138
Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keanekaragaman hayati Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan, untuk itu negara berkewajiban melindunginya melalui penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati dengan mengelola dan memanfaatkannya secara lestari, selaras, serasi, seimbang, dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; b. bahwa penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati saat ini dirasa masih kurang efektif karena lebih mengedapankan paradigma pelindungan tanpa memajukan aspek pemanfaatan secara berkelanjutan dan lestari, perubahan sistem pembagian kewenangan di bidang pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi, tumpang tindih dan ketidakjelasan kewenangan antar kementerian di bidang konservasi, belum memberikan peran yang maksimal kepada kepada masyarakat hukum adat dan masyarakat sekitar daerah konservasi, minimnya peran serta masyarakat, serta kurang mendukung upaya mengurangi dampak perubahan iklim, sehingga harus segera direspons agar penyelenggaraan konservasi dapat berjalan lebih optimal; c. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan 1

· Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

  • Upload
    ngobao

  • View
    218

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN...

TENTANGKONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa keanekaragaman hayati Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan, untuk itu negara berkewajiban melindunginya melalui penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati dengan mengelola dan memanfaatkannya secara lestari, selaras, serasi, seimbang, dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

b. bahwa penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati saat ini dirasa masih kurang efektif karena lebih mengedapankan paradigma pelindungan tanpa memajukan aspek pemanfaatan secara berkelanjutan dan lestari, perubahan sistem pembagian kewenangan di bidang pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi, tumpang tindih dan ketidakjelasan kewenangan antar kementerian di bidang konservasi, belum memberikan peran yang maksimal kepada kepada masyarakat hukum adat dan masyarakat sekitar daerah konservasi, minimnya peran serta masyarakat, serta kurang mendukung upaya mengurangi dampak perubahan iklim, sehingga harus segera direspons agar penyelenggaraan konservasi dapat berjalan lebih optimal;

c. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya belum mampu menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati, substansinya masih tersebar di beberapa peraturan, belum mengakomodir beberapa substansi terkait ratifikasi internasional di bidang konservasi, kewenangan penyidik yang masih terbatas, dan ketentuan sanksi yang ringan, sehingga perlu diganti;

1

Page 2: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Mengingat:

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati;

Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DanPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Konservasi adalah tindakan pelindungan, pemanfaatan, dan pemulihan

yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, dan berkelanjutan dengan menjamin kelestarian dan kesinambungan persediaannya, serta tetap memelihara dan meningkatkan kualitas dan nilainya dalam rangka memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi masa mendatang.

2. Keanekaragaman Hayati adalah keanekaragaman di antara organisme hidup dari seluruh sumber, baik yang ada di daratan maupun di perairan beserta proses dan fungsi ekologisnya, sehingga terbentuk keanekaragaman genetik di dalam spesies, keanekaragaman di antara spesies, dan keanekaragaman ekosistem.

3. Konservasi Keanekaragaman Hayati adalah tindakan pelindungan, pemanfaatan, dan pemulihan terhadap Keanekaragaman Hayati.

4. Ekosistem adalah hubungan timbal balik antara komunitas tumbuhan, Satwa, dan mikroorganisme dengan lingkungan non hayati yang berinteraksi secara dinamis dan berfungsi sebagai suatu satuan ekologi dalam alam.

5. Sumber Daya Genetik, yang selanjutnya disingkat SDG adalah material Tumbuhan, Satwa, atau mikroorganisme yang mengandung unit-unit

2

Page 3: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

yang berfungsi sebagai pembawa sifat keturunan, baik yang bernilai aktual maupun potensial untuk menciptakan galur, rumpun, atau spesies baru, yang mempunyai nilai nyata atau potensial yang diperoleh dari kondisi in situ dan/atau kondisi ex situ di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

6. Spesies adalah individu, populasi, atau agregasi semua jenis tumbuhan atau Satwa, sub spesies tumbuhan atau Satwa, dan populasi dari padanya yang secara geografis terpisah serta memiliki sifat morfologi, anatomi, dan fisiologi tertentu.

7. Spesimen adalah fisik tumbuhan atau Satwa, baik yang hidup maupun mati, termasuk bagian atau turunan dari padanya yang masih dapat dikenali secara visual maupun dengan teknologi yang ada, termasuk Spesimen yang dinyatakan di dalam label dari produk Spesies kategori I tanpa harus dibuktikan keberadaannya.

8. Mikroorganisme adalah makhluk hidup sederhana yang terbentuk dari satu atau beberapa sel yang berukuran mikroskopik, berupa tumbuhan atau hewan yang biasanya hidup secara parasit atau saprofit.

9. Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di air.

10. Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, air, dan/atau udara.

11. Kawasan Konservasi adalah Kawasan dengan ciri khas tertentu, yang berada di darat, di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi, dan di laut lepas yang ditetapkan oleh Pemerintah dan dikelola untuk terwujudnya Konservasi Keanekaragaman Hayati berserta jasa ekosistemnya.

12. Kawasan Suaka Alam adalah Kawasan Konservasi yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pelindungan Keanekaragaman Hayati yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

13. Kawasan Pelestarian Alam adalah Kawasan Konservasi yang mempunyai fungsi pelindungan sistem penyangga kehidupan, pelindungan Keanekaragaman Hayati, serta pemanfaatan secara lestari Keanekaragaman Hayati.

14. Konservasi di dalam habitat alamnya yang selanjutnya disebut konservasi in situ adalah Konservasi Keanekaragaman Hayati yang dilakukan dalam habitat alaminya.

15. Konservasi di luar habitat alaminya yang selanjutnya disebut konservasi ex situ adalah Konservasi Keanekaragaman Hayati yang dilakukan di luar habitat alaminya.

16. Cagar Biosfer adalah Kawasan Konservasi yang terdiri dari Ekosistem daratan dan perairan yang dilindungi dan dilestarikan, guna mencapai pembangunan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai budaya setempat yang dapat dipergunakan untuk kepentingan

3

Page 4: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

penelitian dan pendidikan.17. Taman Nasional adalah Kawasan Konservasi yang mempunyai

Ekosistem asli dan memiliki karakteristik istimewa serta secara nasional mempunyai nilai estetika dan ilmiah yang tinggi, yang dikelola dan dimanfaatkan untuk kegiatan tujuan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

18. Masyarakat Hukum Adat adalah Sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, tatanan hukum adat di wilayah adatnya, yang memiliki SDG dan pengetahuan tradisional terkait SDG.

19. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

20. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

21. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

BAB IIASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN

Pasal 2Penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati dilakukan dengan berdasarkan pada asas:a. kelestarian;b. keseimbangan dan keserasian;c. kemanfaatan yang berkelanjutan;d. keterpaduan;e. transparansi dan akuntabilitas;f. kehati-hatian;g. keadilan;h. partisipatif;i. kearifan lokal;j. kemitraan; dank. efisiensi.

Pasal 3Penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati bertujuan untuk:a. mencegah kerusakan atau kepunahan serta menjamin kelestarian fungsi

dan manfaat serta keseimbangan Keanekaragaman Hayati;b. menjamin keberadaan dan Keanekaragaman Hayati dapat dipertahankan

4

Page 5: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

bagi generasi saat ini maupun generasi yang akan datang; c. menjamin pemanfaatan Keanekaragaman Hayati dapat dilakukan secara

lestari dan berkelanjutan;d. menjamin pemulihan Keanekaragaman Hayati yang mengalami degradasi

dan kerusakan; e. meningkatkan dan menjamin keberadaan dan peran serta masyarakat

dalam penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati; f. memelihara proses ekologis dan penyangga sistem kehidupan; dan g. menunjang upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Pasal 4Lingkup pengaturan penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati meliputi:a. perencanaan;b. pelindungan;c. pemanfaatan; d. pemulihan; e. kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;f. Masyarakat Hukum Adat;g. data dan informasi;h. pendanaan;i. peran serta masyarakat;j. kerjasama internasional;k. pengawasan;l. penyelesaian sengketa; danm. penyidikan.

Pasal 5(1)Konservasi Keanekaragaman Hayati dilakukan di dalam kawasan lindung

dan kawasan budidaya, termasuk sumber daya alam yang berada di dalamnya.

(2)Lingkup wilayah Konservasi Keanekaragaman Hayati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:a. Konservasi yang dilakukan di wilayah darat, termasuk di dalam hutan

lindung dan hutan produksi yang memiliki wilayah yang peruntukkannya untuk konservasi, serta di luar kawasan hutan yang memiliki fungsi konservasi;

b. Konservasi yang dilakukan di wilayah perairan, wilayah yurisdiksi, dan laut lepas yang memiliki fungsi konservasi; dan

c. Konservasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal 6(1)Pemerintah Pusat wajib menetapkan luasan Kawasan Konservasi.

5

Page 6: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

(2)Luasan Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari:a. paling sedikit 17% (tiga puluh) persen dari luas kawasan hutan; dan b. paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari luas wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil, wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi, dan di laut lepas;

yang tersebar secara proporsional dan mewakili ekosistem sekitarnya.

Pasal 6A(1) Dalam hal konservasi dilaksanakan di wilayah yurisdiksi dan laut lepas,

penetapan luas Kawasan Konservasi dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan memperhatikan hak, kewajiban, dan kepentingan negara pantai dan/atau negara bendera.

(2) Konservasi di laut lepas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kerjasama internasional melalui organisasi perikanan sub-regional atau regional atau perjanjian kerjasama bilateral atau multilateral lainnya.

(3) Penetapan luas dan kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaksanakan sesuai dengan Konvensi Hukum Laut Internasional dan peraturan hukum internasional lainnya.

Pasal 6BKetentuan mengenai mekanisme, persyaratan, dan tata cara penetapan luasan Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 6A diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 7Penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati dilakukan terhadap:a. SDG;b. Spesies; danc. Ekosistem.

Pasal 8(1) Penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati dilakukan oleh

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan masyarakat.

(2) Penyelenggaraan konservasi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing kementerian, yang meliputi:a. urusan penyelenggaraan konservasi di wilayah darat yang berada di

dalam kawasan hutan, dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan;

b. urusan penyelenggaraan konservasi di wilayah darat yang berada di kawasan budidaya, dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan

6

Page 7: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

urusan pemerintahan di bidang pertanian dan perkebunan;c. urusan penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati di

perairan termasuk, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah perairan, wilayah yurisdiksi dan laut lepas, dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan; dan

d. urusan penyelenggaraan konservasi terhadap SDG dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.

BAB III PERENCANAAN

Pasal 9Perencanaan Konservasi Keanekaragaman Hayati merupakan acuan bagi penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati yang dilakukan secara terintegrasi, efektif, dan partisipatif.

Pasal 10(1) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilakukan

berdasarkan suatu perencanaan yang disusun dari tingkat:a. nasional; danb. provinsi.

(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari rencana jangka panjang, rencana jangka menengah, dan rencana jangka pendek.

(3) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi dengan melibatkan masyarakat.

Pasal 11Perencanaan Konservasi Keanekaragaman Hayati nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a menjadi acuan bagi perencanaan Konservasi Keanekaragaman Hayati tingkat provinsi.

Pasal 12Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 harus memperhatikan:a. kesesuaian peruntukan lahan/kawasan;b. rencana pembangunan nasional dan daerah;c. kelestarian tata nilai kelangsungan kehidupan dan tatanan Ekosistem

penopang keberhasilan pemanfaatan berkelanjutan;d. pengembangan nilai tambah/pola pemanfaatan Keanekaragaman Hayati

yang berkelanjutan; dan

7

Page 8: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

e. pelindungan terhadap kelestarian kearifan tradisional.

Pasal 13Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 12 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IVPELINDUNGANBagian Kesatu

Umum

Pasal 14(1) Penyelenggaraan Konservasi melalui pelindungan Keanekaragaman

Hayati bertujuan untuk:a. menghindarkan jenis Tumbuhan dan Satwa dari bahaya kepunahan;b. menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis Tumbuhan

dan Satwa;c. memelihara keseimbangan dan kemantapan Ekosistem yang

terintegrasi; dand. menjamin kelestarian fungsi dan manfaat Keanekaragaman Hayati

bagi generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.(2) Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan masyarakat.

Pasal 15(1) Penyelenggaraan Konservasi melalui pelindungan Keanekaragaman

Hayati dilaksanakan secara in situ dan ex situ.(2) Pelindungan secara in situ dilakukan dengan membiarkan agar populasi

semua jenis Tumbuhan, Satwa liar, dan mikroorganisme tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya.

(3) Pelindungan secara ex situ dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis Tumbuhan, Satwa liar, dan mikroorganisme untuk menghindari bahaya kepunahan di luar habitat aslinya.

Pasal 16Pelindungan Keanekaragaman Hayati dilakukan terhadap:a. SDG;b. Spesies; danc. Ekosistem.

Pasal 17(1) Pelindungan SDG sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 huruf a

8

Page 9: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

dilaksanakan melalui penetapan status pelindungan genetik dari jenis target dan mikroorganisme penting.

(2) Pelindungan Spesies sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 huruf b dilaksanakan melalui penetapan status pelindungan Spesies.

(3) Pelindungan Ekosistem sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 huruf c dilaksanakan melalui:a. penetapan perwakilan Ekosistem di dalam jaringan Kawasan

Konservasi; dan/ataub. pengelolaan sumber daya hayati dengan praktik terbaik pada

Ekosistem penting yang tidak masuk dalam jaringan Kawasan Konservasi.

Bagian KeduaPelindungan SDG

Paragraf 1Umum

Pasal 18(1) Pelindungan SDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a

bertujuan untuk menjamin agar keberadaan dan keanekaragaman SDG serta kemurnian Spesies dapat dipertahankan.

(2) Pelindungan SDG dilakukan terhadap SDG pada Spesies termasuk mikroorganisme penting baik yang berada di dalam maupun di luar Kawasan Konservasi.

Pasal 19Pelindungan SDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilakukan melalui:a. penetapan Spesies target bagi pelindungan SDG;b. pelindungan SDG bagi Spesies target; c. pengaturan pemanfaatan SDG baik bagi Spesies target maupun Spesies

non-target; dand. pelindungan pengetahuan tradisional yang berasosiasi dengannya.

Paragraf 2Penetapan Spesies Target

Pasal 20Penetapan Spesies target bagi pelindungan SDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dilakukan dengan membuat daftar Spesies yang diprioritaskan bagi pelindungan SDG.

Pasal 21Penetapan prioritas bagi pelindungan SDG Spesies target sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilakukan berdasarkan kriteria:

9

Page 10: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

a. Spesies yang dalam bahaya kepunahan;b. Spesies yang secara langsung diperdagangkan atau bernilai komersial;

atauc. Spesies yang mendukung budidaya.

Pasal 22(1) Penetapan terhadap Spesies target sebagaimana dimaksud dalam Pasal

19 huruf a dan perubahannya ditetapkan masing-masing dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, pertanian dan perkebunan, atau lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya.

(2) Penetapan Spesies target dan perubahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan rekomendasi dari lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan.

Pasal 23Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dan perubahan Spesies target, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 22 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3Pengaturan Pelindungan SDG Spesies Target

Pasal 24(1) Pelindungan SDG bagi Spesies target sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19 huruf b dilakukan melalui:a. pengembangan basis data SDG Spesies target;b. pengaturan pelindungan SDG Spesies target secara in situ; atauc. pengaturan pelindungan SDG Spesies target secara ex situ.

(2) Dalam pengelolaan SDG Spesies target, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, pertanian dan perkebunan, atau lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya menyusun dan melaksanakan strategi konservasi genetik bagi Spesies target.

Pasal 25(1) Pengembangan basis data SDG Spesies target sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a, dilakukan melalui inventarisasi Spesies target.

(2) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, pertanian dan perkebunan, atau lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya, mengembangkan basis data hasil inventarisasi dan riset tentang spesies target.

(3) Pengembangan basis data sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

10

Page 11: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

dilkasanakan setelah berkonsultasi dengan lembaga pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 26Pengaturan pelindungan SDG Spesies target secara in situ sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 ayat (1) huruf b, dilakukan terhadap:a. Spesies yang dalam bahaya kepunahan; danb. Spesies yang diperdagangkan atau bernilai komersial serta Spesies yang

mendukung budaya.Pasal 27

Pengaturan pelindungan SDG secara ex situ sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 ayat (1) huruf c, dilakukan melalui:a. pemeliharaan, pengembangbiakan Satwa liar, atau perbanyakan

Tumbuhan secara buatan di lembaga konservasi ex situ atau di tempat lain di luar habitat aslinya bagi Spesimen hidup;

b. pengembangbiakan Satwa liar di dalam lingkungan terkontrol di luar habitatnya atau perbanyakan Tumbuhan secara buatan di dalam kondisi terkontrol di luar habitatnya; dan

c. pengawetan Spesimen atau materi genetik seperti semen beku, biji atau materi genetik lainnya di dalam alat penyimpan yang dirancang khusus untuk itu.

Paragraf 4Pengaturan Pemanfaatan SDG Bagi Spesies Target dan Non-Target Serta

Pelindungan Pengetahuan Tradisional

Pasal 28(1) Pengaturan pemanfaatan SDG bagi Spesies target maupun non target

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c, dilakukan melalui pengendalian pemanfaatan dengan menerapkan ketentuan akses terhadap SDG.

(2) Pengendalian pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:a. pengembangan sistem perijinan akses terhadap SDG dan

bioprospeksi;b. persetujuan yang diberikan atas informasi di awal oleh penyedia atau

pemilik SDG;c. perjanjian transfer material; dan d. pengembangan kontrak pembagian keuntungan dari akses.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan SDG bagi Spesies target maupun non target sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 29

11

Page 12: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

(1) Pelindungan pengetahuan tradisional yang berasosiasi SDG, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d, dilakukan melalui:a. pengaturan pengakuan melalui hak Masyarakat Hukum Adat atau

masyarakat lokal untuk menentukan penggunaan/pemanfaatan pengetahuan tradisional mereka yang berasosiasi dengan SDG; dan

b. pendaftaran pengetahuan tradisional yang berasosiasi dengan SDG oleh Pemerintah Pusat.

(2) Ketentuan mengenai pelindungan pengetahuan tradisional yang berasosiasi SDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian KetigaPelindungan Spesies

Paragraf 1Umum

Pasal 30(1) Pelindungan Spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)

huruf b, bertujuan untuk:a. mencegah punahnya Spesies Tumbuhan dan Satwa liar; danb. mengurangi keterancaman Spesies dari bahaya kepunahan.

(2) Pelindungan Spesies dilakukan bagi seluruh Spesies Tumbuhan, Satwa liar, dan mikroorganisme.

Pasal 31(1) Pelindungan Spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dilakukan

melalui:a. penetapan status pelindungan Spesies;b. pengaturan pelindungan Spesies sesuai dengan statusnya; danc. pelaksanaan medis Konservasi Spesies Satwa liar.

(2) Pelindungan Spesies dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi, dengan melibatkan masyarakat.

Paragraf 2Penetapan Status Pelindungan Spesies

Pasal 32(1) Penetapan status pelindungan Spesies sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 31 ayat (1) huruf a dilakukan dengan menetapkan Spesies Tumbuhan, Satwa liar, dan mikroorganisme ke dalam kategori pelindungan.

(2) Kategori sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada tingkat keterancaman terhadap kepunahan.

(3) Kategori pelindungan Spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

12

Page 13: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

terdiri atas:a. Spesies kategori I;b. Spesies kategori II; danc. Spesies kategori III.

Pasal 33(1) Spesies kategori I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf

a, merupakan Spesies yang dilindungi secara ketat dan/atau dilindungi penuh.

(2) Penetapan Spesies kategori I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria:a. merupakan Spesies yang populasi di alamnya berada dalam bahaya

kepunahan atau kritis dari bahaya kepunahan;b. secara alami mempunyai populasi yang kecil;c. penyebaran yang terbatas (endemik);d. langka; dan/ataue. Spesies yang menurut konvensi tentang pengendalian perdagangan

flora dan fauna internasional pelindungan dan/atau perdagangannya diatur secara ketat.

Pasal 34(1) Spesies kategori II sebagaimana dalam Pasal 32 ayat (3) huruf b

merupakan Spesies yang dilindungi terbatas dan/atau pemanfaatannya dikendalikan.

(2) Penetapan Spesies kategori II sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan kriteria:a. merupakan Spesies yang saat ini belum berada dalam bahaya

kepunahan, namun akan dapat berada dalam bahaya kepunahan apabila pemanfaatannya tidak dikendalikan;

b. merupakan spesies yang dalam sebagian siklus hidup, tempat, waktu, dan ukurannya apabila tidak dilindungi dapat berada dalam bahaya kepunahan;

c. Spesies yang secara biologis lebih memenuhi kriteria Spesies kategori III, namun yang secara visual mirip dan sulit dibedakan dengan Spesies sebagaimana dimaksud pada huruf a;

d. tingkat reproduksi rendah;e. populasi menurun; dan/atauf. Spesies yang menurut konvensi tentang pengendalian perdagangan

Tumbuhan dan Satwa internasional pelindungan dan/atau perdagangannya termasuk yang dilindungi.

Pasal 35(1) Spesies kategori III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf

c merupakan Spesies yang pemanfaatannya dipantau.(2) Penetapan Spesies kategori III sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan berdasarkan kriteria:

13

Page 14: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

a. merupakan Spesies yang populasinya saat ini melimpah namun pemantauan pemanfaatannya dilakukan dalam rangka mengetahui kapasitas populasinya dalam menerima tekanan pemanfaatan; dan

b. Spesies yang menurut konvensi tentang pengendalian perdagangan Tumbuhan dan Satwa internasional pelindungan dan/atau perdagangannya termasuk yang dilindungi.

Pasal 36Ketentuan kategorisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) tidak berlaku bagi:a. Spesimen pra-pelindungan; danb. Spesimen Tumbuhan.

Pasal 37Spesies kategori II dapat diberlakukan ketentuan Spesies kategori III dalam hal:a. Spesimen Satwa liar hasil pengembangbiakan di dalam lingkungan yang

terkontrol; atau b. Spesimen Tumbuhan hasil perbanyakan Tumbuhan di dalam kondisi yang

terkontrol.

Pasal 38(1) Spesies Kategori I, Kategori II, dan Kategori III sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 32 ayat (3) dapat ditetapkan sebagai spesies kharismatik.(2) Spesies kharismatik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dengan tujuan:a. menjadi duta, ikon atau simbol suatu tempat, daerah atau negara; b. mengundang empati atau kepedulian masyarakat terhadap upaya

perlindungan spesies Tumbuhan, Satwa, dan Ikan; dan c. mempromosikan upaya Konservasi Keanekaragaman Hayati pada

tingkat nasional dan internasional.

Pasal 38A(1)Spesies Kategori I, Kategori II, dan Kategori III sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 32 ayat (3) dapat ditetapkan sebagai spesies kharismatik.(2)Spesies kharismatik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dengan tujuan:a. menjadi duta, ikon atau simbol suatu tempat, daerah atau negara; b. mengundang empati atau kepedulian masyarakat terhadap upaya

perlindungan spesies Tumbuhan, Satwa, dan Ikan; dan c. mempromosikan upaya Konservasi Keanekaragaman Hayati pada

tingkat nasional dan internasional.

Pasal 38B(1)Jenis Spesies kharismatik ditetapkan masing-masing dengan keputusan

14

Page 15: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan perkebunan sesuai dengan kewenangannya.

(2) Penetepan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkonsultasi dengan lembaga pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 39(1) Perubahan kategori status pelindungan Spesies berlaku setelah

dilampauinya masa transisi paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal ditetapkan.

(2) Dalam masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberlakukan ketentuan sementara atau ketentuan antara sebelum status baru diberlakukan.

(3) Ketentuan antara perubahan status pelindungan Spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan:a. lokasi;b. Spesimen; dan/atauc. waktu pemberlakuan perubahan status.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai masa transisi perubahan diatur masing-masing dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan perkebunan sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 40 (1) Bagi Spesies Tumbuhan kategori II pada saat penetapan ke dalam

kategori II, wajib menyertakan anotasi bagian-bagian Spesimen Tumbuhan yang dikendalikan atau dikecualikan dari ketentuan kategori II.

(2) Penetapan anotasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkonsultasi dengan lembaga pemerintah dibidang pengembangan ilmu pengetahuan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai anotasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur masing-masing dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan perkebunan sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 41(1) Penetapan dan perubahan kategori status pelindungan Spesies

dilaksanakan masing-masing oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan perkebunan sesuai dengan kewenangannya berdasarkan

15

Page 16: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

rekomendasi lembaga pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.

(2) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyusun dan/atau memutakhirkan daftar pelindungan yang memuat seluruh Spesies yang masuk di dalam semua kategori status pelindungan termasuk anotasinya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dan perubahan kategorisasi status pelindungan Spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur masing-masing dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan perkebunan sesuai dengan kewenangannya.

Paragraf 3Pengaturan Pelindungan Spesies Sesuai dengan Statusnya

Pasal 42Pengaturan pelindungan Spesies sesuai dengan statusnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b, dilakukan dengan mengelola populasi Spesies Tumbuhan dan Satwa liar dengan cara:a. in situ; dan b. ex situ.

Pasal 43Pengaturan pelindungan Spesies Tumbuhan dan Satwa liar dengan cara in situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a, bagi Spesies kategori I dilakukan melalui:a. pembinaan populasi dan habitat untuk memulihkan populasi ke dalam

tingkat yang aman dari ancaman bahaya kepunahan;b. penyelamatan populasi atau sub populasi suatu Spesies yang terisolasi

oleh kegiatan manusia; c. reintroduksi Spesies ke habitat alamnya; dan/atau pengaturan

perlindungan lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 44(1) Pembinaan populasi dan habitat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43

huruf a, dilakukan dengan cara:a. in situ; dan/ataub. ex situ.

(2) Pembinaan populasi secara in situ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, untuk Spesies kategori I dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

(3) Pembinaan populasi dan habitat Spesies kategori I ex situ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan oleh Pemerintah Pusat

16

Page 17: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

dibantu oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan masyarakat.

Pasal 45(1) Dalam mengoptimalkan daya dukung terhadap Spesies dengan cara in

situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a dapat dilakukan kegiatan pembinaan habitat dan atau populasi melalui perburuan terkendali.

(2) Perburuan terkendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan di dalam Kawasan Cagar Alam atau zona tertentu Taman Nasional yang tidak sesuai untuk perburuan.

(3) Pembinaan populasi dan habitat Spesies kategori I dengan cara ex situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf b, tidak dapat dilakukan melalui perburuan terkendali.

(4) Perburuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan izin menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau kelautan dan perikanan sesuai dengan kewenangannya, setelah mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah dibidang pengembangan ilmu pengetahuan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perburuan terkendali masing-masing diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau kelautan dan perikanan sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 46

(1) Penyelamatan populasi atau subpopulasi suatu Spesies kategori I yang terisolasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b atau populasi yang tidak berkelanjutan dalam jangka panjang, dilakukan dengan cara memindahkan ke habitat lain.

(2) Ketentuan mengenai penyelamatan populasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau kelautan dan perikanan sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 47(1) Reintroduksi Spesies ke dalam habitat alamnya sebagaimana dimaksud

Pasal 43 huruf c, dapat dilakukan terhadap populasi Spesies Satwa liar terancam punah melalui pelepasliaran Spesimen yang berada di lingkungan ex situ.

(2) Pelepasliaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kajian ekologis, sosial, dan veteriner.

(3) Ketentuan mengenai reintroduksi Spesies dan pelepasliaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

17

Page 18: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

bidang kehutanan atau kelautan dan perikanan sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 48Untuk mengurangi dampak atau ancaman bagi populasi Satwa liar kategori I yang terisolasi di luar Kawasan Konservasi dan berada di tanah hak, pemegang hak atas tanah wajib:a. menjaga habitat sesuai dengan kondisi alamiahnya; dan b. melaporkan kepada pihak yang berwenang.

Pasal 49(1) Pengaturan pelindungan Spesies Tumbuhan dan Satwa liar dengan cara

in situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a, bagi Spesies kategori II dilakukan dengan:a. pengaturan dan pengendalian pemanenan langsung dari habitat

alamnya; b. pembinaan habitat; dan/atauc. pembinaan populasi.

(2) Untuk melaksanakan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat menyusun rencana pengelolaan Spesies Tumbuhan maupun Satwa liar Kategori II yang diperdagangkan.

Pasal 50(1) Pembinaan habitat dan/atau pembinaan populasi sebagaimana

dimaksud pada Pasal 49 huruf b dan huruf c, untuk Spesies kategori II dilakukan terhadap Spesies yang mengalami tekanan pemanfaatan, termasuk perdagangan.

(2) Pembinaan habitat dan/atau pembinaan populasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar Kawasan Konservasi.

Pasal 51(1) Pengaturan pelindungan Spesies Tumbuhan dan Satwa liar dengan cara

in situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a, bagi Spesies kategori III dilakukan dengan pemantauan pemanfaatan yang berkelanjutan.

(2) Pelaksanaan pemanfaatan yang berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerapan prinsip ilmiah dan permanen yang tidak merusak populasi di habitat alam.

Pasal 52Pengaturan pelindungan Spesies Kategori I dengan cara ex situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf b, dilakukan melalui:a. pengembangbiakan Satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol untuk

18

Page 19: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

dilepasliarkan kembali ke habitat alamnya;b. pengembangbiakan Satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol untuk

tujuan komersial;c. rehabilitasi Satwa liar;d. perbanyakan Tumbuhan secara buatan untuk dikembalikan lagi ke habitat

alam atau untuk tujuan komersial; dane. penyelamatan Satwa liar dengan cara ex situ di pusat penyelamatan

Satwa liar.Pasal 53

(1) Pengembangbiakan Satwa liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a hanya dapat dilakukan oleh taman Satwa.

(2) Ketentuan mengenai kriteria dan penetapan taman Satwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 54Pengaturan pelindungan Tumbuhan dan Satwa liar dengan cara ex situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf b, bagi Spesies Kategori II dapat dilakukan dengan:a. pembesaran Spesimen hidup Spesies Satwa liar tertentu dari habitat alam

di dalam lingkungan yang terkontrol;b. pengembangbiakan Satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol atau

perbanyakan Tumbuhan secara buatan dalam kondisi yang terkontrol; dan/atau

c. penyelamatan Satwa liar di pusat penyelamatan Satwa liar ex situ.

Pasal 55Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan Tumbuhan dan Satwa liar dengan cara ex situ Spesies kategori I dan kategori II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 53, dan Pasal 54 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4Medis Konservasi Spesies

Pasal 56(1) Medis Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf

c, merupakan penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang konservasi Spesies Satwa liar.

(2) Penyelenggaraan medis Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di:a. in situ; atau b. ex situ.

Pasal 57(1) Medis konservasi dengan cara in situ sebagaimana dimaksud dalam

19

Page 20: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 56 ayat (2) huruf a dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan adanya wabah penyakit zoonosis dan atau munculnya penyakit baru yang diduga disebabkan oleh Satwa liar di habitat alam.

(2) Medis konservasi secara ex situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf b dilakukan pada kegiatan:a. penerapan tindakan medis veteriner di lembaga Konservasi ex situ,

tempat penyelamatan Satwa liar, tempat pengembangbiakan Satwa liar atau tempat pemeliharaan Satwa liar lainnya;

b. penerapan ilmu reproduksi dalam pengembangbiakan Satwa liar; danc. pencegahan dan pengendalian terjadinya wabah zoonosis di tempat

terjadinya transaksi peredaran Satwa liar, termasuk dalam transportasi.

Pasal 58Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Medis Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian KeempatPelindungan Ekosistem

Paragraf 1Umum

Pasal 59Pelindungan Ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c bertujuan untuk melindungi keterwakilan, memelihara keseimbangan, ketersambungan, produktivitas, kelentingan, dan kemantapan Ekosistem di dalam suatu jejaring ekologi.

Pasal 60(1) Pelindungan Ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan

dengan:a. pengukuhan Kawasan Konservasi dan penetapan Ekosistem penting di

luar Kawasan Konservasi; dan/ataub. pelindungan Kawasan Konservasi dan Ekosistem penting di luar

Kawasan Konservasi sesuai kategori dan statusnya.(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengukuhan Kawasan Konservasi dan

penetapan Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi serta tata kelola Kawasan Konservasi dan Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2Pengukuhan Kawasan Konservasi

Pasal 61Pengukuhan Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60

20

Page 21: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

huruf a, merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengukuhan Kawasan Konservasi yang meliputi kegiatan:a. penunjukan;b. penataan batas, pemetaan, penyusunan rencana zonasi dan

pengelolaan; danc. penetapan.

Pasal 62Pengukuhan Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilakukan masing-masing oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan perkebunan sesuai dengan kewenangannya, dengan mempertimbangkan:a. analisis keterwakilan ekologis; b. analisis tujuan pengelolaan;c. analisis sosial budaya;d. analisis ekonomi;e. rekomendasi lembaga Pemerintah dibidang pengembangan ilmu

pengetahuan; dan/atauf. rekomendasi dari Bupati/Walikota atau Gubernur;

Pasal 63(1) Pengukuhan Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61

dilakukan berdasarkan kategori Kawasan Konservasi sesuai dengan tujuan pengelolaannya.

(2) Sesuai dengan tujuan pengelolaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kategori Kawasan Konservasi terdiri atas:a. Kawasan Suaka Alam;b. Kawasan Pelestarian Alam;c. Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dand. Wilayah Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan.

Pasal 64(1) Kawasan Suaka Alam sebagaimana dimaksud pada Pasal 63 ayat (2)

huruf a meliputi:a. cagar alam;b. suaka margasatwa;c. suaka alam perairan; d. suaka perikanan; dane. Cagar Biosfer.

(2) Kawasan Pelestarian Alam sebagaimana dimaksud pada Pasal 63 ayat (2) huruf b meliputi:a. Taman Nasional;b. taman wisata alam;

21

Page 22: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

c. taman hutan raya;d. taman buru; e. taman nasional perairan; dan f. taman wisata perairan.

(3) Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada Pasal 63 ayat (2) huruf c meliputi:a. suaka pesisir/suaka pulau kecil; dan b. taman pesisir/taman pulau kecil.

Pasal 65(1) Kawasan Suaka Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)

huruf a ditetapkan untuk melindungi secara ketat keaslian Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem.

(2) Kawasan Suaka Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikukuhkan untuk dikelola dengan tujuan:a. sebagai kawasan pelindungan keanekaragaman Tumbuhan dan Satwa

liar serta Ekosistemnya dalam rangka mencegah kepunahan Spesies;b. melindungi Ekosistem asli dan integritas lingkungan dalam jangka

panjang, Spesies, dan/atau fitur-fitur keanekaragaman geologis yang unggul secara nasional; dan

c. mengamankan contoh-contoh lingkungan alami.

Pasal 66(1) Kawasan Pelestarian Alam sebagaimana dimaksud pada Pasal 63 ayat (2)

huruf b ditetapkan untuk melindungi proses-proses ekologis skala luas, lengkap dengan komponen atau karakteristik Spesies dan Ekosistem dari kawasan tersebut dan dapat dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan.

(2) Kawasan Pelestarian Alam dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan.

(3) Kawasan Pelestarian Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk dikelola dengan tujuan:a. melindungi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem bersama dengan

struktur ekologis yang mendasari serta proses-proses lingkungan yang mendukung;

b. mengabadikan contoh-contoh keterwakilan wilayah fisiografis, komunitas biota, SDG dan proses alam yang tak terganggu;

c. menjaga populasi dan kelompok Spesies asli yang viabel dan secara ekologis fungsional pada kerapatan yang mencukupi untuk melindungi integritas dan daya tahan Ekosistem dalam jangka panjang;

d. memberikan sumbangan utamanya bagi konservasi Spesies yang mempunyai pergerakan luas, proses ekologis regional dan rute

22

Page 23: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

migrasi; dane. mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, termasuk pemanfaatan

subsisten sumberdaya alam sepanjang tidak berdampak buruk.

Pasal 67(1) Kawasan Konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana

dimaksud pada Pasal 63 ayat (2) huruf c merupakan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu dan berkelanjutan.

(2)Kawasan Konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan.

(3) Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk dikelola dengan tujuan:a. menjaga kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil;b. melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain;c. melindungi habitat biota laut; dand. melindungi situs budaya tradisional.

Pasal 68Wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud pada Pasal 63 ayat (2) huruf d ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Pasal 69(1) Perubahan pengukuhan dari satu kategori Kawasan Konservasi ke

kategori lainnya dilakukan masing-masing oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kehutanan atau kelautan dan perikanan sesuai dengan kewenangannya, berdasarkan rekomendasi dari lembaga pemerintah dibidang pengembangan ilmu pengetahuan.

(2) Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada cakupan wilayah administrasi, jenis kategori, dan dampak serta efisiensi pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dikelompokan menjadi:a. Kawasan Konservasi Nasional;b. Kawasan Konservasi Provinsi; danc. Kawasan Konservasi Kabupaten/Kota.

Pasal 70Ketentuan lebih lanjut mengenai pengukuhan Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62, kategori Kawasan

23

Page 24: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 68, dan perubahan pengukuhan Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 69 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3Penetapan Ekosistem Penting di Luar Kawasan Konservasi

Pasal 71(1) Penetapan Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b, dimaksudkan untuk mengisi kesenjangan keterwakilan ekologis di dalam Kawasan Konservasi.

(2) Ekosistem penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara ekologis atau secara fisik berhubungan dengan Kawasan Konservasi.

Pasal 72(1) Ekosistem penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dapat berada

dalam kawasan hutan Negara, tanah Negara yang dibebani hak, atau tanah milik, atau wilayah kelola masyarakat hukum adat.

(2) Untuk mendukung berfungsi dan terwujudnya koridor, daerah penyangga, penghubung antarhabitat, dan areal dengan nilai konservasi tinggi, pemangku dan pemegang izin atas tanah Negara, atau pemangku wilayah kelola masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:a. melepaskan seluruh atau sebagian hak atas tanah atau

menyetujui pemanfaatan sebagian atau seluruh ruang wilayah perairan yang dikelola oleh masyarakat hukum adat kepada Pemerintah Pusat untuk ditetapkan sebagai Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi; atau

b. melakukan Konservasi pada tanah haknya atau sebagian atau seluruh ruang wilayah perairan yang dikelola oleh masyarakat hukum adat yang ditetapkan sebagai Ekosistem penting sesuai kaidah Konservasi.

Pasal 73Pemerintah Pusat memberikan: a. kompensasi kepada pemangku dan pemegang izin atas tanah Negara

atau pemangku wilayah kelola masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf a; atau

b. insentif kepada pemangku dan pemegang izin atas tanah Negara atau pemangku wilayah kelola masyarakat hukum adat yang melakukan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf b.

24

Page 25: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 74Ketentuan lebih lanjut mengenai kompensasi dan insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 75Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, dapat berupa: a. daerah penyangga Kawasan Konservasi;b. koridor ekologis atau Ekosistem penghubung;c. areal dengan Nilai Konservasi Tinggi (NKT); dan/ataud. Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM).

Pasal 76(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah memberikan pengakuan

terhadap sistem pelindungan Ekosistem penting di wilayah adat yang dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat.

(2) Hutan adat dan/atau areal lain yang telah ditunjuk/ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai Areal Konservasi Kelola Masyarakat dan berada di wilayah hutan Negara, tidak dapat diubah menjadi penggunaan lain dan dilindungi dari rencana perubahan ruang yang tidak sesuai dengan tujuan penetapannya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan Ekosistem penting di wilayah adat dan Areal Konservasi Kelola Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4Pengaturan Pelindungan Kawasan Konservasi

Pasal 77Pengaturan pelindungan Kawasan Konservasi ditujukan bagi terjaganya kealamian dan keaslian Ekosistem melalui pengelolaan Kawasan Konservasi secara efektif.

Pasal 78Pengelolaan Kawasan Konservasi secara efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, meliputi:a. pendokumentasian potensi, termasuk tekanan dan ancaman terhadap

kawasan;b. pengembangan sistem perencanaan;c. penyediaan sumberdaya dan dana yang memadai;d. pelaksanaan pengelolaan sesuai rencana dan sumberdaya serta dana;e. optimalisasi luaran dari proses pelaksanaan pengelolaan potensi yang

25

Page 26: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

ada dan sumberdaya serta dana yang tersedia; f. pengelolaan dampak konservasi; dang. pengembangan sistem monitoring dan evaluasi.

Pasal 79(1) Untuk melakukan pengelolaan Kawasan Konservasi secara efektif,

Pemerintah Pusat dapat mengusulkan Kawasan Konservasi kepada organisasi internasional untuk menjadi situs warisan alam dunia, situs Ramsar, dan/atau inti Cagar Biosfer.

(2) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kehutanan atau kelautan dan perikanan sesuai dengan kewenangannya menetapkan Kawasan Konservasi untuk dikelola sebagai situs warisan alam dunia, situs Ramsar, dan/atau zona inti Cagar Biosfer setelah disetujui oleh organisasi internasional yang mengurusnya.

(3) Warisan alam dunia, situs Ramsar dan/atau situs Cagar Biosfer wajib mendapatkan prioritas pendanaan dan alokasi sumberdaya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Kawasan Konservasi untuk dikelola sebagai situs warisan alam dunia, situs Ramsar dan/atau zona inti Cagar Biosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 5Pelindungan Ekosistem Penting di Luar Kawasan Konservasi

Pasal 80(1) Pelindungan Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi dilakukan

dengan menerapkan praktik-praktik terbaik pengelolaan sumberdaya alam yang mendukung Kawasan Konservasi yang berdekatan dengannya.

(2) Pelindungan Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi di luar tanah negara dilakukan oleh pemegang hak atas tanah.

(3) Pelindungan Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi di dalam tanah negara dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan/atau pemegang hak atau izin.

(4)Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan perkebunan sesuai dengan kewenangannya, menyusun dan menetapkan pedoman pengelolaan Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi.

Paragraf 6Fungsi dan Dana Konservasi

Pasal 81(3)Pemegang hak guna usaha perkebunan, izin usaha pemanfaatan kawasan

26

Page 27: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

hutan, atau izin usaha penggunaan kawasan hutan, wajib melaksanakan fungsi konservasi di areal kerjanya.

(4)Fungsi konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada paling sedikit 30% (tiga puluh) persen dari luasan hak atau izin usahanya, yang tersebar secara proporsional yang mewakili ekosistem sekitarnya.

Pasal 82(1)Pemegang hak guna usaha perkebunan, izin usaha pemanfaatan kawasan

hutan, atau izin usaha penggunaan kawasan hutan, wajib membayar dana konservasi

(2)Dana konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan untuk penyelenggaraan konservasi.

Pasal 83Ketentuan mengenai mekanisme, persyaratan, dan tata cara pelaksanaan fungsi konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dan dana konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VPEMANFAATANBagian Kesatu

Umum

Pasal 84(1) Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati bertujuan untuk menunjang

kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap menjaga kelestarian dan keberlanjutan.

(2) Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, norma agama, adat istiadat, dan ketertiban umum.

Pasal 85(1) Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 84 dilakukan terhadap:a. SDG;b. Spesies; danc. Ekosistem.

(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui pengaturan dan pengendalian pemanfaatan oleh Pemerintah Pusat.

27

Page 28: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 86(1) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud Pasal 85, dilaksanakan untuk

tujuan komersial dan non-komersial.(2) Pemanfaatan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan

mendapatkan keuntungan ekonomi berupa kompensasi finansial.(3) Pemanfaatan non-komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

bertujuan memberikan manfaat yang secara nyata tidak mengandung kegiatan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.

(4) Pemanfaatan untuk tujuan komersial dan non-komersial dilakukan berdasarkan izin pemanfaatan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan/atau perkebunan sesuai dengan kewenangannya.

(5) Izin pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan setelah mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 87Hasil pemanfaatan Keanekaragaman Hayati melalui kegiatan penelitian dan pengembangan, wajib diserahkan kepada lembaga pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan.

Bagian KeduaPemanfaatan SDG

Paragraf 1Umum

Pasal 88Pemanfaatan SDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a, dilakukan untuk kepentingan:a. penelitian dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;b. penelitian untuk tujuan konservasi; danc. penelitian dan pengembangan untuk tujuan pengembangan industri

farmasi, industri bioteknologi, termasuk bioteknologi pertanian.

Pasal 89Pemanfaatan SDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, dilakukan dengan memperhatikan:a. hak kepemilikan atas SDG;b. hak kepemilikan intelektual atas hasil rekayasa genetik;c. keamanan hayati atas hasil rekayasa genetik; d. kaidah-kaidah etika dan norma agama dalam rekayasa genetik; dane. pengetahuan tradisional dan kearifan lokal.

Paragraf 2

28

Page 29: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Kepemilikan SDG

Pasal 90(1) SDG dikuasai oleh negara dan pemanfaatanya diatur oleh negara

berdasar kaidah-kaidah pelestarian dan keadilan.(2) Berdasarkan lokasi dan asal-usulnya, kepemilikan SDG terdiri dari:

a. SDG yang dimiliki atau disediakan oleh masyarakat secara komunal; atau

b. SDG yang dimiliki atau disediakan oleh Pemerintah Pusat.(3) Tidak termasuk di dalam golongan sebagai pemilik atau penyedia SDG

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah badan hukum yang diberi hak pengelolaan atau izin atas sumberdaya alam tertentu dalam suatu kawasan atau areal.

Pasal 91Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat lokal yang menciptakan, mengembangkan, memelihara atau melestarikan pengetahuan tradisional yang berasosiasi dengan SDG merupakan pemilik pengetahuan tradisional.

Paragraf 4Akses Terhadap SDG

Pasal 92Akses SDG dilakukan terhadap:a. komponen-komponen SDG; dan/atau b. pengetahuan tradisional yang berasosiasi dengannya.

Pasal 93(1) Akses terhadap SDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dilakukan

dengan izin akses dan izin angkut materi genetik yang disertai dengan penandatanganan kontrak pemanfaatan SDG.

(2) Izin akses dan izin angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kehutanan, kelautan dan perikanan, pertanian dan perkebunan, atau lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya, setelah mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah dibidang pengembangan ilmu pengetahuan.

(3) Izin akses hanya dapat diberikan kepada lembaga pemerintah maupun non-Pemerintah yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(4) Kontrak pemanfaatan SDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kontrak diantara pemegang izin akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan: a. Pemerintah Pusat Republik Indonesia, yang diwakili oleh menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kehutanan, kelautan

29

Page 30: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

dan perikanan, pertanian dan perkebunan, atau lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya; atau

b. pemilik atau penyedia SDG atau pengetahuan tradisional yang berasosiasi dengan pemanfaatan SDG.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai akses terhadap SDG diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 94(1) Pemegang izin akses dan izin angkut materi genetik disertai dengan

penandatanganan kontrak pemanfaatan SDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal dari penyedia atau pemilik SDG.

(2) Persetujuan atas dasar informasi awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan ketentuan dan syarat yang telah disetujui bersama antara penyedia SDG dengan pemegang izin akses.

(3) Pemegang izin akses dan izin angkut materi genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab dan wajib untuk mengkompensasikan kepada pemilik terhadap kerusakan atau gangguan baik terhadap populasi Spesies, lingkungan maupun manusia yang ditimbulkan dengan adanya kegiatan akses.

Pasal 95(1) Kontrak pemanfaatan SDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat

(3), harus mencantumkan klausul mengenai pembagian keuntungan yang secara jelas mencantumkan kualifikasi para pihak.

(2) Kontrak pemanfaatan SDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan untuk diregistrasi oleh Pemerintah Pusat, dan hanya berlaku setelah mendapat persetujuan Pemerintah Pusat.

Pasal 96Setiap Orang yang bertanggung jawab dalam ekspedisi koleksi sampel SDG setelah berakhirnya kegiatan di daerah akses, wajib menandatangani pernyataan yang berisi daftar tentang material yang diakses bersama penyedia akses atau yang mewakilinya.

Pasal 97Setiap Orang yang memegang sub-sampel dari komponen SDG yang diakses wajib didepositkan dalam kondisi ex situ pada lembaga penitipan atau deposit sampel yang ditunjuk oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kehutanan, kelautan dan perikanan, pertanian dan perkebunan, atau lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 98(1) Ekspedisi pengambilan sampel komponen atau material SDG pada

30

Page 31: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

kondisi in situ, dan pada pengetahuan tradisional yang berasosiasi dengannya, hanya dapat dilakukan setelah ditandatanganinya kontrak pemanfaatan SDG dan pembagian keuntungan.

(2) Keterlibatan pihak asing dalam ekspedisi pengambilan sampel komponen SDG in situ dan akses terhadap pengetahuan tradisional yang berasosiasi dengannya, harus didampingi oleh lembaga Pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan/atau lembaga pendidikan tinggi.

(3)Perorangan atau lembaga penelitian dalam negeri yang bekerjasama dan/atau didanai oleh perorangan dan/atau lembaga asing, wajib menginformasikan rencana kerjasama kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, pertanian dan perkebunan, atu lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya, dengan menyatakan ketentuan-ketentuan di dalam nota kerjasamanya.

(4) Setiap Orang yang melakukan riset yang menggunakan komponen atau material SDG yang diambil langsung dari kondisi in situ dan ex situ wajib dilaksanakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(5) Kewajiban menggunakan komponen atau material SDG yang diambil langsung dari kondisi ex situ sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikecualikan dalam hal keterbatasan teknologi, fasilitas pendukung riset, dan sumber daya manusia.

Pasal 99(1) Izin akses dan angkut materi atau komponen SDG hanya berlaku bagi:

a. pencarian dan pengambilan sampel materi atau komponen SDG di lokasi yang disebutkan di dalam izin; dan

b. pengangkutan atau pemindahan ke tempat atau lokasi tujuan dimana contoh atau sampel komponen atau materi SDG akan diteliti di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Pengangkutan atau pemindahan ke luar negeri sampel atau contoh materi atau komponen SDG harus disertai persetujuan pemindahan materi SDG.

Paragraf 5Pelestarian Sampel atau Contoh SDG Ex Situ

Pasal 100(1) Pemegang izin akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 wajib

melestarikan sampel baik hidup maupun mati berupa koleksi di dalam kondisi in situ dan ex situ.

(2) Pelestarian sampel komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan di dalam negeri.

(3) Kewajiban pelestarian sampel komponen ex situ sebagaimana dimaksud

31

Page 32: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

pada ayat (2) dapat dikecualikan dalam hal menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kehutanan, kelautan dan perikanan, pertanian dan perkebunan, atau lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya berpendapat perlu melakukan pelestarian sampel di luar negeri hanya sebagai komplemen.

Pasal 101(1)Koleksi sampel komponen atau materi SDG ex situ sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 100, wajib didaftarkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kehutanan, kelautan dan perikanan, pertanian dan perkebunan, atau lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya.

(2) Pendaftaran oleh menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada lembaga pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 102(1) Pemindahan atau pengangkutan contoh atau sampel komponen SDG dari

lokasi penyimpanan ex situ ke lokasi lain di Indonesia dapat dilakukan dengan izin akses.

(2) Izin akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan:a. setelah adanya permohonan yang disertai informasi mengenai tujuan

pemanfaatan; danb. telah memenuhi persyaratan deposit sub-sampel.

Pasal 103(1)Setiap Orang yang akan membawa, mengangkut, atau memindahkan

sampel materi genetik ke luar negeri harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan pemindahan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kehutanan, kelautan dan perikanan, pertanian dan perkebunan, atau lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya, setelah mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah dibidang pengembangan ilmu pengetahuan.

(2)Proses membawa, mengangkut, atau memindahkan sampel materi genetik ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didampingi oleh lembaga pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.

Paragraf 6Pembagian Keuntungan, Akses Terhadap Teknologi dan Transfer Teknologi

Pasal 104(1) Keuntungan yang timbul dari adanya kontrak pemanfaatan SDG

32

Page 33: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), harus dibagi secara adil dan proporsional di antara pihak-pihak yang terlibat.

(2) Pembagian keuntungan yang timbul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:a. pembagian laba/pendapatan;b. pembayaran royalti;c. akses pada teknologi dan transfer teknologi;d. pemberian lisensi terhadap penggunaan produk maupun teknologi

tanpa adanya biaya;e. peningkatan kapasitas sumberdaya manusia; dan/atauf. pendanaan Konservasi Keanekaragaman Hayati.

(3) Dalam hal Pemerintah Pusat tidak terwakili di dalam pihak yang terlibat di dalam kontrak pemanfaatan SDG sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat mendapatkan bagian dari keuntungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 105(1) Lembaga Pemerintah, non-Pemerintah, maupun asing penerima sampel

komponen, materi SDG, atau pengetahuan tradisional yang berasosiasi dengannya, wajib memfasilitasi akses dan transfer teknologi yang dikembangkannya, kepada lembaga Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ilmu pengetahuan.

(2) Kewajiban memfasilitasi akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:a. kerja sama riset ilmiah dan pengembangan teknologi;b. pelatihan dan pengembangan kapasitas sumberdaya manusia;c. pertukaran informasi;d. pertukaran kelembagaan antara lembaga riset Indonesia dengan

lembaga riset asing;e. konsolidasi infrastruktur riset ilmiah dan pengembangan teknologi;f. pemberian lisensi;g. aplikasi komersial atau industrialisasi dari proses dan produk yang

timbul dari penggunaan komponen SDG melalui suatu kemitraan; dan/atau

h. pengembangan usaha teknologi bersama. (3) Dalam penyelenggaraan akses dan transfer teknologi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat memberikan insentif fiskal dan instrumen insentif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 106Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian keuntungan, akses, dan transfer teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 105, termasuk ketentuan mengenai instrumen insentif fiskal dan insentif lain diatur dengan

33

Page 34: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Peraturan Pemerintah.Paragraf 7

Hak Atas Kekayaan Intelektual

Pasal 107(1) Teknologi, inovasi, atau invensi yang dikembangkan dari sampel materi

atau komponen SDG atau pengetahuan tradisional yang diperoleh sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, dapat diajukan untuk mendapatkan pelindungan hak atas kekayaan intelektual.

(2) Pelindungan hak atas kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan atau mengurangi hak masyarakat tradisional atau adat dalam pertukaran dan penyebarluasan komponen-komponen SDG dan pengetahuan tradisional yang dipraktikkan di dalam Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat lokal untuk kepentingan mereka sendiri dan berdasarkan praktik-praktik adat atau tradisional.

(3) Pelindungan hak atas kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban pengguna SDG dalam pembagian keuntungan yang adil dan akses pada teknologi dan transfer teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 105.

Pasal 108(1) Pengusul wajib mencantumkan informasi mengenai asal usul SDG pada

saat mengajukan pelindungan hak atas kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107, baik di dalam maupun di luar negeri.

(2) Ketentuan mengenai kewajiban pencantuman informasi mengenai asal usul SDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam klausul kontrak pemanfaatan SDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1).

(3) Ketentuan mengenai pelindungan hak atas kekayaan intelektual dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang hak atas kekayaan intelektual.

Bagian KetigaPemanfaatan Spesies

Paragraf 1Umum

Pasal 109(1) Pemanfaatan Spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1)

huruf b, meliputi:a. penelitian atau pengembangan;b. perdagangan;

34

Page 35: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

c. peragaan;d. tukar menukar;e. medis Konservasi;f. konsumsi;g. pemeliharaan untuk kegemaran;h. kepentingan religi atau budaya;i. budidaya; danj. komersialisasi informasi yang didapat dari kegiatan pemanfaatan

Spesies.(2) Pemanfaatan Spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan untuk kepentingan komersial maupun non-komersial.

Paragraf 2Sumber Spesimen dan Sistem Produksi untuk Tujuan Pemanfaatan

Pasal 110Pemanfaatan Spesimen Tumbuhan dan Satwa bersumber pada:a. sistem produksi Spesimen Tumbuhan atau Satwa yang bersumber dari

populasi di dalam habitat alamnya atau dari kondisi in situ bagi Spesies kategori II dan III;

b. sistem produksi Spesimen Tumbuhan atau Satwa di dalam kondisi atau lingkungan yang terkontrol di luar habitat alamnya (penangkaran); dan

c. sistem produksi Spesimen Tumbuhan atau Satwa dari sumber pemasukan dari luar negeri.

Pasal 111(1) Sistem produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 huruf a wajib

dilakukan melalui pengaturan pengambilan Tumbuhan atau penangkapan Satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51.

(2) Sistem produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 huruf b wajib dilakukan melalui pengaturan Spesies dalam kondisi ex situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b dan huruf d bagi Spesies katagori I dan Pasal 54 huruf a dan huruf b bagi Spesies kategori II atau katagori III.

Pasal 112(1) Seluruh kegiatan pemanfaatan Spesimen dari Spesies Tumbuhan dan

Satwa hanya dapat dilakukan dengan sumber Spesimen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 melalui pengendalian dan atau pembatasan.

(2) Pengendalian dan/atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi in situ dilakukan melalui:a. penetapan kuota penangkapan atau pengambilan;b. pembatasan kelas-kelas ukuran atau kelompok umur;

35

Page 36: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

c. perlakuan buka-tutup musiman daerah penangkapan atau pengambilan; dan

d. pembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan.(3) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang

bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui :a. pemantauan produksi Spesimen Tumbuhan atau Satwa dari kondisi

ex situ; dan b. pengembangan basis data produksi Spesimen Tumbuhan atau Satwa

dari kondisi ex situ.(4)Pengendalian sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan masing-masing

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan/atau perkebunan sesuai dengan kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari lembaga Pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 113(1) Ketentuan mengenai pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal

112, dikecualikan bagi Masyarakat Hukum Adat.(2) Ketentuan mengenai Spesies Kategori I tetap berlaku bagi Masyarakat

Hukum Adat, kecuali dinyatakan lain dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan perkebunan sesuai dengan kewenangannya.

Paragraf 3Tujuan Pemanfaatan

Pasal 114(1) Spesimen dari Spesies kategori I yang berasal dari habitat alam hanya

dapat dimanfaatkan untuk tujuan non-komersial.(2) Spesimen dari Spesies kategori II dan III yang berasal dari kondisi in situ

maupun ex situ dapat dimanfaatkan untuk keperluan komersial dan non-komersial.

Pasal 115(1) Pemanfaatan Spesies untuk tujuan penelitian dan pengembangan dapat

dilakukan untuk tujuan komersial maupun non-komersial.(2) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

yang menggunakan Spesies kategori I dan katagori II hanya dapat dilakukan dengan izin menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan perkebunan sesuai dengan kewenangannya.

(3) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk mendukung:a. konservasi Spesies;

36

Page 37: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

b. budidaya tanaman atau hewan;c. kesehatan, termasuk biomedis; ataud. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(4) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terhadap Satwa liar wajib dilakukan dengan menjunjung tinggi etika penelitian penggunaan hewan sebagai obyek penelitian.

(5) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tunduk pada ketentuan mengenai Pemanfaatan SDG dalam hal adanya unsur-unsur mengenai akses terhadap SDG dan bioprospeksi.

Pasal 116(1) Dalam rangka penelitian atau pengembangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 109 ayat (1) huruf a dapat dilakukan pengambilan contoh Spesimen.

(2)Pengangkutan dan pemindahan ke luar negeri serta pengambilan contoh Spesimen Tumbuhan atau Satwa dari Spesies kategori I hanya dapat dilakukan dengan izin menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan perkebunan sesuai dengan kewenangannya sesuai dengan kewenangannya, setelah mendapat rekomendasi dari lembaga Pemerintah yang berwenang dibidang pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 117(1) Perdagangan Spesimen dari Spesies Tumbuhan dan Satwa sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan bagi Spesies kategori II dan kategori III.

(2) Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk perdagangan di dalam negeri dan perdagangan luar negeri.

(3) Perdagangan di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengumpul dan pengedar dalam negeri terdaftar.

(4) Perdagangan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh eksportir dan atau importir terdaftar dengan Spesimen yang berasal dari pengumpulan dan peredaran dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau dari Spesimen impor.

(5) Perdagangan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:a. ekspor;b. impor; danc. introduksi dari laut.

Pasal 118Spesimen perdagangan dalam negeri maupun luar negeri hanya dapat dilakukan dari sumber legal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112.

37

Page 38: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 119(1) Dalam rangka pengembangan pendidikan dan pariwisata alam, peragaan

pemanfaatan spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh badan hukum dan/atau lembaga terdaftar yang bergerak dalam bidang konservasi ex situ.

(2) Peragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk peragaan menetap atau peragaan keliling.

(3) Peragaan menetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh lembaga konservasi ex situ.

(4) Peragaan keliling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya merupakan bagian dari peragaan menetap.

(5) Peragaan keliling bagi Spesies Satwa liar kategori I hanya dapat dilakukan dari Spesimen anakan generasi pertama dan generasi berikutnya.

(6) Peragaan menetap maupun keliling Spesimen Satwa liar hidup wajib memenuhi ketentuan tentang kesejahteraan hewan.

Pasal 120(1) Tukar menukar dalam pemanfaatan spesies sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 109 ayat (1) huruf d, dapat dilakukan untuk meningkatkan keanekaragaman genetik Satwa liar dari Spesies kategori I di dalam taman Satwa, kebun binatang, atau lembaga pengembangbiakan Satwa .

(2) Tukar menukar Satwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di dalam negeri oleh dan antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi, taman Satwa, atau lembaga pengembangbiakan Satwa komersial yang diakui Pemerintah Pusat.

(3) Peningkatan keanekaragaman genetik bagi Spesies kategori I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada di luar negeri hanya dapat dilakukan melalui peminjaman.

(4) Tukar menukar Satwa dari Spesies kategori I yang ditujukan selain dari yang dimaksud oleh ayat (1) baik di dalam maupun dengan pihak luar negeri hanya dapat dilakukan pada Spesimen Satwa generasi pertama atau generasi berikutnya hasil pengembangbiakan Satwa liar di dalam lingkungan terkontrol.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tukar menukar Satwa diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 121Pemeliharaan untuk kesenangan dalam pemanfaatan spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf f, untuk kategori II dan kategori III hanya dapat dilakukan dari Spesies perdagangan dalam negeri atau impor.

Pasal 122(1)Budidaya dalam pemanfaatan spesies sebagaimana dimaksud dalam

38

Page 39: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 109 ayat (1) huruf h, bagi Spesies kategori I dapat dilakukan dengan ijin menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan/atau perkebunan sesuai dengan kewenangannya., dengan syarat:a. hasil pengembangbiakan Satwa liar atau perbanyakan buatan

Tumbuhan yang ada pada kondisi ex situ tidak memadai; ataub. diperuntukkan bagi masyarakat lokal atau sekitar habitat.

(2) Pemanfaatan untuk tujuan non-komersial dari Spesimen dari Spesies kategori I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1), bagi Spesies kategori II dan kategori III disesuaikan dengan ketentuan mengenai sumber Spesimen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112.

(3)Pengambilan atau penangkapan Spesimen untuk pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari dalam Kawasan Konservasi dapat dilakukan hanya dengan izin menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kehutanan atau kelautan dan perikanan sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 123Penambahan jenis yang terdaftar sebagai Spesies yang termasuk dalam kategori I beserta pelarangannya masing-masing diatur dengan Peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan/atau perkebunan sesuai dengan kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah dibidang pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 124Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan Spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 sampai dengan Pasal 123 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian KeempatPemanfaatan Ekosistem

Pasal 125Pemanfaatan Ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c berupa:a. pemanfaatan jasa Ekosistem; b. pemanfaatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan; c. pemanfaatan untuk pendidikan; dand. pemanfaatan kawasan untuk kepentingan khusus.

Pasal 126Pemanfaatan jasa Ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 huruf

39

Page 40: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

a, meliputi:a. wisata alam;b. perdagangan karbon; c. jasa massa air dan tenaga air; dan/ataud. pemanfaatan panas bumi.

Pasal 127(1) Pemanfaatan kawasan untuk kepentingan khusus sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 125 huruf c, meliputi :a. pemanfaatan massa air untuk air minum;b. pemanfaatan panas bumi;c. pemanfaatan untuk kepentingan pembangunan strategis;d. pemanfaatan untuk kepentingan budaya dan religi; dan/ataue. pemanfaatan untuk penangkaran Tumbuhan dan Satwa liar.

(2)Pemanfaatan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakuan setelah mendapat izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan perkebunan sesuai dengan kewenangannya.

(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan setelah mendapat rekomendasi dari lembaga Pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 128(1)Izin pemanfaatan jasa Ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal

125, Pasal 126, dan Pasal 127 dapat diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan usaha milik swasta.

(2)Pemegang izin pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:a. menjaga zona inti Kawasan Konservasi;b. menyediakan tenaga ahli konservasi dan tenaga pengamanan hutan;c. menyediakan sarana prasarana perlindungan hutan; dand. memberdayakan Masyarakat Hukum Adat dan/atau masyarakat lokal.

Pasal 129(1)Tenaga pengamanan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128

huruf b berwenang untuk menangkap pelaku tindak pidana di bidang konservasi di wilayah kerjanya berdasarkan bukti permulaan yang cukup paling lama 2X24 (dua kali dua puluh empat) jam, untuk selanjutnya diserahkan kepada penyidik.

(2)Kewenangan untuk menangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 130(1) Pemanfaatan Ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125, dapat

dilakukan pada semua kawasan kecuali Kawasan Suaka Alam dan zona

40

Page 41: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

inti Kawasan Pelestarian Alam. (2) Kawasan Suaka Alam, dan zona inti Kawasan Pelestarian Alam

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, pendidikan, dan jasa wisata alam terbatas.

(3) Zona inti Kawasan Pelestarian Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanyadapat dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, dan pendidikan.

Pasal 131Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan Ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 sampai dengan Pasal 130 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VIPEMULIHAN

Bagian KesatuUmum

Pasal 132Pemulihan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem dilakukan untuk:a. membantu memulihkan Ekosistem yang telah mengalami degradasi,

rusak, atau hancur;b. mengembalikan fungsi Ekosistem ke kondisi awal;c. mengembalikan integritas komposisi Spesies dan struktur komunitasnya; d. meningkatkan daya tahan terhadap kerusakan; dane. meningkatkan daya lenting Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem.

Pasal 133(1) Pemulihan sebagamana dimaksud dalam Pasal 132 dilakukan terhadap:

a. SDG;b. Spesies; danc. Ekosistem.

(2) Pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 dilakukan secara in situ dan ex situ.

Bagian KeduaPemulihan SDG

Pasal 134(1) Pemulihan SDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1) huruf a

bertujuan untuk memulihkan kondisi SDG yang telah mengalami penurunan pada:a. kualitas SDG;b. kualitas hidup dan variasi suatu populasi dari suatu Spesies; danc. kualitas dan/atau luasan Ekosistem.

41

Page 42: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

(2) Pemulihan SDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk Spesies target yang mengalami penurunan SDG.

(3) Pemulihan SDG dilakukan melalui:a. relokasi atau translokasi Spesies;b. penanganan dan/atau pengkayaan Tumbuhan;c. pelepasliaran Satwa liar hasil pengembangbiakan hasil penyelamatan

dalam kondisi ex situ dan/atau hasil rehabilitasi;d. pengendalian untuk mempertahankan kemurnian Spesies;e. pertukaran Spesies antar-lembaga konservasi ex situ zoologi atau

botani; f. pemuliaan Tumbuhan, uji provenan, peningkatan kualitas genetik

melalui penyerbukan buatan; dan/ataug. pemulihan SDG lainnya sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.Pasal 135

Dalam rangka pemulihan SDG, Pemerintah Pusat dapat mengambil Spesies tertentu untuk indukan dari pemilik koleksi atau pengampu SDG.

Pasal 136Ketentuan mengenai pemulihan SDG bagi Spesies target sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 135 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian KetigaPemulihan Spesies

Pasal 137(1) Pemulihan Spesies sebagaimana dimaksud pada Pasal 133 ayat (1) huruf

b ditujukan untuk mengembalikan kelangsungan hidup Spesies yang langka, terancam punah, atau kritis di habitat alamnya.

(2) Pemulihan Spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:a. pembinaan populasi Spesies dalam kondisi in situ; danb. pemulihan dan pembinaan habitat.

(3) Pembinaan populasi Spesies dalam kondisi in situ sebagaimana dimaksud pada Pasal 137 ayat (2) huruf a dilakukan melalui pelepasliaran Spesies Satwa liar ex situ hasil rehabilitasi, pengembangbiakan, pembudidayaan, atau pengamanan.

Pasal 138Pelepasliaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (3) dilakukan setelah kondisi habitat yang dipulihkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) huruf b dinilai mampu mendukung populasi hasil reintroduksi

42

Page 43: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

beserta kemungkinan perkembangan populasinya

Pasal 139(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Propinsi dapat melakukan

kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat atau swasta dalam melakukan kegiatan pemulihan Spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2).

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan Spesies diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian KetigaPemulihan Ekosistem

Pasal 140(1) Pemulihan Ekosistem sebagaimana dimaksud pada Pasal 133 ayat (1)

huruf c dilakukan dengan tujuan mengembalikan unsur-unsur dan proses ekologis pada Kawasan Konservasi.

(2) Pemulihan Ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada Ekosistem yang telah mengalami degradasi, kerusakan, kehancuran, atau ditransformasi.

(3) Pemulihan Ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan di seluruh kategori Kawasan Konservasi, baik pada kawasan yang dibebani hak maupun pada tanah negara.

Pasal 141(1) Kegiatan pemulihan Ekosistem dilakukan bersamaan atau didahului

dengan menghilangkan faktor penyebab degradasi, kerusakan, kehancuran, atau transformasi.

(2) Pemulihan Ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:a. alami;b. pemulihan alam yang dibantu manusia; dan/atauc. pengembalian unsur-unsur dan proses ekologis suatu Ekosistem

sepenuhnya dengan bantuan manusia.

Pasal 142(1) Pemulihan Ekosistem di dalam Kawasan Konservasi dilakukan untuk

seluruh kategori Kawasan Konservasi sesuai dengan derajat kerusakannya.

(2) Kawasan Suaka Alam dan zona inti Kawasan Pelestarian Alam hanya dapat dilakukan pemulihan dengan cara sepenuhnya dilakukan dengan cara alami atau pemulihan alam yang dibantu manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (2) huruf a atau huruf b.

(3) Kawasan konservasi selain Kawasan Suaka Alam dan zona inti Kawasan Pelestarian Alam dapat dipulihkan dengan metoda sepenuhnya dengan

43

Page 44: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

bantuan manusia.(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi sesuai

kewenangannya, wajib melakukan evaluasi terhadap kondisi Kawasan Konservasi.

Pasal 143(1) Dalam pemulihan Kawasan Suaka Alam atau zona inti Kawasan

Pelestarian Alam yang telah mengalami degradasi, kerusakan, kehancuran, atau ditransformasi, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kehutanan atau kelautan dan perikanan sesuai dengan kewenangannya, dapat menetapkan penurunan status zonasi Kawasan Suaka Alam atau zona inti Kawasan Pelestarian Alam dengan jangka waktu tertentu.

(2) Penurunan kategori atau status zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan untuk kebutuhan pemulihan.

(3) Kawasan Suaka Alam atau zona inti Kawasan Pelestarian Alam yang telah mengalami penurunan status zonasi pada ayat (1) dapat dipulihkan dengan pengembalian unsur-unsur dan proses ekologis suatu Ekosistem sepenuhnya dengan bantuan manusia sebagaimana dimaksud pada Pasal 141 ayat (2) huruf c.

(4) Masa berlaku perubahan status/kategori atau status zonasi dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan perencanaan pemulihan.

Pasal 144(1) Setiap pengelola Kawasan Konservasi yang hendak melakukan

pemulihan wajib membuat perencanaan pemulihan berdasarkan standar capaian atas kondisi akhir.

(2) Perencanaan pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi tata cara pemulihan Ekosistem.

(3)Standar capaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kehutanan atau kelautan dan perikanan sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 145(1) Untuk setiap kegiatan pemulihan Ekosistem wajib ditetapkan Ekosistem

rujukan.(2) Ekosistem rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

Ekosistem pembanding yang masih utuh atau relatif utuh dan/atau informasi mengenai sejarah Ekosistem kawasan tersebut untuk menilai ketercapaian pemulihan.

Pasal 146(1) Ekosistem yang dipulihkan dianggap telah pulih apabila memenuhi

44

Page 45: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

kriteria antara lain: a. telah mampu memperbaiki dirinya sendiri baik secara terstruktur

tingkatan Tumbuhan, fungsi, dan komposisi Spesies;b. terintegrasi dengan bentangan alam di sekitarnya; danc. mampu mendukung kehidupan masyarakat di sekitarnya.

(2) Ketentuan mengenai kriteria dan standar keberhasilan pemulihan Ekosistem serta pemulihan atau restorasi Ekosistem diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 147(1) Kegiatan pemulihan Ekosistem di Kawasan Konservasi dapat dilakukan

melalui mekanisme kerja sama atau kemitraan pemulihan Ekosistem antara Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Provinsi sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan swasta atau masyarakat.

(2) Pemerintah Pusat dapat menerbitkan izin pemulihan kepada:a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/badan usaha milik swasta;b. lembaga swadaya masyarakat;c. yayasan;d. lembaga pendidikan; dan/ataue. masyarakat lokal.

Pasal 148Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pemulihan Ekosistem dan kerja sama pemulihan Ekosistem sebagaimana diatur dalam Pasal 140 sampai dengan Pasal 147 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VIIKEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

Pasal 149(1) Kewenangan Pemerintah Pusat di bidang Konservasi Keanekaragaman

Hayati meliputi:a. penyelenggaraan pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian Alam;b. penyelenggaraan Konservasi Tumbuhan dan Satwa liar;c. penyelenggaraan pemanfaatan secara lestari kondisi lingkungan

Kawasan Pelestarian Alam; d. penyelenggaraan pemanfaatan jenis Tumbuhan dan Satwa liar;e. pengelolaan ruang laut di atas 12 (dua belas) mil dan strategis

nasional;f. penerbitan izin pemanfaatan ruang laut nasional;

45

Page 46: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

g. penerbitan izin pemanfaatan jenis dan genetik (plasma nutfah) ikan antarnegara;

h. penetapan jenis ikan yang dilindungi dan diatur perdagangannya secara internasional;

i. penetapan Kawasan Konservasi; danj. database pesisir dan pulau-pulau kecil.

(2) Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 150(1) Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi di bidang Konservasi

Keanekaragaman Hayati meliputi:a. pelaksanaan pelindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara

lestari Taman Hutan Raya lintas daerah kabupaten/kota;b. pelaksanaan pelindungan Tumbuhan dan Satwa liar yang tidak

dilindungi dan/atau tidak masuk dalam daftar Spesies yang dilindungi secara internasional dan/atau konvensi lain mengenai Spesies Tumbuhan dan Satwa liar;

c. pelaksanaan pengelolaan kawasan bernilai Ekosistem penting dan daerah penyangga Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;

d. pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 (dua belas) mil di luar minyak dan gas bumi;

e. penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 (dua belas) mil di luar minyak dan gas bumi; dan

f. pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.(2) Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 151(1) Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota di bidang Konservasi

Keanekaragaman Hayati adalah pelaksanaan pengelolaan Taman Hutan Raya kabupaten/kota.

(2) Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 152(1) Untuk melakanakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan optimalisasi

kinerja penyelenggaraan di bidang konservasi, dibentuk badan koordinasi konservasi nasional non struktural.

(2) Badan koordinasi konservasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

46

Page 47: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

a. kementerian dan lembaga terkait;b. praktisi dan akademisi di bidang konservasi;c. lembaga swadaya masyarakat; dand. tokoh masyarakat dan pemerhati lingkungan.

BAB VIIIMASYARAKAT HUKUM ADAT

Pasal 153(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya memberikan pengakuan terhadap sistem pelindungan Ekosistem penting di wilayah adat yang dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat.

(2) Sistem pelindungan Ekosistem penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya sebagai Areal Konservasi Kelola Masyarakat dan berada di Kawasan Konservasi.

(3) Areal Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilindungi dan tidak dapat diubah peruntukannya.

Pasal 154(1) Masyarakat Hukum Adat yang berada di dalam sistem pelindungan

Ekosistem penting di wilayah adat dan areal Konservasi kelola masyarakat dapat:a. memanfaatkan Spesimen Tumbuhan atau Satwa liar dari habitat alam

untuk tujuan subsisten atau adat dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian;

b. melakukan pemungutan hasil Keanekaragaman Hayati untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari;

c. melakukan kegiatan pengelolaan Keanekaragaman Hayati berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

d. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

(2)Dalam hal pemanfaatan Spesimen Tumbuhan atau Satwa liar sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap Tumbuhan atau Satwa liar kategori I, pemanfaatannya dilakukan setelah mendapat izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan/atau perkebunan sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 155Ketentuan lebih lanjut tentang pelindungan Ekosistem penting di wilayah

47

Page 48: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

adat dan areal konservasi kelola masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153, dan pemanfaatan Keanekaragaman Hayati oleh Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IXDATA DAN INFORMASI

Pasal 156(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya berkewajiban membangun, menyusun, mengembangkan, dan menyediakan sistem data dan informasi Konservasi Keanekaragaman Hayati yang terintegrasi.

(2) Sistem data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk keperluan:a. perencanaan;b. pelindungan;c. pemanfaatan;d. pemulihan;e. pendanaan;f. kerjasaman internasional; dang. pengawasan.

Pasal 157(1) Sistem data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156,

meliputi:a. basis data;b. jejaring sumber informasi; danc. sumber daya manusia untuk manajemen sistem informasi.

(2) Basis data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperoleh melalui kegiatan inventarisasi Keanekaragaman Hayati.

(3) Basis data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat informasi mengenai:a. Kawasan Konservasi;b. potensi dan ketersediaan Keanekaragaman Hayati;c. status dan kriteria Keanekaragaman Hayati;d. jenis Tumbuhan dan Satwa liar;e. bentuk penguasaan; danf. bentuk dan tingkat kerusakan;

(4)Basis data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diperbaharui masing-masing oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan perkebunan sesuai dengan kewenangannya, bersama

48

Page 49: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

dengan lembaga pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.

(5) Basis data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diperbaharui setiap 1 (satu) tahun.

Pasal 158(1)Penyelenggaraan sistem data dan informasi Keanekaragaman Hayati

masing-masing dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, atau pertanian dan/atau perkebunan sesuai dengan kewenangannya.

(2) Penyelenggaraan sistem data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan bersama dengan lembaga pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 159Ketentuan lebih lanjut mengenai data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XPENDANAAN

Pasal 160(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah wajib menyediakan

pendanaan yang berkelanjutan untuk kegiatan Konservasi Keanekaragaman Hayati.

(2) Pendanaan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari:a. anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN);b. anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD); danc. sumber dana lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.(3) Ketentuan mengenai pendanaan berkelanjutan untuk konservasi

Keanekaragaman Hayati diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XIPERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 161(1) Penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati dilakukan oleh

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran serta masyarakat.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

49

Page 50: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

dilakukan secara perseorangan dan/atau berkelompok.(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

dalam hal:a. perencanaan;b. pengelolaan;c. pelindungan;d. pemanfaatan;e. pemulihan; danf. pengawasan.

Pasal 162(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat

(2), dilaksanakan dalam bentuk:a. memberikan informasi dan/atau usulan penyelenggaraan Konservasi;b. memberi usulan/masukan materi penyusunan rencana pengelolaan

kawasan;c. ikut berperan dalam kegiatan pengelolaan Kawasan Konservasi; d. ikut berperan dalam upaya perlindungan, pemanfaatan, dan

pemulihan; dane. ikut berperan dalam pengawasan dan/atau pengamanan Kawasan

Konservasi dan ruang kelola kehidupannya.(2) Masyarakat dapat menyampaikan keberatan terhadap rencana

pengelolaan Kawasan Konservasi yang disusun oleh Pemerintah Pusat maupun rencana penetapan sebuah Kawasan Konservasi.

(3) Masyarakat di sekitar Kawasan Konservasi berhak mendapat informasi awal terhadap rencana penetapan Kawasan Konservasi dan penetapan zona Konservasi.

Pasal 163Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 dan Pasal 162 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XII KERJASAMA INTERNASIONAL

Pasal 164(1) Untuk menyelenggarakan Konservasi Keanekaragaman Hayati,

Pemerintah Pusat dapat melakukan kerjasama internasional dengan:a. Pemerintah negara lain;b. lembaga atau organisasi internasional di bidang Konservasi

Keanekaragaman Hayati; dan/atauc. warga negara atau organisasi non-pemerintah dari negara lain.

50

Page 51: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

(2) Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:a. tukar menukar informasi di bidang Konservasi Keanekaragaman

Hayati;b. kerjasama pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Konservasi

Keanekaragaman Hayati;c. tukar menukar atau pinjam meminjam SDG dan Spesies tanaman

pangan dan pertanian;d. kerjasama berupa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di

bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati; dan/ataue. kerjasama dalam pengukuhan dan pengelolaan situs warisan dunia

dan zona inti situs Cagar Biosfer.(3) Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 165(1) Pemerintah Pusat dapat mengajukan Kawasan Konservasi menjadi:

a. situs warisan dunia atau situs ramsar kepada organisasi internasional yang berwenang; atau

b. zona inti situs Cagar Biosfer kepada organisasi internasional yang mengurusinya serta mengelolanya bersama kawasan di sekitarnya dan dalam kerangka pengelolaan Cagar Biosfer.

(2) Pengajuan Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b didasarkan pada rekomendasi dari:a. Pemerintah Daerah Provinsi dan/atau Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota;b. pemangku kepentingan yang terkait; dan/atauc. lembaga pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.

(3) Situs dan zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b wajib dikelola sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh organisasi internasional.

(4) Pengelolaan situs Cagar Biosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikoordinasikan oleh Pemerintah Pusat.

Pasal 166(1) Pemerintah Pusat dapat mengadakan perjanjian atau kerjasama secara

bilateral, regional, dan multilateral terkait dengan pemanfaatan SDG yang bersifat lintas batas.

(2) Perjanjian atau kerjasama pemanfaatan SDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:a. pembagian keuntungan yang adil dan proporsional; b. adanya akses dan transfer teknologi;c. keamanan secara biologis;

51

Page 52: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

d. tidak merugikan kepentingan nasional; dane. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.(3) Dalam melaksanakan perjanjian atau kerjasama sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) Pemerintah Pusat wajib memperhatikan kepentingan Masyarakat Hukum Adat dan/atau kearifan lokal yang terkait dalam hal pembagian keuntungan yang adil dan proporsional.

BAB XIIIPENGAWASAN

Pasal 167(1) Dalam penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati,

Pemerintah Pusat berwenang melakukan pengawasan.(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

Pemerintah Pusat terhadap:a. tindakan konservasi secara in situ dan ex situ;b. lalu lintas SDG dan Spesies;c. perdagangan SDG dan Spesies; dan/ataud. aktivitas penelitian dan pemanfaatan SDG dan Spesies.

(3) Dalam melakukan pengawasan pada lalu lintas SDG dan Spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pemerintah Pusat menempatkan tenaga konservasi di tempat karantina.

Pasal 168Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) dilakukan melalui:a. pelaporan;b. pemantauan; dan c. evaluasi

Pasal 169(1) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 huruf a dilakukan

secara berjenjang oleh:a. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Daerah

Provinsi; danb. Pemerintah Daerah Provinsi kepada Pemerintah Pusat.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 170Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 huruf b

52

Page 53: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

dan huruf c dilakukan dengan memeriksa laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169.

Pasal 171Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 sampai dengan Pasal 170 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XIVLARANGAN

Pasal 172Setiap Orang dilarang:a. mengambil SDG tanpa izin;b. melakukan akses terhadap SDG dengan tidak memenuhi syarat-syarat

persetujuan yang diberitahukan atas informasi awal dan batasan-batasan yang disetujui bersama;

c. membawa SDG ke luar negeri tanpa adanya perjanjian transfer materi SDG;

d. membawa langsung ke luar negeri materi atau komponen SDG yang diakses dalam kondisi in situ;

e. melepaskan varietas atau organisme hasil rekayasa SDG atau organisme yang secara SDG telah dimodifikasi ke habitat alam;

f. mengawinsilangkan Satwa liar Kategori I yang berlainan Spesies tanpa izin menteri kehutanan atau menteri kelautan dan perikanan sesuai dengan kewenangannya;

g. membawa atau mengangkut sampel atau contoh materi genetik untuk tujuan pemanfaatan ke tempat yang tidak sesuai sebagaimana tercantum di dalam izin;

h. mengembalikan atau melepaskan ke habitat alam bagi organisme hasil perkawinan silang baik antarspesies maupun subspesies Tumbuhan maupun Satwa liar;

i. mengembalikan atau melepaskan ke habitat alam bagi Spesies asing; dan/atau

j. mengawinsilangkan Spesimen Satwa liar hidup pada Spesies atau subspesies berbeda.

Pasal 173Ketentuan mengenai larangan mengawinsilangkan Spesimen Satwa liar hidup pada Spesies atau subspesies berbeda sebagaimana dimaksud Pasal 172 huruf j, dikecualikan dalam hal budidaya bagi tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan peningkatan ketahanan pangan.

Pasal 174

53

Page 54: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

(1)Bagi semua Spesies yang termasuk di dalam daftar Spesies kategori I, kategori II, atau kategori III, ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 berlaku untuk seluruh Spesimen baik hidup maupun mati, termasuk bagian-bagian dan turunan-turunannya, kecuali apabila dinyatakan lain di dalam Anotasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.

(2)Terhadap Spesimen dan/atau Spesies Tumbuhan kategori I, Setiap Orang dilarang:

a. melakukan kegiatan yang mengakibatkan kematian, kerusakan Tumbuhan dan/atau hilangnya kemampuan untuk berkembangbiak;

b. memusnahkan Spesimen hidup;c. mengambil, menebang, memindahkan, atau merusak Spesimen hidup

atau Spesimen mati serta bagian-bagiannya atau turunannya;d. memusnahkan Spesimen mati, bagian-bagiannya, atau turunanya; e. mengangkut, membawa Spesimen hidup maupun mati, bagian-

bagiannya atau turunanya tanpa disertai surat izin angkut;f. menjual atau membeli, memperdagangkan Spesimen hidup atau

Spesimen mati serta bagian-bagiannya atau turunannya;g. menghadiahkan, menerima hadiah, menukar, menerima tukaran, atau

menerima titipan Spesimen hidup atau Spesimen mati serta bagian-bagiannya atau turunannya; dan/atau

h. mengeluarkan Spesimen Tumbuhan ke luar negeri dan/atau memasukkan jenis Tumbuhan ke wilayah yuridiksi Indonesia dengan cara melawan hukum Negara asal atau memasukkan dari laut tanpa izin;

Pasal 175Terhadap Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar Kategori I, Setiap Orang dilarang:a. melakukan kegiatan yang menyebabkan luka, kematian, atau hilangnya

kemampuan Spesies Satwa liar untuk hidup normal;b. memelihara Spesies Satwa liar hidup kecuali untuk tujuan rehabilitasi;c. memusnahkan Spesimen dan Spesies Satwa liar hidup; d. memusnahkan Spesimen dan Spesies Satwa liar mati, bagian-bagiannya,

atau turunannya tanpa izin;e. mengambil, mengumpulkan, dan/atau menyimpan Spesimen dan Spesies

Satwa liar hidup di wilayah yurisdiksi Indonesia termasuk zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen;

f. mengambil, memiliki, menguasai, dan/atau memelihara Spesimen Satwa liar yang mati, bagian-bagiannya, atau turunannya dari wilayah yurisdiksi Indonesia termasuk zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen tanpa izin.

g. memasang jerat, memburu, menangkap, melukai, dan/atau membunuh Spesies Satwa liar yang dilindungi mutlak hidup di wilayah yurisdiksi Indonesia termasuk zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen;

54

Page 55: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

h. mengangkut, membawa, dan/atau memindahkan Spesimen dan Spesies Satwa liar yang dilindungi mutlak hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunannya tanpa hak atau izin atau secara melawan hukum;

i. menjual, membeli, memperdagangkan, atau menawarkan untuk dijual dalam perdagangan domestik atau luar negeri Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar hidup atau Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar mati, bagian-bagiannya, atau turunannya;

j. menjual, membeli, memperdagangkan, atau menawarkan untuk dijual dalam perdagangan domestik atau luar negeri Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar mati, bagian-bagiannya, atau turunannya;

k. menghadiahkan, menerima hadiah, menukar, menerima tukar, atau menerima titipan Spesimen Satwa liar hidup atau Spesimen Satwa liar mati serta bagian-bagiannya atau turunannya;

l. mengeluarkan Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar dari wilayah yuridiksi Indonesia dan/atau memasukkan Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar ke wilayah yuridiksi Indonesia dengan cara melawan hukum Negara asal atau memasukkan dari laut Spesimen Satwa liar hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunannya;

m. melakukan tindakan yang dapat merusak sebagian atau seluruh habitat, mengganggu pola makan, pola berkembang biak, serta pola jelajah; dan/atau

n. melakukan tindakan modifikasi habitat yang signifikan atau melakukan tindakan yang mengakibatkan degradasi habitat.

Pasal 176Terhadap Spesimen dan/atau Spesies Tumbuhan Kategori II, Setiap Orang tanpa izin dilarang untuk:a. memusnahkan Spesimen dan/atau Spesies Tumbuhan hidup;b. mengambil, menebang, menjual atau membeli, memperdagangkan,

Spesimen dan/atau Spesies hidup Tumbuhan;c. memiliki, menguasai, menerima titipan, memelihara, menghadiahkan

atau menerima hadiah, dan atau menukar atau menerima tukaran Spesimen dan/atau Spesies hidup Tumbuhan;

d. mengangkut Spesimen dan/atau Spesies hidup Tumbuhan;e. mengeluarkan dari wilayah Indonesia ke luar negeri atau memasukkan

dari luar negeri ke wilayah Indonesia Spesimen dan/atau Spesies Tumbuhan;

f. menyimpan, memiliki, menguasai, mengangkut, menjual, membeli, memperdagangkan, menghadiahkan, menerima hadiah, dan/atau menukar atau menerima tukaran Spesimen dan/atau Spesies mati Tumbuhan; dan/atau

g. menyuruh, memerintahkan atau menyebabkan seseorang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf f.

55

Page 56: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 177Terhadap Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar kategori II, Setiap Orang tanpa izin dilarang untuk:a. memusnahkan atau membunuh Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar

hidup;b. mengambil, menjual atau membeli, dan memperdagangkan, Spesimen

dan/atau Spesies Satwa liar hidup;c. memiliki, menguasai, menerima titipan, memelihara, menghadiahkan

atau menerima hadiah, dan/atau menukar atau menerima tukaran Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar hidup;

d. mengangkut Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar hidup;e. menangkap, mengambil, melukai, membunuh, menjual, membeli,

dan/atau memperdagangkan, Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar hidup;

f. mengeluarkan dari wilayah Indonesia ke luar negeri atau memasukkan dari luar negeri ke wilayah Indonesia Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar; dan/atau

g. menyimpan, memiliki, menguasai, mengangkut, menjual, membeli, memperdagangkan, menghadiahkan, menerima hadiah, dan/atau menukar atau menerima tukaran Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar mati;

Pasal 178Setiap Orang dilarang untuk memperdagangkan dan/atau mengeluarkan Spesimen dan/atau Spesies Tumbuhan dan/atau Satwa ke luar negeri atau memasukkan ke dalam wilayah hukum Indonesia Spesimen dan/atau Spesies Tumbuhan dan/atau Satwa liar kategori III tanpa izin.

Pasal 179Setiap orang dilarang memasukkan secara sengaja atau tidak sengaja Tumbuhan dan/atau Hewan ke dalam lingkungan alami yang bukan habitatnya.

Pasal 180(1) Pengecualian dari larangan :

a. kategori I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 dan Pasal 175 hanya dapat dilakukan dengan izin menteri kehutanan atau menteri kelautan dan perikanan sesuai dengan kewenangannya untuk keperluan:1) penelitian dan pengembangan budidaya;2) ilmu pengetahuan;3) penyelamatan Spesies populasi atau individu suatu Spesies

56

Page 57: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Tumbuhan dan Satwa liar;4) peminjaman dalam rangka penyelamatan atau pemulihan populasi

Satwa liar di dalam atau luar negeri;5) pemusnahan untuk menghindari bahaya yang lebih besar

terhadap lingkungan maupun manusia; 6) pemasukan Tumbuhan dan Satwa liar dari luar negeri yang aslinya

berasal dari Indonesia untuk kepentingan reintroduksi;7) kegiatan pembinaan habitat, pembinaan populasi, dan

penyelamatan populasi di zona selain zona inti Kawasan Pelestarian Alam; dan/atau

8) kegiatan dalam rangka penyediaan sarana pengelolaan kawasan.b. menangkap, melukai, dan/atau membunuh Satwa liar kategori I,

dalam hal Satwa liar tersebut membahayakan nyawa manusia dan hanya dilakukan oleh petugas yang berwenang; dan/atau

c. memiliki, memelihara, dan menguasai Spesimen dan/atau Spesies kategori I, sepanjang dapat dibuktikan Spesimen dan/atau Spesies tersebut diperoleh secara sah sebelum dinyatakan sebagai Spesimen dan/atau Spesies kategori I.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 181(1) Di dalam Kawasan Konservasi, Setiap Orang dilarang:

a. menangkap, membunuh, melukai, mencederai, dan/atau mengganggu Satwa liar dengan cara dan alat apapun, dan/atau merusak sarang Satwa liar, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan;

b. menebang pohon atau Tumbuhan, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan;

c. memasukkan Spesies Tumbuhan dan/atau Satwa liar yang bukan merupakan Spesies yang secara alami hidup atau pernah hidup di dalam kawasan;

d. mengubah bentang alam, bentuk lahan, atau kontur lahan yang dapat berakibat kerusakan dan/atau hilangnya fungsi Ekosistem;

e. melakukan kegiatan baik di luar maupun di dalam kawasan yang menimbulkan pencemaran di dalam kawasan;

f. melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan atau perubahan pada unsur-unsur non-hayati;

g. membuka, menduduki, mengerjakan, menggunakan, menjual, dan/atau membeli lahan kawasan; dan/atau

h. memotong, memindahkan, merusak, dan/atau menghilangkan tanda batas kawasan.

(2) Di dalam Kawasan Suaka Alam dan zona inti Kawasan Pelestarian Alam , setiap Orang dilarang mengambil atau memindahkan benda apapun baik

57

Page 58: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

hidup maupun mati yang secara alami berada di dalam kawasan.

Pasal 182Setiap Orang dianggap dan/atau patut diduga melakukan tindakan atau kegiatan permulaan terhadap pelanggaran larangan bagi Spesimen dan/atau Spesies Tumbuhan kategori I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 dan larangan terhadap Spesimen dan/atau Spesies Satwa liar Kategori I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175, apabila:a. memasuki Kawasan Konservasi tanpa izin; dan/ataub. membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, menangkap,

berburu, menebang, merusak, memusnahkan, dan/atau mengangkut tumbuhan, Satwa liar dan/atau benda-benda lainnya dari dan/atau ke dalam kawasan.

Pasal 183Pihak di luar Masyarakat Hukum Adat dilarang untuk memanfaatkan Spesimen Tumbuhan atau Satwa liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1) huruf a dan huruf b.

Pasal 184Pejabat yang berwenang mengeluarkan izin dilarang memberikan izin penggunaan atau pemanfaatan di kawasan Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi yang mengakibatkan pembukaan lahan bagi habitat Tumbuhan dan/atau Satwa liar Kategori I.

BAB XVPENYELESAIAN SENGKETA

Bagian KesatuUmum

Pasal 185(1) Sengketa penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati

merupakan perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan Konservasi Keanekaragaman Hayati.

(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:a. Pemerintah Pusat;b. Pemerintah Daerah;c. perseorangan/kelompok; dand. badan hukum.

(3) Penyelesaian sengketa penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman

58

Page 59: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Hayati dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.(4) Pilihan penyelesaian sengketa penyelenggaraan Konservasi

Keanekaragaman Hayati dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.

(5) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Bagian KeduaPenyelesaian Sengketa Konservasi di Luar Pengadilan

Pasal 186(1) Penyelesaian sengketa penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman

Hayati di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:a. bentuk dan besarnya ganti rugi;b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya perusakan;d. perjanjian kerjasama dalam penelitian Konservasi Keanekaragaman

Hayati;e. proses dalam pengukuhan suatu Kawasan Konservasi;f. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap

Konservasi Keanekaragaman Hayati;g. tukar menukar atau pinjam meminjam SDG dan Spesies; dan/atauh. kerjasama berupa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di

bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati.(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak

pidana di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan dengan negosiasi, mediasi, arbitrase, atau pilihan lain dari para pihak yang bersengketa.

(4) Hasil kesepakatan penyelesaian sengketa di luar pengadilan harus dinyatakan secara tertulis dan bersifat mengikat bagi para pihak.

Pasal 187(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian

sengketa di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati yang bersifat bebas dan tidak berpihak.

(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati yang bersifat bebas dan tidak berpihak.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian

59

Page 60: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

sengketa di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian KetigaPenyelesaian Sengketa Konservasi Melalui Pengadilan

Paragraf 1Hak Gugat Masyarakat

Pasal 188(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk

kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat kerusakan Kawasan Konservasi.

(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 189Setiap orang yang tindakan, usaha, dan/atau kegiatannya dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem, menghilangkan fungsi ekosistem, dan/atau menimbulkan pencemaran di dalam Kawasan Konservasi yang menimbulkan ancaman serius terhadap Keanekaragaman Hayati, bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Paragraf 2Hak Gugat Organisasi Konservasi

Pasal 190(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pelindungan dan

pengelolaan Kawasan Konservasi, organisasi konservasi berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan Konservasi Keanekaragaman Hayati.

(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

(3) Organisasi Konservasi dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:a. berbentuk badan hukum;b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut

60

Page 61: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

didirikan untuk kepentingan konservasi Keanekaragaman Hayati; danc. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya

paling singkat 2 (dua) tahun.(4) Ketentuan mengenai hak gugat organisasi dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XVISANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 191(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 48, Pasal 94 ayat (3), Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 100 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 108 ayat (1), Pasal 119 ayat (6), Pasal 172 huruf g, Pasal 173, Pasal 175, Pasal 176, Pasal 177, Pasal 178, Pasal 179, Pasal 181, Pasal 182, Pasal 183, dan Pasal 184, dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:a. peringatan tertulis;b. penghentian sementara kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;c. penutupan lokasi kegiatan;d. denda administratif; e. ganti rugi; dan/atauf. pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XVIIPENYIDIKAN

Pasal 192Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, masing-masing penyidik pegawai negeri sipil di bawah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan perikanan, pertanian dan perkebunan, atau lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya, di diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang hukum acara pidana.

Pasal 193Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan

61

Page 62: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

berkenaan dengan tindak pidana di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati;

b. melakukan pemeriksaan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati;

c. meminta keterangan dan barang bukti dari Setiap Orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati;

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati;

f. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak

pidana di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati; h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti tentang adanya

tindakan pidana di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati; i. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi; j. membuat dan menandatangani berita acara dan surat-surat lain yang

menyangkut penyidikan perkara di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati; dan/atau

k. memotret dan/atau merekam melalui alat potret, alat perekam dan/atau media audio visual lainnya terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut tindak pidana di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati.

Pasal 194Wilayah hukum atau wilayah kerja penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 195(1) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192

memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum setelah berkoordinasi dengan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(2) Koordinasi dengan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikecualikan bagi penyidik pegawai negeri sipil di bidang kelautan dan perikanan.

62

Page 63: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 196Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan laporan yang berasal dari masyarakat dan/atau instansi terkait.

Pasal 197(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 196, penyidik berwenang meminta kepada lembaga penyelenggara komunikasi, bank, dan/atau penyelenggara jasa keuangan lainnya untuk: a. membuka, memeriksa, dan menyita surat atau kiriman melalui pos

serta jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana dibidang Konservasi Keanekaragaman Hayati yang sedang diperiksa; dan/atau

b. meminta informasi pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana dibidang Konservasi Keanekaragaman Hayati.

c. meminta keterangan kepada bank atau jasa keuangan lainnya atau berkaitan dengan transaksi keuangan tersangka

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat atas permintaan penyidik untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(3) Ketua pengadilan negeri setempat wajib memberikan izin untuk meminta informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permintaan dari penyidik.

(4) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan serta dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.

Pasal 198Alat bukti pemeriksaan perbuatan tindak pidana di bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati meliputi: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan

di bidang hukum acara pidana; dan/atau b. alat bukti lain berupa:

1. informasi elektronik; 2. dokumen elektronik; dan/atau 3. peta.

Pasal 199Peruntukan pemanfaatan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ditujukan: a. untuk kepentingan pembuktian perkara; b. untuk pemanfaatan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;

63

Page 64: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

c. untuk dimusnahkan; dan/atau d. untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial.

Pasal 200Ketentuan mengenai tata cara penyimpanan barang bukti hasil tindak pidana dibidang Konservasi Keanekaragaman Hayati yang disita dan tata cara peruntukan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XVIIIKETENTUAN PIDANA

Pasal 201Setiap Orang yang:a. mengambil SDG tanpa izin;b. melakukan akses terhadap SDG dengan tidak memenuhi syarat-syarat

persetujuan yang diberitahukan atas informasi awal dan batasan-batasan yang disetujui bersama;

c. membawa SDG ke luar negeri tanpa adanya perjanjian transfer materi SDG;

d. membawa langsung ke luar negeri materi atau komponen SDG yang diakses dalam kondisi in situ;

e. melepaskan varietas atau organisme hasil rekayasa SDG atau organisme yang secara SDG telah dimodifikasi ke habitat alam;

f. mengawinsilangkan Satwa liar Kategori I yang berlainan Spesies tanpa izin menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan sesuai dengan kewenangannya;

g. mengembalikan atau melepaskan ke habitat alam bagi organisme hasil perkawinan silang baik antarspesies maupun subspesies Tumbuhan maupun Satwa liar;

h. mengembalikan atau melepaskan ke habitat alam bagi Spesies asing; atau

i. mengawinsilangkan Spesimen Satwa liar hidup pada Spesies atau subspesies berbeda;

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 202Setiap Orang yang:a. melakukan kegiatan yang mengakibatkan kematian, kerusakan

Tumbuhan dan/atau hilangnya kemampuan untuk berkembangbiak;

64

Page 65: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

b. memusnahkan Spesimen hidup;c. mengambil, menebang, memindahkan, atau merusak Spesimen hidup

atau Spesimen mati serta bagian-bagiannya atau turunannya;d. memusnahkan Spesimen mati, bagian-bagiannya, atau turunanya; e. mengangkut, membawa Spesimen hidup maupun mati, bagian-bagiannya

atau turunanya tanpa disertai surat izin angkut;f. menjual atau membeli, memperdagangkan Spesimen hidup atau

Spesimen mati serta bagian-bagiannya atau turunannya;g. menghadiahkan, menerima hadiah, menukar, menerima tukaran, atau

menerima titipan Spesimen hidup atau Spesimen mati serta bagian-bagiannya atau turunannya; atau

h. mengeluarkan Spesimen Tumbuhan ke luar negeri dan/atau memasukkan jenis Tumbuhan ke wilayah yuridiksi Indonesia dengan cara melawan hukum Negara asal atau memasukkan dari laut tanpa izin;

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 203Setiap Orang yang:a. melakukan kegiatan yang menyebabkan luka, kematian, atau hilangnya

kemampuan Spesies Satwa liar untuk hidup normal;b. memelihara Spesies Satwa liar hidup kecuali untuk tujuan rehabilitasi;c. memusnahkan Spesimen dan Spesies Satwa liar hidup; d. memusnahkan Spesimen dan Spesies Satwa liar mati, bagian-bagiannya,

atau turunannya tanpa izin;e. mengambil, mengumpulkan, atau menyimpan Spesimen dan Spesies

Satwa liar hidup di wilayah yurisdiksi Indonesia termasuk zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen;

f. mengambil, memiliki, menguasai, atau memelihara Spesimen Satwa liar yang mati, bagian-bagiannya, atau turunannya dari wilayah yurisdiksi Indonesia termasuk zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen tanpa izin.

g. memasang jerat, memburu, menangkap, melukai, atau membunuh Spesies Satwa liar yang dilindungi mutlak hidup di wilayah yurisdiksi Indonesia termasuk zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen;

h. mengangkut, membawa, atau memindahkan Spesimen dan Spesies Satwa liar yang dilindungi mutlak hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunannya tanpa hak atau izin atau secara melawan hukum;

i. menjual, membeli, memperdagangkan, atau menawarkan untuk dijual dalam perdagangan domestik atau luar negeri Spesimen atau Spesies Satwa liar hidup atau Spesimen atau Spesies Satwa liar mati, bagian-bagiannya, atau turunannya;

65

Page 66: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

j. menjual, membeli, memperdagangkan, atau menawarkan untuk dijual dalam perdagangan domestik atau luar negeri Spesimen atau Spesies Satwa liar mati, bagian-bagiannya, atau turunannya;

k. menghadiahkan, menerima hadiah, menukar, menerima tukar, atau menerima titipan Spesimen Satwa liar hidup atau Spesimen Satwa liar mati serta bagian-bagiannya atau turunannya;

l. mengeluarkan Spesimen atau Spesies Satwa liar dari wilayah yuridiksi Indonesia atau memasukkan Spesimen atau Spesies Satwa liar ke wilayah yuridiksi Indonesia dengan cara melawan hukum Negara asal atau memasukkan dari laut Spesimen Satwa liar hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunannya;

m. melakukan tindakan yang merusak sebagian atau seluruh habitat, mengganggu pola makan, pola berkembang biak, serta pola jelajah; atau

n. melakukan tindakan modifikasi habitat yang signifikan atau melakukan tindakan yang mengakibatkan degradasi habitat.

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 204Setiap Orang yang:a. memusnahkan Spesimen atau Spesies Tumbuhan hidup;b. mengambil, menebang, menjual atau membeli, memperdagangkan,

Spesimen atau Spesies hidup Tumbuhan;c. memiliki, menguasai, menerima titipan, memelihara, menghadiahkan

atau menerima hadiah, dan atau menukar atau menerima tukaran Spesimen atau Spesies hidup Tumbuhan;

d. mengangkut Spesimen atau Spesies hidup Tumbuhan;e. mengeluarkan dari wilayah Indonesia ke luar negeri atau memasukkan

dari luar negeri ke wilayah Indonesia Spesimen atau Spesies Tumbuhan;f. menyimpan, memiliki, menguasai, mengangkut, menjual, membeli,

memperdagangkan, menghadiahkan, menerima hadiah, atau menukar atau menerima tukaran Spesimen atau Spesies mati Tumbuhan; atau

g. menyuruh, memerintahkan atau menyebabkan seseorang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf f;

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

66

Page 67: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 205Setiap Orang yang:a. memusnahkan atau membunuh Spesimen atau Spesies Satwa liar hidup;b. mengambil, menjual atau membeli, dan memperdagangkan, Spesimen

atau Spesies Satwa liar hidup;c. memiliki, menguasai, menerima titipan, memelihara, menghadiahkan

atau menerima hadiah, atau menukar atau menerima tukaran Spesimen atau Spesies Satwa liar hidup;

d. mengangkut Spesimen atau Spesies Satwa liar hidup;e. menangkap, mengambil, melukai, membunuh, menjual, membeli, atau

memperdagangkan, Spesimen atau Spesies Satwa liar hidup;f. mengeluarkan dari wilayah Indonesia ke luar negeri atau memasukkan

dari luar negeri ke wilayah Indonesia Spesimen atau Spesies Satwa liar; atau

g. menyimpan, memiliki, menguasai, mengangkut, menjual, membeli, memperdagangkan, menghadiahkan, menerima hadiah, atau menukar atau menerima tukaran Spesimen atau Spesies Satwa liar mati;

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 206Setiap Orang yang memperdagangkan atau mengeluarkan Spesimen atau Spesies Tumbuhan atau Satwa liar ke luar negeri atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia Spesimen atau Spesies Tumbuhan atau Satwa liar kategori III tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling sedikit Rp.25.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 207(1)Setiap Orang yang:

a. menangkap, membunuh, melukai, mencederai, atau mengganggu Satwa liar dengan cara dan alat apapun, atau merusak sarang Satwa liar, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan;

b. menebang pohon atau Tumbuhan, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan;

c. memasukkan Spesies Tumbuhan atau Satwa liar yang bukan merupakan Spesies yang secara alami hidup atau pernah hidup di dalam kawasan;

d. mengubah bentang alam, bentuk lahan, atau kontur lahan yang dapat berakibat kerusakan atau hilangnya fungsi Ekosistem;

67

Page 68: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

e. melakukan kegiatan baik di luar maupun di dalam kawasan yang menimbulkan pencemaran di dalam kawasan;

f. melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan atau perubahan pada unsur-unsur non-hayati;

g. membuka, menduduki, mengerjakan, menggunakan, menjual, atau membeli lahan kawasan; atau

h. memotong, memindahkan, merusak, atau menghilangkan tanda batas kawasan;

(2)Setiap Orang yang mengambil atau memindahkan benda apapun baik hidup maupun mati yang secara alami berada di dalam kawasan;

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 208Pihak di luar Masyarakat Hukum Adat yang memanfaatkan Spesimen Tumbuhan atau Satwa liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 209Dalam hal tindak pidana Konservasi Keanekaragaman Hayati, dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap pengurusnya.

Pasal 210(1) Dalam hal korporasi dijatuhi pidana, maka korporasi tersebut diwakili

oleh pengurus.(2) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap

sendiri di sidang pengadilan atau memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

(3) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga untuk masing-masing pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 211Selain dapat dijatuhi pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 sampai dengan Pasal 208, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan; ataub. pencabutan izin.

68

Page 69: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 212(1)Setiap Pejabat yang dengan sengaja memberikan izin penggunaan atau

pemanfaatan di kawasan Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah).

(2)Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lalai maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

BAB XIXKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 213Semua Kawasan Konservasi yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta perairan, termasuk perairan pedalaman yang saat ini pengelolaannya masih berada di bawah kewenangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, masih tetap dikelola oleh menteri kehutanan sampai dengan batas jangka waktu serah terimanya berakhir.

Alternatif: Pasal 213 dihapus apabila Alternatif Pasal 216 disetujui.

BAB XXKETENTUAN PENUTUP

Pasal 214Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya

Alam Hayati dan Ekositemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 3419)dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;

b. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekositemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 3419) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

69

Page 70: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 215Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 216(1) Semua Kawasan Konservasi yang berada di wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil, serta perairan, termasuk perairan pedalaman yang saat ini pengelolaannya masih di bawah kewenangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, harus sudah diserahterimakan pengelolaannya kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

(2) Serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk juga terhadap personel, prasarana dan sarana, pembiayaan, dan dokumen pendukung yang berada di Kawasan Konservasi.

AlternatifPasal 216

(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Kawasan Konservasi yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta perairan, termasuk perairan pedalaman yang saat ini pengelolaannya masih di bawah kewenangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, tetap dikelola oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutan.

(2) Untuk Kawasan Konservasi yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta perairan, termasuk perairan pedalaman yang ditetapkan setelah Undang-Undang ini mulai berlaku, pengelolaannya di bawah kewenangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan perikanan.

Catatan: Kawasan Konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta perairan, termasuk perairan pedalaman yang sudah dikelola oleh KLHK dan tidak termasuk Kawasan Konservasi Perairan yang harus diserahkan berdasarkan Pasal 78A UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisisir dan Pulau-Pulau Kecil, apabila akan dialihkan ke KKP dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan kepegawaian, anggaran, dan pengalihan sarana prasarana.

Pasal 217

70

Page 71: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar Setiap Orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini, dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakartapada tanggal ….PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakartapada tanggal ....

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …

71

Page 72: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

PENJELASANATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR ... TAHUN ...

TENTANGKONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

I. UMUMBangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan Keanekaragaman Hayati yang tinggi dan berlimpah baik di darat, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maupun di daerah perairan termasuk perairan pedalaman, sehingga Indonesia dikenal sebagai salah satu dari sedikit negara mega bio-kultural-diversitas di dunia. Keanekaragaman Hayati tersebut merupakan sumber daya strategis karena menyangkut ketahanan nasional, dikuasai oleh negara yang diatur pengelolaannya secara optimal dan berkelanjutan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Walaupun Keanekaragaman Hayati di Indonesia berlimpah, namun sumberdaya alam hayati tersebut tidak tak terbatas dan mempunyai sifat yang tidak dapat kembali seperti asalnya (irreversible) apabila dimanfaatkan secara berlebihan. Pemanfaatan secara berlebihan akan mengancam keberadaan sumber daya alam itu sendiri, dan sampai pada tahap tertentu akan dapat memusnahkan keberadaannya.Keanekaragaman Hayati, terdapat pada tiga tingkatan yaitu keanekaragaman ditingkat SDG, Spesies, Ekosistem. Secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama Keanekaragaman Hayati tersebut mempunyai fungsi

72

Page 73: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

sebagai sistem penyangga kehidupan, dimana Ekosistem, Spesies, dan genetik mampu menghasilkan dan memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia. Dengan demikian pengaturan tindakan konservasi termasuk pelindungan merupakan inti perlindungan sistem penyangga kehidupan.Guna terjaminnya kelestarian manfaat Keanekaragaman Hayati dan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan, perlu dilakukan tindakan konservasi terhadap Keanekaragaman Hayati dimaksud. Tindakan konservasi tersebut berupa pengelolaan potensi Keanekaragaman Hayati secara bijaksana dengan tetap menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelindungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Pengaturan tindakan konservasi Keanekaragaman Hayati diharapkan mampu mencegah kerusakan atau kepunahan serta menjamin kelestarian fungsi dan manfaat Keanekaragaman Hayati serta keseimbangan Ekosistemnya; menjamin agar keberadaan dan Keanekaragaman Hayati dapat dipertahankan bagi generasi saat ini maupun generasi yang akan datang; meningkatkan dan menjamin keberadaan dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati; dan memelihara proses ekologis dan penyangga kehidupan.Dewasa ini telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang konservasi yaitu UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini telah berumur lebih dari 25 tahun, dan selama masa tersebut telah menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati. Namun demikian dalam tenggang waktu tersebut telah terjadi banyak sekali perubahan lingkungan strategis nasional seperti berubahnya sistem politik dan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan demokratisasi, tumpang tindih dan ketidakjelasan kewenangan antar kementerian di bidang konservasi, belum memberikan peran yang maksimal kepada kepada masyarakat hukum adat dan masyarakat sekitar daerah konservasi, minimnya peran serta masyarakat, maupun perubahan pada tataran global berupa bergesernya beberapa kebijakan internasional dalam penyelenggaraan konservasi. Kondisi di atas, serta memperhatikan tantangan ke depan seperti menguatnya tekanan masyarakat terhadap Kawasan Konservasi, meningkatnya jumlah penduduk yang memerlukan percepatan pembangunan di segala sektor memerlukan legislasi nasional mengenai konservasi yang mampu melindungi keanekaragaman hayati secara efektif serta menjamin kemanfaatan bagi masyarakat; sehingga dipandang perlu untuk mengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan undang-undang yang dapat memberi jaminan yang lebih kokoh dalam penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati.Undang-Undang ini disusun sebagai jawaban terhadap kondisi di atas

73

Page 74: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

dengan memperhatikan keselarasan hubungan antara makhluk hidup dan lingkungannya dimana manusia tidak menjadi inti dari kehidupan tetapi manusia harus menjaga kelestarian Keanekaragaman Hayati demi kelangsungan hidupnya atau pada setiap kegiatan pembangunan harus selalu menjamin terjadinya harmonisasi hubungan antara kehidupan manusia dengan alam dan budayanya Pengaturan Konservasi Keanekaragaman Hayati kedepan diharapkan mampu: a. mencegah kerusakan atau kepunahan serta menjamin kelestarian fungsi

dan manfaat keanekaragaman hayati bagi keberlangsungan sistem penyangga kehidupan;

b. meningkatnya luasan jaringan kawasan konservasi, serta kesejahteraan Satwa liar;

c. meningkatkan koordinasi lintas sektor bagi keberhasilan konservasi, serta semakin efektipnya kegiataan koordinasi di bawah sekretariat nasional konservasi bagi pembangunan;

d. mengatur kegiatan konservasi secara utuh termasuk posisinya sebagai penentu sistem penyangga kehidupan.

e. meningkatkan peluang lapangan pekerjaan berbasis kelestarian bagi masyarakat disekitar wilayah konservasi, meningkatnya legalitas dan penghasilan pengelolaan jasa hutan, serta terkendalinya konflik kawasan / konflik Satwa liar.

f. mewujudkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dibidang konservasi kehati, dalam hal ini termasuk meningkatnya partisipasi para pihak dalam kegiatan konservasi termasuk dalam hal ini yang berhubungan dengan keterbatasan dana pemerintah.

g. meningkatnya keadilan dalam penegakan hukum, serta tumbuhnya efek jera bagi setiap tindakan merusak atau yang dapat mengganggu kelestarian kehati; dan

h. mengisi kekosongan hukum, antara lain dalam pengaturan konservasi genetik, kesejahteraan Satwa liar, perlindungan wilayah konservasi bukan kawasan konservasi (seperti zona penyangga, wilayah dengan keragaman kehati tinggi),

Secara umum RUU ini memuat materi-materi pokok yang terdiri dari: perencanaan; pelindungan; pemanfaatan; pemulihan; kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah dalam bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati; Masyarakat Hukum Adat; data dan informasi; pendanaan; peran serta masyarakat; kerjasama internasional; pengawasan; penyelesaian sengketa; ketentuan mengenai sanksi baik administratif maupun pidana; serta ketentuan peralihan.

II. PASAL DEMI PASAL

74

Page 75: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 1Cukup jelas.

Pasal 2Huruf a

Yang dimaksud dengan asas “kelestarian” adalah usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus pada masa mendatang.

Huruf bYang dimaksud dengan asas “keseimbangan dan keserasian” adalah penyelengaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan pelindungan serta pelestarian Ekosistem.

Huruf cYang dimaksud dengan asas “kemanfaatan yang berkelanjutan” adalah penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati harus dapat memberikan manfaat bagi generasi saat ini dan generasi masa mendatang dengan menjamin kesinambungan persediaannya, serta tetap memelihara dan meningkatkan kualitas dan nilainya.

Huruf dYang dimaksud dengan asas “keterpaduan” adalah penyelengaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya.

Huruf eYang dimaksud dengan asas “transparansi dan akuntabilitas” adalah pengelolaan Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

Huruf fYang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem.

Huruf gYang dimaksud dengan asas “keadilan” adalah penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati harus

75

Page 76: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

mencerminkan keadilan secara proporsional dalam pembagian keuntungan dan akses terhadap teknologi bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, maupun lintas generasi.

Huruf hYang dimaksud dengan asas “partisipatif” adalah setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan Konservasi Keanekaragaman Hayati, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Huruf iYang dimaksud dengan asas “kearifan lokal” adalah dalam penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.

Huruf jYang dimaksud dengan asas “kemitraan” adalah dalam penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati harus memperhatikan kesepakatan kerja sama antarpemangku kepentingan yang berkaitan dengan konservasi sumber daya Ikan.

Huruf kYang dimaksud dengan asas “efisiensi” adalah dalam penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati harus memperhatikan faktor efisiensi, baik dari segi waktu, proses, maupun pembiayaannya.

Pasal 3Cukup jelas.

Pasal 4Cukup jelas.

Pasal 5 Ayat (1)

Konservasi Keanekaragaman Hayati tidak hanya dilakukan di atas permukaan bumi tetapi juga dilakukan terhadap sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, seperti mineral, gas, dan minyak bumi.

Ayat (2)Huruf a

Yang dimaksud dengan “hutan lindung” adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.Yang dimaksud dengan “hutan produksi” adalah kawasan hidup yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

76

Page 77: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Huruf bYang dimaksud dengan “Wilayah Perairan” adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.Perairan pedalaman terdiri atas :a. laut pedalaman; danb. perairan darat.wilayah perairan yang memiliki fungsi konservasi dapat berupa waduk, embung, dan bendungan.Yang dimaksud dengan “wilayah yurisdiksi” adalah wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Huruf cYang dimaksud dengan “wilayah pesisir” adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.Yang dimaksud dengan “pulau-pulau kecil” adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.

Pasal 6Cukup jelas.

Pasal 6AAyat 1

Cukup jelas.Ayat 2

Lingkup kerjasama internasional antara lain dalam bidang mekanisme pembagian keuntungan, hak kekayaan intelektual, pelaksanaan manejemen pengelolaan kawasan konservasi berbasis area, pengembangan kapasitas, transfer teknologi, dan bidang lainnya yang dianggap relevan oleh negara Pantai yang terlibat dalam kerjasama internasional tersebut.

Ayat 3Cukup jelas.

Pasal 6BCukup jelas.

Pasal 7Cukup jelas.

Pasal 8Cukup jelas.

Pasal 9Cukup jelas.

77

Page 78: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 10Cukup jelas.

Pasal 11Cukup jelas.

Pasal 12Cukup jelas.

Pasal 13Cukup jelas.

Pasal 14Cukup jelas.

Pasal 15Cukup jelas.

Pasal 16Cukup jelas.

Pasal 17Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “jenis target” adalah jenis prioritas SDG, yang terdiri dari jenis-jenis yang telah terancam punah, mempunyai nilai komersial tinggi, danyang saat ini dibudidayakan atau jenis-jenis yang potensial untuk mendukung budidaya, yang ditetapkan dalam rangka meningkatkan atau mempertahankan kebugaran genetik (genetic fitness) agar populasi atau sub-populasinya tidak rentan terhadap kepunahan.Mikroorganisme penting antara lain berupa bakteri yang hidup di sekitar hydrothermal vent atau di sekitar gunung api bawah laut, yang penting untuk kegiatan bioprospeksi (biofarmakologi, biokosmetika, dan bioenergi).

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 18Cukup jelas

Pasal 19Huruf a

Cukup jelas.Huruf b

Cukup jelas Huruf c

Yang dimaksud dengan “Spesies non-target” adalah Spesies yang pelindungan genetiknya saat ini belum prioritas namun merupakan SDG yang menjadi sasaran pemanfaatan, termasuk akses pada SDG dan bioprospeksi.

78

Page 79: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Huruf dCukup jelas.

Pasal 20Cukup jelas.

Pasal 21Huruf a

Kriteria Spesies yang dalam bahaya kepunahan antara lain Spesies yang populasi di alamnya telah terancam punah dan atau termasuk dalam pelindungan Spesies Kategori I dan Spesies-Spesies yang endemik.

Huruf b Kriteria Spesies yang mempunyai nilai komersial antara lain:1) Spesies yang secara langsung dieksploitasi secara komersial

dan atau Spesiess yang unsur-unsur SDGnya dimanfaatkan secara tradisional.

2) Spesies yang unsur-unsur SDGnya merupakan milik publik.

Huruf cKriteria Spesies yang mendukung budidaya antara lain:

1) Spesies yang diketahui digunakan atau berpotensi untuk meningkatkan keunggulan mutu SDG tanaman pertanian pangan dan hortikultura atau hewan domestik dan budidaya.

2) memiliki nilai strategis bagi kelangsungan hidup manusia, termasuk untuk pengembangan obat-obatan dan mendukung ketahanan pangan (virus flu burung, patogen penyakit manusia, SDG yang penting dibawah konvensi internasional).

Pasal 22Cukup jelas.

Pasal 23Cukup jelas.

Pasal 24Cukup jelas.

Pasal 25Ayat (1)

Inventarisasi dilakukan untuk mengetahui sebaran geografis, tingkat populasi dan keanekaragaman SDG Spesies bersangkutan Inventarisasi dapat didukung dengan riset ilmiah bagi konservasi SDG, Riset ilmiah dimaksud harus memenuhi ketentuan mengenai akses terhadap sumberdaya genetic. Riset ilmiah dimaksud harus memenuhi ketentuan mengenai akses terhadap SDG.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)

79

Page 80: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Cukup jelas.Pasal 26

Pengaturan pelindungan SDG Spesies target (in situ) ditujukan untuk melindungi keanekaragaman SDG dan keaslian Spesies di dalam habitat aslinya.

Pasal 27Pengaturan pelindungan SDG Spesies target ex situ ditujukan untuk menjaga keanekaragaman SDG dan kemurnian Spesies.Pemeliharaan Spesimen hidup Satwa terancam punah di dalam lembaga Konservasi ex situ seperti kebun binatang atau taman Satwa lainnya kebun botani, kebun raya, atau taman lainnya mencegah terjadinya perkawinan kerabat (in-breeding) dalam rangka mempertahankan kebugaran genetik populasi di luar habitatnya serta mencegah perkawinan silang Satwa liar untuk menjaga kemurnian Spesies.

Pasal 28Cukup jelas.

Pasal 29Cukup jelas.

Pasal 30Cukup jelas.

Pasal 31Cukup jelas.

Pasal 32Cukup jelas.

Pasal 33Ayat (1)

Spesies Kategori I populasi di habitat alamnya berada dalam kondisi terancam bahaya kepunahan (critically endangered) bisa terjadi antara lain akibat mendapatkan tekanan pemanfaatan dan atau mendapatkan tekanan akibat kerusakan habitat.Spesies Kategori I hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan melalui riset ilmiah dan atau penyelamatan Spesies yang bersangkutan.

Ayat (2)Huruf a

Kondisi terancam bahaya kepunahan (critically endangered) bisa terjadi antara lain akibat mendapatkan tekanan pemanfaatan dan atau mendapatkan tekanan akibat kerusakan habitat.

Huruf b

80

Page 81: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Yang dimaksud dengan “secara alami mempunyai populasi yang kecil” adalah tumbuhan atau Satwa liar yang antara lain:1) diketahui atau diduga terjadi penurunan secara tajam pada

jumlah individu di alam serta penurunan luas dan kualitas habitat;

2) jumlah sub populasi kecil;3) mayoritas individu dalam satu atau lebih fase sejarah

hidupnya pernah terkonsentrasi hanya pada satu atau sedikit sub populasi saja;

4) dalam waktu yang pendek pernah mengalami fluktuasi yang tajam pada jumlah individu;

5) karena sifat biologis dan perilaku Spesies tersebut, seperti migrasi, Spesies tersebut rentan terhadap bahaya kepunahan; dan/atau

6) analisis kuantitatif memperlihatkan kemungkinan atau peluang terjadinya kepunahan adalah 20 (dua puluh) persen sampai dengan 50 (lima puluh) persen dalam waktu 10 (sepuluh) sampai 20 (dua puluh) tahun atau dalam 3 (tiga) sampai 5 (lima) generasi yang akan datang.

Huruf cYang dimaksud dengan “penyebaran yang terbatas” adalah Tumbuhan atau Satwa liar yang populasinya sangat terbatas atau endemik dicirikan dengan paling antara lain:

1) hanya terdapat di satu atau beberapa lokasi atau pulau;2) populasi terpisah-pisah atau terfragmentasi;3) terjadi fluktuasi yang besar pada jumlah populasi atau luas areal

penyebarannya;4) adanya dugaan penurunan yang tajam pada areal

penyebarannya, jumlah sub populasi, jumlah individu, luas dan kualitas habitat atau potensi reproduksi.

Huruf dDaftar Spesies yang dilindungi secara internasional pelindungannya diatur secara ketat antara lain mengacu kepada Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), International Union for Conservation of Nature (IUCN), dan/atau konvensi lain mengenai Spesies-Spesies Tumbuhan dan Satwa liar.

Pasal 34Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Spesies yang pemanfaatannya dikendalikan” adalah Spesies yang populasi di habitat alamnya

81

Page 82: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

berada dalam kondisi rentan (vulnerable) atau tidak cukup data serta mendapat tekanan pemanfaatan. Informasi tentang Spesies belum dipunyai secara lengkap namun tekanan terhadap pemanfaatan cukup tinggi.

Ayat (2)Huruf a

Yang dimaksud dengan “pemanfaatan yang tidak dikendalikan” adalah pemanfaatan yang melebihi kemampuan populasi untuk meregenerasi diri.

Huruf bYang dimaksud dengan “Spesies yang secara visual mirip dan sulit dibedakan” adalah Spesies yang populasinya di alam saat ini masih melimpah sehingga sebenarnya masuk kriteria Spesies Kategori III, namun karena dapat mempengaruhi efektivitas pelindungan Spesies Kategori II yang mirip dengannya, sebaiknya pemanfaatannya harus dikendalikan dan dimasukkan dalam Spesies Kategori II.

Huruf cDaftar Spesies yang dilindungi secara internasional diatur secara terbatas dan perdagangannya dikendalikan antara lain mengacu kepada Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan/atau konvensi lain mengenai Spesies-Spesies Tumbuhan dan Satwa.

Pasal 35Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Spesies pemanfaatannya dipantau” adalah Spesies yang populasi di habitat alamnya dalam keadaan melimpah namun mendapat tekanan pemanfaatan sehingga pemantauan pemanfaatannya perlu dilakukan untuk menentukan tindakan apabila diperlukan.

Ayat (2) Huruf a

Pemantauan pemanfaatan Spesies kategori III dilakukan antara lain melalui sistem pencatatan dan pendataan pemanfaatan yang teratur sehingga diperoleh informasi yang memadai untuk penetapan kebijakan apabila perdagangannya dianggap dapat mengancam keadaan populasinya di habitat.

Huruf bDaftar Spesies yang telah ditetapkan untuk dilindungi oleh Pemerintah Pusat yang dapat diajukan kepada para pihak Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) agar dimasukkan dalam Appendix III.

82

Page 83: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 36Huruf a

Yang dimaksud dengan “Spesimen pra pelindungan” adalah spesimen yang diperoleh sebelum Spesies yang bersangkutan dimasukkan ke dalam salah satu Kategori pelindungan sepanjang dapat dibuktikan melalui dokumen-dokumen perizinan yang sah.

Huruf bSpesimen Tumbuhan antara lain, biji, benang sari (serbuk sari), bunga potong, anakan, atau hasil kultur jaringan yang diperoleh secara in vitro dapat berupa spesimen di dalam media cair maupun padat dan dibawa di dalam kontainer steril dari hasil perbanyakan Tumbuhan.

Pasal 37Cukup jelas.

Pasal 38Yang dimaksud dengan “Spesies kharismatik” adalah Tumbuhan dan Satwa yang mengundang empati atau emosi manusia sehingga keberadaannya dapat diidentikkan sebagai “duta”, ikon atau simbol suatu tempat, daerah atau negara. Tumbuhan kharismatik biasanya Tumbuhan yang kondisi populasinya terancam bahaya kepunahan antara lain Padma Raksasa (Rafflesia Arnoldii).Satwa kharismatik biasanya merupakan Satwa besar yang kondisi populasinya terancam bahaya kepunahan antara lain harimau, gajah, badak, orangutan, komodo, ikan paus, dugong, dan ikan hiu.

Pasal 38ACukup jelas.

Pasal 38BCukup jelas.

Pasal 39Cukup jelas.

Pasal 40 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “anotasi” adalah ketentuan yang memasukkan atau mengecualikan bagian-bagian atau turunan tertentu dari Tumbuhan di dalam pencatuman Spesies Tumbuhan ke dalam kategorisasi pelindungan Spesies Tumbuhan. Pengecualian dapat dilakukan karena sifat Tumbuhan yang apabila bagian-bagian tertentu dari Tumbuhan dikecualikan dari pengaturan maka tidak akan mempengaruhi kelestarian Spesies yang bersangkutan.

83

Page 84: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Beberapa Spesies Tumbuhan memerlukan anotasi yang memasukkan seluruh bagian Tumbuhan untuk dikendalikan, namun ada Spesies Tumbuhan yang hanya memerlukan anotasi yang memasukkan bagian tertentu saja untuk dikendalikan.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 41Cukup jelas.

Pasal 42Cukup jelas.

Pasal 43Huruf a

Pembinaan dilaksanakan untuk untuk memulihkan populasi ke dalam tingkat yang aman dari ancaman bahaya kepunahan termasuk pengurangan faktor-faktor yang menyebabkan populasi tersebut terancam bahaya kepunahan.

Huruf bPenyelamatan populasi atau sub populasi suatu Spesies dilakukan dengan memindahkan kelompok atau individu Satwa liar yang karena suatu hal habitatnya terfragmentasi dalam ukuran populasi maupun habitat yang kecil sehingga diperkirakan tidak akan bertahan hidup dalam jangka panjang ke habitat baru atau ke tempat lain dengan tujuan untuk memperbaiki populasi Spesies yang bersangkutan.

Huruf cUntuk Spesies-Spesies yang populasinya di habitat alam sudah sedemikian kecil, sehingga diperkirakan apabila dibiarkan hidup secara alami dalam waktu dekat akan terjadi kepunahan, maka dapat dilakukan reintroduksi dengan melepas-liarkan spesimen Satwa liar hasil rehabilitasi maupun hasil pengembangbiakan di luar habitat alamnya. Reintroduksi merupakan usaha pengembalian populasi Spesies Satwa liar atau tumbuhan yang dilakukan secara sadar oleh manusia dengan tujuan agar suatu Spesies dapat berkembang biak kembali dihabitatnya semula.

Huruf dCukup jelas.

Pasal 44Ayat (1)

Pembinaan populasi dan habitat Spesies kategori I di luar Kawasan Konservasi dimaksudkan untuk menjaga populasi atau sub populasi

84

Page 85: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

dari ancaman terhadap kepunahan lokal.Ayat (2)

Cukup jelas.Ayat (3)

Cukup jelas.Pasal 45

Ayat (1)Kegiatan perburuan dilakukan dengan memperhatikan keadaan populasi dan atau sub-populasi di seluruh wilayah penyebarannya. Kegiatan perburuan terkendali dapat berupa olah raga berburu. Zona tertentu Taman Nasional yang tidak sesuai untuk perburuan adalah zona inti dan zona lain yang ditetapkan oleh pengelola taman nasional sesuai dengan tujuan pengelolaan.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Rekomendasi dari lembaga Pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan berupa kuota buru untuk Spesies Kategori I. Kuota buru memuat ketentuan antara lain jumlah, ukuran, rasio kelamin, lokasi perburuan, waktu perburuan.

Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 46Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “populasi yang tidak berkelanjutan” adalah populasi yang tidak viabel dalam jangka panjang yang disebabkan diantaranya oleh jumlah individu di dalam populasi kecil, rasio jantan-betina yang tidak sesuai, struktur umur yang tidak memadai, atau kondisi habitat yang rusak dan sulit diperbaiki.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 47Ayat (1)

Spesimen yang berada di lingkungan ex situ dapat berasal dari hasil pengembangbiakan maupun yang berasal dari tangkapan di alam. Habitat pelepasliaran merupakan penyebaran alami dari Spesies yang akan dilepasliarkan.

Ayat (2)Kajian ekologis, sosial dan veteriner, seperti:a. populasi Satwa liar sesama Spesies atau berbeda Spesies yang

telah menghuni habitat pelepasliaran;

85

Page 86: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

b. kondisi medis dan kebugaran genetik; c. umur dan rasio kelamin Satwa liar yang dilepasliarkan;d. perilaku masyarakat sekitar; dan e. ketersediaan pakan.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 48Huruf a

Yang dimaksud dengan “kondisi alamiah” adalah kondisi lahan pada saat Satwa liar Kategori I telah menetap atau memasuki tanah dari pemegang hak.

Huruf bCukup jelas.

Pasal 49Ayat (1)

Huruf aBagi Spesies Tumbuhan dan Satwa liar Kategori II yang pemanfaatannya diatur dan dikendalikan pemanenan wajib dilakukan dengan menerapkan prinsip ilmiah dan pemanenan yang tidak merusak populasi di habitat alam serta dengan memperhatikan pelindungan Spesies di dalam maupun di luar Kawasan Konservasi.Penerapan prinsip ilmiah dan pemanenan yang tidak merusak populasi dihabitat alam antara lain dilaksanakan dengan mempertimbangan mengenai status dan sifat-sifat biologis Spesies, seperti kondisi populasi, penyebaran, kemampuan regenerasi. Hal ini dilakukan dengan:

1) Pengaturan jumlah tangkapan/ pengambilan;2) Pengaturan ukuran tangkapan/ pengambilan;3) Kontrol penangkapan/pengambilan;4) Kontrol peredaran dalam negeri;5) Kontrol peredaran luar negeri.

Pengaturan pemanenan dimulai dari penetapan kuota pengambilan atau penangkapan, pengenaan perizinan dan pengawasan terhadap pengambilan atau penangkapan, penetapan lokasi-lokasi yang dibolehkan untuk dilakukan pengambilan atau penangkapan, serta penetapan batasan-batasan seperti kelas ukuran, umur dan Spesies kelamin yang boleh diambil atau ditangkap dari habitat alam.

Huruf bPembinaan habitat dilakukan dalam rangka meningkatkan populasi dengan manipulasi habitat melalui diantaranya

86

Page 87: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

penanaman atau pengkayaan tumbuh-tumbuhan pakan atau merangsang berkembangnya populasi Satwa liar mangsa (prey) bagi Spesies-Spesies yang bersifat predator tanpa mengubah kondisi lingkungan atau Ekosistem.

Huruf cPembinaan populasi dilakukan dalam rangka meningkatkan populasi dengan memperbanyak individu, diantaranya melalui pengkayaan populasi, transplantasi, pengembangan koloni-koloni baru di daerah atau di pulau kosong, dan pengaturan dinamika populasi disesuaikan dengan daya dukung habitat.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 50Ayat (1)

Pembinaan habitat dan pembinaan populasi termasuk juga diantaranya pembinaan habitat di pulau kosong untuk menampung populasi Satwa liar yang dikelola.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 51Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Bagi Spesies Tumbuhan dan Satwa liar kategori III yang pemanfaatannya diatur dan dipantau hanya dilakukan dengan pemantauan terhadap cara-cara mengambil atau menangkap agar tidak terjadi kerusakan pada populasi dan atau habitat serta terhadap penerapan prinsip ilmiah dan pemanenan yang tidak merusak populasi dihabitat alam. Pemantauan diantaranya dilakukan melalui pencatatan pemanenan dan pemanfaatan, seperti perdagangan baik dalam negeri maupun ekspor.

Pasal 52Huruf a

Pengembangbiakan Satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol (penangkaran) dengan tujuan untuk dilepasliarkan kembali ke alam guna memulihkan kondisi populasi agar terhindar dari kepunahan merupakan kegiatan penangkaran dari induk-induk yang diketahui mempunyai kemurnian dan keanekaragaman SDG yang memadai untuk menghasilkan anakan-anakan yang memungkinkan untuk dilepasliarkan kembali ke habitat alam (conservation breeding). Hal

87

Page 88: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

yang sama dapat dilakukan bagi tumbuhan melalui propagasi buatan di dalam kondisi yang terkontrol.

Huruf bYang dimaksud dengan “lingkungan yang terkontrol” merupakan lingkungan yang dimanipulasi untuk tujuan memproduksi spesimen Satwa liar tertentu dengan membuat batas-batas yang jelas untuk menjaga keluar masuknya Satwa liar, telur atau gamet, serta dicirikan antara lain rumah buatan.

Huruf cRehabilitasi dimaksudkan untuk mengkondisikan dan mengadaptasikan tingkah laku Satwa liar yang berada di luar habitatnya dengan habitat alaminya sebelum dilepasliarkan kembali ke habitat alamnya dan sebagian dapat dikembalikan lagi untuk meningkatkan populasi.

Huruf dYang dimaksud dengan “perbanyakan Tumbuhan secara buatan” (artificial propagation) merupakan kegiatan memperbanyak dan menumbuhkan Tumbuhan di dalam kondisi yang terkontrol, dari material untuk memperbanyak Tumbuhan seperti benih (biji), potongan bagian Tumbuhan, pencaran rumpun, spora dan jaringan. Kondisi terkontrol untuk perbanyakan Tumbuhan secara buatan adalah kondisi di luar lingkungan alaminya yang secara intensif dimanipulasi oleh campur tangan manusia dengan tujuan untuk menghasilkan Tumbuhan yang terpilih, serta dicirikan dengan antara lain adanya pengolahan lahan, pemupukan, pengendalian hama dan gulma, irigasi, atau perlakuan persemaian seperti penumbuhan dalam pot, pembuatan bedengan atau pelindungan dari keadaan cuaca.

Huruf ePusat penyelamatan Satwa liar ex situ merupakan tempat sementara untuk menampung dan atau mengkondisikan Satwa liar hasil sitaan atau hasil dari upaya penegakan hukum lainnya sebelum dikirim ke tujuan akhirnya/dilepasliarkan kembali ke habitat alam, atau dikirim ke taman Satwa atau kebun binatang, dijadikan induk pengembangbiakan, atau dimusnahkan.

Pasal 53Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “taman Satwa ” adalah suatu tempat atau wadah yang mempunyai fungsi utama sebagai lembaga konservasi yang melakukan upaya perawatan dan pengembangbiakan berbagai jenis Satwa liar berdasarkan etika dan kaidah kesejahteraan Satwa liar dalam rangka membentuk dan mengembangkan habitat baru, sebagai sarana pelindungan dan

88

Page 89: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

pelestarian jenis melalui kegiatan penyelamatan, rehabilitasi, dan reintroduksi alam yang dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana rekreasi yang sehat.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 54Huruf a

Beberapa Spesies Satwa liar tertentu mempunyai fekunditas (kemampuan menghasilkan anakan) yang tinggi, yaitu yang karena sifat biologis dan ekologisnya mampu menghasilkan anakan atau telur atau larva dalam jumlah yang cukup besar dalam satu musim berbiak, namun karena kondisi alam dan lingkungan, seperti predasi, kanibalisme, dan faktor penghambat dari alam yang rutin terjadi seperti banjir atau air pasang, maka daya hidup (survival rate) anakan yang dihasilkan menjadi rendah dan anakan yang dihasilkannya tidak mampu melangsungkan hidupnya sampai dewasa. Untuk itu salah satu metoda konservasi yang dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan menangkap atau mengambil telur atau anakan yang baru menetas untuk dipelihara dan dibesarkan di dalam lingkungan yang terkontrol Spesies-Spesies Satwa liar yang dapat dikelola dengan metoda pembesaran harus terlebih dahulu secara ilmiah diketahui bahwa Spesies tersebut mempunyai kemampuan menghasilkan anakan yang cukup tinggi namun mempunyai daya hidup di alam rendah dan telah dipertimbangkan secara ilmiah bahwa dengan menangkap atau mengambil telur atau anakan yang baru menetas tidak justru menyebabkan kerusakan populasi di alam.

Huruf bPengembangbiakan Satwa liar bagi Spesies kategori II dimaksudkan sebagai penyedia stok untuk kepentingan komersial. Yang dimaksud dengan “pengembangbiakan Satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol” adalah kegiatan mengembangbiakan Satwa liar dimana induk-induknya melakukan perkawinan (apabila reproduksinya secara kawin) di dalam lingkungan yang terkontrol atau apabila reproduksinya secara tidak kawin, induknya telah berada di dalam lingkungan yang terkontrol pada saat terjadinya awal perkembangan anakan, seperti telur atau janin. Yang dimaksud dengan lingkungan terkontrol merupakan lingkungan yang dimanipulasi untuk tujuan memproduksi spesimen Satwa liar tertentu dengan membuat batas-

89

Page 90: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

batas yang jelas untuk menjaga keluar masuknya Satwa liar, telur atau gamet, serta dicirikan antara lain rumah buatan.

Huruf cPusat penyelamatan Satwa liar ex situ merupakan lokasi transit sementara bagi spesimen Tumbuhan maupun Satwa liar hidup hasil penyitaan atau operasi yustisi lainnya.

Pasal 55Cukup jelas.

Pasal 56Cukup jelas.

Pasal 57Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “penyakit zoonosis” adalah penyakit yang infeksinya bersumber dari Satwa liar dan dapat ditularkan kepada manusia dan sebaliknya yang nantinya akan berkembang menjadi wabah. Penyakit baru merupakan new emerging diseases.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 58Cukup jelas.

Pasal 59Cukup jelas.

Pasal 60Ayat (1)

Huruf aPengukuhan situs Kawasan Konservasi merupakan bagian dari pengukuhan kawasan yang didahului oleh penunjukan dan penataan batas kawasan. Huruf bYang dimaksud dengan “Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi” adalah suatu kawasan dengan Ekosistem yang secara ekologis penting bagi konservasi Keanekaragaman Hayati, namun yang secara teknis tidak atau belum dapat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 61Huruf a

Yang dimaksud dengan “penunjukan” adalah kegiatan persiapan pengukuhan, antara lain berupa:

1) pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan batas luar;2) pemancangan batas sementara atau koordinat geografis;

90

Page 91: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

3) pengumunan tentang rencana batas kawasan terutama di lokasi yang berbatasan dengan tanah hak atau lokasi yang rawan gangguan keamanan;

4) konsultasi publik.Konsultasi publik dimaksudkan untuk mendapat pertimbangan dan menampung aspirasi dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, atau lembaga ilmiah, termasuk lembaga perguruan tinggi.

Huruf bPenataan batas dilakukan melalui:

1) pemasangan tanda batas dan penetapan koordinat geografis; atau2) penetapan titik referensi berupa koordinat geografis, bagi kawasan

konservasi perairan.Huruf c

Cukup jelas.Pasal 62

Huruf aCukup jelas.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cCukup jelas.

Huruf dDalam hal usulan penetapan situs kawasan konservasi berasal dari bupati/walikota diperlukan rekomendasi gubernur.Dalam hal usulan penetapan situs kawasan konservasi berasal dari gubernur diperlukan rekomendasi bupati/walikota.

Pasal 63Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Huruf aCukup jelas.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cCukup jelas.

Huruf dWilayah Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan antara lain meliputi hutan lindung, daerah aliran sungai, sempadan sungai, sempadan pantai, bagian tertentu dari zona ekonomi eksklusif

91

Page 92: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Indonesia, daerah pasang surut, jurang, dan areal berpolusi berat.

Pasal 64Ayat (1)

Huruf aYang dimaksud dengan “Cagar Alam” adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, Satwa liar, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

Huruf bYang dimaksud dengan “Suaka MargaSatwa ” adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis Satwa liar yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

Huruf cYang dimaksud dengan “Suaka Alam Perairan” adalah Kawasan Konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistemnya.

Huruf dYang dimaksud dengan “Suaka Perikanan” adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.

Huruf eCukup jelas.

Ayat (2)Huruf a

Yang dimaksud dengan “Taman Nasional” adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Huruf bYang dimaksud dengan “Taman Wisata Alam” adalah kawasan konservasi dengan ekosistem asli yang ditetapkan karena memiliki kekhasan fenomena alam atau gabungan fenomena alam dan budaya yang dapat digunakan untuk kegiatan pendidikan, pelatihan, budaya, dan pariwisata.

Huruf c

92

Page 93: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Yang dimaksud dengan “Taman Hutan Raya” adalah Kawasan Pelestarian Alam yang terdiri dari hutan buatan dan hutan alam yang mewakili ekosistem setempat yang bertujuan untuk koleksi tumbuhan dan/atau Satwa liar yang alami atau bukan alami, jenis asli dan/atau jenis asli, yang tidak invasif dan memiliki nilai estetika alam atau nilai alam yang berasosiasi dengan budaya tradisional yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, menunjang budaya, dan pariwisata.

Huruf dYang dimaksud dengan “Taman Buru” adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat diselenggarakan perburuan secara teratur.

Huruf eYang dimaksud dengan “Taman Nasional Perairan” adalah kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi.

Huruf fYang dimaksud dengan “Taman Wisata Perairan” adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi.

Ayat (3)Huruf a

Yang dimaksud dengan “Suaka Pesisir/Suaka Pulau Kecil” adalah tempat hidup dan berkembang biaknya suatu jenis ikan yang khas, unik, dan langka.

Huruf bYang dimaksud dengan “Taman Pesisir/Taman Pulau Kecil” adalah pesisir yang mempunyai daya tarik Sumber Daya Alam Hayati, fomasi geologi yang dapat dikembangkan untuk berbagai jenis kegiatan.

Pasal 65Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Huruf aCukup jelas.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cMengamankan contoh-contoh lingkungan alami antara lain

93

Page 94: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

ditujukan untuk kajian ilmiah, pemantauan dan pendidikan lingkungan, termasuk mengamankan kawasan-kawasan penting dari akses yang masih bisa dihindari.

Pasal 66Cukup jelas.

Pasal 67Cukup jelas.

Pasal 68Cukup jelas.

Pasal 69Cukup jelas.

Pasal 70Cukup jelas.

Pasal 71Cukup jelas.

Pasal 72Cukup jelas.

Pasal 73Cukup jelas.

Pasal 74Cukup jelas.

Pasal 75Huruf a

Yang dimaksud dengan “daerah penyangga Kawasan Konservasi” adalah daerah di sekitar Kawasan Konservasi yang dapat berupa Ekosistem alami atau buatan, kawasan produksi, desa atau areal lainnya yang pengelolaanya ditujukan untuk meningkatkan dampak positif dari masyarakat dan menurunkan dampak negatif pada Kawasan Konservasi. Peningkatan dampak positif dari masyarakat dilakukan dengan membatasi kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam atau membangun tindakan tertentu. Membangun tindakan tertentu diantaranya melalui pengembangan ekonomi masyarakat dengan kegiatan-kegiatan yang kompatibel dengan pengelolaan Kawasan Konservasi, yang pada gilirannya masyarakat dengan sendirinya melindungi Kawasan Konservasi.

Huruf bYang dimaksud dengan “koridor ekologis atau Ekosistem penghubung” adalah areal atau jalur bervegetasi yang cukup lebar baik alami maupun buatan yang menghubungkan dua atau lebih habitat atau Kawasan Konservasi atau ruang terbuka dan sumberdaya lainnya, yang memungkinkan terjadinya pergerakan

94

Page 95: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

atau pertukaran individu antar populasi Satwa liar atau pergerakan faktor-faktor biotik sehingga mencegah terjadinya dampak buruk pada habitat yang terfragmentasi pada populasi karena in-breeding dan mencegah penurunan keanekaragaman genetik akibat erosi genetik (genetic drift) yang sering terjadi pada populasi yang terisolasi. Koridor dapat melindungi areal yang secara ekologis sensitif dengan menyediakan keterhubungan pada bentang alam dan sebagai penyangga potensial antara alam dan manusia. Koridor juga dapat membantu memfasilitasi pemulihan populasi yang mengalami penurunan atau tereliminasi akibat kejadian-kejadian gangguan habitat seperti penyakit atau kebakaran.

Huruf cYang dimaksud dengan “areal dengan nilai konservasi tinggi” adalah areal atau bentang alam berupa hutan atau Ekosistem lain yang memiliki satu atau lebih atribut berikut:

1) areal yang secara signifikan baik di tingkat global, regional atau nasional mengandung konsentrasi nilai-nilai Keanekaragaman Hayati (seperti endemisme, Spesies langka, pengungsian, atau persinggahan Spesies migran); dan atau bentang alam yang cukup luas yang terdapat di dalam unit pengelolaan atau mencakup unit pengelolaan, dimana populasi yang viabel dari mayoritas Spesies yang tinggal secara alami berada pada pola yang alami dari distribusi dan kelimpahannya;

2) areal yang berada atau berisi Ekosistem langka, terancam atau dalam bahaya kepunahan;

3) areal yang dapat menyediakan jasa Ekosistem dasar pada saat terjadi situasi kritis (seperti pelindungan daerah aliran sungai dan pengendalian erosi);

4) areal yang menjadi ketergantungan dari masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan dasar (seperti subsisten, kesehatan) dan atau penting bagi identitas budaya tradisional dari masyarakat lokal (kawasan yang bersama masyarakat diidentifikasi signifikan secara budaya, ekologi, ekonomi atau religi masyarakat lokal).

Huruf dYang dimaksud dengan “areal konservasi kelola masyarakat (AKKM)” adalah Ekosistem alami dan modifikasi Ekosistem alami yang mengandung Keanekaragaman Hayati, jasa ekologis dan nilai-nilai budaya yang signifikan yang secara sukarela dilindungi oleh Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat lokal berdasarkan hukum adat atau pengikat lain. Dengan demikian areal konservasi kelola masyarakat dapat berupa hutan ulayat, kawasan yang dilindungi adat, situs-situs yang dikeramatkan, pelindungan

95

Page 96: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

sumberdaya alam masyarakat lokal atau adat, serta areal yang dikelola Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat lokal. Tiga karakteristik yang mengindikasikan AKKM adalah: 1) Hubungan yang kuat antara satu atau lebih masyarakat adat

atau lokal dengan kawasan (teritori, Ekosistem, habitat atau sumberdaya) dimana hubungan tersebut harus menyatu di dalam identitas masyarakat dan atau ketergantungan untuk kehidupan atau kesejahteraan;

2) Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat lokal merupakan pemain utama dalam pengambilan keputusan dan implementasi pengelolaan kawasan. Pihak lain dapat berkolaborasi sebagai mitra, terutama dalam hal kawasan tersebut merupakan kawasan negara, namun keputusan tetap pada Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat lokal;

3) Keputusan pengelolaan dan upaya dari masyarakat mengarah pada konservasi keanekaragaman habitat, Spesies genetik dan nilai-nilai budaya yang terkait, walaupun disadari bahwa tujuan pengelolaan bukan hanya konservasi.

Pasal 76Cukup jelas.

Pasal 77Cukup jelas.

Pasal 78Huruf a

Cukup jelas.Huruf b

Termasuk dalam pengembangan sistem perencanaan adalah disain Kawasan Konservasi berdasar kriteria biologis dan kriteria demografis serta yang mencakup pengembangan jejaring kawasan dan perencanaan pengelolaannya.

Huruf cCukup jelas.

Huruf dCukup jelas.

Huruf eCukup jelas.

Huruf fCukup jelas.

Huruf gCukup jelas.

Pasal 79Ayat (1)

Kawasan konservasi yang diusulkan sebagai situs warisan dunia

96

Page 97: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

antara lain karena memiliki nilai universal luar biasa. Kawasan konservasi yang diusulkan sebagai situs ramsar antara lain karena kawasan tersebut seluruhnya atau sebagaian besar merupakan lahan basah yang mempunyai nilai yang signifikan secara internasional. Kawasan konservasi yang disulkan sebagai zona inti cagar biosfer antara lain karena dapat dikelola secara terintegrasi dengan kawasan di luarnya melalui prinsip pembangunan berkelanjutan.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 80Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Cukup jelas.Ayat (3)

Pemegang hak atau izin antara lain dapat berupa hak pengelolaan kawasan hutan, hak guna usaha, atau izin usaha.

Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 81Cukup jelas.

Pasal 82Cukup jelas.

Pasal 83Cukup jelas.

Pasal 84Cukup jelas.

Pasal 85Cukup jelas.Pasal 86

Cukup jelas.Pasal 87

Cukup jelas.Pasal 88

Cukup jelas.Pasal 89

97

Page 98: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Cukup jelas.Pasal 90

Cukup jelas.Pasal 91

Cukup jelas.Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93Cukup jelas.

Pasal 94Cukup jelas.

Pasal 95Cukup jelas.

Pasal 96Cukup jelas.

Pasal 97Cukup jelas.

Pasal 98Cukup jelas.

Pasal 99Cukup jelas.

Pasal 100Cukup jelas.

Pasal 101Cukup jelas.

Pasal 102Cukup jelas.

Pasal 103Cukup jelas.

Pasal 104Cukup jelas.

Pasal 105Cukup jelas.

Pasal 106Cukup jelas.

Pasal 107Cukup jelas.

Pasal 108Ayat (1)

Pernyataan asal usul SDG meliputi antara lain pengakuan dan penilaian atas inovasi, praktek, dan pengetahuan tradisional yang berasosiasi dengan SDG.

98

Page 99: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 109Cukup jelas.

Pasal 110Huruf a

Cukup jelas.Huruf b

Cukup jelas.Huruf c

Sistem produksi merupakan spesimen hasil pemasukan dari luar negeri baik dari Spesies kategori I, kategori II, atau kategori III.

Pasal 111Cukup jelas.

Pasal 112Cukup jelas.

Pasal 113Cukup jelas.

Pasal 114Cukup jelas.

Pasal 115Cukup jelas.

Pasal 116Cukup jelas.

Pasal 117Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Cukup jelas.Ayat (3)

Cukup jelas.Ayat (4)

Cukup jelas.Ayat (5)Huruf a

Cukup jelas.Huruf b

Cukup jelas.Huruf c

99

Page 100: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Yang dimaksud dengan ”Introduksi dari laut (introduction from the sea)” merupakan kegiatan memasukan spesimen Satwa yang ditangkap atau diperoleh dari wilayah laut yang berada di luar yurisdiksi negara manapun.

Pasal 118Cukup jelas.

Pasal 119Cukup jelas.

Pasal 120Cukup jelas.

Pasal 121Cukup jelas.

Pasal 122Cukup jelas.

Pasal 123Cukup jelas.

Pasal 124Cukup jelas.

Pasal 125Cukup jelas.

Pasal 126Cukup jelas.

Pasal 127Cukup jelas.

Pasal 128Cukup jelas.

Pasal 129Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana dibidang konservasi.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 130Cukup jelas.

Pasal 131Cukup jelas.

Pasal 132Huruf a

Cukup jelas.Huruf b

Cukup jelas.Huruf c

100

Page 101: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Cukup jelas.Huruf d

Cukup jelasHuruf e

Yang dimaksud dengan ”daya lenting” adalah kemampuan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem untuk pulih kembali pada keadaan seimbang jika mengalami perubahan atau gangguan.

Pasal 133Cukup jelas.

Pasal 134Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Cukup jelas.Ayat (3)

Huruf aCukup jelas.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cCukup jelas.

Huruf dCukup jelas.

Huruf eLembaga konservasi ex situ zoologi atau botani ini meliputi antara lain kebun binatang, taman Satwa atau kebun raya.

Huruf fKegiatan pemuliaan Tumbuhan dimaksudkan untuk mengembalikan kualitas genetik ke kondisi asli.

Huruf gCukup jelas.

Pasal 135Yang dimaksud dengan “Spesies tertentu” adalah Spesies yang secara populasi di alam hampir punah namun dimiliki oleh orang atauu badan usaha.

Pasal 136Cukup jelas.

Pasal 137Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Huruf aPembinaan populasi spesies dalam in situ dilakukan melalui

101

Page 102: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

pengamanan populasi spesies atau melalui pembinaan habitat dari populasi spesies yang terfragmentasi dengan membuat koridor penghubung baik berupa tumbuhan ataupun bangunan fisik yang sesuai.

Huruf bPemulihan dan pembinaan habitat dilakukan untuk mengembalikan fungsi habitat alam sehingga memadai untuk mendukung berkembangnya populasi suatu spesies.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 138Cukup jelas.

Pasal 139Cukup jelas.

Pasal 140Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Cukup jelas.Ayat (3)

Cukup jelas.Pasal 141

Ayat (1)Cukup jelas

Ayat (2)Huruf a

Yang dimaksud dengan “alami” adalah cara pemulihan Ekosistem tanpa campur tangan manusia, dimana Ekosistem dikembalikan ke tingkat aslinya dengan sepenuhnya diserahkan pada mekanisme alam.

Huruf bYang dimaksud dengan “pemulihan alam yang dibantu manusia” adalah pemulihan dengan suksesi alam dan dibantu campur tangan manusia seperti melakukan pengkayaan Tumbuhan dan Satwa liar asli, bantuan penyerbukan, bantuan irigasi, bantuan minor lainnya.

Huruf cKegiatan pemulihan Ekosistem dengan pengembalian unsur-unsur dan proses ekologis suatu Ekosistem sepenuhnya dengan bantuan manusia tetap menjaga keaslian Ekosistem dan jenisnya.

102

Page 103: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 142Cukup jelas.

Pasal 143Cukup jelas.

Pasal 144Ayat (1)

Standar capaian atas kondisi akhir dalam kegiatan pemulihan ekosistem merupakan alat untuk mengukur keberhasilan kegiatan pemulihan ekosistem sesuai dengan tujuan pemulihan.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 145Cukup jelas.

Pasal 146Cukup jelas.

Pasal 147Cukup jelas.

Pasal 148Cukup jelas.

Pasal 149Cukup jelas.

Pasal 150Cukup jelas.

Pasal 151Cukup jelas.

Pasal 152Cukup jelas.

Pasal 153Cukup jelas.

Pasal 154Cukup jelas.

Pasal 155Cukup jelas.

Pasal 156Cukup jelas.

Pasal 157Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Cukup jelas.Ayat (3)

103

Page 104: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Huruf aCukup jelas.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cCukup jelas.

Huruf dCukup jelas.

Huruf eYang dimaksud dengan “bentuk penguasaan” merupakan bentuk penguasaan oleh Masyarakat Hukum Adat dan/atau masyarakat lokal yang senyata-nyatanya ada di lapangan dengan itikad baik.

Huruf fCukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 158Cukup jelas.

Pasal 159Cukup jelas.

Pasal 160Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Huruf aCukup jelas.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cSumber dana lainnya yang sah antara lain meliputi:

1) bantuan/hibah dari negara lain;2) hibah dari lembaga nasional dan internasional;3) komitmen internasional yang berasal dari penghapusan

hutang luar negeri; 4) hasil kerja sama pengelolaan keanekaragaman hayati dengan

negara lain baik yang sifatnya bilateral, regional, maupun multilateral;

5) hasil kerja sama pengelolaan keanekaragaman hayati dengan pihak ketiga;

6) dana amanah atau dana perwalian;

104

Page 105: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

7) anggaran para pihak yang telah ditunjuk sebagai pengelola kawasan konservasi tertentu; dan

8) dana konservasi yang didapat dari pemegang hak guna usaha perkebunan, izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, atau izin usaha penggunaan kawasan hutan.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 161Cukup jelas.

Pasal 162Cukup jelas.

Pasal 163Cukup jelas.

Pasal 164Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Cukup jelas.Ayat (3)

Perjanjian atau kerjasama internasional antara lain meliputi:a. Konvensi Warisan Alam Dunia;b. Konvensi Ramsar;c. Cagar Biosfer;d. Convention on International Trade in Endangered Species (CITES); e. Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention On Biological

Diversity/CBD);f. Protokol Nagoya tentang Akses pada SDG dan Pembagian

Keuntungan Yang Adil dan Seimbang Yang Timbul Dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati (Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing From Their Utilization to the Convention on Biological Diversity);

g. Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati (The Cartagena Protocol on Biosafety to The Convention on Biological Diversity).

Pasal 165Cukup jelas.

Pasal 166Cukup jelas.

Pasal 167Cukup jelas.

Pasal 168Cukup jelas.

105

Page 106: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 169Cukup jelas.

Pasal 170Cukup jelas.

Pasal 171Cukup jelas.

Pasal 172Cukup jelas.

Pasal 173Cukup jelas.

Pasal 174Cukup jelas.

Pasal 175Cukup jelas.

Pasal 176Cukup jelas.

Pasal 177Cukup jelas.

Pasal 178Cukup jelas.

Pasal 179Cukup jelas.

Pasal 180Ayat (1)

Huruf aCukup jelas.

Huruf bYang dimaksud dengan “petugas yang berwenang” antara lain polisi hutan, petugas reaksi cepat, dan pawang Satwa.

Huruf cCukup jelas.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 181Cukup jelas.

Pasal 182Cukup jelas.

Pasal 183Cukup jelas.

Pasal 184Cukup jelas.

106

Page 107: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Pasal 185Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Badan hukum baik merupakan badan hukum profit maupun non-profit seperti lembaga swadaya masyarakat, yayasan, atau perusahaan.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 186Cukup jelas.

Pasal 187Cukup jelas.

Pasal 188Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “gugatan perwakilan kelompok” adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 189Cukup jelas.

Pasal 190Cukup jelas

Pasal 191Cukup jelas.

Pasal 192Cukup jelas.

Pasal 193Cukup jelas.

Pasal 194Cukup jelas.

Pasal 195

107

Page 108: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Cukup jelas.Pasal 196

Cukup jelas.

Pasal 197Cukup jelas.

Pasal 198Cukup jelas.

Pasal 199Cukup jelas.

Pasal 200Cukup jelas.

Pasal 201Cukup jelas.

Pasal 202Cukup jelas.

Pasal 203Cukup jelas.

Pasal 204Cukup jelas.

Pasal 205Cukup jelas.

Pasal 206Cukup jelas.

Pasal 207Cukup jelas.

Pasal 208Cukup jelas.

Pasal 209Cukup jelas.

Pasal 210Cukup jelas

Pasal 211Cukup jelas.

Pasal 212Cukup jelas.

Pasal 213Cukup jelas.

Pasal 214Cukup jelas.

Pasal 215Cukup jelas.

Pasal 216

108

Page 109: · Web viewpembatasan alat tangkap atau penggiliran penangkapan. Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Spesimen yang bersumber dari kondisi ex situ dilakukan melalui

Draft RUU KKHE per Selasa, 21 Maret 2017

Cukup jelas.Pasal 217

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...

109