1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penggunaan ekstrak oleh industri obat tradisional telah banyak dimanfaatkan
sebagai bahan baku yang lebih modern. Konsentrasi senyawa yang akan diperoleh
dalam ekstrak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran
partikel bahan, suhu, tekanan, rasio pelarut-simplisia, jenis pelarut dan waktu
ekstraksi (Luthria dkk., 2008). Faktor-faktor tersebut memberikan efek yang
berbeda-beda untuk setiap simplisia yang diekstraksi.
Sambiloto merupakan salah satu tanaman yang telah digunakan secara
empiris oleh masyarakat. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam
sambiloto antara lain terpenoid, flavonoid, noriridoid, xanthon, polifenol serta
mikro dan makro elemen berupa mineral (Okhuarobo dkk., 2014). Salah satu
senyawa diterpenoid dalam sambiloto yang paling dikenal adalah andrografolid,
yaitu komponen bioaktif utama yang tersebar di seluruh bagian tanaman dan
merupakan suatu senyawa penanda yang memiliki aktivitas farmakologi
(Jarukamjorn dan Nemoto, 2008). Banyak penelitian-penelitian mengenai
optimasi senyawa andrografolid yang telah dilakukan, seperti optimasi ekstraksi
menggunakan supercritical carbon dioxide (Kumoro dkk., 2007) dan optimasi
menggunakan fractional factorial design (Rafi dkk., 2014).
Di samping andrografolid, senyawa aktif lain yang terdapat dalam herba
sambiloto adalah senyawa flavonoid dan senyawa fenolik (Chao dan Lin, 2010).
2
Pada penelitian Chao dkk (2010), flavonoid dalam herba sambiloto memiliki
aktivitas sebagai anti inflamasi, sedangkan senyawa fenolik merupakan salah satu
komponen yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Penelitian mengenai
optimasi senyawa flavonoid dan senyawa fenolik dalam sambiloto telah mulai
dilakukan, salah satunya yaitu penelitian mengenai pengaruh berbagai faktor
ekstraksi terhadap kandungan antioksidan fenolik sambiloto oleh Thoo dkk.
(2013) dengan menggunakan metode penelitian single-factor experiment.
Metode optimasi dengan single-factor experiment memiliki kekurangan
hanya dapat memantau satu variabel saja pada satu waktu sedangkan faktor lain
dibuat konstan. Selain itu, metode ini tidak dapat melihat interaksi antar faktor
terhadap variabel respon (Sin dkk., 2006). Salah satu metode yang dapat
digunakan untuk mengatasi keterbatasan tersebut adalah dengan menggunakan
teknik desain faktorial yang dapat menunjukkan efek dari setiap faktor maupun
interaksi antar faktor. Dalam penelitian ini, akan dilakukan suatu percobaan untuk
melihat pengaruh faktor ekstraksi berupa rasio pelarut-simplisia, konsentrasi
pelarut dan waktu perendaman serta interaksinya pada ekstraksi herba sambiloto
dengan metode eksperimen desain faktorial. Data hasil percobaan selanjutnya
dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan optimasi ekstraksi yang
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses ekstraksi,
sehingga diperoleh kandungan flavonoid dan fenolik yang tinggi.
3
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh variasi rasio pelarut-simplisia, konsentrasi etanol, waktu
perendaman serta interaksi antar faktor terhadap ekstraksi senyawa flavonoid
pada herba sambiloto?
2. Bagaimana pengaruh variasi rasio pelarut-simplisia, konsentrasi etanol, waktu
perendaman serta interaksi antar faktor terhadap ekstraksi senyawa fenolik
pada herba sambiloto?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Pengaruh variasi rasio pelarut-simplisia, konsentrasi etanol, waktu
perendaman serta interaksi antar faktor terhadap ekstraksi senyawa flavonoid
pada herba sambiloto.
2. Pengaruh variasi rasio pelarut-simplisia, konsentrasi etanol, waktu
perendaman serta interaksi antar faktor terhadap ekstraksi senyawa fenolik
pada herba sambiloto.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi terutama terhadap kadar
flavonoid dan fenolik total pada herba sambiloto. Tidak hanya pengaruh faktor
secara tunggal, namun juga interaksi antar faktor dalam proses ekstraksi yang
dapat mempengaruhi kadar flavonoid dan fenolik total. Dari hasil percobaan yang
diperoleh, data dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan optimasi
4
ekstraksi yang dapat menyari senyawa flavonoid dan fenolik dalam herba
sambiloto secara efektif. Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan oleh
industri untuk menentukan kondisi ekstraksi berupa rasio pelarut-simplisia,
konsentrasi etanol, serta lamanya waktu perendaman pada ekstraksi senyawa
flavonoid dan fenolik pada herba sambiloto.
E. Tinjauan Pustaka
1. Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees.)
Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees. tumbuh secara luas di negara-
negara Asia dan digunakan sebagai obat herbal tradisional seperti Cina, Hong-
Kong, Filipina, Malaysia, Indonesia dan Thailand (Akbar, 2011). Herba sambiloto
merupakan herba yang memiliki rasa pahit pada seluruh bagian tanaman sehingga
disebut juga sebagai “king of bitters” (Kumar dkk., 2012). Herba sambiloto dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Herba sambiloto
(Badan POM RI, 2008)
a. Klasifikasi
Klasifikasi tanaman (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees.) sebagai
berikut:
Divisi : Angiospermae
5
Kelas : Dicotyledoneae
Subkelas : Gamopetalae
Ordo : Personales
Famili : Acanthaceae
Subfamili : Acanthoidae
Genus : Andrographis
Spesies : Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees.
(Prapanza dan Merianto, 2003)
b. Nama lain
Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees. dikenal di Indonesia dengan
nama sambiloto dan juga berbagai nama daerah. Masyarakat Jawa Tengah
dan Jawa Timur menyebutnya dengan bidara, sambiroto, sandiloto, sandilata,
takilo, paitan, dan sambiloto. Di Jawa Barat disebut dengan ki oray, takila,
atau ki peurat, sedangkan masyarakat Sumatra dan sebagian besar masyarakat
Melayu menyebutnya dengan samiroto (Prapanza dan Merianto, 2003).
c. Morfologi
Sambiloto tergolong terna (herba) semusim, tumbuh tegak, tinggi sekitar
50 cm dan rasanya sangat pahit. Batang sambiloto berkayu, berpangkal bulat,
berbentuk segi empat saat muda dan bulat saat tua, percabangan monopodial,
dan berwarna hijau. Daun sambiloto tunggal, tersusun berhadapan, berbentuk
lanset, bertepi rata (integer), ujung dan pangkal daun tajam atau runcing,
permukaan daun halus, berwarna hijau, tidak ada stipula (daun penumpu),
berukuran 312 cm x 1-3 cm (Mahendra, 2005).
6
d. Ekologi
Sambiloto dapat tumbuh di semua jenis tanah. Habitat aslinya adalah
tempat-tempat terbuka yang teduh dan agak lembab, seperti kebun, tepi
sungai, pekarangan, semak, atau rumpun bambu (Prapanza dan Merianto,
2003). Daerah penyebarannya dari dataran rendah sampai ketinggian 700
mdpl (Muchlisah, 2001).
e. Kegunaan
Sambiloto merupakan salah satu tanaman yang secara turun-temurun
digunakan untuk berbagai tujuan pengobatan seperti demam, infeksi saluran
pernafasan atas, herpes, gangguan tenggorokan, hepatitis dan berbagai
penyakit kronik dan infeksi (Niranjan dkk., 2010). Penelitian farmakologi
modern menunjukkan bahwa sambiloto memiliki efek sebagai antiinflamasi,
antibakteri, antioksidan, antiparasit, antikejang, antidiabetik,
antikarsinogenik, antipiretik, antidiare, hepatoprotektif, nematosidal, dan anti-
HIV, serta pengobatan beberapa penyakit infeksi mulai dari malaria hingga
disentri (Kumar dkk., 2012).
f. Kandungan kimia
A. paniculata memiliki komponen kimia yang bervariasi di bagian aerial
(daun dan batang) serta akar. Berbagai metabolit yang telah ditemukan dalam
sambiloto antara lain diterpenoid (entlabdane diterpen lakton), flavonoid
dalam bentuk flavon, noriridoid, xanthon, polifenol, asam kuinat, serta mikro
dan makro molekul (Hossain dkk., 2014; Okhuarobo dkk., 2014). Senyawa
lain yang terdapat pada daun sambiloto yaitu α-sitosterol, stigmasterol
7
(Niranjan dkk., 2010), asam sinamat, asam kafeat, asam klorogenat, dan asam
ferulat (Rao dkk., 2004). Komponen fitokimia dalam sambiloto sangat
bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti bagian tanaman yang
digunakan, geografi, musim dan waktu panen (Hossain dkk., 2014).
Diterpenoid, flavonoid, dan polifenol merupakan konstituen utama dalam
sambiloto dan komponen tersebut dipercaya merupakan komponen yang
bertanggung jawab pada aktivitas biologis (Chao dan Lin, 2010).
Diterpenoid lakton merupakan komponen terpenoid yang banyak
terdapat dalam sambiloto. Diterpenoid lakton utama yang ditemukan dalam
sambiloto antara lain andrografolid, deoksiandrografolid, neoandrografolid,
14-deoksi-11,12-didehidroandrografolid, dan isoandrografolid (Chao dan Lin,
2010). Andrografolid berada di seluruh bagian tanaman dengan jumlah
terbanyak di bagian daun yaitu >2% (Jarukamjorn dan Nemoto, 2008).
Struktur kimia dari beberapa senyawa diterpenoid dalam sambiloto dapat
dilihat pada Gambar 2.
Andrografolid Neoandrografolid 14-Deoksi-11,12-
didehidroandrografolid
Gambar 2. Struktur kimia turunan andrografolid
(Niranjan dkk., 2010)
8
Penelitian mengenai senyawa fitokimia dalam sambiloto menyebutkan
terdapat lebih dari 30 jenis flavonoid dalam sambiloto (Hossain dkk., 2014).
Beberapa senyawa flavonoid yang terkandung dalam sambiloto antara lain 7-
O-metildihidrowogonin (1), (2S)-5,7,2’,3’-tetrametoksiflavanon (2),
dihidroskullcapflavon (3), 7-O-metilwogonin (4), 5-hidroksi-7,8,2’,5’-
tetrametoksi-flavon (5), 5-hidroksi-7,8-2’,3’-tetrametoksiflavon (6), 5-
hidroksi-7,2’,6’-trimetoksiflavon (7), 5-hidroksi-7,2’,3’-trimetoksiflavon (8)
skullcapflavon-12’-metileter (9), 7-O-metilwogonin 5-glukosida (10),
skullcapflavon I 2’-glukosida (11) (Rao dkk., 2004). Struktur dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur senyawa flavonoid dalam sambiloto
(Rao dkk., 2004)
Senyawa flavonoid lain dalam sambiloto termasuk 5-hidroksi-7,8-
dimetoksiflavon, 5-hidroksi-7,8,2’-trimetoksiflavon (Chao dan Lin, 2010),
9
apigenin-7,4’-di-O-metil eter, monohidroksi trimetil flavon (C19H18O7),
dihidroksi dimetoksiflavon (Niranjan dkk., 2010) dan dua jenis flavonoid
glikosida baru (Li dkk., 2007).
Pada penelitian Chao dkk (2010), flavonoid dalam herba sambiloto
memiliki aktivitas sebagai anti inflamasi. Pada penelitian lebih lanjut,
flavonoid tersebut berpotensi sebagai anti-aterosklerotik dengan mekanisme
inhibisi kolagen, asam arakidonat, trombin, dan faktor aktivasi platelet (Chao
dan Lin, 2010).
2. Ekstraksi
Ekstraksi atau penyarian adalah suatu kegiatan penarikan suatu senyawa
yang dapat larut dengan menggunakan pelarut tertentu sehingga terpisah dengan
senyawa lain yang tidak dapat larut. Senyawa aktif yang terkandung dalam
simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid,
flavonoid, dan lain-lain. Bila sudah diketahui senyawa aktif yang dikandung
oleh simplisia tersebut, akan mempermudah dalam pemilihan pelarut dan cara
ekstraksi yang tepat (Departemen Kesehatan, 2000).
Prinsip ekstraksi adalah pelarutan/pengikatan zat aktif berdasarkan sifat
kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like). Jenis dan mutu pelarut
yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut
yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkan, mempunyai
titik didih yang rendah, murah, dan tidak toksik (Departemen Kesehatan, 2000).
Ekstraksi menggunakan pelarut dibagi menjadi beberapa metode yaitu
menggunakan cara dingin dan cara panas. Metode yang termasuk dalam cara
10
dingin antara lain maserasi dan perkolasi. Maserasi adalah proses pengekstrakan
simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada
temperatur ruangan. Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Perkolasi merupakan ekstraksi
dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna. Proses terdiri dari tahapan
pengembangan bahan, tahap maserasi antara, dan tahap perkolasi sebenarnya
(penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang
jumlahnya 1-5 kali bahan. Metode yang merupakan cara panas yaitu refluks,
soxhlet, digesti, infus, dan dekok (Departemen Kesehatan, 2000).
Beberapa faktor yang mempengaruhi ekstraksi antara lain:
a. Rasio pelarut-simplisia
Rasio pelarut-simplisia adalah rasio perbandingan jumlah pelarut yang
digunakan dengan bahan. Penentuan rasio pelarut-simplisia merupakan
salah satu tahap yang penting dalam proses ekstraksi karena senyawa dalam
bahan tidak dapat terekstraksi secara sempurna apabila rasionya terlalu kecil
(Wu, 2015). Daya dorong transfer massa dipengaruhi oleh gradien
konsentrasi antara simplisa dan pelarut. Semakin tinggi rasio pelarut-
simplisia, gradien konsentrasi yang terbentuk semakin tinggi dan kecepatan
difusi juga akan meningkat, sehingga jumlah ekstraksi simplisia oleh pelarut
juga semakin banyak (Tan dkk., 2011). Di sisi lain, efisiensi ekstraksi
menunjukkan adanya penurunan dengan meningkatnya rasio pelarut-
simplisia. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan suatu optimasi dan
pertimbangan untuk menentukan rasio pelarut-simplisia yang digunakan
11
untuk mendapatkan rasio yang efisien agar tidak terjadi pemborosan solven
(Luthria, 2008).
b. Konsentrasi pelarut
Pemilihan jenis pelarut yang tepat merupakan salah satu faktor
penting dalam proses ekstraksi. Pelarut yang akan digunakan harus memiliki
selektifitas yang tinggi terhadap senyawa yang akan diekstraksi, memiliki
kapasitas ekstraksi tinggi yang berhubungan dengan titik jenuh dari produk
dalam media, dan dapat melarutkan senyawa yang akan diekstraksi
(Wijesekera, 1991). Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah
selektivitas, kemudahan bekerja dan proses dengan pelarut tersebut,
ekonomis, ramah lingkungan, dan aman (Departemen Kesehatan, 2000).
Berdasarkan peraturan pemerintah yang berlaku, pelarut yang
diperbolehkan dalam proses ekstraksi adalah air dan etanol serta campuran
keduanya. Jenis pelarut lain seperti metanol, heksana, toluen, kloroform,
aseton, umumnya digunakan sebagai pelarut untuk tahap separasi dan tahap
pemurnian (Departemen Kesehatan, 2000).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Spigno, dkk. (2007) campuran
alkohol dan air memiliki kemampuan ekstraksi komponen fenolik lebih baik
dibandingkan dengan pelarut tunggal. Etanol merupakan pelarut polar yang
secara efektif dapat menarik flavonoid serta kandungan glikosida, katekol,
dan tanin dari suatu bahan. Untuk mendapatkan kelarutan senyawa yang
diinginkan, diperlukan suatu perbandingan campuran pelarut yang tepat.
12
c. Waktu ekstraksi
Waktu ekstraksi merupakan faktor penting yang perlu ditentukan
untuk mendapatkan waktu yang efektif. Semakin lama waktu ekstraksi,
maka semakin lama waktu kontak antara pelarut dan bahan sehingga
senyawa aktif akan semakin banyak yang berdifusi ke dalam pelarut. Perlu
diperhatikan juga apabila waktu yang dibutuhkan terlalu lama maka secara
ekonomis proses ekstraksi berlangsung tidak efisien dan menyebabkan ikut
terlarutnya senyawa yang tidak diinginkan (Spigno dkk., 2007), sehingga
diperlukan suatu penentuan waktu yang tepat dalam proses ekstraksi.
3. Senyawa Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom
karbon yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang
dihubungkan oleh 3 atom karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin
ketiga. Sistem penomoran untuk turunan flavonoid dapat dilihat pada Gambar 4.
Di antara flavonoid khas yang mempunyai kerangka seperti di atas, berbagai
jenis dibedakan berdasarkan tahanan oksidasi dan keragaman lain pada rantai C3
yaitu: flavon, flavonol, flavanon, flavononol, isoflavon, antosianidin,
Gambar 4. Sistem penomoran
struktur flavonoid
13
leukoantosianidin, dan katekin (Robinson, 1995). Beberapa kerangka turunan
flavonoid tampak pada Gambar 5.
Flavanon Flavon Flavonol
Flavonoid memiliki aktivitas klinik yang berbeda-beda seperti anti-
aterosklerotik, anti-inflamasi, anti-tumor, anti-trombogenik, anti-osteoporotik,
anti-virus (Nijveldt dkk., 2001). Sifat utama yang dimiliki hampir setiap
kelompok flavonoid adalah kemampuannya sebagai antioksidan (Nijveldt dkk.,
2001). Flavonoid dapat melindungi sistem biologi dengan kemampuannya untuk
mentransfer elektron, menangkap radikal bebas, mengkelat logam, mengaktifkan
enzim-enzim antioksidan, mereduksi radikal α-tokoferol dan menghambat enzim-
enzim oksidase (Akowuah dkk., 2004).
Kelarutan flavonoid tergantung pada struktur dan sifat pelarut yang
digunakan (Chebil dkk., 2007). Aglikon flavonoid memiliki sifat kurang polar
sehingga cenderung larut dalam pelarut kurang polar seperti eter, etil asetat,
kloroform, sedikit dalam alkohol dan tidak larut dalam air. Glikosida flavonoid
bersifat polar karena adanya gugus gula yang terikat, sehingga cukup larut dalam
pelarut yang cenderung polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton,
dimetilsulfoksida, dimetilformamid, dan air (Markham, 1988).
Kandungan flavonoid total dapat ditentukan secara spektrofotometri dengan
menggunakan metode yang telah dilaporkan oleh Chang dkk. (2002) dengan
Gambar 5. Pengelompokkan flavonoid berdasarkan rantai C3
(Robinson, 1995)
14
menggunakan pereaksi alumunium klorida (AlCl3). Metode ini dapat mendeteksi
flavonoid golongan flavon dan flavonol yang memiliki gugus ortodihidroksi dan
gugus hidroksi karbonil. Prinsip dari metode ini adalah terbentuknya kompleks
asam yang stabil antara alumunium klorida dengan gugus hidroksil dan keton
yang bertetanggaan (hidroksi karbonil) yaitu pada gugus keto C-4 dengan gugus
hidroksil C-3 atau C-5 dari flavon dan flavonol, serta membentuk kompleks tak
tahan asam dengan gugus ortodihidroksi pada cincin A atau B struktur flavonoid.
Reaksi terbentuknya kompleks antara senyawa flavonoid dengan pereaksi
alumunium klorida dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Pembentukan senyawa kompleks flavonoid dengan AlCl3
Struktur senyawa flavonoid memiliki karakteristik yang khas pada UV 366
sehingga memungkinkan dapat diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis.
Berikut tabel penafsiran warna bercak flavonoid dilihat pada sinar UV 366
menurut Markham (1998).
15
Tabel I. Penafsiran bercak flavonoid pada UV 366
Warna bercak dibawah sinar UV 366 Kemungkinan Jenis Flavonoid
Tanpa uap amonia Dengan uap amonia
Lembayung gelap Kuning, hijau kuning,
atau hijau
a. Biasanya 5-OH flavon atau flavonol
(tersubstitusi pada 3-O dan mempunyai
4’OH
b. Kadang 5-OH flavonon dan 4’OH
khalkon tanpa OH pada cincin B
Tanpa atau sedikit
perubahan
a. Flavon atau flavonol tersubstitusi pada 3-
O mempunyai 5-OH tetapi tanpa 4’-OH
bebas
b. Beberapa 6- atau 8-OH flavon dan
flavonol tersubstitusi pada 3-O serta
mengandung 5-OH
c. Isoflavon, dihidroflavonol, biflavonil dan
beberapa flavanon yang mengandung 5-
OH
d. Khalkon dengan 2’- atau 6’- OH tapi
tanpa 2- atau 4-OH bebas
Biru muda beberapa flavonon dengan 5-OH
Merah atau jingga Khalkon dengan 2- atau 4-OH bebas
Fluoresensi biru
muda
Fluoresen kuning-hijau
atau biru-hijau
a. Flavon dan flavonon tanpa 5-OH bebas
b. Flavonol tanpa 5-OH bebas tapi dengan 3-
OH tersubstitusi
Tanpa atau sedikit
perubahan
Isoflavon tanpa 5-OH bebas
Fluoresens cerah biru
terang
Isoflavon tanpa 5-OH bebas
Tidak tampak Fluoresens biru muda Isoflavon tanpa 5-OH bebas
Kuning redup dan
kuning atau
fluoresen jingga
Tanpa atau sedikit
perubahan
Flavonol dengan 3-OH bebas dan dengan atau
tanpa 5-OH bebas
Fluoresensi kuning Jingga atau merah Auron dengan 4’-OH dan beberapa 2- atau 4-
OH khalkon
Fluoresen kuning,
hijau-kuning, biru-
hijau, atau hijau
Tanpa atau sedikit
perubahan
a. Auron dengan 4’-OH bebas dan flavonon
tanpa 5-OH bebas
b. Flavonol dengan 3-OH bebas dan dengan
atau tanpa 5-OH bebas
Merah jingga redup Biru Antosianidin 3-glikosida
Merah jambu atau
fluoresensi kuning
Biru Sebagian besar antosianidin 3,5-diglikosida
4. Senyawa Fenolik
Senyawa fenolik merupakan metabolit sekunder yang berasal dari jalur
metabolisme pentosa fosfat, sikimat dan fenilpropanoid dalam tanaman (Randhir
dkk., 2004). Senyawa fenolik memiliki struktur berupa cincin aromatik dengan
satu atau lebih subtituen hidroksil dan bervariasi mulai dari molekul fenolik
16
sederhana hingga senyawa polimer kompleks. Kumpulan dari senyawa fenolik ini
sering disebut dengan polifenol (Balasundram dkk., 2006).
Aktivitas fisiologi senyawa fenolik dalam tubuh antara lain sebagi anti-alergi,
anti-arterogenik, anti-inflamasi, anti-mikroba, antioksidan, anti-trombotik,
kardioprotektif dan efek vasodilator. Keberadaan fenolik pada tumbuhan sendiri
memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan reproduksi, perlindungan
terhadap patogen dan predator, kontribusi dalam pembentukan warna dan
karakteristik sensorik pada buah dan tanaman (Balasundram dkk., 2006).
Senyawa fenolik dalam tanaman termasuk diantaranya adalah asam fenolik,
flavonoid, tanin, stilben, kurkuminoid, kumarin, lignan, kuinon, dan lain
sebagainya (Huang dkk., 2010). Dari beberapa senyawa tersebut, asam fenolat,
flavonoid dan tanin merupakan jenis senyawa fenolik yang paling umum
ditemukan. Senyawa flavonoid merupakan kelompok terbesar, dari 8000 senyawa
fenolik, hampir setengah dari jumlah tersebut adalah flavonoid (Balasundram
dkk., 2006).
Folin-Ciocalteu merupakan metode spektrofotometri yang umum digunakan
untuk menghitung kandungan senyawa fenolik. Prinsip metode Folin-Ciocalteu
adalah oksidasi gugus fenolik hidroksil yang terkandung di dalam sampel. Reagen
yang digunakan merupakan campuran dari natrium molibdat, natrium tungstat,
dan reagen yang lain. Ketika reagen bereaksi dengan senyawa fenol, maka akan
terbentuk warna biru yang berasal dari kompleks molibdenum-tungstat (Everette
dkk., 2010). Rekasi berlangsung lambat pada pH asam, sehingga digunakan
natrium karbonat untuk membuat suasana basa (Prior dkk., 2005).
17
Metode Folin-Ciocalteu merupakan metode sederhana, sensitif dan teliti.
Namun banyak senyawa lain yang dapat berekasi dengan Folin Ciocalteu seperti
misalnya adenin, adenosin, anilin, sitosin, EDTA, fruktosa, guanosin, asam oleat,
dan lainnya (Balasundram dkk., 2006).
5. Desain Faktorial
Desain faktorial merupakan aplikasi persamaan regresi berupa suatu teknik
untuk memberikan model hubungan antara variabel respon dengan suatu atau
lebih variabel bebas. Model yang diperoleh dari persamaan tersebut diolah dalam
persamaan matematika. Desain faktorial menghasilkan suatu desain percobaan
yang dapat menentukan faktor paling dominan yang mempengaruhi suatu respon
secara signifikan (Bolton dan Bon, 2004) .
Faktor adalah setiap variabel bebas yang menjadi penyebab terjadinya
perubahan pada variabel terikat. Untuk menentukan desain faktorial, perlu di
tentukan jumlah level atau variasi untuk setiap faktor (variabel) kemudian
dilakukan eksperimen dengan semua kemungkinan kombinasi (Bolton dan Bon,
2004)
Prinsip dasar pada desain faktorial adalah harus ada 2 atau lebih faktor yang
diteliti dan mengandung paling sedikit 2 level dari masing-masing faktor tersebut
yaitu level maksimum (dinotasikan dengan +) dan level minimum (dinotasikan
dengan -). Jumlah percobaan yang dilakukan desain faktorial sebanyak 2n, dengan
2 adalah jumlah level dan n adalah jumlah faktor. Desain faktorial 23 berarti
eksperimen yang terdiri dari tiga faktor yang masing-masing terdapat dua level
18
atau tingkatan. Hal ini berarti eksperimen dilakukan dengan delapan percobaan
seperti digambarkan dalam Tabel II sesuai dalam buku Bolton dan Bon (2004).
Tabel II. Kondisi percobaan desain faktorial 23
Percobaan Faktor
A B C
(1) - - -
a + - -
b - + -
ab + + -
c - - +
ac + - +
bc - + +
abc + + +
Keterangan:
- = level rendah
+ = level tinggi
Formula (1) = level rendah faktor A, level rendah faktor B, level rendah faktor C
Formula a = level tinggi faktor A, level rendah faktor B, level rendah faktor C
Formula b = level rendah faktor A, level tinggi faktor B, level rendah faktor C
Formula ab = level tinggi faktor A, level tinggi faktor B, level rendah faktor C
Formula c = level rendah faktor A, level rendah faktor B, level tinggi faktor C
Formula ac = level tinggi faktor A, level rendah faktor B, level tinggi faktor C
Formula bc = level rendah faktor A, level tinggi faktor B, level tinggi faktor C
Formula abc = level tinggi faktor A, level tinggi faktor B, level tinggi faktor C
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan berdasarkan Tabel II, dapat
dihitung efek faktor A, efek faktor B, dan efek faktor C. Kemudian dapat dihitung
pula interaksi dari ketiga faktor tersebut terhadap respon yang diamati. Hubungan
antara respon dan level faktor dapat digambarkan seperti persamaan (1) berikut:
Y = B0 + Ba Xa + Bb Xb + Bc Xc + Bab Xa Xb + Bac Xa Xc + Bbc Xb Xc + Babc Xa Xb Xc
........ (1)
Dengan Y merupakan respon hasil (variabel dependen); Xa, Xb, Xc
merupakan ketiga faktor yang diamati, dan B0, Ba, Bb, Bc, Bab, Bac, Bbc, Babc
merupakan koefisien yang dapat dihitung dari hasil penelitian (Armstrong, 2006).
19
Keuntungan utama dari metode ini adalah dapat mengidentifikasi efek
masing-masing faktor, maupun efek interaksi antar faktor. Selain itu metode ini
lebih ekonomis dan dapat mengurangi jumlah penelitian jika dibandingkan
dengan meneliti dua efek faktor secara terpisah. Metode desain faktorial dapat
dijadikan suatu rancangan awal untuk melakukan optimasi, karena dengan analisis
ini berbagai faktor dan interaksi yang dominan dapat dibuktikan secara objektif.
Program analisis varian yang dapat digunakan adalah uji linier univariat pada taraf
kepercayaan 95% (Bolton dan Bon, 2004).
6. Spektrofotometri
Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara
radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang
sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektroskopi serapan ultraviolet,
cahaya tampak, inframerah, dan serapan atom (Departemen Kesehatan, 2008).
Pengukuran kuantitatif secara spektrofotometri ditetapkan dengan persamaan
Lambert Beer sebagai berikut :
𝐴 = 𝑎𝑏𝑐........................................................(2)
Absorptivitas (a) merupakan suatu konstanta yang tidak tergantung pada
konsentrasi (c), tebal kuvet (b), dan intensitas radiasi yang mengenai larutan
sampel. Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul, dan
panjang gelombang radiasi. Satuan a ditentukan oleh satuan-satuan b dan c. Jika
satuan c dalam molar (M) maka absorptivitas disebut dengan absorptivitas molar
dan disimbolkan dengan dengan satuan M-1
cm-1
atau liter.mol1cm
-1. Jika c
dinyatakan dengan persen berat/volume (g/100 ml) maka absorptivitas dapat
20
ditulis dengan 𝐸1𝑐𝑚1% dan juga seringkali ditulis dengan 𝐴1𝑐𝑚
1% . Nilai 𝐸1𝑐𝑚1%
merupakan absorbansi suatu senyawa yang diukur pada konsentrasi 1% b/v
(1 g/100 ml) dan dengan kuvet yang mempunyai ketebalan 1 cm pada panjang
gelombang dan pelarut tertentu (Gandjar dan Rohman, 2007).
Cara lain untuk menetapkan kadar sampel adalah dengan menggunakan
perbandingan absorbansi sampel dengan absorbansi baku, atau dengan
menggunakan persamaan regresi linear yang menyatakan hubungan antara
konsentrasi baku dengan absorbansinya. Persamaan kurva baku selanjutnya
digunakan untuk menghitung kadar sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).
F. Landasan Teoritik
Kondisi ekstraksi merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan untuk
mendapatkan kandungan flavonoid dan fenolik secara maksimal. Faktor yang
mempengaruhi ekstraksi antara lain rasio simpisia-pelarut, konsentrasi etanol dan
waktu perendaman. Efek dari semakin besar rasio pelarut dan simplisia adalah
meningkatkan senyawa yang tersari. Semakin besar rasio pelarut-simplisia maka
akan semakin besar kemampuan pelarut untuk memperluas kontak dengan
simplisia, sehingga proses difusi zat aktif ke dalam pelarut semakin banyak
(Luthria, 2008).
Kelarutan senyawa aktif berdasarkan prinsip like dissolve like, yaitu senyawa
aktif akan larut pada pelarut yang sama polaritasnya. Flavonoid dalam bentuk
glikosida akan lebih mudah larut dalam pelarut polar seperti air, sedangkan
aglikon flavonoid akan cenderung larut pada pelarut non polar. Kandungan
flavonoid dalam herba sambiloto lebih banyak dalam bentuk aglikon dengan
21
struktur berupa metoksi flavon (Rao dkk., 2004), sehingga kemungkinan kenaikan
konsentrasi etanol dapat meningkatkan jumlah senyawa flavonoid dalam ekstrak.
Sebagian besar senyawa fenolik dalam herba sambiloto merupakan senyawa
flavonoid, sehingga peningkatan konsentrasi pelarut kemungkinan juga akan
meningkatkan kadar fenolik.
Waktu kontak antara bahan dan pelarut memberikan peranan penting dalam
proses ekstraksi karena berpengaruh terhadap jumlah senyawa bioaktif yang akan
terekstrak. Waktu yang terlalu pendek dapat menyebabkan proses ekstraksi
berjalan kurang sempurna. Semakin lama waktu ekstraksi, maka semakin lama
pula waktu kontak antara bahan dan pelarut sehingga senyawa aktif akan semakin
banyak yang berdifusi ke dalam pelarut (Spigno dkk., 2007).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ekstraksi dapat ditentukan melalui
desain faktorial. Metode eksperimen desain faktorial terbukti dapat digunakan
untuk melihat efek dari setiap faktor yang diamati maupun interaksi antar faktor
yang terjadi (Pinelo dkk., 2005; Spigno dkk., 2007; Cujic dkk., 2016).
G. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu
1. Rasio pelarut-simplisia, konsentrasi etanol dan waktu perendaman yang lebih
tinggi akan memberikan kadar flavonoid yang lebih besar, serta interaksi
antar faktor akan mempengaruhi kadar flavonoid total.
2. Rasio pelarut-simplisia, konsentrasi etanol dan waktu perendaman yang lebih
tinggi akan memberikan kadar fenolik yang lebih besar, serta interaksi antar
faktor akan mempengaruhi kadar fenolik total.