15
URTIKARIA Urtikaria ialah reaksi vaskular akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Angioedema ialah urtikaria yang mengenai lapisan kulit yang lebih dalam daripada dermis, dapat di submukosa atau subkutis, juga dapat mengenai saluran napas, saluran cerna dan organ kardiovaskular. (1) Urtikaria dapat timbul dengan singkat selama 30 menit dan bahkan dapat timbul selama 36 jam. Dapat berukuran milimeter sampai beruuran besar, 6-8 inci. Dilatasi pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas merupakan karakteristik urtikaria pada kulit yang superfisial. Angioedema dapat disebabkan oleh mekanisme yang sama pada urtikaria, tetapi proses patologisnya pada kulit yang lebih dalam, pada jaringan subkutaneus, dan bengkak yang merupakan manifestasi utama dari penyakit ini. (2) I. EPIDEMIOLOGI Urtikaria dan angioedema sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak mengalamai urtikaria dibanding dengan usia muda. Sheldon (1951), menyatakan bahwa rata-rata penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun. Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersamaan dengan angioedema, dan 11% angioedema saja. Sekitar 50% pasien dengan 1

Urt Ikaria

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Urt Ikaria

Citation preview

URTIKARIA

Urtikaria ialah reaksi vaskular akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai

dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat

dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Angioedema

ialah urtikaria yang mengenai lapisan kulit yang lebih dalam daripada dermis, dapat di

submukosa atau subkutis, juga dapat mengenai saluran napas, saluran cerna dan organ

kardiovaskular.(1)

Urtikaria dapat timbul dengan singkat selama 30 menit dan bahkan dapat timbul

selama 36 jam. Dapat berukuran milimeter sampai beruuran besar, 6-8 inci. Dilatasi

pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas merupakan karakteristik urtikaria pada kulit

yang superfisial. Angioedema dapat disebabkan oleh mekanisme yang sama pada urtikaria,

tetapi proses patologisnya pada kulit yang lebih dalam, pada jaringan subkutaneus, dan

bengkak yang merupakan manifestasi utama dari penyakit ini. (2)

I. EPIDEMIOLOGI

Urtikaria dan angioedema sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih

banyak mengalamai urtikaria dibanding dengan usia muda. Sheldon (1951), menyatakan

bahwa rata-rata penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10

tahun atau lebih dari 60 tahun. Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria

bersamaan dengan angioedema, dan 11% angioedema saja. Sekitar 50% pasien dengan

urtikaria kronik ( dengan atau tanpa urtikaria) bebas dari lesi dalam waktu 1 tahun, 65%

dalam waktu 3 tahun dan 85% dalam waktu 5 tahun. Penderita atopi lebih mudah mengalami

urtikaria dibandingkan dengan orang normal. Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin,

baik laki-laki maupun wanita. Umur, ras, pekerjaan, geografis, dan perubahan musim dapat

mempengaruhi hipersensitivitas yag diperankan oleh IgE. Penisilin tercatat sebagai obat yang

lebih sering menimbulkan urtikaria.(1,2)

II. ETIOLOGI

Pada penelitian hampir 80% tidak diketahui penyebabnya tidak diketahui. Diduga

penyebab urtikaria bermacam-macam, diantaranya : obat, makanan, gigitan seranggga,

1

bahkan fotosensitezer, inhalan, trauma fisik, dan infeksi parasit, psikis, genetik, dan penyakit

sistemik.(1,2)

1. Obat

Hampir semua obat sistemik dapat menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau

tipe II. Contohnya ialah obat-obat golongan penisilin, sulfonamid, anagesik, pencahar,

hormon, dan diuretik. Ada pula obat yang secara nonimunologik langsung meransang sel mas

untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium dan zat kontras. Aspirin menimbulkan

urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakidonat.(1)

2. Makanan

Makanan protein atau bahan lain yang dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna,

penyedap rasa, atau bahan pengawet. (1)

3. Gigitan/sengatan serangga

Lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV). Nyamuk, kepinding

dan serangga lainnya dapat menyebabkan urtikaria. (1)

4. Bahan fotosensitizer

Bahan semacam griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik dan sabun germisid

sering menimbulkan urtikaria. (1)

5. Inhalan

Inhalan berupa serbuk sari bunga, spora jamur, debu, bulu binatang, dan aerosol

umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe 1). (1)

6. Trauma fisik

Dapat disebabkan oleh faktor dingin, yakni berenang dan memegang benda dingin; faktor

panas misalnya sinar matahari, sinar U.V, radiasi, dan panas pembakaran; faktor tekanan

yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang. Dapat timbul urtika akibat goresan dengan benda

tumpul beberapa ment sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme

atau fenomena Darier. (1)

7. Infeksi

Infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit. Misalnya infeksi bakteri, tonsil,

gigi, dan sinusitis. (1)

8. Psikis

2

Dapat memacu sel mast dan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi vaskular. (1)

9. Genetik

Genetik berperan, meskipun jarang menunjukkan autosomal dominan.(1)

III.PATOGENESIS

Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat,

sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat.

Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Histamin merupakan

merupakan mediator yang sangta penting dalam urtikaria, ketika histamin masuk di kulit,

maka tubuh memproduksi 3 respons Lewis, eritema lokal (vasodilatasi), eritema yang

berlebihan pada batas dari eritema lokal, dan edema. Pada nonimunologik, siklik AMP

(adenosine mono phospate) memegang peranan penting dalam pelepasan mediator. Beberapa

bahan kimia golongan amin dan derivat amidin, seperti morfin, kodein, polimiksin, dan

beberapa anibiotik berperan dalam keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin. Faktor

fisik, misalnya dingin, trauma tumpul, sinar X. Beberapa keadaan misalnya demam, panas,

emosi, dan alkohol. Pada imunologik, lebih berperan pada urtikaria akut dibanding kronik;

biasanya IgE terikat pada permukaan sel mas dan atau sel basofil, karena adanya reseptor Fc,

bila ada antigen yang berikatan dengan IgE, maka terjadi granulasi sel, sehingga mampu

melepaskan mediator. Keadaan ini tampak jelas pada reaksi tipe I (anafilaksis) misalnya

alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik

maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu

merangsang sel mas dan basofil, mislanya akibat toksin bakteri. (2,3)

3

Gambar 1. Diagram sistematik aktivasi sel mas kutaneus oleh antibodi antireseptor Imunoglobulin G

(IgG) , diikuti oleh aktivasi komplemen, pelepasan C5a, dan augmentasi pelepasan sel mast.

(dikutip dari kepustakaan 2)

IV. DIAGNOSIS

V.1 Manifestasi Klinis

Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau tertusuk. Klinis tampak

eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak lebih

pucat, terdapat juga elevasi pada kulit yang terkena lesi. Bentuknya dapat papular seperti

urtikaria akibat sengatan serangga. Besarnya dapat lentikular, numular sampai plakat. Bila

mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan submukosa atau subkutan,

juga berberapa alat dalam seperti saluran napas dan cerna yang disebut angioedema. Pada

keadaan ini jaringan yang lebih sering terkena ialah muka, disertai sesak napas, serak dan

rinitis. (1,4,5)

Ukuran lesi bervariasi dari 2 mm smapai 4 mm berupa papul edematosa pada

urtikaria kolinergik, sampai bintik yang besar seperti sarang lebah yang merupakan lesi

tunggal yang dapat menutupi ekstremitas. Bentuknya dapat berbentuk bundar atau oval;

ketika konfluen, dapat menjadi polisiklik. Lesi pada urtikaria sendiri timbul tiba-tiba, jarang

menetap lebih dari 24 sampai 48 jam dan dan dapat terus berulang sampai waktu yang tak

dapat ditentukan. Pada keadaan ini, rasa gatal terasa hebat.(2,3)

Gambar 2. Urtikaria dan angioedema. Pasien ini Gambar 3. Reaksi topikal dermografik yang muncul mengalami urtikaria pada muka, leher, dan badan pada garukan di kulit. bagian atas dengan angioedema pada mata.

(dikutip dari kepustakaan 2)

4

V.2 Laboratorium

Pada pemeriksaan darah rutin, ditemukan protein dasar mayor pada granula

eosinofil yang secara abnrmal meninggi pada lebih dari 40% penderita urtikaria kronik,

meskipun hitung jenis eosinofil periferal normal. Pada pemeriksaan fungsi tiroid, sering

ditemukan autoantibodi tiroid pada wanita dengan urtikaria kronik idiopatik, tetapi klinis

yang berhubungan dengan peningkatan fungsi tiroid jarang ditemukan dan pada umumnya

penanganan dari kelainin ini tidak menyembuhkan urtikaria tersebut. (4)

Pada pemeriksaan histopatologis, ditemukan kelainan edema dermal ringan dan

marginasi dari neutrofil dalam kapiler dan venula. Kemudian, neutrofil berpindah dari

pembuluh darah menuju ke ruang intersisium, eosinofil dan limfosit juga terlihat di dalam

infiltrat. Karioreksis (fragmen hasil destruksi sel) dan deposit fibrin dalam pembuluh darah

tidak terlihat, sehingga dapt membantu membedakan antara urtikaria dan vaskulitis. Pada

biopsi memperlihatkan perivaskular yang kaya akan infiltrat neutrofil. Pada Urtikaria kronik,

dapat digunakan tes in vivo dan in vitro untuk melihat pelepasan histamin fungsional dari

basofil dan sel mast. Tes kulit autolog merupakan tes in vivo yang memperlihatkan

autoreaktifitas pada pasien urtikaria kronik, pemeriksaan in vitro sendiri memperihatkan

autoantibodi seperti uji pelepasan histamin basofil dan immunoassay (4,)

V. DIAGNOSIS BANDING

Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisis yang cermat serta ditunjang

dengan pemeriksaan tambahan, maka ditegakkan diagnosis urtikaria dan penyebabnya.

Walaupun demikian, hendaknya dipikirkan beberapa penyakit yang mirip dan sering disertai

dengan urtikaria.(1,3)

1. Urtikaria Vaskulitis

Merupakan episode berulang dari angioedema dan urtikaria kronik. Bentuk

edematosa yang dari venulitis neksrositik, yang terjadi pada pasien dengan dengan

kelainan serum, gangguan jaringan ikat, infeksi dan urtikaria fisik. Lesi kulitnya berupa

eritematosa, kadang disertai indurasi, dan dpat berupa purpura, nodul dan bulla.

Gejalanya dapat berupa gatal hebat dan rasa terbakar.(2,3)

5

Gambar 4. Urtikaria vaskulitis : karakter perisiten dari lesi yang ditemukan pada 24 jam sebelumnya

(dikutip dari kepustakaan 2)

2. Fixed Drug Eruption

Penyakit ini biasa menampakkan eritemoatosa, soliter, makula yang berwarna merah

terang dan dapat barupa plak edematosa. Kebanyakan pasien mengeluh serasa terbakar

dan tersengat. Sering juga disertai dengan demam, malaise dan rasa tidak nyaman

diperut. Disebabkan oleh lebih dari 100 jenis obat, termasuk ibuprofen, naproksen dan

tetrasiklin(2,3)

Gambar 4. Fixed Drug Eruption: tetrasiklin. Plak yang terlihat jelas pada lutut. Bersatu dengan lesi satelit

(dikutip dari kepustakaan 2)

6

3. Dermatitis Herpetiformis

Dermatitis herpetiformis merupakan penyakit kulit yang menahun dan residif, ruam

bersifat polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan simetrik, serta

disertai rasa gatal yang hebat. Tempat predileksinya ialah punggung, daerah sakrum,

bokong, daerah ekstensor, di lengan atas, sekitar siku, dan lutut.(1,2)

Gambar 5. Dermatitis herpetiformis: Kelompok berupa papul, vesikel dan krusta di punggung

(dikutip dari kepustakaan 2)

VI. PENATALAKSANAAN

Strategi pengelolaan urtikaria akut mencakup langkah-langkah pencegahan,

antihistamin dan kortikosteroid. Untuk urtikaria, antihistamin adalah terapi utama.

Kortikosteroid dan berbagai imunomodulator/terapi imunosupresif juga dapat digunakan

untuk kasus yang lebih parah atau untuk pasien-pasien yang mengalami respon yang buruk

terhadap antihistamin. Antihistamin H1 merupakan obat yang diremondasikan sebagai terpai

lini pertama pada urtikaria kronik, antagonis reseptor leukotrin diindikasikan sebagai terapi

lini kedua, sedangkan obat-obatan imunosupresif seperti kortikosteroid, azatioprin, atau

siklosporin A digunakan untuk penyakit yang lebih berat (5)

1. Pengobatan Sistemik

7

Antihistamin

- Antihistamin H1-reseptor, misalnya, feksofenadin, desloratadin, loratadin,

setirizin, merupakan terapi utama untuk urtikaria. Agen ini telah terbukti secara

signifikan lebih efektif dibandingkan plasebo untuk pengobatan urtikaria akut dan

kronis. (5)

- Antihistamin H2-reseptor, seperti simetidin, ranitidin dan nizatidin, juga dapat

membantu pada beberapa pasien dengan urtikaria. Namun, agen ini tidak boleh

digunakan sebagai monoterapi karena mereka memiliki efek terbatas pada

pruritus. (5)

Antihistamin efektif jika diminum setiap hari sesuai dengan kebutuhan. Jika gejala

dapat dikendalikan dengan dosis antihistamin standar, maka pengobata tersebut dapat

dilanjutkan selama beberapa bulan. Kadang-kadang menghentikan terapi untuk waktu yang

singkat digunakan untuk mengetahui apakah urtikaria secara spontan telah diselesaikan. Pada

pasien yang tidak mencapai kontrol gejala yang memadai pada dosis standar, maka biasanya

dosis yang digunakan diatas standar terapi. Bahkan, berdasarkan konsensus dan pedoman

Eropa saat ini menyarankan penderita antihistamin hingga empat kali dari dosis yang

dianjurkan pada pasien yang gejalanya menetap meskipun telah diberi terapi standar. Sebagai

contoh, dosis hingga 40 mg cetirizine, 20 mg desloratadine, dan 480 mg fexofenadine dapat

digunakan pada orang dewasa. Pendekatan ini cukup efektif, tapi masih membutuhkan

konfirmasi lebih lanjut. Jika target dari terapi tersebut tidak tercapai, maka dapat diberikan

kortikosteroid jangka pendek. (5)

Kortikosteroid

Untuk beberapa pasien dengan urtikaria berat yang tidak cukup responsif terhadap

antihistamin, kortikosteroid oral (misalnya, prednison, hingga 40 mg / hari selama 7 hari) dapat

diberikan. Namun, terapi jangka panjang kortikosteroid harus dihindari mengingat efek

samping penggunaan jangka panjang kortikosteroid dan kemungkinan peningkatan toleransi

untuk agen ini. Hipersensitivitas kortikosteroid dapat terjadi pada kortikosteroid itu sendiri.

Hidrokortison Succinate esters merupakan bahan yang paling bertanggung jawab terhadap

reaksi tipe 1 alergi yang selanjutnya dapat merubah molekul steroid menjadi antigen yang

komplit. (5)

8

2. Pengobatan Topikal

Dapat diberikan secara simtomatik, misalnya antipruritus didalam bedak atau

bedak kocok.(1)

VII. PROGNOSIS

Urtikaria akut prognosisnya lebih baik, karena penyebabnya cepat dapat diatasi,

urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.(1)

9

VIII.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aisah S, Urtikaria, dalam Djanda A, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi V.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007, p: 169-175

2. Kaplan P. A, Urticaria and Angioedema. Fritzpatrick Dermatology in General

Medicine, 7th edition. New York : Mcgraw-Hill Medicine, 2008, p : 330-343

3. Habif PT. Urticaria and Angiodema. Clinical Dermatology : A Color Guide to

Diagnosis and Therapy, 4th Edition. Philadelphia : Elsevier Mosby, 2004.

4. Burns DA, Acne, Erhytema and Urticaria. Andrew’s Disease of The Skin :

Clinical Dermatology. 9th edition. 2000.

5. Kanani, et.al. Urticaria and angioedema. Allergy, Asthma and Clinical

Immunology. 2011, 7 (Suppl 1): S9.

10