10
PENDAHULUAN Keberhasilan resusitasi jantung - paru yang ditandai dengan kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ROSC) yaitu terabanya nadi karotis, yang sebenarnya adalah langkah awal dari tujuan pengelolaan secara menyeluruh pada pasien henti jantung. Pengelolaan pasca henti jantung dilaporkan dapat menurunkan mortalitas akibat tidak stabilnya hemodinamik, bahkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat gagal multi organ dan brain injury.1 Setelah ROSC, neuro-neuron syaraf yang cedera ada yang menjadi pulih kembali tetapi ada pula yang mengalami kematian oleh karena apoptosis atau lisis. Aktivitas listrik di otak dapat kembali normal, terganggu atau bahkan tidak kembali sama sekali dalam beberapa jam sampai beberapa hari, sehingga kondisi ini harus diperhatikan pada saat transportasi dari tempat pasien mengalami henti jantung ke tempat rujukan karena kondisi otak yang masih sangat rentan. Gangguan homeostasis yang terjadi meliputi hipotensi, gangguan oksigenasi dan ventilasi, kejang dan demam yang dapat mengakibatkan keluaran neurologik yang lebih buruk. Keadaan ini disebut sindrom pasca henti jantung/post-cardiac arrest Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Fatmawati Jl. Fatmawati, Jakarta Selatan Korespondensi: [email protected] syndrome yang terdiri atas cedera otak, respons reperfusi/iskemia sistemik, disfungsi miokard dan patologi penyebab henti jantung yang menetap.2,3,4,5. (Tabel 1) Dari beberapa pasien yang hidup kemudian dirawat di intensive care unit (ICU) tetapi kemudian akhirnya meniggal di rumah sakit (RS), dilaporkan cedera otak merupakan penyebab kematian pada 68% pasien yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit dan 23% pada pasien yang mengalami henti jantung di RS. Cedera otak pasca henti jantung dapat diperberat oleh adanya gagal mikrosirkulasi, gangguan autoregulasi, hiperkarbia, hiperoksia, pireksia, hiperglikemia dan kejang. Reperfusi/ iskemia global pada henti jantung akan mengaktifkan sistem immun dan koagulasi yang keduanya berperan terhadap terjadinya gagal multi organ dan meningkatkan risiko infeksi. Dengan demikian sindrom pasca henti jantung mempunyai gambaran seperti sepsis, yaitu penurunan volume intravaskular dan vasodilatasi.2,6,7,8,9 Derajat keparahan sindrom ini akan bervariasi tergantung lama dan penyebab henti jantung, dan tidak akan terjadi pada henti jantung yang singkat. TUJUAN PENGELOLAAN PASIEN PASCA HENTI JANTUNG

xx4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anes

Citation preview

Page 1: xx4

PENDAHULUAN

Keberhasilan resusitasi jantung - paru yang ditandai dengan kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ROSC) yaitu terabanya nadi karotis, yang sebenarnya adalah langkah awal dari tujuan pengelolaan secara menyeluruh pada pasien henti jantung. Pengelolaan pasca henti jantung dilaporkan dapat menurunkan mortalitas akibat tidak stabilnya hemodinamik, bahkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat gagal multi organ dan brain injury.1

Setelah ROSC, neuro-neuron syaraf yang cedera ada yang menjadi pulih kembali tetapi ada pula yang mengalami kematian oleh karena apoptosis atau lisis. Aktivitas listrik di otak dapat kembali normal, terganggu atau bahkan tidak kembali sama sekali dalam beberapa jam sampai beberapa hari, sehingga kondisi ini harus diperhatikan pada saat transportasi dari tempat pasien mengalami henti jantung ke tempat rujukan karena kondisi otak yang masih sangat rentan. Gangguan homeostasis yang terjadi meliputi hipotensi, gangguan oksigenasi dan ventilasi, kejang dan demam yang dapat mengakibatkan keluaran neurologik yang lebih buruk. Keadaan ini disebut sindrom pasca henti jantung/post-cardiac arrest

Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Fatmawati Jl. Fatmawati, Jakarta Selatan Korespondensi: [email protected]

syndrome yang terdiri atas cedera otak, respons reperfusi/iskemia sistemik, disfungsi miokard dan patologi penyebab henti jantung yang menetap.2,3,4,5. (Tabel 1)

Dari beberapa pasien yang hidup kemudian dirawat di intensive care unit (ICU) tetapi kemudian akhirnya meniggal di rumah sakit (RS), dilaporkan cedera otak merupakan penyebab kematian pada 68% pasien yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit dan 23% pada pasien yang mengalami henti jantung di RS. Cedera otak pasca henti jantung dapat diperberat oleh adanya gagal mikrosirkulasi, gangguan autoregulasi, hiperkarbia, hiperoksia, pireksia, hiperglikemia dan kejang. Reperfusi/ iskemia global pada henti jantung akan mengaktifkan sistem immun dan koagulasi yang keduanya berperan terhadap terjadinya gagal multi organ dan meningkatkan risiko infeksi. Dengan demikian sindrom pasca henti jantung mempunyai gambaran seperti sepsis, yaitu penurunan volume intravaskular dan vasodilatasi.2,6,7,8,9 Derajat keparahan sindrom ini akan bervariasi tergantung lama dan penyebab henti jantung, dan tidak akan terjadi pada henti jantung yang singkat.

TUJUAN PENGELOLAAN PASIEN PASCA HENTI JANTUNG

Menurut 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care, tujuan pengelolaan dibagi dua yaitu tujuan awal dan lanjut.2

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Pasien Pasca Henti Jantung di Intensive Care Unit

Andi Wahyuningsih Attas

94

Majalah Kedokteran Terapi Intensif

Tabel 1. Komponen-komponen sindrom pasca henti jantung4

Andi Wahyuningsih Attas

Cedera otak

Strok Disfungsi miokard

Iskemia sistemik/ respons reperfusi

Penyebab henti jantung yang menetap

Patofisiologi

Reactive oxygen species Oksidasi protein Perioksidasi lipid Gangguan otoregulasi

Page 2: xx4

Serebrovaskular Udem otak

Cedera langsung akibat tindakan RJP dan defibrilasi Peningkatan katekolamin Radikal bebas oksigen Sindrom koroner akut

Mediator inflamasi, sitokain Gangguan koagulasi

Pembentukan radikal bebas oksigen Disfungsi adrenal Peningkatan kerentanan terhadap infeksi

SKA PPOK, asma Strok Emboli paru Sepsis Hipovolemia Perdarahan Overdosis obat

Manifestasi klinis

Koma Kejang

Kondisi vegetatif yang menetap

Mati otak

Hipotensi Disritmia

Hipokinesis global Kolaps sirkulasi

Hipovolemia Hipotensi Kolaps sirkulasi

Gagal multiorgan

Sesuai penyebab

Pengelolaan

Terapi hipotermi Optimasi hemodinamik Terapi kejang Pengendalian ventilasi

dan oksigenasi

Revaskularisasi dini Optimasi hemodinamik Bantuan mekanik dengan IABP, LVAD, ECMO

Optimasi hemodinamik Pengendalian suhu

Terapi spesifik penyebab

Keterangan: RJP: resusitasi jantung paru , IABP: intra aortic baloon pump, LVDA: left ventricular assist device, ECMO: extracorporeal membrane oxygenation, SKA:sindrom koroner akut, PPOK: penyakit paru obstruksi kronik.

Tujuan awal

Mengoptimalkan fungsi kardiopulmoner dan perfusi organ vital

Pada henti jantung di luar rumah sakit, transpor pasien ke rumah sakit yang tepat ddan mempunyai fasilitas sistem pengelolaan pasca henti jantung yang menyeluruh yaitu intervensi koroner akut, pengelo- laan neurologi, goal-directed critical care, and hipo- termia

Transpor pasien henti jantung di rumah sakit yaitu ke critical care unit yang tepat dan mampu memberikan pengelolan pasca henti jantung yang menyeluruh.

Melakukan identifikasi dan memberikan terapi pe- nyebab henti jantung dan mencegah henti jantung berulang.

Tujuan lanjut

Mengedalikan suhu tubuh untuk mengoptimalkan kesintasan dan pemulihan neurologik

Mengidentifikasi dan melakukan terapi sindrom ko- roner akut

• Mengoptimalkan ventilasi mekanik dengan memini- malkan cedera paru

• Mengurangi risiko gagal multiorgan dan mendukung fungsi organ-organ bila dibutuhkan

Page 3: xx4

• Menilai secara obyektif prognosis untuk pemulihan • Membantu pasien yang hidup dengan pelayanan re-

habilitasi bila diperlukan

PENGOLAAN OkSIGENASI DAN vENTILASI

Hipoksemia dan hiperkarbia akan dapat menyebabkan henti jantung berulang dan berperan mengakibatkan cedera otak sekunder. Pada umumnya setelah ROSC pasien akan diberikan oksigen 100% dengan atau tanpa intubasi endotrakheal. Namun demikian, beberapa percobaan binatang menunjukan bahwa hiperoksemia dapat menimbulkan oxidative stress dan membahayakan neuron pasca iskhemik5,10.

Kilgannon dkk meneliti 6000 pasien dengan ROSC pasca henti jantung dan dalam keadaan

Volume 2 Nomor 2 April 2012

95

hiperoksia yaitu PaO2 lebih dari 300mmHg mempunyai keluaran yang lebih buruk dibandingkan pasien-pasien yang mempunyai nilai PaO2 antara 60 dan 300mmHg. Dilaporkan bahwa hiperoksemia mempunyai keluaran yang lebih buruk dibandingkan dengan hipoksemia dan normoksemia11. Panduan AHA mengajurkan pemberian fraksi oksigen inspirasi ditritrasi deng memlihara satorasi oksiken arteri (SaO2) lebih dari 94% dan PaO2 sekitar 100 mmHg.2

Inisiasi bantuan ventilasi mekanik dianjurkan dengan volume ventilation dengan volume tidal 6-8 mL/kg predicted body weight, laju napas 10-14 kali/ menit dengan memlihara Pa CO2 35-40 mmHg, atau lebih baik dipantau dengan alat capnometer untuk memelihara end tidal CO2 dalam batas normal. Oleh karena pasien-pasien pasca henti jantung mempunyai risiko terjadinya acute respiratory distress syndrome, dan menghindari terjadinya ventilator-induced lung injury maka plateau pressure dijaga kurang atau sama dengan 30 cmH2O.12,13

OPTImASI HEmODINAmIk

Pengelolaan hemodinamik diutamakan dengan perbaikan volume intravaskular, menjaga tekanan perfusi adekwat, mengoptimalkan pasokan oksigen, mengidentifikasi dan mengobati penyebab henti jantung. Seperti misalnya, bila penyebab henti jantung adalah sepsis, maka early goal-directed therapy (EGDT) menurut Rivers harus dilakukan sebagai metode resusitasi hemodinamik.

Pada sindrom pasca henti jantung akan terjadi hipovolemi akibat peningkatan permiabilitas kapiler, oleh karena itu resusitasi cairan dengan kristaloid dapat dimulai. Target tekanan vena sentral (central venous pressure/CVP) dilaporkan tidak dapat menilai status volume bila emboli paru, tension pneumothraks, tamponade jantung atau infark miokard kanan sebagai penyebab henti jantung. Akhir-akhir ini metode untuk menilai kecukupan volume intravaskular adalah perubahan diameter vena cava inferior yang dinilai dengan ultrasonografi, pulse pressure variation atau systolic pressure variation. Namun demikian,keluaran urin lebih dari 1 ml/kg berat badan/ jam dapat merupakan target resusitasi.2,14

Tekanan perfusi yang adekwat dapat dicapai bila tekanan arteri rerata (mean artery pressure/MAP) kisaran 90-100 mmHg. Pada nilai MAP ini dilaporkan dapat menjaga perfusi serebral dan pasokan oksigen adekwat, sedangkan bila MAP lebih dari 100 mmHg akan mempunyai efek merugikan.15 Untuk menilai

kecukupan pasokan oksigen ke jaringan dapat diperiksa kadar laktat darah dan saturasi oksigen vena sentral (ScvO2).16

Apabila dengan resusitasi cairan, pemberian obat vasopresor dan inotropik gagal dalam menjaga tekanan perfusi dan pasokan oksigen, maka bantuan mekanik hemodinamik dapat dipertimbangkan seperti pemasangan intra-aortic balloon pump (IABP) atau left ventricular assist device (LVAD), meskipun alat- alat ini tidak dianjurkan digunakan secara rutin.2

Page 4: xx4

Seperti diketahui pasien pasca henti jantung dengan STEMI harus dilakukan angiography koroner dini dan percutaneus coronary intervention (PCI) oleh karena nyeri dada dan/atau elevasi ST merupakan prediktor lemah adanya sumbatan koroner akut pada pasien seperti ini, maka intervensi harus dipertimbangkan pada semua pasien pasca henti jantung yang disebabkan penyakit jantung koroner.2,3

PENGENDALIAN SUHU

Terapi hipotermi

Penelitian-penelitian pada binatang dan manusia

menunjukan bahwa hipotermi ringan merupakan

neuroproteksi dan memperbaiki keluaran setelah

suatu periode iskhemia-hipoksia serebral global.

Hipotermi menurunkan kecepatan metabolisme

oksigen serebral sekitar 6% setiap penurunan

suhu sebesar 1oC. Sebagian besar penelitian terapi

hipotermi pasca henti jantung karena ventricular

fibrilation (VF) menggunakan pasien dengan

kesadaran koma.Satu penelitian prospektif pada

pasien- pasien henti jantung non VF yang dilakukan

induksi hipotermi yang dimulai sebelum pasien

dirujuk ke rumah sakit dan dilanjutkan di rumah

sakit rujukan. Infusi 2000ml ringer laktat dingin

dapat mengurangi waktu untuk mencapai suhu pusat

< 34°C setelah tiba di rumah sakit dan memperbaiki

keluaran rumah sakit. Pasien yang diberikan terapi

hipertermi suhunya harus dapat diturunkan secepat

mungkin. Hasil penelitian prospektif menunjukan

waktu terbaik dlakukan hipotermi adalah antara 2-8

jam setelah ROSC, dengan target suhu antara 32 - 34° C.2,17,18,19

Terapi hipotermi dibagi menjadi 3 fase yaitu induksi, pemeliharaan dan penghangatan. Fase induksi dapat dilakukan dengan cara eksternal dan internal. Pemberian infus 30ml/kg BB NaCl 0,9% atau Ringer laktat yang bersuhu 4°C akan menurunkan suhu inti sekitar 1,5°C. Sebagai tambahan pemberian infus dingin adalah teknik surface cooling yaitu meletakkan bongkahan es atau handuk dingin

96

Majalah Kedokteran Terapi Intensif

atau selimut dingin pada lipat paha, ketiak, kepala dan leher. Pemberian cairan dingin melalui pipa nasogastrik juga dapat dilakukan. Pemantauan suhu inti yang paling sederhana yaitu suhu rektal dapat dilakukan selama induksi terapi hipotermi ini.2,17

Pasien menggigil merupakan efek samping yang tidak diinginkan pada saat mencapai suhu target. Obat – obat yang dapat diberikan untuk mengatasi menggigil adalah propofol, fentanyl, petidin dan

Page 5: xx4

dexmedetomidine. Setelah suhu target 32-34°C tercapai maka fase kedua yaitu fase pemeliharaan dimulai dan dipertahankan selama 12 sampai 24 jam. Infusi dingin dapat dihentikan, dan hanya dilakukan pemeliharaan suhu dengan bongkahan es dan selimut/handuk dingin. Setelah 12-24 jam hipotermi, mulai dilakukan fase ketiga yaitu penghangatan. Penghangatan yang dilakukan dengan kecepatan 0,25 °C sampai 0,5°C per jam. 2,17,18,19

Fase hipotermi ke normotermia dapat berpengaruh terhadap hemodinamik, metabolisme, kadar elektrolit, dan efek obat. Selama terapi hipotermi, pemantauan dan optimasi oksigenasi, ventilasi dan hemodinamik tetap dilakukan.18,20

Komplikasi terapi hipotermi adalah bradikardia, peningkatan systemic vascular resistance, dan penurunan curah jantung. Pendinginan dapat mengakibatkan diuresis berlebihan sehingga mengakibatkan gangguan keseimbangan elektrolit seperti hipokalemia, hipomagnesium, hipokalsemia, dan hipofosfatemia, kecuali itu dapat mengakibatkan resistensi insulin dan gangguan koagulopati.18,20,21,22

Terapi hiperpireksi

Hipertermi dapat terjadi pada 48 jam pertama pasca henti jantung. Suhu > 37,6°C akan meningkatkan keluaran neurologik yang buruk pada pasien-pasien pasca henti jantung.23 Bila hipertermi terjadi selama fase penghangatan terapi hipertemi, maka pasien harus dipantau dengan ketat dan suhu diturunkan dengan segera.

PENGENDALIAN kADAr GULA DArAH

Banyak dilaporkan adanya hubungan antara kadar gula darah tinggi pasca henti jantung dengan keluaran neurologik yang buruk.2,21 Terapi hipotermi dapat pula mengakibatkan resistensi insulin sehingga kadar gula darah meningkat, oleh sebab itu maka kadar gula darah dijaga dengan kisaran 150 sampai < 180 mg/dL, dengan infuse insulin dan pemantauan kadar gula darah tiap 1-2jam agar tidak terjadi hipoglikemia.

Volume 2 Nomor 2 April 2012

PENGENDALIAN kEJANG

Kejang atau mioklonus atau keduanya terjadi 5-15% pasien dewasa setelah ROSC dan terjadi pada 10-40% pasien yang tetap koma. Kejang akan meningkatkan metabolisme serebral sampai 3 kali dan dapat memperburuk cedera otak; sehingga harus diterapi secepatnya dan seefektif mungkin dengan benzodiazepin, phenytoin, barbiturat atau propofol.23 Tidak ada penelitian yang mendukung diberikannya profilaksis obat anti kejang pada pasien dewasa pasca henti jantung.2

kESImPULAN

Pengelolaan pasien pasca henti jantung di ICU terutama ditujukan untuk mengatasi sindrom pasca henti jantung. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai parameter-parameter target oksigenasi, ventilasi, hemodinamik, dan segera melakukan terapi hipotermik dan merencanakan tindakan PCI dini dapat memperbaiki keluaran fungsi neurologik dan menurunkan angka kematian.

DAFTAr PUSTAkA

1. Neumar RW, Nolan JP, Adrie C etal. Post-cardiac arrest syndrome: epidemiology, pathophysiol- ogy, treatment, and prognostication. Circulation 2008:118;2452-2483

2. Peberdy MA, Callaway CW, etal. Part 9: post-car- diac arrest care: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;22:S768-86

3. Kilgannon JH, Roberts BW, Reihl LR etal. Early arterial hypotensin is common in the post-cardiac arrest syndrome and associated with increased in- hospital mortality. Resuscitation 2008;79:410-416

Page 6: xx4

4. Tezeciak S, Jones AE, Kilgannon JH, etal. Sig- nificance of arterial hypotension after resuscitation from cardiac arrest. Crit Care Med 2009; 37:2895- 903

5. Bellomo R, Bailey M, Eastwood CM etal. Arterial hyperoxia and in-hospital mortality after resuscita- tion from cardiac arrest. Crit Care 2011;15:R90

6. Rech TH, Vieira SR, Nagel F, Brauner JS etal. Se- rum neuron specific enolase as early predictor of outcome after in-hospital cardiac arrest. Crit Care 2006:10:R133

7. Prohl J, Rother J, Kluge S, de Heer G, Liepert J. Etal. Prediction of short-term and long-term out- comes after cardiac arrest: a prospective multi- variate approach combining biochemical, clinical, electrophysiological, and neuropsychological in- vestigations. Crit Care Med 2007;35:1230-1237.

8. Trzeciak S, Jones AE, Kligannon JH etal. Signifi- 97

Andi Wahyuningsih Attas

cance of arterial hypotension after resuscitation from cardiac arrest. Crit Care Med 2009;37:2895- 2904

9. Morimoto Y, Kemmotsu O, Kitami K etal. Acute brain swelling after out-of hospital cardiac ar- rest: pathogenesis and outcome. Crit Care Med 1993;21:104_10

10. Kuisma M, Boyd J, Voipio V etal. Comparison of 30 and the 100% inspired oxygen concentrations dur- ing early post-resuscitation period: a randomized controlled pilot study. Resuscitation 2006;69:199- 206

11. Kilgannon JH, Jones AE, Shapiro NI tal. Associa- tion between arterial hyperoxia following resusci- tation from cardiac arrest and in-hospital mortality. JAMA 2010;303:2165-6167

12. Curley G, Kavanagh BP, Laffey JG. Hypocapnia and the injured brain: more harm than benefit. Crit Care Med 2010;38:1348-59

13. The Acute Respiratory Distress Syndrome Net- work. Ventilation with Lower Tidal Volumes as Compared with Traditional Tidal Volume for Acute Lung Injury and the Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl J Med 2000;342:1301-1308

14. Rivers E, Nguyen B, Havstad S etal. Early Goal- Directed Therapy in the Treatment of Severe Sepsis and Septic Shock. N Engl J Med 2001; 345:1368- 1377

15. Mullner M, Sterz F, Binder M, etal. Arterial blood pressure after human cardiac arrest and neurologi- cal recovery. Stroke 1996;27:59-62

16. Jones AE, Shapiro NI, Trzeciak S etal. Lactate clearance vs central venous oxygen saturation as

17.

18.

19.

20.

21. 22.

23. 24.

goals of early sepsis therapy: a randomized clinical trial. JAMA 2010;303:739-46. Larsson IM, Wallin E, Rubeertson S. Cold saline infusion and ice packs alone are effective in induc- ing and maintaining therapeutic hypothermia after cardiac arrest. Resuscitation, 2010;81:15-19

Spiel AO, Klegel A, Janata A etal. Hemostasis in cardiac arrest patients treated with mild hy- pothermia induced by cold fluids. Resuscitation 2009;80:762-765

Page 7: xx4

Bernard SA, Smith K, Cameron P etal. Induction of prehospital therapeutic hypothermia after resus- citation from nonventricular fibrilation cardiac ar- rest. Crit Care Med 2012;40:747-753 Cueni-Villoz N, Alessandro D, Delodder MSN etal. Increased blood glucose variability during therapeutic hypothermia and outcome after cardiac arrest. Crit Care Med 2011;39:2225-2231 Lennmyr F, Molnar M, Samar B, Wiklund L. Cere- bral effects of hyperglycemia in experimental car- diac arrest. Crit Care Med 2010;38:1726-1732 Tainen M, Parikka, J Makijarvi MA etal. Arrhyt- mias and heart rate variability during and after therapeutic hypothermia for cardiac arrest. Crit Care Med 2009; 37:403-409

Zeiner A, Holzer M, Sterz F etal. Hyperthermia after cardiac arrest is associated with an unfavor- able neurologic outcome. Arch Intern Med 2011; 161:2007-2012

Che D, Li L, Kopil CM etal. Impact of therapeutic hypothermia onset and duration on survival, neuro- logic function, and neurodegeneration after cardiac arrest. Crit Care Med 2011;39:1423-1430

98

Majalah Kedokteran Terapi Intensif