KELUMPUHAN PADA WAJAH
I. PENDAHULUAN
Bell’s palsy merupakan paresis nervus fasialis perifer yang penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) dan bersifat akut. Banyak yang mencampuradukkan antara Bell’s
palsy dengan paresis nervus fasialis perifer lainnya yang penyebabnya diketahui.
Biasanya penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau keluarga
atau pada saat bercermin atau sikat gigi/berkumur. Pada saat penderita menyadari bahwa
ia mengalami kelumpuhan pada wajahnya, maka ia mulai merasa takut, malu, rendah
diri, mengganggu kosmetik dan kadangkala jiwanya tertekan terutama pada wanita dan
pada penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia untuk tampil di muka
umum. Seringkali timbul pertanyaan didalam hatinya, apakah wajahnya bisa kembali
secara normal atau tidak.
Rehabilitasi medik pada penderita Bell’s palsy diperlukan dengan tujuan
membantu memperlancar vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot-otot fasialis dan
mengembalikan fungsi yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fasialis sehingga
penderita dapat kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari dan bersosialisasi dengan
masyarakat.1
Pada kasus saat ini seorang laki – laki berusia 25 tahun datang ke puskesmas
dengan keluhan mata kiri tidak dapat ditutup dan mulut mencong ke kanan sejak 1 hari
yang lalu. Pasien mengatakan keluhan timbul secara tiba – tiba dan membuat dirinya
cemas.
Dengan adanya gejala yang dialami oleh pasien diduga pasien mengalami
Bell’s Palsy (Lumpuh Wajah). Maka dengan ini dilakukan penelitian lebih lanjut berupa
anamnesis dan pemeriksaan fisik dan penunjang serta gejala yang dialami sama dengan
Bell’s Palsy atau tidak, serta etiologi, epidemiologi, tatalaksana, serta komplikasi dan
prognosis.
1
II. PEMBAHASAN
A. ANAMNESIS
Langkah pertama yang dilakukan :
1. Identitas Pasien
2. Keluhan Utama
Pasien mengalami keluhan utama yaitu mata kiri tidak dapat ditutup dan mulut
mencong ke kanan.
Ditanyakan riwayat timbulnya kelumpuhan wajah tersebut, yang biasanya
timbul secara tiba – tiba. Banyak kasus mula-mula diketahui pada pagi hari
setelah bangun tidur, pada satu sisi.
Tidak memiliki riwayat infeksi telinga, tidak ada riwayat trauma, gangguan
saraf pusat dan keganasan didaerah kepala dan leher. Perlu ditanyakan juga
apakah penderita menderita DM atau tidak, dan dikonfirmasikan dengan
pemeriksaan laboratorium. Riwayat keluarga yang pernah mengalami keluhan
lumpuh sebelah wajah sebelumnya juga perlu ditanyakan.
Sebelum terjadi kelumpuhan apakah penderita ada riwayat melakukan
perjalanan jauh dengan kaca terbuka atau terpapar udara dingin. 2
B. ANATOMI
Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang
mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik
kecil (nervus intermedius wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan
lidah, dan komponen otonom yang merupakan cabang sekretomotor yang
mempersarafi glandula lakrimalis.
Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-pontin memasuki meatus
akustikus internus. Saraf selanjutnya berada didalam kanalis fasialis memberikan
cabang untuk ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke muskulus
stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada bagian awal dari kanalis
fasialis, segmen labirin merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis
2
foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm.3,4
Gambar.1 Skema dari saraf kranialis ketujuh (fasialis)
(Cabang motorik ditandai dengan garis warna biru, cabang
parasimpatis ditandai dengan garis warna jingga, dan
cabang aferen viseral spesial (pengecapan) ditandai dengan
garis putus-putus dan titik.)3
C. PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Otologi
Pemeriksaan otologi biasanya normal. Hal ini penting dilakukan untuk
menyingkirkan penyebab fasialis patese karena penyakit lain seperti otitis
media supuratif kronis atau sindroma Ramasay Hunt.
b. Pemeriksaan Fungsi Nervus Fasialis
1) Tes topografi
a) Uji Lakrimasi (Uji Schirmer)
Dengan pemeriksaan ini fungsi lakrimalis dapat dinilai. Pemeriksaan
ini dilakukan dengan memakai lipatan kertas filter yang diletakan
3
menggantung pada kedua palpebra interior lalu dibandingkan
kecepatan sekresi airmata setelah pemberian rangsangan ammonia
hirup. Setelah 3 menit panjang dari stirp yang menjadi basah
dibandingkan dengan sisi satunya.
b) Pemeriksaan Fungsi M.Stapedius
Tujunan pemeriksaan ini adalah melihat impendance telinga tengah
terhadap rangsang suara.
c) Uji Pengecapan
Pemeriksaan ini merupakan suatu indikator yang dapat diandalkan
dalam mendeteksi terputusnya fungsi saraf korda timpani. Garam dan
gula adalah uji pengecapan yang sering dipakai dan sangat mudah.
Hilangnya pengecapan akibat cedera, terbatas pada 2/3 anteroir lidah.
d) Pemeriksaan Fungsi Motorik Wajah
Pada pemeriksaan ini dilakukan inspeksi pada wajah penderita saat :
mengerutkan dahi, mengangkat alis, menutup mata, meringis,
mengembungkan pipi, dan bersiul.
2) Tes Elektrodiagnosis
a) Nerve Excitability Test (NET)
Tes ini mendeteksi besarnya potensial listrik yang meyebabkan saraf-
saraf wajah berkonstraksi. Elektroda dari alat stimulator diletakkan
diantara mastoid dan mandibula. Pemeriksaan dilakukan dengan
membandingkan sisi yang normal dengan sisi yang mengalami
paralisis. Jika terdapat perbedaan pada kedua sisi sebesar 3,5 mA
menunjukan terjadi kerusakan saraf yang berat.
b) Maximal Stimulation Test (MST)
Tes ini sama dengan NET, tetapi sebagai pengganti alat pengukur
threshold stimulation biasanya dilihat tingkat pergerakan wajah yang
maksimal yang dibandingkan dengan sisi yang normal. Responnya
digambarkan sebagai “sama”, “menurun”, atau “absen” dengan
4
stimukasi maksimal yang menunjukan degenerasi dan perbaikan yang
tidak sempurna.
c) Electroneuronography (ENOG)
Tes ini merupakan salah satu dari jenis evoked electromyography.
Nervus fasialis dirangsang pada area foramen stylomastoid dan
potensial aksi otot oleh elektroda. Stimulasi maksimal digunakan
untuk mendapatkan potensial aksi yang maksimal. Respon yang
muncul pada sisi yang normal.
d) Electromyography (EMG)
Tes ini mengukur aktivitas motorik otot wajah dengan cara
melakukan insersi jarum elektroda yang diletakan pada oculi
orbicular dan musculus oris orbicularis dan direkam aktivitasnya
selama fase istirahat dan saat otot berkontrasi. EMG akan membantu
mengevaluasi prognosis penyembuhan fungsional.
c. Pemeriksaan Kelenjar Parotis dan Leher
Dilakukan dengan inpeksi dan palpasi didaerah leher dan kelenjar parotis,
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penekanan massa seperti tumor
parotis yang menyebabkan terjadinya fasialis parese.
2. Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan laboratorium :
Biasanya normal. Tetapi perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain kelumpuhan wajah.
a. Radiologi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan bahwa kelumpuhan wajah ini
bukan disebabkan oleh tumor ataupun trauma dapat dilakukan pemeriksaan
CT-Scan maupun MRI. Computerized Tomography (CT) adalah
pemeriksaan radiologi yang sangat ideal untuk melihat perubahan yang
terjadi di dalam tulang temporal. Magnetic resonance imaging (MRI) mampu
melihat lesi pada bagian proksimal dan distal nervus fasialis dan mampu
menunjukan abnormalitas. 5,6
5
D. DIAGNOSIS
1. Gambaran klinis
Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya
kelumpuhan pada salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin
atau saat sikat gig/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga
bahwa salah satu sudutnya lebih rendah dan terjadi secara tiba - tiba. Bell’s
palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua
gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena,
ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang,
sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini,
kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar serta
kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya
maka kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka (disebut
lagoftalmus) dan bola mata berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan
tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan
mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga
menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi
yang lumpuh tidak mengembung. Disamping itu makanan cenderung
terkumpul diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan
seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain yang mengiringnya,
bila paresisnya benar-benar bersifat “Bell’s palsy”.1
Gambar.2 Tampak Penurunan Wajah7
6
2. Gejala dan Tanda
a. Timbul keluhan kelumpuhan otot-otot wajah secara tiba-tiba, biasanya
kurang dari 48 jam.
b. Unilateral/pada satu sisi wajah.
c. Tidak dijumpai kelainan neurologi atau kelainan otak sebelumnya, tidak
ada riwayat infeksi telinga tengah.
d. Gejala yang sering timbul : otalgia, hiperakusis, disgeusia, nyeri pada
wajah dan daerah retroaurikular, fenomena Bell.
e. Saat penderita tenang, secara inspeksi pada sisi wajah yang terkena
tampak kerutan dahi menghilang, alis lebih rendah, celah mata lebih besar,
lipatan nasolabial menghilang dan bentuk lubang hidung yang tidak
simetris.
f. Saat menggerakan otot-otot wajah, penderita tidak dapat mengangkat alis.
Pada saat menggembungkan pipi, bersiul akan tampak deviasi ke arah
yang sehat.
g. Biasanya didahului adanya riwayat infeksi saluran nafas atas. 6,9
3. Diagnosis Kerja
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-
supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin
akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus
atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat
7
Gambar.3 Ptosis (Penurunan Kelopak Mata)8
sembuh sendiri tanpa pengobatan. Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan
dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan
nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus fasialis yang
menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan rasa nyeri
pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan.2
4. Diagnosis Banding
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
Suatu episode yang berlangsung singkat (kurang dari 24 jam) dari
gangguan sementara pada otak yang disebabkan oleh suatu kehilangan
suplai darah. Suatu TIA menyebabkan suatu kehilangan fungsi pada area
tubuh yang dikontrol oleh bagian otak yang terpengaruh. Kehilangan
suplai darah ke otak paling sering disebabkan oleh suatu bekuan/gumpalan
yang terbentuk secara spontan dalam sebuah pembuluh darah didalam otak
(thrombosis). Bagaimanapun, ia dapat juga berakibat dari suatu bekuan
yang terbentuk ditempat lain didalam tubuh, terlepas dari lokasi itu, dan
berjalan untuk memondok dalam suatu arteri dari otak (emboli). Suatu
kekejangan dan, dengan jarang, suatu perdarahan adalah penyebab-
penyebab lain dari suatu TIA. Banyak orang-orang merujuk suatu TIA
sebagai suatu "mini-stroke."
Beberapa TIA-TIA berkembang secara perlahan, dimana yang lain-
lain berkembang secara cepat. Secara definisi, semua TIA-TIA hilang
dalam 24 jam. Stroke-stroke yang memakan waktu lebih lama untuk
hilang daripada TIA-TIA, dan dengan stroke-stroke, fungsi yang
sepenuhnya mungkin tidak akan kembali dan mencerminkan suatu
persoalan yang lebih permanen dan serius. Walaupun kebanyakan TIA-
TIA seringkali berlangsung hanya beberapa menit, semua TIA-TIA harus
dievaluasi dengan urgensi yang sama seperti suatu stroke dalam suatu
usaha untuk mencegah kekambuhan-kekambuhan dan atau stroke-stroke.
TIA-TIA dapat terjadi sekali, berkali-kali, atau mendahului suatu stroke
permanen. Suatu serangan transient ischemic harus dipertimbangkan
8
sebagai suatu keadaan darurat karena tidak ada garansi bahwa situasinya
akan hilang dan fungsi akan kembali.
Suatu TIA dari suatu bekuan pada mata dapat menyebabkan
kehilangan penglihatan yang sementara (amaurosis fugax), yang mana
seringkali digambarkan sebagai sensasi dari suatu gorden atau tabir yang
turun kebawah. Suatu TIA yang melibatkan arteri karotid (pembuluh
darah yang paling besar yang mensuplai otak) dapat menghasilkan
persoalan-persoalan dengan gerakan atau sensasi pada satu sisi dari tubuh,
yang adalah sisi berlawanan pada halangan yang sesungguhnya. Seoang
pasien yang terpengaruh mungkin mengalami kelumpuhan tangan, kaki,
dan muka, semuanya pada satu sisi. Penglihatan double, kepeningan
(vertigo), dan kehilangan kemampuan berbicara, mengerti, dan
keseimbangan dapat juga sebagai gejala-gejala tergantung pada bagian
mana dari otak yang kekurangan suplai darah. 10
b. Stroke Iskemik
Stroke iskemik merupakan stroke yang terjadi akibat penyumbatan
pembuluh darah serebral yang menyebabkan terjadinya iskemik dan
nekrosis di daerah yang mengalami kekurangan pasokan aliran darah di
bawah batas yang dibutuhkan sel otak untuk tetap bertahan (survive).10
E. ETIOLOGI
Penyebab pasti dari penyakit ini masih belum jelas. Banyak teori – teori yang
mencoba menerangkan timbulnya kelainan akut saraf fasialis ini, antara lain :
a. Teori Infeksi Virus
Beberapa virus diduga sebagai penyebab terjadinya Bell’s Palsy antara
lain virus Herpes simpleks, Herpes zoster ataupun Epster-Bar. Keadaan
ini terjadi akibat reaktifitasi karena terjadi infeksi akut primer. Virus
tersebut dalam jangka waktu lama berada dalam ganglion sensorius
sehingga terjadi proses peradangan. Gangguan vaskuler pada akhirnya
akan menimbulkan degenerasi pada saraf VII perifer.
9
b. Teori Iskemia Vaskular
Kelumpuhan pada saraf fasialis karena adanya gangguan sirkulasi darah di
kanalis fallopi. Kerusakan yang timbul oleh tindakan pada saraf perifer,
terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri
saraf tersebut.
c. Teori Kombinasi
Teori ini menyatakan bahwa, kombinasi teori tersebut diatas sebagai
penyebab edema dari jaringan saraf, sehingga menimbulkan iskemia pada
jaringan saraf yang berakibat terganggunya fungsi saraf tersebut.
d. Paparan Udara Dingin
Selain teori diatas, banyak kepusatakan yang menyebutkan bahwa Bell’s
Palsy diakibatkan adanya edema saraf fasialis disekitar foramen
stilomastoideus atau sedikit prosimal dari foramen tersebut, yang
mulainya akut dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Mungkin sekali
edema tersebut merupakan gejala reaksi terhadap proses yang disebut
‘masuk angin’ (catch cold). Hal ini diketahui dari anamnesis pada
kebanyakan penderita bahwa fasialis parese unilateral biasnya timbul
setelah duduk di mobil dengan jendela terbuka, tidur di lantai atau setalah
‘begadang’.
e. Herediter
Kanalis fasialis yang sempit karena faktor keturunan, membuat
kecendrungan untuk mudah terjadi kompresi dengan sedikit saja edema
saraf. 11
10
F. KLASIFIKASI
Grade INormal
Fungsi fasialis normal, simetri pada semua area
Grade II
Disfungsi ringan
Kelemahan ringan hanya dapat terlihat pemeriksaan yang teliti. Dapat menutup
mata sempurna dengan sedikit usaha. Asimetris ringan ketika tersenyum dengan
usaha maksimal.
Grade III
Disfungsi sedang
Jelas terlihat kelemahan, tetapi tidak terlihat mencolok. Bisa tidak mampu
mengangkat alis mata. Dengan usaha keras dapat menutup mata sempurna tetapi
gerakan mulut asimetris.
Grade IV
Disfungsi sedang – berat
Jelas terlihat kelemahan. Tidak dapat mengangkat alis mata. Tidak dapat
menutup mata dengan sempurna meskipun dengan usaha yang maksimal.
Grade VDisfungsi berat
Hanya sedikit gerakan yang terlihat. Asimetris saat istirahat.
Grade VIParalisis total
Tidak ada gerakan
Tabel.1 sistem klasifikasi derajat fasialis parese11
G.PATOFISIOLOGI
Apapun sebagai etiologi Bell’s palsy, proses akhir yang dianggap
bertanggungjawab atas gejala klinik Bell’s palsy adalah proses edema yang
selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fasialis. Gangguan atau kerusakan
pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi edema dan permeabilitas kapiler
meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada
jaringan sekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran darah sehingga terjadi hipoksia
dan asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan
hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik dan pengaktifan
kinin dan kallikrein sebagai hancurnya nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat
terjadi kerusakan jaringan yang permanen. 2
11
H.EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis
fasial akut. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-
diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang
sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan
trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s
palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .2
I. PENATALAKSANAAN
Prioritas utama pada penatalaksanaan Bell’s Palsy adalah untuk
menghilangkan penyebab kerusakan saraf secepatnya. Beberapa kasus, penyakit ini
dapat sembuh dengan sendirinya. Penatalaksanaan Bells Palsy meliputi
medikamentosa, terapi fisik dan tindakan bedah.
1. Medikamentosa
a. Kortekosteroid
Pemberian kortikosteroid pada penatalaksanaan penyakit ini sudah
banyak digunakan. Pemberian dosis tinggi prednison dengan dosis
awal 1mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi diberikan sampai 7 hari dan
diturunkan pada hari berikutnya sampai dosis nol. Tetapi bila terdapat
paralisis komplit maka kortikosteroid diberikan selama 10 hari lagi
dan diturunkan pada 5 hari berikutnya.
b. Anti virus
May et al menyarankan pemberian obat anti virus (acyclovir) pada
usia dewasa adalah 4000mg/hari selama 7-10 hari, sedangkan pada
anak dengan usia lebih dari 2 tahun adalah 1000mg/hari selama 10
hari.
12
c. Neurotonik
Pemberian obat-obat neurotonik digunakan untuk membantu proses
perbaikan saraf-saraf rusak. Tujuannya untuk meningkatjan sintesis
asam nukleat dan protein di dalam sel saraf yang digunakan untuk
mielinisasi dan stimulus regenerasi saraf.
2. Terapi Fisik
Yaitu dengan cara merangsang denervasi otot dengan cara stimulasi
memakai metode pijat pada wajah, melatih gerakan otot wajah dan jika
perlu stimulasi elektrik. Sekarang ini terapi akupuntur juga dicobakan
pada penderita Bell’s Palsy. Tindakan tersebut diharapkan dapat
melancarkan sirkulasi darah dan meningkatkan tonus otot.
Melatih pergerakan wajah dilakukan didepan cermin, dan dilakukan
sendiri dirumah, dengan cara : menutup mata sekuat tenaga, tersenyum,
bersiul dan meniup, menarik sudut mulut ke samping dan menggerakan
semua otot wajah.
Kelopak mata yang lumpuh perlu diperhatikan pada Bell’s Palsy
kebanyakan pasien akan mengalami kekeringan mata, sehingga kornea
perl dilindungi memakai obat tetes atau salap mata. Kaca mata perlu
dipakai untuk menghindari paparan angin atau debu.
3. Tindakan Pembedahan
Pembedahan fasialis dianjurkan pada kasus Bell’s Palsy dengan
paralisis total yang memiliki tanda-tanda degenerasi saraf yang luas atau
menderita kelumpuhan yang berulang.
Tujuan dari pembedahan pada nervus fasialis adalah untuk
menentukan kontinuitas axon nerbus fasial yang telah mengalami trauma
atau infeksi. Pembedahan juga dilakukan ketika nervus terpotong, adanya
infriltrasi tumor dan adanya tumor pada saraf.
Beberapa pendekatan bedah untuk eksplorasi nervus fasial berupa :
13
a. Pendekatan transmastoid
Pendekatan transmastoid dapat mengekplorasi nervus fasialis
mulai dari segmen horizontal sampai segmen vertikal.
Cara :
1) Korteks mastoid harus dibersihkan terlebih dahulu dengan
melakukan simple mastoidektomi. Kemudian labirin
vestibuler ditipiskan bersama sinus sigmoid dan garis
nervus fasialis dari foramen stilomastod dengan menyusuri
eminensia digastrik. Reseus suprapiramidal terletak anata
korda timpani bagian anterior dengan nervus fasialis bagian
posterior dan ketika dibuka tampak inkus dan stapes.
2) Kemudian dilakukan pemisahan inkus dengan stapes
dengan ligamen posteriornya dibiarkan terbuka dan tetap
dipertahankan. Inklus dipisahkan dari malleus tetapi
prosesus brevis tetap melekat pada fossa inkudis.
3) Inkus kemudian dirotasikan ke arah telinga tengah untuk
mempermudah melakukan diseksi mulai dari bagian
proksimal segmen timpani, sampai ke bagian distal segmen
labirin.
4) Tulang harus di bur dengan menggunakan diamond dengan
diameter 1mm. Di bur dengan arah dari ganglion
genikulatum ke arah ujung dari ampula kanalis semikularis
horizontal.
5) Setelah seluruh bagian nervus fasialis dibebaskan dari
tulang maka selubung saraf akan terbuka. Selubung saraf
diiris dengan menggunakan pisau kecil. Setelah
dekompresi selesai, inkus dikembalikan ke posisi semula
dan luka di tutup.
14
b. Pendekatan translabirin
Teknik operasi dengan pendekatan translabirin untuk penangan
dekompresi nervus fasialis sama dengan teknik reseksi
translabirin pada neuroma akustik kecuali diseksinya diperluas
sampai ganglion genikulatum.
Cara :
1) Dilakukan simple mastoidektomi terlebih dahulu. Segmen
vertikal nervus fasialis diskeletonisasi dengan hati-hati
sampai ke foramen stilomastoid.
2) Tulang-tulang diruntuhkan dari dura fossa posterior dan
internal auditori kanal poterior dan segmen labirin nervus
fasialis.
3) Seluruh internal auditory canal dibuka. Dasar vestibulum
menjadi landmark nervus vestibular bagian distal untuk
memisahkannya dengan nervus fasialis. Segmen labirin
dari nervus fasialis dibuka untuk memudahkan diseksi
tumor/decompresi pada nervus fasialis didalam internal
auditori kanal.
4) Pada dufa fossa posterior di insisi dibagian anterior ke ara
lateral sinus venosus, lalu sinus dan dura fossa posterior
diretraksi.
c. Pendekatan fossa media
Pendekatan fossa media sangat baik digunakan untuk
penatalaksanaan trauma pada segmen labirin.
Cara :
1) Dilakukan insisi 1 cm di depan tragus sampai subkutan lalu
insisi di teruskan ke arah superior kira – kira 6 cm. Otot
temporalis dipoton dan disisihkan, lalu dilakukan
kraniotonomi dengan menggunakan bur.
15
2) Selanjutnya dura dielevasi. Daerah operasi dibuka sampai
foramen spinosum dibagian anterior dan eminensia arkuata
di bagian posterior.
3) Lalu nervus petrosal superfisial mayor diidentifikasi ke
arah ganglion genikulatum. Kemudian nervus ditelusuri
sampai ke interbal auditori kanal. Pendekatan ini dilakukan
untuk mencapai nervus disegmen labirin tanpa harus
mengorbankan pendengaran.
Gambar. 4 Dekompresi Nervus Fasialis dengan pendekatan Fossa Media12
4. Graf Interposisi pada nervus fasialis
Graf interposisi dilakukan untuk mempersarafi kembali nervus fasialis
yang telah terputus. Bahan graf yang dipilih tergantung besarnya defek
nervus fasialis. Untuk defek sebesar 6-8 cm digunakan nervus aurikularis
mayor. Pleksus cervikalis digunakan untuk defek sampai 12 cm. Bila lebih
dari 12cm dapat digunakan nervus sural yang diambil dari medial dan
posterior maleolus lateralis.
Ujung nervus yang mengalami kerusakan dipotong. Graf yang diambil
harus diotong sedikit lebih panjang untuk menghindari tension. Graf
kemudian diletakan dalam kanalis falipii secara tepat dengan posisi end to
end diantara kedua ujung saraf. Penyambung saraf menggunakan benang
16
nilon 9-0 atau 10-0 monofilamen. Penyambung ini juga bisa distabilisasi
dengan fibrin glue. Kemudian defek ditutup dengan fasia. Regenerasi graf
akan lengkap setelah 6-12 bulan.
Saat ini tindakan operatif dengan pendekatan dekompresi fasialis pada
bell’s palsy mulai ditinggalkan. Penatalaksanaan berupa
medikamentosadan terapi fisik yang tepat lebih memberikan hasil yang
lebih baik. 3,12
J. PENCEGAHAN
Pencegahan yang dapat dilakukan :
1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah
angin mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa
wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin
terpasang di langit-langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu
gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas.
3. Bila sering melakukan aktivitas hingga malam diluar rumah, jangan
dibiasakan mandi air dingin di malam hari. Karena tidak baik untuk jantung,
juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan
pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang
rendah berpotensi tinggi menyebabkan menderita Bell’s Palsy.
5. Setelah berolahraga berat, jangan langsung mandi atau mencuci wajah
dengan air dingin.
6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin
langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup.
K.KOMPLIKASI
1. Crocodile tear phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah
17
dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar
lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri; selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan
timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya
dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami
regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
3. Hemifacial spasm
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya
mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya.
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi
bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun
kemudian.
4. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas
terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila
kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah
istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.1
L. PROGNOSIS
Prognosis pada pasien Bell’s Palsy umumnya baik. Perbaikan biasanya dimulai pada
hari kesepuluh dengan penyembuhan yang sempurna rata-rata satu setengah bulan.
Sekitar 85% penderita Bell’s Palsy akan sembuh sempurna. 2
18
III. KESIMPULAN
Bell’s Palsy adalah kelumpuhan atau paralisis otot wajah akut unilateral, yang
disebabkan oleh disfungsi saraf fasialis (nervus VII) perifer tanpa diketahui
penyebabnya secara pasti (idiopatik). Etiologi dan patogenesisnya belum jelas, diduga
peran virus yang meyebabkan inflamasi pada saraf.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat termasuk pemeriksaan
otoneurologik diperlukan untuk menyingkirkan gangguan-gangguan, yang awalnya
diduga Bell’s Palsy.
Diagnosis Bell’s Palsy ditegakan bila ciri-ciri dan pemeriksaan penunjang
juga membuktikan bahwa pasien mengalami penyakit tersebut.
Penatalaksanaan berupa medikamentosa dan terapi fisik yang tepat dipercaya
oleh beberapa ahli lebih memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
operasi. Tindakan operasi disarankan pada kasus paralisis total dan berulang.
Pada pasien yang diduga kuat mengalami Bell’s Palsy dan harus dipastikan
dengan pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Dalam penanganan pasien harus sesegera
mungkin dan tepat, serta pasien harus didorong untuk perawatan mandiri agar progmosis
pada pasien Bell’s Palsy akan baik dan sembuh sempurna.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Lumbantobing SM. Saraf Otak : Nervus Fasial. Dalam : Neurologi Klinik
Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : FK Universitas Indonesia;2004.
2. Djmail Y,A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam : Harsono,ed.Kapita selekta
neurologi. Yogyakarta:Gajah Mada University Prees;2003.
3. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bell’s Palsy. Easterm Virginia:
Medscape;2010.
4. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinal cord,
peripheral nerve, and muscle. In: Ropper AH, Brown RH,editors. Adam and
Victor’s Principles of Neurology. 8th Ed. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc.; 2005.
5. Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralisis of the FacialNerve. In : Bailey BJ,
Johnson JT,ed. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia;2006.
6. DhingraPL. Facial Nerve and its Disorders. In: Disease of Ear Nose and
Throat. New Delhi : Elsevier;2007.
7. Gambar diunduh di : http://savierandriany.blogspot.com/2012/05/bells-palsy-
penurunan-raut-wajah.html. 12 Desember 2013. Pukul 21.38.
8. Gambar diunduh di :
http://umm.edu/health/medical/spanishency/images/descenso-del-parpado-
por-ptosis. 12 Demsember 2013. Pukul 21.39.
9. Lee KJ. Facial Nerve Paralysis. In : essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery. New York : Mc Graw-Hill Medical Publishing;2003.
10. Arif,Mansjoer,dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculpis;2000.
11. Lustig LR, Niparko JK. Disorder of the facial nerve. In: Lalwani AK (ed).
Current Diagnosis & Tretment in Head & Neck Surgery-Otolaryngology.
New York: Mc Graw Hill;2008.
12. Soefferman RA. Facial nerve injury and decompression. In : Nadol
JB,Mckenna MJ. Lippincot Williams & Wikins. Philadephia;2005.
20