1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebakan oleh basil
Mikobakterium (Alsagaff, 2006). TB sudah ditemukan sejak peninggalan Mesir
kuno, dengan adanaya bukti dari relief yang menggambarkan orang dengan
gibbus. TB ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882, Koch
meengidentifikasi basil tahan asam M. Tuberculosis untuk pertama kali sebagai
bakteri penyebab TB ini. Koch melakukan percobaan pada hewan yaitu guinea
pig untuk mengetahui proses patogenesis dari TB ini. Untutk memastikan
observasinya yang mengambarkan bahwa imunitas didapat mengikuti infeksi
primer sebagai suatu konsep Koch. Konsep dari pada dengan pengembangan
vaksin TB, satu vaksin yang sangat sukses, yaitu vaksin Bacillus Camette Guerin
(BCG) dibuat dari suatu strain Mikobakterium Bovis, vaksin ini ditemukan oleh
Albert Calmette dan Camille Guerin di Institut Pasteur Perancis dan diberikan
pertma kali kemanusia pada tahun 1921. Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi
pada tahun 1944 ketika seorang perempuan umur 21 tahun dengan penyakit TB
paru lanjut menerima injeksi pertama Streptomisin yang sebelumnya diisolasi
oleh Selman Waksman. Segera disusul dengan penemuan asam para amino
salsilik (PAS). Kemudian dilanjuktkan dengan penemuan Isoniazid yang
signifikan yang dilaporkan oleh Robitzek dan Selikoff 1952. Kemudian diikuti
penemuan bertururt-turut pirazinamid tahun 1954 dan Etambutol 1952,
Rifampisin 1963 yang menjadi obat utama TB sampai saat ini. (Bahar, 2009)
Walaupun sudah dikenal sekian lama dan telah lama ditemukan obat-obatan
antituberkulosis yang poten, hingga saat ini saat ini TB masih merupakan masalah
kesehatan di seluruh dunia. Dimasa sekarang kasus TB masih menjadi
permasalahan, terutama negara berkembang. Di Indonesia masalah TB merupakan
masalah menonjol, dikarenakan banyak faktor resiko yang mempengaruhi seperti
halnya permasalahan sosioekonomi. Secara global Indonesia menduduki peringkat
ketiga sebagai penyumbang kasus terbanyak di dunia ( Harumdini, 2005).
2
Pada tahun 2009, WHO melaporkan lebih dari 5.8 juta kasus TB baru
diseluruh dunia dengan 95 % kasus berada di Negara berkembang. Namun karena
pendeteksian kasus yang kurang dan pengamatan yang tidak penuh, jumlah kasus
yang dilaporkan tersebut hanya 63 % dari total kasus yang diperkirakan terjadi.
WHO memperkirakan tahun 2009 terjadi kasus baru TB sebanyak 9.4 juta dengan
95 % di Negara berkembang di Asia (5.2 juta), Afrika (2.8 juta), Asia Tengah (0.7
juta) dan Amerika Latin (0.3 juta). Perkiraan lebih lanjut melaporkan bahwa
tingkat kematian TB pada tahun 2008 adalah 1.7 juta yang disebabkan oleh TB,
termasuk diantaranya adalah penderita HIV sebanyak 0.4 juta, dimana 96 %
berada di Negara berkembang. Pada akhir 1980 hingga awal 1990, jumlah kasus
TB meningkat di Negara industri. Hal ini berhubungan dengan imigrasi besar-
besaran penduduk dari Negara dengan prevalensi TB yang tinggi. Namun hal ini
menurun pada beberapa tahun terakhir di Negara industri (longo, 2011).
TB adalah penyakit kemiskinan yang sebagian besar penderitanya adalah
orang muda produktif dengan 95 % kasus kematian akibat TB banyak terjadi di
Negara berkembang. Jumlah orang yang terjangkit TB turun menjadi 8.8 juta di
tahun 2010, termasuk 1.1 juta kasus yang bersamaam terkena HIV. Angka
kejadian telah turun sejak tahun 2005. Perkiraan secara global rata-rata kejadian
turun menjadi 128 kasus per 100.000 populasi di tahun 2010, setelah peningkatan
yang cukup tajam pada tahun 2002 dimana angka kejadian 141 per 100.000.
kejadian rata-rata menurun tetapi secara perlahan. Angka kejadian yang
mengalami kematian akibat TB turun menjadi 1.4 juta pada tahun 2010, termasuk
350.000 orang yang bersamaan terjangkit HIV dalam hitungan hari kematian yang
terjadi menjadi 3.800 per hari. Di tahun 2009 dimana anak yatim piatu mengalami
kematian akibat TB dengan jumlah 9.7 juta. TB merupakan penyebab kematian
terbesar pada wanita dengan umur 15-44 tahun, kematian wanita akibat TB pada
tahun 2010 adalah 320.000. kematian TB telah mengalami penururnan sebesar 40
% sejak tahun 1990 dan angka kematian juga berjalan turut mengalami
penurunan. 5.7 juta kasus TB terdeteksi melalui program TB DOTS di tahun
2010, secara global jumlah kasus TB yang sembuh dapat yercapai hingga 87% di
tahun 2009. Di tahun 1995 kasus penderita TB sebesar 46 juta telah mendapatkan
3
perawatan dan lebih dari 6.8 juta sehat dengan metode DOTS (Directly Observed
Treatment, Short-course) dan pelaksanaan program Strategi Stop TB (WHO,
2012).
Di Indonesia sendiri perkiraan kejadian BTA di sputum yang positif tahun
1999 adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000
orang per tahun. TB merupakan infeksi yang mengakibatkan angka kematian yang
tinggi pada anak dan orang dewasa dari perkiraan yang didapat WHO. Kejadiaan
akibat TB sendiri telah memposisikan TB lebih banyak kasus yang terjadi dari
sekian penyakit seperti kematian yang diakibatkan oleh malaria dan AIDS. Kasus
pada wanita, TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan,
dan nifas. Dari kasus TB anak yang terjadi di Indonesia yang dikumpulkan dari 7
Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah
1086 penderita TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 0%-14,1%.
Kelempok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%) sedangkan untuk bayi
kurang dari 12 bulan didapatkan 16,5% (Rahajoe, 2005). Di Kabupaten Wonogiri
penderita tuberkulosis terbanyak selama 3 tahun terakhir berasal dari kecamatan
Baturetno sebanyak 79 kasus pada tahun 2011 (Kurniasari, 2012). Wilayah
Kabupaten Wonogiri terdiri dari 25 kecematan, kecamatan Baturetno terletak
jauh dari lokasi RSUD DR Soediran Mangun Soemarso dengan estimasi
perjalanan 1 jam.
TB anak memiliki permasalahan khusus yang berbeda dengan orang
dewasa. Pada TB anak yang menjadi permasalahan adalah diagnosis, pengobatan,
pencegahan, serta TB pada infeksi TB pada infeksi HIV. Berbeda dengan dengan
TB dewasa, TB anak sangat beda dengan sering kali gejala yang tidak khas.
Penegakan diagnosis pada anak jika ditemukan kuman TB. Pada kasus yang
terjadi pada TB anak sangat sulit ditemukan, dalam hal ini pemeriksaan
mikrobiologik, mikroorganisme, penyebab jarang ditemukan pada sediaan
langsung dan kultur. Fasilitas tes Mantoux dan foto rontgen paru yang dilakukan
di negara berkembang masih kurang untuk diagnosis TB anak menjadi lebih sulit.
Mendiagnosis TB pada anak itu sulit, karena kejadian overdiagnosis yang diikuti
overtreatment. Dilain keadaan dapat juga terjadi underdiagnosis dan
4
undetreatment. Penyebaran TB umumnya terjadi pada orang dewasa sebagai
sumber penyebar dengan sputum basil tahan asam positif, dalam penanggulangan
TB lebih ditekankan pada pengobatan TB dewasa. Karena dengan keadaan ini
penanganan kasus TB anak kurang diperhatikan. Dengan banyaknya jumlah anak
terkena TB maka biaya pengobatan juga semakin tinggi, dengan kondisi yang
terjadi saat ini pencegahan terhadap penyakit TB sangat perlu dilakukan.
Pencegahan dilakukan dengan cara seperti pengendalian berbagai faktor resiko
infeksi TB. Peningkatan insidens infeksi HIV dan AIDS di berbagai negara turut
menambah permasalahn TB anak. Saat ini, telah terjadi peningkatan interaksi
antara tuberkulosis dan infeksi HIV dan AIDS pada anak (DepKes, 2008).
Diagnosis TB dapat tegak dengan ditemukannya M. tuberculosis pada
pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura,
atau pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti
disebabkan oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan
sulitnya pengambilan spesimen (sputum). Jumlah kuman TB di secret bronkus
pasien anak lebih sedikit daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TB
paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer.
Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa. Kuman
BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000
kuman dalam 1 ml dahak. Kesulitan yang kedua, dalam kasus TB sperti
pengambilan spesimen atau pengambilan sputum sulit dilakukan. Pada anak
pengambilan dahak sangat sulit karena dahak ikut tertelan walaupun kondisi batuk
dalalm keadaan dahak maka perlu adanya proses bilasan lambung yang diambil
melalui nasogastrik tube (NGT) dan harus dilakukan oleh petugas yang
berpengalaman. Cara ini sangat tidak nyaman bagi pasien. Dahak yang
representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah dahak yang kental
dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml (Raharjoe, 2005).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas ingin di jawab beberapa masalah yang terkait
dengan penelitian yang dilakukan. Pertayaan tersbeut adalah Bagaimana profil
5
pasien Tuberkulosis Anak di RSUD Dr. Soederan Mangun Sumarso Wonogiri
tahun 2011 sampai 2012 ?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui profil pasien Tuberkulois Paru pada Anak di RSUD Dr.
Soederan Mangun Sumarso Wonogiri tahun 2011 sampai 2012.
1.4. Keaslian Penelitian
Penulis belum pernah menemukan judul karya tulis ilmiah yang seperti ini.
Namun, ada beberapa tema karya tulis ilmiah yang serupa diantaranya adalah
seperti di bawah ini.
1. Penelitian yang dilakukan oleh Rahardiyanti, W. (2012) dengan judul
Gambaran Karakteristik Penderita Tuberkulosis Pada Anak Yang Berobat Di
Balai Kesehatan Paru Masyarakat Kota Semarang. Penelitian ini dilakukan
dengan metode survei dengan jumlah sampel sebanyak 36 anak berusia 1-5
tahun yang berobat antara Oktober 2011 sampai Maret 2012. Variabel yang
diteliti adalah jenis kelamin, status gizi, status imunisasi BCG, karakteristik
rumah, riwayat kontak, status pekerjaan kontak, status pendidikan kontak,
tingkat pengetahuan kontak, dan tingkat penghasilan kontak. Perbedaan antara
penelitian yang penulis ajukan dengan penelitian tersebut adalah dalam hal
metode penelitian, tempat penelitian, waktu penelitian, populasi penelitian,
sampel penelitian, dan variabel penelitian.
2. Penelitian yang dilakukan Prabowo, W. (2011) dengan judul Profil Pasien
Tuberkulosis Paru Anak Di Rumah Sakit Saras Husada Purworejo Periode
Januari 2010-Desember 2011. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
dengan rancangan cross-sectional. Jumlah sampel yang digunakan adalah 52
pasien. Variabel yang diteliti adalah jenis kelamin, usia, status gizi, riwayat
kontak, dan status ekonomi. Perbedaan antara penelitian yang penulis ajukan
dengan penelitian tersebut adalah dalam hal tempat penelitian, waktu
penelitian, populasi penelitian, sampel penelitian, dan variabel penelitian.
6
3. Penelitian yang dilakukan oleh Dewanti , M.T. dengan judul Profil Gambaran
Klinis, Laboratoris, Pada TB Dewasa dan Anak Di RSU RAA Soewondo Pati
2010-2011. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Sampel yang
diteliti berjumlah 146 pasien. Variabel yang ditelitit adalah gambaran klinis
berupa batuk darah, demam, diare, dan laboratorisnya ialah limfosit dan LED.
Perbedaan antara penelitian yang penulis ajukan dengan penelitian tersebut
adalah dalam hal tempat penelitian, waktu penelitian, populasi penelitian,
sampel penelitian, dan variabel penelitian.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Wirawan, A. Dan I, Ketut (2008) dengan judul
Profil Penderita Tuberkulosis Anak: Di Puskesmas Darek Tahun 2004/2005.
Penelitian dilakukan dengan metode retrospektif. Sampel penelitian adalah 30
anak. Variabel yang diteliti adalah jenis kelamin, usia, status gizi, indikator
penegakan diagnosis, dan pengobatan. Perbedaan antara penelitian yang
penulis ajukan dengan penelitian tersebut adalah dalam hal tempat penelitian,
waktu penelitian, populasi penelitian, sampel penelitian, dan variabel
penelitian.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat bagi peneliti yaitu memperdalam mengenai pemahaman
Tuberkulosis Paru Pada Anak serta proses pembelajaran dan penyususnan
Karya Tulis Ilmiah
1.5.2. Manfaat bagi dokter, bidan maupun petugas kesehatan yang lain diharapkan
dapat memberikan informasi dan menambah wawasan aman tentang
Tuberkolosis Paru Anak bagi masyarakat pada umumnya.
1.5.3. Bagi institusi pendidikan pemerintah sebagai bahan pertimbanagna untuk
menurunkan angka kejadian Tuberkolosis Paru pada Anak.
1.5.4. Dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu di
bidang kesehatan, disamping itu hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan
penelitian selanjutnya.
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI tahun 2008).
Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan organisme patogen
maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran pernafasan,
saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB
menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan
organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi (Price,Wilson. 2004).
2.1.2. Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dan Mycobacterium bovis (sangat jarang disebabkan oleh
Mycobacterium avium). Basili tuberkel adalah batang lengkung, gram positif
lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, tidak memebentuk spora, panjang sekitar 2-
4um. Mereka dapat menampakan sendiri atau dalam kelompok pada specimen
yang diwarnai atau media biakan. TBC merupakan bakteri aerob yang dapat
tumbuh pada sintesis yang mengandung gliserol sebagai sumber karbon dan
garam ammonium sebagai sumber nitrogen. TBC paling bailk pada suhu 37-41 C
menghasilkan niasin dan tidak ada pigmentasi. Dinding sel kaya lipid
menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid antibodi dan komplemen. TBC
tumbuh lambat, waktu pembentukannya adalah 12-24 jam (Starke, 2000).
Asil Tuberkulosis dapat mati pada suhu 60 dalam 15-20 menit.
Tuberkulosis menyebabkan nekrosis jaringan karena kemampuannya dalam
menghasilkan fraksi protein, sedangkan lemaknya menyebabkannya tahan asam,
oleh sebab itu dalam invasi ke dalam tubuh manusia sangat mudah karena sifat
asamnya yang dapat menyebabkna fibrosis dan tebentuknya sel epiteloid dan
tuberkel. Tubekulosis tidak membentuk toksis (baik endotoksin dan eksotoksin).
8
Mycobacterium tuberculosis cara penularan adalah melalui udara, maka dari itu
bagian tubuh yang sering terkena adalah saluran pernapasan terutama bagian paru
dalam pembentukan invasi ke dalam tubuh manusia, penularan dapat terjadi
melalui oral seperti terkontaminasinya susu yang mengandung basil tubekulosis
yang biasanya pada kasus Mycobacterium bovis. Dapat juga dengan kontak secara
langsung seperti kasus adanya luka terbuka yang dapat memudahkan masuknya
Mycobacterium tuberculosis masuk dalam tubuh ditambah dengan sistem imun
yang sedang lemah. Perlunya mengenal gejala klinis ynag menyerupai
mycobacterium tuberculosis sangat penting sperti halnya pada golongan yang
disebut Mycobacterium atipic atau juga disebut Unclassified Mycobacterium
(Raharjoe, 2005).
Menurut Runyon (1959) pembagian Mycobacterium atipic menjadi 4 golongan:
1. Golongan fotokromogen, misalnya M. kansasii yang dapat menyebabkan
penyakit dalam dan di luar paru sperti tuberculosis.
2. Golongan skotokromogen, misalnya M. scrofulaceum yang dapat
menyebabkan adenitis servikalis pada anak.
3. Golongan nonfotokromogen, misalnya M. intracellulare (Battey strains),
yang dapat menyebabkan penyakit paru seperti tubekulosis.
4. Golongan rapid growers, misalnya M. fortuitum yang dapat menyebabkan
abses. M. smegmantes merupakan saprofit pada smegma.
2.1.3. Patogenesis
Kasus TB paru 98 % merupakan port d’entrée terhadap kasus terjadinya
infeksi TB karena dengan morfologi yang sangat kecil (<5 um), bakteri TB yang
bergabung dalam sebuah percikan atau droplet nuclei yang terhirup, dapat
mencapai ke bagian alveolus. Serangan awal bakteri TB langsung mendapat
halangan dari sistem mekanisme imunologis nonspesifik. Bakteri TB akan
mendapat perlawanan oleh makrofag dengan cara memfagosit atau memakan
bakteri TB tapi sebagian kecil dari bakteri TB dapat meloloskan diri oleh aksi
yang dilakukan makrofag. Makrofag yang tidak dapat memakan bakteri TB
dengan baik akhirnya mendapat perlawanan sendiri oleh bakteri TB dengan cara
9
bereplikasi dalam makrofag, berkembang biak dan akhirnya akan menyebabkan
makrofag mengalami lisis, dan bakteri TB membentuk koloni di tempat tersebut.
Tempat dimana yang menjadi tempat berkambang biak bakteri TB dinama fokus
primer ghon (Rahajoe, 2005).
Fokus primer ghon bakteri TB mengalami penyebaran melalui saluran
limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran yang dilakukan oleh bakteri TB
menyebabkan terjadinya proses inflamasi dimana proses menyebabkan limfangitis
dibagian saluran limfe dan limfadenitis di bagian kelenjar limfe. Focus yang
terletak dibagian lobus bawah atau dibagian tengah, kelenjar limfe yang terkena
dampak dari bakteri TB adalah kelenjar limfe parahilus, jika dampak bakteri TB
mngenai apeks paru maka yang terkena adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan
antara focus primer, kelenjar limfe regional yang memebesar (limfadenitis), dan
saluran limfe yang meradang (limfangitis) disebut kompleks primer (Rahajoe,
2005).
Bakteri TB melakukan invasi pertama didalam tubuh hingga ternetuknya
kompleks primer secara lengkap disebut masa inkubasi TB. Bakteri TB
memerlukan waktu yang biasanya memakan waktu 4-8 minggu dengan rentan
waktu antara 2-12 minggu. Inkubasi bakteri dapat menambah jumlah bakteri TB
hingga 1000-10000 dimana jumlah ini cukup untuk merangsang respon imunitas
seluler (Rahajoe, 2005).
Dalam beberapa minggu awal proses infeksi, pertumbuhan bakteri TB
sehingga jarinagan tubuh yang awalnya belum sensitif terhadap tuberkulin,
mengalami perkembangan sensitivitas dikarenakan peningkatan jumlah bakteri
TB didalam tubuh. Bakteri TB yang mengalami perkembangbiakan sehinnga
menyebabkan terbentuknya kompleks primer, disinilah secara resmi dinyatakan
telah mengalami infeksi TB primer. Hal ini dapat dilihat dengan hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin
(Rahajoe, 2005).
Uji tuberkulin dapat menghasilkan hasil negatif jika pada fase inkubasi.
Imunitas seluler terbentuk terhadap bakteri TB jika sudah terdapat kompleks
10
primer. Terbentuknya imunitas seluler mengakibatkan fokus primer di jaringan
paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kompleks
primer dapat mengalami komplikasi dengan fokus primer di paru dapat membesar
dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru. Reaksi inflamasi menyebabkan
membesarnya kelenjar limfe hilus atau paratrakeal, terganggunya bronkus,
obstruksi parsial pada bronkus berlanjut, bronkus dapat terganggu, obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di
segmen distal paru. Obstruksi total dapat menyebabakan atelektasis. Erosi dinding
bronkus dapat timbul karena inflamasi dan nekrosis perkijuan menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Obstruksi komplit pada bronkus dapat
timbul karena massa kiju yang berlebihan menyebabkan gabungan pneumonitis
dan atelektasis (Rahajoe, 2005).
Masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebar limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan penyebaran
hematogen, bakteri TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabakan TB disebut
sebagi penyakit sistemik (Rahajoe, 2005).
Penyebaran hematogen sering terjadi secara tersamar, bakteri TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinik. Bakteri TB dapat mencapai keseluruhan bagian tubuh, organ yang
mengalami infeksi biasanya organ yang memiliki vaskularisasi yang baik seperti
otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru.
Bakteri TB akan membentuk koloni baru sebelum tubuh mengaktifasi imunitas
seluler yang akan membatasi pertumbuhnya. Pertumbuhan bakteri TB sempat
terbentuk kemudian mengalami pembatasan karena aktivasi imunitas seluler,
dalam hal ini bakteri TB melakukan langkah dorman, yaitu dimana keadaan
bakteri yang hidup tetapi tidak beraktivitas, hanya diam menunggu reaktivasi lagi.
11
Kondisi tubuh dari penjamu sangat menentukan reaktivasi bakteri TB, jika pejamu
mengalami penurunan kondisi tubuh, sistem imunitas seluler mengalami
penurunan dapat menyebabakan bangkitnya bakteri TB ini (Rahajoe, 2005).
Penyebaran bakteri TB yang bersifat hematogenik generalisata akut.
Dalam keadaan ini bakteri TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke
seluruh tubuh, keadaan ini menimbulkan gejala klinis secara akut, yang disebut
TB diseminata. TB desimenata timbul setelah infeksi 2-6 bulan. Timbulnya
infeksi tergantung jumlah dan virulensi serta berulangnya penyebaran (Rahajoe,
2005).
Hasil yang disebabkan hematogenik generalisata akut adalah TB milier.
TB milier merupakan hasil gambaran lesi desiminata yang anatomik, lesi ini
berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologik merupakan
granuloma. Penyebaran secara hematogen dengan bentuk protracted hematogenic
spread. Penyebaran ini dapat terjadi fokus perkijuan menyebar ke saluran
vaskuler di dekatnya, sehingga menyebabakan sejumlah bakteri TB akan masuk
dan beredar di dalam darah. Gejala klinis yang ditimbulakan penyebaran dengan
tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread
(Raharjoe, 2005).
2.1.4. Diagnosis
Diagnosis TB ditegakkan ditemukannya M. tuberculosis pada pemeriksaan
sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau pada biopsi
jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh 2 hal,
yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan
spesimen (sputum). Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit
daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di
kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat
kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa. Kuman BTA baru dapat
dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml
dahak. Kesulitan kedua, pengambilan spesimen/sputum sulit dilakukan. Pada
anak, walaupun batuknya berdahak, biasanya dahak akan ditelan sehingga
12
diperlukan bilasan lambung yang diambil melalui nasogastrik tube (NGT) dan
harus dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara ini tidak menyenangkan bagi
pasien. Dahak yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis
adalah dahak yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume
3-5 ml. Diagnosis TB anak bergantung pada penemuan klinis dan radiologis, yang
keduanya sering kali tidak spesifik. Kadang-kadang, TB anak ditemukan karena
ditemukannya TB dewasa di sekitarnya. Diagnosis TB anak ditentukan
berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin,
pemeriksaan laboratorium, dan foto rontgen dada. Adanya riwayat kontak dengan
pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, dan foto paru yang
mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan anak
telah sakit TB (Raharjoe, 2005).
Dalam tahap awal TB sulit diketahui karena gejala yang ditimbulkan tidak
jelas dan tidak khas, dalam keadaan ditemukannya panas yang naik turun dan
lama dengan atau tanpa batuk dan pilek, anoreksia, penurunan berat badan dan
anak lesu, harus dikaitkan dengan kemungkinan terkena TB. Dalam diagnosis TB
penguat yang lain adalah adanya kontak dengan penderita TB orang dewasa.
Diagnosis TB paru berdasarkan gambaran klinis, uji tuberkulin positif dan
kelainan radiologis paru. Basil TB tidak selalu ditemukan pada anak (Latief,
2007).
2.1.5. Manifestasi Klinis
Patogenesis TB sangat kompleks, gejala klinis TB sangat bervariasi dan
bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman TB,
pejamu, serta interaksi antara keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah
kuman dan virulensi, sedangkan faktor pejamu bergantung pada usia dan
kompetensi imun serta kerentanan pejamu pada awal terjadinya infeksi. Anak
kecil seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun pada foto rontgen sudah
tampak pembesaran kelenjar hilus. Proses infeksi TB tidak langsung memberikan
gejala. Uji tuberkulin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal
dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang
13
tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini jarang dijumpai pada
anak. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja dalam tahap ini. TB milier dapat
terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6 bulan pertama setelah
infeksi TB, begitu juga meningitis TB. TB pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama
setelah infeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi dalam tahun pertama, walaupun
dapat terjadi dalam tahun kedua dan ketiga. TB ginjal biasanya terjadi lebih lama,
yaitu 5-25 tahun kemudian. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi
dalam 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena
TB terjadi dalam tahun pertama setelah diagnosis TB (Raharjoe, 2005).
Gambaran klinis TB primer yang lain seperti panas, batuk, anoreksia, dan
berat badan yang menurun. Terkadang dijumpai panas yang menyerupai tifus
abdominalis atau malaria yang disertai atau tanpa hepatosplenomegali. Oleh
karena itu bila dijumpai panas sperti tifus abdominalis pada bayi atau anak kecil,
harus dipikirkan juga kemungkinan TB sebagai penyebab panas tersebut. TB
dapat menimbulkan gejala sperti bronkopneumonia, sehingga pada anak dengan
gejala bronkopneumonia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan
bronkopneumonia yang adekuat harus dipikirkan dengan TB. Gambaran klinis
lainnya sesuai dengan organ yang terkena misalnya paru, selaput otak, hepar,
tulang dan sendi, ginjal dan lain-lain (Latief, 2007).
Menurut Rahajoe (2005) TB memiliki gejala yang bervariasi, hal ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berperan diantaranya kuman TB tersebut
penjamu dan interaksi antara penjamu dan kuman TB. Faktor kuman TB juga
dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi kuman tersebut, sedangkan penjamu
tergantung dengan faktor usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu
pada awal dan juga terjadinya infeksi. Pada anak sering tidak menanmpakan
gejala walaupun sudah menampakan gejala pembesaran hilus pada pemeriksaan
penunjang foto thoraks. Gejala klinis TB ada dua yaitu manifestasi sistemik dan
organ.
1. Sistemik (Umum/Nonspesifik)
Anak dengan TB tidak menimbulkan gejala dan tanda selama beberapa waktu.
Sifat kuman TB yang lambat membelah, manifestasi klinis TB umumnya
14
berlangsung bertahap dan pelahan, kecuali TB diseminata yang dapat
berlangsung dengan cepat dan progresif. Seringkali, orang tua tidak bisa
menyebutkan secara pasti kapan berbagai gejala dan tanda klinis tersebut mulai
timbul. Tuberkulosis yang mengenai organ manapun dapat memberikan gejala
dan tanda klinis sistemik yang tidak khas, terkait dengan organ yang terkena.
Gejala sistemik yang sering timbul salah satunya adalah demam. Demam
biasanya tidak tinggi dan hilang timbul dalam jangka waktu yang cukup lama.
Manifestasi sistemik lain yang sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan
tidak naik (turun, tetap, atau naik namun tidak sesuai grafik tumbuh), dan
malaise (letih, lesu, lemah, lelah). Keluhan ini sulit diukur dan mungkin terkait
dengan penyakit penyerta TB paru pada anak, tidak ada manifestasi
respiratorik yang menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering pada TB
paru dewasa, sedangkan pada anak, gejala batuk kronik lebih sering disebabkan
oleh asma. Fokus primer TB paru pada anak umumnya terdapat di daerah
parenkim yang tidak mempunyai reseptor batuk. Gejala batuk kronik pada TB
anak dapat timbul bila limfadenitis regional menekan bronkus sehingga
merangsang reseptor batuk secara kronik. Batuk berulang dapat timbul karena
anak dengan TB mengalami penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah
mengalami infeksi respiratorik akut (IRA) berulang. Gejala sesak jarang
dijumpai, kecuali pada keadaan sakit berat yang berlangsung akut, misalnya
pada TB milier dan efusi pleura (Rahajoe, 2005).
Menurut Rahajoe (2005) secara ringkas, gejala umum atau nonspesifik
pada TB anak adalah sebagai berikut.
1. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare
2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan
dengan penanganan gizi.
3. Demam lama (> 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang
dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi.
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya
multipel.
15
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan
6. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan
tidak naik dengan adekuat (failure to thrive).
2. Manifestasi Organ
Manifestasi klinis yang spesifik bergantung pada organ yang terkena,
seperti halnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat, tulang, dan kulit (Rahajoe,
2005).
1. Kelenjar Limfe
Kelenjar limfe superfisialis TB sering terlihat pada kasus TB, kelenjar
yang sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior, juga
dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula. Keadaan
klinis yang sering dijumpai, kelenjar yang terkena biasanya multipel, unilateral,
tidak nyeri tekan, tidak panas pada perabaan, dan dapat saling melekat
(confluence) satu sama lain. Perlekatan ini terjadi karena akibat adanya
inflamasi pada kapsul kelenjar limfe (perifocal inflammation) (Rahajoe, 2005).
2. Neurologis
Meningitis TB penyakit yang berat dengan mortalitas dan kecacatan
yang tinggi. Meningitis TB terjadi akibat penyebaran langsung kuman TB ke
jaringan selaput saraf (meningens) pada tipe penyebaran acute generalized
hematogenic. Walaupun jarang, meningitis TB dapat juga terjadi pada
protracted hematogenic spread akibat pecahnya suatu fokus TB lama ke dalam
saluran vaskular. Mekanisme lain adalah pecahnya fokus lama di selaput
meningeal yang terbentuk pada masa occult hematogenic spread ke dalam
ruang subaraknoid, yang merupakan bentuk lain reaktivasi TB. Proses patologi
biasanya terbatas di basal otak. Gejala biasanya berhubungan dengan gangguan
saraf kranial, nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk, dan kejang.
Bentuk TB saraf pusat yang lain adalah tuberkuloma, yang manifestasi
klinisnya lebih samar daripada meningitis TB. Manifestasi klinisnya sesuai
dengan lesi fokal otak (proses desak ruang) yang tumbuh secara lambat,
misalnya nyeri kepala, muntah (Rahajoe, 2005).
16
3. Tulang
Pada TB tulang gejala yang ditimbulkan adalah nyeri, bengkak di sendi
yang terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak. Gejala infeksi sistemik
biasanya tidak nyata. Pada bayi dan anak yang sedang bertumbuh, epifisis
tulang merupakan daerah dengan vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman
TB. Oleh karena itu, TB tulang lebih sering terjadi pada anak dari pada orang
dewasa. Manifestasi klinis TB tulang biasanya muncul secara perlahan dan
samar sehingga sering lambat terdiagnosis. Tidak jarang pasien datang pada
tahap lanjut dengan kelainan tulang yang sudah lanjut dan ireversibel (Rahajoe,
2005).
Menurut Rahajoe (2005) ringkasan, gejala spesifik sesuai organ yang
terkena adalah sebagai berikut
1. TB kelenjar (terbanyak di regio kolli, multipel, tidak nyeri, dan
saling melekat)
2. TB otak dan saraf
• Meningitis TB
• Tuberkuloma otak
Dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah-muntah, dan
kesadaran menurun
3. TB tulang dan sendi
• Tulang punggung (spondilitis): gibbus
• Tulang panggul (koksitis): pincang
• Tulang lutut (gonitis): pincang dan/atau bengkak
• Tulang kaki dan tangan
• Spina ventosa (daktilitis)
Dengan gejala berupa pembengkakan sendi, gibbus, pincang,
lumpuh, sulit membungkuk.
4. TB kulit: skrofuloderma
5. TB mata
• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)
• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
17
6. TB organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal, dll.
2.1.6.Pemeriksaan Penunjang
2.1.6.1. Uji Tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang
telah terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya) akan
memberikan reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena
vasodilatasi lokal, edem, endapan fibrin dan meningkatnya sel radang lain di
daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat
menentukan tingkat aktifitas dan beratnya proses penyakit (Rahajoe, 2005).
Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama
dikenal, tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi
terutama pada anak dengan sensitivitas dan spesifisitas di atas 90%. Evaluasi
selanjutnya mencakup riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium dan
radiologik dapat menentukan adanya sakit TB. Tuberkulin yang tersedia di
Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) buatan Statens Serum
Institute Denmark dan PPD S 5TU (Rahajoe, 2005).
Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan secara
intrakutan 0.1 ml PPD RT-23 2TU atau PPD S 5TU, di bagian volar lengan
bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Yang diukur adalah
Indurasi yang timbul bukan hiperemi. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi
untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan ballpoint kemudian diukur
dengan alat pengukur transparan diameter transversal indurasi yang terjadi dan
dinyatakan hasilnya dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali
hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan
uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 mm dinyatakan positif meragukan, karena
dapat disebabkan oleh infeksi M. atipik dan BCG, atau memang karena infeksi
TB. Untuk hasil yang meragukan ini jika perlu diulang. Untuk menghindari efek
booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian (Rahajoe, 2005).
18
Diameter indurasi > 10 mm dinyatakan positif tanpa melihat status BCG
pasien. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15 mm
masih mungkin disebabkan oleh BCGnya selain oleh infeksi TB alamiah.
Sedangkan bila ukuran indurasi > 15 mm hasil positif ini lebih mungkin karena
infeksi TB alamiah dibandingkan karena BCGnya. Pengaruh BCG terhadap reaksi
positif tuberkulin paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan.
Jika membaca tuberkulin pada anak-anak di atas usia 5 tahun faktor BCG dapat
diabaikan (Rahajoe, 2005).
Pada reaksi uji tuberkulin dapat terjadi reaksi lokal yang cukup kuat bagi
individu tertentu dengan derajat sensitivitas yang tinggi, berupa eritema, vesikel
dan ulsera pada tempat suntikan. Juga pernah dilaporkan dapat terjadi limfangitis,
limfadenopati regional dan konjungtivitis fliktenularis yang dapat disertai panas,
walaupun terjadi sangat jarang (Rahajoe, 2005)
Menurut Rahajoe (2005) pada anak, kontak erat dengan pasien
tuberkulosis dewasa aktif dan BTA positif, atau anak dengan imunokompromais
misalnya gizi buruk, keganasan dan lain-lain, diameter indurasi > 5 mm harus
dicurigai telah terinfeksi TB. Pada anak tanpa risiko tetapi tinggal di daerah
endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan pada umur 1 tahun, 4-6 tahun, dan 11-
16 tahun. Tetapi pada anak dengan risiko tinggi di daerah endemis TB, uji
tuberkulin perlu dilakukan setiap tahun.
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada 3 keadaan sebagai berikut:
1. Infeksi TB alamiah
a. infeksi TB tanpa sakit,
b. infeksi TB dan sakit TB
c. pasca terapi TB
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
3. Infeksi mikobakterium atipik/M. leprae.
Uji tuberkulin negatif pada 3 kemungkinan keadaan berikut:
1. Tidak ada infeksi TB
2. Dalam masa inkubasi infeksi TB
3. Anergi
19
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan
sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun
sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan
anergi misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang,
sitostatika, penyakit campak, pertusis, varisela, influensa, TB yang berat, serta
pemberian vaksinasi dengan vaksin virus hidup. Yang dimaksud influensa adalah
infeksi oleh virus influensa (bukan batuk-pilek-panas biasa, yang biasanya
disebabkan oleh rhinovirus) (Rahajoe, 2005).
Namun demikian, pada keadaan-keadaan di atas, uji tuberkulin dapat
positif sehingga pada pasien-pasien dengan dugaan anergi tetap dilakukan uji
tuberkulin jika dicurigai TB. Uji tuberkulin positif palsu dapat juga ditemukan
pada keadaan penyuntikan salah dan interpretasi salah, demikian juga negatif
palsu, disamping penyimpanan tuberkulin yang tidak baik sehingga potensinya
menurun.
Uji tuberkulin adalah perangkat diagnosis untuk mengetahui adanya
infeksi TB berdasarkan aspek imunitas seluler. Pada saat ini, telah ditemukan
pemeriksaan imunitas seluler dengan cara lain, yaitu enzyme-linked immunospot
interferon gamma untuk tuberkulosis (ELISpot TB), yang mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara hasil
positif yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis, oleh BCG, dan oleh infeksi
M. atipik. Namun, pemeriksaan ini belum dapat membedakan antara infeksi TB
dan sakit TB. Saat ini, ELISpot TB belum dapat digunakan dalam praktek klinis,
mengingat harganya masih mahal dan belum tersedia di Indonesia (Rahajoe,
2005).
2.1.6.2. Radiologis
TB primer lebih dari 95 % terjadi di parenkim paru, hingga foto toraks
paru postero anterior dan lateral selalu dilakukan. Komplek primer lebih banyak
ditemukan pada foto toraks paru bayi dan anak kecil dari pada dewasa. Gambaran
rontgen paru pada TB tidak khas. Kelainan radiologis tersebut bisa juga dijumpai
pada penyakit lain. Sebaliknya foto rontgen paru yang normal (tidak terdeteksi)
20
tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang
lain mendukung. Dengan demikian pemeriksaan rontgen paru saja tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosis tuberculosis (Rahajoe, 2005).
Secara umum gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai
berikut:
• pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
• konsolidasi segmental/lobar
• milier
• kalsifikasi
• atelektasis
• kavitas
• efusi pleura
Foto rontgen paru sebaiknya dilakukan PA dan lateral. Jika dijumpai
ketidaksesuaian antara gambaran klinis (ringan) dengan gambaran radiologis
(berat), harus dicurigai TB. Pada keadaan foto rontgen paru tidak jelas, bila perlu
dilakukan pemeriksaan pencitraan lain seperti CT-scan toraks.
2.1.6.3. Penegakan Diagnosis
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak Jelas Laporan
keluarga BTA
negative atau
tidak tahu,
BTA tidak
jelas
BTA positif
21
Uji
TuberkulinNegatif
Positif(> 10
mm, atau >5
mm pada
keadaan
imunosupres)
Status Gizi
Gizi baik
tampak
sehat
(BBATB
antara -2SD
sampai
+2SD)
Gizi kurang
tanipak kurus
(BB/TB>-3SD
sampai < -2SD)
Gizi buruk
tampak sangat
kurus
(BB/TB< -
3SD) dan
atatu edema
pada kedua
punggung kaki
sampai
seluruh tubuh
Demam
tanpa sebab
jelas
>2 minggu
Batuk >3 minggu
Pembesaran
kelenjar
limfe koli,
aksila,
inguinal
>1 cm, jumlah
>1, tidak nyeri
Pembengkak
an
tulang/sendi
panggul,
lutut, falang
Ada
pembengkakan
22
(Sumber IDAI, 2011)
2.1.7. Tatalaksana
Menurut Raharjoe (2005) tatalaksana TB pada anak merupakan suatu
kesatuan yang tidak terpisahkan antara pemberian medikamentosa, penataan gizi,
dan lingkungan sekitarnya. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari
penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada orang tua penderita tentang
pentingnya minum obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, serta
pengawasan terhadap jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum,
dsb.
2.1.7.1. Medikamentosa
Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin, INH, pirazinamid,
etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain {second line) adalah PAS, viomisin,
sikloserin, etionamid, kanamisin, dan kapriomisin, yang digunakan jika terjadi
multidrug resistance (MDR). Rifainpisin dan INH merupakan obat pilihan utama
dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin (Rahajoe, 2005).
1. Isoniazid
INH (Isonikotinik hidrazil) adalah antituberkulosis yang efektif, bersifat
bakterisid dan efektif terhadap kuman TB keadaan metabolik aktif yaitu kuman
yang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat im
etektil pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh
jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura,
cairan asites, jaringan kaseosa dan angka timbulnya reaksi simpang (adverse
Foto toraksNormal/tida
k jelasSuggestif TB
23
reaction) sangat rendah. INH diberikan secara oral. Dosis harian diberikan (5-15
mg/kg/hari), maksimal 300 mg/hari, diberikan satu kali pemberian. INH tersedia
dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 nil.
Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan cairan serebrospinal dapat
dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. INH
dimetabolisme melalui asetilasi di hati (Rahajoe, 2005).
INH mempunyai dua efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis
perifer, keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensi meningkat dengan
bertambahnya usia. 3 sampai 10 % anak yang menggunakan INH mengalami
peningkatan kadar transaminase darah. Hepatotoksisitas yang bermakna secara
klinis sangat jarang terjadi. Hal ini mungkin terjadi pada remaja atau anak-anak
dengan tuberkulosis yang berat. Perlu adanya pemantauan kadar transaminase
pada 2 bulan pertama tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksik maka
pemantauan laboratorium tidak rutin kecuali ada gejala dan tanda klinis.
Hepatotoksisitas akan meningkat apabila INH diberikan bersama dengan
rifampisin dan PZA. Penggunaan INH bersama dengan fenobarbital atau fenitoin
dapat meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan
pemberiannya pada keadaan kadar transaminase serum naik lebih dari 3 kali harga
normal atau terjadi manifestasi klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut
dan kuning (Rahajoe, 2005).
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme
piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH, tetapi
manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan pemberian piridoksin
tambahan. Namun, pada remaja dengan diet yang tidak adekuat, anak-anak
dengan asupan susu dan daging yang kurang, malnutrisi, serta bayi yang hanya
minum ASI memerlukan piridoksin tambahan. Manifestasi klinis neuritis perifer
yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki.
Piridoksin diberikan satu kali sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin setiap 100
mg INH (Rahajoe, 2005).
Manifestasi alergik atau reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh INH
sangat jarang terjadi. Kadang-kadang, INH bennteraksi dengan teofilin sehingga
24
diperlukan penyesuaian dosis. Efek samping yang jarang terjadi antara lain adalah
pellagra, anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim G-6-PD, dan
reaksi mirip lupus yang diserlai ruam dan artritis (Rahajoe, 2005).
2. Rifampisin
Rifampisin memiliki sifat baktenosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dorman yang tidak
dapat dibunuh oleh INH. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam 2
jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari
dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian perhari. Jik;
diberikan bersamaan dengan INH, dosis Rifampisin tidak melebihi 1
mg/kgBB/hari dan dosis INH 10 mg/kgBB/hari Seperti halnya INH, Rifampisin
didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Distribusi
rifampisin ke dalam CSS lebih baik dalam keadaan meningens yang sedang
mengalami peradangan dibandingkan dalam keadaan normal. Ekskresi rifampisin
terutama terjadi melalui traktus biliaris. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan
di ginjal dan urin. Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada INH
(Rahajoe, 2005).
Efek yang menyebabakan ketidak nyamanan pada pasien adalah perubahan
warna urin, ludah, keringat, sputum dan air mata menjadi warna oranye
kemerahan. Efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (muntah
dan mual) dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai oleh
peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin
diberikan bersama INH, terdapat peningkatan risiko hepatotoksisitas, yang dapat
diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian INH menjadi maksimal 10
mg/kg/hari. Rifampisin dapat menyebabkan trombositopenia. Rifampisin dapat
membual kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan
beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol,
kortikosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin tersedia dalam sediaan kapsul 150
mg, 300 mg dan 450 mg sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak
dengan berbagai kisaran berat badan. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan
25
berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan
pemberian makanan karena dapat timbul malabsorpsi (Rahajoe, 2005).
3. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan lubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya
pada intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan.
Pemberian PZA secara oral dengan dosis 15-30 mg/kg/hari dengan dosis
maksimal 2 gram/hari. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg.
Penggunaan PZA aman pada anak. PZA diberikan pada lase intensif karena PZA
sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman
masih sangat banyak. Kira-kira 10% orang dewasa yang diberikan PZA
mengalami efek samping berupa artralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia,
namun pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek
samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna.
Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. PZA dapat digerus dan
diberikan bersama makanan seperti INH (Rahajoe, 2005).
4. Etambutol
Karena potensi toksisitasnya yang dapat terjadi pada mata, Etambutol
(EMB) jarang diberikan pada anak. Dosis dari EMB adalah 15-20 mg/kg/hari,
dengan dosis maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis tunggal. Eksresi obat ini
terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan EMB tidak
dikenal. EMB tersedia dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Obat ini memiliki
aktivitas bakteriostatik, sehingga dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap
obat-obat lain. EMB dapat bersifat bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi
dengan terapi intermitten. EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga
pada keadaan meningitis. EMB ditoleransi dengan baik oleh dewasa darn anak-
anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari. Kemungkinan
toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau.. Namun, obat
ini tidak digunakan secara luas karena pada anak-anak kecil tidak dapat dillakukan
pemeriksaan lapang pandang dan ketajaman penglihatan. EMB sebaiknya tidak
diberikan pada anak yang belum dapat dilakukan pemeriksaan penglihatan.
26
Namun, EMB dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB
resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan
(Rahajoe, 2005).
5. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraseluler
pada keadaan basal atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler.
Streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB, tetapi penggunaanya
penting dalam pengobatan TB yang resisten-obat. Streptomisin dapat diberikan
secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat
melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik
pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya
saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap INH atau jika
anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada
nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa
telinga berdengung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal sangat jarang terjadi.
Streptomisin dapat membus plaserua., hingga kontra indikasi pemberiannya pada
wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin, 30% bayi akan
menderita tuli berat (Rahajoe, 2005).
Menurut Raharjoe (2005), prinsip dasar obat antituberkulosis harus dapat
menembus berbagai jaringan termasuk selaput otak. Farmakokinetik obat anti
tuberkulosis pada anak berbeda daripada orang dewasa. Toleransi anak terhadap
dosis obat per kilogram berat badan lebih tinggi.
Nama Obat
Dosis
harian
(mg/kg
BB/hari)
Dosis
maksimal
(mg/hari)
Efek samping
Isoniazid 5 - 15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitis
Rifampisin 10-20 600Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati,
27
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan.
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hepar, artralgia, gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250
Neuritis optik, ketajaman mata berkurang,
buta warna merah, hijau, hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, neufrotoksik
* Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kg BB/hari
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu
biovallabilitas rifampisin
2.1.7.1.2. Paduan Obat TB
Dasar pengobatan TB adalah minimal 2 macam obat dan diberikan dalam
waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase
intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan
obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh
kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang
selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
relaps (Rahajoe, 2005).
Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari,
bukan 2 atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan mengurangi
ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum
setiap hari. Saat ini paduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada
anak adalah paduan Rifampisin, INH dan Pirazinamid. Pada fase intensif
diberikan Rifampisin, INH dan Pirazinamid, sedangkan fase lanjutan hanya
diberikan Rifampisin dan INH (Rahajoe, 2005).
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB
milier, meningitis TB, TB Tulang, dan lam-lain pada fase intensif diberikan
28
minimal 4 macam obat (Rifampisin, INH, Pirazinamid, Etambulol atau
Streptomisin). Sedangkan fase lanjutan diberikan Rifampisin dan INH selama 10
bulan. Untuk kasus TB terteniu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off dalam jangka waktu yang sama (Rahajoe, 2005).
2.1.7.1.3. Fixed Dose Combination (FDC)
Masalah dalam terapi TB adalah kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak. Menurut Raharjoe
(2005), untuk mengalasi hal tersebut maka dibuat suatu sediaan obat kombinasi
dalam dosis yang telah ditentukan (FDC; Fixed dose combination).
Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobalan TB adalah sebagai berikut :
1. Menyederhanakan pengobalan dan mengurangi kesalahan penulisan resep
Meningkatkan penerimaan dan kepatuhan pasien
2. Memungkinkan petugas kesehatan memberikan pengobalan slandar
dengan tepat
3. Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses pengadaan,
penyimpanan, dan distribusi obat pada setiap tingkat pengelola program
pemberaniasan TB)
4. Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monolerapi) sehingga
mengurangi resistensi terhadap obat TB
5. Paduan FDC mengurangi kemungkinan kegagalan pengobalan dan
terjadinya kekambuhan
6. Pengawasan minum obat menjadi lebih cepat dan mudah, sehingga dapat
mengurangi beban kerja
7. Mempermudah penentuan dosis berdasarkan berat badan
UKK Pulinonologi PP IDAI membuat rumusan tentang FDC pada anak
dosis kombinasi pada TB anak.
29
Berat badan (kg)2 bulan RHZ
(75/50/150 mg)
4 bulan
(RH (75/50 mg)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-19 2 tablet 2 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Catatan :
• Bila BB > 33 kg dosis disesuaikan dengan Tabel 2 (perhatikan dosis maksimal!).
• Bila BB < 5 kg sebaiknya dirujuk ke RS.
• Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah).
2.1.7.2. Non-medikamentosa
2.1.7.2.1. Pendekatan DOTS
Hal penting pada tatalaksana tuberkulosis adalah keteraturan minum obat.
Pasien TB biasanya telah menunjukkan perbaikan beberapa minggu setelah
pengobatan sehintjHa merasa telah sembuh dan tidak melanjutkan pengobaian.
Lingkungan sosial dan pengertian yang kurang mengenai tuberkulosis dari pasien
serta keluarganya tidak menunjang keteraturan pasien untuk minum obat.
Kepatuhan pasien {patient adherence) dikatakan baik apabila pasien
meminum obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam paduan pengobatan.
Kepatuhan pasien ini menjamin keberhasilan pengobatan dan mencegah
resistensi. Salah satu upava untuk meningkatkan kepatuhan pasien adalah dengan
melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed
treatment) (Rahajoe, 2005).
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah strategi yang
telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan
tuberkulosis. Strategi ini telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1995.
Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan
yang tinggi.
Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas 5 komponen,
yaitu sebagai berikut.
30
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, terpasuk dukungan dana.
2. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TBC.
2.1.7.2.2. Sumber Penularan dan Case finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari
sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber
penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan melakukan kontak
erat dengan anak tersebut. Pelacakan dilakukan dengan cara pemeriksaan
radiologis dari BTA sputum (pelacakan sentripetal). Selain itu perlu dicari pula
anak lain di sekitarnya yang mungkin tertular dengan cara uji tuberkulin (Rahajoe,
2005).
Sebaliknya jika ditemukan pasien TB dewasa aktif maka anak di
sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi
tuberkulosis (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara
anamnestik, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin
(Rahajoe, 2005).
2.1.7.2.3. Aspek Sosial Ekonomi
Pengobatan tuberkulosis tidak terlepas dari masalah sosio-ekonomik.
Karena pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka
waktu yang cukup lama maka memerlukan biaya yang cukup besar. Selain itu
diperlukan penanganan gizi yang baik.
Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui tentang
tuberkulosis. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB pada
anak tidak menularkan kepada anak yang lain. Aktifitas fisik pasien TB anak tidak
perlu dibatasi, kecuali pada TB berat. Meskipun bagi penderitanya sendiri terdapat
31
kemungkinan terjadinya penyakit yang berat yang bisa fatal atau dapat
mengakibatkan cacat (Rahajoe, 2005)
2.1.8. Pencegahan
2.1.8.1. BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi
sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, dibenkan intrakutan di daerah insersi otot
deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus
tidak menganggu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada
usia lebih dan 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin lebih dulu. Insidensi TB
anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan,
pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.
Dilaporkan manfaat BCG oleh beberapa peneliti antara 0-80%. BCG efektif
terutama untuk mencegah milier, meningitis dan spondilitis TB pada anak. BCG
memberikan perlindungan terhadap milier TB, meningitis TB, TB tulang dan
sendi, dan kavitas sedikitnya 75%. BCG ulangan tidak dianjurkan mengingat
efektivitas perlindungannya hanya 40%, sekitar 70% TB berat mempunyai parut
BCG. BCG relatif aman, jarang ada efek samping serius, yang sering ditemukan
adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supurativa) dengan insiden 0,1-1%.
Kontraindikasi pemberian lmunisasi BCG meliputi defisiensi imun, infeksi berat,
luka bakar (Rahajoe, 2005).
2.1.8.2. Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB
pada anak, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah aktifnya infeksi
sehingga anak tidak sakit. Pada kemoprofilaksis primer, diberikan INH dengan
dosis 5-10 mg/kg BB/hari, dosis tunggal, pada anak yang kontak dengan TB
menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji
tuberkulin negatif). Obat dihentikan jika sumber kontak sudah tidak menular lagi
dan anak ternyata tetap tidak terinfeksi (setelah uji tuberkulin ulangan).
Kemoprofilaksis sekunder dibenkan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi
belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, klinis, dan radiologis normal.
Anak yang mendapat kemoprofilaksis sekunder adalah usia balita, menderita
32
morbili, varisela, dan pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik
dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru, konversi uji tuberkulin
dalam waktu kurang dari 12 bulan (Rahajoe, 2005).
33
2.2 KERANGKA TEORI
TB Anak
GambaranKlinis
Pemerikasaan Pengobatan Outcome
Diare Berat badan
turun Batuk Nafsu makan
turun Kontak TB Demam
Uji Tuberkulin Radiologis
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol Streptomisin Fixed Dose
Combination
Sembuh DO Mati
34
2.3 Kerangka Konsep Penelitian
Sistem Skoring TB
anak
Data RekamMedis
Batuk Kontak TB Demam
M. tuberculosis
Basil tahan asam
Infeksi melalui droplet
TB Anak
Profil Pasien TB
Data RM diambilberdasar Sistem
Skoring TB
35
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan observasional deskriptif dengan menggunakan
data rekam medis pasien tuberkulosis anak di RSUD Dr Soediran Mangun
Sumarso Wonogiri tahun 2011 sampai 2012.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian pasien TB anak di RSUD Dr Soediran Mangun
Sumarso Wonogiri, waktu pelaksanaan penelitian Oktober 2012 sampai Januari
2013.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini diambil dari seluruh pasien TB anak yang
tercatat pada rekam medis RSUD Dr Soediran Mangun Sumarso pada tahun 2011
sampai 2012.
3.3.2. Sampel penelitian
Sasaran sampel pasien Tuberkulosis anak dalam fase apapun dengan
keadaan positif TB pada tahun 2011 sampai 2012.
3.4. Kriteria Inklusi Dan Ekslusi
3.4.1. Kriteria Inklusi
Semua pasien TB anak yang terdaftar dalam rekam medis RSUD Dr
Soediran Mangun Sumarso tahun 2011 sampai 2012. Data rekam medisnya
lengkap sesuai yang dibutuhkan pada variabel penelitian. Diagnosis Tuberkulosis
paru anak oleh dokter spesialis anak RSUD Dr Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri, tanpa penyakit penyerta yang lain.
36
3.4.2. Kriteria ekslusi
Tidak masuk dalam umur yang telah ditentukan (0-18 tahun), data rekam
medis yang tidak bisa terbaca.
3.5. Definisi Operasional
Profil adalah ciri-ciri khusus yang dilihat dari gejala klinis Tuberkulosis
pada anak. Gejala klinis TB menurut sistem skoring IDAI (2011) adalah adanya
demam tanpa sebab jelas ≥2 minggu, batuk ≥3 minggu, kontak TB laporan
keluarga, BTA (-) atau tidak tahu, BTA (+). Definisi umur anak berdasarkan UU
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Pasien yang akan diambil datanya adalah pasien yang didiagnosis
Tuberkulosis oleh doktcr spesialis anak di RSUD Dr Soediran Mangun Sumarso.
3.6. Pengambilan dan Rencana Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan program Microsoft Excel. Data yang
diperoleh diklasifikasikan menurut profil kasus berdasarkan variabel yang diteliti.
Dibuat dalam bentuk distribusi frekuensi masing-masing. Distribusi frekuensi
yaitu disajikan dalam bentuk tabel dan diagram Data diambil dari rekam medis
pasien TB anak yang diperoleh dari RSUD Dr Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri tahun 2011 sampai 2012.
3.7. Tahapan Penelitian Table tahapan penelitian
Kegiatan Bulan Pelaksanaan
Penyusunan Proporsal November 2012
Pengajuan dan Seminar Proporsal Desember sampai Januari 2013
Pengambilan Data April 2013
Pengolahan data dan Penyusunan Laporan April sampai Mei 2013
37
3.8. Etika Penelitian
Etika dalam penelitian yang perlu diperhatikan sebelum melaksanakan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Melaporkan dan mengurus perijinan pada RSUD Dr Soediran Mangun
Sumarso Wonogiri dan Dinas Kesehatan Kabupaten Wonogiri
2. Data yang telah dikumpulkan dijaga Kerahasiaannva.
38
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Rumah Sakit
Rumah Sakit Umum Daerah DR Soediran Mangun Soemarso terletak di
pusat kota Wonogiri. Rumah sakit ini beralamatkan di Jalan Jend A Yani No. 40
Wonogiri. Jalan Jend A Yani merupakan jalan provinsi sehingga rumah sakit ini
mudah untuk diakses (Administrator, 2013).
Rumah Sakit Umum Daerah DR Soediran Mangun Soemarso merupakan
rumah sakit Pemda Wonogiri. Hal tersebut dikarenakan selain karena letaknya
yang strategis, juga melayani Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) serta
Askes. Jamkesmas sendiri merupakan salah satu program yang ditujukan kepada
seluruh warga kabupaten Wonogiri agar dapat memperoleh pengobatan murah dan
bermutu bahkan gratis untuk pasien tertentu (Administrator, 2013).
4.2 Hasil Penelitian
Pada penelitian ini, populasi dan sampel yang digunakan adalah seluruh
pasien anak yang di diagnosis tuberkulosis di RSUD Dr Soediran Mangun
Sumarso tahun 2011 sampai 2012.
Total populasi penelitian yang diperoleh dari data rekam medis tahun 2011
berjumlah 52 kasus sedangkan pada tahun 2012 berjumlah 64 kasus, sehingga
total sampel penelitian yang diperoleh adalah 166 kasus. Dari 116 data rekam
medis, yang masuk kedalam kriteria ekslusi berjumlah 69 (59,5%) sampel. Hal ini
dikarenakan pengisian data rekam medis kurang lengkap sedangkan sampel yang
masuk ke dalam kriteria inklusi berjumlah 47 (40,5%) sampel, sehingga data yang
digunakan sebagai sampel untuk dianalisis berjumlah 47 sampel.
39
4.2.1 Hasil Sampel Pasien dengan Gejala Klinis Batuk, Demam dan riwayat
kontak TB
Dari 47 (100%) sampel penelitian didapatkan 28 (59.6%) pasien yang
mengalami gejala batuk, 37 (78.7%) dengan gejala demam dan 7 pasien dengvan
riwayat kontak TB
Tabel 2. Pasien dengan gejala batuk, demam dan riwayat kontak TB
Jumlah Persentase (%)
Pasien Batuk 28 59.6%
Pasien Demam 37 78.7%
Pasien Riwayat Kontak TB 7 14.9%
4.3 Pembahasan
Dari 116 populasi penelitian didapatkan data sampel yang masuk ke dalam
kriteri ekslusi sebanyak 69 sedangkan yang masuk ke dalam kriteria inklusi
sebanyak 47 data sampel. Dari data ini menunjukan bahwa ekslusi lebih banyak
daripada data inklusi dengan perbandingan 59.5% untuk data ekslusi dan 40.5%
untuk data inklusi. Hal ini terjadi dikarenakan pengisian data rekam medis kurang
69
47
Populasi dan Sampel
eksklusi
inklusi
40
lengkap. Kekurangan ini terjadi pada pengisian umur, jenis kelamin, gejala klinis
yang tidak ditulis, riwayat penyakit pasien, dan lain-lain.
Menurut meliala (2004), ketidaklengkapan dan ketidaktepatan, dalam
pengisian rekam medis memberikan dampak yang tidak baik bagi proses
pelayanan kesehatan kepada pasien, karena waktu untuk proses pendaftaran
sampai dilakukan tindakan medik menjadi lama. Disamping itu analisa terhadap
riwayat penyakit terdahulu serta tindakan medik yang telah dilakukan sebelumnya
tidak dapat dilakukan secara baik, karena tidak lengkapnya data pada rekam medis
pasien.
Secara spesifik, rekam medis menyediakan data khusus yang berguna
untuk keperluan penelitian dan pendidikan. Kasus-kasus penyakit yang jarang
terjadi atau pengobatan yang belum sempurna dapat terekam sehingga dapat
ditindak lanjuti dan di angkat menjadi topik diskusi-diskusi ilmiah untuk
mencapai jalan keluar. Kegunaan lain dari rekam medis adalah menjadi bahan
pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk pengembangan rumah sakit
yang rasional. Bahkan rekam medis mempunyai aspek hukum yang perlu didasari
oleh semua pihak di rumah sakit, termasuk pimpinan, dokter, perawat, pendaftar
dan pasien, oleh karena itu pengisian data rekam medis harus benar-benar
lengkap. (Hanafiah dan Amir, 1999).
Dari 47 Pasien yang mengalami demam pada penelitian berjumlah 37
(78.7%). Gejala demam menjadi gejala dengan angka persentase tertinggi di
RSUD Soediran Mangun Soemarso yang menjadikan keluhan utama pasien pada
kasus TB. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahajoe (2005) dimana gejala yang
tersering pada kasus TB adalah demam. Temuan demam pada pasien TB berkisar
40-80%. Demam dirasakan tidak terlalu tinggi dan hilang timbul dalam jangka
waktu yang cukup lama.
Dari 47 pasien yang mengalami batuk pada penelitian berjumlah 28
(59.6%). Gejala batuk menjadi gejala dengan peringkat ke 2 setelah kontak TB
dikarenakan batuk adalah bentuk mekanisme pertahanan tubuh non spesifik untuk
mengeluarkan benda asing berupa dahak yang mengandung kuman TB yang
menyerang bagian saluran napas atas (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). Pada
41
pasien anak mengidap TB terutama pada umur dibawah 1 tahun reflek batuk
belum begitu sempurna, sehingga tidak menjadi gejala yang dominan pada pasien
TB anak (Rahajoe, 2005).
Dari 47 pasien yang mempunyai riwayat kontak TB pada penelitian
berjumlah 7 (14.9%). TB anak ditemukan karena ditemukanya TB dewasa di
sekitarnya. Adanya riwayat kontak TB dewasa BTA positif dapat mengarah ke
penyakit TB (Rahajoe, 2005).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Yulistyaningrum dan Dwi Sarwani Sri
Rejeki (2010) mendapatkan hasil bahwa anak yang pernah kontak dengan orang
dewasa yang menderita TB BTA (+) atau suspek yang diduga menjadi sumber
penular mempunyai risiko 3,91 kali lebih besar menderita TB, dibandingkan
dengan anak yang tidak mempunyai riwayat kontak. Anak-anak yang tinggal di
rumah dimana terdapat orang dewasa yang mengidap TB aktif atau yang memiliki
risiko TB, akan memiliki risiko sama tingginya untuk mengidap TB.
Menurut Rosmayudi (2002), sumber penularan yang paling berbahaya
adalah penderita TB dewasa dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan
kavitas (lubang pada paru-paru). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat
menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan. Semakin sering dan
lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan
bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat adalah orang tuanya, orang serumah
atau orang yang sering berkunjung dan sering berinteraksi langsung. Pada
penelitian ini didapatkan pasien yang mengalami kontak TB sebesar 7 (14.9%)
pasien dari 47 (100%) pasien yang menjadi sampel penelitian ini, hasil ini
kemungkinan disebabkan karena pengisian data rekam medis yang kurang
lengkap, sehingga menjadikan hasil yang berbeda dari penelitian yang diatas.
4.4 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini tentunya mempunyai banyak sekali kekurangan dan
keterbatasan, diantaranya adalah pengisisan data rekam medis kurang lengkap,
sehingga jumlah sampel penelitiannya menjadi sedikit, ini menjadikan penelitian
ini kurang maksimal.
42
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai profil pasien Tuberkulois paru pada
anak di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso, Wonogiri, tahun 2011 sampai
2012 yang telah diuraikan dan dibahas pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan.
Jumlah pasien yang mengalami gejala demam pada tahun 2011 sampai
2012 berjumlah 37 (78.7%) pasien. Jumlah pasien yang mengalami gejala batuk
pada tahun 2011 sampai 2012 berjumlah 28 (59.6%) pasien. Jumlah pasien yang
mempunyai riwayat kontak dengan penderita TB pada tahun 2011 sampai 2012
berjumlah 7 (14.9%) pasien. Sehingga demam merupakan gejala yang paling
dominan pada gejala TB, yang selanjutnya diikuti dengan gejala batuk dan
riwayat kontak TB.
5.2. Saran
Penulis menyadari dalam melakukan penelitian profil pasien Tuberkulois
paru pada anak di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso, Wonogiri, tahun 2011
sampai 2012 ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis menyarankan
dalam penelitian selanjutnya perlu dilakukan:
1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi dan karakteristik
TB Paru anak dengan variabel yang bervariasi, data yang lebih lengkap, dan
periode yang berbeda.
2. Kepada pihak RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri agar terus
meningkatkan kinerjanya dengan melengkapi data rekam medis pasien, karena
kelengkapan informasi mengenai data rekam medis pasien merupakan sesuatu
yang bermanfaat baik untuk rumah sakit dan penelitian sehingga informasi
tersebut tersebut perlu dilengkapi.
43
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood., dkk, 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga
University Press, Surabaya.
Bahar, Asril., dkk, 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam, Jakarta.
Baratawidjaja. KG, Rengganis. I. 2009. Imunologi Dasar Edisi ke 8. FKUI,
Jakarta.
Hanafiah MJ, Amir A. 2007. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi 4.
Penerbit buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Kurniasari, Ryana Ayu Setia. 2012. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di
Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri. Thesis, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Latief, Abdul., dkk., 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Infomedika, Jakarta.
Longo, dkk. 2011. Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th ed. McGraw
Hill, USA.
Meliala. A, Sunartini, Telaah Rekam medis pendidikan dokter spesialis sebelum
dan sesudah pelatihan di IRNA II RSUP Sardjito Yogyakarta www.jmpk-
online.net/files/vol-07-03-2004-9.pdf. Diakses 13 Juni 2013.
Price, Sylvia A., dkk., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Rahajoe, NN., dkk., 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak.
http.//perpustakaan depkes.£zo.id. Diakses tanggal 24-01-2013.
Rahajoe, NN. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkolusis Anak. IDAI,
Jakarta.
Rosmayudi, O. Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak.
(On-line). http://www.depkes.com. Diakses tanggal 13 Juni 2013.
44
Soepardi, Jane., 2011. Profil Data Kesehatan Tahun 2011, www.depkes.go.id.
Diakses tanggal 24-01-2013.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
WHO., 2012. Global Tuberkulosis Control : Surveillance, Planing, financing,
gene. http://www.who.int/tb/publications/global_report/2008/en/. Diakses
pada 1 Januari 2013.
45
LAMPIRAN
DATA REKAM MEDIS PASIEN TB ANAK
No RES Jenis kelamin umur batuk demam riwayat kontak
1 AR L 4 1
2 DK L 2 1
3 RA L 7 1 1
4 AA L 1 1
5 EW L 8 1
6 DA L 11 1 1
7 AS P 8 1
8 SW P 2 1 1
9 S L 6 1
10 TFM L 6 1
11 D L 1 1 1
12 SS P 5 1
13 WI P 3 1 1
14 F L 2 1
15 AF L 7BLN 1 1
16 AI P 5 1 1
17 EA P 14 1
18 LA P 2 1 1
19 AV L 2 1
20 AI P 7 1 1
21 D L 1 1 1
22 WI L 11 1 1
23 TZ L 6 1
24 IM L 1 1
46
25 AW L 6,6 1
26 RO L 1 1 1
27 L P 1 1 1 1
28 GY P 5 1 1
29 AN P 12 1
30 FD P 2 1 1
31 AP L 5 1
32 TY P 7 1 1
33 RW P 2 1
34 RD P 5 1
35 D P 7 1
36 WD L 3 1 1
37 FD L 1,2 1
38 CV P 2 1 1
39 DM P 6 1
40 II P 8 1 1
41 AK P 1,6 1 1
42 FD P 6
43 FI L 2 1 1
44 DT P 7 1
45 ZB L 2 1 1
46 NNL P 7 1 1 1
47 YAL L 2 1 1
TOTAL 28 37 7
47
Rekam Medis
48
49
50
51
52
53
Recommended