[ ]Sistem Musculoskletal II
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh sinovitis erosive
yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular.1
Sebagian besar kasus perjalanannya kronik fluktuatif yang mengakibatkan kerusakan sendi
yang progresif, kecacatan dan bahkan kematian dini.
Dampak penting dari AR adalah kerusakan sendi dan kecacatan. Kerusakan sendi pada
AR terjadi terutama dalam 2 tahun pertama perjalanan penyakit. Kerusakan ini bisa dicegah
atau dikurangi dengan pemberian DMARD, sehingga diagnosis dini dan terapi agresif sangat
penting untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien AR. Pada sisi lain diagnosis dini
dan terapi agresif sangat penting untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien AR. Pada
sisi lain diagnosis dini sering menghadapi kendala yaitu pada dini sering belum didapatkan
gambaran karakteristik AR karena gambaran karakteristik AR berkembang sejalan dengan
waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat. Diagnosis
AR hingga saat ini masih mengacu pada criteria diagnosis menurut ACR tahun 1987, tetapi di
Indonesia gejala klinis nodul rheumatoid sangat jarang ditemui.1 Berdasarkan hal ini perlu
dipikirkan untuk membuat criteria diagnosis AR versi Indonesia pada masa yang akan datang
berdasarkan data pola klinis AR di Indonesia. Artritis Reumatoid sering mengenai penduduk
pada usia produktif sehingga member dampak social dan ekonomi yang besar.
Page 1
[ ]Sistem Musculoskletal II
BAB II
Nyeri dan bengkak pada pergelangan dan jari-jari tangan, simetris, disertai kaku di
pagi hari
I. ANAMNESIS
a. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal diagnosis semua penyakit, termasuk
pula penyakit reumatik. Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif
dan kronologis.
b. Umur
Penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi frekuensi setiap penyakit terdapat
pada kelompok umur tertentu. Misalnya osteoarthritis lebih sering ditemukan pada pasien
lanjut usia dibandingkan usia muda. Sebaliknya lupus eritematosus sistemik lebih ditemukan
pada kelompok wanita muda dibandingkan kelompok usia lainnya.
c. Jenis Kelamin
Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin berbeda pada beberapa kelompok
penyakit.
d. Nyeri Sendi
Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien reumatik. Pasien sebaiknya diminta
menjelaskan lokasi nyeri serta punctum maximumnya , karena mungkin sekali nyeri tersebut
menjalar ke tempat jauh merupakan keluhan karakteristik yang disebabkan oleh penekanan
radiks saraf.3,4 Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanis
dengan yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang setelah
istirahat serta tidak timbul pada pagi hari merupakan tanda nyeri mekanis. Sebaliknya nyeri
inflamasi akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur dan disertai kaku sendi atau
nyeri yang hebat pada awal gerak dan berkurang setelah melakukan aktivitas. Terdapat
beberapa hal penting yang menjadi dasar kajian awal terhadap rasa nyeri yang dikeluhkan
seorang pasien, yaitu:
Lokasi nyeri
Page 2
[ ]Sistem Musculoskletal II
Mintalah pada pasien untuk menjelaskan daerah mana yang merupakan bagian paling
nyeri atau sumber nyeri. Walaupun demikian perlu diperhatiakan bahwa lokasi anatomic
ini belum tentu sebagai sumber rasa nyeri yang dikeluhkan pasien.
Intensitas nyeri
Pada umumnya digunakan rating scale dengan analogi visual atau dikenal sebagai
Visual Analogue Scale (VAS).3,4 Mintalah pasien membuat rating terhadap rasa nyerinya
(0-10) baik yang dirasakaan saat ini, kapan nyeri yang paling buruk dirasakan atau yang
paling ringan dan pada tingkatan mana rasa nyeri masih dapat diterima.
Kualitas nyeri
Gunakan terminologi yang dikemukakan pasien itu sendiri seperti nyeri tajam, seperti
terbakar, seprti tertarik, nyeri tersayat dan sebagainya.
Awitan nyeri, variasi durasi dan ritme
Perlu ditanyakan kapan mulai nyeri terjadi, variasi lamanya kejadian nyeri itu sendiri
serta adakah irama atau ritme terjadinya maupun intensitas nyeri. Apakah nyeri tetap
berada pada lokasi yang diceritakan pasien? Apakah nyeri menetap atau hilang timbul
(breakhtrough pain) ?.
Faktor pemberat dan yang meringankan nyeri
Apa saja yang dapat memberatkan rasa nyeri yang diderita pasien dan factor apa saja
yang meringankan rasa nyeri hendaklah ditanyakan pada pasein tersebut.
Pengaruh nyeri
Dampak nyeri yang perlu ditanyakan adalah seputar kualitas hidup atau terhadap hal-
hal yang lebih spesifik seperti pengaruhnya terhadap pola tidur, selera makan, energi,
aktivitas keseharian, hubungan dengan sesame manusia, atau mungkin terhadap mood,
kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan, pembicaraan dan sebagainya.
Gejala lain yang menyertai
Apakah pasien menderita keluhan lainnya disamping rasa nyeri seprti gatal, mual dan
muntah, konstipasi, mengantuk, atau terlihat bingung, retensio urinae serta kelemahan ?.
e. Kaku Sendi
Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar untuk menggerakkan sendi
(worn off).2 Keadaan ini biasanya akibat desakan cairan yang berada di sekitar jaringan yang
mengalami inflamasi(kapsul sendi, sinovia, dan bursa). Kaku sendi makin nyata pada pagi
hari atau setelah istirahat. Setelah digerak – gerakkan, cairan akan menyebar dari jaringan
Page 3
[ ]Sistem Musculoskletal II
yang mengalami inflamasi dan pasien merasa terlepas dari ikatan (wears off).3,4 Lama dan
beratnya kaku send pada pagi hari atau setelah istirahat biasanya sejajar dengan beratnya
inflamasi sendi (kaku sendi pada AR lebih lama daripada OA ; kaku sendi pada AR berat
lebih lama daripada AR ringan).
f. Bengak Sendi dan Deformitas
Pasien yang sering mengalami bengkak sendi, ada perubahan warna, perubahan bentuk
atau perubahan posisi struktur ekstremitas. Biasanya yang dimaksud pasien dengan
deformitas ialah posisi yang salah, dislokasi atau subluksasi.
g. Disabilitas dan Handicap
Disabilitas terjadi apabila suatu jaringan, organ atau system tidak dapat berfungsi secara
adekuat. Handicap terjadi bila disabilitas mengganggu aktivitas sehari – hari, aktivitas social
atau mengganggu pekerjaan/jabatan pasien. Disabilitas yang nyata belum tentu menyebabkan
handicap (seseorang yang diamputasi kakinya di atas lutut mungkin tidak akan mengalamai
kesukaran bila pekerjaan yang bersangkutan dapat dilakukan sambil duduk saja). Sebaliknya
disabilitas ringan justru dapat mengakibatkan handicap.3,4
h. Gejala Sistemik
Penyakit sendi inflamator baik disertai maupun tidak disertai keterlibatan multisystem
lainnya akan mengakibatkan peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau
CRP. Selain itu akan disertai gejala sistemik seperti panas, penurunan berat badan, kelelahan,
lesu, dan mudah terangsang. Kadang – kadang pasien mengeluh hal yang tidak spesifik,
seperti merasa tidak enak badan. Pada orang usia lanjut sering disertai gejala kekacauan
mental.
II. PEMERIKSAAN
II.1. PEMERIKSAAN FISIK
1. Selama inspeksi, kita harus memperhatikan kesimetrisan bagian yang terkena. Apakah
terdapat perubahan yang simetris pada persendian di kedua sisi tubuh, atau apakah
perubahan hanya terjadi pada satu atau dua sendi saja?
Kelainan akut hanya pada satu sendi menunjukkan trauma, arthritis septic, arthritis
gout. Arthritis rheumatoid secara khas melibatkan beberapa sendi dan distribusi
kelainannya simetris.5 Juga perhatikan setiap deformitas atau ketidaksejajaran tulang.
2. Gunakan inspeksi dan palpasi untuk memeriksa jaringan di sekitarnya dengan
memperhatikan perubahan kulit, nodule subkutan, serta atrofi otot. Perhatikan setiap
gejala krepitasi, yaitu bunyi gemeretak yang dapat didengar dan/diraba ketika terjadi
Page 4
[ ]Sistem Musculoskletal II
gerakan tendon atau ligamentum pada tulang. Keadaan ini dapat terjadi pada sendi yang
normal tetapi lebih signifikan ketika disertai gejala maupun tanda.
Nodul subkutan ditemukan pada RA atau demam rematik, efusi ditemukan pada
trauma, krepitasi ditemukan pada daerah sendi yang mengalami inflamasi,
osteoarthritis atau selubung tendon yang mengalami inflamasi.5
3. Pengujian kisaran gerak dan manuver (yang dijelaskan untuk setiap sendi) dapat
memperlihatkan keterbatasan pada kisaran gerak atau peningkatan mobilitas dan
instabilitas sendi karena mobilitas ligamentum sendi yang berlebihan; keadaan ini
dinamakan kelemahan(laksitasi) ligamentum.
Berkurangnya kisaran gerak ditemukan pada arthritis, inflamasi jaringan di sekitar
sendi, fibrosis pada sendi atau di sekitarnya, atau fiksasi tulang (onkilosis).
Kelemahan (laksitas) ligamentum krusiatum anterior (LKA) ditemukan pada trauma
lutut.
4. Pengujian kekuatan otot dapat membantu menilai fungsi sendi.
Atrofi atau kelemahan otot terjadi pada arthritis rematoid. Waspadai khususnya
terhadap tanda-tanda inflamasi dan arthritis.
5. Pembengkakan. Pembengkakan yang dapat diraba meliputi (1) membrane sinovial yang
dapat teraba lunak seperti spons atau liat seperti adonan roti; (2) efusi akibat cairan
sinovial yang berlebihan dalam rongga sendi; dan (3) struktur jaringan lunak seperti
bursa, tendon, serta selubung tendon.
Perabaan lunak seperti spons atau liat seperti adonan roti yang dapat dirasakanpada
membrane sinovia menunjukkan sinovitis yang sering disertai efusi. Cairan sendi
yang dapat diraba ditemukan pada efusi sendi; nyeri tekan di daerah selubung tendon
pada tendinitis.
6. Kalor (rasa hangat). Gunakan punggung jari tangan untuk membandingkan sendi yang
sakit dengan sendo kontralateralnya yang sehat, atau dengan jaringan di sekitarnya jika
kedua sendi itu mengalami inflamasi.
Arthritis, tendinitis, bursitis, osteomielitis.
7. Nyeri tekan. Coba identifikasi struktur anatomic spesifik terasa nyeri ketika ditekan.
Trauma dapat pula menyebabkan nyeri tekan.
Gejala nyeri tekan dan rasa hangat (kalor) di daerah sinovium yang menebal dapat
menunjukkan arthritis atau infeksi.
Page 5
[ ]Sistem Musculoskletal II
8. Kemerahan (rubor). Kemerahan pada kulit di atasnya merupakan tanda inflamasi yang
paling jarang ditemukan di dekat persendian.
Kemerahan (rubor) pada sendi yang nyeri ketika ditekan menunjukkan arthritis septic
atau artritis gout, atau mungkin pula arthritis rematoid.
II.2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Artrosentesis dan Analisis Cairan Sendi
Artrosentesis (aspirasi cairan sendi) dan analisis cairan sendi merupakan pemeriksaan
yang sangat penting di bidang reumatologi, baik untuk diagnosis ataupun penatalaksanaan
penyakit reumatik. Analisis cairan sendi bisa dianalogikan seperti pemeriksaan urinalisis
untuk menilai kelaina traktus urinarius. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan macros,
mikroskopik, dan beberapa pemeriksaan khusus, dimana dari pemeriksaan ini cairan sendi
abnormal dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu : inflamasi, non inflamasi, purulen,
dan hemoragik.6 Walaupun dari masing – masing kategori tersebut terdapat beberapapenyakit
yang menyebabkannya, tetapi paling tidak pemeriksaan ini dapat mempersempit diagnosis
banding. Berdasarkan hasil analisis sejumlah penelitian, Shmerling menyimpulkan bahwa ada
dua alas an terpenting dari analisis cairan sendi adalah untuk identifikasi infeksi sendi dan
diagnosis artropati Kristal.6 Pada umumnya cairan sendi diperoleh dari lutut, walaupun dapat
pula dari sendi – sendi lainnya seperti bahu, siku, dan pergelangan kaki.
Indikasi
Diagnostik
Membantu diagnostic artritis
Memberikan konfirmasi diagnostic klinis
Selama pengobatan artritis septic, artrosentesis dilakukan secara serial untuk
menghitung jumlah leukosit, pengecatan gram dan kultur cairan sendi.
Terapeutik
Artrosentesis saja
Evakuasi kristel untuk mengurangi inflamasi pada pseudogout akut dan crystal
induced arthritis lain.
Evakuasi serial pada artritis septic untuk mengurangi destruksi sendi.
Pemberian kortikosteroid intraartikular
Page 6
[ ]Sistem Musculoskletal II
Mengontrol inflamasi steril pada sendi, bila obat anti inflamasi non steroid telah
gagal, kemungkinan akan gagal atau merupakan kontraindikasi.
Mempersingkat periode nyeri pada artritis gout
Menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat
Membantu terapi fisik pada kontraktur sendi
Kontraindikasi
Diagnosis
Infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi
Bakteriemi
Secara anatomis tidak bisa dilakukan
Pasien tidak kooperatif
Terapeutik
Kontraindikasi diagnostic
Instabilitas sendi
Gambaran Analisa Cairan Sendi Normal6
Jenis pemeriksaan Nilai normal Rata - rata
PH 7.3-7.43 7.38
Jumlah Leukosit/mm3 13-180 63
PMN 0-25 7
Limfosit 0-78 24
Monosit 0-71 48
Sel sinovia 0-12 4
Protein total g/dl 1.2-3.0 1.8
Albumin (%) 56-63 60
Globulin (%) 37-44 40
Page 7
[ ]Sistem Musculoskletal II
Hyaluronat g/dl 0.3
Nekrosis avaskular
Artritis septic
C-Reactive Protein (CRP) 6
Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan CRP
Normal atau peningkatan
tidak signifikan (<1
mg/dl)
Peningkatan sedang
(1-10 mg/dl)
Peningkatan tinggi
(>10 mg/dl)
Kerja berat Infark miokard Infeksi bakteri akut
Common cold Keganasan Trauma berat
Kehamilan Pancreatitis Vaskulitis sistemik
Gingivitis Infeksi mukosa
Stroke Bronchitis.sistitis
Kejang Penyakit rematik
Angina
CRP merupakan salah satu protein fase akut, CRP terdapat dalam konsentrasi rendah
(trace) pada manusia. CRP adalah suatu alfa globulin yang timbul dalam serum setelah
terjadinya proses inflamasi. CRP mempunyai kemampuan untuk mengaktivasi jalur klasik
komplemen setelah berintegrasi dan berikatan dengan berbagai ligan biologic, kemudian
memacu perubahan sel fagosit melalui jalur proinflamasi dan anti inflamasi
Faktor Reumatoid (FR)
FR merupakan antibody sendiri terhadap determinan antigenic a pada fragmen Fe dari
immunoglobulin. Klas immunoglobulin yang muncul dari antibody ini ialah IgM, IgA, IgG,
IgE. Tetapi yang selama ini diukur ialah factor rheumatoid kelas IgM. Istilah reumatoidnya
diberikan karena factor ini kebnayakan diberikan pada AR.
Page 8
[ ]Sistem Musculoskletal II
Perbandingan FR pada AR dan penyakit non- reumatik6
Factor Reumatoid AR Penyakit non reumatik
Titer Tinggi Rendah
Heterogenitas ++ +
Reaksinya terhadap gamma globulin
manusia dan hewan
Lengkap Tidak lengkap
Klas immunoglobulin IgM,IgG,IgA Terutama IgM
Lokasi produksi Sinovium dan tempat
ekstravaskuler lainnya
Tidak jelas tetapi bukan pada
daerah synovial
Radiologik
Perubahan radiologis baru terlihat lama setelah terjadi gejala klinis. Arthritis rematoid
cenderung memiliki distribusi yang simetris, paling sering mengenai tangan dan kaki. Setiap
sendi synovial dapat terlibat, tanda-tanda yang paling signifikan pada ruang sendi, erosi
marginal, dan osteoporosis periartrikular.
Gambaran berikut dapat ditemukan:7
Pembengkakan sendi: akibat proliferasi membrane synovial dan efusi sendi.
Erosi: pada awalnya berlokasi pada daerah periartrikular di sepanjang tepi sendi, di mana
tidak terdapat lapisan pelindung. Erosi biasanya menyebar melewati permukaan
artrikular.
Osteoporosis: pada awalnya berada di periartrikular, namun kemudian menjadi umum
akibat tidak digunakan dan menjadi hyperemia.
Penyempitan rongga sendi: pelebaran rongga sendi pada daerah di luar penyakit, namun
dapat terjadi penyempitan yang signifikan dari erosi dan deformitas kartilago. Obliterasi
dan destruksi komplet pada ruang sendi sewaktu-waktu dapat menyebabkan ankilosis.
Daerah-daerah khusus yang terlibat :
Tangan: sendi metakapofalang (MCP) dan interfalang proksimal (PIP) adalah yang
paling sering terkena, sedangkan sendi interfalang distal jarang terlibat. Kelainan-
kelainan yang meliputi pembengkakan jaringan lunak dan subluksasi pada sendi-sendi
MCP:
Page 9
[ ]Sistem Musculoskletal II
Deformitas ‘Boutonniѐrѐ: deformitas fleksi pada sendi interfalang proksimal dan
perluasan pada sendi interfalang distal.
Deformitas ‘swan neck/leher angsa’: hiperekstensi pada sendi interfalang proksimal
dan fleksi pada sendi interfalang distal.
Kaki: secara umum kelainan menyerupai kelainan pada tangan.
Pergelangan tangan: erosi yang disertai penggabungan tulang karpal.
Siku: lokasi yang umum untuk nodul rheumatoid jaringan lunak.
Bahu: erosi pada kaput humerus dan sendi akromioklavikula.
Lutut: penyempitan rongga sendi yang seragam disertai osteoporosis. Kista Baker
merupakan komplikasinya, dengan rupture yang menyebabkan tanda dan gejala yang
menyerupai tanda dan gejala pada thrombosis vena dalam.
Tulang belakang servikal: subluksasi, erosi, dan gabungan. Subluksasi paling sering
terjadi di sendi atlantoaksial.
Pada pemeriksaan rontgen, semua sendi dapat
terkena, tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris.7 Sendi
sakroiliaka juga sering terkena. Pada awalnya
terjadi pembengkakan jaringan lunak dan
demineralisasi juksta artikular. Kemudian terjadi penyempitan sendi dan erosi.
III. DIAGNOSIS BANDING
III.1. OSTEOARTHRITIS
Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik,
berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya deteriorasi dan abrasi
rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian.8
Page 10
Di metacarpophalangeal subluksasi sendi, dengan ulnaris penyimpangan, pada pasien radang sendi tangan.
Terdefinisi dengan baik erosi tulang di tulang – tulang karpal danmetakarpal basis pasien dengan radang sendi
[ ]Sistem Musculoskletal II
Osteoartritis adalah bentuk artritis yang paling umum, dengan jumlah pasiennya sedikit
melampaui separuh jumlah pasien artritis. Gangguan ini sedikit lebih banyak pada perempuan
daripada laki-laki dan terutama orang-orang yang berusia lebih dari 45 tahun.8 Penyakit ini
pernah dianggap sebagai suatu proses penuaan normal, sebab insidens bertambah dengan
meningkatnya usia. Tetapi, temuan-temuan yang lebih baru dalam bidang biokimia dan
biomekanik telah menyanggah teori ini.
Gejala biasanya timbul secara bertahap dan pada awalnya hanya mengenai satu atau
sedikit sendi. Yang sering terkena adalah sendi jari tangan, pangkal ibu jari, leher, punggung
sebelah bawah, jari kaki yang besar, panggul dan lutut.
Nyeri yang biasanya akan bertambah buruk jika melakukan olah raga, merupakan
gejala pertama. Beberapa penderita merasakan kekakuan pada sendinya ketika bangun tidur
atau pada kegiatan non-aktif lainnya, tetapi kekakuan ini biasanya menghilang dalam waktu
30 menit setelah mereka kembali menggerakkan sendinya.9
Kerusakan karena orteoartritis semakin memburuk, sehingga sendi menjadi sukar
digerakkan dan pada akhirnya akan terhenti pada posisi tertekuk. Pertumbuhan baru dari
tulang, tulang rawan dan jaringan lainnya bisa menyebabkan membesarnya sendi, dan tulang
rawan yang kasar menyebabkan terdengarnya suara gemeretak pada saat sendi digerakkan.
Pertumbuhan tulang (nodus Herbeden) sering terjadi pada sendi di ujung jari tangan.
Pada beberapa sendi (misalnya sendi lutut), ligamen (yang mengelilingi dan
menyokong sendi) teregang sehingga sendi menjadi tidak stabil. Menyentuh atau
menggerakkan sendi ini bisa menyebabkan nyeri yang hebat. Sendi panggul menjadi kaku
dan kehilangan daya geraknya sehingga menggerakkan sendi panggul juga menimbulkan
nyeri.
Osteoartritis sering terjadi pada tulang belakang. Gejala utamanya adalah nyeri
punggung. Biasanya kerusakan sendi di tulang belakang hanya menyebabkan nyeri dan
kekakuan yang sifatnya ringan. Osteoartritis pada leher atau punggung sebelah bawah bisa
menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri dan kelemahan pada lengan atau tungkai, jika
pertumbuhan tulang berlebih menekan persarafannya.
Page 11
[ ]Sistem Musculoskletal II
Kadang pembuluh darah yang menuju ke otak bagian belakang tertekan, sehingga
timbul gangguan penglihatan, vertigo, mual dan muntah. Pertumbuhan tulang juga bisa
menekan kerongkongan dan menyebabkan kesulitan menelan.
III.1.1. Pemeriksaan Fisik Osteoarthritis
a. Hambatan Gerak
Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada osteoartritis yang masih dini (secara
radiologis). Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi
hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh
arah gerakan) meupun eksentris (salah satu arah gerakan saja).
b. Krepitasi
Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinik osteoartritis lutut. Pada awalnya hanya
berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang
memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak
tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat
sendi digerakkan atau secara pasif dimanipulasi.
c. Pembengkakan Sendi yang Seringkali Asimetris
Pembengkakan sendi pada osteoartritis dapat timbul karena efusi pada sendi yang
biasanya tak banyak (<100cc). Sebab lain ialah karena adanya osteofit, yang dapat mengubah
permukaan sendi.10
d. Tanda-tanda Peradangan
Tanda-tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat
yang merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada osteoartritis karena adanya
sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tak menonjol dan timbul belakangan, seringkali dijumpai
di lutut, pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil tangan dan kaki.
e. Perubahan Bentuk (Deformitas) Sendi yang Permanen
Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan
sendi, berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan sendi.
Page 12
[ ]Sistem Musculoskletal II
f. Perubahan Gaya Berjalan
Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat
badan. Terutama dijumpai pada osteoartritis lutut, sendi paha, dan osteoartritis tulang
belakang dengan stenosis spinal. Pada sendi-sendi lain, seperti tangan bahu, siku,
pergelangan tangan, osteoartritis juga menimbulkan gangguan fungsi.
III.1.2. Pemeriksaan Diagnostik Osteoarthritis
Diagnosis osteoartritis biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis.
Radiografis Sendi yang Terkena
Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang terkena osteoartritis sudah cukup
memberikan gambaran diagnostik yang lebih canggih. Berdasarkan perubahan-perubahan
radiografi di atas, secara radiografi osteoartritis dapat digradasi menjadi ringan sampai berat
(kriteria Kellgren dan Lawrence). Harus diingat bahwa pada awal penyakit, radiografi sendi
seringkali masih normal.
Pemeriksaan radiografi sendi lain atau penginderaan magnetik mungkin diperlukan
pada beberapa keadaan tertentu. Bila osteoartritis pada pasien dicurigai berkaitan dengan
penyakit metabolik atau genetik seperti alkaptonuria, oochronosis, displasia epifisis,
hiperparatiroidisme, penyakit Paget atau hemokromatosis (terutama pemeriksaan radiografi
pada tengkorak dan tulang belakang). Radiografi sendi lain perlu dipertimbangkan juga pada
pasien yang mempunyai keluhan banyak sendi (osteoartritis generalisata). Pasien-pasien yang
dicurigai mempunyai penyakit-penyakit yang meskipun jarang tetapi berat (osteonekrosis,
neuropati Charcot, pigmented sinovitis) perlu pemeriksaan yang lebih mendalam. Untuk
diagnosis pasti penyakit-penyakit tersebut seringkali diperlukan pemeriksaan lain yang lebih
canggih seperti sidikan tulang, penginderaan dengan resonansi magnetic (MRI), artroskopi
dan artrografi. Pemeriksaan lebih lanjut (khususnya MRI) dan mielografi mungkin juga
diperlukan pada pasien dengan osteoartritis tulang belakang untuk menetapkan sebab-sebab
gejala dan keluhan-keluhan kompresi radikular atau medulla spinalis.7,10
Pemeriksaan Laboratorium Osteoarthritis
Hasil pemeriksaan laboratorium pada osteoartritis biasanya tak banyak berguna. Darah
tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) dalam batas-batas normal, kecuali osteoartritis
generalisata yang harus dibedakan dengan artritis paradangan. Pemeriksaan imunologi (ANA,
Page 13
[ ]Sistem Musculoskletal II
faktor reumatoid dan komplemen) juga normal. Pada osteoartritis yang disertai peradangan,
mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan
ringan sel peradangan (<8000m) dan peningkatan protein.
III.1.3. Patofisiologis Osteoarthritis
Seperti telah disebutkan, tulang rawan sendi merupakan sasaran utama perubahan
degeneratif pada osteoartritis. Tulang rawan sendi memiliki letak strategis, yaitu di ujung-
ujung tulang untuk melaksanakan dua fungsi : (1) menjamin gerakan yang hampir tanpa
gesekan di dalam sendi, berkat adanya cairan sinovium, dan (2) di sendi sedemikian sehingga
tulang di bawahnya dapat menerima benturan dan berat tanpa mengalami kerusakan. Kedua
fungsi ini mengharuskan tulang rawan elastis (yaitu memperoleh kembali arsitektur normalny
setelah tertekan) dan memiliki daya regang (tensile strength) yang tinggi. Kedua ciri ini
dihasilkan oleh dua komponen utama tulang rawan : suatu tipe khusus kolagen (tipe II) dan
proteoglikan, dan keduanya dikeluarkan oleh kondrosit. Seperti pada tulang orang dewasa,
tulang rawan sendi tidak statis; tulang ini mengalami pertukaran; komponen matriks tulang
tersebut yang “aus” diuraikan dan diganti. Keseimbangan ini dipertahankan oleh kondrosit,
yang tidak saja menyintesis matriks, tetapi juga mengeluarkan enzim yang mengeluarkan
matriks. Oleh karena itu, kesehatan kondrosit dan kemampuan sel ini memelihara sifat
esensial matriks tulang rawan menentukan integritas sendi. Pada osteoartritis, proses ini
terganggu oleh beragam sebab.
Osteoartritis ditandai dengan perubahan signifikan baik dalam komposisi maupun sifat
mekanis tulang rawan. Pada awal perjalanan penyakit, tulang rawan yang mengalami
degenerasi memperlihatkan peningkatan kandungan air dan penurunan konsentrasi
proteoglikan dibandingkan dengan tulang rawan sehat. Selain itu, tampaknya terjadi
perlemahan jaringan kolagen tipe II dan peningkatan pemecahan kolagen yang sudah ada.
Kadar molekul perantara tertentu, termasuk IL-1, TNF, dan nitrat oksida, meningkat pada
tulang rawan osteoartritis dan tampaknya ikut berperan menyebabkan perubahan komposisi
tulang rawan. Apoptosis juga meningkat, yang mungkin menyebabkan penurunan jumlah
kondrosit fungsional. Secara keseluruhan, perubahan ini cenderung menurunkan daya regang
dan kelenturan tulang rawan sendi. Sebagai respon terhadap perubahan regresif ini, kondrosit
pada lapisan yang lebih dalam berproliferasi dan berupaya “memperbaiki” kerusakan dengan
menghasilkan kolagen dan proteoglikan baru. Meskipun perbaikan ini pada mulanya mampu
Page 14
[ ]Sistem Musculoskletal II
mengimbangi kemerosotan tulang rawan, sinyal molekular yang menyebabkan kondrosit
lenyap dan matriks ekstrasel berubah akhirnya menjadi predominan. Faktor yang
menyebabkan pergeseran dari gambaran reparatif menjadi degeneratif ini masih belum
diketahui.
Pada rawan sendi pasien osteoartritis juga terjadi proses peningkatan aktivitas
fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya
penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkhondral tersebut.
Perubahan tulang subkhondral yang mengikuti degenerasi tulang rawan sendi meliputi
peningkatan densitas tulang subchondral, pembentukan rongga-rongga yang menyerupai kista
yang mengandung jaringan myxoid, fibrous, atau kartilago. Respon ini muncul paling sering
pada tepi sendi tempat pertemuan tulang dan tulang rawan yang berbentuk bulan sabit
(crescent). Peningkatan densitas tulang merupakan akibat dari pembentukan lapisan tulang
baru pada trabekula biasanya merupakan tanda awal dari penyakit degenerasi sendi pada
tulang subchondral, tetapi pada beberapa sendi rongga-rongga terbentuk sebelum peningkatan
densitas tulang secara keseluruhan. Pada stadium akhir dari penyakit, tulang rawan sendi
telah rusak seluruhnya, sehingga tulang subchondral yang tebal dan padat kini berartikulasi
dengan permukaan tulang “denuded” dari sendi lawan. Remodeling tulang disertai dengan
kerusakan tulang sendi rawan mengubah bentuk sendi dan dapat mengakibatkan shortening
dan ketidakstabilan tungkai yang terlibat.
Pada sebagian besar sendi sinovial, pertumbuhan osteofit diikuti dengan perubahan
tulang rawan sendi serta tulang subchondral dan metafiseal. Permukaan yang keras, fibrous,
dan kartilaginis ini biasanya muncul di tepi-tepi sendi. Osteofit marginal biasanya muncul
pada permukaan tulang rawan, tapi dapat muncul juga di sepanjang insersi kapsul sendi
(osteofit kapsuler). Tonjolan tulang intraartikuler yang menonjol dari permukaan sendi yang
mengalami degenerasi disebut osteofit sentral. Sebagian besar osteofit marginal memiliki
pernukaan kartilaginis yang menyerupai tulang rawan sendi yang normal dan dapat tampak
sebagai perluasan dari permukaan sendi. Pada sendi superfisial, osteofit ini dapat diraba,
nyeri jika ditekan, membatasi ruang gerak, dan terasa sakit jika sendi digerakkan. Tiap sendi
memiliki pola karakter yang khas akan pembentukan osteofit di sendi panggul, osteoarthritis
biasanya membentuk cincin di sekitar tepi acetabulum dan tulang rawan femur. Penonjolan
osteofit sepanjang tepi inferior dari permukaan artikuler os humerus biasanya terjadi pada
Page 15
[ ]Sistem Musculoskletal II
pasien dengan penyakit degenartif sendi glenohumeral. Osteofit merupakan respon terhadap
proses degerasi tulang rawan sendi dan remodelling tulang sudkhondral, termasuk pelepasan
sitokin anabolik yang menstimulasi proliferasi dan pembentukan sel tulang dan matrik
kartilageneus.
Kerusakan tulang rawan sendi mengakibatkan perubahan sekunder dari synovium,
ligamen, kapsul, serta otot yang menggerakan sendi yang terlibat. Membran sinovial sering
mengalami reaksi inflamasi ringan serta sedang dan dapat berisi fragmen-fragmen dari tulang
rawan sendi. Semakin lama ligamen, kapsul dan otot menjadi contracted. Kurangnya
penggunaan sendi dan penurunan ROM mengakibatkan atropi otot. Perubahan sekunder ini
sering mengakibatkan kekakuan sendi dan kelemahan tungkai.
Faktor-faktor Resiko Osteoartritis
Untuk penyakit dengan penyebab yang tak jelas, istilah faktor resiko (faktor yang
meningkatkan resiko penyakit) adalah lebih tepat. Secara garis besar faktor resiko untuk
timbulnya osteoartritis (primer)adalah seperti di bawah ini. Harus diingat bahwa masing-
masing sendi mempunyai biomekanik, cedera dan persentase gangguan yang berbeda,
sehingga peran faktor-faktor resiko tersebut untuk masing-masing osteoartritis tertentu
berbeda.10
1. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan adalah yang
terkuat. Prevalensi dan beratnya osteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur.
Osteoartritis hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan
sering pada umur di atas 60 tahun. Akan tetapi harus diingat bahwa osteoartritis bukan akibat
ketuaan saja. Perubahan tulang rawan sendi pada ketuaan berbeda dengan perubahan pada
osteoartritis.
2. Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan osteoartritis banyak sendi dan lelaki
lebih sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan, di
bawah 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi di
atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi osteoartritis lebih banyak pada wanita daripada
pria. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoartritis.
Page 16
[ ]Sistem Musculoskletal II
3. Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis misalnya pada ibu dari
seorang wanita dengan osteoartritis pada sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden)
terdapat 2 kali lebih sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya
perempuan cenderung mempunyai 3 kali lebih sering daripada ibu dan anak perempuan-
perempuan dari wanita tanpa osteoartritis tersebut. Adanya mutasi dalam gen prokolagen II
atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan
XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam timbulnya kecenderungan
familial pada osteoartritis tertentu (terutama osteoartritis banyak sendi).
4. Kegemukan dan penyakit metabolik
Berat badan yang berlebih nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya
osteoartritis baik npada wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan
dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan sendi osteoartritis
sendi lain (tangan atau stemoklavikula). Oleh karena itu, disamping faktor mekanis yang
berperan (karena meningkatnya beban mekanis), diduga terdapat faktor lain (metabolik) yang
berperan pada timbulnya kaitan tersebut. Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitan
antara osteoartritis dan kegemukan juga disokong oleh adanya ikatan anara osteoartritis
dengan penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi. Pasien-pasien osteoartritis
ternyata mempunyai resiko penyakit jantung koroner dan hipertensi yang lebih tinggi
daripada orang-orang tanpa osteoartritis.
5. Cedera Sendi, Pekerjaan dan Olahraga
Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus (misalnya
tukang pahat, pemetik kapas) berkaitan dengan peningkatan resiko osteoartritis tertentu.
Demikian juga cedera sendi dan olahraga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan
dengan resiko osteoartritis yang lebih tinggi. Peran beban benturan yang berulang pada
timbulnya osteoartritis masih menjadi pertentangan. Aktivitas-aktivitas tertentu dapat
menjadi predisposisi osteoartritis cedera traumatik (misalnya robeknya meniscus,
ketidakstabilan ligamen) yang dapat mengenai sendi. Akan tetapi, selain cedera yang nyata,
hasil-hasil penelitian tak menyokong pemakaian yang berlebihansebagai suatu faktor untuk
timbulnya osteoartritis. Meskipun demikian, beban benturan yang berulang dapat menjadi
Page 17
[ ]Sistem Musculoskletal II
suatu faktor penentu lokasi pada orang-orang yang mempunyai predisposisi osteoartritis dan
dapat berkaitan dengan perkembangan dan beratnya osteoartritis.
6. Faktor-faktor Lain
Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan resiko timbulnya osteoartritis.
Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tak membantu mengurangi
menjadi lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan pada lebih tingginya osteoartritis
pada orang gemuk dan pelari (yang umumnya mempunyai tulang yang lebih padat) dan
kaitan negatif antara osteoporosis dan osteoartritis. Merokok dilaporkan menjadi faktor yang
melindungi untuk timbulnya osteoartritis, meskipun mekanismenya belum jelas.
III.1.4. Penatalaksanaan Osteoarthritis
Non Medika Mentosa
Tidak ada obat untuk menyembuhkan osteoartritis ini, yang ada adalah terapi untuk
mengurangi nyeri dan ngilu serta menjaga pergerakan dan aktifitas sehari-hari. Pengangkatan
dan penggantian engsel merupakan pilihan terakhir dan akan dilakukan jika semua cara terapi
telah ditempuh.
1. Terapi fisik dan rehabilitasi
Pengobatan awal pada osteoartritis ringan dapat berupa:
Istirahat. Jika terjadi nyeri/ngilu pada engsel dianjurkan untuk beristirahat sekurangnya
12 jam. Bergeraklah secara biasa tetapi hindari menggerakkan engsel yang sama secara
berulang-ulang dan istirahat sekitar 10 menit setelah satu jam bergerak.
Olahraga. Dengan ijin dokter anda dapat melakukan olah raga biasa seperti bersepeda,
jalan bahkan berenang. Olah raga ini akan meningkatkan daya tahan otot sekitar engsel.
Jika mulai terasa nyeri/ngilu berhenti atau istirahat.
Gunakan kompres. Kompres hangat atau dingin mampu mengurangi nyeri/ngilu yang
terjadi. Ginakan kompres hangat sekurangnya 20 menit sehari. Untuk kompres dingin
dapat digunakan es batu.
Terapi. Mungkin anda memerlukan terapi khusus tulang agar anda dapat terpantau secara
khusus sehingga peningkatan kemampuan gerak maju lebih cepat.
Kurangi stres engsel. Terapis akan membantu anda menemukan cara menghindari stres
engsel.
Page 18
[ ]Sistem Musculoskletal II
2. Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebihan ternyata merupakan faktor yang akan memperberat penyakit
osteoartritis. Oleh karenanya berat badan harus selalu dijaga agar tidak berlebihan. Apabila
berat badan berlebihan, maka harus diusahakan penurunan berat badan, bila mungkin
mendekati berat badan ideal.
Medika Mentosa
1. Analgesik Oral Non Opiat
Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati sendiri penyakitnya, terutama
dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa sakit. Banyak sekali obat-obatan yang dijual
bebas yang mampu mengurangi rasa sakit. Pada umumnya pasien mengetahui hal ini dari
iklan melalui media masa, baik cetak (koran), radio, maupun televisi.
2. Analgesik Topikal
Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan di pasaran dan banyak sekali yang
dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba terapi dengan cara ini, sebelum memakai
obat-obatan peroral lainnya.
3. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Apabila dengan cara-cara tersebut di atas tidak berhasil, pada umumnya pasien mulai
datang ke dokter. Dalam hal seperti ini kita pikirkan untuk pemberian OAINS, oleh karena
obat golongan ini di samping mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi.
Oleh karena pasien osteoartritis kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obat-obatan jenis ini
harus sangat berhati-hati. Jadi pilihlah obat yang efek sampingnya minimal dan dengan cara
pemakaian yang sederhana, di samping itu pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya
efek samping selalu harus dilakukan.
4. Chondroprotective Agent
Page 19
[ ]Sistem Musculoskletal II
Yang dimaksud dengan chondroprotective agent adalah obat-obatan yang dapat menjaga
atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien osteoartritis. Sebagian
peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs
(SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs). Sampai saat ini
yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin
sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, superoxidase desmutase dan sebagainya.
Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai kemampuan untuk menghambat enzim MMP
dengan cara menghambatnya. Salah satu contoh adalah doxycycline, sayangnya obat ini
baru dipakai pada hewan dan belum dipakai pada manusia.
Asam hialuronat disebut juga sebagai viscosupplement oleh karena salah satu manfaat
obat ini adalah dapat memperbaiki viskositas cairan sinovial, obat ini diberikan secara
intra-artikuler. Asam hialuronat ternyata memegang peranan penting dalam pembentukan
matriks tulang rawan melalui agregasi dengan proteoglikan. Di samping itu pada binatang
percobaan, asam hialuronat dapat mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat
angiogenesis dan khemotaksis sel-sel inflamasi.
Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan dalam proses
degradasi tulang rawan, antara lain : hialuronidase, protease, elastase, dan cathepsin B1 in
vitro dan juga merangsang sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang
rawan sendi manusia.
Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan kelompok vertebrata, dan
terutama terdapat pada matriks ekstraselular sekeliling sel.10 Salah satu jaringan yang
mengandung kondroitin sulfat adalah tulang rawan sendi dan zat ini merupakan bagian
dari proteoglikan. Matriks ini membentuk satu struktur yang utuh sehingga mampu
menerima beban tubuh. Pada penyakit degeneratif seperti osteoartritis terjadi kerusakan
tulang rawan sendi dan salah satu penyebabnya adalah hilangnya atau berkurangnya
proteoglikan pada tulang rawan tersebut.
Vitamin C, dalam penelitian ternyata vitamin C dapat menghambat aktivitas enzim
lisozim. Pada pengamatan ternyata vitamin C mempunyai manfaat dalam terapi
osteoartritis.
Page 20
[ ]Sistem Musculoskletal II
Superoxide Dismutase, dapat dijumpai pada setiap sel mamalia dan mempunyai
kemampuan untuk menghilangkan superoxide dan hydroxil radicals. Secara in vitro,
radikal superoxide mampu merusak asam hialuronat, kolagen, dan proteoglikan sedang
hydrogen peroxyde dapat merusak kondrosit secara langsung.
Steroid intra-artikuler, pada penyakit artritis reumatoid menunjukkan hasil yang baik.
Kejadian inflamasi kadang-kadang dijumpai pada pasien osteoartritis, oleh karena itu
kortikosteroid intra artikuler telah dipakai dan mampu mengurangi rasa sakit, walaupun
hanya dalam waktu yang singkat. Penelitian selanjutnya tidak menunjukkan keuntungan
yang nyata pada pasien osteoartritis, sehingga pemakaiannya dalam hal ini masih
kontroversial.
III.2. GOUT
Arthritis pirai (gout) adalah suatu proses inflamasi yang terjadi karena deposisi kristal
monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat didalam cairan
ekstraselular.11 Asam urat adalah asam yang berbentuk kristal-kristal yang merupakan hasil
akhir dari metabolisme purin (bentuk turunan nukleoprotein), yaitu salah satu komponen
asam nukleat yang terdapat pada inti sel-sel tubuh. Secara alamiah, purin terdapat dalam
tubuh kita dan dijumpai pada semua makanan dari sel hidup, yakni makanan dari tanaman
(sayur, buah, kacang-kacangan) atau pun hewan (daging, jeroan, ikan sarden).
Jadi asam urat merupakan hasil metabolisme di dalam tubuh , yang kadarnya tidak
boleh berlebih, kelebihan asam urat akan dibuang melalui urin. Setiap orang memiliki asam
urat di dalam tubuh, karena pada setiap metabolisme normal dihasilkan asam urat. Sedangkan
pemicunya adalah makanan dan senyawa lain yang banyak mengandung purin. Sebetulnya,
tubuh menyediakan 85 persen senyawa purin untuk kebutuhan setiap hari. Ini berarti bahwa
kebutuhan purin dari makanan hanya sekitar 15 persen.
Penyakit gout sebagian besar mempengaruhi orang berumur diatas 30 tahun dan lebih
banyak pria yang terkena penyakit ini. Dua hal tadi yang merupakan kepentingan dari
anamnesis umur dan jenis kelamin pasien. Nyeri sendi biasanya perlu ditanyakan sebagai
tanda gejala awal dari penyakit ini. Nyeri sendi yang sering terjadi paa artritis gout terjadi
biasanya berupa serangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari, sedangkan pada malam
Page 21
[ ]Sistem Musculoskletal II
hari sebelumnya pasien tidak merasakan apa-apa, rasa nyeri ini biasanya self limiting dan
sangat responsif dengan pengobatan.11
Apabila sudah berlanjut akan dapat menyebabkan kekakuan dan bengkak dari sendi
tersebut. Apabila sudah terjadi kekakuan dari sendi tersebut tentu saja ini akan menyebabkan
ketidakmampuan sendi tersebut berfungsi secara adekuat. Infeksi sistemik ini sendiri dapat
terjadi pada penderita gout. Gout sendiri pada stadium lanjut merupakan penyakit inflamatoir
dan akan mengakibatkan peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP
yang akan mengakibatkan keluhan kelelahan, lesu, mudah marah, berat badan turun, dan
mudah sekali terangsang.12
Anamnesis lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya kesakitan pada daerah
perut, kesakitan ini mungkin saja merupakan komplikasi dari penyakit itu sendiri yaitu
terjadinya kerusakan pada ginjal. Selain kerusakan ginjal juga perlu ditanyakan status
berkemih pasien tersebut karena komplikais lain yang dimungkinkan yaitu adanya batu urat
yang tersumbat di saluran kemih.
III.2.1. Pemeriksaan Gout
Fisik
Pemeriksaan fisik yang penting pada sistem muskuloskeletal dapat dibagi menjadi pada
saat diam/istirahat dan pada saat bergerak. Dan dapat juga dilakukan palpasi untuk beberapa
hal seperti yang akan dibahas. Inspeksi deformitas sangat perlu dilakukan pada sendi-sendi
yang terserang gout ini, selain daripada deformitas pada saat diam juga perlu dilakukan
inspeksi pada saat bagian tersebut coba digerakan. Hal ini bertujuan untuk menentukan
apakah tungkai tersebut mengalami deformitas yang dapat dikoreksi atau deformitas yang
sudah tidak dapat dikoreksi. Deformitas yang dapat dikoreksi apabila deformitas tersebut
masih dapat digerakan yang diakibatkan oleh penumpukan jaringan lunak. Sedangkan
deformitas yang tidak dapat dikoreksi biasanya disebabkan oleh restriksi kapsul sendi atau
kerusakan sendi. Pemeriksaan inspeksi lainnya yaitu melihat benjolan apabila terdapat
benjolan pada sendi pasien. Hal yang patut diperhatikan adalah ukuran dari benjolan, suhu,
warna kulit di sekitar benjolan. Bisanya pada penderita gout benjolannya akan berwarna
kemerahan, teraba panas, dan akan berasa nyeri. Untuk mendeteksi kelainan sekunder yang
mungkin terjadi yaitu mencari kelainan yang menyangkut anemia, pembersaran organ
Page 22
[ ]Sistem Musculoskletal II
limfoid, keadaan kardiovaskular dan tekanan darah.11,12 Kelainan yang mungkin juga timbul
walaupun sangat jarang terjadi yaitu timbulnya febris yang bersifat sistemik.
Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan pada penderita gout adalah melihat cara
berjalan, sikap/postur badan.12 Sikap badan dan postur badan harus diperhatikan saat pasien
masuk ruangan. Karena sikap badan odan cara berjalan orang yang menahan sakit akan
berbeda dari normal. Sikap berjalan yang paling sering ditunjukan pada penderita gout apada
kali adalah gaya berjalan antalgik, yaitu pasien akan segera mengangkat tungkai yang nyeri
atau deformitas sementara pada tungkai yang sehat akan lebih lama diletakan di lantai;
biasanya akan diikuti oleh gerakan tangan yang asimetri. Pergerakan beserta bunyi apabila
digerakan juga patut diperhatikan pada penderita, bunyi pada penderita gout merupakan
bunyi krepitus halus yang terdengar sepanjang struktur yang terkena dan biasanya lemah dan
hanya terdengar mengunakan stetoskop. Pemeriksaan fisik yang mungkin juga dapat
diketemukan kelainan yaitu pemeriksaan ginjal. Pemeriksaan ginjal yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan perkusi ginjal, pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi apakah ada
nyeri pada daerah ginjal. Pemeriksaan ginjal bisanya dilakukan pada penderita lanjut karena
dikhawatirkan terjadi penyumbatan saluran kemih dengan komplikasi lanjutan yaitu
pembengkakan ginjal.
Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan lab yang paling dapat menegakkan kristal urat dari cairan sendi ataupun
topus yang mengandung kristal urat. Cara yang dapat digunakan dapat dilakukan dengan
reaksi kimia ataupun dilihat langsung dengan mengunakan mikroskop. Karena tidak semua
penderita gout ini sampai terjadi topus dan sulitnya mengambil cairan sendi pada sendi kecil
seperti sendi pada daerah kaki, cara ini relatif lebih sulit dilakukan daripada pemeriksaan
lainnya. Pemeriksaan lainnya yang dimaksud adalah mendeteksi LED, hitung leukosit, dan
CRP pada fase akut, kadar kreatinin 24 jam.12 Asam urat darah dan urin 24 jam. Pada aspirasi
cairan sendi dapat diketemukan cairan yang berwarna putih susu. Cairan ini merupakan
manifestasi hitung sel yang dapat meningkat sampai dengan 60.000/μL dan juga terdapat
timbunan monosodium urat pada cairan sendi.12
Page 23
[ ]Sistem Musculoskletal II
Pemeriksaan yang rutin dilakukan adalah asam urat darah dan urin dan kreatinin darah
dan urin 24 jam. Pemeriksaan asam urat urin 24 jam orang diet rendah purin selama 3-5 hari
dibawah 600 mg/hari. Apabila hasilnya berada diatas itu orang tersebut diduga mengalami
kelebihan produksi asam urat. Tetapi mungkin juga hasil dibawah 600 mg/hari bukan
merupakan batas normal oleh karena itu diperlukan pemeriksaan kadar kreatinin urin dan
darah untuk memantau kemampuan bersihan ginjal.12 Kadar asam urat dalam urin tersebut
dapat tercapai karena ketidakmampuan ginjal untuk mengeluarkan asam urat dari dalam
tubuh, ini yang disebut dengan underexcretion. Pemeriksaan kadar urin ini merupakan suatu
standar yang perlu diperhatikan karena kadar asam urat darah yang tinggi akan meningkatkan
kemungkinan gout yang timbul. Kadar asam urat 24 jam masih dapat dikatakan normal tanpa
diet dalam batas 800 mg/hari. Apabila kadar asam urat tanpa diet rendah urat melebihi angka
itu patut dicurigai adanya overproduction dari urat tersebut. Walaupun tidak semua orang
yang memiliki asam urat yang tinggi akan menderita gout, begitupun tidak semua orang yang
memiliki kadar asam urat normal tidak akan terkena gout. Menurut penelitian yang dilakukan
di Indonesia sekitar 21% orang yang menderita gout memiliki kadar asam urat darah yang
masih dalam batas normal. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa apabila hanya
ditemukan artritis pada pasien dengan hiperurisemia tidak bisa didiagnosis gout.
Pemeriksaan LED, hitung leukosit, dan CRP merupakan pemeriksaan yang bertujuan
untuk mendeteksi apakah terjadi inflamasi pada pasien tersebut. Reaksi inflamasi akan terjadi
pada penderita gout pada fase akut, oleh karena itu pemeriksaan LED, hitung leukosit, dan
CRP akan meningkat. Pemeriksaan yang paling jarang tatapi masih mungkin dilakukan dan
hanya digunakan untuk penelitian adalah pemeriksaan enzim-enzim dalam tubuh.
Pemeriksaan enzimnya antara lain PRPP synthetase, enzim HPRT, xantin oksidase untuk
penyakit gout primer sedangkan unutk gout sekunder yaitu glukosa 6 fosfatase. Seluruh
penyakit hiperurisemia dan gout yang disebabkan oleh enzim tersebut merupakan kelainan
genetik, oleh karena itu biasanya penyakit-penyakit teserbut sudah mulai dapat dilihat
perubahannya pada masa anak-anak.
2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering digunakan sebagai alat bantu diagnosis gout adalah
pemeriksaan foto polos. Pemeriksaan foto polos ini digunakan karena memberikan hasil yang
cukup spesifik dengan biaya yang cukup terjangkau. Pemeriksaaan radiologi ini hanya dapat
Page 24
[ ]Sistem Musculoskletal II
dilaksanakan pada pasien gout interkritikal. Pada pasien awal tidak dapat dilakukan
pemeriksaan karena pasti akan mendapatkan hasil normal. Hal ini disebabkan karena belum
terbentuknya kristal urat yang akan memberikan gambaran radiopaq.
Perubahan yang radiografis pada penyakit gout ditemukan pada sekitar 50% pasien.
Dimana sebagian besar pasien menunjukan kelainan pada sendi metatarsophalangeal yang
pertama yaitu sekitar 60% pasien. Selain dari sendi itu, lokasi lain yang sering terjadi radang
gout antaralain jari kaki, mata kaki, tangan, dan bursa olecranon. Seringnya diketemukan
kelainan pada daerah ini sudah dapat dijelaskan secara ilmiah, dan akan dibahas pada bagian
patogenesis.
Perubahan tersebut terjadi diluar dari sendi yang terserang atau pada daerah juxta-
artricular dan didifinisikan sebagai “punched-out lytic lesion” dan lama kelamaan akan
menjadi bertambah besar.7,12 Pertambahan besar lesi ini sangat dipengaruhi oleh pola diet
pasien. Pada sebagian kasus sering terjadi patah tulang. Unutk penyakit gout yang kronis
hampir selalu diketemulan topus dan penyempitan dari sendi tersebut. Apabila penyempitan
sendi tersebut dibiarkan maka akan sangat mungkin terberbentuknya deformitas sendi dan
kasifikasi dari jaringan lunak disekitar sendi tesebut. Pada sebagian kasus dapat juga
diketemukan penyakit degeneratif yang terdapat pada sendi metatarsophalangeal. Pada
penyakit yang kronis biasanya diketemukan inflamasi asimetris, artritis erosif yang kadang-
kadang disertai nodul jaringan lunak.
Gambar diatas sebelah kiri, gambaran tangan kiri pasien mengambarkan terbentuknya topus
pada jari pertama dengan bagian yang lebih opaq dan terdapat pembengkakan sendi
tersebut.7,12 Sedangkan pada tangan kanan pada jari kedua dan kelima antara phalang medial
dan distal juga terbentuk pembengkakan yang lebih opaq. Dapat juga diperhatikan bahwa
Page 25
[ ]Sistem Musculoskletal II
sendi-sendi tersebut sudah lebih rapat dibandingkan sendi yang normal. Untuk gambar yang
disebelah kanan menunjukan adanya topus pada metatarsophalangeal pada kaki kiri pasien.
Page 26
[ ]Sistem Musculoskletal II
III.2.2. Diagnosis Gout
Untuk mendiagnosis penyakit gout tidak hanya berdasarkan pada uji laboratorium yang
menunjukan adanya hiperurisemia dan gejala klinik adanya artritis saja. Penyakit gout secra
umum biasanya diketemukan kombinasi-kombinasi berikut:
Riwayat inflamasi klasik artritis monoartrikuler khusus pada sendi MTP-1;
Diikuti oleh stadium interkritik dimana bebas simptom;
Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin;
Hiperurisemia.
Kriteria klasifikasi Artritis Gout pada fase akut dapat dipastikan dengan menemukan
kelainan-kelainan seperti yang ditulis di bawah ini.
a. Ditemukan kristal urat yang karakteristik dalam cairan sendi, atau
b. Tofus yang terbukti mengandung kristal urat dengan cara kimia atau mikroskop
polarisasi, atau
c. Ditemukan 6 dari 12 fenomena klinis, laboratoris dan riadologis sebagai tercantum di
bawah:
1. Lebih dari satu kali serangan artritis akut
2. Inflamasi maksimal terjadi dalam waktu satu hari
3. Serangan artritis monoartikular
4. Sendi kemerahan
5. Nyeri atau bengkak pada sendi mtp-1
6. Serangan unilateral yang melibatkan sendi mtp-1
7. Serangan unilateral yang melibatkan sendi tarsal
8. Dugaan tofus
9. Hiperurikemia
10. Pembengkakan tidak simetris di antara sendi (radiologis)
11. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)
12. Kultur cairan sendi untuk mikroorganisme pada waktu serangan inflamasi sendi
memberikan hasil negatif.
Berbeda dengan stadium gout interkritikal dimana stadium gout interkritikal tidak akan
diketemukan reaksi radang akut yang ditandai dengan adanya pembengkakan, merah, panas
dan nyeri. Pada stadium gout interkritikal ini dapat dideteksi dengan aspirasi cairan sendi dan
ditemukan kristal urat. Sedangkan untuk stadium gout menahun, gejala yang paling khas
Page 27
[ ]Sistem Musculoskletal II
adalah dengan adanya topus, topus yang diperiksa ini haruslah menunjukan adanya kristal
urat. Apabila kristal urat ini telah ditemukan, maka dapat dipastikan adanya penyakit gout.
Kelainan radiografi pada kronik gout adalah inflamasi asimetri, artritis erosif yang kadang-
kadang disertai dengan nodul jaringan lunak.
III.2.3. Patogenesis Gout
Gout merupakan gangguan yang disebabkan oleh penimbunan asam urat, yaitu suatu
produk akhir dari metabolisme purin, dalam jumlah berlebihan di jaringan. Asam urat yang
tertimbun ini berbentuk kristal mononatrium urat, dalam waktu yang lama, kristal ini akan
membesar dan membentuk tofi dan dapat juga terjadi deformitas sendi yang kronis.13 Bentuk
sediaan histopatoligis dari gout ini biasanya menunjukkan granuloma dikelilingi oleh butir
kristal monosodium urat. Dan karena terjadi reaksi inflamasi maka akan diketemukan sel
nononuklear dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks tulang terjadi di sekitar tofus. Kapsul
fibrosa biasanya prominen di sekeliling tofi. Kristal tofi berbentuk jarum dan sering
membentuk sekelompok kecil secara radier. Pada gout akut pada cairan sendi juga biasanya
akan diketemulan monosodium urat. Apabila aspirasi diambil saat inflamasi akut maka akan
diketemukan banyak kristal di dalam lekosit. Hal ini disebabkan karena terjadi proses
fagositosis. Walaupun memiliki hubungan sebab akibat antara gout dan hiperurisemia, tetapi
tidak berarti setiap penderita hiperurisemia pasti akan menderita gout, begitupun sebaliknya
tidak semua penderita gout pasti juga telah menderita hiperurisemia.
Gout sendiri dibagi menjadi tiga kategori yaitu gout primer, gout sekunder, gout
idiopatik. Gout promer adalah gout tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain, terdiri dari
hiperurisemia primer dengan kelainan molekuler yang masih belum jelas dan
hiperurisemianya karena adanya kelainan enzim. Guot sekunder adalah gout yang disebabkan
karena penyakit lain atau penyebab lain. Gout sekinder dibagi menjadi beberapa kelompok,
yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan biosontesis de novo, kealinan yang
menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat dan kelainan yang
menyebabkan underexcretion. Gout idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab
primer, kelainan genetik dan tidak ada kelainan fisiologi atau anatomi yang jelas.
Page 28
[ ]Sistem Musculoskletal II
Gambar diatas merupakan gambar proses metabolisme dari pembentukan asam urat.13
Kelainan kelainan pada enzim PRPP synthetase, enzim HPRT, xantin oksidase akan
menyebabkan penyakit gout primer, kelainan pada enzim glukosa 6 phospatase terdapat pada
penyakit gout sekunder. Dimana peningkatan PRPP dan atau penurunan HPRT dan APRT
akan menyebabkan overproduction. Peningkatan enzim xantin oksidase yang akan
mengakibatkan juga peningkatan asam urat.b Tetapi penurunan glukosa 6 phospatase justru
akan menyebabkan hiperurisemia. Hiperurisemia ini terjadi karena kombinasi overproduction
dan under excretion karena peningkatan pemecahan ATP. Selain daripada itu aktivitas fisik
yang berat secara normal dapat menyebabkan hiperurisemia karena terjadi pemecahan ATP
datau keadaan anaerob yang menghasilkan zat-zat yang kemudian dipecah menjadi xantin
dan asam urat. Dari semua yang telah disebutkan diatas merupakan keadaan over production,
sedangkan untuk keadaan underexcretion dikelompokan menjadi penurunan masa ginjal,
penurunan filtrasi glomerulus, penurunan fractional uric acid clerance dan pemakaian obat-
obat.
Dari tulisan yang ada di atas semuanya telah menunjukan bagaimana terjadinya
hiperurinemia, tetapi tidak menunjukkan bagaimana proses inflamasi dari gout tersebut. Pada
prinsipnya, ini merupakan reaksi peradangan biasa terhadap monosodium urat. Onset dari
serangan gout berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum, suhu lingkungan, dan
Page 29
[ ]Sistem Musculoskletal II
perubahan PH. Perubahan kadar asam urat yang meninggi seperti yang terjaid pada skenario
karena banyak mengkonsumsi jeroan dapat meningkatkan reaksi inflamasi yang terjaid pada
pasien tersebut. Perubahan yang bersifat penurunan kadar asam urat dalam darah dapat
menyebabkan tofi ataupun tofus yang tinggi kandungan monosodium uratnya akan
mengeluarkan zat tersebut ke luar dari tofi sehingga menyebabkan juga reaksi inflamasi.
Kelarutan monosodium urat akan tinggi pada suhu yang tinggi dan rendah pada suhu yang
rendah. Oleh karena itu dapat dijelaskan bahwa pengendapan monosodium urat itu lebih
mudah terjadi pada organ tubuh yan glebih dingin. Bagian tubuh yang paling dingin terdapat
pada kaki lalu pada ujung-ujung jari tangan. Untuk pH, rentang kelarutan untuk suatu
kelarutan dalam tubuh sangat lebar, dan tidak begitu berpengaruh pada manusia. Karena pada
pH 7,5 dan 5,8 kelarutannya tidak berbeda banyak yang tidak dapat menyebabkan reaksi
inflamasi. Hal yang juga penting adalah kecepatan difusi molekul urat dari ruang sinovia
kedalam plasma hanya setengah kecepatan air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam
caiaran sendi seperti MTP-1 menjadi seimbang dengan urat dalam plasma pada siang hari
selanjutnya bila cairan sendi diresorbsi waktu berbaring akan meningkatkan kadar urat lokal.
Reaksi randang yang timbul seperti bagan diatas dapat terjadi melalui dua proses
peradangan yaitu dengan pengaktifan komplemen dan yang dimediasi oleh makrofag. Kristal
urat sendiri dapat mengaktifkan jalur komplemen klasik dan jalur alternatif. Zat ini dapat
mengaktifkannya tanpa bantuan imunoglobin. Kedua jalur klasik dan jalur alternatif ini akan
mengkatifkan C3 menjadi C3a yang akan mempermudah fagositosis dan memanggil sel
netrofil. Selain itu C3a juga akan mengaktifkan C5 menjadi C5a yang fungsi kemotaksisnya
lebih besar dari C3a. Berdasarkan dari fungsi yang diatas akan menyebabkan membrane attak
complex yg merupakan komponen akhir proses aktivasi komplemen yang bersifat sitotoksik
pada sel patogen maupun sel host. Makrofag pada sinovium merupakan sel utama dalam
proses peradangan yang dapat menghasilkan berbagai mediator kimiawi yang merupakan
penyebab dari peradangan itu sendiri. Setelah kristal urat ini menyebabkan makrofag
mengeluarkan mediator peradangan maka akan juga terjadi pemangilan leukosit ke tempat
peradangan dan menyebabkan peningkatan junlah leukosit sistemik. Mediator peradangan
yang mungkin dikeluarkan oleh makrofag adalah IL-1, TNF, IL-6, dan GM-CSF. Semua
pengkspresian gen ini terjadi akibat degranulasi dan melalui jalur signal transduction pathway
dan berakhir dengan aktivasi transkripsi faktor. Peningkatan jumlah leukosit sistemik ini yang
dapat dipantau pada pemeriksaan lab yang merupakan salah satu pertanda dari adanya
inflamasi.
Page 30
[ ]Sistem Musculoskletal II
Stadium dari gout ini dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu stadium gout akut,
stadium interkritikal dan stadium gout menahun. Pada stadium gout akut rasa nyeri timbul
sangat cepat dalam waktu yang singkat. Nyeri yang singkat biasanya dialami mono artrikuler
bengkak, merah, terasa hangat, dan dengan gejala sistemik.seperti yang telah disebutkan
sebelumnya sendi yang sering terkena pada MTP-1. Keluhan ini dapat sembuh dalam
beberapa jam atau hari, tetapi apabila tidak dipantau penyakitnya akan menyebabkan gout
kronis. Stadium berikutnya yaitu stadiium interkritikal, stadium ini tidak didapati gejala
tanda-tanda radang akut namum pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini
menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlajut walaupun tanpa keluahn. Keadaan ini
dapat terjaid satu atau beberapa kali pertahun, atau dapat sampai 10 tahun tanpa serangan
akut. Stadium gout menahun dapat terjadi apabila tidak dilakukan penanganan yang baik
pada stadium gout sebelumnya. Ciri khas stadium ini yaitu besarnya tofi dan terdapat
poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulut sembuh dengan obat, kadang-kadang dapat
timbul infeksi sekunder. Lokasi tofi yang sering yaitu pada cuping telinga, MTP-1,
olekranoon, tendo achilles dan jari tangan. Pada stadium ini juuga sering disertai batu saluran
kemih sampai penyakit ginjal menahun.
III.2.4. Penatalaksanaan
Secara umum penanganan artritis gout adalah memberikan edukasi, pengaturan diet,
istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan
sendi ataupun komplikasi lain, misalnya pada ginjal.
Tujuan terapi gout adalah:
1. Menghentikan serangan akut secepat mungkin
2. Mencegah serangan akut berulang
3. Mencegah komplikasi akibat timbunan Kristal urat di sendi, ginjal atau tempat lain.
Modalitas yang tersedia untuk terapi gout dan hiperurisemia:
1. Edukasi
Sebagian besar kasus gout dan hiperurisemia (termasuk hiperurisemia asimptomatik)
mempunyai latar belakang penyebab primer, sehingga memerlukan pengendalian kadar asam
urat jangka panjang. Perlu compliance yang baik dari pasien untuk mencapai tujuan terapi di
atas, dan hal itu hanya didapat dengan edukasi yang baik. Pengendalian diet rendah purin
juga menjadi bagian tata laksana yang penting.
Page 31
[ ]Sistem Musculoskletal II
2. Terapi serangan akut: kompres dingan, kolkisin, OAINS, ster-
oid, ACTH
Pada keadaan serangan akut pemberian kompres dingin dapat membantu mengurangi
keluhan nyeri. Semua yang meningkatkan dan menurunkan asam urat harus dikendalikan.
Tidak diperbolehkan minum alkohol. Penggunakan obat penurun asam urat dihindari, kecuali
sebelumnya sudah mengkonsumsinya secara rutin, maka harus diteruskan dan tidak boleh
dihentikan.
Kolkisin mempunyai efek anti inflamasi yang kuat, namun batas amannya sangat
sempit, dan sering menimbulkan efek samping. Secara tradisional dulu kolkisin digunakan
pada serangan akut arthritis dengan dosis 0,5-0,6 mg tiap jam peroral sampai terjadi tiga hal
yaitu keluhan arthritis membaik; muncul efek samping mual, muntah, diare; atau sudah
mencapai dosis maksimal seba-nyak 10 dosis.13 Saat ini para ahli lebih menganjurkan
pemberian tiap 2-6 jam sehingga tidak menimbulkan banyak efek samping, dan lebih
berharap pada efek prevensi serangan berikutnya. Pemberian kolkisin intravena menjadi
alternatif, namun dengan risiko efek samping yang lebih besar. Hati-hati pada gangguan
fungsi ginjal.
Terapi dengan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) menjadi pilihan utama untuk
diberikan pada serangan akut dengan dosis yang optimal, dengan syarat fungsi ginjal yang
masih baik.6 Jenis OAINS termasuk yang selektif COX-2 tidak terlalu berpengaruh terhadap
respon klinik, tapi sebaiknya digunakan yang jenis deng-an onset kerja cepat, dan dengan
pertimbangan efek samping-nya.
Pemakaian kortikosteroid intrartikuler cukup bermanfaat pada arthritis monoartikuler
atau yang melibatkan bursa. Sedangkan kortikosteroid sistemik dapat digunakan terutama
pada gangguan fungsi ginjal, atau intoleran dengan kolkisin dan OAINS. Dosis steroid yang
diperlukan sesuai de-ngan prednisone 20-60 mg perhari. Adrenocorticotropic (ACTH) injeksi
intramuskuler dapat mengatasi serangan akut pada pemberian pertama kali, meskipun
kadang-kadang diperlukan pe-ngulangan 24-48 jam kemudian.
3. Kontrol hiperurisemia: xanthine oxidase inhibitors, urikosurik
agent
Page 32
[ ]Sistem Musculoskletal II
Kontrol hiperurisemia dilakukan dengan diet rendah purin, serta menghindari obat-
obatan yang meningkatkan kadar asam urat serum terutama diuretik. Selanjutkan diperlukan
urate lowering agent seperti golongan xanthine oxidase inhibitor, maupun uricosuric agent,
dengan catatan tidak boleh dimulai pada saat serangan akut. Pada hiperurisemia asimptomatik
terapi farmakologik dimulai jika kadar asam urat serum >9 mg/dL. Sedangkan pada penderi-
ta gout telah diketahui bahwa pemberian urate lowering agent juga menjadi faktor pencetus
serangan akut, sehingga diberikan juga kolkisin dosis prevensi 0,6 mg 1-3 kali perhari, atau
OAINS dosis rendah, dan dimulai setelah tidak adanya tanda-tanda inflamasi akut.
Rilonacept, suatu inhibitor IL-1 sedang dikembangkan sebagai obat pencegah serangan akut
pada awal terapi penurun asam urat. Target terapi adalah menurunkan kadar asam urat serum
sampai di bawah 6,8 mg/dL (lebih baik sampai 5-6 mg/dL).
Jenis urate lowering agent yang pertama yaitu golongan xanthine oxidase inhibitor
dengan cara kerja penghambatan oksidasi hipo-xantin menjadi xantin, dan xantin menjadi
asam urat. Obat yang termasuk golongan ini adalah allopurinol. Diberikan mulai dosis 100
mg/hari dan dinaikkan tiap minggu sampai tercapai target (rata-rata diperlukan minimal 300
mg/hari). Pada gangguan fungsi ginjal dosis harus disesuaikan. Jenis obat yang lain seperti
febuxostat, non-purine xanthine oxidase inhibitor yang juga cukup poten, maupun pegylated
recombinant uricase, masih dikembangkan.
Sedangkan jenis urate lowering agent yang kedua yaitu golongan uricosuric agent,
bekerja dengan cara menghambat reabsorsi urat di tubulus renalis. Yang paling sering dipakai
adalah probenesid dan sulfinpirazon. Probenesid dengan dosis 0,5-3 gram dibagi 2-3 kali
perhari. Sedangkan sulfinpirazon diberikan dengan dosis 300-400 mg dibagi 3-4 kali perhari.
Pemakaian obat urikosurik ini lebih diindikasikan pada keadaan dengan ekskresi asam urat di
urin <800 mg perhari, dan dengan fungsi ginjal yang masih baik (creatinine clearance
>80ml/menit). Risiko batu ginjal semakin besar pada kadar asam urat di urin yang tinggi.
Pada beberapa kasus yang sulit dikendalikan dengan obat tunggal, kombinasi uricosuric
agent dan xanthine oxidase inhibitor dapat dibenarkan.
III.2.5. Pencegahan
Makanan yang mengandung tinggi purin dan tinggi protein sudah lama diketahui dapat
menyebabkan dan meningkatkan risiko terkena gout. Makanan kaya protein dan lemak
merupakan sumber purin. Padahal walau tinggi kolesterol dan purin, makanan tersebut sangat
Page 33
[ ]Sistem Musculoskletal II
berguna bagi tubuh, terutama bagi anak-anak pada usia pertumbuhan. Kolesterol penting bagi
prekusor vitamin D, bahan pembentuk otak, jaringan saraf, hormon steroid, garam-garaman
empendu dan membran sel. Orang yang kesehatannya baik hendaknya tidak makan
berlebihan. Sedangkan bagi yang telah menderita gangguan asam urat, sebaiknya membatasi
diri terhadap hal-hal yang bisa memperburuk keadaan. Misalnya, membatasi makanan tinggi
purin dan memilih yang rendah purin.
Pengaturan diet sebaiknya segera dilakukan bila kadar asam urat melebihi 7 mg/dl
dengan tidak mengonsumsi bahan makanan golongan A dan membatasi diri untuk
mengonsmsi bahan makanan golongan B. Juga membatasi diri mengonsumsi lemak serta
disarankan untuk banyak minum air putih. Apabila dengan pengaturan diet masih terdapat
gejala-gejala peninggian asam urat darah, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter terdekat
untuk penanganan lebih lanjut.
Jumlah asupan kalori harus benar disesuaikan dengan kebutuhan tubuh berdasarkan
pada tinggi dan berat badan. Penderita gangguan asam urat yang kelebihan berat badan, berat
badannya harus diturunkan dengan tetap memperhatikan jumlah konsumsi kalori. Asupan
kalori yang terlalu sedikit juga bisa meningkatkan kadar asam urat karena adanya badan
keton yang akan mengurangi pengeluaran asam urat melalui urin
Hal yang juga perlu diperhatikan, jangan bekerja terlalu berat, cepat tanggap dan rutin
memeriksakan diri ke dokter. Karena sekali menderita, biasanya gangguan asam urat akan
terus berlanjut.
Tinggi karbohidrat
Karbohidrat kompleks seperti nasi, singkong, roti dan ubi sangat baik dikonsumsi oleh
penderita gangguan asam urat karena akan meningkatkan pengeluaran asam urat melalui urin.
Konsumsi karbohidrat kompleks ini sebaiknya tidak kurang dari 100 gram per hari.
Karbohidrat sederhana jenis fruktosa seperti gula, permen, arum manis, gulali, dan sirop
sebaiknya dihindari karena fruktosa akan meningkatkan kadar asam urat dalam darah.
Rendah protein
Protein terutama yang berasal dari hewan dapat meningkatkan kadar asam urat dalam
darah. Sumber makanan yang mengandung protein hewani dalam jumlah yang tinggi,
Page 34
[ ]Sistem Musculoskletal II
misalnya hati, ginjal, otak, paru dan limpa. Asupan protein yang dianjurkan bagi penderita
gangguan asam urat adalah sebesar 50-70 gram/hari atau 0,8-1 gram/kg berat badan/hari.
Sumber protein yang disarankan adalah protein nabati yang berasal dari susu, keju dan telur.
Rendah lemak
Lemak dapat menghambat ekskresi asam urat melalui urin. Makanan yang digoreng,
bersantan, serta margarine dan mentega sebaiknya dihindari. Konsumsi lemak sebaiknya
sebanyak 15 persen dari total kalori.
Tinggi cairan
Konsumsi cairan yang tinggi dapat membantu membuang asam urat melalui urin.
Karena itu, Anda disarankan untuk menghabiskan minum minimal sebanyak 2,5 liter atau 10
gelas sehari. Air minum ini bisa berupa air putih masak, teh, atau kopi. Selain dari minuman,
cairan bisa diperoleh melalui buah-buahan segar yang mengandung banyak air. Buah-buahan
yang disarankan adalah semangka, melon, blewah, nanas, belimbing manis, dan jambu air.
Selain buah-buahan tersebut, buah-buahan yang lain juga boleh dikonsumsi karena buah-
buahan sangat sedikit mengandung purin. Buah-buahan yang sebaiknya dihindari adalah
alpukat dan durian, karena keduanya mempunyai kandungan lemak yang tinggi.
Tanpa alkohol
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa kadar asam urat mereka yang mengonsumsi
alkohol lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak mengonsumsi alkohol. Hal ini adalah
karena alkohol akan meningkatkan asam laktat plasma. Asam laktat ini akan menghambat
pengeluaran asam urat dari tubuh.
III.3. INFEKSIUS ARTHRITIS
Infeksius arthritis merupakan sebuah bentuk peradangan pada daerah sendi dengan
penyebab bakteri.14 Bakteri yang sering menyebabkan peradangan di Indonesia merupakan
Microbacterium toberculosa. Bakteri dapat masuk ke dalam sendi dapat melaui berbagai jalan
termasuk lewat aliran darah selain aspirasi langsung pada cairan synovial. Bakteri yang
terdapat di sendi akan memiliki dua kemungkinan yaitu akan mati difagosit oleh synovial
lining cells. Pemakanan ini akan memunculkan reaksi antigen antibodi yang akan
mengaktifkan jalur klasik. Apabila bakteri yang masuk ke sendi tersebut memiliki toksin,
Page 35
[ ]Sistem Musculoskletal II
maka toksin tersebut akan mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif. Kemungkinan
ketiga yaitu bakteri tersebut akan terfagosit oleh PMN, dimana dalam proses fagositosisnya
akan mengeluarkan ke lingkungan sedikit enzim lisozomal. Ketiga faktor tersebut lah yang
mengakibatkan inflamasi pada daerah sendi.
Gejala klinis yang dapat terlihat pada penyakit infeksious arthritis adalah nyeri, bengkak,
kaku, dan berwaran kemerahan pada sendi. Sendi yang terkena biasanya hanya
nomoartrikular. Gejala lainnya yang pasti terjadi dan berdampak sistemik adalah deman.
Dari beberapa gejala yang disebutkan diatas sesuai dengan gout. Pemeriksaan hitung leukosit
yang didapatkan akan lebih dari 50.000/ml dengan PMN lebih dari 80%. Kenaikan yang
tinggi ini jarang diketemukan pada penderita gout, walaupun pada sebagian penderita dapat
terkena. Pada pemeriksaan ini glukosa dan LDH darah tidak begitu berguna. Gambaran
radiologis yang didapatkan pada otot polos pada fase awal akan menunjukan adanya
osteoporosis periartrikular, penyempitan celah sendi dan terdapat erosi. MRI akan lebih
spesifik dibandingkan dengan foto polos pada stadium awal. MRI dapat lebih spesifik karena
pada stadium awal akan terjadi pembengkakan dan pendesakan jaringan lunak dan sendi.
Yang Berisiko Mengembangkan Septic Arthritis
Ketika infeksi sendi adakalanya mempengaruhi orang-orang dengan faktor-faktor risiko
yang mempengaruhi yang tidak diketahui, ia lebih umum terjadi ketika situasi-situasi risiko
tertentu hadir. Risiko-risiko untuk perkembangan dari septic arthritis termasuk
mengkonsumsi obat-obat yang menekan sistim imun, penyalahgunaan obat intravena,
penyakit sendi masa lalu, luka, atau operasi, dan penyakit-penyakit medis yang mendasarinya
termasuk diabetes, alkoholisme, penyakit sel sabit, penyakit-penyakit rheumatik, dan
kelainan-kelainan kekurangan imun. Orang-orang dengan yang mana saja dari kondisi-
kondisi ini yang mengembangkan gejala-gejala dari septic arthritis harus segera mencari
perhatian medis.
Mendiagnosis Septic Arthritis
Septic arthritis didiagnosis dengan mengidentifikasi cairan sendi yang terinfeksi. Cairan
sendi dapat secara mudah dikeluarkan secara steril di ruang praktek, klinik, atau rumah sakit
dengan suatu jarum dan penyemprot (suntikan). Cairan dianalisa di sebuah laboratorium
untuk menentukan apakah ada suatu jumlah yang naik dari sel-sel darah putih yang
Page 36
[ ]Sistem Musculoskletal II
menyarankan peradangan. Suatu kultur dari cairan sendi dapat mengidentifikasi mikroba
tertentu dan menentukan kepekaannya terhadap suatu keragaman dari antibiotik-antibiotik.
Studi-studi X-ray dari sendi dapat bermanfaat untuk mendeteksi luka dari tulang yang
berdekatan pada sendi. MRI scanning adalah sangat sensitif dalam mengevaluasi kerusakan
sendi. Tes-tes darah seringkali digunakan untuk mendeteksi dan memonitor peradangan. Tes-
tes ini termasuk jumlah sel darah putih, angka pengendapan (sedimentation rate), dan C-
reactive protein.
Merawat Septic Arthritis
Septic arthritis dirawat dengan antibiotik-antibiotik dan pengaliran dari cairan sendi
(synovial) yang terinfeksi dari sendi.
Secara optimal, antibiotik-antibiotik diberikan segera. Seringkali, antibiotik-antibiotik
intravena diberikan dalam suatu penatalaksanaan rumah sakit. Pilihan-pilihan dari antibiotik-
antibiotik dapat dipandu oleh hasil-hasl dari kultur cairan sendi. Sampai hasil-hasil itu
diketahui, antibiotik-antibiotik empiris dipilih untuk mencakup suatu batasan yang luas dari
kemungkinan agent-agent infeksius. Adakalanya, konmbinasi-kombinasi dari antibiotik-
antibiotik diberikan. Antibiotik-antibiotik dapat diperlukan untuk empat sampai enam
minggu.
Pengaliran adalah penting untuk pembersihan yang cepat dari infeksi. Pengaliran dapat
dilakukan dengan penyedotan-penyedotan yang teratur dengan sebuah jarum dan penyemprot
(suntikan), seringkali setiap pagi, atau via prosedur-prosedur operasi. Arthroscopy dapat
digunakan untuk mengalirkan sendi dan mengangkat jaringan pelapis sendi yang terinfeksi.
Jika pengaliran yang cukup tidak dapat dipenuhi dengan penyedotan-penyedotan sendi atau
arthroscopy, operasi sendi terbuka digunakan untuk mengalirkan sendi. Setelah arthroscopy
atau operasi sendi terbuka, pipa-pipa saluran adakalanya ditinggalkan di tempat untuk
mengalirkan kelebihan cairan yang dapat terkumpul setelah prosedur.
Komplikasi-Komplikasi Septic Arthritis
Pembersihan yang cepat dari infeksi adalah kritis untuk memelihara sendi. Jika antibiotik-
antibiotik yang tepat dimulai segera, integritas sendi dapat dipelihara, dan kembalinya ke
fungsi diharapkan. Jika infeksi telah berjalan lama, kemungkinan dari kerusakan sendi ada.
Kunci-kunci ke hasil yang sukses adalah perhatian medis dan pengaliran yang cepat dan
pemberian antibiotik-antibiotik yang akurat yang padanya mikroba-mikroba yang menyerang
Page 37
[ ]Sistem Musculoskletal II
adalah peka.
III.4. CARPAL TUNNEL SYNDROM
Penggunaan komputer secara rutin ternyata memicu Carpal Tunnel Syndrome (CTS). CTS
adalah gangguan kesehatan dengan gejala kesemutan dan nyeri pada tangan, terutama pada 3 jari
pertama (ibu jari, telunjuk, dan jari tengah).15 Gejala akan lebih terasa pada malam hari, atau saat
seseorang berada dalam ruang ber-AC.
Gejala itu disebabkan adanya pembengkakan saraf yang melewati terowongan karpal di
pergelangan tangan. Penyakit ini dapat disembuhkan bila cepat ditangani. Gangguan ini kerap
mendera individu yang sering menggunakan pergelangan tangan dalam jangka waktu lama, seperti;
memegang mouse komputer.
Hubungan dengan pekerjaan
Profesi yang berisiko besar terancam CTS antara lain jenis pekerjaan yang banyak
menggunakan tangan dalam jangka waktu panjang. Pekerjaan yang dimaksud umumnya
menggunakan kombinasi kekuatan dan pengulangan gerakan yang sama pada jemari dan
tangan, seperti; pekerjaan yang sering memakai komputer, olahragawan, dokter gigi, musisi,
guru, ibu rumah tangga dan pekerja lapangan yang mengoperasikan alat bervibrasi seperti
bor.
Patofisiologi
Sebagian besar sindrom karpal tunner terjadi perlahan-lahan (kronis). Pada jaringan
pelindung tendon yaitu tenosynovium membengkak, dicurigai karena cairan synovial yang
berfungsi melindungi dan melumasi tendon tertimbun, terjadi juga penebalan fleksor
retinakulum.15 Kedua keadaan ini akan menekan n.Medianus. Tekanan yang berulang-ulang
dan lama pada n.Medianus akan menyebabkan tekanan intrafasikuler meninggi. Keadaan ini
menyebabkan perlambatan aliran vena. Kongesti ini lama-lama akan mengganggu nutrisi
intrafasikuler, selanjutnya terjadi anoksia yang akan merusak endotel, menimbulkan
kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini dapat menerangkan keluhan
yang sering pada sindrom karpal tunner yaitu berupa rasa nyeri dan sembab terutama malam
Page 38
[ ]Sistem Musculoskletal II
atau pagi hari, yang akan berkurang setelah tangan yang bersangkutan digerak-gerakan atau
diurut, mungkin karena perbaikan dari gangguan vaskuler ini.
Bila keadaan berlanjut terjadi fibrosis epineural dan merusak serabut saraf. Selanjutnya
saraf menjadi atrofi dan diganti jaringan ikat sehingga fungsi n.medianus akan terganggu.
Pada sindrom karpal tunner yang akut, biasa terjadi kompresi yang melebihi tekanan perfusi
kapiler, sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi saraf. Saraf menjadi iskemik, terjadi
peninggian tekanan fasikuler yang juga akan memperberat keadaan iskemik ini. Selanjutnya
terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan edema yang menimbulkan
terganggunya sawar darah saraf dan selanjutnya merusak saraf tersebut. Pengaruh
mekanik/tekanan langsung pada saraf tepi dapat pula menimbulkan invaginasi nodus Ranvier
dan demieliminasi setempat sehingga konduksi saraf terganggu. Selainnya dari faktor
mekanik dan vaskuler ini mungkin ada keadaan lain yang membuat n.Medianus menderita
dalam sindrom karpal tunner.
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis sindrom karpal tunner kita harus mengetahui tanda dan
gejalanya. Keluhan timbul berangsur-angsur, dan yang spesifik ialah:
Rasa nyeri di tangan pada malam atau pagi hari. Penderita sering terbangun karena nyeri
ini. Penderita biasanya berusaha sendiri mengatasi keluhannya misalnya dengan
meninggikan letak tangannya, menggerak-gerakkan tangannya ataupun mengurutnya,
ternyata dengan gerakan-gerakan itu keluhannya dapat mereda bahkan hilang. Keluhan
juga berkurang jika pergelangan tangan banyak beristirahat dan sebaliknya keluhan
menghebat pada pergerakan - pergerakan yang menyebabkan tekanan intrakanal
meningkat. Lama - kelamaan keluhan ini makin sering dan makin berat bahkan
dapat menetap pada siang dan malam hari.
Rasa kebas, kesemutan, baal atau seperti terkena aliran listrik pada jari-jari. Biasanya
pada jari jempol, telunjuk, tengah dan manis. Kadang tidak dapat dirasakan dengan
pasti jari mana yang terkena atau dirasakan gangguan pada semua jari. Dapat pula
terasa gangguan pada beberapa jari saja, misalnya jari ke 3 dan 4, tetapi tidak
pernah keluhan timbul hanya pada jari kelingking saja, hal ini sesuai dengan
distribusi dari n.medianus.15
Page 39
[ ]Sistem Musculoskletal II
Rasa nyeri kadang dapat terasa sampai ke lengan atas bahkan leher, tetapi rasa kebas,
kesemutan dan baal hanya terbatas pada daerah distal pergelangan tangan saja.
Bengkak, sembab dan kaku pada jari-jari, tangan dan pergelangan terutama pada pagi hari
dan terdapat perbaikan setelah beraktifitas, walau kadang tidak terlihat jelas tetapi
dirasakan penderita.
Gerakan jari - jemari kurang trampil misalnya waktu menyulam, menulis atau memungut
benda kecil. Kadang pasien sering tidak sadar menjatuhkan benda yang dipegangnya. Bila
terjadi pada anak - anak maka akan terlihat bahwa anak tersebut bermain hanya dengan
mengunakan jari 4 dan ke 5 saja.
Otot telapak tangan yang makin lama semakin menciut juga sering dikeluhkan.
Pada pasien didapatkan keluhan telah lebih dari 10 tahun mengeluh nyeri dan sulit untuk
menggunakan jari-jemarinya, terutama pada tangan kiri. Awalnya keluhan hanya timbul
saat pasien bekerja yaitu menjahit atau melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi lama–
kelamaan menetap. Keluhan ini juga dirasakan menjalar sampai ke bahu walau rasa baal
dan bengkak hanya pada telapak tangan. Hampir setiap malam pasien mengeluh
tangannya yang semakin sakit jika tidak sengaja tertindih atau tertekuk, keluhan ini
awalnya mudah hilang jika tangan dikibaskan atau diurut.
Untuk menegakkan diagnosis Sindroma Terowongan Karpal pada keluhan -keluhan
tersebut, maka diperlukan pemeriksaan fungsi motorik, sensorik dan otonom pada tangan.
Untuk itu dapat dilakukan beberapa pemeriksaan dan tes provokasi untuk mempertajam
diagnosis.
1. Tes Phalen (Phalen’s test)
Penderita diminta untuk fleksi palmar secara maksimal. Bila sebelum 60 detik timbul
rasa kebas, kesemutan atau seperti kena listrik pada daerah distribusi n.Medianus, tes
dinyatakan positif. Banyak penulis yang menyatakan tes ini baik untuk diagnosis Sindroma
terowongan karpal, dengan sensitifitas 75% dan spesifisitas 95%. (Pemeriksaan ini juga
dilakukan serentak pada kedua tangan agar dapat dibandingkan). Walaupun Sindroma
Terowongan Karpal banyak yang bilateral, tangan mana yang lebih dahulu positif dapat
Page 40
[ ]Sistem Musculoskletal II
menentukan bahwa Sindroma Terowongan Karpal pada tangan tersebut lebih berat dari
tangan yang satu lagi. (Tes ini tak dapat dinilai bila ada gangguan pergerakan sendi).15
2. Paresis otot (kekuatan, ketrampilan, ketepatan)
Dapat dinilai dengan manual atau alat khusus (dinamometer). Penderita diminta
melakukan abduksi palmar secara maksimal, lalu mempertautkan ujung jari ke 1 dan ke 2,
kemudian jari 1, 2 dan 3 serta jari 1 dan 5. Begitu juga kekuatan jepitan antara jari 1 dan 2.
Dengan cara-cara ini kekuatan otot yang dipersarafi n.Medianus dapat dinilai satu persatu.
Untuk ketrampilan/ketepatan, dilihat cara penderita melakukan gerakan rumit, misalnya
menyulam, menulis dan lain-lain.
3. Tes ekstensi pergelangan (Wrist extension test)
Rasa kebas, semutan atau seperti kena listrik pada daerah distribusi n.Medianus,
dinyatakan tes positif hal ini dapat menyokong diagnosis Sindroma Terowongan Karpal.
(sebaiknya pemeriksaan dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan).
Bila ada gangguan pergerakan sendi (arthritis, ankylose dll) tes ini tak dapat dinilai.
4. Tes bendungan (Tourniquet test)
Dengan melakukan bendungan memakai alat pemeriksa tekanan darah (tensimeter)
proksimal siku sedikit diatas tekanan sistolik. Bila dalam 60 detik timbul rasa kesemutan,
kebas atau seperti kena listrik pada derah distribusi n.Medianus, tes dinyatakan positif hal ini
menyokong untuk diagnosis Sindroma Terowongan Karpal. (Tes ini akan positif pula pada
beberapa penyakit lain misalnya penyakit Raynaud).
5. Tes Tekanan (Pressure test)
Dengan memakai ibu jari, n.Medianus di pergelangan (tempat memeriksa tanda dari
Tinel) ditekan dengan lembut. Bila dalam waktu < 120 detik timbul rasa kesemutan, kebas,
seperti kena listrik ataupun nyeri di daerah distribusi n.Medianus dinyatakan tes positif,
menyokong untuk diagnosis Sindroma Terowongan Karpal. (Pemeriksaan dilakukan serentak
pada kedua tangan).
6. Pemeriksaan rongent, USG resolusi tinggi, CT scan dan MRI
Page 41
[ ]Sistem Musculoskletal II
Dapat membantu mengetahui kondisi dalam terowongan karpal. Tapi karena biaya
pemeriksaan canggih ini cukup mahal, pemeriksaan ini hanya dilakukan pada kasus-kasus
tertentu saja sebelum tindakan operasi.
7. Pemeriksaan neurofisiologi
Dengan melakukan pemeriksaan elektromiografi (EMG) dapat dinilai fungsi motoris dan
sensoris suatu saraf. Bila terdapat gangguan setempat pada satu saraf, dapat ditentukan
dimana lokasi gangguan (lesi) tersebut. Banyak teknik pemeriksaan EMG yang diajukan
untuk pemeriksaan sindrom karpal tunner.
Penatalaksanaan
Berhubung Sindroma Terowongan Karpal ini sering didasari oleh penyakit atau keadaan
lain (10-50%), maka terapi ditujukan untuk Sindroma Terowongan karpal sendiri atau untuk
penyakit serta keadaan lain yang mendasarinya.
Terapi Sindroma Terowongan Karpal
Konservatif
1. Pemasangan Bidai
Pemasangan bidai di pergelangan tangan pada posisi netral, diharapkan pergelangan dapat
istirahat secara fisiologis dan tekanan dalam terowongan karpal menjadi lebih minimal.
Tergantung dari beratnya keluhan, bidai dipasang terus menerus atau malam hari saja selama
2 - 6 minggu. Pemasangan bidai malam hari sangat berarti bagi penderita yang sering tidur
dengan fleksi pergelangan tangan. Pemakaian bidai ini efektif jika dilakukan dalam jangka
tiga bulan sejak timbul keluhan.
2. Penyuntikan steroid ke dalam terowongan karpal
Selain untuk terapi Sindroma Terowongan Karpal, penyuntikan steroid yang dapat
menghilangkan atau mengurangi keluhan Sindroma Terowongan Karpal ini merupakan salah
satu tes untuk menegakkan diagnosis Sindroma Terowongan Karpal. Penyuntikan steroid ke
dalam terowongan karpal, diharapkan dapat mengatasi edema dalam terowongan karpal.15
Efek samping penyuntikan steroid :
a. obat masuk ke saraf (nyeri)
b. atrofi, hipopigmentasi, perdarahan
Page 42
[ ]Sistem Musculoskletal II
c. robeknya tendon secara spontan
d. radang lokal
3. Pengontrolan cairan misalnya diuretika
Dengan berkurangnya cairan tubuh secara sistemik, maka diharapkan cairan di daerah
terowongan karpal akan berkurang, hal ini akan mengurangi tekanan dalam terowongan
karpal.
4. Anti inflamasi non steroid atau steroid
Obat - obatan anti inflamasi baik steroid maupun non steroid akan mengurangi edema di
dalam terowongan karpal.
5. Estrogen
Karena penderita Sindroma terowongan karpal terutama pada wanita diatas 40 tahun
(menopause), Schiller dan Kolb menduga mungkin kekurangan estrogen akan mempengaruhi
pertumbuhan jaringan ikat, sehingga mereka memberi estrogen pada pasien-pasiennya yang
disebutnya sebagai suatu Sindroma menopause. Tapi pendapat ini ditentang oleh penulis-
penulis lain.
6. Vitamin Neurotropik
Ellis, Folker dkk dan beberapa penulis lain menyatakan defisiensi pyridoxin merupakan salah
satu faktor etiologi Sindroma Terowongan Karpal Sehingga memberikan pyridoxin sebagai
terapi Sindroma Terowongan Karpal dan menurut mereka, hasilnya cukup memuaskan. Tapi
penulis-penulis lain banyak pula yang menentang pendapat ini, apalagi karena pyridoxin yang
berlebihan dapat pula menyebabkan neuropati (karena intoksikasi). Tapi menurut penulis
yang setuju memakai pyridoxin, neuropati karena pyrodoxin ini hanya terjadi pada penderita
yang telah mempunyai kecenderungan akan timbulnya neuropati. Dosis pyridoxin yang
dianjurkan adalah 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Menurut Folker selain defisiensi
pyridoxin pada Sindroma Terowongan Karpal terdapat pula defisiensi riboflavin. Terlepas
benar atau salahnya teori defisiensi vitamin-vitamin ini pada Sindroma Terowongan Karpal
sebagai pelengkap terapi neuropati. Kita selalu memberi vitamin kombinasi golongan B
karena vitamin ini banyak mempengaruhi perbaikan-perbaikan saraf tepi yang rusak. Begitu
juga mecobalamin disebut-sebut berguna untuk regenerasi saraf perifer.
III.5. SINDROM REITER
III.5.1. Definisi Sindrom Reiter
Page 43
[ ]Sistem Musculoskletal II
Sindroma Reiter merupakan peradangan pada sendi dan tendon (urat daging) yang
melengkapinya, sering disertai dengan peradangan pada konjungtiva mata dan selaput lendir
(misalnya di mulut, saluran kemih, vagina dan penis), dan ruam-ruam yang khas.16
Sindroma Reiter disebut artritis reaktif karena peradangan sendi muncul sebagai reaksi
terhadap infeksi yang berasal dari bagian tubuh lainnya selain sendi.
Terdapat 2 bentuk Sindroma Reiter:
1. Terjadi dengan penyakit menular seksual seperti infeksi klamidia, dan lebih sering
terjadi pada laki-laki muda
2. Terjadi setelah infeksi saluran pencernaan, misalnya salmonelosis.
III.5.2. Penyebab Sindrom Reiter
Penyebab yang pasti dari sindroma Reiter tidak diketahui. Paling sering terjadi pada pria
yang berusia kurang dari 40 tahun.16 Bisa timbul setelah terjadinya penyakit menular seksual
atau infeksi disenterik karena Chlamydia, Campylobacter, Salmonella atau Yersinia. Faktor
genetik kemungkinan berperan dalam terjadinya penyakit ini.
III.5.3. Gejala Sindrom Reiter
Gejalanya dimulai dalam 7-14 hari setelah terjadinya infeksi. Gejala awalnya sering
berupa peradangan uretra (saluran yang membawa air kemih dari kandung kemih keluar
tubuh). Pada laki-laki, peradangan ini menyebabkan nyeri dan keluarnya nanah dari penis.
Kelenjar prostat bisa meradang dan nyeri. Gejala saluran kemih-kelamin pada wanita
biasanya ringan, berupa keputihan ringan atau nyeri waktu berkemih.
Konjungtiva (selaput yang melapisi kelopak mata dan bola mata) bisa menjadi merah dan
meradang, menyebabkan rasa gatal atau rasa terbakar dan pengeluaran air mata yang
berlebihan.
Nyeri dan peradangan sendi bisa ringan atau berat. Beberapa sendi biasanya terkena,
terutama lutut, sendi jari kaki dan daerah dimana tendon (urat otot) menempel ke tulang
(misalnya tumit). Pada kasus yang lebih berat, nyeri dan peradangan bisa mengenai tulang
belakang. Luka kecil yang tidak terasa nyeri bisa terjadi di mulut, lidah dan ujung penis.
Kadang-kadang ruam yang khas dari bintik tebal dan keras, bisa timbul di kulit, terutama
pada telapak tangan dan telapak kaki. Endapan kuning bisa terbentuk dibawah kuku jari
tangan dan kuku jari kaki.
Page 44
[ ]Sistem Musculoskletal II
Pada sebagian besar penderita, gejala awalnya menghilang dalam 3-4 bulan. Pada 50%
penderita, artritis dan gejala lainnya muncul lagi setelah beberapa tahun. Jika gejalanya
menetap atau sering kambuh, bisa terjadi kelainan bentuk pada sendi dan tulang belakang.
III.5.4. Diagnosa Sindrom Reiter
Adanya gabungan dari gejala-gejala pada sendi, alat kelamin, alat kemih, kulit dan mata
mengarah kepada diagnosis penyakit ini. Karena gejala-gejala ini tidak muncul bersamaan,
penyakit ini mungkin tidak terdiagnosis selama beberapa bulan. Tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang dapat memperkuat diagnosis penyakit ini. Untuk mencoba menentukan
organisme penyebab infeksi yang memicu sindroma ini bisa dilakukan pemeriksaan terhadap
contoh dari uretra atau cairan sendi, atau biopsi sendi.
III.5.5. Pengobatan Sindrom Reiter
Antibiotik diberikan untuk mengobati infeksinya, tetapi pengobatan ini tidak selalu
berhasil dan lamanya pemberian yang optimal tidak diketahui. Artritis biasanya diobati
dengan obat anti peradangan non-steroid. Bisa juga digunakan obat imunosupresan, seperti
sulfasalazin atau metotreksat. Kortikosteroid disuntikkan langsung ke dalam sendi yang
meradang. Konjungtivitis dan luka di kulit tidak perlu diobati, tetapi peradangan mata yang
berat mungkin memerlukan salep atau tetes mata kortikosteroid.
III.6. OSTEOMYELITIS
Osteomyelitis pertama kali dikemukakan pertama kali oleh Nelaton (1834), disebut coined
osteomyelitis.17 Osteomyelitis merupakan problem yang paling sering, namun sering
terlewatkan karena manifestasinya hampir sama dengan infeksi jenis lain. Diagnosa awal
sangat sulit, karena diagnosisnya di titik beratkan pada klinis sehingga sering terjadi
osteomyelitis yang kronis. Edukasi yang baik kepada pasien sangat diperlukan.
Berdasarkan waktunya, dibedakan menjadi:
Akut: beberapa hari sampai beberapa minggu, tanda inflamasi dan infeksi lokal, dengan
gangguan pada ektrimitas, keadaan umum sakit berat dan bisa menunjukkan nyerinya
dengan jelas di daerah tulang yang terkena infeksi dengan foto roentgen normal.
Page 45
[ ]Sistem Musculoskletal II
Kronis: lebih dari sepuluh hari, lowgrade inflamasi, tetapi mempunyai luka yang tidak
sembuh-sembuh, ada nanah yang bersumber dari tulang, kemungkinan berupa vistel
dengan nyeri minimal/tidak nyari, sedikit demam/tidak demam, dan tidak sembuh bila
diberikan antibiotik. Foto roentgen tidak normal, tidak bisa diberikan antibiotik karena
sudah terbentuk sequestrum (avaskular dari segmen tulang, diliputi pus/ jaringan
granulasi infeksi) yang tata laksananya dengan operasi. Kemungkinan juga ditemukan
involucrum (tulang baru terbentuk yang di dalamnya terdapat kuman). Cloacea, yang bisa
tembus ke kulit membentuk vistel. Berdasarkan pathogenesis.
III.6.1. Patofisiologi Osteomyelitis
Infeksi yang berhubungan dengan osteomyelitis dapat terlokalisir dan menyebar di
periosteum, korteks, sum-sum tulang, dan jaringan kansellosa.18 Bakteri patogen yang
menginfeksi bergantung pada usia pasien dan mekanisme infeksi.
Infeksi pada tulang dapat terjadi dengan dua mekanisme yaitu melalui aliran darah tulang
dan melalui inokulasi langsung dari jaringan sekitar.
Osteomyelitis yang terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah terjadi disebabkan
adanya bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ini ditandai dengan infeksi akut pada tulang
yang berasal dari bakteri yang berasal dari fokus infeks primer yang letaknya jauh dari tulang
yang mengalami peradangan. Keadaan ini paling sering terjadi pada anak dan disebut dengan
osteomyelitis hematogenous akut. Lokasi yang paling sering terkena adalah metaphyse yang
bervaskularisasi tinggi dan dalam masa perkembangan yang cepat. Perlambatan aliran darah
yang terjadi pada pada metaphyse distal menyebabkan mudahnya terjadi thrombosis dan
dapat menjadi tempat bertumbuhnya bakteri.
Infeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung dari jaringan sekitar terjadi akibat kontak
langsung dari jaringan tulang dan bakteri akibat trauma atau post operasi. Mekanisme ini
dapat terjadi oleh karena inokulasi bakteri langsung akibat cedera tulang terbuka, bakteri
yang berasal dari jaringan sekitar tulang yang mengalami infeksi, atau sepsis setelah prosedur
operasi.
III.6.2. Klasifikasi Osteomyelitis
Page 46
[ ]Sistem Musculoskletal II
Klasifikasi osteomyelitis berdasar dari beberapa kriteria seperti durasi dan mekanisme
infeksi dan jenis respon host terhadap infeksi. Osteomyelitis berdasarkan durasi penyakit
dapat diklasifikasi menjadi akut, subakut, dan kronik. Akan tetapi batas waktu untuk tiap
klasifikasi masih belum tegas. Mekanisme infeksi dapat exogenous dan hematogenous.
Osteomyelitis exogenous disebabkan oleh fraktur terbuka, operasi (iatrogenik), atau
penyebaran infeksi dari jaringan lunak lokal.18 Jenis hematogenous terjadi akibat bakteremia.
Osteomyelitis juga dapat dibagi berdasarkan respon host terhadap penyakit ini, pembagian
tersebut adalah osteomyelitis pyogenik dan nonpyogenik. Cierny dan Mader mengajukan
sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronis berdasarkan kriteria faktor host dan anatomis.
Sistem klasifikasi yang lebih banyak digunakan adalah berdasarkan durasi (akut, subakut, dan
kronis) dan berdasarkan mekanisme infeksi (exogenous dan hematogenous).
III.6.3. Diagnosis Osteomyelitis
Diagnosis osteomyelitis berdasar pada penemuan klinis, laboratorium, dan radiologi. Gold
standar adalah dengan melakukan biopsi pada tulang yang terinfeksi untuk analisa histologis
dan mikrobateriologis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada integritas dari kulit dan jaringan lunak,
menentukan daerah yang mengalami nyeri, stabilitas abses tulang, dan evaluasi status
neurovaskuler tungkai.18 Pemeriksaan laboratorium biasanya kurang spesifik dan tidak
memberikan petunjuk mengenai derajat infeksi. ESR dan CRP meningkat pada kebanyakan
pasien, akan tetapi WBC hanya meningkat pada 35% pasien.
Terdapat banyak pemeriksaan radiologik yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi
osteomyelitis kronik; akan tetapi, tidak ada teknik satupun yang dapat mengkonfirmasi atau
menyingkirkan diagnosis osteomyelitis. Pemeriksaan radiologik sebaiknya dilakukan untuk
membantu konfirmasi diagnosis dan untuk sebagai persiapan penanganan operatif.
Radiologi polos dapat memberikan informasi berharga dalam menegakkan diagnosis
osteomyelitis kronik dan sebaiknya merupakan pemeriksaan yang pertama dilakukan. Tanda
dari destruksi kortikal dan reaksi periosteal sangat mengarahkan diagnosis pada
osteomyelitis. Tomography polos dapat berguna untuk mendeteksi sequestra. Sinography
dapat dilakukan jika didapatkan jejak infeksi pada sinus.
Page 47
[ ]Sistem Musculoskletal II
Pemindaian tulang dengan isotop lebih berguna pada osteomyelitis akut dibanding dengan
bentuk kronik. Pemindaian tulang techentium 99m, yang memperlihatkan pengambilan yang
meningkat pada daerah dengan peningkatan aliran darah atau aktivitas osteoblastik,
cenderung memiliki spesifitas yang kurang. Akan tetapi pemeriksaan ini, memiliki nilai
prediktif yang tinggi untuk hasil yang negatif, walaupun negatif palsu telah dilaporkan.
Pemindaian dengan Gallium memperlihatkan peningkatan pengambilan pada area dimana
leukosit atau bakteria berakumulasi. Pemindaian leukosit dengan Indium 111 lebih sensitif
dibanding dengan technetium atau gallium dan terutama digunakan untuk membedakan
osteomyelitis kronik dari arthropathy pada kaki diabetik.
CT scan memberikan gambaran yang sempurna dari tulang kortikal dan penilaian yang
cukup baik untuk jaringan lunak sekitar dan terutama berguna dalam identifikasi sequestra.
Akan tetapi, MRI lebih berguna dibanding CT scan dalam hal penilaian jaringan lunak. MRI
memperlihatkan daerah edema tulang dengan baik. Pada osteomyelitis kronik, MRI dapat
menunjukkan suatu lingkaran hiperintens yang mengelilingi fokus infeksi (rim sign). Infeksi
sinus dan sellulitis tampak sebagai area hiperintens pada gambaran T2-weighted.
Seperti yang sebelumnya dijelaskan, gold standard dari diagnosis osteomyelitis adalah
biopsi dengan kultur atau sensitivitas. Suatu biopsi tidak hanya bermanfaat dalam
menegakkan diagnosis, akan tetapi juga berguna menentukan regimen antibiotik yang akan
digunakan.
III.6.4. Penatalaksanaan Osteomyelitis
Osteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa operasi. Operasi untuk
osteomyeritis termasuk sequestrektomi dan reseksi tulang dan jaringan lunak yang terinfeksi.
Tujuan dari operasi adalah menyingkirkan infeksi dengan membentuk lingkungan tulang
yang viable dan bervaskuler. Debridement radikal dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini.
Debridement yang kurang cukup dapat menjadi alasan tingginya angka rekurensi pada
osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada osteomyelitis tulang tengkorak.
Debridement adekuat seringkali meninggalkan ruang kosong besar yang harus ditangani
untuk mencegah rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat mengakibatkan
instabilitas tulang.17,18 Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan lunak maupun
tulang perlu dilakukan,begitu pula identifikasi menyeluruh dari bakteri penginfeksi dan terapi
Page 48
[ ]Sistem Musculoskletal II
antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya dilakukan setelah perencanaan yang baik dan
identifikasi sequestra dan abses intraosseus dengan radiography polos, sinography, CT dan
MRI. Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan konsultasi ahli infeksi dan untuk fase
rekonstruksi, diperlukan konsultasi ahli bedah plastik mengenai skin graft, flap muskuler dan
myocutaneus. Durasi pemberian antibiotik post-operasi masih kontroversi. Pada umumnya,
pemberian antibiotik intravena selama 6 minggu dilakukan setelah debridement osteomyelitis
kronik. Swiontkowski et al melaporkan angka kesuksesan sebesar 91% dengan hanya 1
minggu pemberian antibiotik intravena dilanjutkan dengan terapi antibiotik oral selama 6
minggu.
Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk mencegah residu bakteri yang dapat
menginfeksi ulang. Pengangkatan semua jaringan parut yang melekat dan skin graft
sebaiknya dilakukan. Sebagai tambahan dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk
membersihkan untuk mendebridemen tepi kortikal tulang sampai titik titik perdarahan
didapatkan. Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis tulang karena
bur. Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi
antibiotik. Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup bersih untuk
penutupan jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan simpel skin graft, tetapi sering
kali membutuhkan transposisi lokal jaringan muskuler atau transfer jaringan bebas yang
tervaskularisasi untuk menutup segment tulang yang didebridemen secara efektif Muscle
flaps ini memberikan vascularisasi jaringan yang baru untuk membantu penyembuhan tulang
dan distribusi antibiotik. Pada akhirnya stabilitas tulang harus di capai dengan bone graft
untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan cancellous dengan transfer tulang yang
bervaskularisasi biasanya perlu dilakukan. Walaupun secara tehnis dibutuhkan bone graft
tervaskularisasi memberikan sumber aliran darah baru pada daerah tulang yang sebelumnya
tidak memiliki vaskularisasi
a. Graft Tulang Terbuka
Papineau et al menggunakan teknik graft tulang terbuka untuk penatalaksanaan
osteomyelitis kronik. Penggunaan prosedur ini berdasarkan prinsip sebagai berikut :
1. Jaringan granulasi dapat mencegah infeksi;
2. Graft tulang cancellous autogenous sangat cepat tervaskularisasi dan mencegah terjadinya
infeksi;
3. Daerah terinfeksi dieksisi dengan sempurna;
Page 49
[ ]Sistem Musculoskletal II
4. Drainase yang adekuat;
5. Immobilisasi yang adekuat;
6. Antibiotik diberikan dalam jangka panjang.
Panda et al melaporkan angka kesuksesan dengan menggunakan teknik Papineau untuk
penatalaksanaan 41 pasien dengan osteomyelitis kronik.Operasi tersebut dibagi menjadi tiga
tahap yaitu sebagai berikut; (1) eksisi jaringan terinfeksi dengan atau tanpa stabilisasi dengan
menggunakan fixator eksternal atau intramedullari rod, (2) cancellous autografting; dan (3)
penutupan kulit.
b. Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA)
Klemm dan investigator lainnya melaporkan hasil yang cukup baik dengan penggunaan
antibiotik PMMA untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Rasionalisasi untuk
penatalaksanaan ini adalah untuk memberikan antibiotik kadar tinggi secara lokal dengan
konsentrasi yang melampaui konsentrasi inhibitorik minimal. Penelitian farmakokinetik telah
menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik lokal yang diperoleh mencapai 200 kali lebih
tinggi dibandingkan pemberian antibiotik sistemik. Penatalaksanaan ini memiliki keunggulan
dalam hal memperoleh antibiotik dengan konsentrasi sangat tinggi sementara menjaga kadar
toksisitas dalam serum dan sistemik tetap rendah. Antibiotik berasal dari PMMA bead ke
dalam luka hematoma post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media tranport.
Konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka primer;
jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat ditutup dengan
perban kedap air. Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan terinfeksi dan nekrotik
telah di debridement dengan adekuat sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap
tidak direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik dapat berkurang.
Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama PMMA
bead. Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad PMMA bead;
vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti fluoroquinolon, tetrasiklin,
polymixin B dirusak selama proses exothermik pada pengerasan PMMA bead sehingga jenis
antibiotik tersebut tidak dapat digunakan.
Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanen dapat
dilakukan. Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari pertama, dan
Page 50
[ ]Sistem Musculoskletal II
pada implantasi jangka panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80 hari. Henry et al
melaporkan hasil yang bagus pada 17 pasien dengan implantasi permanen antibiotik PMMA
bead. Rasionalisasi pembuangan PMMA ini dipertimbangkan atas beragam faktor. Kadar
bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu setelah impantasi dan
setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap benda asing dan
merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk glykocalyx. PMMA juga
terbukti menghambat respon imun lokal dengan mengganggu beberapa jenis sel imun yang
fagositik. Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti dalam
interval 72 jam dengan debridement berulang dan irigasi hingga luka siap ditutup.
c. Transfer Jaringan Lunak (Soft Tissue Transfer)
Transfer jaringan lunak untuk mengisi ruang kosong yang tertinggal setelah operasi
debridement luas dapat mencakupi flap muskuler terlokalisir pada pedikel vaskuler hingga
transfer jaringan lunak dengan mikrovaskuler. Transfer jaringan otot bervaskularisasi
memperbaiki lingkungan biologis lokal dengan membawa suplai darah yang penting bagi
mekanisme daya tahan tubuh, begitupula untuk pengangkutan antibiotik dan penyembuhan
osseus dan jaringan lunak. Angka keberhasilan untuk teknik ini dilaporkan oleh literatur
adalah sebesar 66% hingga 100%.
Kebanyakan flap muskuler lokal digunakan untuk penanganan osteomyelitis kronik pada
tibia. Otot gastrocnemius digunakan untuk defek sekitar 1/3 proximal tibia, dan otot soleus
digunakan untuk defek sekitar 1/3 medial tibia. Transfer jaringan lunak bebas dengan
mikrovaskuler dibutuhkan untuk defek sekitar 1/3 distal tibia.
III.6.5. Komplikasi Osteomyelitis
Komplikasi osteomyelitis dapat terjadi akibat perkembangan infeksi yang tidak terkendali
dan pemberian antibiotik yang tidak dapat mengeradikasi bakteri penyebab. Komplikasi
osteomyelitis dapat mencakup infeksi yang semakin memberat pada daerah tulang yang
terkena infeksi atau meluasnya infeksi dari fokus infeksi ke jaringan sekitar bahkan ke aliran
darah sistemik. Secara umum komplikasi osteomyelitis adalah sebagai berikut :
Abses Tulang
Bakteremia
Fraktur Patologis
Page 51
[ ]Sistem Musculoskletal II
Meregangnya implan prosthetik (jika terdapat implan prosthetic)
Sellulitis pada jaringan lunak sekitar.
Abses otak pada osteomyelitis di daerah kranium.
III.6.6. Pencegahan Osteomyelitis
Osteomyelitis hematogenous akut dapat dihindari dengan mencegah pembibitan bakteri
pada tulang dari jaringan yang jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan diagnosis
yang tepat dan dini serta penatalaksanaan dari fokus infeksi bakteri primer. Osteomyelitis
inokulasi langsung dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik, pembersihan daerah
yang mengekspos tulang dengan lingkungan luar yang sempurna, dan pemberian antibiotik
profilaksis yang agresif dan tepat pada saat terjadinya cedera.
III.7. SYSTEMIC LUPUS ERYTEMATOSUS
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya
perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu
kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang
mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun
terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu
sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ
tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang
tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan
perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
III.7.1. Etiologi Systemic Lupus Erytematosus
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree
relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%)
Page 52
[ ]Sistem Musculoskletal II
lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-
DR3.
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di
daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi
oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon
sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear
(ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Selain itu infeksi virus
dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit
nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE adalah
infeksi yang disebabkan oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas pada
penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling banyak ditemukan dalam 5 tahun pertama
ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang berkaitan dengan inflamasi
kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas. The Framingham Offspring
Study menunjukkan bahwa wanita dengan usia 35 – 44 tahun yang menderita SLE
mempunyai resiko 50 kali lipat lebih besar untuk terkena infarct miocard daripada wanita
sehat. Penyebab peningkatan penyakit coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor
termasuk disfungsi endotelial, mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi
arterogenesis, dan dislipidemia yang berkaitan dengan penyakit ginjal (salah satu manifestasi
klinis dari SLE). Dari suatu hasil penelitian menunjukkan penyebab mortalitas 144 dari 408
pasien dengan SLE yang dimonitor lebih dari 11 tahun adalah lupus yang akif (34%), infeksi
(22%), penyakit jantung (16%), dan kanker (6%) (Bartels, 2006).
III.7.2. Klasifikasi Systemic Lupus Erytematosus
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic
lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
Page 53
[ ]Sistem Musculoskletal II
a. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritem yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah,
lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini
memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit
secara menetap (Hahn, 2005).
b. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan
jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
c. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).
Definitely Possible Unlikely
Hidralazin
Prokainamid
Isoniazid
Klorpromazin
Metildopa
Antikonvulsan Propitiourasil
Fenitoin Metimazol
Karbamazepin Penisilinamin
Asam valproat Sulfasalazin
Etosuksimid Sulfonamid
β-bloker Nitrofurantoin
Propranolol Levodopa
Metoprolol Litium
Griseofulvin
Penisilin
Garam emas
Page 54
[ ]Sistem Musculoskletal II
Labetalol Simetidin
Acebutolol Takrolimus
Kaptropil
Lisinopril
Enalapril
Kontrasepsi oral
III.7.3. Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,
peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel
B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti
bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari
dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)
atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan
APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan.
Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk
membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T
terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun
pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya
CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan
reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen
komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan
antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003)
pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut.
Page 55
[ ]Sistem Musculoskletal II
Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator
inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi,
pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis
sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel
limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat
mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma.
Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat
apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP,
SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor
membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36,
CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi.
Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan
berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain
gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan
apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).
III.7.4. Kriteria Systemic Lupus Erytematosus
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru
untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai
selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan
ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1. Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.
2. Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang
melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.
3. Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari.
4. Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.
5. Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak,
atau efusi.
6. Serositis
Page 56
[ ]Sistem Musculoskletal II
Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau
adanya efusi pleura.
Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan
perikard atau efusi perikard.
7. Kelainan ginjal
Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+
Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.
8. Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.
9. Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 400/mm3) atau
limfopenia (kurang dari 1500/mm3), atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3)
tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut.
10. Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi
antifosfolipid
11. Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi
atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi
sindroma lupus (Delafuente, 2002).
III.7.5. Data Laboratorium Systemic Lupus Erytematosus
Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan
kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang
lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat
turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit
terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang
tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe
dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan
yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan
Page 57
[ ]Sistem Musculoskletal II
spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-
antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan
menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik
lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,
lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte
Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4),
Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase
(Pagana and Pagana, 2002).
III.7.6. Manifestasi Klinis Systemic Lupus Erytematosus
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah,
malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala
muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala
yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong
dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash)
berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang
tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari
dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi
cakram terjadi pada 10% – 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis
eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud.
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan
katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs.
Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi,
kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal
juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).
Page 58
[ ]Sistem Musculoskletal II
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi pleuritis dan
efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk. Gejala pada
paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen
terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering
timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi
usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan
sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga
timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada
sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat
mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi
tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi,
sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan
harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai
dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar
yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente,
2002).
III.7.7. Tinjauan Tentang Pengobatan SLE
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah
terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien,
memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran
penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari
terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu
maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik
yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi
(Herfindal et al., 2000).
Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita
Page 59
[ ]Sistem Musculoskletal II
SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga
merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang
spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada
pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan
produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar
antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan
menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi
paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah
(Delafuente, 2002).
Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi
inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien
menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
NSAID
NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID
dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor.
Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam
arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk
interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim
yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk
melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada
mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung,
2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser,
nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif
COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi
lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Page 60
[ ]Sistem Musculoskletal II
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek
samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE
dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang
digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain
dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan
efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak
direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan
seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et
al., 2000).
NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat
prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di
dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi
garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi
natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat
menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia (Neal, 2002). Oleh karena itu penggunaan
NSAID sebaiknya dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat
merusak mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa
prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung. Dengan menghambat
prostaglandin, NSAID merusak barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh
asam lambung dan menyebabkan ulserasi. (Neal, 2002). Karena efek samping tersebut di atas
maka pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat gastroprotektif (Rahman,
2001).
Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap
penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid.
Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut
lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid
mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang
mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator
inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta
menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks
neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi.
Page 61
[ ]Sistem Musculoskletal II
Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus
sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain
sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh
mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator
plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk
antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium
yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya
menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk
mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada
pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk
intravena (10 – 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian
prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau
hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah
selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian
pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena
kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi
kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh
karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen
kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).
Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik
bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik,
diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan
kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B
dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga
mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang
meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan
monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu
diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy,
kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Page 62
[ ]Sistem Musculoskletal II
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan
alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat
antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita
yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).
Obat lain
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah azatioprin,
intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil dan
pemberian antiinfeksi.
Azatioprin
Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila pasien
mengalami intoleran siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2 – 3 mg/kg BB
per hari. Mekanisme kerja azatioprin meliputi menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam
sirkulasi, sintesis IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida adenin dan
guanin melalui supresi sintesis asam inosinat (Clements and Furst, 1994). Pada
penggunaannya dapat dikombinasikan dengan steroid (Rahman, 2001). Apabila penyakitnya
sudah terkontrol maka dilakukan tapering steroid sampai dosis serendah mungkin setelah itu
baru dilakukan tapering azatioprin. Pasien dengan terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas
limforetikuler atau hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi sambil dilakukan
penyesuaian dosis. Selain itu juga dilakukan monitoring fungsi hati setiap 6 bulan (Herfindal
et al., 2000). Azatioprin diserap baik di saluran cerna dan dimetabolisme menjadi
merkaptopurin. Efek imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari sampai
beberapa minggu dan masih berlanjut ketika obat sudah dihentikan. Tidak ada hubungan
antara konsentrasi dalam serum dengan efetivitas atau toksisitasnya. Merkaptopurin dan
sejumlah kecil obat dalam bentuk utuh diekskresikan melalui urin. t1/2 azatioprin 9,6 ± 4,2
menit, sedangkan merkaptopurin 0,9 ± 0,37 jam (Katzung, B.G., 2006). Azatioprin
mempunyai efek samping pada saluran cerna dan supresi sumsum tulang. Apabila supresi
sumsum tulang sudah muncul maka pengobatan dihentikan atau dosisnya dikurangi. Blood
count harus dimonitor secara rutin. Pada pemakaian kronik dapat meningkatkan resiko
hematopoitik dan kanker limforetikuler. Efek samping lain yaitu infeksi herpes zoster,
kemandulan, hepatotoksik (Herfindal et al., 2000).
Page 63
[ ]Sistem Musculoskletal II
Metotreksat
Merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok
pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 7,5 –
15 mg secara oral satu kali seminggu (Herfindal et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi
obat bervariasi dan tergantung dosis tetapi rata-rata 30%. Obat ini didistribusikan secara luas
ke dalam jaringan melalui mekanisme transpor aktif dengan konsentrasi terbesar berada
dalam ginjal, limpa, hati, kulit, dan saluran kemih. Lebih dari 90% dari dosis oral
diekskresikan melalui ginjal dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi glomerolus dalam
waktu 24 jam. t1/2 metotreksat pada terapi dosis rendah (kurang dari 30 mg/m2) adalah 3-10
jam sedangkan pada terapi dosis tinggi 8-15 jam (McEvoy, 2002). Efek samping metotreksat
meliputi defisiensi asam folat, gangguan gastrointestinal dengan stomatitis atau dispepsia,
teratogenik (Brooks, 1995).
Intravena gamma globulin
Intravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia idiopatik, sindroma
Gillae-Barre, miastenia gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain. Mekanisme
kerja gamma globulin sangat kompleks meliputi perubahan ekspresi dan fungsi reseptor Fc,
menganggu aktivasi komplemen dan sitokin, menyediakan antibodi antiidiopatik, dan
mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari sel T dan sel B. Komponen-
komponen dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang utuh, IgA, CD4, CD8,
molekul HLA, dan sitokin (Kazatchkine and Kaveri, 2001). Dosis yang digunakan 1-2 g/kg
BB (Katzung, 2006). Intravena gamma globulin mempunyai t1/2 21-29 hari (McEvoy, 2002).
Efek samping intravena imunoglobulin adalah mual, muntah, mialgia, letih, sakit kepala,
urtikaria, hipertensi, dll. (McEvoy, 2002).
Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada
saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada
usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia.
Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan
respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan
Page 64
[ ]Sistem Musculoskletal II
pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai
mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang
dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme
secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).
IV. DIAGNOSIS KERJA : RHEMATOID ARTRITIS
Criteria Diagnosis Artritis Reumatoid
Kriteria diagnostic AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite khusus dari
American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1956. Karena criteria tersebut
dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk digunakan dalam klinik, komite tersebut
melakukan peninjauan kembali terhadap criteria klasifikasi AR pada tahun 1958.19
Dengan criteria tahun 1958 ini seseorang dikatakan menderita AR klasik jika memenuhi 7
dari 11 kriteria yang ditetapkan, definit jika memenuhi 5 kriteria, probable jika memenuhi 3
kriteria dan possible jika hanya 2 kriteria. Walaupun criteria tahun 1958 ini telah digunakan
selama hampir 30 tahun, akan tetapi dengan terjadinya perkembangan pengetahuan yang
pesat mengenai AR, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan criteria tersebut banyak
dijumpai kesalahan diagnosis atau dapat memasukkan artritis lain seperti
spondyloarthropathy seronegatif, penyakit pseudorheu-matoid akibat deposit calcium
pyrophosphate dehydrate, lupus eritematosus sistemik, polymyalgia rheumatic, penyakit
lyme dan berbagai jenis artritis lainnya sebagai AR.
Pembagian AR sebagai classic, definite, probable, dan possible, secara klinis juga
dianggap tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena dalam praktek sehari – hari tidak perlu
dibedakan penatalaksanaan AR yang classic dari AR definite.19 Selain itu seringkali pasien
yang terdiagnosis sebagai penderita AR probable ternyata menderita penyakit artritis yang
lain.
Walaupun peranan factor rheumatoid dalam pathogenesis AR belum dapat diketahui
dengan jelas, dahulu dianggap penting untuk memisahkan kelompok pasien seropositif dari
seronegatif. Akan tetapi pada faktanya, factor rheumatoid seringkali tidak dapat dijumpai
pada stadium dini penyakit atau pembentukannya dapat ditekan oleh disease modifying anti-
rheumatic drugs (DMARD). Selain itu spesifitas factor rheumatoid ternyata tidak dapat
diandalkan karena dapat pula dijumpai pada beberapa penyakit lain. Dua criteria tahun 1958
Page 65
[ ]Sistem Musculoskletal II
yang lain seperti analisis bekuan musin dan biopsy membrane synovial memerlukan prosedur
invasive tidak praktis untuk digunakan dalam diagnosis rutin.
No Kriteria Definisi
1 Kaku pagi hari Kekakuan pada pagi hari pada persendian & sekitarnya,
sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal
2 Artritis pada 3 daerah
persendian lebih
Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih
efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-
kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh
seorang dokter
3 Artritis pada persendian
tangan
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian
tangan seperti yang tertera di atas
4 Artritis simetris Keterlibatan sendi yang sma (seperti yang tertera pada
kriteria 2 pada kedua belah sisi (keterlibatan PIP, MCP
atau MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak
bersifat simetris)
5 Nodul reumatoid Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ekstensor atau daerah juksta artikuler yang diobservasi oleh
seorang dokter
6 Faktor reumatoid serum
positif
Terdapat titer abnormal faktor reumatoid serum yang
diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif
kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa
7 Perubahan gambaran
radiologis
Perubahan gambaran radiologis yang radilogis khas bagi
artritis reumatoid pada pemeriksaan sinar-x tangan
posterior atau pergelangan tangan yang harus menunjukkan
adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada
sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi
(perubahan akibat osteoartritis saja tidak memenuhi
persyaratan)
Page 66
[ ]Sistem Musculoskletal II
Dengan menggabungkan variable yang paling sensitive dan spesifik pada 262 pasien AR
dan 262 pasien control, pada 1987 ARA berhasil dilakukan revisi susunan criteria klasifikasi
rheumatoid artritis dalam format tradisional yang baru. Susunan criteria tersebut adalah
sebagai berikut :19
Kaku pagi
Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
Artritis pada persendian tangan
Artritis simetris
Nodul rheumatoid
Factor reumatois serum positif
Perubahan gambaran radiologis
Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang – kurangnya criteria 1 sampai 4
yang diderita sekurang – kurangnya 6 minggu.
V. ETIOLOGI RHEMATOID ARTRITIS
Walaupun factor penyebab maupun patogenenesis AR yang sebenarnya hingga kini tetap
belum diketahui dengan pasti, factor genetic seperti produk kompleks histokompatibilitas
kelas II (HLA-DR) dan beberapa factor lingkungan telah lama diduga berperanan dalam
timbulnya penyakit ini.
I. Kompleks Histokompatibilitas Utama kelas II
Telah lama diketahui bahwa AR lebih sering dijumpai pada kembar monozygotic
dibanding dari kembar dizygotic. Akan tetapi bukti terkuat yang menunjukkan bahwa AR
memiliki presdiposisi genetic diketahui dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks
histokompatibilitas utama kelas II (MHC Class II Determinants), khususnya HLA-DR4
dengan AR seropositif. Data dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang
mengemban HLA-DR4 memiliki resiko relative 4:1 untuk menderita penyakit ini.
Molekul antigen MHC Class II dapat dideteksi secara serologis, baik dengan cara
mencampurkan limfosit pasien dengan antiodi humoral terhadap HLA tertentu atau dengan
melakukan mixed lymphocyte culture (MLC). Dengan cara MLC saat ini sekurang –
kurangnya telah diketahui terdapat 5 subtype dari HLA-DR4 yaitu Dw4,Dw10, Dw13, Dw14
dan Dw15. Perbedaan subtype HLA-DR4 ini ditentukan oleh susunan rantai polipeptida pada
variable domain β1. Kerentanan populasi manusia terhadap AR ternyata berbeda pada
Page 67
[ ]Sistem Musculoskletal II
berbagai ras. Pada orang kulit putih kerentanan terhadap AR diketahui berhubungan dengan
subtype Dw4 dan orang Jepang berhubungan dengan Dw15. Berbeda dengan pola yang
lazim, selain berhubungan dengan Dw10, kerentanan bangsa Yahudi terhadap AR ternyata
tidak berhubungan dengan HLA-DR4 akan tetapi HLA-DR1. Hal ini dapat diterangkan
karena HLA-DR1 ternyata memiliki susunan rantai polipeptida variebel domain β1 yang
identik dengan subtype Dw14.
II. Hubungan Hormon Seks dengan Artrititis Reumatoid
Berbagai observasi telah menimbulkan dugaan bahwa hormone sex merupakan salah satu
factor predisposisi penyakit ini. Sebagai contoh, pravalensi AR diketahui 3 kali lebih banyak
diderita kaum wanita dibandingkan dari kaum wanita dibandingkan kaum pria. Rasio ini
dapat mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur. Demikian pula remisi seringkali dijumpai
pada pasien AR yang sedang hamil. Akan tetapi, walaupun masih banyak kontroversi dalam
hal ini, beberapa observasi telah menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral atau
penggunaan preparat estrogen eksternal bagi wanita yang telah mengalami menopause
menimbulkan kesan terjadinya penurunan insidens penyakit ini. Walaupun demikian, dari
meta-analisis yang dilakukan oleh Romieu dan kawan – kawan telah dapat disimpulkan
bahwa walaupun penggunaan kontraseptif oral mengesankan adanya suatu efek protektif
terhadap terjadinya AR, secara statistic hal ini tidak bermakna.
III. Factor Infeksi Sebagai Penyebab Artritis Reumatoid
Sejak tahun 1930, factor infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Pada saat itu
Nanna Svartz seorang ahli dari Swedia telah menciptakan sulfasalazine (salicyl-azo-
sulfapyridine) yang terdiri dari gabungan dua konstituen kimia yaitu sulphapyridine yang
bersifat antimikroba dan asam 5-aminosalisilat yang memiliki khasiat seperti obat anti-
inflamasi non-steroid. Dugaan factor infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena
umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh
gambaran inflamasi yang mencolok. Dengan demikian timbul dugaan kuat bahwa penyakit
ini sangat mungkin disebabkan oleh tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu antigen
tunggal atau beberapa antigen tertentu saja. Agen infeksius yang diduga penyebab AR antara
lain adalah bakteri, mycoplasma, dan virus. Walaupun hingga saat ini belum berhasil
dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan synovial, hal ini tidak menyingkirkan
kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin
mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya AR.
Page 68
[ ]Sistem Musculoskletal II
Pada percobaan binatang telah dibuktikan bahwa Mycoplasma arthritidis dapat
menimbulkan gejala artritits pada kelinci dan virus HTLV-1 dapat menimbulkan artropati
inflamatif pada tikus. Pada manusia, gejala artritis dapat pula dijumpai pada pasien hepatitis
B atau demam reumatik.
Akhir – akhir ini, virus Epstein-Barr (EBV) telah banyak menarik perhatian para ahli.
Pada pasien yang mengalami infeksi EBV, seringkali dijumpai gejala atralgia, walaupun
jarang dijumpai gejala artritis yang jelas. Akan tetapi, karena pada beberapa penelitian
dijumpai titer antibody terhadap EBV yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dari
kelompok control dan secara in vitro dan telah terbukti bahwa transformasi limfosit terjadi
lebih cepat setelah dilakukan pemaparan terhadap EBV, timbul dugaan kuat bahwa EBV
merupakan salah satu factor penyebab AR. Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa walaupun
EBV bukan merupakan penyebab langsung darri timbulnya AR, kemungkinan bahwa EBV
menyebabkan terjadinya perubahan respons imun terhadap antigen eksogen atau endogen lain
belum dapat disingkirkan.
Infeksi virus rubella dapat pula menimbulkan berbagai manifestasi artikular, yang
walaupun jarang dapat pula menimbulkan berbagai gejala poliartritis simetris kronik.
Walaupun demikian hingga kini belum terbukti bahwa virus rubella merupakan salah satu
factor penyebab timbulnya AR.
VI. EPIDEMIOLOGI RHEMATOID ARTRITIS
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar luas di
seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.
Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3 sampai
2,1 persen).Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan
wanita dan pria sebesar 3:1.Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur.
Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita.
Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering pada orang lanjut
usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan 600.000 pria.
VII. MANIFESTASI KLINIS RHEMATOID ARTRITIS
Walaupun gejala AR dapat timbul berupa serangan akut yang berkembang cepat dalam
beberapa hari, pada umumnyagejala penyakit ini berkembang secara perlahan dalam masa
Page 69
[ ]Sistem Musculoskletal II
beberapa minggu. Dalam keadaan dini, AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic
rheumatism, yaitu timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul yang berlangsung antara
3-5 hari dan diselingi dengan masa remisi sempurna sebelumbermanifestasi sebagai
pauciartcular rheumatism, yaitu gejala poliartritis yang melibatkan 4 persendian atau kurang.
Kedua gambaran klinis seperti ini seringkali menyebabkan kesukaran dalam menegakkan
diagnosis AR dalam masa dini.
Manifestasi Artikular
Manifestasi artikular AR dapat dibagi menjadi 2 kategori : gejala inflamasi akibat
aktivitas sinovitis yang bersifat reversible. Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang
bersifat ireversibel.20 Adalah sangat penting untuk membedakan kedua hal ini karena
penatalaksanaan klinis kedua kelainan tersebut sangat berbeda. Sinovitis merupakan kelainan
yang umumnya bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pengobatan medikamentosa atau
pengobatan non-surgikal lainnya. Pada pihak lain kerusakan struktur persendian akibat
kerusakan rawan sendi atau erosi tulang periartikular merupakan proses yang tidak dapat
diperbaiki lagi dan memerlukan modifikasi mekanik atau pembedahan rekonstruktif.
Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah kaku pada pagi hari.
Kekakuan pada pagi hari merupakan gejala yang selalu dijumpai pada AR aktif. Berbeda
dengan rasa kaku yang dapat dialami oleh pasien osteoartrosis atau kadang – kadang oleh
orang normal, kaku pagi hari pada AR berlangsung lama, yang pada umumnya lebih dari 1
jam. Lamanya kaku pagi hari pada AR agaknya berhubungan dengan lamanya imobilisasi
pada saat pasien sedang tidur serta beratnya inflamasi. Gejala kaku pagi hari akan
menghilang jika remisi dapat tercapai. Factor lain penyebab kaku pagi hari adalah inflamasi
akibat sinovitis. Inflamasi akan menyebabkan terjadinya imobilisasi persendian yang jika
berlangsung lama akan mengurangi pergerakan sendi baik secara aktif maupun secara pasif.
Otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami peradangan cenderung
untuk mengalami spasme dan pemendekan. Fenomena ini terutama jelas terlihat pada otot
intriksik tangan yang berjalan sepanjang persendian metacarpophjalangeal, (MCP) dan otot
peroneus anterior yang berjalan sepanjang persendian talonavikularis pada arkus pedis.
Deformitas persendian pada AR dapat terjadi akibat beberapa mekanisme yang berhubungan
dengan terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus. Sinovitis akan menyebabkan kerusakan
rawan sendi dan erosi tulang periartikular sehingga menyebabkan terbentuknnya permukaan
sendi yang tidak rata. Jika kerusakan rawan sendi terjadi pada daerah yang luas dan
Page 70
[ ]Sistem Musculoskletal II
imobilisasi berlangsung lama, akan terjadi fusi tulang – tulang yang membentuk persendian.
Lebih jauh pannus yang menginvasi jaringan kolagen serta proteoglikan rawan sendi dan
tulang dapat menghancurkan struktur persendian sehingga terjadi ankilosis. Ligament yang
dalam keadaan normal berfungsi untuk mempertahankan kedudukan persendian yang stabil
dapat pula menjadi lemah akibat sinovitis yang menetap atau pembentukan pannus yang
memilki kemampuan melarutkan kolagen tendon, ligament, atau rawan sendi. Gangguan
stabilitas persendian dapat jelas terlihat pada subluksasio persendian MCP akibat terjadinya
perubahan arah gaya tarik tendon sepanjang aksis rotasi sehingga menyebabkan terbentuknya
deviasi ulnar yang khas pada AR. Walaupun peran sinovitis dalam menyebabkan deformitas
persendian berlaku bagi semua persendian, terdapat beberapa aspek khusus yang
berhubungan dengan sendi tertentu.
Vertebra Servikalis
Walaupun AR jarang melibatkan segmen vertebralis lainnya, vertebra servikalis
merupakan segmen yang seringkali terlibat pada AR. Proses inflamasi ini melibatkan
persendian diartrodial yang tidak tampak atau teraba oleh pemeriksaan. Gejala dini AR pada
vertebra servikalis umumnya bermanifestasi sebagai kekakuan pada seluruh segmen leher
disertai dengan berkurangnya ruang lingkup gerak sendi secara menyeluruh. Tenosinovitis
ligament transvesum C1 yang mempertahankan kedudukan prosesus odontoid yang
menyebabkan pengenduran dan rupture ligament sehingga menimbulkan penekanan pada
medulla spinalis. Gangguan stabilitas sendi akibat peradangan dan kerusakan pada
permukaan sendi apofiseal dan pengenduran ligament juga dapat menyebabkan terjadinya
subluksasio yang sering terjadi pada C4-C5atau C5-C6.
Gelang Bahu
Peradangan pada gelang bahu akan mengurangi lingkup gerak sendi gelang bahu. Karena
dalam aktivitas sehari – hari gerakan bahu tidak memerlukan lingkup gerak yang luas,
umumnya pada keadaan dini pasien tidak merasa terganggu dengan keterbatasan tersebut.
Walaupun demikian, tanpa latihan pencegahan akan mudah terjadi kekakuan gelang bahu
yang berat yang disebut frozen shoulder syndrome
Siku
Karena terletak superficial, sinovitis artikulasio kubiti dapat dengan mudah teraba oleh
pemeriksa. Sinovitis dapat menimbulkan penekanan pada nervus ulnaris sehingga
menimbulkan gejala neuropati tekanan. Gejala ini bermanifestasi sebagai parestesia jari 4 dan
5 akan kelemahan otot fleksor jari 5.
Page 71
[ ]Sistem Musculoskletal II
Tangan
Berlainan dengan persendian distal interphalangeal (DIP) yang relative jarang ditemui,
keterlibatan persendian pergelangan tangan , MCP dan PIP hampir selalu dijumpai pada AR.
Gambaran swan neck deformities akibat fleksi kontraktur MCP, hperekstensi PIP dan fleksi
DIP serta boutonniere akibat kontraktur otot serta tendon fleksor dan introseus merupakan
deformitas patognomonik yang banyak dijumpai pada AR.
Selain gejala yang behubungan dengan sinovitis, pada AR juga dapat dijumpai nyeri atau
disfungsi persendian akibat penekanan nervus medianus yang terperangkap dalam rongga
karpalis yang mengalami sinovitis sehingga menyebabkan gejala carpal tunnel syndrome.
Walaupun jarang, nervus ulnaris yang berjalan dalam canal Guyon dapat pula mengalami
penekanan dengan mekanisme yang sama. AR dapat pula menyebabkan terjadinya
tenosinovitis akibat pembentukan nodul rheumatoid sepanjang sarung tendon yang dapat
menghambat gerakan tendon dalam sarungnya. Tenosinovitis pada AR dapat menyebabkan
terjadinya erosi tendon dan mengakibatkan terjadinya rupture tendon yang terlibat.
Panggul
Karena sendi panggul terletak jauh di dalam pelvis, kelainan sendi panggul akibat AR
sulit dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini keterlibatan sendi panggul mungkin
hanya dapat terlihat sebagai keterbatasan gerak yang tidak jelas atau atau gangguan ringan
pada kegiatan tertentu seperti saat mengenakan sepatu. Walaupun demikian, jika destruksi
rawan sendi telah terjadi, gejala gangguan sendi panggul akan berkembang lebih cepat
dibandingkan gangguan pada persendian lainnya.
Lutut
Penebalan synovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada permukaan. Herniasi
kapsul sendi kea rah posterior dapat menyebabkan terbentuknya kista Baker.
Kaki dan Pergelangan Kaki
Keterlibatan persendian MTP, talonavikularis dan pergelangan kaki merupakan
gambaran yang khas AR. Karena persendian kaki dan pergelangan kaki merupakan struktur
yang menyangga berat badan, keterlibatan ini akan menimbulkan disfungsi dan rasa nyeri
yang lebih berat dibandingkanketerlibatan ekstremitas atas. Peradangan pada sendi
talonavikularis akan menyebabkan spasme otot yang berdekatan sehingga menimbulkan
deformitas berupa pronasio dan eversio kaki yang khas pada AR. Walaupun jarang, nervus
tibilais posterior dapat pula mengalami penekanan akibat sinovitis pada rongga tarsal (tarsal
tunnel) yang dapat menimbulkan gejala parestesia pada telapak kaki.
Page 72
[ ]Sistem Musculoskletal II
Manifestasi Ekstraartikular
Kulit
Walaupun jarang dijumpai di Indonesia, di Negara barat nodul rheumatoid merupakan
gejala AR yang patognomonik. Nodul rheumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan
terbentuk di bawah kulit terutama pada lokasi yang banyak menerima tekanan, seperti
olekranon, permukaan eksternsor lengan dan tendon Achilles.
Vaskulitis seringkali bermanifestasi sebagai lesi purpura atau ekimosis pada kulit dan
nekrosis kkuku. Jika vaskulitis menyebabkan iskemia pada daerah yang cukup luas, kelainan
ini dapat menyebabkan terbentuknya gangrene atau ulkus terutama pada ekstremitas bawah.
Mata
Kelainan mata yang sering dijumpai pada AR adalah kerato konjungtivis sicca yang
merupakan manifestasi sindrom sjogren. Pada keadaan dini gejala ini seringkali tidak
dirasakan oleh pasien. Untuk itu pada pasien AR kemungkinan terdapatnya kelainan mata
harus selalu dicari secara aktif agar kerusakan mata yang berat dapat dicegah. Pada AR
umumnya dapat dijumpai beberapa episode episkleritis yang umumnya sangat ringan dan
akan sembuh secara spontan. Walaupun demikian, dapat pula terjadi gejala skleritis yang
secara histologist menyerupai nodul rheumatoid dan dapat menyebabkan erosi sclera sampai
pada lapisan koroid serta menimbulkan gejala skleromalasia perforans yang dapat
menyebabkan gejala.
Sisitem Respiratorik
Peradangan pada sendi krkoaritenoid tidak jarang dijumpai pada paien AR. Gejala
keterlibatan saluran nafas atas ini dapar berupa nyeri tenggorokan, nyeri menelan atau
disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari.
Walaupun jarang menunjukkan gejala klinis yang berat, paru merupakan organ yang
sering terlibat dalam AR. Umumnya keterlibatan paru yang ringan hanya dapat diketahui dari
hasil autopsy berupa pneumonitis interstisia. Akan tetapi pada AR yang lanjut dapat pula
ditemukan efusi pleura dan fibrosis paru yang luas.
System Kardiovaskular
Page 73
[ ]Sistem Musculoskletal II
Seperti halnya pada system respiratorik, pada AR jarang dijumpai gejala perikarditis
berupa nyeri dada dan gangguan faal jantung. Namun demikian pada beberapa pasien dapat
pula dijumpai perikarditis konstruktif yang berat. Lesi inflamatif yang menyerupai nodul
dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomen embolissi, gangguan konduksi, aortitis, dan
kariomiopati.
System Gastrointestinal
Umumnya pada AR tidak pernah dijumpai kelainan traktus gastrointestinal yang spesifik
selain daripada xorostomia yang berhubungan dengan sindrom sjorgen atau komplikasi
gastrointestinal akibat vaskulitis. Kelaina gastrointestinalis yang sering dijumpai pada AR
adalah gastritis dan ulkus peptic yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti
inflamasi non-steroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit disease modifying
anti rheumatoid drugs (DMARD) yang merupakan factor penyebab morbiditas dan mortalitas
utama pada AR.
Ginjal
Berbeda dengan lupus eritematosus sistemik, pada AR jarang sekali d ijumpai kelainan
glomerular, jika pada pasien AR dijumpai proteinuria, umumnya kejadian tersebut lebih
disebabkan karena efek samping pengobatan seperti garam emas dan d- penisilamin atau
terjadi sekunder akibat amiloidosis. Walau[un kelainan ginjal interstisisal dapat dijumpai
pada sindrom sjorgen, umumnya kelainan tersebut lebih banyak berhubungan dengan
penggunaan OAINS. Penggunaan OAINS yang tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan
nekrisis papilar ginjal.
System Syaraf
Komplikasi neurologis yang sering dijumpai pada AR umumnya tidak memberikan
gambaran yang jelas sehingga sukar untuk membedakan komplikasi neurologis akibat lesi
artikuler dari lesi neuropatik. Pathogenesis komplikasi neurologis pada AR umumnya
berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas vertebra, servikal, neuropati jepitan atau
neuropati iskemik akibat vaskulitis.
System Hematologis
Page 74
[ ]Sistem Musculoskletal II
Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran eritrosit normositik-
normokromik (hipokromik ringan) yang disertai dengan kadar besi serum yang rendah serta
kapasitas pengikatan besi yang normal atau rendah merupakan gambaran umum yangs sering
dijumpai pada AR. Anemia akibat penyakit kronik ini harus dibedakan dari anemia defisiensi
besi yang dapat juga dijumpai pada AR akibat pengguanaan OAINS dan DMARD yang
menyebabkan erosi mukosa lambung.
Pada pasien AR yang berat dengan HLA-DR, positif sering dijumpai sindrom felty
yang merupakan gabungan dari gejala AR, splenomegali, leucopenia dan ulkus pada tungkai.
Sindrom felty umumnya juga sering disertai dengan limfadenopati dan trombositopenia.
Selain sindrom Felty, trombositopenia juga dapat timbul sebagai komplikasi akibat
penekanan sumsum tulang pada penggunaan obat imunosupresif atau berhubungan dengan
proses autoimun pada penggunaan garam emas, d- penisilamin atau sulfasalazin.
VIII. PATOFISIOLOGI RHEMATOID ARTRITIS
Pathogenesis AR dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada pada membrane
synovial. Pada membrane synovial tersebut, antigen tersebut akan diproses oleh antigen
presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte A, sel
denritik atau makrofag dan semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membrane
selnya. Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan pada CD4+ suatu subset
sel T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Untuk memungkinkan terjadinya aktivasi CD4+,
sel tersebut harus mengenali antigen dan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan
membrane APC.20 Proses aktivasi CD4+ ini juga dibantu oleh interleukin-1 (IL-1) yang
disekresi oleh monosit atau makrofag. Pada tahap selanjutnya, antigen, determinan HLA-DR
yang terdapat pada permukaan membrane APC dan CD4+ akan membentuk suatu kompleks
antigen trimolekuler. Kompleks antigen trimolekuler tersebut akan mengekspresi reseptor
interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang disekresi oleh CD4+ akan
mengikatkan diri pada reseptornya dan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel
tersebut. Proliferasi CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam
lingkungan tersebut.
Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti
Ä-interferon, tumor necrosis factor β (TNF-β), IL-3, IL-4 (B-cell differentiating factor),
granulocyte/macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain
yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan
Page 75
[ ]Sistem Musculoskletal II
merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi sel B untuk memproduksi antibody. Produksi
antibody oleh sel B ini juga dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4 yang disekresi oleh sel CD4+
yang telah teraktivasi. Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibody yang
dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang
sendi. Pengendapan kompleks imun pada membrane synovial akan menyebabkan aktivasi
system komplemen dan membebaskan komplemen C5a. Komplemen C5a merupakan factor
kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vascular juga menarik lebih banyak sel
PMN yang memfagositir komplek imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi mast
cells dan pembebasan radikal oksigen, leukotriene, enzim lisosomal, prostaglandin,
collagenase dan stromelysin yang semuanya bertanggung jawab atas tejadinya infamasi dan
kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang.
Radikal oksigen dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hyaluronate sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi serta juga merusak jaringan
kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Walaupun leukotrien LTB4 diketahui menyebabkan
terjadinya migrasi dan agregasi neutorfil yang kuat, akn tetapi peranan LTB4 pada
pathogenesis AR belum dapat dijelaskan dengan pasti. Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek
vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan
bantuan IL-1 dan TNF-β. Akan tetapi karena PGE2 juga menghambat sekresi IL-2 dan Ä-
interferon, PGE2 juga memiliki efek anti inflamasi.
Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T ke dalam membrane
synovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling
bersifat destruktif pada pathogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri
dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang berproliferasi dan jaringan mikrovaskular.
Pannus dapat menginvasi jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi serta tulang
sehingga dapat menghancurkan struktur persendian. Jika proses pembentukan pannus tidak
terhenti baik karena pengobatan atau terjadinya remisi spontan, proses ini akan menyebabkan
terjadinya ankilosis. Pembentukan pannus juga mengakibatkan terjadinya peningkatan
ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang merupakan tempat perlekatan sel
mononucleus pada sel endotel mikrovaskular. Ekspresi ICAM-1 pada sel endotel kapiler
synovial mengakibatkan terjadinya peningkatan adhesi sel mononucleus pada endothel
kapiler. Walaupun pada AR terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan adhesi
sel mononuclear, tidak semua subset sel T mengalami migrasi dari kapiler synovial. Hanya
Page 76
[ ]Sistem Musculoskletal II
fenotip sel T tertentu saja yang keluar dari kapiler synovial yaitu subset CD4+, CD45RO, dan
CD29 bright.
Peristiwa di atas menunjukkan bahwa pengenalan antigen AR terjadi setelah sel T
tersebut meninggalkan thymus. Terdpatnya reseptor MHC Class II seperi HLA-DR,DQ, DP
pada permukaan sel T bersama dengan adanya very late antigen type I (VLA-1) menunjukkan
bahwa aktivitas dan proliferasi sel T terjadi secara local. Dari penemuan ini dapat
disimpulkan bahwa aktivitas sel T mungkin dicetuskan oleh suatu antigen yang tidak
diketahui, APC atau kompleks peptide trimolekuler dalam ruang sendi yang mengakibatkan
terjadinya sinovitis pada AR.
Rantai Peristiwa imunologi ini umumnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat
dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponennya
umumnya akan menetap pada struktur persendian sehingga proses destruksi sendi akan
berlangsung terus. Berlangsung terusnya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga
disebabkan karena terbentuknya factor rheumatoid. Factor rheumatoid adalah suatu
autoantibody terhadap epitope fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70% sampai 90% pasien
AR. Bagaimana suatu immunoglobulin dapat berubah sifatnya menjadi antigen, hal ini belum
dapat diterangkan dengan jelas. Factor rheumatoid juga dapat berikatan dengan komplemen
atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus.
Terbentuknya autoantibody terhadap collagen type II baik yang bersifat native ataupun yang
telah mengalami denaturasi dapat pula mengekalkan terjadinya peradangan dengan
mekanisme yang sama.
IX. PENATALAKSANAAN RHEMATOID ARTRITIS
Konsep Pengobatan RA
Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan
AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada pasien AR ditujukan untuk :
Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik local maupun sistemik.
Mencegah terjadinya destruktif jaringan.
Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam
keadaan baik.
Mengembalkan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar sedapat mungkin
normal kembali.
Page 77
[ ]Sistem Musculoskletal II
Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuhkan pendekatan multidisipliner. Suatu tim
yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi,ahli okupasional, pekerja social,
ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi, semuanya memiliki peranan masing – masing
dalam pengelolaan pasien AR baik dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan
pengobatan penyakit ini. Pertemuan berkala yang teratur antara pasien dan keluarganya
dengan tim pengobatan ini umumnya akan memungkinkan penatalaksanaan paien
menjadi lebih baik dan juga akan meningkatkan kepatuhan pasie untuk berobat.
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah
segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dan keluarganya
dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini
agaknya sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu
jangka waktu yang cukup lama.
Peranan Pendidikan Dalam Pengobatan RA
Penerangan tentang kemungkinan factor etiologi, pathogenesis, riwayat alamiah penyakit
da penatalaksanaan AR kepada pasien merupakan hal yang amat penting untuk dilakukan.
Dengan penerangan yang baik mengenai penyakitnya, psien AR diharapkan dapat melakukan
control atas perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu akibat penyakit ini.
Saat ini terdapat telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan dini pada pasien AR.
Salah satu yang banyak dilaksanakan di Amerika Serikat dan Kanada adalah The Arthritis
Self Management Program, yang diperkenalkan oleh Lorig dan kawan – kawan dari Stanford
University. Peningkatan pengetahuan pasien tentang penyakitnya telah terbukti akan
meningkatkan motivasinya untuk melakukan latihan yang dianjurkan, sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri yang dialaminya.
Pengobatan RA
Berbeda dengan trend pada decade yang lalu, saat ini banyak diantara para ahli penyakit
reumatik yang telah meninggalkan cara pengobatan tradisional yang menggunakan piramida
terapeutik. Beberapa ahli bahkan menganjurkan untuk menggunakan pendekatan step down
bridge dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis DMARD yang dimulai pada saat
yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR telah dapat
terkontrol. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang tepat hanya dapat
dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa dini penyakit.
I. Penatalaksanaan OAINS Dalam Pengobatan AR
Page 78
[ ]Sistem Musculoskletal II
Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS) umumnya diberikan pada pasien AR sejak
masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang
sering dialami walaupun belum terjadi proliferasi synovial yang bermakna. Selain dpat
mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesic yang sangat baik.
OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklo-oxygenase sehingga menekan
sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan enzim lipooxygenase juga
berperan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS bekerja dengan cara :
Memungkinkan stabilisasi membrane lisosomal.
Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamine, serotonin, enzim
lisosomal dan enzim lainnya).
Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan.
Menghambat proliferasi seluler.
Menetralisasi radikal oksigen.
Menekan rasa nyeri.
Efek Samping OAINS pada Pengobatan Pasien AR
Semua OAINS secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas OAINS yang umum
dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis, terutama jika OAINS
digunakan bersama obat – obatan lain, alcohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan
stress. Usia juga merupakan suatu factor resiko untuk mendapatkan efek samping
gastrointestinal akibat OAINS. Pada pasien yang sensitive dapat digunakan preparat OAINS
yang berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic. Akhir –
akhir ini telah banyak digunakan OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2 metabolisme
asam arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2 umumnya kurang berpengaruh
buruk pada mukosa lambung dibandingkan dengan preparat OAINS biasa.
Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain adalah reaksi
hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta penekanan system hematopoietic.
II. Penggunaan DMARD pada Pasien AR
Berbagai cara pendekatan pengobatan dengan menggunakan DMARD yang dahulu
banyak diterima, saat ini telah banyak berubah. Sebagai contoh ; penggunaan levamizole
sebagai DMARD telah lama ditinggalkan karena khasiat dan efektivitas obat tersebut
dianggap tidak memuaskan untuk mencapai dan mempertahankan remisi.demikian pula
Page 79
[ ]Sistem Musculoskletal II
dengan D- Penicillamine (DP) yang banyak digunakan sejak decade tujuhpuluhan, saat ini
sudah kurang disukai lagi untuk digunakan sebagai DMARD karena obat ini bekerja sangat
lambat. Umumnya diperlukan waktu pengobatan kurang lebih satu tahun untuk dapat
mencapai keadaan remisi yang adekuat dengan DP, dan rentang waktu ini dianggap terlalu
lama bagi sebagian besar pasien AR. Garam emas yang dahulu dianggap sebagai gold
standard dalam pengobatan AR saat ini mulai banyak ditinggalkan karena seringkalo
menimbulkan efek samping yang berat.
Pada dasarnya saat ini terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada
pengobatan pasien AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari
saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada
AR terjadi pada masa dini penyakit. Brook dan Corbett, pada penelitiannya menemukan
bahwa 90% pasien AR telah menunjukkan gambaran erosi secara radiologis pasa dua puluh
tahun pertama setelah menderita penyakit . hasil pengobatan jangka panjang yang buruk pada
sebagian besar penelitian sangat mungkin disebabkan karena pengobatan baru dimulai setelah
masa kritis dilampaui.
Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara
simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat – obatan imunosupresif pada pengobatan
penyakit keganasan. Kecenderungan untuk menggunakan kombinasi DMARD dalam
pengobatan AR ini timbul sejak decade yang silam karena banyak diantara para ahli
reumatologi beranggapan bahwa terapi DMARD secara sekuensial, pada waktu jangka
panjang tidak berhasil mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif.
DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi
akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah
2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan berkurang. Keputusan
penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera
diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik,
meski masih dalam status tersangka.
Jenis-jenis yang digunakan adalah:
a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya
lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari
hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa
Page 80
[ ]Sistem Musculoskletal II
penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia
hemolitik.
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500 mg/hari,
ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi
tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang
sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat
ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea,
muntah, dan dyspepsia.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis
250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300
mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam
kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski
sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular,
dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul
dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu
selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2
minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu
sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria,
trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang
diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering
ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.
Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek
dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4
bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20
mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Walaupun penggunaan MTX memberikan
harapan yang baik dalam pengobatan AR, akan tetapi seperti halnya penggunaan
sitostatika lain, MTX sebaiknya hanya siberikan kepada pasien AR yang progresif dan
gagal dikontrol dengan DMARD standard lainnya.
f. Cyclosporin – A
Page 81
[ ]Sistem Musculoskletal II
Siklosporin- A (CS-A) adalah salah satu undecapeptida siklik yang memiliki efek sebagai
antibiotika dan imunosupresan yang diisolasi dari jamur Tolypocladium inflatum Gams
pada tahun 1972. Bagaimana mekanisme imunosupresan masih belum diketahui dengan
jelas walaupun CS-A diduga berhubungan dengan hambatan CS-A pada fungsi dan
proliferasi limfosit. Sifat imunosupresif CS-A kemungkinan disebabkan karena terjadinya
hambatan yang bersifat spesifik dan reversible pada sel T dalam fase G0 (resting phase)
atau G1 (post mitotic/presynthetic phase) siklus sel. CS-A terutama menghambat sel T-
helper walaupun juga menghambat sel-T suppressor, sel T- sitotoksik dan activated T-
helper yang memproduksi interleukin-2 dan juga interleukin -1. Berbeda dari
imunosupresan lainnyaCS-A tidak memiliki sifat mielosupresif yang bermakna.
CS-A memiliki efek nefrotoksok yang umumnya bergantung pada dosis dan bersifat
reversible. Pada beberapa kasus, juga dapat meningkatkan kadar ureum, kreatinin, dan
asam urat darah. Pada AR, CS-A umumnya diberikan dalam dosis aawal 2.5 – 3.5
mg/KgBB/hari yang dibagi dalam 2 dosis. Setelah 4 sampai 8 minggu dosis dapat
ditingkatkan 0.5 – 1.0 mg/KgBB/hari. Kontraindikasi yaitu :
Terdapatnya riwayat penyakit keganasan
Hipertensi yang tidak terkontrol
g. Leflunomide
Leflunomide (Lef) merupakan DMARD yang terbaru yang digunakan sejak akhir tahun
1998. Dalam percobaan klinis bahwa khasiat Lef dapat disetarakan dengan MTX,
sehingga baik sekali untuk digunakan pada pasien yang gagal diobat dengan MTX atau
untuk pasien yang karena suatu hal tidak dapat mentolerir MTX.
Untuk mencapai keadaan steady state obat ini dianjurkan untuk digunakan dalam dosis
awal 100mg/hari selama 3 hari berturut – turut dan kemudian dilanjutkan dalam dosis 10
sampai 20 mg/hari. Onset Lef dapat dicapai dalam waktu 4 sampai 8 minggu. Efek
samping Lef antara lain adalah peningkatan enzim transaminase yang dapat diatasi
dengan penghentian penggunaan obat. Dalam penggunaan Lef harus dilakukan
pemantauan rutin darah perifer dan fungsi hati tiap 2 minggu pada bulan pertama dan
setiap bulan untuk selanjutnya. Efek toksiknya meliputi diare, nyeri lambung, dan
alopesis. Untuk wanita hamil terlebih dahulu harus menggunakan cholestiramin 3 x 8
g/hari selama 11 hari berturut – turut sampai kadar Lef dalam darah yang diukur pada 2
kali pemeriksaan selang 14 hari menunjukkan kadar kurang dari 0.02 mg/L.
h. Bridging Therapy dalam Pengobatan AR
Page 82
[ ]Sistem Musculoskletal II
Bridging Therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan
prednisone 5 sampai 7.5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Walaupun
pemberian glukokortikoid dosis rendah tidak menimbulkan perubahan yang bermakna
kadar dan irama kortisol plasma atau growth hormone, pemberian glukokortikoid dosis
rendah ini akan mengurangi keluhan pasien sebelum DMARD yang diberikan dapat
bekerja.
i. Peran Dietetik
AR adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dan bukan suatu penyakit metabolic.
Walaupun beberapa jenis modifikasi dietetic, antara lain yang terakhir berupa
suplementasi asam lemak omega 3 seprti asam eikosapentanoat pernah dicoba dalam
beberapa penelitian, ternyata hasilnya sangat bersifat controversial.
X. KOMPLIKASI RHEMATOID ARTRITIS
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang
merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat
pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang
menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid.
Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar
dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan
mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
XI. PROGNOSIS RHEMATOID ARTRITIS
Penyakit RA tidak dapat sembuh, penderita harus diterangkan mengenai penyakitnya dan
diberikan dukungan psikologi. Pada umumnya pasien artritis reumatoid akan mengalami
manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode artritis
reumatoid dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Tapi sebagian besar penyakit
ini telah terkena artritis reumatoid akan menderita penyakit ini selama sisa hidupnya dan
hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil
Page 83
[ ]Sistem Musculoskletal II
lainnya akan menderita artritis reumatoid yang progresif yang disertai dengan penurunan
kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwasannya penyakit ini bersifat sistemik. Maka
seluruh organ dapat diserang, baik mata, paru-paru, jantung, ginjal, kulit, jaringan ikat, dan
sebagainya. Bintik-bintik kecil yang berupa benjolan atau noduli dan tersebar di seluruh
organ di badan penderita. Pada paru-paru dapat menimbulkan lung fibrosis, pada jantung
dapat menimbulkan pericarditis, myocarditis dan seterusnya. Bahkan di kulit, nodulus
rheumaticus ini bentuknya lebih besar dan terdapat pada daerah insertio dan otot-otot atau
pada daerah extensor. Bila RA nodule ini kita sayat secara melintang maka kita akan dapati
gambaran: nekrosis sentralis yang dikelilingi dengan sebukan sel-sel radang mendadak dan
menahun yang berjajar seperti jeruji roda sepeda (radier) dan membentuk palisade.21 Di
sekitarnya dikelilingi oleh deposit-deposit fibrin dan di pinggirnya ditumbuhi dengan
fibroblast. Benjolan rematik ini jarang dijumpai pada penderita-penderita RA jenis ringan.
Disamping hal-hal yang disebutkan di atas gambaran anemia pada penderita RA bukan
disebabkan oleh karena kurangnya zat besi pada makanan atau tubuh penderita. Hal ini
timbul akibat pengaruh imunologik, yang menyebabkan zat-zat besi terkumpul pada jaringan
limpa dan sistema retikulo endotelial, sehingga jumlahnya di daerah menjadi kurang.
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gratitis dan ulkus peptik yang
merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat
pengubah perjalanan penyakit (desease modifying antiremathoid drugs, DMARD) yang
menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid. Komplikasi
saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat
lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh sinovitis erosive yang
simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Gejala klinis
Page 84
[ ]Sistem Musculoskletal II
utama AR adalah poliatritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan
tulang di sekitarnya. Hal ini dapat menyebabkan kecacatan yang sangat merugikan pasien.
Sehingga, penting bagi masyarakat untuk mengetahui pencegahan penyakit AR.
DAFTAR PUSTAKA
1. Siddharth Wayangankar, Md, Mph. Reumatoid Artritis. Edisi Februari 2010. Diunduh
Dari Www.Emedicine.Medscape.Org, 26 Maret 2010.
2. Nasution. Aspek Genetik Penyakit Reumatik. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Ed. III.
Jakarta : Balai penerbit FKUI ; 1996. h. 29-36.
Page 85
[ ]Sistem Musculoskletal II
3. Gleadle, J. 2007. At A Glance. Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik. Alih Bahasa: Annisa
Rahmalia. Editor : Amalia Safitri. Jakarta : Penerbit Erlangga.
4. Markum MS. Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisis. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UI. 2005.
5. Bates. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Ed-8. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC ; 2009.
6. Kumar, Cotran, Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2007. h : 850, 852.
7. Patel, PR. Radiologi. Alih Bahasa : Vidhia Umami. Editor : Amalia Safitri. Ed -2. Jakarta:
Erlangga. 2007.
8. Harrison. Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2006.
9. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Edisi Ke-2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2001.
10. Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. Alih Bahasa : Brahm U. Pendit, Et Al. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ;
2005. h. 1358-1359, 1367-1368, 1371.
11. Edward ST. Arthritis Pirai (Arthritis Gout). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-4.
Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
12. Arthritis Gout. Diunduh Dari Http://Www.Klikdokter.Com/Illness/Detail/44 (2008).
13. Asam Urat (Gout Arthritis). Diunduh Dari
Http://Www.Jakartalantern.Com/Content/Health-Topic/Gout.Html (12 Oktober 2009).
14. Septic Artritis. Diunduh Dari TotalKesehatanAnda.com. 2008.
15. Shiel Wc. Carpal Tunnel Syndrome & Tarsal Tunnel Syndrome.
Http://Www.Medicinenet. Com/Carpal_Tunnel_Syndrome/Index.Htm.
16. Mansjoer, Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi Ketiga. Jilid Kedua. Jakarta : Media Aesculapius, 2000. h : 358-359, 2
17. Schwartz. Si, Shires.Gt, Spencer.Fc. Alih Bahasa: Laniyati, Kartini.A, Wijaya.C,
Komala.S, Ronardy.Dh. Editor Chandranata.L, Kumala.P. Intisari Prinsip Prinsip Ilmu
Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC ; Jakarta. 2000.
18. Tim Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Buku
Petunjuk Praktikum Blok Muskuloskeletal. Surakarta : Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret ; 2008. h : 13-14.
Page 86
[ ]Sistem Musculoskletal II
19. Medical Journal Editors. Artritis Reumatoid. Edisi November 2009. Diunduh dari
www.medicastore.com. 26 Maret 2010.
20. Sudoyo,D Arua, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, Jakarta. 2006.
21. Peter, A. Arthritis Rheumatoid. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Ed. XIII.
Vol. 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2000. h 1840-1847.
Page 87