5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bekicot (Achatina fulica)
Bekicot telah banyak digunakan sebagai bahan pengobatan sejak dulu
hingga sekarang. Hewan ini memiliki manfaat teraupetik mulai dari cangkang
hingga lendirnya. Bekicot bisa meningkatkan penyembuhan pada mimisan,
nyeri perut serta nyeri akibat luka bakar (Joffre, M., 2004).
2.1.1 Taksonomi
Menurut Asia-Pacific Forest Invasive Species Network (2009), taksonomi
bekicot (Achatina fulica) adalah sebagai berikut
Filum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
Ordo : Stylommatophora
Famili : Achatinidae
Sub Famili : Achatinidae
Genus : Achatina
Sub Genus : Lissachatina
Spesies : Achatina fulica
2.1.2 Morfologi
Bekicot (Achatina fulica) memiliki sebuah cangkang yang sempit
berbentuk kerucut yang panjangnya dua kali lebar tubuhnya dan terdiri
dari tujuh sampai sembilan ruas lingkaran ketika dewasa. Cangkang
bekicot umumnya memiliki warna cokelat kemerahan dengan corak
6
vertikal berwarna kuning tapi warna tersebut tergantung pada lingkungan
dan jenis makanan yang dikonsumsi. Bekicot dewasa panjangnya dapat
mencapai 20cm tetapi rata-rata panjangnya sekitar 5-10cm. Sedangkan,
berat bekicot kurang lebih adalah 20 gram (Cooling, 2005). Seperti tampak
pada gambar 2.1.
(Sumber : Integrated Taxonomic Information System, 2004)
Gambar 2.1
Bekicot (Achatina fulica)
2.1.3 Kandungan
Bekicot memiliki banyak sekali manfaatnya dari cangkang, daging,
hingga lendirnya. Bekicot merupakan sumber protein hewani yang
bermutu tinggi dengan kandungan sekitar 40% nya adalah protein dan
kurang dari 3% adalah lemak (F. Aboua, 1990), di dalamnya juga
mengandung asam amino esensial yang lengkap disamping itu juga
memiliki kandungan zat besi yang tinggi (Udofia, U.S, 2009).
Dari sebuah penelitian J. Jeong et all (2001) yang menganalisa tentang
kandungan lendir dari bekicot (Achatina fulica) bahwa lendirnya terdapat
kandungan dari komponen utama protein dan glikosaminoglikan.
Glikosaminoglikan yang terisolasi dari bekicot (Achatina fulica) ini
7
merupakan golongan heparin dan heparin sulfat. Glikosaminoglikan
merupakan turunan dari proteoglikan yang merupakan pengontrol aktif
fungsi sel, berperan pada interaksi matriks sel, proliferasi fibroblast,
spesialisasi, dan migrasi. Glikosaminoglikan ini disekresi oleh granula –
granula yang terletak di dalam tubuh dan di permukaan tubuh bekicot
(Kim et al., 1996. Sen et al., 2002).
2.2 Kulit
2.2.1 Anatomi Kulit
Kulit merupakan organ tubuh yang paling superficial yang langsung
membatasi tubuh dengan dunia luar lingkungan hidup manusia. Kulit juga
merupakan cerminan dari kebersihan dan kesehatan dari individu. Kulit ini
sangatlah bervariasi tergantung pada keadaan iklim, suhu, suku, ras dan juga
bergantung pada lokasi tubuh (Syarif M.W, 2007).
Kulit adalah organ yang luas dengan berat sekitar 4 kg dan luas sekitar 2
meter persegi. Ini memiliki fungsi utama yakni untuk proteksi, absorpsi,
ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh atau termogulasi, pembentukan
pigmen, pembentukan vitamin D, dan keratinasi (Syarif M.W, 2007). Kulit ini
memiliki 3 lapisan struktural diantaranya lapisan epidermis, lapisan dermis,
dan lapisan subkutis (Abdullah, B., 2009). Seperti yang terdapat pada gambar
2.2 dibawah ini :
8
(www.dreamstime.com)
Gambar 2.2
Anatomi Kulit Normal
2.2.1.1 Epidermis
Epidermis adalah lapisan terluar dari kulit yang memiliki tebal sekitar 0,05
– 0,2 mm, lapisan ini terdiri 5 lapisan yang dimulai dari lapisan paling bawah
yaitu stratum basale hingga yang paling atas yaitu stratum korneum. Seperti
yang tampak pada gambar 2.3.
(sumber : www.dreamstime.com)
Gambar 2.3
Anatomi Epidermis Kulit, Lapisan Terluar
9
Sel pada epidermis ini melakukan pembelahan sel dan berdiferensiasi sel.
Pembelahan dan diferensisasi terjadi pada sel basal di stratum basalis yang
akan berdiferensiasi pada lapisan diatasnya, dan akhirnya menjadi sel mati
yang berisi keratin di stratum korneum. Proses ini membutuhkan waktu sekitar
2 minggu untuk bermigrasi dari stratum basalis ke stratum granulosum dan
membutuhkan waktu 2 minggu untuk stratum korneum berdeskuamasi
(Abdullah. B , 2009).
Stratum basalis adalah lapisan kulit terbawah yang terdiri dari sel sel
berbentuk kubus atau kolumnar (Syarif M.W, 2007). Suatu sel di stratum
basale membutuhkan waktu sekitar 8- 10 minggu untuk mencapai di
permukaan epidermis dan sel sel yang hilang diatasnya akan tertutupi dengan
sel sel yang diproduksi oleh sel – sel yang membelah dan berdiferensiasi dari
lapisan stratum basalis sehingga ketebalan epidermis tetap, hal ini
dipertahankan oleh stimulator – stimulator dan inhibitor – inihibitor
pertumbuhan seperti EGF serta TGF-α dan TGF-β Transforming Growth
Factor Alfa dan Beta (Brown, R.G, Tony, B., 2005)
Stratum spinosum adalah lapisan kulit terletak di atas stratum basalis yang
terdiri dari sel keratinosit yang memproduksi keratin sebagai komponen
protein utama zat tanduk stratum korneum. Lapisan ini seperti gambaran paku
yang dapat menghubungkan sel- sel yang berdekatan. Banyak tersebar sel –
sel Langerhans yang merupakan modifikasi dari makrofag berasal dari
sumsum tulang dan bermigrasi ke epidermis. Sel-sel ini merupakan pertahanan
imunologis lini pertama (Brown, R.G, Tony, B., 2005)
10
Stratum granulosum adalah lapisan diatas dari lapisan spinosum yang
berbentuk semakin pipih. Di lapisan ini masih terdapat mekanisme
diferensiasi. Selain itu sel ini juga berisi bentukan granular yang terdiri dari
keratohialin yang dapat membantu pembentukan “cement” untuk mengikat sel
stratum korneum satu dengan yang lain (Abdullah, B., 2009)
Stratum korneum adalah lapisan terluar dari epidermis yang mengalami
keratinisasi, saling berdekatan saling tumpang tindih dibagian tepi. Lapisan
inilah yang berfungsi sebagai barrier utama kulit dari lingkungan luar.
Ketebalannya sendiri bervariasi tergantung letaknya pada tubuh (Brown, G, et
al, 2005., Benny Abdullah, 2009)
2.2.1.2 Dermis
Dermis adalah lapisan jaringan ikat yang terletak di bawah epidermis, dan
merupakan bagian terbesar dari kulit. Lapisan dermis dengan epidermis saling
mengikat melalui penonjolan – penonjolan epidermis ke bawah (rete ridge)
dan penonjolan epidermis ke atas (dermal papillae). Lapisan ini sebagian besar
terdiri dari serat –serat kolagen dan elastin yang merupakan protein, terbenam
pada area dasar yang terdiri dari mukopolisakarida (glikosaminoglikan).
Dermis juga banyak mengandung pembuluh darah, limfe, saraf, dan reseptor
sensoris (Brown, R.G, Tony, B., 2005)
2.2.1.3 Subkutis
Lapisan lanjutan dari dermis yang terdiri atas jaringan ikat longgar berisi
sel – sel lemak di dalamnya. Lapisan sel – sel lemak ini disebut panikulus
adipose yang berfungsi sebagai cadangan makanan . Di lapisan ini juga
terdapat ujung syaraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Tebal tipisnya
11
jaringan lemak bervariasi tergantung lokasinya seperti contohnya lapisan di
perut ketebalannya 3cm dan di daerah kelopak mata serta penis sangatlah
sedikit (Syarif M.W, 2007).
2.2.2 Fungsi Kulit
Kulit memiliki fungsi yang bermacam - macam bagi tubuh diantaranya :
a) Fungsi proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh dari berbagai macam gangguan
tubuh baik mekanis maupun fisis misalnya gesekan, tarikan, gangguan
infeksi dari luar terutama dari kuman/ bakteri maupun jamur. Hal ini
memungkinkan karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit
dan serabut-serabut jaringan penunjang yang berperan sebagai
pelindung terhadap gangguan fisis. Kulit juga menekskresi keringat dan
sebum, yang menyebabkan pH kulit berkisar 5-6.5 sehingga dapat
menjadi perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri maupun jamur
(Syarif M.W, 2007).
b) Fungsi absorpsi
Permiabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan
kulit ikut mengambil bagian dari fungsi respirasi. Penyerapan dapat
berlangsung melalui celah antara sel, menembus sel-sel epidermis atau
melalui muara saluran kelenjar (Syarif M.W, 2007).
c) Fungsi ekskresi
Kelenjar – kelenjar kulit mengeluarkan zat – zat yang sudah tidak
berguna lagi bagi tubu atau sisa – sisa metabolisme dalam tubuh berupa
NaCl, urea, asam urat, dan ammonia (Syarif M.W, 2007).
12
d) Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung – ujung saraf sensorik di dermis dan
subkutis. Terhadap ransangan panas diperankan oleh badan-badan
Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan
– badan Krause yang terletak di dermis. Terhadap rabaan diperankan
oleh taktil Meissner di papilla dermis dan Merkel Ranvier di epidermis.
Serta terhadap tekanan oleh Vater Paccini di epidermis (Syarif M.W,
2007).
e) Fungsi pengaturan suhu tubuh
Kulit mengatur suhu tubuh dengan mengeluarkan keringat dan
mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit (Syarif M.W,
2007).
f) Fungsi pembentukan pigmen
Sel yang membentuk pigmen terdapat di lapisan basal yaitu
melanosit. Sel melanosit inilah yang memproduksi melanosom yang
menentukan warna kulit masing – masing individu (Syarif M.W, 2007).
g) Fungsi keratinasi
Pada lapisan epidermis terdapat 3 sel utama yaitu sel Langerhans,
sel melanosit, dan sel keratinosit. Sel keratinosit ini mengadakan
pembelahan dari sel basal yang berpindah ke atas dan berubah
bentuknya menjadi sel spinosum, makin keatas makin gepeng dan
bergranula menjadi sel granulosum dan makin lama inti makin
menghilang dan keratinosit menjadi sel tanduk (Syarif M.W, 2007).
13
h) Fungsi pembentukan vitamin D
Mengubah 7 hidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari
(Syarif M.W, 2007).
2.3 Luka bakar
2.3.1 Definisi
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan oleh adanya kontak dengan api, air panas, listrik, bahan kimia,
dan radiasi. Luka bakar sendiri merupakan suatu jenis trauma dengan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi oleh karena itu diperlukan
penatalaksanaan yang khusus sejak awal sampai fase lanjut. Dalam
perjalanannya luka bakar terdapat 3 fase yaitu fase awal, fase akut, dan
fase syok. Pada fase awal inilah yang perlu diperhatikan karena disini
dapat terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit yang
dapat bersifat sistemik (Yefta Moenadjat, 2005).
2.3.2 Patofisiologi
Penyebab luka bakar adalah karena adanya perpindahan energy sumber
panas ke tubuh, perpindahan ini dapat melalui konduksi atau
elektromagnetik. Kulit dengan luka bakar dapat mengalami kerusakan di
ketiga lapisan struktural kulit yang dapat menyebabkan kerusakan atau
gangguan integritas kulit hingga kematian sel-sel kulit, ini tergantung pada
lama paparan dengan sumber panas (Chrintine Effendy, 2000)
Gangguan sirkulasi pada luka bakar disebabkan oleh perubahan
permiabilitas kapiler, perubahan onkotik dan hidrostatik yang kemudian
diikuti oleh ekstravasasi cairan dengan tanda hipovolemik dan
14
penimbunan cairan di jaringan intertisiel (Edema) (Yefta moenadjat,
2005).
Luka bakar mayor dapat menyebabkan beberapa gangguan fisiologis
tubuh diantaranya adanya peningkatan pelepasan katekolamin yang
menyebabkan vasokonstriksi yang akan memberikan efek signifikan pada
aliran ginjal dan aliran limpa ke hepar, adanya peningkatan sekresi
aldosterone oleh adrenal yang menyebabkan retensi Na+
, adanya
kehilangan H2O yang dapat menyebabkan hipovolemi, adanya
peningkatan laju metabolic sehingga kebutuhan akan O2 meningkat,
adanya penurunan sel darah merah, dan yang terakhir penyebabkan adanya
peningkatan pada faktor depresan miokard yang dapat menurunkan curah
jantung sehingga dapat membawa tubuh dalam keadaan yang asidosis
(Hudak & Gallo, 2000).
2.3.3 Klasifikasi
Terdapat beberapa cara dalam mengklasifikasikan luka bakar
diantaranya berdasarkan mekanisme atau penyebab, derajat dan kedalaman
luka, serta jangkuan luka (WHO, 2008).
2.3.3.1 Berdasarkan mekanisme atau penyebab
a) Thermal burn yang ditunjukan dengan adanya :
- Kulit melepuh, disebabkan oleh cairan atau uap panas.
- Luka bakar kontak, disebabkan oleh benda padat seperti setrika,
alat- alat masak, hingga rokok.
- Nyala api, disebabkan oleh benda- benda dengan api yang
menyala seperti rokok, lilin, lampu, kompor, dll.
15
- Luka bakar zat kimia, disebabkan oleh terpapar zat kimia yang
reaktif
- Luka bakar elektrik, disebabkan oleh kontak langsung dengan
benda-benda elektrik yang panas (WHO, 2008).
b) Inhalational burn yang disebabkan oleh menghirup gas panas, cairan
panas atau produk – produk berbahaya hasil dari pembakaran yang
belum sempurna. Produk – produk tersebut menyebabkan luka secara
termal dan kimia pada jalan nafas dan paru. Telah terdapat 20% - 35%
kasus dan sebagai penyebab utama kematian (WHO, 2008).
2.3.3.2 Berdasarkan derajat dan kedalam
a) Luka bakar derajat satu atau luka bakar superfisial yang didefinisikan
sebagai luka bakar hingga epidermis serta adanya respon inflamasi.
Pada umumnya disebabkan oleh paparan dari sun burn atau berkontak
langsung dengan benda panas, cairan, atau nyala api. Penyembuhan
pada derajat pertama sekitar selama 1 minggu tanpa adanya perubahan
yang permanen (WHO, 2008).
b) Luka bakar derajat dua atau partial thickness yang dapat merusak
hingga lapisan dermis kulit serta dapat membuat destruksi pada
beberapa elemen – elemen kulit. Luka bakar derajat dua terbagi
menjadi:
- Luka bakar derajat dua superfisial, membutuhkan kurang dari 3
minggu dalam penyembuhan
16
- Luka bakar derajat dua deep, membutuhkan lebih dari 3 minggu
untuk penutupan luka dan terlihat bekas luka yang hipertrofi
(WHO, 2008).
c) Luka bakar derajat tiga atau full thickness yang merusak lapisan
epidermis, dermis, subkutis hingga folikel – folikel rambut. Pada derajat
ini, luka bakar tidak dapat meregenerasi sendiri tanpa adanya grafting
kulit (WHO, 2008).
2.3.3.3 Berdasarkan jangkauan luka
Biasanya diukur berdasarkan total luas permukaan tubuh yang terbakar.
Beberapa metode mengatakan jangkauan diukur berdasarkan “Rules of
Nine” yaitu 9% daerah kepala dan leher, 9% masing- masing lengan
(termasuk tangan ), 18% masing masing kaki (termasuk telapak kaki), dan
18% masing sisi dari badan (punggung, dada, dan perut). “Rules of Nine”
ini berlaku untuk dewasa dan anak – anak lebih dari 10 tahun (WHO,
2008).
2.4 Fase Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka adalah proses yang spontan yang membutuhkan faktor
– faktor tertentu yang terinisiasi. Pola penyembuhan luka sendiri di sebabkan
oleh diantaranya sitokin, endokrin, dan perawatan secara farmakologi pada
lingkungan luka (Pudner, R, 2005).
2.4.1 Fase Inflamasi
Fase ini merupakan fase awal terjadinya reaksi terhadap luka terjadi.
Terdapat beberapa respon dari jaringan di tempat luka dengan ditunjukan
melalui respon inflamasi akut. Jaringan dan sel yang luka akan mengalami
17
tahap – tahap seperti pendaharan yang diikuti dengan fase pembekuan
darah, inflamasi dari sitokin yang dilepaskan oleh sel yang membangkak,
peningkatan permiabilitas kapiler, edema interseluler, dan adanya migrasi
sel – sel leukosit menuju area yang terluka, serta adanya proses fagositosis
sel-sel mati dan debris oleh makrofag. Proses inflamasi ini berlangsung
sekitar 3 hari yang kecepatan penyembuhannya dapat dipengaruhi oleh
banyak faktor (Pudner, R, 2005).
2.4.2 Fase Reparasi
Fase ini merupakan perkembangan dari fase sebelumnya, namun pada
fase ini terjadi regenerasi dari sel seperti peningkatan produksi kolagen
dan adanya proliferasi sel – sel hidup untuk menutupi defek (Pudner, R,
2005).
Pembuluh darah kapiler mulai terbentuk di daerah luka untuk memberi
pasokan darah baru, sel – sel baru seperti fibroblast untuk memproduksi
kolagen, kemudian kolagen ekstraseluler mulai terdeposit. Deposit
kolagen ini dimulai setelah fase inflamasi hingga puncaknya pada hari ke-
5 (Young A, et al, 2011). Kemudian dengan banyaknya kapiler, fibroblast,
dan kolagen maka kulit disekitar luka akan berkontraksi (Pudner, R,
2005). Luka mulai berkontraksi pada hari ke-7 (Young A, et al, 2011).
2.4.3 Fase Konsolidatif
Setelah deposit kolagen berhasil, vaskularisasi luka akan berkurang dan
permukaan luka akan lebih pucat. Untuk luka yang terbuka, jarak yang
timbul antar epitel akan secara bertahap menutup dikarenakan kontraksi
18
namun bekas luka akan tetap ada dikarenakan adanya repitelisasi (Pudner,
R, 2005).
2.5 Debridement
2.5.1 Definisi Debridement
Debridement adalah pengangkatan jaringan mati dan
terkontaminasi dari sebuah luka untuk mendukung keberhasilan
penyembuhan luka, dengan cara membersihkan jaringan nekrotik, eschar,
jaringan yang terinfeksi, debris, hyperkeratosis dll (Strohal, R., et al,
2013).
2.5.2 Macam-Macam Teknik Debridement
2.5.2.1 Mechanical Debridement
Teknik debridement ini sering dan telah lama digunakan di USA.
Teknik ini menggunakan metode wet to dry dengan menggunakan kassa
yang diaplikasikan dipermukaan luka sehingga jaringan yang nekrotik bisa
terangkat bersama kassa yang diangkat setelah diaplikasikan (Strohal, R.,
et al, 2013).
2.5.2.2 Autolytic Debridement
Debridement secara natural dengan menjaga kelembapan luka yang
akan melepaskan enzim proteolitik endogen seperti kolagen, elastase,
mieloperoksidase, asam hidroksilase atau lisosim dan mengaktifkan
fagosit. Enzim-enzim ini yang akan menghancurkan jaringan nekrotik
sehingga dapat dicerna oleh makrofag, contohnya pada bahan hydrogel
(Strohal, R., et al, 2013).
19
2.5.2.3 Larvae Debridement
Salah satu teknik mechanical debridement dengan menggunakan
larva atau ulat atau belatung steril yang diletakkan diluka nekrosis
sehingga dapat menurunkan perkembangan dari bakteri pada luka tersebut
dikarenakan hasil sekresi dari larva yang mengandung antibacterial.
Dengan demikian dapat mendukung kesembuhan luka dan aktivitas
fibroblast (Strohal, R., et al, 2013).
2.5.2.4 Surgical Debridement
Teknik ini menggunakan prosedur bedah dengan membersihkan
jaringan menggunakan scalpel atau gunting bedah serta dilakukan dengan
anastesi dan alat-alat bedah yang lain. Dilakukan jika tidak dapat teratasi
oleh teknik debridement yang lain (Strohal, R., et al, 2013).