55
i UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM PROSES MENINGGALKAN JALAN TEROR DISERTASI (RINGKASAN) Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor di bidang Psikologi yang dipertahankan dalam Sidang Terbuka Senat Akademik Universitas Indonesia di bawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M. Met. Pada hari Rabu, 13 Januari 2016, pukul 10.00 WIB Gazi NPM. 1006784115 FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI ILMU PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JANUARI 2016

UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

  • Upload
    ngobao

  • View
    233

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

i

UNIVERSITAS INDONESIA

DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM

PROSES MENINGGALKAN JALAN TEROR

DISERTASI (RINGKASAN)

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

di bidang Psikologi yang dipertahankan dalam Sidang Terbuka Senat Akademik

Universitas Indonesia di bawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia

Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M. Met.

Pada hari Rabu, 13 Januari 2016, pukul 10.00 WIB

Gazi NPM. 1006784115

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI ILMU PSIKOLOGI

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

JANUARI 2016

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

ii

TIM PEMBIMBING

Promotor

Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si

Ko-promotor 1

Dr. Bagus Takwin, M.Hum

Ko-promotor 2

Dr. Mirra Noor Milla, S.Sos., M.Si

TIM PENGUJI

Ketua Sidang

Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, MA

Anggota

Prof. Dr. Enoch Markum

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Prof. Dr. Faturrahman

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta

Prof. Dr. Bambang Pranowo

Guru Besar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dra. Amarina Ashar Ariyanto, M.Si, Ph.D

Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Dr. Adriana Soekandar, M.Sc

Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

KETUA PROGRAM STUDI DOKTOR

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA Prof. Dr. Guritnaningsih A. Santoso

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan limpahan anugerah dan berkah sehingga dengan perkenan-Nya penulis dapat

menyelesaikan disertasi ini. Pengalaman dalam proses kuliah dan penulisan disertasi ini

menyadarkan penulis bahwa hidup ini adalah rangkaian ikhtiar panjang dalam mencari takdir bagi

pribadi penulis. Rasa syukur terus terucap di dalam hati dan lisan karena melalui proses belajar

dan penulisan disertasi ini, penulis bertemu dengan orang-orang hebat yang telah memberikan

pembelajaran dan hikmah yang luar biasa bagi perjalanan akademis dan karir.

Penghargaan dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Hamdi

Muluk, M.Si selaku Promotor yang selalu memberikan perhatian, dukungan dan bimbingan

kepada penulis sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini.

Terima kasih Prof. Hamdi..Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Dr. Bagus Takwin, M.

Hum selaku kopromotor 1 yang telah memberikan masukan dan sentuhan berharga atas disertasi

ini. Saya juga harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Mirra Noor

Milla selaku kopromotor 2. Masukan dan koreksi Mba Mirra atas disertasi ini membuat isinya

semakin halus dan terarah dibandingkan sebelum dikoreksi. Terima kasih Mba Mirra atas waktu

dan kesediaan mengoreksi disertasi dengan detil.

Rasa terima kasih yang dalam saya sampaikan kepada Ketua Program Doktor Fakultas

Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Guritnaningsih dan Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Indonesia, Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, MA selaku ketua tim sidang promosi.

Terima kasih juga kepada Dr. Adriana Soekandar Ginanjar, MS selaku Wakil Dekan bidang

pendidikan, peneliitan dan kemahasiswaan, serta Dra. Corrina D.S. Riantoputra, M.Com., Ph.D

selaku Wakil Dekan bidang sumber daya, ventura dan administrasi umum beserta segenap jajaran

staff di bawahnya atas bantuan administrasi selama menjadi mahasiswa program doktor.

Rasa terima kasih yang dalam dan tulus penulis sampaikan pula kepada Prof. Dr.

Bambang Pranowo, Prof. Dr. Enoch Markum, Prof. Dr. Faturrochman MA, Dra. Amarina Ashar

Ariyanto, M.Si., Ph.D dan Dr. Adriana S. Ginanjar selaku tim penguji. Terima kasih atas saran

dan masukan Bapak dan Ibu yang sangat berharga.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada para dosen di Fakultas Psikologi Universitas

Indonesia, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si, Prof. Dr. Enoch Markum, Prof. Dr. Sarlito Wirawan,

Sarwono, Prof. Dr. Ali Nina Liche Seniati, M.Si, Dra. Siti Dharmayati Bambang Utoyo, MA.,

Ph.D, Robby Muhammad, Ph.D, Dr. Rudolf Woodrow Matindas, Dra. Amarina Ashar Ariyanto,

M.Si, Dr. Bagus Takwin, M. Hum, Dra. Ike Anggraika, M.Si. Terima kasih atas ilmu yang Bapak

dan Ibu ajarkan sehingga menambah wawasan dan mengilhami penulis untuk mempersiapkan dan

menulis disertasi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada para tenaga kependidikan Fakultas

Psikologi Universitas Indonesia yaitu Mas Irwan, Mba Siti Mariam, Mas Robin, Pak Suroko dan

lain-lain yang telah membantu kelancaran administrasi. Khusus untuk Pak Suroko terima kasih

atas semua bantuan terkait urusan administrasi sehingga melancarkan proses studi doktor saya..

Terima kasih saya ucapkan kepada para guru dan mentor yang telah mengajarkan saya

selama kuliah di program sarjana. Di antara mereka perlu saya sebutkan: almarhuman Prof. Dr.

Zakiah Daradjat, Ibu Dr. Netty Hartati, M.Si., Ibu Dra Zahratun Nihayah, M.Si., dan Ibu Dr.

Fadhilah Suralaga, M.Si. serta semua dosen dan guru yang tidak disebutkan namanya satu per

satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat saya. Terima kasih, semoga ilmu dan pengalaman yang

diberikan bisa menjadi amal jariah.

Terima kasih tidak lupa saya ucapkan kepada para mantan dekan Fakultas Psikologi UIN

Jakarta (Dr. Netty Hartati, M.Si dan Jahja Umar Ph.D) yang telah mendorong penulis untuk

melanjutkan studi S3 dan memberikan izin untuk konsentrasi belajar demi menambah wawasan

dan ilmu. Terima kasih kepada Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si selaku dekan Fakultas

Psikologi UIN Jakarta yang telah memberikan kemudahan dan dukungan selama proses

penyelesaian studi S3 saya. Terima kasih disampaikan pula kepada Dr. Abdul Rahman Saleh,

Ikhwan Lutfi, M.Si dan Dr. Diana Mutiah, M.Si selaku wakil dekan yang telah memberi dukungan

moral.

Kepada semua rekan dosen dan tenaga kependidikan Fakultas Psikologi UIN Jakarta,

saya ucapkan terima kasih atas persahabatan yang tulus dan kemitraan yang kokoh di antara kita

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

iv

sehingga semua proses menjalankan tugas dan kewajiban sebagai dosen dan mahasiswa doktoral

bisa berjalan dengan lancar.

Terima kasih kepada Pusat Kehidupan Keagamaan dan Pusat Pendidikan Agama dan

Keagamaan Balitbang Kemenag RI, CSRC dan Puslitpen UIN Jakarta yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis dalam mencari pengalaman meneliti..

Terima kasih kepada para petinggi Densus 88 Mabes Polri yang telah memberikan

kesempatan berdiskusi tentang terorisme dan membuka akses untuk bertemu dengan para pelaku

teror di Indonesia. Terima kasih disampaikan kepada Bapak dan Ibu petinggi Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme, Bapak Brigjen Agus yang kini menjadi Panglima Kodam, Prof. Dr.

Irfan Idris, Bapak Dr. Muslih Nasoha yang saat ini kembali bertugas di Kemenhankam, Bapak

Kolonel Marinir Jon, Bapak Kolonel Marinir Andi, Mbak Phobe, Mas Sholehudin dan lain-lain

yang tidak disebutkan namanya satu per satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat saya. Terima

kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mitra dalam kegiatan deradikalisasi BNPT

sehingga membuka akses bagi saya dengan para pelaku teror di dalam penjara maupun di luar

penjara.

Terima kasih kepada para kepala Lapas yang pernah saya kunjungi. Kalapas Porong,

Kalapas Semarang, Kalapas Tangerang, Kalapas Luwuk, Kalapas Makasar, Kalapas Cipinang

termasuk jajaran di bawahnya atas izin dan kesempatan berkunjung untuk menemui para warga

binaan penjara dari kalangan teroris.

Terima kasih saya sampaikan juga kepada teman-teman seangkatan: Mba Arum, Mba

Kiki, Mba Dyah Rini, Mba Okta, Mba Marli, Mba Sita, Mba Rini, Mba Iwus, Mba Beby, Mba

Tika, Mba Melani, Pak Lukman, Kang Gume, Mas Lutfi dan Mas Dadang. Kekompakan dan

persahabatan yang tulus memberikan warna tersendiri dalam kehidupan akademis saya. Mudah-

mudahan persahabatan ini akan meneguhkan jaringan kerja akademis kita di masa depan.

Terima kasih disampaikan pula kepada semua dosen dan tenaga kependidikan di

lingkungan Fakultas Psikologi UIN Jakarta atas dukungan moral dan kehangatan persahabatan

dan kemitraan selama penulis berinteraksi dan bekerja di kantor. Terima kasih yang sebesar-

besarnya saya sampaikan kepada Eci dan Diki yang telah bersedia menjadi paranim, semoga

dimudahkan dalam proses kuliah dan segera menulis disertasi..

Saya juga harus menyampaikan terima kasih kepada Diktis Kemenag RI yang telah

memberikan beasiswa selama tujuh semester dan bantuan studi dari UIN Jakarta selama dua

semester sehingga penulis bisa menyelesaikan kuliah dan penulisan disertasi dengan baik.

Semoga Diktis dan UIN Jakarta berjaya dalam mengembangkan dunia pendidikan dan perguruan

tinggi Islam demi kemaslahatan umat dan bangsa. Terima kasih kepada Muje dan tim yakusanya

yang telah membantu dalam proses transkrip rekaman dan proses tehnis lainnya serta nama-nama

lain yang tidak disebutkan satu per satu. Semoga kalian selalu sukses dalam mengejar cita-cita

dan masa depan.

Saya juga berterima kasih kepada kawan-kawan pegiat “Laboratorium Psikologi Politik

UI pimpinan Bang Hamdi : Mba Mira, Mas Cahyo, Mba Whinda, Mba Sukma yang sekarang jadi

dosen Unibraw, Mas Diki, Mas Alim dan nama-nama lain yang tidak bisa saya sebutkan satu

persatu tetapi tidak mengurangi rasa terima kasih saya kepada kalian. Suasana diskusi dan gairah

serta kuriositas intelektual yang saya dapat dalam suasana kontak akademis di ruangan ini

membuat saya semakin mencintai ilmu pengetahuan dan gemar membaca.. Saya bersyukur

dipertemukan dengan orang-orang hebat seperti kalian...

Disertasi ini saya persembahkan untuk almarhum abah tercinta, H. Said Saleh Saloom,

dan emak tersayang, almarhumah Jawirah, yang telah membesarkan dan mendidik saya dengan

penuh cinta dan kasih sayang. Semoga pesan abah bahwa ilmu adalah warisan paling berharga

dalam hidup bisa diwariskan lagi kepada anak-anak; dan semoga teladan emak sebagai orang

yang tangguh dalam membesarkan dan mendidik anak bisa ditiru. Terima kasih kepada Bang

Zaed Saloom almarhum yang selalu menjadi teman diskusi saat masih hidup semoga Bang Zaed

bahagia di alam sana. Terima kasih saya sampaikan pula kepada Bang Hizam Saloom, yang selalu

bahagia dan bangga dengan capaian adik-adiknya, juga kepada adik-adik saya: Fadlika Saloom,

Najah Saloom, Hilwah Saloom, Nurimamah Saloom dan Faiz Saloom yang selalu mendukung

setiap langkah saya, serta para keponakan. Kepada keluarga besar Saloom di manapun dan

keluarga besar dari pihak emak di Lombok, terima kasih atas dukungan kalian.

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

v

Kepada mertua saya, Ibu Faizah dan Drs. Kurtubi almarhum, semua ipar saya: Kang

Fatur, Ridwan (alm), Ina Rosdiana dan suami, Syifaurrahmah dan suami, serta Oman yang sedang

belajar di Turki, terima kasih atas dukungan dan doa kalian. Semoga Allah memberikan

kebahagiaan dan ketenangan.

Terakhir tetapi yang paling utama dan inti, saya ingin menyampaikan terima kasih dan

cinta yang tulus kepada isteri tersayang, Ummu Athiyah, yang telah mendampingi penulis selama

12 tahun lebih dan telah memberikan tiga orang anak yang sehat dan pintar dengan segala suka-

duka yang menyertai. Terima kasih, isteriku, belahan jiwaku yang tetap setia sampai saat ini. Saya

juga merasa perlu berterima kasih kepada anak-anak saya: Averrous Saloom (Bang Iyus/Verrous),

Imtiyazussaomi Saloom (Kakak Tiyas) dan si bungsu Fawwaz Muluki Saloom (Adik Luki) yang

memberi keceriaan dan kebahagian dalam kehidupan sehari-hari kami. Abah sangat menyayangi

kalian dan berharap semoga kelak kalian bisa meraih pendidikan formal tertinggi dengan waktu

yang lebih cepat dan lebih berkualitas dibandingkan apa yang abah capai sekarang ini.

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

vi

ABSTRAK

Nama : Gazi

Program Studi : Ilmu Psikologi

Judul Disertasi : Dinamika Relasi Sosial Dalam Proses Meninggalkan

Jalan Teror

Studi tentang proses radikalisasi dan terorisme telah banyak dilakukan, namun studi tentang

proses meninggalkan jalan teror masih sangat kurang. Untuk mengisi kekurangan itu, studi disertasi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dan

mengapa para pelaku teror di Indonesia meninggalkan jalan teror. Studi disertasi ini

menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode grounded research. Lima orang mantan

pelaku teror dan anggota Jamaah Islamiyah yang pernah terlibat dalam aksi terorisme dan

pelatihan militer dipilih untuk menjadi subyek studi dengan kriteria yang sesuai dengan tujuan

studi. Lebih dari 40 orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, kekerabatan dan pertemanan

dipilih untuk menjadi narasumber studi. Data studi dikumpulkan melalui wawancara langsung

dengan subyek studi dan dianalisis dengan teknik grounded theory.

Dari hasil studi diperoleh tema-tema tertentu melalui proses open coding, pengelompokan ke

dalam kategori tertentu atau dikonseptualisasi menjadi relasi sosial dan meninggalkan jalan

teror. Kemudian, dihasilkan teori berbasis data tentang dinamika relasi sosial dalam proses

meninggalkan jalan teror.

Kesimpulan studi ini menunjukkan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan

teror, ada rasa bersalah menjadi penyebab penting meninggalkan jalan teror, ada perubahan

keyakinan tentang konteks jihad tetapi jihad tetap ada di dalam pikiran subyek. Selain itu,

disimpulkan bahwa ada tiga dimensi relasi sosial yang ditemukan yaitu dimensi personal,

organisasi dan sosial. Relasi sosial mendorong meninggalkan jalan teror melalui evaluasi

individual dan kolektif dan tindakan mengubah keyakinan tentang jihad dan outgroup.

Kelemahan dan rekomendasi studi didiskusikan.

Kata Kunci : Grounded research, teroris, relasi sosial, deradikalisasi, disengagement,

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

vii

ABSTRACT

Name : Gazi

Study Program : Psychology

Judul Disertasi : Dynamic of Social Relation in Process of Leaving

Terrorism

Many studies on the radicalization and terrorism processes have been conducted. However the

study on process of leaving terrorism is still overlooked.

To fill this gap, present study attempted to address the question of how and why terrorists leave

terrorism in Indonesia. This research employed qualitative method with grounded theory as

design and tool of analysis. Five former terrorists and members of Jamaah Islamiyah who have

involved in terror action and military training were selected as respondents of the study. More

than 40 people who have family relation, kindship and friendship were selected as research

resources. Data were taken by direct in-depth interview and were analyzed using grounded theory

technique.

Through open coding process, specific themes were found and then grouped into some categories,

and through selective coding process a theory on leaving terrorism was built. The theory insisted

on role of dynamic of social relation in process of leaving terrorism. Based on the analysis, it can

be concluded that terrorists could leave terrorism, guilty feeling was one cause of leaving

terrorism, and belief about jihad context could be changed although the idea of jihad could not

be left. Besides, it was concluded that there were three dimensions of social relation dynamic:

personal dimension, organizational dimension, and social dimension. Social relation dynamic

pushed terrorists to leave terrorism through individual and collective evaluation and belief

change on jihad context and outgroup attitudes. Weaknesses and recommendations of the study

were further discussed.

Key words : Grounded research, terrorist, jihad, social relation, deradicalization,

disengagement.

.

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

viii

DAFTAR ISI

Halaman Judul Dalam................................................................................. .............. : i

Tim Pembimbing Dan Tim Penguji...... .................................................... ................. : ii

Ucapan Terima Kasih................................................................................... .............. : iv

Abstrak...................................................................................................... .......... ...... : viii

Daftar Isi.................................................................................................. ........... : x

Daftar Tabel.......................................................................................... .......... .......... : xii

Daftar Gambar..................................................................................... ........... .......... : xiii

A Latar Belakang ......................................................... ........ .................... ......... : 1

B Pertanyaan Penelitian............................................................. ........ ................ : 5

C Tujuan Penelitian.................................................................... ........ ................ : 5

D Telaah Literatur .................... .................... .................... .................... ........... : 5

E Metode Penelitian.................... .................... .................... .................... .......... : 10

F Hasil Penelitian.................... .................... .................... .................... ............. : 11

G Pembahasan Hasil Penelitian.................... .................... .................... ............. : 26

H Kesimpulan.................... .................... .................... .................... .................... : 33

H Rekomendasi.................... .................... .................... .................... ................ : 34

Daftar Pustaka.................... .................... .................... .................... ............... : 34

Riwayat Hidup.................... .................... .................... .................... .............. : 41

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

ix

DAFTAR TABEL

1 Profil subyek penelitian..................................................................... ........ 11

2 Pola meninggalkan jalan teror............................................................ ......... 12

3 Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan subyek............... ......... 14

4 Perubahan pandangan tentang konteks jihad..................................... ......... 15

5 Dari homogenitas outgroup ke heterogenitas outgroup..................... ......... 15

6 Gambaran rasa bersalah..................................................................... ......... 17

7 Identitas kelompok versus identitas personal..................................... ......... 18

8 Konflik nilai personal versus nilai kelompok.................................... ......... 18

9 Deideologisasi jihad........................................................................... ......... 20

10 Gambaran penurunan komitmen..................................................................... 21

11 Konflik interpersonal......................................................................... ......... 24

12 Kontak dengan orang lain di luar kelompok...................................... ......... 25

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

x

DAFTAR GAMBAR

1 Dinamika konflik pemimpin-pengikut................................................ ............. 23

2 Dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror........... ............. 26

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman wawancara......................................................... 205

Lampiran 2 Singkatan dan inisial.......................................................... 206

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

xii

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

1

RINGKASAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelaku teror meninggalkan jalan teror? Apa mungkin? Inilah pertanyaan dan ungkapan

skeptis yang muncul di masyarakat terkait pernyataan mantan pelaku teror yang menyesali aksi

pengeboman di Bali. Telah banyak media massa, baik cetak maupun audio-visual termasuk media

sosial seperti youtube mengabarkan tentang sejumlah pelaku teror yang menyesali keterlibatan

dalam aksi menghancurkan dua tempat hiburan malam Sari Club’s dan Paddy’s Pub yang terkenal

di Jalan Legian Kuta Bali (Imron, 2009; 2010; Tim Lazuardi Birru, 2010)

Pelaku teror Bom Bali yang sampai saat ini masih ditahan di penjara narkoba, AI,

menyatakan penyesalannya melalui buku autobiografinya yang berjudul “Ali Imron Sang

Pengebom”. AI mengungkapkan bahwa keterlibatannya dalam tragedi Bom Bali 1 adalah suatu

kesalahan besar dalam hidupnya. Sebelumnya ia menolak keras rencana pengeboman di Bali

walaupun akhirnya ia terlibat dan bahkan berperan penting (Imron, 2009). Pelaku teror lainnya

yaitu UP yang pernah dipenjara di Guantanamo, pernah dipenjara di Mako Brimob Depok Jawa

Barat dan sekarang dipenjara di Lapas Porong Surabaya Jawa Timur, juga mengungkapkan

penyesalannya di depan publik yang diliput media massa. Pria keturunan Arab yang digambarkan

sebagai “orang berbahaya” ini menangis dan menyesali apa yang telah dia lakukan dalam aksi

Bom Bali, 10 Oktober 2002 (Balipostvideo, 2012).

Untuk menunjukkan bahwa meninggalkan jalan teror benar-benar dilaksanakan, subyek

utama melakukan hal-hal yang memperkuat persepsi publik tentang keputusan mereka. Misalnya,

NA, AA, dan AI menghabiskan waktunya untuk memberikan penyadaran kepada rekan-rekan dan

mantan anak buahnya di Jamaah Islamiyah melalui program deradikalisasi yang diselenggarakan

oleh Mabes Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Tim Penulis Lazuardi Birru,

2010; 2011). Sementara UP menunjukkannya dengan ikut apel bendera Harkitnas di Lapas

Porong Sidoarjo Jawa Timur (Syafidri, 2015).

Fakta ini tentu saja mengagetkan banyak pihak, penyesalan beberapa teroris pelaku bom

Bali atas keterlibatan mereka dalam aksi teror menyisakan keraguan dan pertanyaan di tengah

masyarakat. Benarkah mereka menyesali keterlibatannya dalam aksi teror? Keraguan ini

beralasan karena aksi teror seolah-olah tidak pernah selesai walaupun aparat keamanan terutama

Densus 88 Mabes Polri telah melakukan penangkapan besar-besaran, bahkan menembak mati

sebagian pelaku teror yang melakukan perlawanan.

Hal itu menjelaskan mengapa muncul adigium “terorist is terrorist” (Horgan & Bjorgo,

2009) yaitu keyakinan sebagian orang bahwa pelaku teror tidak mungkin bertobat atau kembali

ke jalan normal. Selain itu, banyak juga pendapat berlawanan yang mengatakan bahwa menjadi

teroris bukan karena faktor bawaan melainkan karena multifaktor seperti faktor sosial-politik.

Oleh karena itu, kemungkinan meninggalkan jalan teror pada kaum teroris selalu ada karena

menjadi teroris lebih sebagai respon terhadap persoalan sosial-politik yang kompleks. Pendapat

yang terakhir ini menyatakan bahwa “a terrorist is made not born” (Moghaddam, 2005; 2006;

2007). Pro-kontra seputar kemungkinan teroris meninggalkan jalan teror menimbulkan teka-teki

yang tidak berujung dan perlu dijawab dalam penelitian ini.

Terorisme dan aksi teror dengan segala bentuknya telah berlangsung cukup lama, tetapi

ancamannya terhadap masyarakat dunia sampai saat ini belum berakhir (McCormick, 2003; Levin

& Amster, 2003; Steven & Gunaratna, 2004; Wright, 2010). Hal itu membuat pemegang

kebijakan dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk Psikologi, secara bersama-sama atau

sendiri-sendiri terdorong melakukan kajian mendalam tentang motivasi terorisme (Levin &

Amster, 2003), guna memahami penyebab terorisme, bagaimana memberantas terorisme dan

menanggulangi dampaknya (Sinai, 2008; Lawal, 2002; Ekici & Sahliyeh, 2009; Jacobson, 2010).

Para ahli berbeda pendapat dalam menanggapi kemungkinan berakhirnya aksi teror.

Misalnya, Jones dan Libicki (2008) berpendapat bahwa semua kelompok teroris akan berakhir

seiring berlalunya waktu. Pertanyaannya: Mungkinkah terorisme berakhir dan bagaimana mereka

akan berakhir? Apakah karena dikalahkan aparat keamanan (polisi dan militer)? Ataukah karena

memperoleh kemenangan? Atau alasan lain? (Jones & Libicki, 2008). Pertanyaan-pertanyaan itu

penting dijawab agar diperoleh gambaran yang jelas dan kongkrit tentang bagaimana seharusnya

menghadapi aksi teror yang marak terjadi akhir-akhir ini.

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

2

Untuk hal ini, diperlukan upaya keras untuk memahami proses dan dinamika psikologi

dan sosial yang dialami seorang teroris secara individual. Mengapa meninggalkan jalan teror dan

memilih cara-cara non kekerasan untuk mewujudkan cita-cita dan ideologi kelompok adalah

pertanyaan penting yang belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini (Jacobson, 2010; Horgan,

2005; 2007; 2008; 2011; Crenshaw, 1981; Borum, 2004; Horgan 2009; Bjorgo, 2009; Ashour,

2008). Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini terutama dari sisi psikologi diharapkan

akan menjelaskan bagaimana mengakhiri kekerasan dan lambat-laun akan mengurangi –untuk

tidak mengatakan mengakhiri— radikalisme dengan kekerasan.

Terdapat banyak penelitian yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok

memasuki terorisme (Hoffman, 2006; Sageman, 2004; 2003; Crenshaw, 1990; Bloom, 2005;

Milla, 2010). Begitupula, peneliti yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok bertahan

dalam terorisme (Sprinzak, 2005; Kydd & Walter, 2006). Namun penelitian tentang mengapa

keluar sangat terbatas (Bjorgo, 2009; Horgan& Bjorgo, 2009; Horgan, 2009; Garfinkel, 2007;

Jacobson, 2010). Dari jumlah yang terbatas itu, belum banyak yang dilakukan di Indonesia. Di

antaranya, riset Yayasan Prasasti Perdamaian (Andrie, 2012), Hwang dkk (2013) dan Hwang

(2015). Menurut saya, riset tim YPP tidak menggunakan basis teori Psikologi yang kuat sehingga

tidak tergambar dengan baik dinamika psikologis yang dialami para teroris. Sementara itu, riset

Hwang dkk (2013) dan Hwang (2015) lebih fokus pada peristiwa kekerasan di Poso yang lebih

banyak bernuansa konflik antarkelompok Islam dan Kristen dengan subyek yang bukan prototipe

Jamaah Islamiyah. Kedua riset terakhir meneliti anggota kelompok jihadis yang dibentuk oleh

mantan anggota Jamaah Islamiyah, sedangkan penelitian ini lebih difokuskan pada peristiwa bom

Bali dengan subyek yang benar-benar prototipe anggota Jamaah Islamiyah.

Pentingnya penelitian tentang pilihan meninggalkan jalan teror pada sebagian mantan

narapidana teroris atau narapidana teroris yang masih dipenjara di Indonesia menemukan

relevansi dan momentum yang tepat seiring bertambahnya jumlah individu yang mengungkapkan

penyesalannya berada di jalan teror. Diketahui sebanyak 160-250 mantan narapidana teroris dan

narapidana teroris di penjara-penjara Indonesia telah memilih meninggalkan jalan teror

(wawancara personal dengan tim YPI). Fenomena ini tentu saja menarik dan memerlukan

penjelasan teoritis dari sudut pandang Ilmu Psikologi terutama Psikologi Sosial. Dengan

mengetahui mengapa dan bagaimana para teroris meninggalkan kelompok dan cara kekerasan

diharapkan dapat diperoleh informasi penting tentang bagaimana seharusnya menangani teroris

dan kelompoknya di Indonesia.

Banyak ilmuwan yang sepakat bahwa gerakan terorisme memiliki sifat mendaur-ulang

dirinya sendiri (Fink & Harne, 2008). Ia akan terus mengalami proses patah tumbuh hilang

berganti, atau mengalami metamorfosis, baik secara gerakan maupun secara ideologi

(Salahuddin, 2011). Akibatnya, menurut Fink dan Harne (2008), tidak banyak ilmuwan yang

tertarik dan memberikan perhatian besar terhadap proses atau mekanisme sosial dan psikologi

yang dialami anggota teroris secara individual yang keluar dari jaringan teroris (Fink & Harne,

2008).

Horgan dan Bjorgo (2009) menyebutkan bahwa kurangnya perhatian ilmuwan terhadap

faktor-faktor yang mempengaruhi individu teroris keluar dari kelompok teror atau faktor-faktor

yang mengubahnya menjadi pribadi yang menolak cara-cara kekerasan atau radikal karena

perhatian mereka yang lebih fokus untuk membahas akar penyebab radikalisme. Sebagai

konsekuensinya, sebagian besar energi tertumpah untuk membahasnya. Setidaknya, taktik ini

akan dapat mengurangi jumlah pelaku teroris dan kemungkinan resiko menjadi teroris bagi

individu yang radikal atau tergabung dalam kelompok radikal (Horgan, 2009; Jacobson, 2010).

Dalam Psikologi terorisme terdapat banyak konsep untuk menjelaskan tindakan dan pengalaman

meninggalkan ideologi kekerasan atau perilaku kekerasan, di antaranya adalah konsep

deradikalisasi dan disengagement (Horgan, 2009; Muluk, 2009; Ashour, 2009).

Jumlah penelitian yang mengkaji tentang mekanisme deradikalisasi dan disengagement

belum begitu banyak (Horgan, 2009). Kendati demikian, terdapat banyak program deradikalisasi

yang dijalankan sejumlah pemerintah dari beberapa negara dimana disebutkan bahwa hampir

sebagian besar program deradikalisasi yang ada tidak berlandaskan kepada hasil penelitian

(Horgan, 2009). Perubahan ideologi dan tingkah laku sangat erat kaitannya dengan Ilmu Psikologi

(Ardila, 2002; Baumeister & Finkel., 2010). Oleh karena itu, penelitian psikologi tentang

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

3

meninggalkan jalan teror sangat diperlukan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa

meninggalkan jalan teror terjadi.

Selama ini, deradikalisasi lebih banyak difokuskan pada ideologi melalui metode dialog

atau debat antara subyek program dengan imam atau ustadz yang menguasai ajaran dan ideologi

Islam, tetapi memiliki cara pandang yang moderat (Barret & Bokhari, 2009; Boucek, 2009;

Abuza, 2009; Ashour, 2008). Penekanan deradikalisasi pada perubahan ideologi bisa

menimbulkan biaya dan konsekuensi yang tinggi, apalagi jika ideologi itu bersumber dari ajaran

agama atau kitab suci (Solahuddin, 2010; Ashour, 2009; Horgan, 2009; Amirsyah, 2012). Pada

kasus deradikalisasi ideologi pada kaum jihadis-Islamis, muncul persepsi dan pemahaman di

kalangan Muslim tertentu bahwa deradikalisasi identik dengan deislamisasi (pendangkalan ajaran

Islam) karena ajaran jihad merupakan ajaran penting yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis

(Amirsyah, 2012). Maka, bisa dikatakan bahwa ajaran dan perintah berjihad tidak mungkin hilang

dari pikiran kaum jihadis. Pro-kontra tentang kemungkinan menghilangkan ideologi negara Islam

dan semangat jihad masih menjadi pertanyaan banyak pihak yang belum terjawab sampai saat ini.

Sejumlah studi menunjukkan bahwa keberhasilan melepaskan individu dari kelompok

dan aksi terorisme tidak selalu melalui program deradikalisasi (Milla, 2011; Horgan, 2008; Bjorgo

& Horgan, 2008). Individu yang mengikuti program dalam masa penahanan mungkin

menunjukkan kerjasama yang sangat baik agar dapat segera keluar dari penjara (Milla, 2011).

Jadi, keterlibatan dalam program deradikalisasi hanya digunakan sebagai taktik agar bisa segera

keluar dari penjara.

Setelah mereka bebas, diperlukan insentif yang lebih kuat agar dapat menahan mereka

kembali dalam aksi (lebih bersifat tingkah laku). Hal ini dapat menjelaskan mengapa santunan

ekonomi lebih banyak menunjukkan hasil dibandingkan program counter-ideology (Jhonson,

2009, Muluk, 2009; Morris, 2010; Horgan & Braddock, 2010; Milla, 2011). Selain santuan

ekonomi, program yang bersifat rehabilitasi sosial-politik cenderung menunjukkan hasil yang

baik (Jones & Libicki, 2008; Reinares, 2011; Ashour, 2009). Itu semuanya menyangkut faktor

dari luar diri pelaku teror. Lantas, adakah faktor dari dalam diri sendiri pelaku teror seperti rasa

bersalah dan penyesalan seperti yang diperlihatkan AI, UP dan AA sebagai pendorong kuat dalam

meninggalkan jalan teror?

Beberapa peneliti telah melakukan studi tentang meninggalkan jalan teror misalnya

Horgan (2009), Bjorgo (2009), Jacobson (2009), Garfinkel, (2007) Demant & Graaf, (2010),

Reinares (2011), Disley, Weed, Reding, Clutterback, & Warnes (2012), Kruglanski, Gelfand dan

Gunaratna, (2011), Kruglanski dan tim (2014) dan Hwang (2015). Ditemukan bahwa faktor fisik

dan psikologis menjelaskan kenapa seorang teroris atau radikal meninggalkan jalan kekerasan.

Faktor fisik berkaitan dengan perubahan peran di dalam organisasi termasuk pemenjaraan oleh

aparat keamanan, sedangkan faktor psikologis berkaitan dengan perasaan kecewa terhadap

berbagai hal dan dinamika yang terjadi di dalam kelompok (Horgan, 2009). Penelitian lain oleh

Bjorgo (2009) dan Jacobson (2009) menemukan bahwa hal-hal negatif dan tidak mengenakkan

yang terjadi di dalam kelompok menjadi penyebab meninggalkan jalan teror dan dianggap sebagai

faktor pendorong, dan ada pula hal-hal positif yang menyenangkan di luar kelompok dianggap

sebagai daya tarik untuk keluar dari jalan teror. Bjorgo menyebutnya sebagai faktor penarik

(Bjorgo, 2009; Jacobson, 2010).

Peneliti lain seperti Demant dan Graaf (2010) melihat dari sisi lain, yaitu dari sisi

komitmen. Penelitian Demant dan Graaf (2010) menyimpulkan bahwa pilihan meninggalkan

jalan teror berkaitan dengan sejauhmana komitmen seorang pelaku teror atau seorang radikal

terhadap kelompok dan ideologi yang diperjuangkan. Jika komitmen menurun atau menghilang

maka pilihan meninggalkan kelompok dan jalan teror tidak terelakkan terjadi dalam waktu yang

tidak lama. Sedangkan Reinares (2011) menyimpulkan bahwa deradikalisasi dan disengagement

berhubungan dengan persepsi personal terhadap berbagai perubahan sosial dan politik yang

terjadi pada tingkat negara, dinamika kelompok dan pengalaman yang dialami setiap individu

selama menjadi aktivis kelompok ekstrim.

Disley dkk (2012) menemukan bahwa intervensi tertentu seperti program deradikalisasi

dan disengagement yang dirancang secara khusus merupakan faktor penting yang bisa

menjelaskan kenapa meninggalkan jalan teror. Sedangkan Kruglanski dkk (2011; 2014) melihat

bahwa deradikalisasi dan disengagement bisa dijelaskan dengan melihat faktor motivasi pelaku

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

4

teror terutama yang berkaitan dengan kebermaknaan diri. Jika makna dan kebermaknaan diri telah

diraih maka besar kemungkinan deradikalisasi dan disengagement terjadi (Kruglanski A. W.,

Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).

Ditegaskan oleh Kruglanksi dkk (2014) bahwa keberhasilan meraih makna dan

kebermaknaan merupakan motivasi terbesar mengapa meninggalkan jalan teror. Dugaan peneliti,

hal ini justeru tidak terjadi pada kasus teroris Indonesia yang memutuskan meninggalkan jalan

teror. Ada motivasi lain yang menggerakkan mengapa mereka meninggalkan jalan teror. Oleh

karena itu, motivasi apa yang mendorong para teroris dan radikal di Indonesia memilih

meninggalkan jalan teror penting untuk diketahui. Penulis menduga rasa bersalah merupakan

faktor pendorong meninggalkan jalan teror pada pelaku teror dari kalangan anggota Jamaah

Islamiyah Indonesia. Hal ini hemat penulis belum pernah disinggung oleh para peneliti

deradikalisasi dan disengagement sebelumnya.

Ditekankan oleh Kruglanski dkk (2011) dan Kruglanski dkk (2014) bahwa persepsi

individu terhadap jihad juga bisa menjelaskan apakah ia telah meninggalkan jalan teror dan

ideologi berbasis kekerasan. Jika jihad tidak lagi dijadikan sebagai satu-satunya alat mencapai

tujuan kelompok maka deradikalisasi dan disengagement telah terjadi, misalnya cara damai

seperti dakwah (Kruglanski, Chen, Dechesne, Fishman, & Orehek, 2009; Kruglanski, Gelfand, &

Gunaratna, 2011; Kruglanski, Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).

Kruglanski dkk (2014) dan Jacobson (2010) juga menyimpulkan bahwa faktor proses sosial atau

dinamika sosial yang meliputi individu berpengaruh besar terhadap pilihan meninggalkan jalan

teror. Misalnya, interaksi dan dialog dengan pihak eksternal di luar kelompok (Jacobson, 2010;

Hwang, 2015). Bagaimana dengan pelaku teror di Indonesia? Apakah faktor-faktor itu berperang

dalam proses meninggalkan jalan teror?

Mengetahui sejauhmana persepsi dan keyakinan terhadap ideologi penting dilakukan

untuk menetapkan apakah seorang pelaku teror telah berjarak dengan radikalisme atau justeru

semakin mendekat (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna,

2014). Sikap dan pandangan terhadap jihad bisa menggambarkan apakah seseorang masih

bertahan dalam radikalisme atau beralih menuju sikap moderat (Kanruglanski dkk, 2014;

Jacobson, 2010; Milla, 2011).

Jihad adalah kendaraan untuk mencapai cita-cita penegakan daulah Islamiyah atau negara

dengan sistem khilafah (Abbas, 2005; Ali, 2006; Abuza, 2007; 2009; Golose, 2010). Tanpa jihad

seorang pejuang yang menegakkan negara Islam tidak bisa disebut jihadis atau kaum mujahid

(Ashour, 2008). Pelekatan label jihadis atau kaum mujahidin terhadap kelompok yang

mengklaim memperjuangkan terwujudnya cita-cita negara Islam atau sistem khilafah menjadi hal

yang lumrah (Ashour, 2008; Azuzi, In press; Gunaratna & Ali, 2009). Bahkan kerapkali indikator

radikalisme Islam dikaitkan dengan sejauhmana dan bagaimana jihad dipersepsi dan diyakini

(Chusniyah, 2012; Hafez, 2006; Kruglanski, 2013; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna, 2011;

Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).

Hal itu karena sejatinya jihad bukan hanya bermakna al-qital (berperang) tetapi bermakna

lain yang lebih luas dan berkonotasi positif seperti cara-cara damai untuk mencapai sesuatu yang

mulia. (Al-Hadlaq, 2011; Al-Makhzumi, Tanpa Tahun; Ghazali, 2011; Azuzi, In press). Cara

memahami jihad dalam konotasi damai tanpa kekerasan inilah yang disebut dengan faham

moderasi Islam yang melahirkan kaum muslim moderat (Abuza, 2009; Al-Hadlaq, 2011; Ashour,

2011; Pranowo, 2011; Kruglanski A. W., et al., 2014). Perubahan cara memahami jihad dari

domain kekerasan menuju domain kedamaian dan tanpa kekerasan atau perubahan dari kutub

Islam radikal menuju kutub Islam moderat dianggap komponen penting dalam proses

deradikalisasi dan disengagement (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland,

Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014; Ashour, 2009). Inilah poin penting yang perlu diketahui dari

para jihadis untuk memastikan terjadinya proses meninggalkan jalan teror, yaitu apakah ada

perubahan atau perbaikan pemahaman tentang jihad (Azuzi, in press; Ashour, 2009).

Dengan demikian, pertanyaan penting yang perlu diajukan terkait para jihadis

meninggalkan jalan teror adalah bagaimana keyakinan mereka terhadap jihad, penegakan daulah

Islam dan hal-hal yang terkait dengannya. Apakah mereka masih tetap memahami jihad sebatas

al-qital (berperang) saja ataukah telah bergeser seperti keyakinan dan pemahaman umat Islam

mainstream?

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

5

Sejumlah penelitian seperti penelitian Bjorgo (2009), Gafinkel (2009), Jacobson (2009),

Reinares (2011), Kruglanski dkk (2014) dan Hwang (2015) menekankan pentingnya pengaruh

komponen proses sosial terhadap pilihan meninggalkan jalan teror. Dengan merujuk kepada

temuan penelitian pada ranah radikalisasi dan keterlibatan dalam jaringan teror, Moghaddam

(2007) dan Sageman (2004) juga menduga bahwa proses dan dinamika sosial yang melingkupi

teroris dan kaum radikal turut memberikan kontribusi terhadap proses deradikalisasi dan

pencegahan terorisme.

Mirahmadi & Farooq (2010) juga menekankan bahwa deradikalisasi berbasis sosial atau

komunitas diperlukan untuk mempersempit ruang gerak kaum radikal dalam menyebarkan

pemahaman keagamaan yang radikal dan ekstrim di tengah masyarakat. Oleh karena itu, perlu

diketahui bagaimana dinamika relasi sosial berperan dalam proses meninggalkan jalan teror di

Indonesia?

B. Pertanyaan Penelitian

Dari uraian di atas dan telaah literatur penelitian tentang deradikalisasi dan

disengagement di Indonesia, terdapat banyak masalah penelitian yang belum terjawab tentang

mengapa para teroris meninggalkan jalan teror. Inilah pertanyaan pokok yang hendak dijawab

dalam penelitian disertasi ini. Selain itu, tentu saja terdapat sejumlah pertanyaan turunan dari

pertanyaan pokok terutama menyangkut motivasi individual meninggalkan jalan teror, sikap dan

persepsi terhadap jihad serta dinamika psiko-sosial atau proses sosial yang dialami para subyek

penelitian. Semua itu akan dibuat dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan akan dicoba untuk

dijawab dalam disertasi ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:1)Bagaimana pelaku teror di

Indonesia meninggalkan jalan teror? 2)Bagaimana rasa bersalah mendorong proses

meninggalkan jalan teror? 3)Bagaimana pelaku teror di Indonesia memahami jihad dan

kaitannya dengan konteks waktu dan tempat? 4) Bagaimana faktor personal, organisasi dan

sosial mendorong pelaku teror di Indonesia dalam meninggalkan jalan teror? 5) Bagaimana

dinamika relasi sosial berperan dalam proses meninggalkan jalan teror ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1) Memberikan sumbangan baru dalam

pengembangan teori psikologi terorisme, khususnya yang berkaitan dengan meninggalkan jalan

terorisme (deradikalisasi dan disengagement). 2) Mengetahui faktor psikologis dan sosial yang

mempengaruhi pilihan meninggalkan jalan teror (deradikalisasi dan disengagement) pada pelaku

teror dan anggota organisasi radikal di Indonesia.

D. Tinjauan Literatur

Pengertian Meninggalkan Jalan Teror Paling tidak ada dua konsep yang kerapkali digunakan para peneliti untuk menjelaskan

makna meninggalkan jalan teror yaitu deradikalisasi dan disengagement. Deradikalisasi adalah

meninggalkan jalan teror secara kognitif yaitu meninggalkan ideologi yang menjadi basis hidup

dan perjuangannya dalam meraih tujuan pribadi dan kelompok dari alam pikirannya.

Disengagement adalah meniadakan cara-cara kekerasan dan beralih ke jalan damai dalam

mewujudkan tujuan kelompok walaupun dengan tetap menganut ideologi itu (Horgan, 2009;

Bjorgo, 2009).

Deradikalisasi

Secara kebahasaan, deradikalisasi adalah anonim dari radikalisasi. Dalam kamus

sosiologi disebutkan bahwa radikalisme berasal dari kata radices yang berarti: “a concerted

attempt to change the status quo (Jary & Jary, 1991). Disebutkan oleh Horgan (2009) dan

Garfinkel (2007) bahwa upaya perubahan selalu melibatkan mekanisme psikologis dan sosial

tertentu. Hal itu sebagaimana disebutkan Jary dan Jary (1991), Moghaddam (2006) dan

Choudhury (2009) karena radikalisasi adalah proses psikologis dan sosial di mana kepercayaan

terhadap suatu sistem bernegara menurun tajam.

Ashour (2009) memberikan tiga point penting yang bisa menjelaskan deradikalisasi yaitu

perubahan cara memahami ideologi, penolakan terhadap cara-cara kekerasan dan lebih banyak

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

6

menerima keragaman (deradikalisasi ideologi, deradikalisasi tingkah laku, dan deradikalisasi

organisasi.

Kisah tentang Ed Husein seorang anak muda Muslim kelahiran Inggris yang menjadi

seorang Muslim fundamentalis pada usia 16 tahun menguatkan hal itu. (Husein, 2007). Kembali

kepada moderasi Islam atau kembali menjadi Muslim moderat adalah esensi dari deradikalisasi

atau disengagement dalam perspektif teori Significance Quest dari Kruglanski (2004) dan

Kruglanski dkk (2014) Ashour (2003). Pengalaman Husein yang tertuang dalam buku “The

Islamist” dapat memberikan pemahaman dan dugaan kuat bahwa sikap dan cara pandang

keagamaan seseorang bersifat dinamis dan bisa berubah (Husein, 2007).

Keinginan terhadap perubahan radikal bisa terjadi melalui cara damai maupun cara keras.

Banyak pihak beranggapan keinginan terhadap perubahan radikal adalah keinginan yang normal,

sebaliknya perubahan radikal yang menggunakan cara-cara teror dan kekerasan dikategorikan

tidak normal (Sinai, 2008; Bongar, et.al, 2007). Kekerasan berbasis radikalisasi mencakup sikap

dan tingkah laku yang terkait kekerasan politik (Choudhury, 2009; Al-Asymawy, 2004).

Kekerasan pada ranah tingkah laku bermula dari kekerasan pemikiran dan kognitif )Smelser,

2007)

Tingkah laku bermula dari pikiran, Para psikolog sosial percaya bahwa sikap dapat memprediksi

tingkah laku (Prisilia & Crano, 2008), baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Ajzen,

2005; Prisilia & Crano, 2008). Ajzen dkk misalnya menyatakan bahwa sikap dapat memprediksi

tingkah laku melalui perantara variabel lain, misalnya intensi (Ajzen, Brown, & Carvajal, 2004;

Ajzen, 2005). Fazio dkk (1990) menyimpulkan bahwa jika sikap diaktifkan dengan motivasi dan

kapasitas kognitif yang memadai maka sikap akan dapat memprediksi tingkah laku sehingga

terjadi konsistensi antara sikap dan tingkah laku (Ajzen, 2005).

Dalam konteks terorisme, seorang biasa menjadi pelaku teror dan kekerasan diawali dari

proses radikalisasi pemikiran yang berkombinasi dengan multifaktor seperti solidaritas dan

persepsi ketidakadilan (Moghaddam, 2006; Milla, Faturochman, & Ancok, 2012; Talbot, In press;

Chusniyah, 2012; Kruglanski, 2014). Kondisi sebaliknya bisa juga terjadi yaitu perubahan dari

seorang teroris menjadi orang yang bukan teroris atau orang biasa (Garfinkel, 2007) atau paling

tidak dalam posisi meninggalkan jalan teror walaupun ideologi terkait tetap dianut di dalam

pikiran mereka (Horgan, 2008; 2009; 2011; Bjorgo & Horgan, 2009).

Terkait itu, para ahli sepakat bahwa sikap dapat berubah karena dinamis dan hasil proses

belajar (Maio &Haddock, 2007) termasuk terkait ideologi kekerasan menjadi ideologi

perdamaian dan sikap positif terhadap keragaman (Garfinkel, 2007; Jhonson, 2009; Jacobson,

2010). Garfinkel (2007) membuktikan hal itu penelitian kualitatif tentang transformasi personal

pada sejumlah tokoh agama Islam dan Kristen di Nigeria Afrik aatau penelitian Jacobson (2010)

mengenai sejumlah individu pelaku teror yang memilih meninggalkan jalan teror.

Isu tentang perubahan sikap dan tingkah laku merupakan tema penting dalam psikologi,

bahkan dianggap sebagai tugas inti dari Ilmu Psikologi (Prislin & Crano, 2008; Maio & Haddock,

2007). Dalam kajian psikologi terorisme, deradikalisasi dan disengagement seperti yang

dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah upaya persuasif mengubah

sikap radikal menjadi sikap yang moderat (BNPT, 2013; Boucek, 2011; Ashour, 2011; Garfinkel,

2007; Jhonson, 2009).

Deradikalisasi dianggap juga sebagai suatu proses tranformasi spiritual atau konversi

keagamaan (Garfinkel, 2007; Hood, Hill, & Spilka, 2009; Paloutzian & Park., 2005).

Transformasi meliputi reorientasi pandangan dan arah pemikiran tetapi tidak otomatis

menimbulkan perubahan struktur kepribadian dasar (Garfinkel, 2007). Ungkapan “sekali menjadi

teroris tetap menjadi teroris” yang kerapkali disampaikan dalam berbagai forum semakin kuat

menunjukkan pesimisme masyarakat terhadap kemungkinan perubahan pada individu-individu

teroris, kaum radikal dan ekstrimis (Bjorgo dan Horgan, 2009).

Dalam konteks Indonesia, kesimpulan sementara ini diperkuat pula oleh fakta historis

tentang DI/TII yang menunjukkan bahwa ideologi jihad atau ideologi penegakan negara Islam

atau ideologi penegakan sistem pemerintahan khilafah tidak hilang, tetapi mengalami

metamorfosis atau penyesuaian waktu, atau bisa juga bersinergi dengan ideologi yang lain.

Misalnya, metamorfosis atau sinergi ideologi NII dengan ideologi salafi jihadi seperti yang terjadi

pada kasus Abdullah Sungkar, ABB dan tokoh kelompok garis keras lainnya (Ramakrishna, 2005;

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

7

2009; Jacobson, 2010; Solahudin, 2011; Baidlowi, 2011; Helmy, 2011; Thaha, 2011). Tetapi

kenyataan menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam aksi teror pada akhirnya tidak lagi

melakukannya dan bahkan memutuskan untuk meninggalkan jalan kekerasan dan teror selama-

lamanya (Bjorgo & Horgan, 2009; Pranowo, 2011).

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggunakan dan rehabilitasi dan

mendefinisikannya sebagai upaya sistematis untuk melakukan perubahan orientasi ideologi

radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi inklusif, damai dan toleran serta melakukan

pembinaan keagamaan, kepribadian, dan kemandirian kepada teroris termasuk keluarganya

(BNPT, 2013). Mengapa keluarga? Berdasarkan telaah Sagemen (2004) dan Solahudin (2011)

tentang jaringan teroris ditemukan bahwa regenerasi ideologi ekstrim terjadi di antara ayah dan

anak atau bahkan cucu.

Tahap selanjutnya adalah reedukasi .Penekanan reedukasi adalah penguatan pemikiran,

pemahaman, sikap moderat dan terbuka dengan memberikan pencerahan mengenai ajaran agama

dan kebangsaan serta nilai-nilai kedamaian dan toleransi (BNPT, 2013). Tahap terakhir adalah

resosialisasi yaitu upaya pembinaan yang integratif untuk membaurkan wbp teroris dan mantan

wbp teroris serta keluarga agar dapat hidup dengan masyarakat berdasarkan nilai dan tatanan

hidup bermasyarakat yang baik, saling menghargai dan penuh kedamaian. (BNPT, 2013).

Disengagement

Disengagement adalah proses menghentikan aktivitas teror. Disengagement tidak selalu

berarti perubahan ideologi atau keyakinan. Menurut Horgan dan Altier (In press) disengagement

berbeda dengan proses deradikalisasi walaupun kadang-kadang keduanya saling berkaitan.

Individu bisa saja meninggalkan terorisme tanpa harus mengalami deradikalisasi dan

penghapusan ideologi kekerasan.

Reinares (2011) menguatkan pendapat itu melalui penelitian kualitatif terhadap 35 orang

mantan anggota ETA. Keduanya bisa terjadi secara terpisah. Disengagement merupakan proses

yang kompleks menyangkut sosial dan psikologis yang dapat membantu kita memahami proses

deradikalisasi dan mengandung inisiatif counter-terrorism, (Horgan, 2009; Jhonson, 2009) yang

dapat diterapkan dalam mencegah masuknya individu potensial ke dalam jaringan kelompok

teror. Menurut Horgan (2009) dan Bjorgo (2009), disengagement lebih penting daripada

deradikalisasi.

Hasil wawancara Horgan (2009) yang dilakukan sejak tahun 2006 sampai tahun 2008

menemukan bahwa hampir sebagian besar mantan teroris lebih tepat bila dianggap sebagai

individu-individu yang mengalami disengagement dibanding sebagai individu-individu yang

mengalami deradikalisasi. Hampir sebagian besar dari mereka sulit untuk mengubah ideologi

jihad karena ajaran jihad sendiri memiliki dasar yang kuat di dalam Al-Quran. Kerapkali muncul

anggapan bahwa meolak atau menegasikan jihad berarti keluar dari Islam (Imron, 2010; Sarwono,

2012; Amirsyah, 2012).

Menjauhkan seseorang dari lingkungan sosial tertentu yang relevan merupakan langkah

penting untuk mencegah keterlibatannya dalam aksi kekerasan atau aksi teror di masa yang akan

datang. Dalam kajian psikologi sosial yang paling awal disebutkan bahwa tingkah laku manusia

dipengaruhi oleh dua determinan penting yaitu faktor kepribadian dan faktor lingkungan. Para

ahli psikologi sosial seperti Kurt Lewin sepakat bahwa lingkungan sosial kerapkali lebih kuat

pengaruhnya dibandingkan kepribadian (Reis, 2010).

Tentu yang dimaksudkan dengan lingkungan sosial di sini adalah lingkungan kelompok

yang kohesif sebagaimana pendapat Baumeister (2010) yang menyebutkan bahwa seseorang yang

menjadi anggota kelompok yang kohesif bisa jadi akan mengalami deindividuasi yaitu gejala

meleburnya jiwa individu ke dalam jiwa kelompok sehingga dalam situasi seperti ini individu

tidak lagi bisa mempertahankan pikiran dan perasaannya yang unik. Konsekuensinnya, seseorang

bisa terpengaruh oleh gejala groupthink atau termotivasi untuk bergabung dalam kekerasan

massal atau kekerasan yang dilakukan banyak orang (Baumeister, 2010) termasuk di antaranya

adalah terjebak dalam aksi teror sebagaimana klaim AI mengenai keterlibatannya dalam aksi Bom

Bali 2 (Imron, 2010).

Menurut Baumeister (2010), motivasi anggota kelompok untuk terlibat dalam berbagai

aktivitas kelompok termasuk aktivitas yang buruk dan jahat dapat dilihat dari dua pendekatan

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

8

yaitu pendekatan yang menekankan proses dalam kelompok dan pendekatan yang menekankan

proses antarkelompok. Dalam perspektif yang pertama seseorang yang menjadi anggota

kelompok merasa harus menemukan cara-cara tertentu agar bisa diterima dan dianggap sama oleh

anggota kelompok yang lain. Kerapkali kelompok mempersyaratkan anggotanya untuk berlaku

sama atau bertindak sama dengan yang lain sehingga dicapai kesesuaian dan kecocokan.

Perspektif yang kedua menekankan bagaimana individu melakukan identifikasi diri yang kuat

dengan kelompoknya sebagai modal atau dasar dalam berinteraksi dengan anggota kelompok lain.

Anggota kelompok biasanya akan memperlihatkan loyalitas dan komitmen kepada kelompok

yang bersaing, berprasangka dan bahkan memusuhi kelompok lain (Baumeister, 2010).

Anggota kelompok biasanya juga berbagi emosi yang sama tentang anggota kelompok

lain atau kelompok lain terutama jika ada sejarah persaingan atau sejarah kerjasama yang

berlangsung di antara kelompok-kelompok yang terlibat. Sejauhmana individu dalam

kapasitasnya sebagai anggota kelompok tertentu mengalami dan mengekspresikan emosi

terhadap kelompok lain atau anggota kelompok lain maka emosi semacam itu dapat disebut

sebagai emosi berbasis kelompok atau emosi berbasis antarkelompok (Manstead, 2010).

Pikiran dan emosi yang berbasis kelompok ini akan berakhir manakala seseorang menarik

diri atau ditarik dari lingkaran kelompok yang mempengaruhinya, kemudian dimasukkan ke

dalam lingkaran pengaruh lain yang berbeda. Turner dkk (2006) menyebut hal itu sebagai akibat

dari kecenderungan konformitas yang dialami individu ketika berada dalam kelompok. Walaupun

di saat yang sama di dalam kondisi pengaruh kelompok, individu bisa saja memperlihatkan

independensinya atau persepsi otonomi untuk memilih kelompok lain dan keluar dari kelompok

pertama.

Barelle (in press) menggunakan nalar dalam kriminologi dalam melihat proses

meninggalkan jalan teror. Menurutnya, jika ekstrimisme kekerasan dilihat sebagai suatu kejahatan

dan meninggalkan jalan teror terjadi sebagai akibat dari penangkapan maka deradikalisasi dan

reintegrasi sosial merupakan bidang rehabilitasi. Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa

meninggalkan jalan teror mengandung dua dimensi yaitu dimensi meninggalkan terorisme secara

kognitif atau secara ideologi (deradicalization) dan meninggalkan kekerasan (disengagement).

Model Meninggalkan Jalan Teror

Model Pendorong dan Penarik

Faktor pendorong adalah hal-hal negatif dan tidak mengenakkan di dalam kelompok

sedangkan faktor penarik adalah peluang atau kekuatan sosial yang menarik dan lebih

menjanjikan di luar lingkungan kelompok. (Bjorgo (2006; 2009) Model dari Bjorgo ini

sebenarnya model yang jamak digunakan dalam bidang ilmu sosial, misalnya model dari Cronin

(2009) yang menggunakan penjelasan sosiologis untuk melihat fenomena kehancuran kelompok

teroris.

Pertama, terbunuhnya atau tertangkapnya pemimpin kelompok oleh pemerintah atau

penguasa. Kedua, kegagalan kelompok dalam melaksanakan proses dan mekanisme transisi pada

generasi muda. Ketiga, tercapainya tujuan kelompok. Misalnya, pada kasus ETA (Reinares,

2011). Keempat, transisi menuju suatu transisi politik yang legitimate. Misalnya, kasus Gerakan

Aceh Merdeka (GAM) Kelima, kehilangan dukungan dari rakyat atau publik karena rakyat atau

publik adalah pihak yang hendak diperjuangkan. Keenam, tindakan represif dari aparat keamanan,

misalnya pada kasus Jamaah Islamiyah di Indonesia. Ketujuh, pengalihan bentuk kekerasan dari

terorisme ke bentuk kekerasan lainnya.

Model Psikologis dan Fisik

Menurut Horgan (2009) ada dua faktor yang mempengaruhi individu meninggalkan jalan

teror, yaitu faktor psikologi dan faktor fisik. Faktor psikologis umumnya berkaitan dengan

kekecewaan anggota kelompok terhadap banyak tingkah laku atasan atau rekan sejawat yang

tidak senonoh dan tidak sopan, sedangkan faktor fisik diwakili oleh penangkapan, pemenjaraan,

dan kematian.

Horgan (2009) menyebutkan bahwa faktor psikologi terdiri dari: Pertama, perasaan kecewa

karena ketidaksesuaian antara cita-cita dan mimpi awal dengan kenyataan di lapangan. Ada

kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Kedua, kekecewaan karena adanya ketidaksepakatan

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

9

internal mengenai isu-isu taktis. Ketiga, kekecewaan karena perbedaan strategi, politik dan

ideologi di dalam internal kelompok teroris. Keempat, pengalam burn-out. Kelima, perubahan

dan pertentangan prioritas personal seperti menikah, memiliki anak, menjadi semakin berumur

atau semakin tua (Horgan, 2009; 2011; Fink & Hearne, 2008; Garfinkel, 2007; Ebaugh, 1988).

Selain faktor psikologis, terdapat faktor fisik yang juga turut memberikan kontribusi

terhadap keputusan atau pilihan seorang teroris dan radikal meninggalkan kelompok atau

meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror yang menjadi strategi kelompok. Horgan (2009)

menggambarkan faktor fisik sebagai faktor di mana perubahan peran seseorang terjadi dalam

suatu organisasi teroris. Berpindah dari posisi sebagai pelaku langsung dalam aksi teror kepada

jabatan atau posisi pelengkap merupakan kejadian yang umum terjadi pada jaringan teroris sesuai

dengan temuan wawancara Horgan dengan para teroris dan para pendukung teroris.

Model Komitmen

Demant et.al (2008) mencoba menggunakan konsep komitmen organisasi dari Allen &

Meyer (1990) untuk menjelaskan proses dan dinamika disengagement dari aksi teror. Menurut

mereka, ada tiga faktor yang memberikan sumbangan terhadap disengagement individu yaitu

faktor normatif, faktor afektif, dan faktor kontinyuan (Choudhury, 2009; Harris, 2010; Meyer &

Allen, 1997).

Kenapa komitmen? Itu karena komitmen mengandung intensi untuk bertahan dalam aksi

atau kelompok. Oleh karena itu, kelompok teroris akan berusaha membangkitkan komitmen yang

tinggi agar anggota tetap bertahan di dalam kelompok dan tidak memiliki keinginan keluar

(Meyer & Allen, 1991; Choudhury, 2009; Harris, 2010) Berdasarkan logika itu, komitmen yang

rendah atau yang hilang sama sekali bisa menjelaskan kenapa seorang anggota teroris

meninggalkan terorisme (Choudhury, 2009; Harris, 2010)

Model Struktural, Organisasi dan Personal

Reinares (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya tentang para teroris kelompok

ETA bahwa faktor penyebab meninggalkan jalan teror terdiri dari 3 yaitu faktor struktural, faktor

organisasi dan faktor personal. Reinares (2011) juga menggaribawahi bahwa konsep penting yang

menghubungkan antara faktor struktural dan faktor organisasi di satu sisi dengan deradikalisasi

dan disengagement di sisi lain adalah persepsi subyektif dari para teror

Model Fisik, Psikologis, Sosial dan Intervensi

Dengan metode REA (Rapid Evidence Assessment) pada sejumlah kelompok ekstrim,

gang anak jalanan, sekte kultus keagamaan, kelompok esktrim sayap kanan (right wing extrimist)

dan kelompok kejahatan terorganisir, Disley dkk (2012) menemukan 6 faktor yang mempengaruh

disengagement, yaitu ikatan sosial yang positif terutama dengan pihak luar, kematangan

psikologis dan perubahan dalam prioritas hidup, rasa kecewa terhadap hal-hal yang berkaitan

dengan kelompok dan ideologi, pekerjaan dan pendidikan, serta pengalaman burnout (Horgan,

2009; Bjorgo, 2009; Garfinkel, 2009). Temuan Disley dkk menunjukkan pada kelompk teroris

Islam yang dipengaruhi Al-Qaida, faktor pekerjaan/pendidikan dan burnout tidak mempengaruhi

disengagement, sedangkan pada kelompok street gang perubahan peran dan burnout sama sekali

tidak menjadi pendorong disengagement (Jacobson, 2010). Temuan berbeda diperoleh pada kasus

kelompok kultus keagamaan. Hampir keenam faktor tersebut mempengaruhi disengagement pada

anggota-anggotanya, sedangkan pada kelompok ekstrimis sayap kanan, hanya faktor rasa kecewa

yang tidak mempengaruhi disengagement dan pada kelompok penjahat terorganisir, pengalaman

burnout merupakan satu-satunya yang mempengaruhi (Bjorgo, 2009; Demant dkk, 2009).

Melalui tehnik tertentu maka diperoleh pada mulanya tiga komponen model

meninggalkan kelompok ekstrim dan luar biasa yaitu komponen fisik, komponen psikologis, dan

komponen sosial. Oleh karena banyak literatur yang membahas tentang program deradikalisasi

dan disengagement di berbagai negara tetapi belum dimasukkan sebagai faktor penyebab

meninggalkan jalan teror maka tim Disley memasukkannya sebagai faktor keempat di luar faktor

fisik, psikologis dan sosial (Disley dkk, 2012). Pertanyaan menarik muncul, kenapa intervensi

dalam bentuk program deradikalisasi dan disengagement belum dianggap sebagai faktor penentu

perubahan personal pada kaum teroris? Hal itu disebabkan karena banyak peneliti yang

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

10

meragukan keberhasilan program tersebut disebabkan adanya kesulitan dalam menentukan

tingkat keberhasilannya (Horgan, 2009)

Model Motivasi, Ideologi dan Proses Sosial

Kruglanski dkk (2014) membuat model radikalisasi dengan tiga komponen penting yaitu

komponen motivasi terutama terkait quest for significance, komponen ideologi, dan komponen

proses sosial atau dinamika sosial. Motivasi yang dimaksudkan di sini lebih menekankan pada

pencarian makna personal yang mengarahkan seseorang dalam mencapai tujuan, sedangkan

komponen ideologi merupakan alat untuk meraih kebermaknaan dan komponen proses sosial atau

dinamika sosial terkait dengan siapa seseorang berbagi kekerasan, mendapatkan justifikasi

ideologi dan bagaimana memprosesnya untuk meraih tujuan

E. Metode Penelitian

Pendekatan Penelitian Peneliti memandang bahwa pendekatan kualitatif adalah pendekatan paling tepat dan

relevan yang bisa digunakan dalam penelitian in. Hal itu karena tema penelitian ini yaitu

deradikalisasi dan disengagement adalah tema yang langka dan sulit serta tidak banyak dialami

oleh banyak teroris termasuk di Indonesia.

Disain Penelitian

Penulis memilih disain grounded theory sebagai disain penelitian dengan beberapa

alasan: Pertama, penelitian tentang meninggalkan jalan teror ini berkaitan dengan proses sosial

atau aksi sosial dengan penekanan pada pertanyaan: apa yang terjadi dan bagaimana orang-orang

saling berhubungan satu sama lain. (Charmaz, 2006; Sbaraini, Carter, Evans, & Blinkhorn, 2011).

Kedua, penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan dan mengembangkan suatu teori

yang menjelaskan tentang meninggalkan jalan teror (deradikalisasi dan disengagement) yang

menjadi concern dan perhatian banyak orang. Ketiga, sebagai metode yang menekankan

penemuan dan pengembangan teori dari data empirik di lapangan, grounded theory atau grounded

research dianggap mumpuni untuk dijadikan sebagai alat dalam menjelaskan deradikalisasi dan

disengagement pada mantan teroris yang tergabung dalam Jamaah Islamiyah.

Subyek Penelitian

Para subyek penelitian diambil dari kalangan kalangan anggota Jamaah Islamiyah

Indonesia dan mantan aktivis Islam radikal lainnya yang dianggap memahami dan bisa

menjelaskan perihal kaum jihadis di Indonesia, misalnya mantan anggota NII.

Untuk menggenapkan dan menyempurnakan data penelitian ini, peneliti juga memilih

sejumlah individu terkait (stakeholder masalah terorisme) yang dianggap mengetahui masalah

terorisme di Indonesia seperti pejabat mabes polri, para petinggi dan staff Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme (BNPT) terutama yang membawahi bidang deradikalisasi, Densus 88

Mabes Polri dan LSM yang bekerja dalam bidang penanggulangan terorisme. Mereka dipilih

untuk dimintakan masukan dan pendapat mengenai para teroris atau mantan teroris yang bisa

diakses dan bisa diwawancarai untuk keperluan penelitian ini. Selanjutnya mereka akan disebut

sebagai narasumber penelitian.

Kriteria Subyek Penelitian

Subyek penelitian terdiri dari 5 orang dengan sejumlah kriteria yang sesuai dengan tema

dan tujuan penelitian, yaitu:

1. Pelaku teror yang pernah menjadi anggota Jamaah Islamiyah dan pernah terlibat dalam aksi

teror atau pelatihan militer, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

2. Menyatakan diri atau dinyatakan telah mengungkapkan penyesalan atas keterlibatan di dalam

aksi teror dan keanggotaan dalam jaringan Jamaah Islamiyah.

3. Bersedia diwawancara dan dimintakan informasi seputar keterlibatannya dalam aksi teror dan

perannya dalam jaringan Jamaah Islamiyah.

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

11

Informan Penelitian

Untuk memperkuat informasi dan data, sekaligus sebagai penerapan dari tehnik

triangulasi maka dipilih sejumlah narasumber peneliti yang berjumlah lebih dari 20 orang. Para

subyek terdiri dari lingkaran terdekat para mantan teroris yang menjadi subyek utama seperti

keluarga dan kerabat, teman dan sesama anggota Jamaah Islamiyah, mantan anggota Negara

Islam Indonesia yang mengerti tentang gerakan Islam radikal di Indonesia, kaum radikal dari

kalangan Kristen di Poso, aparat kepolisian, aktivis LSM yang bergerak di bidang deradikalisasi

dan disengagement, serta tokoh dan pegiat BNPT. Pengumpulan informasi dan data dari para

narasumber dilakukan dengan wawancara, fokus group discussion (FGD) atau perbincangan

informal.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik wawancara, pengamatan partisipatif, dan

analisis dokumen termasuk dokumen yang tersimpan di situs internet atau media sosial

Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik grounded theory.

F. Hasil Penelitian

Pada bagian ini akan disajikan hasil penelitian berisi gambaran subyek, tema-tema yang

diperoleh terutama melalui hasil wawancara dengan para subyek penelitian melalui proses open

coding, dan tema inti atau kategori utama (hasil dari proses axial coding)

Gambaran Singkat Subyek Penelitian Tabel 1.Profil subyek penelitian

AI NA Id AA UP

Bukti

meninggalkan

jalan teror

Membantu

kepolisian

dalam anti

terorisme

Membantu

kepolisian

dalam anti

terorisme

Kembali

bersosialis

asi dengan

masyarakat

Menjadi tim ahli

BNPT dan

melakukan

gerakan

deradikalisasi

Mengkuti apel

bendera

harkitnas

Pendidikan SMA Pesantren Pesantren STM dan LPBA SMA

Pelatihan

Militer

Afganistan Afganistan Tidak ada Afganistan Afganistan

Posisi Anggota Ketua Mantiqi Anggota Penasehat mantiqi Anggota

Keterlibatan

dalam

terorisme

Bom Natal

Bom Bali

Pelatihan

militer

Mindanao

Bom Natal

Bom Bali

Pelatihan militer

Mindanao

Perekrutan

anggota JI di

Malaysia dan

Australia

Bom Natal

Bom Bali

Aktivitas saat

ini

Menjalani

hukuman

penjara

Membantu

kepolisian

dalam gerakan

deradikalisasi

Sopir taksi

di PKU

Ustad dan dai

yang mengajarkan

faham salafi di

Indonesia

Menjalani

hukuman

penjara

Disengagement

Meninggalkan jalan teror diwujudkan dengan melakukan banyak hal yang relevan dengan

upaya mengurangi aksi teror dan kekerasan berbasis agama. Hal itu dilakukan dengan cara yang

berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kapasitas subyek penelitian.

Setelah menyatakan keluar dari Jamaah Islamiyah pada 23 April 2003, NA memilih

melakukan kegiatan penyadaran kepada bekas anak buah dan kawan-kawannya melalui berbagai

program deradikalisasi yang dilaksanakan kepolisian, BNPT atau lembaga lain. Saat ditawarkan

kepolisian untuk bekerjasama dengan kepolisian dalam melakukan kegiatan deradikalisasi,

muncul keraguan pada diri NA karena takut dianggap berkhianat. Tetapi dengan

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

12

mempertimbangkan kepentingan umat Islam dan masyarakat Indonesia maka NA akhirnya

menerima.

Subyek lain, AA menyampaikan hal yang sama. Menurutnya, ia memutuskan untuk

membantu pemerintah melalui BNPT agar generasi muda selamat dari jeratan ekstrimisme dan

radikalisme keagamaan yang dapat mendorong mereka ke dalam terorisme. Pilihan membantu

BNPT dalam menyadarkan para yuniornya dalam gerakan Islam radikal bukan tanpa resiko. AA

dikecam dan dimusuhi oleh para aktivias gerakan Islam radikal karena dianggap bersekutu dengan

thogut.

Sebagian dari subyek penelitian yang memutuskan meninggalkan jalan kekerasan

memilih cara lain yang lebih rasional untuk memberi makna dan kemanfaatan bagi umat Islam.

Media dakwah dan taklim dipilih karena dianggap strategi yang paling tepat dan tuntunan dari

senior mereka dalam gerakan Islam sebagaimana dinyatakan AA. Id, subyek lain yang bermukim

di Pekanbaru menyatakan akan berdakwah dan taklim di lingkungan keluarga terdekat. Sebab,

selama bergelut dengan dunia jihad, waktunya tersita sehingga menyebabkan dirinya kurang

perhatian terhadap anak dan isteri.

AI menyatakan bahwa dialog dan diskusi tentang pemahaman jihad dan bagaimana

pelaksanaannya yang tepat dan sesuai dengan kaidah fikih merupakan kegiatan yang akan dia

lakukan selama berada di penjara. Sementara UP menyebutkan bahwa dirinya ingin berkumpul

dengan keluarga dan menjadi orang Islam yang baik sesuai dengan aturan negara dan pemerintah.

Bentuk atau pola meninggalkan jalan teror pada subyek penelitian dapat digambarkan

dalam bentuk matrik berikut ini. Tabel 2. Pola meninggalkan jalan teror

Subyek Gambaran meninggalkan jalan teror

AI Tetap menjadi anggota Jamaah Islamiyah tetapi menolak kekerasan atas nama jihad

AA Keluar dari Jamaah Islamiyah dan membantu BNPT dalam kegiatan deradikalisasi

NA Keluar dari Jamaah Islamiyah dan membantu pemerintah dalam melawan teror yang

mengatasnakamakan Islam

UP Ingin mengikuti aturan NKRI

Id Ingin mengajar kajian keislaman, tetapi tidak menyatakan keluar atau tetap bertahan di

dalam Jamaah Islamiyah

Keterangan: Kategori 1 (AI), kategori 2 (AA, NA dan UP), dan kategori 3 (Id)

Berdasarkan tabel 2 meninggalkan jalan teror dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tetap

menjadi anggota Jamaah Islamiyah tetapi menolak jalan teror, keluar dari Jamaah Islamiyah dan

melakukan gerakan deradikalisasi, dan tidak jelas keanggotaannya dalam Jamaah Islamiyah tetapi

menolak jalan teror.

Proses Meninggalkan Jalan Teror

Proses meninggalkan jalan teror digambarkan melalui tahap evaluasi kelompok dan

evaluasi individual yang kemudian melahirkan perubahan pandangan tentang konteks tempat dan

waktu berjihad dan perubahan sikap terhadap musuh. Sebelum evaluasi terkait bom Bali 1, tempat

dan waktu berjihad tidak menjadi pertimbangan utama tetapi setelahnya, waktu dan tempat benar-

benar menjadi pertimbangan dalam menentukan keterlibatan dalam jihad.

Evaluasi kelompok versus evaluasi personal

Evaluasi atas aksi bom Bali 1 dibagi menjadi dua bagian yaitu evaluasi kelompok yang

dihadiri oleh tim eksekutor bom Bali 1 dan orang-orang yang terkait secara tidak langsung dengan

pelaksanaan amaliah. Setelah bom meledak di Bali, para pelaku berkumpul di rumah kontrakan

AM di Solo bersama anggota Jamaah Islamiyah lainnya yang tidak terlibat langsung. Pertemuan

itu semula hanya untuk merayakan “keberhasilan” peledakan bom di Bali, tetapi ternyata juga

untuk melakukan evaluasi kolektif atas pelaksanaannya.

AI menceritakan bahwa pertemuan itu bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan bom

Bali. Dalam pertemuan itu ditemukan banyak kesalahan tehnis seperti tidak menghapus kode

motor yang seharusnya dilakukan oleh tim sehingga kemungkinan polisi bisa mengendus siapa di

balik tragedi bom Bali sangat besar. Di dalam pertemuan itu disarankan agar setiap orang harus

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

13

melakukan ntisipasi yang diperlukan seperti melarikan diri sejauh mungkin dari kejaran aparat

keamaan. Oleh karena itu, setiap orang dibekali uang Rp. 500.000 untuk biaya di persembunyian.

Ketika AI dan Amrozi datang dari Lamongan ke Solo, UP telah terlebih dahulu ada di

rumah kontrakan bersama IS dan AM. UP yang dikenal sebagai ahli intelijen dan penyamaran

mengusulkan agar melakukan antisipasi jika polisi melakukan penangkapan besar-besaran

terhadap anggota Jamaah Islamiyah. Subyek yang lain, NA dan AA tidak berada di tempat

pertemuan karena mereka tidak tahu sama sekali tentang bom Bali. NA dan AA berada di lokasi

lain. NA menceritakan situasi pengejaran dan penangkapan oleh aparat kepolisian terutama

densus 88 pada saat itu. Itulah yang menjadi pemicu mengapa ia harus bermigrasi atau berpindah

dari satu tempat ke tempat yang lain.

AA juga menceritakan situasi pasca bom Bali saat mana aparat Densus 88 menangkap

siapapun yang pernah melakukan kontak dengan para pelaku utama bom Bali yang telah

tertangkap seperti Mukhlas dan Amrozi atau orang yang diduga menjadi anggota Jamaah

Islamiyah. Melihat situasi itu, AA berusaha bersembunyi dari kejaran aparat Densus 88 walaupun

ia merasa tidak pernah terlibat dalam aksi bom apapun di Indonesia.

Selain evaluasi kelompok, evaluasi yang bersifat individual juga dilakukan oleh subyek

penelitian. AI melakukan perenungan dan evaluasi selama pelarian dan pengejaran oleh aparat

Densus 88, mulai dari rumahnya di Tenggulun Lamongan Jawa Timur sampai ujung timur Pulau

Kalimantan. Perenungan dan evaluasi diri itu membawanya menuju penyesalan yang mendalam

atas tragedi Bom Bali yang menewaskan banyak orang yang tidak berdosa. Perenungan dan

evaluasi juga dilakukan Id dalam pelarian dan persembunyiannya dari kejaran Densus 88. Id

membayangkan betapa menderitanya para korban yang cacat tetapi tidak terkait dengan tujuan

dirinya dan kelompoknya. Pengalaman merasakan penderitaan para korban diduga menjadi

pemicu Id harus mengevaluasi diri atas apa sepak terjangnya di dunia teror.

Berbeda dengan AI dan Id yang terlibat langsung dalam kasus bom Bali, NA yang juga

merupakan anggota dan petinggi JI tidak terlibat langsung. Kendati demikian, NA justru

merasakan dampaknya. NA harus melarikan diri karena Densus 88 dan aparat kepolisian

melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap semua anggota dan petinggi Jamaah Islamiyah

tanpa pandang bulu. NA banyak mengalami kesulitan dalam pelarian. Kesulitan-kesulitan yang

dihadapi NA, seperti kesulitan berkomunikasi dengan isteri dan anak-anaknya setelah tertangkap

aparat Densus 88 membawanya kepada kesimpulan bahwa keterlibatannya sebagai aktivis

pergerakan Islam radikal seperti Jamaah Islamiyah tidak tepat. Sebagai salah satu petinggi Jamaah

Islamiyah, NA tidak pernah setuju dengan penggunaan aksi bom dan kekerasan lainnya seperti

fai (mengambil rampasan perang dengan merampok) sebagai cara memperjuangkan Jamaah

Islamiyah.

Sementara AA memiliki cerita lain. Seperti NA, AA juga tidak dilibatkan dalam Bom

Bali 12 Oktober 2002. Sebagai salah satu petinggi JI, AA sejak lama menyimpan benih

ketidakpuasan terhadap sepak terjang Jamaah Islamiyah. Ketidakpuasannya terutama

menyangkut perubahan arah perjuangan Jamaah Islamiyah yang semula dalam jangka pendek dan

menengah ditujukan untuk kepentingan dakwah dan idad serta penanaman ideologi, tetapi diubah

untuk berjihad dan aksi kekerasan.

Kisah yang menarik juga dijelaskan oleh UP. UP adalah pelaku Bom Bali I yang paling

akhir ditangkap. UP menjelaskan, setelah melaksanakan aksi bom Bali ia segera melarikan diri

dan bersembunyi di berbagai tempat termasuk ke Filipina dan menikahi gadis setempat.

Kemudian bersama isterinya ia melanjutkan pelarian ke Afganistan. Menurut UP, keputusannya

ke Afganistan sebagai hasil evaluasi diri yang mengantarkannya pada kesimpulan bahwa ia tidak

boleh lagi melaksanakan jihad di luar wilayah konflik seperti Bali. Banyak korban tidak berdosa

dari bangsa sendiri yang berjatuhan dan menimbulkan nestapa bagi keluarga mereka. Hal itu

mendorongnya ke dalam satu titik di mana UP harus melakukan evaluasi diri terkait

perjuangannya dalam gerakan Islam.

Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan para subyek penelitian dapat

digambarkan dalam tabel di bawah ini.

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

14

Tabel 3 Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan subyek

Subyek Evaluasi Kelompok Evaluasi Individual

Id Bom Bali lebih banyak

mudharat dibanding manfaat

Menyesal, banyak korban tidak berdosa.

AI Banyak kesalahan dalam tahap

perencanaan dan praktek

Menyesal, Bali menjadi target

UP Banyak kekeliruan, polisi

bergerak cepat, rencana

pelarian udah disiapkan

Menyesal, mengorbankan bangsa sendiri

NA Mengapa banyak kesulitan dihadapi pasca bom Bali 1

AA Sering tidak setuju dengan teman-temanya, harus segera

keluar dari JI dan memilih jalur dakwah

Berdasarkan tabel 3 ada dua subyek yang tidak mengikuti evaluasi kelompok karena

keduanya tidak menjadi eksekutor langsung bom Bali 2, sedangkan ketiga lainnya adalah pelaku

bom Bali dan oleh karenanya ikut dalam evaluasi kelompok, sedangkan evaluasi individual

dilakukan oleh kelima subyek di tempat pelarian atau di tempat persembunyian.

Perubahan Penilaian tentang Konteks Jihad

Hasil evaluasi yang lama dan proses menyerap makna dari pengalaman beraktivitas di

Jamaah Islamiyah adalah munculnya perubahan penilaian tentang konteks jihad. Perubahan

penilaian tentang konteks jihad dialami oleh pelaku teror. Misalnya, AI yang semula menganggap

Indonesia sebagai tempat jihad yang sah dengan indikasi keterlibatannya dalam berbagai aksi

pengeboman seperti bom Filipina dan bom Bali, pada akhirnya berpandangan bahwa Bali bukan

tempat yang tepat untuk pelaksanaan jihad. Perubahan itu menggambarkan dinamika berpikir AI

tentang bagaimana menerapkan jihad.

NA yang pernah memimpin mantiqi 3 (Poso dan Philipina) berpandangan bahwa Hambali

dan kawan-kawan yang terlibat dalam berbagai aksi pengeboman di Indonesia, mulai dari bom

natal 2000, bom kedubes Philipina, bom Bali dan bom Mariot tidak sabar menunggu waktu yang

tepat untuk menggelorakan jihad. Dalam pandangan NA, persiapan secara ekonomi dan keuangan

perlu disiapkan, oleh karena itu, Poso sebagai bagian dari mantiqi 3 yang NA pimpin

direncanakan menjadi sentra ekonomi dan keuangan untuk membiayai aktivitas Jamaah

Islamiyah. Tim ekonomi dan tim dakwah Jamaah Islamiyah menyiapkan situasi dan kondisi

sampai datang waktu berjihad.

DaIam pandangan NA, idad bukan hanya mencakup persiapan yang bersifat militeristik

tetapi juga persiapan secara finansial dan ekonomi. Hal itu karena gerakan Islam seperti Jamaah

Islamiyah membutuhkan dana operasional yang tidak sedikit. Keinginan dan rencana NA, salah

satu mantan petinggi Jamaah Islamiyah yang sekarang berbalik melawan teman-temanya sesama

anggota Jamaah Islamiyah untuk menjadikan Poso dan sekitarnya sebagai zona aman (qaidah

aminah), tidak mendapatkan tanggapan positif dari pimpinan pusat JI di Pulau Jawa. Meledaknya

Bom Bali membuat rencana baik tersebut menjadi hancur berantakan. Bahkan, bukan hanya itu,

seluruh jaringan kerja Jamaah Islamiyah dilumpuhkan oleh aparat kepolisian dengan melakukan

pengejaran dan penangkapan.

Id menyatakan bahwa jihad adalah perang. Tidak ada pengertian lain jihad di luar perang.

Di belakang hari, Id dan kawan-kawan menyadari bahwa pelaksanaan jihad di Bali tidak sesuai

konteks waktu dan tempat menurut fikih jihad yang mereka pelajari. Konsekuensi dari kesalahan

menentukan konteks jihad adalah kegagalan karena bertentangan dengan apa yang dikehendaki

Islam tentang jihad.

AA tidak sepakat dengan pandangan Hambali yang menganggap Indonesia sebagai

negara konflik. Sejak lama AA berpandangan bahwa Indonesia bukanlah wilayah konflik atau

wilayah perang sehingga jihad dilegalkan. Bagi AA, menganggap Indonesia sebagai wilayah

jihad saat ini adalah kesalahan besar yang tidak bisa ditolerir. AA juga menegaskan bahwa tujuan

pendirian Jamaah Islamiyah sesuai dengan namanya adalah untuk menyiapkan kelompok umat

Islam dengan pemahaman dan semangat berjihad. Jihad digelorakan ketika semua anggota

Jamaah Islamiyah dan umat Islam memahami makna jihad yang sesungguhnya. Maka, menurut

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

15

AA saat itu (saat peledakan bom Bali dan sampai saat ini) adalah masa penyiapan mental dan

pemahaman tentang Islam termasuk jihad

UP menegaskan hal yang sama bahwa Indonesia bukan wilayah konflik, karenanya tidak

boleh dijadikan sebagai tempat berjihad. Sebelum kejadian bom Bali 1, UP dikenal sebagai orang

yang banyak terlibat dalam berbagai aksi bom di Indonesia seperti bom Natal 2000. Perubahan

pandangan berlangsung dalam waktu yang lama setelah mengalami banyak peristiwa dan

pengalaman personal di berbagai tempat dan situasi.

Tabel 4. Perubahan pandangan tentang konteks jihad

Subyek Pandangan semula Perubahan pandangan

AI Indonesia tempat berjihad

(Ambon dan Poso)

Indonesia bukan tempat berjihad

NA Jihad ada waktunya Tidak berubah

Id Indonesia negara perang Indonesia bukan negara perang

AA Indonesia bukan negara

perang

Tidak berubah

UP Indonesia wilayah penuh

konflik

Indonesia bukan wilayah konflik

Pada tabel 4 perubahan pandangan tentang konteks jihad dialami oleh tiga subyek

sedangkan dua subyek lainnya memiliki pandangan yang tidak berubah yaitu bahwa jihad di

Indonesia tidak tepat. Ada dua alasan mengapa jihad di Indonesia dilarang, yaitu alasan tempat

dan waktu (Indonesia bukan wilayah konflik dan jihad belum saatnya dilakukan di Indonesia)

Perubahan Sikap (Homogenitas versus heterogenitas outgroup)

. Perubahan sikap sosial dialami oleh para subjek utama seperti cara pandang dalam

menentukan kawan dan lawan. Pandangan yang mengarah kepada sikap yang cenderung tidak

menyamaratakan lawan dan sikap melunak mulai muncul. Misalnya, pandangan AI tentang orang

Kristen terkait kasus Ambon dan Poso yang cenderung menggambarkan homogenitas outgroup.

Sebelum ditangkap karena kasus bom Bali 1, AI dikenal sebagai orang yang juga terlibat dalam

berbagai aksi bom dengan target gereja dan umat Kristiani, seperti kasus bom natal.

Sikap sosial yang positif terhadap kelompok non Muslim juga tercermin pada diri Id yang

juga pernah terlibat dalam kasus bom Natal tahun 2000. Id mulai menyadari bahwa tidak ada

alasan membenci kaum Nasrani hanya karena mendapatkan informasi bahwa Kaum Kristiani dan

kalangan gereja merencanakan sesuatu yang merugikan umat Islam di masa yang akan datang.

Perubahan sikap yang sama ditunjukkan oleh NA setelah ditangkap dan dipenjara. Menurut NA,

informasi negatif yang dia peroleh tentang kaum Nasrani berubah drastis ketika di dalam penjara

diperlakukan dengan baik oleh para petinggi kepolisian yang beragama Nasrani, termasuk ketika

ditempatkan satu sel dengan kelompok Geng Coker asal Maluku.

AA yang pernah dibesarkan dalam tradisi NU dan pernah menjadi anggota NII

menceritakan bagaimaan ia mengalami perubahan sikap terhadap outgroup, dari sikap memusuhi

menjadi sikap yang netral dan bersahabat. Semua kelompok di luar kelompoknya, apalagi Non

Muslim seperti Kristen adalah pihak yang dia benci tetapi melalui proses waktu AA melihat

mereka sebagai sesama umat Islam dan sesama anak bangsa.

Sementara itu, UP yang dijuluki sebagai manusia paling berbahaya oleh Amerika Serikat

dan pernah disayembarakan dengan hadiah yang besar menegaskan bahwa ia tidak membenci

Barat tetapi yang ia benci Israel karena menduduki Palestina secara ilegal. Perubahan sikap para

subyek dari titik yang cenderung homogen dalam melihat kelompok lain menuju titik yang

cenderung heterogen dalam melihat outgroup dapat digambarkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 5. (Perubahan sikap) Dari homogenitas ke heterogenitas outgroup

Subyek Inti Pernyataan

AI Bahwa tidak semua orang Kristen setuju dengan ulah Kristen Ambon dan Poso, padahal

sebelumnya menganggap Kristen Ambon dan Poso harus dilawan

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

16

Id Motivasi terlibat bom natal 2000 karena benci Kristen secara keseluruhan, setelah ditangkap

dan dipenjara mulai memilah-milah antara yang pantas dimusuhi dan tidak dimusuhi.

NA Sebelum satu penjara dengan tokoh pemuda Kristen, sangat benci, setelah satu penjara,

bersahabat.

AA Dulu memusuhi NKRI termasuk Kaum Kristen, tetapi sekarang sangat menghargai

UP Tidak membenci Barat tapi Israel

Berdasarkan tabel 5 dapat dikatakan bahwa ada perubahan pandangan yang bersifat

homogenitas (penyamarataan) tentang non Muslim dan Barat menjadi pandangan yang mengakui

keragaman outgroup dan keharusan melakukan pemilahan antara yang baik dan buruk dari

mereka.

Perubahan pandangan tentang outgroup, misalnya kaum Kristen Indonesia yang selama

ini dianggap seragam memusuhi orang Islam, terjadi pada NA, AI dan Id. Keterlibatan AI dalam

kasus Ambon maupun Poso digerakkan oleh kesadaran bahwa kaum Kristen lokal menyerang dan

berlaku zalim terhadap umat Islam di kedua wilayah itu. Sedangkan kaum Kristen di luar Ambon

dan Poso memberi dukungan dalam berbagai bentuk yang bisa dilakukan. Setelah mengalami

pengalaman sosial dalam berbagai situasi dan konteks maka AI menyadari bahwa tidak semua

orang Kristen memusuhi umat Islam.

Faktor Personal

Faktor personal terdiri dari tiga konsep yaitu rasa bersalah, konflik identitas personal

versus identitas kelompok, dan konflik nilai personal versus nilai kelompok. Ketiga konsep

tersebut akan dijelaskan sebagaimana berikut ini.

Rasa bersalah versus tidak bersalah. Evaluasi personal dan kolektif yang telah

dilakukan melahirkan rasa bersalah diantaranya karena banyak korban berjatuhan dari kalangan

orang-orang yang seiman sebagaimana dinyatakan oleh Id. Rasa bersalah Id ditandai oleh

kebingungan, kesedihan, kengerian dan stress yang kuat. Sebagai alumni Pesantren Ngruki yang

mengerti Al-Quran, Id tersentak saat membuka kembali lembaran Al-Quran terutama

menyangkut kafarah (denda) pembunuhan dalam Islam.

Hasil evaluasi AI di dalam pelarian menghasilkan rasa bersalah dan penyesalan

sebagaimana Id. AI menyatakan penyesalannya berulang kali untuk menunjukkan bahwa ia

benar-benar merasa bersalah telah melakukan aksi pengeboman yang menelan banyak jiwa. Hal

yang sama juga diungkapkan oleh UP. Ia benar-benar menyesal telah melibatkan diri dalam aksi

Bom Bali yang pada mulanya tidak ia setujui. Tetapi akhirnya ia ikut terlibat karena keinginan

kelompok yang harus diikuti. Keterlibatannya dalam bom Bali yang membuat dijebloskan ke

penjara telah melahirkan penyesalan dan rasa bersalah yang mendalam.

Selaku petinggi Jamaah Islamiyah yang memimpin mantiqi 3 dan mentor pelatihan

militer di Afganistan dan Mindanao, NA merasa bersalah tepatnya merasa bertanggungjawab

karena sebagian pelaku bom Bali adalah murid-murid yang pernah ia latih dalam bidang keahlian

senjata dan perakitan bom seperti UP. NA merasa ikut bertanggungjawab atas tindakan rekan-

rekannya dan bekas murid yang pernah dibina di Afganistan. Pertanggungjawaban yang

dikhawatirkan NA terutama di hadapan Allah adalah tentang terbunuhnya orang-orang yang tidak

berdosa karena ulah rekan-rekan dan murid-muridnya.

Satu-satunya subyek yang tidak merasa bersalah atas tragedi bom Bali adalah AA. Hal

itu karena AA merasa tidak tahu-menahu tentang bom Bali dan sejak lama ia menentang keras

keinginan Hambali untuk melakukan amaliyah istisyhad di Indonesia. Kendati demikian, pada

konteks tertentu, AA tetap merasa bersalah karena tidak mampu mencegah sepak terjang Hambali

dalam mempengaruhi anggota JI dalam melakukan amaliyah. Dengan ungkapan yang didasarkan

atas pemahama terhadap Al-Quran, AA menjelaskan bahwa membunuh satu orang yang tidak

berdosa di dalam Islam sama dengan membunuh seluruh manusia. Hal itu untuk menunjukkan

betapa aksi bom yang mengorbankan banyak nyawa tidak berdosa merupakan perbuatan dosa

yang sangat besar.

Rasa bersalah karena terbunuhnya banyak orang dari kalangan Muslim itu menyebabkan

Id merasa harus melaksanakan kafarah yaitu kewajiban memberi makan kaum miskin dan kaum

lemah atau berpuasa berturut-turut selama dua bulan. Perasaan bersalah biasanya diikuti dengan

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

17

perasaan malu. Hal itu pula yang dirasakan oleh UP. Penyesalan UP telah disiarkan secara luas

melalui saluran televis dan media sosial. UP menegaskan bahwa aksi bom Bali di mana UP

menjadi anggota tim bukanlah jihad di jalan Allah sebagaimana yang diyakini sebelumnya

terutama oleh kawan-kawannya.

Hal yang sama dirasakan Id. Membayangkan apa yang dirasakan para korban bom Bali

ia kasihan dan didera rasa bersalah terutama kepada mereka yang tidak ada kaitannya dengan

kepentingan dirinya sebagai jihadis dan Jamaah Islamiyah sebagai organisasi yang hendak

melakukan balas dendam terhadap orang Barat. Dinamika rasa bersalah pada subyek penelitian

dapat digambarkan dalam matrik di bawah ini.

Tabel 6 Gambaran rasa bersalah

Subyek Gambaran Rasa Bersalah

Id Muncul perasaan ngeri dan tertekan karena banyak orang Islam yang terbunuh sementara

belum ada kejelasan bagaimana kafarah (denda membunuh orang tidak berdosa) diselesaikan.

AI Rasa bersalah dalam menentukan Bali sebagai target amaliyah. Rasa bersalah makin menguat

manakala diketahui bahwa amaliah itu atas inisiatif dan perinah Hambali dkk, bukan inisiatif

dan perintah Jamaah Islamiyah.

UP Rasa bersalah muncul karena jihad dengan target Bali tidak memiliki dasar yang kuat.

NA Rasa bersalah karena bertanggungjawab sebagai senior dan petinggi Jamaah Islamiyah yang

telah membina dan melatih sebagian dari pelaku teror Bom Bali 1

AA Rasa bersalah karena tidak mampu mencegah Hambali dalam melaksanakan fatwa Osama bin

Laden yang bertentangan dengan kebijakan Jamaah Islamiyah.

Berdasarkan tabel 6, rasa bersalah disebabkan oleh tiga hal yaitu ketidakjelasan

pembayaran kafarah (hukuman membunuh secara tidak sengaja), penentuan target yang tidak

sesuai ketentuan dan kaidah jihad, dan rasa bertanggungjawab sebagai petinggi organisasi.

Konflik Identitas personal versus identitas kelompok. Penonjolan identitas personal

atas identitas kelompok (sebagai anggota Jamaah Islamiyah) dan komponen identitas lainnya

terlihat jelas pada subyek penelitian ini. Misalnya, AA dengan tegas menyebutkan bahwa

beberapa bulan setelah bom Bali meledak ia secara terbuka menyatakan telah menarik baiatnya

kepada Jamaah Islamiyah. AA merasa lebih bangga disebut sebagai penganjur ahlussunnah wal

jamaah dan muallim dibandingkan sebagai mantan penasehat Jamaah Islamiyah untuk mantiqi

ukhra di Australia. AA merasa sangat kecewa karena ulah teman-temannya yang melakukan aksi

pengeboman yang membuatnya tidak nyaman menjadi penasehat Jamaah Islamiyah wilayah

Australia. Jabatan yang cukup bergengsi di kalangan aktivis gerakan Islam radikal itu. AA lebih

senang menyebut dirinya sebagai muballigh ustad yang mengajarkan faham salafi.

Hal yang sama juga dinyatakan NA. Dengan tegas NA menyatakan bahwa ia tidak lagi

menjadi anggota Jamaah Islamiyah sejak tahun 2003 dan memilih untuk membongkar Jamaah

Islamiyah dan melawan cara kekerasan yang tetap dipertahankan kawan-kawan dan murid-

muridnya. Sebagai anggota dan petinggi Jamaah Islamiyah, NA telah banyak berjuang dan

bekerja untuk tanzhim yang bercita-cita menegakkan Daulah Islamiyah di Asia Tenggara

sehingga harus mengorbankan keluarganya.

Sementara itu, AI merasa cara berjihad yang ditempuh kawan-kawannya termasuk

dirinya saat Jamaah Islamiyah masih aktif telah membuat dirinya menjadi pesakitan yang tidak

berharga. AI sangat sedih melihat dua kakak (Mukhlas dan Amrozi) yang sangat dia hormati

menjadi pesakitan yang digelandang polisi dalam keadaan diborgol. UP yang dianggap paling

berbahaya oleh Amerika menyatakan dengan tegas bahwa ia mencintai Indonesia karena

dilahirkan dan dibesarkan di negeri ini. Menurut UP, apapun bisa dilakukan untuk menunjukkan

bahwa ia masih menjadi bagian dari NKRI. UP ingin menunjukkan perasaannya tentang

Indonesia yang berbeda dengan dengan kawan-kawannya yang membenci Indonesia dan

pemerintah RI.

Menonjolnya identitas personal atas identitas kelompok juga diperlihatkan oleh Id ketika

bertemu dan berdebat tentang amaliyah jihad dengan sejumlah figur penting Jamaah Islamiyah

dalam persembunyiannya pasca bom Bali di sejumlah tempat di Indonesia. Id tidak lagi sefaham

dalam memahami jihad dengan aktivis Jamaah Islamiyah lainnya. Konflik identitas personal dan

identitas kelompok para subyek penelitian digambarkan dalam tabel berikut ini.

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

18

Tabel 7.Identitas Kelompok versus Identitas Personal

No Subyek Identitas kelompok sebelum bom

Bali meledak

Identitas personal setelah bom Bali

1 AA Merasa bangga saat menjadi

anggota dan penasehat Jamaah

Islamiyah mantiqi ukhra.

Merasa lebih bangga disebut sebagai pribadi

dai dan muballigh tanpa afiliasi JI

2 NA Merasa bangga karena banyak

berkorban untuk Jamaah Islamiyah.

Merasa dirugikan secara personal dengan

peristiwa bom Bali 1 hingga akhirnya melawan

dan membongkar JI.

3 AI Merasa bangga menjadi jihadis

yang berafiliasi ke JI

Merasa sedih melihat kedua kakak sebagai

pesakitan yang terhina

4 UP Menolak NKRI Menerima NKRI dengan mengikuti apel

kesetiaan

5 Id Merasa bangga menjadi bagian dari

kaum jihadis

Melapaskan diri dari kaitan dengan Jamaah

Islamiyah

Berdasarkan tabel 7, dapat dikatakan bahwa pergeseran identifikasi kelompok menuju

identifikasi personal pada semua subyek penelitian ditandai dengan berkurangnya kebanggan

sebagai anggota atau petinggi Jamaah Islamiyah dan munculnya kecenderungan untuk

membanggakan diri sendiri.

Konflik nilai personal versus nilai kelompok. Pertentangan antara nilai personal versus

nilai kelompok mewarnai dinamika psikologis pada anggota Jamaah Islamiyah dalam

memandang bom Bali. Kecenderungan bergantung pada pikiran sendiri dalam menilai kasus bom

Bali dan kasus lainnya terlihat jelas pada para subyek penelitian. Perubahan penilaian terjadi

dengan membandingkan pernyataan dan tindakan yang pernah dilakukan sebelum bom Bali dan

sesudahnya. Misalnya, NA memiliki pandangan berbeda dengan pandangan sebagian besar

anggota Jamaah Islamiyah atau aktivis pergerakan Islam radikal dalam melihat para pelaku bom

Bali. NA melihat mereka bukanlah mujahid sejati sebagaimana yang dinyatakan ABB sebagai

simbol kelompok Jamaah Islamiyah dalam berbagai kesempatan. Di sini, pandangan NA tentang

siapa mujahid sejati merepresentasikan nilai personal NA versus nilai kelompok yang diwakili

oleh pandangan ABB.

Pertentangan antara nilai personal dan nilai kelompok adalah pertentangan yang

berlangsung terus dalam proses kelompok sebagaimana digambarkan oleh AI. AI

menggambarkan bagaimana pendapat pribadinya tentang medan jihad bertentangan dengan

pendapat kelompok. Menurut AI, sebelum pelaksanaan bom Bali ia kerap mengemukakan

pandangannya bahwa Indonsia termasuk Bali tidak tepat dijadikan sebagai target aksi

pengeboman tetapi pendapat kelompok atau jamaah tepatnya lingkaran tertentu di dalam Jamaah

Islamiyah yang cenderung bersepakat untuk melaksanakan amaliah tidak dapat dilawan. Sikap

dan tindakan yang lahir dari konformitas sosial itu melahirkan penyesalan karena tidak sesuai

dengan hati nurani dan keyakinan pribadi. Misalnya, seorang narasumber yang berpandangan

bahwa Indonesia bukan tempat yang tepat untuk pelaksanaan aksi bom tetapi dengan terpaksa

harus mengikuti keinginan kelompok dan senior kelompok walaupun harus melanggar hati nurani

dan keyakinan personal.

Oleh karena itu, UP menolak keras jika dianggap melarikan diri ketika media

memberitakan keberadaan dan penangkapannya di Afganistan. Keputusan keluar dari Indonesia

ia pandang sebagai ekspresi keyakinan tentang jihad yang harus dilakukan di daerah konflik

seperti Afganistan, Chehnya dan Philipina. Pandangan dan keyakinan yang bertentangan antara

pribadi dan kelompok dalam melihat suatu persoalan pada titik tertentu menjadi kekuatan untuk

melepaskan diri dari pengaruh kelompok. Pertentangan nilai personal dan kelompok dialami oleh

AA ketika Hambali merekrut pengebom di Australia dengan mengatasnamakan Jamaah

Islamiyah. AA menolaknya dengan tegas karena menurutnya amaliyah bom bukanlah cara yang

dibenarkan Islam.

Hal yang hampir sama dialami oleh Id ketika harus berhadapan dengan keteguhan

Azahari untuk meneruskan cara-cara pengeboman untuk berjuang dalam suatu pertemuan di

Bengkulu dalam pelariannya pasca bom Bali. Id berpendapat bahwa amaliyah bom lebih banyak

efek negatifnya bagi Jamaah Islamiyah dibandingkan efek positifnya, tetapi Azahari yang masih

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

19

terpengaruh dengan pandangan Hambali yang mewakili pimpinan mantiqi 1 lebih memilih aksi

bom karena lebih semarak dan bisa memberikan pesan kepada publik.

Konflik nilai personal dengan nilai kelompok pada subyek penelitian tergambar dalam

matrik berikut ini. Tabel 8. Nilai personal versus nilai kelompok

Subyek Nilai personal Nilai kelompok

NA Pelaku bom Bali 1 bukan mujahid dan syahid Pelaku bom Bali 1 mujahidi dan

syahid (diwakili ABB)

UP Meminta maaf atas tragedi bom Bali Tidak perlu meminta karena dianggap

bukan sikap yang konsisten

AA Menolak keinginan Hambali untuk melakukan aksi

bom terhadap kedutaan Amerika di Australia

Keinginan Hambali sebagai

representasi kelompok untuk

melakukan aksi bom terhadap

kedutaan Amerika di Australia

Id Amaliah pengeboman dihentikan karena lebih

banyak mudharatnya dibanding manfaatnya

Amaliah pengeboman harus

diteruskan agar JI bergema ke mana-

mana (diwakili NMT)

Berdasarkan tabel 8 dapat dikatakan bahwa pertentangan antara nilai personal dan nilai

kelompok dialami oleh semua subyek penelitian dalam konteks yang berbeda. Tetapi secara

umum, pertentangan atau konflik nilai personal versus nilai kelompok berkaitan dengan

bagaimana menyikapi kesyahidan pelaku bom Bali 1, perlunya meminta maaf terhadap keluarga

korban bom dan masyarakat Indonesia, target amaliah jihad dan cara menerapkannya.

Faktor Organisasi

Faktor organisasi terdiri dari dua konsep yaitu deideologisasi jihad dan penurunan

komitmen.

Deideologisasi Jihad versus ideologisasi jihad. Jika dalam proses radikalisasi,

ideologisasi jihad merupakan alat untuk menguatkan identitas sebagai jihad, misalnya melalui

internalisasi semangat dan pemahaman thoifah manshurah maka dalam proses meninggalkan

jalan teror, deideologisasi jihad menjadi menonjol dengan melakukan eksternalisasi semangat dan

pemahaman thoifah manshurah. AI misalnya merasa tidak nyaman dan kesal dengan orang-orang

yang melabel diri mereka sebagai mujahid tetapi tidak mencerminkan karakter seorang mujahid.

Bagi AA yang memilih menolak atau meninggalkan jalan teror, batasan dan ketentuan

Al-Quran tentang jihad sangat jelas dan terang-benderang. Pelanggaran terhadap ketentuan itu

menjadi garis demarkasi antara kaum jihadis yang menganggap saat ini sebagai masa idad dengan

kaum jihadis yang menganggap saat ini jihad perlu dikobarkan.

Pelanggaran terhadap etika dan norma berjihad serta perbuatan buruk dengan melakukan

aksi bom disebabkan oleh banyak hal, diantaranya yaitu kebencian kepada orang kafir yang

berlebihan, pemahaman yang keliru dan terlalu harfiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, pemahaman

yang tidak utuh dan nafsu amarah yang berlebihan. Dalam Islam, menurut jihadis yang menolak

kekerasan, berjihad atau memerangi kaum kafir bukan bersifat ofensif tetapi bersifat defensif,

yaitu jihad untuk membela diri. konsekuensi dari sifat ofensif pada jihad maka harus dipilah

antara mereka yang pantas diperangi dan yang tidak pantas diperangi. Jika hal itu tidak dilakukan

maka berarti pelanggaran terhadap etika dan norma berjihad sebagaimana yang telah diajarkan

dan ditulis para ulama dalam kitab-kitab fikih yang membahas jihad. :

Menjadi jihadis itu pilihan Allah. Demikian Id meyakini, karena tidak semua orang bisa

dan berani berjihad. onsekuensi jihad sangat berat bagi jihadis dan keluarganya. Jihadis sejati

adalah orang yang meyakini bahwa jihad tidak pernah berhenti sampai kemenangan bisa diraih

oleh umat Islam. Oleh karena itu, Id tidak berani melakukan klaim sebagai jihadis sejati karena

ia sendiri tidak bisa dikategorikan sebagai kelompok jihadis.

Sementara itu, UP yang kerapkali dijuluki “manusia berbahaya” karena ahli dalam

penyamaran dan perakitan bom terutama oleh Amerika Serikat tidak lagi meyakini bahwa jihad

itu bisa dilakukan tanpa mengenal waktu dan tempat karena jihad itu tugas abadi. Semula, UP

meyakini bahwa jihad itu bisa dilakukan di mana saja, lalu setelah bom Bali meledak dan terjadi

penangkapan besar-besaran oleh aparat kepolisian, UP berkeyakinan bahwa jihad harus dilakukan

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

20

di wilayah konflik. Saat ini UP berpandangan bahwa jihad yang harus dilakukan adalah jihad

untuk menafkahi keluarga. Sedangkan jihad di wilayah konflik itu sebaiknya dilakukan oleh

orang setempat. Proses deideologisasi jihad yaitu perubahan keyakinan tentang jihad sebagai

tugas abadi agaknya harus disikapi dengan sikap yang realistis apalagi pada pelaku teror yang

sedang dihukum di penjara dengan hukuman yang lama seperti UP. Gejala terjadinya proses

deideologisasi jihad pada subyek penelitian dapat digambarkan melalui tabel berikut ini: Tabel 9 Deideologisasi jihad

Subyek Gejala deideologisasi jihad

AI Jihadis tidak membunuh orang yang tidak berdaya dan terlalu mudah mengklaim diri sebagai

jihadis

AA Pengakuan para pelaku teror sebagai thoifah manshuroh tetapi melanggar ketentuan dan

batasan berjihad dianggap keliru

NA Menganggap para pelaku teror salah dalam memahami ayat jihad, dikuasai nafsu amarah, dan

pelaksanaan fai yang keliru

Id Tidak berani mengklaim diri sebagai jihadis pilihan Allah

UP Jihad terikat syarat waktu dan tempat, tidak semua orang bisa berjihad di wilayah konflik, dan

jihad tidak terbatas dalam pengertian perang.

Berdasarkan tabel 9 dapat disimpulkan bahwa proses deideologisasi jihad ditandai

dengan munculnya keyakinan bahwa jihad abadi adalah pemahaman yang tidak realistis. Klaim

sebagai thoifah manshurah yaitu kaum pilihan yang bertugas melakukan jihad abadi adalah

pemahaman yang diperdebatkan. Intinya, jihad bukan semata-mata dalam pengertian perang

abadi tetapi bisa dalam arti di luar perang abadi atau di luar pemahaman perang itu sendiri.

Penurunan Komitmen. Komitmen dan loyalitas anggota adalah hal penting dalam

sebuah kelompok. Tanpa komitmen dan loyalitas dari anggota, suatu kelompok terutama pada

kelompok gerakan bawah tanah seperti Jamaah Islamiyah tidak dapat dijamin akan bertahan.

Dalam penelitian ini, penurunan komitmen dan loyalitas terhadap Jamaah Islamiyah terjadi

karena mempersepsi pemimpin tertinggi tidak konsisten dengan sikap dan pendirian terhadap

organisasi. Sejumlah subyek penelitian mengungkapkan keraguan mereka terhadap tujuan

berjihad Jamaah Islamiyah karena penerimaan tokoh penting sekaliber ABB terhadap tawaran

menjadi ketua Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Majelis Mujahidin Indonesia adalah

organisasi yang menghimpun kaum radikal Islam di Indonesia yang pengesahan organisasinya

didasarkan atas akte notaris yang ditunjuk negara. Bagi sejumlah anggota Jamaah Islamiyah,

termasuk subyek penelitin ini. Bagi mereka, penerimaan ABB terhadap tawaran menjadi ketua

MMI menunjukkan inkonsistensi seorang pemimpin dari suatu organisasi radikal dan kelompok

gerakan bawah tanah.

Pengangkatan ABB sebagai ketua Majelis Mujahidin Indonesia menimbulkan pro-

kontra di kalangan anggota Jamaah Islamiyah. Mereka terpolarisasi menjadi dua kutub atau

kelompok. Kutub pertama adalah kelompok yang tidak mempersoalkan pengangkatan tersebut

karena MMI menghimpun kaum jihadis yang ingin menegakkan syariat Islam di Indonesia. Kutub

kedua adalah kelompok yang mempersoalkan hal itu karena mengindikasikan inkonsistensi Ust

ABB sebagai tokoh panutan di dalam tubuh Jamaah Islamiyah. Pilihan ini dinilai tidak konsisten

oleh banyak anggota Jamaah Islamiyah sehingga sebagian dari mereka menolak keberadaan MMI

karena bertentangan dengan prinsip fundamental Jamaah Islamiyah yang menganggap

pemerintah NKRI sebagai thogut.

Perpecahan di tubuh Jamaah Islamiyah karena penerimaan Abu Bakar menjadi ketua

MMI menyebabkan Jamaah Islamiyah seperti tanpa pilot. Sebagian anggota Jamaah Islamiyah

tidak bisa dikendalikan dan bergerak sendiri-sendiri sesuai keinginan masing-masing. Puncak dari

keadaan kacau dan tanpa kendali yang terjadi di dalam tanzhim Jamaah Islamiyah adalah Bom

Bali yang mengejutkan dunia dan menimbulkan kemarahan semua orang. Pemerintah dan aparat

kepolisian melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap semua orang yang terkait Jamaah

Islamiyah. Hal itu menimbulkan kecemasan dan ketidakpastian di kalangan anggota dan pejabat

Jamaah Islamiyah sehingga mereka memilih mencabut baiat sebagai anggota JI dan berjuang

membela Islam dengan cara yang berbeda seperti memilih jalur pendidikan dan dakwah

sebagaimana dituturkan AA salah satu subyek penelitian berikut ini.

Komitmen dan loyalitas terhadap Jamaah Islamiyah mulai luntur seiring memanasinya

dinamika di tubuh organisasi gerakan bawah tanah ini. Kepemimpinan yang tidak jelas dan gerak

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

21

organisasi yang tidak terarah membuat pelaku teror berpikir untuk memilih jalan masing-masing.

UP yang dikabarkan mengikuti apel kesetiaan kepada NKRI di Lapas Porong Surabaya jauh-jauh

hari memperlihatkan tanda-tanda akan berubah sebagaimana dia nyatakan. Sementara Id

menjelaskan bahwa ia ingin menjadi warganegara yang biasa dan melebur dengan masyarakat. Id

ingin mendidik isteri dan anak-anaknya dengan pendidikan agama yang ia peroleh dari pesantren.

Pasca bom Bali dan harus dipenjara karena itu, ia tidak ingin kembali ke keluarga dan mencari

nafkah untuk mereka apapun yang bisa dilakukan.

AI, satu-satunya subyek yang menyatakan tetap menjadi anggota Jamaah Islamiyah,

mulai memperlihatkan komitmen yang meluntur terhadap kelompok. AI tidak sepakat dengan

pilihan kekerasan dan teror yang dilakukan para pelaku teror yunior yang dibina oleh anggota

Jamaah Islamiyah lainnya. Oleh karena itu, ia menentang keras cara jihad yang menggunakan

cara teror dan kekerasan terhadap aparat kepolisian. Penurunan komitmen subyek terhadap

organisasi Jamaah Islamiyah dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 10. Gambaran penurunan Komitmen

Subyek Gambaran penurunan komitmen

NA Mulai ragu dengan Jamaah Islamiyah

AA Merasa tidak perlu lagi bertahan di dalam JI dan memutuskan keluar dan memilih cara sendiri

dalam memperjuangkan Islam

UP Tidak mempersoalkan Pancasila dan NKRI

Id Ingin mengurus keluarga

AI Masih merasa sebagai anggota Jamaah Islamiyah, tetapi tidak menyukai pemimpin JI yang

membiarkan aksi teror atau mendukung teror secara diam-diam.

Merujuk kepada tabel 10 maka dapat dinyatakan bahwa penurunan komitmen ditandai

dengan munculnya keraguan terhadap tujuan perjuangan Jamaah Islamiyah, memutuskan keluar

dari jaringan kelompok dan memilih jalan perjuangan Islam yang damai, tidak lagi

mempersoalkan Pancasila dan NKRI, kembali mengurus keluarga, dan terakhir, walaupun masih

menjadi anggota Jamaah Islamiyah tetapi menolak kepemimpinan yang pro kekerasan.

Faktor Sosial

Faktor sosial terdiri dari tiga konsep yaitu konflik pemimpin versus pengikut, konflik

interpersonal dan kontak dengan outgroup.

Konflik Pemimpin versus Pengikut. Sebagai suatu proses kelompok, apapun yang

terjadi di antara pemimpin dan pengikut mempengaruhi eksistensi dan kekompakan kelompok.

Tanpa pemimpin yang dapat diterima kelompok atau pengikut yang taat kepada kelompok maka

mustahil kelompok akan bertahan lama. Alih-alih bertahan dan menguat, kelompok yang

diwarnai hubungan yang bermasalah antara pemimpin dan pengikut akan menyebabkan

kelompok menjadi kacau dan hancur, baik karena dihancurkan oleh orang dalam atau dihancurkan

oleh pihak luar. Terdapat banyak konsep yang menjelaskan bagaimana hubungan antara

pemimpin dan pengikut, misalnya antara lain adalah kepercayaan atau trust.

Kepercayaan atau trust kepada senior, pemimpin kelompok atau amir jamaah menjadi

indikator penting relasi pemimpin-pengikut. Jika kepercayaan kepada pemimpin mulai luntur

maka relasi di antara keduanya bermasalah dan menyebabkan suasana hubungan tidak kondusif

dan meningkatkan kecenderungan individu keluar dari lingkaran kelompok serta memilih jalan

yang berbeda. Itulah suasana hubungan pemimpin dan pengikut yang memburuk di dalam tubuh

Jamaah Islamiyah saat dipimpin ABB. Keputusan pimpinan pusat kerapkali berlawanan dengan

aspirasi anggota yang mengerti situasi lapangan. Intinya, kepercayaan terhadap amir mulai

luntur.

Melunturnya kepercayaan anggota JI terhadap Amir ABB karena ketidaktegasan beliau

dalam menyelesaikan suasana carut-marut yang berlangsung di dalam tubuh Jamaah Islamiyah.

Ketidaktegasan ABB mencerminkan kepribadiannya yang lemah dalam memimpin gerakan

bawah tanah semacam Jamaah Islamiyah. Kelemahan kepemimpinan terjadi karena cara berpikir

yang sederhana dan tidak rumit, tanpa pertimbangan yang matang dan argumen yang berdasarkan

wawasan yang luas tentang kejamaahan. Akibatnya, pergerakan-pergerakan yang tidak terkendali

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

22

di dalam organisasi tidak dapat dikendalikan dan cenderunga dibiarkan padahal bisa

membahayakan masa depan jamaah. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh AA.

Inkonsistensi pemimpin dalam banyak hal sangat penting dalam suatu organisasi,

termasuk dalam organisasi Jamaah Islamiyah. Inkonsistensi mempengaruhi kepercayaan anggota

terhadap pemimpin dan bagaimana individu bertahan di dalamnya. Inkonsistensi pemimpin, baik

sebagai individu maupun representasi kelompok bukan hanya mempengaruhi kepercayaan

anggota tetapi juga mempengaruhi semua tingkah laku yang terkait kelompok.

Dalm penelitian disertasi ini penggunaan istilah dan konsep yang tidak jelas dan tidak

konsisten dengan konteks situasi dan tempat ternyata menimbulkan keraguan anggota dan

selanjutnya mengarah menuju berkurangnya komitmen dan loyalitas terhadap kelompok dan

pemimpin. Dalam konteks Jamaah Islamiyah, hal ini juga terjadi dan dialam oleh anggota Jamaah

Islamiyah yang memiliki pemahaman yang dalam tentang Bahasa Arab dan kajian keislaman.

Kerapkali dipersoalkan mengenai penggunaan nomenklatur militer dalam struktur Jamaah

Islamiyah padahal organisasi ini dibangun untuk tujuan dakwah dan taklim serta idad atau

menyiapkan umat Islam menyongsong munculnya masa berjihad di Indonesia sebagaimana

dinyatakan oleh AA.

Ketidaktegasan ABB pengganti Abdullah Sungkar selaku imam Jamaah Islamiyah

merupakan faktor penting yang mendorong sebagian anggota Jamaah Islamiyah memilih

meniggalkan kelompok. Mereka beralasan kemimpinan Ustad ABB yang sangat lemah

menyebabkan roda organisasi Jamaah Islamiyah tidak berjalan dengan baik. Banyak anggota JI

yang bergerak sendiri-sendiri tanpa kendali ABB, misalnya Mukhlas dan Hambali yang membuat

rencana dan aksi pengeboman dengan mengatasnamakan Jamaah Islamiyah. Hal itu merugikan

anggota-anggota jamaah secara individual dan Jamaah Islamiyah secara organisasi, misalnya,

akibat aksi bom yang dilakukan oleh Mukhas maka anggota Jamaah Islamiyah yang tidak tahu

persoalan juga dikejar dan ditangkap.

Dibandingkan dengan Abdullah Sungkar, ketegasan ABB jauh di bawahnya. Di era

kepemimpinan Abdullah Sungkar, pergerakan anggota Jamaah Islamiyah terkontrol sehingga

tidak ada yang berani melakukan tindakan sendiri-sendiri. Prinsip berjamaah yaitu keharusan

makmum atau anggota mengikuti imam benar-benar dijalankan dengan tegas. Semua anggota

menuruti instruksi pemimpin sehingga kerja organisasi berjalan dengan rapi dan baik

sebagaimana dinyatakan subyek penelitian berikut ini.

Ketidaktegasan ABB dalam memimpin Jamaah Islamiyah adalah karakteristik pribadi

yang melekat sejak lama di dalam dirinya. Sebab, berbagai kenyataan yang menggambarkan

ketidaktegasannya telah berlangsung sejak lama sampai menjelang ia dipenjara karena kasus

pelatihan militer di Aceh. Walaupun banyak saksi dan pelaku yang memperkuat keterlibatan ABB

dalam kasus itu tetapi tetap saja ia mengingkarinya. Itulah sebabnya mengapa tidak banyak

anggota Jamaah Islamiyah yang berharap bahwa organisasi bisa berjalan dengan baik di bawah

kepemimpinannya.

Gaya kepemimpinan ABB yang kurang tegas dalam memberikan arahan dan instruksi

kerapkali dipersoalkan anggota Jamaah Islamiyah. Ketidaktegasan itu membuka peluang oknum

tertentu seperti Hambali untuk memanfaatkan situasi dengan membuat gerakan yang tidak

diketahui pimpinan markaz. Hal itu sebagaimana dinyatakan seorang subyek penelitian berikut

ini:

Di mata anggota Jamaah Islamiyah yang menyimpan rasa kecewa terhadap ABB,

pemimpin JI seharusnya tidak hanya melihat persoalan dari sisi bagaimana syariat diterapkan

tetapi juga melihat dari kemaslahatan jamaah. Sebagai pemimpin, pertimbangan rasionalitas

seperti untung-rugi atau manfaat dan kerusakan harus diprioritaskan demi kepentingan

keberlangsungan organisasi. Dalam pandangan mereka, persetujuan dan penolakan usulan

kegiatan atau aksi tidak cukup dengan pertimbangan syariat tetapi juga pertimbangan

kemaslahatan jamaah sebagaimana pernyataan subyek penelitian berikut ini.

Secara organisasi, Jamaah Islamiyah tidak pernah merancang aksi pengeboman di

Indonesia maupun di luar Indonesia karena jamaah ini dibangun untuk melaksanakan dakwah dan

taklim walaupun bernuansa ekstrim dan radikal. Hal itu dilakukan dalam rangka i’dad atau

menyiapkan sumber daya untuk menghadapi situasi dan kondisi menuju jihad yang

sesungguhnya.

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

23

Konsistensi pengikut atau anggota Jamaah Islamiyah dalam mempertahankan doktrin,

strategi dan taktik perjuangan dipersoalkan. Bagi anggota Jamaah Islamiyah yang memilih

meninggalkan jamaah dan atau meninggalkan jalan kekerasan sebagaimana yang dilakukan Imam

Samudera dan kawan-kawan, ketidakpastian situasi dalam tubuh Jamaah Islamiyah telah

melahirkan orang-orang yang indisiplin terhadap nilai dan doktrin jamaah. Orang-orang itu lebih

memilih mentaati Osama bin Laden daripada memilih ABB.

Jika pengikut mengikuti figur tokoh di luar petinggi jamaah maka itu berarti ada masalah

dalam hubungan pemimpin-pengikut. AA adalah salah satu jihadis mantan anggota Jamaah

Islamiyah yang lebih mengidolakan mentor dan guru-gurunya semasa belajar di Akademi Militer

Mujahidin Afganistan dibandingkan petinggi Jamaah Islamiyah. Bagi subyek jihad di negara yang

tidak mengalami konflik adalah kesalahan besar dan menyalahi kaidah fikih jihad yang telah

disepakati para ulama salafussalih. AA merujuk penolakannya kepada pendapat Abdullah bin

Azam.

NA sebagai pimpinan mantiqi 3 merasakan ada gejala perpecahan di tingkat pimpinan

puncak Jamaah Islamiyah dalam menjalankan roda organisasi. Perpecahan itu disebabkan oleh

kesediaan ABB untuk memimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Penerimaan ABB untuk

memimpin MMI yang didirikan berdasarkan akte notaris menunjukkan inkonsistensi sebagai

pribadi yang menganggap pemerintah RI thogut. Hal senada juga disampaikan oleh AA.

Penerimaan ABB untuk memimpin MMI menimbulkan polarisasi kelompok antara yang pro dan

kontra. AA sendiri berada dalam barisan yang kontra dan menganggap hal itu sebagai sikap tidak

konsisten dari seorang pemimpin.

Dinamika konflik pemimpin-pengikut yang berlangsung di kalangan teroris di Indonesia

dapat digambarkan sebagaimana berikut ini:

Gambar 1. Dinamika konflik pemimpin-pengikut

Berdasarkan gambar 1 maka dapat dikatakan bahwa konflik pemimpin-pengikut

berlangsung melalui empat tahap yaitu tahap terbentuknya persepsi negatif terhadap pemimpin,

tahap kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin, tahap polarisasi dan kekacauan internal

kelompok, dan tahap pergerakan anggota tanpa kontrol pemimpin.

Konflik Interpersonal. Konflik interpersonal di antara sesama anggota atau antara senior

dan yunior atau antara pimpinan dan bawahan juga menjadi faktor penting yang menjelaskan

kenapa pilihan meninggalkan jalan teror terjadi. Tentu saja pengaruh konflik interpersonal

terhadap pilihan meninggalkan jalan teror berlangsung dalam rangkaian proses yang panjang.

Contoh, riak-riak kecil yang mewarnai hubungan interpersonal dalam tim kecil eksekutor Bom

Bali.

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

24

Kekesalan dan kekecewaan atas tingkah laku yang lain kerapkali membekas di dalam hati

sehingga menodai persahabatan dan menumbuhkan benih perpecahan. Perbedaan pendapat

mengenai hal-hal kecil tetapi dianggap besar oleh yang lain sehingga dapat mengotori kesucian

jihad sering terjadi, seperti mendengarkan musik dangdut dan pop. Kedua jenis musik ini

dianggap sebagai musik jahiliah yang menodai nilai jihad dan perjuangan menegakkan Islam

seperti yang dilakukan Imam Samudera.

Akhirnya perdebatan dan perbedaan pendapat mengenai hal itu bisa diselesaikan dengan

baik, bukan hanya karena argumen Imam Samudera yang masuk akal yaitu sebagai bagian dari

tehnik penyamaran, tetapi juga karena posisinya sebagai komandan lapangan yang harus

dihormati. Kendati demikian, kejadian itu memberikan pengalaman dan kesan yang buruk bagi

AI dan Id yang juga terlibat sebagai pelaksana lapangan aksi Bom Bali.

Pertengkaran bukan saja bersifat verbal dan adu argumen, tetapi juga dengan

menondongkan senjata ke teman sendiri, dan penyebabnya karena hal-hal sepele. Bagi subyek

penelitian yang terlibat dalam aksi tersebut, seperti AI dan Id hal itu kerapkali menimbulkan

perasaan tidak nyaman di hati. Seharusnya perdebatan karena hal-hal sepele tidak perlu terjadi

karena merusak semangat dan motivasi tim untuk melaksanakan amaliyah istisyhad dalam

persepsi mereka.

Berbagai bentuk perpecahan dan silang pendapat di antara para aktivis gerakan Islam

garis keras menimbulkan benih keraguan pada sebagian anggota. Misalnya, NA menunjukkan

secara eksplisit bahwa perpecahan yang terjadi di dalam tubuh Jamaah Islamiyah membuatnya

ragu-ragu terhadap arah perjuangan para seniornya, walaupun akhirnya hilang ditelan waktu. Poin

penting yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah bahwa benih keraguan terhadap kelompok

telah muncul sejak lama, tetapi keraguan tersebut muncul-tenggelam seiring perjalan waktu.

Ketidakharmonisan hubungan interpersonal di kalangan pelaku teror dan anggota Jamaah

Islamiyah di antaranya disebabkan oleh kecenderungan persaingan dan klaim senioritas di antara

mereka. Misalnya, AA menegaskan bahwa persaingan di antara anggota Jamaah Islamiyah pasti

ada karena saat itu organisasi ini memiliki dana yang sangat banyak, baik dari sumbangan anggota

ataupun para donatur. UP juga mengiyakan hal itu dan menegaskan bahwa persaingan di dalam

suatu kelompok tidak bisa dihindari apalagi untuk organisasi seperti Jamaah Islamiyah. Tabel 11 Konflik interpersonal

Subyek Pernyataan atau pengalaman konflik

AI Pengalaman konflik tentang lagu jahiliah (dangdut, pop dan lain-lain) dengan IS

Id Penegasan tentang adanya konflik interpersonal sampai pada tingkat menggunakan

senjata atau kekerasan

NA Pernyataan tentang konflik interpersonal, baik pada level pimpinan maupun anggota

JI, yang membuatnya tidak nyaman.

AA Persaingan karena memperebutkan kedudukan dan status di antara anggota Jamaah

Islamiyah pasti ada karena fasilitas mewah dari JI

UP Penegasan tentang adanya konflik interpersonal sampai pada tingkat yang

mengganggu hubungan

Berdasarkan tabel 11 dapat dikatakan bahwa konflik interpersonal terjadi dengan

beragam tingkatan, mulai dari konflik interpersonal tentang hal-hal yang sepele seperti musik

sampai pada konflik interpersonal yang terjadi karena memperebutkan jabatan, status dan fasilitas

dari Jamaah Islamiyah.

Kontak dengan outgroup. Kontak yang intensif dengan anggota outgroup ternyata

memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan keyakinan pelaku teror tentang konsep

musuh. Pengalaman salah satu petinggi Jamaah Islamiyah berinteraksi dengan Non Muslim atau

Kristiani di dalam penjara telah mengubah pandangannya tentang Kaum Kristiani.

Dalam sebuah wawancara dengan reporter TV Mumria yang berbahasa Arab, NA

mengungkapkan bahwa ia mengubah cara pandangnya tentang Non Muslim terutama tentang

Kaum Nasrani setelah berinteraksi dengan dua pribadi Nasrani di dalam penjara. Ia begitu

terkesan dengan sikap dan tingkah laku kedua tokoh Gang Coker terhadap dirinya. Menurutnya,

kedua orang Nasrani itu sangat baik, simpatik dan banyak membantu dirinya dalam banyak hal

sehingga mengubah cara pandangnya tentang Kaum Nasrani.

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

25

Pengalaman yang hampir sama juga dialami oleh subyek penelitian yang lain yaitu AI.

Perubahan cara pandang seperti ini dialami oleh AI setelah ia banyak berinteraksi dengan aparat

keamanan seperti Densus 88 Mabes Polri maupun para petugas penjara di mana ia ditahan. Id

juga bercerita bagaimana interaksinya dengan non Muslim saat di penjara dan pengalamannya

sebagai sopir taksi yang membawa turis Barat termasuk orang Australia membuka pikirannya

bahwa mereka tidak seburuk yang ada di dalam pikirannya selama ini.

Interaksi yang intensif dengan pihak lain termasuk kepolisian ternyata juga memberikan

kesan positif tersendiri sebagaimana yang dialami NA. Pada mulanya NA dipenuhi oleh

prasangka dan sikap permusuhan terhadap aparat kepolisian, karena di dalam pikirannya telah

terbentuk persepsi bahwa mereka adalah musuh yang harus dilawan. Kebaikan dan keramahan

aparat kepolisian membua hatinya luluh, apalagi ia merasakan mereka sangat menghargai dirinya

sebagai kaum jihadis yang berpikir jernih dan anti teror atau kekerasan sebagaimana yang ia

nyatakan.

AA yang pernah bertugas sebagai dai Jamaah Islamiyah di Australia bercerita bagaimana

ia bergaul dengan orang Barat dalam tugas dakwah dan taklimnya. AA bercerita, kontak dengan

orang Barat yang non Muslim di Australia adalah sesuatu yang biasa ia lakukan. Bahkan, banyak

dari orang bule yang memilih menjadi muallaf . UP juga menyatakan hal yang kurang lebih sama.

Bertemu dengan banyak pribadi dari berbagai kelompok membuatnya menyadari bahwa

keragaman itu anugerah Allah yang harus dihadapi dengan rasa syukur. UP menyatakan ia tidak

membenci Kaum Nasrani atau Barat tetapi yang ia benci kaum Yahudi karena mereka telah

menguasai Palestina secara tidak sah.

Kontak dengan orang lain di luar kelompok dapat digambarkan sebagaimana tabel atau

matrik di bawah ini.

Tabel 12. Kontak dengan outgroup

Subyek Bentuk Kontak Tempat atau waktu

NA Kontak dengan polisi Kristen dan narapidana

Kristen

Tahanan dan penjara

AI Kontak dengan polisi Kristen dan napi Non

Muslim

Rutan Narkoba Mapolda Jaya

AA Kontak dengan orang Barat dan Non Muslim

dari berbagai bangsa

Saat menjadi dai Jamaah Islamiyah

di Australia

Id Kontak dengan narapidana non Muslim dan

orang Barat

Saat ditahan di penjara dan saat

menjadi sopir taksi di Pekanbaru

UP Kontak dengan non Muslim Di penjara

Berdasarkan tabel 12 dapat dikatakan bahwa kontak dengan orang lain di luar kelompok

berlangsung dalam berbagai konteks situasi dan tempat seperti saat pemeriksaan oleh aparat

kepolisian non Muslim, saat di dalam penjara dengan narapidana non Muslim, dan saat di luar

penjara dalam menjalankan kegiatan sehari-hari.

Pengembangan Teori

Proses penelitian ini diakhiri dengan mengembangkan teori yang menjelaskan tentang

dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror pada pelaku teror di Indonesia.

Dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror di Indonesia dijelaskan dalam

bentuk gambar atau skema sebagaimana berikut ini.

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

26

Gambar. 2. Dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror

G. Pembahasan Hasil Penelitian

Kategori Meninggalkan Jalan Teror Meninggalkan jalan teror terdiri dari tiga kategori. Pertama, tetap merasa sebagai anggota

Jamaah Islamiyah tetapi menolak penggunaan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan

ideologis. Kedua, keluar dari Jamaah Islamiyah dan melakukan gerakan deradikalisasi atau

penyadaran untuk tidak melakukan klaim jihad dengan menggunakan kekerasan. Ketiga, tidak

menyatakan secara jelas apakah keluar dari Jamaah Islamiyah atau tetap bertahan, tetapi menolak

cara-cara kekerasan seperti aksi bom massal.Jika merujuk kepada teori Horgan dan Bjorgo (2009)

maka kategori pertama dan ketiga mencerminkan disengagement sedangkan kategori kedua

mencerminkan deradikalisasi.

Hasil penelitian ini menegaskan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan

teror, baik dalam arti meninggalkan ideologi atau meninggalkan cara-cara kekerasan. Ini

bertentangan dengan kesimpulan Horgan (2009; 2011) yang menyatakan bahwa para pelaku teror

yang berbasis ideologi Islam seperti Jamaah Islamiyah atau Al-Qaida hanya sampai pada tingkat

meninggalkan kekerasan sedangkan ideologi negara Islam tetap dipertahankan.

Proses Menuju Disengagement

Evaluasi merupakan tema penting yang ditemukan dalam proses meninggalkan jalan

teror. Evaluasi terbagi menjadi dua, yaitu evaluasi kelompok yang dilakukan oleh para pelaku

teror yang terlibat langsung dalam eksekusi bom Bali 1, dan evaluasi individual dilakukan oleh

semua anggota Jamaah Islamiyah, baik yang terlibat dengan bom Bali 1 maupun yang tidak

terlibat dalam situasi dikejar dan ditangkap pihak kepolisian serta sorotan bahkan kecaman dari

publik.

Evaluasi kelompok dan individual sebagai temuan penting dalam penelitian psikologi

teror secara eksplisit belum ada. Tetapi rasa kecewa sebagai akibat dari persepsi individual

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

27

terhadap dinamika organisasi dan pengalaman personal dikemukakan oleh Horgan (2009) dan

Reinares (2011). Menurut peneliti, rasa kecewa dan persepsi negatif terhadap perubahan

struktural, dinamika organisasi dan pengalaman personal adalah output dari proses evaluasi

kelompok maupun evaluasi individual.

Evaluasi sejumlah anggota Jamaah Islamiyah bahwa banyak kesalahan yang dilakukan

pada tahap perencanaan dan eksekusi adalah faktor penting yang menghantarkan para pelaku

kepada penyesalan atas aksi teror pada kasus Bom Bali Tahun 2002 (Imron, 2010). Dalam bahasa

Postmets dkk (2005), proses dan mekanisme ini disebut komunikasi intragroup (Postmes,

Haslam, & Swaab, 2005; Saloom, 2012.

Penyesalan dan rasa bersalah para teroris atas perbuatan destruktif di masa lalu menjadi

petunjuk awal bahwa mereka memungikinkan untuk meninggalan jalan teror. Disebutkan oleh

Garfinkel (2007) dan Jacobson (2010) bahwa penyesalan adalah titik permulaan bagi para teroris

dan kaum radikal untuk memasuksi fase perubahan personal dari pribadi yang pro kekerasan

menuju pribadi yang anti kekerasan dan pro perdamaian. Disebutkan pula oleh Horgan (2009)

dan Harris (2010) penyesalan biasanya terjadi karena munculnya rasa kecewa terhadap banyak

hal ketika seseorang berada di dalam kelompok teror.

Dari perspektif teori identitas sosial, perasaan bersalah dan berdosa muncul karena telah

melukai ingroup sendiri yaitu umat Islam yang diklaim sebagai kelompok yang dibela oleh para

teroris (Tajfel & Turner, 1986). Melukai apalagi membunuh orang Islam sama saja dengan

melukai dan membunuh diri sendiri. Jika alasan mereka melakukan aksi teror adalah untuk

menunjukkan pembelaan; utk melakukan balas dendam atas penderitaan mereka akibat ulah kaum

kafir maka bagaimana alasan mereka jika yang membuat umat menderita dan terluka adalah

mereka sendiri? (Saloom, 2012).

Penjelasan di atas diperkuat oleh penelitian Mackie dan Smith (2002) yang

menyimpulkan bahwa individu dapat mengalami emosi-emosi tertentu karena kepentingan

ingroup yang terganggu (Castano E., 2011). Di antarnya karena mempersepsi telah menyakiti

saudara sendiri sesama umat Islam. Alih-alih melakukan pembelaan terhadap kepentingan umat

Islam justeru dalam persepsi publik, mereka melukai perasaan sesama umat karena merenggut

jiwa sebagian mereka dan mencemarkan nama Islam dengan tindakan mereka yang destruktif.

Hal ini erat kaitannya dengan dukungan publik terhadap terorisme dan kekerasan politik

(Pyszczynski, Abdollahi, Solomon, Greenberg, Cohen, & Weise, 2009; Levin S. , Henry, Prato,

& Sidanius, 2009; Sidanius, Henry, Pratto, & Levin, 2009)

Dalam penelitian ini, disebutkan ada dua alasan penting mengapa jihad dilarang, yaitu

Indonesia bukan wilayah konflik dan belum tiba saatnya berjihad karena Indonesia masih menjadi

dominasi umat Islam. Hali ini juga menyiratkan bahwa semangat jihad tidak hilang dari para

pelaku teror. Hal itu menurut dugaan peneliti karena ajaran jihad tercantum secara eksplisit di

dalam Al-Quran maupun Hadis sehingga tidak mungkin seorang Muslim akan menghilangkan

konsep itu dari pikirannya (Amirsyah, 2012). Oleh karena itu, Amirsyah menegaskan ajaran jihad

tidak mungkin dihapuskan oleh siapapun. Sementara itu, Azuzi (In press) menegaskan bahwa

jihad tidak boleh dilakukan tanpa mengikuti ketentuan para ulama.

Pemahaman para mantan pelaku teror dan atau anggota gerakan Islam garis keras di

Indonesia setidaknya dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tiga pemahaman atau keyakinan.

Pertama, pemahaman jihad sebagai perang (al-qital) tetapi harus memenuhi syarat dan ketentuan.

Dalam hal ini, setiap orang bertanggungjawab untuk melakukannya. Dalam bahasa fikih (bagian

dari hukum Islam), hal itu disebut fardhu ain. Kedua, pemahaman dan keyakinan yang sama

dengan yang pertama tetapi tidak semua orang bertanggungjawab melakukannya atau hukumnya

fardhu kifayah. Ketiga, pemahaman jihad bukan hanya sebatas berperang tetapi juga pemahaman

lain di luar perang seperti berjihad untuk menafkahi keluarga.

Perdebatan tentang konteks jihad juga berhubungan dengan konsep “musuh jauh dan

musuh dekat” dalam perspektif kelompok Islam radikal di berbagai belahan dunia termasuk di

Indonesia. Disebutkan oleh Schmitt (2008) bahwa konsep musuh jauh merujuk kepada Negara

Barat sedangkan musuh dekat merujuk kepada pemerintah negara setempat. Ramakrishna (2009)

menyatakan bahwa dalam konteks Jamaah Islamiyah Indonesia, musuh jauh adalah Amerika

Serikat dan musuh dekat adalah penguasa NKRI yang kerapkali dianggap sebagai thogut.

Kategori musuh dekat bukan hanya meliputi pemerintah NKRI tetapi juga pemerintah negara-

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

28

negara kawasan Asia Tenggara seperi Filipina atau Malaysia (Chalk, Rabasa, Rosenau, & Piggott,

2009).

Pihak pendukung “amaliyah jihad” di luar ketentuan fikih dianggap berfaham agama

dangkal dan bahkan bertentangan pemikiran Ibnu Taimiyyah tentang jihad, ulama yang kerapkali

menjadi rujukan kaum salafi jihadis (Bayyah, 2007). Itulah mengapa cara memperjuangkan Islam

yang relevan dengan ruang dan waktu di Indonesia adalah jalur dakwah dan taklim. Secara umum,

dakwah dan taklim ala salafi menjadi pilihan utama karena ada hubungan yang kuat antara kaum

jihadis dan dakwah wahabi-salafi (Wiktorowicz, 2005; 2006).

Tentang sikap terhadap outgroup, penelitian ini memperlihatkan terjadinya perubahan

pandangan pelaku teror, dari homogenitas yaitu cara melihat non Muslim terutama kaum nasrani

sebagai orang-orang yang seragam dalam memusuhi Islam, menjadi heteroginitas yaitu cara

melihat non Muslim sebagai orang-orang yang beragam dalam memperlakukan umat Islam.

Pelaku teror yang semula membenci gereja dan Kaum Kristiani tanpa pemilahan karena dianggap

tidak berhenti merencanakan pemufakatan jahat untuk menghancurkan Islam di Indonesia secara

perlahan mulai bergeser menjadi sikap yang netral bahkan cenderung memilah-milah antara

sesiapa yang memusuhi dan sesiapa yang bersahabat.

Disebutkan oleh Brown dan Gaertner (2003) bahwa perubahan sikap terhadap ingroup

atau outgroup bersifat dinamis. Kawan bisa menjadi lawan atau sebaliknya lawan bisa menjadi

kawan (Jacobson, 2010; Garfinkel, 2007). Disebutkan pula oleh Garfinkel (2007), dinamika itu

menggambarkan proses transformasi personal pada pelaku teror. Transformasi personal

disebabkan oleh beragam faktor sebagaimana pada pelaku teror di kelompok lain, misalnya

Kelompok ETA di Spanyol (Reinares, 2011). Disebutkan oleh Reinares (2011), faktor-faktor itu

meliputi faktor pengalaman personal, faktor dinamika organisasi dan faktor perubahan struktural

dengan persepsi subyektif sebagai konsep kunci.

Temuan penelitian memperlihatkan ada gejala atau kecenderungan outgroup homogenity

pada anggota kelompok teroris. Outgroup homogentiy adalah kecenderungan seseorang untuk

menganggap homogen atau sama semua anggota kelompok lain tanpa mampu memilih dan

memilah mana anggota yang relevan dan tidak relevan dengan masalahnya (Hogg & Abrams,

1998; Saloom, 2012).

Dalam konteks teori identitas sosial, kecenderungan ini terjadi manakala identifikasi

seseorang terhadap kelompok sendiri sangat kuat, tetapi di sisi lain, sikap permusuhan terhadap

kelompok lain juga tidak kalah kuatnya. Para ahli psikologi sosial penganut teori identitas

menyebutnya dengan mekanisme “ingroup favoritism and outgroup homogenity” (Descamps,

Claude, & Devos, 1998; Hogg & Abrams, 1998; Haslam, Reicher, & Reynolds, 2012) yaitu

kecenderungan menganggap baik dan indah semua yang ada pada kelompok dan anggota

kelompok sendiri, tetapi sebaliknya ada kecenderungan menganggap buruk dan dosa, semua hal

yang terkait dengan kelompok lain.

Poin penting yang relevan dengan tema disertasi ini adalah bahwa kecenderungan

outgroup homogenity atau ketidakmampuan membedakan mana kawan dan mana lawan

mengakibatkan dampak yang luar biasa dan mempengaruhi munculnya rasa bersalah dan berdosa.

Dinamika Relasi Sosial dan Meninggalkan Jalan Teror. Ada tiga motivasi atau

penyebab meninggalkan jalan teror yaitu faktor personal, faktor organisasi dan faktor sosial.

Pergeseran identitas kelompok menuju identitas personal pada subyek penelitian ditemukan

dengan indikasi berkurangnya kebanggaan sebagai anggota atau petinggi Jamaah Islamiyah, di

satu sisi, dan kecenderungan membanggakan diri sendiri di sisi lain. Dalam penelitian disertasi

ini, ada kecenderungan subyek penelitian menonjolkan identitas personal dibandingkan identitas

sosial sebagai anggota atau petinggi Jamaah Islamiyah.

Penonjolan identitas personal atas identitas sosial merupakan indikasi bahwa pengaruh

dan motivasi kelompok tidak lagi sekuat sebelumnya. Perubahan identitas dan motivasi berbasis

kelompok menjadi identitas dan motivasi berbasis personal diindikasikan oleh keinginan dan

kecenderungan membantu pemerintah atau aparat kepolisian dalam melawan terorisme serta

terlibat dalam berbagai agenda deradikalisasi (Jacobson, 2010; Rabasa, Pettyjohn, & Jeremy J.

Ghez, 2010).

Dalam literatur radikalisme Islam termasuk di Indonesia, penguasa yang tidak

menerapkan sistem pemerintahan Islam dan menggunakan sistem demokrasi ala Barat dianggap

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

29

sebagai thogut (pengusa zalim) yang wajib diperangi (Baasyir, tanpa tahun; Ghazali, 2011;

Solahudin, 2011). Penguasa thogut dianggap sebagai musuh dekat yang harus diperangi sebelum

memerangi musuh jauh seperti Amerika dan sekutu-sekutunya (Solahudin, 2011; Ramakrishna,

2009). Persepsi dan pikiran semacam itu diinternalisasi oleh anggota kelompok radikal melalui

proses indoktrinasi yang berlangsung lama dan bertahap sehingga pada titik tertentu menjadi

doktrin dan motivasi kelompok yang tidak mudah dihilangkan (Moghaddam, 2007; Sagemen,

2004; Milla, 2009). Jika perilaku yang ditunjukkan berbanding terbalik dengan perilaku yang

umumnya ditunjukkan anggota kelompok ekstrimis Islam dalam konteks kerjasama melawan

teror maka hal itu berarti terjadi pergeseran identitas yang bersifat kelompok menuju identitas

yang bersifat personal.

Dalam perspektif teori identitas sosial, ketika identitas yang berbasis sosial menonjol

maka anggota kelompok mungkin akan memperlihatkan kesamaan emosi dan merespon secara

emosional peristiwa-peristiwa yang relevan dengan kemauan dan kesejahteraan kelompok

walaupun secara personal ia tidak merasa nyaman dengan peristiwa-peristiwa tersebut

(Baumeister & Finkel., 2010; Hogg, Abrams, Otten, & Hankle, 2004; Ellemers, Spears, & Doosje,

2002).

Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa penolakan awal subyek penelitian terhadap

keinginan dan rencana kelompok untuk melakukan aksi Bom Bali dikalahkan oleh keharusan

memperlihatkan kesamaan emosi, pikiran dan tindakan pribadi dengan kelompok sehingga

mekanisme psikologis tersebut memaksa dirinya untuk ikut dan terlibat dalam aksi tersebut. Oleh

karena itu, jika individu berhasil melepaskan diri dari jeratan identitas kelompok maka ia telah

berhasil membebaskan diri norma dan aturan kelompok.

Dalam teori identitas sosial, hal ini bisa dijelaskan dengan model interaktif pembentukan

identitas. Model ini meletakkan relasi interpersonal dan intrapersonal sebagai konsep penting

yang dapat mempengaruhi dinamika identitas. Jika komunikasi interpersonal dengan orang-orang

tertentu menonjol maka pikiran dan perasaan mereka akan sangat mempengaruhinya, sebaliknya

jika komunikasi intrapersonal yang menonjol maka pertimbangan individual akan lebih dominan

(Saloom, 2012; Postmes, Haslam, & Swaab, 2005).

Jika dilihat dari perspektif teori identitas sosial, kecenderungan pelaku teror menyalahkan

beberapa ide dalam memilih target pengeboman menunjukkan bahwa ia tidak lagi satu identitas.

Artinya, terjadi pergeseran lokus identitas dari sosial ke personal. Subyek tidak lagi merasa

terikat dengan cara pandang kelompok dalam melihat target dan sasaran jihad (Postmes & Jetten,

2006; Saloom, 2012; Knipperberg, 2000; Schneider, George, Carroll, & Middleton,

2011).Dengan logika terbalik dapat dikatakan, jika kepentingan peribadi didahulukan atas

kepentingan kelompok maka identitas personal lebih menonjol dibanding identitas kolektif.

Konflik nilai personal dan nilai kelompok menjadi temuan penelitian yang menarik. Nilai

yang dianut secara personal kerapkali bertentangan dengan nilai yang dianut kelompok.

Perubahan keyakinan dan sikap menunjukkan perubahan nilai keagamaan dari radikal menuju

moderat (Ashour, 2011; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna, 2011; Barret & Bokhari, 2008).

Disebutkan bahwa bersikap moderat dan mengurangi komitmen terhadap penggunaan kekerasan

adalah esensi dari pengertian deradikalisi (Ashour, 2011; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna,

2011; Kruglanski, Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014). Dengan

demikian, semakin personal nilai yang dianut seseorang maka ia semakin terbebas dari jebakan

nilai kelompok. Jika terjadi perubahan keyakinan dan sikap terhadap pemerintah yang thogut,

misalnya menjadi positif, dan berlanjut dengan ikut berpartisipasi aktif dalam program

deradikalisasi maka hal itu berkaitan dengan perubahan nilai atau perspektif, dari nilai dan

perspektif kelompok menjadi nilai personal (Christensen, Rothgerber, Wood, & Matz, 2004;

Cragin & Daly, 2004; Postmes, Haslam, & Swaab, 2005; Cragin K, 2007; Milla, 2009).

Salah satu faktor penting yang mendorong seseorang keluar dari kelompok adalah

inkonsistensi kelompok atau anggota kelompok dalam menerapkan nilai, norma dan ideologi

kelompok. Inkonsistensi tersebut seringkali menimbulkan perselisihan pendapat dan konflik

interpersonal yang tinggi di antara anggota kelompok (Demant, Slootman, Buijs, & Tillie, 2008).

Wright (1988) dan Skonovd (1988) sebagaimana dikutip Demant dkk (2012)

menyebutkan bahwa konflik interpersonal mengenai banyak hal, baik hal kecil maupun hal besar,

yang terjadi dalam suatu kelompok dapat memicu keraguan anggota terhadap misi dan tujuan

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

30

kelompok yang kemudian berlanjut dengan kekecewaan. Pada titik tertentu kekecewaan tersebut

melahirkan keputusan meninggalkan kelompok (Demant, Slootman, Buijs, & Tillie, 2008;

Disley, Weed, Reding, Clutterback, & Warnes, 2012).

Disonansi antara pikiran dan perasaan dialami para teroris. Ada dua elemen informasi

yang saling bertabrakan yang membuat mereka tidak nyaman secara kognitif. Ketidaknyamanan

pikiran inilah yang menjadi faktor penting terjadinya behavioral disengagement pada kasus

ekstrim kanan di daratan Eropa yang dikaji oleh Demant dkk (Demant, Slootman, Buijs, & Tillie,

2008)

Merujuk kepada Teori Disonansi Kognitif dari Festinger (1957), pernyataan bahwa

pelaku teror merasa tidak nyaman karena melihat orang lain bersikap dan bertingkah laku yang

tidak sesuai dengan nilai-nilai dan ideologi yang dianut kelompok. (Gawronskia & Strack, 2004).

Oleh karena motif dasar manusia adalah konsistensi personal, baik pada dirinya sendiri maupun

pada orang lain, maka manusia secara psikologis akan selalu berusaha mengejar konsistensi

kognitif dengan mengubah sikap, mengubah tingkah laku atau kepentingan personal terhadap

objek sikap (Gawronskia & Strack, 2004). Dalam rangka meraih konsistensi kognitif dilakukan

perubahan sikap terhadap misi kelompok dan selanjutnya mengubah tingkah laku mereka dengan

meninggalkan cara teror yang menjadi pilihan kelompok (Jacobson, 2010).

Hal penting yang perlu dikemukakan dari hasil penelitian ini adalah perbedaan dalam

memahami konsep dan penerapan jihad. Perbedaan ini menggambarkan adanya proses

deideologisasi jihad. Bagi anggota Jamaah Islamiyah yang masih radikal, jihad adalah tugas abadi

sebagai konsekuensi dari keyakinan tentang thoifah manshurah. Tetapi bagi anggota Jamaah

Islamiyah yang mengalami deideologisasi, jihad itu bukan tugas abadi. Jihad tergantung

kebutuhan dari sisi tempat dan waktu. Penelitian Post (2007) menemukan bahwa pemikiran

keagamaan yang fundamentalis dan ideologi kebencian yang dipelihara dari satu generasi ke

generasai berikutnya terbukti menjadi bahan bakar penggerak teror (Post, 2007).

Bjorgo (2002) mengemukakan bahwa hilangnya kepercayaan terhadap ideologi dan

politik kelompok atau pergerakan merupakan salah satu alasan kenapa muncul keinginan

meninggalkan kelompok. Kehilangan kepercayaan terhadap ideologi dan politik kelompok

menimbulkan keraguan dan anggapan keliru terhadap jalan yang ditempuh (Bjorgo & Horgan,

2009). Biasanya keyakinan itu berubah setelah meninggalkan kelompok sehingga hal itu dapat

dikatakan sebagai akibat sekaligus penyebab meninggalkan kelompok (Bjørgo, 2002; Jacobson,

2010).

Hilangnya daya tarik ideologi sebagai penyebab keputusan meninggalkan jalan teror

cukup menonjol. Demant, Slootman, Buijs, dan Tillie (2008) menjelaskan bahwa ideologi dan

cita-cita kelompok yang tidak menarik lagi bagi para pelaku teror menunjukkan bahwa

komitmennya kepada organisasi dan ideologi penegakan negara khilafah menurun. Temuan

Bjorgo (2009) tentang hilangnya daya tarik ideologi dan cara kerja gerakan pada anggota Neo-

Nazi sebagai pemicu meninggalkan kelompok nampaknya juga terjadi pada Jamaah Islamiyah

Indonesia pimpinan ABB. Keputusan subyek penelitian meninggalkan kelompok dipengaruhi

oleh persepsinya bahwa anggota Jamaah Islamiyah salah dalam memahami jihad dan

penerapannya.

Cara pandang subyek ini sama dan sesuai dengan pandangan Bayyah (2007) seorang

ulama yang menulis tentang “al-irhab (teroris). Bayyah (2007) menjelaskan bahwa jihad bukan

untuk menyerang dan menghancurkan penganut agama lain tetapi sebagai bentuk pembelaan

ketika umat Islam diserang orang lain. (Bayyah, 2007/1428H). Dalam pandangan para mantan

jihadis yang menjadi subyek penelitian ini, jihad di jalan Allah bukan hanya untuk membunuh

tetapi memiliki tujuan yang mulia, salah satunya adalah untuk memberantas kemusyrikan. Selain

itu, jihad fi sabilillah harus memenuhi syarat dan rukun jihad sebagaimana yang disebutkan dalam

berbagai kitab fikih jihad karangan para ulama yang muktabar (Harian Jawa Pos Edisi 18

Desember 2007). Meyer dan Alien (1997) serta Harris (2010) menyebut hal ini sebagai gejala

penurunan komitmen normatif terhadap organisasi dengan indikator penolakan terhadap cara

segelintir anggota Jamaah Islamiyah yang menggunakan kekerasan membabi-buta dan

pengeboman untuk mencapai tujuan yang cenderung mengarah kepada tujuan pribadi, bukan

tujuan kelompok. (Meyer & Alien, 1997; Harris, 2010)

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

31

Disebutkan oleh Harris (2008), salah satu indikasi hilangnya komitmen organisasi pada

pelaku teror adalah keyakinan bahwa apa yang dilakukan kelompoknya salah dan oleh karena itu

ia harus keluar agar tidak terjerumus di dalam kesalahan yang besar. Disebutkan pula oleh

Demant, Slootman, Buijs, & Tillie(2008) dan Harris (2010) bahwa variabel komitmen dapat

menjelaskan kenapa seseorang meninggalkan jaringan terorisme. Munculnya persepsi negatif

terhadap apa yang dilakukan kelompok atau organisasi menunjukkan terjadinya penurunan

komitmen organisasi yang bersifat normatif (Meyer & Allen, 1997).

Penurunan komitmen normatif terhadap kelompok organisasi ditandai dengan beberapa

indikator yaitu hilangnya daya tarik ideologi, perubahan sudut pandang pribadi terhadap ideologi,

masa depan yang diinginkan tidak tercapai dan penolakan terhadap cara-cara yang digunakan

kelompok dalam mencapai tujuan (Harris, 2010). Disebutkan oleh Meyer dan Allen (1997) bahwa

komitmen terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu komitmen afektif, kontinyuan dan normatif.

Komitmen afektif merujuk kepada kelekatan emosi individu dengan organisasi, komitmen

kontinyuan merujuk kepada keinginan untuk bertahan atau keluar dari organisasi biaya hidup dan

ganjaran yang diperoleh, sedangkan komitmen normatif menggambarkan perasaan diwajibkan

bertahan dalam organisasi. Disimpulkan dari studi Cronbach dan Meehl (1955) serta penelitian

Mobley (1977) bahwa komitmen berhubungan dengan pikiran meninggalkan jalan teror. Individu

dengan posisi yang tinggi lebih kecil kemungkinan keluar dari pekerjaan dibandingkan individu

dengan posisi rendah (Blau, 1985)

Hasil penelitian menunjukkan ada empat tahap konflik pemimpin-pengikut yaitu

terbentuknya persepsi negatif pengikut terhadap kelompok, hilangnya kepercayaan terhadap

pemimpin, polarisasi dan keriuhan kelompok, dan situasi kelompok yang berlangsung tanpa

kontrol pemimpin. Tidak disangsikan lagi bahwa konflik pemimpin-pengikut berpengaruh

terhadap tingkah laku pengikut (Cheng, 2003; Schneider, George, Carroll, & Middleton, 2011;

Haslam & Platow, 2001; ) termasuk dalam proses radikalisasi (Milla, Faturochman, & Ancok,

2012) dan deradikalisasi (Bjorgo, Danselaar, & Grunenberg, 2009).

Persepsi anggota terhadap pemimpin berperan penting dalam proses deradikalisasi dan

disengagement. (Reinares, 2011) menjelaskan bahwa persepsi personal pelaku teror terhadap

pemimpin dan bagaimana pemimpin menjalankan roda organisasi berdampak besar terhadap

pilihan meninggalkan jalan teror. Jacobson (2010) mempertegas bahwa para pelaku teror lebih

memilih menjadi mantan dibandingkan bertahan di dalam jaringan teror, salah satu diantaranya

karena persepsi negatif terhadap senior dan pimpinan yang tidak konsisten dan ketegasan

pemimpin. Harris (2010) menganggap hal itu sebagai bentuk kegagalan pemimpin dalam

mengelola organisasi. Selain karena kegagalan dalam memimpin, Harris juga menyinggung

kompetisi dan persaingan di antara anggota kelompok dalam memperebutkan posisi tertentu juga

menjadi penyebab muncul kekecewaan terhadap gerakan. Haslam dkk (2012) melihat bahwa

ketidakmampuan pemimpin mengelola anggota terjadi karena anggota merasa memiliki identitas

ingroup yang tidak sama dengan pemimpin.

Ketidaksamaan identitas ditunjukkan oleh pikiran, perasaan dan tingkah laku yang

berbeda antara satu orang dengan orang lain dalam kelompok yang sama(Haslam & Platow,

2001). Kritikan atas ketidaktegasan pemimpin seperti yang disampaikan subyek penelitian utama

dan sejumlah subyek penelitian sekunder, dalam bahasa Disley dkk (2012) merupakan salah satu

faktor penting yang mendorong munculnya keinginan untuk keluar dari kelompok atau organisasi

ekstrim dan teroris(Disley, Weed, Reding, Clutterback, & Warnes, 2012). Konsistensi seorang

pemimpin merupakan syarat penting jika organisasi Jamaah Islamiyah diinginkan tetap bertahan

dan mampu mencapai tujuan yang dimaksudkan bersama oleh semua anggota. (Abbas, 2005).

Gejala semacam itu jika merujuk kepada konsep Meyer dan Ailen menggambarkan ada

masalah dengan komitmen afektif para anggota terhadap organisasi (Meyer & Alien, 1997).

Komitmen afektif yang terganggu dalam konteks kajian psikologi terorisme diindikasikan oleh

kegagalan pemimpin dalam mengelola organisasi dan anggota-anggotanya agar bisa bergerak

dalam satu irama yang menggambarkan kesamaan identitas dan tujuan yang hendak dicapai.

(Harris, 2010).

Kekecewaan terhadap kelompok terutama terhadap pemimpin dan senior kelompok

merupakan indikasi penting kohesivitas kelompok yang bermasalah pada kasus kelompok radikal

dan pelaku teror (Horgan, 2009). Disebutkan oleh Borden dan Horowitz (2002) jika deskripsi

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

32

tugas sebagai konsekuensi dari posisi setiap orang di dalam kelompok dilanggar dan diabaikan

maka itu menandakan ada masalah dalam hal relasi sosial dan tugas kelompok. Menurut Imron

(2010) dan Abbas (2005) kombinasi pemahaman agama yang keras dan kepemimpinan yang

lemah menimbulkan dampak yang tidak baik terhadap organisasi dan anggota-anggotanya.

Akibatnya, pemimpin mengalami kesulitan dalam mengontrol anggota disebabkan oleh

identifikasi kelompok yang melemah (Hogg, Abrams, Otten, & Hankle, 2004).

Sejumlah penelitian berbasis Teori Identitas Sosial misalnya penelitian Haslam dan

Platow (2007) menyimpulkan bahwa identitas sosial memediasi hubungan positif antara

kepemimpinan dan tingkah laku organisasi (Schneider, George, Carroll, & Middleton, 2011).

Dengan kata lain, jika kepemimpinan suatu kelompok baik dan diterima semua anggota maka

tingkah laku anggota organisasi akan menjadi baik, terkontrol dan mudah diatur. Sebaliknya jika

kemimpinan dalam suatu kelompok buruk, misalnya tidak tegas dan tidak konsisten, maka

anggota akan sulit untuk dikontrol karena mereka tidak percaya dengan kepemimpinan yang ada

(Hogg, 2001). Disebutkan dalam literatur psikologi sosial bahwa kohesivitas kelompok ditandai

dengan keterikatan dan kekompakan satu anggota kelompok dengan anggota kelompok lainnya.

Kohesivitas kelompok adalah suatu proses multi-facet, kendati demikian, setidaknya komponen

utama kohesivitas terdiri dari empat hal: relasi sosial, relasi tugas, persepsi kesatuan dan emosi

(Kuppens & Yzerbyt, 2012; Brown & Gaertner, 2003; Borden & Horowitz, 2002).

Hubungan interpersonal merupakan determinan penting yang mempengaruhi proses

kelompok termasuk apakah seseorang akan tetap bertahan di dalam kelompok atau

meninggalkannya (Baumeister & Finkel., 2010). Disebutkan dalam model sosialisasi

pembentukan kelompok dari Moreland and Levine’s (1982), sosialisasi mewarnai proses

kelompok. Jika sosialisasi berjalan dengan baik maka eksistensi kelompok akan utuh tetapi

sebaliknya, jika tidak berjalan dengan baik maka kelompok akan bubar atau pada derajat yang

paling tinggi, anggota akan meninggalkan kelompok (Baumeister, 2010). Sosialisasi yang

dimaksudkan Moreland Levine (1982) adalah bagaimana setiap anggota bisa menjalankan

fungsinya sebagai anggota menyangkut kewajiban dan tanggungjawab termasuk dalam kontek

hubungan interpersonal (Baumeister & Finkel., 2010).

Disebutkan bahwa John Thibaut and Harold Kelley (1959) mengembangkan teori

pertukaran sosial untuk menjelaskan bagaimana hubungan interpersonal mempengaruhi

eksistensi kelompok melalui proses dan mekanisme psikologis seperti rasa suka, harmoni

hubungan dan trust. Rasa suka dan hubungan yang harmonis di antara anggota kelompok dalam

konteks kelompok kecil dapat mempengaruhi keutuhan kelompok. Sebaliknya, rasa suka dan

ketidakharmonisan hubungan dapat mengancam keutuhan kelompok atau mendorong individu

secara personal meninggalkan kelompoknya (Hogg & Vaughan, 2010; Baumeister, 2010).

Hubungan interpersonal dalam kelompok ekstrim sangat mempengaruhi keputusan

individu apakah akan tetap bertahan di dalam kelompok atau keluar untuk memilih jaringan lain

(Jhonson, 2009; Ramakrishna, 2009). Disebutkan oleh Ramakrishna (2009) hal-hal kecil yang

mengganggu hubungan interpersonal menjadi faktor penting yang mendorong munculnya rasa

kecewa dan pilihan keluar dari kelompok. AI, salah satu pelaku tragedi Bom Bali menyebutkan

dalam buku berjudul “Ali Imron Sang Pengebom” bagaimana senior tim melakukan hal-hal yang

menodai kesucian gerakan sehingga menimbulkan benih keraguan terhadap para senior dan

ideolog gerakan (Imron, 2010).

Masalah hubungan interpersonal menjadi tem utama dalam kajian psikologi sosial (Hogg

& Vaughan, 2010). Seorang anggota kelompok bisa saja mengalami rasa kecewa karena tindakan

anggota kelompok yang lain sehingga mengubah pikiran dan perasaan yang semula positif

menjadi negatif (Baumeister & Finkel., 2010). Disebutkan oleh Horgan (2009), rasa kecewa

kerapkali terjadi dalam proses pergaulan di antara anggota kelompok radikal. Hal yang sama

ditemukan juga oleh Reinares (2011) dalam penelitianya tentang kaum pemberontak ETA di

Spanyol.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontak dengan orang lain dalam berbagai seting

seperti di penjara dengan aparat kepolisian dan narapidana yang non Muslim atau kontak dengan

non Muslim terutama dengan Kaum Kristen dalam kehidupan sehari-hari menjelaskan mengapa

subyek penelitian meninggalkan jalan teror. Ini sejalan dengan penelitian Allport (1956). Allport

menggagas hipotesis kontak yang menyebutkan bahwa kontak dan komunikasi yang teratur

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

33

dengan anggota kelompok yang berbeda dapat mengurangi prasangka dengan syarat-syarat

tertentu (Dixon, 2001). Hipotesis ini mendapatkan penguatan secara empirik dari banyak

penelitian yang dilakukan para peneliti psikologi sosial dalam bidang kajian hubungan

antarkelompok (Dixon, 2001; Dovidio, Gaertner, & Kawakami, 2003; Brewer, 2010; Hogg &

Abrams, 1998). Sikap negatif seperti prejudice terhadap kelompok lain sangat mungkin berubah

menjadi sikap positif seperti persahabatan jika terjadi kontak atau interaksi antarkelompok.

Pernyataan ini menggambarkan apa yang dialami oleh salah satu subyek penelitian setelah

mengalami interaksi atau kontak sosial yang intensif dan reguler dengan anggota kelompok lain

yang sangat dimusuhi (Hogg, Abrams, Otten, & Hinkle, 2004).

Umumnya para individu anggota kelompok ekstrimis Islam atau kelompok pelaku teror

memandang negatif terhadap Non Muslim terutama Umat Nasrani. (Jamhari, 2005; Muluk &

Sumaktoyo, 2010; Hasan & Abubakar, 2011; Al-Makassary, 2004). Cara memahami teks-teks

keagamaan yang harfiah terutama menyangkut hubungan sosial bisa jadi akan berubah manakala

seseorang mengalami pengalaman nyata yang menyenangkan dengan orang yang berbeda (Ji &

Ibrahim, 2009). Pengalaman berinteraksi dengan orang yang berbeda dalam kondisi yang

menyenangkan dan penuh persahabatan akan membuka wawasan sempit menjadi lebih terbuka

sehingga menerima orang lain dengan baik (Hogg & Abrams, 1998; Brewer, 2010). Penolakan

terhadap outgroup lebih disebabkan karena kurang informasi dan pengetahuan mengenai orang

lain yang berbeda sehingga pikiran dan perasaan lebih didominasi oleh prasangka (Brown, 2010).

Dengan demikian, semakin tinggi intensitas kontak dengan orang lain dari outgroup yang menjadi

target maka semakin terbuka peluang untuk mengubah sikap permusuhan menjadi sikap

persahabatan (Brewer & Gaertner, 2003).

Jika merujuk kepada model kontak dan kategorisasi terutama dalam hal persilangan

kategori (Brewer & Gaertner, 2003; Faturochman, 2008) sebagaimana dijelaskan sebelumnya

maka pengalaman kontak yang dialami para pelaku teror mencerminkan persilangan campuran

ingroup-outgroup atau outgroup-ingroup. Contoh, pengalaman NA yang mengalami kontak

dengan Geng Coker yang Kristen sebagai contoh menggambarkan bahwa mereka ingroup dalam

pengertian sama-sama sebagai warga binaan penjara yang tinggal satu sel tetapi mereka berbeda

dalam hal agama dan keyakinan. Kontak outgroup dengan model persilangan kategori seperti ini

dinilai cukup positif (Lihat Faturochman, 2008).

Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bagaimana kekuatan lingkungan sosial

sangat berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang. Dalam pandangan Kurt Lewin, tingkah laku

seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor intrapersonal dan interpersonal. Kurt Lewin membuat

semacam rumusan bahwa tingkah laku seseorang adalah fungsi dari kepribadian dan lingkungan

yang ia simbolkan dengan B = f (P, E). Itulah kekuatan relasi sosial (Baumeister & Finkel., 2010).

H. Kesimpulan

Peneliti menyimpulkan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan teror.

Meninggalkan jalan teror bukan berarti meninggalkan ajaran jihad. Setidaknya, ada tiga variasi

meninggalkan jalan teror. Pertama, tetap menjadi anggota kelompok Islam garis keras tetapi

menolak jika kekerasan dan teror digunakan untuk meraih tujuan ideologis. Kedua, keluar dari

kelompok Islam garis dan memilih jalan lain yang berseberangan. Ketiga, tidak menunjukkan

tanda-tanda tetap di dalam kelompok garis keras atau tanda-tanda keluar, tetapi menolak cara

kekerasan dan aksi teror yang merugikan banyak orang tidak berdosa. Rasa bersalah dan

penyesalan terjadi pada setiap pelaku teror yang menjadi subyek penelitian. Rasa bersalah itu

semakin kuat muncul pada diri subyek setelah evaluasi kelompok dan individual dilakukan. Rasa

bersalah menyangkut tiga hal yaitu jatuhnya korban tidak berdosa, penentuan jihad tanpa dasar

pertimbangan keagamaan, dan tanggungjawab sebagai petinggi organisasi.

Ideologi negara Islam bisa hilang dari alam pikiran para pelaku teror karena gagasan ini

masih menjadi perdebatan di kalangan para aktivis gerakan Islam. Sementara ajaran jihad tidak

bisa hilang karena ajaran jihad diyakini merupakan ajaran Islam yang memiliki dasar kuat di

dalam Al-Quran dan hadis. Meninggalkan jalan teror didorong oleh tiga faktor yaitu faktor

personal seperti rasa bersalah, menonjolnya identitas personal dan nilai personal; faktor organisasi

seperti kecenderungan deideologisasi jihad, dan penurunan komitmen; dan faktor sosial seperti

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

34

konflik pemimpin-pengikut, konflik interpersonal, kontak dengan orang lain di luar kelompok

sendiri (outgroup contact).

Secara keseluruhan, proses meninggalkan jalan teror pada pelaku teror di Indonesia

terutama yang menjadi subyek penelitian disertasi ini mengambarkan dinamika relasi sosial yang

kuat menyangkut individu dengan dirinya sendiri (intrapersonal) individu dengan individu lain

(interpersonal), individu dengan organisasi atau kelompok (intragroup), dan individu dengan

masyarakat dalam konteks kehidupan sosial, politik dan budaya.

I. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya maka peneliti

merekomendasikan sebagai berikut:

1. Penelitian tentang pengalaman mantan teroris meninggalkan jalan teror perlu dikembangkan

dengan mengeksplorasi pikiran dan perasaan yang muncul sebelum, sesaaat dan sesudah

pilihan meninggalkan dilakukan. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui hal-hal

apa saja yang menjadi hambatan dan kendala psikologis yang dialami mantan kombatan. Dari

hasil penelitian dan pengalaman berinteraksi dengan para kombatan dan terduga teroris, ada

keinginan dan kecenderungan untuk meninggalkan jalan teror karena dianggap tidak tepat lagi

sebagai alat atau metode berjuang di tengah penolakan umat Islam di Indonesia dan seluruh

dunia. Namun, terdapat banyak kendala dan hambatan yang dialami seperti penerimaan

masyarakat dan kekhawatiran akan mengalami berbagai kesulitan dalam menjalankan

kehidupan normal di tengah masyarakat, termasuk kesulitan ekonomi. Oleh karena itu,

penelitian yang mengkaji sejauhmana hambatan-hambatan tersebut berpengaruh terhadap

pilihan keluar dari jaringan teror perlu dilakukan.

2. Penelitian disertasi ini memperlihatkan betapa perasaan bersalah dan berdosa kepada Tuhan

menjadi salah satu faktor pendorong disengagement pada subyek penelitian. Hal itu terjadi

karena keyakinan bahwa membunuh orang yang tidak berdosa, baik Muslim maupun non

Muslim sebagai dosa besar dan penyebab tidak masuk surga muncul ke permukaan kesadaran.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang memunculkan rasa takut

Tuhan di kalangan pelaku teror.

3. Penelitian ini menemukan bahwa deideologisasi jihad yaitu perubahan pemahaman tentang

thoifah manshurah yang dilekatkan kepada kepada diri sendiri dan kelompok juga

menjelaskan mengapa pelaku teror meninggalkan jalan teror. Terkait dengan hal itu, perlu

dilakukan penelitian secara psikologis tentang bagaimana jihad dan konsep thoifah manshurah

membentuk identitas diri dan kelompok sebagai jihadis pilihan Tuhan yang ditugaskan

berjihad sepanjang hayat.

4. Penelitian ini menemukan bahwa relasi intensif dengan orang lain terutama dengan orang lain

di luar kelompok yang selama ini dianggap sebagai musuh dapat mengubah cara pandang dan

keyakinan tentang kawan dan lawan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjut tentang

outgroup contact pada pelaku teror atau anggota gerakan radikal dan ekstrimis Islam di

Indonesia.

5. Di waktu yang akan datang perlu dilakukan penelitian psikologi teror dengan metode

gabungan (mixed methods) dan melibatkan bukan hanya pelaku teror tetapi juga anggota

kelompok Islam garis keras yang dianggap potensial menjadi pelaku teror dengan tehnik

analisis canggih berbasis komputer seperti NVivo.

DAFTAR PUSTAKA Abbas, N. (2005). Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota. Jakarta:

Grafindo Khazanah Ilmu.

Abuza, Z. (2009). The rehabilitation of Jamaah Islamiyah detainees in South East Asia: a

preliminary assessment. In T. Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual

and Collective Disengagement (pp. 193-211). Oxon: Routledge.

Alonso, R. (2009). Leaving terrorism behind in Nothern Ireland and the Basque Country:

reassessing anti-terrorist policies and the peace processes. In T. Bjorgo, & J. Horgan,

Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement (pp. 88-112).

Oxon: Routledge.

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

35

Amirsyah. (2012). Meluruskan salah faham terhadap deradikalisasi: pemikiran, konsep dan

strategi pelaksanaan. Jakarta: Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu.

Ashour, O. (Autumn 2007). Lion tamed? An inquiry into the causes of deradicalization of armed

Islamist movement: the case of the Egyptian Islamic group. The Middle East Journal, 61,

4, ProQuest Social Science Journal, hal. 596.

Azuzi, H. b. (In press). Qadhaya al-irhab wa al-unf wa at-thatharruf fi mizan al-Quran wa

assunnah. Maroko: Kulliyat As-Syariah Jamiah Al-Qarawiyyin Faas Maghrib .

Balipostvideo. (2012). (7 Mei 2012) Sidang Bom Bali 2 sambil menangis, Umar Patek minta

maaf. http://youtube.com/watch?v=4diBVXvl6hc.

Bandura, A. (1990). Selective activation and mechanism of moral disengagement. Sosial Issues,

Volume 46, No.1, 27-46.

Barelle, K. (In press). Disengagement From Violent extrimism. Monash: Global Research Center.

Barrett, R., & Bokhari, L. (2009). Deradicalization and rehabilitation programmes targeting

religious terrorists and extrimists in the Muslim world: an overview. In T. Bjorgo, & J.

Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement (pp. 170-

180). Oxon: Routledge.

Baumeister, R. F., & Finkel., E. J. (2010). Advanced Social Psychology : The State Of The

Science. Oxford: Oxford University Press, Inc.

Beg, S., & Bokhari, L. (2009). Pakistan: in search of a disengagement strategy. In T. Bjorgo, &

J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement (pp.

224-242). Oxon: Routledge.

Bjorgo, T. (1999). How gangs fall apart: process of transformation and disintegration of gangs.

Paper presented at the 51st Annual Meeting of the American Society of Criminology, 17-

20 November 1999. Didowload Januari 2012. Toronto Canada: American Society of

Criminology.

Blazak, R. (2001 ). White Boys to Terrorist Men: Target Recruitment of Nazi Skinheads.

AMERICAN BEHAVIORAL SCIENTIST, Vol. 44 No. 6, February , 982-1000.

Bloom, M. (2005). Dying to kill: the allure of suicide terror. New York: Columbia University

Press.

Bongar, B., Brown, L. M., Beutler, L. E., Breckenridge, J. N., & Zimbardo, P. G. (2007).

Psychology of Terrorism. Oxford: Oxford University Press.

Borum, R. (2008). Psychology of terrorism. Florida: University of Florida Press.

Boucek, C. (2011). Extremist disengagement in Saudi Arabia: prevention, rehabilitation and

aftercare. In R. Gunaratna, J. Jerard, & L. Rubin, Terrorist Rehabilation and Counter-

Radicalisastion: New Approach to Counter Terrorism (pp. 70-90). New York: Routledge.

Brown, R. (2000). Social Identity Theory: Past Achievements, Current Problems, and Future

Challenges. European Journal of Social Psychology 30 , 745-778.

Buchan, N. R., Brewer, M. B., Grimalda, G., Wilson, R. K., Fatas, E., & Foddy, M. (n.d.). The

role in social identity in global cooperation. in press.

Castano, E., Leidner, B., & Slawuta, P. (2008). Social identification processes, group dynamics

and the behaviour of combatants. International Review of Red Cross Volume 90 Number

870 June, 259-271.

Choudhury, T. (2009). Stepping out: Supporting exit strategies form violence and extreme.

Washington DC: Institute for Strategic Dialogue.

Crenshaw, M. (2006). The war on terrorism: is the US winning? No name: Real Institut Elcano.

Creswell, J. W. (2009). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods

approaches. California: Sage Publication Inc.

Cronin, A. K. (2009). How terroris campaign end. In T. Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorist

Behind: Individual and Collective Disengagement (pp. 49-65). New York: Routledge.

Davis, J. M. (2002). Countering international terrorism: perspectives from international

psychology. In C. E. Stout, The Psyhcology of Terrorism: Program and Practices in

Response and Prevention. volume Four. (pp. 33-56). Westport CA: Praeger.

Demant, F., & Graaf, B. D. (2010). How To Counter Radical Narratives:Dutch Deradicalization

Policy in the Case of Moluccan and Islamic Radicals. Studies in Conflict & Terrorism 33

DOI: 10.1080/10576101003691549, 408–428.

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

36

Dovidio, J. F. (2013). Bridging intragroup processes and intergroup relations: Needing the twain

to meet. British Journal of Social Psychology, 52 , 1–24.

Drummond, J. T. (2002). From the northwest imperative to global jihad: Social psychological

aspects of the construction of the enemy, political violence, and terror. In C. E. Stout, The

Psychology of Terrorism: A Public Understanding (pp. 49-98). Westport CT: Praeger

Publisher.

Ekici, S. (2009). Needs and membership in terrorist organizations. Dissertation prepared for the

degree of Doctor of Philosophy. Nort Texas: University of North Texas.

Enders, W., & Sandler, T. (2000). Is transnational terrorism becoming more threatening? Journal

of Conflict Resolution Vol 44 No. 3 June 2000, 307-332.

Faturochman. (2008). Model-model psikologi kebhinekatunggalikaan dan penerapannya di

Indonesia. Jurnal Psikologi Indonesia No. 1, 61-72.

Fink, N. C., & Hearne, E. B. (2008). Beyond terrorism: deradicalization and disengagement from

violent extremism. London: International Peace Institute.

Forest, J. J. (2006). Exploring root causes of terrorism: An introduction. In J. J. Forest, The Makng

of A Terrorist: Recruitment, Training and Root Causes (pp. 1-16). West Port: Praeger

Security International.

Forest, J. J. (2009). Static and interactive frames of terrorism analysis. Paper prepared for the

CATO Institute Confrence, "Shaping the New Administration's Counterterrorism

Strategy," January 12, 2009. West Point: CATO Institute.

Garfinkel, R. (2007). Personal transformations: moving from violence to peace. Washington DC:

United States Institute of Peace.

Ghazali, K. (2011). Mereka Bukan Thagut: Meluruskan Salah Paham Tentang Thagut. Jakarta:

Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu.

Ginges, J., Hansen, I., & Norenzayan, A. (2009). Religion and Support for Suicide Attacks.

Psychological Science Volume 20, No. 2, 224-230.

Glaser, B. G., & Strauss, A. L. (2006.Cetak Ulang). The Discovery of Grounded Theory:

Strategies for Qualitative Research,. London: Aldine Transaction.

Goertzet, T. G. (2002). Terrorist beliefs and terrorist lives. In C. E. Stout, The Psychology of

Terrorism: A Public Understanding (pp. 97-112). Westport CT: Praeger Publisher.

Goulding, C. (2002). Grounded Theory: A Practical Guide for Management, Business and Market

Researchers. London: Sage Publication.

Group, I. C. (2008). Indonesia: Industri Penerbitan Jamaah Islamiyah, Asia Report No. 147,

Februarti 2008. Brusssel: International Crisis Group.

Gunaratna, R., & Ali, M. B. (2009). Deradicalization initiatives in Egypt: Preliminary insight.

Studies in Conflict an Terrorism, 32:277-291 DOI:10.1080/10576100902750562.

Gunaratna, R., & Hassan, M. F. (2011). Terrorist rehabilitation: the Singapore experience. In R.

Gunaratna, J. Jerard, & L. Rubin, Terrorist Rehabilitation and Counter-Radicalisation:

New Approach to Counter Terrorism (pp. 36-58). New York: Routledge.

Gvineria, G. (2009). How does terrorism end? In P. K. Davis, & K. Cragin, Social Science for

Counterterrorism: Putting the Pieces Together (pp. 257-291). Santa Monica CA: Rand

Corporation.

Hafez, M. M. (2006). Political repression and violent rebellion in the Muslim world. In J. J. Forest,

The Making of A Terrorist: Recruitment, Training and Root Causes (pp. 74-91). West

Port: Praeger Security International.

Hall, R. E. (2003). A note on September eleventh: the Arabization of terrorism. The Social Science

Journal 40 , 459-464 doi:10.1016/S0362-3319(03)00042-9.

Hamm, M. S. (2009). Prison Islam in the age of sacred terror. Brit. J. Criminol, 49, 667-685;

doi:10.1093/bcj/azp035.

Harigrove, F., & Mcleod, D. M. (2008). Circle drawing toward high risk activism: the use of

Usrah and Halaqa in Islamist radical movement studies. Journal of Conflict and

Terrorism (31), 399-411.

Harris, K. J. (2010). Review: Disillusionment with Radical Social Groups. Australian Counter

Terrorism Conference (pp. 30-39). Perth Western Australia: Edith Cowan University.

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

37

Haslam, S. A., & Platow, M. J. (2001). The Link Between Leadership and Followership: How

Affirming Social Identity Translates Vision Into Action. PSPB, Vol. 27 No. 11, November

, 1469-1479.

Hogg, M. A. (2001). A social identity theory of leadership. Personality and Social Psychology

Review , Vol. 5, No. 3, 184–200.

Homans, K. J., & Boyatzis, C. J. (2010). Religiosity, Sense of Meaning, and Health Behavior in

Older Adults. The International Journal for the Psychology of Religion, 20:, 173–18.

DOI: 10.1080/10508619.2010.481225.

Hood, R. W., Hill, P. C., & Spilka, B. (2009). The psychology of religion : an empirical approach.

New York: The Guilford Press.

Hood, R. W., Jr., P. C., & Williamson, W. P. (2005). The Psychology of Religious

Fundamentalism. New York: Guilford Press.

Horchem, H. J. (1991). The decline of the red army faction. Terrorism and Political Violence,

Volume 3, Issue 2, 1991, 61-74,

http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09546559108427104.

Horgan, J. (2005). The Psychology of Terrorism. New York: Routledge.

Horgan, J. (2011). Disengagement from terrorism. Journal of Personality and Social Psychology,

56.

Horgan, J., & Braddock, K. (2010). Rehabilitating the terrorists?: challenges in assessing the

effectiveness of deradicalization programs. Terrorism and Political Violence, 22:2, 267-

291 DOI 10.1080/09546551003594748.

Hornsey, M. J. (2008). Social identity theory and self-categorization theory: A historical review.

Social and Personality Psychology Compass 2/1, 204-222.

Huddy, L. (2001). From social to political identity: A critical examination of social identity

theory. Political Psychology, 22 No. 1 Maret 2001, 127-156.

Hudson, R. A. (1999). The sociology and psychology of terrorism: who becomes a terrorist and

why? Washington DC: Federal Research Division, Library of Congress.

Husein, E. (2007). The Islamist. London: Penguin Books.

Hussein, M. E., Hirst, S., Salyers, V., & Osuji, J. (2014). Using grounded theory as a method of

inquiry: Advantage and disadvantage. The Qualitative Report Volume 19 How to Article

13, 1-15.

Hwang, J. C. (2015). The Disengagement of Indonesian Jihadists: Understanding the Pathways.

Terrorism and Political Violence, 1-9. DOI: 10.1080/09546553.2015.1034855.

Jacobson, M. (2010). Terrorist dropouts: learning from those who have left. Washington: The

Washington Institute for Near East Policy.

Jhonson, A. K. (2009). Assesing the affectiveness of deradicalization programs on Islamist

extrimists. Monterey California: Naval Postgraduate School.

Jones, M., & Alony, I. (2011). Guiding the use of grounded theory in doctoral studies -an example

from the Australian film industry. International Journal of Doctoral Studies Volume 6,

95-114.

Kelly, R. E. (2008). From the global war on terror to containmen: an opinion brief. Perspectives

on Terrorism, Volume II, Issue 4, Februari 2008, hal. .

Krueger, A. B. (2007). What makes a terrorist : economics and the roots of terrorism : Lionel

Robbins lectures. New Jersey: Princeton University Press.

Kruglanski, A. W., Chen, X., Dechesne, M., Fishman, S., & Orehek, E. (2009). Yes, No, and

Maybe in the World of Terrorism Research: Reflections on the Commentaries. Political

Psychology, Vol. 30, No. 3, 401-417.

Kruglanski, A. W., Gelfand, M. J., & Gunaratna, R. (2011). Aspects of deradicalisation. In R.

Gunaratna, J. Jerard, & L. Rubin, Terrorist Rehabilitation and Counter Terrorism: New

Approaches to Counter Terrorism (pp. 135-145). New York: Routledge.

Kuppens, T., & Yzerbyt, V. Y. (2012). Group-based emotions: The impact of social identity on

appraisals, emotions, and behaviors. Basic and Applied Social Psychology 34, 34-20

DOI: 10.1080/01973533.2011.637474.

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

38

Lankford, A. (2010). Do suicide terrorist exhibit clinically suicidal risk factors? A review of initial

evidence and call for future research. Aggression and Violent Behavior 15, 334-340.

Larrick, R. P., & Bolles, T. L. (1995). Avoiding regret ini decisions with feedback: A negotiation

example. Organizational Behavior and Human Decision Process Vol. 63 No. 1 July, 87-

97.

Levin, B., & Amster, S.-E. (2003). An analysis of the legal issues relating to the prevention of

nuclear and radiological terrorism. American Behavioral Scientist, Vol. 46 No. 6

February 2003, 845-856.

Loo, R. (2002). Belief in a just world: support for independent just world and unjust world

dimensions. Personality and Individual Differences 33 , 703-711.

Lutz, J. M., & Lutz., B. J. (2005). Terrorism : origins and evolution. New York: PALGRAVE

MACMILLAN™.

Maio, G. R., & Haddock, G. (2007). Attitude Change. In A. W. Kruglanski, & E. T. Higgins,

Social Psychology: Handbook of Basic Process (pp. 565-586). New York: The Guilford

Press.

Manstead, A. S. (2010). The social psychology of emotion. In R. F. Baumeister, & E. J. Finkel.,

Advanced social psychology : the state of the science (pp. 101-137). New York: Oxford

University Press, Inc.

Marsella, A. J., & Moghaddam, F. M. (2004). The origin and nature of terrorism: Foundations

and issues. Journal of Aggression Maltreatment & Trauma Vol 9 No. 1/2, 19-31 DOI:

10.1300/J146v9n01_02.

Marshal, M. G. (2002). Global terrorism: an overview and analysis. Maryland: Center for

Systemic Peace.

McCauley, C. (2007). Psychological issues in understanding terrorism and the response to the

terrorism. In B. Bongar, L. M. Brown, L. E. Beutler, J. N. Breckenridge, & P. G.

Zimbardo, Psychology of Terrorism (pp. 13-31). Oxford: Oxford University Press.

Mccauley, C., Scheckter, S., College, B. M., & Mawr, B. (2008). What's Special about U.S.

Muslims? The War on Terrorism as Seen by Muslims in the United States, Morocco,

Egypt, Pakistan, and Indonesia. Studies in Conflict & Terrorism 31, 1024–1031 DOI:

10.1080/10576100802400193.

McCormick, G. H. (2003). Terrorist decision making. Annu. Rev. Polit. Sci. 2003. 6, 473-507.

Mendelson, M. E. (2008). A systems understanding of terrorism with implication for policy. A

dissertation presented in partial fulfillment of the requirement for the doctor degree of

philosophy . Akron: The Graduate Faculty of The University of Akron.

Merari, A. (2009). Academic research and government policy on terrorism. Terrorism and

Political Violence, 13 (4), hal. 1-14.

Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1990). The measurement and antecedents of affective continuance

and normative commitment to the organization. Journal of Occupational 63, 23-35.

Miles, M. B., Huberman, A. M., & Saldana, J. (2014). Qualitative Data Analysis: A Methods

Sourcebook. Los Angeles: Sage Publication.

Milla, M. N., Faturochman, & Ancok, D. (2012). The impact of leader–follower interactions on

the radicalization of terrorists: A case study of the Bali bombers. Asian Journal of Social

Psychology, 1-9 DOI: 10.1111/ajsp.12007.

Mirahmadi, H., & Farooq, M. (2010). A community based approach to countering radicalization:

a partner for America. Washington DC: World Organization for Resource and Education

Development.

Moghadam, A. (2006). The roots of terrorism. New York: Infobase Publishing.

Moghadam, F. M., Taylor, D. M., Lambert, W., & Schmidt, A. E. (1995). Attribution and

discrimination: A studi of attribution to the self, to the group and to external factors

among Whites, Blacks and Cubans in Miami. Journal of Cross Cultural Study Vol. 26

No.2, March , 209-220.

Morris, M., Eberhard, F., Reviera, J., & Watsula, M. (2010). Deradicalization: A review of the

literature with comparison to findings in the literatures on deganging and deprograming.

Durham: Institute for Homeland Security Solutions.

Muluk, H. (2009, September 2 ). Teroris kambuh? Majalah Gatra , p. 106.

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

39

Nauman, P. R. (2010). Prisons and terrorism: radicalisation and deradicalisation in 15 countries.

London: ICSR & START.

Noricks, D. M. (2009). Disengagement and deradicalization: processes and programs. In P. K.

Davis, & K. Cargin, Social Science for Counterterrorism: Putting the Pieces Together

(pp. 299-320). Santa Monica CA: Rand National Defense Research Institute.

Oakes, P. (2003). The root of all evil in intergroup relation?: Unearthing the categorization

process. In R. Brown, & S. Guartner, Intergroup process. Oxford: Blackwell Publishing.

Pettigrew, T. F., & Tropp, L. R. (2006). A meta-analytic test of intergroup contact theory. Journal

of Personality and Social Psychology. Vol. 90, No. 5, 751-783 DOI: 10.1037/0022-

3514.90.5.751.

Phillips, P. J., & Pohl, G. (2011). Terrorism, identity,psychology and defence economics.

International Research Journal of Finance and Economics, Issue 77, 102-113.

Pillar, P. R. (2006). Superpower foreign policy: A source for global resentment . In J. J. Forest,

The Making of A Terrorist: Recruitment, Training and Root Causes (pp. 31-44). West

Port: Praeger Security International.

Porta, D. D. (2009). Leaving underground organizations: a sociological analysis of the Italian

case. In T. Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective

Disengagement (pp. 66-77). Oxon: Routledge.

Post, J. M. (2007). The key role of psychological operations in countering terrorism. In J.

J.F.Forest, Countering Terrorism and Insurgency in the 21st Century: International

Perspectives, Volume 1-3 (pp. 380-396). Westport: Praeger Security International.

Postmes, T., & Jetten, J. (2006). Individuality and the Group: Advances in Social Identity.

London: Sage Publication.

Pranowo, M. B. (2011). Orang Jawa Jadi Teroris. Jakarta: Penerbit Alvabet.

Prislin, R., & Crano, W. D. (2008). Attitude and attitude change: The fourth peak. In W. D. Crano,

& R. Prislin, Attitude and Attitude Change (pp. 3-18). New York: Psychology Press.

Rabasa, A., Pettyjohn, S. L., & Jeremy J. Ghez, C. B. (2010). Deradicalizing Islamist extrimist.

Santa Monica CA: RAND.

Ralph W. Hood, J., Hill, P. C., & Spilka, B. (2009). The Psychology of Religion: An empirical

Approach. The Guilford Press: New York.

Ramakrishna, K. (2005). Delegitimizing global jihadi ideology in Southeast Asia. Contemporary

Southeast Asia, 27. 3; ProQuest Social Science Journals, pages 343-369.

Rao, H., Davis, G. F., & Ward, A. (2000). Embeddedness, social identity and mobility: Why firms

leave the Nasdaq and join the New York Stock Exchange. Administrative Science

Quarterly, Vol. 45 No. 2 Juni , 268-292.

Rapaport, D. C., & Alexander, Y. (1982). The Morality of Terrorism: Religious and Secular

Justifications. New York: Pergamont.

Reich, W. (2009). Understanding terrorist behavior: the limits and opportunities of psychological

inquiry. In J. Victoroff, & A. W. Kruglanski, The pyschology of terrorism: classic and

contemporary insight (pp. 23-34). New York: Psychology Press.

Reinares, F. (2011). Exit from terrorism: A Qualitative empirical study on disengagement and

deradicalization among members of ETA. Terrorism and Political Violence 23, 780-803

DOI: 10.1080/09546553.2011.613307.

Ribetti, M. (2009). Disengagement and beyond: a case study of demobilization in Colombo. In T.

Bjorgo, & J. Horgan, Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective

Disengagement (pp. 152-169). Oxon: Routledge.

Roberts, N., & Everton, S. F. (2010). Strategies for combating dark networks. Journal of Social

Structure. Volume 12, 1-32.Ross, J. I. (2006 ). Will terrorism end? New York: Infobase

Publishing.

Sagemen, M. (2004). Understanding terror network. Philadelphia, Pennsylvania: University of

Pennsylvania Press.

Sarwono, S. W. (2012). Terorisme di Indonesia. Jakarta: Alvabet & Lakip.

Schrimshaw, E. W., & Siegel, K. (2003). Perceived Barriers to Social Support from Family and

Friends among Older Adults with HIV/AIDS. Journal of Health Psychology, Vol 8(6)

738–752; 038241.

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

40

Schwartz, S. J., Dunkel, C. S., & Waterman, A. S. (2009). Terrorism: an identity theory

perspective. Journal of Studies in Conflict and Terrorism (32), 537-559 DOI:

10.1080/10576100902888453.

Seager, P. (2014). Social Psychology: A Complete Introduction . London: Hodder & Stoughton.

Sidanius, J., Henry, P., Pratto, F., & Levin, S. (2009). Arab attribution for the attack on America:

the case of Lebanese subelites. In J. Victoroff, & A. W. Kruglanski, The Psychology of

Terrorism (pp. 269-279). East Sussex: Psychology Press.

Silke, A. (2009). Cheshire-cat logic: the recurring theme of terrorist abnormality in psychological

research. In J. Victoroff, & A. W. Kruglanski, The Psychology of Terrorism: Clasic and

Contemporary Insight (pp. 95-108). New York: Psyhcology Press.

Sinai, J. (2008). How to definie terrorism. Perspektives on Terrorism, Volume 2, Issue 4, hal. .

Smelser, N. J., & Mitchel, F. (2002). Terrorism: Perspectives from the behavioral and social

sciences. Washington DC: The National Academic Press.

Solahudin. (2011). NII sampai JI: salafi jihadisme di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.

Steven, G. C., & Gunaratna, R. (2004). Counterterrorism: A reference handbook. California:

ABC-CLIO, Inc.

Tajfel, H., & Turner, J. C. (1986). The social identity theory of intergroup behavior. In S.

Worchel, & W. G. Austin, Psychology of Intergroup Relations (pp. 7-24). Illinois:

Nelson-Hall Inc.

Taspinar, O. (2009). Fighting radicalism, not terrorism: Root causes of an international actor

redefined. SAIS Review, Vol XXIX No. 2, 75-86.

Taylor, M. (2010). Is terrorism a group phenomenon? Aggression and Violent Behavior, 15, 121-

129.

Tim Penulis Lazuardi Birru. (2011). Kutemukan Makna Jihad. Jakarta: Lazuardi Birru.

Ungerer, C. (2011). Jihadists in jail: Radicalisation and the Indonesian prison experience.

Canbera: Australian Strategic Policy Institut.

Victoroff, J., & Kruglanski, A. W. (2009). Psychology of Terrorism. New York: Psychology

Press.

Wessels, M. (2002). Terrorism, social justice, and peace building. In C. E. Stout, The psychology

of terrrorism: program and practices in response and prevention (pp. 57-76). Westport

CT: Praeger.

White, J. B., Langer, E. J., Yariv, L., & IV, J. C. (2001). Frequent social comparison and

destructive emotions and behaviors: the dark side of social comparison. Journal of Adult

Development Vol. 13 No. 1 March 2001. DOI: 10.1007/s10804-006-9005-0, 36-44.

Wiktorowicz, Q. (2006). Anatomy of Salafi Movement. Studies in Conflict and Terrorism (29),

207-239. doi: 10.1080/10576100500497004.

Worchel, S. (1986). The role of cooperation in reducing intergroup conflict. In S. Worchel, & W.

G. Austin, Psychology of Intergroup Relation (pp. 288-304). Chicago: Nelson-Hall

Publisher.

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

41

RIWAYAT HIDUP

Identitas Personal

Nama : Gazi, S.Psi. M.Si

Tempat/Tgl Lahir Mataram Lombok, 14 Desember 1971

Pekerjaan Dosen

Alamat Rumah Jl. Pasar Jengkol Kampung Curug Rt. 05 Rw. 01

No.21 Babakan Setu Tangerang Selatan

Alamat Kantor Fakultas Psikologi UIN Jakarta

Jl. Kertamukti 5 Ciputat Tangerang Selatan

Telp Kantor 021-7433060

HP: 08128480195

Email [email protected] atau [email protected]

Keluarga

Nama Hubungan Pekerjaan

Ummu Athiyah, S.Psi Isteri Guru

Averrous Saloom Anak Pertama Siswa SMP/Mts Kelas 2

Imtiyazussaomi Saloom Anak Kedua Siswi SD Kelas 5

Fawwaz Muluki Saloom Anak Ketiga PAUD

Riwayat Pendidikan Tinggi

Tahun Perguruan Tinggi Jurusan/Prodi

1991-1994 LIPIA Jakarta (Non gelar) Bahasa Arab dan Ilmu

Keislaman

1995-2000 Fakultas Psikologi UIN Jakarta

(S.Psi)

Program Studi Psikologi

2001-2004 Program Magister Sains Fakultas

Psikologi UI Depok (M.Si)

Psikologi Sosial

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

42

Pengalaman Penelitian

Tahun Judul Penelitian Jenis Hibah Sumber Dana

2015 Transformasi Personal

Pada Mantan Pelaku

Kriminal

Penelitian Publikasi

Nasional

Puslitpen LP2M UIN Jakarta

2015 Efektivitas

Penggunaan Dana

BOS untuk Madrasah

Penelitian Evaluasi Pusat Pendidikan Agama dan

Keagamaan Balitbang

Kemenag RI

2013 Dukungan Terhadap

Kekerasan

Penelitian Individual Lemlit UIN Jakarta

2012 Toleransi Beragama di

Lampung

Pusat kehidupan keagamaan

Balitbang Kemenag RI

2011 Dari Orang Biasa

Menjadi Teroris:

Kajian Psikologi

Terorisme

Penelitian Kelompok Lemlit UIN Jakarta

2010 Infiltrasi Radikalisme

di Masjid: Studi Kasus

di Bogor

Penelitian hibah

kerjasama CSRC UIN

Jakarta dan Yayasan

Lazuardi Birru

CSRC UIN Jakarta dan

Yayasan Lazuardi Birru

2010 Pengaruh Relijiusitas

dan Self Efficacy

Terhadap Komitmen

Tugas Dosen

Penelitian Individual Lemlit UIN Jakarta

Karya Ilmiah (Buku/Bagian Buku/Artikel)

Tahun Judul Penulis Buku/Jurnal

2014 Mengenal Teori-Teori

Psikologi Sosial

Kontemporer

Gazi Saloom Buku diterbitkan oleh UIN

Press

2014 Bahasa dan Berpikir

Gazi Saloom Bagian dari Buku Psikologi

Umum (F.Psi UIN Jakarta)

2013 Pengantar Psikologi Politik

Gazi Saloom dan

Ima Sri Rahmani

Buku diterbitkan oleh UIN

Press

2013 Melawan terorisme:

Deradikalisasi atau

Disengagement

Gazi Saloom Jurnal Ilmiah Dialog Balitbang

Kemenag RI, terakreditasi LIPI

2012 Psikologi Agama

Gazi Saloom dan

Faozah

Buku diterbitkan oleh UIN

Press

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA RELASI SOSIAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34259/1/DINAMIKA... · DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM . PROSES MENINGGALKAN JALAN

43

2012 Meninggalkan Jalan

Teror : Perspektif Teori

Identitas Sosial

Gazi Saloom Bagian dari buku/proseding

temu ilmiah nasional Ikatan

Psikologi Sosial Indonesia

2011

Hubungan Mayoritas-

Minoritas Dalam

Perspektif Psikologi

Sosial: Studi Kualitatif di

Bogor

Gazi Saloom Artikel Jurnal ilmiah Dialog,

Balitbang Kemenag RI,

terakreditas LIPI

2010 Pengantar Psikologi Sosial

Ikhwan Lutfi,

Gazi Saloom dan

Hamdan Yasun

Buku diterbitkan oleh UIN

Press

Presentasi di Forum Nasional dan Internasional

Tahun Judul Acara dan Penyelenggara

2015 Leaving Terrorism Konfrensi Internasional Ilmu-Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, FISIP UIN Jakarta di

Jakarta

2015 Dukungan atas Kekerasan Temu Ilmiah Nasional, Ikatan Psikologi

Sosial Indonesia dan Prodi Psikologi

Universitas Udayana Bali

2014 Inkonsistensi Pemimpin Sebagai

Penyebab Meninggalkan Jalan Teror

Temu Ilmiah Nasional, Himpunan

Psikologi Indonesia di Menado Sulawesi

Utara

2013 Leaving Terrorism in Psychological

Perspective

Konfrensi Internasional, Asian Association

of Social Psychology (AASP) dan Fakultas

Psikologi UGM di Yogyakarta

2012 Meninggalkan Jalan Teror Dalam

Perspektif Teori Identitas Sosial

Temu Ilmiah Nasional, Ikatan Psikologi

Sosial Indonesia dan Fakultas Psikologi

UIN Syarif Qasim Pekanbaru di Pekanbaru

2011 Perilaku Sosial Dalam Islam Seminar Nasional, Asosiasi Psikologi

Islami dan Fakultas Psikologi UIN Jakarta

di Ciputat

2010 Contact and Prejudice Konfrensi Internasional, Asian Association

of Indigenous Psychology dan Fakultas

Psikologi UGM di Yogyakarta