7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
1/27
Waktu
Senin, 24 November 2014
Ketika bumi kian cepat rusak, ketika kering & panas menjalar membunuh hutan-hutan dan
melelehkan es di kutub, dan laut tak sanggup lagi menampung air yang meluap dan kota-kota
tenggelam, ketika pada suatu hari ini terjadi, apa yang bisa dilakukan manusia? Rage, rage
against the dying of the light,baris sajak Dylan Thomas itu melintas. Marahlah kepada
cahaya yang punah. Marahlah.
Dalam filmInterstellar,sajak itulah yang tak selesai diucapkan seorang ilmuwan tua, Brand,
menjelang mati. Ia telah diam-diam menyiapkan manusia untuk hengkang dari bumi yang
makin hancur: manusia harus mencari sebuah planet lain sebagai alternatif. Tapi utopia itu
tetap utopia: impian bagus yang tak punya tempat. Empat belas penjelajah diluncurkan,
namun tanpa jejak tanpa kepastian.
Tapi cerita ini tak seluruhnya mengusung fatalisme yang muram.
Dengan gemuruh pesawat antarbintang yang menjangkau Lubang Hitam, dengan robot-robot
yang pintar berbicara,Interstellarberangkat sebagai sebuahscience fictiondalam tradisi Star
Trek.Tapi sebenarnya ia sebuah mithos yang tak jauh berbeda dari yang didongengkan orang
sejak zaman dulu. Pertama dalam kekuatan bercerita. Kedua dalam kandungannya. Ketiga
dalam perspektifnya tentang waktu.
Salah satu kekuatan mithos ialah menunda sikap tak percaya. Kita tak mencegat keajaiban
(atau keganjilan?) dalam narasinya dengan tanda tanya besar. Kita sepenuhnya terkesima,
kita asyik, dan kita menyimpan kesangsian di depan layar ketika Ki Dalang berkisah tentang
Bima yang memasuki tubuh Dewa Ruci yang kecil. Kita juga tak menggugat ketika
Interstellardisorotkan, tak bertanya bagaimana mungkin Cooper, pilot itu, dengan sosok
yang tetap gagah seperti ketika ia berangkat mengemudikan pesawat Endurance, balik ke
kehidupan manusia tapi memasukinya di masa depan, ketika Murph, anaknya, telah jadi
perempuan berusia 100 tahun. Bagaimana mungkin juga ayah itu, di ujung perjalanannya,
justru tiba di masa lalunya sendiri, memberi isyarat seperti bisikan hantu kepada Murph yangmasih kecil? Dan benarkah ada "mereka", makhluk dengan dunia lima dimensi yang berniat
menolong manusia?
Interstellar, sebuah dongeng.
Dan seperti umumnya dongeng, di dalamnya ada yang membuat kita lebih bijaksana, biarpun
sedikit, tentang hidup. Film ini menunjukkan bahwa egoisme bukanlah ciri manusia. Ada
saat-saat orang sanggup mengorbankan diri agar orang lain selamat.
Cooper, misalnya, bersedia melakukan penjelajahan yang penuh teka-teki itu. Di satu saat
bahkan ia melontarkan dirinya dalam pesawat yang nyaris habis energi, agar rekannya,
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
2/27
Amelia, bisa sampai di sebuah planet tempat Edmunds, salah satu penjelajah ruang angkasa
terdahulu, menemukan ruang hidup.
Jika saya katakanInterstellarsebuah dongeng, ia dongeng yang, katakanlah, pasca-modern:
ia mempertanyakan ide "kemajuan" dan agenda besarnya. Dengan segala teknologi dan derap
modernitas untuk menguasai ruang & waktu, yang terjadi malah bumi yang rusak. Dan lihatCooper: seperti manusia pertama di angkasa luar dalam sajak Subagio Sastrowardoyo, ia
terlontar dari bumi, kesepian, akibat "1.000 rumus ilmu pasti yang penuh janji".
Tapi kutipan yang tepat untuk film ini saya kira bukan dari Subagio Sastrowardoyo atau
Dylan Thomas, melainkan dari sebuah lagu yang dinyanyikan dalam suasana sentimental
dalam film Casablanca:lagu tentang waktu dan manusia. Sementara waktu berlalu, as time
goes by, kata lirik lagu itu, cerita tua yang sama, the same old story,selalu kembali.
Waktu hadir di pusatInterstellar-- tapi, seperti dalam mithos tentang dewa dan manusia yang
menitis, waktu itu tanpa batas yang jelas di antara masa lalu, kini, dan nanti. Dalam film ini,Cooper berada di tiga kurun sekaligus. Dan kita pun jadi bertanya, sambil mencoba
memahami teori relativitas Einstein yang muskil itu, apa arti waktu jika demikian, dan
benarkah waktu ada dan berlalu--atau manusialah yang mengkonstruksikannya demikian.
Para pemikir "korelasionis" akan mengatakan bahwa waktu ada; tapi ia selalu ada dalam
korelasi dengan manusia. Pertanyaan klasik para "korelasionis": mungkinkah akan ada warna
andai kata tak ada mata manusia? Ataukah sebaliknya: benarkah warna, waktu, dan lain-lain
memang pernah ada dan akan ada tanpa kita?
Ilmu menunjukkan bahwa sudah terbentang alam semesta 14 miliar tahun yang lalu, sebelum
manusia. Meillassoux menyebutnya "arche-fossil",jejak fenomena "nenek moyang" bahkan
sebelum munculnya kehidupan--yang membuat pendapat "korelasionis" guyah. Tapi
sebaliknya: bagaimana waktu bisa ada tanpa subyek yang menyusun "kemarin", "kini", dan
"kelak"?
Interstellar,sebagaimana dongeng, tak menjawab, sebab ia bukan sebuah eksplorasi filsafat.
Ia pertama-tama sebuah keasyikan. Meskipun tak cuma itu.
Yang membuat penjelajahan Cooper menarik adalah pertautannya yang erat dengan bumi,
meskipun bumi itu sedang binasa--pertautan yang dibentuk cintanya kepada Murph. Bocah
itu berumur sepuluh tahun ketika ditinggalkannya berangkat mengarungi alam semestamencari planet alternatif. Pada suatu saat, dari dalam kokpit Endurance pada jarak sekian
ratus tahun cahaya, si ayah menyimak pesan anaknya--dan melihat bahwa yang berbicara
kepadanya adalah Murph, seorang perempuan dewasa. Bapak itu menangis. Seseorang
menghitung bahwa sejam di posisi "interstellar"itu sama dengan tujuh tahun di bumi.
Tapi kerinduan seorang tua, cinta seorang anak, kasih yang mungkin tak sampai tapi keras
kepala, kasih yang lebih kuat ketimbang pengharapan: semua itu membuat ruang & waktu tak
lagi relevan.
Benar, the same old story.Tapi siapa yang akan berkeberatan?
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
3/27
Goenawan Mohamad
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
4/27
Bahasa dan Kekerasan
SENIN, 24 NOVEMBER 2014
Flo K. Sapto W., praktisi pemasaran
Baku tembak antara satuan TNI Yonif 134 Tuah Sakti dan Brimob Kepolisian Daerah
Kepulauan Riau, Batam, salah satunya dipicu oleh percekcokan di kios bahan bakar minyak
(Koran Tempo, 20 November 2014). Percekcokan lain yang diawali dengan sebuah cuitan di
Twitter pada gilirannya juga memicu tawuran antara pelajar SMA 60 dan SMA 109 Jakarta.
Bahasa sebagai pemicu dalam kedua pertikaian di atas awalnya hanyalah ekspresi dari sebuah
ketidakberterimaan. Sayangnya, bahasa dirasakan tidak cukup untuk mengekspresikan segalaketidakberterimaan itu. Akibatnya, ketidakcukupan itu kemudian dialihkan ke sebuah naluri
dasar fisik melalui kekerasan. Sebuah situasi yang agaknya merupakan kemunduran dari
peradaban kemanusiaan. Mirip dengan perilaku manusia purba sebelum muncul tradisi literer.
Kekuatan otot yang termanifestasikan dalam dominasi kekerasan fisik dianggap lebih unggul.
Tentu hal ini menjadi sebuah ironi, manakala justru terjadi pada institusi terdidik (pelajar,
prajurit). Secara lebih spesifik, apakah bahasa (Indonesia) dengan demikian gagal menjadi
bahasa penjaga perdamaian dan pilar peradaban?
Terkait dengan hal itu, sebuah kajian awal tentang penggunaan ragam bahasa kasar, halus,
dan lugas di dunia industri memberikan hasil menarik. Ketiga jenis ragam bahasa tersebutadalah yang digunakan untuk komunikasi imperatif, evaluatif, maupun sekadar teguran yang
berkaitan dengan kinerja. Menariknya, tidak ada satu pun responden yang memilih ragam
bahasa kasar (menyakitkan dan merendahkan) sebagai opsi. Sedangkan opsi ragam bahasa
halus (menyarankan) dipilih oleh 48 persen responden. Selanjutnya, opsi ragam bahasa lugas
(to the point) dipilih oleh 52 persen responden.
Uniknya, sebagian besar responden (65 persen) berusia di atas 36 tahun dan bergaji di atas Rp
11 juta (40 persen). Secara umum, profil responden tersebut bisa diasumsikan sebagai pekerja
yang sudah mapan dalam karier dan pendapatan. Posisi ini tentu didapatkan melalui sejumlah
pengalaman panjang di dunia kerja atau usaha. Rentang pengalaman itu semestinya juga
bersinggungan erat dengan berbagai jenis ragam bahasa perintah, kritik, teguran, dan
evaluasi.
Dengan demikian, dari profil responden tersebut, setidaknya bisa ditarik dua buah
kesimpulan. Pertama, jika pilihan responden yang sudah berpengalaman di dunia kerja
tersebut memang dijadikan acuan--yaitu pada ragam bahasa halus dan lugas--tentunya pilihan
ini sudah melalui sebuah proses pengendapan. Dengan demikian, jika pilihan jenis ragam
bahasa tertentu berkorelasi positif terhadap kecenderungan berbahasa, golongan responden
ini juga tidak akan menggunakan ragam bahasa di luar pilihannya.
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
5/27
Kedua, pilihan terhadap jenis ragam bahasa halus dan lugas tersebut sekadar merupakan
manifestasi dari kebaikan universal. Dengan kata lain, disadari atau tidak, responden sangat
dimungkinkan--pernah dan ada kecenderungan--menggunakan ragam bahasa kasar dalam
situasi tidak normal. Apakah ini sebuah hipokritisme berbahasa?
Terkait dengan tindak kekerasan, satu hal sederhana namun pasti adalah bahwa ragam bahasa
kasar sangat berpotensi menimbulkan respons serupa, entah dalam bentuk bahasa maupun
lainnya. Persis dengan prinsip jual-beli. *
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
6/27
Debat Keadilan Subsidi BBM
SENIN, 24 NOVEMBER 2014
Yusuf Wibisono, Ketua Program Studi S1 Ilmu Ekonomi Islam FEUI
Pencabutan subsidi bahan bakar minyak kembali menuai penolakan publik secara keras.
Secara ekonomi, subsidi bukanlah sesuatu yang tabu. Yang menjadi isu adalah bagaimana
desain subsidi agar efektif dan tepat sasaran.
Desain subsidi terbaik adalah subsidi yang diarahkan dan tepat diterima oleh mereka yang
berhak (targeted subsidy). Namun permasalahan terbesar targeted subsidyadalah,
implementasi program membutuhkan basis data yang akurat, by name by address, dan selaludiperbarui secara berkala. Tanpa basis data yang kuat, subsidi akan menghadapi masalah
kebocoran yang masif.
Penargetan subsidi BBM agar tepat sasaran sulit dilakukan. Sebab, adanya kemudahan
transportasi dan distribusi membuat pengalihan penggunaan dan penjualan di pasar gelap
hampir tidak mungkin dihalangi. Terlebih lagi dengan wilayah geografis Indonesia yang
sangat luas dan terdiri atas kepulauan yang dipisahkan oleh lautan. Subsidi BBM semakin
tidak tepat sasaran ketika disparitas harga antara BBM bersubsidi dan BBM non-subsidi
semakin lebar. Ketidaktepatan sasaran subsidi BBM juga terjadi dalam dimensi regional di
mana sekitar 60 persen BBM bersubsidi habis di Jawa-Bali saja.
Dalam konteks inilah, subsidi terhadap barang dan jasa yang hanya dikonsumsi masyarakat
miskin (self-targeted subsidy program), seperti beras untuk rakyat miskin (raskin), bantuan
operasional untuk puskesmas dan sekolah, hingga subsidi kereta api kelas ekonomi, menjadi
menjanjikan karena diyakini jauh lebih tepat sasaran dan terhindar dari masalah targeting.
Karena itu, terlepas dari defisit APBN dan minimnya ruang fiskal, subsidi BBM sudah
selayaknya dicabut. Jika subsidi BBM berlanjut, berbagai distorsi dalam perekonomian akan
semakin kuat, terutama semakin tidak terkendalinya alokasi anggaran subsidi BBM karena
permintaan yang semakin tinggi, khususnya dari kendaraan bermotor pribadi.
Subsidi BBM didominasi oleh bensin Premium dan solar, yang 97 persen dan 85 persen
distribusinya disalurkan melalui SPBU, yang konsumennya sebagian besar adalah kendaraan
bermotor pribadi. Kemacetan di berbagai kota besar akan semakin meningkat menuju
kemacetan total (grid-lock).
Dengan demikian, manfaat terdekat dari menghentikan subsidi BBM adalah struktur APBN
yang lebih sehat, sehingga belanja untuk sektor yang lebih penting dapat ditingkatkan.
Seluruh inefisiensi perekonomian yang terkait dengan BBM juga dapat ditekan, seperti
lonjakan penjualan kendaraan bermotor pribadi dan penambahan ruas jalan tol. Dengan
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
7/27
konsumsi BBM yang lebih sehat karena tidak lagi terdistorsi oleh subsidi, tekanan terhadap
impor BBM akan menurun, neraca pembayaran luar negeri lebih sehat, dan nilai tukar lebih
stabil.
Meski pencabutan subsidi BBM memiliki banyak rasionalitas, dampak negatif kebijakan ini
tidak bisa diremehkan dan harus diminimalkan dengan berbagai affirmative policydan
program kompensasi. Dampak terbesar adalah kenaikan harga secara umum karena posisi
BBM sebagai inputproduksi yang penting dan signifikan di semua sektor perekonomian.
Ketika inflasi tidak dapat dihindarkan, daya beli masyarakat tergerus, sehingga berpotensi
melonjakkan angka kemiskinan. Kenaikan biaya produksi juga berpeluang menyebabkan
naiknya harga barang dan turunnya daya saing sehingga memicu kebangkrutan atau relokasi
industri sehingga angka pengangguran meningkat. Kombinasi kemiskinan dengan
pengangguran berpotensi memicu kerawanan sosial.
Meski timingpencabutan subsidi ini sudah cukup tepat, di saat secara historis inflasi rendahdan di periode honeymoon,sayangnya kita tidak melihat pentahapan dalam pencabutan
subsidi BBM. Di sisi lain, pemberian kompensasi bagi pihak yang akan terkena beban paling
besar dari pencabutan subsidi BBM ini tidak dipersiapkan secara memadai.
Lebih jauh lagi, ketika subsidi BBM dicabut, kita juga tidak melihat dana hasil penghematan
subsidi BBM digunakan untuk affirmative policyseperti membangun sarana transportasi
massal yang dapat dirasakan hasilnya dalam waktu cepat dan dalam cara yang berkeadilan,
yaitu pembangunan bus rapid transport(BRT) dan kereta api, khususnya untuk daerah
perkotaan di Jawa dan Sumatera, bukan justru memacu jalan tol.
Pada saat yang sama, sebagian dana hasil penghematan subsidi BBM digunakan untuk
program kompensasi untuk "tiga kartu sakti" yang substansinya adalah cash transfer. Meski
dibutuhkan oleh kelompok miskin yang paling rentan dan tidak mampu bekerja, program
"bagi-bagi uang" seperti ini diyakini tidak efektif karena sangat mudah disalahgunakan untuk
kepentingan politik, tingkat salah sasaran yang tinggi, rawan korupsi, dan menimbulkan
dampak negatif terhadap modal sosial (social capital) masyarakat.
Jika kemudian penolakan terhadap kebijakan ini begitu keras, memang sebaiknya pemerintah
lebih banyak berkaca daripada menuding, terlebih ketika Kabinet Kerja memang belum
bekerja. *
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
8/27
Kotoran
Selasa, 25 November 2014
Eddi Elison,mantan Sekretaris Tim Pemberantasan Mafia Perwasitan PSSI 1998
Menanggapi "sepak bola gajah" yang terjadi di Yogyakarta, 26 Oktober lalu, pertandingan
antara PSIS Semarang vs PSS Sleman dalam kompetisi Divisi Utama saat pertandingan
delapan besar, Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husin menyebutnya sebagai "kotoran".
Karena itu, harus disapu bersih.
Meskipun tidak menyebutkan jenis kotorannya, Komisi Disiplin (Komdis) pimpinan HincaPanjaitan langsung "menyapu bersih" dengan menjatuhkan vonis terhadap klub PSIS dan
PSS, meliputi manajer dan pelatih kedua klub, beberapa pemain yang terlibat dan diprediksi
terlibat, termasuk juga pemijat. Keputusan ini tampaknya masih panjang, karena wasit yang
memimpin pertandingan pun ikut diincar. "Orang luar" yang disinyalir bertindak sebagai
"pawang" sepak bola gajah itu juga kini sedang dicari.
Cukup bersidang sekali, PSIS dan PSS ditendang dari pertarungan babak delapan besar,
sehingga mereka didenda dan tidak mungkin mendapat promosi ke tingkat Liga Super
Indonesia. Selain itu, kedua manajer dan pelatih masing-masing klub serta beberapa pemain
dihukum seumur hidup. Dalam sekali sidang, ada pemain lainnya yang juga dijatuhi hukuman
bervariasi.
Dengan menghukum pelatih dan pemain seumur hidup secara dadakan, PSSI telah memutus
mata pencarian hidup mereka dan keluarga. Padahal mereka semua menggantungkan
kehidupannya di bidang sepak bola, sesuai dengan bakat dan pilihannya. Karena itulah, kalau
ada beberapa kalangan menyebutkan vonis tersebut sebagai pembinasaan, bukan pembinaan,
tentu bisa dimengerti.
Sejak lahirnya PSSI, terutama pada era Galatama dalam kepengurusan Ali Sadikin pada1980-an, terjadi sekian banyak atur-mengatur skor (nama "sepak bola gajah" belum dikenal),
yang melibatkan pemilik klub, pelatih, dan pemain. Hukuman yang dijatuhkan oleh
pengadilan negeri bertujuan "agar kapok/jera".
Hal yang perlu dicatat tentang keputusan PSSI terkait dengan sepak bola gajah adalah
Komdis terkesan melupakan etika dalam menjatuhkan vonis. Para "terdakwa" juga
difungsikan sebagai saksi. Pemeriksaan terkesan mengejar target "harus disapu bersih", tanpa
ada pertimbangan lainnya, seperti biografi terdakwa, sumbangsih mereka terhadap sepak
bola, tingkah polah selama ini, dan lain-lain.
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
9/27
Strategi yang dipakai Hinca, yang merupakan putra Kisaran, Asahan, itu tampaknya adalah
pola EGP (emang gue pikirin), karena dikejar target pemasukan dana besar ke kas PSSI
melalui denda. Khusus untuk kasus sepak bola gajah ini, Komdis menghasilkan Rp 3 miliar
lebih.
Bayangkan, selain memutus rantai kehidupan para terhukum, terjadi "perampasan" harta dan
uang mereka, sehingga bisa disetarakan dengan peribahasa "sudah jatuh, tertimpa tangga
pula".
Bagi mereka yang terhukum, masih ada jalan untuk membela diri, yakni banding ke Komisi
Banding, selain perlu melapor ke Komnas HAM, mengingat vonis tersebut dapat
dikategorikan sebagai melanggar HAM, yang berbunyi: "Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya." Bahkan UUD 1945 Pasal 27 ayat
(2) menyebutkan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan." *
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
10/27
Guru
Selasa, 25 November 2014
Bandung Mawardi, esais
Di Indonesia, guru mendapat kehormatan melalui peringatan Hari Guru, mengacu pada
sejarah pendirian Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), 25 November 1945. Kita tentu
tak bakal cuma bermula dari PGRI saat ingin mengerti secara utuh kesejarahan dan peran
guru.
Sekolah pendidikan guru pertama didirikan di Solo, pada 1852. Pendirian sekolah itu
dimaksudkan agar tersedia guru-guru untuk mengajar di sekolah-sekolah desa. Pada 1907, diHindia-Belanda tercatat ada 122 sekolah desa (Koentjaraningrat, 1984). Guru sangat
diperlukan untuk mendidik dan mengajar. Pendirian sekolah dan kemunculan profesi guru
dipengaruhi oleh kebijakan kolonial saat berpikiran memberi pendidikan bagi pribumi, sejak
1849.
Guru tercatat dalam Serat Jayengbayagubahan Ranggawarsita sebagai jenis profesi idaman.
Teks sastra pada akhir abad XIX itu mengandung peringatan bahwa pekerjaan sebagai guru
memang terhormat, tapi mengandung aib dan petaka jika tak dijalankan sesuai dengan
amanah.
Sejak awal abad XX, guru di Jawa adalah sosok mulia. Profesi guru mengantar orang masuk
kelas priayi. Guru adalah teladan atas kehidupan beradab padazaman kemadjoean. Obsesi
menjadi priayi melalui jalur keprofesian guru berlanjut sampai masa Orde Lama dan Orde
Baru. Kita bisa simak ikhtiar guru-guru menapaki kelas priayi dalam novel moncer berjudul
Para Priyayi(1992) garapan Umar Kayam.
Guru-guru pada masa awal di Hindia-Belanda memiliki tugas berat dalam mengajar dan
mendidik. Mereka dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran bercorak Eropa. Mereka mesti
menempuh pendidikan guru sesuai dengan kurikulum kolonial dan bacaan-bacaan bertemakeguruan. Buku bisa dianggap sebagai pedoman menjadi guru. Pada 1915, terbit buku
berjudulPemimpin Goeroekarangan J. Kats, terbitan G. Kolff & Co, Betawi. Tebal buku itu
112 halaman, berisi uraian-uraian menjalankan pengajaran, penjagaan diri, dan pendidikan
murid. Kats menjelaskan bahwagoeroe oetamaadalah guru yang sadar akan pemeliharaan
diri dan berperan sebagai pendidik bagi jiwa dan hati murid-murid. Buku ini termasuk
penting dalam daftar buku bacaan bagi guru-guru di Hindia-Belanda.
Urusan mendidik dan mengajar mulai mendapat "tambahan" melalui pendirian Perguruan
Taman Siswa (1922). Ki Hajar Dewantara menghendaki guru adalah teladan dan penggerak
kebangsaan. Guru juga penentu peradaban bangsa agar tak terlena dalam imperatif-imperatif
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
11/27
kolonial. Kebijakan pendidikan guru di Taman Siswa berbeda dengan tuntutan pemerintah
kolonial dan Orde Lama. Ki Hajar menganjurkan, "Tiap-tiap orang jang tjukup pengetahuan
dan kepandaian hendaknja mendjadi guru."Kecakapan diutamakan ketimbang ijazah. Usul
ini menggunakan dalih jutaan murid di Indonesia pada masa 1950-an memerlukan guru.
Pemikiran Ki Hajar berseberangan dengan pemerintah dan PGRI. Perkembangan sekolah danidealisme pendidikan memerlukan guru-guru dalam sistem pendidikan resmi.
Tahun demi tahun berlalu, ambisi orang-orang menjadi guru bisa diwujudkan dengan
mengikuti pendidikan di SPG, IKIP, atau fakultas pendidikan dan ilmu pendidikan di
universitas. Guru-guru adalah kaum berijazah. Mereka bertugas mendidik dan mengajar demi
pembangunan. Tugas itu tak semua bisa dipenuhi berbarengan dilema politik, nafkah, dan
nasionalisme. Kini, kesejarahan guru telah bergerak jauh. Kita selalu menginginkangoeroe
oetamaadalah pengisah kehormatan Indonesia melalui kerja, kerja, dan kerja. *
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
12/27
Ebola dan Ketidaksetaraan
Selasa, 25 November 2014
Joseph E. Stiglitz,peraih Hadiah Nobel Ekonomi
Krisis ebola yang terjadi saat ini sekali lagi mengingatkan kita akan segi-segi buruknya
globalisasi. Krisis ebola ini juga mengingatkan kita akan pentingnya pemerintah dan
masyarakat madani. Kita tidak berpaling kepada sektor swasta untuk mengatasi maraknya
suatu penyakit seperti ebola, melainkan kepada lembaga-lembaga seperti Centers for Disease
Control and Prevention (CADS) di Amerika Serikat, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
dan Mdecins Sans Frontires, kelompok doktor dan juru rawat yang rela menyabung nyawademi menyelamatkan nyawa orang lain di negara-negara miskin di seantero dunia.
Pemerintah mungkin tidak sempurna dalam menangani krisis-krisis seperti ini, tapi salah satu
alasan mengapa pemerintah tidak berbuat banyak seperti yang kita harapkan ialah bahwa kita
tidak cukup mendanai lembaga-lembaga terkait di tingkat nasional dan global.
Episode ebola ini memberikan banyak pelajaran. Satu alasan mengapa penyakit ini menyebar
begitu cepat di Liberia dan Sierra Leone adalah karena keduanya adalah negara-negara yang
dilanda perang. Sebagian besar rakyatnya hidup dengan gizi yang buruk dan sistem layanan
kesehatannya porak-poranda.
Lagi pula, di mana sektor swasta memainkan peran yang esensial, yaitu dalam pengembangan
vaksin, tidak ada insentif baginya untuk mencurahkan sumber daya yang ada pada upaya
mengatasi penyakit-penyakit yang melanda rakyat miskin atau negara miskin. Hanya ketika
negara-negara maju terancam barulah ada cukup dorongan untuk melakukan investasi pada
pengembangan vaksin-vaksin melawan penyakit-penyakit seperti ebola.
Ini bukan kecaman terhadap sektor swasta. Bagaimanapun juga, perusahaan-perusahaan
farmasi itu in business, bukan karena kebaikan hati, dan tidak ada uang untuk mencegah ataumenyembuhkan penyakit-penyakit yang diderita rakyat miskin itu. Apa yang dipertanyakan
dalam krisis ebola ini adalah ketergantungan kita terhadap sektor swasta untuk melakukan
sesuatu yang sebenarnya paling baik dilakukan oleh pemerintah. Dengan dana publik yang
lebih besar, suatu vaksin ebola tampaknya sudah bisa dikembangkan bertahun-tahun yang
lalu.
Gagalnya Amerika dalam hal ini menarik perhatian khusus--begitu khusus sehingga beberapa
negara Afrika telah memperlakukan para pengunjung dari Amerika dengan langkah-langkah
pencegahan khusus. Tapi semua ini cuma merupakan gema dari suatu masalah yang lebih
mendasar: sistem layanan kesehatan Amerika yang sebagian besar dikendalikan swasta itu
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
13/27
sudah mengalami kegagalan.
Benar, pada puncaknya, Amerika memiliki beberapa rumah sakit, universitas riset, dan pusat-
pusat medis terkemuka di dunia. Tapi, walaupun AS membelanjakan dana yang lebih besar
per kapita, dan menurut persentase PDB-nya dalam layanan medis lebih besar daripadanegara-negara mana pun, hasilnya benar-benar mengecewakan.
Harapan hidup pria Amerika setelah dilahirkan dinilai paling buruk di antara 17 negara
berpendapatan tertinggi di dunia, hampir empat tahun lebih pendek daripada pria Swiss,
Australia, dan Jepang. Dan kedua terburuk bagi wanita Amerika, yaitu lebih dari lima tahun
di bawah harapan hidup wanita di Jepang. Metrik kesehatan lainnya juga sama
mengecewakannya.
Banyak faktor menyumbang terhadap rendahnya layanan kesehatan di Amerika, yang
memberikan pelajaran yang relevan bagi negara-negara lainnya Misalnya, akses memperoleh
obat-obatan. AS termasuk di antara sedikit negara-negara maju yang tidak mengakui akses ini
sebagai hak asasi manusia yang mendasar. Tidak mengejutkan bahwa banyak warga Amerika
tidak memperoleh obat-obatan yang mereka butuhkan. Walaupun Undang-Undang
Perlindungan Pasien dan Layanan Kesehatan yang Terjangkau (Obamacare) telah
memperbaiki keadaan, cakupan asuransi kesehatan tetap rendah. Hampir separuh dari 50
negara bagian AS menolak memperluas Medicaid, program layanan kesehatan bagi warga
miskin.
Ketidaksetaraan yang meluas juga merupakan faktor yang kritis bagi rendahnya layanankesehatan, terutama jika digabung dengan faktor-faktor tersebut di atas. Dengan
meningkatnya kemiskinan dan semakin banyaknya orang tanpa akses ke layanan kesehatan,
perumahan, pendidikan, serta ketidakamanan pangan (sering mengkonsumsi makanan murah
yang menyumbang obesitas atau kegemukan), tidak mengherankan bila outcomekesehatan
Amerika itu buruk.
Kesehatan yang baik itu merupakan berkah. Tapi bagaimana negara membangun struktur
layanan kesehatannya--dan masyarakatnya--sangat berarti dalam hasil akhirnya. Amerika dan
dunia membayar mahal atas ketergantungannya yang berlebihan terhadap kekuatan pasar dan
kurangnya perhatian terhadap nilai-nilai yang lebih luas, termasuk kesetaraan dan keadilan
sosial. *
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
14/27
Iklan 'Membunuh', Sebuah Peringatan danTanda Tanya
Rabu, 26 November 2014
Zainoel B. Biran,Psikolog Sosial
Berbagai media elektronik visual di Indonesia menayangkan iklan rokok dengan sebuah
peringatan tertulis yang gamblang. Tulisannya ada yang besar, ada pula yang kecil; ada yang
berhuruf tebal, ada pula yang berhuruf tipis. Kalau kata-kata yang digunakan dirangkaikan,
kita akan mendapatkan sebuah rangkaian pemaknaan yang bisa sangat menarik.
Merokok (itu) Membunuhmu. (Tapi)It's an Adventure!(Merokok itu memberikan)Pleasure-
Style-Confidence,(juga) Inspirasi Tanpa Batas. (Merokok itu) Stylish, (juga)My (own) Life,
My (own) Adventure.(Orang boleh saja berbeda, karena itu)Be Yourself, Rise & Shine. Break
the Limit! Taste the Power.Gerak Lebih Cepat, (dan)Let's Do It!(Ingat, rokok itu) Anugerah
Alam Indonesia.
Kita bisa saja membuat tafsiran yang bermacam-macam tentang iklan rokok seperti yang
terpampang di banyak media. Salah satunya, merokok (itu boleh jadi) membunuhmu. Tapi,
apa iya? Buktinya, para perokok banyak yang masih hidup, bahkan ada yang berumurpanjang; bahkan mungkin pula ada yang sempat ikut lomba maraton. Kebutuhan akan rokok
nyatanya tetap tinggi. Merokok itu juga memberi kenikmatan, kepuasan, dan merupakan
sebuah tantangan bagi sang pemberani.
Di dalam masyarakat yang tengah dilanda konsumerisme, hedonisme, heroisme, dan juga
kecenderungan "berani mati", seperti yang kita alami dewasa ini, apa yang ditawarkan
menjadi sebongkah magnet yang berdaya kuat bagi sebagian warganya. Belum lagi imbauan
bahwa rokok merupakan produk negeri sendiri. So,bila cinta negerimu, beli dan isaplah
rokok--karena rokok (maksudnya, tembakau, juga cengkeh, atau rempah lainnya) adalahsuatu anugerah yang alami dan memang telah disediakan untuk negerimu.
Banyak alasan lain yang dapat diajukan untuk mendukung pemuasan kebutuhan akan rokok
ini. Dengan banyaknya dalih yang memuat kontradiksi, tapi menarik, ada kemungkinan orang
akan berhenti membeli rokok demi alasan kesehatan (yang dapat berakibat kematian) menjadi
sangat terbatas--tidak ada disonansi kognitif yang dapat memicu perubahan sikap dan
keyakinan orang.
Bila pemerintah benar-benar berniat mengubah perilaku merokok orang Indonesia, sikap
yang lebih mengarah ke "cinta rokok" perlu dibanjiri dengan informasi faktual (dan ilmiah)
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
15/27
tentang dampak merokok pada kesehatan diri, juga pada kesehatan anggota keluarga atau
orang lain yang menjadi perokok pasif. Sajikan juga secara visual, dan auditif, apa yang
terjadi pada tubuh bila kita menjadi perokok aktif ataupun pasif. Tayangan "berhentilah
menikmati rokok sebelum rokok menikmati dirimu" masih perlu dikaji dampaknya karena
hanya memuat satu informasi tentang kanker leher. Bagaimana pun, menurut saya, merokokharus dilarang. Sebab, seirama dengan gerak pemerintah baru yang menekankan "kerja-kerja-
kerja", merokok juga membatasi semangat, laju, dan kesinambungan kegiatan kerja orang,
selain juga menjadi penyebab dari banyak bencana. Merokok dulu, ah!Asyiiiik
Pemerintah agaknya perlu juga segera memikirkan dan melaksanakan upaya-upaya
"memperbaiki" nasib para petani dan pekerja pendukung industri rokok, dan mencari sumber
penghasilan negara pengganti untuk mendapatkan dana yang selama ini diperoleh dari cukai
rokok dan hal-hal lain yang berkaitan. Semoga.
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
16/27
Menyiram atau Mencerabut Beringin Besar
Rabu, 26 November 2014
Arya Budi,Research Associate pada Poltracking Institute
Babak baru politik nasional bisa jadi ditentukan beberapa hari ke depan dalam Munas IX
Golkar. Ada dua hal yang menjelaskan Munas Golkar menjadi krusial dalam konstelasi
politik nasional.
Pertama, Partai Golkar teruji sebagai organisasi kepartaian yang mapan dan bisa dijelaskan
dengan banyak kerangka teoretis pengorganisasian partai (Tomsa, 2008), dengan stok kader-politikus melimpah, sehingga posisi politiknya berpengaruh pada konstelasi inter-party
politics.
Kedua, posisi politik terkini Golkar terlihat memimpin Koalisi Merah Putih (KMP) yang
berkekuatan 52 persen dan terkonsolidasi cukup matang dengan kendali palu pimpinan
Dewan dan alat kelengkapan Dewan, selain kekuatan 91 kursi parlemen terbesar kedua
setelah PDIP. Di titik inilah, sesi pemilihan ketua umum baru Golkar pada Munas IX dengan
debat perihalstatus-quodan leadership renewal(pembaruan kepemimpinan) menjadi agenda
paling krusial bukan hanya bagi Golkar, tapi juga bagi kepentingan politik KMP dan politik
nasional secara keseluruhan. Walaupun, dalam kasus kepemimpinan partai di banyak negara,
pembaruan kepemimpinan adalah bagian penting bagisurvival strategysebuah partai
(Serenella Sferza, 2002).
Terkait dengan hal ini, Rapimnas VII Golkar di Yogyakarta tempo hari telah mengirimkan
dua pesan penting: 1) ambisi ketua umum inkumben mempertahankan struktur ruling elite
yang dipimpinnya melalui deklarasi "kesiapan" maju dalam Munas IX; 2) Ical memiliki
kekuatan jangkar politik di daerah, minimal struktur provinsi alias DPD I. Meski demikian,
klaim dukungan DPD I sebenarnya tidak selalu linier dengan kemenangan kandidat.
Pada Munas IX bisa jadi kontestannya tak sampai sejumlah nama yang sudah
mendeklarasikan diri jika prasyarat dukungan 30 persen pemilik suara masih berlaku
sebagaimana Tata Tertib Munas Riau Pasal 39 perihal mekanisme pencalonan ketua umum.
Namun jika benar bahwa Aburizal Bakrie telah mendapatkan dukungan tertulis-institusional
lebih dari 400 suara (tempo.co,23 November 2014), bisa jadi Ical menang secara aklamasi,
kecuali terdapat perubahan tata tertib munas yang menyatakan bahwa jika calon ketua umum
mendapatkan dukungan lebih dari 50 persen, otomatis menjadi ketua umum terpilih.
Singkat cerita, potensi politik ketua umum inkumben Golkar memang besar, tapi hasil survei
atas 173 pakar danpublic opinion makeryang dilakukan Poltracking Institute pada awal
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
17/27
November 2014 menunjukkan bahwa Aburizal Bakrie merupakan tokoh Golkar paling tidak
direkomendasikan sebagai satu dari delapan kandidat yang diukur. Riset ini menunjukkan
bahwa 52 persen juri penilai yang terdiri atas akademikus di bidang sosial politik dan
analis/peneliti politik memilih Aburizal Bakrie sebagai figur yang paling tidak
direkomendasikan dibanding Agung Laksono (7 persen) atau Priyo Budi Santoso (2 persen),misalnya.
Dalam hal ini, dari 10 aspek atau dimensi yang dinilai menggunakan interval poin 1-10, Ical
hanya unggul pada dua aspek, yaitu aspek komunikasi elite (6,42 poin) dan kemampuan
memimpin koalisi partai (6,48), yang masuk pada posisi urutan ketiga dan kedua. Sedangkan
pada tujuh aspek lainnya, nilai Ical hanya berkisar 5,5 poin dengan posisi urutan kedua dari
bawah dari delapan nama kandidat yang mendeklarasikan diri.
Namun, selain reputational disincentivesakibat kekalahan Golkar pada pemilu legislatif dan
kekalahan telak pilpres 2014 lalu atau persepsi publik soal personalitas dirinya, harus diakui
bahwa Ical mempunyaipositional incentives, yang mana posisinya sebagai ketua umum
sekaligus bakal capres sepanjang 2011-2013 memungkinkan dirinya menanam jangkar politik
di daerah yang terus berputar sepanjang roadshow kampanye bakal capres hingga menjelang
munas partai.
Faksionalisasi yang dipimpin para calon ketua umum tentu semakin mengkristal dan, bisa
jadi, dinamika faksi akan berujung pada model degeneratif (Boucek, 2009), yang saling
menghancurkan karena konsolidasi kelompok yang retak menstimulasi bertumbuknya
kepentingan-kepentingan individu elite di tiap faksi.
Namun jika faksionalisasi Golkar mampu dilembagakan dengan baik dalam Munas IX esok,
dua model dinamika faksi bisa saja tercipta: 1) kooperatif, di mana blok politik yang ada di
dalam partai pada akhirnya bernegosiasi untuk sebuah kepentingan organisasi partai, 2)
dinamika faksi kompetitif, yakni faksi yang ada terkonsolidasi dengan baik, sehingga
menciptakan kompetisi dengan substansi kompetisi pada pengaruh kebijakan dan jabatan
publik.
Munas Golkar bisa saja memupuk-menyiram beringin yang mulai meranggas ditinggalkan
pemilih, atau justru bisa mematahkan-mencerabut partai ini menjadi beberapa "beringin
baru", bergantung pada resolusi politik dan elite pemimpin yang dihasilkannya.
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
18/27
Gubernur Ahok
Rabu, 26 November 2014
Anton Kurnia,penulis
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok resmi dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai
Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Ahok tercatat sebagai gubernur beretnis
Tionghoa pertama di Jakarta.
Menurut sejarawan Lance Castle, populasi penduduk Jakarta pada 1673 adalah orang Eropa
sebanyak 2.750 jiwa, Tionghoa 2.747, Mardijker 5.326; pribumi, yang terdiri atas Jawa-Sunda 6.339, Bali 981, Melayu 611, dan yang terbesar kaum budak 13.278. Dua abad
kemudian, tepatnya pada 1893, tercatat populasi orang Eropa sebanyak 9.017, Tionghoa
26.5697, dan pribumi total 72.241. Orang Mardijker alias para budak Portugis yang
dimerdekakan sudah dianggap tak ada dan perbudakan telah dihapuskan. Sementara itu,
orang Arab hanya ada 318 orang.
Dari data itu terbaca bahwa orang Tionghoa bukanlah penduduk kemarin sore yang tiba-tiba
ada di Jakarta. Orang Tionghoa bahkan lebih dulu menjadi warga Jakarta ketimbang
keturunan Arab. Jika kini Ahok, yang orang Tionghoa itu, menjadi Gubernur DKI Jakarta, ini
adalah penghormatan terhadap sejarah. Sebab, orang Tionghoa adalah salah satu etnis terawal
yang mendiami Jakarta.
Banyak orang menolak Ahok menjadi gubernur hanya karena alasan primordial, bukan
karena kapabilitasnya. Selain karena beretnis minoritas Tionghoa, dia non-muslim. Tepatnya
beragama Kristen. Soal kapabilitas, tampaknya sulit dibantah bahwa Ahok cukup tegas, jujur,
dan berprestasi sebagai wakil gubernur selama dua tahun mendampingi Gubernur Jokowi
sejak dua tahun silam. Pelantikan Jokowi sebagai presiden membuka peluang agar Ahok
berperan lebih besar dalam membenahi persoalan yang membelit Ibu Kota.
Terkait dengan penolakan terhadap kepemimpinan Ahok oleh segelintir orang Islam yang
melakukan aksi demonstrasi, saya justru teringat kisah seorang kawan tentang pemimpin non-
muslim yang pernah dipercayai oleh Nabi Muhammad SAW saat terjadi krisis seputar
peristiwa hijrah.
Pada masa itu, untuk menghindari persekusi kaum Quraisy, umat Islam untuk pertama
kalinya hijrah dari Mekah ke Habsyi--kini Ethiopia--pada tahun kelima dan ketujuh setelah
Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul. Raja Habsyi saat itu bernama Najasyi (Negus),
orang kulit hitam beragama Kristen. Dia dikenal sebagai seorang raja yang baik hati, taat
pada ajaran agamanya, dan berkomitmen menjamin keselamatan segenap penduduk dan
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
19/27
tamu-tamunya.
Nabi Muhammad mempercayakan kepemimpinan, kecakapan, dan keadilan seorang non-
muslim untuk keselamatan orang muslim pada peristiwa bersejarah itu. Walau Raja Negus
beragama Kristen dan tak seiman, Nabi Muhammad mempercayainya karena dia seorangpemimpin yang adil dan cakap.
Jakarta, ibu kota negara kita, yang penduduknya mayoritas muslim, membutuhkan pemimpin
yang cakap, tegas, adil, dan tangkas untuk membenahi berbagai persoalan. Kerja sama Ahok
sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan Jokowi yang notabenemantan atasan langsungnya
untuk membenahi masalah yang membelit Ibu Kota--termasuk banjir, kemacetan, transportasi
umum, dan kepadatan penduduk--amat kita tunggu.
Bukankah yang penting bagi seorang pemimpin adalah kecakapan dan pengabdiannya?
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
20/27
Negeri Upacara
Jum'at, 28 November 2014
Purnawan Andra,anggota staf Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kemdikbud
Hidup manusia Indonesia penuh dengan upacara. Seluruh tahapan kehidupan, dari kelahiran,
perkawinan, hingga kematian, ditandai dengan upacara. Hal ini terjadi karena masyarakat
diikat oleh norma-norma hidup berdasarkan sejarah, tradisi, maupun agama. Karena itu,
upacara menjadi penanda, tidak hanya dalam rangka perayaan diri dan kelompok/komunal,
tapi juga merupakan penghargaan terhadap alam sekitar dan lingkungannya. Upacara hadir
dalam konteks kultural dan spiritual.
Dalam perkembangannya, upacara hadir dengan modifikasi dan kontekstualisasi pada setiap
zaman. Upacara dihadirkan untuk mengagungkan perayaan simbol-simbol dengan efek
legitimasi dan relasi antar-elemen, baik dalam konteks sosial kemasyarakatan, seni-budaya,
hingga politik pemerintahan (Munawir Aziz, 2009).
Upacara memperingati hari-hari tertentu yang ditetapkan pemerintah menjadi hari-hari politis
tahunan, suatu kewajiban di seluruh gedung perkantoran publik, lengkap dengan pegawai
negerinya. Dengan cara ini, semua partisipan merupakan anggota-anggota dari kongregasi
nasional yang berkumpul di berbagai tempat di seluruh negeri pada saat yang sama untuk
melaksanakan tugas yang sama.
Slogan-slogan diciptakan dalam rangkaian peringatan hari-hari khusus. Hari Pahlawan
misalnya. Konsep ini ditambah dengan ritual apel kehormatan dan ziarah ke Taman Makam
Pahlawan, lengkap dengan pidato-pidato mengenai heroisme dan patriotisme. Sejarah Hari
Pahlawan dipaparkan plus cerita jasa dan pengorbanan mereka yang telah gugur, sembari
mengajak seluruh rakyat untuk mengikuti teladan para pahlawan yang telah mengabdikan diri
bagi kepentingan rakyat. Semua berlangsung dalam kontinuitas isi dan ide.
Seturut dengan Bandung Mawardi (2013), penghormatan atas pahlawan dimaknai dengan
lencana dan nisan, juga dengan nada dan kata. Lagu-lagu semacam Gugur Bunga, Hari
Pahlawan, danMengheningkan Ciptadigubah dan diperdengarkan ke publik sebagai rujukan
dalam mengenang tokoh dan peristiwa-peristiwa bersejarah.
Lebih lanjut, Schreiner (dalam Nordholt, 2005) mensinyalir bahwa ritual-ritual upacara
lainnya, seperti mengheningkan cipta, pembacaan Pancasila dam Pembukaan UUD 1945,
menggarisbawahi karakter liturgis kesempatan berkumpul seperti ini. Begitu juga ritual
ziarah, dari bahasa Arab yang berarti "kunjungan ke tempat suci", mengilustrasikan "agama
sipil" negara.
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
21/27
Pada masa Orde Baru, ritual-ritual yang melibatkan partisipasi massa, seperti hari-hari
peringatan yang ditetapkan lengkap dengan agenda acaranya itu, tidak dimaksudkan untuk
merayakan bangsa ini, tapi cenderung untuk menegaskanstatus quopenguasa. Pertemuan
massa dengan partisipasi yang tinggi tersebut diubah menjadi ritual-ritual negara yang sangat
formal dengan kehadiran-kehadiran wajib yang memperkuat kontrol negara.
Upacara menjadi kode-kode interaktif yang dapat dimaknai dan dibaca sebagai simbol
artikulatif tentang pemikiran, propaganda, hingga agitasi. Melalui upacara, kekuasaan
dijalankan sedemikian rupa dan dipusatkan dalam ruang politis yang seremonial. Padahal inti
kekuasaan berarti menjamin kepastian hukum, kesejahteraan, dan keadilan sosial dalam
kehidupan masyarakat yang berbudaya. Hal itu lebih penting daripada menjadikan Indonesia
sebagai "negara teater" dengan "drama-drama" yang dicitrakan. *
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
22/27
Pertaruhan Politik Golkar
Jum'at, 28 November 2014
Ridho Imawan Hanafi,Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate
Aburizal Bakrie dalam posisinya saat ini mendapat perlawanan politik dari pesaingnya dalam
ikhtiar mempertahankan posisi ketua umum dalam Musyawarah Nasional IX Partai Golkar.
Ketetapan untuk menggelar munas pada akhir November 2014 telah menyulut kecurigaan
internal partai, utamanya yang berseberangan dengan Aburizal, bahwa ini jalan untuk
memuluskan upaya Aburizal mempertahankan kekuasaan. Kubu Aburizal bergeming dengan
kecurigaan tersebut. Bahkan, mereka seolah sengaja menggunakan munas sebagai amunisiuntuk membuat lawan gagap.
Dari sudut waktu, penyelenggaraan munas pada akhir November memang menguntungkan
Aburizal. Pasalnya, para lawan politik tidak memiliki tempo yang cukup untuk melakukan
persiapan. Memang selama ini ada pembicaraan informal di antara mereka untuk
menghadang Aburizal, namun sifatnya masih sporadis. Hal ini belum mengkristal menjadi
perlawanan masif terhadap inkumben. Alih-alih, yang terlihat akhirnya cuma sebatas letupan
kekecewaan atas kepemimpinan Aburizal.
Sementara itu, di sisi lain, meskipun Aburizal oleh sebagian dari mereka yang kecewa
dikatakan gagal, selama masa kepemimpinannya telah mampu menanam investasi politik
yang bisa kapan pun ia petik. Memegang posisi kendali partai telah memudahkan Aburizal
melakukan konsolidasi politik sewaktu-waktu. Rentang jangkauan komunikasi yang
dibangun selama lima tahun kepemimpinannya adalah modal politik yang tidak mudah
disaingi lawan.
Tidak hanya itu, keuntungan lain yang dimiliki Aburizal adalah banyaknya para pesaing yang
ingin maju menjadi ketua umum. Posisi ini sekilas memang memperlihatkan betapa tidak
sedikit pihak yang menghendaki Aburizal lengser. Namun persebaran suara itu justrumemperkuat posisi Aburizal. Dengan kata lain, apakah cukup melawan petahana dengan
kekuatan suara yang tersebar? Tak bisa lain, para lawan harus mengkalkulasi kekuatan. Salah
satunya adalah dengan me-resumeperlawanan dari sedikit aras.
Toh,langkah seperti itu juga tidak mudah dilakukan. Para kandidat boleh berangkat dari niat
dan visi yang berbeda, meskipun tujuan bisa sama, yakni melengserkan Aburizal. Namun
apakah ada jaminan di antara para kandidat lawan tersebut tetap lurus berada dalam satu
tujuan? Sebab, ketika arah perjalanan munas nanti berubah dari skenario yang dikehendaki,
sehingga memungkinkan lawan bergandeng tangan dengan kawan, niat dan tujuan bisa mulai
terlihat kabur. Dengan kata lain, penentang Aburizal bisa saja berbalik arah menjadi
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
23/27
pendukung Aburizal, karena dalam posisi berhadapan dinilai tak lagi menguntungkan.
Di sudut lain, posisi internal Aburizal yang masih kuat tampaknya juga akan mendapat
tambahan dukungan politis dari eksternal partai. Posisi Golkar saat ini berada dalam Koalisi
Merah Putih (KMP). Kesolidan KMP akan terancam manakala posisi Ketua Umum Golkartak lagi diduduki Aburizal. Sejauh ini, baru Aburizal yang tegas menginginkan Golkar tidak
berubah haluan dari KMP. Sementara itu, para lawan masih belum sebenderang sikap politik
Aburizal. Di sinilah ujian konsistensi Partai Golkar akan dilihat publik. Dan Aburizal
memilih sikap ini.
Apakah dengan demikian Aburizal akan melenggang mudah di munas? Jawabannya
bergantung pada seberapa besar perlawanan yang digelorakan penantang. Aburizal sendiri
bukan minus celah. Dari rekam jejak kepemimpinannya selama lima tahun, prestasi elektoral
--sebagai salah satu ukuran--tidak bisa dikatakan mengkilap. Kesolidan internal, meskipun
bisa digapai, juga telah memunculkan riak faksi-faksi internal. Aburizal juga terlihat tidak
ramah terhadap perbedaan pandangan di antara kader, dan lebih memilih jalan pemecatan.
Eksplorasi terhadap kelemahan kepemimpinan Aburizal ini bisa menjadi instrumen para
penantang dalam menggalang dukungan. Sebagai hajat partai, memilih pemimpin partai,
seperti diungkap Susan Scarrow dalamImplementing Intra-Party Democracy(2005),
merupakan fase krusial. Kenapa? Karena hal itu akan digunakan untuk mendefinisikan citra
dan wacana politik: mau dibawa ke mana partai ini? Golkar mau tidak mau juga akan
berhadapan dengan tahun puncak politik 2019, di mana pemilihan legislator dan pemilihan
presiden akan serentak.
Menyadari kebutuhan itu, pertimbangan matang dalam memilih ketua umum sepantasnya
dilakukan Golkar. Apakah akan tetap memilih berada pada jangkarstatus quo, atau
melakukan perubahan. Pemimpin partai politik adalah salah satu aspek produk partai yang
penting, di mana publik akan menaruh perhatian (Marshment dan Rudd, 2003). Partai Golkar
sejauh ini sebenarnya tidak terlalu menggantungkan diri pada sosok figur. Namun, seiring
dengan waktu, pengaruh sosok lambat laun telah menariknya masuk dalam jebakan
personalisasi. *
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
24/27
Mengadili Keyakinan
Jum'at, 28 November 2014
Ali Nur Sahid,Peneliti PUSAD Paramadina (Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina)
Baru-baru ini Amnesty International mengeluarkan laporan tentang sejumlah orang yang
diadili karena dianggap menodai agama di Indonesia (21/11/14). Dalam laporan tersebut,
sejak 2005 terdapat 160 orang yang dijerat Undang-Undang Penodaan Agama. Kebanyakan
mereka berasal dari kelompok minoritas keagamaan atau kelompok yang dianggap
menyimpang dari ajaran agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah.
Penyelesaian situasi ini harus menjadi agenda penting Menteri Agama Lukman Hakim
Syaifuddin yang sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat
Beragama. Laporan Amnesty, satu-satunya yang berkaitan dengan isu agama tersebut, patut
dijadikan perhatian serius karena beberapa pertimbangan. Pertama, situasi ini berbanding
lurus dengan tingginya tingkat intoleransi masyarakat di beberapa wilayah yang terdapat
kelompok agama minoritas, seperti Syiah di Sampang.
Kedua, di sejumlah penampungan sementara, mereka yang terusir dari kampungnya, seperti
di Lombok dan Syiah di Sidoarjo, masih harus menanggung beban terkatung-katung tanpa
kepastian sampai kapan harus menetap di pengungsian. Inilah praktek menjerat keyakinan
lewat undang-undang yang berlangsung sampai hari ini. Dasar hukumnya? Pada 1965,
Soekarno mengesahkan Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama--yang dilanjutkan oleh Presiden Soeharto pada
1969 menjadi Undang-Undang Nomor 5/1969.
Banyak kasus dari tindakan pemidanaan yang beralasan mereka dianggap telah menodai
agama dengan merujuk penetapan presiden tersebut. Belakangan bahkan beleidini
menginspirasi pembuatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE
Nomor 11/2008).
Secara subtansi, ketentuan ini bisa menjerat individu di berbagai pelosok wilayah. Ekspresi
damai kepercayaan seseorang yang dianggap menyimpang bisa berujung penjara.
Penerapannya seperti pasal karet yang bisa menghabisi keyakinan siapa saja. Contoh,
Alexander Aan yang dipenjara karena dituduh menjalankan ateisme--yang dinyatakan di
Facebook. Alasan yang kerap dituduhkan adalah "mengganggu ketertiban umum" atau
mengakibatkan "ketidakharmonisan di antara umat".
Mengadili keyakinan itu abstrak. Suatu pandangan agama atau keyakinan itu boleh-boleh
saja. Yang dapat diadili adalah manifestasi dari keyakinan seseorang yang dianggap
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
25/27
melanggar HAM. Seperti disebutkan dalam ICCPR (International Convenant on Civil and
Political Rights), yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia, tentang pembatasan
kebebasan berekspresi, pengurungan dapat dilakukan di antaranya jika mengganggu
kesehatan, atau mengancam keselamatan orang lain. ICCPR melindungi hak individu atau
sekelompok orang, namun tidak melindungi entitas abstrak seperti agama, kepercayaan, ide,atau simbol.
Praktek kriminalisasi keyakinan harus diakhiri. Kondisi yang harus ditangani saat ini adalah
maraknyasyiarkebencian (hate speech) yang menghasut seseorang untuk memusuhi dan
mendiskriminasi sang liyanberbasis kebangsaan, rasial, maupun keagamaan yang mengarah
ke tindak kekerasan. Presiden Jokowi pernah mengalami hal itu saat maraknya kampanye
hitam berbasis SARA pada pemilu lalu. Saatnya Jokowi membuktikan bahwa dia
menghormati HAM. *
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
26/27
Harga Mengambang BBM Bersubsidi
SABTU, 29 NOVEMBER 2014
Bramantyo Djohanputro, dosen di PPM School of Management, dan pengamat bidangmanajemen, keuangan, dan ekonomi.
Penetapan kenaikan harga BBM bersubsidi selalu disertai gejolak. Gejolak yang
menimbulkan risiko operasional dan risiko keuangan sektor publik ini sangat bergantung
pada eksposur operasional dan keuangan terhadap risiko dan kekondusifan situasi sosial-
politik untuk menerapkan kebijakan baru tersebut.
Eksposur operasional tidak dapat dihindari, sekalipun umumnya berjangka pendek, karenadalam jangka panjang setiap penduduk melakukan penyesuaian terhadap kenaikan harga
BBM bersubsidi. Yang memiliki eksposur jangka panjang adalah aspek keuangan karena
harga minyak dunia akan selalu naik-turun.
Dengan menetapkan harga BBM bersubsidi yang konstan, seperti dengan harga Rp 8.500 per
liter untuk Premium saat ini, risiko sepenuhnya diserap oleh pemerintah melalui APBN. Bila
harga minyak dunia naik, dan kenaikannya signifikan, bisa saja target alokasi subsidi BBM
terlampaui. Dengan demikian, penetapan harga BBM bersubsidi perlu dimodifikasi untuk
mengurangi risiko keuangan pemerintah.
Ada tiga variabel harga yang perlu dipertimbangkan untuk mengalokasikan risiko keuangan,
yaitu harga minyak dunia, alokasi subsidi BBM bersubsidi dari APBN, dan harga eceran
BBM bersubsidi. Dari ketiganya, harga minyak dunia merupakan variabel yang tidak dapat
dikontrol, uncontrollable,oleh pemerintah. Bila harga minyak mentah dunia turun pada
November 2014, ada kemungkinan harga akan naik lagi pada Desember, bila mengacu ke
perilaku harga pada tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM, harga minyak mencapai
puncak pada Desember dan Januari, dan kemudian menurun, dan naik lagi pada Juni, Juli,
yang terkadang relatif tetap tinggi sampai September, yang kemudian turun pada Oktober dan
November. Sekalipun pola harga bulanan tersebut tidak stabil dari tahun ke tahun, paling
tidak turunnya harga pada November 2014 sama sekali bukan indikasi sebuah penurunan
harga secara permanen.
Apalagi bila perkembangan harga dari tahun ke tahun mendapat perhatian dalam menetapkan
harga subsidi. Berdasarkan data Kementerian ESDM juga, rata-rata harga minyak mentah
Indonesia pada 2014 sebesar US$ 36,4. Harga tersebut melambung pada 2012 menjadi US$
113, yang berarti harga meningkat secara geometrik sebesar 15 persen per tahun.
7/26/2019 Caping+Kolom Tempo 23.11.2014-29.11.2014
27/27
Berdasarkan pola harga bulanan dan kecenderungan harga dari tahun ke tahun, kebijakan
harga tetap BBM bersubsidi mengandung risiko keuangan APBN. Bila harga minyak mentah
naik pada Desember 2014, penyerapan dana subsidi akan meningkat. Selanjutnya, bila harga
minyak mentah rata-rata naik 15 persen tahun depan, alokasi subsidi harus dinaikkan sebesar
15 persen, plus pertumbuhan riil penggunaan BBM subsidi, yang bersumber dari kenaikanjumlah penduduk dan kendaraan pribadi yang tetap menggunakan BBM bersubsidi.
Untuk mengurangi eksposur keuangan APBN terhadap gejolak harga minyak dunia,
kebijakan harga BBM bersubsidi perlu dimodifikasi dengan model kebijakan harga
mengambang dengan capdanfloor.Harga mengambang berarti bahwa harga bergerak
mengikuti pergerakan harga minyak dunia. Yang perlu dipatok adalah besaran subsidi per
liter. Dengan kebijakan harga mengambang, risiko fluktuasi harga dialihkan dari APBN ke
pengguna BBM bersubsidi. Dengan kebijakan seperti ini, mestinya tidak ada lagi masalah
harga, baik saat harga minyak dunia naik maupun turun, karena harga BBM bersubsidi
mengikuti naik-turunnya harga minyak dunia.
Untuk mengurangi risiko berlebih para pengguna BBM bersubsidi, kebijakan capdanfloor
diterapkan untuk membatasi gejolak harga, khususnya bila terjadi fluktuasi harga terlalu
besar. Dengan harga dasar,floor price, harga BBM bersubsidi dipatok harga terendah, dan
dengan harga batas atas, cap price, harga BBM bersubsidi dipatok harga tertingginya.
Dengan demikian, pemerintah melalui APBN menyerap risiko dari fluktuasi ekstrem harga
minyak, sedangkan penduduk menyerap risiko dari fluktuasi normal harga minyak.
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menggunakan dana penghematan
subsidi BBM. Saat ini fokus pengalokasiannya adalah pada kompensasi masyarakat yangterkena imbas pengurangan subsidi dan pembangunan infrastruktur.
Ada baiknya sebagian dana tersebut dialokasikan untuk penelitian dan pengembangan energi
alternatif, khususnya energi terbarukan, seperti pengembangan energi surya melaluisolar
cell. Kalau ini berhasil, Indonesia bisa mengalami kelimpahan energi luar biasa karena
ketersediaan matahari sepanjang tahun, tidak seperti Britania Raya yang terbatas curahan
sinar mataharinya tetapi memiliki pohonsolar cell.Atau, Kanada yang mampu
mengkomersialkan produksisolar celluntuk kebutuhan listrik rumah tangga.*
Recommended