57
1. PANDANGAN MENGENAI KONSEP KURIKULUM MENURUT HAMID HASAN A. KONSEP KURIKULUM a. Pengertian Etemeologis (Bahasa) Secara etemologis (bahasa), istilah “curriculum” dinyatakan sebagai istilah yang berasal dari bahasa Latin, yakni curro atau currere dan ula atau ulums yang diartikan sebagai “racecorse”, yakni lapangan pacuan kuda, jarak tempuh untuk lomba lari, perlombaan, pacuan balapan, peredaran, gerak berkeliling, lapangan perlombaan, gelanggang, kereta balap, dan lain-lain” (Prent, 1969:211; Webster, 1989:340). Istilah curro atau currere dan ula atau ulums yang diartikan sebagai “racecorse” tersebut kemudian diadopsi ke dalam dunia pendidikan dengan istilah “curriculum” (bahasa Inggeris) atau “kurikulum” (bahasa Indonesia). Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Brobacher, sebagai berikut: according to its Latin origin a curriculum is a “runway”, a course which one runs to reach a goal, as in a race. This figure of a course has been carried over into educational parlance, where it is sometimes called a curriculum, sometimes a course of study (Brobacher, 1962: 237). Dalam kutipan ini Brobacher menyatakan bahwa istilah kurikulum yang dalam bahasa Latin diartikan sebagai lapangan pacu (runway) yang berarti sebagai sebuah lapangan tempat berlari untuk mencapai sasaran (goal). Dari istilah tersebut dibawa ke dalam dunia pendidikan yang kadangkala dimaksudkan sebagai sebuah kurikulum dan kadangkala dimaksudkan sebagai sebuah mata/materi pelajaran yang dipelajari.

UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

1. PANDANGAN MENGENAI KONSEP KURIKULUM MENURUT HAMID HASAN

A. KONSEP KURIKULUM

a. Pengertian Etemeologis (Bahasa)

Secara etemologis (bahasa), istilah “curriculum” dinyatakan sebagai istilah yang

berasal dari bahasa Latin, yakni curro atau currere dan ula atau ulums yang diartikan

sebagai “racecorse”, yakni lapangan pacuan kuda, jarak tempuh untuk lomba lari,

perlombaan, pacuan balapan, peredaran, gerak berkeliling, lapangan perlombaan,

gelanggang, kereta balap, dan lain-lain” (Prent, 1969:211; Webster, 1989:340).

Istilah curro atau currere dan ula atau ulums yang diartikan sebagai “racecorse”

tersebut kemudian diadopsi ke dalam dunia pendidikan dengan istilah “curriculum”

(bahasa Inggeris) atau “kurikulum” (bahasa Indonesia). Hal itu sebagaimana

dinyatakan oleh Brobacher, sebagai berikut:

“according to its Latin origin a curriculum is a “runway”, a course which one runs to

reach a goal, as in a race. This figure of a course has been carried over into

educational parlance, where it is sometimes called a curriculum, sometimes a course

of study (Brobacher, 1962: 237).

Dalam kutipan ini Brobacher menyatakan bahwa istilah kurikulum yang dalam

bahasa Latin diartikan sebagai lapangan pacu (runway) yang berarti sebagai sebuah

lapangan tempat berlari untuk mencapai sasaran (goal). Dari istilah tersebut dibawa

ke dalam dunia pendidikan yang kadangkala dimaksudkan sebagai sebuah

kurikulum dan kadangkala dimaksudkan sebagai sebuah mata/materi pelajaran yang

dipelajari.

Pemakaian istilah yang semula dipakai dalam dunia olah raga tersebut

sepertinya didasarkan pada persesuaian makna atau hakikat yang dikandung oleh

istilah tersebut, yakni adanya jarak atau proses yang harus ditempuh untuk

mencapai tujuan. Hal itu secara tegas sebagaimana dinyatakan oleh Schubert

(1986:33): “its interpretation from the race course etymology of curriculum, currere

refers to the running of the race and emphasizes the individuals own capacity to

reconceptualize his or her autobiography”.

Pemakaian istilah kurikulum atas dasar persesuaian makna tersebut juga

dipakai dalam bahasa Arab. Hal itu bias dilihat bahwa dalam bahasa Arab istilah

kurikulum disebut “minhaj” yang berarti “jalan yang terang”; cara, metode, bagan,

Page 2: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

rencana. Dari istilah itu dikenal istilah “minhaj al ta`lim” yang berarti “rencana

pengajaran atau kurikulum” (Munawwir, 1984: 1567).

b. Pengertian Termenologis (istilah)

Berdasarkan pengertian bahasa di atas, dimana istilah kurikulum (curriculum,

ing.) atau (minhaj, Arab) dimaksudkan sebagai “sebuah jalan atau proses yang

harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu atau “sejumlah materi/mata pelajaran (a

course of study), maka secara termenologis kurikulum diartikan sebagai “sejumlah

materi/mata pelajaran yang harus dikuasai” (a course of subject matters to be

mastered), (Zais, 1976:7; Giroux, H.A., et.all, 1981:35).

Rumusan pengertian pada masa awal tersebut disebut oleh para pakar

kurikulum sebagai pengertian tradisional atau sempit. Dalam pengertian tradisional

dan sempit tersebut, konsep kurikulum menunjukkan penekanannya pada

pengertian kurikulum sebagai isi pendidikan. Pengertian kurikulum sebagai isi

pendidikan tersebut menurut Giroux, et al. (1981:35) adalah: “the data or information

recorded in guides or textbooks and overlooks many additional element that need to

be provided for in a learning plan”. Dalam hal ini kurikulum merupakan sesuatu yang

berisikan sejumlah data atau informasi yang dipakai sebagai petunjuk pembelajaran

atau dalam bentuk buku teks yang berisikan sejumlah materi yang diperlukan untuk

dicapai dalam sebuah rencana pembelajaran. Senada dengan itu al-Syaibani (1979)

dalam menggambarkan pengertian minhaj sebagai padanan istilah kurikulum dalam

bahasa Arab yakni terbatas pada pengetahuan-pengatahuan yang dikemukakan

oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran-mata pelajaran atau kitab-kitab

karya ulama terdahulu, yang dikaji begitu lama oleh para peserta didik dalam setiap

tahapan pendidikannya.

Selanjutnya sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan, konsep

kurikulum juga turut mengalami perkembangan dan pergeseran makna dari isi ke

proses pendidikan. Dalam hal ini kurikulum tidak diartikan sebagai sekedar

seperangkat materi yang harus diberikan atau dikuasai oleh peserta didik tetapi juga

mencakup segala hal yang terjadi atau dilakukan dalam proses yang dilakukan atau

dijalani peserta didik dan guru. Bahkan penekanannya lebih pada proses ketimbang

sebagai isi atau materi.

Page 3: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Doll (1964:15) bahwa: “The commonly

accepted definition of the curriculum has changed from content of courses of study

and list of subjects and courses to all experiences which are offered to learners

under the auspices or direction of the school”. Dalam definisi Doll di atas penekanan

pengertian kurikulum pada sejumlah pengalaman yang diberikan kepada siswa di

bawah tanggaung jawab atau arahan sekolah (all experiences which are offered to

learners under the auspices or direction of the school). Sejalan dengan pengertian

ini Al-Kualy (1981) menjelaskan pengertian minhaj sebagai padanan istilah

kurikulum dalam bahasa Arab sebagai seperangkat rencana dan media serta cara

untuk mengantarkan lembaga pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang

diinginkan. Dalam definisi al-Kualy ini kurikulum mengandung makna sebagai isi dan

sekaligus sebagai proses.

Pergeseran makna kurikulum tersebut bukan saja dari isi ke proses tetapi juga

terdapat pergeseran cakupan atau lingkup makna kurikulum dari yang sempit ke

yang sangat luas. Beberapa definisi kurikulum yang menggambarkan konsep

tersebut, antara lain dikemukakan oleh beberapa pakar kurikulum sebagai berikut.

Stratemeyer (1957:9) mendefinisikan kurikulum sebagai: “the sum total of the

school`s effort to influence learning wither in the classroom, on playground or on out

of school”. Dalam hal ini Stratemeyer memandang kurikulum sebagai sejumlah

usaha sekolah untuk mempengaruhi pembelajaran, baik di dalam kelas, lapangan

bermain, atau di luar sekolah. Lebih jauh menurut Krug (1956:4), kurikulum adalah

seluruh kegiatan yang dilakukan oleh sekolah untuk memberikan pengalaman

belajar siswa, sebagaimana dinyatakannya: “all the means employed by the school

to provide students with opportunities for desirable learning experience”. Sedangkan

Beaucham (1964:4), memandang kurikulum sebagai: “all activities of children under

the jurisdiction of the school” ( seluruh aktivitas anak di bawah tanggung jawab

sekolah).

Dilihat dari eksistensinya dalam kegiatan pendidikan kurikulum dapat

dipandang dari berbagai konsep. Menurut Nana Syaodih (1988:29), setidaknya

konsep kurikulum dapat dipandang dari tiga bentuk, yakni sebagai suatu sistem,

sebagai bidang studi dan kurikulum sebagai substansi pendidikan.

Page 4: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Sebagai sebuah sistem, kurikulum merupakan bagian atau sub sistem dari

kerangka organisasi sekolah atau sistem sekolah. Kurikulum sebagai suatu sistem

menyangkut penentuan segala kebijaksanaan tentang kurikulum, susunan

personalia dan prosedur pengembangan kurikulum, penerapan, evaluasi dan

penyempurnaan-nya. Fungsi utama kurikulum sebagai sistem ialah menghasilkan

kurikulum, baik sebagai dokumen tertulis maupun aplikasinya dan menjaga agar

kurikulum tersebut tetap dinamis (Nana Syaodih, 1988:29). Sehubungan dengan

pandangan ini, para pakar kurikulum memiliki pandangan yang tidak sama. Maccia

(Giroux, 1981:72) memandang kurikulum bukan sebuah sistem tersendiri, tetapi ia

merupakan bagian dari sistem pembelajaran yang diwujudkan melalui tingkah laku

atau aktivitas guru dalam menentukan isi pembelajaran. Isi tersebut mengandung

aturan-aturan dalam bentuk seperangkat struktur dari seperangkat mata/materi

pelajaran (disciplines). Di pihak lain, Johnson (1967) juga memandang kurikulum

bukanlah sebuah sistem, tetapi hanya merupakan "a structured series of intended

learning outcomes”. Komponen perencanaan berupa: isi, aktivitas, dan prosedur

evaluasi dimasukannya sebagai bagian dari komponen sistem pembelajaran (Zais,

1976:9). Tegasnya, Johnson memandang bahwa kurikulum adalah merupakan hasil

(output) dari sistem pengembangan kurikulum dan merupakan bahan masukan

(input) bagi sistem pembelajaran. Oleh karena itu ia bukan merupakan sebuah

sistem. Sebagai sebuah sistem, menurut Mc donal (1965), kurikulum berisikan:

komponen: “inputs, processes, outputs, and feedbacks”(Giroux, 1981:72).

Jika kurikulum dipandang sebagai suatu sistem, ia dipandang sebagai sub

sistem persekolahan, sistem pendidikan dan sistem masyarakat. Suatu sistem

kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja sebagaimana

menyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi dan

menyempurnakannya. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah tersusunya suatu

kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah sebagaimana memelihara

kurikulum agar tetap dinamis (Nana Syaodih, 1988:29-30).

Kurikulum sebagai suatu bidang studi dipandang sebagai bidang studi kuriku-

lum. Tujuan dari kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu ten-

tang kurikulum dan sistem kurikulum.

Page 5: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Dalam konteks ini tugas bidang studi kuriku-lum adalah untuk: (1)

mengembangkan definisi-definisi deskriptif dan preskriptif dari istilah-istilah teknis,

(2) mengadakan klasifikasi tentang pengetahuan yang telah ada dan pengetahuan-

pengetahuan baru, (3) melakukan penelitian inferensial dan predik-tif, (4)

mengembangkan sub-sub teori dari kurikulum, mengembangkan dan melak-sanakan

model-model kurikulum (Nana Syaodih, 1988: 29-30).

Kurikulum sebagai substansi dapat dipandang sebagai suatu rencana kegiatan

pembelajaran bagi murid-murid di sekolah atau sebagai suatu perangkat tujuan yang

ingin dicapai (Nana Syaodih: 1988:29). Saylor, Alexander dan Lewis memberikan

pandangan yang senada dengan Hilda Taba, yakni “as a plan for learning” (Oliva,

1991:6). Hilda Taba menggambarkan kurikulum sebagai sebuah subsatansi ini

sebagai sesuatu yang berisikan sejumlah elemen yang meliputi tujuan, isi, pola

pembelajaran, dan evaluasi, sebagaimana pernyataannya berikut:

All curricula, no matter what their particular design, are composed of certain

element. A curriculum usually contains a statement of aims and of specific

objectives; it indicated some selections and organization of content; it either implies

or manifests certain patterns of learning and teaching, whether because the

objectives demand them or because the content organization requires them. Finally,

it includes a program of evaluation of the outcomes.

Kurikulum sebagai sebuah rencana, menurut Beaucham (1981), bisa dalam

bentuk dukumen tertulis dan bisa pula dalam bentuk rencana yang tidak terulis, baik

yang ada pada benak siswa maupun guru, sebagaimana dikemukakannya, bahwa

kurikulum adalah: “a written document which may contain many ingredents, but

basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given

school”.

Sejalan dengan pengertian ini, dalam Undang-undang RI tentang Sistem

Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Bab I, pasal 1 ayat 19, kurikulum

diartikan: “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan

pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan

pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.

Kurikulum sebagai sebuah rencana tertulis juga dapat dipandang sebagai

sebuah dokumen yang berisi rumusan tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-

mengajar, jadwal dan evaluasi. Kurikulum juga dapat dipandang sebagai hasil

persetujuan bersama antara para penyusun kurikulum, pemegang kebijakan

Page 6: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

pendidikan dengan masyarakat. Terakhir kurikulum juga dapat dilihat dari lingkup

atau tingkat kuri-kulum seperti: kurikulum tingkat bidang studi, sekolah, lokal,

nasional (Nana Syaodih, 1988: 29-30).

Konsekuensi dari kurikulum sebagai sebuah dokumen yang menjadi rencana

pembelajaran, baik tertulis maupun tidak terulis melahirkan adanya istilah “ideal

curriculum (kurikulum diidealkan) dan real/actual/ functional/operational curriculum

(kurikulum yang nyata/dilaksanakan). Kurikulum ideal adalah kurikulum yang

direncanakan secara ideal. Sebagai sebuah rencana, bisa dalam bentuk tertulis

(written dokument) maupun yang tidak terulis.

Adapun kurikulum aktual adalah kurikulum yang terlaksana atau diopera-

sionalkan. Kurikulum aktual seyogianya sama dengan kurikulum ideal atau

setidaknya mendekati yang ideal, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian.

Dalam kenyataannya dapat saja sesuatu yang direncanakan tidak bisa dilaksanakan

atau terlaksana.

Konsep kurikulum yang berlaku di Indonesia termasuk di dalamnya konsep

kurikulum Pendidikan Agama Islam, sebagaimana dikemukakan di atas, lebih

menekankan pada konsep kurikulum sebagai sebuah rencana pembelajaran. Hal itu

dapat dilihat dari definisi kurikulum yang terdapat dalam Undang-undang RI tentang

Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Bab I, pasal 1 ayat 19, yang

berbunyi: “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,

isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan

tertentu”.

Definisi di atas menjadi pedoman bagi konsep kurikulum setiap jenis dan

jenjang lembaga pendidikan di Indonesia. Dengan demikian kurikulum dipandang

sebagai rencana dan pengaturan kegiatan pembelajaran yang berwujud dokument

tertulis dan sekaligus sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran.

Perwujudan dari kedudukan dan fungsi kurikulum seperti itu, di masing-masing jenis

dan jenjang lembaga pendidikan, telah dilengkapi dengan seperangkat kurikulum.

Lazimnya perangkat kurilum tersebut terdiri dari: pedoman umum penyelenggaraan

pembelajaran; isi dan program pembelajaran; dan berbagai pedoman implementasi

atau proses pembelajaran, evaluasi, administrasi, dan poedoman bimbingan

pembelajaran.

Page 7: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Menurut Hasan (1988:28) secara konsepsional kurikulum dapat dilihat pada

empat dimensi kurikulum, yakni: 1) kurikulum sebagai suatu ide atau gagasan, 2)

kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, 3) kurikulum sebagai suatu kegiatan

(proses), dan 4) kurikulum sebagai suatu hasil belajar.

1) Kurikulum sebagai suatu ide atau gagasan

Secara etimologis ide (idea) berarti: “A plane of action; an intention’

something imagined or pictured in the mind;; a notion; an opinion; a fancy…

(Webster, 1961:237)” Dalam definisi ini, ide atau gagasan adalah sebagai

sesuatu yang direncanakan yang ada dalam benak atau tergambar dalam

pikiran. Sesuai dengan definisi tersebut, dapat dinyatakan bahwa kurikulum

sebagai ide atau gagasan adalah merupakan sesuatu rencana atau keinginan

yang ada dalam benak atau dalam pikiran dalam bentuk gagasan kurikulum

yang bersifat umum. Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh Hasan

(1988:28-31), bahwa kurikulum sebagai sebuah ide atau gagasan ada pada

pikiran atau benak para perancang kurikulum maupun para praktisi, pelaksana,

dan pemakai kurikulum. Ia bisa terdapat pada pikiran kepala sekolah, guru,

siswa, masyarakat, dan pada stackeholder pendidikan lainnya.

Idea atau gagasan pada umumnya ada pada saat proses awal

perancangan kurikulum, atau pada ajang pendapat (deliberation), atau yang

mendahului rancangan/desain tertulis kurikulum. Akan tetapi, dalam peraktiknya

idea atau gagasan dapat juga muncul ketika kurikulum tersebut dirancang dan

dituangkan dalam program tertulis, atau pada saat diimplementasikan, atau

bahkan pada saat dilakukan evaluasi (penilaian). Menurut Beaucham (1981) ide

atau gagasan tersebut mesti sebagai sebuah rencana atau gagasan dalam

bentuk yang tidak terulis. Oleh karena itu, kurikulum dalam dimensi idea tau

gagasan ini tidak lain adalah sesuatu yang diharapkan atau diangankan untuk

dicapai dan dilaksnakan oleh guru, sekolah, masyarakat, dan stackeholder

lainnya. Karenanya pada umumnya kurikulum dalam bentuk idea tau gagasan ini

bersifat sangat idealis dan perfeksionis (sangat sempurna), yang kadang tidak

sesuai atau susah untuk dijangkau dalam realitasnya.

Page 8: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

2) Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis

Pada dasarnya kurikulum sebagai rencana tertulis ini menurut Hasan

(1988:31) adalah terjemahan dari kurikulum dalam dimensi ide atau gagasan.

Dalam kata lain, kurikulum dalam bentuk tertulis ini merupakan penulisan

segenap idea tau gagasan yang telah digagas. Beaucham (1981), sebagaimana

dikemukakan di atas, menyebutnya sebagai kurikulum dalam bentuk dukumen

tertulis. Karenanya ia sering juga disebut sebagai ideal curriculum (kurikulum

yang diharapkan), sebagai lawan dari kurikulum real curriculum. Akan tetapi,

dalam kenyataannya tidak selalu kurikulum dalam bentuk tertulis ini sama persis

dengan kurikulum dalam dimensi idea tau gagasan. Ketidaksamaan itu bias

terjadi karena keterbatasan dalam penuangan idea tau gagasan tersebut dalam

bentuk tertulis atau karena berbagai kondisi lain, seperti karena dipandang perlu

pembatasan atau dipandang perlu ada pentahapan dalam perencanaan

tertulisnya.

Sebagai sebuah dokumen tertulis, kurikulum dalam dimensi rencana harus

memenuhi berbagai kriteria tentang bentuk dan lingkup cakupannya (Hasan,

1988:32). Banyak model dan cakupan kurikulum sebagai dokumen tertulis ini,

namun secara umum sebagai rencana tertulis pada umumnya, sebagaimana

Tyler (1950:1-2), sebuah dokumen kurikulum minimal bersisi empat komponen

yang merupakan empat pertanyaan dasar yang harus dijawab, yaitu:

a. What educational purposes should the school seek to attain?

b. What educational experiences can be provided that are likely to attain these

purposes?

c. How can these educational experiences be effectively organized?

d. How can we determine whether these purposes are being attained?

Sedangkan menurut Meller & Siller (1985:175), komponen yang terdapat

dalam dokumen kurikulum meliputi: 1) aims and objectives, 2) content, 3)

teaching strategies/learning experiences, 4) organization of content an teaching

strategies, and 5) evaluation (sometimes included and sometimes separated).

Berdasarkan pendapat Tyler dan Meller & Siller di atas, anatomi sebuah

kurikulum minimal meliputi: tujuan yang harus dicapai, pengamalan pendidikan

atau isi/materi yang dianggap dapat memenuhi tujuan yang ingin dicapai,

pedoman dan strategi pengorganisasian materi (pelaksanaan) sehingga dapat

mencapai tujuan yang diinginkan, dan yang terakhir adalah bagaimana

Page 9: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

mengevaluasi pelaksanaan kegiatan dan hasil pencapaian kegiatan tersebut.

Keempat komponen anatomi kurikulum tersebut merupakan suatu sistem atau

suatu yang saling berkaitan antara satu sama lain dan saling mempengaruhi

pelaksanaan dan keterpcapaian masing-masing.

3) Kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses)

Kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses) ini kadang disebut juga: real

curriculum (kurikulum sesungguhnya), actual curriculum (kurikulum yang nyata),

functional curriculum (kurikulum yang terlaksana), dan operational curriculum

(kurikulum yang dilaksnakan). Dengan mengutif dari Cohen, Deer, Harrison, dan

Josephson, (1982), dan Goodlad (1978) menyebutnya sebagai kuriklum realita

atau sebagai eksperiensial. Istilah realita dipergunakan karena kurikulum dalam

dimensi ini adalah kurikulum yang sesungguhnya terjadi di lapangan.

Sedangkan eksperiensial dipergunakan karena kurikulum ini merupakan sesuatu

yang dialami siswa.

Di kalangan pakar kurikulum terjadi perbedaan pendapat mengenai apakah

dimensi ini termasuk kurikulum atau bidang yang berdiri sendiri. Bagi Mcdonal

(1965) kurikulum (curriculum) hanyalah sebagai: a plane for action, that is, a

plane that guides instruction”. Jadi, kurikulum hanya dipandang sebagai sebuah

rencana untuk tindakan pembelajaran, bukan sesuatu yang dialami secara nyata

oleh siswa. Beaucham (1981:7), sebagaimana dikemukakan di atas juga

memandang kurikulum sebagai sebuah dokumen tertulis atau tidak tertulis.

Dalam hal ini ia memandang kurikulum hanya dalam bentuk ide dan rencana

tertulis saja. Dalam kata lain kedua pakar inimemandang proses atau kegiatan

pelaksanaan kurikulum ini tidak disebutnya sebagai kurikulum. Sementara itu,

Johnson (1967) memandang situasi nyata di dalam kelas dipandang sebagai

implementasi dari rencana pembelajaran, bukan rencana kurikulum. Kurikulum

hanya dalam bentuk pencapaian tujuan belajar (Zais, 1976:9). Di pihak lain,

Johnson juga memandang bahwa kurikulum adalah merupakan hasil (output)

dari sistem pengembangan kurikulum dan menjadi bahan masukan (input) bagi

sistem pembelajaran. Demikian ia juga tidak menyatakan proses sebagai

sebuah kurikulum.

Page 10: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang konsep kurikulum

tersebut, namun dalam prakteknya kurikulum sebagai proses adalah merupakan

implementasi kurikulum. Fullan (1982), dan Leithwood (1982) adalah di antara

para pakar kurikulum yang memandang bahwa implementasi adalah sebagai

sebuah kurikulum dalam dimensi proses. Sebagaimana definisi yang

dikemukakan oleh Fullan (1982:54) bahwa implementasi adalah: “the process of

putting into practice an idea, program, or set of activities new to the people

attempting or expected to change”. Sementara itu, istilah implementasi kurikulum

ini sering pula disamakan dengan pembelajaran (instruction). Dalam bahasa

lain, bahwa sebuah kurikulum yang ada pad aide atau gagasan yang kemudian

dituangkan dalam bentuk rancangan tertulis kelanjutannya akan

diimplementasikan. Dengan demikian implementasi (proses) adalah merupakan

pelaksanaan kurikulum ide dan kurikulum tertulis.

Meskipun pada dasar atau idealnya kurikulum dalam dimensi proses ini

merupakan implementasi dari apa yang telah digagas dan dituangkan dalam

program tertulis, namun bukan berarti kurikulum dalam dimensi proses ini

semata mengimplementasikan apa yang digagas dan telah diprogramkan secara

tertulis, sebaliknya adakalanya dalam proses ini dapat muncul hal-hal baru,

merubah dan meniadakan apa yang telah digagas dan diprogramkan secara

tertulis tersebut, karena ada situasi dan kondisi yang mengharuskannya untuk

dilakukan perubahan.

4) Kurikulum sebagai Hasil belajar.

Kurikulum sebagai suatu produk atau hasil belajar, sebagaimana

dikemukakan oleh Leithwood (1982), pada dasarnya merupakan kelanjutan dan

dipengaruhi oleh kurikulum sebagai kegiatan. Ia juga merupakan dimensi

kurikulum yang dipengaruhi secara langsung oleh kurikulum sebagai ide,

terutama ide yang ada pada diri guru. Dengan demikian ia merupakan dimensi

kurikulum tersendiri (Hasan, 1988).

Sebagai dimensi kurikulum tersendiri, ia merupakan dimensi kurikulum

yang banyak dibicarakan orang, sehingga dalam kenyataan sehari-hari orang

mempergunakan produk ini sebagai indikator dan tolok ukur untuk menentukan

keberhasilan pendidikan siswa. Bahkan ia juga digunakan orang untuk

menentukan keberhasilan karier siswa tersebut dimasa pasca pendidikan.

Page 11: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Dengan perkataan lain, kurikulum sebagai dimensi hasil ini sama pentingnya

dengan kurikulum dalam dimensi lain, atau bahkan ada yang menganggap lebih

penting dari dimensi lainnya (Hasan, 1988:36).

Kurikulum sebagai hasil belajar ini juga menjadi perbincangan para pakar

dan praktisi kurikulum, apakah ia merupakan sebuah dimensi sen-diri atau

hanya merupakan bagian dari sistem atau aspek kurikulum. Hasan (1988)

mengemukakan sebagai berikut:

…pada waktu kegiatan evaluasi secara formal dilakukan, evaluasi kurikulum

berhubungan dengan hasil belajar tetapi orang tidak mengaitkan hasil belajar itu

sebagai salah satu dimensi pengertian kurikulum. Meskipun demikian, hasil

evaluasi itu digunakan untuk memperbaiki ataupun mengganti kurikulum dalam

dimensi sebagai rencana. Usaha paling jauh yang dilakukan ialah memasukkan

hasil belajar sebagai salah satu komponen kurikulum sebagai rencana. Artinya,

ia harus dikembangkan tetapi tidak dianggap sebagai kurikulum dalam dimensi

sendiri.

Banyak pakar yang menganggap hasil belajar hanya merupakan bagian

dari aspek kurikulum sebagai rencana, diantaranya Tyler (1950), Beaucham

(1981), Zais (1976). Sebaliknya tidak sedikit juga yang memandang hasil belajar

sebagai dimensi kurikulum tersendiri. Miller & Seller (1985) adalah salah satu

pakar kurikulum yang menjadikan evaluasi sebagai salah satu dimensi tersendiri

dari kurikulum. Dalam bukunya “Curriculum Perspektif and Practice (1985)”, ia

tidak memasukkan evaluasi sebagai salah satu aspek kurikulum sebagai

rencana, ia membahasnya tersenidiri. Pakar yang lebih tegas memandang

kurikulum sebagai sebuah hasil belajar adalah Johnson (1967). Sebagaimana

dikemukakan di atas, ia memandang kurikulum hanya merupakan "a structured

series of intended learning outcomes” (Zais, 1976:9). Pakar lain, menurut Hasan

(1988:35), seperti McDonal, Popham dan Baker, serta Inlow, juga menganggap

kurikulum hanya sebagai hasil belajar, sedangkan dimensi pengertian lainnya

tidak diakui.

Page 12: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Meskipun telah terjadi perkembangan dalam konsep kurikulum dari definisi

tradisional ke modern atau dari definisi sempit ke luas, namun konsep kurikulum

tradisional atau sempit tidak berarti telah ditinggalkan sama sekali. Pada hal-hal

tertentu atau pada situasi tertentu masih tetap digunakan. Bahkan secara real

dalam dunia pendidikan, para praktisi pendidikan umumnya masih

menggunakan konsep kurikulum yang sempit atau pengertian tradisional, di

samping juga telah melaksnakan pengertian kurikulum modern. Dalam konteks

ini, jika para praktisi pendidikan seperti: guru, siswa, dan praktisi pendidikan

lainnya ditanya tentang kurikulum, maka mereka pada umumnya memberikan

jawaban sebagaimana digambarkan dalam pengertian sempit atau tradisional di

atas, yakni sejumlah mata pelajaran. Begitu juga, kegiatan belajar yang

dilaksanakan dan dihargai sebagai hasil belajar mayoritas dalam lingkup

pemberian sejumlah mata/materi pelajaran yang dilaksnakan oleh para guru di

sekolah, atau lebih khusus lagi, yang diberikan dalam kegiatan tatap muka di

dalam kelas (jam terjadwal).

KOMPONEN KURIKULUM

Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu:

1) Tujuan;

Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara

telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui

berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah

negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan

lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan

pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang

disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan

secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:

a. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes,

knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective

life to the greatest possible extent.

b. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by

coverring them an equal basic education.

Page 13: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

c. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over

the generation but also guide education towards mutual understanding and

towards what has become a worldwide realization of common destiny.)

Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat

dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa: ”Pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan

untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab”..

Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran

makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan

pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau

satuan pendidikan tertentu. Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007

dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan

menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.

a. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan,

pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup

mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

b. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan,

pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup

mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

c. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan,

pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup

mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

d. Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam

tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata

pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan.

Page 14: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan

tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu

perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan

pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih

operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap

mata pelajaran.

Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat

spesifik dan lebih menggambarkan tentang “what will the student be able to do

as result of the teaching that he was unable to do before” (Rowntree dalam Nana

Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat

operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang

hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada

pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam

aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih

Sukmadinata (1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin

dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :

a. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik,

dengan:

i. menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat

diamati;

ii. menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan

iii. memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat

digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja

sama.

b. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam

bentuk: ketepatan atau ketelitian respons; (kecepatan, panjangnya dan

frekuensi respons.

c. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku

peserta didik berupa : kondisi atau lingkungan fisik; dan (kondisi atau

lingkungan psikologis.

Page 15: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat

penting. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional

ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat

berikutnya. Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan

kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum

yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme,

essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan

kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan

cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau

aspek kognitif.

Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme

sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses

pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada

upaya pengembangan aspek afektif. Pengembangan kurikulum dengan

menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan

pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang

krusial dan kemampuan bekerja sama. Sementara kurikulum yang

dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan

teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada

pencapaian kompetensi.

Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan

dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin

untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu

filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan

konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan

pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan

mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat

yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan

secara bereimbang.

2) Materi pembelajaran

Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari

filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas

bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme,

Page 16: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal

yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan

sistematis, dalam bentuk :

a. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling

berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan

menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan

maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.

b. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-

kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.

c. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus,

bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.

d. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang

mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.

e. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran

yang harus dilakukan peserta didik.

f. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting,

terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.

g. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan

dalam materi.

h. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk

memperjelas suatu uraian atau pendapat.

i. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu

hal/kata dalam garis besarnya.

j. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran

dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.

Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih

memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh

karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh

peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat

konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk

tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang

krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam.

Page 17: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak

diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal

yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi

pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian

atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.

Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang

melandasi pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan

materi pembelajaran,. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk

menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat

tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan

fleksibel..

Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk

menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan

kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan

hal-hal berikut :.

a. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-

benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi

yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan

memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.

b. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta

didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.

c. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis

maupun non akademis. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk

dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak

terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan

kondisi setempat.

d. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat

memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa

ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri

kemampuan mereka.

Page 18: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana

Syaodih Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan

materi pembelajaran, yaitu :

a. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung

urutan waktu.

b. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung

hubungan sebab-akibat.

c. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung

struktur materi.

d. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi

pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang

sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis

sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks

menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran

disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur,

dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.

e. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik

atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan,

diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.

f. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai

dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah

yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan

masalah; (penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian

hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.

g. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan

peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada

kesempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a)

sampai (c) peserta didik diminta untuk mengadakan pengujian hipotesis

h. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai

menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki

urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi

tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-

mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut hingga perilaku terakhir.

Page 19: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

3) Strategi pembelajaran;

Telah disampaikan bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang

melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan

tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula

terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila

yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-

intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung

filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi

pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru.

Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan

dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik

hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi

dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya

bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar.

Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.

Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat

reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang

seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu

sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya

sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana

cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan

belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan

dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses

pembelajaran melalui dinamika kelompok.

Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik

pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi

lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika

kelompok (kooperatif), seperti: pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau

role playing, diskusi, dan sejenisnya.

Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya

sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha

menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta

didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi

peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai

Page 20: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para

peserta didiknya secara personal.

Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang

menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri

dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan

materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam

pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar

secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik

untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet

atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih

cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan

mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai

dengan apa yang telah didesain sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk

menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki

kelemahan dan keunggulannya tersendiri.

4) Organisasi Kurikulum

Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum

memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum.

Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:

a. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah

mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada

hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada

waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan

kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama

b. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk

mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata

pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok

yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami

pelajaran tertentu.

c. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa

pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri

yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran.

Page 21: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata

pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.

d. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum

yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada

mata pelajaran.

e. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit

masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran

tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan

belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata

pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.

f. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara

organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik

5) Evaluasi.

Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian

terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian

tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang

bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum

evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students

toward objectives or values of the curriculum”

Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum

dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau

dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada

efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program.

Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum,

yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the

capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to

which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”

Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program

evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi

kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan

sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem

kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu

dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.

Page 22: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-

persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-

syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and valuing,

orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and

validity and integration.”

Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang

menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan

adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk

mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen

yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes

prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk

mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori,

interview, catatan anekdot dan sebagainya

Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan

kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan

dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh

para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam

memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan

pengembangan model kurikulum yang digunakan.

Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru,

kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan

membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih

metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan

lainnya. (disarikan dari Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)

Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga

pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis

komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.

Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya

adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak

pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh

berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan

program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan

program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja

(performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu,

Page 23: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan

kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam

(1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context,

Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program

tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan

dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah,

sebagai berikut :

a. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis

tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program

yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang

bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu

tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang

bersangkutan, dan sebagainya.

b. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan,

seperti: dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan,

staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan

dan sebagainya.

c. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi :

pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan

oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.

Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup :

jangka pendek dan jangka lebih panjang.

B. PANDANGAN MENGENAI DIMENSI KURIKULUM KETERKAITANNYA

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa keempat dimensi kurikulum

idealnya merupakan dimensi yang saling berhubungan satu dengan lainnya

Idealnya sebuah kurikulum adalah merupakan sebuah sistem dan rangkaian yang

berkesinambungan antara ide, rencana, proses dan hasil. Dalam hal ini, ide adalah

merupakan dimensi awal yang kemudian dituangkan dalam bentuk kurikulum

rencana tertulis. Rencana tertulis itu kemudian diimplementasikan dalam proses

pembelajaran, yang kemudian dari implementasi tersebut diharapkan menghasilkan

hasil yang sesuai dengan apa yang direncanakan atau digagas.

Page 24: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Meskipun demikian, dalam prakteknya keempat dimensi tersebut tidak selalu

sejalan. Dalam hal ini, sering terjadi ide tidak persis sama dengan apa yang

direncanakan secara tertulis; rencana tertulis tidak persis sama dengan apa yang

dilaksnakan (proses); dan apa yang dilaksanakan tidak persis sama dengan apa

yang dihasilkan. Ketidak sesuaian dan ketidak sejalanan tersebut biasanya

disebabkan kondisi-kondisi dan tuntutan pada setiap tahap dimensi yang berbeda

atau muncul belakangan.

Kondisi dan tuntutan ketika ide kurikulum digagas sering tidak sama dengan

ketika kurikulum tersebut dirancang secara tertulis, dan seterusnya. Meskipun

idealnya antara ide dan rancangan tertulis semestinya sama karena keduanya

merupakan ideal/potensial kurikulum, namun sering keduanya tidak bisa sama

persis, karena ketika ide dituangkan dalam sebuah rencana tertulis sering terdapat

hal-hal teknis yang harus disesuaikan. Begitu juga ketika ideal kurikulum

diimplementasikan dalam bentuk actual kurikulum, sering kali terjadi

ketidaksejalanan karena kondisi dan situasi ketika kurikulum ideal

diimplementasikan di lapangan. Selanjutnya hasil yang didapatkan juga sering tidak

sesuai dengan actual kurikulum dan ideal kurikulum, karena hasil juga dipengaruhi

oleh berbagai kondisi internal dan eksternal guru dan siswa itu sendiri. Tidak jarang

pengaruh hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) yang muncul ketika ide

diimplementasikan memberikan pengaruh dominan terhadap hasil yang dicapai.

Selain beragai pandangan tentang konsep kurikulum di atas, kurikulum juga

dapat dilihat dari tingkat keberadaan kurikulum tersebut. Di Amerika Serikat dikenal

tingkat dan jenis kurikulum mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi, dimulai

dari kurkulum kelas (classroom curriculum), kurikulum sekolah (school curriculum),

kurikulum local (local curriculum), kurikulum regional (region curriculum), kurikulum

negara bagian (state curriculum), kurikulum bangsa (nation curriculum), dan

kurikulum dunia (world curriculum).

Di Indonesia dikenal ada empat tingkatan dan jenis kurikulum, yaitu:

a. Kurikulum Nasional (Negara) yang terdapat dalam Undang-undang Dasar,

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan GBHN. Kurikulum ini

merupakan rencana dan pedoman kegiatan pendidikan secara nasioanal, yang

berisikan tujuan, materi, strategi dan evaluasi pelaksanaan pendidikan nasional.

Page 25: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

b. Kurikulum Institusional (kurikulum tingkat lembaga pendidikan/satuan

pendidikan) yang ada pada setiap lembaga pendidikan pada jenis dan

jenjangnya masing-masing. Kurikulum ini merupakan rencana dan pedoman

kegiatan pendidikan pada masing-masing lembaga pendidikan yang berisikan

tujuan, materi, strategi dan evaluasi pelasaksaan pendidikan pada lembaga

yang bersangkutan.

c. Kurikulum Mata Pelajaran/Bidang Studi yang ada pada setiap mata

pelajara/bidang studi yang diberikan pada setiap lembaga pendidikan. Kurikulum

ini merupakan rencana dan pedoman kegiatan pendidikan dan pembelajaran

yang berisikan tujuan, materi, strategi dan evaluasi pelaksanaan

pendidikan/pembelajaran pada setiap mata pelajaran/bidang studi yang

bersangkutan.

d. Kurikulum Instruksional/Pembelajaran yang merupakan pengembangan dan

implementasi masing-masing materi pelajaran yang ada pada setiap bidang

studi/mata pelajaran. Kurikulum ini berisikan rencana dan pedoman pelaksanaan

kegiatan pembelajaran yang dikembangkan oleh setiap guru untuk mencapai

tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan penuntasan penyampaian materi

pelajaran yang telah ditetapkan dalam setiap kurikulum mata pelajaran/bidang

studi.

Sesungguhnya selain empat jenis dan tingkat kurikulum di atas, sejalan

dengan diterapkannya disentralisasi pendidikan, dikenal juga jenis/tingkat kurikulum

lokal dan regional. Hanya saja kurikulum yang terakhir ini tidak atau kurang

mendapat perhatian dalam praktek pendidikan. Kurikulum lokal adalah suatu

kurikulum yang disusun untuk daerah tertentu, seperti kurikulum untuk

kabupaten/kota atau propinsi atau daerah tertentu yang memiliki ciri khas dan

kebutuhan tersendiri.

Page 26: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

C. PERBEDAAN KONSEPSIONAL ANTARA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

Berdasarkan UUSPN 2 tahun 1989, Pendidikan adalah usaha sadar untuk

mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau

latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Pengertian pendidikan menurut

UU Sisdiknas 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar, agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara RI, yang bersumber pada ajaran

agama, keanekaragaman budaya Indonesia dan tanggap terhadap perubahan

zaman.

Secara ontologism pengertian pelatihan dijabarkan oleh beberapa ahli sebagai

berikut:

a. Friedman dan Yardough (1985: 4); training is a process used by organization to

meet their goals. It calld into operation when discrepancy is perceived between

the current situation and preferred state of affair. The trainer role is to facilitate

trainees movement from the statue quo toward the ideal. (pelatihan merupakan

upaya pembelajaran yang diselenggarakan oleh organisasi untuk pemenuhan

kebutuhan dan untuk mencapai organisasi. Pelatihan dianggap berhasil bila

menyiapkan performan SDM yang seharusnya diinginkan oleh organisasi

penyelenggara pelatihan. Peran pelatih, membantu membelajarkan peserta

pelatihan untuk mengubah perilaku yang biasa ditampilkan menjadi perilaku

yang diharapkan oleh organisasi).

b. George F. Kneller (1984); pelatihan mengandung beberapa arti; pertama, proses

penyampaian dan pemilikan keterampilan, pengetahuan dan nilai, kedua, produk

dari proses yaitu pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam pelatihan.

Ketiga, kegiatan professional yang diperlukan pengalaman khusus dan

pengakuan (sertifikasi). Keempat, suatu disiplin akademik yaitu kegiatan

terorganisasi untuk mempelajari proses, produk, dan profesi pelatihan dengan

menggunakan kajian filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan tentang manusia

yang bermasyarakat.

Page 27: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

c. Rothwell (1996: 6-7); pelatihan sering diberi arti education, development, training

and development, employee education, personel development, inservice

education, human resources development, human performance technology,

human performance improvement, organization development, human

performance enhancement.

d. Jhonson dalam Craig (1976); pelatihan merupakan kegiatan yang disengaja,

unuk memecahkan masalah sumber daya manusia dan atau masalah yang

dihadapi oleh lembaga dalam upaya peningkatan produktivitas.

e. Michael J. Jucius dalam Moekijat (1991: 2) menjelaskan istilah latihan untuk

menunjukkan setiap proses untuk mengembangkan bakat, keterampilan dan

kemampuan pegawai guna menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu.

f. Andrew E.Sikula (1981); training is a short term educational process utilizing a

systematic and organized procedure by which non managerial personnel learn

technical knowledge and skill for defenitife purpose. Development in reference to

staffing and personal matter is along term education process utilizing a

systematic and organized procedure by which managerial personnel learn

conceptual knowledge and skill for general purpose. (pelatihan merupakan suatu

proses (kegiatan) pendidikan jangka pendek dengan menggunakan prosedur

sistematis dan terorganisasi dimana orang-orang selain manajer mempelajari

pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun

pengembangan adalah proses jangka panjang dengan menggunakan prosedur

sistematis dan terorganisasi dimana tenaga manajer mempelajari pengetahuan

secara konseptual dan teoritis dalam mencapai tujuan yang bersifat umum.

g. Departemen of Employment dalam Peter Bramley (1991:xiv); pelatihan adalah

systematic development of attitude/knowledge/skill/behavior pattern required by

an individual to perform adequately a given task or job. (pelatihan merupakan

upaya pengembangan sistematik suatu sikap/ pengetahuan/ keterampilan/ pola

perilaku yang diperlukan oleh seseorang untuk memiliki kemampuan melakukan

tugas atau pekerjaan yang tepat.

h. Ernesto A. Franco (1991) mengemukakan pelatihan adalah suatu tindakan untuk

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang pegawai yang

melaksanakan pekerjaan tertentu

Page 28: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

i. Henry Simamora (1995); pertama, pelatihan adalah serangkaian aktivitas yang

dirancang untuk meningkatkan berbagai keahlian, pengetahuan, pengalaman,

yang berarti perubahan sikap, kedua, pelatihan merupakan penciptaan

lingkungan tertentu dimana pegawai dapat memperoleh dan mempelajari sikap,

kemampuan, keahlian, pengetahuan dan perilaku secara spesifik berkaitan

dengan pekerjaan. Ketiga, pelatihan berkenaan dengan perolehan keahlian

tertentu yang diarahkan untuk membantu pegawai dalam melaksanakan

pekerjaan mereka pada saat ini dengan lebih baik.

j. Sumantri (2000:2) mengartikan pelatihan sebagai: “proses pendidikan jangka

pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir.

Para peserta pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang

sifatnya praktis untuk tujuan tertentu”. Menurut Good, 1973 pelatihan adalah

suatu proses membantu orang lain dalam memperoleh skill dan pengetahuan

(M. Saleh Marzuki, 1992: 5).

k. Definisi pelatihan menurut Center for Development Management and

Productivity adalah belajar untuk mengubah tingkah laku orang dalam

melaksanakan pekerjaan mereka. Pelatihan pada dasarnya adalah suatu proses

memberikan bantuan bagi para karyawan atau pekerja untuk menguasai

keterampilan khusus atau membantu untuk memperbaiki kekurangan dalam

melaksanakan pekerjaan mereka.

l. Hadari Nawawi (1997) menyatakan bahwa pelatihan pada dasarnya adalah

proses memberikan bantuan bagi para pekerja untuk menguasai keterampilan

khusus atau membantu untuk memperbaiki kekurangannya dalam

melaksanakan pekerjaan. Fokus kegiatannya adalah untuk meningkatkan

kemampuan kerja dalam memenuhi kebutuhan tuntutan cara bekerja yang

paling efektif pada masa sekarang.

Secara epistimilogis, kajian dapat dilihat dari pengembangan system pelatihan,

apakah memiliki masukan, proses dan keluaran. Secara axiologis, kajian pelatihan

berguna bagi individu, lembaga, organisasi dan masyarakat.

Menurut Notoadmodjo (1992) pendidikan di dalam suatu organisasi adalah

suatu proses pengembangan kemampuan ke arah yang diinginkan oleh organisasi

yang bersangkutan. Sedang pelatihan merupakan bagian dari suatu proses

pendidikan, yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan

khusus seseorang atau kelompok orang.

Page 29: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Westerman dan Donoghue (1992) memberikan pengertian pelatihan sebagai

pengembangan secara sistimatis pola sikap/pengetahuan/keahlian yang diperlukan

oleh seseorang untuk melaksanakan tugas atau pekerjaannya secara memadai.

Sedangkan Latoirner seperti dikutip oleh Saksono (1993) mengemukakan

bahwa para pegawai dapat berkembang lebih pesat dan lebih baik serta bekerja

lebih efisien apabila sebelum bekerja mereka menerima latihan di bawah bimbingan

dan pengawasan seorang instruktur yang ahli. Otto dan Glasser (dalam Martoyo,

1992) menggunakan istilah “training” (latihan) untuk usaha-usaha peningkatan

pengetahuan maupun keterampilan pegawai, sehingga didalamnya sudah

menyangkut pengertian “education” (pendidikan).

Mengenai perbedaan pengertian pendidikan dan pelatihan Martoyo (1992)

mengemukakan bahwa meskipun keduanya ada perbedaan-perbedaan, namun

perlu disadari bersama bahwa baik training (latihan) maupun development

(pengembangan/pendidikan), kedua-duanya menekankan peningkatan keterampilan

ataupun kemampuan dalam human relation. Pendidikan pada umumnya berkaitan

dengan mempersiapkan calon tenaga yang diperlukan oleh suatu instansi atau

organisasi, sedangkan pelatihan lebih berkaitan dengan peningkatan atau

keterampilan pegawai yang sudah menduduki suatu pekerjaan atau tugas tertentu.

Dalam suatu pelatihan orientasi atau penekanannya pada tugas yang harus

dilaksanakan (job orientation), sedangkan pendidikan lebih pada pengembangan

kemampuan umum. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan, ketrampilan serta

sikap-sikap kerja yang kondusif bagi penampilan kinerja pegawai, diselenggarakan

pendidikan dan pelatihan pegawai, dan diklat pegawai ini didasarkan atas analisis

kebutuhan yang memadukan kondisi nyata kualitas tertentu selaras dengan program

rencana jangka panjang organisasi.Notoatmodjo (1992) mengemukakan bahwa

pendidikan dan pelatihan adalah merupakan upaya untuk pengembangan sumber

daya manusia, terutama untuk pengembangan aspek kemampuan intelektual dan

kepribadian manusia. Penggunaan istilah pendidikan dan pelatihan dalam suatu

institusi atau organisasi biasanya disatukan menjadi diklat (pendidikan dan

pelatihan).

Page 30: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Simanjuntak mengemukakan bahwa pendidikan dan pelatihan merupakan

salah satu faktor yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia.

Pendidikan dan pelatihan tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga

meningkatkan keterampilan bekerja, dengan demikian meningkatkan produktivitas

kerja.

Pengertian-pengertian di atas mengarahkan kepada penulis untuk

menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan konsep pelatihan dalam hal ini adalah

proses pendidikan yang di dalamnya ada proses pembelajaran dilaksanakan dalam

jangka pendek, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan

keterampilan, sehingga mampu meningkatkan kompetensi individu untuk

menghadapi pekerjaan di dalam organisasi sehingga tujuan organisasi dapat

tercapai. Dengan demikian dapat simpulkan bahwa “pelatihan sebagai suatu

kegiatan untuk meningkatkan kinerja saat ini dan kinerja mendatang”.

Dalam pelatihan pada prinsipnya ada kegiatan proses pembelajaran baik teori

maupun praktek, bertujuan meningkatkan dan mengembangkan kompetensi atau

kemampuan akademik, sosial dan pribadi di bidang pengetahuan, keterampilan dan

sikap, serta bermanfaat bagi karyawan (peserta pelatihan) dalam meningkatkan

kinerja pada tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

Perbedaan yang nyata dengan pendidikan, diketahui bahwa pendidikan pada

umumnya bersifat filosofis, teoritis, bersifat umum, dan memiliki rentangan waktu

belajar yang relatif lama dibandingkan dengan suatu pelatihan. Sedangkan yang

dimaksudkan dengan pembelajaran, mengandung makna adanya suatu proses

belajar yang melekat terhadap diri seseorang. Pembelajaran terjadi karena adanya

orang yang belajar dan sumber belajar yang tersedia. Dalam arti pembelajaran

merupakan kondisi seseorang atau kelompok yang melakukan proses belajar.

Page 31: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

D. MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM

Model Pengembangan kurikulum dapat dilakukan melalui:

a. Top-down the administrative model

Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama dan

paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan kurikulum datang dari para

administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan

wewenang administrasinya, membentuk suatu Komisi atau Tim Pengarah

pengembangan kurikulum. Anggotanya, terdiri dari pejabat di bawahnya, para ahli

pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan

perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-

landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum.

Selanjutnya administrator membentuk Tim Kerja terdiri dari para ahli pendidikan, ahli

kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan guru-guru senior, yang

bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional

menjabarkan konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh Tim

pengarah, seperti merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional, memilih

sekuens materi, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun

pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru. Setelah Tim Kerja

selesai melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah serta para

ahli lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten.

Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik,

administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena

datangnya dari atas, maka model ini disebut juga model Top-Down. Dalam

pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah

berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.

b. The grass root model.

Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan

upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu

guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan

dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi,

sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang

Page 32: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots

seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah

mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau

penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau

beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen

kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan

guru-guru, fasilitas biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan

kurikulum model grass root tampaknya akan lebih baik.

Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana,

pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling

tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun

kurikulum bagi kelasnya.

Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku

untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat

digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain.

Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya,

memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem

pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih

mandiri dan kreatif.

Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,

tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-

root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif

tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya

manusia yang tersedia di sekolah.

Page 33: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

PROSESPENGKAJIANKEBUTUHANPELATIHAN

PROSESEVALUASIPROGRAMPELATIHAN

PROSESPERUMUSAN

TUJUANPELATIHAN

PROSESMERANCANG

PROGRAMPELATIHAN

PROSESPELAKSANAAN

PROGRAMPELATIHAN

2. KONSEP MODEL PELATIHAN SEBAGAI SUATU PROSES YANG INTEGRAL

Kelima proses tersebut dilakukan secara

sistematis, terencana dan terarah satu

sama lain saling mempengaruhi, sehingga

jika satu proses tidak dilaksanakan

sebagaimana mestinya, maka proses

lainnya akan terganggu. Berikut ini,

penjelasan mengenai setiap proses:

a. Proses pengkajian kebutuhan pelatihan.

Mengkaji adanya kesenjangan antara standar kinerja dengan tingkat kinerja

yang dicapai atau dimiliki. Pengkajian yang benar akan mengarahkan pelatihan

yang berorientasi kepada kebutuhan.

b. Proses perumusan tujuan pelatihan

Merumuskan secara tepat dan benar kesenjangan kinerja yang terjadi, dan

menetapkan dengan jelas kemampuan yang harus ditingkatkan. Tujuan

pelatihan dirumuskan dalam bentuk kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta

latih seusai pelatihan. Untuk itu, rumusan tujuan harus jelas, terukur, dan dapat

dicapai.

c. Proses merancang program pelatihan

Kompetensi yang telah dijabarkan sebelumnya dalam rumusan tujuan

selanjutnya diuraikan dalam kegiatan operasional yang dapat diukur.

Proses perancangan ini harus menghasilkan:

1) Kurikulum, dirancang berbasis kompetensi yang harus dicapai dan diuraikan

dalam:

a) Materi pelatihan

b) Metode penyampaian (pembelajaran)

c) Proses pembelajaran setiap materi

d) Proporsi dan alokasi waktu

2) Metode penyelenggaraan pelatihan (dalam kelas, lokakarya, pembelajaran

jarak jauh, ataupun magang).

3) Rancangan alur proses pelatihan

Page 34: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

d. Proses pelaksanaan program pelatihan

Terdiri dari rangkaian kegiatan pelaksanaan program pelatihan yang

berpedoman pada kurikulum, metode penyelenggaraan, dan rancangan alur

proses pelatihan. Dengan benar-benar mengacu pada langkah ketiga tersebut,

dapat dipastikan bahwa kompetensi yang diharapkan akan dapat tercapai.

Proses ini didahului dengan persiapan yang menghasilkan komponen berikut ini:

1) Kerangka Acuan

2) Jadwal pelatihan

3) Pelatih yang sesuai dengan kriteria

4) Kelengkapan sarana dan prasarana diklat maupun penunjangnya

5) Master of Training

6) Format-format yang dibutuhkan

Selama proses pelaksanaan program pelatihan ini berlangsung, kegiatan

pemantauan dan pengendalian perlu dilakukan untuk meminimalisasi kejadian

penyimpangan baik dari tujuan maupun dari langkah-langkah sebelumnya.

e. Proses evaluasi program pelatihan

Merupakan kegiatan penilaian terhadap pelaksanaan program pelatihan meliputi

penilaian terhadap peserta, pelatih, penyelenggara, dan pencapaian tujuan

pelatihan.

Terdapat tiga tahap evaluasi pelatihan berdasarkan tahapannya, yaitu:

1) Penilaian tahap pra pelatihan yang meliputi empat komponen:

a) Peserta

b) Kurikulum

c) Pelatih

d) Institusi penyelenggara

2) Penilaian tahap selama pelatihan mencakup

a) Input

b) Proses

c) Output

3) Penilaian tahap paska pelatihan dilakukan terhadap

a) Hasil pelatihan

b) Dampak pelatihan

Page 35: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

3. Karakteristik rancangan kurikulum pelatihan berbasis pembelajaran

a. Berdasarkan standar kompetensi.

b. Isi pelatihan diorientasikan pada kemampuan yang dibutuhkan untuk

melakukan tugas tertentu.

c. Pelatihan dapat berupa on-job, off-job atau kombinasi keduanya.

d. Adanya fleksibilitas waktu untuk mencapai suatu kompetensi.

e. Adanya pengakuan terhadap kompetensi mutakhir/yang dimiliki saat ini.

f. Pengujian berdasarkan kriteria tertentu.

g. Pengujian dilakukan jika peserta pelatihan sudah siap.

h. Menekankan pada kesanggupan untuk mentransfer pengetahuan dan

keterampilan pada situasi baru.

4. Model-model perencanaan program pendidikan dan pelatihan

a. Komprehensif

Perencanaan yang berfungsi untuk menjawab masalah yang terjadi karena

adanya perubahan dalam sistem. model perencanaan ini menghasilkan

rencana komprehensif yang harus dijabarkan lagi dalam bentuk rencana

yang lebih spesifik

b. Target setting

Model ini diperlukan dalam upaya memenuhi proyeksi semua kebutuhan

jenis tertentu pada waktu tertentu dengan mempertimbangkan

perkembangan pada kurun waktu tertentu.

c. Efisiensi biaya

Diterapkan apabila dukungan pembiayaan terbatas. Diklat tidak lepas dari

pembiayaan. Program tidak dapat dilakukan sepenuhnya, ada pengurangan

bagian tertentu.

d. Planning programming budgeting system (PPBS)

Perencanaan, penyusunan program dan penganggaran dipandang sebagai

suatu sistem yang tidak terpisahkan (baik jangka pendek, menengah,

maupun jangka panjang)

Page 36: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

e. Input-output process

Mengutamakan pengkajian terhadap interelasi dan interpedensi berbagai

masukan yang ada dan keluaran yang akan dihasilkan . biasanya diterapkan

pada proses transformasi suatu program baik bersifat program baru maupun

program peningkatan.

i. Econometric analysis

banyak menggunakan data dan fakta yang valid dan realistik sehingga dapat

memperkirakan perubahan yang terjadi dalam kaitannya dengan faktor

ekonomi.

j. Value added analysis

Dilaksanakan berdasarkan keberhasilan pelayanan (jasa). Keberhasilan

program pelayanan disuatu tempat digunakan sebagai bahan untuk

merancang program serupa di tempat lain.

Page 37: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

HASIL UJIAN TENGAH SEMESTERPENGEMBANGAN KURIKULUM

PELATIHAN

Oleh:

BETTA NOOR PUSPITANPM. A2M009122

Diajukan Sebagai Hasil Jawaban UTS Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum PelatihanDosen Pengampu : Dr. Alexon, M.Pd

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA (S2)

TEKNOLOGI PENDIDIKANFAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN PENDIDIKAN

UNIVERSITAS BENGKULU2011

Page 38: UAS PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTERPENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Petunjuk: Jawablah setiap pertanyaan di bawah ini dengan uraian kajian dan analisis

konseptual yang kuat. Boleh berdiskusi dengan teman lain dalam mencari solusi

soal, namun penuangannya dalam tulisan (redaksional) tidak boleh sama (plagiat).

Jawabannya diketik di kertas ukuran kwarto (A4), 1,5 spasi, dijilid dan dikumpul

tanggal 16 April 2011.

2. Banyak pakar mengemukakan pandangannya mengenai konsep kurikulum.

Salah seorang diantaranya adalah Hamid Hasan. Hamid Hasan mengemukakan

4 dimensi  kurikulum, yakni ide, rencana, implementasi dan hasil.

a. Bagaimana konsep dan komponen kurikulum menurut Saudara?

b. Bagaimana pandangan Saudara mengenai Ke-4 dimensi kurikulum tersebut

serta bagaimana keterkaitan konsepsional diantaranya?

c. Bagaimana perbedaan konsepsional antara pendidikan dan pelatihan?

d. Bagaimana model pengembangan kurikulum yang sering digunakan di

Indonesia?

3. Bagaimana pendapat saudara mengenai keterkaitan konsep model pelatihan

sebagai suatu proses yang integral?

4. Bagaimana karakteristik rancangan kurikulum pelatihan berbasis pembelajaran?

5. Jelaskan model-model perencanaan program pendidikan dan pelatihan yang

Saudara ketahui!