53
1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebakan oleh basil Mikobakterium (Alsagaff, 2006). TB sudah ditemukan sejak peninggalan Mesir kuno, dengan adanaya bukti dari relief yang menggambarkan orang dengan gibbus. TB ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882, Koch meengidentifikasi basil tahan asam M. Tuberculosis untuk pertama kali sebagai bakteri penyebab TB ini. Koch melakukan percobaan pada hewan yaitu guinea pig untuk mengetahui proses patogenesis dari TB ini. Untutk memastikan observasinya yang mengambarkan bahwa imunitas didapat mengikuti infeksi primer sebagai suatu konsep Koch. Konsep dari pada dengan pengembangan vaksin TB, satu vaksin yang sangat sukses, yaitu vaksin Bacillus Camette Guerin (BCG) dibuat dari suatu strain Mikobakterium Bovis, vaksin ini ditemukan oleh Albert Calmette dan Camille Guerin di Institut Pasteur Perancis dan diberikan pertma kali kemanusia pada tahun 1921. Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi pada tahun 1944 ketika seorang perempuan umur 21 tahun dengan penyakit TB paru lanjut menerima injeksi pertama Streptomisin yang sebelumnya diisolasi oleh Selman Waksman. Segera disusul dengan penemuan asam para amino salsilik (PAS). Kemudian dilanjuktkan dengan penemuan Isoniazid yang signifikan yang dilaporkan oleh Robitzek dan Selikoff 1952. Kemudian diikuti penemuan bertururt-turut pirazinamid tahun 1954 dan Etambutol 1952, Rifampisin 1963 yang menjadi obat utama TB sampai saat ini. (Bahar, 2009) Walaupun sudah dikenal sekian lama dan telah lama ditemukan obat-obatan antituberkulosis yang poten, hingga saat ini saat ini TB masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Dimasa sekarang kasus TB masih menjadi permasalahan, terutama negara berkembang. Di Indonesia masalah TB merupakan masalah menonjol, dikarenakan banyak faktor resiko yang mempengaruhi seperti halnya permasalahan sosioekonomi. Secara global Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai penyumbang kasus terbanyak di dunia ( Harumdini, 2005).

BAB I-V

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sdf

Citation preview

Page 1: BAB I-V

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebakan oleh basil

Mikobakterium (Alsagaff, 2006). TB sudah ditemukan sejak peninggalan Mesir

kuno, dengan adanaya bukti dari relief yang menggambarkan orang dengan

gibbus. TB ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882, Koch

meengidentifikasi basil tahan asam M. Tuberculosis untuk pertama kali sebagai

bakteri penyebab TB ini. Koch melakukan percobaan pada hewan yaitu guinea

pig untuk mengetahui proses patogenesis dari TB ini. Untutk memastikan

observasinya yang mengambarkan bahwa imunitas didapat mengikuti infeksi

primer sebagai suatu konsep Koch. Konsep dari pada dengan pengembangan

vaksin TB, satu vaksin yang sangat sukses, yaitu vaksin Bacillus Camette Guerin

(BCG) dibuat dari suatu strain Mikobakterium Bovis, vaksin ini ditemukan oleh

Albert Calmette dan Camille Guerin di Institut Pasteur Perancis dan diberikan

pertma kali kemanusia pada tahun 1921. Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi

pada tahun 1944 ketika seorang perempuan umur 21 tahun dengan penyakit TB

paru lanjut menerima injeksi pertama Streptomisin yang sebelumnya diisolasi

oleh Selman Waksman. Segera disusul dengan penemuan asam para amino

salsilik (PAS). Kemudian dilanjuktkan dengan penemuan Isoniazid yang

signifikan yang dilaporkan oleh Robitzek dan Selikoff 1952. Kemudian diikuti

penemuan bertururt-turut pirazinamid tahun 1954 dan Etambutol 1952,

Rifampisin 1963 yang menjadi obat utama TB sampai saat ini. (Bahar, 2009)

Walaupun sudah dikenal sekian lama dan telah lama ditemukan obat-obatan

antituberkulosis yang poten, hingga saat ini saat ini TB masih merupakan masalah

kesehatan di seluruh dunia. Dimasa sekarang kasus TB masih menjadi

permasalahan, terutama negara berkembang. Di Indonesia masalah TB merupakan

masalah menonjol, dikarenakan banyak faktor resiko yang mempengaruhi seperti

halnya permasalahan sosioekonomi. Secara global Indonesia menduduki peringkat

ketiga sebagai penyumbang kasus terbanyak di dunia ( Harumdini, 2005).

Page 2: BAB I-V

2

Pada tahun 2009, WHO melaporkan lebih dari 5.8 juta kasus TB baru

diseluruh dunia dengan 95 % kasus berada di Negara berkembang. Namun karena

pendeteksian kasus yang kurang dan pengamatan yang tidak penuh, jumlah kasus

yang dilaporkan tersebut hanya 63 % dari total kasus yang diperkirakan terjadi.

WHO memperkirakan tahun 2009 terjadi kasus baru TB sebanyak 9.4 juta dengan

95 % di Negara berkembang di Asia (5.2 juta), Afrika (2.8 juta), Asia Tengah (0.7

juta) dan Amerika Latin (0.3 juta). Perkiraan lebih lanjut melaporkan bahwa

tingkat kematian TB pada tahun 2008 adalah 1.7 juta yang disebabkan oleh TB,

termasuk diantaranya adalah penderita HIV sebanyak 0.4 juta, dimana 96 %

berada di Negara berkembang. Pada akhir 1980 hingga awal 1990, jumlah kasus

TB meningkat di Negara industri. Hal ini berhubungan dengan imigrasi besar-

besaran penduduk dari Negara dengan prevalensi TB yang tinggi. Namun hal ini

menurun pada beberapa tahun terakhir di Negara industri (longo, 2011).

TB adalah penyakit kemiskinan yang sebagian besar penderitanya adalah

orang muda produktif dengan 95 % kasus kematian akibat TB banyak terjadi di

Negara berkembang. Jumlah orang yang terjangkit TB turun menjadi 8.8 juta di

tahun 2010, termasuk 1.1 juta kasus yang bersamaam terkena HIV. Angka

kejadian telah turun sejak tahun 2005. Perkiraan secara global rata-rata kejadian

turun menjadi 128 kasus per 100.000 populasi di tahun 2010, setelah peningkatan

yang cukup tajam pada tahun 2002 dimana angka kejadian 141 per 100.000.

kejadian rata-rata menurun tetapi secara perlahan. Angka kejadian yang

mengalami kematian akibat TB turun menjadi 1.4 juta pada tahun 2010, termasuk

350.000 orang yang bersamaan terjangkit HIV dalam hitungan hari kematian yang

terjadi menjadi 3.800 per hari. Di tahun 2009 dimana anak yatim piatu mengalami

kematian akibat TB dengan jumlah 9.7 juta. TB merupakan penyebab kematian

terbesar pada wanita dengan umur 15-44 tahun, kematian wanita akibat TB pada

tahun 2010 adalah 320.000. kematian TB telah mengalami penururnan sebesar 40

% sejak tahun 1990 dan angka kematian juga berjalan turut mengalami

penurunan. 5.7 juta kasus TB terdeteksi melalui program TB DOTS di tahun

2010, secara global jumlah kasus TB yang sembuh dapat yercapai hingga 87% di

tahun 2009. Di tahun 1995 kasus penderita TB sebesar 46 juta telah mendapatkan

Page 3: BAB I-V

3

perawatan dan lebih dari 6.8 juta sehat dengan metode DOTS (Directly Observed

Treatment, Short-course) dan pelaksanaan program Strategi Stop TB (WHO,

2012).

Di Indonesia sendiri perkiraan kejadian BTA di sputum yang positif tahun

1999 adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000

orang per tahun. TB merupakan infeksi yang mengakibatkan angka kematian yang

tinggi pada anak dan orang dewasa dari perkiraan yang didapat WHO. Kejadiaan

akibat TB sendiri telah memposisikan TB lebih banyak kasus yang terjadi dari

sekian penyakit seperti kematian yang diakibatkan oleh malaria dan AIDS. Kasus

pada wanita, TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan,

dan nifas. Dari kasus TB anak yang terjadi di Indonesia yang dikumpulkan dari 7

Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah

1086 penderita TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 0%-14,1%.

Kelempok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%) sedangkan untuk bayi

kurang dari 12 bulan didapatkan 16,5% (Rahajoe, 2005). Di Kabupaten Wonogiri

penderita tuberkulosis terbanyak selama 3 tahun terakhir berasal dari kecamatan

Baturetno sebanyak 79 kasus pada tahun 2011 (Kurniasari, 2012). Wilayah

Kabupaten Wonogiri terdiri dari 25 kecematan, kecamatan Baturetno terletak

jauh dari lokasi RSUD DR Soediran Mangun Soemarso dengan estimasi

perjalanan 1 jam.

TB anak memiliki permasalahan khusus yang berbeda dengan orang

dewasa. Pada TB anak yang menjadi permasalahan adalah diagnosis, pengobatan,

pencegahan, serta TB pada infeksi TB pada infeksi HIV. Berbeda dengan dengan

TB dewasa, TB anak sangat beda dengan sering kali gejala yang tidak khas.

Penegakan diagnosis pada anak jika ditemukan kuman TB. Pada kasus yang

terjadi pada TB anak sangat sulit ditemukan, dalam hal ini pemeriksaan

mikrobiologik, mikroorganisme, penyebab jarang ditemukan pada sediaan

langsung dan kultur. Fasilitas tes Mantoux dan foto rontgen paru yang dilakukan

di negara berkembang masih kurang untuk diagnosis TB anak menjadi lebih sulit.

Mendiagnosis TB pada anak itu sulit, karena kejadian overdiagnosis yang diikuti

overtreatment. Dilain keadaan dapat juga terjadi underdiagnosis dan

Page 4: BAB I-V

4

undetreatment. Penyebaran TB umumnya terjadi pada orang dewasa sebagai

sumber penyebar dengan sputum basil tahan asam positif, dalam penanggulangan

TB lebih ditekankan pada pengobatan TB dewasa. Karena dengan keadaan ini

penanganan kasus TB anak kurang diperhatikan. Dengan banyaknya jumlah anak

terkena TB maka biaya pengobatan juga semakin tinggi, dengan kondisi yang

terjadi saat ini pencegahan terhadap penyakit TB sangat perlu dilakukan.

Pencegahan dilakukan dengan cara seperti pengendalian berbagai faktor resiko

infeksi TB. Peningkatan insidens infeksi HIV dan AIDS di berbagai negara turut

menambah permasalahn TB anak. Saat ini, telah terjadi peningkatan interaksi

antara tuberkulosis dan infeksi HIV dan AIDS pada anak (DepKes, 2008).

Diagnosis TB dapat tegak dengan ditemukannya M. tuberculosis pada

pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura,

atau pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti

disebabkan oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan

sulitnya pengambilan spesimen (sputum). Jumlah kuman TB di secret bronkus

pasien anak lebih sedikit daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TB

paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer.

Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa. Kuman

BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000

kuman dalam 1 ml dahak. Kesulitan yang kedua, dalam kasus TB sperti

pengambilan spesimen atau pengambilan sputum sulit dilakukan. Pada anak

pengambilan dahak sangat sulit karena dahak ikut tertelan walaupun kondisi batuk

dalalm keadaan dahak maka perlu adanya proses bilasan lambung yang diambil

melalui nasogastrik tube (NGT) dan harus dilakukan oleh petugas yang

berpengalaman. Cara ini sangat tidak nyaman bagi pasien. Dahak yang

representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah dahak yang kental

dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml (Raharjoe, 2005).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas ingin di jawab beberapa masalah yang terkait

dengan penelitian yang dilakukan. Pertayaan tersbeut adalah Bagaimana profil

Page 5: BAB I-V

5

pasien Tuberkulosis Anak di RSUD Dr. Soederan Mangun Sumarso Wonogiri

tahun 2011 sampai 2012 ?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui profil pasien Tuberkulois Paru pada Anak di RSUD Dr.

Soederan Mangun Sumarso Wonogiri tahun 2011 sampai 2012.

1.4. Keaslian Penelitian

Penulis belum pernah menemukan judul karya tulis ilmiah yang seperti ini.

Namun, ada beberapa tema karya tulis ilmiah yang serupa diantaranya adalah

seperti di bawah ini.

1. Penelitian yang dilakukan oleh Rahardiyanti, W. (2012) dengan judul

Gambaran Karakteristik Penderita Tuberkulosis Pada Anak Yang Berobat Di

Balai Kesehatan Paru Masyarakat Kota Semarang. Penelitian ini dilakukan

dengan metode survei dengan jumlah sampel sebanyak 36 anak berusia 1-5

tahun yang berobat antara Oktober 2011 sampai Maret 2012. Variabel yang

diteliti adalah jenis kelamin, status gizi, status imunisasi BCG, karakteristik

rumah, riwayat kontak, status pekerjaan kontak, status pendidikan kontak,

tingkat pengetahuan kontak, dan tingkat penghasilan kontak. Perbedaan antara

penelitian yang penulis ajukan dengan penelitian tersebut adalah dalam hal

metode penelitian, tempat penelitian, waktu penelitian, populasi penelitian,

sampel penelitian, dan variabel penelitian.

2. Penelitian yang dilakukan Prabowo, W. (2011) dengan judul Profil Pasien

Tuberkulosis Paru Anak Di Rumah Sakit Saras Husada Purworejo Periode

Januari 2010-Desember 2011. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

dengan rancangan cross-sectional. Jumlah sampel yang digunakan adalah 52

pasien. Variabel yang diteliti adalah jenis kelamin, usia, status gizi, riwayat

kontak, dan status ekonomi. Perbedaan antara penelitian yang penulis ajukan

dengan penelitian tersebut adalah dalam hal tempat penelitian, waktu

penelitian, populasi penelitian, sampel penelitian, dan variabel penelitian.

Page 6: BAB I-V

6

3. Penelitian yang dilakukan oleh Dewanti , M.T. dengan judul Profil Gambaran

Klinis, Laboratoris, Pada TB Dewasa dan Anak Di RSU RAA Soewondo Pati

2010-2011. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Sampel yang

diteliti berjumlah 146 pasien. Variabel yang ditelitit adalah gambaran klinis

berupa batuk darah, demam, diare, dan laboratorisnya ialah limfosit dan LED.

Perbedaan antara penelitian yang penulis ajukan dengan penelitian tersebut

adalah dalam hal tempat penelitian, waktu penelitian, populasi penelitian,

sampel penelitian, dan variabel penelitian.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Wirawan, A. Dan I, Ketut (2008) dengan judul

Profil Penderita Tuberkulosis Anak: Di Puskesmas Darek Tahun 2004/2005.

Penelitian dilakukan dengan metode retrospektif. Sampel penelitian adalah 30

anak. Variabel yang diteliti adalah jenis kelamin, usia, status gizi, indikator

penegakan diagnosis, dan pengobatan. Perbedaan antara penelitian yang

penulis ajukan dengan penelitian tersebut adalah dalam hal tempat penelitian,

waktu penelitian, populasi penelitian, sampel penelitian, dan variabel

penelitian.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat bagi peneliti yaitu memperdalam mengenai pemahaman

Tuberkulosis Paru Pada Anak serta proses pembelajaran dan penyususnan

Karya Tulis Ilmiah

1.5.2. Manfaat bagi dokter, bidan maupun petugas kesehatan yang lain diharapkan

dapat memberikan informasi dan menambah wawasan aman tentang

Tuberkolosis Paru Anak bagi masyarakat pada umumnya.

1.5.3. Bagi institusi pendidikan pemerintah sebagai bahan pertimbanagna untuk

menurunkan angka kejadian Tuberkolosis Paru pada Anak.

1.5.4. Dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu di

bidang kesehatan, disamping itu hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan

penelitian selanjutnya.

Page 7: BAB I-V

7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis

2.1.1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) sebagian besar kuman TB menyerang

paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI tahun 2008).

Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan organisme patogen

maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran pernafasan,

saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB

menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan

organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi (Price,Wilson. 2004).

2.1.2. Etiologi

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis dan Mycobacterium bovis (sangat jarang disebabkan oleh

Mycobacterium avium). Basili tuberkel adalah batang lengkung, gram positif

lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, tidak memebentuk spora, panjang sekitar 2-

4um. Mereka dapat menampakan sendiri atau dalam kelompok pada specimen

yang diwarnai atau media biakan. TBC merupakan bakteri aerob yang dapat

tumbuh pada sintesis yang mengandung gliserol sebagai sumber karbon dan

garam ammonium sebagai sumber nitrogen. TBC paling bailk pada suhu 37-41 C

menghasilkan niasin dan tidak ada pigmentasi. Dinding sel kaya lipid

menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid antibodi dan komplemen. TBC

tumbuh lambat, waktu pembentukannya adalah 12-24 jam (Starke, 2000).

Asil Tuberkulosis dapat mati pada suhu 60 dalam 15-20 menit.

Tuberkulosis menyebabkan nekrosis jaringan karena kemampuannya dalam

menghasilkan fraksi protein, sedangkan lemaknya menyebabkannya tahan asam,

oleh sebab itu dalam invasi ke dalam tubuh manusia sangat mudah karena sifat

asamnya yang dapat menyebabkna fibrosis dan tebentuknya sel epiteloid dan

tuberkel. Tubekulosis tidak membentuk toksis (baik endotoksin dan eksotoksin).

Page 8: BAB I-V

8

Mycobacterium tuberculosis cara penularan adalah melalui udara, maka dari itu

bagian tubuh yang sering terkena adalah saluran pernapasan terutama bagian paru

dalam pembentukan invasi ke dalam tubuh manusia, penularan dapat terjadi

melalui oral seperti terkontaminasinya susu yang mengandung basil tubekulosis

yang biasanya pada kasus Mycobacterium bovis. Dapat juga dengan kontak secara

langsung seperti kasus adanya luka terbuka yang dapat memudahkan masuknya

Mycobacterium tuberculosis masuk dalam tubuh ditambah dengan sistem imun

yang sedang lemah. Perlunya mengenal gejala klinis ynag menyerupai

mycobacterium tuberculosis sangat penting sperti halnya pada golongan yang

disebut Mycobacterium atipic atau juga disebut Unclassified Mycobacterium

(Raharjoe, 2005).

Menurut Runyon (1959) pembagian Mycobacterium atipic menjadi 4 golongan:

1. Golongan fotokromogen, misalnya M. kansasii yang dapat menyebabkan

penyakit dalam dan di luar paru sperti tuberculosis.

2. Golongan skotokromogen, misalnya M. scrofulaceum yang dapat

menyebabkan adenitis servikalis pada anak.

3. Golongan nonfotokromogen, misalnya M. intracellulare (Battey strains),

yang dapat menyebabkan penyakit paru seperti tubekulosis.

4. Golongan rapid growers, misalnya M. fortuitum yang dapat menyebabkan

abses. M. smegmantes merupakan saprofit pada smegma.

2.1.3. Patogenesis

Kasus TB paru 98 % merupakan port d’entrée terhadap kasus terjadinya

infeksi TB karena dengan morfologi yang sangat kecil (<5 um), bakteri TB yang

bergabung dalam sebuah percikan atau droplet nuclei yang terhirup, dapat

mencapai ke bagian alveolus. Serangan awal bakteri TB langsung mendapat

halangan dari sistem mekanisme imunologis nonspesifik. Bakteri TB akan

mendapat perlawanan oleh makrofag dengan cara memfagosit atau memakan

bakteri TB tapi sebagian kecil dari bakteri TB dapat meloloskan diri oleh aksi

yang dilakukan makrofag. Makrofag yang tidak dapat memakan bakteri TB

dengan baik akhirnya mendapat perlawanan sendiri oleh bakteri TB dengan cara

Page 9: BAB I-V

9

bereplikasi dalam makrofag, berkembang biak dan akhirnya akan menyebabkan

makrofag mengalami lisis, dan bakteri TB membentuk koloni di tempat tersebut.

Tempat dimana yang menjadi tempat berkambang biak bakteri TB dinama fokus

primer ghon (Rahajoe, 2005).

Fokus primer ghon bakteri TB mengalami penyebaran melalui saluran

limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar yang mempunyai saluran

limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran yang dilakukan oleh bakteri TB

menyebabkan terjadinya proses inflamasi dimana proses menyebabkan limfangitis

dibagian saluran limfe dan limfadenitis di bagian kelenjar limfe. Focus yang

terletak dibagian lobus bawah atau dibagian tengah, kelenjar limfe yang terkena

dampak dari bakteri TB adalah kelenjar limfe parahilus, jika dampak bakteri TB

mngenai apeks paru maka yang terkena adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan

antara focus primer, kelenjar limfe regional yang memebesar (limfadenitis), dan

saluran limfe yang meradang (limfangitis) disebut kompleks primer (Rahajoe,

2005).

Bakteri TB melakukan invasi pertama didalam tubuh hingga ternetuknya

kompleks primer secara lengkap disebut masa inkubasi TB. Bakteri TB

memerlukan waktu yang biasanya memakan waktu 4-8 minggu dengan rentan

waktu antara 2-12 minggu. Inkubasi bakteri dapat menambah jumlah bakteri TB

hingga 1000-10000 dimana jumlah ini cukup untuk merangsang respon imunitas

seluler (Rahajoe, 2005).

Dalam beberapa minggu awal proses infeksi, pertumbuhan bakteri TB

sehingga jarinagan tubuh yang awalnya belum sensitif terhadap tuberkulin,

mengalami perkembangan sensitivitas dikarenakan peningkatan jumlah bakteri

TB didalam tubuh. Bakteri TB yang mengalami perkembangbiakan sehinnga

menyebabkan terbentuknya kompleks primer, disinilah secara resmi dinyatakan

telah mengalami infeksi TB primer. Hal ini dapat dilihat dengan hipersensitivitas

terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin

(Rahajoe, 2005).

Uji tuberkulin dapat menghasilkan hasil negatif jika pada fase inkubasi.

Imunitas seluler terbentuk terhadap bakteri TB jika sudah terdapat kompleks

Page 10: BAB I-V

10

primer. Terbentuknya imunitas seluler mengakibatkan fokus primer di jaringan

paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau

kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kompleks

primer dapat mengalami komplikasi dengan fokus primer di paru dapat membesar

dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan

yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga

meninggalkan rongga di jaringan paru. Reaksi inflamasi menyebabkan

membesarnya kelenjar limfe hilus atau paratrakeal, terganggunya bronkus,

obstruksi parsial pada bronkus berlanjut, bronkus dapat terganggu, obstruksi

parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di

segmen distal paru. Obstruksi total dapat menyebabakan atelektasis. Erosi dinding

bronkus dapat timbul karena inflamasi dan nekrosis perkijuan menyebabkan TB

endobronkial atau membentuk fistula. Obstruksi komplit pada bronkus dapat

timbul karena massa kiju yang berlebihan menyebabkan gabungan pneumonitis

dan atelektasis (Rahajoe, 2005).

Masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebar limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar

ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan penyebaran

hematogen, bakteri TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabakan TB disebut

sebagi penyakit sistemik (Rahajoe, 2005).

Penyebaran hematogen sering terjadi secara tersamar, bakteri TB

menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan

gejala klinik. Bakteri TB dapat mencapai keseluruhan bagian tubuh, organ yang

mengalami infeksi biasanya organ yang memiliki vaskularisasi yang baik seperti

otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru.

Bakteri TB akan membentuk koloni baru sebelum tubuh mengaktifasi imunitas

seluler yang akan membatasi pertumbuhnya. Pertumbuhan bakteri TB sempat

terbentuk kemudian mengalami pembatasan karena aktivasi imunitas seluler,

dalam hal ini bakteri TB melakukan langkah dorman, yaitu dimana keadaan

bakteri yang hidup tetapi tidak beraktivitas, hanya diam menunggu reaktivasi lagi.

Page 11: BAB I-V

11

Kondisi tubuh dari penjamu sangat menentukan reaktivasi bakteri TB, jika pejamu

mengalami penurunan kondisi tubuh, sistem imunitas seluler mengalami

penurunan dapat menyebabakan bangkitnya bakteri TB ini (Rahajoe, 2005).

Penyebaran bakteri TB yang bersifat hematogenik generalisata akut.

Dalam keadaan ini bakteri TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke

seluruh tubuh, keadaan ini menimbulkan gejala klinis secara akut, yang disebut

TB diseminata. TB desimenata timbul setelah infeksi 2-6 bulan. Timbulnya

infeksi tergantung jumlah dan virulensi serta berulangnya penyebaran (Rahajoe,

2005).

Hasil yang disebabkan hematogenik generalisata akut adalah TB milier.

TB milier merupakan hasil gambaran lesi desiminata yang anatomik, lesi ini

berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologik merupakan

granuloma. Penyebaran secara hematogen dengan bentuk protracted hematogenic

spread. Penyebaran ini dapat terjadi fokus perkijuan menyebar ke saluran

vaskuler di dekatnya, sehingga menyebabakan sejumlah bakteri TB akan masuk

dan beredar di dalam darah. Gejala klinis yang ditimbulakan penyebaran dengan

tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread

(Raharjoe, 2005).

2.1.4. Diagnosis

Diagnosis TB ditegakkan ditemukannya M. tuberculosis pada pemeriksaan

sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau pada biopsi

jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh 2 hal,

yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan

spesimen (sputum). Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit

daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di

kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat

kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa. Kuman BTA baru dapat

dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml

dahak. Kesulitan kedua, pengambilan spesimen/sputum sulit dilakukan. Pada

anak, walaupun batuknya berdahak, biasanya dahak akan ditelan sehingga

Page 12: BAB I-V

12

diperlukan bilasan lambung yang diambil melalui nasogastrik tube (NGT) dan

harus dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara ini tidak menyenangkan bagi

pasien. Dahak yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis

adalah dahak yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume

3-5 ml. Diagnosis TB anak bergantung pada penemuan klinis dan radiologis, yang

keduanya sering kali tidak spesifik. Kadang-kadang, TB anak ditemukan karena

ditemukannya TB dewasa di sekitarnya. Diagnosis TB anak ditentukan

berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin,

pemeriksaan laboratorium, dan foto rontgen dada. Adanya riwayat kontak dengan

pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, dan foto paru yang

mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan anak

telah sakit TB (Raharjoe, 2005).

Dalam tahap awal TB sulit diketahui karena gejala yang ditimbulkan tidak

jelas dan tidak khas, dalam keadaan ditemukannya panas yang naik turun dan

lama dengan atau tanpa batuk dan pilek, anoreksia, penurunan berat badan dan

anak lesu, harus dikaitkan dengan kemungkinan terkena TB. Dalam diagnosis TB

penguat yang lain adalah adanya kontak dengan penderita TB orang dewasa.

Diagnosis TB paru berdasarkan gambaran klinis, uji tuberkulin positif dan

kelainan radiologis paru. Basil TB tidak selalu ditemukan pada anak (Latief,

2007).

2.1.5. Manifestasi Klinis

Patogenesis TB sangat kompleks, gejala klinis TB sangat bervariasi dan

bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman TB,

pejamu, serta interaksi antara keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah

kuman dan virulensi, sedangkan faktor pejamu bergantung pada usia dan

kompetensi imun serta kerentanan pejamu pada awal terjadinya infeksi. Anak

kecil seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun pada foto rontgen sudah

tampak pembesaran kelenjar hilus. Proses infeksi TB tidak langsung memberikan

gejala. Uji tuberkulin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal

dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang

Page 13: BAB I-V

13

tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini jarang dijumpai pada

anak. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja dalam tahap ini. TB milier dapat

terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6 bulan pertama setelah

infeksi TB, begitu juga meningitis TB. TB pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama

setelah infeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi dalam tahun pertama, walaupun

dapat terjadi dalam tahun kedua dan ketiga. TB ginjal biasanya terjadi lebih lama,

yaitu 5-25 tahun kemudian. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi

dalam 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena

TB terjadi dalam tahun pertama setelah diagnosis TB (Raharjoe, 2005).

Gambaran klinis TB primer yang lain seperti panas, batuk, anoreksia, dan

berat badan yang menurun. Terkadang dijumpai panas yang menyerupai tifus

abdominalis atau malaria yang disertai atau tanpa hepatosplenomegali. Oleh

karena itu bila dijumpai panas sperti tifus abdominalis pada bayi atau anak kecil,

harus dipikirkan juga kemungkinan TB sebagai penyebab panas tersebut. TB

dapat menimbulkan gejala sperti bronkopneumonia, sehingga pada anak dengan

gejala bronkopneumonia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan

bronkopneumonia yang adekuat harus dipikirkan dengan TB. Gambaran klinis

lainnya sesuai dengan organ yang terkena misalnya paru, selaput otak, hepar,

tulang dan sendi, ginjal dan lain-lain (Latief, 2007).

Menurut Rahajoe (2005) TB memiliki gejala yang bervariasi, hal ini

dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berperan diantaranya kuman TB tersebut

penjamu dan interaksi antara penjamu dan kuman TB. Faktor kuman TB juga

dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi kuman tersebut, sedangkan penjamu

tergantung dengan faktor usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu

pada awal dan juga terjadinya infeksi. Pada anak sering tidak menanmpakan

gejala walaupun sudah menampakan gejala pembesaran hilus pada pemeriksaan

penunjang foto thoraks. Gejala klinis TB ada dua yaitu manifestasi sistemik dan

organ.

1. Sistemik (Umum/Nonspesifik)

Anak dengan TB tidak menimbulkan gejala dan tanda selama beberapa waktu.

Sifat kuman TB yang lambat membelah, manifestasi klinis TB umumnya

Page 14: BAB I-V

14

berlangsung bertahap dan pelahan, kecuali TB diseminata yang dapat

berlangsung dengan cepat dan progresif. Seringkali, orang tua tidak bisa

menyebutkan secara pasti kapan berbagai gejala dan tanda klinis tersebut mulai

timbul. Tuberkulosis yang mengenai organ manapun dapat memberikan gejala

dan tanda klinis sistemik yang tidak khas, terkait dengan organ yang terkena.

Gejala sistemik yang sering timbul salah satunya adalah demam. Demam

biasanya tidak tinggi dan hilang timbul dalam jangka waktu yang cukup lama.

Manifestasi sistemik lain yang sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan

tidak naik (turun, tetap, atau naik namun tidak sesuai grafik tumbuh), dan

malaise (letih, lesu, lemah, lelah). Keluhan ini sulit diukur dan mungkin terkait

dengan penyakit penyerta TB paru pada anak, tidak ada manifestasi

respiratorik yang menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering pada TB

paru dewasa, sedangkan pada anak, gejala batuk kronik lebih sering disebabkan

oleh asma. Fokus primer TB paru pada anak umumnya terdapat di daerah

parenkim yang tidak mempunyai reseptor batuk. Gejala batuk kronik pada TB

anak dapat timbul bila limfadenitis regional menekan bronkus sehingga

merangsang reseptor batuk secara kronik. Batuk berulang dapat timbul karena

anak dengan TB mengalami penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah

mengalami infeksi respiratorik akut (IRA) berulang. Gejala sesak jarang

dijumpai, kecuali pada keadaan sakit berat yang berlangsung akut, misalnya

pada TB milier dan efusi pleura (Rahajoe, 2005).

Menurut Rahajoe (2005) secara ringkas, gejala umum atau nonspesifik

pada TB anak adalah sebagai berikut.

1. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare

2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan

dengan penanganan gizi.

3. Demam lama (> 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas

(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang

dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi.

4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya

multipel.

Page 15: BAB I-V

15

5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan

6. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan

tidak naik dengan adekuat (failure to thrive).

2. Manifestasi Organ

Manifestasi klinis yang spesifik bergantung pada organ yang terkena,

seperti halnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat, tulang, dan kulit (Rahajoe,

2005).

1. Kelenjar Limfe

Kelenjar limfe superfisialis TB sering terlihat pada kasus TB, kelenjar

yang sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior, juga

dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula. Keadaan

klinis yang sering dijumpai, kelenjar yang terkena biasanya multipel, unilateral,

tidak nyeri tekan, tidak panas pada perabaan, dan dapat saling melekat

(confluence) satu sama lain. Perlekatan ini terjadi karena akibat adanya

inflamasi pada kapsul kelenjar limfe (perifocal inflammation) (Rahajoe, 2005).

2. Neurologis

Meningitis TB penyakit yang berat dengan mortalitas dan kecacatan

yang tinggi. Meningitis TB terjadi akibat penyebaran langsung kuman TB ke

jaringan selaput saraf (meningens) pada tipe penyebaran acute generalized

hematogenic. Walaupun jarang, meningitis TB dapat juga terjadi pada

protracted hematogenic spread akibat pecahnya suatu fokus TB lama ke dalam

saluran vaskular. Mekanisme lain adalah pecahnya fokus lama di selaput

meningeal yang terbentuk pada masa occult hematogenic spread ke dalam

ruang subaraknoid, yang merupakan bentuk lain reaktivasi TB. Proses patologi

biasanya terbatas di basal otak. Gejala biasanya berhubungan dengan gangguan

saraf kranial, nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk, dan kejang.

Bentuk TB saraf pusat yang lain adalah tuberkuloma, yang manifestasi

klinisnya lebih samar daripada meningitis TB. Manifestasi klinisnya sesuai

dengan lesi fokal otak (proses desak ruang) yang tumbuh secara lambat,

misalnya nyeri kepala, muntah (Rahajoe, 2005).

Page 16: BAB I-V

16

3. Tulang

Pada TB tulang gejala yang ditimbulkan adalah nyeri, bengkak di sendi

yang terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak. Gejala infeksi sistemik

biasanya tidak nyata. Pada bayi dan anak yang sedang bertumbuh, epifisis

tulang merupakan daerah dengan vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman

TB. Oleh karena itu, TB tulang lebih sering terjadi pada anak dari pada orang

dewasa. Manifestasi klinis TB tulang biasanya muncul secara perlahan dan

samar sehingga sering lambat terdiagnosis. Tidak jarang pasien datang pada

tahap lanjut dengan kelainan tulang yang sudah lanjut dan ireversibel (Rahajoe,

2005).

Menurut Rahajoe (2005) ringkasan, gejala spesifik sesuai organ yang

terkena adalah sebagai berikut

1. TB kelenjar (terbanyak di regio kolli, multipel, tidak nyeri, dan

saling melekat)

2. TB otak dan saraf

• Meningitis TB

• Tuberkuloma otak

Dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah-muntah, dan

kesadaran menurun

3. TB tulang dan sendi

• Tulang punggung (spondilitis): gibbus

• Tulang panggul (koksitis): pincang

• Tulang lutut (gonitis): pincang dan/atau bengkak

• Tulang kaki dan tangan

• Spina ventosa (daktilitis)

Dengan gejala berupa pembengkakan sendi, gibbus, pincang,

lumpuh, sulit membungkuk.

4. TB kulit: skrofuloderma

5. TB mata

• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)

• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)

Page 17: BAB I-V

17

6. TB organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal, dll.

2.1.6.Pemeriksaan Penunjang

2.1.6.1. Uji Tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat

antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang

telah terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya) akan

memberikan reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena

vasodilatasi lokal, edem, endapan fibrin dan meningkatnya sel radang lain di

daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat

menentukan tingkat aktifitas dan beratnya proses penyakit (Rahajoe, 2005).

Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama

dikenal, tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi

terutama pada anak dengan sensitivitas dan spesifisitas di atas 90%. Evaluasi

selanjutnya mencakup riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium dan

radiologik dapat menentukan adanya sakit TB. Tuberkulin yang tersedia di

Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) buatan Statens Serum

Institute Denmark dan PPD S 5TU (Rahajoe, 2005).

Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan secara

intrakutan 0.1 ml PPD RT-23 2TU atau PPD S 5TU, di bagian volar lengan

bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Yang diukur adalah

Indurasi yang timbul bukan hiperemi. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi

untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan ballpoint kemudian diukur

dengan alat pengukur transparan diameter transversal indurasi yang terjadi dan

dinyatakan hasilnya dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali

hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan

uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 mm dinyatakan positif meragukan, karena

dapat disebabkan oleh infeksi M. atipik dan BCG, atau memang karena infeksi

TB. Untuk hasil yang meragukan ini jika perlu diulang. Untuk menghindari efek

booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian (Rahajoe, 2005).

Page 18: BAB I-V

18

Diameter indurasi > 10 mm dinyatakan positif tanpa melihat status BCG

pasien. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15 mm

masih mungkin disebabkan oleh BCGnya selain oleh infeksi TB alamiah.

Sedangkan bila ukuran indurasi > 15 mm hasil positif ini lebih mungkin karena

infeksi TB alamiah dibandingkan karena BCGnya. Pengaruh BCG terhadap reaksi

positif tuberkulin paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan.

Jika membaca tuberkulin pada anak-anak di atas usia 5 tahun faktor BCG dapat

diabaikan (Rahajoe, 2005).

Pada reaksi uji tuberkulin dapat terjadi reaksi lokal yang cukup kuat bagi

individu tertentu dengan derajat sensitivitas yang tinggi, berupa eritema, vesikel

dan ulsera pada tempat suntikan. Juga pernah dilaporkan dapat terjadi limfangitis,

limfadenopati regional dan konjungtivitis fliktenularis yang dapat disertai panas,

walaupun terjadi sangat jarang (Rahajoe, 2005)

Menurut Rahajoe (2005) pada anak, kontak erat dengan pasien

tuberkulosis dewasa aktif dan BTA positif, atau anak dengan imunokompromais

misalnya gizi buruk, keganasan dan lain-lain, diameter indurasi > 5 mm harus

dicurigai telah terinfeksi TB. Pada anak tanpa risiko tetapi tinggal di daerah

endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan pada umur 1 tahun, 4-6 tahun, dan 11-

16 tahun. Tetapi pada anak dengan risiko tinggi di daerah endemis TB, uji

tuberkulin perlu dilakukan setiap tahun.

Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada 3 keadaan sebagai berikut:

1. Infeksi TB alamiah

a. infeksi TB tanpa sakit,

b. infeksi TB dan sakit TB

c. pasca terapi TB

2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)

3. Infeksi mikobakterium atipik/M. leprae.

Uji tuberkulin negatif pada 3 kemungkinan keadaan berikut:

1. Tidak ada infeksi TB

2. Dalam masa inkubasi infeksi TB

3. Anergi

Page 19: BAB I-V

19

Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan

sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun

sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan

anergi misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang,

sitostatika, penyakit campak, pertusis, varisela, influensa, TB yang berat, serta

pemberian vaksinasi dengan vaksin virus hidup. Yang dimaksud influensa adalah

infeksi oleh virus influensa (bukan batuk-pilek-panas biasa, yang biasanya

disebabkan oleh rhinovirus) (Rahajoe, 2005).

Namun demikian, pada keadaan-keadaan di atas, uji tuberkulin dapat

positif sehingga pada pasien-pasien dengan dugaan anergi tetap dilakukan uji

tuberkulin jika dicurigai TB. Uji tuberkulin positif palsu dapat juga ditemukan

pada keadaan penyuntikan salah dan interpretasi salah, demikian juga negatif

palsu, disamping penyimpanan tuberkulin yang tidak baik sehingga potensinya

menurun.

Uji tuberkulin adalah perangkat diagnosis untuk mengetahui adanya

infeksi TB berdasarkan aspek imunitas seluler. Pada saat ini, telah ditemukan

pemeriksaan imunitas seluler dengan cara lain, yaitu enzyme-linked immunospot

interferon gamma untuk tuberkulosis (ELISpot TB), yang mempunyai sensitivitas

dan spesifisitas yang tinggi. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara hasil

positif yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis, oleh BCG, dan oleh infeksi

M. atipik. Namun, pemeriksaan ini belum dapat membedakan antara infeksi TB

dan sakit TB. Saat ini, ELISpot TB belum dapat digunakan dalam praktek klinis,

mengingat harganya masih mahal dan belum tersedia di Indonesia (Rahajoe,

2005).

2.1.6.2. Radiologis

TB primer lebih dari 95 % terjadi di parenkim paru, hingga foto toraks

paru postero anterior dan lateral selalu dilakukan. Komplek primer lebih banyak

ditemukan pada foto toraks paru bayi dan anak kecil dari pada dewasa. Gambaran

rontgen paru pada TB tidak khas. Kelainan radiologis tersebut bisa juga dijumpai

pada penyakit lain. Sebaliknya foto rontgen paru yang normal (tidak terdeteksi)

Page 20: BAB I-V

20

tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang

lain mendukung. Dengan demikian pemeriksaan rontgen paru saja tidak dapat

digunakan untuk mendiagnosis tuberculosis (Rahajoe, 2005).

Secara umum gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai

berikut:

• pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

• konsolidasi segmental/lobar

• milier

• kalsifikasi

• atelektasis

• kavitas

• efusi pleura

Foto rontgen paru sebaiknya dilakukan PA dan lateral. Jika dijumpai

ketidaksesuaian antara gambaran klinis (ringan) dengan gambaran radiologis

(berat), harus dicurigai TB. Pada keadaan foto rontgen paru tidak jelas, bila perlu

dilakukan pemeriksaan pencitraan lain seperti CT-scan toraks.

2.1.6.3. Penegakan Diagnosis

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak Jelas Laporan

keluarga BTA

negative atau

tidak tahu,

BTA tidak

jelas

BTA positif

Page 21: BAB I-V

21

Uji

TuberkulinNegatif

Positif(> 10

mm, atau >5

mm pada

keadaan

imunosupres)

Status Gizi

Gizi baik

tampak

sehat

(BBATB

antara -2SD

sampai

+2SD)

Gizi kurang

tanipak kurus

(BB/TB>-3SD

sampai < -2SD)

Gizi buruk

tampak sangat

kurus

(BB/TB< -

3SD) dan

atatu edema

pada kedua

punggung kaki

sampai

seluruh tubuh

Demam

tanpa sebab

jelas

>2 minggu

Batuk >3 minggu

Pembesaran

kelenjar

limfe koli,

aksila,

inguinal

>1 cm, jumlah

>1, tidak nyeri

Pembengkak

an

tulang/sendi

panggul,

lutut, falang

Ada

pembengkakan

Page 22: BAB I-V

22

(Sumber IDAI, 2011)

2.1.7. Tatalaksana

Menurut Raharjoe (2005) tatalaksana TB pada anak merupakan suatu

kesatuan yang tidak terpisahkan antara pemberian medikamentosa, penataan gizi,

dan lingkungan sekitarnya. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari

penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada orang tua penderita tentang

pentingnya minum obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, serta

pengawasan terhadap jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum,

dsb.

2.1.7.1. Medikamentosa

Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin, INH, pirazinamid,

etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain {second line) adalah PAS, viomisin,

sikloserin, etionamid, kanamisin, dan kapriomisin, yang digunakan jika terjadi

multidrug resistance (MDR). Rifainpisin dan INH merupakan obat pilihan utama

dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin (Rahajoe, 2005).

1. Isoniazid

INH (Isonikotinik hidrazil) adalah antituberkulosis yang efektif, bersifat

bakterisid dan efektif terhadap kuman TB keadaan metabolik aktif yaitu kuman

yang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat im

etektil pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh

jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura,

cairan asites, jaringan kaseosa dan angka timbulnya reaksi simpang (adverse

Foto toraksNormal/tida

k jelasSuggestif TB

Page 23: BAB I-V

23

reaction) sangat rendah. INH diberikan secara oral. Dosis harian diberikan (5-15

mg/kg/hari), maksimal 300 mg/hari, diberikan satu kali pemberian. INH tersedia

dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 nil.

Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan cairan serebrospinal dapat

dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. INH

dimetabolisme melalui asetilasi di hati (Rahajoe, 2005).

INH mempunyai dua efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis

perifer, keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensi meningkat dengan

bertambahnya usia. 3 sampai 10 % anak yang menggunakan INH mengalami

peningkatan kadar transaminase darah. Hepatotoksisitas yang bermakna secara

klinis sangat jarang terjadi. Hal ini mungkin terjadi pada remaja atau anak-anak

dengan tuberkulosis yang berat. Perlu adanya pemantauan kadar transaminase

pada 2 bulan pertama tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksik maka

pemantauan laboratorium tidak rutin kecuali ada gejala dan tanda klinis.

Hepatotoksisitas akan meningkat apabila INH diberikan bersama dengan

rifampisin dan PZA. Penggunaan INH bersama dengan fenobarbital atau fenitoin

dapat meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan

pemberiannya pada keadaan kadar transaminase serum naik lebih dari 3 kali harga

normal atau terjadi manifestasi klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut

dan kuning (Rahajoe, 2005).

Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme

piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH, tetapi

manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan pemberian piridoksin

tambahan. Namun, pada remaja dengan diet yang tidak adekuat, anak-anak

dengan asupan susu dan daging yang kurang, malnutrisi, serta bayi yang hanya

minum ASI memerlukan piridoksin tambahan. Manifestasi klinis neuritis perifer

yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki.

Piridoksin diberikan satu kali sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin setiap 100

mg INH (Rahajoe, 2005).

Manifestasi alergik atau reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh INH

sangat jarang terjadi. Kadang-kadang, INH bennteraksi dengan teofilin sehingga

Page 24: BAB I-V

24

diperlukan penyesuaian dosis. Efek samping yang jarang terjadi antara lain adalah

pellagra, anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim G-6-PD, dan

reaksi mirip lupus yang diserlai ruam dan artritis (Rahajoe, 2005).

2. Rifampisin

Rifampisin memiliki sifat baktenosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat

memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dorman yang tidak

dapat dibunuh oleh INH. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem

gastrointestinal pada saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam 2

jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari

dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian perhari. Jik;

diberikan bersamaan dengan INH, dosis Rifampisin tidak melebihi 1

mg/kgBB/hari dan dosis INH 10 mg/kgBB/hari Seperti halnya INH, Rifampisin

didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Distribusi

rifampisin ke dalam CSS lebih baik dalam keadaan meningens yang sedang

mengalami peradangan dibandingkan dalam keadaan normal. Ekskresi rifampisin

terutama terjadi melalui traktus biliaris. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan

di ginjal dan urin. Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada INH

(Rahajoe, 2005).

Efek yang menyebabakan ketidak nyamanan pada pasien adalah perubahan

warna urin, ludah, keringat, sputum dan air mata menjadi warna oranye

kemerahan. Efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (muntah

dan mual) dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai oleh

peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin

diberikan bersama INH, terdapat peningkatan risiko hepatotoksisitas, yang dapat

diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian INH menjadi maksimal 10

mg/kg/hari. Rifampisin dapat menyebabkan trombositopenia. Rifampisin dapat

membual kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan

beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol,

kortikosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin tersedia dalam sediaan kapsul 150

mg, 300 mg dan 450 mg sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak

dengan berbagai kisaran berat badan. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan

Page 25: BAB I-V

25

berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan

pemberian makanan karena dapat timbul malabsorpsi (Rahajoe, 2005).

3. Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada

jaringan dan cairan lubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya

pada intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan.

Pemberian PZA secara oral dengan dosis 15-30 mg/kg/hari dengan dosis

maksimal 2 gram/hari. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg.

Penggunaan PZA aman pada anak. PZA diberikan pada lase intensif karena PZA

sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman

masih sangat banyak. Kira-kira 10% orang dewasa yang diberikan PZA

mengalami efek samping berupa artralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia,

namun pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek

samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna.

Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. PZA dapat digerus dan

diberikan bersama makanan seperti INH (Rahajoe, 2005).

4. Etambutol

Karena potensi toksisitasnya yang dapat terjadi pada mata, Etambutol

(EMB) jarang diberikan pada anak. Dosis dari EMB adalah 15-20 mg/kg/hari,

dengan dosis maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis tunggal. Eksresi obat ini

terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan EMB tidak

dikenal. EMB tersedia dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Obat ini memiliki

aktivitas bakteriostatik, sehingga dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap

obat-obat lain. EMB dapat bersifat bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi

dengan terapi intermitten. EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga

pada keadaan meningitis. EMB ditoleransi dengan baik oleh dewasa darn anak-

anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari. Kemungkinan

toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau.. Namun, obat

ini tidak digunakan secara luas karena pada anak-anak kecil tidak dapat dillakukan

pemeriksaan lapang pandang dan ketajaman penglihatan. EMB sebaiknya tidak

diberikan pada anak yang belum dapat dilakukan pemeriksaan penglihatan.

Page 26: BAB I-V

26

Namun, EMB dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB

resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan

(Rahajoe, 2005).

5. Streptomisin

Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraseluler

pada keadaan basal atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler.

Streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB, tetapi penggunaanya

penting dalam pengobatan TB yang resisten-obat. Streptomisin dapat diberikan

secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari.

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat

melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik

pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya

saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap INH atau jika

anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada

nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa

telinga berdengung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal sangat jarang terjadi.

Streptomisin dapat membus plaserua., hingga kontra indikasi pemberiannya pada

wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin, 30% bayi akan

menderita tuli berat (Rahajoe, 2005).

Menurut Raharjoe (2005), prinsip dasar obat antituberkulosis harus dapat

menembus berbagai jaringan termasuk selaput otak. Farmakokinetik obat anti

tuberkulosis pada anak berbeda daripada orang dewasa. Toleransi anak terhadap

dosis obat per kilogram berat badan lebih tinggi.

Nama Obat

Dosis

harian

(mg/kg

BB/hari)

Dosis

maksimal

(mg/hari)

Efek samping

Isoniazid 5 - 15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitis

Rifampisin 10-20 600Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,

trombositopenia, peningkatan enzim hati,

Page 27: BAB I-V

27

cairan tubuh berwarna oranye kemerahan.

Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hepar, artralgia, gastrointestinal

Etambutol 15-20 1250

Neuritis optik, ketajaman mata berkurang,

buta warna merah, hijau, hipersensitivitas,

gastrointestinal

Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, neufrotoksik

* Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10

mg/kg BB/hari

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat

mengganggu

biovallabilitas rifampisin

2.1.7.1.2. Paduan Obat TB

Dasar pengobatan TB adalah minimal 2 macam obat dan diberikan dalam

waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase

intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan

obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh

kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang

selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya

relaps (Rahajoe, 2005).

Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari,

bukan 2 atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan mengurangi

ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum

setiap hari. Saat ini paduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada

anak adalah paduan Rifampisin, INH dan Pirazinamid. Pada fase intensif

diberikan Rifampisin, INH dan Pirazinamid, sedangkan fase lanjutan hanya

diberikan Rifampisin dan INH (Rahajoe, 2005).

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB

milier, meningitis TB, TB Tulang, dan lam-lain pada fase intensif diberikan

Page 28: BAB I-V

28

minimal 4 macam obat (Rifampisin, INH, Pirazinamid, Etambulol atau

Streptomisin). Sedangkan fase lanjutan diberikan Rifampisin dan INH selama 10

bulan. Untuk kasus TB terteniu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,

TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid

(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama

pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan

tappering off dalam jangka waktu yang sama (Rahajoe, 2005).

2.1.7.1.3. Fixed Dose Combination (FDC)

Masalah dalam terapi TB adalah kepatuhan pasien dalam menjalani

pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak. Menurut Raharjoe

(2005), untuk mengalasi hal tersebut maka dibuat suatu sediaan obat kombinasi

dalam dosis yang telah ditentukan (FDC; Fixed dose combination).

Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobalan TB adalah sebagai berikut :

1. Menyederhanakan pengobalan dan mengurangi kesalahan penulisan resep

Meningkatkan penerimaan dan kepatuhan pasien

2. Memungkinkan petugas kesehatan memberikan pengobalan slandar

dengan tepat

3. Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses pengadaan,

penyimpanan, dan distribusi obat pada setiap tingkat pengelola program

pemberaniasan TB)

4. Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monolerapi) sehingga

mengurangi resistensi terhadap obat TB

5. Paduan FDC mengurangi kemungkinan kegagalan pengobalan dan

terjadinya kekambuhan

6. Pengawasan minum obat menjadi lebih cepat dan mudah, sehingga dapat

mengurangi beban kerja

7. Mempermudah penentuan dosis berdasarkan berat badan

UKK Pulinonologi PP IDAI membuat rumusan tentang FDC pada anak

dosis kombinasi pada TB anak.

Page 29: BAB I-V

29

Berat badan (kg)2 bulan RHZ

(75/50/150 mg)

4 bulan

(RH (75/50 mg)

5-9 1 tablet 1 tablet

10-19 2 tablet 2 tablet

20-32 4 tablet 4 tablet

Catatan :

• Bila BB > 33 kg dosis disesuaikan dengan Tabel 2 (perhatikan dosis maksimal!).

• Bila BB < 5 kg sebaiknya dirujuk ke RS.

• Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah).

2.1.7.2. Non-medikamentosa

2.1.7.2.1. Pendekatan DOTS

Hal penting pada tatalaksana tuberkulosis adalah keteraturan minum obat.

Pasien TB biasanya telah menunjukkan perbaikan beberapa minggu setelah

pengobatan sehintjHa merasa telah sembuh dan tidak melanjutkan pengobaian.

Lingkungan sosial dan pengertian yang kurang mengenai tuberkulosis dari pasien

serta keluarganya tidak menunjang keteraturan pasien untuk minum obat.

Kepatuhan pasien {patient adherence) dikatakan baik apabila pasien

meminum obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam paduan pengobatan.

Kepatuhan pasien ini menjamin keberhasilan pengobatan dan mencegah

resistensi. Salah satu upava untuk meningkatkan kepatuhan pasien adalah dengan

melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed

treatment) (Rahajoe, 2005).

DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah strategi yang

telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan

tuberkulosis. Strategi ini telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1995.

Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan

yang tinggi.

Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas 5 komponen,

yaitu sebagai berikut.

Page 30: BAB I-V

30

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, terpasuk dukungan dana.

2. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek

dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan

dan evaluasi program penanggulangan TBC.

2.1.7.2.2. Sumber Penularan dan Case finding

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari

sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber

penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan melakukan kontak

erat dengan anak tersebut. Pelacakan dilakukan dengan cara pemeriksaan

radiologis dari BTA sputum (pelacakan sentripetal). Selain itu perlu dicari pula

anak lain di sekitarnya yang mungkin tertular dengan cara uji tuberkulin (Rahajoe,

2005).

Sebaliknya jika ditemukan pasien TB dewasa aktif maka anak di

sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi

tuberkulosis (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara

anamnestik, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin

(Rahajoe, 2005).

2.1.7.2.3. Aspek Sosial Ekonomi

Pengobatan tuberkulosis tidak terlepas dari masalah sosio-ekonomik.

Karena pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka

waktu yang cukup lama maka memerlukan biaya yang cukup besar. Selain itu

diperlukan penanganan gizi yang baik.

Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui tentang

tuberkulosis. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB pada

anak tidak menularkan kepada anak yang lain. Aktifitas fisik pasien TB anak tidak

perlu dibatasi, kecuali pada TB berat. Meskipun bagi penderitanya sendiri terdapat

Page 31: BAB I-V

31

kemungkinan terjadinya penyakit yang berat yang bisa fatal atau dapat

mengakibatkan cacat (Rahajoe, 2005)

2.1.8. Pencegahan

2.1.8.1. BCG

Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi

sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, dibenkan intrakutan di daerah insersi otot

deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus

tidak menganggu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada

usia lebih dan 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin lebih dulu. Insidensi TB

anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan,

pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.

Dilaporkan manfaat BCG oleh beberapa peneliti antara 0-80%. BCG efektif

terutama untuk mencegah milier, meningitis dan spondilitis TB pada anak. BCG

memberikan perlindungan terhadap milier TB, meningitis TB, TB tulang dan

sendi, dan kavitas sedikitnya 75%. BCG ulangan tidak dianjurkan mengingat

efektivitas perlindungannya hanya 40%, sekitar 70% TB berat mempunyai parut

BCG. BCG relatif aman, jarang ada efek samping serius, yang sering ditemukan

adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supurativa) dengan insiden 0,1-1%.

Kontraindikasi pemberian lmunisasi BCG meliputi defisiensi imun, infeksi berat,

luka bakar (Rahajoe, 2005).

2.1.8.2. Kemoprofilaksis

Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB

pada anak, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah aktifnya infeksi

sehingga anak tidak sakit. Pada kemoprofilaksis primer, diberikan INH dengan

dosis 5-10 mg/kg BB/hari, dosis tunggal, pada anak yang kontak dengan TB

menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji

tuberkulin negatif). Obat dihentikan jika sumber kontak sudah tidak menular lagi

dan anak ternyata tetap tidak terinfeksi (setelah uji tuberkulin ulangan).

Kemoprofilaksis sekunder dibenkan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi

belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, klinis, dan radiologis normal.

Anak yang mendapat kemoprofilaksis sekunder adalah usia balita, menderita

Page 32: BAB I-V

32

morbili, varisela, dan pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik

dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru, konversi uji tuberkulin

dalam waktu kurang dari 12 bulan (Rahajoe, 2005).

Page 33: BAB I-V

33

2.2 KERANGKA TEORI

TB Anak

GambaranKlinis

Pemerikasaan Pengobatan Outcome

Diare Berat badan

turun Batuk Nafsu makan

turun Kontak TB Demam

Uji Tuberkulin Radiologis

Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol Streptomisin Fixed Dose

Combination

Sembuh DO Mati

Page 34: BAB I-V

34

2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Sistem Skoring TB

anak

Data RekamMedis

Batuk Kontak TB Demam

M. tuberculosis

Basil tahan asam

Infeksi melalui droplet

TB Anak

Profil Pasien TB

Data RM diambilberdasar Sistem

Skoring TB

Page 35: BAB I-V

35

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan penelitian

Penelitian ini merupakan observasional deskriptif dengan menggunakan

data rekam medis pasien tuberkulosis anak di RSUD Dr Soediran Mangun

Sumarso Wonogiri tahun 2011 sampai 2012.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian pasien TB anak di RSUD Dr Soediran Mangun

Sumarso Wonogiri, waktu pelaksanaan penelitian Oktober 2012 sampai Januari

2013.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini diambil dari seluruh pasien TB anak yang

tercatat pada rekam medis RSUD Dr Soediran Mangun Sumarso pada tahun 2011

sampai 2012.

3.3.2. Sampel penelitian

Sasaran sampel pasien Tuberkulosis anak dalam fase apapun dengan

keadaan positif TB pada tahun 2011 sampai 2012.

3.4. Kriteria Inklusi Dan Ekslusi

3.4.1. Kriteria Inklusi

Semua pasien TB anak yang terdaftar dalam rekam medis RSUD Dr

Soediran Mangun Sumarso tahun 2011 sampai 2012. Data rekam medisnya

lengkap sesuai yang dibutuhkan pada variabel penelitian. Diagnosis Tuberkulosis

paru anak oleh dokter spesialis anak RSUD Dr Soediran Mangun Sumarso

Wonogiri, tanpa penyakit penyerta yang lain.

Page 36: BAB I-V

36

3.4.2. Kriteria ekslusi

Tidak masuk dalam umur yang telah ditentukan (0-18 tahun), data rekam

medis yang tidak bisa terbaca.

3.5. Definisi Operasional

Profil adalah ciri-ciri khusus yang dilihat dari gejala klinis Tuberkulosis

pada anak. Gejala klinis TB menurut sistem skoring IDAI (2011) adalah adanya

demam tanpa sebab jelas ≥2 minggu, batuk ≥3 minggu, kontak TB laporan

keluarga, BTA (-) atau tidak tahu, BTA (+). Definisi umur anak berdasarkan UU

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak bahwa anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan. Pasien yang akan diambil datanya adalah pasien yang didiagnosis

Tuberkulosis oleh doktcr spesialis anak di RSUD Dr Soediran Mangun Sumarso.

3.6. Pengambilan dan Rencana Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan program Microsoft Excel. Data yang

diperoleh diklasifikasikan menurut profil kasus berdasarkan variabel yang diteliti.

Dibuat dalam bentuk distribusi frekuensi masing-masing. Distribusi frekuensi

yaitu disajikan dalam bentuk tabel dan diagram Data diambil dari rekam medis

pasien TB anak yang diperoleh dari RSUD Dr Soediran Mangun Sumarso

Wonogiri tahun 2011 sampai 2012.

3.7. Tahapan Penelitian Table tahapan penelitian

Kegiatan Bulan Pelaksanaan

Penyusunan Proporsal November 2012

Pengajuan dan Seminar Proporsal Desember sampai Januari 2013

Pengambilan Data April 2013

Pengolahan data dan Penyusunan Laporan April sampai Mei 2013

Page 37: BAB I-V

37

3.8. Etika Penelitian

Etika dalam penelitian yang perlu diperhatikan sebelum melaksanakan

penelitian adalah sebagai berikut:

1. Melaporkan dan mengurus perijinan pada RSUD Dr Soediran Mangun

Sumarso Wonogiri dan Dinas Kesehatan Kabupaten Wonogiri

2. Data yang telah dikumpulkan dijaga Kerahasiaannva.

Page 38: BAB I-V

38

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Rumah Sakit

Rumah Sakit Umum Daerah DR Soediran Mangun Soemarso terletak di

pusat kota Wonogiri. Rumah sakit ini beralamatkan di Jalan Jend A Yani No. 40

Wonogiri. Jalan Jend A Yani merupakan jalan provinsi sehingga rumah sakit ini

mudah untuk diakses (Administrator, 2013).

Rumah Sakit Umum Daerah DR Soediran Mangun Soemarso merupakan

rumah sakit Pemda Wonogiri. Hal tersebut dikarenakan selain karena letaknya

yang strategis, juga melayani Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) serta

Askes. Jamkesmas sendiri merupakan salah satu program yang ditujukan kepada

seluruh warga kabupaten Wonogiri agar dapat memperoleh pengobatan murah dan

bermutu bahkan gratis untuk pasien tertentu (Administrator, 2013).

4.2 Hasil Penelitian

Pada penelitian ini, populasi dan sampel yang digunakan adalah seluruh

pasien anak yang di diagnosis tuberkulosis di RSUD Dr Soediran Mangun

Sumarso tahun 2011 sampai 2012.

Total populasi penelitian yang diperoleh dari data rekam medis tahun 2011

berjumlah 52 kasus sedangkan pada tahun 2012 berjumlah 64 kasus, sehingga

total sampel penelitian yang diperoleh adalah 166 kasus. Dari 116 data rekam

medis, yang masuk kedalam kriteria ekslusi berjumlah 69 (59,5%) sampel. Hal ini

dikarenakan pengisian data rekam medis kurang lengkap sedangkan sampel yang

masuk ke dalam kriteria inklusi berjumlah 47 (40,5%) sampel, sehingga data yang

digunakan sebagai sampel untuk dianalisis berjumlah 47 sampel.

Page 39: BAB I-V

39

4.2.1 Hasil Sampel Pasien dengan Gejala Klinis Batuk, Demam dan riwayat

kontak TB

Dari 47 (100%) sampel penelitian didapatkan 28 (59.6%) pasien yang

mengalami gejala batuk, 37 (78.7%) dengan gejala demam dan 7 pasien dengvan

riwayat kontak TB

Tabel 2. Pasien dengan gejala batuk, demam dan riwayat kontak TB

Jumlah Persentase (%)

Pasien Batuk 28 59.6%

Pasien Demam 37 78.7%

Pasien Riwayat Kontak TB 7 14.9%

4.3 Pembahasan

Dari 116 populasi penelitian didapatkan data sampel yang masuk ke dalam

kriteri ekslusi sebanyak 69 sedangkan yang masuk ke dalam kriteria inklusi

sebanyak 47 data sampel. Dari data ini menunjukan bahwa ekslusi lebih banyak

daripada data inklusi dengan perbandingan 59.5% untuk data ekslusi dan 40.5%

untuk data inklusi. Hal ini terjadi dikarenakan pengisian data rekam medis kurang

69

47

Populasi dan Sampel

eksklusi

inklusi

Page 40: BAB I-V

40

lengkap. Kekurangan ini terjadi pada pengisian umur, jenis kelamin, gejala klinis

yang tidak ditulis, riwayat penyakit pasien, dan lain-lain.

Menurut meliala (2004), ketidaklengkapan dan ketidaktepatan, dalam

pengisian rekam medis memberikan dampak yang tidak baik bagi proses

pelayanan kesehatan kepada pasien, karena waktu untuk proses pendaftaran

sampai dilakukan tindakan medik menjadi lama. Disamping itu analisa terhadap

riwayat penyakit terdahulu serta tindakan medik yang telah dilakukan sebelumnya

tidak dapat dilakukan secara baik, karena tidak lengkapnya data pada rekam medis

pasien.

Secara spesifik, rekam medis menyediakan data khusus yang berguna

untuk keperluan penelitian dan pendidikan. Kasus-kasus penyakit yang jarang

terjadi atau pengobatan yang belum sempurna dapat terekam sehingga dapat

ditindak lanjuti dan di angkat menjadi topik diskusi-diskusi ilmiah untuk

mencapai jalan keluar. Kegunaan lain dari rekam medis adalah menjadi bahan

pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk pengembangan rumah sakit

yang rasional. Bahkan rekam medis mempunyai aspek hukum yang perlu didasari

oleh semua pihak di rumah sakit, termasuk pimpinan, dokter, perawat, pendaftar

dan pasien, oleh karena itu pengisian data rekam medis harus benar-benar

lengkap. (Hanafiah dan Amir, 1999).

Dari 47 Pasien yang mengalami demam pada penelitian berjumlah 37

(78.7%). Gejala demam menjadi gejala dengan angka persentase tertinggi di

RSUD Soediran Mangun Soemarso yang menjadikan keluhan utama pasien pada

kasus TB. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahajoe (2005) dimana gejala yang

tersering pada kasus TB adalah demam. Temuan demam pada pasien TB berkisar

40-80%. Demam dirasakan tidak terlalu tinggi dan hilang timbul dalam jangka

waktu yang cukup lama.

Dari 47 pasien yang mengalami batuk pada penelitian berjumlah 28

(59.6%). Gejala batuk menjadi gejala dengan peringkat ke 2 setelah kontak TB

dikarenakan batuk adalah bentuk mekanisme pertahanan tubuh non spesifik untuk

mengeluarkan benda asing berupa dahak yang mengandung kuman TB yang

menyerang bagian saluran napas atas (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). Pada

Page 41: BAB I-V

41

pasien anak mengidap TB terutama pada umur dibawah 1 tahun reflek batuk

belum begitu sempurna, sehingga tidak menjadi gejala yang dominan pada pasien

TB anak (Rahajoe, 2005).

Dari 47 pasien yang mempunyai riwayat kontak TB pada penelitian

berjumlah 7 (14.9%). TB anak ditemukan karena ditemukanya TB dewasa di

sekitarnya. Adanya riwayat kontak TB dewasa BTA positif dapat mengarah ke

penyakit TB (Rahajoe, 2005).

Dari penelitian yang dilakukan oleh Yulistyaningrum dan Dwi Sarwani Sri

Rejeki (2010) mendapatkan hasil bahwa anak yang pernah kontak dengan orang

dewasa yang menderita TB BTA (+) atau suspek yang diduga menjadi sumber

penular mempunyai risiko 3,91 kali lebih besar menderita TB, dibandingkan

dengan anak yang tidak mempunyai riwayat kontak. Anak-anak yang tinggal di

rumah dimana terdapat orang dewasa yang mengidap TB aktif atau yang memiliki

risiko TB, akan memiliki risiko sama tingginya untuk mengidap TB.

Menurut Rosmayudi (2002), sumber penularan yang paling berbahaya

adalah penderita TB dewasa dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan

kavitas (lubang pada paru-paru). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat

menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan. Semakin sering dan

lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan

bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat adalah orang tuanya, orang serumah

atau orang yang sering berkunjung dan sering berinteraksi langsung. Pada

penelitian ini didapatkan pasien yang mengalami kontak TB sebesar 7 (14.9%)

pasien dari 47 (100%) pasien yang menjadi sampel penelitian ini, hasil ini

kemungkinan disebabkan karena pengisian data rekam medis yang kurang

lengkap, sehingga menjadikan hasil yang berbeda dari penelitian yang diatas.

4.4 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini tentunya mempunyai banyak sekali kekurangan dan

keterbatasan, diantaranya adalah pengisisan data rekam medis kurang lengkap,

sehingga jumlah sampel penelitiannya menjadi sedikit, ini menjadikan penelitian

ini kurang maksimal.

Page 42: BAB I-V

42

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai profil pasien Tuberkulois paru pada

anak di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso, Wonogiri, tahun 2011 sampai

2012 yang telah diuraikan dan dibahas pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik

kesimpulan.

Jumlah pasien yang mengalami gejala demam pada tahun 2011 sampai

2012 berjumlah 37 (78.7%) pasien. Jumlah pasien yang mengalami gejala batuk

pada tahun 2011 sampai 2012 berjumlah 28 (59.6%) pasien. Jumlah pasien yang

mempunyai riwayat kontak dengan penderita TB pada tahun 2011 sampai 2012

berjumlah 7 (14.9%) pasien. Sehingga demam merupakan gejala yang paling

dominan pada gejala TB, yang selanjutnya diikuti dengan gejala batuk dan

riwayat kontak TB.

5.2. Saran

Penulis menyadari dalam melakukan penelitian profil pasien Tuberkulois

paru pada anak di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso, Wonogiri, tahun 2011

sampai 2012 ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis menyarankan

dalam penelitian selanjutnya perlu dilakukan:

1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi dan karakteristik

TB Paru anak dengan variabel yang bervariasi, data yang lebih lengkap, dan

periode yang berbeda.

2. Kepada pihak RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri agar terus

meningkatkan kinerjanya dengan melengkapi data rekam medis pasien, karena

kelengkapan informasi mengenai data rekam medis pasien merupakan sesuatu

yang bermanfaat baik untuk rumah sakit dan penelitian sehingga informasi

tersebut tersebut perlu dilengkapi.

Page 43: BAB I-V

43

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood., dkk, 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga

University Press, Surabaya.

Bahar, Asril., dkk, 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit

Dalam, Jakarta.

Baratawidjaja. KG, Rengganis. I. 2009. Imunologi Dasar Edisi ke 8. FKUI,

Jakarta.

Hanafiah MJ, Amir A. 2007. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi 4.

Penerbit buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Kurniasari, Ryana Ayu Setia. 2012. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di

Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri. Thesis, Universitas

Diponegoro, Semarang.

Latief, Abdul., dkk., 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Infomedika, Jakarta.

Longo, dkk. 2011. Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th ed. McGraw

Hill, USA.

Meliala. A, Sunartini, Telaah Rekam medis pendidikan dokter spesialis sebelum

dan sesudah pelatihan di IRNA II RSUP Sardjito Yogyakarta www.jmpk-

online.net/files/vol-07-03-2004-9.pdf. Diakses 13 Juni 2013.

Price, Sylvia A., dkk., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Rahajoe, NN., dkk., 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak.

http.//perpustakaan depkes.£zo.id. Diakses tanggal 24-01-2013.

Rahajoe, NN. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkolusis Anak. IDAI,

Jakarta.

Rosmayudi, O. Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak.

(On-line). http://www.depkes.com. Diakses tanggal 13 Juni 2013.

Page 44: BAB I-V

44

Soepardi, Jane., 2011. Profil Data Kesehatan Tahun 2011, www.depkes.go.id.

Diakses tanggal 24-01-2013.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

WHO., 2012. Global Tuberkulosis Control : Surveillance, Planing, financing,

gene. http://www.who.int/tb/publications/global_report/2008/en/. Diakses

pada 1 Januari 2013.

Page 45: BAB I-V

45

LAMPIRAN

DATA REKAM MEDIS PASIEN TB ANAK

No RES Jenis kelamin umur batuk demam riwayat kontak

1 AR L 4 1

2 DK L 2 1

3 RA L 7 1 1

4 AA L 1 1

5 EW L 8 1

6 DA L 11 1 1

7 AS P 8 1

8 SW P 2 1 1

9 S L 6 1

10 TFM L 6 1

11 D L 1 1 1

12 SS P 5 1

13 WI P 3 1 1

14 F L 2 1

15 AF L 7BLN 1 1

16 AI P 5 1 1

17 EA P 14 1

18 LA P 2 1 1

19 AV L 2 1

20 AI P 7 1 1

21 D L 1 1 1

22 WI L 11 1 1

23 TZ L 6 1

24 IM L 1 1

Page 46: BAB I-V

46

25 AW L 6,6 1

26 RO L 1 1 1

27 L P 1 1 1 1

28 GY P 5 1 1

29 AN P 12 1

30 FD P 2 1 1

31 AP L 5 1

32 TY P 7 1 1

33 RW P 2 1

34 RD P 5 1

35 D P 7 1

36 WD L 3 1 1

37 FD L 1,2 1

38 CV P 2 1 1

39 DM P 6 1

40 II P 8 1 1

41 AK P 1,6 1 1

42 FD P 6

43 FI L 2 1 1

44 DT P 7 1

45 ZB L 2 1 1

46 NNL P 7 1 1 1

47 YAL L 2 1 1

TOTAL 28 37 7

Page 47: BAB I-V

47

Rekam Medis

Page 48: BAB I-V

48

Page 49: BAB I-V

49

Page 50: BAB I-V

50

Page 51: BAB I-V

51

Page 52: BAB I-V

52

Page 53: BAB I-V

53