20
- 1 - Vol. VI, No. 04/II/P3DI/Februari/2014 H U K U M Info Singkat © 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI www.dpr.go.id ISSN 2088-2351 Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ATAS UJI MATERI UNDANG-UNDANG PENETAPAN PERPU MAHKAMAH KONSTITUSI Monika Suhayati*) Abstrak Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014 menyatakan UU No. 4 Tahun 2014 yang merupakan hasil penetapan Perpu No. 1 Tahun 2013 yang mengatur perubahan UU MK bersifat inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Meskipun UU ini telah dibatalkan oleh MK, misi untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia serta untuk mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK dilakukan dengan memperketat proses seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi oleh masing-masing lembaga yang berwenang, yaitu MA, DPR dan Presiden. Pendahuluan Pada 13 Februari 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 (Putusan No. 1-2/ PUU-XII/2014) mengabulkan seluruhnya permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (UU No. 4 Tahun 2014), yang diajukan oleh Andi M. Asrun, Daniel Tonapa Masiku, serta para dosen Fakultas Hukum Universitas Jember. Seluruh UU No. 4 Tahun 2014 oleh MK dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 (Perpu No. 1 Tahun 2013) diterbitkan Pemerintah pada 17 Oktober 2013 pasca-tertangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2 Oktober 2013. Dalam pertimbangan Perpu No. 1 Tahun 2013 disebutkan Perpu dikeluarkan untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia serta untuk mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang-Undang Dasar *) Peneliti Muda bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Vol. VI No. 04 II P3DI Februari 2014

Embed Size (px)

DESCRIPTION

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Uji Materi Undang-Undang Penetapan Perpu Mahkamah Konstitusi (Monik Suhayati)2. Isu Pencari Suaka dalam Hubungan Bilateral Indonesia -Australia (Adirini Pujayanti)3. Dampak Negatif Abu Vulkanik terhadap Lingkungan dan Kesehatan (Anih Sri Suryani)4. Kebijakan Keringanan Kredit Perbankan Untuk Korban Erupsi Gunung Kelud (Venti Eka Satya)5. Kebijakan Anggaran Saksi Partai Politik dalam Pemilu 2014 (Riris Katharina)

Citation preview

- 1 -

Vol. VI, No. 04/II/P3DI/Februari/2014H U K U M

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ATAS UJI MATERI UNDANG-UNDANG PENETAPAN

PERPU MAHKAMAH KONSTITUSIMonika Suhayati*)

Abstrak

Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014 menyatakan UU No. 4 Tahun 2014 yang merupakan hasil penetapan Perpu No. 1 Tahun 2013 yang mengatur perubahan UU MK bersifat inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Meskipun UU ini telah dibatalkan oleh MK, misi untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia serta untuk mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK dilakukan dengan memperketat proses seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi oleh masing-masing lembaga yang berwenang, yaitu MA, DPR dan Presiden.

PendahuluanPada 13 Februari 2014, Mahkamah

Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 (Putusan No. 1-2/PUU-XII/2014) mengabulkan seluruhnya permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (UU No. 4 Tahun 2014), yang diajukan oleh Andi M. Asrun, Daniel Tonapa Masiku, serta para dosen Fakultas Hukum Universitas Jember. Seluruh UU No. 4 Tahun 2014 oleh

MK dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 (Perpu No. 1 Tahun 2013) diterbitkan Pemerintah pada 17 Oktober 2013 pasca-tertangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2 Oktober 2013. Dalam pertimbangan Perpu No. 1 Tahun 2013 disebutkan Perpu dikeluarkan untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia serta untuk mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang-Undang Dasar

*) Peneliti Muda bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 2 -

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) maka perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) terutama terhadap ketentuan mengenai syarat dan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi serta pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi (MKHK). Perpu No. 1 Tahun 2013 tersebut disahkan oleh DPR menjadi UU No. 4 Tahun 2014 pada 15 Januari 2014.

Kontroversi Putusan MK No. 1-2/PUU XII/2014

Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menegaskan bahwa Putusan No. 1-2/PUU-XII/2014 berdasarkan UUD Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim, sehingga tekanan opini publik termasuk terhadap hakim konstitusi dalam mengambil putusan dihindari oleh hakim. Betapa pun kuatnya tekanan itu baik yang berasal dari anggota masyarakat, pejabat eksekutif, maupun anggota badan perwakilan, seorang hakim harus tetap independen agar kekuasaan kehakiman yang independen dan hakim tidak tunduk pada kekuasaan. Hakim berkewajiban untuk menegakkan independensi pada dirinya, sebaliknya masyarakat maupun kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman juga wajib untuk menegakkan independensi tersebut dengan tidak mencampuri proses peradilan termasuk di dalamnya pengambilan putusan.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie berpendapat, putusan MK yang membatalkan UU No. 4 Tahun 2014 menunjukkan MK tidak mau diawasi. Satu-satunya cara agar MK dapat diawasi, menurut Marzuki, adalah melalui amandemen kembali UUD Tahun 1945, agar hakim MK tidak seperti Tuhan di dunia. Tidak ada dalam satu negara demokratis yang tidak diawasi. Menurut Marzuki, dalam dua kali revisi UU MK, DPR sempat memasukkan ketentuan pengawasan Komisi Yudisial (KY) di dalam UU, namun akhirnya dibatalkan MK sendiri.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menuturkan, penyusunan Perpu itu telah dilakukan dengan cermat dan hati-hati agar tujuan penyelamatan MK bisa dicapai. UU No. 4 Tahun 2014 merupakan bentuk

kesepakatan dari sejumlah pimpinan lembaga negara untuk menyelamatkan MK pasca-tertangkapnya mantan Ketua MK, Akil Mochtar, oleh KPK. Namun, aturan itu dibatalkan oleh MK melalui Putusan No. 1-2/PUU-XII/2014 dan pemerintah akan melaksanakan putusan MK karena bersifat final dan mengikat.

Pengamat hukum tata negara Refly Harun mengatakan, putusan MK yang membatalkan seluruhnya UU No. 4 Tahun 2014 tidak obyektif. Menurut Refly, sejak awal MK memang ingin merontokkan UU yang berasal dari Perpu tersebut dan MK seharusnya tidak membatalkan UU itu seluruhnya. Substansi UU No. 4 Tahun 2014 mengenai syarat keanggotaan partai politik, pembentukan panel ahli, dan MKHK seharusnya dipertahankan sehingga kalau ada perilaku hakim yang menyimpang bisa diadukan.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, Putusan No. 1-2/PUU-XII/2014 menunjukkan MK menjadi lembaga negara yang tidak dapat dikoreksi. Diakui bahwa konsepsi checks and balances kekuasaan negara memang tidak ditujukan kepada kekuasaan kehakiman, karena intervensi terhadap kekuasaan kehakiman menyebabkan tidak ada kebebasan kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya sehingga akan mengancam prinsip negara hukum. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti tidak diperlukan, setidak-tidaknya, sebuah lembaga etik yang memiliki kewenangan mengoreksi hakim MK apabila terdapat perilaku hakim yang menyimpang dari segi etika dan kepatutan.

Pertimbangan dalam Putusan No. 1-2/PUU-XII/2014

Beberapa pertimbangan dalam Putusan No. 1-2/PUU-XII/2014, berkaitan dengan, pertama keterlibatan Komisi Yudisial dalam pembentukan MKHK yang menurut MK substansi UU No. 4 Tahun 2014 telah nyata-nyata mereduksi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung (MA), DPR, dan Presiden. Adanya satu Panel Ahli untuk memilih Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 2014 di samping bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3) UUD Tahun 1945 juga bertentangan dengan filosofi yang mendasari perlunya Hakim Konstitusi dipilih oleh lembaga negara yang

- 3 -

berbeda, karena Pasal 24C UUD Tahun 1945 memberikan kewenangan atributif yang bersifat mutlak kepada masing-masing lembaga negara.

UU No. 4 Tahun 2014 mengatur keterlibatan Komisi Yudisial dalam pembentukan MKHK. Menurut MK, checks and balances adalah suatu mekanisme yang diterapkan untuk mengatur hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Mekanisme ini tidak ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan. Prinsip utama yang harus dianut oleh negara hukum (rule of law) adalah kebebasan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman. Setiap campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman dari lembaga negara apa pun yang menyebabkan tidak bebasnya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya akan mengancam prinsip negara hukum. Selain itu, berdasarkan Putusan No. 005/PUU-IV/2006, tertanggal 23 Agustus 2006, bahwa Hakim MK tidak terkait dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 24B UUD Tahun 1945 dan oleh karenanya KY bukanlah lembaga pengawas dari MK dan juga bukan lembaga yang berwenang untuk menilai benar atau tidak benarnya putusan Mahkamah sebagai putusan lembaga peradilan. Pelibatan KY sebagaimana ketentuan dalam UU No. 4 Tahun 2014 mencerminkan bentuk penyelundupan hukum karena hal tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah No. 005/PUU-IV/2006.

Kedua, UU No. 4 Tahun 2014 mengubah ketentuan yang mengatur tentang syarat Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU No. 4 Tahun 2014 yang menyatakan, “Tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi.” Ketentuan a quo dicantumkan dalam Perpu No. 1 Tahun 2013 setelah kejadian tertangkap tangannya M. Akil Mochtar, yang waktu itu sebagai Ketua MK, oleh KPK. Oleh karenanya, sulit untuk dilepaskan anggapan bahwa ayat ini tidak didasarkan atas kenyataan bahwa M. Akil Mochtar berasal dari politisi/Anggota DPR sebelum menjadi Hakim Konstitusi. Dengan demikian, Pasal 15 ayat (2) huruf i UU No.

4 Tahun 2014 dicantumkan berdasarkan stigma yang timbul dalam masyarakat. Menurut MK, ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28E ayat (3) UUD Tahun 1945. Ketentuan a quo tanpa landasan konstitusional yang benar sebagaimana ditentukan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945. Pengaturan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU No. 4 Tahun 2014 lebih didasarkan pada stigmatisasi belaka yang dalam penerapannya penuh dengan permasalahan hukum.

Ketiga, MK menyatakan syarat keadaan kegentingan yang memaksa dalam Putusan No. 1-2/PUU-XII/2014, yang disyaratkan oleh UUD Tahun 1945 dan Putusan No. 138/PUU-VII/2009, tidak terpenuhi. Berdasarkan Putusan No. 138/PUU-VII/2009, Presiden berwenang untuk mengeluarkan Perpu hanya dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Syarat ini ditetapkan oleh konstitusi yang oleh karenanya mengikat. Tanpa adanya kegentingan yang memaksa Presiden tidak berwenang untuk membuat Perpu. Materi muatan Perpu adalah materi muatan undang-undang, mempunyai daya berlaku seperti undang-undang, mengikat umum sejak diundangkan, artinya sama dengan produk legislatif, yaitu undang-undang. Dalam negara demokrasi, produk legislatif dibentuk oleh lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Perpu yang sama materi dan kekuatannya dengan undang-undang tidak dibentuk oleh Presiden bersama DPR (vide Pasal 20 UUD Tahun 1945), tetapi hanya dibentuk oleh Presiden seorang diri. Oleh karenanya, sangat beralasan jika UUD Tahun 1945 memberi syarat dalam keadaan apa Perpu dapat dibentuk oleh Presiden yaitu keadaan kegentingan yang memaksa.

Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010, menetapkan tiga syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 yaitu:1. adanya keadaan, yaitu kebutuhan

mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;

2. undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;

3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat

- 4 -

undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Menurut MK, Perpu harus mempunyai akibat prompt immediately, yaitu “sontak segera” untuk memecahkan permasalahan hukum. Perpu No. 1 Tahun 2013 tidak ada akibat hukum yang “sontak segera”. Hal tersebut terbukti bahwa meskipun Perpu telah menjadi undang-undang, Perpu tersebut belum pernah menghasilkan produk hukum apapun. Konsiderans menimbang Perpu tidak mencerminkan adanya kesegeraan tersebut, yaitu apa yang hanya dapat diatasi dengan segera. Panel Ahli sampai sekarang belum juga terbentuk, perekrutan hakim konstitusi untuk menggantikan M. Akil Mochtar belum dapat dilakukan, justru semakin tertunda karena adanya ketentuan yang terdapat dalam Perpu. MKHK belum terbentuk dan kalaupun terbentuk tidak ada masalah mendesak yang harus diselesaikan.

Berdasarkan pertimbangan hukum MK tersebut, sehingga dalil permohonan yang diajukan para Pemohon beralasan menurut hukum dan keadaan kegentingan yang memaksa sebagaimana disyaratkan oleh UUD Tahun 1945 dalam penetapan Perpu tidak terpenuhi, sehingga UU No. 4 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

PenutupPerpu Nomor 1 Tahun 2013 yang

ditetapkan menjadi UU No. 4 Tahun 2014 dimaksudkan untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan UUD Tahun 1945 pasca-penangkapan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK. Misi untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia dan mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK tetap harus dilaksanakan, walaupun MK telah membatalkannya dengan Putusan No. 1-2/PUU-XII/2014. Putusan ini perlu dilaksanakan dengan meningkatkan dan memperketat proses seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi masing-masing lembaga yang berwenang, dengan

memperhatikan persyaratan bagi hakim konstitusi yang terpilih sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU MK, yaitu memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Selain itu, perlu dilakukan amandemen UU MK untuk memasukkan pengawasan secara etik terhadap hakim konstitusi untuk mengawasi perilaku hakim bukan untuk mengintervensi putusan hakim. Proses penyusunan dan pembahasan amandemen UU MK oleh DPR nantinya perlu dilakukan secara hati-hati untuk memastikan amandemen UU tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sehingga tidak dibatalkan lagi oleh MK.

Rujukan1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

1-2/PUU-XII/2014 tertanggal 13 Februari 2014.

2. MK Batalkan UU Tentang Perpu MK yang Diterbitkan SBY, http://news.liputan6.com/read/826150/mk-batalkan-uu-tentang-Perpu-mk-yang-diterbitkan-sby, diakses 19 Februari 2014.

3. Bukan Kegentingan Memaksa, MK Putus Tidak Mengikat Seluruh UU Penetapan Perpu MK, http://www.m a h k a m a h k o n s t i t u s i . g o . i d / i n d e x .php? page=web.Berita&id=9621#.UwRjvGc3Dzo, diakses 19 Februari 2014.

4. Marzuki: Amandemen UUD 1945 agar Hakim MK Tidak Seperti Tuhan di Dunia, http://nasional.kompas.com/read/2014/02/16/1415365/Marzuki. Amandemen.UUD.1945.agar.Hakim.MK.Tidak.Seperti.Tuhan.di.Dunia, diakses 19 Februari 2014.

5. Pemerintah Nilai Proses Penerbitan Perpu MK Sudah Cermat, http://nasional.kompas.com/read/2014/02/14/1930419/Pemerintah.Nilai.Proses.Penerbitan.Perpu.MK.Sudah.Cermat, diakses 19 Februari 2014.

6. Refly: Putusan UU MK Tidak Obyektif, http://nasional .kompas.com/read/ 2014/02/14/1410188/Refly.Putusan.UU.MK.Tidak.Obyektif, diakses 19 Februari 2014.

- 5 -

Vol. VI, No. 04/II/P3DI/Februari/2014HUBUNGAN INTERNASIONAL

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

ISU PENCARI SUAKA DALAM HUBUNGAN BILATERAL

INDONESIA – AUSTRALIA Adirini Pujayanti*)

Abstrak

Australia merupakan salah satu negara tujuan yang diminati para pencari suaka. Membanjirnya para pencari suaka ke Australia ini mengharuskan negara tersebut bersikap tegas. Masalah ini memengaruhi hubungan bilateral antara Australia dengan Indonesia karena Indonesia merupakan negara transit bagi pencari suaka menuju Australia. Kebijakan pragmatis yang diterapkan PM Tony Abbot dalam masalah pencari suaka ke Australia saat ini telah menyebabkan hubungan bilateral kedua negara memburuk.

PendahuluanSaat ini hubungan bilateral Indonesia-

Australia berada pada tahap terendah. Perubahan hubungan yang semula harmonis ini terjadi setelah Perdana Menteri (PM) Australia Tonny Abbot melaksanakan kebijakan pragmatis terkait para pencari suaka ke negaranya. Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu Australia telah mengirim balik para pencari suaka yang berusaha masuk ke wilayahnya melalui perairan Indonesia dengan sekoci yang sudah dipersiapkan oleh kapal patroli Australia

di perairan perbatasan. Belakangan ini Australia tampaknya melakukan pengetatan pengamanan di perairan perbatasan, bahkan diketahui, telah enam kali kapal perang Australia masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia selama periode Desember 2013-Januari 2014. Pemerintah Australia berdalih, hal itu terjadi akibat dari perhitungan yang salah dari batas-batas perairan Indonesia, bukan sebagai tindakan yang disengaja atau kesalahan navigasi. Dengan kebijakan tersebut Australia mengklaim berhasil menggagalkan masuknya semua kapal

*) Peneliti Madya bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 6 -

pencari suaka ke negaranya dalam dua bulan terakhir.

Australia sebagai Negara TujuanAustralia merupakan salah satu negara

penandatangan Konvensi Pengungsi 1951 dan/atau Protokol 1967 yang berupaya memberikan perlindungan internasional bagi para pengungsi. Australia, sebagaimana negara-negara maju lainnya memiliki pull factor yang menarik datangnya migran ke negaranya, yakni kehidupan yang aman dan dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi. Kehidupan bermasyarakat multietnik yang tumbuh di Australia memudahkan para pencari suaka untuk beradaptasi. Selain itu, terdapat kepercayaan di antara para pencari suaka bahwa lebih mudah untuk mendapat status pengungsi di Australia dibandingkan negara lain, dan hal ini membuat mereka berusaha datang ke Australia dengan berbagai cara. Sejumlah pencari suaka berupaya langsung datang ke Australia dengan menggunakan kapal kayu secara ilegal sebagai manusia perahu (boat people).

Pada tahun 2001 diketahui 80% dari pencari suaka yang telah mengalami naturalisasi menjadi warga negara Australia ternyata adalah migran ekonomi. Kurangnya pilihan migrasi membuat banyak migran ilegal, bukan pengungsi, menipu dengan status sebagai pencari suaka karena hal ini merupakan satu-satunya cara yang memungkinkan mereka untuk diterima di negara lain. Ratusan migran ekonomi masuk ke Australia dengan cara tersebut hingga tahun 2002, sebelum Australia akhirnya bersikap keras terhadap pencari suaka ke negaranya. Membanjirnya pencari suaka, termasuk pihak yang menyalahgunakan prosedur suaka, ke Australia akhirnya menjadi beban negara tersebut. Masalah pencari suaka ini telah menjadi suatu isu politik dalam kampanye pemilu di Australia, di mana partai pemerintah dan partai oposisi berlomba memaparkan kebijakan yang paling tepat terhadap pencari suaka yang membanjir ke negara mereka.

Kebijakan Pragmatis PM Tony Abbot

Pemerintah Australia kewalahan menghadapi serbuan pencari suaka dari

negara Asia dan Afrika di pantai utaranya. Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan Australia menjadi negara transit bagi pencari suaka dalam perjalanan mereka menuju Australia. Australia cenderung menyalahkan Indonesia terhadap masalah ini karena menganggap Indonesia tidak melakukan upaya pencegahan. Kesenjangan sumber daya dan kapasitas antara kedua negara turut memperkeruh masalah ini. Dalam masalah pencari suaka, Australia memiliki sistem hukum yang lebih tegas, lembaga dan kesiapan operasional yang lebih baik. Indonesia belum memiliki kapasitas yang sebanding dengan Australia. Bahkan diketahui pencari suaka tersebut seringkali mendapat bantuan dari nelayan Indonesia, yang karena alasan ekonomi, membantu pelayaran para pencari suaka ke Australia.

Dalam upaya mencegah masuknya pencari suaka, pemerintahan PM Abbot melakukan “Operasi Perbatasan Kedaulatan”. Kebijakan ini menerapkan strategi pre-emptive sebagai strategi pencegahan pencari suaka dalam menghadapi berbagai potensi masuknya para pencari suaka ke negaranya. Dengan cara melakukan berbagai tindakan antisipatif pencegahan sebelum para pencari suaka masuk ke dalam wilayah negaranya. Pihak angkatan laut Australia berpatroli di perbatasan untuk mencegat perahu para pencari suaka, menukar kapal kayu mereka dengan sekoci yang lebih canggih, kemudian mendorong mereka kembali ke perairan Indonesia. Pihak angkatan laut Australia mengakui telah 6 kali menerobos masuk wilayah kedaulatan Indonesia. Semua negara sangat sensitif terhadap masalah kedaulatan wilayahnya sehingga pemerintah Indonesia mengecam keras pelanggaran wilayah dan kebijakan tersebut. Australia secara resmi telah meminta maaf pada 17 Januari 2014 dan melakukan evaluasi internal terkait operasi perbatasannya. Meskipun demikian, Pemerintahan PM Abbot tetap meyakini kebijakan pengusiran pencari suaka pada akhirnya akan menguntungkan Indonesia sebagai negara transit. Jika kebijakan tersebut berhasil, jumlah imigran yang datang ke Indonesia dengan tujuan Australia akan berkurang.

Para pencari suaka yang datang sebagai manusia perahu dan tidak berhasil dicegah

- 7 -

akan dialihkan ke rumah detensi di Pulau Manus atau Pulau Nauru di Pasifik Selatan. Masa penahanan yang lama, minimnya informasi dan penjelasan tentang nasib, masalah kesehatan mental, dan konflik dengan warga setempat menyebabkan terjadinya keributan di detensi Pulau Manus yang mengakibatkan korban jiwa di kalangan pencari suaka. Sikap keras Australia terhadap pencari suaka, termasuk pemrosesan di luar Australia, mendapat kecaman dari PBB, Amnesti internasional dan berbagai organisasi kemanusian dunia karena melanggar ketentuan konvensi PBB terkait penanganan pencari suaka. UNHCR bahkan menyebutkan fasilitas penahanan di Pulau Manus harus ditutup sejak lama karena tidak manusiawi dan aman.

Hukum internasional menyatakan bahwa pencari suaka tidak diusir saat mereka memasuki wilayah sebuah negara, sehingga kebijakan Australia mengusir kapal pencari suaka ke perairan internasional tidak sejalan dengan prinsip hukum internasional tersebut. Harus diakui bahwa hukum internasional yang mengatur tentang pengungsi ataupun orang yang memerlukan suaka ini masih sangat lemah, walaupun dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dikatakan mereka mempunyai hak untuk mendapat perlindungan di negara lain. Kewajiban internasional ini melekat kepada setiap negara yang menganggap dirinya bagian masyarakat internasional. Pencari suaka di negara persinggahan atau negara tujuan tidak boleh dipulangkan secara paksa karena dianggap bertentangan dengan prinsip hukum internasional yang telah diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Masalah ini menjadi perdebatan di Australia dan sumber kecaman internasional terhadap Australia, setelah Australia yang merupakan anggota dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 menolak masuknya pengungsi ke negaranya.

Kerja Sama dalam Isu Pencari Suaka

Untuk mengatasi masalah ini kedua negara sebaiknya melakukan tanggung jawab sesuai dengan kemampuannya dalam sebuah kerja sama kemitraan yang setara dalam sebuah MOU. Sebagaimana yang telah disepakati dalam pertemuan Bali Procces di tahun 2002, kerja sama antara negara-negara

asal, transit dan tujuan untuk menghentikan migrasi ilegal, isu penyelundupan manusia, perdagangan manusia dan kejahatan transnasional terkait telah dibahas bersama. Upaya tersebut diperkuat dalam Perjanjian Lombok di tahun 2006, diantaranya dengan kerja sama patroli angkatan laut. Namun berbagai solusi efektif tersebut harus terhenti akibat terungkapnya kasus penyadapan yang dilakukan Australia terhadap pejabat dan kepentingan Indonesia.

Imigran ilegal adalah masalah bersama yang dihadapi kedua negara karena keduanya merupakan negara korban dalam bentuknya masing-masing. Kedua negara perlu memikirkan kerangka kepentingan yang lebih luas untuk memperbaiki hubungan, karena dalam kondisi seperti ini kesepakatan apapun susah tercapai. Upaya untuk mengatasi kebekuan bilateral saat ini, menurut pengamat masalah internasional Dewi Fortuna Anwar, dimulai dengan permintaan maaf dari PM Tony Abbot kepada Pemerintah Indonesia terkait masalah penyadapan. Kerja sama harus dilakukan untuk mendukung kepentingan nasional masing-masing. Indonesia menunggu itikad dari Australia karena negara itu lebih punya kepentingan sebagai akibat melakukan penyadapan. Penolakan permintaan maaf PM Abbot menunjukkan bahwa politik dalam negeri adalah prioritasnya dan mengabaikan keinginan pemerintah Indonesia untuk adanya forum bersama membahas masalah penyadapan ini.

Penghentian kerja sama bidang intelijen dan militer antara Indonesia dan Australia akan terus dilakukan sampai hubungan kedua negara ini membaik. Pemerintah Indonesia yakin penghentian kerja sama kedua negara ini tidak akan merugikan Indonesia. Saat ini kerja sama yang telah dihentikan adalah tukar-menukar data dan informasi intelijen, latihan gabungan tentara Indonesia dan Australia, terakhir, pemerintah Indonesia juga menghentikan kerja sama dalam hal patroli laut di kawasan Selatan Jawa. Patroli tetap dilakukan oleh masing-masing negara di wilayahnya.

Sebagai langkah lanjut, Pemerintahan PM Abbot baru-baru ini membeli delapan pesawat patroli maritim P-8A Poseidon untuk memperkuat pengawasan dan pengamanan maritim Australia. Di saat upaya menahan para pencari suaka di rumah detensi

- 8 -

Indonesia gagal dilakukan, dan rumah detensi di Pulau Nauru dan Manus terus mendapat kecaman, pemerintah Australia mencoba melakukan pembicaraan khusus dengan pemerintah Kamboja agar negara itu bersedia menampung para pencari suaka yang melalui negara itu menuju Australia. Kamboja mempertimbangkan permintaan tersebut secara serius. Upaya Australia berusaha menciptakan rumah detensi baru di Kamboja menunjukan bahwa kebijakan pragmatis PM Abbot dalam masalah pencari suaka masih akan berlanjut.

Australia menganggap Indonesia penting dan strategis, karena menyadari tanpa membina hubungan baik dengan Indonesia, upaya Australia mencegah masuknya pencari suaka ke negaranya akan semakin sulit. Namun, kebijakan pragmatis PM Abbot cenderung menjauhkan kedua negara dari kerja sama dalam masalah pencari suaka. Meskipun secara fisik di Asia, secara emosional Australia lebih dekat kepada negara Barat. Australia cenderung melihat lingkungan sekitarnya dengan mata orang asing, merasa superioritas dan melihat negara-tetangga di kawasannya dengan ketakutan dan kecurigaan. Sebaliknya negara-negara sekitarnya memandang Australia bertindak seperti kekuatan kolonial. Peningkatan hubungan baik dengan Indonesia sangat diperlukan karena pada dasarnya setiap negara saling membutuhkan meski dalam kondisi konflik. Selain menghindari konfrontasi, hubungan baik bisa dioptimalkan bila pemimpin kedua negara kerap bertemu sehingga bisa menghindari adanya salah pengertian.

PenutupAustralia dan Indonesia merupakan dua

negara yang bertetangga, sehingga tidak dipungkiri akan mudah terjadi pergesekan kepentingan di antara keduanya. Negara-negara yang saling berdekatan dalam suatu kawasan pada dasarnya memiliki potensi konflik yang jauh lebih besar satu sama lain dibanding yang saling berjauhan. Dalam hal ini kemitraan berdasarkan kesetaraan harus menjadi dasar hukum hubungan antar negara. Hanya atas dasar kesetaraan, negara-negara yang terlibat dalam hubungan itu akan saling menghormati kedaulatan masing-masing.

Dalam mengatasi masalah pencari

suaka dan membina hubungan baik dengan Australia, perlu ada penguatan deteksi dini dan peningkatan kewaspadaan inteligen Indonesia menyusul sejumlah tindakan negara tetangga yang mengusik kedaulatan negara. DPR harus menekankan kepada pemerintah untuk memperkuat bidang inteligen dengan kerja sama yang lebih baik antar instansi Kemenlu, BIN dan Lembaga Sandi Negara.

Sedangkan di bidang pertahanan, kekuatan nasional, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara harus terintegrasi ke dalam kelompok pertahanan terpadu. Oleh sebab itu, kebijakan militer tentang pembentukan formasi Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) regional yang aturannya akan diterapkan pada Juni 2014 akan sangat mendukung. Masih dalam upaya pengamanan pertahanan nasional, DPR harus mempertimbangkan peningkatan anggaran BBM untuk efektivitas pelaksanaan patroli keamanan laut.

Rujukan 1. RI-Australia: Time to be forthright, map out a

better future, The Jakarta Post, 17 Februari 2014.2. Australia Sahabat atau Musuh?, Kompas, 18

Februari 2014.3. Detensi di Pulau Manus Rusuh, Belasan Luka,

Kompas, 18 Februari 2014.4. RI Slams Oz, Silent over US, The Jakarta Post, 18

Februari 2014.5. Fasilitas Imigran Australia di Pulau Manus Ricuh,

Republika,18 Februari 2014.6. Mencegah Ancaman dengan Hubungan Baik,

Media Indonesia, 18 Februari 2014.7. No Aussie, RI make up in sight, The Jakarta Post,

19 Februari 2014.8. Pulau Manus Kembali Rusuh, Kompas, 19

Februari 2014.9. RI-Australia Perlu Perbaiki Relasi, Kompas, 20

Februari 201410. Oz, RI need to patch up cooperation, The Jakarta

Post, 20 Februari 201411. Australia’s Morrison refuses comment on Marty’s

remaks, The Jakarta Post, 20 Februari 201412. Australia Akui langgar Perairan Indonesia Enam

Kali, Kompas, 21 Februari 2014.13. RI demands OZ halt boat people operation, The

Jakarta Post, 21 Februari 201414. Enam Kali Melanggar, Indonesia Maafkan

Australia, Republika, 21 Februari 201415. Australia Membeli Delapan Pesawat Patroli P-8

Poseidon, Kompas, 22 Februari 2014.16. Australia Minta Kamboja Tampung Pengungsi,

Kompas, 24 Februari 2014.

- 9 -

Vol. VI, No. 04/II/P3DI/Februari/2014KESEJAHTERAAN SOSIAL

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Kajian Singkat terhadap Isu-isu Terkini

DAMPAK NEGATIF ABU VULKANIK

TERHADAP LINGKUNGAN DAN KESEHATANAnih Sri Suryani*)

Abstrak

Bencana gunung berapi yang kerap menimpa wilayah Indonesia memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Semburan gunung berapi berpotensi menurunkan kualitas air dan jarak pandang. Selain itu, ia juga berpotensi menimbulkan berbagai jenis penyakit bagi korban bencana tersebut. Penting bagi kita untuk mengenal potensi bahaya bencana jenis ini agar kita dapat mengambil tindakan yang tepat dalam mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan.

PendahuluanPada tanggal 13 Februari 2014, Gunung

Kelud meletus. Gunung yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang telah berstatus siaga sejak 2 Februari 2014 dan ditingkatkan statusnya menjadi waspada 8 hari kemudian. Letusannya yang sangat besar menimbulkan suara yang terdengar hingga radius puluhan kilometer. Walaupun saat ini aktivitasnya cenderung turun, namun statusnya masih dinyatakan awas.

Berdasarkan pengukuran satelit, ketinggian letusan diperkirakan mencapai 17 km, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan letusan yang terjadi pada tahun 1990 yang hanya mencapai 8 km. Sementara itu, volume material yang dimuntahkan mencapai 100 juta meter kubik. Jangkauan penyebaran abu vulkaniknya tidak hanya melingkupi Provinsi

Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Tengah saja, tetapi juga dapat dirasakan oleh masyarakat di beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat, seperti Kota Banjar, Tasikmalaya, Ciamis, bahkan hingga Kota Bandung.

Letusan ini telah mengakibatkan empat korban jiwa, rusaknya areal pertanian dan infrastruktur, serta menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat. Abu yang ditimbulkan erupsi ini juga mengurangi jarak pandang sehingga penerbangan di sejumlah bandara di Surabaya, Malang, Cilacap, Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Bandung, terpaksa dibatalkan selama beberapa hari.

Bencana yang sama sebelumnya juga terjadi di Gunung Sinabung pada 2013 lalu. Letusannya melepaskan awan panas dan abu vulkanik yang menjangkau kawasan Sibolangit dan Berastagi. Guguran lava pijar dan semburan awan panas masih terus dihasilkan

*) Peneliti Muda Kesehatan Lingkungan bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 10 -

sampai 3 Januari 2014 dan hingga kini rentetan gempa, letusan, dan luncuran awan panas masih terjadi secara terus-menerus. Ssampai saat ini, letusan kecil masih terjadi di Gunung Sinabung sehingga statusnya masih dinyatakan awas. Abu Vulkanik letusan Gunung Sinabung mencapai Kota Medan yang jaraknya sekitar 80 km dari pusat letusan. Korban jiwa pun berjatuhan, terutama akibat terkena sapuan awan panas, yang mencapai 17 orang.

Material Abu VulkanikMaterial yang dihasilkan oleh letusan

gunung berapi salah satunya adalah abu vulkanik, sering disebut juga pasir vulkanik atau jatuhan piroklastik bahan material vulkanik, yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan dan terdiri dari batuan berukuran besar sampai berukuran halus. Batuan yang berukuran besar (bongkah-kerikil) biasanya jatuh di sekitar kawah sampai radius 5 hingga 7 km dari kawah. Sedangkan yang berukuran halus dapat jatuh dengan jarak mencapai ratusan bahkan ribuan kilometer dari kawah tergantung pada kecepatan angin. Sebagai contoh, letusan Gunung Krakatau tahun 1883 yang menyebabkan abu vulkaniknya mengitari bumi berhari-hari atau letusan Gunung Galunggung tahun 1982 yang menyebabkan abu vulkaniknya terbang hingga mencapai Australia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa abu vulkanik mengandung unsur mayor (aluminium, silika, kalium dan besi), unsur minor (iodium, magnesium, mangan, natrium, pospor, sulfur dan titanium), dan tingkat trace (aurum, asbes, barium, kobalt, krom, tembaga, nikel, plumbum, sulfur, stibium, stannum, stronsium, vanadium, zirconium, dan seng). Sedangkan lima komposisi kimia tertinggi dari tanah abu vulkanik gunung berapi secara urutan adalah silikon dioksida 55%, aluminium oksida 18%, besi oksida 18%, kalsium oksida 8%, dan magnesium oksida 2,5%.

Dampak bagi LingkunganAbu vulkanik yang baru keluar dari

gunung berapi berdampak negatif bagi lingkungan. Abu vulkanik yang membentuk awan panas, baik karena temperaturnya maupun kandungannya, dapat berefek mematikan dan bersifat toksik, baik bagi manusia, tumbuhan, dan hewan. Komposisi kimia dari abu vulkanik yang bersifat asam dapat mencemari air tanah, merusak tumbuh-tumbuhan, dan apabila bersenyawa dengan air hujan dapat menyebabkan hujan asam yang bersifat korosif. Sifat korosif inilah

yang menyebabkan rusaknya berbagai jenis infrastruktur dan utilitas, tidak hanya yang mengandung logam, seperti jembatan, perumahan dan permukiman, tetapi juga berbagai bangunan peninggalan sejarah seperti candi-candi yang banyak tersebar di wilayah Jateng-Jatim.

Abu vulkanik juga dapat mengakibatkan terkontaminasinya air bersih, tersumbatnya saluran air, serta rusaknya fasilitas air bersih. Sumber air dan pasokan air terbuka lainnya, seperti sungai, danau, atau tangki air, pun sangat rentan terhadap hujan abu. Abu yang bersifat asam, yang bersenyawa dengan hujan dan menjadi hujan asam, dapat membakar jaringan tanaman. Konsentrasi dan ketebalan abu yang tinggi dapat menyebabkan kematian pada beberapa tanaman. Demikian juga pasokan air untuk pertanian menjadi tercemar, sehingga risiko gagal panen menjadi semakin besar.

Erupsi gunung biasanya diikuti dengan peningkatan kondensasi di atmosfer sehingga memicu terjadinya hujan dengan intensitas cukup tinggi. Hujan dengan intensitas tinggi bisa menggelontorkan material vulkanik yang masih tersisa di puncak gunung dan berpotensi menimbulkan banjir ataupun longsor. Dampak lainnya adalah pada sektor transportasi. Jarak pandang berkurang akibat abu vulkanik dan berpotensi menyebabkan kecelakaan, baik pada transportasi udara, darat, maupun laut.

Dampak bagi KesehatanAbu vulkanik selain berdampak

langsung di lokasi bencana juga berdampak ke wilayah sekitarnya yang lebih luas. Abu vulkanik yang betebaran di udara dan terbawa angin ke daerah-daerah lain dalam radius puluhan bahkan ratusan kilometer biasanya ukurannya sangat kecil (<2 µm). Menurut The International Volcanic Health Hazard Network, secara umum abu vulkanik menyebabkan masalah kesehatan khususnya menyebabkan iritasi pada paru-paru, kulit dan mata. Seperti diungkapkan Pulmonologist, dr. Ceva Wicaksono Pitoyo, SpPD,KP FINASIM, bahwa, secara kasar, abu vulkanik itu seperti abu semen (batuan kecil dan halus) yang terlempar ke atas.

Beberapa komposisi kimia yang dihasilkan erupsi tersebut, seperti karbon dioksida (CO2), sulfur oksida (SO2), hidrogen sulfida (H2S), gas hidrogen (H2), hidrogen klorida (HCl), hidrogen florida (HF), dan helium (He), yang pada konsentrasi tertentu menyebabkan sakit kepala, pusing, diare, bronchitis (radang saluran nafas),

- 11 -

bronchopneumonia (radang jaringan paru), iritasi selaput lendir saluran pernafasan, iritasi kulit, serta mempengaruhi gigi dan tulang. Gangguan kesehatan ini bisa akibat paparan akut jangka pendek atau dalam beberapa hari dan jangka panjang dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan.

Gejala pernapasan akut yang sering dilaporkan oleh masyarakat setelah gunung mengeluarkan abu adalah iritasi selaput lendir dengan keluhan bersin, pilek dan beringus, iritasi dan sakit tenggorokan (kadang disertai batuk kering), batuk dahak, mengi, sesak napas, dan iritasi pada jalur pernapasan. Gangguan ini akan lebih berat bila terkena pada orang atau anak yang sebelumnya mempunyai riwayat alergi saluran napas dan bronkitis kronis, emfisema, atau asma. Abu vulkanik yang terhirup dapat merangsang peradangan di paru-paru serta luka di saluran napas. Luka ini seperti codet di kulit yang akan menyebabkan luka permanen pada alveolus (paru-paru bawah) yang dalam jangka panjang bisa menyebabkan kanker.

Kulit tubuh juga bisa terkena dampak abu berupa gatal-gatal, iritasi, dan infeksi, terutama ketika abu vulkanik tersebut bersifat asam. Kondisi ini bisa juga diakibatkan oleh perubahan kualitas air yang sudah tercemar abu vulkanik.

Gangguan kesehatan berupa infeksi pernapasan, gangguan penglihatan, dan diare menjadi penyakit yang paling banyak dikeluhkan oleh para pengungsi letusan Sinabung dari berbagai usia. Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, pada awal Februari ini dari sejumlah 34.973 pengungsi, yang menderita penyakit gastritis 202 orang, ISPA 790 orang, konjungtivitis 65 orang, diare 84 orang, hipertensi 59 orang, anxietas 13 orang, dan penyakit lainnya 222 orang.

Demikian pula dengan dampak letusan Gunung Kelud, sedikitnya 955 orang pengungsi korban ancaman letusan Gunung Kelud di Kabupaten Kediri Jawa Timur, terserang berbagai macam jenis penyakit, 364 orang terserang ISPA, 78 orang hipertensi, disusul berikutnya gatal-gatal dan mialsia (linu-linu). Di Batu, Malang ratusan pengungsi terserang penyakit ISPA. Berdasarkan data dari posko kesehatan di Kantor Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, pada 15 Februari 2014 tercatat lebih dari seratus pengungsi telah berobat dan mengeluh mengalami batuk, sakit kepala, dan gatal-gatal.

Upaya Pengurangan Dampak Upaya untuk menghindari dampak

negatif abu negatif terhadap lingkungan bisa dikatakan sangat terbatas dan yang dapat dilakukan adalah penanganan pascabencana untuk meminimalkan dampak negatif susulan yang mungkin ditimbulkan. Bagi masyarakat, untuk menghindari dampak negatif abu vulkanik terhadap kesehatan, maka paparan abu vulkanik tersebut harus dicegah dengan berada sejauh mungkin dengan lokasi letusan. Mereka harus menghentikan konsumsi air dari sumber air yang telah tercemar. Selain itu aktivitas di luar perlu dikurangi, rumah harus dalam keadaan tertutup untuk mencegah masuknya abu dan gas ke dalam rumah. Penggunaan masker adalah hal mutlak dilakukan. Alat perlindungan diri yang lainnya, seperti kaca mata, juga diperlukan untuk mengurangi iritasi abu dengan mata.

Untuk mengurangi dampak debu terhadap lingkungan, debu yang sudah menempel di tanah, bangunan, atau jalan perlu segera dibersihkan dengan metode tertentu untuk menghindari berbagai partikulat yang terbang agar tidak menyebar ke daerah lainnya. Demikian juga sumber air bersih, tempat penampungan dan salurannya harus segera dibersihkan agar air yang tercemar tidak dikonsumsi oleh masyarakat.

Risiko negatif dari abu vulkanik yang sudah terdeposisi dapat diminimalkan dengan memanfaatkan abu tersebut menjadi bahan yang berguna. Pasir dan abu vulkanik yang mengadung silika dan besi merupakan pasir kualitas terbaik dapat dijadikan campuran bahan bangunan berupa bahan beton dan bata ringan. Demikian juga kandungan kimia dari abu vulkanik juga berguna untuk memperkaya unsur hara tanah sehingga dapat dijadikan pupuk. Manfaat lainnya adalah sebagai penjernih air. Pola silika pada abu vulkanik yang berujung runcing membuat kemampuan pasir menyerap partikel yang tidak diinginkan jauh lebih baik ketimbang pasir biasa.

Peran pemerintah dalam mengenali tanda-tanda bencana perlu diperkuat agar dapat memberikan pengarahan kepada masyarakat dalam evakuasi. BNPB dan BPBD selaku lembaga yang berfungsi dalam perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi serta pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana diharapkan dapat bertindak secara cepat, tepat, efektif dan efisien dalam meminimalisasi risiko bencana. Koordinasi dengan lembaga terkait terutama Dinas Kesehatan sangat diperlukan untuk

- 12 -

mengurangi dampak kesehatan yang dialami masyarakat. Demikian juga, koordinasi dengan lembaga lainnya seperti Badan Lingkungan Hidup, Palang Merah Indonesia serta LSM diperlukan untuk penanganan dampak yang lebih lanjut.

PenutupBencana letusan gunung berapi memiliki

dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan antisipatif dalam penanganan bencana, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah perlu melakukan edukasi kepada masyarakat terkait kesiap-siagaan bencana tujuannya untuk mengurangi risiko bencana, mengurangi ancaman, dampak, menyiapkan diri secara tepat jika terjadi ancaman, menyelamatkan diri, memulihkan diri, dan memperbaiki kerusakan yang terjadi agar menjadi masyarakat yang aman, mandiri dan berdaya tahan terhadap bencana.

Peran DPR RI dalam fungsi pengawasannya perlu diperkuat dalam mendukung program pertolongan korban bencana yang dilakukan oleh BPBD dan instansi terkait. DPR juga perlu mendorong peningkatan anggaran penanggulangan bencana dan koordinasi terpadu pihak-pihak yang diberi kewenangan untuk melakukan proses mitigasi pasca-bencana untuk menangani dampak negatif abu vulkanik terhadap lingkungan dan kesehatan.

RujukanWahyuni, Endang Tri, Sugeng Triyono, Mr 1. Suherman. “Penentuan Komposisi Kimia Abu Vulkanik Dari Erupsi Gunung Merapi”. Jurnal Manusia dan Lingkungan. Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada. UGM: [Yogjakarta.2012]“Cara Mencegah Dampak Negatif Abu 2. Vulkanik,” http://nationalgeographic.co.id/ berita/2014/02/cara-mencegah-dampak-negatif-abu-vulkanik, diakses tanggal 20 Februari 2014. “Waspada Bahaya Merapi yang Lebih 3. Dahsyat” http://doktersyhura.wordpress.com/ juma/waspada-bahaya-merapi-yang-lebih-dahsyat/, diakses tanggal 20 Februari 2014. Water and Waste Water Systems”, http://4. vatlab.org/, diakses tanggal 20 Februari 2014.“Ini Efek yang Muncul Saat Kota Tertutupi 5. Abu Gunung Kelud”, http://news.detik.com/read/2014/02/14/112502/2497157/10/ini-efek-yang-muncul-saat-kota-tertutupi-abu-gunung-kelud?nd772204btr, diakses tanggal 20 Februari 2014. “Abu Vulkanik Gunung Sinabung Lebih 6. Bahaya Dari Kelud?” http://health.liputan6. com/read/831138/abu-vulkanik-gunung-sinabung-lebih-bahaya-dari-kelud, diakses tanggal 20 Februari 2014. “Sinabung Emergency Respone,”http://7. mediacenter.or.id/respon/ reports/view/212#.Uw13FvnoRVI, diakses tanggal 25

Februari 2014.

- 13 -

Vol. VI, No. 04/II/P3DI/Februari/2014EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

KEBIjAKAN KERINGANAN KREDIT PERBANKAN

UNTUK KoRBAN ERUPSI GUNUNG KELUDVenti Eka Satya*)

Abstrak

Bencana alam yang akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia telah berdampak negatif pada kinerja perbankan dan perekonomian masyarakat. Pemerintah perlu mengantisipasi dampak buruk tersebut. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 sebenarnya telah mengakomodasi hal ini meskipun peraturan ini tidak mengakomodasi penghapusan kredit. Berkenaan dengan penghapusan utang atau kredit pada bank BUMN sebenarnya telah dinyatakan dalam Permenkeu Nomor 64 Tahun 2010 tetapi dalam pelaksanaannya masih mengalami kendala akibat adanya ketakutan para pengelola bank terhadap potensi interprestasi merugikan keuangan negara. Untuk korban bencana erupsi gunung Kelud belum terlihat adalanya langkah nyata dari perbankan dalam menangani masalah perkreditan. Pihak perbankan masih meninjau dan mendata wilayah dan pihak-pihak yang terkena dampak bencana erupsi tersebut.

PendahuluanDi awal tahun 2014 ini, tidak kurang

dari 200 bencana baik yang berskala kecil maupun berskala nasional telah melanda Indonesia. Kejadian alam ini secara signifikan berdampak negatif terhadap kinerja perbankan dan perekonomian setempat. Banyak terjadi kredit macet akibat ketidakmampuan debitur memenuhi kewajibannya yang diakibatkan terhenti atau terganggunya proses produksi dan rusak atau musnahnya agunan kredit mereka.

Bencana alam yang cukup besar dialami Indonesia dalam beberapa waktu terakhir ini adalah banjir Manado, meletusnya

Gunung Sinabung dan yang baru-baru ini meletusnya Gunung Kelud. Dampak letusan kedua gunung ini terutama Gunung Kelud diyakini cukup besar. Menurut Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, ada tiga sektor utama yang terkena dampak letusan Gunung Kelud, yaitu sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan. Untuk pertanian dan perkebunan akan ada bantuan bibit dan pupuk bagi petani. Untuk bantuan bidang peternakan, ada bantuan bagi pemilik ternak yang ternaknya benar-benar mati akibat bencana ini, bukan mati karena sakit. Untuk bidang infrastruktur, menurut Menteri Pekerjaan Umum, bantuan yang akan

*) Peneliti Muda Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 14 -

diberikan oleh Pemerintah adalah kebutuhan pembangunan instalasi air bersih.

Berdasarkan pendataan sementara di Kabupaten Malang, dampak langsung dari erupsi Gunung Kelud menimbulkan kerugian sekitar Rp 392,66 miliar. Lahan pertanian yang mengalami kerusakan adalah sawah seluas 5.146 ha, kebun 1.792 ha, dan tanaman buah-buahan 260.060 pohon. Sedangkan untuk ternak sapi perah, terdapat 25.290 ekor sapi yang terkena dampak. Belum ada laporan mengenai adanya jumlah sapi yang mati akibat erupsi di Malang, hanya gangguan terhadap produksi susu sapi. Letusan ini tentu saja berdampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat setempat serta kemampuan masyarakat atau para debitur bank untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit.

Kebijakan Kredit Perbankan terkait Bencana Alam

Kredit bermasalah (nonperforming loan) berdampak sangat besar terhadap kinerja perbankan, sehingga diperlukan penanganan yang sistematis dan berkelanjutan. Sesuai dengan arahan Presiden, bantuan perbankan diberikan atas kerja sama dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), baik mengenai penjadwalan ulang maupun pengajuan pinjaman baru.

OJK memperkirakan bencana alam letusan Gunung Sinabung dan banjir bandang di Manado akan memberikan dampak signifikan terhadap kinerja perbankan dan perekonomian di daerah setempat, khususnya di daerah yang secara langsung terkena bencana. Untuk itu, OJK melihat perlunya upaya-upaya khusus untuk mempercepat pemulihan kinerja perbankan dan kondisi perekonomian pasca bencana alam tersebut. Dikeluarkannya kebijakan ini merupakan kelanjutan kebijakan yang memberikan perlakuan khusus terhadap kredit yang disalurkan untuk debitur atau proyek yang berada di lokasi distressed area yang dapat disebabkan karena bencana alam dan bersifat sementara (temporary measures). Secara umum penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan perbankan adalah dengan cara rescheduling, reconditioning, restructuring, kombinasi ketiganya (3R) serta eksekusi.

Saat ini, daerah yang telah ditetapkan oleh OJK untuk mendapatkan perlakuan khusus terhadap kredit bank adalah Manado dan empat kecamatan di Kabupaten Karo.Kebijakan yang dikeluarkan OJK untuk korban banjir Manado dan erupsi Gunung Sinabung

diantaranya meliputi:1. Penilaian Kualitas Kredit. Penetapan Kualitas Kredit dengan plafon

maksimal Rp 5 miliar hanya didasarkan atas ketepatan membayar. Sementara itu, bagi Kredit dengan plafon di atas Rp 5 miliar, penetapan Kualitas Aset tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku, PBI No. 14/15/PBI/2013 tentang Penilaian Kualitas Aset bagi Bank Umum.

2. Kualitas Kredit yang Direstrukturisasi. Kualitas Kredit bagi Bank Umum maupun

BPR yang direstrukturisasi akibat bencana alam ditetapkan Lancar sejak restrukturisasi sampai dengan tiga tahun setelah terjadinya bencana. Restrukturisasi Kredit tersebut dapat dilakukan terhadap Kredit yang disalurkan baik sebelum, maupun sesudah terjadinya bencana.

3. Pemberian Kredit Baru Terhadap Debitur yang Terkena Dampak Bencana.

Bank dapat memberikan Kredit baru bagi debitur yang terkena dampak bencana alam. Penetapan Kualitas Kredit baru tersebut dilakukan secara terpisah dengan Kualitas Kredit yang telah ada sebelumnya.

4. Pemberlakuan untuk Bank Syariah. Perlakuan khusus terhadap daerah yang

terkena bencana alam berlaku juga bagi penyediaan dana berdasarkan prinsip syariah yang mencakup pembiayaan (mudharabah dan musyarakah), piutang (murabahah, salam, istishna), sewa (ijarah), pinjaman (qardh), dan penyediaan dana lain.

Kebijakan tersebut berlaku selama tiga tahun terhitung sejak terjadinya bencana (Manado, 5 Januari 2014 dan Sinabung sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Dewan Komisioner OJK). Kebijakan ini mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank bagi Daerah-daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam. Aturan ini dikeluarkan saat terjadinya erupsi Gunung Merapi. BI mengeluarkan putusan untuk memberikan perlakuan khusus untuk korban erupsi Gunung Merapi. Korban erupsi Gunung Merapi mendapat perlakukan khusus sesuai kebijakan bank masing-masing, seperti penundaan pembayaran angsuran uang pokok kredit, termasuk bunga bank dalam jangka waktu tertentu, namun tidak ada pemutihan kredit atau penghapusan utang untuk korban bencana.

- 15 -

Sebenarnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64 Tahun 2010 mengenai penyelesaian piutang bermasalah pada BUMN bidang usaha perbankan bisa menjadi dasar bagi bank umum untuk melakukan penghapusan tagihan pinjaman debitur korban bencana, akan tetapi pihak perbankan lebih memilih mengacu pada keputusan BI Nomor 8/15/PBI/2006 tersebut. Bank-bank BUMN memang menghadapi dilema dalam hal mengeksekusi hapus tagih, di satu pihak sebenarnya ini merupakan aksi korporasi biasa yang sudah lazim dilakukan bank swasta. Namun pada BUMN, karena statusnya milik negara timbullah ambiguitas. Jika direksi melakukan hapus tagih bisa jadi dianggap merugikan keuangan negara, bahkan sebagian BUMN sampai meminta izin kepada DPR meskipun sebenarnya cukup hanya dengan keputusan Menteri Keuangan.

Upaya Penanganan Masalah Kredit Korban Erupsi Gunung Kelud

Upaya yang dilakukan pihak perbankan di antaranya seperti yang dilakukan oleh tiga perbankan Tanah Air yakni PT. Bank Central Asia (BCA), PT Bank Negara Indonesia (BNI), dan PT Bank Windu adalah berjanji akan membantu nasabah terkait pemberian keringanan pembayaran kredit kepada para korban bencana alam akibat letusan Gunung Kelud. Bank BCA akan memberlakukan pendekatan khusus bagi nasabah yang menjadi korban erupsi Gunung Kelud. Perlakuan khusus ini seperti yang telah dilakukan di Gunung Sinabung dan Manado. Sedangkan pihak BRI berencana akan memantau jumlah debitur yang terkena dampak bencana dengan tujuan melihat kondisi dan kemampuan bayar debitur.

Dari sisi OJK, lembaga ini masih memantau dampak abu vulkanik letusan Gunung Kelud terhadap aktivitas perbankan. Adapun jumlah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang tutup karena letusan Gunung Kelud yang terletak di Kediri, Jawa Timur tercatat lebih banyak dibandingkan dengan di Sinabung dan Manado. Berdasarkan data sementara, di Kelud ada 8.762 debitur yang kena dampak langsung dengan nilai kredit sebesar Rp 256 miliar dan itu akan bertambah lagi karena ada dua bank yang belum masuk datanya. Sedangkan di Sinabung terdapat 5.800 nasabah dengan Rp 86 miliar dan Manado 3.600 nasabah dengan nilai kredit Rp 808 miliar. Di wilayah Malang dan Kediri, baru terindikasi 8 BPR yang terkena dampak.

Pada prinsipnya, OJK akan memberikan beberapa kelonggaran bagi bank yang berada di distress area, antara lain kredit di bawah Rp 500 miliar akan diberikan penilaian hanya dengan satu kriteria dari biasanya tiga kriteria, perpanjangan kredit maupun reschedule sehingga beban nasabah akan lebih ringan.

Kredit yang di-reschedule akan dianggap sebagai kredit lancar sehingga tidak memakan modal bank. Bank juga bisa memberikan kredit tambahan. Di Sinabung, bahkan ada BPD dan BRI yang memberikan treatment tambahan seperti pembebasan bunga, tetapi itu tergantung dari kebijakan individual bank.

Lain halnya dengan BI, Kantor Perwakilan BI Kediri Jawa Timur belum memutuskan dan menunggu keputusan pusat terkait permintaan keringanan pelunasan kredit korban erupsi Gunung Kelud. BI terlebih dahulu akan melakukan pemetaan dan pemutakhiran data sehubungan dengan erupsi Gunung Kelud di perbankan wilayah BI Kediri. Pihak BI mengungkapkan rekap sementara BI dari 17 bank umum di wilayah BI Kediri yang meliputi wilayah Keresidenan Kediri terdapat pengajuan Kredit mencapai Rp158.960.828.762,37 dengan total 2.082 debitur. Sementara, untuk BPR (Bank Perkreditan Rakyat) ada 23 BPR dengan total pengajuan kredit mencapai Rp70.793.245.969,00 dengan 13.406 debitur. Data itu terus diperbaiki dan segera dikirimkan ke BI Surabaya. Pendataan ini bukan hanya dilakukan di BI Kediri, yang merupakan lokasi terkena dampak langsung erupsi Gunung Kelud, melainkan juga BI Malang. Namun hingga saat ini, belum ada keputusan dari pusat terkait dengan kebijakan bagi para debitur yang terkena erupsi Gunung Kelud.

BI pusat masih melakukan pengkajian yang mendalam dari berbagai aspek. Pihak BI menegaskan nantinya akan ada kebijakan khusus pada para debitur yang terkena dampak erupsi Gunung Kelud. Kebijakan khusus terkait kredit itu tergantung juga kepada skala kerusakan usaha milik debitur. Kebijakan maupun aturan yang akan dibelakukan pada korban erupsi Gunung Kelud sampai saat ini belum terlihat. Hal ini karena kejadiaannya yang terbilang masih baru serta dampak letusan yang cukup besar. Namun sepertinya perlakukan yang akan diberikan kepada korban erupsi Gunung Kelud tidak akan jauh berbeda dengan yang diberlakukan pada korban-korban bencana serupa sebelumnya yang mana sebagian besar mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 tanggal

- 16 -

5 Oktober 2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank bagi Daerah-daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam.

Di sektor pertanian, perkebunan, peternakan atau sektor lain yang terganggu, pemerintah akan memberikan bantuan dalam jumlah yang tepat. Bagi yang betul-betul terkena dampak langsung, bunga pinjaman akan dihapuskan. Akan tetapi, dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tersebut tidak ada penghapusan pokok kredit atau penghapusan utang. Padahal ini sangat dibutuhkan ketika korban bencana tidak dapat lagi melanjutkan usahanya karena modal kerja ataupun aset mereka telah musnah begitu juga dengan agunannya.

Para debitur korban bencana seperti di Yogjakarta (korban letusan Gunung Merapi dan Gempa Bantul) telah mengajukan penghapusan hutang bahkan beberapa yang tergolong usaha kecil dan menengah telah menggunakan jasa LBH (Lembaga Bantuan Hukum) untuk melakukan mediasi dengan bank. Akhirnya, pengajuan penghapusan kredit sejumlah 9,4 miliar tersebut dikabulkan setelah memakan waktu hampir tujuh tahun.

Penutup Perbankan akan membantu memberikan

keringanan bagi korban bencana yang mengalami permasalahan kredit. Kredit bermasalah ini akan berdampak pada Non Performing Loan (NPL). Hal tersebut perlu diperhatikan agar tidak menjadi lebih buruk atau mendatangkan kerugian besar. Khusus bagi debitur korban erupsi Gunung Kelud, bank bisa mendata kredit apa saja dan siapa saja yang terkena dampak akibat bencana alam ini. Harus benar-benar dibedakan mana yang benar-benar terkena bencana dan mana yang usahanya memang sudah bermasalah sebelum bencana.

Pemerintah melalui BI telah mengeluarkan aturan-aturan dan kebijakan untuk mengatisipasi dan mengatasi dampak buruk bencana ini terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan memberi keringanan kredit perbankan bagi para korban bencana. Akan tetapi aturan tersebut tidak mencantumkan adanya penghapusan kredit atau pemutihan utang yang mana sangat diperlukan oleh korban bencana dengan kondisi tertentu. Sebenarnya aturan mengenai penghapusan utang tersebut ada dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor

64 Tahun 2010. Pihak perbankan terutama Bank BUMN sebaiknya juga memperhatikan peraturan ini dan mempertimbangkan opsi penghapusan utang demi membantu para korban bencana. Khusus untuk korban bencana Gunung kelud, belum terlihat adanya langkah nyata yang dilakukan pihak perbankan maupun pemerintah dalam penanganan kredit perbankannya. Pelaksanaan ini semua tentu saja membutuhkan perhatian dan pengawasan dari pemerintah dan DPR.

Rujukan“BI belum putuskan Keringanan Kred-1. it Untuk Korban Kelud”, http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-timur/14/02/24/n1hadh-bi-belum-putus-kan-keringanan-kredit-untuk-korban-ke-lud, diunduh 24 Februari 2014.“Perbankan Restrukturisasi Utang UMKM 2. Korban Banjir Manado”, http://www.antaranews.com/berita/415624/perbank-an-restrukturisasi-utang-umkm-korban-banjir-manado, diunduh tanggal 21 Febru-ari 2014.http://www.bi.go.id/id, diunduh tanggal 3. 18 Februari 2014.http://www.bnpb.go.id, diunduh tanggal, 4. 18 Februari 2014.http://www.ojk.go.id, diunduh tanggal 21 5. Februari 2014.“BI Belum Putuskan Keringanan Kredit 6. Korban Kelud”, http://www.antaranews.com/berita/420651/bi-belum-putuskan-keringanan-kredit-korban-kelud, diunduh 24 Februari 2014.“Bencana Alam dan Peran Bank”, 7. Kompas, 17 Februari 2014“Cicilan Utang Dijadwal Ulang”, 8. Kompas, 19 Februari 2014 “Debitur Akan Diberi Keringanan”, 9. Bisnis Indonesia, 15 Februari 2014“Debitur Korban Sinabung dapat Keringan-10. an Kredit”, Neraca, 11 Februari 2014

- 17 -

Vol. VI, No. 04/II/P3DI/Februari/2014PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

KEBIjAKAN ANGGARAN SAKSI PARTAI PoLITIK DALAM PEMILU 2014

Riris Katharina*)Abstrak

Anggaran yang diperuntukkan bagi saksi yang berasal dari partai politik dalam Pemilu 2014 mendapat pandangan pro dan kontra dari para stakeholder, yaitu partai politik itu sendiri dan publik. Bahkan lembaga pengelola, yaitu Bawaslu pada akhirnya menolak untuk mengelola, yang pada akhirnya menjadikan Kementerian Dalam Negeri menunda untuk merealisasikan kebijakan ini. Dari sisi kebijakan, kebijakan anggaran bagi saksi ini tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Dari sisi teori kebijakan publik, kebijakan mengalokasikan anggaran saksi ini mencerminkan kebijakan dengan pendekatan top-down. Pada saat ini, pendekatan tersebut sudah tidak relevan lagi dengan semangat demokrasi. Penulis merekomendasikan agar kebijakan disusun secara hybrid, yaitu dengan menggabungkan top-down dan bottom-up dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya (anggaran negara) dan mengidentifikasi struktur pelaksana (Bawaslu) dan kelompok sasaran (masyarakat atau kader partai politik).

PendahuluanDalam rangka melaksanakan Pasal

161 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakakan bahwa ”Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi partai politik peserta Pemilu”, Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri bersepakat untuk mengalokasikan anggaran sebesar Rp654.933.600.000 untuk membiayai saksi dari seluruh partai politik (12 parpol) di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS), yaitu sebanyak 545.778 TPS. Setiap saksi akan dibayar sebesar Rp100 ribu per orang. Anggaran tersebut dialokasikan ke dalam anggaran kerja Badan Pengawas Pemilu

(Bawaslu). Tugas saksi tersebut adalah mengawasi pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di TPS.

Sejak mencuatnya masalah ini ke publik melalui media massa, tidak ada kejelasan siapa sesunggunya pengusul kebijakan ini. Usulan alokasi anggaran bagi saksi dari parpol menurut Komisioner Bawaslu, Nelson Simanjuntak, berasal dari beberapa parpol kepada Presiden, lalu Presiden menyetujui dan diserahkan kepada Bawaslu. Menurut Ketua Komisi II DPR RI, Agun Gunandjar Sudarsa, usulan tersebut muncul karena ada keluhan dari parpol yang tidak mampu membayar saksi pemilu. Padahal, saksi sangat penting agar kecurangan yang dilakukan ’preman’ di TPS

*) Peneliti Madya Bidang Administrasi Negara pada Tim Politik Dalam Negeri, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: : [email protected]

- 18 -

tidak terjadi lagi. ’Preman’ tersebut biasanya mempengaruhi pemilih yang datang ke TPS, bahkan menggunakan seragam dengan warna-warna yang mengidentikkan partai. Sementara, Bawaslu dinilai belum mampu mengawasi hingga tingkat TPS desa. Selama ini, pengawas yang sudah ada (Mitra Pengawas Pemilu Lapangan dan Linmas) hanya dapat dihadirkan di tingkat desa sejumlah satu sampai lima orang. Padahal, jumlah TPS di satu desa bisa mencapai puluhan. Dengan berkurangnya kecurangan, diharapkan gugatan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi juga menurun.

Namun demikian, ternyata kebijakan tersebut telah menimbulkan pro dan kontra, baik di kalangan parpol sendiri maupun di kalangan institusi negara seperti DPR, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Bawaslu, maupun KPU. Beberapa parpol secara tegas menyatakan menolak anggaran tersebut, yaitu PDIP dan Partai Nasdem. Politisi PDIP, Arif Wibowo, mengatakan bahwa rencana pembiayaan saksi parpol dari anggaran negara dapat membentuk citra politik uang di kalangan masyarakat. Hal ini dikhawatirkan akan mendorong banyak orang mau menjadi saksi tetapi tidak dalam konteks menjalanan tugas dan fungsi pengawasan, tetapi hanya mencari bayaran. Menurutnya, saksi pemilu dari parpol tidak perlu mendapat honor karena keberadaannya memang diperlukan oleh parpol itu sendiri. Keberadaan saksi parpol didasarkan pada kesukarelaan. Jika ada tradisi menyediakan logistik untuk makan, minum, dan rokok, itu menjadi kewajiban parpol, bukan negara. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan bahwa dana saksi parpol sangat rawan diselewengkan karena di tahun politik, parpol cenderung bersikap koruptif.

Kementerian Dalam Negeri berpendapat bahwa usulan anggaran dana saksi parpol tidak dapat diteruskan ke Kementerian Keuangan untuk dicairkan melalui Peraturan Presiden jika tidak ada lembaga penyelenggara Pemilu yang bertanggung jawab dan harus ada jaminan bahwa semua parpol menyetujui adanya alokasi APBN untuk membayar honor saksi dari parpol. Wakil Ketua Komisi II, Hakam Naja, berpendapat bahwa masalah Peraturan Presiden mengenai dana saksi parpol merupakan urusan Pemerintah (Kementerian Dalam Negeri), tidak perlu menunggu kesiapan Bawaslu atau persetujuan parpol. Menurut Wakil Ketua Komisi II, pada pembahasan mengenai materi dana ini, DPR dan Pemerintah berpendapat Bawaslu yang tepat untuk mengelola dana ini, dan pada

waktu itu, Bawaslu sesungguhnya sudah menyatakan kesiapannya.

Dalam perkembangan terakhir (awal bulan Februari 2014), terhadap anggaran saksi dari parpol, Bawaslu meminta agar Bawaslu jangan dulu diberikan tanggung jawab untuk mengelola dana tersebut. Hal ini dikemukakan dengan alasan bahwa Bawaslu harus melakukan evaluasi terlebih dahulu kekuatan struktur di Bawaslu yang sangat kecil, tidak sebanding dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilai sudah terbiasa mengelola anggaran yang besar. Namun, KPU juga ternyata tidak bersedia mengelola anggaran tersebut. Ketua KPU, Husni Kamil Manik, beralasan bahwa anggaran honorarium saksi dari parpol tidak masuk dalam ranah penyelenggaraan pemilu, sehingga pihaknya tidak dapat menerima tawaran pendistribusian dana tersebut. Menurutnya, posisi saksi ada pada fungsi pengawasan, bukan penyelenggaraan. KPU berpendapat bahwa pengawasan pemilu pada hari pemungutan suara akan menjadi lebih baik jika jumlah personel saksi di TPS diperkuat.

Dari gambaran kondisi di atas, jelas terlihat bahwa implementasi kebijakan mengalokasikan anggaran bagi saksi dari parpol tidak dapat berjalan dengan baik. Kebijakan tersebut malah menimbulkan polemik di antara stakeholder.

Analisis Kebijakan Anggaran Saksi Parpol

Dalam teori kebijakan publik, penyusunan kebijakan sebagaimana dalam kasus ini sangat mencerminkan pendekatan top-down, sebab kebijakan disusun oleh para elite yang sedang memerintah (DPR dan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan Bawaslu).

Dalam sejarah teori kebijakan publik, pada awalnya penyusunan kebijakan publik menggunakan pendekatan top-down. Pendekatan top-down dimulai dengan asumsi bahwa implementasi kebijakan dimulai dengan keputusan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Para penganut top-down biasanya mengikuti sebuah pendekatan yang menginterpretasikan kebijakan sebagai input dan implementasi sebagai faktor output. DeLeon menjelaskan pendekatan top-down sebagai sebuah “fenomena elit yang memerintah” terkait dengan penekanan mereka pada keputusan pembuat kebijakan di Pusat.

Pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, pendekatan bottom-up muncul sebagai sebuah respon kritik atas pendekatan

- 19 -

top-down. Beberapa studi memperlihatkan bahwa keluaran politik tidak selalu membawa hubungan yang baik bagi tujuan kebijakan yang sesungguhnya dan mereka juga mengasumsikan adanya hubungan sebab akibat yang masih dipertanyakan. Para teoritik menyarankan untuk mempelajari apa yang secara nyata terjadi pada level penerima dan menganalisis penyebab nyata yang mempengaruhi tindakan pada kenyataannya. Studi yang dilakukan oleh para penganut aliran ini dimulai dari “bawah” dengan mengidentifikasi jaringan antar aktor yang terlibat dalam kebijakan yang nyata. Mereka menolak ide bahwa kebijakan didefinisikan pada tingkat Pusat dan oleh karenanya para implementor perlu untuk melekatkan tujuan serapi mungkin.

Sebagai reaksi atas perdebatan yang sengit antara para penganut top-down dan bottom-up, beberapa peneliti seperti Elmore (1985), Sabatier (1086a), dan Goggin et.al. (1990) mencoba menyarikan kedua pendekatan. Model baru yang dikemukakan oleh para pakar adalah menggabungkan elemen dari kedua sisi dalam rangka menghindari kelemahan konseptual dari pendekatan top-down dan bottom-up. Kontribusi lainnya dibuat oleh pakar seperti Scharpf (1978), Windhoff-Héritier (1980), Ripley dan Franklin (1982), dan Winter (1990). Dengan mengambil perhatian para top-down dan eksekusi kebijakan yang efektif sebagai titik awal, mereka menggabungkannya dengan beberapa elemen dari perspektif bottom-up dan teori lainnya ke dalam model mereka. Itu sebabnya kelompok pakar ini disebut kaum hybrid.

Elmore, sebelumnya merupakan anggota dari kelompok bottom-up, mengombinasikan karyanya yang belakangan (1985) yaitu konsep “backward mapping” dengan ide “forward mapping”. Dia berpendapat bahwa suksesnya program bergantung pada kedua elemen, yang saling terjalin (Sabatier, 1986a). Pembuat kebijakan harus memulai dengan pertimbangan akan instrumen kebijakan dan ketersediaan sumber-sumber daya bagi perubahan kebijakan (forward mapping). Sebagai tambahan, mereka juga harus mengidentifikasi struktur implementor yang menguntungkan dan kelompok sasaran (backward mapping).

Penyusunan Kebijakan ke Depan: Pendekatan Hybrid

Kebijakan memberikan anggaran negara bagi pengadaan saksi parpol dalam pemilu terbukti telah menimbulkan polemik dan kemungkinan besar mengalami kegagalan

dalam pelaksanaannya. Padahal, maksud dari kebijakan ini sangat mulia. Belajar dari kasus ini, DPR dan Pemerintah perlu melakukan pendekatan yang berbeda dalam memformulasikan sebuah kebijakan.

Saat ini, pembuat kebijakan (DPR dan Pemerintah) harus memulai dengan pertimbangan akan instrumen kebijakan dan ketersediaan sumber-sumber daya bagi kebijakan. Dalam hal ini, DPR dan Pemerintah harus sudah mempertimbangkan pengaturan kebijakan ini dalam level yang lebih tinggi dari sekedar Peraturan Presiden, misalnya undang-undang. Dalam UU No. 8 Tahun 2012 dapat dinyatakan secara tegas bahwa seluruh saksi yang ditugaskan dalam pemilu harus dianggarkan oleh anggaran negara. Untuk ini, perhitungan mengenai ketersediaan anggaran negara juga harus dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Selain memperhitungkan ketersediaan anggaran, manfaat penggunaan anggaran dan aspek keadilan juga harus dikaji, sehingga masyarakat dapat mendukung kebijakan tersebut. Misalnya, bagaimana dampak demokrasi yang akan dihasilkan dengan saksi yang tersedia. Juga mengapa pemungutan suara terhadap pemilu dalam rangka pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak dianggarkan saksi untuk itu? Sehingga muncul pertanyaan apakah hal ini adil bagi DPD? Hal-hal semacam ini tentu harus dapat dijawab oleh para penyusun kebijakan.

Setelah itu, para penyusun kebijakan juga harus mengidentifikasi struktur implementor dan kelompok sasaran. Dalam kasus ini, implementor yang dianggap tepat untuk mengelola anggaran adalah Bawaslu. Namun, dalam perkembangannya Bawaslu menyatakan bahwa struktur organisasinya tidak memungkinkan Bawaslu mengelola dana tambahan yang dinilai sangat besar ini. Padahal, dalam pembahasan anggaran, Bawaslu menyatakan kesiapannya untuk mengelola anggaran tersebut. Ini mencerminkan tidak dilakukan identifikasi struktur implementor yang tepat pada saat merumuskan kebijakan. Demikian pula bagaimana menentukan saksi dari masing-masing parpol (apakah kader parpol atau siapapun masyarakat yang bersedia menjadi saksi parpol tertentu), mekanisme penetapan saksi, dan lain-lain tentu harus sudah dipikirkan pada saat kebijakan dibahas.

Apabila dilakukan forwad mapping dan backward mapping sebagaimana di atas, berdasarkan pendekatan hybrid, akan sangat besar kemungkinan implementasi kebijakan berhasil. Dengan demikian, polemik dapat

- 20 -

dihindari dan tujuan kebijakan dapat tercapai.

PenutupPolemik anggaran saksi parpol

dalam Pemilu 2014 telah menggugah penulis untuk mempertanyakan bagaimana proses penyusunan kebijakan dibuat. Proses penyusunan kebijakan tersebut memperlihatkan bahwa pendekatan para pembuat kebijakan masih berorientasi pada pendekatan top-down. Akibatnya, polemik muncul dan implementasi bisa gagal.

Tulisan ini merekomendasikan agar ke depan, para penyusun kebijakan mulai mengadopsi pendekatan hybrid dalam menyusun kebijakan. Pendekatan hybrid dilakukan dengan menggabungkan metode top-down dan bottom-up dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya (anggaran negara) dan mengidentifikasi struktur pelaksana (dalam kasus ini Bawalu) dan kelompok sasaran (dalam kasus ini masyarakat atau kader partai politik). Dengan penyusunan kebijakan melalui pendekatan ini, diharapkan kebijakan akan didukung oleh masyarakat (karena masyarakat tahu manfaat bagi kualitas demokrasi), Bawaslu menegaskan kesiapannya (karena analisis terhadap struktur organisasi untuk mengelola anggarannya sudah menyatakan kesiapan struktur), dan anggaran negara tersedia.

Rujukan“Dana Saksi Parpol Dicoret dari Perpres. 1. Kemenkeu Fokus Dana PPL”, http://www.merdeka.com/politik/dana-saksi-parpol-dicoret-dari-perpres-kemenkeu-fokus-dana-ppl.htmll, diakses tanggal 18 Februari 2014.Helga Púlzl and Oliver Treib, “Implement-2. ing Public Policy”, dalam Frank Fisher, et.al., Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics, and Methods, CRC Press, FL, 2007.“Husni: Honor Saksi Parpol Bukan Ranah 3. KPU”, http:/ /www. republika. co.id/berita/nasional/umum/14/02/12/n0ui48-husni-honor-saksi-parpol-bukan-ranah-kpu, di-akses tanggal 18 Februari 2014.“Ketua Bawaslu: Jangan Dulu Kami Kelola 4. Anggaran Dana Saksi Parpol”, http://nasion-al.kompas.com/read/2014/02/07/2322456/Ketua.Bawaslu.Jangan.Dulu.Kami.Kelola.Anggaran.Dana.Saksi.Parpol, diakses tanggal 18 Februari 2014.“Komisi II DPR Dukung Saksi Parpol Dibayar 5. Negara”, http://www. merdeka.com/politik/komisi-ii-dpr-dukung-saksi-parpol-dibayar-negara.html, diakses tanggal 18 Februari 2014.“PDIP Nilai Anggaran Saksi Parpol Bentuk 6. Politik Uang”, http: //www. antaranews.com/berita/416695/pdip-nilai-anggaran-saksi-parpol-bentuk-politik-uang?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter, diakses tanggal 18 Februari 2014.