28
BAB IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Contoh Kayu yang Diuji
1. Bungbulang (Premna tomentosa Willd).- Verbenaceae
Gambar 1. Bungbulang (Premna tomentosa Willd).
30
3. Jaha (Terminalia arborea K. et V.) - Combretaceae
Gambar 3. Jaha (Terminalia arborea K. et V.)
31
4. Ki acret (Sphatodea campanulata P.B.) – Bignoniaceae
Gambar 4. Ki acret (Sphatodea campanulata P.B.)
32
5. Pasang taritih (Lithocarpus elegans (Blume) Hatus.
Ex Soepadmo) – Fagaceae
Gambar 5. Pasang taritih (Lithocarpus elegans (Blume) Hatus. Ex Soepadmo)
33
B. Pengenalan Struktur Anatomi dan Dimensi Serat
1. No kayu: 34.400
Nama botani: Premna tomentosa Willd. – Suku: Verbenaceae
Nama daerah : bungbulang, Bulang (sunda, jawa), gembulang (Java), levan
capo (Palembang)
Nama perdagangan: Premna
Sinonim: Premna valida Miq., Premna pyramidata Wallich.
Ciri Umum
Warna: kayu teras berwarna krem, kuning jerami, susah dibedakan dari
gubal yang berwarna sama atau berwarna lebih muda. Corak : bercorak
karena lingkar tahun. Tekstur: agak kasar dan tidak merata. Arah serat :
lurus dan agak berpadu. Kilap : agak mengkilap. Kesan raba: agak licin.
Kekerasan: keras. Bau: tidak ada bau khusus.
Ciri Anatomi
Lingkaran tumbuh: jelas (ciri 1). Pembuluh : tata lingkar (ciri 3). Diameter
pembuluh 50-100 mikron (ciri 41); frekuensi pembuluh per-mm2 sekitar 5-20
(ciri 47). Bidang perforasi sederhana (ciri 13). Ceruk antar pembuluh
selang-seling (ciri 22), berumbai (ciri 29). Ceruk antar pembuluh dan jari-jari
dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan
ceruk antar pembuluh (ciri 30) dan dengan halaman yang sempit sampai
sederhana; ceruk bundar atau bersudut (ciri 31). Parenkim: tersebar (ciri
76) dan paratrakea sepihak (ciri 84). Panjang untai parenkim dua sel per
untai (ciri 91). Jari-jari : lebar jari-jari 1-3 seri (ciri 97), komposisi dengan 1
jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal (ciri 106). Serat :
jaringan serat dasar banyak ditemukan dengan ceruk berhalaman yang
jelas (ciri 62), kadang sederhana sampai berhalaman sangat kecil (ciri 61),
serat bersekat ditemui (ciri 65). Panjang serat 1390,39 ± 87,25 mikron (ciri
72), dinding serat umumnya 3,96 ± 1 mikron , tipis sampai tebal (ciri 69).
Gambar kayu dan struktur anatomi Premna tomentosa disajikan pada
Gambar 1a-d berikut:
34
a b
c d
Gambar 6. Struktur anatomi bungbulang (Premna tomentosa)
a. Struktur makro penampang melintang (perbesaran 10x) b. Struktur mikro penampang melintang (perbesaran 250 µ) c. Struktur mikro penampang radial (perbesaran 250 µ) d. Struktur mikro penampang tangensial (perbesaran 250 µ)
35
2. No kayu: 34.401
Nama botani: Vernonia arborea Ham. – Suku: Compositae
Nama daerah: hamirung (sunda), nangi (bali), sembang kuwuk (Jawa),
Nama perdagangan: merambung
Sinonim: Vernonia celebica DC., V. Javanica DC., V. wallichii Ridley.
Ciri Umum
Warna: kayu teras berwarna putih krem susah dibedakan dari gubal yang
berwarna sama. Corak: umumnya polos. Tekstur: halus dan merata. Arah
serat: lurus. Kilap: permukaan kayu agak mengkilap. Kesan raba: agak licin.
Kekerasan: agak keras. Bau: tidak ada bau khas.
Ciri Anatomi
Lingkaran tumbuh: tidak jelas (ciri 2). Pembuluh: baur (ciri 5); diameter 100-
200 mikron (ciri 42), frekwensi 5 atau kurang (ciri 46), sebagian besar soliter
berganda sampai dengan 3 sel. Bidang perforasi bentuk sederhana (ciri 13);
ceruk antar pembuluh selang-seling (ciri 22). Ceruk antar pembuluh dan jari-
jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan
ceruk antar pembuluh (ciri 30). Parenkim: umumnya parenkim aksial
paratrakea vaskisentrik (ciri 79), dan aliform (ciri 80), kadang paratrakea
sepihak (ciri 84); dengan 2-4 sel per untai (ciri 91 dan 92). Jari-jari: 1-3 seri
(ciri 97), jari-jari besar umumnya 4-6 seri (ciri 98). Komposisi sel jari-jari
dengan 1 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal (ciri 106); ada
sel seludang (ciri 110), frekwensi jari-jari >4-12 per mm (ciri 115). Serat:
jaringan serat dasar dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat
kecil (ciri 61), dinding serat tipis sampai tebal (ciri 69), serat bersekat
dijumpai (ciri 65), ada susunan bertingkat pada serat (ciri 121).
Gambar kayu dan struktur anatomi Vernonia arborea disajikan pada
Gambar 2a-d berikut:
36
a b
c d
Gambar 7. Struktur anatomi hamirung (Vernonia arborea Ham.
a. Struktur makro penampang melintang (perbesaran 10x) b. Struktur mikro penampang melintang (perbesaran 250 µ) c. Struktur mikro penampang radial (perbesaran 250 µ) d. Struktur mikro penampang tangensial (perbesaran 250 µ)
37
3. No kayu: 34.402
Nama botani: Terminalia arborea K.et.V – Suku: Combretaceae Terminalia
citrina (Gaertner) Roxb. Ex Fleming (nama terbaru)
Nama daerah: jaha, ketapang, kelumpit
Nama perdagangan: terminalia
Sinonim: Terminalia arborea K et V., T. Comintana Merr., T. Curtisii Ridley
Ciri Umum
Warna: kayu berwarna coklat muda, coklat muda agak kekuningan kadang
tidak dapat dibedakan dari kayu gubal yang berwarna lebih terang. Corak:
polos. Tekstur: agak halus dan merata. Arah serat: lurus dan agak berpadu.
Kilap: permukaan kayu agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan:
agak keras. Bau: tdk ada bau khusus .
Ciri Anatomi
Lingkaran tumbuh: batas lingkar tumbuh tidak jelas (ciri 2). Pembuluh : baur
(ciri 5) kadang semi tata lingkar (ciri 4), diameter 100-200 mikron (ciri 42) dan
50-100 mikron pada batas riap tumbuh (ciri 41), frekwensi 5 atau kurang (ciri
46); pembuluh hampir seluruhnya soliter (ciri 9), kadang berganda sampai
dengan 4 sel (ciri 10), bergerombol kadang dijumpai (ciri 11). Bidang
perforasi sederhana (ciri 13). Ceruk antar pembuluh selang-seling (ciri 22),
sedang (ciri 26); ceruk antar pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang
jelas ; serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri
30). Parenkim: aksial paratrakea vaskisentrik (ciri 79), aliform (ciri 80), dan
umumnya konfluen (ciri 83). Panjang untai sel parenkim adalah dua sel per
untai (ciri 91), dan empat (3-4) sel per-untai (ciri 92). Jari-jari : seluruhnya
satu seri (ciri 96). Komposisi sel jari-jari seluruhnya sel baring (ciri 104).
Serat: jaringan serat dasar dengan ceruk berhalaman sangat kecil (ciri 61),
serat bersekat dijumpai (ciri 65), serat tipis sampai tebal (ciri 69) kadang
sangat tipis (ciri 68). Inklusi mineral: dijumpai kristal bentuk lain dalam sel
parenkim (ciri ). Gambar kayu dan struktur anatomi Terminalia arborea
disajikan pada Gambar 3a-d berikut:
38
a b
c d Gambar 8. Struktur anatomi jaha (Terminalia arborea K. et V.)
a. Struktur makro penampang melintang (perbesaran 10x) b. Struktur mikro penampang melintang (perbesaran 250 µ) c. Struktur mikro penampang radial (perbesaran 250 µ) d. Struktur mikro penampang tangensial (perbesaran 250 µ)
39
4. No kayu: 34.403.
Nama botani: Spathodea campanulata P.B..–Suku: Bignoniaceae
Nama daerah: ki acret
Ciri umum
Warna: kayu teras berwarna krem, atau putih krem tidak dapat dibedakan dari
gubalnya yang berwarna sama. Corak: polos. Tekstur: halus dan merata. Arah
serat: lurus dan agak berpadu. Kilap: permukaan kayu agak mengkilap. Kesan
raba: agak licin. Kekerasan: agak lunak. Bau: tidak ada bau khusus.
Ciri Anatomi
Lingkaran tumbuh : batas lingkar tumbuh jelas (ciri 1). Pembuluh : semi tata lingkar
(ciri 4); hampir seluruhnya soliter (ciri 9), ada berganda radial sampai 3 sel. Bidang
perforasi sederhana (ciri 13). Ceruk antar pembuluh selang-seling (ciri 22), kecil >4-
7 mikron (ciri 25). Percerukan pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas;
serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30), dengan
halaman yang sempit sampai sederhana; ceruk horisontal atau vertikal (ciri 32).
Diameter pembuluh 100-200 mikron (ciri 42), frekuensi 5 buah/mm2 atau kurang
(ciri 46), tilosis umum (ciri 56). Parenkim : aksial paratrakea aliform (ciri 80), agak
sering ditemukan konfluen (ciri 83), dan pita (ciri 85). Tipe sel parenkim dua sel per
untai (ciri 91). Jari-jari : 1-3 seri (ciri 96) dan jari-jari besar umumnya 4-10 seri (ciri
98), komposisi sel jari-jari dengan 1 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar
marjinal (ciri 106), frekwensi jari-jari >4-12 per mm. Serat : jaringan serat dasar
dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat kecil (ciri 61), dinding serat
tipis sampai tebal (ciri 69).
Gambar kayu dan struktur anatomi Spathodea campanulata disajikan pada
Gambar 4a-d berikut:
40
a b
c d
Gambar 9. Struktur anatomi kiacret (Spathodea campanulata )
a. Struktur makro penampang lintang (perbesaran 10x) b. Struktur mikro penampang melintang (perbesaran 250 µ) c. Struktur mikro penampang radial (perbesaran 250 µ) d. Struktur mikro penampang tangensial (perbesaran 250 µ)
41
4. No kayu: 34.404
Nama botani: Lithocarpus elegans (Blume) – Suku: Fagaceae
Nama daerah : Pasang taritih, pasang bodas (sunda), pasang bungkus (sumatera),
kasunu (sulawesi).
Nama perdagangan: mempening
Sinonim: Lithocarpus spicatus (Sm.) Rehder & Wils, L. rhioensis (Hance) A.
Camus, L. microcalyx (Korth.) A. Camus
Ciri Umum
Warna: kayu teras coklat muda keabu-abuan berbeda dari kayu gubal yg berwarna
coklat muda teang. Corak: polos. Tekstur: agak halus dan tidak merata. Arah serat:
lurus dan berpadu. Kilap: permukaan kayu agak kusam. Kesan raba: agak licin.
Kekerasan: keras. Tidak ditemukan bau khas.
Ciri Anatomi
Lingkaran tumbuh: tidak jelas (ciri 2). Pembuluh : baur (ciri 5), hampir seluruhnya
soliter (ciri 9) yang bergabung juga ada sampai dengan 3 sel (ciri 10), bidang
perforasi sederhana (ciri 13). Ceruk antar pembuluh selang seling (ciri 22).
Diameter pembuluh 50-100 mikron (ciri 41), frekuensi 5-20 buah/mm2 (ciri 47).
Percerukan pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam
ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30); getah dan endapan
ditemukan (ciri 58). Parenkim: aksial apotrakea tersebar dalam kelompok (ciri 77),
dan paratrakea sepihak (ciri 84). Jari-jari : 1-3 seri (ciri 97), dan jari-jari yang lebar
umumnya > 4-10 seri (ciri 98). Komposisi sel jari-jari dengan 1 jalur sel tegak dan
atau sel bujur sangkar marginal (ciri 106). Serat : jaringan serat dasar dengan ceruk
sederhana sampai berhalaman sangat kecil (ciri 61), kadang dengan ceruk
berhalaman yang jelas (ciri 62), serat tanpa sekat dijumpai (ciri 66), dinding serat
tipis sampai tebal (ciri 69). Gambar kayu dan struktur anatomi Lithocarpus elegans
disajikan pada Gambar 5a-b berikut:
42
a b
c d
Gambar 10. Struktur anatomi Pasang taritih (Lithocarpus elegans)
a. Struktur makro penampang lintang (perbesaran 10x) b. Struktur mikro penampang melintang (perbesaran 250 µ) c. Struktur mikro penampang radial (perbesaran 250 µ) d. Struktur mikro penampang tangensial (perbesaran 250 µ)
43
Rangkuman ciri umum dan ciri anatomi disajikan pada Tabel 11. Penulisan
ciri menggunakan kode dalam Daftar IAWA 1989 untuk menyesuaikan
dengan format data base yang ada dalam Xylarium Bogoriense 1915.
Tabel 11. Daftar ciri makroskopis dan mikroskopis kayu
No kayu 34. 400 34.401 34.402 34.403 34.404
Ciri Kodifikasi sesuai IAWA List, 1989
Ciri umum Warna: kayu teras krem, kuning jerami, susah dibedakan dari gubal Corak: bercorak karena lingkar tahun. Tekstur: agak kasar dan tidak merata. Arah serat : lurus dan agak berpadu. Kilap : agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: keras. Bau: tidak ada bau khusus. .
Warna: kayu teras berwarna putih krem susah dibedakan dari gubal yang berwarna sama. Corak: umumnya polos. Tekstur: halus dan merata. Arah serat: lurus. Kilap: permukaan kayu agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: agak keras. Bau: tidak ada bau khas.
Warna: kayu berwarna coklat muda, coklat muda agak kekuningan kadang tidak dapat dibedakan dari kayu gubal yang berwarna lebih terang. Corak: polos. Tekstur: agak halus dan merata. Arah serat: lurus dan agak berpadu. Kilap: permukaan kayu agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: agak keras. Bau: tdk ada bau khusus
Warna: kayu teras berwarna krem, atau putih krem tidak dapat dibedakan dari gubalnya yang berwarna sama. Corak: polos. Tekstur: halus dan merata. Arah serat: lurus dan agak berpadu. Kilap: permukaan kayu agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: agak lunak. Bau: tidak ada bau khusus
Warna: kayu teras coklat muda keabu-abuan berbeda dari kayu gubal yg berwarna coklat muda teang. Corak: polos. Tekstur: agak halus dan tidak merata. Arah serat: lurus dan berpadu. Kilap: permukaan kayu agak kusam. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: keras. Tidak ditemukan bau khas. .
Lingkar tumbuh 1 2 2 1 2
Pembuluh 3, 22, 29, 30, 31, 41, 47, 76, 84, 91
5, 42, 13, 22, 30, 46
4, 5, 9, 10, 11, 13, 22, 26, 30, 41, 42, 46
4, 9, 13, 22, 25, 30, 32, 46,56
5, 9, 10, 13, 22, 41, 47
Parenkim 76, 106 79, 80, 84, 91, 92
79, 80, 83, 91, 92 80, 83, 85, 91 77, 84
Jari-jari 97, 106 97, 98, 106,110, 115
96, 104 96, 98, 106 97, 98, 106
Serat 62,61, 65,. 72 61,65, 121 61,65,68 61, 69 61, 62, 66, 69
Ciri lain (inklusi mineral, sel minyak, sel ubin, sel seludang, susunan bertingkat)
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
44
Ciri Anatomi
Lingkaran tumbuh: jelas (ciri 1). Pembuluh : tata lingkar (ciri 3). Diameter
pembuluh 50-100 mikron (ciri 41); frekuensi pembuluh per-mm2 sekitar 5-20
(ciri 47). Bidang perforasi sederhana (ciri 13). Ceruk antar pembuluh selang-
seling (ciri 22), berumbai (ciri 29). Ceruk antar pembuluh dan jari-jari dengan
halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar
pembuluh (ciri 30) dan dengan halaman yang sempit sampai sederhana;
ceruk bundar atau bersudut (ciri 31). Parenkim: tersebar (ciri 76) dan
paratrakea sepihak (ciri 84). Panjang untai parenkim dua sel per untai (ciri
91). Jari-jari : lebar jari-jari 1-3 seri (ciri 97), komposisi dengan 1 jalur sel
tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal (ciri 106). Serat : jaringan serat
dasar banyak ditemukan dengan ceruk berhalaman yang jelas (ciri 62),
kadang sederhana sampai berhalaman sangat kecil (ciri 61), serat bersekat
ditemui (ciri 65). Panjang serat 1390,39 ± 87,25 mikron (ciri 72), dinding
serat umumnya 3,96 ± 1 mikron , tipis sampai tebal (ciri 69). Gambar kayu
dan struktur anatomi Premna tomentosa disajikan pada Gambar 1a-d
berikut:
C. Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis
1. Sifat fisis
Nilai rata-rata hasil pengujian sifat fisis yang meliputi kadar air, berat jenis
dan penyusutan disajikan pada Tabel 12. Dari Tabel 12 terlihat bahwa kadar
air kayu basah berkisar antara 68,303-265,6% dan kadar air kering udara
berkisar antara 9.69-13.11%. Kadar air basah tertinggi terdapat pada kiacret
dan terendah pada kayu bungbulang. Berdasarkan nilai berat jenisnya, maka
kayu bungbulang tergolong kayu sedang-berat, kayu hamirung, jaha dan
kiacret tergolong ringan. Dari hasil perhitungan kadar minimumnya (Brown et
al, 1952), maka kayu bungbulang tergolong kayu yang tenggelam,
sedangkan sisanya tergolong terapung.
45
Tabel 12. Nilai rata-rata sifat fisis 5 jenis kayu yang diteliti
Jenis kayu Kadar Air (%) Berat Jenis Berdasar
Penyusutan,%
Basah - KU Basah - KO
Basah KU Bb/Vb Bu/Vu Bo/Vo Bo/Vu Bo/Vb R T R T
Bungbulang n 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 Rata2 86,774 12,554 1,106 0,714 0,667 0,634 0,593 1,861 3,557 3,986 6,905 Min 68,303 11,952 0,986 0,642 0,599 0,570 0,534 0,651 0,483 1,456 3,889 Max 113,090 12,942 1,182 0,816 0,756 0,723 0,681 3,226 6,311 6,022 9,670 Hamirung n 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 Rata2 110,275 12,155 0,735 0,445 0,410 0,397 0,359 2,322 6,330 4,044 8,919 Min 72,033 11,570 0,626 0,278 0,258 0,248 0,217 1,307 3,562 2,423 6,202 Max 187,983 13,111 0,961 0,679 0,635 0,600 0,551 4,388 9,843 7,008 12,373 Jaha n 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 Rata2 102,681 10,459 0,838 0,484 0,457 0,438 0,415 1,741 3,539 3,463 6,354 Min 79,062 10,057 0,681 0,357 0,334 0,324 0,311 1,014 2,383 1,996 4,463 Max 129,747 10,888 0,970 0,587 0,559 0,531 0,494 2,805 5,541 5,479 10,830 Kiacret n 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 Rata2 176,128 10,495 0,732 0,328 0,301 0,297 0,267 3,344 5,695 4,500 7,639 Min 131,034 9,692 0,622 0,248 0,232 0,230 0,200 1,294 3,185 2,311 5,216 Max 265,587 11,579 0,877 0,376 0,344 0,340 0,306 6,260 8,888 7,136 10,894
Berdasarkan nilai rata-rata penyusutan tangensialnya, maka kayu
bungbuilang dan jaha tergolong mempunyai penyusutan yang agak tinggi,
sedangkan kayu hamirung dan kiacret tergolong mempunyai penyusutan
sangat tinggi. Untuk kayu-kayu dengan penyusutan yang tergolong tingg-
sangat tinggi harus dikeringkan secara hati-hati agar tidak terjadi cacat
karena pengeringan.
2. Sifat mekanis
Nilai rata-rata hasil pengujian sifat mekanis kayu bungbulang, hamirung,
jaha, kiacret dan pasang yang diuji disajikan pada Tabel 13. Tabel tersebut
menunjukkan bahwa kayu pasang merupakan kayu terkuat dibandingkan
keempat jenis kayu lainnya, dan kayu kiacret merupakan kayu yang paling
tidak kuat. Berdasarkan nilai kerapatan dan nilai rata-rata sifat mekanisnya,
maka kayu pasang tergolong kayu kelas II-I, cibungbulang tergolong kayu
kelas kuat II-III, kayu hamirung tergolong kayu kelas kuat III-IV, kayu jaha
tergolong kayu kelas kuat III-IV, kayu kiacret tergolong kayu kelas V-IV,
sedangkan kayu pasang tergolong kayu kelas kuat I-II (Oey, 1991).
46
Tabel 13. Nilai rata-rata hasil pengujian sifat mekanis kayu yang diteliti
Jenis Kayu No Ket.Lentur Statis (kg/cm2) Ket.Tekan (kg/cm2)
Ket.Geser (kg/cm2)
Ket.Belah (kg/cm) Ket.Tarik┴(kg/cm2)
Ket.Tarik // (kg/cm2)
Kekerasan(kg/cm2) Ket.Pukul (kgm/dm3)
MPL MOE MOR // ┴ R T R T R T R T Ujung Sisi R T
Bungbulang n 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Rata2 458,56 70.105,87 616,36 300,26 118,58 92,14 103,41 75,54 71,48 18,94 29,01 534,02 874,85 461,57 367,25 50,81 54,09
Min 414,11 65.560,49 523,64 196,61 90,24 75,39 93,10 58,80 59,68 12,66 20,43 196,45 603,86 395,00 280,25 40,03 43,06
Max 535,13 78.008,53 665,32 350,58 173,17 106,44 116,83 90,80 85,60 24,19 35,37 882,10 1233,72 501,00 425,50 70,48 65,56
Hamirung n 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Rata2 217,29 43.871,77 333,63 166,82 44,38 49,16 59,88 27,76 32,36 7,03 8,25 413,34 419,71 224,14 136,64 27,22 26,60
Min 144,19 27.845,78 226,87 93,40 25,93 31,60 43,36 16,91 18,64 4,15 2,67 207,41 183,67 141,00 71,00 19,20 20,27
Max 314,63 80.642,73 443,87 229,12 68,31 61,95 86,48 42,39 46,09 11,78 16,69 630,18 687,04 281,00 199,50 35,55 34,79
Jaha n 11 11 11 11 11 11 11 10 11 11 11 11 11 11 11 11 11
Rata2 282,08 72.772,62 474,60 258,21 69,06 67,47 73,61 36,22 38,28 9,06 7,30 532,00 627,84 293,23 199,41 27,14 23,69
Min 133,36 56.931,03 387,63 204,55 56,13 56,48 60,60 26,91 33,74 4,08 4,52 202,44 202,62 234,00 136,00 21,03 16,90
Max 340,47 82.733,92 548,16 305,06 82,90 85,13 82,78 41,60 46,09 14,71 11,46 928,57 902,26 325,00 246,00 39,49 31,29
Kiacret n 13 13 13 13 13 13 13 12 12 12 12 13 13 13 13 13 13
Rata2 132,08 30.982,56 252,72 120,23 29,80 39,85 39,90 21,97 24,57 5,32 6,55 250,38 244,11 171,38 124,04 27,00 30,19
Min 105,27 26.946,37 218,97 103,27 20,61 30,99 28,34 9,17 19,23 3,21 4,54 126,82 155,20 149,00 103,50 12,06 18,23
Max 156,15 34.855,77 305,39 154,59 38,56 46,64 45,56 30,84 30,29 8,11 9,77 416,09 497,76 206,00 155,75 42,95 53,95
Pasang n 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Rata2 614,85 118.656,45 802,67 449,52 199,14 105,24 114,65 61,80 86,13 60,86 67,81 837,63 1041,62 708,57 676,29 48,24 50,11
Min 494,25 89.792,48 627,06 408,23 179,18 60,81 87,96 39,84 68,39 26,46 35,17 428,12 260,96 662,00 617,50 34,86 37,79
Max 788,51 150.260,28 927,95 485,34 242,07 131,63 134,69 91,60 106,25 90,07 109,82 1293,99 1588,67 731,00 756,50 63,15 72,16
47
D. Sifat Penggergajian dan Pemesinan
Pengujian sifat pemesinan meliputi sifat pengetaman,
pembentukan, pemboran, pengampelasan dan pembubutan. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa ke lima jenis kayu menghasilkan kualitas
baiksampai sangat baik. Persentase bebas cacat dan kelas pemesinan
disajikan pada Tabel 14 dan 15.
Tabel 14. Persentase bebas cacat pemesinan 5 jenis kayu (%)
Jenis kayu Jenis cacat
Ketaman Bentukan Ampelasan Pemboran Bubutan
Bung bulang
79,00
80,25
79,25
78,15
80,25
Hamirung 62,75 73,50 78,25 58,75 79,50
Jaha 61,15 69,50 70,25 63,00 70,00
Kiacret 50,55 53,25 65,75 35,25 54,00
Pasang 74,25 79,50 80,50 72,25 71,75
Tabel 15. Kelas pemesinan 5 jenis kayu
Jenis kayu
Ketaman
Bentukan
Ampelasan
Pemboran
Bubutan
Bung bulang II II II II II
Hamirung II II II III II
Jaha II II II II II
Kiacret III III II IV III
Pasang II II II II II
Berdasarkan sifat pengerjaan dan pemesinan menunjukkan bahwa
kelima jenis kayu di atas memiliki sifat pemesinan kelas IV sampai II atau
mempunyai jelek sampai baik. Hanya pada ki acret mempunyai sifat
pengeboran yang jelek. Data persentase bebas cacat Tabel 8 dan kelas
pemesinan Tabel 9 secara umum ke lima jenis kayu yang diteliti cukup
mudah untuk dikerjakan. Berdasarkan klasifikasi ini, ke lima jenis kayu
48
termasuk kelas jelek sampai baik untuk pengerjaan pengetaman,
pembentukan, pengampelasan, pemboran, dan pembubutan. Sifat
pengetamannya menunjukkan bahwa dalam penggunaannya baik untuk
panel, daun meja, pelapis dinding, langit-langit, lantai dll. Sifat
pembentukanmenunjukkan bahwa kayu tersebut baik untuk moulding dan
barang ukiran. Sifat pemboran menunjukkan bahwa kayu baik untuk
sambungan pasak. Sifat pengampelasan menunjukkan bahwa kayu baik
untuk panel, daun meja, pelapis dinding, sedangkan sifat pembubutan
baik untuk jeruji (fence) atau barang bubutan lainnya. Di samping itu dalam
peruntukkannya (penggunaan) kelima jenis kayu tersebut, juga
diperhitungkan dengan sifat lainnya yaitu kelas kuat, kelas awet dan
sebagainya.
E. Sifat Keawetan Terhadap Serangga
Hasil pengujian terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus
Holmgreen.) dan rayap kayu kering (Cryptotermes cynochephallus Light.)
masing-masing dapat dilihat pada Tabel 16 dan 17.
Tabel 16 Pengurangan berat, jumlah rayap tanah yang hidup dan derajat proteksi
Jenis kayu Pengurangan
berat (%) Survival
(%) Derajat
serangan Kelas awet
Bung bulang 15,04 82,7 70 III
Hamirung 24,73 89,9
90 IV/V
Jaha 16,79 81,00
70 III
Kiacret 20,29 90,00
90 IV/V
Pasang 15,12 79,90 70 III
49
Tabel 17. Pengurangan berat, jumlah rayap kayu kering yang hidup dan derajat proteksi
Jenis kyu Pengurangan
berat (%) Survival
(%) Derajat
serangan Kelas awet
Bung bulang 0,33 28,0 40 II
Hamirung 1,45 54,2 70 III
Jaha 1,71 59,04 70 III
Kiacret 1,50 56,80 70 III
Pasang 0,58 23,00 40 II
Hasil pengujian lima jenis kayu terhadap rayap tanah (Coptotermes
curvignathus Holmgreen) pada Tabel 9 menunjukkan bahwa bungbulang,
jaha dan pasang termasuk kelas awet III. Sedangkan hamirung dan ki
acret termasuk kelas IV/V. Penggunaan kedua jenis kayu tersebut layak
digunakan pada tempat yang berhubungan dengan tanah harus
diawetkan.
Hasil pengujian lima jenis kayu terhadap rayap kayu kering
(Cryptotermes cynochephallus Light.) Tabel 17 menunjukkan bahwa
bungbulang dan pasang termasuk kayu kelas awet II. Penggunaan
keempat jenis kayu tersebut dalam pemakaiannya yang tidak
berhubungan tanah tidak perlu diawetkan. Sedangkan untuk hamirung,
jaha, ki acret termasuk kayu kelas III, sehingga dalam penggunaan pada
tempat yang tidak berhubungan dengan tanah perlu diawetkan.
F. Pengujian Sifat Ketahanan Terhadap Jamur
Rata-rata persentase kehilangan berat bagian dalam dan kelas
resistensi terhadap jamurdan rata-rata persentase kehilangan berat kayu
bagian tepi dan kelas resistensinya pada Tabel 18.
50
Tabel 18. Rata-rata persentase kehilangan berat kayu bagian dalam dan
kelas resistensinya
Jenis kayu
Persentase kehilangan berat kayu oleh jamur dan kelas resistansinya
Rata-rata Polyporus
sp. Pycnoporus sanguineus
Schizophyllum commune
Tyromyces palustris
Kb Kr Kb Kr Kb Kr Kb Kr Kb Kr
Bung bulang 1,30 II 5,56 III 6,00 III 2,03 II 3,72 II (II-III)
Hamirung 34,25 V 30,46 V 21,23 IV 29,86 IV 28,95 IV (IV-V)
Jaha 0,70 II 7,22 III 11,13 IV 1,55 II 5,15 III (II-IV)
Kiacret 15,06 IV 14,31 IV 6,09 III 6,82 III 10,57 III (III-IV)
Pasang 2,57 II 5,18 III 10,49 IV 5,71 III 5,99 III (II-IV)
Keterangan : Data (%) merupakan rata-rata dari lima ulangan Angka romawi
dalam kurung menunjukkan kelas resistensi kayu
Dari lima jenis kayu asal Jawa yang diteliti maka kayu Vernonia
arborea termasuk kelompok kayu tidak-tahan (kelas IV), Terminalia
arborea, Spathodea campanulata dan Querqus sundaicus termasuk
kelompok kayu agak-tahan (kelas III), dan kayu Premna tomentosa
termasuk kelompok kayu tahan (Kelas II). Kehilangan berat tertinggi
didapatkan pada kayu Vernonia arborea yang diumpankan pada biakan
jamur Polyporus sp. Sedangkan kehilangan berat terendah terjadi pada
kayu Terminalia arborea yang diumpankan pada biakan jamur Polyporus
sp.
G. Ketahanan Terhadap Penggerek Kayu di Laut
Hasil pengujian lima jenis kayu yang dipasang di perairan Pulau
Rambut selama 6 bulan tertera pada Tabel 19.
51
Tabel 19. Intensitas serangan penggerek kayu di laut terhadap 5 jenis kayu
Jenis kayu
Berat Jenis
Intensitas serangan
Jenis penggerek Kelas awet Teredinidae Pholadidae
Bung bulang 0,71 10 + + II
Hamirung 0,38 20 + + II
Jaha 0,78 12 + + II
Kiacret 0,29 15 + + II
Pasang 0.83 5 + - II
Keterangan: - = tidak ada serangan: + = sedikit
Pengujian keawetan kayu terhadap penggerek di laut dilakukan di
Pulau Rambut Kepulauan Seribu. Pantainya berkarang, salinitas perairan
pada waktu pemasangan contoh uji 30 per mil, tinggi gelombang sampai
0,5 m lebih, temperatur 29oC, angin 180 m/mt, arus 0,70 m/det, pasang
surut 1,0 m, Ph 8 dan BOD 21,15. Waktu pengambilan contoh uji,
salinitasnya 29 per mil, tinggi gelombang sampai 1,0 m lebih, temperatur
29oC, angin 227 m/mt, arus 0,75 m/det, pasang surut 1,0 m, Ph 8 dan
BOD 21,5. Kondisi yang demikian sangat menguntungkan bagi
perkembangan organisme penggerek di laut.
Pengujian kelima jenis kayu di laut baru berjalan 4 bulan, ternyata
kelima jenis kayu tahan terhadap organisme perusak di laut atau termasuk
kelas awet II. Intensitas serangan dari kelima jenis kayu dapat dilihat pada
Tabel 16. Jenis organisme penggerek yang menyerang yaitu Martesia
striata Linne. dari famili Pholadidae dan Teredo sp. dari famili Teredinidae.
Pada waktu yang bersamaan telah dicoba pula pada jenis-jenis
kayu tersebut yang telah diperlakukan dengan pengawetan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa semua kayu yang diawetkan dengan
tembaga-khrom-boron (CCB) 3% melalui proses vakum tekan (sel penuh).
Vakum awal yang diberikan 50 cm Hg selama 15 menit, tekanan 10 atm
selama 120 menit dan vakum akhir 15 menit. Hasil pengamatan selama 6
bulan direndam di laut, ternyata tidak mendapat serangan dari penggerek
52
kayu. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil pengawetan dengan bahan
pengawet CCB dapat menahan serangan penggerek kayu di laut.
H. Sifat Keterawetan
Bahan pengawet yang dipakai yaitu CCB dengan metode vakum
tekan. Hasil rata-rata retensi, penembusan dan kelas keterawetan kelima
jenis kayu yang diuji tercantum pada Tabel 20.
Tabel 20 Kelas keterawetan bahan pengawet CCB terhadap lima jenis
kayu
Jenis kayu
Rata-rata Kelas
Kadar Air (%)
Retensi (kg/m²)
Penembusan (%)
Keteawetan
Bung bulang
16,39
7,94
77,91
II (Sedang)
Hamirung 19,76 14,93 100 I (Mudah)
Jaha 20,80 12,73 100 I (Mudah)
Kiacret 25,00 19.05 100 I (Mudah)
Pasang 16,05 4,60 65.99 II (Sedang)
Rata-rata retensi, penembusan dan serta kelas keterawetan kelima
jenis kayu tercantum pada Tabel 17. Retensi yang dicapai pada kayu ki
bungbulang, hamirung, jaha, ki acret dan pasang masing-masing 7,94
kg/m3, 14,93 kg/m3, 12,73 kg/m3, 19,05 kg/m3 dan 65,99 kg/m3,
sedangkan penetrasi bahan pengawet pada bungbulang dan pasang yaitu
77,91 dan 65,99, keduanya termasuk kelas keterawetan II. Penetrasi pada
hamirung, jaha dan ki acret masing-masing 14,93 kg/m3, 12,73 kg/m3 dan
19,05 kg/m3. Retensi dan penetrasi pada hamirung, jaha dan ki acret
sudah memenuhi standar SNI 01-5010-1999 pengawetan untuk digunakan
di luar atap dan dapat diawetkan bersama-sama. Untuk bungbulang dan
pasang belum memenuhi standar, oleh karena itu masih perlu
penambahan waktu vakum sehingga retensi dan penetrasinya dapat
bertambah.
53
I. Sifat Pengeringan
Hasil percobaan pengeringan suhu tinggi kelima jenis kayu, tampak
dalam Tabel 21.
Tabel 21. Sifat pengeringan suhu tinggi 5 jenis kayu
Jenis kayu
Kadar air awal
(%)
Klasifikasi cacat pengeringan Sifat pengeringan
Retak/pe-cah awal
Perubahan bentuk
Pecah dalam
Bungbulang
66- 84 (70)
3 - 4
3 – 4
3 – 4
Agak baik- sedang
Hamirung 95-111 (104) 2 – 3 3 – 5 2 Agak baik–agak buruk
Jaha 52–83 (71) 2 – 3 2 – 3 2 Baik- agak baik
Kiacret 109-145 (133) 2 6 - 7 2 – 3 Buruk-sangat buruk
Pasang 41-60 (50) 6 - 7 6 - 7 5 - 6 Buruk-sangat buruk
Data di atas merupakan rata-rata pengamatan dari 6 contoh uji; klasifikasi sifat pengeringan berdasarkan cacat terparah Keterangan : 1= sangat baik; 2 = baik; 3 = agak baik; 4 = sedang; 5 = agak buruk; 6 = buruk; 7= sangat buruk
Kayu bungbulang termasuk kayu keras dan berwarna kuning cerah.
Perubahan bentuknya berupa memangkuk pada arah lebar kayu (cup)
dan sedikit menggelinjang (twist). Kadar air kayu bervariasi, sehingga sifat
pengeringannyapun bervariasi mengikuti kadar air awal. Makin basah kayu
makin besar tingkat kerusakan kayu.
Kayu hamirung termasuk kayu ringan. Perubahan bentuknya berupa
memangkuk pada arah lebar kayu (cup) dan sedikit menggelinjang (twist).
Kadar air kayu bervariasi, sehingga sifat pengeringannyapun bervariasi
mengikuti kadar air awal. Makin basah kayu makin besar perubahan
bentuknya pada arah lebar kayu.
Kayu jaha termasuk kayu ringan. Sewaktu dikeringkan, keluar cairan
berwarna cokelatdi ujung dan permukaan kayu sehingga permukaan kayu
tampak kotor. Perubahan bentuknya berupa memangkuk pada arah lebar
54
kayu (cup). Dari kelima jenis kayu yang diteliti, kayu jaha memiliki sifat
pengeringan yang terbaik (klasifikasi agak baik sampai baik).
Kayu kiacret termasuk kayu ringan. Perubahan bentuknya berupa
memangkuk pada arah lebar kayu (cup) yang sangat parah. Kadar air
kayu bervariasi, sehingga sifat pengeringannyapun bervariasi mengikuti
kadar air awal. Makin basah kayu makin besar tingkat kerusakan kayu.
Kayu kipasang sangat keras dan liat. Kayu tersebut termasuk sulit
dikeringkan. Pada percobaan pengeringan dengan suhu tinggi, kayu
kipasang mengalami pecah permukaan, pecah dalam, dan perubahan
bentuk yang sangat parah. Dari kelima jenis kayu yang diteliti, kayu kiacret
dan kipasang memiliki sifat pengeringan terburuk, terutama kayu kipasang
sangat sulit dikeringkan.
J. Sifat Pengkaratan
Pengkaratan logam ditunjukkan oleh adanya pengurangan berat
sekrup pada kayu. Hasil pengamatan sifat korosif sekrup pada contoh uji
kayu asal Jawa tahun 2013 selama 12 bulan pemasangan dapat dilihat
pada Tabel 22. Lima jenis kayu tersebut memiliki sifat karat terhadap
sekrup logam. Intensitas pengkaratan besi yang ditandai oleh variasi
pengurangan berat sekrup tersebut. Intensitas pengkaratan besi tertinggi
yang ditunjukkan oleh pengurangan berat sekrup pada kayu ki pasang
(Prunus javanica) kemudian diikuti ki bugang (Ficus ampelas). Intensitas
pengkaratan besi umumnya rendah (kurang dari 1%).
Pelunturan karat terjadi hanya pada kayu ki bugang dan kilampir
termasuk kriteria sangat sedikit (+), pada kayu sempur lilin, cangcaratan
dan ki pasang tidak ditemukan pelunturan karat dipermukaan contoh uji
kayu. Ke lima jenis kayu ini tidak ditemukan pengkaratan dipermukaan
pentolan sekrup.
55
Tabel 22. Rata-rata pengurangan berat sekrup pada kayu asal Jawa tahun 2013 selama 12 bulan pemasangan (Hasil tahun lalu)
No.
Jenis kayu Pelunturan karat di permukaan kayu
Karat pada kepala sekrup
Kehilangan berat sekrup (%)
1 Bungbulang + - 0,93
2 Hamirung - - 0,89
3 Jaha - - 0,53
4 Kiacret - - 1,01
5 Pasang + - 0,55
Keterangan:+=sangat sedikit, ++=sedikit, +++=sedang, ++++=banyak, -=tidak ada
Hasil pengamatan sifat korosif kayu asal Jawa tahun 2014 terhadap
sekrup dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Rata-rata pengurangan berat sekrup pada kayu asal Jawa tahun
2014 selama 12 minggu pemasangan
No Jenis kayu Pertumbuh-an
mikro-organisme
Pelunturan karat di
permukaan kayu
Karat pada
kepala sekrup
Kehilangan berat sekrup
(%)
1 Bungbulang + - - 0,0004
2 Hamirung - - - 0,0003
3 Jaha + - - 0,0004
4 Kiacret - - - 0,0003
5 Pasang + - - 0,0002
Keterangan: +=sangat sedikit, ++=sedikit, +++=sedang, ++++=banyak, - = tidak ada
Pada masa inkubasi 12 minggu sejak pemasangan sekrup,
didapatkan pertumbuhan jamur kapang (mold) di permukaan jenis kayu
bungbulang, jaha dan pasang. Ini menunjukan bahwa di dalam botol jam
tersebut lembab, sehingga contoh uji menjadi lembab dan jamur kapang
(mold) dapat tumbuh. Pada masa inkubasi 12 minggu sejak pemasangan
56
sekrup, kelunturan warna sekrup logam di permukaan kayu tidak
ditemukan pada ke lima jenis kayu tersebut. Demikian pula proses
pengkaratan yang ditandai dengan perubahan warna pada kepala
(pentolan) sekrup dari putih menjadi coklat kotor atau warna lainnya belum
terlihat. Intensitas pengkaratan besi belum terjadi, yang ditandai oleh
pengurangan berat sekrup tersebut nol (belum ada).
K. Sifat Venir dan Kayu Lapis
Kelas awet dan kelas kuat menurut Oey 1990, jenis kayu yang
diteliti ditampilkan pada Tabel 24, data dolok yang dikupas pada Tabel 25,
tebal venir pada Tabel 26, sifat fisis venir pada Tabel 27, pengurangan
tebal dalam pembuatan kayu lapis pada Tabel 28, dan keteguhan rekat
kayu lapis pada Tabel 29.
Tabel 24. Berat jenis, kelas awet dan kelas kuat (Oey, 1990)
Jenis kayu Berat Jenis Kelas
Awet Kuat
Bungbulang 0,58 II-IV II
Hamirung 0,38 IV IV
Jaha 0,47 III III
Kiacret 0,39 V IV
Pasang 0.85 III II
Berdasarkan Tabel 24 dapat dikemukakan bahwa berat jenis kayu
yang diteliti berkisar antara 0,30 sampai dengan 0,68 dengan rata-rata
0,54. Data pengupasan dolok yang dipakai dalam penelitian ini ukurannya
relatif kecil, yaitu dengan diameter rata-rata 39,2 cm (37-42 cm) sehingga
rendemennya pun relatif rendah yaitu rata-rata 64% (60-66%). Diameter
kayu sisa kupasan rata-rata 12-16 cm, karena cakar yang dipakai dalam
pengupasan ini 10 cm. Limbah berupa sisa kupasan ini rata-rata 11,9%
(9,45-14,5%). Karena diameter kayu sisa kupasan ini tidak bervariasi
banyak, maka persentase limbah berupa sisa kupasan ini meningkat
dengan meningkatnya diameter kayu. Diameterr sisa kupasan kayu ki
57
langir mencapai 16 cm karena adanya cacat di bagian dalam dolok yaitu
lubang, lapuk dan pecah.
Tabel 25. Data dolok yang dikupas
Jenis Kayu
Dia-meter
(cm)
Pan-jang (cm)
Pengurangan
diameter (cm/m)
Perbandingan
diameter d - min. d-max.
Rendemen Venir (%)
Kayu sisa kupasan limbah vinir (%)
Diameter
(cm)
% Volume dari dolok
Pengupasan awal (%)
Lainnya (%)
Bungbulang 37 125 0,83 0,93 65 12 10,49 10 10,1
Hamirung 39 125 0,84 0,92 66 12 9,45 9,55 10,33
Jaha 38 125 0,82 0,92 64 13 11,65 9,9 10,03
Kiacret 40 125 0,85 0.94 63 14 13,30 10,1 10,07
Pasang 42 126 0,83 0,91 60 16 14,5 9.8 11,05
Tabel 26. Tebal venir
Jenis kayu Tebal
kupasan (mm)
Sudut kupas
Tebal venir
Mutu venir Tebal
rerata (mm)
Simpangan tebal
pengupasan (mm)
Simpangan baku
Koefisien keragaman
(%)
Bungbulang 1,5 91o30’ 1,51 0,65 0,009 1,85 B
Hamirung 1,5 91o 1,51 0.65 0,09 1,85 B
Jaha 1,5 92o 1,51 0.65 0,09 1,85 B
Kiacret 1,5 90o 1,52 1,30 0,012 3,5 B
Pasang 1,5 91o 1,51 0,7 0,010 1,92 B
58
Tabel 27. Sifat fisis venir
Jenis kayu Kadar air Berat
jenis venir
Penyusutan (%)
Pengembangan (%)
Perband tinggi tumpukan dengan jumlah tebal venir
Basah (%)
Kering udara (%)
Bungbulang 62 12,3 0,40 5,4 2,3 2,5
Hamirung 59 11,9 0,58 5,0 2,1 2,3
Jaha 61 12,2 0,47 5,3 2,2 2,1
Kiacret 55 11,4 0, 63 4,6 1,7 1,7
Pasang 53 11,8 0,65 4,5 1,4 2,3
Tabel 28. Pengurangan tebal dalam pembuatan kayu lapis
Jenis kayu
Pengurangan tebal (mm)
Berat jenis Selisih a-b
venir Tripleks a Kayu b
Bungbulang 0,50 0,46 0,51 0,47 0,04
Hamirung 0,47 0,58 0,61 0,59 0,02
Jaha 0,49 0,47 0,51 0,48 0,03
Ki acret 0,40 0,63 0,66 0,65 0,01
Pasang 0,30 0,65 0,70 0,63 0,07
Tabel 29. Keteguhan rekat kayu lapis
Jenis kayu
Indonesia (SNI) Jepang (JAS) Jerman (DIN 68705) Teguh rekat
(kg/cm2) Kerusakan kayu (%)
Teguh rekat (kg/cm2)
Kerusakan kayu (%)
Teguh rekat (kg/cm2)
Kerusakan kayu (%)
X S X Rata-rata
Minim um X S X
Rata-rata
Minim um X S X
Rata-rata
Minim um
Bungbulang 8,7 0,55 55,3 26 8,5 0,50 49,1 24,3 12,7 0,49 47,2 25,0
Hamirung 10,6 0,58 56,7 27 10,4 0,55 52,2 26,5 13,0 0,53 50,0 27,7
Jaha 9,5 0,57 56,2 27 9,3 0,52 50,3 25,7 12,9 0,50 49,3 26,9
Kiacret 11,8 0,61 60,5 29 11,5 0,57 55,0 30,0 13,7 0,54 52,0 29,9
Pasang 11,3 0,57 60,3 27 10,8 0,54 60,0 27,2 13,3 0,53 58,0 28.0
59
Limbah berupa venir dibedakan antara yang terjadi pada awal
pengupasan yaitu sampai bentuk dolok menjadi silindris dan yang terjadi
karena sobek yaitu pada saat pemotongan venir serta yang dihasilkan dari
bagian tepi dolok. Limbah awal pengupasan besarnya rata-rata 14,59%
(13,30-15,70%) tergantung pada pengurangan diameter, perbandingan
diameter dan bentuk doloknya, maka limbah awal pengupasan pada kayu
ki langir mencapai 15,70%. Perbandingan diameter menunjukkan silindris
atau tidaknya dolok. Makin rendah angka ini makin makin silindris dolok
yang dipakai pada penelitian ini. Berdasarkan data dalam Tabel 25
pengaruh perbandingan diameter ternyata tidak begitu jelas, karena
sebagian besar mempunyai perbandingan diameter di atas 0,90.
L. Sifat Kimia dan Nilai Kalor
Hasil analisis komponen kimia disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30. Hasil analisis komponen kimia lima jenis kayu
Jenis kayu Lignin
(%) Pentosan
(%) Selulosa
(%)
Kelarutan ekstraktif (%) Air (%)
Abu (%)
Silika (%)
Air dingin
Air panas
Alkohol bensin
NaOH 1%
Bungbulang 30,27 16,06 57,12 10,12 11,00 7,85 11,39 7,75 2,18 0,452
Hamirung 34,38 18,07 51,10 3,78 5,07 3,61 10,67 8,36 1,04 0,173
Jaha 33,18 14,55 61,35 5,52 8.16 2,25 15,52 7,98 1,14 0,181
Kiacret 31,73 15,47 54,27 4,34 6,58 2,13 6,73 9,21 1,79 0,105
Pasang 35,14 16,46 60,19 2,35 7,32 3,55 15,90 8,19 0,73 0,502
1. Selulosa
Kadar selulosa berkisar antara 51,10%-60,19% (Tabel 30). Kadar selulosa
terendah terdapat pada kayu hamirung dan kadar yang tertinggi terdapat
pada kayu pasang. Kadar selulosa yang rendah memberi gambaran
bahwa bubur kayu yang dihasilkan akan rendah. Apabila dilihat dari kadar
selulosa saja, maka semua jenis kayu yang diteliti baik untuk dijadikan
sebagai bahan baku pembuatan pulp, karena kadar selulosanya relatif
tinggi (ASTM, 2001).
60
2. Lignin
Kadar lignin berkisar antara 30,27%–35,14% (Tabel 30). Kadar lignin
terendah terdapat pada bungbulang dan yang tertinggi terdapat pada
pasang. Tingginya kadar lignin akan berpengaruh pada banyaknya
pemakaian bahan kimia. Apabila dihubungkan dengan klasifikasi
komponen kimia kayu Indonesia untuk kayu daun lebar (ASTM, 2006),
maka semua jenis kayu termasuk ke dalam kelas sedang karena
kandungan ligninnya ada diantara 18%-33%. Didasarkan atas kandungan
lignin yang dikaitkan dengan proses pengolahan pulp, maka kayu dengan
kadar lignin lebih dari 30% lebih baik menggunakan proses mekanik dalam
pembuatan bubur kayunya, apabila kadar ligninnya kurang dari 30%
proses pembuatan bubur kayu sebaiknya menggunakan semi kimia atau
kimia (ASTM, 1980).
3. Pentosan
Kadar pentosan berkisar antara 14,55%–18,07% (Tabel 30). Kadar
pentosan yang terendah terdapat pada jaha dan yang tertinggi terdapat
pada hamirung. Kadar pentosan yang rendah sangat diharapkan dalam
pembuatan pulp untuk rayon dan turunan selulosa. Kandungan pentosan
yang tinggi dapat menyebabkan kerapuhan benang rayon yang dihasilkan.
Apabila dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia daun lebar
Indonesia (ASTM, 1980), maka semua jenis kayu yang diteliti termasuk ke
dalam kelas dengan kandungan pentosan yang rendah karena kadarnya
kurang dari 21%, sehingga semua jenis kayu cukup baik untuk dijadikan
sebagai bahan baku untuk pembuatan pulp.
4. Ekstraktif
Kelarutan dalam air dingin, air panas, dan alkohol benzen masing-masing
berkisar antara 2,35%–10,12%; 5,07%–11,09% dan 2,13%–7,85% (Tabel
30). Komponen yang terlarut dalam air dingin adalah tanin, gum,
karbohidrat dan pigmen, sedangkan yang terlarut dalam air panas adalah
sama dengan yang terlarut dalam air dingin tetapi dengan kadar zat yang
terlarut lebih besar. Khusus untuk kelarutan dalam alkohol benzen, apabila
dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia daun lebar Indonesia
(ASTM, 1980) maka semua jenis kayu termasuk ke dalam kelas
sedang. Kelarutan dalam NaOH 1% berkisar antara 6,73%–15,90% (Tabel
61
30). Kelarutan dalam NaOH 1 % ini memberikan gambaran adanya
kerusakan kayu yang diakibatkan oleh serangan jamur pelapuk kayu atau
terdegradasi oleh cahaya, panas dan oksidasi. Semakin tinggi kelarutan
dalam NaOH, tingkat kerusakan kayu juga meningkat dan dapat
menurunkan rendemen pulp (ASTM, 1980). Kelarutan dalam NaOH 1 %
terendah terdapat pada kayu ki acret dan yang tertinggi terdapat pada
kayu pasang
5. Abu dan Silika
Kadar abu dan silika yang diteliti berkisar antara 0,73%-2,18% dan
0,105%-0,502% (Tabel 30). Kadar abu yang terendah terdapat pada ki
pasang, sedangkan kadar abu yang tertinggi terdapat pada sempur lilin,
kadar silika terendah terdapat pada ki bugang dan kadar tertinggi pada
sempur lilin, bila dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia kayu
daun lebar Indonesia, maka jenis kayu yang diteliti termasuk ke dalam
kelas dengan kandungan abu sedang, karena kadarnya ada diantara
0,2%-6 %. Komponen yang terdapat dalam abu diantaranya adalah K2O,
MgO, CaO dan Na2O. Kadar abu yang tinggi tidak diharapkan dalam
pembuatan pulp, karena dapat mempengaruhi kualitas kertas. Sedangkan
besarnya kadar silika dalam kayu dapat mempercepat proses penumpulan
bilah mata gergaji kayu.
Hasil destilasi kering nilai kalor dari lima jenis kayu disajikan pada
Tabel 31.
Tabel 31 Hasil destilasi kering dan nilai kalor lima jenis kayu
Jenis kayu Kadar
air (%)
Hasil arang (gr)
Hasil ter (gr)
Berat contoh
(gr)
Rendemen (%) BJ
(gr/cm3) Arang Ter
destilat Cairan
Bungbulang
31,11
664
86
2.290
36,14
4,68
58,34
0,581
Hamirung 25.84 363 80 1.947 23,46 5,17 69,80 0,372
Jaha 26,47 507 76 2.095 30,60 4,58 60,00 0,470
Kiacret 28,88 246 56 1.505 24,53 4,64 76,74 0,203
Pasang 24,73
562
125 2.478
30,04
6,68
62,16
0,850
62
Rendemen arang berkisar antara 23,46%–36,14%. Rendemen
arang terendah terdapat pada kayu hamirung dan yang tertinggi pada kayu
bungbulang. Rendemen ter berkisar antara 4,58%-6,68% (Tabel 31).
Rendemen ter terendah terdapat pada jaha, sedangkan tertinggi pada
pasang.. Komponen utama yang terdapat dalam ter adalah phenol dan
turunannya seperti guaiacol; cresol; 2,6-xylenol; 3,5-xylenol; 4-propil
syrtingol yang dapat digunakan sebagai insektisida.
Rendemen cairan destilat berkisar antara 58,34%-69,80% (Tabel
31). Rendemen cairan destilat terendah terdapat pada bungbulang dan
yang tertinggi pada hamirung. Tingginya kandungan cairan destilat ini
disebabkan oleh besarnya kandungan hemiselulosa dari kayu tersebut.
Komponen kimia yang pertama terurai secara radikal adalah selulosa yaitu
pada suhu 2000 C menghasilkan produk utama asam asetat. Selain itu
besarnya kandungan cairan destilat mungkin disebabkan oleh besarnya
kadar air dari kayu tersebut yang selama proses pemanasan akan
menguap dan mengembun kembali ke dalam kondensor, sehingga volume
cairan destilat yang dihasilkan akan bertambah. Selain itu besarnya kadar
cairan destilat ini menggambarkan banyaknya asam asetat dalam kayu
tersebut. Komponen utama yang terdapat dalam cairan destilat adalah
asam asetat, asam butirat, asam crotonat, etil phenol, acetovanilon,
furfural, pentan-5-olide.
Berat jenis kayu berkisar antara 1,505–2,478 g/cm3 (Tabel 31).
Berat jenis terendah terdapat pada ki acret dan yang tertinggi pada
pasang. Besar kecilnya berat jenis sangat dipengaruhi oleh umur, topografi
tempat tumbuh dan komposisi kimia dari kayu tersebut yang kesemuanya
akan sangat mempengaruhi kualitas arang semakin tinggi berat jenis kayu,
kualitas arang yang dihasilkan akan lebih baik. Kadar air arang berkisar
antara 1,43%-3,24% (Tabel 31). Kadar air terendah terdapat pada pasang
dan yang tertinggi pada hamirung Besar kecilnya kadar air ini banyak
dipengaruhi oleh sifat higroskopis dan porositas dari arang tersebut, juga
dipengaruhi oleh lamanya proses pendinginan dalam retor selama 24 jam.
Sifat fisika dan kimia arang disajikan pada Tabel 31. Kadar zat
terbang arang berkisar antara 17,05%-22,33% (Tabel 31). Kadar zat
terbang terendah terdapat pada arang ki acret yang tertinggi pada
63
bungbulang. Besarnya kadar zat terbang ini disebabkan oleh banyaknya
senyawa seperti CO, H2, CH4, CO2 yang tidak sempat menguap pada
waktu proses karbonisasi, sehingga senyawa tersebut menempel pada
permukaan arang. Apabila dilihat dari kadar zat terbang yang dihasilkan,
maka kelima jenis arang kayu yang diteliti dapat dipakai untuk peleburan
biji besi bila kadar zat terbangnya ada diantara 15%–26%.
Sifat fisika dan kimia arang lima jenis kayu disajikan pada Tabel 32.
Kadar abu arang berkisar antara 1,58%-2,80% (Tabel 31). Kadar abu
terendah terdapat pada hamirung yang tertinggi pada 2,80. Apabila dilihat
dari kadar abu saja, maka kelima jenis arang kayu yang diteliti memenuhi
standar untuk dijadikan arang aktif, karena kadar abunya tidak kurang dari
4%. Besarnya kadar abu sangat dipengaruhi oleh garam-garam karbonat
dari kalium, kalsium, magnesium dan kadar silikat dalam kayu.
Tabel 32 Sifat fisika dan kimia arang lima jenis kayu
Jenis kayu
Kadar (%) Nilai kalor kayu
(kal/g)
Nilai kalor arang (kal/g)
Air Abu Zat
terbang*) Karbon terikat
Ter Cairan
Bungbulang
2,46
3,53
19,37
77,11
6,1
39,55
4.378
6.472
Hamirung 5,54 2,24 20,00 77,76 6,1 54,59 4.317 6.333
Jaha 5,56 1,96 18,19 79,85 7,5 40,34 4.427 6.500
Kiacret 5,64 1,40 21,16 77,44 5,8 54,26 4.305 6.476
Pasang 5,00 1,25 20,17 78,58 7,1 47,86 4.375 6.532
Kadar karbon terikat arang berkisar antara 74,85%-80,64% (Tabel
32). Kadar karbon terendah terdapat pada bungbulang dan yang tertinggi
pada arang kayu pasang. Besar kecilnya kadar karbon terikat banyak
dipengaruhi oleh kadar abu dan zat terbang serta senyawa hidrokarbon
yang masih menempel pada permukaan arang. Apabila dilihat dari kadar
karbon yang dihasilkan, maka kelima jenis kayu yang diteliti dapat dibuat
sebagai bahan arang aktif, karena kadar karbonnya lebih dari 70% (ASTM,
2006). Kayu bungbulang, hamirung, jaha, ki acret, dan pasang mempunyai
nilai kalor arang 6.241 kal/g, 6.130 kal/g, 6.243 kal/g, 5.915 kal/g dan
64
6.668 kal/g. Sedangkan nilai kalor kayu 4.338 kal/g, 4.138 kal/g, 4.332
kal/g, 4.072 kal/g dan 4.490 kal/g memenuhi standar SNI untuk arang aktif.
M. Sifat dan Pengolahan Pulp untuk Kertas
Sifat pengolahan pulp untuk kertas yang diamati dalam penelitian ini
meliputi konsumsi alkali dan bilangan kappa sebagaimana disajikan pada
Tabel 33 di bawah ini.Konsumsi alkali adalah banyaknya pemakaian
bahan kimia pemasakan selama proses pemasakan (dengan sulfat atau
soda). Konsumsi alkali yang dikehendaki diusahakan serendah mungkin.
Kalau konsumsi alkali tinggi perlu dipertimbangkan melakukan daur ulang
bahan kimia. Dalam penelitian ini, konsumsi alkali yang tinggi adalah kayu
bungbulang dan hamirung, sedangkan konsumsi alkali terendah adalah
Jaha. Konsumsi alkali tinggi biasanya disebabkan karena kayu tersebut
memiliki berat jenis tinggi, kadar lignin tinggi dan ekstraktif tinggi.
Tabel 33. Konsumsi alkali dan bilangan kappa dan rendemen pada 5 jenis kayu
No. Kode Contoh Konsumsi
Alkali Rata-rata
Bilangan Kappa
Rata-rata
Rendemen (%)
1. Bungbulang
14,44 14,44
48,76 48,87 23,63
14,44 48,97
2. Hamirung
14,44 14,44
62,08 61,5 42,38
14,44 60,92
3. Jaha
12,88 12,88
45,32 45,53 24,94
12,88 45,74
4. Ki acret
13,66 13,66
34,88 34,30 29,27
13,66 33,71
5. Pasang
13,66 13,66
42,67 42,47 32,25
13,66 42,27
Proses pembuatan pulp : Proses kimia sulfat Teknik pemasakan : Pemasakan sejenis Alat pemasakan : Rotary Digester
Kondisi pemasakan pulp:
Alkali aktif : 16% Sulfiditas : 22,5%
Suhu maksimum : 170C
Wood to Liquor (W:L) : 1:4 Waktu pemasakan : 2 + 2 jam
65
Bilangan kappa menunjukkan indikasi sisa lignin dalam pulp. Untuk
pembuatan kertas, bilangan kappa yang dikehendaki adalah serendah
mungkin, karena terkait dengan kebutuhan bahan pemutih. Bilangan
kappa tinggi indikasi kadar lignin dan ekstraktif tinggi. Dalam penelitian ini,
rata-rata bilangan kappa kayu kiacret lebih rendah dari bilangan kappa
kayu yang lain. Akan tetapi, walaupun nilai bilangan kappa kayu kiacret
lebih rendah dari yang lain, nilai bilangan kappa 34,30 masih tergolong
tinggi. Dimana bilangan kappa kayu daun yang mudah diputihkan
biasanya berkisar 13-15 (Mimms dalam Tjahjono dan Sudarmin,1993),
selain itu rendemen yang dihasilkan juga rendah. Pulp dengan bilangan
kappa tinggi berindikasi kondisi proses pulping kurang kuat (konsentrasi
kurang tinggi, waktu kurang lama, suhu pemasakan kurang tinggi, atau
kombinasi ketiga faktor tersebut kurang keras). Ini mungkin disebabkan
kayunya memiliki berat jenis tinggi, berkadar lignin dan ekstraktif tinggi.
Pulp dengan bilangan kappa tinggi (>35) lebih sesuai untuk pembuatan
kertas tidak diputihkan atau memang dikehendaki kekakuannya tinggi
(akibat sisa lignin). Juga pulp dengan bilangan kappa > 35, kalau
diputihkan jangan dengan bahan pemutih seperti Cl2 atau CLO2 (di mana
kestabilan warna putih pulp tinggi untuk kertas2 tujuan tulis
menulis/cetak/penggunaan permanen), tetapi lebih baik diputihkan dengan
bahan pemutih untuk stabilisasi gugusan warna saja (misal H2O2, Na2O2,
Na2SO3, NaBH4) misal untuk kertas koran pamflet, kertas pengumuman
yang sifatnya temporer.
Konsumsi alkali adalah banyaknya pemakaian bahan kimia
pemasakan selama proses pemasakan (dengan sulfat atau soda).
Konsumsi alkali yang dikehendaki diusahakan serendah mungkin. Kalau
konsumsi alkali tinggi perlu dipertimbangkan melakukan daur ulang bahan
kimia. Konsumsi alkali tinggi biasanya disebabkan karena kayu tersebut
memiliki berat jenis tinggi, kadar lignin tinggi dan ekstraktif tinggi. Dalam
penelitian ini, rata-rata konsumsi alkali sampel kayu jaha memiliki nilai
konsumsi alkali yang paling rendah, akan tetapi memiliki nilai rendemen
yang rendah juga.
66
Rendemen yang dikehendaki adalah yang tertinggi. Kandungan
selulosa yang tinggi berpotensi memiliki rendemen yang tinggi (dalam hal
kondisi pemasakan yang sama). Dalam penelitian ini, rata-rata rendemen
kayu dengan kode sampel kayu hamirung lebih tinggi dari rendemen kayu
yang lain. Akan tetapi memiliki rata-rata bilangan kappa yang paling tinggi.
Rendemen pulp kimia tersaring (tidak diputihkan) sekitar 40-45%. Kalau
rendemen pulp terlalu rendah (<40%) dengan reject rendah pula, indikasi
bahwa pengolahan pulp (kondisi pemasakan kayu) terlalu keras, sehingga
banyak fraksi karbohidrat (selulosa & hemiselulosa) terdegradasi.
Sebaliknya kalau rendemen pulp terlalu rendah (<40%), tetapi rejectnya
terlalu tinggi, indikasi pulpnya kurang matang (kondisi pemasakannya
kurang keras). Nilai rendemen pulp berpengaruh pada operasi komersial
pabrik pulp/kertas, semakin tinggi rendemen tersaring & reject rendah,
maka mutu pulp/kertas semakin baik & keuntungan finansial pabrik makin
besar
Dalam penelitian ini, hampir semua sampel kayu tidak ada yang
cukup bagus untuk dijadikan kertas berdasarkan pengujian konsumsi
alkali, bilangan kappa dan rendemen. Untuk melihat pulp yang baik untuk
dibentuk lembaran harus diuji juga sifat fisik lembarannya, tidak cukup
hanya melihat data bilangan kappa, konsumsi alkali dan rendemennya.
67
BAB V
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Kayu bungbulang, hamirung, jaha dan kiacret pada bagian teras dan
gubal sulit dibedakan dan berwarna terang. Pada kayu pasang
bagian teras berwarna gelap, sedangkan bagian gubal berwarna
terang dengan jelas dapat dibedakan. Bungbulang mempunyai
parenkim paratrakea aliform, hamirung dan jaha aksial paratrakea
vaskisentrik, sedangkan kiacret dan pasang parenkim apotrakeal
tersebar.
2. Kayu bungbulang, jaha dan pasang mempunyai penyusutan agak
tinggi, sedangkan hamirung dan ki acret mempunyai penyusutan
sangat tinggi.
3. Kayu pasang, bungbulang bisa dimanfaatkan untuk kayu konstruksi,
sedangkan kayu hamirung dan jaha untuk konstruksi ringan dan
kiacret bisa dimanfaatkan untuk barang kerajinan, panel kayu atau
bahan lain yang tidak mensyaratkan kekuatan. Kayu pasang
merupakan kayu terkuat dibandingkan keempat jenis kayu lainnya
(kelas kuat II-I) dan tahan terhadap penggerek di laut kemungkinan
layak digunakan sebagai komponen kapal.
4. Pengujian keteguhan rekat kayu lapis, kelima jenis kayu tersebut
memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), Jepang (JAS) dan
Jerman (DIN),
5. Kelima jenis kayu kurang bagus untuk digunakan sebagai bahan
baku untuk pulp dan kertas.
68
B. Saran
Kayu pasang dan bungbulang direkomendasikan untuk kayu
substitusi yang digunakan di laut.
DAFTAR PUSTAKA
ASTM (American Society for Testing and Material).1980. Annual book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia.
ASTM (American Society for Testing and Material). 2006. ASTM D 1106-96 (Reapproved 2001). Standar Test Method for Acid-Insoluble Lignin in Wood. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia.
ASTM (American Society for Testing and Material). 2006. ASTM D 1102-84 (Reapproved 2001). Standar Test Method for Ash in Wood. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia.
ASTM (American Society for Testing and Material), 2006. ASTM D 1107-96 (Reapproved 2001). Standar Test Method for Ethanol-Toluene Solubility of Wood. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia.
ASTM (American Society for Testing and Material), 2006. ASTM D 1110-84 (Reapproved 2001). Standar Test Method for Water Solubility of Wood. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia.
ASTM (American Society for Testing and Material). 2006. ASTM D 1109-84 (Reapproved 2001). Standar Test Method for 1% Sodium Hydroxide Solubility of Wood. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia.
ASTM (American Society for Testing and Material). 2006. ASTM D 1666-87 (Reapproved 2004). Standar Test Method for Conducting Machining Tests of Wood and Wood-Base Materials. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04.10 wood. Section 4. Philadelphia
Balai Penyelidikan Kehutanan. 1952. Nama-nama kesatuan untuk jenis-jenis pohon yang penting di Indonesia. Pengumuman Istimewa No. 6. Bogor
69
Basri, E. 2011. Kualitas kayu waru gunung (Hibiscus macrophyllus Roxb.) pada tiga kelompok umur dan sifat densifikasinya untuk bahan mebel (Tesis). Program Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (Tidak diterbitkan).
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2006. Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu. Standar Nasional Indonesia (SNI 01-7207-2006). Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2002. Kayu lapis penggunaan umum Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5008-2-2000). Badan Standardisasi Nasional (BSN), Jakarta.
Den Berger, L.G. 1923. De grondslagen voor de classificatie van Ned. Indische Timmerhout soorten. Tectona vol.16.
DIN (Deutch Internationale Norman).1975. DIN Taschenbuch 60. Benth Verlag GmbH, Franfurt (Main).
DIN (Deutch Internationale Norman). 2000. DIN Taschenbuch 60 Beuth Verlag Gm BH, Koln. Frankfurt (Main).
Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer. 1982. Forest Product and Wood Science. An introduction. Iowa State Univ. Press. USA
JAS (Japanese Agricultural Standard). 2003. JAS Japanese Agricultural Standard for Common Plywood its Commentary the Japan Plywood Manufacture’s Association
(LPH) Lembaga Penelitian Hutan, 1976. Daftar nama pohon-pohonan Jawa-Madura. Laporan No. 253., Bogor.
Manurung, T. 2006). Luas hutan di Pulau Jawa tinggal 11 persen. Antaranews. Com. 26 JanuariI 2006.
Martawijaya, A. 1975. Pengujian laboratorium mengenai keawetan kayu Indonesia terhadap jamur. Kehutanan Indonesia. Hlm: 775-777. Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta.
Martawijaya, A. dan I. Kartasujana. 1977. Ciri umum, sifat dan
kegunaan jenis-jenis kayu Indonesia. Publikasi Khusus no.41, Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.
Martawijaya, A. and G. Sumarni. 1978. Resistance of a number of
Indonesia wood species against Cryptotermes cynocephalus Light. Report No. 129. Forest Products Research Institutes
Martawijaya, A ; I. Kartasudjana ; K. Kadir ; dan S.A. Prawira. 1981.
Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
70
Martawijaya, A., I. Kartasudjana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
Metcalfe, C.R. dan I.Chalk. 1983. Anatomy of the Dicotyledons. 2nd edition. Vol.II. Wood structure and conclusion of the general introduction. Clarendon Press. Oxford.
Nurachman, A. dan R.M. Siagian. 1976. Dimensi serat jenis kayu Indonesia. Laporan No. 2. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Oey, D. S. (1990). Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman Nr. 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor-Indonesia.
Priasukmana, S. dan T. Silitonga. 1972. Dimensi serat beberapa jenis kayu Jawa Barat. Laporan No. 2. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Quarquist, C. 1962. Wood anatomy of Sterculia L. In Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara and W.C.Wong (Eds.). Plant of Resources of South East Asia 5(2). Timber trees: Minor commercial timbers. PROSEA Foundation. Bogor. p.423-435.
Sass, J.E. 1961. Botanical microtechnique. The IAWA State University Press.
Senft, J.F., M.J. Quanci, dan B.A. Bendtsen. 1986. Property profile of 60-year old Douglas-fir. Proc. of a Cooperative Technical Workshop of Juvenile Wood. Forest Products Research Society, Madison, USA. 17 – 28 pp
Silitonga, T., R.M. Siagian dan A. Nurachman, 1973. Cara pengukuran serat di Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Publikasi Khusus No. 2. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Smith, D.N.R. and N. Tamblyn, 1970. Proposes scheme for international standard test for the resistance of timbers to impregnation with preservatives. Ministry of Technology, Forest Products Research Laboratory.
Suprapti, S., Djarwanto dan Hudiansyah. 2011. Ketahanan lima jenis kayu asal Lengkong Sukabumi terhadap beberapa jamur pelapuk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29(3): 248-258. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil HUtan Bogor.
TAPPI. 1992. Tappi test method 1992-1993. Tappi Press. Atlanta, Georgia.
71
Terazawa, S. 1965. An easay method for the determination of wood drying schedule. Wood Industry Vol. 20 (5), Wood Technological Association of Japan.
Tjahjono, J. dan Sudarmin. 1993. Pengaruh xilanase pada perlakuan
awal pemutihan terhadap kualitas pulp. Berita Selulosa 43(2) : 62-68.
Turner, R.D. 1966. A survey and illustrated catalogue of the teredinidae. Harvard University, Cambridge, Mass.
Turner, R.D. 1971. Identification of marine wood-boring mollusks. Marine borers, fungi and fouling organisms of wood. Organisation for Economics Co-operation and Development, Paris.
Wheeler, E.A., P.Baas and E.Gasson. 1989. IAWA list of microscopic
features for hardwood identification. IAWA Bulletin. N.s. 10(3): 219-332
Recommended