Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
URGENSI PEMENUHAN HAK RESTITUSI TERHADAP
ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada
Bagian Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Oleh:
Zelika Septarina
02011381419298
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2018
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“No matter how your heart is grieving, if you keep on believing, the
dream that you wish will come true”- (Disney, Cinderella)”
Skripsi ini ku persembahkan
kepada :
➢ Allah SWT.
➢ Nabi Muhammad SAW.
➢ Ibuku dan Ayahku
➢ Ayuk Nana dan Mas
Bombong
➢ Adik M.Hardian Oktariza
➢ Sahabat dan teman terkasih
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bismillahirrahmaanirrrahim. Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah
SWT. Karena dengan rahmat dan kasih sayangnya, penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini tepat waktu. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya
hingga akhir zaman. Tanpa Ridho-Nya penulis tidak akan bisa menyelesaikan
skripsinya yang berjudul “Urgensi Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Anak
Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang”.
Skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum terhadap anak sebagai
korban tindak pidana perdagangan orang, di Indonesia sebagian korban tindak pidana
perdagangan orang adalah anak-anak dan perempuan, sebagai korban dari tindak
pidana anak-anak bukan saja mengalami kerugian fisik dan psikis namun juga
kerugian materiil dan immateriil. Untuk merigankan beban dan penderitaan anak
maka penting untuk memberikan hak restitusi terhadap anak sebagai korban tindak
pidana perdagangan orang, selain itu penting untuk mengetahui bagaimana penegak
hukum mengupayakan pemberian hak restitusi terhadap anak sebagai korban tindak
pidana perdagangan orang.
Penulisan skripsi ini untuk memenuhi sebagian persyaratan penulisan skripsi
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada program studi ilmu hukum Fakultas
Hukum Universitas Sriwijaya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi
banyak terdapat kekurangan baik dalam penulisan maupun materi dikarenakan
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari banyak mendapat do’a,
bantuan, bimbingan, nasehat, semangat, serta dorongan dari berbagai pihak, untuk
itulah dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Allah SWT. Dan Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat dan
pengikutnya hingga akhir zaman. Karena berkat rahmat dan ridhonyalah
skripsi ini bisa terselesaikan;
2. Keluargaku terkasih Ibu ku Peni Kurniasih, Ayah ku Kiagus Nangcik Akib,
Ayuk ku Riana Marsella, Adik ku M.Hardian Oktariza, Mas Bombong,
Keponakan ku M.Zonula Zidan, Wo ku Okti Diana , Adik ku Nisrina Nabilla,
Adik ku Tasya Putri Kamila, Wak Cak.
3. Yth. Bapak Dr. Febrian, S.H., M.S, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya.
4. Yth. Bapak Dr. Mada Apriandi , S.H., MCL, selaku Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sriwijaya.
5. Yth. Bapak Ridwan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya.
6. Yth. Bapak Dr. H. Murzal, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sriwijaya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... .i
LEMBAR UJIAN KOMPERHENSIF…..........................................................ii
HALAMAN PERNYATAAN. ........................................................................ ..iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................... iv
KATA PENGANTAR.........................................................................................v
UCAPAN TERIMA KASIH.............................................................................vii
DAFTAR ISI........................................................................................................x
ABSTRAK….....................................................................................................xii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 19
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 20
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 20
E. Kerangka Teori .......................................................................................... 21
F. Ruang Lingkup Penelitian..........................................................................34
G. Metode Penelitian.......................................................................................34
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana....................................................40
1. Pengertian Tindak Pidana ............................................ .........................40
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ........................................ ..........................42
B. Tinjauan Umum Tentan Tindak Pidana Perdagangan Orang......................45
1. Sejarah Tindak Pidana Perdagangan Orang…........................................45
2. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang.......................................51
3. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang.............................60
4. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan
Orang....................................................................................................67
5. Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang..........................................81
6. Korban Tindak Pidana Perdagangan....................................................91
7. Perlindungan Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang...................................................................................................96
C. Tinjauan Umum Tentang Restitusi
1. Pengertian Restitusi.............................................................................100
2. Pengaturan Hukum dan Mekanisme Restitusi.....................................101
3. Pengaturan dan Mekanisme Retitusi Dalam Tindak Pidana Perdagangan
Orang...................................................................................................105
BAB III: PEMBAHASAN
A. Hal-hal yang melatarbelakangi pentingnya pemenuhan hak restitusi
terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang.......108
B. Peran penegak hukum dalam mengupayakan pemenuhan hak restitusi
terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang.......119
BAB IV: PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................127
B. Saran...................................................................................................129
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................xiv
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak Pidana Perdagangan orang (Trafficking) merupakan masalah
besar yang sudah mengancam manusia sejak adanya kehidupan manusia itu
sendiri. Salah satu bentuk trafficking yaitu kegiatan perbudakan manusia yang
terjadi jauh sebelum isu perdagangan orang semakin berkembang seperti
sekarang. Setiap kegiatan perbudakan pada zaman itu dilakukan tanpa
memperhatikan hak seseorang untuk hidup bebas, hal tersebut jelas
menggambarkan mengenai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Dewasa ini kegiatan perbudakan tersebut di modernisasi dalam bentuk kegiatan
perdagangan orang (Trafficking). Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang yang dimaksud dengan pedagangan orang, adalah sebagai berikut:
“Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasn, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehinga memperoleh pesetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun
antar negara.”
Sedangkan berdasarkan Pasal 3 Protocol to Prevent, Suppress, And
Punish Trafficking In Persons, Especially Women And Children, Supplementing
The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
(Protokol Untuk Mencegah, Menindak, Dan Menghukum Perdagangan Orang,
Terutama Perempuan Dan Anak-Anak, melengkapi Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi)
yang disahkan di Indonesia melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2009, yang dimaksud dengan perdagangan orang, adalah:1
“Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan
seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-
bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau
menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat
memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain,
untuk tujuan eksploitasi.”
Dari penjelasan diatas tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara
pengertian perdagangan orang berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan
Protocol to Prevent, Suppress, And Punish Trafficking In Persons, Especially
Women And Children, Supplementing The United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (Protokol Untuk Mencegah, Menindak, Dan
Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan Anak,-Anak,
1 Pasal 3 Protocol to Prevent, Suppress, And Punish Trafficking In Persons, Especially Women
And Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
(Protokol Untuk Mencegah, Menindak, Dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan
Dan Anak-Anak, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional Yang Terorganisasi).
melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional Yang Terorganisasi). Hanya saja bila berdasarkan Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang pengertian perdagangan orang memuat frasa penjeratan
utang. Hal tersebut dapat diwajarkan karena seperti yang disebutkan dalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bahwa penyusunan Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk
melaksanakan Protocol to Prevent, Suppress, And Punish Trafficking In
Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol Untuk
Mencegah, Menindak, Dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama
Perempuan Dan Anak,-Anak, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi).
Ancaman tindak pidana perdagangan orang (Trafficking) menyebar luas
ke berbagai negara di dunia, terutama negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Selain itu, Indonesia memiliki letak geografis yang strategis
sehingga Indonesia seringkali dijadikan sebagai jalur pelayaran dan
perdagangan antar negara. Hal tersebut tentu saja banyak membawa keuntungan
bagi negara. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut juga membawa
dampak yang merugikan negara, tidak sedikit tindak kejahatan yang berlalu
lalang di Indonesia, dan salah satu yang paling mengancam ialah tindak pidana
perdagangan orang.Kejahatan ini terjadi karena tidak ada penghormatan
terhadap martabat kemanusiaan. Manusia dipandang sebagai barang yang bisa
ditentukan harganya tanpa persetujuannya dibawa, dikumpulkan, dikurung dan
ditempatkan tanpa mempertimbangkan kebutuhannya sebagai manusia.2
Pelaku tindak pidana perdagangan orang di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang , adalah sebagai berikut:
1. Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut
di wilayah negara Republik Indonesia;
2. Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara
2Chandra Muzaffar dkk, Human’s Wrong: Rekor Buruk Dominasi Barat Atas HAM, Pilar
Media, Yogyakarta, 2007, hlm. 401
Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dan setiap
orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah
negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di
luar wilayah negara Republik Indonesia;
3. Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan
menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud
untuk dieksploitasi; Setiap orang yang melakukan pengiriman anak
ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang
mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi;
4. Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan
yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang
pemberantsan tindak pidana perdagangan orang;
5. Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya
melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu
tidak terjadi; Setiap orang yang membantu atau melakukan
percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang;
Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang;
6. Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak
pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan
atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana
perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana
perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau
mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang;
7. Korporasi, tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan
oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-
orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk
kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama;
8. Kelompok yang terorganisasi, seperti sebuah agensi atau
perusahaan yang berkedok sebagai penyalur tenaga kerja ke luar
negeri tapi ternyata di dalamnya terdapat kegiatan jual beli menusia.
9. Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu
pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan
dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah
terjadinya tindak pidana perdagangan orang.3
Para pelaku tindak pidana perdagangan orang tersebut seringkali
memangsa pihak yang lemah, baik lemah secara fisik, psikis, ekonomi,
spiritual, politik maupun sosial. Pihak yang paling rentan dengan kondisi dan
3 Pasal 1 sampai dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
situasi tersebut adalah perempuan dan anak-anak. Bahkan pada penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang disebutkan bahwa berdasarkan bukti empiris,
perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban
tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana perdagangan orang,
khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan
baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Jaringan pelaku tindak pidana
perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antarwilayah dalam
negeri tetapi juga antarnegara.
Sesungguhnya Indonesia telah meratifikasi berbagai peraturan mengenai
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang yang dikeluarkan PBB,
sebagai wujud partisipasi bangsa Indonesia dan rasa peduli bangsa Indonesia
terhadap korban tindak pidana perdagangan orang. Tidak hanya itu, secara
yuridis Indonesia sudah memiliki ketentuan mengenai pemberantsan tindak
pidana perdagangan orang, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
pada dasarnya sudah mengatur tentang larangan perdagangan orang melalui
Pasal 297 KUHP yang menentukan larangan perdagangan wanita dan anak laki-
laki yang belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai
kejahatan; Selanjutnya, Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual,
atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual4; Dan yang terakhir
ketentuan yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana perdagangan
orang secara lebih terperinci adalah Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun sangat
disayangkan berbagai produk hukum yang diciptakan guna memberantas kasus
perdagangan orang tersebut tidak cukup untuk membungkam para pelaku
tindak pidana perdagangan orang. Masih banyak terdapat kasus tindak pidana
perdagangan orang di Indonesia, terutama yang melibatkan anak-anak sebagai
korban, berikut beberapa contoh kasus tindak pidana perdagangan orang yang
terjadi pada anak di Indonesia:
1. Pada Bulan Agustus tahun 2017 lalu, di Jakarta Pusat polisi
membongkar tindak pidana perdagangan orang (TPPO). yang salah
satu korbannya adalah 2 (dua) orang anak perempuan di bawah
umur berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat yang akan dikirim
ke Suriah. Anak tersebut masih berusia 14 tahun namun
identitasnya dipalsukan menjadi 19 tahun oleh pelaku tindak pidana
perdagangn orang;5
4Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
pidana Perdagangan Orang
5Akhmad Mustaqim, 2017, Polisi: Korban TPPO ke Suriah Termasuk Anak di Bawah Umur,
https://news.detik.com/berita/d-3593782/polisi-korban-tppo-ke-suriah-termasuk-anak-di-bawah-umur ,
diakses Pada Tanggal 9 Februari 2018 Pukul 20.45 WIB.
2. Pada Bulan November tahun 2017, dua orang anak dibawah umur
dari Kabupaten Bengkulu Utara menjadi korban perdagangan
manusia (Human Trafficking). Korban yang masih berusia 16 tahun
itu tertarik dengan tawaran pekerjaan yang ditawarkan seseorang
dan ikut ke Kota Bengkulu. Namun, saat tiba di Kota Bengkulu,
bukan pekerjaan seperti yang dijanjikan yang didapat kedua anak
dibawah umur tersebut. Keduanya ternyata dijual dengan harga 2
(dua) juta rupiah kepada seoarang perempuan yang bekerja sebagai
mucikari di kawasan Eks Lokalisasi Pulau Baai Kota Bengkulu;6
3. Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO)
menangkap seseorang yang kedapatan akan memberangkat dua
orang anak yakni NIM (16) dan N (15) untuk dijadikan Pekerja
Seks Komersial (PSK) di Malaysia. Hal ini berawal dari korban
yang di rekrut oleh tersangka sekitar bulan Oktober 2016 di
Indramayu dengan iming-iming akan dijadikan pelayan restoran di
Malaysia dengan gaji besar, namun pada kenyataannya kedua
korban dijadikan PSK.7
6Heru Zls, 2017, 2 Anak di Bawah Umur Asal Bengkulu Utara Jadi Korban Perdagangan
Manusia , https://www.klikwarta.com/2-anak-di-bawah-umur-asal-bengkulu-utara-jadi-korban-
perdagangan-manusia, diakses Pada Tanggal 9 Februari 2018 Pukul 20.50 WIB.
7Heru Guntoro, 2017, Satgas TPPO Tangkap Pelaku Penjualan Anak dibawah Umur,
https://infonawacita.com/satgas-tppo-tangkap-pelaku-penjual-anak-dibawah-umur/, diakses Pada
Tanggal 9 Februari 2018 Pukul 20.56 WIB.
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri
Indonesia Jose Tavares menuturkan setiap tahunnya, ada 600 ribu hingga 800
ribu orang yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Dibalik jumlah yang fantastis tersebut, hampir 80 persen merupakan anak-anak
dan perempuan8 . Korban tersebut diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan
pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk
eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau
praktik serupa perbudakan itu.9
Setiap tindakan dalam perdagangan orang seperti yang diuraikan diatas
nampak begitu menciderai nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Terlebih
ketika para pelaku tindak pidana perdagangan orang mengorbankan seorang
anak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri maupun kepentingan
kelompoknya, tindakan tersebut jelas bertolak belakang dengan prinsip
Pancasila. Anak merupakan harta yang tak ternilai harganya, tidak saja dinilai
dari perspektif sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, tetapi juga dalam
perspektif keberlanjutan keluarga, suku, trah maupun bangsa. Mengingat
pentingnya posisi anak bagi bangsa tersebut, ditengah masyarakat Indonesia
khususnya, anak bisa bersifat sosial (kehormatan harkat martabat keluarga
8Marcheilla Ariesta, 2017, Hampir 80 Persen Korban TPPO adalah Perempuan dan Anak-anak
,http://news.metrotvnews.com/read/2017/10/04/768166/hampir-80-persen-korban-tppo-adalah-
perempuan-dan-anak- , diakses Pada Tanggal 9 Februari 2018 Pukul 21.32 WIB.
9Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
tergantung pada sikap dan perilaku anak untuk mempunyai prestasi yang
bernilai prestise), budaya (anak merupakan harta dan kekayaan yang harus
dijaga dan merupakan lambang kesuburan keluarga), politik (anak adalah
penerus trah atau suku masyarakat tertentu).10
Undang-Undang Dasar tahun 1945 alinea ketiga bagian Pembukaan,
mengamanatkan pada pemerintah dan setiap warga negara Indonesia untuk ikut
serta melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan
umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa 11 , penggalan kalimat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 tersebut jelas sekali menuntut
pemerintah dan setiap warga negara untuk menjamin dan melindungi anak dari
hal-hal yang dapat menghambat kelangsungan hidup dan tumbuh kembang
anak mengingat peran anak dimasa depan adalah sebagai penerus generasi
bangsa yang wajib untuk dicerdaskan agar kelak dapat memajukan kehidupan
bangsa. Salah satu hal yang paling menghambat keberlangsungan hidup serta
perkembangan anak adalah menjadikan anak sebagai korban tindak pidana,
khususnya tindak pidana perdagangan orang yang mengeksploitasi anak baik
secara ekonomi maupun seksual hanya demi keuntungan yang tidak sebanding
dengan harkat dan martabat anak.
10 Beniharmoni Harefa, Kapita Selekta Perlindungan Hukum Bagi Anak, Deepublish (Grup
Penerbitan CV Budi Utama), Yogyakarta, 2016, hlm 30. 11Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), PT Bhuana Ilmu Populer,
Jakarta Barat, 2004, hlm 259
Yang dimaksud anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang
adalah anak yang telah mengalami penderitaan fisik/psikis/seksual sosial
sebagai akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan orang/kelompok
orang/lembaga/negara 12 . Sedangkan menurut Arif Gosita yang dimaksud
dengan menjadi anak korban kejahatan adalah anak-anak yang menderita
mental, fisik, sosial, akibat perbuatan jahat (tindak Pidana menurut KUHP)
orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri, yang bertentangan
dengan hak dan kewajiban pihak korban13.
Permasalahannya sekarang adalah apakah kita sudah mempunyai
penjamin pelaksananaan perlindungan anak sebagai korban yang dituangkan
dalam peraturan-peraturan (organisasi swasta/pemerintah) dan undang-undang
tertentu. Dan apabila sudah ada, maka apakah hal ini sudah diketahui secara
merata, dan dijamin pelaksanaannya, sehingga yang berkepentingan dapat
menuntut haknya secara wajar14. Hak-hak korban sebagaimana yang disebut
sebelumnya, menurut Van Boven adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan, dan
hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjuk kepada semua tipe
12Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,
hlm 74. 13 Arif Gosita, Op.Cit, hlm 261. 14 Ibid, 237.
pemulihan baik material maupun nonmaterial bagi korban pelanggaran hak
asasi manusia15.
Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara
memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Oleh
karena itu perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius, dapat
dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principal Of Justice For Victims
of Crime and Abuse of Power oleh PBB, sebagai hasil dari The Servant United
Nation Conggres on the Prevention of Crime and Treatment of Ofenders, yang
berlangsung di Milan, Italia, September 1985. Dalam deklarasi PBB
dirumuskan salah satu bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada
korban yaitu restitusi16.
Berdasarkan Declaration of Basic Principal Of Justice For Victims of
Crime and Abuse of Power yang dimaksud dengan restitusi adalah pelaku
kejahatan atau pihak ketiga bertanggung jawab untuk mengganti kerugian
kepada korban-korban, keluarga-keluarga atau orang yang bergantung kepada
korban. Penggantian kerugian seperti itu termasuk kembalinya harta atau
pembayaran untuk kerugian yang diderita dan pemulihan hak-hak17. Sedangkan
dalam sistem hukum Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 11
Undang-Unndang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
15 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2010, hlm 54. 16Ibid, hlm 59. 17 Ibid, hlm 119.
Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban restitusi
dirumuskan sebagai:
“Ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh
pelaku atau pihak ketiga”.
Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, hak restitusi khususnya bagi anak sebagai korban tindak
pidana secara spesifik diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak
Pidana. Pembentukan pengaturan mengenai hak restitusi terhadap anak ini
merupakan terobosan baru yang dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai salah
satu upaya untuk lebih menghidupkan nuansa keadilan di tanah air serta
sebagai wujud perlindungan negara pada anak-anak yang menjadi korban
tindak pidana perdagangan orang.
Berikut-bentuk ganti rugi atau restitusi bagi anak yang menjadi korban
tindak pidana berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017
tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana,
adalah sebagai berikut:
1. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan;
2. Ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana;
dan/atau
3. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Pada tindak pidana perdagangan orang hal yang paling menimbulkan
kekhawatiran pada korban anak-anak adalah penderitaan baik secara fisik
maupun psikis anak. Selain itu kerugikan secara materiil (kerugian yang dapat
dihitung) dan kerugian secara immateriil (yang tidak dapat dihitung) pada anak,
kerugian tersebut dapat berupa rasa malu, kehilangan harga diri, rendah diri18,
ditambah lagi berbagai biaya yang harus ditanggung anak dan keluarga dalam
proses peradilan serta resiko nama baik anak dan keluarga yang dapat saja
tercoreng dilingkungan terdekatnya akibat tindak pidana perdagangan orang.
Kerugian ini seharusnya juga ditanggung oleh pelaku melalui ganti kerugian
atau restitusi, Gelaway merumuskan lima tujuan dari kewajiban pelaku untuk
mengganti kerugian, yaitu19:
1. Untuk meringankan penderitaan korban;
2. Sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan;
3. Sebagai salah satu cara merehabilitas terpidana;
4. Untuk mempermudah proses peradilan;
5. Dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk
tindakan balas dendam.
18Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi
Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. 19 Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi & Hukum
Pidana Islam, Grhadhika Press, Jakarta, 2004, hlm 65.
Mengenai mekanisme pelaksanaan hak restitusi terhadap anak sebagai
korban tindak pidana berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017
tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana,
adalah sebagai berikut:
1. Permohonan Restitusi diajukan oleh pihak korban; Pihak korban
sebagaimana dimaksud terdiri atas orang tua atau wali anak yang
menjadi korban tindak pidana, ahli waris, orang yang diberi kuasa
oleh orang tua, wali, atau ahli waris anak dengan surat kuasa;
2. Permohonan Restitusi diajukan secara tertulis dalam Bahasa
Indonesia di atas kertas bermaterai kepada pengadilan;
3. Permohonan restitusi kepada pengadilan sebagaimana dimaksud
diatas yang diajukan sebelum adanya putusan pengadilan, diajukan
melalui tahap:
a. Penyidikan, pada tahap ini penyidik memberitahukan kepada pidak
korban mengenai hak anak yang menjadi korban tindak pidana
untuk mendapatkan restitusi dan tata cara pengajuannya;
b. Penuntutan, pada tahap ini penuntut umum memberitahukan kepada
pidak korban mengenai hak anak yang menjadi korban tindak
pidana untuk mendapatkan restitusi dan tata cara pengajuannya
pada saat sebelum dan/atau dalam proses persidangan.
4. Selain melalui tahap penyidikan atau penuntutan, permohonan hak
restitusi dapat diajukan melalui Lembaga Perlindungan Korban dan
Saksi (LPSK) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5. Mengenai Permohonan Restitusi yang diajukan setelah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat
diajukan melalui Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi (LPSK)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang
Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana,
merupakan langkah maju dalam memastikan anak mendapatkan perlindungan
hukum dari negara20. Untuk itu, agar upaya pemerintah yang sedemikian ideal
tersebut dapat berjalan sesuai dengan apa yang dicita-cita kan negara maka
diperlukan peran aktif penegak-penegak hukum maupun masyarakat luas untuk
memberikan restutisi pada anak korban tindak pidana perdagangan orang,
jangan sampai amanat negara melalui . Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak
20 Angel (www.wartaekspres.com), 2017, KPAI: Anak Korban Tindak Pidana Berhak
Mendapat Restitusi, https://www.wartaekspres.com/kpai-anak-korban-tindak-pidana-berhak-
mendapat-restitusi/ , diakses Pada Tanggal 10 Februari Pukul 10.20 WIB.
Pidana tersebut hanya tertuang dalam kata-kata tanpa ada realisasi pada sistem
peradilan tindak pidana perdagangan orang.
Perlu diperhatikan apakah penegak hukum sudah benar-benar
melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagaimana yang sudah ditegaskan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Dalam
mengupayakan pemenuhan restitusi pada anak penegak hukum wajib
mengutamakan kepentingan dan kebutuhan korban daripada kepentingan-
kepentingan tertentu. Apabila penegak hukum pasif atau bahkan lalai dalam
melaksanakan kewajibannya untuk mengupayakan pemberian hak restitusi pada
anak, adakah konsekuensi untuk penegak hukum itu.
Penulis sangat memahami, bagi seorang anak bukanlah hal gampang
untuk berhadapan langsung dengan permasalahan hukum yang krusial, seorang
anak dapat merasa dihantui berbagai macam ketakutan baik secara fisik, mental,
dan finansial ketika menghadapi permasalahan hukum. Maka dari itu, idealnya
pengajuan pemenuhan restitusi terhadap anak korban tindak pidana
perdagangan dilakukan oleh orang tua atau wali anak yang tentunya lebih
mantap dan siap apabila berhadapan dengan hukum. Namun, dewasa ini masih
banyak terdapat masyarakat Indonesia yang buta akan hukum dinegaranya,
bahkan terkadang dalam beberapa contoh kasus ada orang tua yang tidak
menyadari bahwa anaknya adalah korban tindak pidana perdagangan orang.
Padahal hak restitusi sangat penting bagi anak sebagai korban tindak pidana
perdagangan orang, salah satunya ganti rugi yang diberikan pada anak untuk
perawatan psikologis guna memulihkan keadaan psikis dan traumatik anak
akibat tindak pidana perdagangan orang.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis ingin mengkaji dan
membahas masalah pemenuhan restitusi pada anak korban tindak pidana
perdagangan orang secara komprehensif dalam sebuah penilitian dengan judul:
URGENSI PEMENUHAN HAK RESTITUSI TERHADAP ANAK
SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian mengenai latar belakang Urgensi Pelaksanaan Hak
Restitusi Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
diatas , maka permasalahan yang dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa saja hal-hal yang melatarbelakangi pentingnya pemenuhan hak
restitusi terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan
orang?
2. Bagaimana peran penegak hukum dalam mengupayakan
pelaksanaan hak restitusi terhadap anak sebagai korban tindak
pidana perdagangan orang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas maka tujuan yang akan
dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi
pentingnya pemenuhan hak restitusi terhadap anak sebagai korban
tindak pidana perdagangan orang;
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan peran penegak hukum dalam
mengupayakan pelaksanaan hak restitusi terhadap anak sebagai
korban tindak pidana perdagangan orang.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini yang terbagi menjadi 2 (dua), yaitu
sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
a. Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi
penulis agar lebih memahami mengenai pelaksanaan hak
restitusi terhadap anak sebagai korban tindak pidana
perdagangan orang;
b. Untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahan
kajian bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
Hukum Pidana khususnya pada tindak pidana perdagangan
orang
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan
bagi mahasiswa Fakultas Hukum khususnya program
kekhususan hukum pidana, maupun bagi masyarakat luas
untuk dapat memahami pentingnya pelaksanaan hak restitusi
terhadap anak korban tindak pidana perdagangan orang;
b. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pertimbangan serta
masukan bagi para penegak hukum dalam melaksanakan
pemenuhan hak restitusi terhadap anak sebagai korban tindak
pidana perdagangan orang.
E. Kerangka Teori
1. Teori Perlindungan Hukum
a) Pengertian Perlindungan Hukum
Menurut beberapa ahli yang dimaksud perlindungan hukum,
adalah sebagai berikut:
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada
masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan
yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga
prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah
dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh
keadilan sosial.21
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan
untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai
atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam
menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama
manusia.22
Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan
hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif
dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk
mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan
pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan
bwedasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk
21 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Cetakan V), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.55. 22 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia, Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2003, hlm 14.
menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di
lembaga peradilan.23
Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau
upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang
oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk
mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan
manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.24
Melihat dari pengertian mengenai teori perlindungan hukum
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum adalah
segala bentuk upaya hukum yang dilakukan guna melindungi harkat
dan martabat manusia dan penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Pada prinsipnya perlindungan hukum di Indonesia merupakan
implementasi dari Pancasila, dikatakan demikian karena tiap-tiap sila
pada Pancasila mengandung nilai-nilai kehidupan yang menjunujung
tinggi harkat dan martabat manusia.
b) Perlindungan Hukum Pada Korban Tindak Pidana
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal
yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-
23 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya,
1987. hlm.29 24 Ray Pratama Siadari, 2015, Teori Perlindungan Hukum,
http://raypratama.blogspot.co.id/2015/04/teori-perlindungan-hukum.html, diakses Pada Tanggal 15
Februari 2018 Pukul 10.15 WIB.
undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Perlindungan Hukum Preventif
2. Perlindungan Hukum Preventif adalah perlindungan yang
diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah
sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk
mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-
rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu
kewajiban.
3. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan
akhir berupa sanksi denda, penjara, dan hukum yang
diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau sudah
dilakukan pelanggaran.
Berdasarkan uraian diatas, maka perlindungan hukum terhadap
korban tindak pidana, khususnya tindak pidana perdagangan orang
diberikan dalam bentuk represif. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana
perdagangan orang diberikan berbagai sanksi. Pengaturan mengenai
sanksi tersebut diatur melalui perundang-undangan, seperti Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam kedua
undang-undang ditegaskan perlindungan hukum terhadap korban atau
korban tindak pidana perdagnagn orang dari para pelaku kejahatan.
Para pelaku diberi sanksi yang beragam, salah satunya korban dapat
memintakan hak restitusi pada pelaku guna memperbaiki keadaan fisik
atupun psikis korban.
2. Teori Viktimologi
a) Pengertian Viktimologi
Viktimologi, berasal dari bahasa latin victima yang berarti
korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi
berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban penyebab
timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang
merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial 25 .
Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang
mempelajari suatu viktimalisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan
manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. 26 Menurut
J.E.Sahetapy, pengertian Viktimologi adalah ilmu atau disiplin yang
25 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha
Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm 43. 26Ibid, hlm 43.
membahas permasalahan korban dalam segala aspek, 27 sedangkan
menurut Arief Gosita Viktimologi adalah suatu bidang ilmu
pengetahuan mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan korban
dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupannya.
Viktimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang
korban kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia yang menimbulkan
penderitaan mental, fisik, dan sosial. Tujuannya adalah untuk
memberikan penjelasan mengenai peran yang sesungguhnya para
korban dan hubungan mereka dengan para korban serta memberikan
keyakinan dan kesadaran bahwa setiap orang mempunyai hak
mengetahui bahaya yang dihadapi berkaitan dengan lingkungannya,
pekerjaannya, profesinya dan lain-lainnya. Pada saat berbicara tentang
korban kejahatan, cara pandang kita tidak dilepaskan dari viktimologi.
Melalui viktimologi dapat diketahui berbagai aspek yang berkaitan
dengan korban, seperti : faktor penyebab munculnya kejahatan,
bagaimana seseorang dapat menjadi korban, upaya mengurangi
terjadinya korban kejahatan, hak dan kewajiban korban kejahatan.28
Menurut kamus Crime Dictionary, yang dikutip Bambang
Waluyo :29
27J.E. Sahetapy, Bungai Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995, hlm 158. 28 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahtan
Antara Norma dan Realita, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 33. 29 Bambang Waluyo, Op.Cit, hlm 9.
“Victim adalah orang telah mendapatkan penderitaan fisik atau
penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan
mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan
oleh pelaku tindak pidana dan lainnya.”
Selaras dengan pendapat di atas adalah Arief Gosita, yang
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah :30 Mereka
yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang
lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.
Korban juga didefinisikan oleh van Boven, yang merujuk
kepada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban
Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan sebagai berikut :31
“Orang yang secara individual maupun kelompok telah
menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental,
penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan
yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakannya
(by act) maupun karena kelalaian (by omission).”
b) Tujuan Viktimologi
Tujuan Viktimologi dikatakan Muladi adalah sebagai berikut:32
1) Menganalisis pelbagai aspek yang berkaotan dengan kirban;
2) Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya
viktimisasi; dan
30 Ibid, hlm 9. 31 Rena Yulia, Op.Cit, hlm 50-51. 32 Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 2007,
hlm.82.
3) Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan
manusia.
c) Ruang Lingkup Viktimologi
Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti
peranan korban pada saat terjadinya tindak pidana, hubungan antara
pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban
dalam sistem peradilan pidana.33
Objek studi atau ruang lingkup viktimologi menurut Arief
Gosita, adalah sebagai berikut : 34
1) Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalistik;
2) Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal;
3) Para peserta terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu
viktimisasi, kriminal atau kriminalistik, seperti para korban,
pelaku, pengamat, pembuat Undang-Undang, polisi, jaksa,
hakim, pengacara dan sebagainya;
4) Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal;
5) Respons terhadap suatu viktimisasi kriminal argumentasi
kegiatankegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau
viktimologi, usaha-usaha prevensi, refresi, tindak lanjut
33 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, Op.Cit., hlm 43. 34 Arief Gosita, Op.Cit., hlm 39.
(ganti kerugian), dan pembuatan peraturan hukum yang
berkaitan dengan faktor-faktor viktimogen/ kriminogen.
Sedangkan menurut J. E. Sahetapy, ruang lingkup viktimologi
meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan
oleh suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah
kejahatan, termasuk pola korban kecelakaan, dan bencana alam selain
dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.35
4. Teori Sistem Peradilan Pidana
a) Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana
Pengertian sistem peradilan pidana menurut beberapa ahli,
diantaranya:
1) Mardjono Reksodiputro
Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian
kejahatan yang terdiri dari lembaga – lembaga kepolisian.
Kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan terpidana.
Dikemukakan pula bahwa sistem peradilan pidana ( criminal
justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan. 36 Menanggulangi diartikan sebagai
mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
35Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, Op.Cit., hlm 34. 36Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana(Criminal Justice System) Perspektif
Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, Penerbit Bina Cipta, Jakarta, 1996, Hlm. 15.
masyarakat. Pengendalian kejahatan agar masih dalam batas
toleransi masyarakat tidak berarti memberikan toleransi terhadap
suatu tindak kejahatan tertentu atau membiarkannya untuk terjadi.
Toleransi tersebut sebagai suatu kesadaran bahwa kejahatan akan
tetap ada selama masih ada manusia di dalam masyarakat. Jadi,
dimana ada masyarakat pasti tetap akan ada kejahatan.
2) Muladi
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan
(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai
sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana
formil maupun hukum pelaksanaan pidana. 37 Namun demikian
kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau
konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi
hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa
kepada ketidakadilan. Mengartikan sistem peradilan pidana
sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme
administrasi peradilan pidana dan peradilan pidana sebagai suatu
sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-
37 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1995, Hlm. Viii Dan 18.
undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku
sosial.38
3) Remington dan Ohlin
Remington dan Ohlin mengartikan sistem peradilan pidana
sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme
administrasi peradilan pidana dan peradilan pidana sebagai suatu
sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang –
undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku
sosial.39
Adapun tujuan sistem peradilan pidana menurut Mardjono
Reksodiputro adalah :40
1. Mencegah masyarakat menjadi objek/korban;
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan
yang bersalah dipidana;
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan
kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
b) Kedudukan Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana
38 Ibid, hlm 4. 39 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana(Criminal Justice System) Perspektif
Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, Penerbit Bina Cipta, Jakarta, 1996, Hlm 14. 40 Ibid, hlm 15.
Di Indonesia sekarang ini sedang berlangsung proses
pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi
pembaharuan hukum pidana formal, hukum pelaksanaan materiil dan
pelaksanaan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut bersama-sama atu
secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam
pelaksanaannya.41
Hakikat pembaharuan hukum pidana mengandung makna suatu
upaya untuk melakukan orientasi dan reformasi hukum pidana yang
sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan
sosio=kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,
kebijakan kriminal, dan kebijakan hukum di Indonesia.42
Salah satu bagian dari upaya pembaharuan hukum pidana
adalah viktimologi, namun sampai sekarang belum banyak
pembaharuan hukum pidana yang berorientasi melindungi hak-hak
korban dari sebuah tindak pidana yang terjadi. Keberadaan viktimologi
selama ini hanya sebatas mempelajari bagaimana dan sejauh mana
peran korban dalam terjadinya sebuah tindak pidana, yang akan
digunakan sebagai acuan memberikan sanksi pidana bagi pelaku tindak
41 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Krimilogi dan Viktimologi, Djambatan,
Jakarta, 2007, Hlm. 38. 42 Barda Nawawi Arief, Perkembangangan Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Pustaka
Magister, Semarang, 2007, hlm. 28.
pidana tersebut, sedangkan korban seringkali terbengkalai setelah
mengalami tindak pidana.
Hingga saat ini negara nampak kurang memperhatikan posisi
korban dalam sistem peradilan pidana, mulai dari berjalannya proses
peradilan pidana hingga setelah proses pemidanaan selesai korban
hanya dapat mengikuti proses tersebut sebagai korban saksi dan pada
akhirnya keterang-keterangan korban tersebut hanya dijadikan sebagai
tolak ukur seberapa besar sanksi yang akan diberikan pada pelaku
tindak pidana, tanpa memperhatikan kepentingan-kepentingan korban
dan kerugian-kerugian yang telah dialami korban baik setelah maupun
sebelum sistem peradilan pidana tersebut berlangsung.
Namun, dewasa ini negara secara perlahan mulai
memperhatikan posisi korban dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari upaya-upaya negara
menciptakan produk-produk hukum guna melindungi korban. Salah
satu produk hukum tersbut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi
Korban Tindak Pidana. Mengingat bahwa anak merupakan salah satu
pihak yang begitu rentan akan tindak pidana maka peraturan tersebut
sangat tepat untuk diberlakukan.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang
Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak negara mewajibkan penyidik dan
penuntut umum untuk memberitahukan kepada pidak korban mengenai
hak anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mendapatkan
restitusi dan tata cara pengajuannya pada saat proses pemidanaan
berlangsung.
Selanjutnya, yang perlu diperhatikan adalah peran aktif dari
penyidik dan penuntut umum tersebut dalam memberitahukan
mengenai restitusi pada pihak korban. Apakah pihak penyidik dan
penuntut umum telah melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang
ditegaskan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang
Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak. Apabila penyidik dan penuntut
umum telah melaksanakan kewajibannya, maka sistem peradilan
pidana di Indonesia telah berlangsung sesuai tujuan dan cita-cita luhur
bangsa Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian pada penelitian ini berkonsentrasi pada urgensi
pelaksanaan hak restitusi terhadap anak sebagai korban tindak pidana
perdagangan orang, serta mekanisme pelaksanaan hak retitusi itu sendiri. Selain
itu penelitian ini membahas mengenai penegak hukum yang seharusnya
berperan aktif dalam mengupayakan pemenuhan hak restitusi terhadap anak
korban tindak pidana perdagangan orang.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif
yakni penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi
ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang, atau kontrak)
secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam
masyarakat 43 . Dalam metode penelitian hukum normatif penulis akan
mempelajari teori-teori, asas-asas, serta peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan masalah dalam penelitian ini.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang akan dilakukan penulis dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan Perundang-Undangan
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang diketengahkan. Pendekatan perundang-undangan
dilakukan dalam rangka penelitian hukum untuk kepentingan
praktis maupun penelitian hukum untuk kepentingan akademis44.
43 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
hlm. 134. 44 Dyah Onchtorina Susanti dan A’an Efendi , Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar
Grafika, Jakarta, 2015,hlm. 110.
b. Pendekatan Konseptual
Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak
dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang
belum ada atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang
dihadapi45. Dalam membangun konsep, ia bukan hanya melamun
dan mencari-cari dalam khayalan, melainkan pertama kali ia harus
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang di dalam ilmu hukum46.
3. Jenis dan Sumber Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini,
penulis menggunakan dua jenis data, yaitu:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai
otoritas (autoritatif)47 , pada penelitian ini bahan sekunder yang
digunakan oleh penulis terdiri dari:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
45Ibid, hlm. 115. 46 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 137. 47Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 47.
d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak;
e) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban;
f) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
g) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang
Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban
Tindak Pidana.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang
hukum yang merupakan dokumen tidak resmi. Kegunaan bahan
hukum sekunder adalah memberikan petunjuk kepada peneliti
untuk melangkah, baik dalam membuat latar belakang, perumusan
masalah, tujuan, dan kegunaan penelitian, kerangka teoretis, dan
konseptual, bahkan menentukan metode pengumpulan dan analisis
bahan hukum yang akan dibuat sebagai hasil penelitian48. Dalam
penelitian ini, bahan hukum sekunder yang akan digunakan
penulis adalah sebagai berikut:
48 Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm. 54.
a) Buku-buku mengenai hukum pidana, tindak pidana
perdagangan orang, kriminologi dan viktimologi, sistem
peradilan pidana, dan perlindungan korban;
b) Jurnal-jurnal hukum yang ditulis oleh ahli hukum;
c) Hasil-hasil penelitian seperti skripsi, tesis.
3) Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder; terdiri dari kamus hukum, kamus besar
Bahasa Indonesia, jurnal, surat kabar dan lain sebagainya.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Penelitian
Didalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang akan
dilakukan penulis yaitu melalui studi Kepustakaan. Studi kepustakaan
merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data
tertulis dengan mempergunakan “content analysis”49. Pengumpulan data
terkait dengan penelitian ini akan penulis dapatkan dari buku-buku yang
berhubungan dengan hukum, khususnya buku-buku mengenai tindak
pidana perdagangan orang, korban tindak pidana, dan hak restitusi bagi
korban tindak pidana. jurnal-jurnal ilmiah, dan sumber-sumber tertulis
49Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI- Press, Jakarta, 2007, hlm. 21.
lainnya yang penulis dapatkan baik dari media cetak ataupun media
elektronik.
5. Analisis Data
Analisis bahan hukum dilakukan dengan cara memahami data- data
yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dari
hasil analisis ini kemudian ditarik kesimpulan yang pada dasarnya
merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian
ini.50
6. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan yang digunakan merupakan hasil akhir
penelitian yang disusun sesuai dengan tujuan penelitian. Kesimpulan yang
dimaksud merupakan jawaban atas perumusan masalah atau pertanyaan
dalam penelitian yang dikemukakan secara singkat dan padat tentang
kebenaran dari penelitian.51
Metode penarikan kesimpulan dalam penelitian ini menggunakan
metode induktif. Induktif adalah cara mempelajari sesuatu yang bertolak
dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang umum.
Induktif merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran
50Margono,2003, Metode Pendidikan, Rineka Penelitian Cipta, Jakarta, hlm. 45 51 Beni Ahmad Saehani, Metode Penelitian Hukum, CV Pustaka Setia, Jakarta, 2009, hlm. 93.
secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan
yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun
argumentasi yang diakhiri dengan penyataan yang bersifat umum.52
52Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hlm. 48.
Ali Zainudin. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Amiruddin dan Zainal Asikin.2014. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Arief Barda Nawawi. 2007. Perkembangangan Sistem Pemidanaan Di Indonesia.
Semarang: Pustaka Magister.
Atmasasmita Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme. Jakarta: Penerbit Bina
Cipta.
Chaerudin dan Syarif Fadillah. 2004. Korban Kejahatan dalam Perspektif
Viktimologi & Hukum Pidana Islam.Jakarta: Grahadhika Press.
Gosita Arif. 2004. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan). Jakarta Barat:
PT Bhuana Ilmu Populer.
Hadjon Phillipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya:
PT. Bina Ilmu.
Harefa Beniharmoni. 2016. Kapita Selekta Perlindungan Hukum Bagi Anak.
Yogyakarta: Deepublish (Grup Penerbitan CV Budi Utama), Yogyakarta.
Mansur Dikdik M. Arief dan Elisatri Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban
Kejahtan Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Marzuki Peter Mahmud. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Muchsin. 2003. Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia.
Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret.
Muhammad Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Muladi dan Barda Nawawi. 2007. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: PT. Alumni.
Mulyadi Lilik. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana, Krimilogi dan Viktimologi,
Jakarta: Djambatan.
Muzaffar Chandra, dkk. 2007. Human’s Wrong: Rekor Buruk Dominasi Barat Atas
HAM. Yogyakarta: Pilar Media.
Rahardjo Satjipto.2000. Ilmu Hukum (Cetakan V). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Saehani Beni Ahmad. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: CV Pustaka Setia.
Sahetapy. J. E. 1995. Bungai Rampai Viktimisasi. Bandung: Eresco.
Soekanto Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto Soerjono. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI- Press.
Sunarto. 1990. Metode Penelitian Deskripstif. Surabaya: Usaha Nasional.
Suriasumantri Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Susanti Dyah Onchtorina dan A’an Efendi. 2015. Penelitian Hukum (Legal
Research). Jakarta: Sinar Grafika.
Waluyo Bambang. 2012. Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi. Jakarta: Sinar
Grafika.
Yulia Rena. 2010. Viktimologi Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Perundang-undangan:
Protocol to Prevent, Suppress, And Punish Trafficking In Persons, Especially Women
And Children, Supplementing The United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (Protokol Untuk Mencegah, Menindak, Dan
Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan Anak-Anak,
melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional Yang Terorganisasi).
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi
Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana
Internet:
Akhmad Mustaqim. 2017. Polisi: Korban TPPO ke Suriah Termasuk Anak di Bawah
Umur. https://news.detik.com/berita/d-3593782/polisi-korban-tppo-ke-suriah-
termasuk-anak-di-bawah-umur.
Angel (www.wartaekspres.com). 2017. KPAI: Anak Korban Tindak Pidana Berhak
Mendapat Restitusi. https://www.wartaekspres.com/kpai-anak-korban-tindak-
pidana-berhak-mendapat-restitusi/.
Heru Guntoro/ 2017/ Satgas TPPO Tangkap Pelaku Penjualan Anak dibawah Umur/
https://infonawacita.com/satgas-tppo-tangkap-pelaku-penjual-anak-dibawah-
umur/.
Heru Zls. 2017. 2 Anak di Bawah Umur Asal Bengkulu Utara Jadi Korban
Perdagangan Manusia. https://www.klikwarta.com/2-anak-di-bawah-umur-
asal-bengkulu-utara-jadi-korban-perdagangan-manusia.
Marcheilla Ariesta. 2017. Hampir 80 Persen Korban TPPO adalah Perempuan dan
Anak-anak. http://news.metrotvnews.com/read/2017/10/04/768166/hampir-80-
persen-korban-tppo-adalah-perempuan-dan-anak- .
Ray Pratama Siadari. 2015. Teori Perlindungan Hukum/ http://raypratama.blogspot.co.id/2015/04/teori-perlindungan-hukum.html.