BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan kesehatan pada golongan lansia terkait erat dengan proses degenerasi yang tidak
dapat dihindari. Seluruh sistem, cepat atau lambat akan mengalami degenerasi. Manifestasi
klinik, laboratorik dan radiologik bergantung pada organ dan/atau sistem yang terkena.
Perubahan yang normal dalam bentuk dan fungsi otak yang sudah tua harus dibedakan dari
perubahan yang disebabkan oleh penyakit yang secara abnormal mengintensifkan sejumlah
proses penuaan. Salah satu manifestasi klinik yang khas adalah timbulnya demensia. Penyakit
semacam ini sering dicirikan sebagai pelemahan fungsi kognitif atau sebagai demensia.
Memang, demensia dapat terjadi pada umur berapa saja, bergantung pada faktor penyebabnya,
namun demikian demensia sering terjadi pada lansia.
Demensia merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif
tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat dipengaruhi pada demensia adalah
inteligensia umum, belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi,
perhatian, konsentrasi, pertimbangan dan kemampuan sosial. Disamping itu, suatu diagnosis
demensia menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-
IV) mengharuskan bahwa gejala menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat
dan merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya.
Dari aspek medik, demensia merupakan masalah yang tak kalah rumitnya dengan masalah
yang terdapat pada penyakit kronis lainnya (stroke, diabetes mellitus, hipertensi, keganasan).
Ilmu kedokteran dan kesehatan mengemban misi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Seseorang yang mengalami demensia pasti akan mengalami penurunan kualitas hidup.
Keberadaannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi lingkungannya,
tidak dapat mandiri lagi.
Keberhasilan pembangunan kesehatan dalam upaya menurunkan angka kematian umum
dan bayi, sangatlah membantu peningkatan umur harapan hidup (UHH). Pada tahun 2000 umur
harapan hidup antara 65-70 tahun meningkat menjadi 9,37 persen dari tahun sebelumnya. Dalam
istilah demografi, penduduk Indonesia sedang bergerak kearah struktur penduduk yang semakin
menua (ageing population). Peningkatan umur harapan hidup akan menambah jumlah lansia
1
yang akan berdampak pada pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit
degeneratif atau neoplasma. Peningkatan ini juga akan menambah populasi penderita demensia.
Diantara orang Amerika yang berusia 65 tahun, kira-kira lima persen menderita demensia
berat dan 15 persen menderita demensia ringan. Diantara yang berusia 80 tahun, kira-kira 20
persen menderita demensia berat. Dari semua pasien dengan demensia, 50 sampai 60 persen
menderita demensia Alzheimer, yang merupakan tipe demensia paling sering. Kira-kira lima
persen dari semua orang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia Alzheimer,
dibandingkan dengan 15 sampai 25 persen dari semua orang yang berusia 85 tahun atau lebih.
Faktor risiko untuk perkembangan demensia tipe Alzheimer adalah wanita, mempunyai sanak
saudara tingkat pertama dengan gangguan tersebut, dan mempunyai riwayat cedera kepala.1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat
(DSM-IV) demensia dicirikan oleh adanya defisit kognitif multipleks (termasuk gangguan
memori) yang menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat dan
merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya. Demensia secara langsung
disebabkan oleh gangguan kondisi medik secara umum, bahan-bahan tertentu (obat,
narkotika, toksin), atau berbagai faktor etiologi.1
2.2. KLASIFIKASI
Demensia berhubungan dengan beberapa jenis penyakit.
a. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Medik. Contohnya ialah pada pasien
dengan hipotiroidisme, penyakit Cushing, defisiensi nutrisi, dan kompleks demensia
dalam kondisi AIDS.
b. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Neurologi misalnya: korea Huntington,
penyakit Schilder; penyakit Creutzfeldt-Jakob; tumor otak; trauma otak; infeksi otak
dan meningen.
c. Penyakit dengan demensia sebagai satu-satunya tanda atau tanda yang mencolok:
Penyakit Alzheimer dan penyakit Pick adalah termasuk dalam kategori ini.
Demensia dari segi anatomi dibedakan antara demensia kortikal dan demensia
subkortikal (Tabel 1). Dari etiologi dan perjalanan penyakit dibedakan antara demensia
yang reversibel dan irreversibel.2-4
Tabel 1. Perbedaan demensia kortikal dan subkortikal3
Ciri Demensia Kortikal Demensia Subkortikal
Penampilan Siaga, sehat Abnormal, lemah
Aktivitas Normal Lamban
Sikap Lurus, tegak Bongkok, distonik
Cara berjalan Normal Ataksia, festinasi, seolah
3
berdansa
Gerakan Normal Tremor, khorea, diskinesia
Output verbal Normal Disatria, hipofonik, volum suara
lemah
Berbahasa Abnormal, parafasia,
anomia
Normal
Kognisi Abnormal (tidak mampu
memanipulasi
pengetahuan)
Tak terpelihara (dilapidated)
Memori Abnormal (gangguan
belajar)
Pelupa (gangguan retrieval)
Kemampuan visuo-
spasial
Abnormal (gangguan
konstruksi)
Tidak cekatan (gangguan
gerakan)
Keadaan emosi Abnormal (tak
memperdulikan, tak
menyadari)
Abnormal (kurang dorongan
drive)
Contoh Penyakit Alzheimer, Pick Progressive Supranuclear Palsy,
Parkinson, Penyakit Wilson,
Huntington.
Tabel 2. Beberapa penyebab demensia pada dewasa yang belum dapat diobati/
irreversibel.3
Primer degenerative
- Penyakit Alzheimer
- Penyakit Pick
- Penyakit Huntington
- Penyakit Parkinson
- Degenerasi olivopontocerebellar
- Progressive Supranuclear Palsy
- Degenerasi cortical-basal ganglionic
Infeksi
- Penyakit Creutzfeldt-Jakob
4
- Sub-acute sclerosing panencephalitis
- Progressive multifocal leukoencephalopathy
Metabolik
- Metachromatic leukodyntrophy
- Penyakit Kuf
- Gangliosidoses
Tabel 3. Beberapa penyebab demensia yang dapat diobati/ reversibel.3
Obat-obatan anti-kolinergik (mis. Atropin dan sejenisnya); anti-konvulsan (mis.
Phenytoin, Barbiturat); anti-hipertensi (Clonidine, Methyldopa,
Propanolol); psikotropik (Haloperidol, Phenothiazine); dll (mis.
Quinidine, Bromide, Disulfiram).
Metabolik-gangguan sistemik gangguan elektrolit atau asam-basa; hipo-hiperglikemia; anemia berat;
polisitemia vera; hiperlipidemia; gagal hepar; uremia; insufisiensi
pulmonal; hypopituitarism; disfungsi tiroid, adrenal, atau paratiroid;
disfungsi kardiak; degenerasi hepatolenticular.
Gangguan intrakranial insufisiensi cerebrovascular; meningitis atau encephalitis chronic,
neurosyphilis, epilepsy, tumor, abscess, hematoma subdural, multiple
sclerosis, normal pressure hydrocephalus.
Keadaan defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, pellagra (niacin).
Gangguan collagen-vascular systemic lupus erythematosus, temporal arteritis, sarcoidosis,
syndrome Behcet.
Intoksikasi eksogen alcohol, carbon monoxide, organophosphates, toluene,
trichloroethylene, carbon disulfide, timbal, mercury, arsenic, thallium,
manganese, nitrobenzene, anilines, bromide, hydrocarbons.
2.3. ETIOLOGI
Demensia mempunyai banyak penyebab, tetapi demensia tipe Alzheimer dan
demensia vaskular memiliki prevalensi paling banyak dari semua kasus. Penyebab
demensia lainnya yang disebutkan dalam DSM-IV adalah penyakit Pick, penyakit
5
Creutzfeldt-Jakob, penyakit Parkinson, Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan trauma
kepala.
2.4. DEMENSIA TIPE ALZHEIMER
Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya
diberi nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia menggambarkan seorang wanita
berusia 51 tahun dengan perjalanan demensia progresif selama empat setengah tahun.
Diagnosis akhir penyakit Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak;
namun demikian, demensia tipe Alzheimer biasanya didiagnosis dalam lingkungan klinis
setelah penyebab demensia lainnya telah disingkirkan dari pertimbangan diagnostik.
Penyakit Alzheimer adalah suatu jenis demensia umum yang tidak diketahui
penyebabnya. Penelitian otopsi mengungkapkan bahwa lebih dari setengah penderita yang
meninggal karena demensia senil mengalami penyakit jenis Alzheimer ini. Pada
kebanyakan penderita, berat kasar otak pada saat otopsi jauh lebih rendah dan ventrikel dan
sulkus jauh lebih besar dibandingkan yang normal untuk seukuran usia tersebut.
Demielinasi dan peningkatan kandungan air pada jaringan otak ditemukan berdekatan
dengan ventrikel lateral dan dalam beberapa daerah lain di bagian dalam hemisfer
serebrum pada penderita manula, khususnya mereka yang menderita penyakit Alzheimer.
Pada penderita dengan demensia senil jenis Alzheimer terdapat peningkatan dramatis
(dibandingkan dengan penderita manula normal) dalam jumlah kekusutan neurofibril dan
plak neuritik dan juga penurunan 60-90 persen dalam kadar kolin asetiltransferase (enzim
yang menghasilkan sintesis asetilkolin) di korteks.4
Neuropatologi. Observasi makroskopis neuro-anatomik klasik pada otak dari seorang
pasien dengan penyakit Alzheimer adalah atrofi difus dengan pendataran sulkus kortikal
dan pembesaran ventrikel serebral. Temuan mikroskopis klasik dan patognomonik adalah
bercak-bercak senilis, kekusutan neurofibriler, hilangnya neuronal (kemungkinan sebanyak
50 persen di korteks), dan degenerasi granulovaskular pada neuron. Kekusutan
neurofibriler bercampur dengan elemen sitoskeletal, terutama protein berfosforilasi,
walaupun protein sitoskeletal lainnya juga ditemukan. Kekusutan neurofibriler adalah tidak
6
unik pada penyakit Alzheimer, karena keadaan tersebut juga ditemukan pada sindroma
Down, demensia pugilistic (punch-drunk syndrome), kompleks demensia Parkinson dari
Guam, penyakit Hallervorden-Spatz, dan otak orang lanjut usia yang normal. Kekacauan
neurofibriler biasanya ditemukan di korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus
sereleus.
Plak senilis juga dikenal sebagai plak amiloid, adalah jauh lebih indikatif untuk
penyakit Alzheimer, walaupun keadaan tersebut juga ditemukan pada sindroma Down dan
sampai derajat tertentu, pada penuaan normal.
Protein prekursor amiloid. Gen untuk protein prekursor amiloid adalah pada lengan
panjang kromosom 21. Melalui proses penyambungan diferensial, sesungguhnya terdapat
empat bentuk protein prekursor amiloid. Protein beta/A4, yang merupakan kandungan
utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan 42 asam amino yang merupakan
produk penghancuran protein prekursor amiloid. Pada sindroma Down (trisomi 21),
terdapat tiga cetakan protein prekursor amiloid, dan pada penyakit dimana terjadi mutasi
pada kodon 717 dalam gen protein prekursor amiloid, suatu proses patologis menghasilkan
deposisi protein beta/A4 yang berlebihan. Pertanyaan apakah proses pada protein prekursor
amiloid yang abnormal adalah penyebab utama yang penting pada penyakit Alzheimer
masih belum terjawab. Tetapi, banyak kelompok peneliti secara aktif mempelajari proses
metabolik normal dari protein prekursor amiloid dan prosesnya pada pasien dengan
demensia tipe Alzheimer dalam usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Kelainan neurotransmiter. Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologis
adalah asetilkolin dan norepinefrin, keduanya dihipotesiskan menjadi hipoaktif pada
penyakit Alzheimer. Beberapa penelitian telah melaporkan data yang konsisten dengan
hipotesis bahwa suatu degenerasi spesifik pada neuron kolinergik ditemukan pada nukleus
basalis Meynerti pada pasien dengan penyakit Alzheimer. Data lain yang mendukung
adanya defisit kolinergik pada penyakit Alzheimer adalah penurunan konsentrasi
asetilkolin dan kolin asetiltransferase di dalam otak. Kolin asetiltransferase adalah enzim
kunci untuk sintesis asetilkolin, dan penurunan konsentrasi kolin asetiltransferase
7
menyatakan penurunan jumlah neuron kolinergik yang ada. Dukungan tambahan untuk
hipotesis defisit kolinergik berasal dari observasi bahwa antagonis kolinergik, seperti
skopolamin dan atropin mengganggu kemampuan kognitif, sedangkan agonis kolinergik,
seperti physostigmin dan arecolin, telah dilaporkan meningkatkan kemampuan kognitif.
Penuaian aktivitas norepinefrin pada penyakit Alzheimer diperkirakan dari penurunan
neuron yang mengandung norepinefrin didalam lokus sareleus yang telah ditemukan pada
beberapa pemeriksaan patologis otak dari pasien dengan penyakit Alzheimer. Dua
neurotransmiter lain yang berperan dalam patofisiologi penyakit Alzheimer adalah dua
peptida neuroaktif, somatostatin dan kortikotropin, keduanya telah dilaporkan menurun
pada penyakit Alzheimer.
Penyebab potensial lainnya. Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan
perkembangan penyakit Alzheimer. Satu teori adalah bahwa kelainan dalam pengaturan
metabolisme fosfolipid membran menyebabkan membran yang kekurangan cairan yaitu
lebih kaku dibandingkan normal. Beberapa peneliti telah menggunakan pencitraan
spektroskopik resonansi molekular (molecular resonance spectroscopic: MRS) untuk
memeriksa hipotesis tersebut pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer. Toksisitas
aluminium juga telah dihipotesiskan sebagai faktor kausatif, karena kadar aluminium yang
tinggi telah ditemukan dalam otak beberapa pasien dengan penyakit Alzheimer.
Suatu gen (E4) telah dihubungkan dalam etiologi penyakit Alzheimer. Orang dengan
satu salinan gen menderita penyakit Alzheimer tiga kali lebih sering daripada orang tanpa
gen E4. Orang dengan dua gen E4 mempunyai kemungkinan menderita penyakit delapan
kali lebih sering daripada orang tanpa gen E4.5
2.5. DEMENSIA VASKULAR
Penyebab utama dari demensia vaskular dianggap adalah penyakit vaskular serebral
yang multipel, yang menyebabkan suatu pola gejala demensia. Gangguan dulu disebut
sebagai demensia multi-infark dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders edisi ketiga yang di revisi (DSM-III-R). Demensia vaskular paling sering pada
laki-laki, khususnya pada mereka dengan hipertensi yang telah ada sebelumnya atau faktor
8
risiko kardiovaskular lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral
berukuran kecil dan sedang, yang mengalami infark menghasilkan lesi parenkim multipel
yang menyebar pada daerah otak yang luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi
pembuluh darah oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh
(sebagai contohnya katup jantung). Suatu pemeriksaan pasien dapat menemukan bruit
karotis, kelainan funduskopi, atau pembesaran kamar jantung.
2.6. PENYAKIT PICK
Berbeda dengan distribusi patologi parietal-temporal pada penyakit Alzheimer,
penyakit Pick ditandai oleh atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal. Daerah
tersebut juga mengalami kehilangan neuronal, gliosis, dan adanya badan Pick neuronal
yang merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa
spesimen postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. Penyebab penyakit Pick
tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-kira lima persen dari semua demensia yang
irreversibel. Penyakit ini paling sering terjadi pada laki-laki, khususnya mereka yang
mempunyai sanak saudara derajat pertama dengan kondisi tersebut. Penyakit Pick sulit
dibedakan dari demensia tipe Alzheimer, walaupun stadium awal penyakit Pick lebih
sering ditandai oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang
relatif bertahan. Gambaran sindroma Kluver-Bucy (sebagai contohnya, hiperseksualitas,
plasiditas, hiperoralitas) adalah jauh lebih sering pada penyakit Pick dibandingkan pada
penyakit Alzheimer.
2.7. PENYAKIT CREUTZFELDT-JAKOB
Penyakit Creutzfeldt-Jakob adalah penyakit degeneratif otak yang jarang, yang
disebabkan oleh agen yang progresif secara lambat, dan dapat ditransmisikan (yaitu, agen
infektif), paling mungkin suatu prion, yang merupakan agen proteinaseus yang tidak
mengandung DNA atau RNA. Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan prion
adalah scrapie (penyakit pada domba), kuru (suatu gangguan degeneratif sistem saraf pusat
yang fatal pada suku di dataran tinggi Guinea dimana prion ditransmisikan melalui
kanibalisme ritual), dan sindroma Gesrtman-Straussler (suatu demensia progresif, familial,
9
dan sangat jarang). Semua gangguan yang yang berhubungan dengan prion menyebabkan
degenerasi berbentuk spongiosa pada otak, yang ditandai dengan tidak adanya respon imun
inflamasi.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa pada manusia penyakit Creutzfeldt-Jakob dapat
ditransmisikan secara iatrogenik, melalui transplantasi kornea atau instrumen bedah yang
terinfeksi. Tetapi, sebagian besar penyakit, tampaknya sporadik, mengenai individual
dalam usia 50-an. Terdapat bukti bahwa periode inkubasi mungkin relatif singkat (satu
sampai dua tahun) atau relatif lama (delapan sampai 16 tahun). Onset penyakit ditandai
oleh perkembangan tremor, ataksia gaya berjalan, mioklonus, dan demensia. Penyakit
biasanya secara cepat progresif menyebabkan demensia yang berat dan kematian dalam 6
sampai 12 tahun. Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya tidak mengungkapkan
kelainan, dan pemeriksaan tomografi komputer dan MRI mungkin normal sampai
perjalanan gangguan yang lanjut. Penyakit ditandai oleh adanya pola elektroensefalogram
(EEG) yang tidak biasa, yang terdiri dari lonjakan gelombang lambat dengan tegangan
tinggi.
2.8. PENYAKIT BINSWANGER
Penyakit Binswanger juga dikenal sebagai ensefalopati arteriosklerotik kortikal.
Penyakit ini ditandai dengan adanya banyak infark-infark kecil pada substansia alba, jadi
menyerang daerah kortikal. Walaupun penyakit Binswanger sebelumnya dianggap sebagai
kondisi yang jarang, kemajuan teknik pencitraan yang canggih dan kuat, seperti pencitraan
resonansi magnetik (magnetic resonance imaging: MRI), telah menemukan bahwa kondisi
tersebut adalah lebih sering daripada yang sebelumnya dipikirkan.
2.9. PENYAKIT HUNTINGTON
Penyakit Huntington biasanya disertai dengan perkembangan demensia. Demensia
yang terlihat pada penyakit Huntington adalah tipe demensia subkortikal, yang ditandai
oleh kelainan motorik yang lebih banyak dan kelainan bicara yang lebih sedikit
dibandingkan tipe demensia kortikal (tabel 1). Demensia pada penyakit Huntington
ditandai oleh perlambatan psikomotor dan kesulitan melakukan tugas yang kompleks,
10
tetapi ingatan, bahasa, dan tilikan tetap relatif utuh pada stadium awal dan menengah dari
penyakit. Tetapi, saat penyakit berkembang, demensia menjadi lengkap dan ciri yang
membedakan penyakit ini dari demensia tipe Alzheimer adalah tingginya insidensi depresi
dan psikosis, disamping gangguan pergerakan koreoatetoid yang klasik.
2.10. PENYAKIT PARKINSON
Seperti penyakit Huntington, parkinsonisme adalah suatu penyakit pada ganglia
basalis yang sering disertai dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20 sampai 30
persen pasien dengan penyakit Parkinson menderita demensia, dan tambahan 30 sampai 40
persen mempunyai gangguan kemampuan kognitif yang dapat diukur. Pergerakan yang
lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson adalah disertai dengan berpikir yang lambat
pada beberapa pasien yang terkena, suatu ciri yang disebut oleh beberapa dokter sebagai
bradifenia (bradyphenia).
2.11. DEMENSIA YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIV
Infeksi dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) seringkali menyebabkan
demensia dan gejala psikiatrik lainnya. Pasien yang terinfeksi dengan HIV mengalami
demensia dengan angka tahunan kira-kira 14 persen. Diperkirakan 75 persen pasien dengan
sindroma immunodefisiensi didapat (AIDS) mempunyai keterlibatan sistem saraf pusat
saat otopsi. Perkembangan demensia pada pasien yang terinfeksi HIV seringkali disertai
oleh tampaknya kelainan parenkimal pada pemeriksaan MRI.
2.12. DEMENSIA YANG BERHUBUNGAN DENGAN TRAUMA KEPALA
Demensia dapat merupakan suatu sekuela dari trauma kepala, demikian juga
berbagai sindroma neuropsikiatrik.
2.13. GAMBARAN KLINIK DEMENSIA
Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks, termasuk
gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan gangguan kognitif berikut ini:
afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi eksekutif. Defisit kognitif harus
11
sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi sosial atau okupasional (pergi ke sekolah,
bekerja, berbelanja, berpakaian, mandi, mengurus uang, dan kehidupan sehari-hari lainnya)
serta harus menggambarkan menurunnya fungsi luhur sebelumnya.
1. Gangguan memori
Dalam bentuk ketidakmampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru, atau
lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Sebagian
penderita demensia mengalami kedua jenis gangguan memori tadi. Penderita
seringkali kehilangan dompet dan kunci, lupa bahwa sedang meninggalkan bahan
masakan di kompor yang menyala, dan merasa asing terhadap tetangganya. Pada
demensia tahap lanjut, gangguan memori menjadi sedemikian berat sehingga
penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota keluarga, dan bahkan
terhadap namanya sendiri.1
2. Gangguan orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat, dan
waktu. Orientasi dapat terganggu secara progresif selama perjalanan penyakit
demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana
kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi. Tetapi, tidak masalah
bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak menunjukkan gangguan pada tingkat
kesadaran.
3. Afasia
Dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda. Penderita
afasia berbicara secara samar-samar atau terkesan hampa, dengan ungkapan kata-kata
yang panjang, dan menggunakan istilah-istilah yang tak menentu misalnya “anu”,
“itu”, “apa itu”. Bahasa lisan dan tertulis dapat pula terganggu. Pada tahap lanjut,
penderita dapat menjadi bisu atau mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan
oleh ekolalia (menirukan apa yang dia dengar) atau palilalia yang berarti mengulang
suara atau kata terus-menerus.
4. Apraksia
Adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun kemampuan
motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap baik. Penderita dapat
12
mengalami kesulitan dalam menggunakan benda tertentu (menyisir rambut) atau
melakukan gerakan yang telah dikenali (melambaikan tangan). Apraksia dapat
mengganggu keterampilan memasak, mengenakan pakaian, menggambar.
5. Agnosia
Adalah ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda
maupun fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat mengenali
kursi, pena, meskipun visusnya baik. Akhirnya, penderita tak mengenal lagi anggota
keluarganya dan bahkan dirinya sendiri yang tampak pada cermin. Demikian pula,
walaupun sensasi taktilnya utuh, penderita tak mampu mengenali benda yang
diletakkan di tangannya atau yang disentuhnya misalnya kunci atau uang logam.
6. Gangguan fungsi eksekutif
Yaitu merupakan gejala yang sering dijumpai pada demensia. Gangguan ini
mempunyai kaitan dengan gangguan di lobus frontalis atau jaras-jaras subkortikal
yang berhubungan dengan lobus frontalis. Fungsi eksekutif melibatkan kemampuan
berpikir abstrak, merencanakan, mengambil inisiatif, membuat urutan, memantau,
dan menghentikan kegiatan yang kompleks. Gangguan dalam berpikir abstrak dapat
muncul sebagai kesulitan dalam menguasai tugas/ide baru serta menghindari situasi
yang memerlukan pengolahan informasi baru atau kompleks.
7. Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling
mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Sifat kepribadian sebelumnya
mungkin diperkuat selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga
mungkin menjadi introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efek
perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai waham
paranoid biasanya bersikap bermusuhan terhadap anggota keluarga dan pengasuhnya.
Pasien dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan mengalami perubahan
kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan meledak-ledak.
8. Gangguan Lain
Psikiatri. Disamping psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan
kecemasan adalah gejala utama pada kira-kira 40 sampai 50 persen pasien demensia,
13
walaupun sindroma gangguan depresif yang sepenuhnya mungkin hanya ditemukan
pada 10 sampai 20 persen pasien demensia. Pasien dengan demensia juga
menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis, yaitu emosi yang ekstrim tanpa
provokasi yang terlihat.
Neurologis. Disamping afasia pada pasien demensia, apraksia dan agnosia
adalah sering, dan keberadaannya dimasukkan sebagai kriteria diagnostik potensial
dalam DSM-IV. Tanda neurologis lain yang dapat berhubungan dengan demensia
adalah kejang, yang terlihat pada kira-kira 10 persen pasien dengan demensia tipe
Alzheimer dan 20 persen pasien dengan demensia vaskular, dan presentasi
neurologis yang atipikal, seperti sindroma lobus parietalis nondominan. Refleks
primitif-seperti refleks menggenggam, moncong, mengisap, kaki-tonik, dan
palmomental-mungkin ditemukan pada pemeriksaan neurologis, dan jerks mioklonik
ditemukan pada lima sampai sepuluh persen pasien.
Pasien dengan demensia vaskular mungkin mempunyai gejala neurologis
tambahan-seperti nyeri kepala, pusing, pingsan, kelemahan, tanda neurologis fokal,
dan gangguan tidur-mungkin menunjukkan lokasi penyakit serebrovaskular. Palsi
serebrobulbar, disartria, dan disfagia juga lebih sering pada demensia vaskular
dibandingkan demensia lain.
Reaksi katastropik. Pasien demensia juga menunjukkan penurunan
kemampuan untuk menerapkan apa yang disebut oleh Kurt Goldstein sebagai
perilaku abstrak. Pasien mempunyai kesulitan dalam generalisasi dari suatu contoh
tunggal, dalam membentuk konsep, dan dalam mengambil perbedaan dan persamaan
di antara konsep-konsep. Selanjutnya, kemampuan untuk memecahkan masalah,
untuk memberikan alasan secara logis, dan untuk membuat pertimbangan yang sehat
adalah terganggu. Goldstein juga menggambarkan suatu reaksi katastropik, yang
ditandai oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit
intelektualnya di bawah keadaan yang menegangkan. Pasien biasanya berusaha untuk
mengkompensasi defek tersebut dengan menggunakan strategi untuk menghindari
terlihatnya kegagalan dalam daya intelektual, seperti mengubah subjek, membuat
lelucon, atau mengalihkan pewawancara dengan cara lain. Tidak adanya
14
pertimbangan atau control impuls yang buruk sering ditemukan, khususnya pada
demensia yang terutama mempengaruhi lobus frontalis. Contoh dari gangguan
tersebut adalah bahasa yang kasar, humor yang tidak sesuai, pengabaian penampilan
dan higiene pribadi, dan mengabaikan aturan konvensional tingkah laku sosial.
Sindroma Sundowner. Sindroma ini ditandai oleh mengantuk, konfusi,
ataksia, dan terjatuh secara tidak disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut
usia yang mengalami sedasi berat dan pada pasien demensia yang bereaksi secara
menyimpang bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif. Sindroma juga terjadi pada
pasien demensia jika stimuli eksternal, seperti cahaya dan isyarat yang menyatakan
interpersonal, adalah menghilang.
Pemeriksaan neurologis dasar tidak menemukan sesuatu yang abnormal. Hasil
dari semua pemeriksaan laboratorium adalah normal, termasuk B12, folat, T4 dan
serologi; tetapi pemeriksaan tomografi komputer menunjukkan atrofi kortikal yang
nyata.2-4
2.14. DIAGNOSIS
Diagnosis demensia didasarkan pada pemeriksaan klinis pasien, termasuk
pemeriksaan suatu mental, dan pada informasi dari anggota keluarga, teman-teman, dan
perusahaan. Keluhan perubahan kepribadian pada seorang pasien yang berusia lebih dari
40 tahun menyatakan bahwa suatu diagnosis demensia harus dipertimbangkan dengan
cermat.
Keluhan dari pasien tentang gangguan intelektual dan menjadi pelupa harus
diperhatikan, demikian juga tiap bukti pengelakan, penyangkalan, atau rasionalisasi yang
ditujukan untuk menyembunyikan defisit kognitif. Keteraturan yang berlebihan, penarikan
sosial atau kecenderungan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam perincian
yang kecil-kecil dapat merupakan karakteristik. Ledakan kemarahan yang tiba-tiba atau
sarkasme dapat terjadi. Penampilan dan perilaku pasien harus diperhatikan. Labilitas
emosional, dandanan yang kotor, ucapan yang tidak tertahan, gurauan yang bodoh, atau
ekspresi wajah atau gaya yang bodoh, apatik atau kosong menyatakan adanya demensia,
terutama jika disertai dengan gangguan ingatan.
15
1. Demensia tipe Alzheimer
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk demensia tipe Alzheimer menekankan
adanya gangguan ingatan dan disertai terdapatnya sekurang-kurangnya satu gejala
lain dari penurunan kognitif (afasia, apraksia, agnosia, atau fungsi eksekutif yang
abnormal). Kriteria diagnostik juga memerlukan suatu penurunan yang terus menerus
dan bertahap pada fungsi, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan, dan menyingkirkan
penyebab demensia lainnya. DSM-IV menyatakan bahwa usia dari onset dapat
digolongkan sebagai awal (pada usia 65 tahun atau kurang) atau lambat (setelah usia
65 tahun) dan gejala perilaku yang predominan dapat diberi kode dengan diagnosis,
jika sesuai.
2. Demensia Vaskular
Gejala umum dari demensia vaskular adalah sama dengan gejala untuk
demensia tipe Alzheimer, tetapi diagnosis demensia vaskular memerlukan bukti
klinis maupun laboratoris yang mendukung penyebab vaskular dari demensia.
3. Demensia karena kondisi medis lainnya
DSM-IV menuliskan enam penyebab spesifik demensia yang dapat diberi kode
secara langsung: penyakit HIV, trauma kepala, penyakit Parkinson, penyakit
Huntington, penyakit Pick, dan penyakit Creutz-feldt-Jakob. Suatu kategori ketujuh
memungkinkan dokter menspesifikasi kondisi medis nonpsikiatrik lainnya yang
berhubungan dengan demensia.
4. Demensia menetap akibat zat
Alasan utama bahwa kategori DSM-IV ini dituliskan dengan demensia dan
gangguan yang berhubungan dengan zat adalah untuk mempermudah dokter berpikir
tentang diagnosis banding. Zat spesifik yang merupakan referensi silang DSM-IV
adalah alkohol, inhalan, sedatif, hipnotik, atau ansiolitik, dan zat lain atau yang tidak
diketahui.
2.15. DIAGNOSIS BANDING
Perbaikan yang terus menerus dalam teknik pencitraan otak, khususnya MRI, telah
membuat perbedaan antara demensia, terutama demensia tipe Alzheimer dan demensia
16
vaskular agak lebih cepat dibandingkan di masa lalu pada beberapa kasus. Suatu bidang
penelitian yang sedang giat dilakukan adalah menggunakan tomografi komputer emisi
foton tunggal (single photon emission computed tomography; SPECT) untuk mendeteksi
pola metabolisme otak dalam berbagai jenis demensia; dan tidak lama lagi, penggunaan
pencitraan SPECT dapat membantu dalam diagnosis banding klinis penyakit demensia.
a. Demensia tipe Alzheimer versus demensia vaskular
Biasanya demensia vaskular telah dibedakan dari demensia tipe Alzheimer
dengan pemburukan yang mungkin menyertai penyakit serebrovaskular selama satu
periode waktu. Walaupun pemburukan yang jelas dan bertahap mungkin tidak
ditemukan pada semua kasus, gejala neurologis fokal adalah lebih sering pada
demensia vaskular dibandingkan pada demensia tipe Alzheimer, demikian juga
faktor risiko standar untuk penyakit serebrovaskular.
b. Demensia vaskular versus Serangan Iskemik Transien
Serangan iskemik transien (transient ischemic attacks/ TIA) adalah episode
singkat disfungsi neurologis fokal yang berlangsung kurang dari 24 jam (biasanya
lima sampai 15 menit). Walaupun terdapat berbagai mekanisme yang mungkin
bertanggung jawab, episode seringkali disebabkan oleh mikroembolisasi dari suatu
lesi intrakranial proksimal yang menyebabkan iskemia otak transien, dan episode
biasanya menghilang tanpa perubahan patologis yang bermakna pada jaringan
parenkim. Kira-kira sepertiga pasien dengan serangan iskemik transien yang tidak
diobati selanjutnya mengalami suatu infark otak; dengan demikian, pengenalan
serangan iskemik transien adalah suatu strategi klinis yang penting untuk mencegah
infark otak.
c. Delirium
Gangguan memori terjadi baik pada delirium maupun pada demensia. Delirium
juga dicirikan oleh menurunnya kemampuan untuk mempertahankan dan
memindahkan perhatian secara wajar. Gejala delirium bersifat fluktuatif, sementara
demensia menunjukkan gejala yang relatif stabil. Gangguan kognitif yang bertahan
tanpa perubahan selama beberapa bulan lebih mengarah kepada demensia daripada
17
delirium. Delirium dapat menutupi dejala demensia. Dalam keadaan sulit untuk
membedakan apakah terjadi delirium atau demensia, maka dianjurkan untuk memilih
demensia sebagai diagnosa sementara, dan mengamati penderita lebih lanjut secara
cermat untuk menentukan jenis gangguan yang sebenarnya.
d. Depresi
Depresi yang berat dapat disertai keluhan tentang gangguan memori, sulit
berpikir dan berkonsentrasi, dan menurunnya kemampuan intelektual secara
menyeluruh. Kadang-kadang penderita menunjukkan penampilan yang buruk pada
pemeriksaan status mental dan neuropsikologi. Terutama pada lanjut usia, sering kali
sulit untuk menentukan apakah gejala gangguan kognitif merupakan gejala demensia
atau depresi. Kesulitan ini dapat dipecahkan melalui pemeriksaan medik yang
menyeluruh dan evaluasi awitan gangguan yang ada, urutan munculnya gejala
depresi dan gangguan kognitif, perjalanan penyakit, riwayat keluarga, serta hasil
pengobatan. Apabila dapat dipastikan bahwa terdapat demensia bersama-sama
dengan depresi, dengan etiologi yang berbeda, kedua diagnosis dapat ditegakkan
bersama-sama.
e. Amnesia
Amnesia dicirikan oleh gangguan memori yang berat tanpa gangguan fungsi
kognitif lainnya (afasia, apraksia, agnosia, dan gangguan eksekutif/daya abstraksi).
f. Retardasi mental
Retardasi mental dicirikan oleh fungsi intelektual di bawah rata-rata, yang
diiringi oleh gangguan dalam penyesuaian diri, yang awitannya di bawah 18 tahun.
Apabila demensia tampak pada usia di bawah 18 tahun, diagnosis demensia dan
retardasi mental dapat ditegakkan bersama-sama asal kriterianya terpenuhi.
g. Skizofrenia
Pada skizofrenia mungkin terjadi gangguan kognitif multipleks, tetapi
skizofrenia muncul pada usia lebih muda; disamping itu dicirikan oleh pola gejala
yang khas tanpa disertai etiologi yang spesifik. Yang khas, gangguan kognitif pada
skizofrenia jauh lebih berat daripada gangguan kognitif pada demensia.1
18
2.16. TERAPI
Beberapa kasus demensia dianggap dapat diobati karena jaringan otak yang
disfungsional dapat menahan kemampuan untuk pemulihan jika pengobatan dilakukan
tepat pada waktunya. Riwayat medis yang lengkap, pemeriksaan fisik, dan tes
laboratorium, termasuk pencitraan otak yang tepat, harus dilakukan segera setelah
diagnosis dicurigai. Jika pasien menderita akibat suatu penyebab demensia yang dapat
diobati, terapi diarahkan untuk mengobati gangguan dasar.
Pendekatan pengobatan umum pada pasien demensia adalah untuk memberikan
perawatan medis suportif, bantuan emosional untuk pasien dan keluarganya, dan
pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik, termasuk gejala perilaku yang
mengganggu. Pemeliharaan kesehatan fisik pasien, lingkungan yang mendukung, dan
pengobatan farmakologis simptomatik diindikasikan dalam pengobatan sebagian besar
jenis demensia. Pengobatan simptomatik termasuk pemeliharaan diet gizi, latihan yang
tepat, terapi rekreasi dan aktivitas, perhatian terhadap masalah visual dan audiotoris, dan
pengobatan masalah medis yang menyertai, seperti infeksi saluran kemih, ulkus dekubitus,
dan disfungsi kardiopulmonal. Perhatian khusus karena diberikan pada pengasuh atau
anggota keluarga yang menghadapi frustasi, kesedihan, dan masalah psikologis saat
mereka merawat pasien selama periode waktu yang lama.
Jika diagnosis demensia vaskular dibuat, faktor risiko yang berperan pada penyakit
kardiovaskular harus diidentifikasi dan ditanggulangi secara terapetik. Faktor-faktor
tersebut adalah hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, penyakit jantung, diabetes dan
ketergantungan alkohol. Pasien dengan merokok harus diminta untuk berhenti, karena
penghentian merokok disertai dengan perbaikan perfusi serebral dan fungsi kognitif.
Terdapat lima hambatan utama sehubungan dengan terapi demensia:
1. Kompleksitas biologi dan biokimia otak; interaksi dan ketergantungan antar
komponen belum diketahui secara jelas
2. Kesulitan dalam hal menentukan diagnosis etiologik dari sindrom psiko-organik
3. Tiadanya korelasi antara perilaku, gejala neurologik atau neuropsikologik, dan
perubahan metabolik yang ada
19
4. Belum diketahuinya batas-batas biologik gangguan yang ada, sehubungan dengan
aspek farmakologik
5. Kesulitan dalam hal metodologi untuk mengevaluasi efek terapetik, terutama dalam
menginterpretasi hasil kelompok-kelompok penelitian
Untuk demensia tidak ada terapi spesifik atau drug of choice. Terapi demensia bukan
sekedar pemberian obat-obatan. Pihak keluarga harus diberi penyuluhan tentang situasi
demensia; dengan demikian keluarga dapat merawat penderita di rumah dengan tepat.
Obat untuk demensia
a. Cholinergic-enhancing agents
Untuk terapi demensia jenis Alzheimer, telah banyak dilakukan penelitian.
Pemberian cholinergic-enhancing agents menunjukkan hasil yang lumayan pada
beberapa penderita; namun demikian secara keseluruhan tidak menunjukkan
keberhasilan sama sekali. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa demensia
alzheimerntidak semata-mata disebabkan oleh defisiensi kolinergik; demensia ini
juga disebabkan oleh defisiensi neurotransmitter lainnya. Sementara itu, kombinasi
kolinergik dan noradrenergic ternyata bersifat kompleks; pemberian obat kombinasi
ini harus hati-hati karena dapat terjadi interaksi yang mengganggu sistem
kardiovaskular.
b. Choline dan lecithin
Defisit asetilkolin di korteks dan hipokampus pada demensia Alzheimer dan
hipotesis tentang sebab dan hubungannya dengan memori mendorong peneliti untuk
mengarahkan perhatiannya pada neurotransmitter. Pemberian prekursor, choline dan
lecithin merupakan salah satu pilihan dan memberi hasil lumayan, namun demikian
tidak memperlihatkan hal yang istimewa. Dengan choline ada sedikit perbaikan
terutama dalam fungsi verbal dan visual. Dengan lecithin hasilnya cenderung negatif,
walaupun dengan dosis yang berlebih sehingga kadar dalam serum mencapai 120
persen dan dalam cairan serebrospinal naik sampai 58 persen.
20
c. Neuropeptide, vasopressin dan ACTH
Pemberian neuropetida, vasopressin dan ACTH perlu memperoleh perhatian.
Neuropeptida dapat memperbaiki daya ingat semantik yang berkaitan dengan
informasi dan kata-kata. Pada lansia tanpa gangguan psiko-organik, pemberian
ACTH dapat memperbaiki daya konsentrasi dan memperbaiki keadaan umum.
d. Nootropic agents
Dari golongan nootropic substances ada dua jenis obat yang sering digunakan
dalam terapi demensia, ialah nicergoline dan co-dergocrine mesylate. Keduanya
berpengaruh terhadap katekolamin. Co-dergocrine mesylate memperbaiki perfusi
serebral dengan cara mengurangi tahanan vaskular dan meningkatkan konsumsi
oksigen otak. Obat ini memperbaiki perilaku, aktivitas, dan mengurangi bingung,
serta memperbaiki kognisi. Disisi lain, nicergoline tampak bermanfaat untuk
memperbaiki perasaan hati dan perilaku.
e. Dihydropyridine
Pada lansia dengan perubahan mikrovaskular dan neuronal, L-type calcium
channels menunjukkan pengaruh yang kuat. Lipophilic dihydropyridine bermanfaat
untuk mengatasi kerusakan susunan saraf pusat pada lansia. Nimodipin bermanfaat
untuk mengembalikan fungsi kognitif yang menurun pada lansia dan demensia jenis
Alzheimer. Nimodipin memelihara sel-sel endothelial/kondisi mikrovaskular tanpa
dampak hipotensif; dengan demikian sangat dianjurkan sebagai terapi alternatif
untuk lansia terutama yang mengidap hipertensi esensial.5
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper AH, Brown RH, editors. Adams and Victors principles of neurology. 8th ed. New
York: Mc Graw Hill; 2005. p.355-66.
2. Greenberg DA. Aminoff MJ, Simon RP. Clinical neurology. 5 th ed. New York: Lange; 2002.
p.8-60.
3. Rohkamm R. Color atlas of neurology. New York: Thieme; 2008. p.70-89.
4. Baehr M, Fotscher M. Diagnosis topic neurologi Duus: anatomi, tanda, gejala. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010. h.286..
5. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA. The human nervous system
structure and function. 6th ed. New Jersey: Humana Press; 205. p.460-70.
22
Recommended