasi Kelembagaan. Jakarta, 2000.

E. Artikel Media MassaE.1. Achwan, Rohman. “Good Governance” Manifesto Politik Abad ke-21. Kompas, 29 Juni 2000

E.2. Jemadus, Aleksius. Redefinisi Peran Negara dalam Pembangunan. Kompas, 4 Nopember 2000.

E.3. Keliat, Makmur. “Good Governance or Illusion”. The Jakarta Post, 3 dan 4 November 1997.

E.4. Madjid, Nurcholish. Tuntutan Pengembangan Masyarakat Madani. Kompas, 29 Juni 2000.

E.5. Pareira, Andre H. Pemerintahan Bersih, Sudah Waktunya. Kompas, 16 Desember 1997 

E.6. Posner, Bruce G., and Rothstein, Lawrence R.. Reinventing the Business of Government: an Interview with Change Catalyst David Osborne. Harvard Business Review, May-June 1994, Vol. 72, Number 3.

E.7. Rochman, Meuthia-ganie. Isu "Civil Society" dan "Good Governance". Kompas, 12 Juni 2000

E.8. Soesastro, M. Hadi. A Democratizing Indonesia: The Role of International Institutions and NGOs. The Indonesian Quarterly, Vol. XXVIII, No. 3, Third Quarter, 2000.

E.9. Tagela, Umbu. “Civil Society” dan Demokrasi, untuk Apa?. Kompas, 19 Oktober 2000.

E.10. Thoha, Miftah. Selayang Pandang Birokrasi Pemerintah. Kompas, 23 januari 2001.

E.11. Tjokroamidjojo, Bintoro. Good Governance. Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Jurnal Manajemen Pembangunan Nomor 30 Tahun IX, Mei 2000.

Page 31: tugas new publikMangement

E.12.   Wibisono, Dermawan. Good Governance dan Bagaimana Langkah Mewujudkannya. Harian Ekonomi Neraca, 15 Desember 2000.

F. Berita Media MassaF.1. Pemberantasan KKN Butuh Keteladanan. Kompas, 22 Januari 2001.

F.2. Prioritaskan "Good Governance" dengan Pembangunan Berkelanjutan. Kompas, 12 Juni 1999.

F.3. Pemberdayaan Sipil untuk Berantas KKN. Kompas, 18 Nopember 1999.

F.4. Tahun Anggaran 2000, BPK Temukan Penyimpangan Rp.8,05 Triliun. Kompas, 23 Februari 2001.

F.5. Transparansi Informasi Ciptakan Pemerintahan Bersih. Kompas, 4 Desember 2000.

G. Jurnal/BuletinG.1. Warta Korupsi, IDEA, Yogyakarta, Edisi I. No I

G.2. Buletin Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia.

G.3. Pemeriksa.Majalah Triwulanan Bepeka. Yayasan Cakra Bhakti. BPK. No.66 Juli-Agustus 1998.

H. Lain-Lain H.1.

Indrawati, Sri Mulyani. Institutional Reform and Good Governance. LPEM-FEUI, Jakarta, 2000. Bahan Presentasi.

http://www.iwandarmansjah.web.id/miscellaneous.php?id=288

Menciptakan Good Governance

Dibawakan di Forum Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (di-edit, 16 Juli 2007)Sidang Paripurna, Gedung Graha Widya Bhakti, Puspitek, Serpong17-18 Maret 2007

Page 32: tugas new publikMangement

Creating Good GovernanceIwan Darmansjah, MDIntroduksi

Fokus pembahasan saya ialah memberi wawasan baru untuk menciptakan pemerintahan yang baik melalui strategic planning, yang telah saya pelajari di FKUI sejak tahun 1997. Dengan dalih pengalaman pribadi ini saya membuat judul: ‘Creating Good Governance’. Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana sistem Strategic Planning untuk Government dan Nonprofit Organization dapat mereformasi suatu pemerintahan yang sedang diterpa berbagai kesulitan, misalnya dalam pendidikan atau kesehatan.

Berbagai acara talkshow televisi juga akhir-akhir ini membahas tentang banyak masalah governance yang berakhir dengan pertanyaan ‘bagaimana melaksanakannya’. Pak Soegeng Sarjadi di Q Channel setiap kali bertanya ‘How to do it?’ Mereka mengupas masalah sepertinya dengan ‘Why?, What?, Who?, When? ……. dan How? (to do it). Rupanya para panelis belum sadar (atau sudah?) bahwa ada sistem (kendaraan) yang dapat mengantar mereka ke bagaimana melakukannya dengan langkah pasti, yaitu melalui ‘Strategic Planning dengan loop-model’. Model ini berasal dari Amerika Serikat, terkenal di dunia, tapi sayang Indonesia tidak menangkapnya. Ia berkembang dari strategic planning untuk bisnis sejak beberapa dekade, yang akhirnya dimodifikasi untuk pemerintahan dan non-profit organizations. Satu undang-undang (Government Performace and Results Act (1993) ‘memaksakan’ semua Departemen dan Institut Pemerintah Amerika Serikat (termasuk semua universitas) untuk melakukan proses Strategic Planning ini. Dalam presentasi ini hendak saya share dengan anggauta AIPI tentang apa yang saya anggap sesuatu yang strategis penting bagi reformasi bangsa Indonesia.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Toeti Herati yang telah menangkap bola ide ini sewaktu kami kebetulan harus menunggu di airport karena keterlambatan pesawat ke Yogya selama 3 jam lebih, sehingga saya dapat mendongeng mengenai strategic planning dan GPRA.

Page 33: tugas new publikMangement

Good Governance

Pengertian ‘Good Governance’ telah menjadi kata kunci selama kira2 10 tahun terakhir. Namun, suatu istilah asing dapat menimbulkan masalah pengertian semantik bila kita hendak berbicara dalam arti padanan itu dalam bahasa Indonesia. Governance mengandung arti ‘manajemen suatu negara yang bersifat bijak dan berilmu’. Dalam bahasa Indonesia kita sudah lama memakai istilah ‘Pemerintah’, yang kata kerjanya ‘memerintah’ (to rule), sehingga arti otoritas dan kekuasaan yang menonjol, bukan sifat manajemen-nya yang baik dan bijak. Bahayanya ialah bila suatu Pemerintah sampai terlalu besar kuasanya hingga sampai menindas. Berbahagialah kita karena Indonesia telah memasuki era demokrasi dalam berpolitik, sehingga tidak mungkin bisa berbalik lagi, tapi justru berkembang. Sayang perkembangan ini tidak dibarengi dengan keterbukaan dan akuntabilitas yang lebih besar, tapi malah kebebasannya yang sering dilanggar. Tentu bila dilakukan tidak terkendali akan menciptakan efek anarkhi dalam negara. Dalam konteks dan batasan ini akan saya menggunakan istilah good governance lebih lanjut (UNESCAP) (9) .

Good Governance merupakan suatu outcome yang terdiri dari norma, suatu hasil akhir dari suatu proses. Di Indonesia proses ini biasanya diserahkan kepada pemimpinnya; bila itu departemen maka Menterilah yang menjadi komandan. Pengarahan lisan dari Presiden atau Wakil Presiden sering ada, namun prosedur-prosedur baku tertulis umumnya tidak tersedia. Juga situasi darurat sering membutuhkan reaksi cepat untuk diatasi dan bila sebelumnya tidak pernah terjadi, maka menterilah bertanggung jawab. Saya bukan ahli untuk itu, namun bila semua orang bertanya bagaimana (How?) kita melakukannya, pembahasan berkepanjangan sering tenggelam dalam membahas norma dan tidak membahas proses secara gamblang. Memang orang bilang: ‘The devil lies in details’. Di dalam pembahasan selalu diuraikan hal2 yang merupakan ‘bagaimana semestinya’, yaitu hal-hal normatif, seperti membahas ciri-ciri good governance. Tetapi bagaimana sampai kepada memperbaiki ciri-ciri yang defisien itu kita belum menemukan bagaimana harus

Page 34: tugas new publikMangement

menyelesaikannya dalam suatu sistem. Di setiap bidang kesulitannya berbeda, namun menyelesaikan kesulitan itu bisa dikemas dalam satu sistem, dan itu yang dapat dilakukan oleh strategic planning.

Governance merupakan konsep dan berarti: proses pengambilan keputusan dan juga proses bagaimana keputusan itu ditentukan, diambil dan diimplementasikan. Ia juga mempunyai struktur formal dan informal untuk pelaksanaannya.

Pemerintah formal merupakan pelaku yang sering dominan di Pemerintahan Pusat. Ia, seperti juga di tingkat Daerah, dibantu oleh pelaku-pelaku lain, terutama oleh pelobi, partai politik, donor internasional, perusahaan multi-nasional, angkatan bersenjata, kelompok agama, NGO, dsb. Mereka sering bisa ikut dalam pengambilan keputusan atau sedikitnya mempengaruhinya. Institut informal, seperti institut riset, pemilik tanah besar, juga bisa berperan mempengaruhi governance. Sering kelompok kriminal atau Mafia juga bisa menyusup mempengaruhi pemerintahan.

Menurut dokumen ESCAP(9), Good Governance mempunyai 8 karakteristik utama: ia bersifat partisipatif, rule of law, keterbukaan, responsif, berorientasi konsensus, kesetaraan dan membela yang lemah, efektif dan efisien, dan akuntabilitas. Akuntabilitas merupakan fokus yang sentral; juga selalu disertai oleh keterbukaan (transparancy) dan menerapkan undang-undang (rule of law).

Bila Good Governance merupakan norma yang ingin dicapai, maka strategic planning agak berbeda dalam pendekatannya. Benar strategic planning juga mendeskripsi ciri-cirinya, tetapi tujuan utamanya ialah mengimplementasikan visi/misi dalam suatu sistem yang akuntabel dan lebih terukur. Jadi, unsur-unsur Good Governance bisa menemukan partner yang sejati dalam sistem strategic planning, bukan berlawanan. Semua niat dan subyek pembahasan di QTV, misalnya, dapat menemukan partnership dengan sistem Strategic Planning.

Strategic Planning

Page 35: tugas new publikMangement

Pada suatu hari sekitar bulan Mei 1997, dalam Komisi Guru Besar di FKUI Professor Sudraji Sumapraja telah mempresentasikan tentang strategic planning. Ia membahas suatu sistem bagaimana suatu universitas bisa memfokus pada misi dan gol yang diinginkan dalam waktu tertentu melalui strategic planning. Beliau mengusulkan supaya kami melakukan hal yang sama di fakultas kedokteran. Setelah saya mendengar uraian yang inovatif dan sangat menarik itu, saya yakin bahwa strategic planning dapat mengubah suatu institut yang sedang ‘sakit’. Saya adalah orang pertama yang ‘loncat’ memberi jawaban, dan bertanya ‘Apa anda serius mau melakukan itu dan bukan mau memulai sesuatu yang nanti akan gagal seperti begitu banyak upaya yang biasa kita lakukan?’ ‘Bila tawaran ini benar hendak melakukan reformasi seluruh fakultas dengan sungguh-sungguh maka saya akan menjadi orang pertama yang akan membantu anda’. Sejak itu saya bersama -dan bersatu- dengan beliau menjadi pendorong inisiatif ini, sehingga di tahun 1999 kita menyiapkan tulisan yang berjudul Creating the Future of The Faculty of Medicine University of Indonesia – Strategic Plan 2000 – 2010(6). Setelah saya pensiun di tahun 2001, Professor Sudraji dan Kawan -Kawan meneruskannya.

Di samping itu saya tidak berhenti memikirkan nasib negara kita, mengapa harus terpuruk? Sambil mempelajari kepustakaan yang berkaitan dengan strategic planning saya menemukan satu undang-undang di Amerika Serikat yang mendasari dilakukannya strategic planning oleh semua unsur pemerintahan, yaitu semua departemen dan institut pemerintahan, serta universitas secara bersamaan. Amerika yang sudah mempunyai derajat tinggi keterbukaan dan akuntabilitas masih mengalami mis-management dan korupsi selama bertahun-tahun. Mereka telah mencoba memperbaikinya selama 30 tahun dengan berbagai upaya, tapi tidak pernah berhasil. Laporan Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) (2) menunjukkan bahwa kegagalan itu disebabkan karena peraturan itu selalu dibuat sebagai Instruksi Presiden, sehingga tidak mempunyai gaung yang semestinya. Walaupun undang-undang sudah disiapkan lama, tidak ada satu presiden-pun (sejak Presiden Reagan) yang mau menandatanganinya. Di tahun 1993 Presiden Clinton baru menandatangani bersama kongres The

Page 36: tugas new publikMangement

Government Performance and Results Act (GPRA 1993) (1), yang merupakan suatu jenis accountability act.

Undang-undang ini dikaitkan dengan strategic planning yaitu: semua departemen dan institut pemerintah harus membuat Strategic Plan sebelum bisa menerima budget. GPRA tidak memuat sangsi seperti masuk penjara, tapi membuat suatu tindakan ‘give and take’ atau ‘carrot and stick’. Banyak birokrasi pemerintahan dipermudah, di antaranya penerimaan pegawai dipermudah dan budget menjadi lebih longgar. Keuangan harus dipertanggungjawabkan menurut output dan outcome Action Plan – yang biasa kita sebut ‘proyek’. Rencana harus dimasukkan dan dinilai oleh instansi lain, yaitu Office of Management and Budget. Bila disetujui barulah budget dapat diterima. Tenggang waktu untuk pelaksanaan baru dimulai tahun 1997, jadi 4 tahun setelah diundangkan. Satu ciri lain ialah bahwa pelaksanaan dan laporan (performance and report) harus dibuat dengan cara standard, sehingga bisa dibuat dalam suatu template. Ini berarti bahwa pekerjaan komputer akan membantu proses, dan walaupun pada tahun pertama sulit, di tahun-tahun berikutnya administrasi negara akan lebih cepat terselesaikan. Ini mempunyai makna yang sangat penting untuk mencapai kecepatan dalam alam globalisasi.

Seperti dapat diterka, strategic planning berasal dari angkatan bersenjata, diterapkan dalam bisnis dan kemudian menyeberang ke organisasi non-profit dan pemerintahan. Bila bisnis berkembang pesat dan tidak diimbangi dengan inisiatif pemerintahan, maka situasi dalam alam globalisasi akan ketinggalan jauh. Situasi itu kita alami sekarang di Indonesia.

Indonesia dan banyak negara lain juga berada dalam keadaan salah urus dan korupsi yang sangat merugikan negara masing-masing. Setelah GPRA-Strategic Planning disosialisasikan ke seluruh dunia oleh OECD, termasuk negara Asia Pacific, Singapore, Malaysia, dan Thailand telah menggunakan strategi ini. Strategic Plan dalam semua bidang (di Amerika Serikat, negara OECD dan negara lain) dapat dilihat dan di download secara bebas, terutama masalah pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan apa saja. Janggalnya, Indonesia belum kenal/menerapkan sistem yang sudah

Page 37: tugas new publikMangement

mendunia. Tidak satu institut pemerintahan melakukan strategic planning dengan loop-model GPRA ini. Berbagai pejabat penting telah saya dekati dan menanyakan mengapa Indonesia tidak menerapkan strategic planning-GPRA ini. Sebagian besar mengetahui tentang strategic planning, tapi tidak pernah dengar mengenai GPRA-Strategic Planning untuk pemerintahan. Yang mengetahui adanya GPRA-Strategic Planning hanya sedikit, walaupun tidak bisa menjawab mengapa tidak menerapkannya, kecuali Departemen Keuangan.

Beberapa hari setelah munculnya artikel saya di Kompas(7) saya diundang oleh Departemen Keuangan (8 Des 2004) untuk menghadiri suatu pertemuan untuk kolumnis di seberang Lapangan Banteng, Jakarta. Dari pertemuan pendek itu dijelaskan bahwa Pemerintah telah mengeluarkan 3 undang-undang (# 25, #5, dan #17) dalam beberapa tahun ini. Informasi penting ialah bahwa Departemen Keuangan telah menerapkan cara baru yang lebih modern dibanding undang-undang akuntabilitas seperti GPRA. Dijelaskan bahwa Indonesia memilih mencontoh sistem Australia dengan menggunakan ‘Partisipasi Publik’ untuk governance. Karena itu merupakan hal baru untuk saya, saya tidak menanggapi pernyataan itu. Tetapi sepulangnya, saya mencari website Australian Government: ternyata ‘Participation of the Public’ merupakan suatu usaha konsultatif yang sangat intensif dengan masyarakat sampai ke rakyat jelata, sehingga misalnya tidak ada dollar yang dapat keluar untuk membuat suatu taman jika rakyat disekitarnya tidak menyetujuinya. Hal ini juga jelas terlihat di siaran ABC Televisi Australia dan Laporan mereka, dimana dapat terlihat apa sebenarnya artinya akuntabilitas; ia tidak saja berhubungan dengan uang, tapi juga dengan apa yang dilakukan pemerintah dan apa yang tidak dilakukannya, ataukah proyek dicapai atau tidak dicapainya. Hal ini disebabkan karena Australia sudah akuntabel sebelumnya, lebih akuntabel dibanding Amerika-pun. Sedangkan Indonesia masih harus belajar, sehingga jelas tidaklah mungkin Indonesia menerapkan sistem Australia itu. Barangkali hal itu sudah disadari Departemen Keuangan sekarang, karena saya temukan kemudian bahwa Panitia (suatu LSM?) yang menyelenggarakan pertemuan-pertemuan ini sudah bubar.

Page 38: tugas new publikMangement

Itulah cerita pendek mengenai bagaimana suatu sistem perlu dipilih dengan cermat sebelum menerapkannya. Juga mengawinkan dua sistem, seperti mengkombinasi sistem Amerika dengan sistem Eropah dan Inggris, seperti dilakukan oleh pendidikan menjadikan pelaksanaan menjadi kusut.

Masalah Pokok

Yakin atas kemampuan Strategic Planning menyebabkan saya menulis di Kompas sebuah artikel berjudul ‘Menciptakan Indonesia Akuntabel di Tahun 2015’(7) yang sudah lama saya pikirkan, tapi mengendalikan diri karena menilai belum waktunya untuk Indonesia menjadi akuntabel sebelum demokrasi sudah maju. Sekarang saya kira semua sudah lebih matang dan suasana politik lebih kondusif untuk (mulai) menerima akuntabilitas. Simak saja semua talkshow di televisi sudah menyinggungnya, dan banyak pembahasan telah mengusulkan untuk mencari kendaraan (sistem) untuk diberlakukan di Indonesia. Bagaimana mengimplementasikan yang mereka bicarakan di forum televisi selalu menjadi pertanyaan yang tak terjawab, seperti: bagaimana menciptakan manajemen risiko KA, bagaimana menghentikan lumpur panas, bagaimana mengurangkan kecelakaan di udara dan laut dan darat, bagaimana menguasai dampak air berlebihan seperti banjir, apakah kita harus memindahkan Jakarta sebagai ibukota, dsb.

Tanpa membuka cerita panjang tentang kejadian menyolok yang menimpa negara kita bertubi-tubi mulai 1997, khususnya tahun 2006 dan permulaan tahun 2007 setiap hari terdapat berita utama di media tulis dan gambar. Kecuali gempa bumi yang disebabkan oleh pergeseran lempeng kerak bola dunia yang berbenturan, maka hampir semua masalah buruk, termasuk kecelakaan,dan korupsi dapat dituding letak dalam buruknya manajemen. Kompas (22 Jan 2007) menulis: ‘Manajemen Risiko KA Amburadul - Faktor Keselamatan Dikorbankan’; hal ini merupakan kata-kata kunci strategis untuk mencarikan jalan keluar pembenahan negara yang telah sakit kronis selama merdeka. Mis-management yang menyeluruh merupakan salah kaprah serius suatu governance sehinga merupakan strategic error Pemerintah yang memerlukan perbaikan. Bukan dengan analisa berulang2 dan

Page 39: tugas new publikMangement

mencari kesalahan, tapi dengan cara menciptakan suatu sistem yang dapat memberi jalan dan pegangan untuk good governance.

Hingga sekarang kita baru coba memperbaiki beberapa sub-sistem dari manajemen yang strategis, misalnya: supremasi hukum dan masalah korupsi, transparansi, fungsi melayani, membangun arti konsensus, kesetaraan, meninggikan tanggung jawab, partisipasi publik, memfokus wawasan dengan visi dan misi institut, dsb. Banyak perbaikan telah terjadi, namun banyak pula yang salah arah, misalnya visi, misi suatu institut pemerintahan. Visi merupakan ‘mimpi’ (cita-cita luhur) yang harus bisa tercapai (attainable), sehingga mengatakan Visi Departemen Kesehatan ialah ‘Indonesia Sehat di Tahun 2010’ merupakan slogan dan bukan visi yang baik, karena tidak realistik. Kita bisa melihat kasat mata bahwa hal itu tidak mungkin bisa tercapai, apalagi tidak terdapat strategic planning(3) serta action plan, perencanaan dan alokasi biaya dari DepKes maupun negara. Bila akan dirunut pada proses strategic plan, maka kita tidak bisa menyambung misi ini dengan outcome yang tangible maupun yang intangible.

Akuntabilitas merupakan fokus strategic planning yang utama(2). Akuntabilitas juga tidak bisa dilakukan bila tidak disertai keterbukaan dan undang-undang yang baikDalam hemat saya, semua masalah ini dapat dikemas lebih efisien dalam sistem seperti strategic planning yang lengkap versi GPRA atau sejenisnya. Undang-undang seperti ini perlu dibuat untuk dapat memberlakukan ‘perintah’ membuat proses strategic planning di tiap departemen dan institut pemerintah. ‘Komando’ seperti ini sering dianggap orang sebagai tidak sesuai dengan demokrasi dan kebebasan, biar semua melakukan sendiri apa yang (mereka) anggap baik. Rasanya, ini merupakan argumen yang tidak bijak, karena sebenarnya disini letak kepemimpinan atau leadership dari seorang Presiden yang mempunyai ‘vision’ (farsightedness). Karena dalam formulasi dan pelaksanaannya semua orang harus ikut melakukannya demi mencapai negara yang maju.

Akuntabilitas dalam Undang-Undang

Page 40: tugas new publikMangement

Prinsip dasar pengelolaan keuangan negara ialah keterbukaan dan pemeriksaan keuangan harus dilakukan badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Prinsip dasar lain ialah bahwa pemeriksaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban keuangan perlu di badan yang terpisah dan tidak dibawah satu kekuasaan. Namun, ketiga kekuasaan itu perlu saling bicara. Negara kita belum mempunyai suatu undang-undang Akuntabilitas yang holistik dan teruji di negara lain. Yang ada ialah:

• UU Republik Indonesia Nomor17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara• UU Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara• UU Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara• Instruksi Presiden Republik Indonesia , Nomor 7 Tahun 1999 tentang: Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Presiden Republik Indonesia

Bersama dengan upaya perbaikan sub-sistem (lihat atas), undang2 dan Instruksi Presiden di atas belum menghasilkan perbaikan yang berarti dalam good governance. Kiranya semua pihak mengakui hal tsb. Sebaliknya pihak swasta maju lebih pesat karena menerapkan sistem manajemen yang modern dan teruji keampuhan sistemnya di dunia. Bila kemajuan ini tidak diimbangi oleh kemajuan government performance, maka semua proses kemajuan negara akan terhambat. Di dalam bidang obat kita kenal pernyataan: ‘The industry is as good or as bad as the regulators’. Industri yang sehat harus tumbuh pertama untuk kebaikan klien (~ pasien) dan stakeholder maupun industri-nya sendiri, dan ini memerlukan balans yg baik melalui peraturan. Bila kita inginkan industri lebih terbuka, hal ini harus disertai keterbukaan governance secara resiprokal.

Keterbukaan menimbulkan rasa percaya lebih besar dan seterusnya memupuk trust, yang sangat dibutuhkan negara kita dewasa ini untuk menarik investasi luar negeri. Sebagai lampiran, anda akan menemukan karangan pendek The New York Times (10) beberapa hari yang lalu yang ditulis seorang

Page 41: tugas new publikMangement

penting di Amerika Serikat yang mengisahkan kehilangan trust terhadap stock market di negaranya karena terjadi insider trading. Banyak cerita seperti ini terdapat juga di Indonesia.

Yang menikmati globalisasi hanya sebagian kecil masyarakat, namun open market akan menghadapkan kita kepada saingan yang kejam. Sebagai negara yang tertinggal kita akan makin tertinggal. Karena itu sistem manajemen Indonesia harus berubah dan good governance ialah yang paling membutuhkan keterbukaan dan akuntabilitas.

Suatu undang2 akuntabilitas seperti diundangkan Amerika Serikat dan disebut Government Performance and Result Act (1993) merupakan contoh nyata yang berhasil mengubah negara menjadi lebih akuntabel melalui proses Strategic Planning yang dilakukan untuk semua institut pemerintahnya. Strategic Plan dapat didownload dari semua Departemen dan Institut Pemerintah dari ‘semua’ pemerintahan sejak lebih dari 15 tahun terakhir. Hal ini diikuti seluruh dunia maju dan dalam semua bahasa. Sayangnya jarang ditemukan strategic plan institut non-bisnis atau pemerintah yang hidup dan terurus rapi melalui search engine di Indonesia dalam model yang akuntabel.

Suatu Instruksi Presiden(3) telah diterbitkan oleh Presiden Habibie di tahun 1999 yang dikenal dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia , Nomor 7 Tahun 1999 tentang: Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang dikenal dengan ‘RENSTRA’. Rupanya Instruksi Presiden ini didasarkan pada GPRA, namun tidak identik. Beberapa departemen seperti Departemen Pendidikan, telah membuat Renstra beserta Juklaknya, namun menurut saya tidak mengikuti proses strategig planning yang lengkap. Instruksi Presiden ini barangkali dapat diperbaiki sehingga menjadi lebih sempurna dan kuat kedudukannya sebagai undang-undang.

Juga Model Strategic Planning perlu dibuat dengan menggunakan subsistem yang lebih baru seperti Balanced Scorecard (BSC)yang di Indonesia sudah populer. Balanced Scorecard perlu di-inkorporasi dalam proses Strategic Planning karena Misi, Visi dan, objektif serta Action Plans perlu dirunut

Page 42: tugas new publikMangement

kedalam proses pelaksanaan ini. BSC merupakan alat untuk mengusahakan supaya goals yang dibuat bisa diikuti hingga ke pelaksanaan terbawah dari organisasi. Karena itu BSC tidak bisa berdiri sendiri tanpa terbuat proses strategic planning.

Melaksanakan undang-undang akuntabilitas dengan strategic planning bukan hal mudah. Namun tanpa rencana menyeluruh ini kiranya kita tidak mempunyai pegangan hidup, juga untuk generasi seterusnya. Visi dan misi kita juga perlu ditetapkan dengan gol yang dapat dicapai dalam jangka panjang dan terbagi dalam jangka 5 tahun dan tahunan. Mungkin akuntabilitas baru dapat dicapai –andaikan- dalam 15 tahun, namun bila kita tidak mulai merencanakan sekarang dengan lebih nyata, sulit akan diharapkan kemajuan bangsa. Kita mau maju, namun negara lain sudah dan akan lebih maju, sehingga perlu mengejarnya. Sementara itu, sekarang, proses GPRA di Amerika Serikat sudah melejit dan terus memperbaiki akuntabilitas dalam membuat outcome measures yang sangat detail dalam penerapan strategic planning di segala bidang. Globalisasi juga menghendaki keterbukaan dan akuntabilitas yang besar dalam segala faset kehidupan kita.

Kata Kunci: GPRA 1993, strategic planning, accountability, transparancy, good governance, nonprofit organization

Penulis tidak mempunyai konflik kepentingan pribadi.

***

Kepustakaan

1. The Government Performance and Results Act of 1993 (Seluruh kalimat atau GPRA 1993 dapat disearch di Google)

2. Implementation of the Government Performance and Results Act of 1993. Prepared by Walter Groszyk, Office of Management and Budget for a November 1995 meeting convened by the OECD. Downloaded 21/6/2003 at:

Page 43: tugas new publikMangement

http://govinfo.library.unt.edu/npr/library/omb/gpra.html

3. Instruksi Presiden Republik Indonesia , Nomor 7 Tahun 1999 tentang: Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Presiden Republik Indonesia

4. GPRA and Performance Management. Downloaded 21/3/2003 at: http://www.john-mercer.com/

5. Denise L W and Linda M D. A Handbook for Strategic Planning. TQLO Publications No 94-02. Published for the Department of Navy by: Department of the Navy Total Quality Leadership Office, Arlington, VA 22202-4016.

6. Creating The Future of The Faculty of Medicine University of Indonesia – Strategic Plan 2000 – 2010 (Internal document: by Komisi C, FKUI. Ketua: Professor Sudraji Sumapraja)

7. Darmansjah I, Menciptakan Indonesia Akuntabel di Tahun 2015. Kompas: Opini, 22 November 2004

8. Kaplan RS and Norton DP, The Strategy-Focused Organization (BAB V: Strategy Scorecards in Nonprofit, Government, and Health Care Organizations), Harvard Business School Press, Boston 2001. ISBN 1-57851-250-6

9. Anonim, What is Good Governance? United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN ESCAP) (4 pages). Downloaded 15/01/2007 at: http://www.unescap.org/huset/gg/governance.htm

10. Anonim, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia (Laporan Tahunan 2004) (72 hal.)

11. Anonim, Building Partnership for Progress. Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD). Downloaded 20/6/2003 at: http://www.oecd.org/EN/document/0..EN-document-0-nodirectorat

12. Stein B, The Hard Rain That’s Falling on Capitalism. The NYT, January 29, 2007

Page 44: tugas new publikMangement

13. Rose Verspaandonk, Good Governance in Australia. Parliamentary Library, Research Note 11 2001 – 02. Downloaded 12/12/04 at: http://www.aph.gov.au/library/pubs/m/2001-02/02RN11.htm

1

NEW PUBLIC MANAGEMENT SEBAGAI MODELADMINISTRASI KABUPATEN1Oleh:Samodra Wibawa2

Daftar isi:1. Pengantar2. Otonomisasi kabupaten 5. Kelemahan dan hambatan penerapan NPM3. NPM: konsep dan praktik 6. Siapa diuntungkan?4. Perlu dan layakkah NPM? 7. Penutup: agenda reformasi1. PENGANTARSejak pertengahan dasawarsa 1980 negara-negara kaya di Eropa, Amerika dan Australiatelah mencoba menggeser model administrasinya ke arah apa yang disebut “new publicmanagement” (NPM). Menganggap model ini sebagai hal yang “baik”, penulis telah melakukan lima kali diskusi-kelompok dengan pejabat-pejabat pemerintah kabupatenuntuk menjajagi seberapa perlu- dan layakkah model ini diterapkan di Indonesia dalamsetting otonomisasi kabupaten sejak 2001. Bersamaan dengan diskusi partisipan dimintajuga untuk mengisi kuesioner. Partisipan berjumlah 59 orang, terdiri dari 29 orangpejabat Kabupaten Sleman dan 21 orang Kabupaten Banyumas. Selain itu 7 orangpejabat kabupaten/kota lain dan 2 orang pejabat pemerintah propinsi yang sedangmenjadi karyasiswa di MAP UGM juga menjadi partisipan pada sebuah diskusi. Yangterakhir ini semula dimakudkan sebagai uji coba, tetapi hasilnya kiranya bermanfaat jikadipaparkan pula di sini.Artikel ini melaporkan secara ringkas hasil-sementara diskusi dan kuesioner (yang berisi102 butir pertanyaan tentang tiga tema: otonomisasi kabupaten, nilai/konsep birokrasidan NPM) tersebut. Sebagai laporan-sementara, artikel ini masih lebih banyak bersifatdeskriptif daripada analitis. Diharapkan para pembaca dapat memanfaatkannya untuk1 Artikel untuk Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fisipol UGM, Yogyakarta. Disampaikan kepadaredaksi tanggal 25 Pebruari 2002, versi awalnya telah didiskusikan di MAP UNSOED dan FISIPOLUGM.2 Dosen di Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fisipol UGM; sedang menempuh program S-3 di DeutscheHochschule fuer Verwaltungswissenschaften, Speyer, Jerman. Telepon/fax di Jogja: 0274-563362, email:[email protected]. Penulis berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu pengumpulan data,khususnya rekan-rekan dan bapak-bapak: Najmudin, Wahyudi, Bambang Tri Harsanto, Nooryono,Roman, Irwan, Agus Heruanto Hadna dan Suseno.2melakukan eksplorasi teoretik lebih lanjut. Hanya saja karena keterbatasan ruang tidakseluruh hasil diskusi dan kuesioner dapat ditampilkan di sini.

Page 45: tugas new publikMangement

2. OTONOMISASI KABUPATENBagian ini mendeskripsikan apa yang dialami oleh kabupaten dalam/terhadapdesentralisasi negara atau otonomisasi kabupaten, diperoleh dari diskusi. Sajianmencakup persepsi partisipan terhadap pelaksanaan UU No. 5/1974, percobaanotonomisasi kabupaten tahun 1995 dan pelaksanaan UU No. 22 dan 25/1999. Bagianyang terakhir dirinci lebih panjang dari dua yang pertama.UU No. 5/1974a) Otonomi per UU No. 5/1974 hanyalah administratif: urusan tanpa kekuasaan,tapi ada keseimbangan antara legislatif dan eksekutif. DPRD merupakan bagiandari eksekutif, wajib menjaga stabilitas. Dalam sistem sentralistis ini danamenggelembung di pusat (geografis: Jakarta, Jawa) dan Propinsi (geografis:ibukota propinsi).Proyek percontohan 1995b) Percontohan otonomi 1995 tidak didasarkan pada konsep yang matang –hanyalipstick memenuhi tuntutan masyarakat yang menguat, bahkan tuntutan untukmerdeka.c) Proyek itu mendapat bantuan dari Jerman (studi komparasi untuk pemerintahpusat) dan Belanda (studi komparasi pemerintah daerah).d) Tapi pusat sebenarnya tak siap, tak melakukan sosialisasi dan juga tidak evaluasi.“Kepala dilepas, ekor dipegang.” Konsekuensi otonomi tidak dipahami,dipecahkan dan ditanggung bersama.e) Dalam percontohan ini Sleman tidak minta, ditentukan oleh pusat. Banyumasditawari dan mau. (Pusat menyuruh gubernur menunjuk sebuah kabupaten.)f) 3P belum diberikan semuanya, ada uniformitas dalam jumlah dinas –mau tidakmau harus dibentuk.g) Proyek percontohan tahap II mestinya dimulai 1998, tapi keburu dilandareformasi.UU No. 22 dan 25/1999Kebijakan dan relasi pusat-propinsi-kabupatenh) UU No. 22/1999 pun sifatnya politis belaka (bukan teknokratis -SW).i) Otonomi per UU No. 22/1999: desentralisasi bukan hanya urusan, melainkanjuga wewenang dan kekuasaan, tapi kebablasan –ego daerah, dominasi legislatifatas eksekutif (padahal eksekutif-lah yang lebih berpengalaman). Laporanpertanggungjawaban tahunan jadi senjata politik bagi DPRD.j) Kewenangan penuh pada kabupaten. Full power ada pada DPRD, tapi kapabilitasmereka meragukan.k) Sampai saat ini belum semua PP yang dipersyaratkan oleh UU dibuat, sehinggakita merasa berhak mengaturnya.3l) Sekarang masih terjadi tarik-ulur wewenang. Banyak yang masih diatur pusat.Pusat urik, propinsi nggondheli. Inkonsistensi dan keterlambatan ini menjadikanpekerjaan tertunda, terkatung-katung dan tidak terlaksana.m) Sementara itu penyerahan wewenang seringkali/biasanya tidak disertai aturanpelaksanaan, padahal tidak selalu kabupaten mampu melaksanakannya karena –misalnya— terkait dengan pusat atau internasional.n) Kabupaten harus mengambil, meraih dan melaksanakan wewenang yang telah

Page 46: tugas new publikMangement

diatur oleh UU No. 22/1999 sebagai wewenangnya. Kendala pusat yangbertentangan dengan UU harus di-cut atau tidak usah dilaksanakan.o) Propinsi harusnya menjembatani kerjasama antar kabupaten. Perlu ada forumuntuk koordinasi dan sinkronisasi. Asosiasi atau forum pemerintah kabupatendapat berfungsi untuk: mencegah perpecahan, membantu koordinasi dansinkronisasi, saling belajar.p) Kedaulatan anggaran: dalam penggunaan, tapi tidak dalam cara mendapatkannya(DAU harus dilobi). Formula DAU tidak adil: hanya penduduk miskin dan luaswilayah. Mestinya juga dipertimbangkan banyaknya fasilitas publik yangdimiliki dan pelayanan publik yang diproduksi.q) Ego kedaerahan meningkat, karir pegawai terbatas di daerah (kabupaten) ybs:sulit pindah. Saran: sebaiknya pegawai dikelola Pusat.r) Propinsi itu enak: wewenang sedikit, DAU besar.Politik internals) Kalau dulu intimidatornya militer dan birokrasi, sekarang partai. Merekamengintimidasi pemerintah maupun masyarakat.Manajement) Restrukturisasi birokrasi kabupaten malah mengakibatkan kekacauan wewenang,koordinasi dan pelayanan. Masyarakat bingung. Pembagian wewenang belumjelas atau tubrukan. UPTPSA (Unit Pelayanan Terpadu Perijinan Satu Atap)malah memperlama proses perijinan, dari sehari menjadi seminggu, karena dinasyang mempunyai perwakilan di sana dirombak atau subdin-nya tidak mempunyaiwewenang lagi. Di Dinas Trantib ada Subdin Penerangan yang pekerjaannyasama dengan Bagian Humas. Penyusunan SOT menghasilkan strukturorganisasi yang sering terbalik-balik.u) Sekarang tiap-tiap instansi seolah-olah mempunyai kedaulatan: apa yangdisetujui oleh instansi A belum tentu oleh instansi B. Konflik kepentinganseolah-olah tak terkompromikan. Tak bisa dikoordinasi, bertindak sendiri-sendiridengan dalih tidak ada juklak, aturan atau Perdanya.v) Setelah setahun otonomi, jumlah pegawai terasa terlalu banyak: lebih banyakorangnya daripada mejanya. Efisiensi atau transparanisnya belum dapat dinilai.w) SDM lemah, eg. Dinas Kehutanan hampir tidak punya sarjana kehutanan,sehingga pekerjaan yang seharusnya mulai dari perencanaan hingga pemasaranmenjadi hanya tanam-menanam.x) DAU hampir semuanya untuk anggaran rutin, sedang anggaran pembangunandilepas untuk diurus sendiri oleh kabupaten.4Masalah dan kritiky) Masalah terdapat di semua level: konsep, kebijakan, yuridis dan implikasi.z) Interpretasi dan improvisasi yang terlalu bebas, DPRD sangat otonom: tahun2001 DPRD Sleman telah membentuk 36 pansus.aa) Birokrasi tidak nyaman, cemas dipindah sehingga tidak mau bekerja keras.bb) Kultur politik: kediktatoran dan intimidasi oleh partai, padahal dalam demokrasimestinya akuntabilitas publik; mendemonstrasi apa yang telah disepakati.cc) Kultur birokrasi: aturan jelas, tapi kok tidak berani menjatuhkan sanksi.dd) Keadilan anggaran, keadilan pembagian hasil kekayaan negara. Perimbangan

Page 47: tugas new publikMangement

keuangan hendaknya ditinjau kembali –agar beberapa daerah tidak memperolehterlalu banyak yang menjadikan jatah untuk daerah lain berkurang.ee) Sosialisasi tentang otonomi hendaknya diperbaiki, sehingga tidak munculkeinginan merdeka.ff) Isi UU hendaknya disempurnakan (agar ekses negatif seperti ego daerahterkurangi –SW) dan disederhanakan agar mudah dipahami.gg) Yang kita tuntut: sikap konsisten dan konsekuen dari semua pihak –pusat,propinsi, kabupaten.hh) Perlu ada Dewan Pengawas Otonomi, berisi siapapun orangnya yang berwibawadan terhormat, agar –misalnya- DPRD tidak seenaknya sendiri menentukananggaran untuk dirinya.Visi otonomiii) Otonomi adalah mengurangi beban pusat, memberdayakan masyarakat. (Tapimasyarakat sendiri belum siap, cenderung masih ingin disubsidi dan disuapiterus.)jj) Otonomi mestinya sampai ke dinas atau unit kerja: mereka yang paling tahu apayang dibutuhkan di lapangan.kk) Mengingat perbedaan kondisi antar daerah, mestinya otonomi dimulai daridaerah yang mampu dulu.ll) Selama ini kita hanya memahami otonomi sebatas aturan, padahal organisasiyang digerakkan oleh aturan sulit untuk berubah. Harusnya kita berpedomanpada visi dan misi yang sama: mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.mm) Kabupaten mestinya mensejahterakan masyarakat: “jual” daerah,sediakan informasi dan fasilitas untuk investor.Dari paparan tentang cerapan dan persepsi para pejabat kabupaten tentang otonomisasikabupaten di atas, penulis menangkap tiga isu penting:a) Pembagian wewenang antara pusat, propinsi dan kabupaten masih belum jelasdan rinci. Masih ada wilayah kelabu yang membutuhkan penyelesaian politis,yang menghambat efektivitas kerja, membahayakan efisiensi dan akibatnyamenelantarkan dan merugikan masyarakat secara keseluruhan.b) Pembagian kerja di dalam birokrasi kabupaten sendiri juga masih perlu dibenahi,agar jelas siapa yang harus melakukan apa, tidak saja pada level instansimelainkan juga personel.c) Keamanan kerja atau kepastian jabatan pegawai rendah. Perlu dipikirkan adanyaresentralisasi plus transparansi manajemen kepegawaian, sehingga prinsip theright man on the right place dapat terpenuhi dan jenjang karir terjamin. Otonomi5kabupaten hendaknya dipahami sebagai otonomi pengambilan kebijakan olehmasyarakat politik kabupaten. Birokrasi kabupaten adalah instrumen untukmenerapkan kebijakan tersebut. Karena itu dana dan personel dapat berasaldarimana saja, termasuk dari negara lain.Selanjutnya manfaat otonomisasi menurut partisipan ditampilkan dalam Tabel 1.Manfaat yang paling mencolok adalah bahwa pengambilan keputusan pada umumnyamenjadi lebih cepat (64%). Ini sangat logis: otonomisasi adalah pelimpahan wewenangpengambilan keputusan kepada kabupaten. Dengan demikian pelayanan kepadapenduduk dapat lebih cepat (50%), tidak perlu menunggu petunjuk dari pusat maupun

Page 48: tugas new publikMangement

propinsi. Tapi, sayangnya, harapan-harapan yang dibebankan kepada proyekotonomisasi ini kurang terpenuhi: transparansi, demokrasi, keterpaduan programpembangunan (skor hanya 40-an). Bahkan cara kerja birokrasi dianggap tetap lamban,ekonomi daerah belum bisa dikembangkan, pegawai tetap kurang puas dengan iklimkerjanya dan administrasi tetap kurang efisien (skor hanya 30-an). Sangat ironis adalah:koordinasi antar instansi masih saja bobrok (skor 9) dan: korupsi jalan terus (skor 6).Padahal jika kabupaten otonom, dimana instansi pusat dan propinsi diadopsikan kedalam struktur administrasi kabupaten, diharapkan bahwa aktivitas instansi-instansitersebut yang semula tidak bisa dikontrol oleh bupati menjadi berada di bawahpengendaliannya dan karena itu terkoordinir. Padahal jika kabupaten otonom, makakontrol masyarakat terhadap birokrasi akan lebih dekat –dan karenanya kuat sertaefektif--, karena para birokrat tidak bisa lagi selalu berlindung di balik jargon “iniperintah atasan (propinsi atau pusat)”. Tapi ternyata harapan-harapan tersebut tinggalhanya harapan. Jauh panggang dari api. (Dapatkah ini dilegitimasi dengan penjelasan:“kita sedang berada dalam masa transisi, turbulensi yang serba tidak teratur”?)Tebel 1. Persepsi partisipan tentang manfaat otonomisasi kabupaten (dalam persen)BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) pengambilan keputusan pada umumnya (oleh bupati,DPRD maupun kepala instansi) lebih cepat 62 41 89 64b) pelayanan kepada penduduk lebih cepat 57 38 55 50c) birokrasi menjadi transparan 67 38 33 46d) demokrasi lebih kuat 57 35 33 42e) pelayanan masyarakat dan program pembangunanterpadu di tingkat kabupaten 48 31 44 41f) cara kerja birokrasi kabupaten menjadi lebih cepat 33 28 55 39g) ekonomi daerah kabupaten lebih berkembang 24 31 55 37h) pegawai lebih puas dengan iklim kerjanya 48 24 33 35i) administrasi lebih efisien 33 14 44 30j) koordinasi antar instansi lebih baik 14 3 11 9k) korupsi menurun 10 7 0 6Sumber: hasil kuesioner no. 8.6Dalam kaitannya dengan anggota DPRD, para partisipan berpendapat DPRD kurangberkualitas dibandingkan para birokrat. Karakteristik kepemimpinan sepertidiperlihatkan dalam Tabel 2 dimiliki jauh lebih banyak oleh birokrat daripada oleh paraanggota DPRD (63% dibanding 41%). Penyebutan ini penting dalam konteks budayayang harus dikembangkan dalam kerangka NPM. Di pihak lain, kurang berkualitasnyaanggota DPRD adalah hal yang mengkhawatirkan, jika diingat bahwa merekalah yangkini dapat disebut sebagai “pemerintah” (party government) –menggantikanbureaucratic/executive government pada periode sebelumnya.Tabel 2. Penilaian partisipan tentang karakter kepemimpinan pimpinan administrasi dan

Page 49: tugas new publikMangement

anggota DPRD (dalam persen)PIMPINAN ADMINISTRASI ANGGOTA DPRDBanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) terbuka untuk berdialog 67 70 67 68 76 62 55 64b) terlibat, menikmati pekerjaan 57 72 67 65 48 38 44 43c) mendorong bawahan untukterlibat dalam pengambilankeputusan 57 66 22 48 33 41 44 39d) punya banyak ide 57 61 89 69 38 48 33 40e) mampu merealisasikan ideidenya57 55 44 52 24 38 0 21f) memandang kegagalan sebagaikesempatan untuk menjadilebih baik 67 69 67 68 38 48 33 40g) saling memperhatikan danbekerjasama 62 66 89 72 48 59 33 47h) dapat berpikir strategis 48 62 67 59 33 38 22 31Rata-rata 59 65 64 63 42 47 33 41Sumber: hasil kuesioner no. 83-84.Sekalipun praktiknya masih mengandung kekurangan, otonomisasi kabupaten --setidaknya secara konseptual-- perlu dilanjutkan dengan penerapan NPM. Salah satuargumen yang mendasarinya adalah: agar gaya pemerintahan yang otoriter daripemerintah pusat pada masa-masa sebelumnya tidak berpindah ke kabupaten.3 Argumenlain ditunjukkan di bawah.3. NEW PUBLIC MANAGEMENT: KONSEP DAN PRAKTIKNYA DI TINGKATNEGARA MAUPUN KOTANPM dapat dipandang sebagai antitesis terhadap “old public administration”. Modelyang lama memandang dan memperlakukan birokrasi pemerintah sebagai suatu aparat3 Lihat Ari Dwipayana dalam Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara, cet. 2, Yogyakarta: Lapera 2001,h. xxiv.7yang menjalankan keputusan-keputusan negara yang dirumuskan secara demokratis.Para pegawai birokrasi bekerja dengan rencana dan beraturan atas dasar legal contract(karena itu ada hubungan atasan-bawahan); impersonal, obyektif dan tidak memihak;rasional, jauh dari kepentingan sesaat. Mereka bekerja secara terspesialiasi, karenamereka adalah orang yang ahli, yang direkrut dan dipromosikan lewat seleksi atas dasarprestasi (achieved status) dan bukannya keturunan atau perkoncoan (ascribed status).4

Page 50: tugas new publikMangement

Model birokrasi lama tersebut –yang sesungguhnya justru dibangun di atas landasandemokrasi dan bekerja berdasarkan hukum tertulis-- dikritik sebagai kaku, lamban, tidakresponsif, malas-malasan dan boros, sehingga akibatnya dicemooh dan tidak lagidipercaya oleh publik. Karenanya, terutama terdesak oleh keuangan negara yangmemburuk, pemerintah negara-negara kaya Inggris, Amerika, Australia dan NewZealand –kemudian diikuti oleh negara-negara kaya yang lain-- mulai berusaha untukmereformasi birokrasinya ke arah NPM. Tujuan yang dikejar adalah, sudah jelas, suatubirokrasi yang fleksibel, tanggap terhadap kebutuhan “konsumen”, efisien dan diseganikembali oleh publik.Sekalipun berangkat dengan visi dan misi yang sama, negara-negara tersebutmenampilkan bentuk birokrasi yang beraneka macam, yang mungkin “ideal” atau“cocok” bagi negara bersangkutan tetapi tidak bagi yang lain. Ini dilatarbelakangi olehbanyak faktor, sebagaimana jamaknya faktor-faktor yang mempengaruhi isi, proses danhasil suatu kebijakan pemerintah, mulai dari sistem administrasi, sistem politik dankualitas sosial-ekonomi yang melekat pada setiap negara.5 Penampilan akhir yangberbeda-beda dari implementasi NPM itu misalnya sebagai berikut:6

a) Finlandia: keseimbanan yang labil antara tradisi dan modernitasb) United Kingdom: modernisasi top-down dan orientasi pasarc) Belanda dan Denmark: devolusi, adopsi manajemen swasta, modernisasi internald) Swedia: modernasi intern strategis dan pengendalian kinerjae) Norwegia: modernisasi intern secara moderat dan inkrementalf) Jepang: mempertahankan manajemen birokratik sambil memperbaiki situasikepegawaiang) Amerika Serikat: manajerialismus birokratik dengan dinamika tanpa perubahanh) Austria: pengendalian birokratik dan politik simbolikFenomena keanekaragaman tersebut memberikan kesimpulan yang jelas, yakni bahwa“birokrasi ideal” yang universal tidak mungkin ditemukan wujudnya. Bahkan terhadapdiversitas bangun birokrasi itu dapat dinyatakan, bahwa “every house has many builders,and is never finished”7 atau malah “reform means change in a direction advocated bysome groups or individuals. It does not necessarily means improvement”8.Berbeda dengan apa yang tertampilkan di tingkat negara, di tingkat kota NPMditampilkan relatif seragam. Tiga kota dapat disebut sebagai contoh: Christchurch diNew Zealand, Tillburg di Belanda dan Phoenix di USA. Ketiganya pada 1992 (?) dipilih4 Lihat Miftah Thoha/Agus Dharma, Menyoal Birokrasi Publik, Jakarta: Balai Pustaka 1999, h. 26-7.5 Lihat Christopher Pollit/Geert Boeckaert, Public Management Reform –A Comparative Analysis, NewYork: Oxford 2000, h. 24-38.6 Frieder Naschold (1995) sebagaimana dikutip Ulrike Brecht, Potentiale und Blockaden der kommunalenLeistungserstellung –eine Kritik des Neuen Steuerungsmodells, Muenchen: Profession 1999, h. 28.7 Paavo Haavikko (1991) dalam Pollit/Bouckaert 2000, h. 39.8 Rubin (1992) dalam Pollit/Bouckaert 2000, h. 24.8oleh sebuah lembaga di Jerman (Bertelsmann Stiftung) sebagai administrasi kota terbaik,karena mereka melakukan reformasi sehingga administrasinya menjadi lebih cepat, lebihefisien dan lebih ramah kepada penduduk/konsumen.Proses reformasi di ketiga kota tersebut mengandung empat unsur sebagai berikut:9

a) desentralisasi tanggungjawab dan wewenangb) partisipasi pegawai dan konsumen

Page 51: tugas new publikMangement

c) orientasi pada pasard) pengukuran dan pengendalian kinerja.Di Jerman penerapan NPM justru dimulai oleh kota-kota secara otonom dan kreatifsejak awal 1990-an, baru kemudian diadopsi secara hati-hati oleh negara-negara bagiandan akhirnya negara federal. Mirip dengan unsur-unsur reformasi di atas, reformasiadministrasi kota di Jerman mengandung empat elemen sebagai berikut:10

a) struktur kepemimpinan dan organisasi desentralistis mirip swasta --mencakupmanajemen kontrak, desentralisasi tanggungjawab dan pengendalian terpusatb) pengendalian sasaran dan kinerja --mencakup definisi produk, analisis biayamanfaatdan manajemen kualitasc) kompetisid) manjemen kepegawaian modern.4. PERLU- DAN LAYAKKAH N.P.M. SEBAGAI MODEL ADMINISTRASIKABUPATEN?11

Perlukah NPM dijadikan model bagi administrasi kabupaten? Jika dipertimbangkanadanya kemiripan kondisi kita saat ini dengan situasi yang mendorong dilakukannyareformasi di negara-engara di atas, pertanyaan ini harus dijawab dengan “ya”. (LihatTabel 3. Tabel ini tidak perlu ditafsirkan, karena sudah jelas.) Selain itu birokrasi kitasecara umum dinilai sebagai belum efektif (B 50, S 20, M 55, x 42),12 belum efisien (B50, S 45, M 78, x 58) dan tingkat korupsinya tinggi (B 43, S 55, M 67, x 55). Penilaiantentang keburukan birokrasi kita dalam ketiga hal ini dapat dikatakan moderat, jikadiingat bahwa kalangan internasional menilai Indonesia sebagai salah satu negara yang9 Lihat Ulrich Mix/Michiel Herwijer (Hrsg.), 10 Jahre Tilburger Modell, Bremen: Kellner 1996; KGSt,Wege zum Dienstleistungsunternehmen Kommunalverwaltung, Koeln 1992; Frank A. Fairbanks/RolandDumont du Voitel, Arizona: unternehmenskonzept des kommunalen Managements, Nettetal: Zuendel1993; John H. Gray/Roland Dumont du Voitel, Christchurch: Fallbeispiel einer erfolgreichen Reform imoeffentlichen Management, Nettetal: Zuendel 1993; Alexander Wagener, DienstleistungunternehmenGrossstadt: “best run city in the world?”, Berlin: Wissenschaftszentrum berlin fuer Sozialforschung1997.10 Bandingkan antara lain dengan Freie und Hansestadt Hamburg, Senatsamt fuer den Verwaltungsdienst,Neue Wege im Verwaltungsmanagement, Hamburg 1994 dan Herman Hill/Helmut Klages, AktuelleTendenzen und Ansaetze zur Verwaltungsmodernisierung, Duesseldorf 1998. Unsur-unsur NPM di kotakotadi Jerman ini dijadikan basis pembuatan kuesioner dalam penelitian ini.11 Hasil diskusi dan kuesioner.12 Kuesioner no. 13. Angka 20% untuk Sleman harus ditafsirkan secara hati-hati, karena di antara empatskala (rendah, kurang, cukup dan tinggi) hanya 7% yang menjawab ‘tinggi’ dan 70% menjawab ‘cukup’.Kata ‘cukup’ ini, dalam konteks budaya Jawa Tengah, seringkali berarti ‘kurang’. Sehingga kalauseparonya dianggap ingin mengatakan ‘kurang’, maka jumlah partisipan Sleman yang mengatakan‘kurang atau rendah’ adalah 55%, sehingga nilai rata-ratanya bukan 42 melainkan 53%. Sepuluh butirpertanyaan pada nomor 13 kiranya dapat diperlakukan secara demikian.9terkorup di dunia. Ini bersamaan dengan peniliaian positif tentang transparansi (B 71, S55, M 33, x 53), yang kiranya merupakan akibat dari arus reformasi sejak 1998 yangmenjadikan sistem negara lebih desentralistis (B 62, S 76, M 78, x 72) dan demokratis(B 86, S 69, M 89, x 81).13

Belum efektif-, belum efisien- dan masih tingginya tingkat korupsi dapat dipandangsebagai alasan penguat bagi perlunya adopsi NPM, sedangkan sudah tingginyatransparansi, desentralisasi dan demokrasi di negeri kita dapat dipandang sebagai alasan

Page 52: tugas new publikMangement

untuk mengatakan bahwa NPM sudah layak diadopsi. Artinya, transparansi,desentralisasi dan demokrasi merupakan iklim yang sangat kondusif bagi kabupatenuntuk melakukan inovasi-inovasi terhadap/di dalam birokrasinya, di mana kreatifitasdimungkinkan dan pembatasan-pembatasan dari pusat maupun propinsi berada padatingkat yang sangat minimal. Bahkan jika sekarang desentralisasi negara (aliasotonomisasi kabupaten) dinilai sudah “kebablasan”, dia pada sisi lain dapat dipandangsebagai kesempatan emas untuk memperbaiki dirinya sendiri tanpa intervensi daripemerintah pusat maupun propinsi. (Perhatikan: struktur organisasi dan tatakerja [SOT]disusun secara otonom oleh kabupaten sendiri, sehingga SOT dari kabupaten yang satuberbeda dengan SOT kabupaten yang lain –suatu kemewahan pada era sentralismeOrba.)Tabel 3. Persepsi partisipan tentang karakter lingkungan administrasi saat ini (dalampersen)BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) krisis keuangan yang akut 62 72 100 78b) tekanan yang terus meningkat untuk menghematanggaran, sehingga pemerintah perlu melakukanprivatisasi untuk mengurangi tugas dan sekaligusmenambah penghasila 52 76 100 76c) proses administrasi tidak transparan 48 55 100 68d) politik dan birokrasi diragukan; masyarakatmenganggap negara tidak mampu bekerja dengan baik 52 72 100 75e) pandangan hidup masyarakat sedang berubah; individumenuntut lebih banyak ruang gerak, tidak mau diaturoleh negara secara rinci 76 76 100 84f) struktur administrasi membutuhkan reformasi 86 86 100 91Sumber: hasil kuesioner no. 93.Asumsi-asumsi dasar dari NPM berikut ini juga sangat disetujui oleh para partisipan (B76, S 79, M 89, x 81).14 Hal yang sama dijumpai pula ketika para partisipan dimintauntuk memberikan penilaian mereka terhadap perubahan model dari old publicadministration menjadi NPM.15 Ini berarti bahwa secara kultural (setidaknya kognitif),para pegawai kabupaten telah siap untuk berbenah diri. Asumsi-asumsi tersebut adalah:13 Pada alinea ini dan alinea selanjutnya B adalah singkatan dari Banyumas, S Sleman, M MAP UGM danx rata-rata.14 Kuesioner no. 18. Skor rata-rata dari total.15 Kuesioner no. 19.10a) manusia punya motivasi yang tinggi dan sadar akan tanggungjawabnyab) negara dan administrasi adalah penting, privatisasi bukanlah obat mujarab untuksemua persoalan negarac) persoalan yang dihadapi administrasi adalah efektivitas, karena negara hukumdan demokrasi sudah berlangsungd) sistem administrasi dapat dikelola secara rasional, dan metode perusahaan swasta

Page 53: tugas new publikMangement

dapat diterapkan di dalamnyae) kompetisi, perlombaan atau persaingan dapat mendorong terwujudnya efisiensidan efektivitas yang lebih tinggi dibanding perencanaan dan pengarahanf) politik dan administrasi itu dapat belajar, sehingga mereka dapat menyesuaikandiri terhadap lingkungan yang berubah.Sedangkan pergeseran paradigmanya adalah sebagai berikut (sebagian di antara 30butir):a) pembagian kekuasaan antara legislatif dan eksekutif menjadi kerjasama di antarakeduanyab) negara hukum dan demokrasi ditambah dengan efisiensi dan orientasi kinerjac) negara sebagai pemegang monopoly of coercion menjadi sektor publik sebagaienabling authority dan enterpreneurd) birokrasi dengan aktivitas yang ajeg dan meneruskan tradisi menjadi birokrasiyang melakukan kegiatan baru, belajar hal yang baru dan terbukae) birokrasi yang berorientasi kepada hukum/aturan menjadi berorientasi padamasyarakat/konsumenf) birokrasi yang mempunyai kultur pengaturan menjadi berkultur kontak dankontrak.Selanjutnya, lebih separo dari partisipan (B 52, S 57, M 67, x 59) menilai bahwa“kontrak” antara berbagai pihak (DPRD - bupati – kepala dinas – kepalabidang/kasubdin – kepala seksi – pelaksana) dapat diterapkan.16 Di dalam kontrak inidisebutkan apa saja yang harus dilakukan oleh siapa dalam periode tertentu dengananggaran berapa dan hasilnya bagaimana, sehingga pengendalian dan penilaian prestasikerja dapat dilakukan secara obyektif. Dengan adanya kontrak maka tiap-tiap pihaktidak perlu merasa diawasi dan juga mengawasi setiap saat, tidak perlu ada sidak(inspeksi mendadak) yang seringkali justru kontraproduktif terhadap motivasi kerja yangdikontrol. Biaya kontrol, yang seringkali menghasilkan pemborosan yang sangat tidakperlu, dapat ditekan dan digunakan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat. Dalamkonteks ini “kesewenang-wenangan” DPRD terkurangi dan tanpa perlu “merasakehilangan pengaruh terhadap eksekutif” (B 52, S 79, M 100, x 77).17 Kecuali itukontrak tidak akan menjadikan hubungan antara legislatif dan eksekutif kaku (B 81, S59, M 22, x 54).18 Hanya saja, sekalipun menilai positif, para partisipan berpendapatbahwa DPRD akan berkebaratan dengan ide ini –dimana eksekutif dibiarkan bekerjamemenuhi kebutuhan publik tanpa banyak dikontrol (B 62, S 24, M 11, x 32).19 Inimudah dipahami, karena DPRD yang sedang “ngemaruki” akan kehilangan wewenangyang dalam setahun terakhir sangat mereka nikmati.16 Kuesioner no. 21.17 Kuesioner no. 22.18 Kuesioner no. 24.19 Kuesioner no. 86.11Secara keseluruhan ide manajemen kontrak yang antara lain meliputi: (a) bupati sebagai“pembeli pelayanan” diberi wewenang untuk menentukan bagaimana pelayanan itudiproduksi (make or buy), (b) adanya block grant atau globalbudget bagi dinas-dinassebagai “produsen pelayanan”, dan (c) administrasi kabupaten diubah menjadi“perusahaan pelayanan publik”, dimana dinas-dinas merupakan perusahaan-perusahaanmandiri di bawah “holding” kabupaten disetujui oleh para partisipan (B 91, S 59, M 78,

Page 54: tugas new publikMangement

x 76).20 Dalam konteks make or buy, tampaknya sudah ada kesiapan mental dari birokratkita untuk berkompetisi. Para partisipan mengakui, bahwa “birokrasi hanyalah salah satudi antara beberapa pihak yang dapat memenuhi kebutuhan warga” (B 76, S 72, M 78, x75).21 Di luar birokrasi ada LSM dan swasta serta masyarakat secara kelompok yangdapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri (bandingkan dengan gairah swadayamasyarakat miskin pedesaan ketika negara sedang kekurangan dana seperti saat ini).Sementara itu orientasi kepada konsumen –sebagai salah satu visi dasar dari NPM—sudah dipraktikkan, antara lain terwujud sebagai “kantor pelayanan satu atap”. Hanyasaja, meskipun dapat dikatakan berhasil, pada umumnya kantor ini hanya mendapat nilaicukup/sedang dalam keempat aspeknya: (a) kecepatan kerja (B 62, S 48, M 67, x 59), (b)efisiensi (B 67, S 59, M 44, x 57), (c) kepuasan konsumen (B 52, S 48, M 44, x 48) dan(d) kepuasan pegawai (B 67, S 55, M 33, x 52).22 Perhatikan bahwa kepuasan konsumenjustru paling rendah di antara ketiga aspek yang lain. Dalam tema ini rupanya Slemanmempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan (lihat, semua skor yang diberikannyalebih rendah dibanding Banyumas). Seorang partisipan di sana menerangkan, bahwakantor pelayanan satu atap hanyalah mengumpulkan pegawai dari berbagai instansi,dimana mereka tidak berwenang mengambil keputusan. Mereka jadinya hanyalah kurirdari intansi masing-masing, sehingga warga memilih untuk pergi ke instansi-induk.Kontrol terhadap output sudah dilakukan (B 67, S48, M 67, x 61).23 Namun masih adapenekanan yang sangat kuat terhadap prosedur (B 67, S 72, M 100, x 80).24 Ini kiranyamenyatakan, bahwa kontrol memang tidak semata-mata terhadap aspek legalitaspekerjaan birokrasi (kuitansi, kepatuhan terhadap aturan) melainkan juga terhadap ujudfisik dari pekerjaannya, namun di pihak lain sepanjang prosedur-legal telah terpenuhirendahnya kualitas output tidak akan dipersoalkan. Pengawasan a la BPKP, BPK dankejaksaan masih mendominasi fungsi pengendalian birokrasi kita. Ringkasnya:formalisme.Dalam hal kepegawaian, para partisipan menganggap bahwa tanggungjawab sendiri,pengukuran hasil kerja dan pemisahan jabatan dari golongan kepegawaian adalahpenting. (Lihat Tabel 4.) Informasi ini memperlihatkan, bahwa sesungguhnya parabirokrat kita mempunyai potensi untuk maju, kreatif dan otonom. Skor tentangkeinginan untuk mempunya tanggungjawab mandiri dan hasil kerjanya diukur sangattinggi (89 dan 94). Karsa ini harus diwadahi oleh suatu struktur administrasi yangmemungkinkan untuk itu, yang tidak mematikan kreatifitas, yang menghormati prestasi,dst. (Lihat: struktur mempengaruhi perilaku, bukan sebaliknya.) Lebih dari itu merekasangat ingin agar karya mereka dinilai secara obyektif, sehingga yang berprestasi diberiganjaran, yang buruk diberi sanksi. Kasus promosi jabatan yang sering menimbulkan20 Kuesioner no. 28, 30, 31.21 Kuesioner no. 51.22 Kuesioner no. 32.23 Kuesioner no. 38.24 Kuesioner no. 56.12protes dari banyak pihak memperlihatkan, bahwa selama ini promosi pegawai dilakukansecara tidak transparan, berlawanan dengan rasa keadilan, yang pada gilirannyamenjadikan motivasi kerja para pegawai rendah di satu pihak dan/atau memicuberlangsungnya korupsi di pihak lain. Beberapa partisipan menyebut sinis sistem“PGPS” –pinter atau goblok penghasilan sama.25

Page 55: tugas new publikMangement

Tabel 4. Pendapat partisipan tentang tanggungjawab, pengukuran kinerja dan promosijabatan (dalam persen)BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) punya lebih banyak tanggungjawab mandiri 81 86 100 89b) hasil kerja diukur dan dinilai 91 90 100 94c) golongan kepegawaian dipisahkan dari jabatan(golongan boleh rendah tapi jabatan boleh tinggitergantung kemampuan) 67 48 67 61Sumber: hasil kuesioner no. 77.Sejalan dengan pandangan di atas, para partisipan setuju jika jabatan pimpinan dipegangdalam masa percobaan terlebih dahulu dan selanjutnya dalam jangka waktu tertentu(misalnya 4 tahun) dievaluasi, sehingga mereka tidak menjabat selamanya (B 57, S 72,M 100, x 76).26 Memang ini menjadikan jabatan administrasi terbaui dengan warnapolitik (seperti dekan dan rektor di perguruan tinggi), tetapi pola ini lebih transparan dankarenanya lebih disenangi oleh para partisipan. Seorang anggota DPRD malahmengatakan bahwa seharusnya kita tidak mengenal rahasia jabatan. Semua harus dibuka,termasuk dalam proses promosi jabatan. (SW: bukankah para pejabat diminta untukmelaporkan kekayaannya –sesuatu yang bagi orang privat sangat rahasia?)Argumen tentang perlunya NPM dapat ditambah satu lagi: penghasilan masihmerupakan masalah pokok pegawai, kecuali –tampaknya— bagi para pimpinan yangtelah memperoleh mobil dinas. Para partisipan setuju sepenuhnya terhadap tunjangantunjangan:di bidang kerja yang kurang diminati (B 76, S 59, M 78, x 71), tunjangandaerah (B 86, S 93, M 78, x 86) dan penerapan jam kerja fleksibel ataupun separowaktu (B 68, S 59, M 67, x 65).27 Bersamaan dengan itu mereka menganggap gajinyabelum layak (B 76, S 70, M 89, x 78)28 dan karena itu perlu tambahan penghasilan (B86, S 83, M 100, x 90).29 Karena itulah NPM perlu diintrodusir, untuk memberi pegawaiinsentif untuk berhemat –dimana sebagian penghematannya digunakan untukkesejahteraan mereka sendiri.25 Arti sebenarnya dari PGPS adalah peraturan gaji pegawai negeri sipil.26 Kuesioner no. 78.27 Kuesioner no. 75a, b, d.28 Kuesioner no. 76.29 Kuesioner no. 77d.135. KELEMAHAN DAN HAMBATAN PENERAPAN N.P.M.Optimisme bahwa NPM dapat dijadikan model bagi sistem administrasi kabupatenbukannya tanpa hambatan. Beberapa di antaranya diuraikan di bawah ini. Yang pertama,dalam hal manajemen kontrak, DPRD dipandang belum mampu merumuskan produkdan menetapkan standard kualitas bagi setiap instansi (B 62, S 55, M 100, x 72).30

Ketidakmampuan para anggota DPRD mungkin saja dapat diatasi dengan pelatihan ataudilibatkannya konsultan dari LSM atau universitas untuk mendampingi mereka; tapi

Page 56: tugas new publikMangement

seringkali ketidakmampuan itu bermula dari ketidakmauan. Etos atau orientasi kerjapada anggota DPRD rupa-rupanya masih patut dipersoalkan. Di pihak birokrasi,sekalipun di satu pihak para partisipan menyetujui gagasan manajemen kontrak, di pihaklain mereka menilai bahwa para birokrat saat ini pada umumnya belum atau kurang siapuntuk menerapkannya. (B 57, S 48, M 67, x 57).31 Ketidaksiapan ini, menurut seorangpartisipan, dikarenakan kebanyakan SDM kita masih berpola-perilaku “lama” (?),sekalipun mereka sudah berpendidikan S-1.Ke-dua, pola komando di dalam birokrasi masih cukup kuat, dimana komunikasi lebihbersifat atas-bawah daripada sebaliknya (B 81, S 62, M 100, x 81).32 Ini adalah hal yangironis, karena sementara para partisipan mengakui bahwa kehidupan bernegara kita telahdemokratis (B 38, S 52, M 78, x 56),33 ternyata apa yang terjadi pada level negara tidakdijumpai di dalam intern birokrasi. Seorang partisipan dari Sleman mengatakan bahwasemua tergantung atasan –kalau atasan baik, baiklah bawahannya, kalau atasan buruk,buruk pula bawahan dan organisasinya. Tampaknya hierarkhie sebagai karakteristikbirokrasi masih melekat sangat kuat, bahkan seringkali berbau militeristik.Sejalan dengan itu para pimpinan cenderung bersikap sebagai boss daripada sebagaicoach (pendamping, pelatih, pendorong kemajuan bawahan –B 71, S 48, M 89, x 69).34

Namun agak kurang paralel dengan ini, sebagai bawahan para partisipan cenderungdiberi otonomi yang besar oleh atasannya (B 62, S 45, M 78, x 62).35 Ini artinya, di satupihak pimpinan minta dilayani dan dihormati oleh bawahannya (bukannya melayani danmengembangkan) dan di pihak lain membiarkan bawahan bekerja sendiri sepanjangtidak merongrong posisi dan privilege-nya. (Pola seperti inilah yang tampaknyamelestarikan korupsi, dimana “pengawasan melekat” mandul atau bahkan tidakmungkin.) Gaya kepemimpinan seperti ini tidak disenangi oleh para bawahan. Parapartisipan menganjurkan agar para pimpinan administrasi mengubah gayanya menjadi“public manager” –yang kreatif, terbuka, dst. (B 95, S 59, M 55, x 70).36 Namun perludipertimbangkan, bahwa sekalipun memang gaya komando dan boss semacam itu “jauhdari NPM”, itu bisa jadi malah dapat dimanfaatkan sebagai modal budaya (culturalcapital), dimana pada tahap inisiasi gaya seperti itu efektif untuk memobilisasireformasi.30 Kuesioner no. 23 dan 23a.31 Kuesioner no. 66.32 Kuesioner no. 36.33 Kuesioner no. 12b.34 Kuesioner no. 57. Skor Banyumas yang lebih tinggi daripada Sleman menjadikan stigma bahwaBanyumas lebih demokratis karena budayanya lebih cablaka (terus-terang) dibandingkan Sleman yangberbudaya kraton patut diragukan.35 Kuesioner no. 58.36 Kuesioner no. 65. Perbedaan skor yang sangat mencolok, khususnya partisipan MAP yang malahkurang begitu setuju perlu diberi penafsiran lebih lanjut.14Hambatan bagi usaha reformasi ke arah NPM, menurut penilaian partisipan, ditampilkandalam Tabel 5. Berdasar hasil kuesioner ini dikenali bahwa kekhawatiran para partisipanbahwa para birokrat belum siap untuk mereformasi birokrasi kabupaten ke arah NPMlebih banyak disebabkan oleh kekurangan tenaga yang berkompeten (61%).Ketidaksiapan itu sama sekali tidak berarti bahwa para pegawai dan pimpinan akanmenolak reformasi (masing-masing hanya 26% dan 34%). Hambatan ke-dua yang kuatadalah malah dari DPRD (50%) yang, seperti telah disebut di atas, akan merasa

Page 57: tugas new publikMangement

kehilangan kenikmatannya sebagai the ruling class.Tabel 5. Persepsi partisipan tentang kemungkinan hambatan reformasi (dalam persen)BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) kekurangan tenaga yang berkompeten 52 41 89 61b) legislatif ragu-ragu 38 21 89 49c) peraturan negara dan propinsimenghambat 48 52 44 48d) kelangkaan uang 52 35 55 47e) kekurangan peralatan teknis 33 59 33 42f) penolakan dari para pimpinanadministrasi 24 24 55 34g) penolakan dari para pegawai 10 14 55 26Sumber: hasil kuesioner no. 98.Jika reformasi ke arah NPM dilakukan, para partisipan menganggap tidak akan adadampak yang berarti. Dampak yang diperkirakan bakal muncul berada pada tingkat yangrendah. (Lihat Tabel 6.) Perhatikan: para partisipan menilai bahwa model NPM yangmemberikan desentralisasi yang besar kepada unit-unit administrasi sama sekali tidakakan menjadikan sistem administrasi tercerai-berai (hanya 7%). Ini kiranya bermanfaatjuga untuk menyatakan, bahwa sistem manajemen negara yang sangat desentralistis saatini tidak akan menjadikan Indonesia terpecah-belah. Namun memang mereka agakkhawatir bahwa sistem poplitik dan administrasi akan menjadi tidak terpadu (49%). Inimenegaskan sekali lagi betapa sulitnya koordinasi dilakukan (lihat Tabel 1).Tabel 6. Persepsi partisipan tentang dampak yang mungkin timbul (dalam persen)BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) cara-cara manajemen swasta tidak selalu cocokuntuk administrasi 52 48 55 52b) sistem politik dan administrasi tidak terpadu 33 24 89 49c) sistem kompetisi berjalan tapi tidak fair 24 48 55 42d) pegawai justru terbebani 38 21 33 31e) sistem kompetisi tidak dapat berjalan 10 10 33 18f) cenderung cerai-berai 5 10 5 7Sumber: hasil kuesioner no. 99.156. SIAPA BERUNTUNG?Pertanyaannya: siapa yang diuntungkan jika NPM diterapkan? Para partisipanmembayangkan, bahwa perusahaan swasta dalam model NPM akan menjadi pihak yangpaling diuntungkan, menyusul kemudian pnduduk, politisi, LSM dan baru kemudianpejabat/pegawai administrasi (lihat Tabel 7). Penyebutan pejabat/pegawai administrasi

Page 58: tugas new publikMangement

pada tempat yang terakhir –sekalipun tetap tinggi-- agak mengkhawatirkan, karenamerekalah yang merupakan leading sector dalam proses reformasi. Jika mereka hanyadiuntungkan sedikit saja (setidaknya yang paling rendah dibanding aktor lain) dariproses ini, mungkin partisipasi mereka akan rendah dan bisa mengancam gagalnyareformasi. Pada titik ini perlu dilakukan elaborasi lebih lanjut, meskipun ada optimisme:semua beruntung.Tabel 7. Persepsi partisipan tentang pihak yang diuntungkan reformasi (dalam persen)BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) perusahaan swasta 81 69 89 80b) penduduk 76 76 77 76c) politisi 91 83 55 76d) LSM 86 41 89 72e) pejabat/pegawaiadministrasi 86 76 44 69Sumber: hasil kuesioner no. 100.7. PENUTUP: AGENDA REFORMASISekalipun tidak sangat optimistis, uraian di atas dapat digiring pada kesimpulan: bagiadministrasi kabupaten NPM adalah perlu dan layak. Jika memang Banyumas danSleman maupun kabupaten dan kota lain berminat untuk menerapkannya, menurutpartisipan prioritas agenda reformasinya adalah seperti diperlihatkan dalam Tabel 8.Sangat ironis bahwa definisi produk setiap instansi malah diberi prioritas terakhir,padahal seharusnya dialah yang pertama –tentu saja setelah sebelumnya setiap instansimerumuskan visi dan misi organisasinya. Ada kemungkinan bahwa partisipanmenganggap produk atau layanan dari instansi mereka telah terdefinisikan dengan baikdalam program kerja tahunan mereka, sehingga ini bukan hal yang perlu disentuh lagijika akan dilakukan reformasi. Namun, seandainya ini memang ironi, ini harus diterimadan dipahami (bahwa cara berpikir maupun perilaku birokrat kita kadang-kadang masihtidak konsisten), dengan syarat ada kemauan untuk belajar dan membuka diri terhadapide apapun dari para pelaku birokrasi dan politik. Sebab reformasi adalah proses belajar,yang tak akan pernah berhenti.16Tabel 8. Pendapat partisipan tentang agenda reformasi (dalam persen)BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) penerapan analisis biaya-hasil 62 62 89 71b) memperbaiki kontrol dan pelaporan 48 69 67 61c) optimalisasi proses kerja 57 72 44 58d) optimalisasi prosedur administrasi 52 59 55 55

Page 59: tugas new publikMangement

e) desentralisasi tanggungjawab terhadap sumberdaya 48 59 55 54f) globalbudget (block grant) --anggaran tidak perlurinci 48 31 67 49g) melakukan pengembangan kepegawaian 43 31 67 47h) memangkas atau merampingkan struktur organisasi 29 35 78 47i) membuat angket kepada penduduk 43 31 67 47j) memberikan anggaran yang dapat dihemat kepadainstansi yang bersangkutan 52 21 - 37k) membuat definisi produk tiap instansi danmenerapkannya 33 10 44 29Sumber: hasil kuesioner no. 95.*17DAFTAR BACAANBrecht, Ulrike, Potentiale und Blockaden der kommunalen Leistungserstellung –eineKritik des Neuen Steuerungsmodells, Muenchen: Profession 1999Fairbanks, Frank A./du Voitel, Roland Dumont, Arizona: unternehmenskonzept deskommunalen Managements, Nettetal: Zuendel 1993Freie und Hansestadt Hamburg, Senatsamt fuer den Verwaltungsdienst, Neue Wege imVerwaltungsmanagement, Hamburg 1994Gray, John H. /du Voitel, Roland Dumont, Christchurch: Fallbeispiel einererfolgreichen Reform im oeffentlichen Management, Nettetal: Zuendel 1993Hill, Herman/Klages, Helmut, Aktuelle Tendenzen und Ansaetze zurVerwaltungsmodernisierung, Duesseldorf 1998KGSt, Wege zum Dienstleistungsunternehmen Kommunalverwaltung, Koeln 1992Mix, Ulrich/Herwijer, Michiel (Hrsg.), 10 Jahre Tilburger Modell, Bremen: Kellner1996Pollit, Christopher/Boeckaert, Geert, Public Management Reform –A ComparativeAnalysis, New York: Oxford 2000Thoha, Miftah/Dharma, Agus, Menyoal Birokrasi Publik, Jakarta: Balai Pusataka 1999Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara, cet. 2, Yogyakarta: Lapera 2001Wagener, Alexander, Dienstleistungunternehmen Grossstadt: “best run city in theworld?”, Berlin: Wissenschaftszentrum berlin fuer Sozialforschung 1997Wibawa, Samodra, Negara-negara di Nusantara –dari Negara-kota hingga Negarabangsa,dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi, Yogyakarta:Gadjahmada University Press 2001----------, Neues Steuerungsmodell –Belajar Otonomi dari Jerman, Yogyakarta: Istawadan Wacana 2001

Page 60: tugas new publikMangement

New Public Management

New Public ManagementatauBagaimana Good Governance bisa dicapai?New Public ManagementStruktur:1. Pendahuluan: Mengapa kita memerlukan New Public Management?2. New Public Managementa. Tujuanb. Tuntutan dan Prasyarati. Batasan tanggung jawabii. Penyatuan wewenang untuk bidang kerja dan dana3. Instrumen New Public Managementa. Manajemen kontrakb. Penyerahan tanggung jawab di bidang sumber dayac. Orientasi pada hasil kerja (output)d. Pengawasani. kalkulasi biaya dan produk kerjaii. Laporaniii. Penganggarane. Orientasi pada warga/pelangganf. Personaliag. Teknik informasih. Manajemen kualitas4. Pengaktifan struktur barua. Penerapan asas persaingani. Benchmarkingii. Persaingan melalui perusahaan swasta5. Realisasi tindakan dan implementasi6. Daftar bacaan1. Pendahuluan: Mengapa kita memerlukan New Public Management?Perdebatan tentang kinerja administrasi publik di seluruh dunia selalu ditandai

Page 61: tugas new publikMangement

dengan ketidakpuasan. Baik politisi maupun warga, bahkan juga pegawaiadministrasi sendiri, mengkritisi administrasi dengan kata kunci: ”terlalu lamban,terlalu mahal, terlalu jauh dari kebutuhan manusia, korup, buruk mutu sertapemborosan anggaran dan sumber daya manusia”.Pada saat yang sama tengah dilakukan pula diskusi yang dipromotori oleh BankDunia, OECD dan institusi-institusi besar lainnya tentang “Good Governance” ataupemerintahan yang baik. Istilah ini dalam sebagian besar penggunaannya seringdikaitkan dengan frasa yang diawali dengan negasi seperti “tidak ada korupsi, tidakada penyalahgunaan uang rakyat, tidak ada KKN, dls”. Padahal, kita bisa mencobamerumuskan tujuan “Good Governance” dengan kalimat positif, seperti definisiberikut: Good Governance adalah suatu bentuk pemerintahan dan adminisitrasipublik yang mampu bekerja secara efisien, yakni mampu memenuhi kebutuhanrakyat. Definisi ini sama dengan apa yang diharapkan dapat dihasilkan oleh “NewPublic Management”.New Public Management (NPM) merupakan sistem manajemen administrasi publikyang paling aktual di seluruh dunia dan sedang direalisasikan di hampir seluruhnegara industri. Sistem ini dikembangkan di wilayah anglo Amerika sejak paruhkedua tahun 80-an dan telah mencapai status sangat tinggi khususnya di SelandiaBaru. Perusahaan-perusahaan umum diprivatisasi, pasar tenaga kerja umum danswasta dideregulasi, dan dilakukan pemisahan yang jelas antara penetapanstrategis wewenang negara oleh lembaga-lembaga politik (APA yang dilakukannegara) dan pelaksanaan operasional wewenang oleh administrasi (pemerintah) danoleh badan penanggungjawab yang independen atau swasta (BAGAIMANAwewenang dilaksanakan). Administrasi dan badan penanggungjawab melaksanakantugas yang diserahkan oleh negara atas dasar perumusan “order”” secara kuantitatifdan kualitatif, lalu disepakatilah anggaran biaya untuk pelaksanaan order tersebut(order kerja dan anggaran umum).2. New Public ManagementAdministrasi lainBenchmarkingParlemenDefinisi produk, kualitasjumlah dan hargaKeputusan anggaranControllingadministrasiProduksi atau penjualanprodukTanggungjawab totalsecara desentralmanajemen kualitasPenawarSwas-taPemilu Service, MarketingWarga Pemilih KlienGrafik: New Public Management dan pengendaliannyaManajemen kontrakAnggaran departemen

Page 62: tugas new publikMangement

laporan controllingkontrakAdanya upaya meningkatkan inovasi yang terarah (sebagai bagian dari order kerja)karena adanya pendelegasian (bukan hanya desentralisasi) manajemenoperasional.a. Tujuanb. Tuntutan dan prasyaratLangkah untuk menerapkan New Public Management bisa dilakukan dengan syaratada cukup jumlah pendukung “yang kritis” yang menghendaki reformasi. Parapendukung ini harus berasal dari administrasi (pemda, pemkot) dan politik; berartimereka harus seorang birokrat dan politisi. Warga juga akan setuju denganpenerapan NPM ini karena mereka banyak mengkritisi kelemahan atau kinerjaadministrasi yang loyo. Namun demikian, reformasi ini harus didukung bersama agarwarga bisa memberikan tekanan yang dibutuhkan terhadap politisi dan pihakadministrasi untuk menyelesaikan proses reformasi dengan sukses.Harus jelas bahwa restrukturisasi seperti ini punya harga, tapi harus disadari pulabahwa penghematan yang dihasilkan reformasi ini bisa dengan mudah membiayaikembali investasi. Akan tetapi, sebelum upaya penerapan New Public Managementini bisa direalisasikan, harus diciptakan dulu prakondisi, yakni pertama, batasantanggung jawab antara unit perencana dan unit pelaksana (politik dan administrasi)dan perangkat sumber daya yang bersifat desentral.i. Batasan tanggung jawabSeperti telah diindikasikan di atas, manajemen publik baru merupakan isumenyangkut penetapan “apa” dan “bagaimana”. Di sini unit perencana(tataran politik: parlemen pusat atau daerah) menentukan apa yang harusdihasilkan administrasi (pemerintah daerah atau pemerintah kota).Contohnya, politik hendak menciptakan citra kota yang baik, membuat tamankota dipelihara dan mempertahankan pohon-pohon yang tumbuh di kota.Untuk merealisasikan ini, unit perencana menetapkan cakupan dan kualitas.Kemudian ditentukan berapa sering areal hijau tersebut dibersihkan danrumputnya dipotong. Sekarang tugas unit pelaksana: pihak administrasimenghitung biaya yang dibutuhkan untuk melakukan kerja yang digambarkandi atas. Ini berarti, pihak administrasi membuat proposal permintaan danakepada pihak politik (parlemen). Apabila parlemen setuju dengan permintaandana tersebut, maka akan dibuat kesepakatan. Tapi, kalau pihak pemerintahtidak setuju dan menganggap tawaran tersebut terlalu tinggi, masih adabeberapa kemungkinan lain untuk bisa membuat kesepakatan. Pemerintahatau unit perencana bisa menurunkan tuntutan kualitasnya atau memintaadministrasi untuk melakukan outsourcing agar administrasi tidak perlumelakukan sendiri kerja tersebut, tapi bisa menyuruh pihak lain, misalnyapihak swasta. Namun, proses ini juga bisa berakhir dengan keputusanpemerintah untuk menyediakan sumber dana yang lebih besar kepada pihakunit pelaksana atau administrasi dan dengan demikian menerima proposalawal.Pada proses penentuan kesepakatan, pihak pelaksana tetap menjadi pihakyang menentukan pertanyaan, bagaimana pekerjaan harus dilakukan. Hal inikhususnya terletak pada sektor yang disebut alokasi sumber daya, yaitubidang yang menentukan kebutuhan biaya untuk personal, investasi dan

Page 63: tugas new publikMangement

pengeluaran-pengeluaran lainnya.Dengan adanya pemisahan antara keputusan strategis (perencana) dankeputusan pihak pelaksana, maka tumpang tindih wewenang akan bisadikurangi–yang pada gilirannya menghasilkan pembagian wewenang yanglebih jelas di antara kedua pihak. Ini hanya bisa dilakukan dengan caramendelegasikan wewenang kepada administrasi. Tapi di lain pihak, ini jugaberarti bahwa pihak perencana (pemerintah) mendapatkan ruang gerak yanglebih leluasa, yang memungkinkannya siap membuat keputusan yang benarbenarpenting dan melihat serta menilai efisiensi kerja administrasi.ii. Penyatuan tanggung jawab yang mengurus bidang kerja dan dana.Dewasa ini pembagian tugas di kebanyakan administrasi publik ditandaidengan pemisahan antara wewenang yang mengurus bidang kerja danwewenang yang membidangi dana. Tugas diserahkan pada departemendepartemen,kantor-kantor atau unit-unit administrasi, sementara dana yangdibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut berada di bawahtanggung jawab bagian lain. Dana diberikan kepada departemen-departemenmelalui anggaran yang rinci. Dalam anggaran ini juga telah ditentukan alokasidana. Sejalan dengan waktu, tugas-tugas yang dilakukan masing-masingdepartemen, kantor dan sejenisnya menjadi kerja rutin. Keputusan tentangdana yang disediakan tidak lagi dilihat dalam hubungannya dengan tugasyang diserahkan. Artinya, si pemberi dana tidak tahu lagi diapakan saja danayang telah dialokasikan; ia hanya berorientasi pada ketersediaan dana. Iniberarti tidak lagi keterikatan antara order/tugas dengan dana yang diberikan.Pihak administrasi (pemda/pemkot) merespon ini dengan jawaban bahwamerekalah yang menetapkan berapa banyak layanan yang hendakdiproduksi dan bagaimana kualitasnya. Fenomena ini merupakan salah satualasan tergerogotinya hak parlemen dan dewan kota atau DPRD dalam ikutmenentukan anggaran.c. Kondisi di Amerika Latin1

Penyusunan administrasi negara yang efisien di negara-negara Amerika Latinmerupakan prasyarat bagi peningkatan demokratisasi, pengembangan ekonomi danpengalokasian dana secara adil. Dalam kaitan ini reformasi manajemen memilikiperan istimewa guna memperbaiki efisiensi peyelenggaraan pemerintahan.Di banyak negara, reformasi manajemen sedang dipersiapkan atau sudahditerapkan, meski kadang-kadang dengan pengalaman berbeda dan khususnyadengan kesadaran bahwa tidak ada paradigma yang standar. Hal ini ditunjukkanoleh sejumlah studi komparatif.2Jawatan publik di Amerika Latin sebagian besar tidak memiliki administrasi yangprofesional, kalaupun ada, hanya dalam kasus-kasus tertentu saja. Akses terhadapjawatan publik dan juga praktek kenaikan pangkat (promosi) sangat dipolitisasi danbiasanya tidak berdasarkan prestasi kerja dan kualifikasi. Ini terjadi baik pada tingkatpimpinan maupun pada sebagian besar karyawan di dinas pemerintah.Di masa lalu, jabatan dalam pemerintahan selalu menjadi wadah bagi yangberkuasa untuk menciptakan lapangan kerja bagi aktivis partai, dan karena itu,jabatan dalam pemerintahan selalu tak pernah lowong. Oleh karenanya, sangatmungkin setelah dilakukan analisa terhadap kebutuhan akan lapangan kerja untuklayanan-layanan yang dihasilkan selama ini, jumlah lapangan kerja yang dibutuhkan

Page 64: tugas new publikMangement

jelas berada di bawah angka riilnya. Jika sudah begini, ada dua pilihan yang tersisa:mengurangi jumlah personal dalam jabatan publik sebagaimana yang benar-benardibutuhkan yang artinya akan terjadi PHK massal dan secara politis tidak akan bisaberhasil, atau mencoba meningkatkan cakupan layanan secara signifikan denganjumlah karyawan yang ada. Andai pilihan kedua ini yang diambil, maka sangatmungkin harus dilakukan investasi besar di bidang pendidikan dan peningkatankualifikasi.Rintangan lain terhadap implementasi New Public Management adalah terlalubanyaknya regulasi yang tak jelas dan diterapkan secara semena-mena. Regulasi inilebih bersifat mengatur daripada diarahkan untuk memberi layanan kepadamasyarakat. Itu artinya, administrasi publik di Amerika Latin cenderung mengaturtata kehidupan warganya, tapi tidak melayani masyarakat. Dilihat dari sisi psikologis,ini bisa menjadi penghalang. Apalagi dengan pendekatan New Public Management,segala bentuk pekerjaan dalam administrasi publik yang tidak melayani masyarakatadalah pemborosan. Selain itu, Amerika Latin juga dikenal dengan Undang-undangadministrasinya yang kaku, yang tidak bisa digunakan secara fleksibel, kecuali jikamasyarakat menyuap para pegawai administrasinya.Struktur hirarki dalam administrasi (pemda/pemkot) di Amerika Latin juga sangatnyata dan penting bagi rasa harga diri para pemimpinnya, di tingkat manapun.Pendekatan New Public Management yang menghapus hirarki ini akanmenimbulkan masalah.Jadi, dilihat secara keseluruhan, peluang untuk menerapkan New PublicManagement nampak tidak bagus. Tapi di lain pihak, saat ini sudah ada jutaanwarga yang menderita atas ketidakmampuan pemerintah untuk memberikanpelayanan yang dibutuhkan. Kalau mengingat rentannya demokrasi di Amerika Latindan kecenderungan situasi yang ekstrim, yakni jatuhnya kekuasaan kepada politisiyang populis atau mungkin munculnya kekuasaan otoriter, maka penerapan sistemadministrasi yang menunjukkan hasil konkrit sangatlah mendesak.3. Perangkat-perangkat New Public Managementa. Manajemen kontrakPenyelenggaraan administrasi publik selama ini ditandai dengan keputusankeputusanyang bersifat hirarkis dan berdasarkan petunjuk-petunjuk khusus. Denganperangkat manajemen kontrak, praktek ini akan diubah – yakni dengan membuatkesepakatan tentang biaya dan apa yang harus dikerjakan.Yang dimaksud dengan manajemen kontrak adalah penyelenggaraan administrasimelalui kesepakatan-kesepakatan tentang tujuan yang hendak dicapai. Kesepakatanini mencakup mulai dari tujuan yang hendak diraih hingga pengawasan terhadapproses pencapaian tujuan tersebut. Landasan manajemen kontrak adalah kontrakatau perjanjian antara pihak-pihak yang membuat perjanjian. Siapakah pihak yangmembuat perjanjian ini? Pihak pertama adalah pemerintah (politik), dan pihaklainnya adalah pihak yang memberikan layanan atau pihak pelaksana. Dalamprakteknya, pemerintah – tergantung pada masing-masing konstitusinya, terdiri dariparlemen (untuk sistem parlementer) atau presiden bekerjasama dengan parlemen(untuk sistem presidensiil). Di tingkat daerah ada DPRD yang menjadi pemberi orderdan di lain pihak ada pemerintah daerah sebagai unit pelaksana. Seperti yang telahdiuraikan dalam sub bahasan tentang pembatasan tanggung jawab, petunjukpetunjuk

Page 65: tugas new publikMangement

strategis untuk mencapai tujuan ditentukan oleh parlemen (pusat ataudaerah) yang nantinya harus bertanggung jawab kepada warga, sementara di lainpihak unit pelaksana (administrasi: pemda atau pemkot) merupakan pihak pemberilayanan yang profesional – yang bertanggung jawab untuk menghasilkan kerja yangefisien. Asas manajemen kontrak juga bisa diterapkan dalam penyelenggaraanadministrasi. Pimpinan masing-masing bagian harus mendelegasikan tugas kerjakepada karyawan yang bertanggung jawab. Karyawan ini membuat kerja tertentudalam divisinya. Selain mendelegasikan tugas, pimpinan juga berbicara dengankaryawannya tentang hasil kerja, anggaran dan ruang gerak untuk bertindak.Apa yang dimaksud dengan manajemen kontrak di sini bukanlah kontrak atauperjanjian-perjanjian yang mengikat secara hukum seperti halnya dalam duniabisnis, tapi menyangkut kesepakatan tujuan yang bersifat mengikat tentang jangkawaktu yang telah ditetapkan. Kesepakatan ini mengandung tiga unsur penting.Dalam perjanjian ditetapkan produk serta kerja yang harus dilakukan berdasarkankuantitas dan kualitas (tujuan kerja) serta anggaran yang dibutuhkan (tujuankeuangan). Yang penting dalam kesepakatan ini adalah bahwa si pemberi ordermenjelaskan produk yang diinginkan, tapi tidak menentukan bagaimana proseskerjanya dilakukan. Ini berarti, bagaimana pihak pelaksana mengerjakan produkyang diinginkan sang pemberi order adalah urusan mereka sendiri, tapi tentu sajauntuk bisa menghasilkan produk yang diminta, si pelaksana harus memahamiobyek3 yang akan digarap.Instrumen perjanjian memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak. Pertamatama,pemberi order dapat leluasa merancang bagaimana ia merealisasikan tujuanpolitiknya dalam takaran yang terukur dan memberikan order sesuai dengan danayang ada. Sementara si pelaksana juga mendapat peluang menciptakan lapangankerja yang lebih menarik dan terjamin melalui kreativitas dan prakarsa sendiri.Unsur penting lain yang mendukung berfungsinya manajemen kontrak adalahadanya penerapan sistem laporan kerja (lihat sub bahasan controlling) yangmemberikan semua informasi mengenai pelaksanaan kepada pihak pemberi orderdan dengan demikian mendokumentasikan kemajuan kerja sedemikian rupasehingga pihak pemberi order setiap saat bisa berunding lagi dengan pihakpelaksana order.b. Penyerahan tanggung jawab di bidang sumber dayaManajemen kontrak bertujuan mengarahkan perhatian utama dan minat bagianbagiandi kantor administrasi pada hasil kerja mereka. Secara teknis ia berfungsisebagai berikut: pekerjaan yang harus dihasilkan oleh sebuah bagian ataudepartemen (produk) didefinisikan dengan jelas. Agar dapat melakukan pekerjaanini, departemen tersebut memperoleh anggaran yang disesuaikan dengan produkyang dipesan. Dari anggaran inilah dapartemen harus membiayai semua pekerjaanyang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tersebut. Apabila ada pekerjaan yangdilakukan oleh bagian (departemen) lain–karena misalnya–tidak ada cukup personildalam departemennya sendiri, maka pekerjaan itu secara prinsip harus dibayar.Anggaran yang telah ditetapkan untuk satu produk tidak bisa ditambah. Apabila ditengah-tengah tahun pelaksanaan anggaran dana yang diperlukan ternyata kurang,pihak pelaksana harus bisa memikirkan jalan keluarnya. Dana tambahan dapatdisetujui parlemen hanya apabila terjadi penambahan tugas yang relevan – yang

Page 66: tugas new publikMangement

tidak bisa direncanakan sebelumnya, dan apabila pihak departemen yangmengerjakan order telah mencoba semua kemungkinan untuk menutupi biaya yangkurang. Apakah departemen telah bekerja dengan baik atau tidak, hal itu diukur daritingkat keberhasilan memenuhi kesepakatan kerja yang telah dilakukan sebelumnya.Untuk bisa bekerja dengan baik, departemen membutuhkan ruang gerak yangmemadai. Departemen harus diberikan kebebasan untuk menentukan sendiribagaimana ia menyelesaikan kerja yang diberikan oleh pihak pemberi order. Olehkarena itu, kepada mereka (departemen) harus diserahkan tanggung jawab untukmengatur penggunaan sumber daya (dana, posisi, personalia, perangkat penunjang)sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Apabila aturan-aturan telah ditentukansebelumnya oleh pusat, departemen bisa mengelola sendiri sumber dayanyadan/atau menukarnya satu sama lain.Baru dengan adanya penyerahan tanggung jawab untuk mengurus sumber daya,departemen bisa mengembangkan tanggung jawab terhadap pelanggan dan pasar.Apabila – misalnya – dalam sebuah instansi masyarakat secara rutin harusmenunggu lama untuk mendapatkan pelayanan yang memang sudah menjadi hakmereka, maka si kepala instansi dapat mengatur sumber daya yang ada denganleluasa. Ini hanya mungkin terjadi manakala ada desentralisasi wewenang. Dengankata lain si kepala kantor bisa memutuskan sendiri bagaimana ia memaksimalkansumber daya mereka. Untuk kasus waktu tunggu yang lama itu misalnya, ia bisamengatur penempatan karyawannya secara fleksibel untuk mengantisipasibanyaknya jumlah warga yang hendak dilayani. Dengan cara ini si kepala instansibeserta jajarannya benar-benar melihat masyarakat yang menunggu sebagai“pelanggan” dan ia serta karyawannya berperan sebagai pelayan. Jika sudahdemikian kondisinya, baru ia mampu menangggung seluruh tanggung jawab untukmengelola departemen atau instansinya.Untuk bisa menghayati tanggung jawab mengatur sumber daya secara efisien, padaprinsipnya kepada departemen harus diserahkan tugas-tugas manajemen,pengendalian dan controlling seperti berikut ini:Organisasi dan penempatan personaliaPenyediaan informasi dan otomatisasiPerencanaan anggaran dan sumber dayaPengelolaan danaKalkulasi awal dan pasca layanan (produk)Kalkulasi biaya dan kerjaAnalisa pembiasan anggaran dengan mengacu pada ekonomi perusahaanPelaporanDepartemen yang mengerjakan order (proyek) harus melaporkan secara rutintentang pelaksanaan kerja dan menangani sendiri jika terjadi pembiasan anggaran(misalnya di pertengahan tahun anggaran ternyata dana dipastikan kurang). Dalamlaporannya, departemen hendaknya menyertakan perhitungan akhir mereka sendiri.c. Orientasi pada hasil kerja (output)Administrasi hanya dapat dikendalikan secara efisien apabila titik tolakpenyelenggaraannya berada pada hasil (output) kerja. Tapi sekarang ini tidakdemikian adanya. Sampai hari ini pengendalian administrasi publik secara umummasih dilakukan melalui input, artinya melalui penjatahan sumber daya secarasentral. Rancangan anggaran belanja mengatur berapa banyak uang yang bolehdikeluarkan oleh administrasi dan bagaimana mereka harus menggunakan uang itu.

Page 67: tugas new publikMangement

Tapi tidak ada bagian dalam keterangan anggaran itu yang menyatakan denganpasti kerja (produk) apa saja yang harus ia hasilkan dengan uang tersebut dan apayang benar-benar bisa diharapkan oleh pemerintah dari anggaran itu.Administrasi yang dikendalikan murni atas dasar penjatahan sumber daya (input)dari pusat ini tidak memiliki keleluasaan dalam merancang berbagai pelayanankepada masyarakat luas. Dan ini tidak bisa dibenarkan jika ditinjau dari sistemdemokrasi. Aparat administrasi (pemda/pemkot) yang tidak perlu membuktikansecara rutin apa yang akan ia lakukan secara konkrit dengan dana yang ia mintadari pemerintah, akan terus menerus membuat pengeluaran yang tak terkontrol danmenggunakan dana tanpa perhitungan. Suatu manajemen pemerintahan yangmenerima begitu saja – bahwa administrasi merumuskan sendiri tujuan-tujuan dankerja mereka, berarti tidak menggunakan substansi hak anggaran. Tidak adanyakaitan yang jelas antara pemberian dana (input) dan hasil kerja (output) merupakankekurangan dalam penataan administrasi dewasa ini – termasuk di negara-negara dimana birokrasi Weberian berjalan dengan baik – karena penyelenggaraanadministrasinya tidak ditujukan pada produksi kerja yang efisien. Kekurangan initidak bisa ditutupi meskipun dilakukan beberapa perbaikan dalam proses produksiadministrasi.Untuk bisa melahirkan hubungan antara input dan output harus ada basisnya, danbasis itu adalah produk kerja. Produk kerja ini merupakan rangkuman dari setiapaktivitas administrasi yang kemudian dibuat dalam sebuah katalog produk kerjaberdasarkan jumlah, kualitas dan biaya, serta berdasarkan kelompok sasaran danpermintaan pelanggan (warga). Jumlah produk yang dirangkum tidak boleh terlalurendah, karena akan membuat kemungkinan pengendalian menjadi hilang, tetapijuga tidak terlalu tinggi karena akan menimbulkan banjir informasi yang padagilirannya akan menyulitkan keputusan strategis.Setelah produk kerja dirumuskan dan beberapa produk kerja digabungkan menjadisekumpulan produk kerja, kemudian baru ditentukan unit-unit kerja sertaperlengkapan dana dan personilnya. Jadi, jika berangkat dari uraian ini, landasanperencanaannya pun jelas: “pelaksanaan kerja mengacu pada tujuan yang telahditetapkan oleh pemberi order (pemda atau pemkot), bukan sebaliknya”. Kalauditerjemahkan, ini berarti, tujuan-tujuan dari pemerintah (politik) tidak lagi mengacupada kesediaan dan kemampuan administrasi, melainkan administrasilah yangharus bekerja berdasarkan tugas-tugas strategis yang telah ditentukan oleh politik.Pengembangan informasi tentang dana dan produk kerja menjadi pedoman kerja.Dengan bantuan pedoman kerja atau garis-garis besar ini, adminsitrasi bisadikendalikan dengan lebih baik. Dan ini berarti hubungan antara kalkulasi dana danhasil kerja (output) telah tercipta. Dengan demikian tercipta pula transparansi biayayang pada gilirannya bisa dijadikan landasan dasar bagi tanggung jawab terhadapbiaya dan pengukuran kinerja di setiap departemen atau divisi. Syarat untuk ituadalah berfungsinya pengawasan (controlling) dan manajemen kontrak yangberorientasi pada hasil kerja (output).Satu masalah khusus pada proses pengendalian tata kerja administrasi yangberdasarkan pada output adalah masalah pengukuran output itu sendiri. Karenaselain mengukur jumlah produk kerja yang telah dicapai (kuantitatif), juga harusdilakukan pengukuran kualitas produk kerja (kualitatif). Di negara-negara yangadministrasinya tidak berorientasi pada pelayanan masyarakat, unsur kualitatif iniseringkali diabaikan – jika tidak mau dikatakan sama sekali tak ada. Karena itu

Page 68: tugas new publikMangement

penerapan upaya-upaya manajemen yang bertujuan meningkatkan mutu pelayanan– dalam kaitannya dengan kepuasan masyarakat – menjadi tantangan besar.d. ControllingControlling bisa diartikan sebagai satu konsep terpadu guna mengendalikanadministrasi secara efisien dan ekonomis – dalam rangka mencapai tujuan yangtelah ditetapkan oleh politik. Untuk bisa berfungsi seperti ini, controlling harusmenyediakan informasi yang dibutuhkan pada saat yang tepat. Pengadaan informasidisesuaikan dengan tingkat kebutuhan yang dimiliki manajemen politik ataupemerintah sebagai pihak perencana, dan administrasi sebagai pelaksana.Controlling mencakup semua fungsi yang bertujuan memperbaiki pengadaaninformasi pada instansi-instansi di tingkat atas. Controlling juga menangani fungsifungsitertentu , seperti mengenali kebutuhan akan informasi, pengadaan informasi,penyiapan dan penerapan praktis metode-metode analisa dan evaluasi, sertapersiapan pengolahan informasi untuk perencanaan dan pengawasan hasil.Oleh karena itu, Controlling lebih dari sekedar pengawasan. Ia merupakan upayamenyediakan informasi dengan tujuan mengendalikan sebuah proses.Controlling dibedakan atas controlling strategis (politik) dan controlling operasional(pelaksana, dalam hal ini administrasi), tergantung pada perspektif waktu, tingkatpemadatan informasi dan fungsinya bagi daerah.Controlling strategis merujuk pada tujuan dan perencanaan jangka panjang.Contohnya adalah model yang biasanya relatif abstrak, tetapi sangat penting bagikeseluruhan administrasi. Sebaliknya, controlling operasional diarahkan padaaktivitas sehari-hari dalam sebuah departemen atau divisi. Controlling ini sangatdetail dan nyata dan juga mengandung tujuan jangka pendek. Memang controllingini sangat penting bagi kinerja departemen, tapi biasanya tidak memiliki peransentral dalam pengendalian administrasi secara keseluruhan.i. Kalkulasi biaya dan produk kerjaControlling sebagai pendukung manajemen sangat tergantung pada kalkulasibiaya dan produk kerja. Dengan kalkulasi ini diharapkan biaya dan produkkerja bisa lebih transparan dan administrasi bisa mencari jalan alternatif yangekonomis dalam melakukan kerjanya.Sistem kalkulasi dalam administrasi publik yang diterapkan selama ini – kalaubenar-benar dilakukan secara serius dan tidak ditujukan untuk menutupipengeluaran – tidak menciptakan transparansi dalam penyusunan biaya yangdiperlukan untuk menghasilkan produk kerja. Paling jauh hanya dibuatkalkulasi pemasukan dan pemakaian uang. Kalau dibandingkan dengankalkulasi ini, kalkulasi biaya dan produk kerja jelas lebih detail dan adakejelasan menyangkut waktu (periode) pelaksanaan kerja, pekerjaan yangdilakukan serta hasil yang diraih. Faktor penting dalam penerapan sistemkalkulasi biaya adalah bahwa berbagai layanan kepada masyarakat umumdirumuskan sebagai produk – seperti halnya diuraikan dalam sub bahasanorientasi pada hasil kerja. Karena hanya dengan cara inilah biaya bisadikalkulasi sesuai produk yang dihasilkan (kalkulasi biaya produk kerja) dantidak lagi ditampilkan sebagai biaya secara umum. Yang termasuk kalkulasibiaya kerja adalah jenis biaya yang menunjukkan tipe biaya apa saja (biayapersonal, biaya barang, dls.) yang terpakai pada saat memproduksi kerja,kalkulasi biaya tempat, yakni biaya yang digunakan untuk keperluan tempat

Page 69: tugas new publikMangement

(bagian/divisi misalnya) dan kalkulasi biaya total, yakni kalkulasi yangmenghimpun berbagai biaya untuk suatu produk kerja – dan dengan demikianmenjadi dasar kalkulasi bagi harga pekerjaan yang dilakukan.Penerapan kalkulasi biaya kerja ini merupakan beban yang berat dalamadministrasi publik karena untuk itu dibutuhkan perombakan cara berpikir danhanya bisa diraih melalui proses belajar yang memerlukan waktu lama.Padahal instrument ini (kalkulasi biaya kerja) termasuk salah satu persyaratanterpenting dalam rangka meraih efisiensi dan membuat keputusan produksiyang tidak boros biaya. Di sini mungkin kalkulasi biaya administrasi bisamemainkan peran karena ia memberikan data tentang seberapa jauhproduksi yang hendak diraih serta membantu secara strategis pada saatmembuat keputusan tentang seberapa jauh produksi yang hendak dilakukandalam adminsitrasi publik dan bidang apa saja yang kiranya bisa diserahkanpada pihak swasta untuk dikerjakan, karena dengan cara ini, biaya menjadibisa ditekan.ii. LaporanUnsur dari semua konsep controlling adalah adanya laporan. Keleluasaanyang muncul karena adanya desentralisasi dan delegasi harus dihubungkandengan kewajiban membuat laporan bagi mereka yang menerimakeleluasaan tersebut dan yang harus melaporkan kepada si pemberi orderapa yang mereka lakukan dengan dana yang telah dipercayakan kepadamereka, dan apakah mereka benar-benar mencapai tujuan dan standar mutuyang telah ditetapkan sebelumnya. Instrumen pelaporan ini bertujuan untukmengolah informasi yang dibutuhkan manajemen sesuai dengan kebutuhan.Laporan ini umumnya berisi indeks dan sistem indeks. Data-data ini biasanyadisuplai melalui sistem kalkulasi biaya kerja. Karena itu diperlukan satupendukung sistem melalui penghitungan. Itu artinya, bersamaan denganlaporan juga dilakukan kalkulasi biaya kerja dalam administrasi.Dalam instrumen laporan ini, ada tiga tipe laporan yang berbeda:Pertama, apa yang disebut dengan laporan yang berorientasi padaproduk.Tipe laporan ini dikaitkan dengan orientasi pada hasil kerja (output), yaknilayanan jasa yang ditawarkan oleh administrasi publik yang dirumuskansebagai produk. Laporan-laporan yang berorientasi pada produkmendiskripsikan produk-produk tersebut dan sekaligus berfungsi sebagailandasan dasar bagi kalkulasi biaya produk. Jadi, laporan jenis ini merupakanjawaban atas pertanyaan: “Biaya apa saja yang diperlukan untukmenghasilkan produk yang hendak dicapai tersebut?” Target kualitas danjumlah apa saja yang telah direncanakan?” Di samping laporan-laporan inijuga dibuat laporan anggaran dengan pemanfaatan sepenuhnya anggarandan pengembangan setiap jenis biaya. Jenis laporan ketiga adalah laporanlaporanyang berhubungan dengan situasi tertentu – di mana dilaporkansecara rinci tentang perkembangan di bidang-bidang tertentu.iii. PenganggaranMetode perencanaan anggaran belanja yang diterapkan selama ini umumnyamenjadikan angka-angka pada tahun sebelumnya sebagai pertimbanganuntuk menentukan laporan dana baru mana yang akan diserahkan kantoratau departemen kepada administrasi keuangan pusat. Ini menyebabkan

Page 70: tugas new publikMangement

inovasi dalam pengelolaan dana tidak muncul dan produk yang dihasilkanpun tidak memadai karena tidak adanya fokus dalam penentuan sasaran.Penganggaran dalam konteks New Public Management berangkat darimetode arus balik. Di sini politik – atau pemerintah dalam hal ini –menetapkan semacam kerangka acuan bagi administrasi untuk menentukananggarannya. Patokan anggaran yang ditetapkan secara top-down inidiperbandingkan dengan anggaran departemen yang dibuat secara bottomup,dan akhirnya baru dirundingkan suatu anggaran yang akan ditetapkan.Anggaran ini selanjutnya akan terus dialokasikan dalam sebuah departemensehingga pada akhirnya setiap unit kerja mendapatkan anggaran untukmenyelesaikan pekerjaannya. Dengan anggaran ini, unit kerja bisa membuatperencanaan sendiri – bagaimana ia menyelesaikan sebuah pekerjaan.Karena proses ini selalau berjalan dalam koridor persaingan (lihatbenchmarking dan persaingan dengan pihak swasta), maka sasaran atautujuan unit kerja tersebut adalah membuat alokasi faktor sedemikian rupasehingga dengan jumlah dana yang diperoleh bisa diraih hasil maksimal, ataudengan sasaran yang telah ditetapkan, dana dan/atau sumber daya yangdigunakan hanya sedikit (minimax-system).e. Orientasi pada warga/pelangganIntisari New Public Management berbunyi: ”Segala sesuatu yang tidakbermanfaat bagi warga adalah pemborosan.” Kalimat ini mengungkapkan bahwaadministrasi bukanlah tujuan akhir, dan ia hanya punya satu tugas, yaknimemberikan layanan kepada rakyat yang memang berhak mendapatkannya. Dibeberapa negara pernah dikembangkan apa yang disebut “citizen charta” (piagamwarga) yang merangkum hak-hak apa saja yang dimiliki warga sebagai pembayarpajak kepada negara. Ini artinya, warga tidak lagi dilihat sebagai abdi, melainkansebagai pelanggan yang karena pajak yang dibayarkannya mempunyai hak ataslayanan dalam jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula.Jadi, negara dilihat sebagai suatu perusahaan jasa modern yang kadang-kadangbersaing dengan pihak swasta, tapi di lain pihak, dalam bidang-bidang tertentumemonopoli layanan jasa, namun dengan kewajiban memberikan layanan dankualitas maksimal sejalan dengan benchmarking dan administrasi-asministrasi publiklainnya.Sayangnya administrasi klasik lebih menganggap dirinya sebagai pembuat aturanyang bertugas mendisiplinkan warga dan layanan yang mereka tawarkan sangatsedikit – dan terutama sekali – mereka tidak diwajibkan untuk menciptakan mutulayanan yang baik. Selain itu, administrasi klasik tidak bersifat terbuka: iamenganggap warga yang ingin mewujudkan haknya sebagai faktor pengganggu. Disini pendekatan New Public Management menciptakan kriteria yang sama sekaliberbeda. Prinsip dalam New Public Management berbunyi: dekat dengan wargaatau pelanggan, memiliki mentalitas melayani dan luwes, inovatif dalam memberikanlayanan jasa kepada warga.Dengan demikian, tugas administrasi adalah menciptakan transparansi dantercapainya layanan, memberdayakan personil dalam melayani masyarakat, sertamenciptakan kondisi yang berorientasi pada pelayanan. Tujuan ini harus diraih

Page 71: tugas new publikMangement

antara lain dengan langkah-langkah berikut:Memberikan informasi yang komprehensif secara aktif kepada warga tentanglayanan jasa yang ditawarkan, sehinga warga bisa menilai layanan tersebut dan bisamemutuskan untuk menolak atau menerimanya.Membuat layanan bisa diraih secara mudah – baik dari segi waktu maupun tempat,yakni membuat tawaran yang desentral dan waktu buka layanan yang fleksibel.Memberikan pelatihan kepada personil (karyawan) administrasi publik sehinggamemiliki keterampilan ketika berhadapan dengan pelanggan.Memperbaiki kualitas hubungan dengan warga dan upaya-upaya marketing –misalnya dengan cara melakukan pengecekan terhadap kepuasan pelanggan danmenyesuaikan tawaran layanan pada permintaan warga sebagai pelanggan.Dalam pelaksanaannya, sangat penting dilakukan dialog dengan warga, sehinggatindakan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk itulangkah yang bisa diambil adalah melakukan semacam angket dan sarana yangsecara efisien mengatur keberatan-keberatan masyarakat sebagai pelanggan.Dengan cara ini, selain kualitas layanan dan citra administrasi, juga bisa diketahuikeinginan masyarakat atau masukan-masukan dari mereka.Akan tetapi, orientasi kepada pelanggan saja tidaklah cukup. Masyarakat sebagaipelanggan juga harus dibebaskan dari sikap yang terkadang terlalu tinggiharapannya kepada pemerintah, dan harus dijelaskan kepada mereka bahwa setiaplayanan ada harga yang harus dibayar. Dan bahkan harga ini harus selalu dibayar:oleh warga secara pribadi (biaya administrasi) atau oleh orang lain (pajak), atau olehgenerasi yang akan datang (hutang).Mengingat situasi keuangan yang ada di hampir semua administrasi publik, banyakdari mereka yang harus membuat keputusan untuk menghapus layanan-layananadministrasi dan menyerahkan layanan tersebut dikerjakan oleh pihak ketiga –karena layanan dari pemerintah tidak bisa lagi dibiayai. Hal ini hanya bisadidiskusikan dengan masyarakat – jika administrasi bisa menyebutkan hargalayanan dan membuktikan harga ini dengan melampirkan hasil kalkulasi biaya kerja.Administrasi publik yang dekat dengan warga juga berarti mewujudkan transparansitentang hal yang bisa dilakukan dan yang tak bisa dilakukan. Jika New PublicManagement diterapkan, pemerintah harus kembali pada fungsi dasarnya(keamanan dalam dan luar negeri, hubungan luar negeri, jaminan aturan hukum,infrastruktur makro, perlindungan konstitusi, dsb.), dan begitu pula dengan pemdaatau pemkot (jaminan penyediaan kebutuhan dasar, pembuangan sampah,pemanfaatan wilayah, perencanaan daerah, dsb.).4 Administrasi publik harus benarbenarkuat dalam bidang-bidang ini, dan harus membuat layanan yang dapatdipercaya.Layanan-layanan lain lebih banyak dikelola oleh pihak swasta – dan tentu saja harusdibayar kepada mereka atau dikelola sendiri oleh rukun warga (RW) atau rukuntetangga (RT). Jelaslah di sini bahwa orientasi kepada warga itu tidak hanya dilihatdalam hubungan antara si pemberi dan pengguna layanan, melainkan warga sendirimemiliki fungsi dalam membuat layanan untuk mereka sendiri.f. PersonaliaPersonalia merupakan faktor kunci bagi suksesnya sebuah proses modernisasi.Modernisasi administrasi publik hanya akan berhasil apabila potensi sumber dayamanusia dimanfaatkan secara maksimal, atau – jika ada kekurangan di bidang ini –

Page 72: tugas new publikMangement

memperbaiki sumber daya manusianya (human capital). Dalam proses modernisasipenting sekali melibatkan karyawan, karena tanpa itu hanya akan dicapaiketidakpastian dan seringkali sikap penolakan (boikot) yang merintangi pelaksanaanreformasi. Di sini harus ditentukan sedini mungkin tujuan-tujuan yang jelas untukmenyadarkan makna modernisasi kepada karyawan dan juga untuk menunjukkankeuntungan apa saja yang mereka miliki dengan adanya tujuan yang jelas tersebut.Untuk membentuk manajemen personalia yang sukses, harus diambil beberapalangkah berbeda. Langkah yang paling utama adalah upaya ofensif dalammeningkatkan kualifikasi karyawan. Langkah ini berupa pendidikan dan pelatihan –guna meningkatkan pengetahuan di bidang ekonomi perusahaan, manajemen dankomunikasi. Jadi, perlu dilakukan investasi terarah kepada peningkatan kompetensikeahlian dan sosial para karyawan. Langkah-langkah ini terutama sekali perludilakukan di negara-negara di mana proses menjadi karyawan dalam kantor publiktidak berdasarkan kualifikasi dan realibitas karyawan, melainkan melalui nepotismeatau cara-cara politis.Pertanyaan yang sering dilontarkan – yakni apakah New Public Management barubisa diterapkan apabila ada birokrasi seperti yang dimaksud Weber (birokrasiWeberian), mungkin bisa dijawab seperti ini: memang birokrasi seperti inimemudahkan implementasi New Public Management, tapi kita tidak harus bertitiktolak pada satu prasyarat. Karenaa birokrasi Weberian itu tidak mengenal prinsipefisiensi dan efektivitas dalam jawatan publik; padahal dua hal ini merupakan tujuanutama dari New Public Management.Hal yang penting dalam pendekatan ini adalah penerapan metode-metode daninstrumen-instrumen kerja yang menciptakan iklim di mana prinsip-prinsip NewPublic Management bisa tumbuh subur. Salah satu metode itu adalah teamworksebagai ganti dari metode pembagian kerja yang tumpang tindih; organisasi yangbersifat vertikal (sejajar) sebagai ganti model hirarki; manajemen proyek sebagaiganti prinsip pekerja khusus (Sachbearbeiterprinzip), keahlian yang bersifat umumsebagai ganti pengetahuan yang hanya menjurus pada satu bidang tertentu;kerangka acuan sasaran sebagai ganti pengendalian melalui aturan dan hal-halyang detail, jaringan pengolahan data (EDV) sebagai ganti pencatatan setiapaktivitas dan pembayaran upah berdasarkan prestasi kerja sebagai ganti prinsippenyediaan (Versorgungsprinzip). Prinsip-prinsip manajemen ini di banyak negaraberbenturan dengan bentuk kerja praktis – dan terutama sekali dengan undangundangkerja – dan dengan mentalitas para karyawan dalam jawatan publik yangmenganggap diri mereka memiliki semua keistimewaan sebagai pegawai negeri.g. Teknik informasiPrinsip-prinsip manajemen yang telah diuraikan di atas beserta seluruh bentukpengendalian membutuhkan suatu sistem informasi yang sempurna. Penggabunganinformasi dan komunikasi yang cepat, pemadatan data untuk pengendalian dankemungkinan mengakses kumpulan data guna memenuhi keinginan pelanggan.Semua itu membutuhkan jaringan alat pengolahan data sehingga pekerjaan bisadilakukan dengan cepat, dan, terutama sekali bisa dipercaya.Tanpa teknik informasi dan komunikasi yang menggunakan jaringan strukturklien/server, unit-unit yang bekerja secara desentral tidak bisa dikendalikan, dan

Page 73: tugas new publikMangement

tidak mungkin pula membuat pengolahan data klien yang memuaskan. Hanyadengan teknologi seperti ini varian one-stop-shop5 dalam berhubungan dengan klien(masyarakat) bisa terjamin. Karena bentuk ini memastikan karyawan bisamenggunakan pengetahuan administrasinya, dan melalui buku-buku panduanorganisasi digital dimungkinkan melakuan layanan jasa di bidang administrasi tanpaharus tergantung pada waktu dan tempat.h. Manajemen kualitasSetiap produk – termasuk pekerjaan yang mengiringi produk tersebut – memilikisejumlah ciri yang bisa dibedakan. Pada awalnya kualitas adalah sekumpulankarakter sebuah barang atau jasa yang menunjukkan tingkat keterpakaiannya(“pendekatan kualitas yang berorientasi pada produk”).Tapi kemudian dipastikan bahwa ada produk yang menunjukkan semua karakteryang direncanakan, namun tidak diminati pembeli. Jadi, ternyata, masalahnya bukanterletak pada karakter barang, melainkan bagaimana pelanggan menilai kualitasproduk tersebut. Kriteria-kriteria berikut sangat menentukan penilaian (subyektif)pelanggan:Produk harus sesuai dengan tuntutan dan tujuan penggunaan yang direncanakan.Di samping itu kualitasnya harus sangat tinggi sehingga ia menjadi pertimbangan sipelanggan dalam memutuskan untuk membeli produk tersebut atau tidak. (penilaiankualitas secara selektif).Harga dan kapasitas produk harus tidak jauh berbeda dari produk yang dijadikanperbandingan oleh pelanggan (penilaian kualitas secara relatif).Makin dekat produk yang ditawarkan dengan tuntutan-tuntutan ini makin besar pulakemungkinan munculnya permintaan pelanggan akan produk tersebut (“pendekatankualitas yang berorientasi pada pelanggan”). Sayangnya tuntutan pelanggan akankualitas produk jarang sekali ditentukan secara jelas. Ini berarti pihak penawarproduk harus mengenali harapan-harapan pelanggan – yang sering tak dinyatakantersebut – dengan cara mengambil tindakan yang sesuai, dan kemudian menarikkesimpulan yang benar serta membuat pengamatan secara terus menerus.Pendekatan kualitas yang ketiga (“pendekatan kualitas yang berorientasi pada nilai”)tampaknya penting bagi administrasi publik, khususnya pada kasus-kasus di manaia tidak harus bersaing dengan pihak swasta dan bisa menawarkan layanan – yangkarena alasan politik tidak dipungut biaya (contohnya pengendalian lalu lintas,sekolah). Di sini adminsitrasi publik tidak bisa semata-mata mengikuti cara pandangpelanggan. Karena pelayanan yang seperti ini harus melewati proses saringandalam produksinya, yakni menyangkut biaya pengadaan dan sasaran yang hendakdicapai pemerintah (outcome). Dalam New Public Management, persaingan danperbandingan layanan berfungsi sebagai asas dasar peningkatan nilai.Sejalan dengan sejarah, filosofi dan organisasi kebijakan perusahaan yangdiarahkan pada kepuasan klien secara optimal telah pula berubah. Perkembanganperubahan organisasi yang berlangsung dalam tiga tahap ini bisa dilukiskan sebagaiberikut:Konsep “manajemen mutu” lama menekankan pada pengawasan akhir dari produkyang dihasilkan. Pengujian dilakukan oleh bagian tersendiri, yakni bagian“pengawasan mutu”. Apabila terjadi penyimpangan mutu, hal ini diatasi dengansegera (menyortir produk yang tidak sempurna, menambah yang kurang), ataudilayani kemudian, yakni pada pelayanan purnajual (layanan garansi). Sebenarnya

Page 74: tugas new publikMangement

produk-produk perusahaan Jepanglah yang telah menyebabkan terjadinyaperubahan orientasi pada pengamatan mutu yang berorientasi pada proses.Tujuannya adalah untuk mengganti proses pengujian yang banyak memakan biayadengan realisasi level kualitas yang dikehendaki selama proses produksi layanan.Agenda di balik ini adalah bahwa setiap karyawan punya andil dalam menentukankualitas – dan karenanya ikut memikul tanggung jawab. Konsep-konsep terbaru jugamempertimbangkan seluruh sistem – dan dengan demikian seluruh potensi sebuahorganisasi. Dimensi potensi ini mencakup syarat-syarat layanan menyangkutbarang, personil dan organisasi dari seorang penawar. Selain itu hasil kerja daripihak lain juga ikut dipertimbangkan. Faktor lain yang ikut pula diperhatikan adalahmeningkatnya pernyataan-pernyataan tentang dampak kerja administrasi (efektifitas,outcome).Jadi fokusnya telah mengalami perubahan, bukan lagi pada upaya menghilangkankesalahan melainkan menghindari kesalahan. Dalam literatur, fenomena ini dibahasdengan tajuk quality management atau total quality management.Manajemen mutu berarti: administrasi melakukan segala sesuatunya dalam rangkamengorganisasikan proses-proses produksi, standar dan sumber daya bersamapara staf manajemen dan karyawannya. Tujuan pengorganisasian ini adalah agaradministrasi merespon kebutuhan-kebutuhan warga/klien yang masih legitim selamaproses produksi kerja/layanan. Perkembangan ini belum tertanam dalam pikiranpara karyawan. Tampaknya kualitas masih saja diputuskan pada produk, bukanpada kebutuhan pelanggan.- Kriteria dan standar untuk pengukuran kualitas:Kriteria apa saja yang diperlukan untuk mengukur kualitas dalam administrasi publik,dan standar apa saja yang harus dicapai melalui kriteria tersebut?Kriteria: Tidak kehilangan waktuStandar: waktu tunggu maksimalPemberitahuan antara dalam x hariWaktu tunggu maksimal di teleponLama proses maksimal dalam hariKriteria: Reliabilitas layananStandar: Kuota kesalahan yang boleh muncul x %Pencapaian andil x % dari kelompok sasaranKriteria: Ketepatan informasiStandar: Instruksi di atas kertasTawaran konsultasi, hearingKriteria: Kemungkinan memilihStandar: pilihan antara komunikasi personal, per telepon dan tertulisSistem penerangan teknisTawaran bantuan pada saat pemohonanKriteria: Lingkungan yang positifStandar: Ruang tunggu dan tempat duduk untuk x %Jarak yang maksimal dari lalu lintas umumTempat parkir untuk setiap pengunjung dari luarJarak maksimal (antara tempat tinggal warga dengan kantor terdekat)Kriteria: Karyawan yang ramah, suka membantuStandar: Setidaknya pernah ditatar cara-cara berinteraksi dengan wargaSaling membantu jika dibutuhkan

Page 75: tugas new publikMangement

Menyapa klien dengan namaKriteria: Kenyamanan pelayananStandar: Waktu bukaBersedia menelpon kembaliTawaran konsultasiKriteria: Membuat layanan yang kompetenStandar: Memiliki karyawan yang cukupPunya akses ke atasanTawaran pelatihan (pendidikan lanjutan) dan manfaatnyaMeminta alasan untuk keputusan yang diambil4. Pengaktifan struktur baruReformasi administrasi tidak berhenti pada upaya perubahan struktur ataupenciptaaan struktur baru. Struktur yang telah diubah atau struktur baru yang telahdiciptakan itu harus diaktifkan, dan untuk itu harus ditemukan motor penggeraknyayang memotivasi karyawan untuk membuktikan produktivitas kerja dan kemampuaninovasi mereka dan untuk bertugas di administrasi publik. Penerapan instrumeninstrumenekonomi perusahaan dalam administrasi publik tidak cukup untukmenjamin efisiensi dan efektifitas yang lebih tinggi. Tekanan untuk menciptakanefisiensi hanya bisa muncul bila sistem persaingan yang diterapkan berjalan denganbaik. Persaingan ini menghasilkan kemungkinan perbandingan antara yangbertanggung jawab pada produk dan anggaran – yang dampaknya adalah tekanankepada pihak penawar layanan untuk selalu mengoptimalkan kerjanya.Seringkali masalah yang timbul pada implementasi persaingan di bidangadministrasi publik adalah tidak adanya pasar bagi produk yang mereka tawarkan;terlebih administrasi publik seringkali memonopoli layanan. Ditambah lagikeberadaan administrasi tidak terancam secara langsung – walaupun ada pasaruntuk produk-produknya, kecuali jika politisi yang berkuasa cukup radikal menarikadministrasi publiknya sendiri dari pasar jika ia tidak bertahan di sana. Denganmenerapkan model-model persaingan, diharapkan tercipta kondisi yang sedikitbanyak memiliki karakter kompetisi, misalnya melalui perbandingan intraadministratifmenyangkut kinerja dan perbandingan dengan perusahaan swasta.a. Penerapan asas persaingani. BenchmarkingBenchmarking muncul pertama kali dalam ekonomi industri. Gagasan yangmendasarinya adalah memiliki standar untuk kualitas hasil kerja sendiri.Yang menjadi alat ukur adalah biaya dan kinerja perusahaan atau divisilain dengan aktivitas serupa. Di samping informasi tentang kualitaspekerjaan sendiri, perbandingan kinerja juga memberikan peluang untukbelajar. Dalam melakukan perbandingan ini penting sekali melakukananalisa terhadap aktivitas penawar yang lain. Apa yang berbeda padaproduk mereka? Apa yang dapat kita pelajari dari hal itu?Instrumen benchmarking sudah diterapkan sejak bertahun-tahun dalamperusahaan swasta. Karena itu wajarlah kalau muncul pertanyaan apakahinstrumen ini bisa digunakan juga dalam administrasi publik. Pertanyaan iniperlu disambut karena banyak layanan sama yang dihasilkan administrasi.Bahkan pelaksanaan benchmarking dalam administrasi publik adakeuntungannya karena di satu sisi tidak ada tekanan untuk bersaing dan

Page 76: tugas new publikMangement

karenanya pemerintah daerah sampai tingkat terkecilnya (kelurahan) bisamenginformasikan jauh lebih terbuka tentang metode produksi dan biayamereka. Tapi di sisi lain, tidak adanya kalkulasi biaya di banyakadministrasi membuat lebih sulit mendapatkan data-data yang benar-benarkomparatif. Pada prinsipnya ada tiga langkah yang harus ditempuh untukmelakukan benchmarking:1. Definisi layanan dan biaya yang hendak diperbandingkan2. Pencatatan data-data yang diperbandingkan3. Perbandingan hasil-hasil dan interpretasinyaKesulitan pertama muncul di saat mendefinisikan layanan dan biaya yanghendak diperbandingkan. Tidak setiap administrasi (pemda/pemkot)menawarkan layanan yang sama meskipun nama produk atau layanannyasama. Pada layanan pembersihan jalan misalnya, kinerja yang hendakdiperbandingkan harus dibatasi dengan pasti. Di sini – misalnya – perlu diujiapakah layanan pembersihan juga mencakup pemeliharaan elemen-elemendekorasi – seperti pohon-pohon dan semak-semak, atau apakahpengosongan tong sampah termasuk di dalamnya atau tidak. Selain itu,indikator-indikator untuk kondisi umum yang penting harus ikut diperhatikanjuga. Pembersihan jalan sepanjang satu kilometer di sebuah kampung yangterletak di gunung tidak sama dengan pembersihan jalan di kampung didaerah datar.Biaya pencatatan data-data untuk perbandingan tergantung padamanajemen administrasi. Apabila administrasi sebelumnya sudah pernahbekerja dengan elemen-elemen kalkulasi biaya, maka keterangan yangdiperlukan umumnya sudah ada. Administrasi yang sebelumnya tidakmelakukan itu akan membutuhkan biaya tambahan untuk mencari datadatatersebut. Ketika melakukan perbandingan hasil – bagian terpentingdalam benchmarking – bisa dibandingkan nomor indeks. Untuk layananpembersihan jalan misalnya, indeksnya adalah biaya total pembersihanjalan per kilometer atau biaya total per kilometer dalam seluruh jaringanjalan. Hasilnya kemudian bisa dijadikan patokan untuk memposisikan desakita dalam perbandingan dengan desa lain.Akan tetapi, perbandingan kinerja bukan bertujuan untuk membuatsemacam daftar ranking. Yang lebih penting adalah belajar bagaimanadesa lain membuat layanan serupa – yang dapat diproduksi dengan biayayang lebih rendah. Menurut berbagai pengalaman, hasil-hasilbenchmarking harus didiskusikan secara intensif agar kondisi umum(topografi, tuntutan akan mutu, alat-alat mesin yang ada) bisadinterpretasikan dengan benar. Perbandingan kinerja antara berbagaiadministrasi merupakan instrumen yang ideal untuk mengoptimalkandampak dari aktivitas pemerintah.ii. Persaingan dengan pihak swastaIlmu ekonomi terus membuktikan bahwa persaingan mendorongpeningkatan kinerja, tapi tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa industriswasta lebih produktif dari administrasi publik. Namun, banyak politisiberasumsi bahwa kinerja industri swasta lebih unggul. Lalu seringkalimereka menganggap privatisasi sebagai cara yang teruji khasiatnya dalamrangka mengatasi masalah dalam administrasi publik. Tapi asumsi ini tidak

Page 77: tugas new publikMangement

tepat apabila monopoli pemerintah selama ini diubah menjadi monopoliswasta. Karena itu istilah privatisasi tidak tepat digunakan di sini.Sebenarnya yang harus dibicarakan adalah menciptakan persaingan(pihak pemerintah membuat tender umum untuk suatu layanan, misalnyapenyediaan air bersih). Apabila persaingan seperti ini diciptakan, makatidak penting lagi apakah administrasi menjadi bagian dari persaingan atautidak, selama tidak ada subsidi untuk mengaktifkan persaingan tersebut.Untuk menjawab pertanyaan apakah perusahaan swasta bisamenawarkan jasa yang lebih murah, bisa digunakan metode tender untukaktivitas administrasi publik. Tujuannya adalah untuk mencari penawaryang kompeten – yang bisa menghasilkan layanan jasa yang selama inidikerjakan administrasi pemerintah dalam bentuk dan waktu yangdiinginkan, dengan biaya serendah mungkin. Mitra seperti ini juga bisaberasal dari dalam organisasi pemerintah sendiri, artinya dari satu unitorganisasi (divisi). Jadi, masalah yang dijawab di sini adalah masalah“make or buy”.Pemberi jasa publik tidak perlu khawatir terhadap persaingan seperti ini. DiInggris misalnya, metode tender umum untuk sebagian besar layananpublik merupakan suatu kewajiban yang diatur UU. Di sana 80% darisemua tender dimenangi oleh penawar dari pemerintah.Apabila tender ini berakhir dengan pemberian order kepada pemberi jasadari luar, maka ini disebut contracting out. Pemberian tender ini dilakukandalam bentuk perjanjian antara pihak pemerintah dan perusahaan jasayang di dalamnya mencantumkan kerja yang hendak dicapai denganukuran kerja yang jelas. Pihak penawar secara langsung menyuplainyakepada klien (warga). Namun, tanggung jawab secara keseluruhan danpengawasan mutu tetap berada di tangan administrasi publik ataupemerintah. Dengan dikerjakannya order oleh pihak swasta, berarti bebanpemerintah berkurang, tapi di lain pihak muncul pekerjaan tambahan,yakni dalam hal mengendalikan layanan tersebut secara keseluruhan.Bentuk lain dari praktek pemberian pelayanan kepada publik bisa terlihatsebagai berikut: administrasi publik atau pemerintah tetap menjadi pihakyang memberikan layanan, tetapi beberapa bagian dari pekerjaan untuklayanan yang akan ditawarkan (misalnya penyedian air bersih) ditanganipihak swasta (tanggung jawab untuk perlegkapan); atau melibatkan pihakswasta dalam pengadaan modal dan tempat produksi (Public PrivatePartnership).Meskipun pelibatan pihak swasta – yang berarti terciptanya persaingan –ada risikonya, tapi pengalaman-pengalaman internasional menunjukkanbahwa perluasan persaingan secara wajar melalui tender terbuka sebagaiinstrumen pengendalian – mungkin menjadi langkah terpenting dalamrangka meningkatkan orientasi pada warga dan penghematan anggaran.5. Realisasi tindakan dan implementasiNew Public Management tidak memiliki teori yang menyeluruh dan umumnyadidasari pada pengalaman-pengalaman empirik hasil eksperimen yang bertujuanmembuat administrasi publik menjadi lebih baik dan lebih efisien. Tujuan ini bukanditunjang pada keyakinan bahwa pemerintah (administrasi publik) akan bekerja lebihbaik dan lebih cepat, tetapi karena kekurangan dana: jadi bekerja secara efisien dan

Page 78: tugas new publikMangement

lebih baik adalah keniscayaan bagi administrasi publik.Tidak ada buku pedoman untuk penerapan New Public Management yang menjaminkesuksesan jika ia direalisasikan secara konsisten. Berhasil atau tidaknya NewPublic Management akan sangat tergantung pada kehendak politik dari semua yangterlibat. Itu syarat pertama. Jika syarat ini terpenuhi, harus dibuat analisa khususterhadap situasi, dan dalam analisa inilah ditaksir kelebihan dan kekurangan sertarisiko-risiko yang mungkin timbul – di saat dilakukan perombakan ke arahadministrasi publik yang modern, atau risiko-risiko yang memang sudah ada.Ini merupakan situasi klasik yang menjadi titik tolak untuk mengembangkan strategi.Tanpa strategi seperti ini, implementasi biasanya tidak akan berhasil, dan akanmandek di tengah jalan. Lalu, hasilnya pun akan lebih buruk dari kondisi yangpernah ada sebelumnya.Di lain pihak, ketidakpuasan warga terhadap efisiensi administrasi ataupenyelenggaraan pemerintahan dan tuntutan dari pihak donatur internasional sertamitra memaksa penyelenggara pemerintah mengkaji tema “Good Governance” kesatu arah yang mendorong terciptanya peningkatan dan perbaikan kinerja – yangpada gilirannya menghalangi terjadinya penyalahgunaan dana dan mengakhiripemborosan dana. Dengan penerapan New Public Management, praktek-praktekseperti korupsi dan nepotisme pasti bisa ditemukan dan dihentikan sejak dini. Padasaat yang sama, melalui pembatasan tanggung jawab yang jelas, mereka yangmelakukan kesalahan bisa diminta pertanggungjawabannya. Dengan demikian, NewPublic Management sangat perlu diterapkan – meski itu menuntut pekerjaan yangtak ringan.Daftar bacaanAberbach, Joel y Rockman, Bert (1999) “Reinventar el Gobierno:Problemas yPerspectivas” En: Gestión y Análisis de Politicas Públicas, No.15, INAP,Madrid Mayo/AgostoAllen, R. (1999) “New Public Management:’ Pitfalls for Centrals and EasternEurope.” Public Management Forum 1(4).Aucoin, Peter (1996). “Operational Agencies: From Half-Hearted Efforts to Full-Fledged Government Reform.” Choices: Institute for Research on Public Policy,2(4).Batley, R. 1999. The Pole of Government in Adjusting Economies:An Overview of Findings, International Development Department,University of Birmingham, Birmingham, Alabama.Boston, J. 2000. “The Challenge of Evaluating Systemic Change:The Case of Public Management Reform.” Paper prepared for theIPMN Conference “Learning from Experiences with New PublicManagement,” Macquarie Graduate School of Management, March4-6, Sydney.Castaneda, T. 1997. “Health Sector Reforms in Chile:Deconcentration of Hospital Services and Decentralization ofPrimary Health Care.” Paper prepared for HDD, World Bank.CLAD (1998) “Una Nueva gestión pública para América Latina”,Caracas: CLADDunleavy, P., and C. Hood 1994. “From Old Public Administration toNew Public Management.” Public Money and Management (July –Sept.): 9-16.

Page 79: tugas new publikMangement

Echebarria, Koldo (1994) “La administración pública en la era del management”En: Barcelona Management Review. Barcelona Vol.1(2000) “Reivindicación de la reforma administrative: significado y modelosconceptuales”. En: Revista de CLAD Reforma y democracia. Cracas No. 18.Flynn, N. and S. Pickard. 1996. Markets and Networks: ContractingIn Communitz Health Services. Buckingham, DK: Open University Press.Harding, A. and A. Preker, eds. 1999. Innovations in Health ServiceDelivery: Corporatization in the Hospital Sector. New York: OxfordUniversity Press.Hood, C. 1991. “ A Public Management for All Seasons?” PublicAdministration, 69 (Spring): 3-19.James, O. and N. Manning. 1996. “Public Management Reform: AGlobal Perspecitve.” Politics 16(3): 143-149.Kelly, J. and J. Wanna. 2000. “ Are Wildavsky’s Guardians andSpenders Still Relevant? NPM and Budgetarz Politics.” In: L. Jones,J. Guthrie and P. Steane, eds., Learning from International PublicManagement Reform. London: Elsevier-Oxford Press.Laufer, Romain y Alain Burlaud (1989).Dirección pública : gestión y legitimidad.Madrid: Instituto Nacional de Administración Pública.Kernaghan, K. 2000. “The Post-Buereaucratic Organization and Public ServiceValues.” International Review of Administrative Sciences 66(1): 91-104.Manning,N., R. Mukherjee, et al. 2000. “Public Officials and Their InstitutionalEnvironment: An Analytical Model for Assessing the Impact of Institutional ChangeOn Public Sector Performance.” Policy Research Working Paper No. 2427. WorldBank, Washington, D.C.Miller, P. 1996. “Dilemmas of Accountability: The Limits of Accounting.” In P.HirstAnd S.Khilnani, Eds., Reinventing Democracy. Oxford: Blackwell.Minogue, M. 1998. “Changing the State: Concepts and Practice in the Reform of thePublic Sector.” In C.Polidano, M.Minogue and D.Hulme, eds., Beyond the NewPublic Management: Changing Ideas and Practices in Governance. Cheltenham,UK: Edward Elgar.Mintzberg, Henry (1996) “Managing Government, Governing Management”.In: Havard Business Review. Boston.Peters, B. G. 1998. “Governance without Government: Rethinking PublicAdminstration.” Journal of Public Administration Research and Theory, 8(2):223-243.Peters, B.G. 1996. The Future of Governing: four Emerging Models.Lawrence, KS: University of Kansas Press.Peters, B.G. and D. Savoie. 1994. “Civil Service Reform: Misdiagnosing the Patient.”Public Administration Review, 54(5).Polidano, C. 1999. “The New Public Management in Developing Countries.” InstituteFor Development Policy and Mangagment, University of Manchester, Manchester.Pollitt, C. 1993. Managerialism and the Public Services. Oxford: Blackwell.Pollitt, C., J. Birchall, et all. 1998. Decentralising Public Service Management.Hampshire, UK: MacMillan.Romzek, B.S. 2000. “Dynamics of Public Sector Accountability in an era of Reform.”International Review of Administrative Sceinces, 66 (1): 21-44.Schick, A. 1996. The Spirit of Reform: Managing the New Zealand State Sector in a

Page 80: tugas new publikMangement

Time of Change. Wellington, New Zealand: State Services Commission.Schwartz, Herman (1994) Public Choices Theory and Public Choices. BureaucratsAnd State Reorganisation in Australia, Denmark, New Zealand and Sweden in the1980s”. In: Administration and Society, Newbury Park. Vol. 26, No.1.Scott, Graham and Taylor, Irene. 2000. “Autonomous Public Organisations inThailand”. Victoria Link mimeo. Wellington, New Zealand.1 CLAD’s DOCUMENT: A New Puclic Management for Latin America, (1998), LatinAmerican Centre for Development Administration:http://unpan1.un.org/introdoc/groups/public/document/clad/unpan000163.pdf2 Studi komparatif tentang penerapan New Public Management: Norman Flynn dan FranzStrehl (1996), Public Sector Management in Europe, Prentice Hall, London; Kettl, Donald(1998), A revulacao global: reforma da administracao do sector público”, dalam: Reformado Estado Administracao Pública Gerencial, Fundacao Getúlio Vargas, Rio de Janeiro;Allen R. (1999) ”New Public Management: Pitfalls for Central ans Eastern Europe.”Public Management Forum 1 (4); Batley, R. (1999) “The Role of Government in AdjustingEconomies: An Overview of Findings.” International Development Department, Universityof Birmingham, Birmingham, Alabama;3 Lihat juga bab tentang prasyarat untuk implementasi New Public Management dantuntutan birokrasi anjuran Weber.4 Tendensi konsentrasi atas wewenang dasar ini dilukiskan sebagai penciptaan Lean State5 One-Stop-Shop: sarana administrasi yang bertujuan untuk melayani secara menyeluruhwarga yang hendak menyelesaikan urusan administrasi dengan satu karyawan dan di satukantor. Ini artinya, orang yang bersangkutan tidak perlu lagi pergi ke kantor yang berbedabedauntuk menyelesaikan urusannya, misalnya untuk izin kendaraan bermotor,pembayaran biaya tertentu dan tuntutan akan layanan jasa sosial. Semuanya diurus di satutempat (kantor) oleh seorang karyawan.

REVITALISASI ADMINISTRASI PUBLIK DALAMMEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTANProf. Ginandjar KartasasmitaDisampaikan pada acara Wisuda Ke 44Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi NegaraJakarta, 3 November 2007

Page 81: tugas new publikMangement

REVITALISASI ADMINISTRASI PUBLIK DALAMMEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTANProf. Ginandjar KartasasmitaPendahuluanPembangunan berkelanjutan tampil sebagai konsep atau pendekatanbaru, sebagai koreksi atas kebijakan-kebijakan atau strategi pembangunanyang dianut pasca Perang Dunia ke II sampai dasawarsa 1980-an yang dinilaigagal mencapai tujuan, yaitu menciptakan kesejahteraan rakyat bagimasyarakat masa kini maupun umat manusia di masa yang akan datang.Konsep ini dilahirkan oleh bangkitnya kesadaran bahwa pembangunanekonomi telah melampaui daya dukung lingkungan alam, sehinggakeberlanjutan upaya membangun kesejahteraan bahkan kelangsungankehidupan umat manusia di atas bumi ini dipertanyakan.Bulan Desember yang akan datang, Indonesia akan menjadi tuan rumahdari konferensi dunia yang akan membahas mengenai masalah perubahaniklim yang disebabkan oleh pola kehidupan dan kezaliman yang dilakukan olehmanusia terhadap alam dan lingkungannya.Namun apabila kita berbicara mengenai “lingkungan” dalam konseppembangunan yang berkelanjutan, pengertiannya bukan hanya terbatas padalingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial–ekonomi. Ada keterkaitan yangerat dan pengaruh timbal balik antara keduanya. Oleh karena itu, maka dalampaham pembangunan yang ingin dikembangkan, pembangunan tidak bolehhanya mengejar pertumbuhan, meskipun pertumbuhan itu penting dan tidakdapat tidak harus ada untuk mengatasi penangguran dan kemiskinan. Tetapi,bagaimana pertumbuhan itu dihasilkan dan bagaimanapendistribusiannya, tidak kalah pentingnya dari pertumbuhan itusendiri.1Bagaimana pembangunan berkelanjutan itu dijalankan, menjadi tugasdari administrasi publik. Administrasi publik selama ini cenderung masihberorientasi pada konsep-konsep pembangunan lama, sehingga untuk

Page 82: tugas new publikMangement

menghadapi tantangan-tantangan baru perlu penyegaran dan pembaharuanatau singkatnya revitalisasi.Bukankah Undang-undang Dasar kita sendiri mengingatkan bahwa ”yangsangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialahsemangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpinpemerintahan”? Apabila peran penyelenggara negara (untuk sementara kitakaitkan dengan administrasi publik) demikian pentingnya, maka amat pentingpula mengadakan revitalisasi administrasi publik dalam mewujudkanpembangunan yang berkesinambungan.Dengan pengertian itu, kita akan membahas berbagai pokok pikirantentang pembangunan berkelanjutan dan peran administrasi publik dalamupaya mewujudkannya.Pembangunan BerkelanjutanKesinambungan lingkungan alamPembangunan berkelanjutan ( sustainable development) merupakanpendekatan proses “ socio-ecological ”, artinya suatu proses pembangunanyang bercirikan pemenuhan kebutuhan umat manusia seraya memperhatikandan memelihara kualitas lingkungan hidup. Paradigma pembangunanberkelanjutan muncul pertama kali pada tahun 1980 ketika the Union for theConservation of Nature, menerbitkan strategi pelestarian dunia dengan judul” The World Conservation Strategy”. Dalam laporan itulah untuk pertamakalinya tampil istilah ” sustainable development”. Selanjutnya konsep tersebutmenjadi istilah yang dipakai diseluruh dunia, terutama setelah diterbitkannyalaporan dari the World Commission on Environment and Development (UN,1987) , yang dibentuk oleh PBB. Menurut komisi ini yang dikenal juga sebagaiKomisi Brundtland, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai:“Development that meets the needs of the present withoutcompromising the ability of future generations to meet their own needs”

Page 83: tugas new publikMangement

2Keadaan dikatakan tidak berkelanjutan manakala ” natural capital ”, atausumber daya alam yang ada, dimanfaatkan atau bahkan dirusak dengankecepatan yang sangat besar dibandingkan dengan kecepatan pemulihannya.Kerusakan karena keserakahan manusia tidak hanya dirasakan olehmasyarakat setempat, tetapi akan mengancam kehidupan umat manusiasecara global, dan yang lebih fatal lagi adalah dampaknya bagi kehidupanmanusia di masa yang akan datang.Pengurasan kawasan hutan, terutama hutan tropis seperti yang ada diIndonesia, bersamaan dengan meningkatnya emisi CO2 oleh industri, alattransport dan rumah tangga telah membuat terjadinya peningkatan suhudipermukaan bumi ( global warming) dan perubahan iklim ( climate change).Kerusakan ekosistem juga menyebabkan bencana yang kronis di tanah airkita, seperti banjir dan tanah longsor pada musim hujan, dan kekeringan yangmenyebabkan kebakaran hutan dan rusaknya tanaman pada musim kemarau.Kebutuhan industri dan pemukiman telah mengurangi areal hutan dan sawahserta membuat kering sungai-sungai dan danau-danau. Situ-situ di Jawa Baratmisalnya, yang bukan hanya membuat provinsi itu subur tetapi juga telahmenjadi sumber budaya serta inspirasi di tatar Sunda, kebanyakan telahkering dan berubah fungsi.Pola pembangunan seperti ini jelas tidak bisa berlanjut. Kalaupun adapertumbuhan atau peningkatan kesejahteraan yang dihasilkannya, tidakoptimal dan tidak berkelanjutan. Bahkan yang terjadi bukan kemajuan tetapikemunduran dalam taraf hidup dan peradaban manakala daya dukung alamtelah sungguh-sungguh menjadi defisit dan dunia telah tidak dapat lagimenunjang kehidupan dan kebutuhan manusia. Dengan demikian polapembangunan serupa itu tidak adil, karena hanya dinikmati sesaat

Page 84: tugas new publikMangement

olehgenerasi sekarang tetapi menimbulkan bencana bagi generasi mendatang.Pola pembangunan berkelanjutan yang harus dikembangkan, adalahyang akan menjamin biaya sosial yang rendah, menjamin manfaat yangmaksimal dan berkelanjutan, serta menjamin estafet pembangunan, secaraterus menerus. Ada dua persyaratan yang secara umum harus diperhatikan,yaitu (1) kesesuaian sosial budaya dan sosial ekonomi, dan (2) kesesuaianekologi-alam.3Pembangunan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya dan sosialekonomi masyarakat sekitarnya akan memberi manfaat yang maksimal bagimasyarakat, dan dengan demikian masyarakat akan mampu memeliharanya.Pola pembangunan yang sesuai dengan kondisi ekologis akan mengikutikecenderungan siklus alamiah dan akan mendapat hambatan minimum secaraalamiah, sehingga mudah dan murah memeliharanya serta dapat meningkatkankemampuan ekosistem untuk mengadopsinya sebagai bagian yangtidak terpisahkan. Pengalaman memberikan pelajaran bahwa sesungguhnyaekosistem itu mampu memelihara dirinya sendiri asal tidak dirusak olehmanusia sendiri.Pembangunan Yang Berkelanjutan = Pembangunan Yang BerkeadilanPembangunan nasional yang dinilai berhasil pada hakikatnya adalahyang dilakukan oleh dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dalam upayamencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan danpada gilirannya dapat dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Tuntutan inisesungguhnya bertepatan atau sesuai dengan konsep pembangunan yangberkesinambungan ( sustainable development). Suatu pembangunan dapatberkesinambungan apabila dilaksanakan oleh dan hasilnya dirasakan

Page 85: tugas new publikMangement

secarameluas dan merata. Dengan basis perekonomian yang lebih luas tidakterpusat pada perorangan, sekelompok orang atau perusahaan, atau daerahtertentu ketahanan perekonomian nasional terhadap goncangan-goncanganekonomi eksternal dan internal menjadi lebih kukuh. Inti dari semua ituadalah pentingnya mengembangkan ekonomi rakyat sekaligus mengamankankeberlangsungan pembangunan nasional.Arah perkembangan ekonomi seperti itu tidak dapat terjadi dengansendirinya. Artinya, kemajuan yang diukur melalui membesarnya produksinasional tidak otomatis menjamin bahwa pertumbuhan mencerminkanpeningkatan kesejahteraan secara merata. Bahkan pengalaman empirismenunjukkan bahwa dengan hanya pendekatan pertumbuhan yang terjadijustru adalah sebaliknya, yaitu makin melebarnya kesenjangan sosialekonomi;yang kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin atau bahkan makinmiskin. Masalah utamanya, adalah ketidakseimbangan dalam kemampuan dan4kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dalam prosespembangunan.Salah satu upaya mengatasi tantangan itu adalah melalui strategipemberdayaan masyarakat.Dasar pandangannya adalah bahwa upaya yang dilakukan harusdiarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuanrakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkankemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya,dengan kata lain, memberdayakannya.Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunanekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkanparadigma baru pembangunan, yakni yang bersifat " people-centered,participatory, empowering and sustainable" (Chambers, 1995).Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumberdaya untukmengembangkan potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitasrakyat sehingga baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam disekitar keberadaan rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya.

Page 86: tugas new publikMangement

Dengan demikian,rakyat dan lingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan danmenumbuhkan nilai tambah ekonomis. Rakyat miskin atau yang berada padaposisi belum termanfaatkan secara penuh potensinya akan meningkat bukanhanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan hargadirinya. Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa pemberdayaan tidak sajamenumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis, tetapi juga nilaitambah sosial dan nilai tambah budaya.Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggotamasyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budayamodern –seperti kerja keras, disiplin, taat azas, taat waktu, hemat,keterbukaan, kebertanggungjawaban—adalah bagian pokok dari upayapemberdayaan ini. Peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilankeputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur yangsungguh penting dalam hal ini. Dengan dasar pandang demikian, maka5pemberdayaan masyarakat amat erat, kaitannya dengan pemantapan,pembudayaan, dan pengamalan demokrasi.Kesemuanya itu merupakan tantangan yang dihadapkan kepada negara,yang berkewajiban untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakanrakyatnya. Dengan sendirinya aparat negara atau administrasi publik-lahyang memegang tanggung jawab utama mewujudkan berbagai cita-cita dankeinginan membangun kehidupan yang lebih baik itu.Paradigma Administrasi PublikMampukah administrasi publik mengemban amanat tersebut? Marilahkita tengok sejenak perkembangannya.Administrasi publik lamaAdministrasi publik merupakan ilmu sosial yang dinamis, setiap saatsenantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman,peradaban dan teknologi.Berbagai aspek administrasi sebenarnya telah ada dan dijalankansemenjak peradaban manusia mulai terstruktur. Kekaisaran Romawi

Page 87: tugas new publikMangement

kuno,berbagai dinasti di China, misalnya, bahkan kerajaan-kerajaan di Nusantarapun sebenarnya telah mempraktekan adminstrasi.Awal pemikiran atau embrio dari konseptualisasi administrasi publikmodern tidak terlepas dari para pemikir mengenai politik dan pemerintahan,seperti Plato, Aristotle dan Machiavelli. Machiavelli misalnya pada tahun 1532menulis buku berjudul ” The Prince” yang menjelaskan beberapa petunjuk bagipara penguasa dalam menjalankan kekuasaannya didaratan Eropa pada masaitu.Banyak ahli sependapat bahwa dasar-dasar pemikiran administrasi publikmodern diletakkan oleh seorang profesor ilmu politik yang kemudian menjadiPresiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Pemikiran Wilson dituangkandidalam tulisannya yang diberi judul, ” The Study of Adminis ration” yangditerbitkan pada tahun 1873. Konsep dari Wilson yang terkenal adalahpemisahan antara politik dan adminstrasi publik. Sejak itu, selama satu abadt6lebih administrasi publik, baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesiterus berkembang.Proses industrialisasi yang berlangsung pesat di Amerika dan Eropa padaawal abad 20, mendorong berkembangnya konsep-konsep manajemen,seperti manajemen ilmiah dari Taylor (1912) yang diperkuat antara lain olehFayol (1916) dan Gulick (1937), dan konsep-konsep organisasi, seperti modelorganisasi yang disebut birokrasi dari Weber (1922). Banyak pemikiran barulahir pada sekitar pertengahan abad ke 20, antara lain yang besar sekalidampaknya pada perkembangan ilmu administrasi, adalah dari Simon (1947)seorang ahli ekonomi, yang kemudian memperoleh hadiah Nobel. Ia

Page 88: tugas new publikMangement

mengetengahkan pandangan yang terus melekat dalam perkembangan ilmuini selanjutnya, yaitu bahwa pada intinya administrasi adalah pengambilankeputusan.Menjelang dan memasuki Perang Dunia II program sosial yang besar,seperti New Deal di Amerika Serikat dan pengendalian mesin perang telahmenampilkan administrasi publik pada tataran yang makin menonjol. Programrehabilitasi pasca perang dunia serta bangkitnya negara-negara baru yangsebelumnya adalah wilayah-wilayah jajahan makin memperbesar peranadministrasi publik.Upaya mengembangkan administrasi sebagai disiplin ilmu yang berdirisendiri diperkuat dengan studi perbandingan administrasi publik, antara laindengan dibentuknya Comparative Administration Group (CAG) pada tahun1960 oleh para pakar administrasi, seperti John D. Montgomery, William J.Siffin, Dwight Waldo, George F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred W.Riggs. Dari CAG inilah lahir konsep administrasi pcmbangunan ( developmentadministration), sebagai bidang kajian baru. Kelahirannya didorong olehkebutuhan membangun administrasi di negara-negara berkembang.Pada dua dasawarsa akhir abad ke 20, dunia kembali mengalamiperubahan besar. Runtuhnya komunisme dan terjadinya proses globalisasitelah menimbulkan kebutuhan akan pendekatan-pendekatan baru dalam ilmuilmusosial.7Administrasi publik baruPemikiran dalam administrasi yang berkembang selanjutnya sangatdipengaruhi oleh paham-paham demokrasi, seperti administrasi yangpartisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah-tengah masyarakatnyadan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery, 1988). Pemikiran iniselain ingin menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, jugamencoba menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan

Page 89: tugas new publikMangement

aspirasimasyarakat bawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebut adalah bahwasistem administrasi memiliki dimensi ruang dan daerah yangpenyelenggaraannya juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, danekonomi. Kesemua itu menuntut reorientasi peranan administrasi publik.Dalam upaya merevitalisasi ilmu administrasi, Waldo memprakarsaipertemuan sejumlah pakar muda ilmu administrasi, untuk mempelajarimasalah-masalah konseptual yang dihadapi ilmu administrasi, dan berusahamemecahkannya. Perkembangan itu melahirkan dorongan untukmeningkatkan desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepadamasyarakat. Kesemua itu menandakan bergulirnya gerakan administrasipublik baru ( new public administration).Pada dasarnya administrasi publik baru itu ingin mengetengahkan bahwaadministrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan,serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yangberkembang dalam masyarakat. Frederickson (1971), seorang peloporgerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa administrasi publik harusmemasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial ( social equity) ke dalamkonsep administrasi. Ia bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak dapatnetral. Dengan begitu administrasi publik haru mengubah pola pikir yangselama ini menghambat terciptanya keadilan sosial. Kehadiran gagasangagasanbaru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmuadministrasi.Drucker (1989) menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan lebih baikatau sama baiknya oleh masyarakat, hendaknya jangan dilakukan olehpemerintah. Itu tidak berarti bahwa pemerintah harus besar atau kecil, tetapi8pekerjaannya harus efisien dan efektif. Seperti juga dikemukakan oleh Wilson

Page 90: tugas new publikMangement

(1989), birokrasi tetap diperlukan tetapi harus tidak birokratis. Osborne danGaebler (1993) mencoba “menemukan kembali pemerintah", denganmengetengahkan konsep entrepreneurial government.Memasuki dasawarsa 80-an tampil manajemen publik ( publicmanagement) sebagai bidang studi yang makin penting dalam administrasinegara. Manajemen publik yang di masa lalu lebih banyak memberi perhatianpada masalah anggaran dan personil telah berkembang bersama teknologiinformasi. Manajemen publik kini juga mencakup manajemen dalam sistempengambilan keputusan, sistem perencanaan, sistem pengendalian danpengawasan, serta berbagai aspek lainnya.Bersamaan dengan menguatnya pengaruh managerialism dalamadministrasi publik di Inggris dan beberapa negara lainnya, dan kemudianjuga di Amerika Serikat muncul pemikiran baru dengan konsep ” New PublicManagement” (NPM); pemikiran ini digagas oleh Patrick Dunleavy (1991)beserta rekan-rekannya. Konsep ini memfokuskan pada pemisahan birokrasipada unit yang lebih kecil, kompetisi antara pemerintah dan swasta dalampenyediaan jasa publik, dan perubahan motivasi dari sekedar pelayan publikmenjadi motif ekonomi, dengan memberikan insentif pada pelayanan publikseperti yang diberikan dalam usaha swasta. NPM menekankan performancesebagai kriteria utama, dengan menerapkan teknologi manajemen yangdigunakan di lingkungan swasta ke lingkungan publik. Dan yang cukupmendasar pula adalah didorongnya swasta melakukan kegiatan yangsebelumnya merupakan wilayah kerja birokrasi dalam pemerintah.Konsekwensi dari penerapan konsep tersebut adalah perlunya reformasibirokrasi secara kelembagaan.Dari uraian di atas tampak bahwa administrasi publik modern, baiksebagai ilmu maupun dalam praktik, terus berkembang, baik di negaraberkembang (sebagai administrasi pembangunan) maupun di negara maju

Page 91: tugas new publikMangement

dengan berbagai gerakan pembaharuan. Demikian juga terlihat bahwa adakonvergensi dari pemikiran-pemikiran yang melahirkan berbagai konseppembangunan dengan pandangan-pandangan dalam ilmu administrasi yangmengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspek manusia serta nilai-9nilai kemanusiaan yang tercermin dalam berbagai pendekatan yang sedangberkembang, termasuk konsep pembangunan yang berkelanjutan.Perkembangan paradigma dalam ekonomi pembangunan berjalansejalan dengan paradigma administrasi publik yang berkembang sejak dekade1990-an hingga dekade 2000-an, yaitu telah bergeser dari paradigmapengembangan administrasi semata ( empowering the administration) kepadaparadigma pemberdayaan masyarakat sebagai mitra dalam administrasi publik( empowering the people to become partners in public administration).Paradigma perkembangan administrasi publik yang mengarah kepadademokratisasi administrasi publik merupakan perwujudan dari pergeseranparadigma government kepada paradigma governance.Selain itu pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menjadikanpenyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi serba elektronik. Istilahe-government dan e-governance merupakan cerminan dari penerapanteknologi informasi dalam administrasi publik. Dengan berkembang pesatnyateknologi informasi maka dapat diprediksi bahwa di masa datang akan terjadigelombang perubahan yang besar lagi dalam paradigma administrasi publik.Patologi birokrasiTantangan yang besar yang dihadapi administrasi publik dihampir semuanegara, adalah prevalensi dari patologi birokrasi, yaitu kecenderunganmengutamakan kepentingan sendiri ( self-serving), mempertahankan statusquodan resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat ( centralized),

Page 92: tugas new publikMangement

dandengan kewenangannya yang besar, sering kali memanfaatkan kewenanganitu untuk kepentingan sendiri.Khususnya di negara berkembang, Heady (1995) menunjukkan ada limaciri administrasi publik yang umum ditemukan.Pertama, pola dasar atau ( basic pattern) administrasi publik di negaraberkembang, bersifat elitis, otoriter, menjauh ( aloof) atau jauh darimasyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik.10Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan ( deficient) sumberdaya manusia untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukandalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi dinegara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan( overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengankapasitas manajemen ( management capacity) yang memadai, memilikiketerampilan-keterampilan pembangunan ( development skills), danpenguasaan teknis ( technical competence).Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain daripadamengarah kepada yang benar-benar menghasilkan ( performance oriented).Riggs (1964) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatanpribadi ( personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat ( publicprincipled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaankewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkanaparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitasyang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika.-Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakanatau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan ( discrepency between formand reality). Riggs (1964) menyebutkan fenomena umum ini sebagaiformalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud

Page 93: tugas new publikMangement

danekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal initercermin dalam penetapan perundang-undangan yang tidak mungkin atautidak pernah dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri olehyang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya adadesentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baikdan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yangsesungguhnya dihadapi.Kelima, birokrasi di negara berkembang acap kali bersifat “otonom”,artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik dinegara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkunganpublik yang demokratis.11Terhadap analisis dari Heady ini dapat ditambahkan dua karakteristikhasil pengamatan Wallis (1989). Pertama, di banyak negara berkembangbirokrasi sangat dan makin bertambah birokratik. Departemen-departemen,badan-badan, dan lembaga-lembaga birokrasi berkembang terus. Jugaberkembang dan berperan besar badan-badan para-statal yakni badan-badanusaha negara, yang umumnya bekerja tidak efisien dan menjadi sumber danapolitik atau pusat terjadinya korupsi. Kedua, unsur-unsur nonbirokratik sangatberpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya hubungan keluarga dan hubunganhubunganprimordial lain, seperti suku dan agama, dan keterkaitan politik( political connections).Reformasi dan revitalisasi publik adalah pekerjaan menghilangkan ataumengurangi kadar kelemahan-kelemahan patologis birokrasi tersebut di atas.Revitalisasi administrasi publikPembangunan yang berkelanjutan menuntut administrasi publik yangtanggap terhadap masalah-masalah yang dihadapi lingkungan masyarakat,baik itu lingkungan fisik-alam, maupun lingkungan sosial. Dalam hallingkungan alam, administrasi publik dituntut untuk mampu mengatur tata

Page 94: tugas new publikMangement

ruang dan menjaga pelaksanaannya ( enforcement), disamping mengatasimasalah-masalah yang sudah ada sekarang seperti pengendalian emisi CO2

dan pengelolaan limbah.Meningkatnya berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi, maupun fisikberkaitan dengan pertumbuhan yang pesat dari wilayah metropolitan,bersamaan dengan kondisi kemiskinan di perdesaan. Hal itu mendorongkonsep pembangunan dengan pendekatan baru, yaitu dengan penataanruang, seperti mengarahkan industri berlokasi di kawasan yang diperuntukkanbagi industri, mengamankan kawasan-kawasan sawah produktif dan atauberirigasi teknis, mengamankan kawasan-kawasan berfungsi lindung,sehingga terwujud struktur ruang yang mampu meningkatkan pertumbuhanekonomi yang sesuai dan berkelanjutan (Rondinelli, 1976).Tata ruang mengandung arti penataan segala sesuatu yang berada didalam ruang sebagai wadah penyelenggara kehidupan. Konsep tata ruangmenurut Foley (1964), tidak hanya menyangkut wawasan spasial, tetapi12menyangkut pula aspek-aspek nonspasial atau aspasial. Hal ini didasarkanpada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pulaoleh faktor-faktor nonfisik seperti organisasi fungsional, pola sosial budaya,dan nilai kehidupan komunitas (Wheaton, 1974 dan Porteous, 1977).Demikian pula tata ruang bukan hanya mengakomodasi kegiatanekonomi yang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga harusmengembangkan sistem alokasi ruang yang memberdayakan rakyat kecil(Kartasasmita, 1996).Namun pembangunan berkelanjutan seperti digaris bawahi di atas bukanhanya masalah lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial. Untuk itudiperlukan reformasi administrasi publik yang menyeluruh dari pusat sampaidaerah.

Page 95: tugas new publikMangement

Dari pengalaman empiris selama ini diketahui betapa tidak mudahnyamelaksanakan pembaharuan birokrasi. Sebabnya mungkin adalah pendekatanyang seringkali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasidan fungsi-fungsi. Yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit untukdilakukan, adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentukmanusia-manusia birokrat. Dengan demikian pembangunan budaya birokrasiadalah lebih utama dibanding pembaharuan yang hanya bersifat struktural(Kartasasmita, 1997). Internalisasi nilai-nilai yang oleh Riggs (1966) disebutintrojection merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi.Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikapbirokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya. Di dalamnya terkandungberbagai unsur, antara lain sebagai berikut (Kartasasmita, 1997).Pertama, birokrasi harus mengembangkan keterbukaan ( transparency).Yang acapkali membuat birokrasi jauh dari masyarakat atau masyarakat yangharus dilayaninya jauh dari birokrasi adalah ketertutupan. Sebagai akibatketertutupan, masalah-masalah dan pikiran-pikiran pembaharuan tidak mudahditerima. Juga ada kecemburuan terhadap jabatan yang dipegang dan rasakeenggangan untuk berbagi pengalaman dan kewenangan. Ketertutupan jugaadalah untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan menggambarkankeengganan menerima kritik. Mengembangkan sikap keterbukaan dengan13demikian amat penting dalam upaya menyempurnakan birokrasi. Keterbukaanakan merangsang perbaikan melalui saling-silang gagasan ( cross-fertilization).Kedua, berkaitan dengan keterbukaan adalah kebertanggungjawaban( accountability). Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit dimintaipertanggungjawaban. Padahal birokrasi bukan kekuasaan yang berdiri sendiri,

Page 96: tugas new publikMangement

melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar sehingga tindaktanduknya harus selalu dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan.Pertanggung jawaban itu dalam konsep birokrasi yang lama bersifat hirarkisdari bawah ke atas, di dalam struktur organisasi. Dalam kehidupanmasyarakat demokratis yang makin canggih dan terbuka, masyarakatmenuntut agar setiap pejabat siap menjelaskan dan dapatmempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. Kesemua itumembutuhkan perubahan sikap dari birokrasi yang sifatnya mendasar.Pembaharuan sikap yang demikian akan menghasilkan birokrasi yang makintanggap dalam menghadapi tantangan dan lebih tangkas dalammemanfaatkan peluang dan mengatasi masalah. Tetapi juga makin pekaterhadap kebutuhan, tuntutan, dan dinamika masyarakat.Ketiga, birokrasi harus membangun partisipasi. Pengalaman banyaknegara menunjukkan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, partisipasimasyarakat amat diperlukan. Partisipasi harus dilandasi oleh kesadaran,bukan karena paksaan. Partisipasi pada lapisan bawah ( grassroots) yangefektif adalah apabila diselenggarakan secara bersama dalam lingkupkelompok-kelompok masyarakat ( local communities), dengan memanfaatkankearifan lokal ( local wisdom) dan kekhasan lokal ( local specifics). Bentuk dancara partisipasi seperti itu akan menghasilkan sinergi dan manfaat ekonomiyang dapat dinikmati oleh semua orang yang ikut serta di dalamnya.Merupakan tugas birokrasi untuk merangsang terjadinya partisipasi dankegiatan kelompok masyarakat serupa itu dalam rangka membangunmasyarakat secara berkesinambungan.Keempat, peran birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadimengarahkan, dan dari memberi menjadi memberdayakan ( empowering). Inimerupakan konsep yang amat mendasar, dan untuk negara dimana hubunganbirokrasi dengan rakyat secara historis dan tradisional bersifat patenal14( patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi yang cukup hakiki.

Page 97: tugas new publikMangement

Pandangan ini ditopang oleh konsep Reinventing Government dari Osborn danGaebler (1992) serta pandangan-pandangan dari New Public Management:yang menuntut harus adanya ukuran terhadap performance (kinerja) danbukan hanya terhadap proses. Administrasi publik harus result oriented danbukan hanya effort oriented. Dr. Fadel Muhammad (2007) telahmempraktikan paradigma baru ini sebagai Gubernur di Provinsi Gorontalo.Pengalaman empirisnya telah dijadikan dasar penelitian dan disertasi Doktordi Universitas Gadjah Mada baru-baru ini.Kelima, birokrasi hendaknya tidak berorientasi kepada yang kuat, tetapiharus lebih kepada yang lemah dan kurang berdaya ( the underprivilaged).Sikap keberpihakkan ( affirmative) ini hanya akan ada kalau ada pemahamandan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat di lapisan bawah.Untuk itu, hambatan psikologis harus diatasi karena birokrasi (terutamadilapisan atas yang justru menentukan) pada awalnya timbul dari kelompokelite, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan ataumengasosiasikan diri dengan rakyat kecil.Keenam, membangun etika birokrasi. Di bidang administrasi publik,masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan yang sangat besar, karenaprilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakatbanyak. Selain itu, brokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karenaseorang birokrat bekerja untuk negara dan berati juga untuk rakyat. Berkaitandengan itu, belakangan ini banyak kepustakaan etika administrasi yangmembahas dan mengkaji etika kebajikan ( ethics of virtue). Etika ini berbicaramengenai karakter yang dikehendaki dari seorang administrator. Konsep inimerupakan koreksi terhadap paradigma yang berlaku sebelumnya dalam

Page 98: tugas new publikMangement

administrasi, yaitu etika sebagai aturan ( ethics as rule), yang dicerminkandalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur termasuk sisteminsentif dan disinsentif serta sanksi-sanksi berdasarkan aturan.Ketujuh, menegakkan prinsip-prinsip desentralisasi. Desentralisasi danotonomi daerah, merupakan langkah yang amat penting dan telah menjadikeharusan, dalam rangka meningkatkan pelayanan dan partisipasi publik.Pendelegasian wewenang ke daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota,15harus disertai dengan upaya penataan kembali birokrasi. Sesungguhnyadengan desentralisasi dan otonomi terjawab banyak sekali persoalan; salahsatu diantaranya adalah rentang kendali manjemen publik. Dengandesentralisasi dan otonomi, rentang kendali tersebut dapat lebih dipersingkat.Namun konsekuensinya pada sistem birokrasi harus diperhitungkan.Kewenangan-kewenangan yang lebih besar yang diberikan kepada daerahharus diikuti dengan peningkatan kemampuan baik SDM maupun institusi didaerah untuk melaksanakan pekerjaan yang selama ini menjadi urusan pusat.PenutupDengan demikian dalam menghadapi kecenderungan dan masa depanadministrasi publik, terutama pengaruh demokratisasi, lingkungan hidup,globalisasi, dan perkembangan teknologi informasi, harus ada antisipasidisertai upaya dan langkah yang tepat didalam studi dan praktek administrasipublik. Pengalaman empiris di berbagai negara menunjukan bahwa partisipasimasyarakat merupakan kunci penting agar semua kebijakan yangmenyangkut pembangunan yang berkelanjutan dapat dilaksanakan bukanhanya dengan hasil yang baik tetapi juga mendapat dukungan yang luas.Tanpa upaya-upaya ini niscaya administrasi publik di Indonesia akanketinggalan, tidak dapat memecahkan masalah-masalah administrasi, dan

Page 99: tugas new publikMangement

pada gilirannya bangsa Indonesia tidak akan dapat bersaing dengan bangsabangsalain di dunia.Kemiskinan merupakan masalah yang amat kompleks dan dapat menjadihambatan bagi pembangunan berkelanjutan. Masalah ini merupakan hasilburuk dari upaya pembangunan yang dilakukan oleh negara yangbersangkutan dan masyarakat dunia. Ketika kita bicara pelestarianlingkungan, kebijakan yang dibuat umumnya hanya menyangkut sektorformal, kita lupa bahwa banyak rakyat miskin yang menggantungkankeberlangsungan hidupnya dengan memanfaatkan bahkan merusaklingkungan. Dengan demikian pengentasan kemiskinan merupakan conditiosine qua non bagi pembangunan berkelanjutan.16Pembangunan berkelanjutan yang dilakukan oleh segenap lapisanmasyarakat dengan rambu-rambu kebijakan publik yang dibuat oleh parapembuat kebijakan, memerlukan konsep dan praktek administrasi publik yangmemadai. Karenanya administrasi publik di Indonesia harus direvitalisasikan,agar dapat memfasilitasi upaya bangsa dalam melakukan dan melanjutkanpembangunan, demi kepentingan bangsa saat ini dan generasi dimasa yangakan datang. Untuk itu berbagai kelemahan yang dihadapi didalam prosespengembangan dan revitalisasi ilmu administrasi publik harus ditemu kenaliakar masalahnya dan ditemukan jalan pemecahannya. Beberapa diantaranyatelah dikemukakan di atas.Dengan langkah revitalisasi, diharapkan administrasi publik dapatmenghasilkan tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang aplikatif sertamutahir sesuai dengan perkembangan ilmu dan perkembangan lingkungansekitarnya. Sukses dan gagalnya penyelenggaraan pemerintahan salah satupenyebabnya adalah kesalahan dari penerapan disiplin administrasi publik,maka tugas para pelajar, ilmuwan dan praktisi administrasi publik

Page 100: tugas new publikMangement

untukmembenahi dan meluruskan praktek-praktek adminstrasi publik dalampenyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Agar pembangunan diIndonesia bersifat adil dan demokratis sehingga dapat senantiasaberkesinambungan.17KEPUSTAKAANChambers, Robert. “Poverty dan Livelihoods: Whose Reality Counts?”, dalam ÜnerKirdar dan Leonard Silk (ed.). People: From Improverishment toEmpowerment. New York: New York University Press. 1995.Drucker, Petter F. The New Realities in Government and Politics/InEconomics and Business/In Society and World View. New York:Harper & Row Publisher, 1989.:ittDunleavy, Patrick. Democracy, Bureaucracy and Public Choice. New York:Harvester Wheatsheaf, 1991.Fayol, Henry. General and Industrial Management. London: Sir Isaac Pitmanand Sons. 1949.Frederickson, H. George. “Toward a New Public Administration”, dalam FrankE. Marini, Toward a New Public Administration: TheMinnowbrook Perspective. Novato: Chandler Publishing Company,1971.Foley, Donald. “An Approach to Metropolitan Spatial Structure”, dalam M. Webber,Exploration Into Urban Structure. University of Pennsylvania Press.1970.Gulick, Luther dan Lyndall Urwick (eds.) Papers on the Science ofAdmin stration. New York: Institute of Public Administration, 1937.Heady, Ferrel. Public Administration: A ComparativePerspective. 5th, ed. New York:Marcel Dekker,1995.http://www.un.org/esa/susdev/Brundtland Commission. 1987.Kartasasmita, Ginandjar. Pembangunan untuk Rakyat: MemadukanPertumbuhan dan Pemerataan. PT. Pustaka CIDESINDO, Jakarta.1996.----------- Adminis rasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknyadi Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES. 1997.----------- “The Theory of Adminis ration”. www.ginandjar.com.Montgomery, John D. Bureaucrats and People: Grassrool

Page 101: tugas new publikMangement

Participation inThird World Development. Baltimore: The John Hopkins UniversityPress, 1988.18Muhammad, Fadel. Kapasitas Manajemen Kew rausahaan dan KinerjaPemerintah Daerah, Studi Kasus Provinsi Gorontalo Cetakan Pertama.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 2007.iiiOsborne, David dan Ted Gaebler. Reinventing Government: How theEnterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. NewYork: Penguin. 1993.OECD. Governance in Transit on: Public Management Reform in OECDCountries. Paris. OECD. 1995.Porteous, J. Douglas. Environtment and Behavior- Planning and EverydayUrban Life. Reading Addison Wesley Publishers Company. 1981.Rapar, J.H. Filsafat Politik: Plato, Aristoteles, Agustinus, Machiavelli. PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta. 2001.Riggs, Fred W. Administration in Developing Countries:The Theory ofPrismatic Society. Boston:Houghton Mifflin Company, 1964.Rhodes, R.A.W. The New Governance: governing without government.Political studies Vol XLIV, 4 (September). 1996.Rondinelli, Dennis A. Why Secondary Cities are Critical for NationalDevelopment, Secondary Cities in Developing Countries: Policiesfor Difussing Urbanization. Beverly Hills: Sage Publications.1983.Simon, Herbert A. Administrasive Behaviour: A Study of Decission Mak ngProcesses in Administrative Organization. London: MacMillanPublishing Company. 1976.Taylor, Frederick W. Scientific Management. Testimony before the US House ofrepresentatives. 25 Januari, 1912.Wallis, Malcolm. Bureaucracy: Its Role in Third World Development. London:Macmillan, 1989.Weber, Max. “Bureaucracy”, dalam Hans H. Gerth, From Max Weber: Essay inSociology. London: Oxford Univerity Press, Inc. 1973 (Dimutakhirkan).Wheaton, W. “A Comparative Static Analysis of Urban Spatial Structure”, JournalEconomicTheory. 1974. 9,223-237.

Page 102: tugas new publikMangement

Wilson, Woodrow. “ The Study of Administration”., dalam Jay M. Shafritz dan AlbertC. Hyde (ed.). Classic of Public Administration. Belmont, CA.:Wadsowrt Publishing Company.1992.191

NEW PUBLIC MANAGEMENT SEBAGAI MODELADMINISTRASI KABUPATEN1Oleh:Samodra Wibawa2

Daftar isi:1. Pengantar2. Otonomisasi kabupaten 5. Kelemahan dan hambatan penerapan NPM3. NPM: konsep dan praktik 6. Siapa diuntungkan?4. Perlu dan layakkah NPM? 7. Penutup: agenda reformasi1. PENGANTARSejak pertengahan dasawarsa 1980 negara-negara kaya di Eropa, Amerika dan Australiatelah mencoba menggeser model administrasinya ke arah apa yang disebut “new publicmanagement” (NPM). Menganggap model ini sebagai hal yang “baik”, penulis telahmelakukan lima kali diskusi-kelompok dengan pejabat-pejabat pemerintah kabupatenuntuk menjajagi seberapa perlu- dan layakkah model ini diterapkan di Indonesia dalamsetting otonomisasi kabupaten sejak 2001. Bersamaan dengan diskusi partisipan dimintajuga untuk mengisi kuesioner. Partisipan berjumlah 59 orang, terdiri dari 29 orangpejabat Kabupaten Sleman dan 21 orang Kabupaten Banyumas. Selain itu 7 orangpejabat kabupaten/kota lain dan 2 orang pejabat pemerintah propinsi yang sedangmenjadi karyasiswa di MAP UGM juga menjadi partisipan pada sebuah diskusi. Yangterakhir ini semula dimakudkan sebagai uji coba, tetapi hasilnya kiranya bermanfaat jikadipaparkan pula di sini.Artikel ini melaporkan secara ringkas hasil-sementara diskusi dan kuesioner (yang berisi102 butir pertanyaan tentang tiga tema: otonomisasi kabupaten, nilai/konsep birokrasidan NPM) tersebut. Sebagai laporan-sementara, artikel ini masih lebih banyak bersifatdeskriptif daripada analitis. Diharapkan para pembaca dapat memanfaatkannya untuk1 Artikel untuk Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fisipol UGM, Yogyakarta. Disampaikan kepadaredaksi tanggal 25 Pebruari 2002, versi awalnya telah didiskusikan di MAP UNSOED dan FISIPOLUGM.2 Dosen di Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fisipol UGM; sedang menempuh program S-3 di DeutscheHochschule fuer Verwaltungswissenschaften, Speyer, Jerman. Telepon/fax di Jogja: 0274-563362, email:[email protected]. Penulis berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu pengumpulan data,khususnya rekan-rekan dan bapak-bapak: Najmudin, Wahyudi, Bambang Tri Harsanto, Nooryono,Roman, Irwan, Agus Heruanto Hadna dan Suseno.2melakukan eksplorasi teoretik lebih lanjut. Hanya saja karena keterbatasan ruang tidakseluruh hasil diskusi dan kuesioner dapat ditampilkan di sini.2. OTONOMISASI KABUPATENBagian ini mendeskripsikan apa yang dialami oleh kabupaten dalam/terhadapdesentralisasi negara atau otonomisasi kabupaten, diperoleh dari diskusi. Sajianmencakup persepsi partisipan terhadap pelaksanaan UU No. 5/1974, percobaan

Page 103: tugas new publikMangement

otonomisasi kabupaten tahun 1995 dan pelaksanaan UU No. 22 dan 25/1999. Bagianyang terakhir dirinci lebih panjang dari dua yang pertama.UU No. 5/1974a) Otonomi per UU No. 5/1974 hanyalah administratif: urusan tanpa kekuasaan,tapi ada keseimbangan antara legislatif dan eksekutif. DPRD merupakan bagiandari eksekutif, wajib menjaga stabilitas. Dalam sistem sentralistis ini danamenggelembung di pusat (geografis: Jakarta, Jawa) dan Propinsi (geografis:ibukota propinsi).Proyek percontohan 1995b) Percontohan otonomi 1995 tidak didasarkan pada konsep yang matang –hanyalipstick memenuhi tuntutan masyarakat yang menguat, bahkan tuntutan untukmerdeka.c) Proyek itu mendapat bantuan dari Jerman (studi komparasi untuk pemerintahpusat) dan Belanda (studi komparasi pemerintah daerah).d) Tapi pusat sebenarnya tak siap, tak melakukan sosialisasi dan juga tidak evaluasi.“Kepala dilepas, ekor dipegang.” Konsekuensi otonomi tidak dipahami,dipecahkan dan ditanggung bersama.e) Dalam percontohan ini Sleman tidak minta, ditentukan oleh pusat. Banyumasditawari dan mau. (Pusat menyuruh gubernur menunjuk sebuah kabupaten.)f) 3P belum diberikan semuanya, ada uniformitas dalam jumlah dinas –mau tidakmau harus dibentuk.g) Proyek percontohan tahap II mestinya dimulai 1998, tapi keburu dilandareformasi.UU No. 22 dan 25/1999Kebijakan dan relasi pusat-propinsi-kabupatenh) UU No. 22/1999 pun sifatnya politis belaka (bukan teknokratis -SW).i) Otonomi per UU No. 22/1999: desentralisasi bukan hanya urusan, melainkanjuga wewenang dan kekuasaan, tapi kebablasan –ego daerah, dominasi legislatifatas eksekutif (padahal eksekutif-lah yang lebih berpengalaman). Laporanpertanggungjawaban tahunan jadi senjata politik bagi DPRD.j) Kewenangan penuh pada kabupaten. Full power ada pada DPRD, tapi kapabilitasmereka meragukan.k) Sampai saat ini belum semua PP yang dipersyaratkan oleh UU dibuat, sehinggakita merasa berhak mengaturnya.3l) Sekarang masih terjadi tarik-ulur wewenang. Banyak yang masih diatur pusat.Pusat urik, propinsi nggondheli. Inkonsistensi dan keterlambatan ini menjadikanpekerjaan tertunda, terkatung-katung dan tidak terlaksana.m) Sementara itu penyerahan wewenang seringkali/biasanya tidak disertai aturanpelaksanaan, padahal tidak selalu kabupaten mampu melaksanakannya karena –misalnya— terkait dengan pusat atau internasional.n) Kabupaten harus mengambil, meraih dan melaksanakan wewenang yang telahdiatur oleh UU No. 22/1999 sebagai wewenangnya. Kendala pusat yangbertentangan dengan UU harus di-cut atau tidak usah dilaksanakan.o) Propinsi harusnya menjembatani kerjasama antar kabupaten. Perlu ada forumuntuk koordinasi dan sinkronisasi. Asosiasi atau forum pemerintah kabupaten

Page 104: tugas new publikMangement

dapat berfungsi untuk: mencegah perpecahan, membantu koordinasi dansinkronisasi, saling belajar.p) Kedaulatan anggaran: dalam penggunaan, tapi tidak dalam cara mendapatkannya(DAU harus dilobi). Formula DAU tidak adil: hanya penduduk miskin dan luaswilayah. Mestinya juga dipertimbangkan banyaknya fasilitas publik yangdimiliki dan pelayanan publik yang diproduksi.q) Ego kedaerahan meningkat, karir pegawai terbatas di daerah (kabupaten) ybs:sulit pindah. Saran: sebaiknya pegawai dikelola Pusat.r) Propinsi itu enak: wewenang sedikit, DAU besar.Politik internals) Kalau dulu intimidatornya militer dan birokrasi, sekarang partai. Merekamengintimidasi pemerintah maupun masyarakat.Manajement) Restrukturisasi birokrasi kabupaten malah mengakibatkan kekacauan wewenang,koordinasi dan pelayanan. Masyarakat bingung. Pembagian wewenang belumjelas atau tubrukan. UPTPSA (Unit Pelayanan Terpadu Perijinan Satu Atap)malah memperlama proses perijinan, dari sehari menjadi seminggu, karena dinasyang mempunyai perwakilan di sana dirombak atau subdin-nya tidak mempunyaiwewenang lagi. Di Dinas Trantib ada Subdin Penerangan yang pekerjaannyasama dengan Bagian Humas. Penyusunan SOT menghasilkan strukturorganisasi yang sering terbalik-balik.u) Sekarang tiap-tiap instansi seolah-olah mempunyai kedaulatan: apa yangdisetujui oleh instansi A belum tentu oleh instansi B. Konflik kepentinganseolah-olah tak terkompromikan. Tak bisa dikoordinasi, bertindak sendiri-sendiridengan dalih tidak ada juklak, aturan atau Perdanya.v) Setelah setahun otonomi, jumlah pegawai terasa terlalu banyak: lebih banyakorangnya daripada mejanya. Efisiensi atau transparanisnya belum dapat dinilai.w) SDM lemah, eg. Dinas Kehutanan hampir tidak punya sarjana kehutanan,sehingga pekerjaan yang seharusnya mulai dari perencanaan hingga pemasaranmenjadi hanya tanam-menanam.x) DAU hampir semuanya untuk anggaran rutin, sedang anggaran pembangunandilepas untuk diurus sendiri oleh kabupaten.4Masalah dan kritiky) Masalah terdapat di semua level: konsep, kebijakan, yuridis dan implikasi.z) Interpretasi dan improvisasi yang terlalu bebas, DPRD sangat otonom: tahun2001 DPRD Sleman telah membentuk 36 pansus.aa) Birokrasi tidak nyaman, cemas dipindah sehingga tidak mau bekerja keras.bb) Kultur politik: kediktatoran dan intimidasi oleh partai, padahal dalam demokrasimestinya akuntabilitas publik; mendemonstrasi apa yang telah disepakati.cc) Kultur birokrasi: aturan jelas, tapi kok tidak berani menjatuhkan sanksi.dd) Keadilan anggaran, keadilan pembagian hasil kekayaan negara. Perimbangankeuangan hendaknya ditinjau kembali –agar beberapa daerah tidak memperolehterlalu banyak yang menjadikan jatah untuk daerah lain berkurang.ee) Sosialisasi tentang otonomi hendaknya diperbaiki, sehingga tidak munculkeinginan merdeka.

Page 105: tugas new publikMangement

ff) Isi UU hendaknya disempurnakan (agar ekses negatif seperti ego daerahterkurangi –SW) dan disederhanakan agar mudah dipahami.gg) Yang kita tuntut: sikap konsisten dan konsekuen dari semua pihak –pusat,propinsi, kabupaten.hh) Perlu ada Dewan Pengawas Otonomi, berisi siapapun orangnya yang berwibawadan terhormat, agar –misalnya- DPRD tidak seenaknya sendiri menentukananggaran untuk dirinya.Visi otonomiii) Otonomi adalah mengurangi beban pusat, memberdayakan masyarakat. (Tapimasyarakat sendiri belum siap, cenderung masih ingin disubsidi dan disuapiterus.)jj) Otonomi mestinya sampai ke dinas atau unit kerja: mereka yang paling tahu apayang dibutuhkan di lapangan.kk) Mengingat perbedaan kondisi antar daerah, mestinya otonomi dimulai daridaerah yang mampu dulu.ll) Selama ini kita hanya memahami otonomi sebatas aturan, padahal organisasiyang digerakkan oleh aturan sulit untuk berubah. Harusnya kita berpedomanpada visi dan misi yang sama: mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.mm) Kabupaten mestinya mensejahterakan masyarakat: “jual” daerah,sediakan informasi dan fasilitas untuk investor.Dari paparan tentang cerapan dan persepsi para pejabat kabupaten tentang otonomisasikabupaten di atas, penulis menangkap tiga isu penting:a) Pembagian wewenang antara pusat, propinsi dan kabupaten masih belum jelasdan rinci. Masih ada wilayah kelabu yang membutuhkan penyelesaian politis,yang menghambat efektivitas kerja, membahayakan efisiensi dan akibatnyamenelantarkan dan merugikan masyarakat secara keseluruhan.b) Pembagian kerja di dalam birokrasi kabupaten sendiri juga masih perlu dibenahi,agar jelas siapa yang harus melakukan apa, tidak saja pada level instansimelainkan juga personel.c) Keamanan kerja atau kepastian jabatan pegawai rendah. Perlu dipikirkan adanyaresentralisasi plus transparansi manajemen kepegawaian, sehingga prinsip theright man on the right place dapat terpenuhi dan jenjang karir terjamin. Otonomi5kabupaten hendaknya dipahami sebagai otonomi pengambilan kebijakan olehmasyarakat politik kabupaten. Birokrasi kabupaten adalah instrumen untukmenerapkan kebijakan tersebut. Karena itu dana dan personel dapat berasaldarimana saja, termasuk dari negara lain.Selanjutnya manfaat otonomisasi menurut partisipan ditampilkan dalam Tabel 1.Manfaat yang paling mencolok adalah bahwa pengambilan keputusan pada umumnyamenjadi lebih cepat (64%). Ini sangat logis: otonomisasi adalah pelimpahan wewenangpengambilan keputusan kepada kabupaten. Dengan demikian pelayanan kepadapenduduk dapat lebih cepat (50%), tidak perlu menunggu petunjuk dari pusat maupunpropinsi. Tapi, sayangnya, harapan-harapan yang dibebankan kepada proyekotonomisasi ini kurang terpenuhi: transparansi, demokrasi, keterpaduan programpembangunan (skor hanya 40-an). Bahkan cara kerja birokrasi dianggap tetap lamban,ekonomi daerah belum bisa dikembangkan, pegawai tetap kurang puas dengan iklim

Page 106: tugas new publikMangement

kerjanya dan administrasi tetap kurang efisien (skor hanya 30-an). Sangat ironis adalah:koordinasi antar instansi masih saja bobrok (skor 9) dan: korupsi jalan terus (skor 6).Padahal jika kabupaten otonom, dimana instansi pusat dan propinsi diadopsikan kedalam struktur administrasi kabupaten, diharapkan bahwa aktivitas instansi-instansitersebut yang semula tidak bisa dikontrol oleh bupati menjadi berada di bawahpengendaliannya dan karena itu terkoordinir. Padahal jika kabupaten otonom, makakontrol masyarakat terhadap birokrasi akan lebih dekat –dan karenanya kuat sertaefektif--, karena para birokrat tidak bisa lagi selalu berlindung di balik jargon “iniperintah atasan (propinsi atau pusat)”. Tapi ternyata harapan-harapan tersebut tinggalhanya harapan. Jauh panggang dari api. (Dapatkah ini dilegitimasi dengan penjelasan:“kita sedang berada dalam masa transisi, turbulensi yang serba tidak teratur”?)Tebel 1. Persepsi partisipan tentang manfaat otonomisasi kabupaten (dalam persen)BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) pengambilan keputusan pada umumnya (oleh bupati,DPRD maupun kepala instansi) lebih cepat 62 41 89 64b) pelayanan kepada penduduk lebih cepat 57 38 55 50c) birokrasi menjadi transparan 67 38 33 46d) demokrasi lebih kuat 57 35 33 42e) pelayanan masyarakat dan program pembangunanterpadu di tingkat kabupaten 48 31 44 41f) cara kerja birokrasi kabupaten menjadi lebih cepat 33 28 55 39g) ekonomi daerah kabupaten lebih berkembang 24 31 55 37h) pegawai lebih puas dengan iklim kerjanya 48 24 33 35i) administrasi lebih efisien 33 14 44 30j) koordinasi antar instansi lebih baik 14 3 11 9k) korupsi menurun 10 7 0 6Sumber: hasil kuesioner no. 8.6Dalam kaitannya dengan anggota DPRD, para partisipan berpendapat DPRD kurangberkualitas dibandingkan para birokrat. Karakteristik kepemimpinan sepertidiperlihatkan dalam Tabel 2 dimiliki jauh lebih banyak oleh birokrat daripada oleh paraanggota DPRD (63% dibanding 41%). Penyebutan ini penting dalam konteks budayayang harus dikembangkan dalam kerangka NPM. Di pihak lain, kurang berkualitasnyaanggota DPRD adalah hal yang mengkhawatirkan, jika diingat bahwa merekalah yangkini dapat disebut sebagai “pemerintah” (party government) –menggantikanbureaucratic/executive government pada periode sebelumnya.Tabel 2. Penilaian partisipan tentang karakter kepemimpinan pimpinan administrasi dananggota DPRD (dalam persen)PIMPINAN ADMINISTRASI ANGGOTA DPRDBanyumasN=21Sleman

Page 107: tugas new publikMangement

N=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) terbuka untuk berdialog 67 70 67 68 76 62 55 64b) terlibat, menikmati pekerjaan 57 72 67 65 48 38 44 43c) mendorong bawahan untukterlibat dalam pengambilankeputusan 57 66 22 48 33 41 44 39d) punya banyak ide 57 61 89 69 38 48 33 40e) mampu merealisasikan ideidenya57 55 44 52 24 38 0 21f) memandang kegagalan sebagaikesempatan untuk menjadilebih baik 67 69 67 68 38 48 33 40g) saling memperhatikan danbekerjasama 62 66 89 72 48 59 33 47h) dapat berpikir strategis 48 62 67 59 33 38 22 31Rata-rata 59 65 64 63 42 47 33 41Sumber: hasil kuesioner no. 83-84.Sekalipun praktiknya masih mengandung kekurangan, otonomisasi kabupaten --setidaknya secara konseptual-- perlu dilanjutkan dengan penerapan NPM. Salah satuargumen yang mendasarinya adalah: agar gaya pemerintahan yang otoriter daripemerintah pusat pada masa-masa sebelumnya tidak berpindah ke kabupaten.3 Argumenlain ditunjukkan di bawah.3. NEW PUBLIC MANAGEMENT: KONSEP DAN PRAKTIKNYA DI TINGKATNEGARA MAUPUN KOTANPM dapat dipandang sebagai antitesis terhadap “old public administration”. Modelyang lama memandang dan memperlakukan birokrasi pemerintah sebagai suatu aparat3 Lihat Ari Dwipayana dalam Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara, cet. 2, Yogyakarta: Lapera 2001,h. xxiv.7yang menjalankan keputusan-keputusan negara yang dirumuskan secara demokratis.Para pegawai birokrasi bekerja dengan rencana dan beraturan atas dasar legal contract(karena itu ada hubungan atasan-bawahan); impersonal, obyektif dan tidak memihak;rasional, jauh dari kepentingan sesaat. Mereka bekerja secara terspesialiasi, karenamereka adalah orang yang ahli, yang direkrut dan dipromosikan lewat seleksi atas dasarprestasi (achieved status) dan bukannya keturunan atau perkoncoan (ascribed status).4Model birokrasi lama tersebut –yang sesungguhnya justru dibangun di atas landasandemokrasi dan bekerja berdasarkan hukum tertulis-- dikritik sebagai kaku, lamban, tidakresponsif, malas-malasan dan boros, sehingga akibatnya dicemooh dan tidak lagidipercaya oleh publik. Karenanya, terutama terdesak oleh keuangan negara yang

Page 108: tugas new publikMangement

memburuk, pemerintah negara-negara kaya Inggris, Amerika, Australia dan NewZealand –kemudian diikuti oleh negara-negara kaya yang lain-- mulai berusaha untukmereformasi birokrasinya ke arah NPM. Tujuan yang dikejar adalah, sudah jelas, suatubirokrasi yang fleksibel, tanggap terhadap kebutuhan “konsumen”, efisien dan diseganikembali oleh publik.Sekalipun berangkat dengan visi dan misi yang sama, negara-negara tersebutmenampilkan bentuk birokrasi yang beraneka macam, yang mungkin “ideal” atau“cocok” bagi negara bersangkutan tetapi tidak bagi yang lain. Ini dilatarbelakangi olehbanyak faktor, sebagaimana jamaknya faktor-faktor yang mempengaruhi isi, proses danhasil suatu kebijakan pemerintah, mulai dari sistem administrasi, sistem politik dankualitas sosial-ekonomi yang melekat pada setiap negara.5 Penampilan akhir yangberbeda-beda dari implementasi NPM itu misalnya sebagai berikut:6

a) Finlandia: keseimbanan yang labil antara tradisi dan modernitasb) United Kingdom: modernisasi top-down dan orientasi pasarc) Belanda dan Denmark: devolusi, adopsi manajemen swasta, modernisasi internald) Swedia: modernasi intern strategis dan pengendalian kinerjae) Norwegia: modernisasi intern secara moderat dan inkrementalf) Jepang: mempertahankan manajemen birokratik sambil memperbaiki situasikepegawaiang) Amerika Serikat: manajerialismus birokratik dengan dinamika tanpa perubahanh) Austria: pengendalian birokratik dan politik simbolikFenomena keanekaragaman tersebut memberikan kesimpulan yang jelas, yakni bahwa“birokrasi ideal” yang universal tidak mungkin ditemukan wujudnya. Bahkan terhadapdiversitas bangun birokrasi itu dapat dinyatakan, bahwa “every house has many builders,and is never finished”7 atau malah “reform means change in a direction advocated bysome groups or individuals. It does not necessarily means improvement”8.Berbeda dengan apa yang tertampilkan di tingkat negara, di tingkat kota NPMditampilkan relatif seragam. Tiga kota dapat disebut sebagai contoh: Christchurch diNew Zealand, Tillburg di Belanda dan Phoenix di USA. Ketiganya pada 1992 (?) dipilih4 Lihat Miftah Thoha/Agus Dharma, Menyoal Birokrasi Publik, Jakarta: Balai Pustaka 1999, h. 26-7.5 Lihat Christopher Pollit/Geert Boeckaert, Public Management Reform –A Comparative Analysis, NewYork: Oxford 2000, h. 24-38.6 Frieder Naschold (1995) sebagaimana dikutip Ulrike Brecht, Potentiale und Blockaden der kommunalenLeistungserstellung –eine Kritik des Neuen Steuerungsmodells, Muenchen: Profession 1999, h. 28.7 Paavo Haavikko (1991) dalam Pollit/Bouckaert 2000, h. 39.8 Rubin (1992) dalam Pollit/Bouckaert 2000, h. 24.8oleh sebuah lembaga di Jerman (Bertelsmann Stiftung) sebagai administrasi kota terbaik,karena mereka melakukan reformasi sehingga administrasinya menjadi lebih cepat, lebihefisien dan lebih ramah kepada penduduk/konsumen.Proses reformasi di ketiga kota tersebut mengandung empat unsur sebagai berikut:9

a) desentralisasi tanggungjawab dan wewenangb) partisipasi pegawai dan konsumenc) orientasi pada pasard) pengukuran dan pengendalian kinerja.Di Jerman penerapan NPM justru dimulai oleh kota-kota secara otonom dan kreatifsejak awal 1990-an, baru kemudian diadopsi secara hati-hati oleh negara-negara bagian

Page 109: tugas new publikMangement

dan akhirnya negara federal. Mirip dengan unsur-unsur reformasi di atas, reformasiadministrasi kota di Jerman mengandung empat elemen sebagai berikut:10

a) struktur kepemimpinan dan organisasi desentralistis mirip swasta --mencakupmanajemen kontrak, desentralisasi tanggungjawab dan pengendalian terpusatb) pengendalian sasaran dan kinerja --mencakup definisi produk, analisis biayamanfaatdan manajemen kualitasc) kompetisid) manjemen kepegawaian modern.4. PERLU- DAN LAYAKKAH N.P.M. SEBAGAI MODEL ADMINISTRASIKABUPATEN?11

Perlukah NPM dijadikan model bagi administrasi kabupaten? Jika dipertimbangkanadanya kemiripan kondisi kita saat ini dengan situasi yang mendorong dilakukannyareformasi di negara-engara di atas, pertanyaan ini harus dijawab dengan “ya”. (LihatTabel 3. Tabel ini tidak perlu ditafsirkan, karena sudah jelas.) Selain itu birokrasi kitasecara umum dinilai sebagai belum efektif (B 50, S 20, M 55, x 42),12 belum efisien (B50, S 45, M 78, x 58) dan tingkat korupsinya tinggi (B 43, S 55, M 67, x 55). Penilaiantentang keburukan birokrasi kita dalam ketiga hal ini dapat dikatakan moderat, jikadiingat bahwa kalangan internasional menilai Indonesia sebagai salah satu negara yang9 Lihat Ulrich Mix/Michiel Herwijer (Hrsg.), 10 Jahre Tilburger Modell, Bremen: Kellner 1996; KGSt,Wege zum Dienstleistungsunternehmen Kommunalverwaltung, Koeln 1992; Frank A. Fairbanks/RolandDumont du Voitel, Arizona: unternehmenskonzept des kommunalen Managements, Nettetal: Zuendel1993; John H. Gray/Roland Dumont du Voitel, Christchurch: Fallbeispiel einer erfolgreichen Reform imoeffentlichen Management, Nettetal: Zuendel 1993; Alexander Wagener, DienstleistungunternehmenGrossstadt: “best run city in the world?”, Berlin: Wissenschaftszentrum berlin fuer Sozialforschung1997.10 Bandingkan antara lain dengan Freie und Hansestadt Hamburg, Senatsamt fuer den Verwaltungsdienst,Neue Wege im Verwaltungsmanagement, Hamburg 1994 dan Herman Hill/Helmut Klages, AktuelleTendenzen und Ansaetze zur Verwaltungsmodernisierung, Duesseldorf 1998. Unsur-unsur NPM di kotakotadi Jerman ini dijadikan basis pembuatan kuesioner dalam penelitian ini.11 Hasil diskusi dan kuesioner.12 Kuesioner no. 13. Angka 20% untuk Sleman harus ditafsirkan secara hati-hati, karena di antara empatskala (rendah, kurang, cukup dan tinggi) hanya 7% yang menjawab ‘tinggi’ dan 70% menjawab ‘cukup’.Kata ‘cukup’ ini, dalam konteks budaya Jawa Tengah, seringkali berarti ‘kurang’. Sehingga kalauseparonya dianggap ingin mengatakan ‘kurang’, maka jumlah partisipan Sleman yang mengatakan‘kurang atau rendah’ adalah 55%, sehingga nilai rata-ratanya bukan 42 melainkan 53%. Sepuluh butirpertanyaan pada nomor 13 kiranya dapat diperlakukan secara demikian.9terkorup di dunia. Ini bersamaan dengan peniliaian positif tentang transparansi (B 71, S55, M 33, x 53), yang kiranya merupakan akibat dari arus reformasi sejak 1998 yangmenjadikan sistem negara lebih desentralistis (B 62, S 76, M 78, x 72) dan demokratis(B 86, S 69, M 89, x 81).13

Belum efektif-, belum efisien- dan masih tingginya tingkat korupsi dapat dipandangsebagai alasan penguat bagi perlunya adopsi NPM, sedangkan sudah tingginyatransparansi, desentralisasi dan demokrasi di negeri kita dapat dipandang sebagai alasanuntuk mengatakan bahwa NPM sudah layak diadopsi. Artinya, transparansi,desentralisasi dan demokrasi merupakan iklim yang sangat kondusif bagi kabupatenuntuk melakukan inovasi-inovasi terhadap/di dalam birokrasinya, di mana kreatifitasdimungkinkan dan pembatasan-pembatasan dari pusat maupun propinsi berada pada

Page 110: tugas new publikMangement

tingkat yang sangat minimal. Bahkan jika sekarang desentralisasi negara (aliasotonomisasi kabupaten) dinilai sudah “kebablasan”, dia pada sisi lain dapat dipandangsebagai kesempatan emas untuk memperbaiki dirinya sendiri tanpa intervensi daripemerintah pusat maupun propinsi. (Perhatikan: struktur organisasi dan tatakerja [SOT]disusun secara otonom oleh kabupaten sendiri, sehingga SOT dari kabupaten yang satuberbeda dengan SOT kabupaten yang lain –suatu kemewahan pada era sentralismeOrba.)Tabel 3. Persepsi partisipan tentang karakter lingkungan administrasi saat ini (dalampersen)BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) krisis keuangan yang akut 62 72 100 78b) tekanan yang terus meningkat untuk menghematanggaran, sehingga pemerintah perlu melakukanprivatisasi untuk mengurangi tugas dan sekaligusmenambah penghasila 52 76 100 76c) proses administrasi tidak transparan 48 55 100 68d) politik dan birokrasi diragukan; masyarakatmenganggap negara tidak mampu bekerja dengan baik 52 72 100 75e) pandangan hidup masyarakat sedang berubah; individumenuntut lebih banyak ruang gerak, tidak mau diaturoleh negara secara rinci 76 76 100 84f) struktur administrasi membutuhkan reformasi 86 86 100 91Sumber: hasil kuesioner no. 93.Asumsi-asumsi dasar dari NPM berikut ini juga sangat disetujui oleh para partisipan (B76, S 79, M 89, x 81).14 Hal yang sama dijumpai pula ketika para partisipan dimintauntuk memberikan penilaian mereka terhadap perubahan model dari old publicadministration menjadi NPM.15 Ini berarti bahwa secara kultural (setidaknya kognitif),para pegawai kabupaten telah siap untuk berbenah diri. Asumsi-asumsi tersebut adalah:13 Pada alinea ini dan alinea selanjutnya B adalah singkatan dari Banyumas, S Sleman, M MAP UGM danx rata-rata.14 Kuesioner no. 18. Skor rata-rata dari total.15 Kuesioner no. 19.10a) manusia punya motivasi yang tinggi dan sadar akan tanggungjawabnyab) negara dan administrasi adalah penting, privatisasi bukanlah obat mujarab untuksemua persoalan negarac) persoalan yang dihadapi administrasi adalah efektivitas, karena negara hukumdan demokrasi sudah berlangsungd) sistem administrasi dapat dikelola secara rasional, dan metode perusahaan swastadapat diterapkan di dalamnyae) kompetisi, perlombaan atau persaingan dapat mendorong terwujudnya efisiensidan efektivitas yang lebih tinggi dibanding perencanaan dan pengarahanf) politik dan administrasi itu dapat belajar, sehingga mereka dapat menyesuaikan

Page 111: tugas new publikMangement

diri terhadap lingkungan yang berubah.Sedangkan pergeseran paradigmanya adalah sebagai berikut (sebagian di antara 30butir):a) pembagian kekuasaan antara legislatif dan eksekutif menjadi kerjasama di antarakeduanyab) negara hukum dan demokrasi ditambah dengan efisiensi dan orientasi kinerjac) negara sebagai pemegang monopoly of coercion menjadi sektor publik sebagaienabling authority dan enterpreneurd) birokrasi dengan aktivitas yang ajeg dan meneruskan tradisi menjadi birokrasiyang melakukan kegiatan baru, belajar hal yang baru dan terbukae) birokrasi yang berorientasi kepada hukum/aturan menjadi berorientasi padamasyarakat/konsumenf) birokrasi yang mempunyai kultur pengaturan menjadi berkultur kontak dankontrak.Selanjutnya, lebih separo dari partisipan (B 52, S 57, M 67, x 59) menilai bahwa“kontrak” antara berbagai pihak (DPRD - bupati – kepala dinas – kepalabidang/kasubdin – kepala seksi – pelaksana) dapat diterapkan.16 Di dalam kontrak inidisebutkan apa saja yang harus dilakukan oleh siapa dalam periode tertentu dengananggaran berapa dan hasilnya bagaimana, sehingga pengendalian dan penilaian prestasikerja dapat dilakukan secara obyektif. Dengan adanya kontrak maka tiap-tiap pihaktidak perlu merasa diawasi dan juga mengawasi setiap saat, tidak perlu ada sidak(inspeksi mendadak) yang seringkali justru kontraproduktif terhadap motivasi kerja yangdikontrol. Biaya kontrol, yang seringkali menghasilkan pemborosan yang sangat tidakperlu, dapat ditekan dan digunakan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat. Dalamkonteks ini “kesewenang-wenangan” DPRD terkurangi dan tanpa perlu “merasakehilangan pengaruh terhadap eksekutif” (B 52, S 79, M 100, x 77).17 Kecuali itukontrak tidak akan menjadikan hubungan antara legislatif dan eksekutif kaku (B 81, S59, M 22, x 54).18 Hanya saja, sekalipun menilai positif, para partisipan berpendapatbahwa DPRD akan berkebaratan dengan ide ini –dimana eksekutif dibiarkan bekerjamemenuhi kebutuhan publik tanpa banyak dikontrol (B 62, S 24, M 11, x 32).19 Inimudah dipahami, karena DPRD yang sedang “ngemaruki” akan kehilangan wewenangyang dalam setahun terakhir sangat mereka nikmati.16 Kuesioner no. 21.17 Kuesioner no. 22.18 Kuesioner no. 24.19 Kuesioner no. 86.11Secara keseluruhan ide manajemen kontrak yang antara lain meliputi: (a) bupati sebagai“pembeli pelayanan” diberi wewenang untuk menentukan bagaimana pelayanan itudiproduksi (make or buy), (b) adanya block grant atau globalbudget bagi dinas-dinassebagai “produsen pelayanan”, dan (c) administrasi kabupaten diubah menjadi“perusahaan pelayanan publik”, dimana dinas-dinas merupakan perusahaan-perusahaanmandiri di bawah “holding” kabupaten disetujui oleh para partisipan (B 91, S 59, M 78,x 76).20 Dalam konteks make or buy, tampaknya sudah ada kesiapan mental dari birokratkita untuk berkompetisi. Para partisipan mengakui, bahwa “birokrasi hanyalah salah satudi antara beberapa pihak yang dapat memenuhi kebutuhan warga” (B 76, S 72, M 78, x75).21 Di luar birokrasi ada LSM dan swasta serta masyarakat secara kelompok yang

Page 112: tugas new publikMangement

dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri (bandingkan dengan gairah swadayamasyarakat miskin pedesaan ketika negara sedang kekurangan dana seperti saat ini).Sementara itu orientasi kepada konsumen –sebagai salah satu visi dasar dari NPM—sudah dipraktikkan, antara lain terwujud sebagai “kantor pelayanan satu atap”. Hanyasaja, meskipun dapat dikatakan berhasil, pada umumnya kantor ini hanya mendapat nilaicukup/sedang dalam keempat aspeknya: (a) kecepatan kerja (B 62, S 48, M 67, x 59), (b)efisiensi (B 67, S 59, M 44, x 57), (c) kepuasan konsumen (B 52, S 48, M 44, x 48) dan(d) kepuasan pegawai (B 67, S 55, M 33, x 52).22 Perhatikan bahwa kepuasan konsumenjustru paling rendah di antara ketiga aspek yang lain. Dalam tema ini rupanya Slemanmempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan (lihat, semua skor yang diberikannyalebih rendah dibanding Banyumas). Seorang partisipan di sana menerangkan, bahwakantor pelayanan satu atap hanyalah mengumpulkan pegawai dari berbagai instansi,dimana mereka tidak berwenang mengambil keputusan. Mereka jadinya hanyalah kurirdari intansi masing-masing, sehingga warga memilih untuk pergi ke instansi-induk.Kontrol terhadap output sudah dilakukan (B 67, S48, M 67, x 61).23 Namun masih adapenekanan yang sangat kuat terhadap prosedur (B 67, S 72, M 100, x 80).24 Ini kiranyamenyatakan, bahwa kontrol memang tidak semata-mata terhadap aspek legalitaspekerjaan birokrasi (kuitansi, kepatuhan terhadap aturan) melainkan juga terhadap ujudfisik dari pekerjaannya, namun di pihak lain sepanjang prosedur-legal telah terpenuhirendahnya kualitas output tidak akan dipersoalkan. Pengawasan a la BPKP, BPK dankejaksaan masih mendominasi fungsi pengendalian birokrasi kita. Ringkasnya:formalisme.Dalam hal kepegawaian, para partisipan menganggap bahwa tanggungjawab sendiri,pengukuran hasil kerja dan pemisahan jabatan dari golongan kepegawaian adalahpenting. (Lihat Tabel 4.) Informasi ini memperlihatkan, bahwa sesungguhnya parabirokrat kita mempunyai potensi untuk maju, kreatif dan otonom. Skor tentangkeinginan untuk mempunya tanggungjawab mandiri dan hasil kerjanya diukur sangattinggi (89 dan 94). Karsa ini harus diwadahi oleh suatu struktur administrasi yangmemungkinkan untuk itu, yang tidak mematikan kreatifitas, yang menghormati prestasi,dst. (Lihat: struktur mempengaruhi perilaku, bukan sebaliknya.) Lebih dari itu merekasangat ingin agar karya mereka dinilai secara obyektif, sehingga yang berprestasi diberiganjaran, yang buruk diberi sanksi. Kasus promosi jabatan yang sering menimbulkan20 Kuesioner no. 28, 30, 31.21 Kuesioner no. 51.22 Kuesioner no. 32.23 Kuesioner no. 38.24 Kuesioner no. 56.12protes dari banyak pihak memperlihatkan, bahwa selama ini promosi pegawai dilakukansecara tidak transparan, berlawanan dengan rasa keadilan, yang pada gilirannyamenjadikan motivasi kerja para pegawai rendah di satu pihak dan/atau memicuberlangsungnya korupsi di pihak lain. Beberapa partisipan menyebut sinis sistem“PGPS” –pinter atau goblok penghasilan sama.25

Tabel 4. Pendapat partisipan tentang tanggungjawab, pengukuran kinerja dan promosijabatan (dalam persen)BanyumasN=21

Page 113: tugas new publikMangement

SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) punya lebih banyak tanggungjawab mandiri 81 86 100 89b) hasil kerja diukur dan dinilai 91 90 100 94c) golongan kepegawaian dipisahkan dari jabatan(golongan boleh rendah tapi jabatan boleh tinggitergantung kemampuan) 67 48 67 61Sumber: hasil kuesioner no. 77.Sejalan dengan pandangan di atas, para partisipan setuju jika jabatan pimpinan dipegangdalam masa percobaan terlebih dahulu dan selanjutnya dalam jangka waktu tertentu(misalnya 4 tahun) dievaluasi, sehingga mereka tidak menjabat selamanya (B 57, S 72,M 100, x 76).26 Memang ini menjadikan jabatan administrasi terbaui dengan warnapolitik (seperti dekan dan rektor di perguruan tinggi), tetapi pola ini lebih transparan dankarenanya lebih disenangi oleh para partisipan. Seorang anggota DPRD malahmengatakan bahwa seharusnya kita tidak mengenal rahasia jabatan. Semua harus dibuka,termasuk dalam proses promosi jabatan. (SW: bukankah para pejabat diminta untukmelaporkan kekayaannya –sesuatu yang bagi orang privat sangat rahasia?)Argumen tentang perlunya NPM dapat ditambah satu lagi: penghasilan masihmerupakan masalah pokok pegawai, kecuali –tampaknya— bagi para pimpinan yangtelah memperoleh mobil dinas. Para partisipan setuju sepenuhnya terhadap tunjangantunjangan:di bidang kerja yang kurang diminati (B 76, S 59, M 78, x 71), tunjangandaerah (B 86, S 93, M 78, x 86) dan penerapan jam kerja fleksibel ataupun separowaktu (B 68, S 59, M 67, x 65).27 Bersamaan dengan itu mereka menganggap gajinyabelum layak (B 76, S 70, M 89, x 78)28 dan karena itu perlu tambahan penghasilan (B86, S 83, M 100, x 90).29 Karena itulah NPM perlu diintrodusir, untuk memberi pegawaiinsentif untuk berhemat –dimana sebagian penghematannya digunakan untukkesejahteraan mereka sendiri.25 Arti sebenarnya dari PGPS adalah peraturan gaji pegawai negeri sipil.26 Kuesioner no. 78.27 Kuesioner no. 75a, b, d.28 Kuesioner no. 76.29 Kuesioner no. 77d.135. KELEMAHAN DAN HAMBATAN PENERAPAN N.P.M.Optimisme bahwa NPM dapat dijadikan model bagi sistem administrasi kabupatenbukannya tanpa hambatan. Beberapa di antaranya diuraikan di bawah ini. Yang pertama,dalam hal manajemen kontrak, DPRD dipandang belum mampu merumuskan produkdan menetapkan standard kualitas bagi setiap instansi (B 62, S 55, M 100, x 72).30

Ketidakmampuan para anggota DPRD mungkin saja dapat diatasi dengan pelatihan ataudilibatkannya konsultan dari LSM atau universitas untuk mendampingi mereka; tapiseringkali ketidakmampuan itu bermula dari ketidakmauan. Etos atau orientasi kerjapada anggota DPRD rupa-rupanya masih patut dipersoalkan. Di pihak birokrasi,sekalipun di satu pihak para partisipan menyetujui gagasan manajemen kontrak, di pihaklain mereka menilai bahwa para birokrat saat ini pada umumnya belum atau kurang siap

Page 114: tugas new publikMangement

untuk menerapkannya. (B 57, S 48, M 67, x 57).31 Ketidaksiapan ini, menurut seorangpartisipan, dikarenakan kebanyakan SDM kita masih berpola-perilaku “lama” (?),sekalipun mereka sudah berpendidikan S-1.Ke-dua, pola komando di dalam birokrasi masih cukup kuat, dimana komunikasi lebihbersifat atas-bawah daripada sebaliknya (B 81, S 62, M 100, x 81).32 Ini adalah hal yangironis, karena sementara para partisipan mengakui bahwa kehidupan bernegara kita telahdemokratis (B 38, S 52, M 78, x 56),33 ternyata apa yang terjadi pada level negara tidakdijumpai di dalam intern birokrasi. Seorang partisipan dari Sleman mengatakan bahwasemua tergantung atasan –kalau atasan baik, baiklah bawahannya, kalau atasan buruk,buruk pula bawahan dan organisasinya. Tampaknya hierarkhie sebagai karakteristikbirokrasi masih melekat sangat kuat, bahkan seringkali berbau militeristik.Sejalan dengan itu para pimpinan cenderung bersikap sebagai boss daripada sebagaicoach (pendamping, pelatih, pendorong kemajuan bawahan –B 71, S 48, M 89, x 69).34

Namun agak kurang paralel dengan ini, sebagai bawahan para partisipan cenderungdiberi otonomi yang besar oleh atasannya (B 62, S 45, M 78, x 62).35 Ini artinya, di satupihak pimpinan minta dilayani dan dihormati oleh bawahannya (bukannya melayani danmengembangkan) dan di pihak lain membiarkan bawahan bekerja sendiri sepanjangtidak merongrong posisi dan privilege-nya. (Pola seperti inilah yang tampaknyamelestarikan korupsi, dimana “pengawasan melekat” mandul atau bahkan tidakmungkin.) Gaya kepemimpinan seperti ini tidak disenangi oleh para bawahan. Parapartisipan menganjurkan agar para pimpinan administrasi mengubah gayanya menjadi“public manager” –yang kreatif, terbuka, dst. (B 95, S 59, M 55, x 70).36 Namun perludipertimbangkan, bahwa sekalipun memang gaya komando dan boss semacam itu “jauhdari NPM”, itu bisa jadi malah dapat dimanfaatkan sebagai modal budaya (culturalcapital), dimana pada tahap inisiasi gaya seperti itu efektif untuk memobilisasireformasi.30 Kuesioner no. 23 dan 23a.31 Kuesioner no. 66.32 Kuesioner no. 36.33 Kuesioner no. 12b.34 Kuesioner no. 57. Skor Banyumas yang lebih tinggi daripada Sleman menjadikan stigma bahwaBanyumas lebih demokratis karena budayanya lebih cablaka (terus-terang) dibandingkan Sleman yangberbudaya kraton patut diragukan.35 Kuesioner no. 58.36 Kuesioner no. 65. Perbedaan skor yang sangat mencolok, khususnya partisipan MAP yang malahkurang begitu setuju perlu diberi penafsiran lebih lanjut.14Hambatan bagi usaha reformasi ke arah NPM, menurut penilaian partisipan, ditampilkandalam Tabel 5. Berdasar hasil kuesioner ini dikenali bahwa kekhawatiran para partisipanbahwa para birokrat belum siap untuk mereformasi birokrasi kabupaten ke arah NPMlebih banyak disebabkan oleh kekurangan tenaga yang berkompeten (61%).Ketidaksiapan itu sama sekali tidak berarti bahwa para pegawai dan pimpinan akanmenolak reformasi (masing-masing hanya 26% dan 34%). Hambatan ke-dua yang kuatadalah malah dari DPRD (50%) yang, seperti telah disebut di atas, akan merasakehilangan kenikmatannya sebagai the ruling class.Tabel 5. Persepsi partisipan tentang kemungkinan hambatan reformasi (dalam persen)BanyumasN=21

Page 115: tugas new publikMangement

SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) kekurangan tenaga yang berkompeten 52 41 89 61b) legislatif ragu-ragu 38 21 89 49c) peraturan negara dan propinsimenghambat 48 52 44 48d) kelangkaan uang 52 35 55 47e) kekurangan peralatan teknis 33 59 33 42f) penolakan dari para pimpinanadministrasi 24 24 55 34g) penolakan dari para pegawai 10 14 55 26Sumber: hasil kuesioner no. 98.Jika reformasi ke arah NPM dilakukan, para partisipan menganggap tidak akan adadampak yang berarti. Dampak yang diperkirakan bakal muncul berada pada tingkat yangrendah. (Lihat Tabel 6.) Perhatikan: para partisipan menilai bahwa model NPM yangmemberikan desentralisasi yang besar kepada unit-unit administrasi sama sekali tidakakan menjadikan sistem administrasi tercerai-berai (hanya 7%). Ini kiranya bermanfaatjuga untuk menyatakan, bahwa sistem manajemen negara yang sangat desentralistis saatini tidak akan menjadikan Indonesia terpecah-belah. Namun memang mereka agakkhawatir bahwa sistem poplitik dan administrasi akan menjadi tidak terpadu (49%). Inimenegaskan sekali lagi betapa sulitnya koordinasi dilakukan (lihat Tabel 1).Tabel 6. Persepsi partisipan tentang dampak yang mungkin timbul (dalam persen)BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) cara-cara manajemen swasta tidak selalu cocokuntuk administrasi 52 48 55 52b) sistem politik dan administrasi tidak terpadu 33 24 89 49c) sistem kompetisi berjalan tapi tidak fair 24 48 55 42d) pegawai justru terbebani 38 21 33 31e) sistem kompetisi tidak dapat berjalan 10 10 33 18f) cenderung cerai-berai 5 10 5 7Sumber: hasil kuesioner no. 99.156. SIAPA BERUNTUNG?Pertanyaannya: siapa yang diuntungkan jika NPM diterapkan? Para partisipanmembayangkan, bahwa perusahaan swasta dalam model NPM akan menjadi pihak yangpaling diuntungkan, menyusul kemudian pnduduk, politisi, LSM dan baru kemudianpejabat/pegawai administrasi (lihat Tabel 7). Penyebutan pejabat/pegawai administrasipada tempat yang terakhir –sekalipun tetap tinggi-- agak mengkhawatirkan, karenamerekalah yang merupakan leading sector dalam proses reformasi. Jika mereka hanyadiuntungkan sedikit saja (setidaknya yang paling rendah dibanding aktor lain) dari

Page 116: tugas new publikMangement

proses ini, mungkin partisipasi mereka akan rendah dan bisa mengancam gagalnyareformasi. Pada titik ini perlu dilakukan elaborasi lebih lanjut, meskipun ada optimisme:semua beruntung.Tabel 7. Persepsi partisipan tentang pihak yang diuntungkan reformasi (dalam persen)BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) perusahaan swasta 81 69 89 80b) penduduk 76 76 77 76c) politisi 91 83 55 76d) LSM 86 41 89 72e) pejabat/pegawaiadministrasi 86 76 44 69Sumber: hasil kuesioner no. 100.7. PENUTUP: AGENDA REFORMASISekalipun tidak sangat optimistis, uraian di atas dapat digiring pada kesimpulan: bagiadministrasi kabupaten NPM adalah perlu dan layak. Jika memang Banyumas danSleman maupun kabupaten dan kota lain berminat untuk menerapkannya, menurutpartisipan prioritas agenda reformasinya adalah seperti diperlihatkan dalam Tabel 8.Sangat ironis bahwa definisi produk setiap instansi malah diberi prioritas terakhir,padahal seharusnya dialah yang pertama –tentu saja setelah sebelumnya setiap instansimerumuskan visi dan misi organisasinya. Ada kemungkinan bahwa partisipanmenganggap produk atau layanan dari instansi mereka telah terdefinisikan dengan baikdalam program kerja tahunan mereka, sehingga ini bukan hal yang perlu disentuh lagijika akan dilakukan reformasi. Namun, seandainya ini memang ironi, ini harus diterimadan dipahami (bahwa cara berpikir maupun perilaku birokrat kita kadang-kadang masihtidak konsisten), dengan syarat ada kemauan untuk belajar dan membuka diri terhadapide apapun dari para pelaku birokrasi dan politik. Sebab reformasi adalah proses belajar,yang tak akan pernah berhenti.16Tabel 8. Pendapat partisipan tentang agenda reformasi (dalam persen)BanyumasN=21SlemanN=29MAPUGMN=9x (ratarata)N=59a) penerapan analisis biaya-hasil 62 62 89 71b) memperbaiki kontrol dan pelaporan 48 69 67 61c) optimalisasi proses kerja 57 72 44 58d) optimalisasi prosedur administrasi 52 59 55 55e) desentralisasi tanggungjawab terhadap sumberdaya 48 59 55 54f) globalbudget (block grant) --anggaran tidak perlurinci 48 31 67 49

Page 117: tugas new publikMangement

g) melakukan pengembangan kepegawaian 43 31 67 47h) memangkas atau merampingkan struktur organisasi 29 35 78 47i) membuat angket kepada penduduk 43 31 67 47j) memberikan anggaran yang dapat dihemat kepadainstansi yang bersangkutan 52 21 - 37k) membuat definisi produk tiap instansi danmenerapkannya 33 10 44 29Sumber: hasil kuesioner no. 95.*17DAFTAR BACAANBrecht, Ulrike, Potentiale und Blockaden der kommunalen Leistungserstellung –eineKritik des Neuen Steuerungsmodells, Muenchen: Profession 1999Fairbanks, Frank A./du Voitel, Roland Dumont, Arizona: unternehmenskonzept deskommunalen Managements, Nettetal: Zuendel 1993Freie und Hansestadt Hamburg, Senatsamt fuer den Verwaltungsdienst, Neue Wege imVerwaltungsmanagement, Hamburg 1994Gray, John H. /du Voitel, Roland Dumont, Christchurch: Fallbeispiel einererfolgreichen Reform im oeffentlichen Management, Nettetal: Zuendel 1993Hill, Herman/Klages, Helmut, Aktuelle Tendenzen und Ansaetze zurVerwaltungsmodernisierung, Duesseldorf 1998KGSt, Wege zum Dienstleistungsunternehmen Kommunalverwaltung, Koeln 1992Mix, Ulrich/Herwijer, Michiel (Hrsg.), 10 Jahre Tilburger Modell, Bremen: Kellner1996Pollit, Christopher/Boeckaert, Geert, Public Management Reform –A ComparativeAnalysis, New York: Oxford 2000Thoha, Miftah/Dharma, Agus, Menyoal Birokrasi Publik, Jakarta: Balai Pusataka 1999Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara, cet. 2, Yogyakarta: Lapera 2001Wagener, Alexander, Dienstleistungunternehmen Grossstadt: “best run city in theworld?”, Berlin: Wissenschaftszentrum berlin fuer Sozialforschung 1997Wibawa, Samodra, Negara-negara di Nusantara –dari Negara-kota hingga Negarabangsa,dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi, Yogyakarta:Gadjahmada University Press 2001----------, Neues Steuerungsmodell –Belajar Otonomi dari Jerman, Yogyakarta: Istawadan Wacana 2001