20

Warm Bodies bab 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

baca Warm Bodies bab 1

Citation preview

Page 1: Warm Bodies bab 1
Page 2: Warm Bodies bab 1

2

1

Aku sudah mati, tapi ini tidak terlalu buruk. Aku

sudah belajar untuk menerima keadaan ini. Aku menyesal

tidak dapat memperkenalkan diri sebagaimana mestinya,

tapi aku sudah tidak punya nama lagi. Hampir tidak

ada dari kami yang punya. Kami kehilangan nama

seperti kehilangan kunci mobil, melupakan nama seperti

melupakan hari jadi. Namaku mungkin diawali dengan

huruf “R”, tapi hanya itulah yang kupunya sekarang. Ini

lucu karena dulu sewaktu aku masih hidup, aku selalu

lupa nama orang lain. Temanku “M” berkata ironisnya

menjadi zombi adalah segalanya lucu, tapi kau tidak bisa

tersenyum karena bibirmu sudah busuk.

Tidak ada dari kami yang benar-benar menarik, tetapi

kematian sudah lebih berbaik hati kepadaku daripada

Page 3: Warm Bodies bab 1

3

kepada sebagian zombi. Aku masih dalam tahap-tahap awal

pembusukan. Baru kulit kelabu, bau tidak enak, lingkaran

gelap di bawah mataku. Aku hampir bisa dipercaya

sebagai seorang pria dari Kaum Hidup yang membutuhkan

liburan. Sebelum aku menjadi zombi, aku pasti seorang

pengusaha, bankir atau pialang, atau pemagang yang

sedang mempelajari seluk-beluk pekerjaan, karena sekarang

aku mengenakan pakaian yang lumayan bagus. Pantalon

hitam, kemeja abu-abu, dasi merah. Kadang-kadang M

mengolokku. Dia menunjuk dasiku dan mencoba tertawa,

suatu geraman yang mendeleguk tertahan jauh di dalam

perutnya. Pakaian M sendiri jins sobek-sobek dan kaus putih

polos. Kaus itu sekarang sudah tampak sangat mengerikan.

Seharusnya dulu dia memilih warna yang lebih gelap.

Kami senang bergurau dan berspekulasi tentang

pakaian kami. Pilihan busana terakhir inilah yang

merupakan satu-satunya indikasi tentang siapa kami

sebelum kami menjadi bukan siapa-siapa. Sebagian tidak

sejelas pakaianku: celana pendek dan sweter, rok dan blus.

Jadi kami menebak-nebak acak.

Kau dulu pramusaji . Kau dulu mahasiswa.

Mengingatkan pada sesuatu?

Tidak pernah.

Tak seorang pun yang kukenal memiliki ingatan yang

spesifik. Hanya pengetahuan samar, sekelumit jejak, dari

sebuah dunia yang sudah lama hilang. Kesan-kesan kabur

akan kehidupan lampau yang bertahan seperti sensasi

anggota badan yang sudah diamputasi. Kami mengenali

Page 4: Warm Bodies bab 1

4

peradaban—bangunan, mobil, dunia secara keseluruhan—

tetapi tidak ada peran pribadi kami di dalamnya. Tidak ada

sejarah. Kami hanya di sini. Kami melakukan yang kami

lakukan, waktu berlalu, dan tidak ada yang mengajukan

pertanyaan. Tetapi, seperti yang sudah kukatakan, ini tidak

terlalu buruk. Kami mungkin kelihatan tidak berpikir,

tetapi sebenarnya sebaliknya. Roda-roda gigi kemampuan

untuk meyakinkan itu memang berkarat, tetapi masih

berputar, hanya semakin melambat sampai gerakan luarnya

hampir tak kentara. Kami menggumam dan menggeram,

kami mengangkat bahu dan mengangguk, dan terkadang

beberapa patah kata terucap. Tidak terlalu berbeda dengan

sebelumnya.

Tetapi, memang membuatku sedih bahwa kami lupa

nama kami. Dari semuanya, bagiku inilah yang sepertinya

paling tragis. Aku merindukan namaku sendiri dan berduka

untuk nama semua yang lain, karena aku ingin sekali

mencintai mereka, tapi aku tidak tahu mereka siapa.

. . .

Kami yang berjumlah ratusan ini tinggal di bandara

terbengkalai di luar sebuah kota besar. Kami tidak

membutuhkan naungan atau kehangatan, itu sudah jelas,

tetapi kami senang ada dinding dan atap di atas kepala

kami. Jika tidak, kami pasti hanya berkeliaran di padang

debu terbuka di suatu tempat, dan itu pasti menyeramkan.

Tidak memiliki apa-apa sama sekali di sekeliling kami, tidak

Page 5: Warm Bodies bab 1

5

ada apa pun untuk disentuh atau dipandang, tidak ada

garis nyata apa pun, hanya kami dan rahang langit yang

menganga. Kubayangkan seperti itulah rasanya purnamati.

Suatu kekosongan yang amat luas dan mutlak.

Kurasa kami sudah di sini lama sekali. Seluruh dagingku

masih utuh, tetapi ada zombi-zombi tua yang tinggal

kerangka dengan tempelan kerat-kerat otot, kering seperti

dendeng. Entah bagaimana otot itu masih meregang dan

mengerut, dan mereka terus bergerak. Aku tidak pernah

melihat seorang pun dari kami “mati” karena usia tua.

Bila dibiarkan saja dengan makanan melimpah, mungkin

kami akan “hidup” selamanya, entahlah. Bagiku masa

depan sama kaburnya dengan masa lalu. Sepertinya aku

tidak mampu memaksa diriku memperhatikan apa pun di

sebelah kanan atau kiri masa sekarang, sedangkan masa

sekarang tidak benar-benar mendesak. Kau boleh berkata

kematian membuatku santai.

. . .

Aku sedang naik eskalator ketika M menemukanku.

Aku menaiki eskalator beberapa kali sehari, setiap kali

benda itu bergerak. Ini sudah menjadi ritual. Bandara ini

telantar, tetapi kadang listriknya masih menyala lemah,

mungkin mengalir dari generator darurat yang tergagap

jauh di bawah tanah. Lampu membersit dan layar berkedip,

mesin terlonjak bergerak. Aku memuja saat-saat seperti

ini. Perasaan bahwa segala sesuatunya mulai hidup. Aku

Page 6: Warm Bodies bab 1

6

berdiri di undakan eskalator dan mendaki bagaikan sukma

memasuki Surga, impian manis masa kecil kita itu, yang

sekarang hanya lelucon hambar.

Setelah mungkin tiga puluh kali mengulang, aku

mendaki dan mendapati M sedang menungguku di puncak.

Sosoknya terbentuk dari puluhan kilogram otot dan lemak

yang menyampiri kerangka setinggi sekitar 185 sentimeter.

Wajahnya yang menakutkan, dengan janggut, botak,

memar, dan busuk, mulai tampak saat aku mendekati

puncak tangga. Apakah dia malaikat yang menyambutku

di gerbang? Mulutnya yang compang-camping merembeskan

ludah hitam.

Dia menunjuk tak jelas dan menggumam, “Kota.”

Aku mengangguk dan mengikutinya.

Kami akan keluar untuk mencari makan. Kelompok

berburu membentuk di sekitar kami selagi kami melangkah

terseret-seret menuju kota. Tidak sulit menemukan rekrutan

untuk ekspedisi semacam ini meskipun tidak ada yang

lapar. Pikiran yang terfokus merupakan kejadian langka di

sini, dan kami semua mengikutinya bila itu mewujud. Jika

tidak, kami pasti hanya berdiri menganggur dan mengerang

sepanjang hari. Kami sering sekali berdiri menganggur dan

mengerang. Tahun-tahun berlalu seperti itu. Daging melisut

pada tulang kami dan kami berdiri di sini, menunggu

daging itu hilang. Aku sering bertanya-tanya berapa usiaku.

. . .

Page 7: Warm Bodies bab 1

7

Kota tempat kami melakukan perburuan untungnya dekat.

Kami tiba sekitar tengah hari keesokan harinya dan mulai

mencari daging. Rasa lapar yang baru ini sungguh aneh.

Kami tidak merasakannya di perut kami—sebagian dari

kami bahkan tidak punya perut. Kami merasakannya di

semua tempat secara merata, suatu sensasi ambles, melesak,

seolah sel-sel kami mengempis. Musim dingin lalu, ketika

begitu banyak Kaum Hidup bergabung dengan Kaum Mati

dan mangsa kami menjadi langka, aku melihat beberapa

temanku akhirnya purnamati. Transisi itu tidak dramatis.

Mereka hanya melambat, lalu berhenti, dan setelah beberapa

saat aku sadar mereka sudah menjadi mayat. Mula-mula

itu menggelisahkanku, tapi tata krama melarang kami

memperhatikan bila salah satu dari kami mati. Aku

mengalihkan pikiranku dengan mengerang.

Kurasa dunia sebagian besar sudah berakhir karena

kota-kota yang kami jelajahi busuk seperti kami.

Bangunan-bangunan ambruk. Mobil berkarat menyumbati

jalan. Sebagian besar kaca pecah, dan angin yang mengalir

menembus gedung-gedung tinggi yang kosong merintih

seperti binatang yang ditinggalkan untuk mati. Aku

tidak tahu apa yang sudah terjadi. Penyakit? Perang?

Keruntuhan sosial? Ataukah hanya kami? Kaum Mati

yang menggantikan Kaum Hidup? Kurasa itu tidak begitu

penting. Begitu kau tiba di ujung dunia, hampir tidak

penting rute mana yang kauambil.

Kami mulai mencium bau Kaum Hidup saat kami

mendekati sebuah gedung apartemen bobrok. Bau itu

Page 8: Warm Bodies bab 1

8

bukan bau keringat dan kulit, melainkan letup-letup

energi kehidupan, seperti bau tajam hasil ionisasi kilat

dan lavender. Kami tidak menghidu bau itu dalam hidung

kami. Bau itu menghantam kami lebih ke dalam, di dekat

otak kami, seperti wasabi. Kami berkumpul di gedung itu

dan mendobrak masuk.

Kami mendapati mereka terkumpul di sebuah

apartemen unit kecil dengan jendela-jendela dipalangi

papan. Pakaian mereka lebih buruk daripada pakaian kami.

Mereka berbalut rombengan kotor, dan mereka semua

sangat perlu bercukur. M akan digayuti janggut pirang

pendek sepanjang sisa keberadaan Berdaging-nya, tetapi

semua yang lain dalam rombongan kami berdagu licin.

Ini salah satu bonus kematian, satu hal lagi yang tidak

perlu kami cemaskan. Janggut, rambut, kuku... tidak ada

lagi melawan keadaan biologis. Tubuh liar kami akhirnya

terjinakkan.

Pelan dan kikuk tetapi dengan komitmen yang teguh,

kami meluncurkan diri ke arah Kaum Hidup. Letusan

shotgun mengisi udara berdebu dengan bubuk mesiu dan

darah. Darah hitam memerciki dinding. Hilangnya sebelah

lengan, tungkai, sebagian batang tubuh, ini diabaikan,

ditepiskan. Hanya masalah kosmetis kecil. Tetapi, beberapa

dari kami menerima tembakan di otak, dan kami roboh.

Rupanya masih ada sesuatu yang bernilai dalam spons

kelabu yang layu itu, karena jika kami kehilangan otak,

kami adalah mayat. Zombi-zombi di kiri dan kananku

menghantam lantai dengan suara gedebuk lembap. Tetapi,

Page 9: Warm Bodies bab 1

9

jumlah kami banyak. Kami menang kekuatan. Kami

menyerang Kaum Hidup itu dengan ganas, dan kami makan.

Makan bukan urusan yang menyenangkan. Aku

menggigit dari lengan seorang pria, dan aku benci itu. Aku

benci jeritannya karena aku tidak suka rasa sakit. Aku

tidak suka melukai orang, tetapi inilah dunia sekarang.

Inilah yang kami lakukan. Tentu saja jika aku tidak

melahap habis pria itu, jika aku menyisakan otaknya, dia

akan bangkit dan mengikutiku kembali ke bandara, dan

itu mungkin membuat perasaanku lebih tenang. Aku akan

memperkenalkannya kepada semua zombi, dan mungkin

kami akan berdiri melamun dan mengerang beberapa lama.

Sekarang sudah sukar mengatakan apa arti “teman”, tetapi

itu mungkin mendekati. Jika aku menahan diri, jika aku

menyisakan cukup banyak....

Tetapi, itu tidak kulakukan. Aku tidak sanggup. Seperti

biasa aku langsung menuju bagian yang sedap, bagian

yang membuat kepalaku menyala seperti tabung gambar

di televisi. Aku memakan otaknya, dan selama sekitar tiga

puluh detik, aku memiliki ingatan. Kilasan-kilasan pawai,

parfum, musik... kehidupan. Lalu itu memudar. Aku pun

berdiri, dan kami semua terseok-seok keluar dari kota,

tetap dingin dan kelabu, tetapi merasa sedikit lebih baik.

Bukan “baik”, persisnya, bukan “bahagia”, sudah tentu

bukan “hidup”, tetapi... sedikit tidak terlalu mati. Inilah

hal terbaik yang bisa kami lakukan.

Aku mengekor di belakang kelompok sementara kota

menghilang di belakang kami. Langkah-langkahku agak

Page 10: Warm Bodies bab 1

10

lebih berat daripada langkah yang lain. Ketika aku berhenti

sebentar di sebuah lubang di jalan yang terisi air hujan untuk

membersihkan darah kering dari wajah dan pakaianku,

M berbalik menghampiri dan menepuk pundakku. Dia

mengetahui ketidaksukaanku pada beberapa rutinitas

kami. Dia tahu aku agak lebih peka daripada kebanyakan

zombi. Kadang dia menggodaku, memilin rambut hitamku

yang berantakan menjadi kepangan dan berkata, “Anak

perempuan. Benar-benar... anak perempuan.” Tetapi, dia

tahu kapan harus serius menanggapi kemurunganku.

Dia menepuk bahuku dan hanya menatapku. Wajahnya

sudah tidak mampu lagi menampakkan banyak nuansa

ekspresi, tetapi aku tahu apa yang ingin dia katakan. Aku

mengangguk. Kami pun melanjutkan berjalan.

Aku tidak tahu mengapa kami harus membunuh orang.

Aku tidak tahu apa yang dicapai dengan menggerogoti

leher seorang pria. Aku mencuri apa yang dia miliki untuk

mengganti apa yang tidak kupunya. Dia lenyap, dan aku

tinggal. Inilah hukum yang sederhana namun tak berakal

dan semau-maunya dari legislator gila di langit. Tetapi,

mengikuti hukum ini membuatku tetap mampu melangkah,

jadi kupatuhi semuanya sampai ke yang sekecil-kecilnya.

Aku makan sampai aku berhenti makan, lalu aku makan

lagi.

Bagaimana ini bermula? Bagaimana kami menjadi

seperti diri kami sekarang? Apakah karena semacam

virus misterius? Sinar gama? Suatu kutukan purba? Atau

sesuatu yang lebih absurd lagi? Tidak ada yang banyak

Page 11: Warm Bodies bab 1

11

membicarakan hal itu. Kami di sini, dan seperti inilah

adanya. Kami tidak mengeluh. Kami tidak mengajukan

pertanyaan. Kami mengerjakan urusan kami saja.

Ada sebuah jurang antara diriku dan dunia di

luarku. Sebuah celah yang begitu lebarnya hingga

perasaan-perasaanku tak mampu menyeberanginya. Pada

saat mencapai sisi seberang, teriakanku sudah melemah

menjadi rintihan.

. . .

Di gerbang Kedatangan, kami disambut segerombolan kecil

zombi, yang memandang kami dengan mata atau rongga

mata lapar. Kami menjatuhkan bawaan kami ke lantai:

dua pria yang hampir utuh, beberapa tungkai berdaging,

dan sebuah batang tubuh tanpa tangan dan kaki, semua

masih hangat. Sebut saja itu makanan lebihan. Sebut saja

itu makanan pesan-bawa. Teman-teman kami sesama

Kaum Mati menjatuhkan diri dan berpesta tepat di sana

di lantai seperti binatang. Kehidupan yang tersisa dalam

sel-sel itu akan menghindarkan mereka dari purnamati,

tetapi Kaum Mati yang tidak berburu tidak akan pernah

benar-benar puas. Seperti para pelaut yang kehabisan buah

segar, mereka akan melisut dalam kekurangan itu, lemah

dan selamanya kosong, karena rasa lapar yang baru itu

sebenarnya monster kesepian. Dengan bersungut-sungut dia

menerima daging cokelat dan darah suam-suam kuku itu,

tetapi yang diidamkannya adalah kedekatan, rasa terhubung

Page 12: Warm Bodies bab 1

12

yang muram itu, yang mengalir antara mata mereka dan

mata kami pada saat-saat terakhir itu, seperti semacam

film negatif cinta.

Aku melambai kepada M lalu memisahkan diri dari

kerumunan. Aku sudah lama terbiasa dengan bau menyengat

Kaum Mati, tetapi bau busuk yang naik dari tubuh mereka

hari ini terasa sangat menusuk. Bernapas memang opsional,

tetapi aku perlu udara.

Aku mengeluyur memasuki lorong-lorong penghubung

dan menaiki sabuk berjalan. Aku berdiri di atas sabuk itu

dan mengamati pemandangan bergulir melintasi dinding

kaca. Tidak banyak yang dapat dilihat. Landasan pacu

berubah hijau, ditumbuhi rerumputan dan belukar. Pesawat

jet tergeletak tak bergerak di pelataran beton seperti paus

yang terdampar, putih dan monumental. Moby Dick,

akhirnya tertaklukkan.

Sebelumnya, sewaktu aku masih hidup, aku tidak

mungkin sanggup melakukan ini. Berdiri diam, mengamati

dunia melewatiku, nyaris tidak memikirkan apa-apa. Aku

masih ingat upaya. Aku ingat target dan tenggat, sasaran

dan ambisi. Aku ingat aku punya tujuan, selalu ada di

mana-mana sepanjang waktu. Sekarang aku hanya berdiri

di sini di atas sabuk berjalan, ikut berkelana. Aku sampai

di ujung, berputar, dan kembali di arah sebaliknya. Dunia

telah disuling. Menjadi mati itu mudah.

Setelah beberapa jam melakukan ini, aku melihat

sesosok perempuan di sabuk seberang. Dia tidak terhuyung

atau mengerang seperti sebagian besar dari kami. Kepalanya

Page 13: Warm Bodies bab 1

13

hanya terkulai dari sisi ke sisi. Aku suka cirinya itu,

bahwa dia tidak terhuyung atau mengerang. Aku mengadu

pandang dan terus menatapnya sementara kami mendekat.

Untuk waktu yang singkat kami bersisian, hanya terpisah

beberapa langkah. Kami berpapasan, lalu melanjutkan

bergerak ke ujung ruang yang berlawanan. Kami berbalik

dan saling memandang. Kami menaiki sabuk berjalan lagi.

Kami saling berpapasan lagi. Aku menyeringai, dan dia

balas menyeringai. Pada saat kami berpapasan yang ketiga

kali, listrik bandara mati. Kami berhenti pada posisi sejajar

sempurna. Aku mendesiskan sapaan, dan dia membalas

dengan ringkukan bahunya.

Aku menyukainya. Aku mengulurkan tangan dan

menyentuh rambutnya. Seperti aku, pembusukannya baru

pada tahap awal. Kulitnya pucat dan matanya cekung, tetapi

tidak ada tulang atau organ tubuhnya yang terpampang.

Selaput pelangi matanya bernuansa sangat muda dari warna

kelabu aneh yang dimiliki Kaum Mati, warna campuran

timah dan tembaga itu. Pakaian kuburnya berupa rok

hitam dan blus putih ketat. Aku menduga dia dulunya

seorang resepsionis.

Tersemat di dadanya sebuah lencana nama dari perak.

Dia punya nama.

Aku menatap lekat-lekat lencana itu. Aku mencondong-

kan badan dekat-dekat, menempatkan wajahku hanya

beberapa inci dari dadanya, tetapi itu tidak membantu.

Huruf-huruf itu berpusing dan berbalik dalam pandanganku,

aku tidak bisa menahan agar semuanya diam. Seperti biasa,

Page 14: Warm Bodies bab 1

14

huruf-huruf itu membingungkanku, hanya sederet garis dan

bintik yang tak berarti.

Satu lagi ironi kaum kami menurut M—dari lencana

nama sampai koran, jawaban atas berbagai pertanyaan

kami tertulis di sekeliling kami, dan kami tidak tahu

cara membaca.

Aku menunjuk lencana dan menatap zombi perempuan

itu di mata. “Ini... namamu?”

Dia menatapku tanpa ekspresi.

Aku menunjuk diriku sendiri dan melafalkan sisa

penggalan namaku sendiri. “Rrr.” Lalu aku menunjuk

dirinya lagi.

Pandangannya jatuh ke lantai. Dia menggeleng. Dia

tidak ingat. Dia bahkan tidak memiliki nama satu suku

kata pun, seperti yang M dan aku miliki. Dia bukan

siapa-siapa. Tetapi, tidakkah aku selalu berharap terlalu

banyak? Aku menjangkau dan meraih tangannya. Kami

melangkah di luar sabuk berjalan dengan lengan kami

terentang melintangi pemisah.

Perempuan ini dan aku telah jatuh cinta. Atau yang

tersisa dari cinta.

Aku ingat seperti apa cinta dulu. Ada faktor-faktor

emosi dan biologi yang rumit. Ada ujian-ujian pelik yang

harus dilalui, hubungan yang harus ditempa, pasang dan

surut serta air mata dan angin pusar. Cinta dulu suatu

cobaan, semacam latihan dalam penderitaan, tetapi hidup.

Cinta yang baru ini lebih sederhana. Lebih mudah. Namun

kecil.

Page 15: Warm Bodies bab 1

15

Pacarku tidak banyak bicara. Kami berjalan sepanjang

koridor-koridor bandara yang menggema, sesekali melewati

zombi yang sedang memandang ke luar jendela atau

memandangi dinding. Aku berusaha memikirkan hal-hal

untuk diucapkan, tetapi tidak satu pun muncul. Kalaupun

ada yang muncul, aku mungkin tidak bisa mengucapkannya.

Inilah rintangan terbesarku, yang terbesar dari semua

bongkah batu besar yang menyeraki jalanku. Dalam

benakku aku fasih, aku mampu mendaki perancah kata

yang menjelimet untuk mencapai langit-langit katedral

tertinggi dan melukiskan pikiran-pikiranku. Tetapi, saat

aku membuka mulut, semuanya runtuh. Sejauh ini rekor

pribadiku adalah lima suku kata yang bergulir sebelum

suatu... hal... mengganjal. Padahal aku mungkin zombi

paling cerewet di bandara ini.

Aku tidak tahu mengapa kami tidak berbicara. Aku

tidak dapat menjelaskan keheningan menyesakkan yang

menggantung di atas dunia kami, memutus kami satu

dari yang lain seperti kaca pembatas di ruang kunjungan

penjara. Kata depan terasa menyakitkan, kata sandang

sangat sulit, kata sifat menjadi prestasi liar yang terlalu

tinggi. Apakah kebisuan ini suatu cacat fisik yang nyata?

Salah satu dari banyak gejala Kaum Mati? Atau apakah

kami hanya tidak punya apa-apa lagi untuk dikatakan?

Aku berusaha bercakap-cakap dengan pacarku, menguji

beberapa frasa kikuk dan pertanyaan dangkal, mencoba

mendapatkan suatu reaksi darinya, sentakan pikiran apa

saja. Tetapi, dia hanya menatapku seolah aku aneh.

Page 16: Warm Bodies bab 1

16

Kami melayap beberapa jam, tanpa arah, lalu dia

menggenggam tanganku dan mulai menuntunku ke suatu

tempat. Kami melangkah tersandung-sandung menuruni

eskalator yang berhenti dan keluar menuju landasan pacu.

Aku mendesah letih.

Dia mengajakku ke gereja.

Kaum Mati telah membangun sebuah tempat suci di

landasan pacu. Pada suatu saat di masa lalu yang jauh,

ada yang mendorong semua truk bertangga dan menyusun

menjadi lingkaran, membentuk semacam amfiteater.

Kami berkumpul di sini, kami berdiri di sini, kami

mengangkat lengan kami dan mengerang. Para Tulang

tua menggoyang-goyangkan kaki dan tangan mereka yang

tinggal tulang di lingkaran tengah, menyerukan khotbah

kering tanpa kata dengan suara parau dari balik seringai

penuh gigi. Aku tidak mengerti apa ini. Kurasa tak satu

pun dari kami mengerti. Tetapi, inilah satu-satunya waktu

kami bersedia berkumpul di bawah langit terbuka. Mulut

kosmos yang sangat luas itu, dengan gunung-gunung jauh

seperti geligi pada tengkorak Tuhan, menguap lebar untuk

melahap kami. Untuk menelan kami ke tempat yang

mungkin memang tempat kami.

Pacarku tampaknya jauh lebih saleh daripada aku.

Dia memejamkan mata dan mengayunkan lengannya

dengan cara yang hampir kelihatan tulus. Aku berdiri

di sebelahnya dan mengangkat kedua tanganku dengan

kaku. Karena suatu isyarat yang tak diketahui, mungkin

terpikat oleh semangat pacarku, para Tulang menghentikan

Page 17: Warm Bodies bab 1

17

khotbah mereka dan memandangi kami. Salah satu

dari mereka maju ke depan, menaiki tangga kami, dan

meraih pergelangan tangan kami. Dia menuntun kami

turun memasuki lingkaran dan mengangkat tangan kami

dalam genggamannya yang bercakar. Dia mengeluarkan

semacam raungan, sebuah suara yang tidak wajar seperti

ledakan udara dari terompet berburu yang rusak, nyaring

mengejutkan, menakutkan burung-burung hingga terbang

meninggalkan pepohonan.

Jemaat bergumam menjawab, dan selesailah sudah.

Kami sudah menikah.

Kami kembali ke tempat duduk tangga. Kebaktian

dilanjutkan. Istri baruku memejamkan mata dan mengayun-

kan lengannya.

Hari sesudah pernikahan kami, kami mempunyai anak.

Sekelompok kecil Tulang menghentikan kami di aula dan

menyerahkan anak-anak itu kepada kami. Bocah lelaki

dan bocah perempuan, keduanya sekitar enam tahun. Yang

lelaki berambut pirang ikal, dengan kulit kelabu dan mata

kelabu, mungkin dulunya Kaukasoid. Yang perempuan lebih

gelap, dengan rambut hitam dan kulit cokelat keabuan,

bayang-bayang gelap melingkari matanya yang berwarna

baja. Dia mungkin tadinya Arab. Para Tulang mendorong

mereka maju dan mereka memberi kami senyum ragu, lalu

memeluk kaki kami. Aku menepuk mereka di kepala dan

menanyakan nama mereka, tetapi mereka tidak punya nama.

Aku mendesah, lalu istriku dan aku meneruskan berjalan,

bergenggaman tangan dengan anak-anak baru kami.

Page 18: Warm Bodies bab 1

18

Aku tidak benar-benar mengharapkan ini. Ini tanggung

jawab besar. Kaum Mati yang masih kecil tidak memiliki

naluri makan alami seperti yang dewasa. Mereka harus

dirawat dan dilatih, dan mereka tidak akan pernah tumbuh.

Dikerdilkan oleh kutukan kami, mereka akan tetap kecil

dan membusuk, lalu menjadi kerangka kecil, bergerak tetapi

kosong. Otak mereka berkelotak kaku dalam tengkorak

mereka, mengulang rutinitas dan ritual sampai suatu hari,

aku hanya bisa berasumsi, tulang-tulang itu sendiri akan

terurai, dan begitu saja mereka tiada.

Lihat mereka. Perhatikan mereka sementara aku dan

istriku melepaskan tangan mereka dan mereka berkeliaran

ke luar untuk bermain. Mereka saling menggoda dan

meringis. Mereka bermain dengan benda yang bahkan bukan

mainan: staples, cangkir, dan kalkulator. Mereka terkikik

dan tertawa, meski suara itu terdengar tercekik melalui

tenggorokan kering mereka. Kami sudah menggelantang

otak mereka, merampok napas mereka, tetapi mereka tetap

bergelantung di tubir karang. Mereka menolak kutukan

kami selama mereka bisa.

Aku memperhatikan mereka menghilang memasuki

cahaya siang yang pucat di ujung aula. Jauh di dalam diriku,

di sebuah ruang yang gelap bersawang, aku merasakan

sesuatu berdenyut.

*

Page 19: Warm Bodies bab 1

19

2

Sudah waktunya makan lagi.

Aku tidak tahu sudah berapa lama sejak perburuan

terakhir kami, mungkin hanya beberapa hari, tetapi

aku merasakannya. Aku merasakan listrik di kaki dan

tanganku mendesis, melemah. Aku terus melihat imaji-imaji

darah yang tak kunjung henti dalam benakku, warna

merah kesumba yang memukau itu, mengalir melalui

jaringan-jaringan merah muda cerah dalam jala-jala yang

rumit dan bentuk-bentuk lukisan Pollock, berdenyut dan

bergetar dengan kehidupan.

Aku menemukan M di pujasera sedang berbicara dengan

beberapa gadis. M agak berbeda denganku. Dia benar-benar

tampak menikmati kehadiran wanita, dan kosakatanya yang

di atas rata-rata memikat mereka seperti ikan karper yang

Page 20: Warm Bodies bab 1

20

terpesona, tetapi M menjaga jarak. Dia meremehkan mereka.

Para Tulang pernah mencoba menjodohkannya dengan

seorang istri, tetapi dia hanya melenggang pergi. Kadang aku

ingin tahu apakah M memiliki filosofi tertentu. Mungkin

bahkan pandangan hidup. Aku ingin duduk bersamanya

dan mencomot otaknya, segigit kecil saja di suatu tempat

di lobus depan untuk mencicipi pikiran-pikirannya. Tetapi,

dia terlalu tangguh untuk bisa serapuh itu.

“Kota,” kataku, sambil meletakkan satu tangan di

perut. “Makanan.”

Gadis-gadis yang sedang berbicara dengannya

menatapku dan pergi dengan langkah terseret. Aku sadar

aku membuat sebagian orang gugup meski aku tidak tahu

mengapa.

“Baru... makan,” ujar M, merengut sedikit kepadaku.

“Dua hari... lalu.”

Aku mencengkam perutku lagi. “Rasanya kosong.

Rasanya... mati.”

M mengangguk. “Perka...winan.”

Aku memelototinya. Aku menggeleng dan mencengkeram

perutku lebih keras. “Perlu. Panggil... yang lain.”

Dia mendesah dan berjalan keluar, menabrakku keras

sewaktu melewatiku, tetapi aku tidak yakin itu disengaja.

Dia, bagaimanapun, zombi.

Dia berhasil menemukan beberapa lainnya yang

bernafsu makan, dan kami membentuk kelompok kecil.

Kecil sekali. Kecil yang tidak aman. Tetapi, aku tidak

peduli. Aku tidak ingat pernah merasa selapar ini.