Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
ii
LAPORAN PENELITIAN
“PERSEPSI MAHASISWA DAN DOSEN PENDIDIK TERHADAP MODEL
PEMBELAJARAN INTERPROFESSIONAL EDUCATION (IPE)”
Marioyono Sedyowinarso
Fitri Arkham Fauziah
Nurita Aryakhiyati
Mawar Putri Julica
Lafi Munira
Endah Sulistyowati
Fatia Nur Masriati
Samuel Josafat Olam
Candrika Dini
Maryam Afifah
Redho Meisudi
Saskia Piscesa
CIMSA | ISMKI | PSMKGI | ILMIKI | IMABI
ISMAFARSI | ISMKMI | ILMAGI
Didukung oleh:
Health Professional Education Quality (HPEQ) Project
Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional RI
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
iii
PERSEPSI MAHASISWA DAN DOSEN PENDIDIK TERHADAP MODEL PEMBELAJARAN INTERPROFESSIONAL EDUCATIO (IPE)
RANGKUMAN
Latar Belakang: Pelayanan kesehatan yang bermutu menjadi tuntutan bagi pemberi pelayanan kesehatan di era global. Pelayanan kesehatan yang bermutu dapat dicapai dengan praktek kolaborasi. Namun pada penerapannya, profesional kesehatan yang paling pandai sekalipun akan kesulitan menerapkan kolaborasi tanpa pelatihan. Bekal tentang kolaborasi dapat diterapkan sejak tahap pendidikan melalui interprofessional education (IPE). Mahasiswa ilmu kesehatan sebagai profesional bidang kesehatan masa mendatang di Indonesia perlu mendapatkan pelatihan kolaborasi melalui IPE. Pengembangan model pembelajaran IPE di tingkat institusi perlu melibatkan peran serta mahasiswa agar kebutuhan dan keinginan belajar mahasiswa sehingga sangat penting untuk mengetahui persepsi mahasiswa terhadap model pembelajaran yang sesuai untuk IPE. Pembelajaran IPE yang berjalan baik diharapkan dapat menghasilkan profesional di bidang kesehatan yang mampu berkolaborasi dengan profesi kesehatan lain, sehingga dapat berperan serta dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Tujuan Penelitian: mengetahui persepsi mahasiswa dan dosen ilmu kesehatan Indonesia terhadap metode pembelajaran IPE. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan Focused Group Discussin (FGD) pada mahasiswa pendidikan tinggi ilmu kesehatan Indonesia dari pendidikan dokter, pendidikan dokter gigi, ilmu keperawatan, kebidanan, farmasi, ilmu gizi, dan kesehatan masyarakat dari institusi pendidikan tinggi ilmu kesehatan yang sekurang-kurangnya memiliki 2 bidang keilmuan kesehatan di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2011. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran persepsi mahasiswa dan dosen pendidikan tinggi ilmu kesehatan Indonesia terhadap metode pembelajaran IPE Kesimpulan: (1) Kompetensi dalam pembelajaran IPE, meliputi kompetensi pengetahuan, ketrampilan, sikap , dan kemampuan kerja tim. (2) Alternatif metode pembelajaran yang mungkin untuk penerapan IPE, adalah metode pembelajaran yang bisa didesign secara komprehensif dan kolaboratif meliputi kuliah, diskusi tutorial, skills laboratorium, field study, KKN, kepaniteraan, praktik klinik. Selain hal tersebut penumbuhan proses belajar bersama bisa dilakukan pada saat orientasi mahasiswa baru dan dalam kegiatan organisasi mahasiswa . (3) Topik yang menarik untuk penerapan IPE, meliputi topik-topik yang memungkinkan untuk mengembangkan kerja tim seperti konsep kolaborasi, masalah kesehatan global, masalah bencana,
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
iv
upaya promotif dan preventif , pelayanan klinis dan komunitas. (4) Penerapan IPE diharapkan suatu proses yang berkesinambungan yang dimulai sejak mahasiswa baru, saat pendidikan tahap akademik dan tahap profesi. (5) Karakteristik dosen ideal dalam memfasilitasi pembelajaran IPE adalah memahami konsep IPE, memahami kompetensi tiap profesi kesehatan, memiliki pengalaman kolaborasi, inovatif, jiwa pemimpin, dan komunikatif. (6) Indikatorkeberhasilan program IPE yaitu adanya bagian khusus coordinator program IPE, standar pencapaian hasil belajar, adanya standar evaluasi, yang dituangkan dalam standaar iput, proses dan output. (7)Persiapan untuk pelakasanaan IPE komitmen antar institusi pendidikan profesi kesehatan, fasilitator yang kompeten dan paham IPE, fasilitas fisik, bagian khusus untuk mengkoordinir program IPE, standar pelaksanaan program IPE, modul pembelajaran dan standar evaluasi program. Hal ini diperkuat dengan adanya kekuatan regulasi dan kekuatan hukum. (8) Hambatan dalam pelaksanaan IPEadalah dari ego masing masing profesi, beragamnya birokrasi dan kurikulum di tiap institusi pendidikan profesi kesehatan, fasilitas fisik dan konsep pembelajaran yang belum jelas, paradigma terhadap profesi kesehatan , kekaburan identitas dan peran masing – masing profesi, belum adanya kejelasan paying hokum tiap profesi kesehatan, serta budaya .
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
v
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Kegiatan : Persepsi Mahasiswa dan Dosen Pendidik Terhadap Model Pembelajaran Interprofessional Educatio (IPE)
2. Bidang Ilmu : Pendidikan Profesi Kesehatan 3. Ketua Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap : Mariyono Sedyowinarso, S.Kp., M.Si b. NIP : 19650811 198803 1 001 c. Alamat / No HP : Sukunan, Banyuraden, Gamping, Sleman
Yogyakarta / 08122969342 d. Alamat email : [email protected]
4. Anggota Pelaksana : 11 orang 1) Fitri Arkham Fauziah, S.Kep. 2) Nurita Aryakhiyati, S.Kep. 3) Mawar Putri Julica, S.Kg. 4) Lafi Munira 5) Endah Sulistyowati 6) Fatia Nur Masriati 7) dr. Samuel Josafat Olam 8) Candrika Dini 9) Maryam Afifah 10) Redho Meisudi 11) Saskia Piscesa
5. waktu pelaksanaan : 5 bulan
Jakarta, 1 Desember 2011 Mengetahui,
Sekretaris Eksekutif Proyek HPEQ-DIKTI
Dr. dr. Arsitawati P. Rahardjo, MA-HM
Ketua Pelaksana
Mariyono Sedyowinarso, S.Kp., M.Si
Menyetujui, Ketua Proyek HPEQ-DIKTI
Dr. Ir. Ilah Sailah M.S.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah kunci untuk mengembangkan dan mengubah metode serta
kualitas pelayanan kesehatan (Majumdar et al., 1998 cit Steinert, 2005).
Interprofessional education (IPE) adalah salah satu konsep pendidikan yang
dicetuskan oleh WHO sebagai pendidikan yang terintegrasi untuk peningkatan
kemampuan kolaborasi. Centre for the Advancement of Interprofessional Education
(CAIPE) (2002) menyebutkan, IPE terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan
belajar bersama, belajar dari profesi kesehatan lain, dan mempelajari peran masing-
masing profesi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan kualitas
pelayanan kesehatan. Menurut Universitas Toronto (2009) IPE bertujuan untuk
menghasilkan mahasiswa profesi kesehatan dengan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang sesuai dengan praktek kolaborasi interprofesional.
Penelitian yang diakukan oleh Larson (1995) dan diperkuat penelitian lebih
lanjut oleh American Association of Colleges of Nursing, pada tahun 1995 ditemukan
bahwa 15% dari institusi pendidikan keperawatan dan kedokteran di Amerika Serikat
berhasil melakukan program interdisiplin yang terdiri dari disiplin ilmu yang berbeda.
Penelitian yang dilakukan Stewart et al. (2010) menujukkan bahwa setelah dilakukan
workshop pendekatan interprofesional pengobatan pediatrik terhadap 48 mahasiswa
kedokteran dan 20 mahasiswa keperawatan terdapat peningkatan pengetahuan dan
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
2
kesadaran tentang keamanan pengobatan dan penyebab-penyebab kesalahan medikasi
pada pediatrik. Mahasiswa melaporkan bahwa belajar membuat resep dan
administrasi obat pada pediatrik akan lebih efektif jika dilakukan bersama profesi
kesehatan dari disiplin ilmu lain dibandingkan dengan hanya dengan satu disiplin
ilmu.
Uraian di atas menjabarkan betapa pentingnya penerapan IPE untuk peningkatan
kemampuan kolaborasi profesional di bidang kesehatan. Untuk itu organisasi
mahasiswa ilmu kesehatan yang terdiri dari Center for Indonesian Medical Students'
Activities (CIMSA), Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI), Ikatan
Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI), Persatuan Mahasiswa
Kedokteran Gigi Indonesia (PSMKGI), Ikatan Mahasiswa Kebidanan (IMABI),
Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI), Ikatan Senat
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI), dan Ikatan Lembaga
Mahasiswa Ilmu Gizi Indonesia (ILMAGI) bersama-sama dengan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
melalui Health Professional Education Quality (HPEQ) Project memandang perlu
untuk melakukan penelitian dan pengkajian lebih jauh tentang IPE pada mahasiswa
dan dosen pengajar ilmu kesehatan di Indonesia. Kajian yang akan dilakukan berupa
pengukuran persepsi dan kesiapan mahasiswa dan dosen pengajar ilmu kesehatan
Indonesia dari tujuh profesi kesehatan terhadap IPE, menggali harapan mahasiswa
dan dosen pengajar ilmu kesehatan Indonesia terhadap metode pembelajaran IPE
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
3
yang memungkinkan untuk diterapkan, serta menilai efektifitas pembelajaran IPE
melalui simulasi.
Kajian IPE pada mahasiswa merupakan bentuk kajian awal yang paling penting
dan paling sering dilakukan di beberapa negara yang telah menerapkan dan mulai
mengembangkan IPE karena mahasiswa merupakan pemangku kepentingan utama
dalam upaya pengembangan dan penerapan IPE mulai dari tingkat institusi. Persepsi
mereka terhadap metode pembelejaran IPE dapat menjadi modal utama untuk
pengembangan IPE.
Penelitian IPE pada mahasiswa dan dosen pengajar di Indonesia sudah mulai
dilakukan di institusi pendidikan tinggi formal yang menyelenggarakan program
pendidikan lebih dari satu program. Penelitian yang dilakukan oleh A’la (2010),
Fauziah (2010), dan Aryakhiyati (2011) tentang persepsi dan kesiapan terhadap IPE
pada mahasiswa dan dosen pengajar Fakultas Kedokteran UGM menunjukkan hasil
yang positif. Mayoritas mahasiswa tahap akademik menunjukkan kesiapan yang baik
terhadap IPE (sebanyak 92,8%) dan sebanyak 86,8% mahasiswa memiliki persepsi
yang baik terhadap IPE (A’la, 2010). Mahasiswa tahap profesi menunjukkan tingkat
kesiapan yang baik terhadap IPE (sebanyak 87,97 %) dan sebanyak 83,46%
menunjukkan mereka berada pada tingkat persepsi yang baik terhadap IPE. Mayoritas
dosen pengajar FK UGM menunjukkan nilai kesiapan terhadap IPE pada kategori
baik (79.45%). Hasil penelitian yang baik di atas semakin disempurnakan dengan
penelitian A’la, et al (2010) yang menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
4
pada sikap mahasiswa terhadap IPE setelah mereka mengikuti simulasi kegiatan
perkuliahan interprofesi.
Untuk melanjutkan usaha pengembangan IPE di Indonesia tersebut, diperlukan
suatu penelitian untuk menjaring persepsi mahasiswa mengenai metode pembelajaran
IPE yang dianggap baik untuk dikembangkan di Indonesia. Penelitian ini diharapkan
dapat menjadi acuan bagi penyusun kurikulum pendidikan ilmu kesehatan baik di
tingkat nasional maupun institusi untuk mengembangkan IPE dalam sistem
pendidikan ilmu kesehatan di Indonesia sehingga kemampuan kolaborasi profesional
di bidang kesehatan dapat meningkat dan dapat berperan dalam memajukan
kesehatan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana
persepsi mahasiswa terhadap metode pembelajaran IPE di Indonesia.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. untuk mengetahui persepsi mahasiswa ilmu kesehatan Indonesia terhadap
metode pembelajaran IPE yang memungkinkan diterapkan pada tahap
pendidkan akademik
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
5
2. untuk mengembangkan model simulasi pembelajaran IPE yang sesuai
dengan harapan mahasiswa serta pengajar ilmu kesehatan Indonesia
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang
pendidikan ilmu kesehatan dengan mengembangkan IPE di dalam pendidikan ilmu
kesehatan.
2. Manfaat praktis
a. Bagi institusi pendidikan
Sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi pengelola untuk mengembangkan
kurikulum IPE dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia
dengan menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mampu berkolaborasi dengan
baik.
b. Bagi mahasiswa
Meningkatkan peran mahasiswa dalam pengembangan pendidikan ilmu
kesehatan di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
1. Penelitian serupa dilakukan oleh Fauziah (2010) yang berjudul Analisis
Gambaran Persepsi dan Kesiapan Mahasiswa Profesi Fakultas Kedokteran UGM
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
6
terhadap Interprofessional Education di tatanan klinik. Jenis penelitian ini adalah
deskriptif eksploratif dengan rancangan cross sectional dan pendekatan kualitatif
dan kuantitatif. Pengambilan data kuamtitatif dengan menggunakan kuisioner
IEPS (Interdiciplinary Education Perception Scale) dan RIPLS (Readiness
Interprofessional Learning Scale). Pengambilan data kualitatif dilakukan dengan
wawancara mendalam. Studi kuantitatif dilakukan terhadap 133 mahasiswa
pendidikan dokter dan ilmu keperawatan tahap pendidikan profesi. Hasilnya 117
(87,97%) mahasiswa memiliki persepsi baik terhadap IPE dan 111 (83,46%)
mahasiswa menunjukkan kesiapan yang baik terhadap IPE.
Penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan sama-sama meneliti
variabel persepsi dan kesiapan. Namun, pada penelitian kali ini pendekatan yang
dilakukan hanya kualitatif melalui Focused Group Discussion. Sampel penelitian
juga memiliki perbedaan, yaitu penelitian ini akan dilakukan pada tujuh profesi
ilmu kesehatan, yaitu kedokteran, kedokteran gigi, ilmu keperawatan, kebidanan,
farmasi, ilmu gizi dan kesehatan masyarakat. Penelitian Fauziah dilakukan hanya
di Fakultas Kedokteran UGM, sedangkan penelitian ini dikerjakan di wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta dan
2. Penelitian serupa dilakukan oleh A’la (2010) yang berjudul Gambaran Persepsi
dan Kesiapan Mahasiswa Tahap Akademik terhadap Interprofessional Education
di Fakultas Kedokteran UGM. Jenis penelitian ini adalah deskriptif eksploratif
dengan rancangan cross sectional dan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
7
Pengambilan data kuantitatif dengan menggunakan kuisioner IEPS dan RIPLS.
Pengambilan data kualitatif dilakukan dengan focus group discussion (FGD).
Penelitian dilakukan terhadap mahasiswa tahap akademik dari pendidikan dokter,
ilmu keperawatan, dan gizi kesehatan. Hasilnya, persepsi terhadap IPE mayoritas
baik yaitu 86,8% dan kesiapan terhadap IPE mayoritas baik sebanyak 92,8%.
Penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan sama-sama dilakukan
di FK UGM, meneliti variabel kesiapan yang sama dan dengan kuisioner yang
sama. Perbedaan terletak pada variable sikap dosen terhadap kerja tim kesehatan
dan sikap dosen terhadap penerapan pembelajaran interprofessional di
lingkungan pendidikan. Sampel yang akan dilakukan oleh peneliti adalah juga
berbeda, sampel penelitian A’la (2010) adalah mahasiswa pendidikan dokter,
ilmu keperawatan dan gizi kesehatan tahap akademik.
3. Penelitian dengan tujuan yang sama dilakukan juga oleh Lindqvist & Reeves
(2007) yang berjudul Facilitator’s perceptions of delivering interprofessional
education: a qualitative study. Penelitian kualitatif ini dilakukan terhadap 13
orang staff pendidik. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara kelompok
(n=5; n=8). Hasilnya, persepsi staff pendidik dinilai baik.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada
pendekatan penelitian yang akan dilakukan, tempat, variable dan kuisioner.
Penelitian kali ini akan dilakukan dengan pendekatan kuantitatif
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
8
4. Curran, et al (2007) telah melakukan penelitian serupa berjudul Attitudes of
health sciences faculty members towards interprofessional teamwork and
education. Penelitian dilakukan terhadap 194 orang staf fakultas kesehatan.
Sebanyak 38% responden berusia 50 – 59 tahun, 53% dilaporkan telah menjalani
profesi kesehatan selama 21 atau lebih, dan 79,7% menyatakan memiliki
pengalaman praktek kolaborasi interprofessional. Hasil penelitian menunjukkan
63,0% staf memiliki sikap baik terhadap pendidikan dan praktek
interprofessional. Pengambilan data kuantitatif dengan menggunakan kuesioner
Attitude toward health care team scale, RIPLS modifikasi, dan kuesioner
pengukuran sikap terhadap pembelajaran interprofesi di lingkungan pendidikan.
Perbedaan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terletak pada tempat
dan responden penelitian. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner RIPLS modifikasi dan kuesioner pengukuran sikap terhadap
pembelajaran interprofesi di lingkungan pendidikan.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Interprofessional Education (IPE)
IPE terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan belajar bersama, belajar
dari profesi kesehatan lain, dan mempelajari peran masing-masing profesi kesehatan
untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan kualitas pelayanan kesehatan
(CAIPE, 2002).
a. Karakteristik Utama Model IPE yang Ideal
Pengembangan model IPE yang ideal harus dimulai dengan persamaan
paradigma bahwa IPE hanyalah langkah awal dari tujuan utama dalam upaya
meningkatkan pelayanan kesehatan yang berpusat pada pasien. Pendekatan
interprofessional akan memfasilitasi dengan lebih baik mahasiswa dari satu disiplin
ilmu untuk belajar dari disiplin ilmu lainnya. Pembelajaran bersama antardisiplin
ilmu dapat meningkatkan keterampilan baru mahasiswa yang akan memperkaya
keterampilan khusus yang dimiliki masing-masing disiplin dan mampu bekerja sama
lebih baik dalam lingkungan tim yang terintegrasi. Selama ini penerapan IPE masih
tidak konsisten, untuk itu harus dibuat sebuah komitmen sehingga pembelajaran
interprofesional dapat diterapkan di institusi pendidikan dan diterapkan dalam
kurikulum pendidikan di semua program pelayanan kesehatan untuk memastikan
keberadaan jangka panjang IPE yang berkelanjutan (ACCP, 2009)
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
10
b. Kompetensi IPE
Tujuan akhir IPE mengharapkan mahasiswa mampu mengembangkan
kompetensi yang diperlukan untuk berkolaborasi. Barr (1998) menjabarkan
kompetensi kolaborasi, yaitu: 1) memahami peran, tanggungjawab dan kompetensi
profesi lain dengan jelas, 2) bekerja dengan profesi lain untuk memecahkan konflik
dalam memutuskan perawatan dan pengobatan pasien, 3) bekerja dengan profesi lain
untuk mengkaji, merencanakan, dan memantau perawatan pasien, 4) menoleransi
perbedaan, kesalahpahaman dan kekurangan profesi lain, 5) memfasilitasi pertemuan
interprofessional, dan 6) memasuki hubungan saling tergantung dengan profesi
kesehatan lain.
ACCP (2009) membagi kompetensi untuk IPE terdiri atas empat bagian
yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kemampuan tim (Tabel 1).
Tabel 1. Kompetensi untuk IPE (ACCP, 2009) No Kompetensi utama IPE Komponen kompetensi IPE 1. Kompetensi pengetahuan Stratgi koordinasi Model berbagi tugas/pengkajian situasi Kebiasaan karakter bekerja dalam tim Pengetahuan terhadap tujuan tim Tanggungjawab tugas spesifik 2. Kompetensi keterampilan Pemantauan kinerja secara bersama-sama Fleksibilitas/penyesuaian Dukungan/perilaku saling mendukung Kepemimpinan tim Pemecahan konflik Umpan balik Komunikasi /pertukaran informasi 3. Kompetensi sikap Orientasi tim (moral) Kemajuan bersama
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
11
Berbagi pandangan/ tujuan
4. Kompetensi kemampuan tim
Kepaduan tim Saling percaya Orientasi bersama Kepentingan bekerja tim
Bagi dosen, kompetensi IPE untuk mengajarkan dan memfasilitasi kelompok
pembelajaran interprofessional mutlak diperlukan. Freeth (2005) mengungkapkan
bahwa staff pendidik harus mengenali dan menyadari potensi pembelajaran dalam
dinamika kelompok interprofessional. Hal ini sangat sesuai dengan dengan tanggung
jawab staff pendidik untuk memberikan kesempatan yang sama demi pembelajaran
individu yang efektif bagi masing-masing anggota kelompok.
Tabel 2. Kompetensi pengajaran IPE (Freeth, 2005) 1. Sebuah komitmen terhadap pembelajaran dan praktek interprofessional 2. Kepercayaan dalam hubungan pada focus tertentu dari pembelajaran
interprofessional di mana staff pendidik berkontribusi 3. Model peran yang positif 4. Pemahaman yang dalam terhadap metode pembelajaran interaktif dan percaya
diri dalam menerapkannya 5. Kepercayaan dan fleksibilitas untuk menggunakan perbedaan profesi secara
kreatif dalam kelompok 6. Menghargai perbedaan dan kontribusi unik dari masing-masing anggota
kelompok 7. Menyesuaikan kebutuhan individu dengan kebutuhan kelompok 8. Meyakinkan dan memiliki selera humor dalam menghadapi kesulitan
c. Sifat belajar mengajar dalam IPE
Freeth (2005) melakukan analisis sifat belajar mengajar dalam IPE yang
sebelumnya telah dijabarkan oleh Brookfiel (1986). Pembelajar dewasa adalah pelajar
yang mempunyai kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Hasil pembelajaran
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
12
mungkin akan lebih positif jika pelajar memilih sendiri tujuan, konten, dan metode
pembelajaran. Hal ini akan menimbulkan tantangan tersendiri bagi staff pengajar IPE.
Peserta didik juga perlu mengidentifikasi apakah kebutuhan belajar mereka sejalan
dengan hasil belajar yang diharapkan dan apakah pendekatan belajar yang mereka
sukai sudah tepat. Ketidak cocokan dapat menimbulkan negosiasi dan memberikan
kesempatan untuk pembelajaran kolaborasi.
Pendidik dan fasilitator perlu menghormati kebutuhan, kepribadian dan
pilihan belajar pelajar dewasa. Dalam IPE, peserta didik dan pendidik dari profesi
yang berbeda harus menerima dan menghargai perbedaan masing-masing dan belajar
dari hal ini.
Pengalaman awal peserta didik adalah hal yang terpenting. Pengalaman
hidup adalah tingkat kedua untuk belajar dan mendefinisikan kebutuhan khusus tiap
individu. Pengalaman hidup profesional, pengaruh mereka pada sikap profesional dan
perilaku menyediakan dasar untuk pertukaran interprofesional. Peserta dapat saling
membandingkan pengalaman dan perspektif masing-masing yang terkadang saling
menantang.
Pembelajaran aktif adalah jantung pembelajaran dewasa. Hal ini berlaku
bagi pembelajaran profesional terutama pembelajaran interprofesional. Pembelajan
aktif berarti perubahan yang hanya terjadi jika sebelumnya sikap dan kepercayaan
terbuka untuk tantangan di tempat yang aman, yaitu lingkungan belajar yang
mendukungan dan saling bekerjasama.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
13
Belajar harus saling terkait. IPE mungkin sengaja diciptakan sebagai
tanggapan terhadap kebutuhan yang dirasakan tim, organisasi, profesi atau seluruh
sistem pemberi pelayanan. Tekanan belajar harus dikurangi sebelum peserta
termotivasi untuk belajar. IPE walaupun dirancang untuk kelompok, pada akhirnya
bertujuan untuk pengembangan masing-masing individu.
d. Pendekatan belajar mengajar dalam IPE
Pendekatan belajar mengajar yang sudah ada disesuaikan dan dikembangkan
sebagai metode balajar baru sebagai penarik perhatian belajar peserta didik dan
inovasi baru dari pengajar. Tidak satu pun metode yang menjadi pilihan utama,
metode pengalaman mengajar dari pengajar dapat berubah sewaktu-waktu tergantung
pada kebutuhan belajar peserta didik dan bagaimana cara pengajar untuk menjaga
perhatian peserta didik terhadap pelajaran. Metode-metode balajar yang ada dapat
saling memperkuat, tidak berdiri sendiri. Pendekatan belajar mengajar yang dapat
diterapkan dalam IPE yaitu exchange-based learning, action-based learning,
practice-based learning, simulation-based learning, observation-based learning, dan
e-based learning.
Exchange-based learning merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
memungkinkan para peserta mengungkapkan perasaan, membandingkan pandangan
pertukaran pengalaman. Debat tentang masalah etika dapat mengekspos nilai yang
mendasari perbedaan antara profesi. Permainan yang memainkan hubungan kerja
antara profesi dan antara organisasi dapat meringankan belajar tetapi tetap berisi
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
14
konten serius. Studi kasus dapat meningkatkan peran aktif peserta dari profesi yang
berbeda untuk memperkenalkan pemahaman yang berbeda dan menyarankan
intervensi berbeda sebagai kelompok kerja terhadap respon kolaboratif.
Action-based learning, atau problem-based learning (PBL), atau enquiry-
based learning (EBL), sejak tahun 1970 telah menjadi rekomendasi WHO sebagai
metode pembelajaran untuk interprofessional. Sistem pembelajaran ini tidak
dirancang untuk menyelesaikan masalah saat ini. Bukti menunjukkan bahwa PBL
mendorong kebebasan, kerja tim, ilmu pengetahuan yang lebih terintegrasi, dan
pembelajaran mendalam (Bligh, 1995). Hughes dan Lucas (1997) menemukan bahwa
PBL efektif dalam mencapai tujuan IPE seperti belajar tentang peran dan
meningkatkan keterampilan komunikasi interprofessional.
Interprofessional practice-based learning mengambil beberapa bentuk
penugasan luar dalam lingkungan kerja profesi lain, pembelajaran terkait untuk
peserta didik secara bersamaan pada penempatan di tempat kerja yang berdekatan,
penempatan bersama di pengaturan yang sama dan tujuan yang dirancang untuk
lingkungan belajar seperti pelatihan bangsal (Reeves dan Freeth, 2002; Ponzer et al.,
2004).
Simulation-based learning dapat menggunakan permainan peran yang
diadaptasi untuk memaparkan hubungan kerja antara profesi, peserta berperan
sebagai klien, pemberi pelayanan atau praktisi dari diri mereka sendiri atau perspektif
profesi lain. Keterampilan laboratoroim dikenalkan dalam pendidikan professional,
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
15
misalnya pada kedokteran dan keperawatan, dalam kondisi ini bisa dikembangkan
penyertaan dua profesi atau lebih dan perspektif interprofessional dalam diagnosis
dan pengobatan. Kehidupan kerja bisa disimulasikan di dalam lingkungan belajar di
mana hubungan tiap-tiap orang, tiap-tiap kelompok, dan tiap-tiap organisasi bisa
ditunjukkan keluar.
Observation-based learning, pelajar secara sederhana diminta untuk
mengamati pertemuan tim multidisiplin dengan menggunakan metode studi
observasional yang lebih canggih.
E-based learning timbul karena adanya peningkatan pengenalan dunia
elektronik, ditambah dengan pembelajaran kesehatan dan profesi kesehatan sehingga
dapat memperbesar peluang penerapan IPE. Penerapan teknologi ini dalam IPE
digunakan untuk melengkapi dan memperkuat pembelajaran tatap muka atau sebagai
penggantinya (Freeth, 2005)
e. Manfaat IPE
Barr, et al (2005) memformulasikan bentuk rantai yang dimodifikasi untuk
mendemonstrasikan seperti apakah pendidikan, yang mengarahkan pada praktek
interprofessional tidak hanya sebagai tempat potensial untuk meredakan stress tapi
juga meningkatkan pelayanan pasien.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
16
Gambar 1. Rantai reaksi (Barr, et al, 2005)
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
17
f. Hambatan IPE
Walaupun IPE telah diterapkan selama beberapa dekade, banyak hambatan
yang telah diidentifikasi. Hambatan ini terdapat dalam berbagai tingkatan dan
terdapat pada pengorganisasian, pelaksanaan, komunikasi, budaya ataupun sikap.
Sangat penting untuk mengatasi hambatan-hambatan ini sebagai persiapan mahasiswa
dan praktisi profesi kesehatan yang lebih baik demi praktek kolaborasi hingga
perubahan system pelayanan kesehatan. Hambatan-hambatan yang mungkin mucul
adalah penanggalan akademik, peraturan akademik, truktur penghargaan akademik,
lahan praktek klinik, masalah komunikasi, bagian kedisiplinan, bagian professional,
evaluasi, pengembangan pengajar, sumber keuangan, jarak geografis, kekurangan
pengajar interdisipliner, kepemimpinan dan dukungan administrasi, tingkat persiapan
peserta didik, logistic, kekuatan pengaturan, promosi, perhatian dan penghargaan,
resistensi perubahan, beasiswa, system penggajian, dan komitmen terhadap waktu
(ACCP, 2009).
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
18
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif studi kasus. Pendekatan yang digunakan
adalah kombinasi pendekatan kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi persepsi mahasiswa profesi kesehatan mengenai IPE di tatanan
pendidikan Sarjana. Pengambilan data digunakan Diskusi Kelompok Terarah (DKT).
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, Fakultas Farmasi Universitas
Ahmad Dahlan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad
Dahlan,Yogyakarta, Program Studi Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas
Negeri Surakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin, Fakultas
Farmasi Universitas Hasanudin, Program Studi Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Indonesia Timur, Makasar pada bulan Juli - Desember 2011.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah mahasiswa ilmu kesehatan di Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
19
Mada, Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Ahmad Dahlan,Yogyakarta, Program Studi Kebidanan Fakultas
Kedokteran Universitas Negeri Surakarta, Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanudin, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanudin, Fakultas Farmasi Universitas Hasanudin, Program Studi
Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia Timur, Makasar tahap
sarjana. Wilayah dipilih berdasarkan pertimbangan kelengkapan jumlah program
studi pada suatu universitas.
Pengambilan data kualitatif dilakukan dengan cara DKT. Responden DKT adalah
mahasiswa informan yang memiliki persepsi dan kesiapan baik berasal dari wilayah
Yogyakarta, Surakarta dan Makasar. Menurut Moleong(2006) dan Sarwono (2006)
peserta DKT yang ideal adalah 6-10 orang. Pada penelitian kali DKT akan dilakukan
pada dua kelompok, terdiri dari tujuh program studi yaitu pendidikan dokter,
pendidikan dokter gigi, ilmu keperawatan, ilmu gizi, kesehatan masyarakatan,
kebidanan dan Farmasi. Setiap DKT akan dihadiri oleh tujuh mahasiswa perwakilan
setiap program studi pada kota Yogyakarta dan Makasar. Total informan DKT pada
penelitian ini adalah 28 orang yang terdiri 14 informan dari setiap kota. Kriteria
inklusi partisipan mahasiswa adalah:
1. mahasiswa tahun akhir tahap akademik
2. memiliki pengalaman organisasi kemahasiswaan minimal 1 tahun
3. menjadi responden pada studi kuantitatif
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
20
4. menunjukkan nilai sikap dan kesiapan yang baik pada penelitian tahap I.
Kriteria eksklusi sampel penelitian ini adalah mahasiswa yang pada saat
penelitian berlangsung sedang cuti atau tidak berada dalam lingkungan institusi
pendidikannya.
D. Definisi Operasional
Definisi operasional variabel pada penelitian ini dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. IPE adalah suatu pelaksanaan pembelajaran yang diikuti oleh dua atau lebih
profesi yang berbeda dan mengenai berbagai profesi untuk meningkatkan
kolaborasi dan kualitas pelayanan.
2. Persepsi adalah proses yang dilalui oleh penginderaan, yaitu merupakan
proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat
reseptornya dan terjadilah proses psikologis, sehingga individu menyadari apa
yang ia lihat dan apa yang ia dengar dan menimbulkan pandangan pribadi
mahasiswa kesehatan terhadap IPE. Persepsi pada penelitian kali ini adalah
persepsi mengenai model pembelajarang yang mungkin untuk penerapan IPE.
3. Mahasiswa tahap sarjana adalah mahasiswa tahun akhir pendidikan sarjana
(S1). Terdapat tujuh program studi yaitu pendidikan dokter, pendidikan dokter
gigi, ilmu keperawatan, ilmu gizi, kesehatan masyarakatan, kebidanan dan
Farmasi.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
21
E. Instrumen Penelitian
Instrumen untuk pendekatan kualitiatif adalah peneliti sendiri. Pengumpulan
data dilakukan dengan teknik DKT. Instrumen untuk pengambilan data pada
pendekatan ini adalah panduan DKT.
Penelitian ini dilakukan di lingkungan mahasiswa ilmu kesehatan di Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah
Mada, Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Ahmad Dahlan,Yogyakarta, Program Studi Kebidanan Fakultas
Kedokteran Universitas Negeri Surakarta, Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanudin, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanudin, Fakultas Farmasi Universitas Hasanudin, Program Studi
Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia Timur, Makasar. Secara
umum penelitian ini dibagi menjai 3 tahapan pokok yaitu persiapan, pelaksanaan
penelitian dan penyusunan laporan. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini dilaksanakan antara bulan Juli 2011 sampai dengan
Desember 2011. Pada tahap ini peneliti menetapkan tema dan judul penelitian pada
bulan Juni 2011. Pembuatan proposal penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus
2011 yang diiringi dengan pembuatan panduan DKT. Identifikasi sample penelitian
dilaksanakan pada tanggal 13 Agusutus 2011. Pertanyaan DKT disusun pada
tanggal 21 Agustus 2011. Identifikasi informan DKT dan pembahasan teknis
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
22
penelitian dilakukan pada tanggal 8 Oktiber 2011. Penelitian ini dilaksanakan setelah
lolos uji etik dari pihak Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Indonesia pada tanggal 24 Oktober
2011.
2. Tahap Pelaksanaan
Sebelum melakukan DKT peneliti melakukan training fasilitator dan penyamaan
persepsi terhadap panduan DKT supaya data yang didapatkan sesuai dengan tujuan
dan tidak terdapat keragaman tema. Training fasilitatror DKT dosen dilakukan pada
tanggal 29 Oktober 2011. Tahap pelaksanaan DKT dosen dilaksanakan pada tanggal
30 Oktober 2011 yang dihadiri oleh 46 dosen di laksanakan di Hotel J.W Marriot
Surabaya. Peserta dibagi ke dalam 4 kelompok DKT. Transkrip DKT dosen
dilakukan minggu I bulan November 2011.Persamaan persepsi DKT mahasiswa
dilaksanakan pada 12 November 2011. Informan didapatkan melalui penyeleksian
informan penelitian. Saat menyeleksi informan penelitian, peneliti mendapatkan data
nama-nama mahasiswa tahap sarjana dari bagian akademik masing-masing institusi.
Sejalan dengan penyeleksian informan peneliti juga melakukan uji validitas dan
realiabilitas terhadap instrumen penelitian.
Setelah mendapatkan data informan DKT pada minggu pertama bulan November
2011 peneliti mengidentifikasi tempat pelaksanaan DKT di kota Yogyakarta dan
Makassar. Setelah mendapatkan tingkat validitas dan realiabilitas yang meyakinkan
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
23
peneliti melakukan pengambilan data. Pengumpulan data selama bulan November
2011 pada tanggal 13 November di Hotel Shantika Yogyakarta yang dihadiri oleh
98 informan dan 20 November di Hotel Horisson Makassar ynag dihadiri oleh 111
informan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan DKT. Sebelum
melakukan DKT peneliti mengirimkan beberapa pertanyaan serta panduan DKT
pada ahli di bidang IPE. Hasil pada tahap ini berupa panduan serta pertanyaan untuk
tahap DKT. Teknik sampling yang digunakan adalah purpose sampling.
Peneliti melakukan kontrak waktu dengan responden. Setelah itu, di mulai
pelaksanaan DKT kepada 98 mahasiswa kesehatan, pengumpulan data digunakan
dengan metode DKT dilakukan dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok
DKT akan diikuti oleh 7 bidang ilmu kesehatan. Pelaksanaan dilakukan dengan cara
responden dikumpulkan pada waktu dan tempat yang telah di sepakati. DKT ini
diharapkan menghasilkan outcome beberapa usulan metode pembelajaran dari
partisipan. Kemudian peneliti memilih salah satu metode yang memungkinkan untuk
dilaksanakan.
Setelah mendapatkan data dari DKT maka dilakukan analisis data kualitatif pada
tanggal 1-30 November 2011. Anaisis diawali dengan melakukan transkripsi
rekaman DKT yaitu pada tnggal 1- 5 November untuk dosen oleh notulen masing-
masing kelompok DKT dan tanggal 14 – 24 untuk DKT mahasiswa. Setelah
trasnkripsi dilakukan coding oleh dua orang yaitu notulen dan fasilitator untuk
validasi hsil coding. Konsultasi dan bimbingan kepada ahli penelitian kualitatif Yayi
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
24
Suryo Prabandari, MPH, PhD dan kepada ahli pendidikan profesi kesehatan dr.
Gandhes Retno Rahayu, M.Med., PhD pada tanggal 4-5 November. Pada pertemuan
ini dihasilkan output berupa axial coding dari masing-masing tema
3. Tahap penyusunan laporan
Setelah data terkumpul, dianalisis, dibahas, dan ditarik kesimpulan, akhirnya
pada tanggal 26 – 31 Desember 2011 semua hasil yang diperoleh disusun menjadi
sebuah laporan penelitian.
F. Analisis Data
Analisis data dilakukan pada tanggal 1 – 30 November 2011. Analisis data
penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan-tahapan yang dilakukan (Marshall
dan Rossman dalam Kabalmay, 2002), diantaranya :
1. Mengorganisasikan Data
Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui DKT, dimana data
tersebut direkam dengan tape recoeder dibantu alat tulis lainya. Kemudian
dibuatkan transkipnya dengan mengubah hasil DKT dari bentuk rekaman menjadi
bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang
agar penulis mengerti benar data atau hasil yang telah di dapatkan. Anaisis
diawali dengan melakukan transkripsi rekaman DKT yaitu pada tnggal 1- 5
November untuk dosen oleh notulen masing-masing kelompok DKT dan tanggal
14 – 23 untuk DKT mahasiswa.
2. Pengelompokan berdasarkan Kategori, Tema dan pola jawaban
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
25
Pada tahap ini dibutuhkan pengertiaan yang mendalam terhadap data,
perhatiaan yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa
yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman DKT, peneliti
menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam
mekukan coding. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian kembali membaca
transkip DKT dan melakukan coding, melakukan pemilihan data yang relevan
dengan pokok pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan
singkat, kemudian dikelompokan atau dikategorikan berdasarkan kerangka
analisis yang telah dibuat.
Pada penelitian ini, analisis dilakukan terhadap sebuah kasus yang diteliti.
Peneliti menganalisis hasil DKT berdasarkan pemahaman terhadap hal-hal
diungkapkan oleh responden. Data yang telah dikelompokan tersebut oleh peneliti
dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta kata
kuncinya. Sehingga peneliti dapat menangkap penagalaman, permasalahan, dan
dinamika yang terjadi pada subjek. Pengelompokan data berdasarkan tema
dilkukan pada tanggal 6-7 untuk DKT dosen dan 15 – 26 November untuk DKT
mahasiswa. Tahap coding dilakukan oleh dua orang tiap kelompok DKT yaitu
notulen dan fasilitator kelompok DKT tersebut. Hasil coding menghsilkan 8 tema
.
3. Menguji Asumsi atau Permasalahan yang ada terhadap Data
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
26
Setelah kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data
tersebut terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini
kategori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kemabali berdasarkan
landasan teori yang telah dijabarkan dalam bab II, sehingga dapat dicocokan
apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil yang dicapai.
Selain itu keabsahan asumsi kami lakukan dengan menggunakan dua orang
dalam tahap coding tiap kelompok FGD jadi bisa dilakukan double check terhadap
asumsi tersebut. Setelah itu dilkukan konsultasi dan bimbingan kepada ahli penelitian
kualitatif Yayi Suryo Prabandari, MPH, PhD dan kepada ahli pendidikan profesi
kesehatan dr. Gandhes Retno Rahayu, M.Med., PhD pada tanggal 4-5 November.
Pada pertemuan ini dihasilkan output berupa axial coding untuk masing-masing tema.
4. Menyajikan Hasil Penelitian
Penulisan data subjek yang telah berhasil dikumpulkan merupakan suatu hal
yang membantu penulis unntuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang dibuat
telah selesai. Dalam penelitian ini, penyajian yang yang dipakaiadalah presentase
untuk data karakteristik responden. Kemudian untuk data hasil axial coding disajikan
dalam bentuk grafik yang dikategorikan dalam 8 tema dan digambarkan menurut
kelompok informan yaitu dosen dan mahasiswa. Selanjutnya dilakukan interprestasi
secara keseluruhan, dimana di dalamnya mencangkup keseluruhan kesimpulan dari
hasil penelitian
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
27
G. Waktu Penelitian
NO KEGIATAN JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
1 Menyusun proposal penelitian 2 Konsultasi penelitian 3 Identifikasi sampel penelitian 13 4 Menyusun pertanyaan FGD 21 5 Etik dan ijin penelitian
24
6 Konsultasi pertanyaan FGD ahli 8 7 Identifikasi informan FGD 8 8 Membuat TOR fasilitator 8 9 Menentukan fasilitator dan scriber 8
Pertemuan teknis penelitian
8 10 Training fasilitator FGD ahli
29
11 Pelaksanaan FGD ahli
30 12 Pelatihan fasilitaor FGD mahasiswa 12 13 Transkrip data FGD ahli
14 Pelaksanaan FGD mahasiswa Yogyakarta
13
15 Pelaksanaan FGD mahasiswa Makassar 19
16 Transkrip data FGD mahasiswa
17 Analisis data FGD
18 Penyusunan laporan 19 Laporan hasil penelitian konferensi
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
28
H. Hambatan Penelitian
Selama proses penelitian beberapa hambatan yang dihadapi yaitu sebagai
berikut:
1. Peneliti mengalami kesulitan untuk menjaring informan DKT dari tiap institusi
yang menjadi sample penelitian dikarenakan birokrasi perizinan dan persetujuan dari
pimpinan institusi. Di sisi lain, kesadaran mahasiswa untuk berpartisipasi dalam
penelitian dirasakan kurang karena kesibukan jadwal kuliah dan ujian. Antisipasi
yang telah dilakukan oleh tim peneliti dalam mengatasi kendala tersebut adalah
dengan melakukan pendekatan kepada pimpinan institusi, dengan dukungan
rekomendasi dari HPEQ Project-Ditjen Dikti, Kemendikbud. Selain itu, peneliti
memberikan penjelasan ulang terkait tujuan penelitian kepada responden yang
memiliki kesadaran yang kurang baik. Akan tetapi, jika mereka tetap tidak berkenan,
tim peneliti mengganti responden dengan cadangan lain yang masuk kriteria inklusi.
Di sisi lain, tim peneliti juga telah melakukan sinkronisasi jadwal perkuliahan atau
jadwal ujian dengan waktu pelaksanaan DKT agar responden dapat mengikuti DKT
tanpa meninggalkan kewajibannya sebaggai mahasiswa, sehingga pelaksanaannya
dilakukan pada akhir pekan yaitu hari Sabtu dan Minggu.
2. Peneliti kesulitan dalam menyediakan perlengkapan untuk dokumentasi DKT,
terutama perekam video dan suara. Peneliti mengatasi hal ini dengan merekam suara
saja menggunakan telepon genggam notulen dan fasilitator masing-masing kelompok
DKT, sehingga dokumentasi yang didapatkan untuk mendukung proses analisa data
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
29
hanya dalam bentuk suara dan notulensi pada 3 kelompok DKT yang tidak tersedia
rekman video.
3. Proses pengurusan ethical clearance penelitian memerlukan waktu lebih lama
dari yang diperkirakan. Peneliti mengatasi hal ini dengan melakukan pengecekan
rutin ke Bagian Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan
yang dilakukan oleh anggota peneliti yang berdomisili di Jakarta. Selain itu peneliti
berkoordinasi dengan sekretariat HPEQ Project-Kemendikbud dan Bank Dunia
Indonesia untuk mempermudah koordinasi dengan Bagian Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan.
4. Pada pelaksanaan DKT dosen ada 2 institusi yang tidak dapat hadir yaitu
Fakultas Farmasi UGM dan Program Studi Pendidikan Dokter UGM, sehingga
berimplikasi pada berkurangnya jumlah informan FGD. Tim peneliti mengatasi hal
ini dengan menyusun kembali pembagian kelompok FGD sehingga semua kelompok
terdiri dari 7 profesi.
5. Persiapan pelaksanaan DKT mahasiswa di Makassar kurang matang sehingga
teknis pelaksanaan dan pembagian kelompok informan DKT kurang terkoordinir.
Tim peneliti mengatasi hal ini dengan mengoptimalkan peran panitia lokal yang ada
untuk berkoordinasi dengan tim peneliti.
6. Tidak semua peneliti memiliki pengalaman dalam melakukan penelitian
kualitatif terkait pendidikan profesi kesehatan, sehingga terjadi disparitas partisipasi
dan kinerja selama proses penelitian. HPEQ Project telah memfasilitasi pelatihan
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
30
penelitian kualitatif dan forum konsultasi kepada pakar penelitian kualitatif dan pakar
pendidikan profesi kesehatan untuk meningkatak kapasitas dan kemampuan tim
peneliti
7. Penyusunan laporan membutuhkan waktu yang lama dan mudur dari waktu yang
ditentukan karena ada anggota peneliti yang tidak dapat berpartisipasi optimal dalam
menyelesaikan pembahasan sesuai target yang telah direncanakan. Tim peneliti
mengatasi hal ini dengan mengoptimalkan pendampingan dari peneliti lainuntuk
menyelesaikan pemabahasan kajian.
I. Keterbatasan Penelitian
Selama pelaksanakan penelitian ini peneliti memiliki keterbatasan di luar
perencanaan awal, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya fasilitator DKT dosen yang tidak mengikuti training fasilitator dan
penyamaan persepsi panduan DKT sehingga pengambilan data kualitatif kurang
tergali dengan maksimal pada salah satu kelompok DKT .
2. Terdapat penelitian sejenis di salah satu institusi informan penelitian yang
diketahui peneliti ketika sudah mengambil data sehingga menyebabkan 4 responden
penelitian sudah terpapar dan mempengaruhi jalannya DKT dan data yang
didapatkan.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini berjumlah 196 mahasiswa dan 46 dosen
profesi kesehatan tahap sarjana di kota Makasar dan Yogyakarta yang terdiri dari
program studi pendidikan dokter, ilmu keperawatan , kedokteran gigi, farmasi,
kebidanan, ilmu gizi, dan kesehatan masyarakat. Karakteristik responden dapat
dilihat di tabel 3 dan 4 berikut ini:
Tabel 3. Karakteristik Responden mahasiswa No Karakteristik Jumlah (f) Persentase
(%) 1
Program studi Kedokteran 28 14.29 Kedokteran gigi 28 14.29 Ilmu keperawatan 28 14.29 Kebidanan 28 14.29 Farmasi 28 14.28 Ilmu Gizi 28 14.28 Kesehatan Masyarakat 28 14.28 Total 196 100
3 Jenjang Pendidikan D4 28 14.28 S1 168 85.72 Total 196 100 4 Umur 19 3 1.53 20 63 32.143 21 117 56.7 22 13 6.73 Total 196 100
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
32
5 Jenis kelamin Laki-laki 26 13.27 Perempuan 170 86.73 Total 196 100 6 Tahun masuk (angkatan) 2008 140 71.43 2009 56 28.57 Total 196 100
Tabel 3. Karakteristik Responden dosen
No Karakteristik Jumlah (f) Persentase (%)
1
Program studi Kedokteran 7 15.2 Kedokteran gigi 6 13.1 Ilmu keperawatan 5 10.9 Kebidanan 7 15.2 Farmasi 7 15.2 Ilmu Gizi 7 15.2 Kesehatan Masyarakat 7 15.2 Total 46 100
2 Jenjang Pendidikan D4 4 8.7 S1 5 10.9 S2 26 56.5 S3 11 23.9 Total 46 100 3 Jenis kelamin Laki-laki 22 47.8 Perempuan 24 52.2 Total 46 100
Berdasarkan tabel karakteristik responden di atas dapat diketahui bahwa
berdasarkan program studi jumlah responden merata dengan jumlah yang sama . Jika
melihat berdasarkan angkatan sebagian besar responden mahasiswa (71,43%%)
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
33
berasal dari angkatan 2008 dan jenjang pendidikan dosen sebagian besar (56,5%)
adalah S2. Menurut Thoha (2004) perbedaan karakteristik responden menyebabkan
perbedaan dalam mempresepsikan sesuatu, termasupk persepsi terhadap IPE.
Menurut Hawk (2002) perbedaan latar belakang profesi dapat mempengaruhi persepsi
terhadap IPE. Hal ini terlihat dari peneitiannya yang mengatakan terdapat perbedaan
persepsi yang signifikan berdasarkan kategorisasi jenis profesinya (p=0,001). Selain
itu menurut Turner (1999) latar belakang profesi akan mempengaruhi kesiapan
terhadap IPE.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
34
B. Kompetensi dalam Pembelajaran IPE
Menurut D’Amour & Oandasan (2005) kompetensi yang diharapkan dalam
pembelajaran IPE adalah meliputi pengetaguan, keterampilan, dan sikap. Namun
ACCP ( 2009) menambahkan elemen kemampuan dalam tim. Hal tersebut
sesuai dengan hasil FGD yang tertera pada gambar 2.
Menurut hasil FGD terlihat elemen yang berbeda adalah pada mahasiswa
mereka menambahkan elemn sikap. Hal ini sesuai yang dsampaikan oleh Elemen
pengetahuan adalah mahasiswa diharapkan mengetahui peran dan tanggung jawab
mereka sesuai dengan kompetensi masing-masing. Keterampilan terdiri dari
kemampuan adaptasi, monitoring tim, kepemimpinan, pemecahan konflik,
pemberian umpan balik dan cara berkomunikasi. Elemen sikap terdiri dari
Orientasi dalam tim (moral), kemajuan bersama, cara berbagi pandangan dan
pendapat. Terakhir adalah elemen kerja tim terdiri dari kepaduan tim, saling
percaya, orientasi bersama dan rasa saling memiliki.
Semua elemen kompetensi ini harus terintegrasi secara bersamaan dalam
pembelajaran untuk mencapai output yang maksimal (Girot, 2003).
Interprofessional education dapat efektif We argue that interprofessional jika
semua profesi kesehatan yang teribat berangkat dari suatu pemahaman kemudian
berproses dan melakukan kegitan secara bersama dalam situasi yang nyata seperti
simulasi. Aktivitas tersebut mengembangkan kompetensi peserta didik dan
mengembaangkan pola fikir dari berbagai sudut pandang (Defloor et al. 2006).
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
35
Elemen-elemen kompetensi di atas kemudian Baker et.al.(2008)
mengkategorikan menjadi 3 jenis kompetensi yang harus dimiliki peserta didik
dalam IPE yaitu shared competencies, complementary competencies dan
profession-specific competencies. Shared competencies merupakan kompetensi
yang sama atau sangat identik yang terdapat dalam semua profesi kesehatan dan
perlu diperoleh oleh semua profesi kesedaran. Kontras dengan Shared
competencies profession-specific competencies hanya dimiliki oleh satu profesi
tertentu saja. Complementary competencies merupakan kompetensi yang berbeda
dari tiap profesi namun saling berhubungan dengan profesi lain.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
36
Gambar 2. Kompetensi dalam Pembelajaran IPE
Kompetensi dalam Pembelajaran IPE
Dosen
Kompetensi pengetahuan • Berfikir kritis • Analisis situasi • Pengetahuan terhadap tugas tim • Tanggungjawab tugas masing-masing Kompetensi Keterampilan • Kemampuan adaptasi • Kemampuan monitoring tim • Kepemimpinan • Pemecahan konflik • Umpan balik • cara berkomunikasi Kemampuan tim • Kepaduan tim • Saling percaya • Orientasi bersama
Mahasiswa
Kompetensi pengetahuan • strategi pengabungan pengetahuan • Analisis situasi • Pengetahuan terhadap tugas tim • Tanggungjawab tugas masing-masing Kompetensi Keterampilan • Pembagian kinerja secara bersama-sama • Pemecahan konflik • Umpan balik • cara berkomunikasi • saling mendukung • Kepemimpinan Kompetensi Sikap • Orientasi tim (moral) • Kemajuan bersama • Berbagi pandangan Kemampuan tim • Kepaduan tim • Saling percaya • Orientasi bersama • Rasa memiliki
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
37
C. Alternatif Metode Pembelajaran yang Mungkin untuk Penerapan IPE
CAIPE (1997) menawarkan bentuk pembelajaran IPE dengan diskusi interaktif
menggunakan small working group untuk menanamkan pemahaman kolaborasi antar
profesi sebagai salah satu bentuk metode pembelajaran yang dapat diterapkan dalam
IPE. Dari hasil DKT yang telah dilakukan di Makasar dan di Yogyakarta baik dosen
maupun mahasiswa mengungkapkan bahwa metode yang mungkin untuk IPE salah
satunya merupakan studi kasus. Dosen menyebutkan PBL juga merupakan salah satu
metode yang mungkin. Barr (2002) sit Oandasan dan reeves (2005), menambahkan
salah satu metode pembelajaran yang efektif untuk IPE dengan bentuk grup diskusi
dengan metode seperti case-based learning (Woodhouse & Pengally, 1992);
observation-based learning (Likierman, 1997) dan problem-based learning (Barrows
& Tamblin, 1980).
Hasil dari DKT baik dosen maupun mahasiswa menyebutkan salah satu
bentuk metode pembelajaran yang mungkin adalah kuliah bersama. CAIPE (1997)
menyebutkan bahwa dalam beberapa kegiatan seperti kuliah bersama antar beberapa
profesi dengan pasif tanpa adanya interaksi merupakan bentuk pembelajaran
“multiprofessional education”, dengan melakukan kuliah bersama seperti ini dapat
menurunkan pembiayaan. Menurut Parsell dkk (1998), metode kuliah bersama tanpa
adanya interaksi, kurang efektif karena siswa dapat mengabaikan profesi satu sama
lain, tidak merasa nyaman membagikan bidang pendidikan mereka dengan profesi
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
38
lain, merasa pembelajaran tersebut terdilusi oleh profesi lain sehingga tujuan untuk
mencapai kompetensi kolaborasi dalam IPE sulit tercapai.
Simulasi merupakan salah satu metode lain yang juga dianggap mungkin
untuk diterapkan oleh mahasiswa maupun dosen. Hal ini juga dikemukakan Baker,
dkk (2008), metode simulasi yang digunakan pada pembelajaran dengan basis IPE
dapat menjadi salah satu pendekatan yang menjanjikan untuk persiapan model
kolaborasi tenaga kesehatan masa depan. Baker dkk (2008) juga menjelaskan
pelaksanaan IPE dalam bentuk simulasi dapat memberikan kesempatan untuk para
dosen antar profesi untuk berinteraksi terutama dalam pembuatan modul kurikulum
simulasi IPE. Mahasiswa juga menambahkan bahwa tutorial juga bisa menjadi salah
satu pilihan untuk mencapai kolaborasi. Temuan ini sesuai dengan metode
pembelajaran lain menurut Liaskos, dkk (2008) diantaranya melalui aktivitas
pembelajaran melalui tutorial yang terfokus pada teori maupun praktek kesehatan,
saling bertukar pengalaman (dalam bentuk tindakan, diskusi kasus nyata,hingga
menempatkan mahasiswa dalam tim profesional yang asli dalam lingkungan klinis).
Sebagian besar mahasiswa dan dosen mengatakan KKN (kuliah kerja nyata)
merupakan metode pembelajaran yang mungkin untuk pelaksanaan dalam bentuk
IPE. Menurut Harsono dan Yohannes (2005) KKN merupakan salah satu bentuk
model pembelajaran dengan pendekatan intra disiplin. Dengan model pendekatan ini
maka diharapkan para mahasiswa mempelajari dan memahami hubungan antara
berbagai subdisiplin yang berbeda dan keterkaitannya dengan kenyataan yang ada di
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
39
dunia ini. Model pendekatan ini memadukan ketrampilan, pengetahuan, atau bahkan
sikap dan perilaku, sehingga dengan KKN diharapkan mahasiswa dapat
menyelesaikan permasalahan yang muncul dengan berkolaborasi bersama sesuai
dengan kompetensi masing- masing profesi.
Mahasiswa juga menyebutkan IPE diharapkan bisa masuk didalam organisasi
mahasiswa , hal ini sesuai dengan Kroboth dkk, (2005) yang mengatakan untuk
mendukung sustainaibility dari pelaksanaan IPE pada sebuah fakultas diperlukan juga
pembelajaran IPE dalam kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
40
Gambar 3. Alternatif Metode Pembelajaran
Alternatif Metode Pembelajaran
Dosen
Mahasiswa
• KKN • Studi kasus • PBL • skills lab • Kuliah bersama • Simulasi • Kepaniteraan umum bersama • Role Play • Penelitian bersama • zp
• KKN • Diskusi kasus • e-learning • Skills lab terintegrasi • Kuliah umum • Simulasi • Role Play • Koas bersama • field trip • ospek • tutorial • Organisasi kemahasiswaan Diun
duh h
ttp://h
peq.d
ikti.g
o.id
41
D. Topik yang Menarik untuk Penerapan IPE
Memilih topik pembelajaran merupakan salah satu hal yang krusial dalam
Interprofessional Education (Buring, 2009). Hasil DKT dosen maupun mahasiswa
tergali beberapa usulan mengenai topik pembelajaran manakah yang paling sesuai
untuk pembelajaran interprofessional education, yakni etika kesehatan, masalah
global kesehatan seperti HIV/AIDS dan TBC, manajemen bencana, dan kasus gawat
darurat. Hal ini sejalan dengan Campbell et al. (2001) yang berpendapat bahwa kasus
gawat darurat efektif untuk dipelajari dengan pendekatan IPE. Selain itu, Smith
(2007) berpendapat bahwa manajemen bencana terintegrasi dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan mahasiswa profesi kesehatan dalam menangani
pasien.
Menurut Reeves dan Pryce (2002) topik pembelajaran pada IPE yang
direkomendasikan yakni mengenai peran, tanggung jawab dan professionalisme.
Kemudian topik lain yang perlu dipelajari dalam IPE yakni transferable skills seperti
komunikasi (Bloom, 1956; Buring, 2009), Hal ini bersesuaian dengan hasil DKT
pada dosen yang mengemukakan bahwa sebaiknya dipelajari mengenai
profesionalitas dan komunikasi. Topik lain yang di dapatkan dari hasil DKT yakni
penjaminan kualitas dan keselamatan pasien, etika kesehatan, dan riset yang
dikategorisasikan menurut pertanyaan tingkatan pasien dan komunitas. Hal ini
sejalan denagan pendapat Krasne & Wilkerson, 2010 yang mengemukakan bahwa
topik pembelajaran dikategorisasikan dalam lingkup permasalah pasien (patient-level
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
42
question) dan lingkup permasalahan populasi atau komunitas (population-level
question). Untuk pertanyaan tingkat pasien yang tergali dari DKT dosen maupun
mahasiswa yakni kasus-kasus dalam pediatric, geriatric, kegawatdaruratan, serta
penyakit tidak menular lainnya seperti penyakit jantung koroner. Sedangkan untuk
pertanyaan tingkat populasi atau komunitas yang tergali dalam DKT yakni topik
mengenai kesehatan populasi (epidemiologi penyakit atau sindroma, promosi, dan
prevensi), kesehatan global, sistem kesehatan, serta kebijakan atau etika.
Manajemen dan evaluasi kasus geriatrik terbukti memiliki efektitas dalam
menanamkan kolaborasi diantara peserta didik (Saltvedt et al., 2002; Boult et al.,
2001), Setiap professional dalam bidang kesehatan mempelajari peran masing-masing
melalui proses pendidikan dari keprofesian dan disiplin. Peran tersebut merupakan
hal yang sangat mendasar dalam mrmbrntuk pola pikir dan kognisi peserta didik
(Petrie, 1976). Mariano mengungkapkan bahwa melatih kerja tim sangat penting
karena dapat memfasilitasi peserta didik untuk memahami peran masing-masing.
Pembelajaran IPE diharapkan memfasilitasi mahasiswa dalam menjelaskan persepsi
dan ekspektasi peran, mengidentifikasi kompetensi profesi dan kompetensi dari
anggota tim lain, menggali lebih dalam mengenai tanggungjawab masing-masing
sehingga dapat mengetahui jika terjadi tumpang tindih peran dan dapat menempatkan
peran dan tanggung jawab dengan sesuai.
Sebagai calon professional dalam bidang kesehatan yang menghadapi masalah
pasien yang multidimensional, mereka berpotensi menghadapi situasi yang sulit dan
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
43
memacu stress sehingga dapat menyebabkan ketegangan antar anggota tim
(Benierakis, 1995). Solusi untuk mengatasi situasi tersebut menurut Miller et.
al.(2009) adalah dengan menanamkan keterbukaan, kejujuran, dan kejelasan dalam
berkomunikasi antar anggota tim. Oleh karena itu topik pembelajaran mengenai
komunikasi sangat penting dalam Interprofessional Education.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
44
Gambar 4. Topik yang Menarik untuk Penerapan IPE
Topik yang Menarik untuk Penerapan IPE
Dosen
Mahasiswa
• Komunikasi • Kerja tim • Biomedik dasar • Etika kesehatan • Profesionalisme bidang kesehatan • Manajemen bencana • Masalah kesehatan global • (HIV/AIDS, TBC, MDGs) • Pengenalan kolaborasi
• Biomedik dasar • Etika kesehatan • Komunitas • Manajemen bencana • Masalah kesehatan global (HIV/AIDS, TBC< MDGS) • Emergency • Geriatric • Kesehatan ibu dan anak • Promotif dan preventif • Epidemiologi • Pengenalan kompetensi tiap profesi • Pediatrik • Penyakit jantung koroner
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
45
E. Waktu yang Tepat untuk Penerapan IPE
Dalam DKT muncul variasi pendapat mengenai kapan pembelajaran
Interprofessional Education akan dilakukan. Ada kesamaan dalam DKT dosen dan
mahasiswa yaitu pada tahun awal saja, pada tahun awal dan tahun akhir, saat masa
orientasi mahasiswa baru, pada pertengahan tahun, atau pada tahun akhir akademik
saja. Namun pada hasil DKT mahasiswa lebih bervariasi dengan menambahkan
waktu yang tepat untuk penerapan yaitu saat penerimaan mahasiswa baru saja, tahap
profesi (klinik) dan sejak semester 4.
Laporan dari Cooper et al (2001) menunjukkan adanya efektivitas dari intervensi di
tahap pendidikan (pre-klinik tanpa melihat tahun). Sedangkan empat laporan lain
menunjukkan efektivitas dari intervensi di tahap klinik (Borrill et al., 2001; West &
Slater, 1996; Zwarenstein & Bryant, 2000; Schmitt 2001). Kemudian tiga laporan lain
menunjukkan efektivitas dari intervensi keduanya baik tahap pre klinik maupun tahap
klinik (Reeves, 2001; Zwarenstein et al., 2001; Freeth et al., 2002).
Hasil DKT mahasiswa tergali bahwa hendaknya IPE diterapkan tidak terlalu dini dan
sebaiknya dari semester 4. Pentingnya pemahaman atas peran, tanggung jawab, dan
kompetensi profesi masing-masing sama baiknya dengan pemahaman atas peran,
tanggung jawab, dan kompetensi profesi lain. Barr (2002) merekomendasikan
adanya interaksi lebih dini untuk mempermudah mempelajari IPE. Kemudian
menurut Mariano (1999) waktu pelaksanaan sebaiknya di tahun awal, kemudian
sebaiknya diberikan pemahaman mendasar mengenai hal-hal yang terkait mengenai
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
46
profesi masing-masing. Namun sebaiknya lebih tertata dan berhati - hati dalam
menyampaikan mengenai peran masing-masing profesi di tahap pre klinik karena
menurut Wilson (1992) hal tersebut dapat menyebabkan masing-masing profesi
berfokus pada profesinya saja, padahal kolaborasi tenaga kesehatan diperlukan dalam
menghadapi pasien dengan permasalahan yang kompleks. Sehingga perlu diimbangi
dengan mengenal peran, tanggungjawab, dan kompetensi profesi lain.
Hasil DKT menunjukkan pendapat mengenai perlunya kontinuitas pelaksanaan IPE
yaitu dimualai saat penerimaan mahasiswa baru yang kemudian dianjuntak di
perkuliahan di tahun awal, pertengahan dan akhir. Namun pendapat lain menyatakan
bahwa penerapan IPE sebaiknya hanya dilakukan di suatu periode saja baik itu di saat
orientasi mahasiswa baru, tahun awal maupun saat rotasi klinik saja
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
47
Gambar 5. Waktu yang tepat untuk penerapan IPE
Waktu yang tepat untuk penerapan IPE
Dosen
Mahasiswa
• Tahun Awal • Tahun awal dan tahun akhir • Penerimahan mahasiswa baru, pertengahan dan tahun akhir
• Penerimaan Mahasiswa Baru • Tahun awal • Tahap Profesi (klinik) • Tahun awal dan tahun akhir • Penerimaan Mahasiswa baru, pertengahan tahun dan tahun akhir • Semester 4
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
48
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
49
F. Gambaran Dosen Ideal dalam Memfasilitasi Pembelajaran IPE
Dalam penerapan IPE baiknya dosen ahli baiknya memposisikan diri tidak
sebagai pengajar namun bekerja bersama mahasiswa sebagai fasilitator untuk
mencapai kolaborasi (Fox, 1994 sit oandasan dan reeves, 2005). Salah satu gambaran
dosen yang ideal dalam pelaksanaan IPE yang paling banyak dikemukakan baik
dosen maupun mahasiswa adalah dosen yang memahami IPE. Selain itu mahasiswa
juga menyebutkan bahwa kriteria dosen yang ideal diantaranya memahami
kompetensi profesi kesehatan lain, mampu membuat modul operasional ipe,
berpengalaman di klinik, pengalaman kolaborasi dan berwawasan luas. Hal ini sesuai
dengan pemaparan Holland dkk (2002,p.221) sit, Glen dan Reeves (2004) kriteria
fasilitator untuk IPE: memiliki pengetahuan yang cukup mengenai profesinya,
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai fokus-fokus dalam program
pembelajaran IPE diantaranya evidence based practice, dan memiliki kemampuan
dan pengalaman untuk berkolaborasi.
Hammick, (1998) menyebutkan dosen dalam penyelenggaran IPE harus dapat
menyelesaikan friksi yang muncul pada saat pembahasan mencapai area sensitif pada
saat diskusi, untuk itu diperlukan juga pemahaman mengenai batasan kompetensi
masing-masing profesi. Hal ini mendukung temuan pada saat DKT , dosen ideal
diharapkan bisa memiliki kemampuan sebagai pemimpin sehingga dapat
mengarahkan apabila muncul perbedaan pendapat saat pembelajaran berlangsung.
Seorang dosen yang ideal untuk IPE juga harus dapat memposisikan sebagai
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
50
fasilitator untuk pembelajar yang telah dewasa, memahami kemampuan dan
kebutuhan kompetensi yang ingin dicapai para pembelajar dengan memahami
perbedaan yang ada dari masing-masing profesi (Barr dkk,2005 p.123).
Liaskos, dkk (2008) menjelaskan bahwa dalam menjalankan IPE , baik
mahasiswa maupun dosen antar profesi harus memiliki kemampuan untuk
berkolaborasi sehingga dapat timbul rasa saling menghargai antar profesi. Salah satu
temuan lain adalah mahasiswa mengharapkan dosen memiliki kepercayaan diri dalam
penyelenggaran IPE, hal ini didukung oleh Jaques (1998) yang menyatakan
pengalaman dan kepercayaan diri pengajar dalam menyelenggarakan pembelajaran
antar profesi juga dibutuhkan dalam pelaksanaan aktifitas pembelajaran IPE.
Barr (1994) menambahkan seorang fasilitator dalam IPE diharuskan telah
terbiasa dengan dinamika pembelajaran interprofesi, memiliki kemampuan untuk
mengoptimalkan kesempatan belajar, menghargai perbedaan dan keahlian dari profesi
yang berparisipasi dalam grup pembelajaran IPE. Hal ini memiliki kesesuaian yang
diungkapkan oleh mahasiswa dan dosen dalam DKT bahwa dosen yang ideal dalam
penyelenggaraan IPE selain dapat berkomunikasi dengan baik, sebagai inovator ,
dosen tersebut juga harus dapat menghargai profesi lain. Temuan ini juga didukung
Barr dkk (2005), menyebutkan seorang dosen juga harus dapat bertindak sebagai
inovator dalam penyelenggaraan pembelajaran IPE.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
51
Gambar 6. Gambaran dosen Ideal
Gambaran dosen Ideal
Dosen
• Memahami konsep IPE • Komunikasi baik • Menjadi role model • Memahami kompetensi profesi kesehatan lain • Inovator/kreatif • Kemampuan memimpin • Berwawasan luas
• Memahami konsep ipe • Komunikasi baik • Memahami kompetensi profesi kesehatan lain • Inovator/kreatif • Kemampuan memimpin • Pengalaman kolaborasi • Menghargai antar profesi • S2 dan S3 • Berpengalaman di klinik • Berwawasan luas • Motivator • Percaya diri • Mampu membuat modul operasional ipe \
Mahasiswa
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
52
G. Indikator Keberhasilan program IPE
Program IPE dikatakan sukses jika memenuhi beberpa syarat yaitu : 1).
Pendekatan tim dilakukan dalam penyelesaian masalah; 2). Efek dari IPE dapat
diukur secara jelas seperti ketika keterampilan berfikir kritis meningkat; 3).
Sumber pendukung IPE yang diakui dan terpercaya; 4). Dukungan dari fakultas
dan mahasiswa; 5). Keterampilan yang diajarkan sesuai dengan kompetensi yang
diharapkan dari tiap profesi; 6). Pengetahuan dan keterampilan dapat diajarkan
secara eksplisit dan jelas sehingga peserta didik tetap menguasai walaupun
dipraktekan pada kasus lain yang berbeda (Freeth et.al., 2005). Hal ini sesuai
dengan hasil FGD yang menyebutkan bahwa indikator keberhasilan IPE menurut
ahasiswa maupun dosen adalah tercapainya kompetensi mahasiswa baik itu
kompetensi mandiri profesi maupun kompetensi kolaboratif, terdapat standar
pelaksanaan program dan evaluasi program, evaluasi yang jelas dan terukur,
terciptanya pembelajaran terintegrasi, dan keterlibatan mahasiswa dalam evaluasi
program. Hal lain yang muncul adalah mengenai kegiatan ekstrakurikuler dari
FGD dosen adalah mengenai pengadaan penelitian terintegrasi dalam framework
IPE kemudian mahasiswa menambahkan indikator lain yaitu terciptanya
organisasi mahasiswa interdisiplin dan terciptanya kepuasan mahasiswa terhadap
proses pembelajaran.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
53
Gambar 7. Indikator keberhasilan program IPE
Indikator keberhasilan program IPE
Dosen
Mahasiswa
• Tercapai kemampuan mahasiswa (soft skill dan hard skill) • Tercapainya Kemamppuan mahasiswa (mandiri dan kolaborasi) • Terbentuk bagian khusus IPE • Nilai lebih baik dari konvensional • Terbentuk Standar pencapaian pembelajaran • Ujian integrasi antar profesi dan ujian interen masing-masing
profesi • Terbentuk Standar evaluasi program dan efektivitas
pembelajaran • Keterlibatan mahasiswa dalam evaluasi program • Hasil pre test dan post test • Terdapat Standar baku penilaian kemampuan mahasiswa yang
disepakati semua pihak fakultas • Harus SMART (Specific, Measurable, Acceptable, Reasionale,
Timing) • Program berkesinambungan • Adanya modul pembelajaran • Berkembangnya penelitian IPE
• Kemampuan mahasiswa (soft skill dan hard skill) • Terbentuk bagian khusus IPE • Terbentuk Standar pencapaian pembelajaran • Ujian integrasi antar profesi dan ujian interen
masing-masing profesi • Terbentuk standar evaluasi program dan efektivitas
pembelajaran • Keterlibatan mahasiswa dalam evaluasi program • Aktivitas organisasi mahasiswa antar profesi • Kepuasan mahasiswa dalam pembelajaran • Terbentuk standar baku penilaian kemampuan
mahasiswa yang disepakati semua pihak fakultas • Kemamppuan mahasiswa (mandiri dan kolaborasi)
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
54
H. Persiapan pelaksanaan IPE
Menurut Freet et.al. (2005) pelaksanaan suatu program pembelajaran harus
mempersiapkah beberapa hal yaitu: 1). Tujuan pembelajaran yang diharapkan dari
program dan hal ini merupakan langkah awal yang sangat substansial; 2)..
Rasionalisasi dari penyelenggaraan program pembelajran termasuk analisis
kebutuhan dari segi kebijakan, praktik, pelayanan dan organisasi atau
institusional; 3). Silabus atau konten merupakan daftar topic yang akan
disampaikan dalam pembelajaran; 4). Strategi pembelajaran yaitu rencana metode
pembelajaran yang menggambarkan dengan jelas manganai filosofi pendidikan,
rencana proses pembelajaran, siklus peningkatan kualitas, dan menyeimbangkan
ke dalam tatanan praktik; 5). Strategi penilaian termasuk watu, frekuensi, dan
jenis baik itu formative maupun summative. Selain itu perlunya ada penialaian
secara individu untuk mengetahui perspektif dari peserta didik sebagai bahan
pertimbangan peningkatan kualitas; 6). Sumber daya baik itu sumber daya
manusia, finansial maupun fasilitas.
Menurut hasil FGD dosen dan mahasiswa berpendapat yang harus disiapkan
adalah dimulai dengan penyamaan pemahamman mengenai IPE sehingga
terbentuknya kesepakatan antar fakults profesi kesehatan dan sinkronisasi
birokrasi serta bagian administrasi khusus untuk mengkoordinir kegiatan
pembelajaran IPE. Selain itu diiringi dengen tersedianya fasilitas, pengajar,
standar kurikulum dan penyelenggaraan IPE. Kemudian perlu adanya dukungan
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
55
secara eksternal yaitu kebijakan dan regulasi dari universitas maupun pemerintah
bagian terkait. Kerja sama dengan mitra lahan praktik pun perlu direncanakan
secara detail.
Pelaksanaan IPE yang sukses harus memperhatikan dua elemen yaitu faktor
langsung meliputi dan tidak langsung. Menurut Oandasan & Reeves (2005)
faktor yang mempengaruhi secara langsung yaitu pendekatan teori yang
digunakan dalam menentukan strategi pembelajaran, metode pembelajaran yang
digunakan, sasaran peserta didik, setting pembelajaran, kompetensi pembelajaran,
peran fakultas, dan waktu penerapan pembelajaran IPE. Selain itu, faktor tidak
langsung yang perlu diperhatikan meliputi mikro (level individual), meso (level
institutional/organisasi) and makro (level socio-kultural and politik). Menurut
Bagg (1994) level mikro meliputi proses sosialisasi IPE kepada tiap individu baik
mahasiswa maupun pendidik sehingga membentuk kesiapan dan sikap yang
mendudkung penerapan IPE. Pirrie et al. (1998) mengungkapkan level meso yaitu
mengenai administrasi dan logistic serta komitmen dan kerja sama antar fakultas.
Level makro meliputi managemen dan kebijakan dari pemerintah. Parsell & Bligh
(1998) dan Freeth (2001) berpendapat bahwa dukungan politis dari pemerintah
terhadap IPE dapat membantu dalam memotivasi intitusi untuk menerapkan IPE.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
56
Gambar 8. Persiapan pelaksanaan IPE
Persiapan pelaksanaan IPE
Dosen
Mahasiswa
• Fasilitator • komitmen mitra institusi • Bagian administrasi koordinator IPE • Lahan praktik • fasilitas fisik • standar kurikulum • SOP penyelenggaraan IPE dari DIKTI • Kebijakan hukum dan regulasi • komitmen antar institusi • Sinkronisasi Birokrasi
• Fasilitator • Bagian administrasi koordinator IPE • fasilitas fisik • standar kurikulum • SOP penyelenggaraan IPE dari DIKTI • Kebijakan hukum dan regulasi • komitmen antar institusi • Sinkronisasi Birokrasi • Modul pembelajaran • Kajian IPE
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
57
I. Hambatan dalam pelaksanaan IPE
Sebagian besar mahasiswa dan dosen menyatakan bahwa Ego masing masing
profesi pada mahasiswa dapat menjadi penghambat dalam pelaksanaan IPE. Hal ini
dimungkinkan karena rendahnya persepsi tentang batasan dan keuntungan
pembelajaran dengan basis IPE, menurut Gilbert (2005) sit Liaskos, dkk (2008)
Persepsi dan kebutuhan mahasiswa dan komponen akademik lain terhadap IPE juga
harus diperhatikan. Menurut Pryce and Reeves (1997) persepsi yang rendah terhadap
keuntungan dari pembelajaran IPE dapat menyebabkan mahasiswa kurang
menghargai pembelajaran dalam bentuk IPE, sehingga dapat menjadi salah satu
penghambat dalam pelaksanaan IPE.
Menurut dosen dan mahasiswa peraturan dan birokrasi yang berbeda antar
fakultas juga merupakan hambatan dalam pelaksanaan IPE. Hal ini juga dikemukakan
oleh Gilbert (2005) sit Liaskos, dkk (2008) mengenai hambatan dalam pelaksanaan
IPE menurut diantaranya terdapat perbedaan syarat dan ketentuan sebelum masuk
kedalam tingkat profesi, lama dari program profesi, tingkat dan sifat pemanfaatan
sumber daya untuk komunitas dan rumah sakit praktek ( bidang klinis ) pendidikan,
kebebasan mahasiswa, ketidaktersediaannya tingkat profesi, perbedaan jadwal
akademik dan perbedaan yang timbul antar profesi, padatnya jadwal mengajar
dosen, hasil penelitian dari fakultas yang berkepentingan, metode administrasi yang
berbeda-beda, dan tingkat kewenangan dekan di masing-masing fakultas dalam
mengatur kurikulum.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
58
Kroboth dkk, (2005), menyebutkan dalam penyelenggaraan IPE diperlukan
dukungan dan komitmen yang kuat dari semua staheholder baik dari tingkat dekanat
dari masing-masing profesi, pemerintah yang bertangung jawab terhadap seluruh
pendidikan kesehatan dan juga administratif utama di tingkatan universitas. Para
stake holder juga harus dapat mengetahui kebutuhan fakultas dalam penyelenggaran
IPE diantaranya; mengenalkan IPE dalam tingkatan intrakurikuler (termasuk tingkat
klinik) maupun program ekstrakurikuler, aturan yang mengatur mengenai fasilitasi
IPE dan alokasi sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun dan menjaga
keberlangsungan program. Apabila hal-hal tersebut tidak tersedia maka bisa menjadi
penghambat terselenggaranya IPE, seperti yang dikemukakan mahasiswa belum
tersedianya fasilitator yang paham IPE, pendanaan serta perbedaan birokrasi dapat
menjadi salah satu penghambat terlaksananya IPE.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
59
Gambar 9. Hambatan dalam pelaksanaan IPE
Hambatan dalam pelaksanaan IPE
Dosen
Mahasiswa
• Ego masing-masing fakultas • Peraturan dan birokrasi yang berbeda antar fakultas • Nama fakultas kedokteran • Kekaburan peran masing-masing profesi • Belum ada payung hukum semua profesi kesehatan • Masalah internal sejawat • Pendanaan • Perbedaan kurikulum • Keberagaman jenjang pendidikan
• Ego masing masing profesi pada mahasiswa • Ego masing-masing fakultas • Peraturan dan birokrasi yang berbeda antar fakultas • Kurangnya kesadaran tiap fakultaas kesehatan terhadap IPE • Belum tersedianya fasilitator yang paham IPE • Pandangan masyarakat terhadapp profesi kesehatan • Nama Fakultas Kedokteran • Masalah internal sejawat • Komunikasi antar profesi yang masih belum optimal • Kekaburan peran masing-masing profesi • Kurang Kepercayaan diri • Kurangnya forum diskusi antar profesi kesehatan • Kesibukan kegiatan pembelajaran masing-masing akademik • Pendanaan • perbedaan kurikulum • keberagaman jenjang pendidikan • Fasilitas integrasi belum mununjang • Belum ada payung hukum semua profesi kesehatan • IPE belum tersosialisasikan • Kultur (budaya) yang beragam
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
60
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kompetensi dalam pembelajaran IPE, meliputi kompetensi pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap yang terkait dengan kemampuan dalam kerja tim yang
akan dijalaninya dalam melakukan praktik bersama
2. Alternatif metode pembelajaran yang mungkin untuk penerapan IPE, adalah
metode pembelajaran yang bisa didesign secara komprehensif untuk proses
belajar antar profesi secara bersama-sama. Adapun metode pembelajaran
tersebut meliputi kuliah, diskusi tutorial, skills laboratorium, field study, KKN,
kepaniteraan, praktik klinik. Selain hal tersebut penumbuhan proses belajar
bersama bisa dilakukan pada saat orientasi mahasiswa baru dan dalam kegiatan
organisasi mahasiswa
3. Topik yang menarik untuk penerapan IPE, meliputi topik-topik yang menarik
dan dan menantang, yang memungkinkan untuk mengembangkan semangat kerja
tim. Topik yang mungkin dikembangakan diantaranya, komunikasi, kerja tim,
profesionalisme bidang kesehatan. Selain topik-topik tersebut, masalah
kesehatan global, masalah bencana, serta upaya promotif dan preventif pada
tatanan pelayanan klinis dan komunitas juga menjadi topik yang menarik untuk
dibahas
4. Penerapan IPE diharapkan suatu proses yang berkesinambungan yang dimulai
sejak mahasiswa baru, saat pendidikan tahap akademik dan tahap profesi.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
61
5. Gambarandosen ideal dalammemfasilitasipembelajaran IPE,
memahamikonsep IPE, memahamikompetensiprofesikesehatan lain,
menghargaiprofesi lain, memilikipengalamankolaborasi, inovatif,
mampumenjadipemimpin, danmampumenjadi role model. Hal
tersebutterwujuddalamkemampuandosendalammenginisiasidanmengembang
kan model pembelajaran IPE
6. Indikatorkeberhasilan program IPE, adanyastandarpencapaianhasilbelajar,
adanyastandarevaluasi, yang dituangkan dalam standar input, proses, dan out
put yang melibatkan semua komponen yang dijalankansecara SMART
(Specific, Measurable, Aceptable, Reasonable dan Timing)
7. Persiapan untuk pelakasanaan IPE adalah diawali dengan komitmen antar
institusi pendidikan profesi kesehatan. Selain itu tersedianya sumber daya
fasilitator yang kompeten dan paham IPE, fasilitas fisik, bagian khusus untuk
mengkoordinir program IPE, standar pelaksanaan program IPE, modul
pembelajaran dan standar evaluasi program. Hal ini diperkuat dengan adanya
kekuatan regulasi dan kekuatan hukum.
8. Hambatan dalam pelaksanaan IPEadalah dari ego masing masing profesi,
beragamnya birokrasi dan kurikulum di tiap institusi pendidikan profesi
kesehatan, fasilitas fisik dan konsep pembelajaran yang belum jelas,
paradigma terhadap profesi kesehatan , kekaburan identitas dan peran
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
62
masing – masing profesi, belum adanya kejelasan paying hokum tiap profesi
kesehatan, serta budaya .
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, serta kesimpulan, dapat disarankan
hal-hal berikut :
1. Bagi institusi pendidikan kesehatan perlunya sosialisasi tentang IPE secara lebih
luas dan komprehensif bagi institusi, setaf pendidik, mahasiswa, dan staf
kependidikan
2. Bagi institusi pendidikan kesehatan, untuk memulai pengembangan metode
pembelajaran yang mendukung adanya konsep kolaborasi
3. Bagi pemegang kebijakan pendidikan tinggi kesehatanagar mengitegrasikan IPE
dalam kurikulum baku
4. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan mampu mengembangkan kajian aplikatif
mengenai metode pembelajaran IPE ini dalam bentuk simulasi dan evaluasi
yang lebih komprehensif
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
63
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
64
DAFTAR PUSTAKA
A’la, M.Z. (2010) Gambaran Persepsi dan Kesiapan Mahasiswa Tahap Akademik terhadap Interprofessional Education di Fakultas Kedokteran UGM. Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
American College of Clinical Pharmacy (ACCP). (2009) Interprofessional Education: Principles and Application, A Framework for Clinical Pharmacy. Pharmacotherapy, 29 (3), 145-164.
Anderson, M. (2004) Literature Review for Guidelines Development. Discussion Paper prepared for Multidisiplinary Collaborative Primary Maternity Care Project. Ottawa.
Azwar, A.. (1994). Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Yayasan Penerbitan IDI.
Azwar, S.. (2010) Pengukuran Skala Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta.
Baggs, J. G. (1994). Development of An Instrument To Measure Collaboration and Satisfaction About Care Decisions. Journal of Advanced Nursing, 20(1), 176 – 182.
Baker, C., Pulling, C., McGraw, R., Dagnone, JD., Hopkins-Rosseel, D., Medves, J. (2008). Simulation in Interprofessional Education for Patient-Centred Collaborative Care. Journal of Advanced Nursing 64(4), 372–379
Barr, H. , 1996, Ends and Means in Interprofessional Education: Towards A Typology. Education for Health, 9, 341 – 352.
Barr H, Freeth D, Hammick M, Koppel I, Reeves S. (2006). The Evidence base and recommendations for interprofessional education in health and social care. Journal of Interprofessional Care, 20:75–78.
Barr, H., Koppel, I., Reeves, S., Hammick, M. & Freeth, D. (2005) Effective Interprofessional Education: Argument, Assumption and Evidence. 1st ed. Blackwell Publishing. Oxford.
Barr, H. (1998) Competent to Collaborate: Towards a Competency-based Model for Interprofessional Education. Journal of Interprofessional Care, 12:181-187.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
65
Borrill, C., Carletta, J., Carter, A., Dawson, J., Garrod, S., Rees, A., Richards, A., Shapiro, D., & West, M. (2001). The effectiveness of health care teams in the National Health Service. Birmingham: University of Aston.
Buring, S.M., Bhushan, A., Broeseker, A., Conway, S., Duncan-Hewitt, W., Hansen, L. & Westberg, S. (2009) Interprofessional Education Supplement: Interprofessional Education: Edinitions, Student Competencies, and Guidelines for Impementation. American Journal of Pharmaceutical Education, 73 (4) Article 59.
Canadian Interprofessional Health Collaborative (CIHC) (2009) What is Collaborative Practice.
Carpenter, J. (1995) Doctors and Nurses: Stereotypes and Stereotype Change in Interprofessional Education. Journal of Interprofessional Care, 9 (2).
Cleghorn, G.D. & Baker, G.R. (2000) What Faculty Need to Learn About Improvement and How to Teach it to Others. Journal of Interprofessional Care, 14 (2).
Cooper, H., Carlisle, C., Gibbs, T., & Watkins, C. (2001). Developing an evidence base for interdisciplinary learning: a systematic review. Journal of Advanced Nursing, 35, 228 – 237.
Curran, V.R., Sharpe, D. & Forristall, J. (2007) Attitudes of Health Sciences Faculty Members Towards Interprofessional teamwork and education. Blackwell Publishing, Medical Education; 41:892-896.
Dahlan, S. (2009) Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan edisi 4. Jakarta: Salemba Medika.
Defloor T., Van Hecke A., Gobert M., Darras E. & Grypdonck M. (2006) The clinical nursing competencies and their complexity in Belgian general hospitals. Journal of Advanced Nursing 56, 669– 678.
Fauziah, F.A. (2010) Analisis Gambaran Persepsi dan Kesiapan Mahasiswa Profesi FK UGM terhadap Interprofessional Education di Tatanan Pendidikan Klinik. Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
66
Freeth, D. (2001). Sustaining Interprofessional Collaboration. Journal of Interprofessional Care, 15, 37 – 46.
Freeth, D., Hammick, M., Reeves, S., Koppel, I. & Barr, H. (2005) Effective Interprofessional Education: Development,, Delivery and Evaluation. 1st ed. Blackwell Publishing. Oxford.
Gardner, S.F., Chamberlin, G.D., Heestand, D.E. & Stowe, C.D. (2002) Interdiciplinary Didactic Instruction at Academic Health Centers in United States: Attitude and Barriers. Kluwer Academic Publishers, Advanced in Health Sciences Education 7; 179-790.
Gilbert, J.H.V. (2005) Interprofessional Education for Collaborative, Patient-Centered Practice. Nursing Leadership,18: (02).
Girot E. (2003) Assessment of Competence in Clinical Practice – a Review of The Literature. Nurse Education Today 13, 83–89.
Glen, S. dan Reeves, S., 2004, Developing Interprofessional Education In The Pre-Registration Curricula: Mission Impossible?, Nurse Education In Practice 4, 45–52
Hesketh, E.A., Bagnall, G., Buckley, E.G., Friedman, M., Goodall, E., Harden, R.M, et al. (2001). A Framework for Developing Excellence as a Clinical Educator. Medical Education, 35: 555-564.
Harsono Dan Yohannes, H.C., 2005, Kurikulum Terpadu, Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal.6
Institute for Healthcare Improvement (IHI) (2003) IHI’s Collaboration Model for Achieving Breakthrough Improvement.
Kroboth dkk, 2005, Getting to Solutions in Interprofessional Education: Report of the 2006-2007 Professional Affairs Committee, American Journal of Pharmaceutical Education 2007; 71 (6) Article S19.
Lee, R. (2009) Interprofessional Education: Prociples and Application. Pharmacotherapt, 29 (3): 145e-164e.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
67
Liaskos,J dkk., 2008 Promoting interprofessional education in health sector within the European Interprofessional Education Network, Int. J. Med. Inform, doi:10.1016/j.ijmedinf.2008.08.001
Lindqvist, S.M. & Reeves, S. (2007) Facilitators’ Perceptions of Delivering Interprofessional Education: a Qualitative Study. Medical Teacher, 29: 403-405.
Mariano C. (1999). The case for interdisciplinary collaboration. Nurse Outlook, 37 (6):285-258.
Martin-Ridriguez, S.L., D’Amour, D, & Leduc, N. (2008) Outcomes of Interprofessional Collaboration for Hospitalized Cancer Patients. Cancer Nursing [Cancer Nurs]; 31 (2), 18-27. diakses dari http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=1&hid=109&sid=5fa29feb-91df-41b3-a1f4-4bc8f0a8ca75%40sessionmgr113&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ%3d%3d#db=mnh&AN=18490877 pada 7 Agustus 2010.
McFayden, A.K., Webster, V., Strachan, K., Figgins, E., Brown, H. & MCkechnie, J. (2005) The Readiness for Interprofessional Learning Scale: A Possible more Stable sub-scale Model for the Original Version of RIPLS. Journal of Interprofessional Care; 19 (6): 595-603. diakses dari http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?vid=2&hid=110&sid=386b358b-4507-4053-8bd4-e783504b55f7%40sessionmgr104 pada 16 Agustus 2010.
Moleong (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Morison, S., Boohan, M., Moutray, M & Jenkins, J. (2004) Developing pre-qualification Interprofessional Education for Nursing and Medical Studenrs: Sampling Student Attitudes to Guide Development. Nurse Education in Practice (4), 20-29.
O’Daniel, M. & Rosenstein, A.H. (2007) Patient-Safety and Quality: An Evidence-Based Handbook for Nurse.
Oandasan I, Reeves S (a). (2005). Key elements for interprofessional education. Part 1: the learner, the educator and the learning context. Journal of Interprofessional Care, 19(Suppl 1):21-38.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
68
Oandasan I, Reeves S (b). (2005). Key elements of interprofessional education. Part 2: factors, processes and outcomes. Journal of Interprofessional Care, 19(Suppl 1):39-48.
Parsell, G., & Bligh, J. (1998) Interprofessional learning. Postgraduate Medical Journal, 74(868), 89 – 95.
Parsell, G. & Bligh. (1999) The Development of a Questionnaire to assess the Readiness of Health Care Students for Interprofessional Learning (RIPLS). Medical Education; 33: 95-100.
Parsell G., Spalding R., Bligh, J., 1998, Shared Goals, Shared Learning: Evaluation Of A Multiprofessional Course For Undergraduate Students. Medical Education 32, 304–311 Sit Glen, S. dan Reeves, S., 2004, Developing Interprofessional Education In The Pre-Registration Curricula: Mission Impossible?, Nurse Education In Practice 4, 45–52
Prahastuti, B.S. (2009) Efektivitas Konseling dan Pendidikan Sebaya Untuk Meningkatkan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Remaja Putri Usia 15-19 Tahun dalam Pencegahan terhadap Anemia di Kabupaten Subang. Tesis Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Reeves, S. (2001). A Systematic Review of The Effects of Education on Staff Involved in The Care of Adults with Mental Health Problems. Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing, 8, 533 – 542.
Schmitt, M. (2001). Collaboration Improves the Quality of Care: Methodological Challenges and Evidence from US Health Care Research. Journal of Interprofessional Care, 15, 47 – 66.
Sarwono, J. (2006). Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Siegler, E.L., Whitney, F.W. (1994). Kolaborasi Perawat-Dokter: Perawatan Orang Dewasa dan Lansia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Steinert, Y. (2005) Learning Together to Teach Together: Interprofessional Education and Faculty Development. Journal of Interprofessional Care, Supplement I: 60-75.
Steinert, Y. (2009) Mapping the Teacher’s Role: The Value of Defining Core Competencies for Teaching. Medical Teacher; 31: 371-372.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
69
Stewart, M., Purdy, J., Kennedy, N. & Burns, A. (2010) An Interprofessional Approach to Improve Pediatric Medication Safety. BMC Medical Education, 10:19.
Sugiyono (2007) Statistika untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung.
West, M., & Slater, J. (1996). Teamworking in primary health care: A review of its effectiveness. London: Health Education Authority.
Zwarenstein, M., Reeves, S., Barr, H., Hammick, M., Koppel, I., & Atkins, J. (2001). Education: Effects on Professional Practice and Health Care Outcomes. Cochrane Database Systematic Reviews, 1
Zwarenstein, M., & Bryant, W. (2000). Interventions to Promote Collaboration between Nurses and Doctors. Cochrane Database Systematic Reviews, 2.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
70
LAMPIRAN
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
71
Lampiran 1
ANTISIPASI PERMASALAHAN
Permasalahan yang akan muncul dalam pelaksanaan penelitian ini
diperkirakan bersifat teknis pada saat pengambilan data, penjelasannya pada tabel
berikut:
Tabel 1 Permasalahan dan penyelesaian
Permasalahan Penyelesaian
Responden yang tidak dinamis dan kondusif saat FGD berlangsung
Membuat kriteria inklusi responden yakni: mahasiswa tahun akhir tahap akademik, memiliki pengalaman organisasi minimal satu tahun, menjadi responden pada studi kuantitatif, menunjukkan nilai sikap dan kesiapan yag baik pada penelitian tahap I
MANAJEMEN PENELITIAN
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan oleh sebuah tim peneliti yang
beranggotakan 12 orang dengan pembagian tugas sebagai berikut:
Tabel 2 Peran dan pembagian tugas tim peneliti
No Nama Peran Deskripsi Tugas
1 Mariyono Sedyowinarso, S.Kp.,
M.Si
Peneliti utama Menjalankan
fungsi sebagai
ketua pelaksana
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
72
No Nama Peran Deskripsi Tugas
dalam penelitian
2 Fitri Arkham Fauziah
Anggota
peneliti
Menjalankan
penelitian dari
awal sampai akhir
secara keseluruhan
3 Nurita Aryakhiyati
Anggota
peneliti
Menjalankan
penelitian dari
awal sampai akhir
secara keseluruhan
4 Mawar Putri Julica
Anggota
peneliti
Menjalankan
penelitian dari
awal sampai akhir
secara keseluruhan
5 Lafi Munira
Anggota
peneliti
Menjalankan
penelitian dari
awal sampai akhir
secara keseluruhan
6 Endah Sulistyowati
Anggota
peneliti
Menjalankan
penelitian dari
awal sampai akhir
secara keseluruhan
7 Fatia Nur Masriati Anggota
peneliti
Menjalankan
penelitian dari
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
73
No Nama Peran Deskripsi Tugas
awal sampai akhir
secara keseluruhan
8 Samuel Josafat Olam
Anggota
peneliti
Menjalankan
penelitian dari
awal sampai akhir
secara keseluruhan
9 Redho Meisudi
Anggota
peneliti
Menjalankan
penelitian dari
awal sampai akhir
secara keseluruhan
10 Saskia Piscesa
Anggota
peneliti
Menjalankan
penelitian dari
awal sampai akhir
secara keseluruhan
11 Maryam Afifah
Anggota
peneliti
Menjalankan
penelitian dari
awal sampai akhir
secara keseluruhan
12 Candrika Dini
Anggota
peneliti
Menjalankan
penelitian dari
awal sampai akhir
secara keseluruhan
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
74
ETIKA
Penelitian ini akan dilaksanakan setelah mendapat persetujuan etik dari
KEPK-BPPK Indonesia. Sebelum pengambilan data dilaksanakan, peneliti atau akan
memberikan penjelasan yang memadai secara tertulis dengan bahasa atau cara yang
mudah dimengerti kepada semua subjek, untuk meminta persetujuan dari setiap
subjek yang akan diikutsertakan sebagai subjek penelitian. Data pribadi subjek akan
dirahasiakan.
KEUANGAN DAN ASURANSI
Keuangan atau pendanaan penelitian ini diberikan oleh World Bank melalui
Health Professional Education Quality (HPEQ) Project, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
75
Lampiran 2
PANDUAN FGD
Pre FGD
Tujuan:
mendapatkan gambaran masukan mengenai panduan pelaksanaan FGD.
Metode:
Kegiatan ini dimulai dengan menyusun draft inti permasalahan yang berkaitan
dengan IPE yang mungkin dapat ditanyakan pada pakar di bidang IPE. Pakar tersebut
terdiri atas 4 orang, yaitu 2 orang dari Indonesia dan 2 orang ahli dari luar negri. Inti
permasalahan tersebut akan dijabarkan oleh pakar menjadi daftar pertanyaan yang
mungkin akan dimasukkan dalam panduan FGD pada kajian tahap II. Inti
permasalahan yang mungkin dapat didiskusikan dengan pakar adalah:
a. Kompetensi yang diharapakan akan dicapai mahasiswa setelah mengikuti
kegiatan pembelajaran IPE
b. Metode pembelajaran yang mungkin dapat diterapkan untuk mencapai
kompetensi IPE
c. Topik pembelajaran yang mungkin dapat diterapkan dalam IPE
d. Waktu yang sesuai untuk penerapan IPE di tingkat institusi
e. Evaluasi proses dan hasil pembelajaran IPE
f. Sarana dan prasarana yang mungkin diperlukan dalam penerapan pembelajaran
IPE
g. Karakteristik mahasiswa yang harus dipenuhi sebelum mahasiswa tersebut
terlibat dalam proses pembelajaran
h. Kompetensi dosen pengajar atau fasilitator yang tepat untuk memfasilitasi
pembelajaran IPE.
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
76
FGD
Tujuan
Mengetahui pendapat mahasiswa tentang metode pembelajaran IPE yang sesuai
dengan kebutuhan mahasiswa.
Peserta:
- Jumlah: 42 mahasiswa untuk 6 kelompok FGD, masing-masing kelompok
terdiri atas 7 peserta
- Peserta terdiri dari 1 perwakilan masing-masing organisasi mahasiswa profesi
kesehatan
Waktu :
FGD akan dilaksanakan pada minggu I bulan Oktober 2011
Tempat
FGD akan dilaksanakan di 2 kota yaitu Yogyakarta dan Makassar
Tugas Fasilitator FGD
- Menerangkan tujuan FGD
- Menjelaskan secara singkat mengenai IPE
- Memfasilitasi jalannya diskusi secara sistematis/terarah untuk mendapatkan
informasi, sebagai berikut:
a. Kompetensi yang diharapakan akan dicapai mahasiswa setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran IPE
b. Metode pembelajaran yang mungkin dapat diterapkan untuk mencapai
kompetensi IPE
c. Topik pembelajaran yang mungkin dapat diterapkan dalam IPE
d. Waktu yang sesuai untuk penerapan IPE di tingkat institusi
e. Evaluasi proses dan hasil pembelajaran IPE
f. Sarana dan prasarana yang mungkin diperlukan dalam penerapan
pembelajaran IPE
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d
77
g. Karakteristik mahasiswa yang harus dipenuhi sebelum mahasiswa
tersebut terlibat dalam proses pembelajaran
h. Kompetensi dosen pengajar atau fasilitator yang tepat untuk
memfasilitasi pembelajaran IPE.
- Menyimpulkan hasil diskusi dengan cara meringkas poin-poin penting yang
dihasilkan dari diskusi
Bahan yang dibutuhkan
Flipchart, pena/marker berwarna, block note, pena, recorder, video, ruang diskusi
Sumber daya manusia:
Satu asisten pelaksanaan teknis dan 1 orang untuk transkrip dan analisis data FGD
Diundu
h http
://hpe
q.dikt
i.go.i
d