20
H U K U M - 1 - Vol.V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013 Info Singkat © 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI www.dpr.go.id ISSN 2088-2351 PENETAPAN PERPPU TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI Novianto M. Hantoro *) Abstrak Presiden telah menetapkan Perppu tentang Perubahan Kedua terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dengan pertimbangan untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK akibat adanya kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi. Substansi Perppu setidaknya memuat penambahan persyaratan hakim konstitusi, proses pengisian jabatan hakim konstitusi, dan pembentukan Majelis Kehormatan yang bersifat tetap. Pro kontra terhadap Perppu terkait dengan dua hal, yaitu sifat kegentingan yang memaksa dan konstitusionalitas substansi Perppu. Dilihat dari substansinya, Perppu ini sebenarnya tidak mendesak, namun kewenangan saat ini berada di tangan DPR untuk menyetujui atau menolak Perppu tersebut, meskipun dimungkinkan pula adanya judicial review sebelum ada keputusan DPR. A. Pendahuluan Presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Mahkamah Konstitusi (MK). Presiden berpandangan cukup alasan konstitusional untuk menetapkan Perppu tersebut demi mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MK pascapenangkapan Ketua MK oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagaimana diketahui, KPK telah menangkap Ketua MK bersama beberapa orang lain di kediamannya di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan ketika sedang melakukan transaksi. Di tempat kejadian perkara (TKP), penyidik KPK menemukan uang senilai sekitar Rp2–3 miliar dalam bentuk dolar Singapura. Transaksi tersebut diduga berkaitan dengan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Penangkapan Ketua MK oleh KPK memunculkan banyak reaksi dari berbagai kalangan dan menjadikan kredibilitas MK sebagai lembaga negara menjadi menurun. MK telah membentuk Majelis Kehormatan dan menonaktifkan AM. Menkopolhukam menyatakan bahwa Perppu ini merupakan upaya Presiden untuk menyelamatkan dan memperkuat MK yang mempunyai kewenangan strategis *) Peneliti Madya bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penetapan Perppu tentang Perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (Novianto M. Hantoro)Implikasi Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang terhadap Kawasan (Rizki Roza)Meningkatkan Kualitas Perguruan Tinggi Lokal melalui Internasionalisasi Pendidikan Tinggi (Lukman Nul Hakim)Asuransi Mikro bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (Edmira Rivani)Menyoal Kebijakan Digitalisasi Penyiaran (Ahmad Budiman)

Citation preview

Page 1: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

H U K U M

- 1 -

Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

PENETAPAN PERPPU TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG

MAHKAMAH KONSTITUSINovianto M. Hantoro*)

Abstrak

Presiden telah menetapkan Perppu tentang Perubahan Kedua terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dengan pertimbangan untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK akibat adanya kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi. Substansi Perppu setidaknya memuat penambahan persyaratan hakim konstitusi, proses pengisian jabatan hakim konstitusi, dan pembentukan Majelis Kehormatan yang bersifat tetap. Pro kontra terhadap Perppu terkait dengan dua hal, yaitu sifat kegentingan yang memaksa dan konstitusionalitas substansi Perppu. Dilihat dari substansinya, Perppu ini sebenarnya tidak mendesak, namun kewenangan saat ini berada di tangan DPR untuk menyetujui atau menolak Perppu tersebut, meskipun dimungkinkan pula adanya judicial review sebelum ada keputusan DPR.

A. Pendahuluan

Presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Mahkamah Konstitusi (MK). Presiden berpandangan cukup alasan konstitusional untuk menetapkan Perppu tersebut demi mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MK pascapenangkapan Ketua MK oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagaimana diketahui, KPK telah menangkap Ketua MK bersama beberapa orang lain di kediamannya di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan ketika sedang melakukan

transaksi. Di tempat kejadian perkara (TKP), penyidik KPK menemukan uang senilai sekitar Rp2–3 miliar dalam bentuk dolar Singapura. Transaksi tersebut diduga berkaitan dengan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Penangkapan Ketua MK oleh KPK memunculkan banyak reaksi dari berbagai kalangan dan menjadikan kredibilitas MK sebagai lembaga negara menjadi menurun. MK telah membentuk Majelis Kehormatan dan menonaktifkan AM. Menkopolhukam menyatakan bahwa Perppu ini merupakan upaya Presiden untuk menyelamatkan dan memperkuat MK yang mempunyai kewenangan strategis

*) Peneliti Madya bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 2: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 2 -

menjaga konstitusi, mengawal demokrasi, dan menegakkan pilar negara hukum.

Secara garis besar, Perppu itu berisi tiga hal utama, yaitu:a. Perubahan dan penambahan persyaratan

calon hakim konstitusi, antara lain tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun.

b. Mekanisme pengajuan hakim konstitusi, menambahkan pembentukan Panel Ahli untuk menguji calon hakim konstitusi ke depannya.

c. Perbaikan pengawasan MK dengan mengatur Majelis Kehormatan MK yang semula bersifat ad hoc menjadi permanen.

Pro dan kontra mengenai Perppu tersebut, setidaknya terhadap dua hal, pertama, “sifat kegentingan yang memaksa” penetapan Perppu dan, kedua, substansi Perppu.

B. Sifat Kegentingan yang Memaksa

Dasar pertimbangan Presiden menetapkan Perppu tentang perubahan UU MK, secara yuridis dapat dilihat dari konsideran menimbang yang menyebutkan:a. bahwa berdasarkan konstitusi, hakim

konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara;

b. bahwa untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan UUD, akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi, perlu dilakukan perubahan kedua atas UU MK;

c. bahwa untuk mengatasi keadaan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai syarat dan pengajuan hakim konstitusi serta pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi;

Berdasarkan konsideran, fokus utama untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK dilakukan melalui perubahan syarat dan mekanisme pengajuan hakim

konstitusi, serta pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.

Sifat kegentingan yang memaksa yang disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berbeda dengan keadaan bahaya yang disebutkan dalam Pasal 12 UUD 1945. Hal tersebut mengingat adanya kondisi objektif mengenai syarat dan akibat keadaan bahaya yang ditetapkan dengan undang-undang. Undang-undang yang berlaku pada saat ini adalah produk Orde Lama, yaitu Perppu No. 23 Tahun 1959 yang mencabut UU No. 74 Tahun 1957 tentang Penetapan Keadaan Bahaya. Sementara sifat kegentingan yang memaksa lebih merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden.

Menurut Saldi Isra berdasarkan pendapat AALF van Dullemen dalam bukunya Staatsnoodrecht en Democratie (1947) yang dikutip oleh Moh. Mahfud MD (2010: 108) ada empat syarat hukum tata negara darurat, yaitu: Pertama, eksistensi negara tergantung tindakan darurat yang dilakukan; Kedua, tindakan itu diperlukan karena tidak bisa digantikan dengan tindakan lain; Ketiga, tindakan tersebut bersifat sementara; dan Keempat, ketika tindakan diambil, parlemen tidak bisa secara nyata dan sungguh-sungguh. Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif.

Sifat kegentingan yang memaksa ini perlu mendapat perhatian pada saat pembahasan, mengingat pada saat Perppu ditetapkan, DPR tidak sedang dalam masa reses dan memungkinkan untuk membahas perubahan UU MK, meskipun dari segi waktu memang tidak akan secepat Presiden menetapkan Perppu. Selanjutnya, apakah substansi Perppu mempunyai implikasi langsung atau perlu diberlakukan segera.

C. Substansi Perppu

1. Persyaratan Hakim KonstitusiPerppu mengubah ketentuan mengenai

persyaratan calon hakim konstitusi pada Pasal 15 ayat (2), yaitu yang semula “berijazah doktor dan magister” menjadi hanya “berijazah doktor”. Persyaratan yang semula “mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara” dihapus frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara”. Sementara penambahannya adalah “tidak menjadi anggota

Page 3: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 3 -

partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi” ditambahkan ketentuan mengenai kelengkapan administratif, yaitu surat pernyataan tidak menjadi anggota partai politik.

Ketentuan persyaratan calon hakim konstitusi di dalam Perppu ini secara yuridis tidak berlaku surut. Ketentuan ini hanya akan berlaku pada pencalonan hakim konstitusi berikutnya. Dengan demikian, tidak ada kaitan antara Perppu ini untuk mengganti semua hakim konstitusi yang sedang menjabat sebagaimana sempat dikemukakan oleh beberapa kalangan. Demikian pula terkait dengan Ketua MK nonaktif. Selama belum ada pemberhentian secara tetap, maka kedudukannya sebagai hakim konstitusi belum dapat diisi oleh pejabat lain, kecuali apabila Perppu mengubah persyaratan huruf f, “tidak sedang dijatuhi pidana” dengan “menjadi tersangka” atau Majelis Kehormatan MK memberikan sanksi berupa pemberhentian. Hal yang akan menjadi “perdebatan politik” adalah peryaratan “tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 tahun” dihadapkan dengan persyaratan yang terdapat dalam UUD 1945 yang tidak secara eksplisit mengatur hal tersebut.

2. Prosedur Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi

Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa MK memiliki sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR-RI, dan tiga orang dari Presiden. UU MK menjabarkan bahwa berdasar ketentuan tersebut, Presiden hanya berwenang menetapkan secara administratif dengan menerbitkan Keputusan Presiden terhadap calon yang diajukan. Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim diserahkan untuk diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang. UU MK memberi guideline pencalonan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, sementara pemilihan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.

Berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2013, mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi ditambahkan satu tahapan atau satu “saringan” lagi, yaitu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli. Mahkamah Agung, DPR-RI, dan/atau Presiden mengajukan calon hakim konstitusi kepada

!

"#$%&%'!()*!$#*+),-.)*!').%$!./*01%1-0%!!

"#*#1)2.)*!(#*+)*!3#224#0!

MA, DPR, PRESIDEN

!PRESIDEN

Bagan 1.Prosedur Penetapan Hakim Konstitusi Berdasarkan UU

Bagan 2.Prosedur Penetapan Hakim Konstitusi Berdasarkan Perppu

!

"#$%&'()&$!*&+,$!-#.&$/&)!0!)&+1!'2+!/%!31.(4(5)&$!

• !"#$%&%$'(&)*(%"+$,&,$'(-$'(%"#$.$%$'(-$'(/"0'.$/+$*%$'(1$2*#'.$((34(

• !"#$%&'()*)(+$,(+$%&-(./(%(+$0(-1+$)(23(4(+$5('(3#-($%*6(+78$

• !"/*#*1(1$%*/(%5'2,*,&2*6(

• 9&+7("*%(+$%&23(-#$%&$:(+&-$;4-#$('(3#-($%*6(+7$

"#$#4&6)&$!3#$%&$!7#668#-!

MA, DPR, PRESIDEN

PANEL AHLI

MA, DPR, PRESIDEN

!9:;<=>;?!

Page 4: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 4 -

Panel Ahli masing-masing paling banyak tiga kali dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan.

Penambahan tahapan melalui Panel Ahli pada dasarnya merupakan penafsiran dari bunyi ketentuan di dalam UUD 1945. Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 tidak mengamanatkan adanya lembaga atau institusi lain dalam proses pengajuan calon hakim konstitusi. Dari satu sisi, proses ini akan membuat pemilihan hakim konstitusi menjadi lebih ketat, namun di sisi lain, proses dan Panel Ahli ini dapat dianggap mengintervensi ketiga lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi; menunjukkan ketidakpercayaan terhadap ketiga institusi dalam menyeleksi hakim konstitusi dan juga akan memperlama waktu seleksi.

Panel Ahli dibentuk oleh Komisi Yudisial (KY). Dengan demikian ada penambahan kewenangan baru dari KY yang tidak tercantum di dalam UUD 1945. Berbeda dengan kewenangan KY untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung yang secara tegas disebutkan dalam UUD 1945, kewenangan KY untuk terlibat dalam pengangkatan hakim konstitusi tidak disebutkan di dalam UUD 1945.

3. Pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi

Perubahan berikutnya terkait dengan pembentukan Majelis Kehormatan MK. Terdapat beberapa perubahan yang dilakukan oleh Perppu, yaitu pembentukan Majelis Kehormatan yang melibatkan KY; sifat Majelis Kehormatan yang semula ad hoc menjadi tetap; dan komposisi keanggotaan Majelis Kehormatan MK. Perdebatan argumentasi akan kembali muncul seputar kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. Sebagaimana diketahui, MK telah membatalkan beberapa ketentuan dalam UU KY yang terkait dengan kewenangan KY mengawasi hakim konstitusi. Meskipun pengaturan di dalam Perppu ini tidak menyebutkan bahwa KY mengawasi hakim konstitusi secara langsung, namun pembentukannya yang melibatkan KY, bahkan kesekretariatannya berkedudukan di KY dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal KY, sedikit banyak akan berpengaruh.

D. Penutup

Ketentuan UUD yang menyebutkan Perppu itu harus mendapat persetujuan DPR-RI dalam persidangan yang berikut, seharusnya ditafsirkan bahwa Perppu ditetapkan pada saat DPR-RI tidak pada masa sidang dan akan dibahas oleh DPR-RI pada kesempatan pertama ketika DPR-RI kembali bersidang. Dengan demikian Perppu ini seharusnya dibahas pada Masa Sidang II pada bulan November 2013 nanti. DPR-RI hanya mempunyai dua pilihan, yaitu menyetujui atau menolak Perppu tersebut, tanpa harus melakukan perubahan. Penulis berpendapat, tidak ada urgensi kegentingan yang memaksa dalam penetapan Perppu dilihat dari substansinya yang tidak segera dapat diberlakukan. karena persyaratan dan seleksi hanya akan berlaku pada saat ada kekosongan jabatan hakim konstitusi. Majelis Kehormatan MK yang permanen juga tidak memberhentikan tugas dan Kewenangan Majelis Kehormatan MK yang saat ini telah dibentuk. Namun, semangat untuk mengembalikan kepercayaan publik dan membenahi MK perlu tetap dikedepankan melalui pengajuan Perubahan UU MK. Kemungkinan lain, dapat pula Perppu tersebut diuji di MK sebelum dibahas di DPR-RI. Hal ini pernah terjadi ketika dilakukan uji materi terhadap Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan UU KPK.

Rujukan:1. “Perppu MK Diterbitkan,” Kompas, 18

Oktober 2013.2. “Perppu MK Dinilai Terlalu Luas,” Media

Indonesia, 18 Oktober 2013.3. “Ini Isi Perppu tentang Mahkamah

Konstitusi,” http://nasional.kompas.com/read/2013/10/17/2059386/, diakses 18 Oktober 2013.

4. “MK: Tidak Ada yang Mendesak Soal Perppu MK,” http://nasional.kompas.com/read/2013/10/18/1719209/, diakses 18 Oktober 2013.

5. ”Eksistensi Perppu,” http://ditjenpp.kemenkumham.go. id/ f i l e s /doc/1273_Eksistensi_Perppu.pdf, diakses 18 Oktober 2013.

6. ”Perppu Tak Akan Beri Pengaruh Apapun untuk MK,” http://nasional.kompas.com/read/2013/10/18/1400231/, diakses 18 Oktober 2013.

Page 5: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

H U B U N G A N I N T E R N A S I O N A L

- 5 -

Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

IMPLIKASI AMANDEMEN PASAL 9 KONSTITUSI JEPANG

TERHADAP KAWASANRizki Roza*)

Abstrak

Pemerintahan Shinzo Abe kembali mengusulkan amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang untuk memperluas peran militer Jepang, dan juga mengajukan kenaikan anggaran militer untuk memperkuat militer. Sebagian negara di kawasan mengkhawatirkan langkah Abe, sementara beberapa negara lainnya menyambut baik. Jika langkah Abe tersebut berhasil, maka akan terjadi perubahan signifikan atas perimbangan kekuatan di kawasan.

A. PendahuluanIsu amandemen Pasal 9 Konstitusi

Jepang kembali mengemuka ketika pada pembukaan sesi sidang Parlemen Jepang pertengahan Oktober lalu, Perdana Menteri Shinzo Abe menyampaikan pidato yang mengindikasikan bahwa ia tetap meneruskan rencana mengamandemen Konstitusi Pasifis Jepang. Langkah Abe tersebut menimbulkan perdebatan dan penolakan di dalam negeri, dan mengundang perhatian negara-negara tetangganya di kawasan. Ada kekhawatiran bahwa amandemen tersebut akan mengembalikan kekuatan Jepang yang agresif. Apa sesungguhnya perubahan yang diinginkan Pemerintahan Abe? Apa latar belakangnya? Lalu bagaimana implikasi yang mungkin ditimbulkan jika upaya Abe tersebut berhasil? Akankah kebijakan tersebut memicu instabilitas di kawasan?

B. Revisi Pasal 9Pasal 9 lahir sebagai konsekuensi

kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Otorita pendudukan Amerika menyusun konstitusi negara itu untuk menggantikan konstitusi kekaisaran Jepang dari abad 19. Pasal 9 Konstitusi tersebut berbunyi:

“Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes. To accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized.”

Berdasarkan Pasal tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa Jepang tidak akan membangun kekuatan militer. Namun, para penguasa Jepang tidak pernah

*) Peneliti bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 6: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 6 -

menginterpretasikan larangan itu secara ketat, sehingga kemudian Jepang dimungkinkan untuk memiliki kekuatan militer terbatas untuk memenuhi kebutuhan pertahanan yang mereka sebut Self-Defense Force/SDF (pasukan bela diri). Meskipun hingga saat ini Jepang tidak memiliki kekuatan militer dalam pengertian konvensional, pada kenyataannya Jepang memiliki kekuatan militer yang didukung teknologi mutakhir. Anggaran pertahanan Jepang merupakan yang kelima terbesar di dunia.

Perubahan lingkungan strategis telah mendorong perubahan cara pandang dan doktrin militer Jepang agar dapat lebih menyesuaikan dengan tantangan-tantangan keamanan di kawasan. Kemajuan pesat kekuatan dan teknologi militer China, serta program rudal dan nuklir Korea Utara memberikan tekanan terhadap Jepang. Para pembuat kebijakan AS pun menuntut peran yang lebih besar dari Jepang dalam kerangka perjanjian pertahanan kedua negara. Faktor-faktor tersebut yang kemudian memicu berkembangnya pemikiran untuk mengamandemen Pasal 9 yang membatasi peran militer Jepang. Isu untuk mengamandemen Pasal 9 menguat sejak Perang Irak 2003–2004 dan memperoleh dukungan AS.

Shinzo Abe merupakan salah satu tokoh yang secara konsisten mengupayakan amandemen Pasal 9. Abe sudah menyerukan revisi konstitusi sejak ia menjabat perdana menteri di tahun 2006–2007. Dalam satu pernyataan memperingati 60 tahun konstitusi, Abe menyampaikan perlunya suatu era baru agar Jepang dapat berperan lebih besar dalam keamanan global. Untuk itu Abe menetapkan perombakan konstitusi sebagai salah satu prioritas utamanya. Abe sangat serius dalam upayanya memperluas peran militer Jepang. Hal itu misalnya ditunjukkan ketika ia mengupayakan persetujuan parlemen untuk memperpanjang misi militer Jepang di Afghanistan. Pada saat itu Abe mengatakan bahwa dia akan mengundurkan diri jika gagal mendapat persetujuan parlemen. Selanjutnya dalam masa kampanye tahun lalu, Abe kembali menyampaikan keinginan untuk merevisi Pasal

9, dan segera setelah terpilih menjadi perdana menteri pada Desember 2012 Pemerintahan Abe memulai upaya-upaya tersebut.

Perubahan terhadap Pasal 9 akan memberikan dampak besar bagi kebijakan keamanan nasional Jepang. Selama ini pemerintah Jepang memahami bahwa merupakan sebuah pelanggaran terhadap konstitusi jika Jepang menggunakan kekuatan pertahanannya untuk mempertahankan negara lain sementara Jepang sendiri tidak berada dalam serangan langsung. Interpretasi tersebutlah yang hendak diubah oleh Pemerintahan Abe, sehingga memungkinkan Jepang menggunakan SDF untuk menghadapi serangan terhadap sekutu-sekutu Jepang, termasuk AS. Argumen bahwa Jepang tidak akan mampu menjalankan kewajiban-kewajiban internasionalnya, misalnya di bawah PBB, tanpa didukung kekuatan militer yang normal juga melandasi upaya Abe.

Pada kenyataannya dalam tahun-tahun belakangan ini Jepang telah mengambil langkah menuju peran kemiliteran yang normal. SDF telah beberapa kali berpartisipasi dalam pasukan militer multinasional yang dipimpin oleh AS, misalnya keterlibatan dalam perang di Afghanistan. SDF juga bergabung dalam Operasi Penjaga Perdamaian PBB. Di Afghanistan kapal-kapal laut Jepang beroperasi di Samudera Hindia untuk memberi bahan bakar dan bantuan logistik lainnya bagi pesawat-pesawat AS. Di bawah PM Junichiro Koizumi, pasukan Jepang juga bergabung dalam misi penjaga perdamaian di Irak. Penempatan pasukan di Irak merupakan keikutsertaan pertama ke dalam zona perang sejak PD II. Misi-misi semacam itu selalu memicu perdebatan publik mengenai apakah tindakan semacam itu bertentangan atau tidak dengan Konstitusi Jepang. Karena itu pula Abe menginginkan Pasal 9 diubah agar lebih sesuai dengan realita SDF saat ini.

Untuk melancarkan upayanya mengamandemen Pasal 9, Pemerintahan Abe terlebih dahulu berupaya mengubah Pasal 96 yang mengatur proses perubahan konstitusi. Dengan mengubah Pasal 96, Abe bermaksud untuk mempermudah proses perubahan konstitusional lainnya, termasuk

Page 7: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 7 -

mengamandemen Pasal 9. Sekalipun partai Abe, Partai Demokrat Liberal Jepang (LDP) mendominasi di majelis rendah dan majelis tinggi, langkah Pemerintahan Abe tidak akan berjalan mudah karena menurut hasil jajak pendapat 59 persen responden menyatakan menolak perubahan atas Pasal 9.

Keberadaan Pasal 9 sendiri telah memberikan kebanggaan kepada sebagian warga Jepang sebagai satu-satunya negara yang dengan tegas menolak perang dalam konstitusinya. Bagi mereka, Pasal 9 bukan hanya sebuah kalimat konstitusi melainkan sudah menjadi nilai dan budaya yang melekat sejak berakhirnya PD II. Jelas perubahan pada Pasal 9 akan memengaruhi konstruksi identitas nasional Jepang. Bagi para penentang rencana perubahan itu, konstitusi anti perang telah menghindarkan perang sejak tahun tahun 1940-an, sehingga negara itu dapat memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, publik Jepang juga menyadari perlunya peningkatan kekuatan militer akibat adanya ketakutan terhadap kemajuan militer China di tengah pemotongan anggaran pertahanan AS.

C. Kenaikan Anggaran Pertahanan

Sementara mengupayakan revisi konstitusi, Pemerintahan Abe juga mengusulkan kenaikan anggaran pertahanan untuk tahun 2014 dengan argumen bahwa diperlukan penguatan pertahanan untuk merespons pertumbuhan pesat militer China dan ancaman nuklir Korea Utara, Pemerintahan Abe mengajukan kenaikan anggaran pertahanan tertinggi sejak 22 tahun terakhir. Pada bulan Agustus lalu, Jepang mengumumkan anggaran pertahanan tahun 2014 akan mencapai 49 miliar dolar AS yang akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan pengawasan pulau-pulau, termasuk pulau yang diklaim oleh China.

Kenaikan anggaran pertahanan sebesar tiga persen tersebut merupakan yang terbesar sejak tahun 1992, dan merupakan titik balik karena sejak tahun 2002 sampai 2012 anggaran pertahanan Jepang selalu mengalami penurunan. Jika dibandingkan dengan China, anggaran pertahanan Jepang jauh tertinggal.

Belanja pertahanan China pada tahun 2012 mencapai 166 miliar dolar AS, atau tiga kali lebih besar dari anggaran Jepang. Antara tahun 2003 sampai 2012, anggaran pertahanan China telah mengalami kenaikan sebesar 175 persen, sementara Jepang mengalami penurunan. Ketimpangan belanja pertahanan tersebut tampaknya telah menghasilkan sikap asertif China. Kapal-kapal patroli China sering kali bertindak keras di wilayah Kepulauan Senkaku yang dipersengketakan kedua negara.

Upaya-upaya untuk meningkatkan kekuatan militer Jepang akan memiliki arti yang berbeda jika diikuti dengan revisi Pasal 9. Tanpa perubahan Pasal 9, senjata-senjata mutakhir Jepang tetap hanya dapat digunakan jika Jepang yang mengalami serangan secara langsung, yang artinya tidak terjadi pergeseran sifat dasar militer Jepang sebagai kekuatan pertahanan diri. Dengan merevisi Pasal 9, setiap peningkatan kekuatan militer Jepang akan secara signifikan memengaruhi perimbangan kekuatan di kawasan.

D. Respons KawasanUpaya Pemerintahan Abe meningkatkan

peran dan memperkuat militer Jepang memancing beragam respons di kawasan. Faktor sejarah masih membayangi China dan Korea Selatan, sehingga masyarakat di kedua negara selalu memandang peningkatan kekuatan militer Jepang akan mengembalikan karakter agresif Jepang di masa lalu. Begitu pula dengan Korea Utara, bagi mereka Jepang pasca-PD II tidak berbeda dengan Kekaisaran Jepang di abad ke-20. Tindakan-tindakan brutal tentara Jepang di Semenanjung Korea sepanjang paruh pertama abad ke-20 masih melekat di ingatan masyarakat Korea Selatan, dan diperburuk lagi oleh pernyataan-pernyataan menyakitkan yang sering kali dilontarkan tokoh-tokoh Jepang mengenai masa itu.

Selain faktor sejarah, kenyataan bahwa masih terdapat sengketa wilayah dengan Jepang tentunya memengaruhi mereka dalam menyikapi upaya peningkatan kekuatan militer Jepang. Sengketa bilateral antara Jepang dan Korea Selatan atas Kepulauan Dokdo/Takishima merupakan faktor lainnya yang menyebabkan Korea Selatan khawatir melihat upaya peningkatan kekuatan militer Jepang.

Page 8: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 8 -

Sikap Jepang yang semakin tegas dalam persoalan sengketa Kepulauan Diaoyu/Senkaku dengan China, merupakan faktor lainnya yang menyebabkan China sangat mengkhawatirkan perkembangan militer Jepang.

Di sisi lain, beberapa negara lainnya di kawasan yang sebelumnya juga memiliki kekhawatiran yang sama mengenai kembalinya militerisme Jepang kini tampak menyambut baik perubahan yang sedang terjadi. Filipina, Australia, dan Singapura yang pada dekade lalu selalu mendorong AS untuk melakukan pengawasan yang ketat atas setiap perkembangan militer Jepang, akhir-akhir ini menunjukkan sikap yang mendukung penguatan militer Jepang. Bagi sejumlah negara di kawasan, kekuatan militer Jepang memiliki arti strategis untuk mengimbangi kebangkitan China. Bagi AS, Jepang memiliki peran sentral dalam langkah Pacific Pivot AS. Perluasan peran dan peningkatan kekuatan militer Jepang secara langsung akan mengurangi beban AS dalam menjaga stabilitas kawasan di tengah tekanan keterbatasan anggarannya.

E. PenutupSetiap negara berhak untuk membangun

kekuatan militer dalam rangka melindungi negaranya dari ancaman negara lain. Pasal 51 Piagam PBB juga mengizinkan setiap negara untuk mempertahankan diri baik secara individu maupun kolektif jika mereka diserang. Sebagaimana yang diusulkan Pemerintahan Abe, tentunya militer Jepang berhak untuk terlibat dalam pertahanan kolektif, namun hal itu menjadi bertentangan dengan batasan-batasan penggunaan kekuatan militer yang diatur dalam Konstitusi Jepang. Diloloskan atau tidaknya usulan Abe tersebut sepenuhnya tergantung pada bangsa Jepang sendiri. Di satu sisi, jika amandemen tersebut diloloskan, dan disertai dengan peningkatan anggaran pertahanan untuk memperkuat militer Jepang, kebijakan Abe dapat menghasilkan keseimbangan kekuatan baru di kawasan. Peningkatan kekuatan militer Jepang dapat saja meredam sikap asertif yang sering ditunjukkan China dalam mengelola isu sengketa wilayah. Dengan kata lain, akan tercipta kawasan yang lebih stabil dan terhindar dari perang. Namun di sisi lain, peningkatan kekuatan militer

Jepang juga dapat memicu perlombaan senjata di kawasan jika Jepang tidak terbuka dan tidak mampu meyakinkan negara-negara di kawasan mengenai intensinya mengembangkan kekuatan militer.

Melihat pada kemungkinan-kemungkinan tersebut, maka penting bagi Indonesia untuk turut mengamati perkembangan yang terjadi di Jepang. Jika diperlukan, Pemerintah maupun DPR-RI harus bisa menggunakan kekuatan diplomatiknya untuk memengaruhi Jepang agar tidak mengambil kebijakan yang dapat mengganggu stabilitas kawasan. Menjadi kepentingan Indonesia untuk memastikan bahwa Jepang tidak sedang mengembangkan kemampuan ofensif. Pemerintah Indonesia harus mendorong keterbukaan pemerintah Jepang atas setiap upaya-upayanya memperkuat militer agar tidak menimbulkan kecurigaan dan tidak merusak upaya-upaya membangun sikap saling percaya antara negara-negara di kawasan.

Rujukan:1. “Abe Playing with Fire by Reinterpreting

Pacifist Article 9,” http://ajw.asahi.com/article/views/editorial/AJ201309170035, diakses 18 Oktober 2013.

2. “Abe Serukan Tinjau Pertahanan,” http://w w w. b b c . c o . u k / i n d o n e s i a n / n e w s /story/2007/05/070503_japandefence.shtml, diakses 18 Oktober 2013.

3. “East Asia Reacts to a Bolder Japan,” https://www.aspeninstitute.it/aspenia-online/article/east-asia-reacts-bolder-japan, diakses 18 Oktober 2013.

4. “Japan and United States Reaffirm Their Close Ties,” http://www.nytimes.com/2013/02/23/world/asia/japan-and-united-states-reaffirm-their-close-ties.html?pagewanted=1&ref=shinzoabe&_r=0, diakses 18 Oktober 2013.

5. “PM Abe Singgung Lagi Amandemen Konstitusi,” Kompas, 16 Oktober 2013.

6. “Revising the Japanese Constitution,” http://thediplomat.com/the-editor/2013/05/17/revising-the-japanese-constitution/, diakses 18 Oktober 2013.

7. “Why Japan’s Biggest Defense-Spend Hikein Over Two Decades Isn’t Going to Buy Much,” http://world.time.com/2013/09/02/why-japans-first-defense-spend-hike-in-over-two-decades-isnt-going-to-buy-much/, diakses 18 Oktober 2013.

Page 9: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 9 -

Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

MENINGKATKAN KUALITAS PERGURUAN TINGGI LOKAL

MELALUI INTERNASIONALISASI PENDIDIKAN TINGGI

Lukman Nul Hakim*)

Abstrak

Secara umum potret kualitas SDM Indonesia masih belum membanggakan, tercermin dari: Pertama, komposisi angkatan kerja yang masih didominasi lulusan pendidikan dasar dan menengah. Kedua, masih banyaknya pengangguran terdidik/sarjana. Ketiga, secara umum masih rendahnya daya saing SDM bangsa kita dibanding negara-negara lain. Pengesahan Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang di antaranya mengatur kerja sama internasional memberikan harapan baru. Kerja sama perguruan tinggi lokal dengan perguruan tinggi berkualitas dari luar negeri diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi pada khususnya, dan SDM Indonesia pada umumnya. Saat ini tongkat estafet tanggung jawab berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk segera membuat aturan turunan agar ide-ide positif dari UU Dikti dapat segera di implementasikan.

A. Pendahuluan

Pada era globalisasi seperti saat ini, sumber daya manusia (SDM) menjadi isu yang sangat penting karena negara dengan kualitas SDM yang baik akan mempunyai daya saing tinggi. Karena itu, peningkatan kualitas SDM mutlak harus menjadi agenda strategis negara. Namun demikian fakta menunjukkan secara umum potret kualitas SDM Indonesia masih belum membanggakan. Hal tersebut tercermin dari komposisi angkatan kerja yang masih didominasi lulusan pendidikan dasar dan menengah; masih banyaknya

pengangguran terdidik/sarjana; dan masih rendahnya peringkat daya saing SDM bangsa kita dibanding negara-negara lain.

Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional Februari Tahun 2013 yang dilakukan Biro Pusat Statistik ditemukan bahwa lapangan kerja Indonesia masih didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Sebanyak 54,6 juta orang, atau 47,90 persen dari total 114,02 juta pekerja hanya berpendidikan Sekolah Dasar. Bandingkan dengan pekerja lulusan Diploma sebanyak 3,2 juta orang (2,82 persen), atau Sarjana yang hanya 8,0 juta orang (6,96 persen).

*) Peneliti bidang Psikologi pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 10: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 10 -

Hal ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, adanya ketidaksesuaian (mismatch) antara kurikulum perguruan tinggi dengan perkembangan dunia kerja dan industri. Kedua, sulitnya mahasiswa memilih program pendidikan yang mereka minati karena berbagai alasan, mulai dari mahalnya biaya program pendidikan yang diminati mahasiswa dan ketidak berhasilan siswa mendapatkan akses karena terbatasnya kuota yang ditawarkan universitas untuk program pendidikan yang diminati mahasiswa. Sebagai dampaknya terlihat dari banyaknya jumlah pengangguran terdidik. Berdasarkan data per bulan Februari 2013 jumlah pengangguran dengan latar pendidikan Sarjana sebanyak 421.717 orang, dan latar belakang pendidikan akademi/Diploma 1, 2, 3 sebanyak 192.762 orang (lihat Diagram 2).

Rendahnya daya saing SDM negara Indonesia merupakan salah satu permasalahan besar bangsa yang memerlukan penanganan segera. Menurut data World Economic Forum, posisi daya saing Indonesia tahun 2013–2014 berada pada urutan ke 38 dari 148 negara yang disurvei. Di posisi ini, Indonesia berada jauh di bawah Singapura yang menempati urutan ke-2, Malaysia (24), Brunei Darussalam (26), dan Thailand (37) (lihat Tabel 1).

Faktor yang sangat berpengaruh terhadap daya saing suatu bangsa adalah pendidikan masyarakatnya. Pendidikan memiliki peran strategis dalam pembangunan

bangsa serta memberi kontribusi siginifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Masyarakat dengan pendidikan yang baik akan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatannya, yang secara kolektif akan meningkatkan pendapatan negara. Saat ini, dan di masa mendatang, sumber daya alam bukan lagi menjadi daya saing utama suatu bangsa, melainkan penguasaan atas ilmu pengetahuan dan teknologi.

B. Internasionalisasi Pendidikan Tinggi

Salah satu upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi dalam negeri adalah melalui internasionalisasi pendidikan tinggi. Langkah tersebut telah dipilih oleh beberapa negara untuk mencapai daya saing tingkat dunia. Mereka telah menjalin kerja sama dengan universitas-universitas terbaik dunia untuk kerja sama dalam hal kurikulum, dosen

maupun pertukaran mahasiswa. Jepang, China, dan Korea Selatan bahkan telah menyiapkan kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi yang ambisius sejak tahun 1990-an. Secara khusus China misalnya telah meluncurkan “Proyek 211 dan 985,” Korea Selatan menyiapkan program “Brain Korea 21 (BK21),” dan Jepang mempunyai program “21st Century Center of Excellence (COE21).” Contoh implementasi kebijakan-kebijakan tersebut salah satunya yaitu pemerintah memfokuskan diri pada penelitian-penelitian “mercusuar” (flagship) yang bertujuan agar universitas-universitas

!

Diagram 1. Latar Belakang Pendidikan Tenaga Kerja

di Indonesia, 2013

Sumber: Biro Pusat Statistik, Survei Angkatan Kerja Nasional

Februari Tahun 2013.

Diagram 2. Pengangguran Lulusan Perguruan Tinggi

Sumber: Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) BPS 2008–2012!

Page 11: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 11 -

tersebut mendapatkan penghargaan di tingkat dunia. Dengan kebijakan semacam itu maka pemerintah secara tidak langsung juga memberikan dorongan peningkatan sistem pendidikan universitas dengan meningkatkan kapasitas nasional mereka dalam bidang penelitian dan pengembangan.

Langkah-langkah kebijakan pemerintah negara Jepang, China, Singapura dan Korea Selatan tersebut telah membuahkan hasil. Saat ini negara-negara tersebut telah berhasil menempatkan universitas-universitasnya pada deretan universitas tingkat dunia. Pada pemeringkatan universitas versi Times Higher Education, Tokyo University menempati peringkat ke-23 dunia, National University of Singapore menempati peringkat ke-26, The University of Hong Kong berada di peringkat ke-43, dan Korea Pohang University of Science and Technology di peringkat ke-60 (Korea Selatan).

C. Peran Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi

“Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” filosofi tersebut cocok dengan kondisi Indonesia. Meskipun telah tertinggal sekitar dua dekade dari Jepang, China, Korea Selatan dan bahkan negara serumpun Singapura, saat ini Indonesia sedang mempersiapkan diri untuk upaya internasionalisasi pendidikan tinggi. Sebagai langkah awal adalah dengan mengesahkan UU Dikti yang menjadi payung hukum untuk membangun pendidikan tinggi yang berkualitas di Indonesia.

UU Dikti mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga dari negara lain. Pasal 50 UU Dikti menyatakan bahwa kerja sama internasional pendidikan tinggi adalah proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai ke-Indonesiaan. Kerja sama internasional harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai kemanusiaan yang memberi manfaat bagi kehidupan manusia.

Institusi luar dapat bekerjasama dengan institusi lokal pada tiga bidang yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Ada tiga bentuk kerja sama yang diatur oleh UU: (1) Hubungan antara lembaga pendidikan tinggi di Indonesia dan lembaga pendidikan tinggi negara lain dalam kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; (2) Pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya lokal pada perguruan tinggi di dalam dan di luar negeri; dan (3) Pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri.

Semua perguruan tinggi dari negara asing (PTA) berkesempatan menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia. Akan tetapi harus terlebih dahulu memenuhi ketentuan yang ketat, diantaranya sudah terakreditasi, mendapatkan ijin dari Pemerintah Indonesia, berprinsip nirlaba, bekerja sama dengan perguruan tinggi Indonesia, mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan berkewarganegaraan Indonesia, dan mendukung kepentingan nasional.

UU juga mengatur bahwa PTA harus menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi setempat dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kerja sama antara PTA dengan PTN dan PTS juga merupakan upaya Negara untuk merangsang peningkatan kualitas PTN maupun PTS. Kerja sama dapat berupa pembentukan program studi bersama serta proses pembelajaran yang dilakukan dosen asing dan dosen setempat secara bergantian. Kurikulum yang digunakan tetap harus merupakan kurikulum pendidikan tinggi nasional dengan memasukkan materi ajar dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan, seperti Pancasila.

Tabel 1. Peringkat Daya Saing Indonesia

Negara 2011–2012 2012–2013 2013–2014 Singapura 2 2 2Malaysia 21 25 24Brunei

Darussalam 28 28 26

Thailand 39 38 37Indonesia 46 50 38

Sumber: The Global Competitiveness Index 2013-2014, diakses 21 Oktober 2013.

Page 12: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 12 -

D. Penutup

Dengan dibukanya kesempatan bagi PTA untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia, akan tercipta persaingan antara PTN, PTS dan PTA. Hal ini positif karena peneliti psikologi sosial membuktikan bahwa kompetisi akan meningkatkan kinerja organisasi (Nickell, 1996). Kompetisi akan mendorong baik PTN, PTS maupun PTA untuk memberikan perhatian lebih besar untuk meningkatkan kualitas, mutu pendidikan dan kualitas output perguruan tinggi tersebut. Dengan meningkatnya kualitas PTN dan PTS setempat maka diharapkan mereka dapat berkompetisi di tingkat Asia dan dunia, dengan demikian masyarakat Indonesia tidak hanya sekadar menjadi pasar bagi PTA.

Selanjutnya tanggung jawab pengaturan turunan tentang kebijakan nasional mengenai kerja sama internasional pendidikan tinggi diatur oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. Agar aktivitas kerja sama antara penyelenggara pendidikan lokal dan luar negeri dapat segera diimplementasikan maka diharapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat segera menyiapkan peraturan-peraturan tersebut. Pada fase ini peran DPR-RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan menjadi krusial untuk memastikan bahwa amanat UU dilaksanakan pihak-pihak terkait.

Rujukan:

1. UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

2. “Brain Korea 21, a project for Nurturing Highly Qualified Human Resources for the 21st Century Knowledge-based Society,” http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan015416.pdf, diakses 17 Oktober 2013.

3. “Membangun Daya Saing, Kemandirian Sains, dan Teknologi Bangsa,” www.setneg.go.id, diakses 16 Oktober 2013.

4. Moon, M. & Kim, K. S. (2001). “A Case of Korean Higher Education Reform: The Brain Korea 21 Project.” Journal of Asia Pacific Education Review, Vol. 2, No. 2, 96–105.

5. Nickell, S. J. (1996). “Competition and Corporate Performance.” Journal of Political Economy, Vol. 104, 4, 724–746.

6. “Project 211 and 985,” http://www.chinaeducenter.com/en/cedu/ ceduproject211.php, diakses 17 Oktober 2013.

7. Schawab, K. & Sala-i-Martin, X. (2012). The Global Competitiveness Report: 2012-2013. World Economic Forum: Geneva.

8. “Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) BPS 2008–2012,” http://www.bps.go.id/aboutus.php?booklet=1, diakses 17 Oktober 2013.

9. “Survei Angkatan Kerja Nasional Februari Tahun 2012,” http://www.bps.go.id/aboutus.php?booklet=1, diakses 17 Oktober 2013.

10. “World University Rangkings 2013-2014,” http://www.timeshighereducation.co.uk/world-university-rankings/2013/reputation-ranking, diakses 17 Oktober 2013.

11. “The Global Competitiveness Index,” World Economic Forum, diakses 17 Oktober 2013.

Page 13: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 13 -

Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

E KO N O M I DA N K E B I J A K A N P U B L I K

ASURANSI MIKRO BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN

RENDAHEdmira Rivani*)

Abstrak

Saat ini ada sekitar 77 juta orang Indonesia yang belum memiliki perlindungan asuransi guna mengantisipasi musibah tidak terduga yang dapat mengancam kelangsungan rumah tangganya. Untuk itu, asuransi mikro dapat menjadi penolong utama bagi keluarga berpenghasilan rendah terhadap risiko musibah yang tak terduga, dan dapat mencegah mereka terperosok ke dalam jurang kemiskinan. Namun, pengembangan bisnis asuransi mikro terkendala sejumlah hal seperti minimnya variasi produk asuransi yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kurangnya kepercayaan karena reputasi perusahaan asuransi di Indonesia, serta permasalahan lainnya. Oleh karena itu, agar dapat berjalan baik asuransi mikro harus memiliki karakteristik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah yaitu sederhana, mudah, ekonomis, dan segera.

A. Pendahuluan

Usaha perasuransian merupakan salah satu jenis usaha jasa keuangan, di samping usaha-usaha jasa keuangan lainnya seperti usaha perbankan, usaha koperasi simpan pinjam, usaha pembiayaan (leasing) dan usaha pergadaian. Usaha perasuransian merupakan usaha jasa yang mengandung unsur atau berintikan keuangan yang diikat dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih yang mengikatkan diri satu sama lain dalam suatu perjanjian. Ikatan inilah yang menjadi dasar bagi konsumen dari asuransi

untuk mengajukan claim terhadap perusahaan perasuransian. Selain itu, asuransi merupakan suatu usaha yang mencoba mengurangi risiko yang akan dihadapi oleh masyarakat dan perusahaan akibat dampak yang ditimbulkan dari ketidakpastian dalam perekonomian itu sendiri.

Saat ini, sekitar 77 juta orang Indonesia belum memiliki perlindungan asuransi guna mengantisipasi musibah yang tidak terduga. Dapat dibayangkan akibat yang terjadi saat pencari nafkah suatu keluarga meninggal, ketika seorang anak dari keluarga tak mampu harus dirawat di rumah sakit, atau ketika

*) Peneliti bidang Ekonomi Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 14: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 14 -

tanaman milik keluarga petani rusak karena kekeringan atau banjir. Bencana-bencana seperti itu mengancam kelangsungan rumah tangga miskin, dan biasanya membuat mereka makin terperosok ke dalam kemiskinan dan keputusasaan.

Dalam hal tersebut, asuransi mikro dapat menjadi penolong utama bagi keluarga berpenghasilan rendah terhadap musibah yang tak terduga, dan mencegah mereka untuk makin terperosok ke dalam jurang kemiskinan. Asuransi mikro bukanlah suatu jenis produk khusus atau terbatas kepada jenis pemberi layanan tertentu. Asuransi ini menyediakan alternatif pengalihan risiko untuk keluarga berpenghasilan rendah dan ditawarkan dalam berbagai bentuk, sebagai contoh: untuk membiayai pendidikan anak bila tulang punggung pencari nafkah keluarga meninggal; untuk membiayai rumah sakit anak-anak; atau untuk melindungi petani kecil terhadap ancaman gagal panen karena kekeringan atau kejadian iklim ekstrim lainnya.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan cetak biru (blue print) tentang asuransi mikro. Sejumlah pelaku asuransi menilai lahirnya cetak biru ini bisa memudahkan pemasaran asuransi mikro langsung ke individunya. Selama ini pemasaran asuransi mikro baru melalui Koperasi dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Perseroan-perseroan belum bisa memasarkan langsung ke individu karena permasalahan kolektivitas dan pengelolaan administrasi perusahaan. Pemasaran yang dilakukan melalui komunitas seperti itu membuat proses underwriting dan sistem IT berjalan lebih sederhana. Akibatnya, pricing yang diberikan bisa lebih murah. Adanya cetak biru ini diharapkan bisa memberikan standardisasi dan keseragaman mengenai permasalahan ini. Sehingga pelaku industri lebih berani memasarkan langsung ke individu.

Pasar asuransi mikro masih sangat luas. Saat ini pemegang polis asuransi di Indonesia baru 67 juta, yakni 10 juta asuransi individu dan 57 juta asuransi kumpulan. Sebanyak 32 persen masyarakat tidak memiliki tabungan atau asuransi saat terjadi musibah, karena itu asuransi mikro penting untuk mengurangi risiko keuangan yang dihadapi masyarakat

berpenghasilan rendah. Kategori masyarakat berpenghasilan rendah di sini adalah yang pendapatan per bulannya kurang dari Rp2,5 juta, sedangkan nilai premi maksimum yang dapat diterima pemegang polis adalah Rp50 juta dengan premi bulanan yang harus dibayarkan mulai dari Rp15 ribu sampai Rp50 ribu. Karena besarnya potensi yang ada, perusahaan-perusahaan asuransi kini mulai tertarik untuk membuat produk-produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar tersebut. Namun, perkembangan asuransi mikro di Indonesia masih menemui beberapa tantangan.

B. Hambatan Pengembangan Asuransi Mikro

Pengembangan bisnis asuransi mikro terkendala sejumlah hal sehingga dinilai tidak banyak bergerak kendati sejumlah perusahaan asuransi telah mulai memasarkan produk ini sejak beberapa tahun lalu. Hambatan-hambatan tersebut di antaranya adalah kurangnya pengetahuan akan asuransi di kalangan masyarakat, minimnya variasi produk asuransi yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, pandangan bahwa asuransi hanyalah bagi orang kaya, dan kurangnya kepercayaan karena reputasi perusahaan asuransi di Indonesia, serta pengalaman buruk yang menimpa mereka saat berurusan dengan penyedia jasa asuransi. Sedangkan dari sisi penyedia jasa asuransi: Kontraknya (polis) sangatlah rumit, pembayaran klaim memakan waktu terlalu lama dan penuh dengan birokrasi, serta tingginya biaya transaksi membuat produk-produk asuransi menjadi terlalu mahal bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Hambatan lainnya dalam mengembangkan asuransi mikro adalah pemberlakuan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 1 Januari 2014 nanti, di mana iuran masyarakat miskin Indonesia yang berjumlah sekitar 86 juta jiwa akan dibayarkan oleh pemerintah, sehingga masyarakat miskin tersebut memperoleh manfaat dari asuransi kesehatan. Hal tersebut akan membuat masyarakat berpenghasilan rendah berpikir dua kali untuk mengikuti program asuransi mikro. Selain itu, pasar

Page 15: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 15 -

asuransi mikro dikhawatirkan tergerus perusahaan asing saat pintu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dibuka pada tahun 2015. Pasalnya industri asuransi dalam negeri kurang berpengalaman. Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan untuk melindungi perusahaan asuransi dalam negeri, di mana industri asuransi dalam negeri akan berhadapan dengan Thailand dan Filipina untuk merambah pasar asuransi mikro. Perusahaan asuransi lokal kedua negara tersebut sudah lebih dulu menjalankan asuransi mikro, nantinya dikhawatirkan asuransi lokal tidak mampu menjalankan pasar asuransi mikro, sehingga diintervensi industri luar negeri yang sudah mengenal kinerja sejak awal.

C. Upaya Mengatasi Hambatan Pengembangan Asuransi Mikro

Agar dapat berjalan baik, asuransi mikro haruslah terjangkau dan menarik bagi rumah tangga berpenghasilan rendah. Para pemberi jasa harus menawarkan produk-produk dengan biaya terjangkau, distribusi yang efektif dari segi biaya dan proses pembayaran klaim yang lebih sederhana. Produk-produk asuransi mikro juga harus memberikan tingkat ketersediaan dan fleksibilitas yang tinggi. Telepon selular (ponsel) dapat membantu distribusi asuransi mikro ke daerah terpencil dan pedesaan. Sebagai contoh, seorang petani di daerah terpencil dapat membayar premi untuk asuransi kekeringan dengan menggunakan aplikasi asuransi mikro khusus yang tersedia pada ponselnya. Pemegang polis dengan arus kas yang tidak menentu dapat membayar tambahan premi ketika memiliki dana yang lebih, dan membayar lebih sedikit ketika keadaan keuangannya sedang menurun. Aset bernilai rendah juga dapat diasuransikan untuk jangka pendek, contohnya suatu petak sawah, dapat diasuransikan terhadap kekeringan selama satu masa panen, yang berlangsung selama empat bulan.

Kreatifitas perusahaan-perusahaan asuransi dalam mengembangkan produk

sehingga menarik nasabah tidak hanya yang terkait dengan kesehatan juga sangat diperlukan karena berpotensi bentrok dengan BPJS Kesehatan. Perusahaan-perusahaan asuransi bisa membuat pengembangan produk asuransi mikro lainnya, salah satunya adalah asuransi mikro yang dikumpulkan bisa diklaim secara tunai untuk keperluan selama dirawatnya anggota keluarga, misalnya jika ada anggota keluarga yang sakit maka uang bisa diberikan untuk keperluan mengantar ke rumah sakit atau keperluan lainnya selama menunggu di rumah sakit. Kreativitas dan keberanian berbisnis juga diperlukan perusahaan asuransi dalam negeri agar bisa berkompetisi ketika MEA diberlakukan pada tahun 2015, sedangkan OJK dituntut untuk menggerakan semua pihak agar industri asuransi dalam negeri tidak ketinggalan pasar.

Seiring dengan tersedianya produk-produk asuransi mikro ini, masyarakat harus diberikan penyuluhan mengenai manfaat produk asuransi mikro yaitu agar masyarakat yang berpenghasilan rendah dapat memiliki asuransi sebagai mekanisme perlindungan atas risiko keuangan yang dihadapi. Oleh sebab itu, asuransi mikro harus memiliki karakteristik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah yaitu sederhana, mudah, ekonomis, dan segera. Bersamaan dengan itu, keterampilan lembaga-lembaga terkait dan pihak-pihak yang berpotensi sebagai penyalur produk asuransi juga harus diperkuat, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung penyaluran asuransi mikro. Indonesia akan mengambil suatu langkah besar menuju pengentasan kemiskinan, sekaligus mendorong sektor swasta dan ekonomi secara keseluruhan.

Dukungan pemerintah juga sangat penting dalam mensosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya asuransi bagi masa depan. Melalui sosialisai dan edukasi yang akan dilakukan oleh pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia asuransi, diharapkan angka anak yang terlantar pendidikannya serta angka orang yang tidak mampu membayar biaya rumah sakit yang semakin mahal tiap tahunnya dapat ditekan dengan memiliki polis asuransi.

Page 16: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 16 -

D. Penutup

Asuransi mikro dapat menjadi penolong utama bagi keluarga berpenghasilan rendah terhadap musibah yang tak terduga, dan mencegah mereka untuk makin terperosok ke dalam jurang kemiskinan, dimana asuransi mikro memberikan masyarakat berpenghasilan rendah mekanisme perlindungan atas risiko keuangan yang dihadapi. Oleh karena itu, agar dapat berjalan baik asuransi mikro harus memiliki karakteristik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah yaitu sederhana, mudah, ekonomis, dan segera. Para pemberi jasa harus menawarkan produk-produk dengan biaya terjangkau, mengeluarkan produk-produk asuransi yang dapat menjawab kebutuhan asuransi bagi berbagai lapisan masyarakat, distribusi yang efektif dari segi biaya, serta proses pembayaran klaim yang lebih sederhana.

Upaya peningkatan kesadaran masyarakat untuk berasuransi kiranya juga perlu terus dibangun agar pada suatu hari nanti sebagian masyarakat Indonesia mengerti pentingnya asuransi bagi perencanaan keuangan atau finansial masa depan, dalam hal ini asuransi mikro menawarkan kesempatan bagi keluarga berpenghasilan rendah untuk tetap bertahan ketika kesulitan datang, tanpa memberi tambahan beban keuangan.

Rujukan:1. “Asuransi Mikro Masih Terhadang Empat

Kendala,” Bisnis Indonesia, 17 Oktober 20013.

2. “Asuransi Mikro Bakal Tergerus Asing,” Neraca, 18 Oktober 20013.

3. “Kebijakan Asuransi Mikro Harus Didukung,” Neraca, 18 Oktober 20013.

4. “Asuransi Mikro Bagi Masyarakat Kelas Menengah ke Bawah,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt507ec59b72940/, diakses 18 Oktober 2013.

5. “Asuransi Mikro: Membantu Kaum Miskin Menghadapi Kejadian Tak Terduga (Opini),” http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAINBAHASAEXTN/0,,contentMDK:23049740~pagePK:1497618~piPK:217854~theSitePK:447244,00.html, diakses 18 Oktober 2013.

6. “Perluas Penetrasi, OJK Resmikan Asuransi Mikro,” http://m.tempo.co/read/news/2013/10/17/090522369/, diakses 21 Oktober 2013.

7. “BPJS Jadi Tantangan Pengembangan Asuransi Mikro,” http://m.hukumonline.com/berita/baca/It52fc4294a6c5/, diakses 21 Oktober 2013.

8. “Banyak Kendala, OJK Terus Dorong Asuransi Mikro,” http://m. okezone.com/read/2013/10/17/457/882724, diakses 21 Oktober 2013.

9. “Cetak Biru Asuransi Mikro, Permudah Pemasaran Langsung,” http://www.beritasatu.com/asuransi/144742.html, diakses 21 Oktober 2013.

10. Salim, A. A. (2007). Asuransi dan Manajemen Risiko. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Page 17: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 17 -

Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

P E M E R I N TA H A N D A L A M N E G E R I

MENYOAL KEBIJAKAN DIGITALISASI PENYIARAN

Ahmad Budiman*)

Abstrak

Kebijakan digitalisasi penyiaran harus dipandang sebagai peluang untuk memperluas dan mengembangkan jangkauan jenis-jenis layanan penyiaran yang dapat disediakan bagi para pendengar dan penonton. Dasar hukum kebijakan harus jelas mengaturnya. Pelaksanaannya harus dilakukan dengan berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.

A. Pendahuluan

Penayangan iklan layanan masyarakat mengenai kebijakan digitalisasi penyiaran sudah mulai kita saksikan. Iklan yang disajikan melalui media televisi, radio maupun media luar ruang, berisikan kebijakan digitalisasi penyiaran berikut keuntungan yang akan didapatkan oleh masyarakat. Artinya, Pemerintah sudah mulai melakukan tahapan sosialisasi kepada masyarakat mengenai kebijakan digitalisasi penyiaran.

Kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah memang merupakan pelaksanaan hasil keputusan Rapat Dengan Pendapat (RDP) antara Komisi I DPR-RI bersama dengan jajaran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Menurut Meutya Hafid dalam RDP tersebut, pengenalan mendalam mengenai digitalisasi ini diharuskan,

terlebih kepada seluruh elemen masyarakat. Alasannya, digitalisasi penyiaran televisi ini dapat mengubah keseluruhan landscape dari industri penyiaran, sehingga diperlukan sosialisasi yang mendalam. Namun demikian sosialisasi ini tidak hanya ditujukan kepada masyarakat saja, tetapi juga menyangkut kesiapan terhadap industri penyiaran televisi dan juga rumah produksi (production house).

Komisi I DPR-RI dalam kesimpulan RDP tersebut di antaranya menyebutkan pelaksanaan kebijakan digitalisasi penyiaran harus dihentikan terlebih dahulu, menunggu sampai dihasilkannya UU yang substasinya mengatur tentang kebijakan tersebut. Komisi I beranggapan pengaturan soal digitalisasi penyiaran harus diatur undang-undang. Digitalisasi ini mengubah total industri televisi dan kontennya. Peraturan Menteri tidak memiliki hak untuk mengatur hal yang

*) Peneliti Madya bidang Komunikasi Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI,

e-mail: [email protected]

Page 18: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 18 -

mendasar tersebut, karena ini domainnya undang-undang. Apalagi saat ini Komisi I DPR-RI juga sedang melakukan pembahasan RUU Penyiaran sebagai pengganti dari UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Peraturan Menteri Komunikasi Informatika (Permen Kominfo) No. 22/PER/M.Kominfo/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran TV Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free-to-Air) dan Permen Kominfo No. 23/PER/M.Kominfo/11/2011 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio untuk Keperluan Televisi Siaran Digital Terestrial pada Pita Frekuensi Radio 478–694 Mhz, telah dibatalkan Mahkamah Agung (MA) berdasarkan keputusannya pada tanggal 3 April 2013. Meskipun sudah dibatalkan, Pemerintah tetap melakukan seleksi multiplekser yang sudah berjalan di Jawa dan Kepulauan Riau.

Di sisi yang lain, Pemerintah tetap menyediakan Rp300 miliar untuk memproduksi perangkat set top box untuk migrasi TV analog ke digital dan akan dibagikan gratis kepada masyarakat. Proses migrasi ini telah di ujicoba yang dimulai 2010 dan ditargetkan pada 2018 migrasi ke televisi digital rampung. Pemerintah menilai sampai saat ini industri televisi dalam negeri siap berpartisipasi untuk melakukan migrasi ke TV digital. Pemerintah juga telah melakukan kerjasama dengan pemerintah China untuk memberikan panduan untuk membangun jaringan di Indonesia.

B. Kebijakan

Kebijakan Pemerintah mengenai penyelenggaraan penyiaran TV digital terestrial penerimaan tetap tidak berbayar (Free-to-Air) bertujuan di antaranya untuk meningkatkan kualitas penerimaan program siaran televisi, memberikan lebih banyak program siaran televisi kepada masyarakat, dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan penyiaran. Lembaga penyelenggara penyiaran TV digital terestrial penerimaan tetap tidak berbayar (Free-to-Air) terdiri atas Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) dan

Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM).

Wilayah penyelenggaraan program siaran adalah wilayah layanan dan wilayah penyelenggaraan penyiaran multipleksing adalah zona layanan. Tingkat kandungan dalam negeri set top box yang diperdagangkan di Indonesia sekurang-kurangnya 20 persen dan secara bertahap ditingkatkan sekurang-kurangnya 50 persen dalam jangka waktu lima tahun.

Pelaksanaan penyelenggaraan penyiaran multipleksing dilalukan secara bertahap pada setiap zona layanan diawali dengan melakukan penyiaran secara simulcast sampai dengan waktu analog switch off (periode dimana siaran analog dihentikan dan diganti dengan layanan siaran digital). Namun sebelum pelaksanaan simulcast, Menteri akan menetapkan kanal frekuensi radio pada lembaga penyiaran yang melaksanakan penyelenggaraan penyiaran multipleksing. TVRI, lembaga penyiaran publik lokal, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas yang telah memiliki izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) serta merta melaksanakan penyelenggaraan program siaran. Namun bagi lembaga penyiaran yang tidak memenuhi persyaratan untuk melaksanakan penyelenggaraan penyiaran multipleksing, hanya akan menjadi lembaga penyiaran penyelenggara program siaran. Pelaksanaan analog switch off selambat-lambatnya dilakukan sampai dengan akhir tahun 2017. Sedangkan pembagian zona dibagi atas 15 zona untuk seluruh provinsi di Indonesia dengan periode simulcast dan jumlah wilayah layanan.

C. Menyoal Kebijakan

Selain persoalan dasar hukum yang tidak tepat sebagai dasar pemberlakukan kebijakan digitalisasi penyiaran, beberapa pihak juga menyoalkan kebijakan yang dihasilkan Pemerintah tersebut. Komisi Penyiaran Indonesia menilai kebijakan Pemerintah yang mengubah target digitalisasi penyiaran selesai pada 2015 sama seperti yang ada di Geneva Agreement International Telecommunication Union (ITU) menjadi 2018, tidak memiliki dasar yang kuat. KPI mengingatkan jika

Page 19: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 19 -

mengikuti garis panduan dalam perjanjian tersebut, mestinya ada tahap-tahap. Salah satunya untuk negara berkembang, perjanjian memberi kesempatan lebih panjang untuk tetap menggunakan analog sampai 2020, namun dengan risiko kemungkinan terjadinya interferensi.

Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) menilai khusus untuk Kepmen Kominfo No. 23 Tahun 2011 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Untuk Keperluan Televisi Siaran Digital Terestrial, tidak boleh diterbitkan karena Keputusan Menteri Perhubungan No. 76 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Televisi Siaran Analog pada Pita Ultra High Frequency (UHF), belum dicabut. Untuk itu KIDP mendesak Pemerintah untuk menghentikan proses migrasi TV digital yang sedang dilakukan, serta menghilangkan diskriminasi dalam proses dengan terlebih dulu membuka kesempatan memperoleh izin penyiaran digital (penyedia program) kepada seluruh masyarakat.

Co-Chairman Masyarakat Informasi Indonesia, mengingatkan digitalisasi penyiaran tidak hanya persoalan teknologi semata, tetapi juga aspek ekonomi, sosial, hukum, dan juga politik, sehingga persoalan digitalisasi penyiaran di Indonesia perlu dilihat secara komprehensif. Di sana ada persoalan state interests, corporation interests, consumers interests, juga public interests yang saling berinteraksi. Pemerintah Indonesia telah menentukan standar penyiaran digital terrestrial untuk televisi tidak bergerak di Indonesia yaitu Digital Video Broadcasting Terrestrial (DVB-T). Tatkala pemerintah memutuskan standar penyiaran digital DVB-T berlaku di Indonesia, ini berarti kita sudah masuk dalam sebuah mazhab sistem penyiaran digital Eropa, dan tidak ikut mazhab Amerika Serikat ATSC (Advanced Television Systems Committee). Keputusan ini mempunyai implikasi ekonomi-politik dan bisnis penyiaran Indonesia masuk ke dalam pasar global penyiaran, baik dari segi piranti atau peralatan teknologi penyiaran maupun program isi siaran.

Perlu dicermati bahwa Geneva Agreement (GE06) adalah perjanjian internasional yang mengatur tentang periode transisi dan rencana frekuensi untuk digital bagi negara di Region I (Eropa, Afrika dan Timur Tengah) ditambah “hanya” Iran di Region III (total 120 negara). Sehingga tidak ada kewajiban hukum bagi negara di Region lain (Indonesia di Region III) untuk menaati, hanya saja perjanjian ini terbuka untuk diaksesi sehingga banyak negara yang suka rela mengikuti periode transisi tersebut bahkan ada yang lebih awal, misalnya Jepang.

Batasan waktu cut off 2015 hanya diwajibkan bagi negara yang terikat pada perjanjian tersebut. Itulah sebabnya Indonesia tidak masalah menetapkan ASO-nya pada 2018. Bahkan bisa saja hingga 2020. ASO pada GE06 ternyata masih memberikan kesempatan bagi siaran analog untuk bersiaran dengan prasyarat. Ketentuan ini diatur dalam keputusan GE06 berikut: At the end of the transition period, countries may continue to operate analogue broadcasting stations provided that these stations: do not cause unacceptable interference; do not claim protection.

Kebijakan digitalisasi penyiaran yang menggunakan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagai dasar hukumnya adalah tidak tepat. UU Penyiaran tidak mengenal istilah Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) maupun Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS). Penggunaan istilah “lembaga penyiaran” pada nomenklatur baru tersebut menyalahi secara normatif dan substantif lembaga penyiaran yang diatur dalam UU Penyiaran.

D. Penutup

Digitalisasi televisi adalah suatu keniscayaan untuk memajukan khususnya industri televisi yang masih berbasis analog saat ini. Demikian karena analog dinilai sudah tidak lagi sejalan dengan kemajuan zaman yang menuntut serba sempurna, ringkas, dan cepat. Kesempurnaan televisi digital dinilai beberapa pengamat dapat menjamin industri penyiaran akan dimainkan oleh pasar yang

Page 20: Vol. V, No. 20/II/P3DI/Oktober/2013

- 20 -

makin beragam. Prinsip diversity of content dan diversity of ownnership pun akan makin terasa dengan adanya televisi digital ini.

Kebijakan digitalisasi penyiaran perlu didasari oleh landasan hukum yang jelas. Potensi monopoli atau pemusatan juga dapat terjadi karena belum adanya aturan yang jelas tentang batasan afiliasi antara LPPPM dan LPPPS, termasuk di dalamnya potensi adanya penyelundupan hukum dengan melakukan praktik pemusatan pada holding company dengan membentuk perseroan terbatas berbeda sehingga tidak terjangkau hukum dan bahkan “dilindungi” UU Perseroan Terbatas. Pelaksanaannya baru bisa dilaksanakan bila RUU tentang Penyiaran telah selesai dibahas dan ditetapkan menjadi UU Penyiaran karena salah satu bab-nya memang mengatur tentang digitalisasi penyiaran. Selain itu sosialisasi kepada seluruh masyarakat perlu ditingkatkan, agar semua masyarakat mengetahui dan siap untuk melaksanakannya.

Mengingat masih dimungkinkannya siaran analog pada 2015, berarti kebijakan total cut-off masih harus dikaji, terutama terkait dengan wilayah-wilayah blank spot. Harus dikaji kemungkinan migrasi secara alami sehingga pilihan untuk menonton siaran digital atau analog berada di tangan penduduk (viewer) bukan dipaksakan untuk membeli kelengkapan tambahan atau mengganti televisi. Analoginya seperti migrasi AM ke FM.

Rujukan:1. “Aturan Digitalisasi Penyiaran Diminta

Ditunda”, http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/295596, diakses 15 Oktober 2013.

2. “Digitalisasi Penyiaran, Perlu Sosialisasi Secara Mendalam,” http://techno.okezone.com/read/2012/03/15/54/593807/, diakses 15 Oktober 2013.

3. “KIDP: Seleksi TV Digital Bermasalah dari Sisi Hukum,” http://techno.okezone.com/read/2012/08/14/54/677348/, diakses 15 Oktober 2013.

4. “KPI Kritik Putusan Pemerintah Soal Digitalisasi Penyiaran,” h t t p : / / t e c h n o . o k e z o n e . c o m /read/2012/08/09/54/675410/, diakses 15 Oktober 2013.

5. “Menkominfo: Sudah Saatnya Masyarakat Beralih ke TV Digital,” h t t p : / / t e c h n o . o k e z o n e . c o m /read/2012/06/04/54/640937/, diakses 15 Oktober 2013.

6. Setjen DPR RI, Laporan Singkat Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR-RI dengan Menteri Komunikasi Informatika tentang Rapat Digitalisasi Penyiaran, tanggal 12 Maret 2012.

7. Permen Kominfo Nomor 22/PER/M.Kominfo/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran TV Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free-to-Air).

8. Permen Kominfo Nomor 23/PER/M.Kominfo/11/2011 Tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Untuk Keperluan Televisi Siaran Digital Terestrial Pada Pita Frekuensi Radio 478 -694 Mhz.

9. Paulus Widiyanto, Co-Chairman Masyarakat Infomasi Indonesia, ”Urgensi dan Prospek Kebijakan Sistem Digitalisasi Radio-Televisi,” Makalah disampaikan dalam Workshop KPID Jawa Tengah, 22 Oktober 2008.

10. Komisi Penyiaran Indonesia, Critical Point Digitalisasi Penyiaran Teresterial Indonesia.