FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING
PADA ANAK USIA 6-23 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
PISANGAN KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2018
SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
Oleh:
NURUL FARHANAH SYAH
11141010000002
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, November 2018
Nurul Farhanah Syah, NIM: 11141010000002
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Anak
Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan
Kota Tangerang Selatan Tahun 2018
xxvii + 156 halaman, 17 tabel, 4 bagan
ABSTRAK
Stunting merupakan suatu kondisi gangguan pertumbuhan linier akibat
kekurangan asupan yang bersifat kronik dan banyak muncul di wilayah negara
berkembang termasuk Indonesia. Anak dikatakan memiliki status stunting apabila
hasil pengukuran panjang badan menurut umur (PB/U) menunjukkan angka
dibawah minus dua standart deviasi (<-2 SD). Stunting dapat jelas teramati pada
masa anak-anak. Untuk itu intervensi dini diperlukan untuk menurunkan angka
kejadian agar dapat meminimalisir dampak dari kejadian stunting.
Berdasarkan Data Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan tahun 2015 bahwa puskesmas Pisangan merupakan puskesmas dengan
peringkat teratas dalam masalah stunting pada balita (0-59 bulan) dengan angka
kejadian stunting sebesar 25,46%. Dengan kategori pendek sebanyak 11,82% dan
sangat pendek sebanyak 13,64%. Angka kejadian stunting tersebut termasuk
dalam masalah kesehatan masyarakat karena lebih dari 20%.
Penelitian ini dilakukan pada bulan September-Oktober 2018 yang
berlokasi di wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan. Jenis
penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Penelitian ini
dilakukan kepada 132 pasang ibu dan anak usia 6-23 bulan di seluruh posyandu
yang berada di wilayah kerja Puskesmas Pisangan .
Hasil penelitian menunjukkan variabel yang memiliki hubungan
dengan status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak
usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan
tahun 2018 adalah berat badan lahir (p=0.015), panjang badan lahir (p=0.029),
tinggi badan ibu (p=0.028), asupan kalsium (p=0.031), pola asuh (p=0.000) dan
riwayat infeksi (p=0.000). Adapun variabel yang tidak berhubungan adalah jarak
kelahiran (p=0.895), asupan energi (p=0.723), asupan protein (p=0.327) dan ASI
eksklusif (p=0.755).
Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar peran surveilans gizi
khusunya pada stunting ditingkatkan. Dengan mengetahui lebih dini diharapkan
dapat meminimalisir risiko stunting. Selain itu, untuk penelitian selanjutnya
memasukkan faktor lain yang menyebabkan masalah stunting, melakukan FFQ
untuk mengetahui gambaran asupan makan dalam waktu yang lama, meneliti
durasi dan frekuensi ASI terhadap stunting dan menggunakan desain studi kohort
untuk menjawab hubungan sebab akibat.
Daftar Bacaan: 67 (1997-2018)
Kata Kunci: Stunting, faktor yang berhubungan, usia 6-23 bulan.
iii
STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
MAJOR OF EPIDEMIOLOGY
Undergraduated Thesis, November 2018
Nurul Farhanah Syah, NIM: 11141010000002
Factors Associated with the incidence of Stunting in Children aged 6-23
Months in the Work Area of Pisangan Health Center
South Tangerang City in 2018
xxvii + 156 pages, 17 tables, 4 charts
ABSTRACT
Stunting is a reduced growth rate due to chronically inadequate intake of
nutrition. It is occurred mostly in developing countrie, including Indonesia.
Children are categorized as stunting if the measurement of body length according
to age (PB / U) is below minus two standard deviation (<-2 SD). Stunting can be
clearly observed in childhood. Therefore, early intervention is needed to prevent
stunting.
Based on the Health Profile Data of Tangerang City Health Office, it was
found that Pisangan Public Health Center has the highest ranking of stunting
problems in infants (0-59 months). The stunting incidence was 25.46%, with a
short category (11.82%) and very short category ( 13.64%). The stunting
incidence is considered as public health problems because it is more than 20%.
This research was carried out in the working area of Pisangan Public
Health Center, South Tangerang City during September-October 2018. This is a
quantitative research with a cross sectional study design. This study was involved
132 pairs of mothers and children aged 6-23 months in all Posyandu located in
the working area of Pisangan Public Health Center.
The results showed variables which were significantly related to
nutritional status based on body length according to age (PB / U) in children
aged 6-23 months in the working area of Pisangan Public Health Center in South
Tangerang in 2018. Those were birth weight (p = 0.015), birth length ( p =
0.029), maternal height (p = 0.028), calcium intake (p = 0.031), parenting (p =
0,000) and graph of infection (p = 0,000). While the variables that has no
significant relationship were birth space (p = 0.895), energy intake (p = 0.723),
protein intake (p = 0.327) and exclusive breastfeeding (p = 0.755).
Based on the research results, it is suggested that the role of nutrition
surveillance particularly stunting is need to be improved. Early awareness can
minimize the risk of stunting. In addition, further research should include other
factors that cause stunting problems, conduct FFQ to know the nutrition intake in
longer duration, assess the effect of duration and frequency of breastfeeding
against stunting and use a cohort study design to answer causal relationships.
Reading list: 67 (1997-2018)
Keywords: Stunting, related factors, ages 6-23 months.
iii
iii
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi
Nama : Nurul Farhanah Syah
Tempat/ Tanggal Lahir : Medan, 27 juli 1996
Jenis Kelamin : perempuan
No. Telp : 085362140057
Alamat Email : [email protected]
Alamat : Jalan Kutilang X No. 328 Perumnas
Mandala, Medan.
B. Riwayat Pendidikan
2000-2002 : TKA/TPA Ikhlasul Amal Medan
2002-2008 : Madrasah Ibtidaiyyah Negeri SEI AGUL
Medan
2008-2011 : Madrasah Tsanawiyyah Negeri 2 Medan
2011-2014 : Madrasah Aliyyah Negeri 1 Medan
2014-Sekarang : Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
C. Pengalaman Organisasi
2007-2008 :Anggota Dokter Kecil Madrasah
Ibtidaiyyah Negeri SEI AGUL Medan
ix
2008-2010 :Anggota Pancak Silat Walet Putih Madrasah
Tsanawiyyah Negeri 2 Medan
2009-2010 : Sekretaris Dokter Remaja Madrasah
Tsanawiyyah Negeri 2 Medan
2009-2010 : Sekretaris Club Basket Madrasah
Tsanawiyyah Negeri 2 Medan
2010-2011 : Ketua 1 Dokter Remaja Madrasah
Tsanawiyyah Negeri 2 Medan
2011-2012 : Anggota Kursus Kader Dakwah Madrasah
Aliyyah Negeri 1 Medan
2011-2014 : Anggota Fahmil Qur’an Madrasah Aliyyah
Negeri 1 Medan
2012-2013 : Sekertaris Koordinator Bidang Dakwah
OSIS Madrasah Aliyyah Negeri 1 Medan
2013-2014 :Demisioner/ instruktur Kursus Kader
Dakwah Madrasah Aliyyah Negeri 1 Medan
2014-Sekarang :Anggota Keluarga Alumni Madrasah
Aliyyah Negeri 1 Medan se-
JABODETABEK
2016-Sekarang : Anggota Paduan Suara Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
2016-2017 : Sekretaaris Departemen Sosial Masyarakat
Epidemiologi Student Association (ESA)
x
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
D. Pengalaman Kerja
2016 Dan 2017 : Pengalaman Kerja Lapangan I Dan II Di
Wilayah Kerja Puskesmas Parigi, Kota
Tangerang Selatan
2018 : Magang Di Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan
xi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang
atas limpahan rahmat dan nikmat karena keberkahanNya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada
Rasulullah saw yang telah menjadi tauladan bagi umatnya. Skripsi ini berjudul
“Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Anak
Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018”. Skripsi
ini disusun untuk memperoleh gelar Sarjana kesehatan Masyarakat Univeritas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Keberhasilan dalam penulisan skripsi
ini tentunya berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Mama (Nurkhalishah MG) dan Ayah (Syahniman)
yang tiada henti memberikan cinta dan kasih sayangnya, selalu mendoakan,
memberikan semangat, serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
2. Bapak Prof Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes,Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku kepala Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Narila Mutia Nasir, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi. Terima
kasih atas waktu dan arahan yang diberikan setiap bimbingan, serta
xii
semangat dan motivasi yang diberikan untuk penulis segera menyelesaikan
skripsi ini.
5. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan izin penulis
untuk melakukan penelitian di salah satu puskesmas di Kota Tangerang
Selatan
6. Puskesmas Pisangan yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan
penelitian di wilayah kerja Puskesmas Pisangan.
7. Ibu Jamilah Amaliyah sebagai TPG (Tim Pengawas Gizi) Puskesmas Pisangan
yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
8. Para kader Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan yang telah
membatu dalam proses pengambilan data dan memberi dukungan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Kakanda tersayang Nurul Sakinah Syah dan Nurul Hasalah Syah yang
senantiasa mendoakan, memberikan semangat, serta dukungan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Sahabat Instruktur (Sahabat se-Syurga) yang telah memberikan semangat,
motivasi serta dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman Peminatan Epidemiologi 2014 yang selalu memberikan
semangat dan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
12. Teman-teman Kesehatan Masyarakat angkatan 2014 yang telah memberikan
semangat dan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
xiii
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih terdapat keterbatasan
dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis berharap kritik dan saran dari semua
pihak untuk menyempurnnakan penelitian ini. Semoga ketulusan serta dukungan
yang telah diberikan dari seluruh pihak yang telah disebutkan mendapatkan
keberkahan dari Allah SWT.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Jakarta, Desember 2018
Nurul Farhanah Syah
xiv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ............................. Error! Bookmark not defined.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP......................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... xviii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ xx
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................. xxi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xxiii
BAB 1 .................................................................................................................................. i
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 4
C. Pertanyaan penelitian .............................................................................................. 5
D. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 7
1. Tujuan Umum ..................................................................................................... 7
2. Tujuan Khusus .................................................................................................... 7
E. Manfaat Penelitian .................................................................................................. 9
1. Bagi Puskesmas Pisangan ................................................................................... 9
2. Bagi ibu anak (masyarakat)................................................................................. 9
3. Bagi Peneliti Selanjutnya .................................................................................... 9
F. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................................... 9
BAB II ............................................................................................................................... 11
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 11
A. Pengertian stunting ................................................................................................ 11
B. Stunting Pada Dua Tahun Pertama ....................................................................... 12
C. Penilaian status gizi ............................................................................................... 13
D. Epidemiologi Stunting .......................................................................................... 16
1. Distribusi Menurut Orang (Person) .................................................................. 18
2. Distribusi Menurut Tempat (Place) .................................................................. 19
xv
3. Distribusi menurut waktu (Time) ...................................................................... 21
E. Penyebab stunting ................................................................................................. 21
F. Dampak stunting ................................................................................................... 22
G. Pencegahan dan penanggulangan stunting ............................................................ 23
H. Faktor-faktor yang mempengaruhi stunting pada anak ......................................... 26
1. Faktor Maternal ................................................................................................. 28
2. Lingkungan Rumah ........................................................................................... 42
3. Makanan Kualitas Rendah ................................................................................ 46
4. Pemberian ASI .................................................................................................. 50
5. Infeksi Klinis Dan Subklinis ............................................................................. 53
I. Kerangka teori ....................................................................................................... 55
BAB III ............................................................................................................................. 57
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ..................... 57
A. Kerangka konsep ................................................................................................... 57
B. Definisi Operasional ............................................................................................. 60
C. Hipotesis ............................................................................................................... 65
BAB IV ............................................................................................................................. 66
METODE PENELITIAN .................................................................................................. 66
A. Desain Penlitian .................................................................................................... 66
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................................ 66
C. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................................ 67
1. Populasi ............................................................................................................. 67
2. Sampel............................................................................................................... 67
D. Teknik pemilihan sampel ...................................................................................... 69
E. Pengumpulan Data ................................................................................................ 71
F. Pengolahan data .................................................................................................... 76
G. Validitas Dan Realibilitas ..................................................................................... 77
H. Analisis data .......................................................................................................... 78
1. Analisis Univariat ............................................................................................. 78
2. Analisis Bivariat ................................................................................................ 79
BAB V .............................................................................................................................. 81
HASIL PENELITIAN ...................................................................................................... 81
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian .................................................................. 81
B. Analisis Univariat ................................................................................................. 82
xvi
1. Gambaran Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-23 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ............................................................................ 82
2. Gambaran Berat Badan Lahir Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ............................................................................ 83
3. Gambaran Panjang Badan Lahir Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ............................................................................ 84
4. Gambaran Tinggi Badan Ibu Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ............................................................................ 85
5. Gambaran Jarak Kelahiran Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ............................................................................ 86
6. Gambaran Asupan Energi Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ............................................................................ 87
7. Gambaran Asupan Protein Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ............................................................................ 88
8. Gambaran Asupan Kalsium Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ............................................................................ 89
9. Gambaran Pola Asuh Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas
Pisangan Tahun 2018. ............................................................................................... 90
10. Gambaran ASI Eksklusif Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ............................................................................ 91
11. Gambaran Riwayat Infeksi Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ............................................................................ 92
C. Analisis Bivariat .................................................................................................... 94
BAB VI ............................................................................................................................. 98
PEMBAHASAN ............................................................................................................... 98
A. Keterbatasan penelitian ......................................................................................... 98
B. Gambaran Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ................................................................................ 99
C. Gambaran Dan Hubungan Variabel Independen Dengan Variabel Dependen Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ............ 101
1. Gambaran dan Hubungan Berat Badan Lahir Dengan Kejadian Stunting ...... 102
2. Gambaran dan Hubungan Panjang Badan Lahir Dengan Kejadian Stunting .. 104
3. Gambaran dan Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting ....... 106
4. Gambaran dan Hubungan Asupan Kalsium Dengan Kejadian Stunting ......... 108
5. Gambaran dan Hubungan Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting ................... 112
6. Gambaran dan Hubungan Riwayat Infeksi Dengan Kejadian Stunting .......... 114
7. Gambaran dan Hubungan Jarak Kelahiran Anak Dengan Kejadian Stunting. 117
xvii
8. Gambaran Dan Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Stunting
120
9. Gambaran dan Hubungan Asupan Energi Dengan Kejadian Stunting ........... 125
10. Gambaran dan Hubungan Asupan Protein Dengan Kejadian Stunting ....... 127
BAB VII .......................................................................................................................... 129
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 129
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 129
B. Saran ................................................................................................................... 131
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 133
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Indeks Antropometri ............................................................................. 15
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi Untuk Energi .................................................. 47
Tabel 2.3 Angka Kecukupan Gizi Untuk Protein ................................................. 48
Tabel 2.4Angka Kecukupan Gizi Untuk Kalsium ................................................ 50
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian .............................................. 60
Tabel 4.1 Besar Minimal Sampel Berdasarkan Penelitian Sebelumnya ............... 68
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-
23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ........... 83
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Berat Badan Lahir Pada Anak Usia 6-
23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ........... 84
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Panjang Badan Lahir Pada Anak Usia
6-23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ........ 85
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tinggi Badan Ibu Pada Anak Usia 6-
23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ........... 86
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jarak Kelahiran Pada Anak Usia 6-23
Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ................ 87
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Energi Pada Anak Usia 6-23
Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ................ 88
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Protein Pada Anak Usia 6-23
Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ................ 89
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Kalsium Pada Anak Usia 6-
23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ........... 90
xix
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Asuh Pada Anak Usia 6-23
Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ................ 91
Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan ASI Eksklusif Pada Anak Usia 6-23
Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ................ 92
Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Infeksi Pada Anak Usia 6-
23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018. ........... 93
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kecenderungan Prevalensi Status Gizi TB/U <-2 SD Menurut
Provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013 .................................... 17
Gambar 2.2 Gangguan pertumbuhan antar-generasi ......................................... 37
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ......................................................... 59
Gambar 4.1 Tahapan pemilihan sampel ............................................................ 70
xxi
DAFTAR SINGKATAN
AKG : Angka Kecukupan Gizi
ASI : Air Susu Ibu
BADUTA : Bayi Dibawah Dua Tahun
BBLN : Berat Badan Lahir Normal
BBLR : Berat Badan Lahir Normal
Depkes : Departemen Kesehatan
Dinkes : Dinas Kesehatan
EPEC : Enteropathogenic Escherichia coli
HPK : Hari Pertama Kehidupan
IMD : Inisiasi Menyusui Dini
IMT : Indeks Massa Tubuh
IQ : Intelligence Quotient
IUGR : Intrauterine Growth Restriction
KEK : Kekurangan Energi Kronis
Kemenkes : Kementerian Kesehatan
LCPUFA : Long-Chain Polyunsaturated Fatty Acid
MGRS : Multicentre Growth Reference Study
MPASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu
NHANES : National Health And Nutrition Examination Survey
PHBS : Perilaku Hidup Besih Dan Sehat
PMT : Pemberian Makanan Tambahan
xxii
PSG : Pemantauan Status Gizi
UNICEF : United Nations Children's Fund
UNSCN : The United Nations System Standing Committee on Nutrition
WHO : World Health Organization
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Output SPSS .................................................................................... 142
lampiran 2 Informed concent ............................................................................. 154
lampiran 3 Kuesioner penelitian ........................................................................ 155
lampiran 3 Persetujuan etik ................................................................................ 156
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stunting merupakan suatu kondisi dimana terdapat gangguan
pertumbuhan linier akibat kekurangan asupan yang bersifat kronik. Anak
dikatakan memiliki status stunting atau pendek apabila hasil pengukuran
tinggi badan terhadap umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur (PB/U)
menunjukkan angka di bawah minus dua standar deviasi (<-2 SD) (Kemenkes,
2011). Stunting pada anak merupakan hasil jangka panjang dari konsumsi diet
kronis berkualitas rendah yang dikombinasikan dengan morbiditas, penyakit
infeksi, dan masalah lingkungan (Semba, et al., 2008)
Stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di
negara berkembang. Sedikitnya terdapat 26,7% anak di dunia menderita
stunting dan 95% di antaranya tinggal di negara berkembang (de Onis et al.,
2012). UNICEF (2009) melaporkan bahwa ada penurunan prevalensi anak
stunting pada negara berkembang dari 40% menjadi 29% terhitung sejak
1990-2008, namun besar penurunan ini belum merata. UNICEF (2013)
kembali melaporkan prevalensi anak stunting dikawasan Sub Sahara Afrika
dan Asia berturut-turut mencapai 40% dan 39%.
2
Penurunan prevalensi stunting belum memuaskan menurut WHO.
Sehingga pada bulan Mei 2012, WHO mencanangkan enam target dunia untuk
menurunkan angka kesakitan yang disebabkan oleh malnutrisi usia dini.
Target yang pertama adalah menurunkan prevalensi stunting sebesar
40% hingga tahun 2025. Mengacu pada target tersebut, prevalensi stunting
diharapkan dapat turun 3,9% pertahun yang sebelumnya hanya 1,8% pertahun
1995-2010 (WHO, 2012).
Di Asia Tenggara, Indonesia termasuk negara dengan angka kejadian
stunting tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya yanga ada di
Asia Tenggara, seperti Myanmar sebesar 35%, Vietnam 23%, dan Thailand
16% (MCA-Indonesia, 2015). Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi
anak pendek secara nasional 37,2% yang berarti terjadi peningkatan
dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007( 36,8%). Prevalensi pendek
sebesar 37,2% terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek. Pada
tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8%
tahun 2007 menjadi 18,0%. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 % persen
pada tahun 2007 menjadi 19,2% pada tahun 2013 (Kemenkes, 2013).
Menindaklanjuti masalah tersebut, pembangunan kesehatan Indonesia
dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada empat program prioritas
yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan prevalensi anak
stunting, pengendalian penyakit menular dan pengendalian penyakit tidak
menular. Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan
prevalensi anak pendek menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional
3
yang tercantum di dalam sasaran pokok Rencana Pembangunan jangka
Menengah Tahun 2015 – 2019. Target penurunan prevalensi stunting pada
anak baduta (dibawah 2 tahun) adalah menjadi 28% (RPJMN, 2015 – 2019).
3
Bentuk upaya perbaikan masalah stunting meliputi upaya untuk
mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung (intervensi gizi spesifik)
dan upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara tidak langsung
(intervensi gizi sensitif). Upaya intervensi gizi spesifik untuk anak pendek
difokuskan pada kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu
Hamil, Ibu Menyusui, dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan anak
pendek yang paling efektif dilakukan pada 1.000 HPK (Depkes, 2016).
Periode 1.000 HPK yang meliputi 270 hari selama kehamilan dan 730
hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan secara ilmiah
merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Periode ini disebut
sebagai "periode emas", "periode kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya
sebagai "window of opportunity". Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh
masalah gizi pada periode tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya
perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan
metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk
yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi
belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi
untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan
pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas
kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas
ekonomi (Depkes, 2016).
Status stunting muncul dari interaksi berbagai faktor. Faktor risiko
melibatkan status gizi ibu sejak masa hamil dan pola asuh ibu setelah lahir.
4
Faktor risiko stunting adalah ibu pendek, berat bayi lahir, rendah, tidak ASI
eksklusif, penyakit infeksi, defisiensi protein, dan defisiensi zat gizi mikro
terutama zink dan zat besi (Hendrick et al,. 2013).
Berdasarkan laporan Pemantauan Status Gizi (PSG) Indonesia,
stunting pada anak di Kota Tangerang Selatan mengalami peningkatan dari
tahun 2016-2017. Kejadian stunting pada balita (0-59 bulan) di Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2016 sebanyak 11,6%, dan pada tahun 2017
kejadian stunting di Kota Tangerang Selatan meningkat menjadi 23,9%.
Berdasarkan Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun
2015 stunting tertinggi berada di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan 5,46%
dengan kategori pendek 11,82% dan sangat pendek 13,64%. Angka kejadian
stunting tersebut termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat dalam
katagori ringan karena lebih dari 20%.
Kejadian stunting bisa saja terus meningkat apabila faktor-faktor risiko
yang telah dijelaskan sebelumnya tidak diperhatikan. Berdasarkan hasil dari
studi pendahuluan yang dilakukan kepada 25 anak usia 6-23 bulan di wilayah
kerja Puskesmas Pisangan terdapat 14 anak usia 6-23 bulan yang mengalami
stunting. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin menganalisis
faktor-faktor yang berhubungan terhadap kejadian stunting pada anak usia 6-
23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
B. Rumusan Masalah
Stunting merupakan suatu kondisi gangguan pertumbuhan linier akibat
kekurangan asupan yang bersifat kronik. Upaya penanggulangan status gizi
5
pada anak sudah dilakukan, namun angka kejadian stunting masih tinggi. Data
laporan Pemantauan Status Gizi (PSG) Indonesia, stunting pada balita di Kota
Tangerang Selatan mengalami kenaikan yang fluktuatif dari tahun 2015-2017.
Kejadian stunting pada balita (0-59 bulan) di Kota Tangerang Selatan pada
tahun 2015 yaitu 17,8%, di tahun 2016 sebanyak 11,6%, dan pada tahun 2017
kejadian stunting di Kota Tangerang selatan meningkat menjadi 23,9%.
Berdasarkan Data Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan tahun 2015. Puskesmas Pisangan merupakan puskesmas dengan
peringkat teratas dalam masalah stunting pada balita (0-59 bulan) dengan
presentase sebesar 25,46%. Dengan kategori pendek 11,82% dan sangat
pendek 13,64%. Presentase stunting tersebut termasuk dalam masalah
kesehatan masyarakat dalam katagori masalah ringan karena lebih dari 20%.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada Agustus 2018
kepada 25 anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan terdapat
14 anak usia 6-23 bulan yang mengalami stunting. Dari rumusan masalah
diatas peneliti ingin menganalisis faktor-faktor yang berhubungan terhadap
kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Pisangan Tahun 2018.
C. Pertanyaan penelitian
1. Bagaimana gambaran kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?
6
2. Bagaimana gambaran faktor karakteristik anak (berat badan lahir dan
panjang badan lahir) pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018?
3. Bagaimana gambaran faktor karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan jarak
kelahiran) pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Pisangan Tahun 2018?
4. Bagaimana gambaran faktor asupan gizi (energi, protein dan kalsium)
pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun
2018?
5. Bagaimana gambaran faktor pola asuh pada anak usia 6-23 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?
6. Bagaimana gambaran faktor ASI eksklusif pada anak usia 6-23 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?
7. Bagaimana gambaran faktor riwayat infeksi pada anak usia 6-23 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?
8. Bagaimana hubungan faktor karakteristik anak (berat badan lahir dan
panjang badan lahir) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?
9. Bagaimana hubungan faktor karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan jarak
kelahiran) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?
10. Bagaimana hubungan faktor asupan gizi (energi, protein dan kalsium)
dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018?
7
11. Bagaimana hubungan faktor pola asuh dengan kejadian stunting pada anak
usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?
12. Bagaimana hubungan faktor ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada
anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?
13. Bagaimana hubungan faktor riwayat infeksi dengan kejadian stunting pada
anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran dan faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018
2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
2 Diketahuinya gambaran faktor karakteristik anak (berat badan lahir
dan panjang badan lahir ) pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
3 Diketahuinya gambaran faktor karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan
jarak kelahiran) pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
8
4 Diketahuinya gambaran faktor asupan gizi (energi, protein dan
kalsium) pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Pisangan Tahun 2018.
5 Diketahuinya gambaran faktor pola asuh pada anak usia 6-23 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
6 Diketahuinya gambaran faktor ASI eksklusif pada anak usia 6-23
bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
7 Diketahuinya gambaran faktor riwayat infeksi pada anak usia 6-23
bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
8 Diketahuinya hubungan faktor karakteristik anak (berat badan lahir
dan panjang badan lahir) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23
bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
9 Diketahuinya hubungan faktor karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan
jarak kelahiran) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
10 Diketahuinya hubungan faktor asupan gizi (energi, protein dan
kalsium) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
11 Diketahuinya hubungan faktor pola asuh dengan kejadian stunting
pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan
Tahun 2018.
12 Diketahuinya hubungan faktor ASI eksklusif dengan kejadian stunting
pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan
Tahun 2018.
9
13 Diketahuinya hubungan faktor riwayat infeksi dengan kejadian
stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Pisangan Tahun 2018.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Pisangan
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi ketercapaian
program peningkatan kesehatan dan bahan pertimbangan prioritas
intervensi stunting khusunya bagi pengelola program Kesehatan Keluarga
dan Gizi serta Promosi Kesehatan Puskesmas Pisangan.
2. Bagi ibu anak (masyarakat)
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam
upaya pencegahan stunting pada anak.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan bahan
pertimbangan bagi penelitian lain ataupun penelitian selanjutnya.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
stunting pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2018 yang dilakukan oleh mahasiswa peminatan
Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain studi
cross-sectional, karena variabel dependen dan independen diambil secara
bersamaan. Sampel penelitian adalah 132 anak usia 6-23 bulanyang berada di
Wiayah Kerja Puskesmas Pisangan. Responden penelitian adalah ibu yang
memiliki anak usia 6-23 bulan yang menetap dalam populasi.
Variabel dependen yang diteliti adalah stunting dan variabel
independen adalah karakteristik anak (berat baban lahir dan panjang badan
lahir), karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan jarak kelahiran), asupan zat gizi
(energi, protein dan kalsium), pola asuh, ASI eksklusif, dan riwayat infeksi.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September- Oktober 2018.
Analisis dilakukan menggunakan aplikasi statistik, pada variabel panjang
badan menurut umur menggunakan Microsoft Excel serta data asupan
menggunakan aplikasi NutriSurvey 2007 dan Microsoft Excel.
.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian stunting
Status gizi merupakan keadaan yang disebabkan oleh keseimbangan
antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktifitas
dan pemeliharaan kesehatan (Jahari, 2004). Menurut Muchtadi (2002) status
gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya manusia dan
kualitas hidup. Untuk itu, program perbaikan gizi bertujuan untuk
meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi
masyarakat.
Stunting didefinisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur
(TB/U) atau (PB/U) kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) atau
dibawah rata-rata standar yang ada (Depkes, 2010). Stunting pada anak
merupakan hasil jangka panjang konsumsi kronis diet berkualitas rendah yang
dikombinasikan dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah lingkungan
(Semba, et al., 2008). Di negara berpendapatan menengah kebawah, stunting
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama. Stunting mengacu
pada anak yang memiliki indeks TB/U rendah. Stunting dapat mencerminkan
baik variasi normal dalam pertumbuhan atau pun defisit dalam pertumbuhan.
Stunting pada anak merupakan indikator utama dalam menilai kualitas
modal sumber daya manusia di masa mendatang. Gangguan pertumbuhan
12
yang diderita anak pada awal kehidupan, pada hal ini stunting, dapat
menyebabkan kerusakan yang permanen. Keberhasilan perbaikan ekonomi
yang berkelanjutan dapat dinilai dengan berkurangnya kejadian stunting pada
anak-anak usia dibawah 5 tahun (UNSCN, 2008). Anak-anak yang
underweight atau stunting mungkin tidak menunjukkan catch-up growth di
masa kecil, dengan demikian mereka membawa risiko kesehatan yang buruk
ke dalam kehidupan saat dewasa.
Dalam komunitas yang sulit mendapatkan akses dan kontak dengan
pelayanan kesehatan, anak-anak lebih rentan terhadap kekurangan gizi sebagai
akibat dari pengobatan penyakit yang tidak memadai, tingkat imunisasi
rendah, dan perawatan kehamilan yang buruk. Sanitasi lingkungan yang
buruk, termasuk pasokan air bersih, juga menempatkan anak pada risiko
infeksi yang meningkatkan kerentanan terhadap kekurangan gizi. Pola asuh
bayi dan anak, bersama dengan ketahanan pangan rumah tangga, pelayanan
kesehatan yang memadai dan lingkungan yang sehat adalah prasyarat yang
diperlukan untuk gizi yang cukup (ACC/SCN, 1997).
B. Stunting Pada Dua Tahun Pertama
Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi
yang kurang dalam waktu lama, umumnya karena asupan makan yang tidak
sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru
terlihat saat anak berusia dua tahun.
Dua tahun pertama kehidupan adalah priode kritis pertumbuhan yang
berhubungan dengan kemampuan hidup seorang ketika dewasa (Barkes,
13
2008). Dua tahun pertaa kehidupan adalah periode kecepatan pertumbuhan
yang pesat sekaligus permulaan perlambatan pertumbuhan. Kecepatan dan
perlambatan pertumbuhan akan berlanjut sampai memasuki umur 3 tahun.
Kecepatan pertumbuhan perlahan menurun ketika memasuki umur berikutnya
(Lejarraga, 2002).
Pertumbuhan anak pada dua ahun pertama adalah predictor
kemampuan kognitif dan pencapaian fisiologis ketiaka dewas. Lebih lanjut
lagi tinggi badan pada umur dua tahun adalah predictor tterbaik kapasitas
manusia (victora et al. 2008). Menurut Barker (1998) kegagalan pertumbuhan
pada dua tahun pertama adalah bentuk kerusakan permanen yang konsekuensi
itu dapat ditemui dimasa mendatang dan cenderung berulang pada generasi
berikutnya. Konsekuensi kesakitan akibat dari kondisi kurang gizi selama
hamil dan stuning pada dua tahun pertama kehidupan dalam konsep
perkembangan penyakit. Kesakitan yang diderita oleh seseorang ketika
dewasa adalah kumulasi deficit antara kebutuhan dan ketersediaan zat gizi dan
oksigen yang dialami sejak dalam kandungan.
C. Penilaian status gizi
1. Antropometri
Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthoropos
artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran
tubuh (Supariasa, et al., 2002). Menurut NHANES (National Health And
Nutrition Examination Survey), antropometri adalah studi tentang
pengukuran tubuh manusia dalam hal dimensi tulang otot, dan jaringan
14
adiposa atau lemak. Karena tubuh dapat mengasumsikan berbagai postur,
antropometri selalu berkaitan dengan posisi anatomi tubuh.
2. Indeks Antropometri
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Indeks antropometri merupakan kombinasi dari parameter-parameter yang
ada. Indeks antropometri terdiri dari berat badan menurut umur (BB/U),
tinggi badan menurut umur (TB/U), panjang badan menurut umur (PB/U)
dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Untuk mengetahui anak
stunting atau tidak indeks yang digunakan adalah indeks tinggi badan
menurut umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur (PB/U)
(Kemenkes, 2011)
Tinggi badan merupakan parameter antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan tulang. Tinggi badan menurut
umur adalah ukuran dari pertumbuhan linier yang dicapai, dapat
digunakan sebagai indeks status gizi atau kesehatan masa lampau.
Rendahnya tinggi badan menurut umur didefinisikan sebagai
"kependekan" dan mencerminkan baik variasi normal atau proses
patologis yang mempengaruhi kegagalan untuk mencapai potensi
pertumbuhan linier. Hasil dari proses yang terakhir ini disebut "stunting"
atau mendapatkan insufisiensi dari tinggi badan menurut umur (Gibson,
2005).
Indeks tinggi badan memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu nilai
tinggi badan akan terus meningkat, meskipun laju tumbuh berubah dari
15
pesat pada masa bayi muda kemudian melambat dan menjadi pesat lagi
(growth spurt) pada masa remaja, selanjutnya terus melambat dengan
cepatnya kemudian berhenti pada usia 18 – 20 tahun dengan nilai tinggi
badan maksimal. Pada keadaan normal, sama halnya dengan berat badan,
tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertambahan nilai
rata-rata tinggi badan orang dewasa dalam suatu bangsa dapat dijadikan
indikator peningkatan kesejahteraan, bila belum tercapainya potensi
genetik secara optimal (Narendra & Suyitno, 2002).
Tabel 2.1 Indeks Antropometri
Indeks
Kategori
Status Gizi
Ambang Batas
(Z-score)
Berat Badan menurut Umur
(BB/U)
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Gizi Buruk < -3 SD
Gizi Kurang
-3 SD sampai dengan -2
SD
Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih >2 SD
Panjang Badan menurut
Umur (PB/U) atau
Tinggi Badan menurut
Umur (TB/U)
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Sangat Pendek < -3 SD
Pendek
-3 SD sampai dengan -2
SD
Normal
-2 SD sampai dengan 2
SD
Tinggi >2 SD
Berat Badan menurut Sangat Kurus < -3 SD
16
Panjang Badan
(BB/PB) atau Berat Badan
menurut Tinggi
Badan (BB/TB)
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Kurus
-3 SD sampai dengan -2
SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks Massa Tubuh
menurut Umur (IMT/U)
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Sangat Kurus < -3 SD
Kurus
-3 SD sampai dengan -2
SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks Massa Tubuh
menurut Umur (IMT/U)
Anak Umur 5 – 18 Tahun
Sangat Kurus < -3 SD
Kurus
-3 SD sampai dengan -2
SD
Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk
>1 SD sampai dengan 2
SD
Obesitas >2 SD
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2011
D. Epidemiologi Stunting
Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara
lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand
(16%) (MCA Indonesia, 2014). Menurut Riskesdas 2013, prevalensi pendek
17
secara nasional pada anak adalah 37,2% yang terdiri dari sangat pendek
sebesar 18% dan pendek 19,2%. Angka nasional ini meningkat dari tahun
2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi
diatas nasional (37,2%) dengan prevalensi tertinggi terjadi di Nusa Tenggara
Timur, dan Sulawesi Barat menempati urutan ke 2 tertinggi, dapat dilihat
sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kecenderungan Prevalensi Status Gizi TB/U <-2 SD Menurut
Provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013
Sumber: Riskesdas, 2013.
Gambar 2.2 proporsi status gizi pada balita Menurut Provinsi, Indonesia
2007, 2013 dan 2018
Sumber: Riskesdas, 2018.
18
1. Distribusi Menurut Orang (Person)
a. Distribusi Menurut Umur
Menurut Astari (2006), menyatakan, gangguan linier (stunting)
postnatal terjadi mulai usia 3 bulan pertama kehidupan, suatu periode
di mana terjadi penurunan pemberian ASI, makanan tambahan mulai
diberikan dan mulai mengalami kepekaan terhadap infeksi. Dalam
penelitian Rosha, dkk. (2007), menyatakan usia adalah faktor internal
anak yang memengaruhi kejadian stunting. Hasil analisis regresi
logistik menunjukkan, anak berusia 0-12 bulan memiliki efek protektif
atau risiko lebih rendah 41% terhadap stunting dibandingkan dengan
anak berusia 13-23 bulan dengan nilai OR=0,59 (CI 95% ; 0,44-0,79).
Hal ini diduga karena pada usia 0-6 bulan ibu memberikan ASI
eksklusif yang dapat membentuk daya imun anak sehingga anak dapat
terhindar dari penyakit infeksi, setelah usia 6 bulan anak diberikan
makanan pendamping ASI dalam jumlah dan frekuensi yang cukup
sehingga anak terpenuhi kebutuhan gizinya yang menghindarkannya
dari stunting.
b. Distribusi Menurut Jenis Kelamin
Penelitian yang dilaporkan Mahgoup (2006), di daerah kumuh
Afrika menunjukkan bahwa kejadian underweight dan stunting secara
signifikan lebih umum terjadi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan. Hasil Riskesdas 2013 yang menunjukkan gizi kurang pada
anak, prevalensinya lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki yaitu
14,0%, sedangkan 13,8% untuk balita dengan jenis kelamin
19
perempuan. Sementara untuk status gizi balita dengan indeks TB/U,
hasil yang diperoleh tidak berbeda, dimana prevalensi balita pendek
lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki sebesar 19,3% dibandingkan
pada perempuan yaitu 19,1%. Prevalensi balita sangat pendek lebih
tinggi pada jenis kelamin laki-laki sebesar 18,8%, dibandingkan pada
perempuan yaitu 17,1%.
Sejalan dengan pernyataan di atas, dalam penelitian Rosha,
dkk. (2007) terdapat hasil analisis regresi logistik yang menunjukkan
menunjukkan anak perempuan memiliki efek protektif atau risiko
lebih rendah 29% terhadap stunting dibandingkan dengan anak laki-
laki (p=0,03) dengan nilai OR=0,71 (CI 95% ; 0,53-0,96). Hal ini
diduga karena faktor kecemasan atau kekhawatiran ibu serta kedekatan
ibu terhadap anak perempuan. Anak perempuan dianggap anak yang
lemah sehingga mendapatkan perhatiaan ekstra dibandingkan dengan
anak laki laki yang dianggap lebih kuat. Selain itu anak laki-laki
cenderung memiliki aktivitas bermain yang lebih aktif dibandingkan
dengan anak perempuan sehingga banyak energi yang keluar.
2. Distribusi Menurut Tempat (Place)
Ada beberapa bagian negara di dunia terjadi masalah gizi kurang
atau masalah gizi lebih secara epidemis. Negara-negara berkembang
seperti sebagian besar Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan
pada umumnya mempunyai masalah gizi kurang. Sebaliknya, negara-
negara maju, seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat pada umumnya
20
mengalami gizi lebih (Almatsier, 2004). Masih seperti yang dinyatakan
oleh Almatsier (2004), pola pangan di daerah 4 musim di samping
makanan pokok, mengandung lebih banyak unsur makanan berasal dari
hewan, seperti daging, telur, dan susu daripada pola pangan di daerah
tropis. Akibatnya, penduduk di daerah tropis seperti di Afrika, Amerika
Selatan, dan Asia lebih banyak menderita akibat kekurangan protein (salah
satu alasan mengapa penduduk di negara-negara tropis umumnya lebih
pendek daripada penduduk di daerah empat musim).
Data yang diperoleh WHO (2014), negara di Asia dengan
prevalensi gizi kurang tertinggi adalah India (43,3%), negara di Afrika
dengan prevalensi tertinggi adalah Nigeria (37,9%). Kejadian stunting
dipengaruhi oleh wilayah tempat tinggal.
Penelitian di wilayah kumuh Kota Bostwana yang dilakukan oleh
Mahgoup (2006), menunjukkan bahwa anak yang tinggal di wilayah ini
signifikan terkena wasting, stunting, dan underweight. Berbeda dengan
hasil penelitian tersebut, dalam penelitian Rosha, dkk. (2007), responden
yang tinggal di wilayah kota memiliki efek protektif atau risiko lebih
rendah 32% terhadap stunting dibandingkan dengan anak yang tinggal di
perdesaan dengan nilai OR=0,68 (CI 95% ; 0,48-0,95). Fenomena ini
diduga karena wilayah kota adalah tempat dimana terbukanya lapangan
pekerjaan yang lebih beragam sehingga orang tua lebih mudah
mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dari pekerjaan di
21
desa. Hal ini memungkinkan orang tua untuk memenuhi kebutuhan gizi
dan makanan anak sehingga terhindar dari stunting.
3. Distribusi menurut waktu (Time)
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi balita pendek sebesar
37,2%. Sebelumnya pada tahun 2007 prevalensi balita pendek sebesar
36,8% dan pada tahun 2010 prevalensi balita pendek turun tipis menjadi
35,6%. Berdasarkan hasil Riskesdas terbaru yaitu hasil Riskesdas 2018,
prevalensi balita pendek secara nasional menurun dari 37,2% pada tahun
2013 menjadi 30,8% yang terdiri dari 11,5% sangat pendek dan 19,3%
pendek (Kemenkes, 2018).
E. Penyebab stunting
Stunting dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang dibagi menjadi 4
kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan/
komplementer yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi. Faktor keluarga dan
rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal dan faktor lingkungan
rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi,
kehamilan dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilan pada
usia remaja, kesehatan mental, Intrauterine Growth Restriction (IUGR),
kelahiran preterm, jarak kehamilan yang pendek, dan hipertensi (WHO, 2013).
Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang
tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasukan air yang tidak
adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang kurang, alokasi makanan dalam
22
rumah tangga yang tidak sesuai, dan edukasi pengasuh yang rendah. Faktor
kedua penyebab stunting adalah makanan komplementer yang tidak adekuat,
yang dibagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah, cara pemberian
yang tidak adekuat, dan keamanan makanan dan minuman. Kualitas makanan
yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien yang rendah, keragaman jenis
makanan yang dikonsumsi dan sumber makanan hewani yang rendah, makanan
yang tidak mengandung nutrisi, dan makanan komplementer yang mengandung
energi rendah. Cara pemberian yang tidak adekuat berupa frekuensi pemberian
makanan yang rendah, pemberian makanan yang tidak adekuat ketika sakit dan
setelah sakit, konsistensi makanan yang terlalu halus, pemberian makan yang
rendah dalam kuantitas. Keamanan makanan dan minuman dapat berupa
makanan dan minuman yang terkontaminasi, kebersihan yang rendah,
penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak aman (WHO, 2013).
Faktor ketiga yang dapat menyebabkan stunting adalah pemberian ASI
(Air Susu Ibu) yang salah, karena inisiasi yang terlambat, tidak ASI eksklusif,
dan penghentian penyusuan yang terlalu cepat. Faktor keempat adalah infeksi
klinis dan sub klinis seperti infeksi pada usus : diare, environmental
enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan, malaria, nafsu makan yang
kurang akibat infeksi, dan inflamasi (WHO, 2013).
F. Dampak stunting
Stunting dapat memberikan dampak bagi kelangsungan hidup anak.
WHO (2013) membagi dampak yang diakibatkan oleh stunting menjadi 2
yang terdiri dari jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek
23
dari stunting adalah di bidang kesehatan, dapat menyebabkan peningkatan
mortalitas dan morbiditas, di bidang perkembangan berupa penurunan
perkembangan kognitif, motorik, dan bahasa, dan di bidang ekonomi berupa
peningkatan pengeluaran untuk biaya kesehatan. Stunting juga dapat
menyebabkan dampak jangka panjang di bidang kesehatan berupa perawakan
yang pendek, peningkatan risiko untuk obesitas dan komorbiditasnya, dan
penurunan kesehatan reproduksi, di bidang perkembangan berupa penurunan
prestasi dan kapasitas belajar, dan di bidang ekonomi berupa penurunan
kemampuan dan kapasitas kerja.
Menurut penelitian Hoddinott, dkk. (2013) stunting pada usia 2 tahun
memberikan dampak yang buruk berupa nilai sekolah yang lebih rendah,
berhenti sekolah, akan memiliki tinggi badan yang lebih pendek, dan
berkurangnya kekuatan genggaman tangan sebesar 22%. Stunting pada usia 2
tahun juga memberikan dampak ketika dewasa berupa pendapatan perkapita
yang rendah dan juga meningkatnya probabilitas untuk menjadi miskin.
Stunting juga berhubungan terhadap meningkatnya jumlah kehamilan dan
anak di kemudian hari, sehingga disimpulkan bahwa pertumbuhan yang
terhambat di kehidupan awal dapat memberikan dampak buruk terhadap
kehidupan, sosial, dan ekonomi seseorang.
G. Pencegahan dan penanggulangan stunting
Periode yang paling kritis dalam penanggulangan stunting dimulai
sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun yang disebut
dengan periode emas (seribu hari pertama kehidupan). Oleh karena itu,
24
perbaikan gizi diprioritaskan pada usia seribu hari pertama kehidupan yaitu
270 hari selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi
yang dilahirkannya. Pencegahan dan penanggulangan stunting yang paling
efektif dilakukan pada seribu hari pertama kehidupan (Depkes, 2016)
meliputi:
1. Pada ibu hamil
a. Memperbaiki gizi dan kesehatan ibu hamil merupakan cara terbaik
dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang
baik. Apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah
mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu diberikan
makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut.
b. Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90
tablet selama kehamilan.
c. Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.
2. Pada saat bayi lahir
a. Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir
melakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini)
b. Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi ASI saja (ASI Eksklusif)
3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun
a. Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI
(MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2
tahun.
b. Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, taburia, imunisasi dasar
lengkap.
25
c. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang
sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan
pertumbuhan.
d. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap
rumah tangga termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan
fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. PHBS
menurunkan kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang dapat
membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan
tubuh menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuh dan
terhambatnya pertumbuhan.
Secara langsung masalah gizi disebabkan oleh rendahnya asupan gizi
dan masalah kesehatan. Selain itu, asupan gizi dan masalah kesehatan
merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Adapun pengaruh tidak
langsung adalah ketersediaan makanan, pola asuh dan ketersediaan air minum
bersih, sanitasi dan pelayanan kesehatan. Seluruh faktor penyebab ini
dipengaruhi oleh beberapa akar masalah yaitu kelembagaan, politik dan
ideologi, kebijakan ekonomi, sumber daya, lingkungan, teknologi, serta
kependudukan.
Berdasarkan faktor penyebab masalah gizi tersebut, maka perbaikan
gizi dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara langsung (kegiatan
spesifik) dan secara tidak langsung (kegiatan sensitif). Kegiatan spesifik
umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan seperti PMT ibu hamil KEK,
pemberian tablet tambah darah, pemeriksaan kehamilan, imunisasi TT,
26
pemberian vitamin A pada ibu nifas. Untuk bayi dan balita dimulai dengan
IMD, ASI eksklusif, pemberian vitamin A, pemantauan pertumbuhan,
imunisasi dasar pemberian MP-ASI.
Sedangkan kegiatan yang sensitif melibatkan sektor terkait seperti
penanggulangan kemiskinan, penyediaan pangan, penyediaan lapangan kerja,
perbaikan infrastruktur (perbaikan jalan, pasar), dll. Kegiatan perbaikan gizi
dimaksudkan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Multicentre Growth Reference Study (MGRS) Tahun
2005 yang kemudian menjadi dasar standar pertumbuhan internasional,
pertumbuhan anak sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi, riwayat
kesehatan, pemberian ASI dan MP-ASI. Untuk mencapai pertumbuhan
optimal maka seorang anak perlu mendapat asupan gizi yang baik dan diikuti
oleh dukungan kesehatan lingkungan.
H. Faktor-faktor yang mempengaruhi stunting pada anak
Stunting dapat disebabkan oleh berbagai faktor. WHO (2013) membagi
penyebab terjadinya stunting pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu faktor
keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan / komplementer yang tidak
adekuat, menyusui, dan infeksi. Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi
menjadi faktor maternal dan faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa
nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi, tinggi
badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilah pada usia remaja, kesehatan
mental, Intrauterine growth restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, Jarak
kehamilan yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa
27
stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang,
sanitasi dan pasukan air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan
yang kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak sesuai, edukasi
pengasuh yang rendah.
Faktor kedua penyebab stunting adalah makanan komplementer yang
tidak adekuat yang dibagi lagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang
rendah, cara pemberian yang tidak adekuat, dan keamanan makanan dan
minuman. Kualitas makanan yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien
yang rendah, keragaman jenis makanan yang dikonsumsi dan sumber
makanan hewani yang rendah, makanan yang tidak mengandung nutrisi, dan
makanan komplementer yang mengandung energi rendah. Cara pemberian
yang tidak adekuat berupa frekuensi pemberian makanan yang rendah,
pemberian makanan yang tidak aadekuat ketika sakit dan setelah sakit,
konsistensi makanan yang terlalu halus, pemberian makan yang rendah dalam
kuantitas. Keamanan makanan dan minuman dapat berupa makanan dan
minuman yang terkontaminasi, kebersihan yang rendah, penyimpanan dan
persiapan makanan yang tidak aman.
Faktor ketiga yang dapat menyebabkan stunting adalah pemberian Air
Susu Ibu (ASI) yang salah bisa karena inisiasi yang terlambat, tidak ASI
eksklusif, penghentian menyusui yang terlalu cepat. Faktor keempat adalah
infeksi klinis dan subklinis seperti infeksi pada usus : diare, environmental
enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan, malaria, nafsu makan yang
kurang akibat infeksi, inflamasi.
28
1. Faktor Maternal
a. Nutrisi Yang Kurang Pada Saat Prekonsepsi, Kehamilan Dan
Laktasi
Kebutuhan nutrien meningkat selama masa kehamilan. Namun
tidak semua kebutuhan nutrien meningkat secara proporsional. Contohnya,
kebutuhan zat gizi tiga kali lipat selama hamil, sedangkan kebutuhan
vitamin B meningkat hanya kira-kira 10%.
Beberapa hal yang penting diperhatikan (Sarihusada, 2012) :
1) Kebutuhan aktual selama hamil bervariasi di antara individu dan
dipengaruhi oleh status nutrisi sebelumnya dan riwayat kesehatan.
Termasuk penyakit kronik, kehamilan kembar, dan jarak kehamilan
yang rapat.
2) Kebutuhan terhadap satu nutrien dapat diganggu oleh asupan yang
lain. Misalnya, ibu yang tidak memenuhi kebutuhan kalorinya akan
membutuhkan jumlah protein yang lebih besar.
3) Kebutuhan nutrisi tidak konstan selama perjalanan kehamilan.
Kebutuhan nutrien sedikit berubah selama trimester pertama dan
paling banyak selama trimester akhir.
Kalori. Kebutuhan kalori meningkat karena peningkatan lap
metabolik basal dan karena penambahan berat badan meningkatkan jumlah
kalori yang dibakar selama aktivitas. Peningkatan kebutuhan kalori kira-
29
kira 15 % dari kebutuhan kalori normal wanita. Protein. Kebutuhan
protein meningkat untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan
janin, pembentukan plasenta dan cairan amnion, pertumbuhan jaringan
maternal dan penambahan volume darah. Makan protein lebih banyak
tidak memberi keuntungan dan berpotensi bahaya.
Asam folat. Ibu yang mengkonsumsi jumlah asam folat adekuat
sebelum konsepsi dan selama bulan awal kehamilan menurunkan risiko
mengandung bayi dengan defek tuba neural (mis. spina bifida, anensefali).
Makanan yang kaya bentuk asam folat alami (folat) meliputi jus jeruk,
sayuran hijau, brokoli, asparagus. Kalsium. Bila asupan kalsium adekuat
sebelum hamil, jumlah yang dikonsumsi tidak perlu meningkat. Namun,
1300 mg/hari kalsium dianjurkan untuk remaja hamil. Ibu yang tidak
mengkonsumsi cukup kalsium dari makanan, memerlukan suplemen
kalsium. Zat Besi. Supelemen 30 mg zat besi dianjurkan untuk semua
wanita selama trimester kedua dan ketiga. Zat besi lebih baik dikonsumsi
di antara waktu makan atau pada jam tidur pada saat lambang kosong
untuk memaksimalkan absorpsi.
Kebutuhan nutrisi selama laktasi didasarkan pada kandungan
nutrisi air susu ibu dan jumlah nutrisi penghasil susu. Kalori. Kebutuhan
kalori selama menyusui proporsional dengan jumlah air susu ibu yang
dihasilkan dan lebih tinggi selama menyusui dibanding selama hamil.
Rata-rata kandungan kalori ASI yang dihasilkan oleh ibu dengan nutrisi
baik adalah 70 kal/100 mL, dan kira-kira 85 kal diperlukan oleh ibu untuk
30
tiap 100 mL yang dihasilkan. Rata-rata ibu menggunakan kira-kira 640
kal/hari untuk 6 bulan pertama dan 510 kal/hari selama 6 bulan kedua
untuk menghasilkan jumlah susu normal.
Ibu yang bertambah berat badannya secara tepat selama hamil
harus meningkatkan asupan kalorinya 500 kal/hari baik selama 6 bulan
pertama dan kedua menyusui. Karena lebih dari 500 kal/hari secara aktual
digunakan untuk menghasilkan susu. Setiap hari asupan minimum 1800
kal dianjurkan untuk mendapatkan jumlah nutrisi esensial adekuat. Rata-
rata ibu harus mengkonsumsi 2300-2700 kal per hari ketika menyusui
(Dudek, 2001).
Protein. Ibu memerlukan tambahan 20 gram protein di atas
kebutuhan normal ketika menyusui. Jumlah ini hanya 16 % dari tambahan
500 kal yang dianjurkan. Cairan. Pertimbangan nutrisi lain selama
menyusui adalah asupan cairan. Dianjurkan ibu yang menyusui minum 2-3
liter cairan per hari, lebih baik dalam bentuk air putih, susu dan jus buah
bukan minuman ringan, sirup, dan minuman mengandung kafein. Biasanya
ibu sangat dianjurkan untuk minum satu gelas setiap kali menyusui. Rasa
haus adalah indikator baik tentang kebutuhan cairan, kecuali ibu hidup di
lingkungan kering atau melakukan latihan fisik di cuaca panas. Cairan
yang dikonsumsi berlebihan dalam keadaan haus tidak meningkatkan
volume susu.
Vitamin dan mineral. Kebutuhan vitamin dan mineral selama
menyusui lebih tinggi daripada selama hamil. Nutrien yang paling
31
mungkin dikonsumsi dalam jumlah tidak adekuat oleh ibu menyusui
adalah kalsium, magnesium, zink, vitamin 85 dan folat. Multivitamin dan
suplemen mineral tidak dianjurkan untuk penggunaan rutin. Namun
supelemen khusus dapat diindikasikan ketika asupan ibu tidak adekuat,
misalnya :
1) Multivitamin seimbang dan suplemen mineral diperlukan ibu yang
mengonsumsi makanan kurang dari 1800 kal/hari.
2) Suplemen kalsium diindikasikan untuk ibu yang intoleran laktosa
atau yang tidak mengonsumsi susu cukup dan makanan kaya-kalsium
lain.
3) Suplemen vitamin D mungkin perlu untuk ibu yang menghindari
makanan diperkaya vitamin D (mis. susu, sereal) dan sedikit terpajan
pada matahari.
4) Supelemen vitamin B perlu untuk vegetarian ketat bila mereka
tidak mengonsumsi produk tanaman yang diperkaya vitamin 812
secara teratur.
5) Suplemen zat besi mungkin diperlukan untuk mengganti defisit zat
besi selama hamil dan kehilangan darah selama melahirkan.
32
tabelTabel 2.5 Kebutuhan Nutrient Wanita Hamil Dan Menyusui
Sumber: Sarihusada, 2012
b. Kehamiln Pada Usia Remaja
Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual.
Usia remaja biasanya memiliki rasa penasaran yang tinggi dan cenderung
berani mengambil risiko atas apa yang dilakukannya tanpa
mempertimbangkan terlebih dahulu.
Apabila keputusan yang diambil dalam menghadapi konflik tidak
tepat, mereka akan jatuh ke dalam perilaku berisiko dan mungkin harus
33
menanggung akibat jangka pendek dan jangka panjang dalam berbagai
masalah kesehatan fisik dan psikososial. Kesehatan reproduksi adalah
keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-
mata bebas dari penyakit yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses
reproduksi.
Kehamilan remaja berdampak negatif pada kesehatan remaja dan
bayinya, juga dapat berdampak sosial dan ekonomi. Kehamilan pada usia
muda atau remaja antara lain berisiko kelahiran prematur, berat badan bayi
lahir rendah (BBLR), perdarahan persalinan, yang dapat meningkatkan
kematian ibu dan bayi. Kehamilan pada remaja juga terkait dengan
kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi tidak aman. Persalinan pada ibu di
bawah usia 20 tahun memiliki kontribusi dalam tingginya angka kematian
neonatal, bayi, dan balita. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2012 menunjukan bahwa angka kematian neonatal, postneonatal,
bayi dan balita pada ibu yang berusia kurang dari 20 tahun lebih tinggi
dibandingkan pada ibu usia 20-39 tahun.
Pernikahan usia muda berisiko karena belum cukupnya kesiapan
dari aspek kesehatan, mental emosional, pendidikan, sosial ekonomi, dan
reproduksi. Pendewasaan usia juga berkaitan dengan pengendalian
kelahiran karena lamanya masa subur perempuan terkait dengan
banyaknya anak yang akan dilahirkan. Hal ini diakibatkan oleh
pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi belum memadai. Hasil
SDKI 2012 menunjukan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan
34
reproduksi belum memadai yang dapat dilihat dengan hanya 35,3% remaja
perempuan dan 31,2% remaja laki-laki usia 15-19 tahun mengetahui
bahwa perempuan dapat hamil dengan satu kali berhubungan seksual.
Begitu pula gejala PMS kurang diketahui oleh remaja. Informasi
tentang HIV relatif lebih banyak diterima oleh remaja, meskipun hanya
9,9% remaja perempuan dan 10,6% laki-laki memiliki pengetahuan
komprehensif mengenai HIV-AIDS. Sebuah lembaga kesehatan di
Amerika menemukan bahwa bayi yang lahir dari ibu yang masih berusia
remaja dapat mengalami keterlambatan perkembangan intelektual,
memiliki kemampuan belajar yang lebih rendah, serta mengalami berbagai
gangguan kesehatan dan gangguan perilaku.
Dampak dari kehamilan pada usia remaja adalah:
1) Gangguan Kesehatan: Komplikasi atau gangguan kesehatan
sering terjadi pada remaja yang hamil. Hal ini dikarenakan para
remaja seringkali tidak mencari pertolongan medis untuk merawat
kehamilannya. Beberapa komplikasi atau gangguan kesehatan yang
dapat ditemukan pada kehamilan remaja adalah anemia, toksemia,
tekanan darah tinggi, plasenta previa, dan kelahiran prematur.
Berbagai gangguan kesehatan ini tidak hanya membahayakan ibu
tetapi juga bayi yang dikandungnya.Untuk mencegah timbulnya
berbagai gangguan kesehatan ini, para remaja yang hamil perlu
35
melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur dan menjaga
kesehatannya dengan baik.
2) Krisis Emosional: Seorang remaja yang hamil mungkin dapat
mengalami krisis emosional. Krisis emosional ini dapat
menyebabkan remaja tersebut melakukan tindakan yang ceroboh
dan berbahaya seperti berusaha untuk menggugurkan bayi di dalam
kandungannya atau bahkan mencoba bunuh diri.
3) Khawatir Akan Masa Depan: Rasa khawatir akan masa depan
pastinya dialami oleh para remaja yang hamil. Para remaja ini
mungkin merasa bahwa dirinya belum siap menjadi seorang ibu
dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menjadi
seorang ibu. Selain itu, ia juga mungkin merasa bahwa memiliki
anak dapat mempengaruhi kehidupannya dan juga cita-citanya.
4) Terganggunya Pendidikan: Pendidikan seorang anak remaja
mungkin akan terganggu bila ia hamil. Beberapa anak remaja
bahkan memutuskan untuk berhenti sekolah setelah mengetahui
bahwa dirinya hamil. Beberapa anak remaja lainnya harus
menunda keinginannya untuk kuliah karena kehamilannya tersebut.
Beberapa lainnya mungkin memutuskan untuk menikah dan tidak
melanjutkan pendidikan.
5) Merokok dan Penyalahgunaan Obat-obatan: Remaja yang
memiliki kebiasaan merokok atau menyalahgunakan obat-obatan
dapat membahayakan kesehatan bayi yang dikandungnya bila tidak
segera menghentikan kebiasaannya tersebut.
36
6) Merasa Depresi: Rasa depresi dapat terjadi bila seorang remaja
menemukan bahwa dirinya hamil. Hal ini terutama dikarenakan
berbagai hal negatif yang dirasakan akibat kehamilannya tersebut,
baik dari dirinya sendiri maupun dari teman atau keluarga atau
orang-orang lain di sekitarnya. Selain itu, kadar hormon yang
berubah-ubah selama kehamilan berlangsung juga dapat memicu
terjadinya depresi.
7) Penelantaran Bayi: Saat bayinya telah lahir, seorang remaja
mungkin tidak dapat atau tidak memiliki keinginan untuk merawat
anaknya tersebut. Ia pun mungkin akan merasa terganggu oleh
kehadiran sang bayi yang membuatnya sulit atau tidak dapat
berpergian dengan bebas bersama dengan teman-teman
seumurannya.
c. Berat badan lahir anak
Berat lahir pada khususnya sangat terkait dengan kematian janin,
neonatal, dan postneonatal; mordibitas bayi dan anak; dan pertumbuhan
dan pengembangan jangka panjang. Bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR) didefinisikan oleh WHO yaitu berat lahir yang kurang dari 2500
gram. BBLR dapat disebabkan oleh durasi kehamilan dan laju
pertumbuhan janin. Maka dari itu, bayi dengan berat lahir <2500 gram bisa
dikarenakan dia lahir secara prematur atau karena terjadi retardasi
pertumbuhan (Semba & Bloem, 2001).
37
Dampak dari bayi yang memiliki berat lahir rendah akan
berlangsung antar generasi yang satu ke generasi selanjutnya. Anak yang
BBLR kedepannya akan memiliki ukuran antropometri yang kurang di
masa dewasa. Bagi perempuan yang lahir dengan berat rendah, memiliki
risiko besar untuk menjadi ibu yang stunting sehingga akan cenderung
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah seperti dirinya. Bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang stunting tersebut akan menjadi perempuan
dewasa yang stunting juga, dan akan membentuk siklus sama seperti
sebelumnya (Semba dan Bloem, 2001).
Gangguan pertumbuhan antar generasi dapat digambarkan seperti
berikut:
Gambar 2.2 Gangguan pertumbuhan antar-generasi
Sumber: Semba & Bloem, 2001
Dalam penelitian lain, berat lahir rendah telah diketahui berkorelasi
dengan stunting. Dalam analisis multivariat tunggal variabel berat lahir
Kegagalan pertumbuhan
pada anak
remaja dengan berat
dan tinggi badan kurang
perempuan dewasa stunted
BBLR
Kehamilan
usia muda
38
rendah dapat bertahan, hal ini menunjukkan bahwa berat lahir rendah
memiliki efek yang besar terhadap stunting. Seperti yang telah diketahui
sebelumnya, efek dari berat lahir rendah terhadap kesehatan anak adalah
faktor yang paling relevan untuk kelangsungan hidup anak (Taguri et al.,
2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Medhin (2010) juga
menunjukkan berat lahir merupakan prediktor yang signifikan dalam
kejadian stunting pada bayi usia 12 bulan. Pada penelitian lain juga
disebutkan bahwa berat lahir memiliki hubungan dengan kejadian stunting
(Lourenço et al. 2012)
d. Panjang badan lahir
Panjang lahir menggambarkan pertumbuhan linier bayi selama
dalam kandungan. Ukuran linier yang rendah biasanya menunjukkan
keadaan gizi yang kurang akibat kekurangan energi dan protein yang
diderita waktu lampau (Supariasa et al., 2012). Masalah kekurangan gizi
diawali dengan perlambatan atau retardasi pertumbuhan janin yang dikenal
sebagai Intra Uterine Growth Retardation (IUGR). Di negara berkembang
kurang gizi pada pra-hamil dan ibu hamil berdampak pada lahirnya anak
yang IUGR dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kondisi IUGR hampir
separuhnya terkait dengan status gizi ibu selain itu faktor lain dari
penyebab terjadinya IUGR ini adalah kondisi ibu dengan hipertensi dalam
kehamilan (Cesar et al., 2008).
Panjang lahir bayi akan berdampak pada pertumbuhan selanjutnya,
seperti terlihat pada hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Pati
39
Kabupaten Pati didapatkan hasil bahwa panjang badan lahir rendah adalah
merupakan salah satu faktor risiko balita stunting usia 12-36 bulan bahwa
bayi yang lahir dengan panjang lahir rendah memiliki risiko 2,8 kali
mengalami stunting dibanding bayi dengan panjang lahir normal
(Anugraheni & Kartasurya, 2012).
e. Tinggi badan ibu
Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor
maternal dan faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi
yang kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan dan laktasi, tinggi badan
ibu yang rendah, infeksi, kehamilan pada usia remaja, kesehatan mental,
Intrauterine Growth Restriction (IUGR), kelahiran preterm, jarak
kehamilan yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa
stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang,
sanitasi dan pasukan air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan
yang kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak sesuai, dan
edukasi pengasuh yang rendah.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti Wahdah (2014),
kejadian stunting berhubungan signifikan dengan tinggi badan orang tua,
baik tinggi badan ibu maupun tinggi badan ayah. Ibu yang pendek
berkaitan dengan kejadian stunting pada anak. Faktor genetik merupakan
modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak.
Melalui intruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah
dibuahi, dapat ditentukan kualitas pertumbuhan. Walaupun demikian,
40
komposisi genetik bukan merupakan faktor utama yang menentukan tinggi
badan seseorang, karena kendala lingkungan dan gizi merupakan persoalan
yang lebih penting. Termasuk dalam pemenuhan makanan yang baik
secara kualitas dan kuantitas.
f. Jarak Kelahiran
Masalah gizi merupakan masalah yang kompleks dan memiliki
dimensi yang luas karena penyebabnya tidak hanya masalah kesehatan
tetapi juga masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan
lingkungan (Sari, 2014) Pengaruh budaya antara lain sikap terhadap
makanan masih terdapat pantangan, tahayul, bahkan tabuh dalam
masyarakat, disamping itu pula jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan
jumlah anak yang terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi
dalam keluarga (Supariasa., et all , 2013).
Jarak kelahiran adalah kurun waktu dalam tahun antara kelahiran
terakhir dengan kelahiran sekarang (Fajarina, 2012). Jarak kelahiran yang
cukup, membuat ibu dapat pulih dengan sempurna dari kondisi setelah
melahirkan, saat ibu sudah merasa nyaman dengan kondisinya maka ibu
dapat menciptakan pola asuh yang baik dalam mengasuh dan
membesarkan anaknya (Nurjana dan Septiani, 2013). Gerakan Keluarga
Berencana bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Ibu dan Anak
serta mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera yang menjadi
dasar terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian
kelahiran (Nurjana dan Septiani, 2013).
41
Jarak kelahiran < 2 tahun sangat berpengaruh terhadap bayi yang
akan dilahirkan yaitu BBLR dibandingkan dengan jarak kelahiran > 2
tahun Rahayu, (2011). Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat akan
mempengaruhi status gizi dalam keluarga karena kesulitan mengurus anak
dan kurang menciptakan suasana tenang di rumah ( Lutviana dan Budiono,
2010). Jarak kelahiran terlalu dekat mempengaruhi pola asuh terhadap
anaknya, orang tua cenderung kerepotan sehingga kurang optimal dalam
merawat anak (Candra, 2010).
Penelitian Khoiri, (2009) Faktor yang mempengaruhi status gizi
yaitu mutu makanan, pendidikan, tingkat ekonomi, kesehatan balita, dan
perilaku sosial budaya. Berdasarkan hasil uji statistik membuktikan adanya
hubungan antara jarak kelahiran dengan status gizi balita. Namun dari
hasil penelitian ini terjadi fenomena dimana masih ditemukan jarak
kelahiran < 3 tahun mempunyai status gizi baik, sedangkan ≥ 3 tahun
mempunyai status gizi kurang. Hal ini menunjukan bahwa ada faktor lain
yang mempengaruhi status gizi balita.
Penelitian Nurjana dan Septiani, (2013) memiliki anak terlalu
banyak menyebabkan kasih sayang pada anak terbagi. Kondisi ini akan
memburuk jika status ekonomi keluarga tergolong rendah Penelitian
Anindita, (2013) faktor yang melatarbelakangi terhambatnya program KB
adalah minimnya petugas lapangan KB, kurangnya ajakan dari tokoh
masyarakat, serta berkembangnya budaya tradisional “Banyak anak
banyak rezeki” serta merebaknya pernikahan dini.
42
2. Lingkungan Rumah
a. Sanitasi Dan Sumber Air Yang Kurang
Akses air bersih yang rendah dan rendahnya akses terhadap pelayanan
kesehatan, termasuk di dalamnya adalah akses sanitasi dan air bersih,
mendekatkan anak pada risiko ancaman penyakit infeksi. Untuk itu, perlu
membiasakan cuci tangan pakai sabun dan air mengalir, serta tidak buang
air besar sembarangan. Pola asuh dan status gizi sangat dipengaruhi oleh
pemahaman orang tua (seorang ibu) maka, dalam mengatur kesehatan dan
gizi di keluarganya. Karena itu, edukasi diperlukan agar dapat mengubah
perilaku yang bisa mengarahkan pada peningkatan kesehatan gizi atau ibu
dan anaknya.
Selain gizi buruk, kondisi air dan sanitasi yang buruk turut
menyebabkan tingginya angka stunting terhadap anak di Indonesia.
Padahal, air dan sanitasi bersih menjadi tujuan dari Sustainable
Development Goals (SDGs) yang harus terpenuhi di tahun 2030. Data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 mencatat, sebanyak 8,9 juta
anak balita mengalami stunting. Stunting adalah kondisi anak memiliki
tinggi badan lebih rendah dari standar usianya akibat asupan gizi yang
kurang dalam waktu cukup lama sebagai dampak dari pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Dalam SDGs di tahun 2030 disebutkan, setiap negara harus
memastikan ketersediaan sumber daya air dan sanitasi yang bersih bagi
warga negaranya. Dalam riset Kementerian Kesehatan stunting bisa
43
disebabkan gizi buruk (40 persen) dan tidak adanya air bersih dan sanitasi
buruk (60 persen).
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan mendasar manusia untuk
memenuhi standar kehidupan secara sehat. Masyarakat yang tercukupi
kebutuhan air bersih akan terhindar dari penyakit yang menyebar lewat air
dan memiliki hidup yang berkualitas. Menurutnya, ekohidrologi adalah
pendekatan pengelolaan sumber daya air terpadu dengan pendekatan
pembangunan berkelanjutan. Ekohidrologi mempertimbangkan aspek
hidrologi, ekologi, ekoteknologi dan budaya.
Masyarakat perlu diedukasi untuk lebih peduli. Tidak lagi membuang
sampah domestik dan limbah pabrik ke sungai. Saat ini saluran air masih
dianggap tempat sampah. Sanitasi yang layak tentu mengurangi faktor
risiko penyebaran penyakit. Sayangnya, beberapa wilayah di Indonesia
masih mendapat sorotan mengenai sanitasi yang belum layak. Dr Imran
Agus Nurali, Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes RI,
mengungkapkan, berdasarkan data dari STBM (Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat) Smart, terdapat 68,06 persen Kepala Keluarga yang
mendapatkan sanitasi layak dari sekira 75 juta kepala keluarga di
Indonesia. Sisanya, masih belum mendapatkan sanitasi layak.
Penduduk di area sanitasi perlu mendapat informasi mengenai efek
negatif dari sanitasi yang kurang layak. Dampak yang ditimbulkan dari
sanitasi buruk adalah terjadinya beberapa penyakit menular. Sanitasi
buruk juga berdampak pada kondisi stunting. Hal ini berdampak pada
44
gangguan tumbuh kembang pada bayi dan balita, sehingga berakibat
stunting.
b. Kurangnya Akses Dan Ketersediaan Pangan
Pembangunan ketahanan pangan diselenggarakan untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan
merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan
masyarakat, sehingga terbentuk manusia Indonesia yang berkualitas,
mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang
cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam serta tersebar merata di
seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh masyarakat. Munculnya
berbagai permasalahan kurang gizi disebabkan oleh tidak tercapainya
ketahanan gizi sebagai dampak dari ketahanan pangan rumah tangga yang
tidak terpenuhi.
Berbagai faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan seperti
pendapatan keluarga, pendidikan, dan kepemilikan aset produktif secara
bersama-sama berpengaruh terhadap kerawanan pangan. Jumlah anggota
keluarga, tingkat pendidikan, harga bahan makanan, dan pendapatan
keluarga secara bersamasama juga berpengaruh terhadap ketahanan
pangan rumah tangg. Karakteristik kabupaten/kota dengan prevalensi
stunting yang cukup tinggi adalah pendapatan per kapita penduduknya
rendah, tingkat pendidikan rendah, dan perilaku higiene yang tidak baik.
Senada dengan hal ini, terdapat hubungan yang signifi kan antara
ketahanan pangan tingkat rumah tangga berdasarkan konsumsi energi
45
dengan status gizi balita maupun batita, yakni semakin tinggi skor rata-rata
nilai ketahanan pangan, semakin baik status gizinya.
Ketahanan pangan adalah salah satu faktor resiko yang ber
kontribusi terhadap stunting. Rumah tangga dikategorikan tidak tahan
pangan bila tidak memiliki akses secara fisik dan ekonomi terhadap
pangan yang cukup, bergizi, dan aman yang diperlukan untuk
pertumbuhan/perkembangan normal serta hidup aktif dan sehat.
Kerawanan pangan rumah tangga mempengaruhi kesehatan anak serta
berhubungan dengan kekurangan asupan makanan dan kekurangan energi-
protein. Beberapa studi menunjukkan bahwa kerawanan pangan rumah
tangga memiliki hubungan yang nyata dengan stunting.
c. Edukasi Pengasuhan Yang Salah
Pola asuh merupakan interaksi yang terjadi di antara ibu dan anak
(Adriani dan Wijatmadi, 2012). Semakin eratnya interaksi ibu dan anak,
maka semakin baik pula kualitas dan kuantitas peranan ibu dalam
mengasuh anak. Hal tersebut karena pola asuh merupakan indikator atas
peran ibu dalam mengasuh anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Sehingga,
pola asuh merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kurang gizi atau
terganggunya perkembangan anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Kasih
sayang merupakan kebutuhan dasar untuk menunjang pertumbuhan yang
sempurna dalam tahap tumbuh kembang anak. Hal ini dapat terwujud
melalui kehadiran seorang ibu. Kontak fisik antara ibu dan anak (menyusui
segera setelah melahirkan anak) menciptakan rasa aman bagi bayi dan
46
menciptakan ikatan erat antara ibu dan bayi (Adriani dan Wijatmadi,
2012).
Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh terkait praktek
pemberian makan dengan kejadian stunting dengan nilai p = 0,001. Hal ini
menggambarkan bahwa ibu yang memperhatikan pemberian, persiapan
dan penyimpanan makanan anak, lebih banyak memiliki anak yang
mengalami pertumbuhan panjang badan normal (Renyoet dkk., 2013).
3. Makanan Kualitas Rendah
a. Asupan energi
Asupan makanan yang kurang akan sangat mempengaruhi
keseimbangan nutrisi dalam tubuh. Tidak tersedianya makanan dirumah
akan berdampak pada asupan makan anak. Apabila ketersedian makanan
di rumah tidak adekuat maka anak akan mendapatkan makanan bergizi
yang kurang (Krisnansari, 2010). Ketersedian makanan di rumah juga akan
membentuk pola makan anak pada periode selanjutnya (Almatsier dkk.,
2011). Pola makan yang terbentuk dalam keadaan kurangnya konsumsi
makanan bergizi, pada akhirnya anak akan terbiasa untuk mengonsumsi
makanan kurang bergizi. Kurangnya makan yang bergizi dalam jangka
waktu lama akan menyebabkan tubuh mengalami kekurangan gizi.
Kurangnya asupan makanan sehingga berdampak pada kekurangan
energi akan dapat menyebabkan kehilangan berat badan, gangguan
pertumbuhan berat badan dan terhambatnya pencapaian tinggi badan
(Sharlin dan Edelstein, 2011). Kebutuhan total energi setiap anak berbeda
47
tergantung dari usia, berat badan dan level aktifitas fisik (Thompson dkk.,
2011). Hasil penelitian yang dilakukan Wardani (2007) menyatakan bahwa
ada hubungan yang bermakna antara status gizi dan konsumsi energi
dengan nilai p = 0,049 dan OR= 205,5 artinya adalah anak balita yang
mengalami kurang konsumsi energi akan memiliki risiko mengalami gizi
buruk 205,5 kali lebih besar jika dibandingkan dengan dengan anak balita
yang memiliki konsumsi energi cukup (Wardani, 2007). Berikut adalah
Angka Kecukupan Gizi untuk energi:
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi Untuk Energi
Kelompok umur Energi (Kkal)
0-6 bulan 550
7-11 bulan 725
1-3 tahun 1125
4-6 tahun 1600
7-9 tahun 1850
Sumber: AKG, 2013
b. Asupan protein
Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki
fungsi esensial lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal (Pipes,
1985). Sebagai sumber energi, protein menyediakan 4 kkal energi per 1
gram protein, sama dengan karbohidrat. Protein terdiri atas asam amino
esensial dan non-esensial, yang memiliki fungsi berbeda-beda. Protein
48
mengatur kerja enzim dalam tubuh, sehingga protein juga berfungsi
sebagai zat pengatur. Asam amino esensial merupakan asam amino yang
tidak dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari
makanan (luar tubuh). Asam amino non-sesensial adalah asam amino yang
dapat di produksi sendiri oleh tubuh. Meskipun demikian, produksi asam
amino non-esensial bergantung pada ketersediaan asam amino esensial
dalam tubuh (Almatsier, 2001).
Protein merupakan bagian kedua terbesar setelah air. Protein
berperan sebagai prekusor sebagian besar koenzim, hormone, asam nukleat
dan molekul-molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein juga berperan
sebagai pemelihara netralitas tubuh (sebagai buffer), pembentuk antibodi,
mengangkut zat-zat gizi, serta pembentuk ikatan-ikatan esensial tubuh,
misalnya hormone. Oleh karena itu, protein memiliki fungsi yang khas dan
tidak dapat digantikan oleh zat lain (Almatsier, 2001).
Berikut adalah Angka Kecukupan Gizi untuk protein:
Tabel 2.3 Angka Kecukupan Gizi Untuk Protein
Kelompok umur Protein (gram)
0-6 bulan 12
7-11 bulan 18
1-3 tahun 26
4-6 tahun 35
7-9 tahun 49
Sumber: AKG, 2013
49
c. Asupan kalsium
Beberapa zat gizi mikro yang sangat penting untuk mencegah
terjadinya stunting yaitu vitamin A, zinc, zat besi dan iodin. Namun,
beberapa zat gizi mikro lainnya seperti kalsium dan fosfor juga sangat
penting perannya dalam pertumbuhan linier anak. Selama pertumbuhan,
tuntutan terhadap mineralisasi tulang sangat tinggi, rendahnya asupan
kalsium dapat mengakibatkan rendahnya mineralisasi matriks deposit
tulang baru dan disfungsi osteoblast. Defisiensi kalsium akan
mempengaruhi pertumbuhan linier jika kandungan kalsium dalam tulang
kurang dari 50% kandungan normal.
Kalsium membentuk ikatan kompleks dengan fosfat yang dapat
memberikan kekuatan pada tulang, sehingga defisiensi fosfor dapat
mengganggu pertumbuhan. Defisiensi fosfor yang berlangsung lama akan
menyebabkan osteomalasia dan dapat menyebabkan pelepasan kalsium
dari tulang. Mulyani (2009) kalsium bersama fosfor terutama berperan
untuk memperkuat tulang dan gigi agar tidak mudah patah dan rusak.
Sebagian besar (99%) kalsium di dalam tubuh terdapat dalam jaringan
keras seperti tulang dan gigi, dan sisanya tersebar dalam tubuh (Muchtadi,
2008).
Efek kumulatif dari deplesi kalsium selama bertahun-tahun
memberikan kontribusi terhadap frekuensi kejadian osteoporosis pada usia
dewasa (Gibney, 2009). Fungsi dan metabolisme antara fosfor dan kalsium
sangat erat. Kalsium bersama fosfor bersama-sama dalam proses
50
kalsifikasi yaitu terbentuknya matriks mineral. Dengan demikian, kalsium
bersama dengan fosfor lebih berperan dalam memperkuat tulang. Berikut
adalah Angka Kecukupan Gizi Untuk Kalsium
Tabel 2.4Angka Kecukupan Gizi Untuk Kalsium
Kelompok umur Kalsium (mg)
0-6 bulan 200
7-11 bulan 250
1-3 tahun 650
4-6 tahun 1000
7-9 tahun 1000
Sumber: AKG, 2013
4. Pemberian ASI
ASI merupakan bentuk makanan yang ideal untuk memenuhi gizi
anak, karena ASI sanggup memenuhi kebutuhan gizi bayi untuk hidup
selama 6 bulan pertama kehidupan. Meskipun setelah itu, makanan
tambahan yang dibutuhkan sudah mulai dikenalkan kepada bayi, ASI
merupakan sumber makanan yang penting bagi kesehatan bayi. Sebagian
besar bayi di negara yang berpenghasilan rendah, membutuhkan ASI
untuk pertumbuhan dan tak dipungkiri agar bayi dapat bertahan hidup,
karena merupakan sumber protein yang berkualitas baik dan mudah
didapat. dapat memenuhi tiga perempat dari kebutuhan protein bayi usia
51
6– 12 bulan, selain itu ASI juga mengandung semua asam amino essensial
yang dibutuhkan bayi (Berg, A. & Muscat, R. J., 1985).
ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja bagi bayi sejak
lahir sampai usia 6 bulan. Namun ada pengecualian, bayi diperbolehkan
mengonsumsi obat-obatan, vitamin, dan mineral tetes atas saran dokter.
Selama 6 bulan pertama pemberian ASI eksklusif, bayi tidak diberikan
makanan dan minuman lain (susu formula, jeruk, madu, air, teh, dan
makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, bubur nasi, biskuit, nasi
tim). Sedangkan ASI predominan adalah memberikan ASI kepada bayi,
tetapi pernah memberikan sedikit air atau minuman berbasis air, misalnya
teh, sebagai makanan/ minuman prelakteal sebelum ASI keluar
(Kemenkes, 2010).
Pemberian ASI memiliki berbagai manfaat terhadap kesehatan,
terutama dalam hal perkembangan anak. Komposisi ASI banyak
mengandung asam lemak tak jenuh dengan rantai karbon panjang
(LCPUFA, long-chain polyunsaturated fatty acid) yang tidak hanya
sebagai sumber energi tapi juga penting untuk perkembangan otak karena
molekul yang dominan ditemukan dalam selubung myelin. ASI juga
memiliki manfaat lain, yaitu meningkatkan imunitas anak terhadap
penyakit, berdasarkan penilitian pemberian ASI dapat menurunkan
frekuensi diare, konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi traktus
respiratorius, serta infeksi telinga. Secara tidak langsung, ASI juga
memberikan efek terhadap perkembangan psikomotor anak, karena anak
52
yang sakit akan sulit untuk mengeksplorasi dan belajar dari sekitarnya.
Manfaat lain pemberian ASI adalah pembentukan ikatan yang lebih kuat
dalam interaksi ibu dan anak, sehingga berefek positif bagi perkembangan
dan perilaku anak (Henningham & McGregor, 2008).
Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada anak yang tidak
diberi ASI Eksklusif (ASI < 6 bulan) dibandingkan dengan anak yang
diberi ASI Eksklusif (≥ 6 bulan) (Hien dan Kam, 2008). Penelitian yang
dilakukan oleh Teshome (2009) menunjukkan bahwa anak yang tidak
mendapatkan kolostrum lebih berisiko tinggi terhadap stunting. Hal ini
mungkin disebabkan karena kolostrum memberikan efek perlindungan
pada bayi baru lahir dan bayi yang tidak menerima kolostrum mungkin
memiliki insiden, durasi dan keparahan penyakit yang lebih tinggi seperti
diare yang berkontribusi terhadap kekurangan gizi. Penelitian lain juga
menyebutkan pemberian kolostrum pada bayi berhubungan dengan
kejadian stunting (Kumar, et al., 2006). Selain itu, durasi pemberian ASI
yang berkepanjangan merupakan faktor risiko untuk stunting (Teshome,
2009).
Pemberian makanan tambahan yang terlalu dini secara signifikan
berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi pernafasan dan insiden yang
lebih tinggi mordibitas malaria dan infesksi mata. Penelitian di Peru,
menunjukkan prevalensi diare secara signifikan lebih tinggi pada anak
yang disapih. Hal ini dapat disebabkan karena hilangnya kekebalan tubuh
dari konsumsi ASI yang tidak eksklusif dan juga pengenalan makanan
53
tambahan yang tidak higenis yang rentan terhadap penyakit infeksi.
Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa menyusui dapat
mengurangi kejadian pneumonia dan gastroenteritis (Kalanda, et all 2006).
Di Indonesia, perilaku ibu dalam pemberian ASI ekslusif memiliki
hubungan yang bermakna dengan indeks PB/U, dimana 48 dari 51 anak
stunted tidak mendapatkan ASI eksklusif (Oktavia, 2011). Penelitian lain
yang dilakukan oleh Istiftiani (2011) menunjukan bahwa umur pertama
pemberian MP-ASI berhubungan signifikan dengan indeks status gizi
PB/U pada baduta.
5. Infeksi Klinis Dan Subklinis
Infeksi dan asupan nutrisi merupakan sebuah lingkaran yang saling
berhubungan timbal balik (Nency dan Arifin, 2005). Rendahnya asupan
makanan dapat menurunkan imunitas dalam tubuh sehingga tubuh mudah
mengalami infeksi yang menyebabkan gizi kurang atau sebaliknya tubuh
yang mengalami infeksi akan menganggu penyerapan zat gizi oleh
sehingga tubuh akan mengalami kurang gizi (Latanza, 2015). Berdasarkan
penelitian Arifin dkk., 2012 ada hubungan yang signifikan antara penyakit
infeksi dengan kejadian stunting p = 0,021 yaitu OR= 2,2. Artinya anak
yang memiliki riwayat penyakit infeksi akan memiliki risiko 2,2 kali lebih
besar untuk mengalami stunting jika dibandingkan dengan anak yang tidak
memiliki riwayat penyakit infeksi.
Penyakit infeksi yang dapat mempengaruhi status gizi adalah diare
dan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pada anak. Diare adalah
54
buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan dan konsistensi tinja
yang lebih lunak dan cair yang berlangsung dalam kurun waktu minimal 2
hari dan frekuensinya 3 kali dalam sehari. Bakteri penyebab utama diare
pada bayi dan anak-anak adalah Enteropathogenic Escherichia coli
(EPEC). Menurut Levine & Edelman, Bakteri EPEC juga diyakini menjadi
penyebab kematian ratusan ribu anak di negara berkembang setiap
tahunnya. Hal ini juga diungkapkan oleh Budiarti, bahwa di Indonesia
53% dari bayi dan anak penderita diare terinfeksi EPEC. Oleh karena itu,
penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan utama di banyak
negara berkembang, termasuk Indonesia. Sanitasi di daerah kumuh
biasanya kurang baik dan keadaan tersebut dapat menyebabkan
meningkatnya penularan penyakit infeksi. Di negara berkembang penyakit
infeksi pada anak merupakan masalah yang kesehatan yang penting dan
diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan anak (Masithah, Soekirman,
& Martianto, 2005).
Berdasarkan penelitian Masithah dkk (2005), anak anak yang
menderita diare memiliki hubungan positif dengan indeks status gizi tinggi
badan menurut umur (TB/U). Penelitian lain juga menunjukkan hal yang
sama, penyakit infeksi menunjukan hubungan signifikan terhadap indeks
status gizi TB/U (Neldawati, 2006). Penyakit infeksi seperti diare dan
ISPA yang disebabkan oleh sanitasi pangan dan lingkungan yang buruk,
berhubungan dengan kejadian stunting pada bayi usia 6 –12 bulan (Astari,
et al., 2005). Penelitian lain di Libya juga menyatakan bahwa penyakit
55
diare menjadi faktor kejadian stunting pada anak dibawah 5 tahun (Taguri,
et al., 2007).
I. Kerangka teori
Berdasarkan uraian diatas, banyak sekali faktor yang mempengaruhi
stunting pada anak baik secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan
literature yang dilakukan para peneliti sebelumnya. Maka kerangka teori yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
56
Gambar 2.3 Kerangka Teori Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stunting Sumber: WHO, 2013
57
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka konsep
Masalah gizi pada anak merupakan masalah yang kompleks dan
disebabkan oleh multifaktorial penyebab. Secara langsung masalah gizi
disebabkan oleh rendahnya asupan gizi dan masalah kesehatan. Selain itu,
asupan gizi dan masalah kesehatan merupakan dua hal yang saling
mempengaruhi. Berdasarkan kerangka teori yang telah dijelaskan adanya
ketidakterjangkauan peneliti untuk mengetahui semua faktor penyebab
terjadinya stunting pada anak sehingga ada beberapa faktor risiko yang
terdapat pada kerangka teori tidak diteliti.
Faktor resiko yang ada di kerangka teori tidak diteliti dalam penelitian
ini adalah faktor rumah tangga dan keluarga yang meliputi nutrisi ibu pada
saat konsepsi, kehamilan dan laktasi dikarenakan penelitian ini melihat faktor
pada anak dan hanya melihat tinggi badan ibu dan jarak kelahiran anak
berdasarkan faktor ibunya. Selanjutnya yang tidak diteliti adalah faktor
lingkungan rumah yang salah satunya adalah sanitasi dan pasokan air
dikarenakan data yang didapat akan homogeny karena berada diwilayah yang
sama.
Begitupun pada faktor sosial dan komunitas tidak diteliti karena
penelitian ini dilakukan dalam satu wilayah yang sama. Adapun variabel yang
58
58
diteliti adalah karakteristik anak (berat baban lahir dan panjang badab lahir),
karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan jarak kelahiran), asupan zat gizi
(protein dan kalsium), pola asuh, ASI eksklusif, dan riwayat infeksi.
Kerangka konsep merupakan pedoman untuk penelitian dan
menunjukkan hubungan antara variable independen dan dependen, dimana
masing-masing variable tersebut dapat dioperasionalkan dan diukur oleh
peneliti. Beberapa faktor yang dapat mempengarui stunting dapat dilihat pada
kerangka teori yang terdapat pada Bab sebelumnya. Maka dapat disusun
kerangka konsep sebagai berikut:
59
59
Keterangan:
: Variabel independen
: Variabel dependen
Karakteristik Anak:
Berat Badan Lahir
Panjang Badan Lahir
Stunting
Asupan Zat Gizi:
Energi
Protein
Kalsium
Karakteristik Ibu:
Tinggi Badan Ibu
Jarak Kelahiran
Pola Asuh
ASI Eksklusif
Riwayat Infeksi
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
60
60
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1. Stunting Keadaan panjang badan anak
menurut umur (PB/U) yang
kurang -2 SD
Mengukur panjang
badan anak dalam
posisi berbaring
Length
board
1. stunting , bila PB/U < -2 SD
2. Normal, bila PB/U ≥ -2 SD
(Kemenkes, 2011)
Ordinal
2. Panjang lahir Panjang lahir yang diukur
pertama kali setelah lahir atau
maksimal 24 jam setelah lahir
Wawancara
kuesioner
Kuesioner 1. pendek, bila < 48 cm
2. Normal, bila ≥ 48 cm
(kemenkes, 2013)
Ordinal
3. Berat badan
lahir
Berat badan bayi yang diukur
pertama kali setelah lahir atau
maksimal 24 jam setelah lahir
Wawancara
kuesioner
Kuesioner 1. Rendah, bila < 2500 gram
2. Normal, bila ≥ 2500 gram
(Kemenkes, 2013)
Ordinal
4. Tinggi badan Hasil ukur tinggi badan ibu Pengukuran tinggi mikrotoise 1. pendek, bila < 150 cm Ordinal
61
61
ibu dalam satuan sentimeter (cm)
pada posisi berdiri tegap
badan pada posisi
berdiri tegap
dengan kepala,
bahu, bokong, betis
dan tumit
menempel pada
dinding dan tegak
lurus bidang datar
2. Normal, bila ≥ 150 cm
(Batlibangkes, 2011)
5. Jarak
kelahiran
Jarak kelahiran adalah jarak
antara anak yang lahir dengan
anak sebelumnya.
Wawancara
kuesioner
Kuesioner 1. Dekat, bila jarak kelahiran
anak < 3 tahun
2. Normal, bila jarak kelahiran
anak ≥ 3 tahun
(Ayuningtyas, 2016)
Ordinal
6. Asupan
energi
Jumlah energi dalam makanan
yang dikonsumsi selama sehari
Wawancara food
recall 24 jam
Kuesioner 1. Tidak adekuat < 77% AKG
2. Adekuat ≥ 77% AKG
Ordinal
62
62
terhitung sejak 24 jam sebelum
penelitian dilakukan dalam
satuan gram.
7. Asupan
protein
Jumlah protein dalam makanan
yang dikonsumsi selama sehari
terhitung sejak 24 jam sebelum
penelitian dilakukan dalam
satuan gram.
Wawancara food
recall 24 jam
Kuesioner 1. Tidak adekuat < 77% AKG
2. Adekuat ≥ 77% AKG
Ordinal
8. Asupan
kalsium
Jumlah kalsium dalam
makanan yang dikonsumsi
selama sehari terhitung sejak
24 jam sebelum penelitian
dilakukan dalam satuan
milligram.
Wawancara food
recall 24 jam
Kuesioner 1. Tidak adekuat < 70% AKG
2. Adekuat ≥ 70% AKG
Ordinal
9. Pola Asuh Upaya pemeliharaan kesehatan Wawancara kuesioner 1. kurang baik , bila jawaban Ordinal
63
63
dan gizi anak melputi
pengasuhan harian,
penimbangan rutin, praktek
kebersihan, upaya
penyembuhan, kebiasaan
sarapan dan frekuensi makan
sayur dan buah.
kuesioner <80%
2. baik, bila ≥ bila jawaban
<80%
10. ASI Eksklusif Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif
adalah ASI yang diberikan
kepada bayi sejak dilahirkan
selama enam bulan, tanpa
menambahkan dan/atau
mengganti dengan makanan
atau minuman lain (kecuali
obat, vitamin, dan
Wawancara
kuesioner
kuesioner 1. Tidak ASI eksklusif, bila
anak mendapatkan asupan
makanan dan minuman selain
ASI selama 6 bulan pertama
2. ASI eksklusif, bila anak
hanya mendapatkan ASI selama
6 bulan pertama
ordinal
64
64
mineral),
11. Riwayat
infeksi
Sakit infeksi yang dialami
pada enam bulan terakhir
dengan frekuensi mencapai
jarak enam kali dan
berlangsung minimal 3 hari
setiap periode sakit
Wawancara
kuesioner
kuesioner 1. sering sakit
2. jarang sakit
(Besral, 2011)
ordinal
65
65
C. Hipotesis
1. Ada hubungan faktor karakteristik anak (berat badan lahir dan panjang
badan lahir) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
2. Ada hubungan faktor karakteristik ibu (tinggi badan ibu dan jarak
kelahiran) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
3. Ada hubungan faktor asupan gizi (energi, protein dan kalsium) dengan
kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Pisangan Tahun 2018.
4. Ada hubungan faktor pola asuh dengan kejadian stunting pada anak usia 6-
23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
5. Ada hubungan faktor ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada anak
usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
6. Ada hubungan faktor riwayat infeksi dengan kejadian stunting pada anak
usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
66
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penlitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi
cross sectional atau potong lintang. Pengumpulan data dan informasi serta
pengukuran antara variable dependen dan independen dilakukan pada waktu
yang sama. Penelitian Cross Sectional merupakan jenis penelitian yang
berusaha mempelajari dinamika hubungan atau korelasi secara faktor-faktor
risiko dengan dampak atau efeknya (Sugiyono, 2011).
Disain cross sectional adalah suatu disain penelitian epidemiologi yang
mempelajari prevalensi, distribusi, maupun hubungan penyakit dan paparan
(faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan, penyakit, atau
karakteristik kesehatan lainnya secara serentak, pada individu-individu dari
suatu populasi dalam satu saat (Siagian, 2010). Pada disain ini, pengukuran
informasi mengenai sesuatu penyakit dan faktor-faktor risikonya dilakukan
pada waktu yang bersamaan sehingga tidak dapat melihat hubungan kausal
(sebab-akibat) karena tidak diketahui urutan kejadiannya, pajanan terlebih
dahulu atau kasus penyakit terlebih dahulu (Aschengrau dan Seage, 2003).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakuakn pada bulan September-Oktober 2018 dan
berlokasi di wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan.
67
67
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 6-23 bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan.
2. Sampel
Dari populasi penelitian yang dijadikan sampel dalam penelitian ini
adalah anak yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut:
1. Anak usia 6-23 bulan yang bertempat tinggal diwilayah penelitian.
2. Anak tinggal bersama ibu kandung.
3. Ibu yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Adapun kriteria eksklusi dari sampel dalam penelitian ini adalah:
1. Anak yang tidak tinggal menetap diwilayah penelitian.
2. Anak yang mengalami gangguan mental dan cacat fisik
Adapun penghitungan sampel menggunakan rumus pengujian hipotesis
untuk dua proporsi (Ariawan, 1998), yaitu:
Keterangan: n = Jumlah sampel penelitian
Z1-α/2 = Derajat kemaknaan (5%)
Z1-β = Kekuatan uji (90%)
68
68
P = (P1=P2)/2
P1 = Proporsi stunting pada pajanan (+) (0,781)
P2 = Proporsi stunting pada pajanan (-) (0,500)
Tabel 4.1 Besar Minimal Sampel Berdasarkan Penelitian Sebelumnya
variabel independen Variabel
dependen
P1 P2 ∑Sampel Sumber
Riwayat Infeksi TB/U 0,781 0,500 60 Neldawati,
2006
Asupan Energy TB/U 0,141 0,467 40 Indriyani, 2011
Asupan Protein TB/U 0,139 0,500 33 Indriyani, 2011
Berat Lahir TB/U 0,75 0,19 15 Paramita, 2012
Jumlah anggota
keluarga
TB/U 0,676 0,324 41 Ni’mah, 2015
Pemberian ASI
Eksklusif
TB/U 0,658 0,344 52 Fatmala, 2018
Pendapatan keluarga TB/U 0,622 0,032 12 Fatmala, 2018
Status pekerjaan TB/U 0,636 0,308 47 Fatmala, 2018
69
69
Dari perhitungan sampel tersebut didapatkan jumlah minimal
sampel yaitu 60 anak. Penelitian ini menggunakan uji hipotesis dua
proporsi sehingga jumlah sampel minimum dikali dua menjadi 120 anak
usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang
Selatan. Untuk mengantisipasi kehilangan responden, maka peneliti
menambahkan jumlah sampel sebesar 10%. Sehingga di dapatkan 132
anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota
Tangerang Selatan.
D. Teknik pemilihan sampel
Teknik sampling adalah cara untuk menentukan sampel yang
jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data
sebenarnya, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar
diperoleh sampel yang representatif. (Margono, 2004). Dalam penelitian ini
menggunakan teknik sampel propotional random sampling dengan cara
membuat kerangka sampel (sampling frame) dari daftar anak di posyandu
pada bulan vitamin A (Agustus 2018) dengan pertimbangan pada bulan
tersebut hampir seluruh anak terdaftar dalam pemberian vitamin A.
Penggunaan metode random ini bertujuan agar setiap anak usia 6-23 bulan
pada setiap posyandu mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi
sampel pada penelitian ini.
Adapun cara pemilihan sampel yaitu:
1. Peneliti akan melakukan pengumpulan data sekunder.
70
70
2. Kerangka sampel penelitian ini dibuat berdasarkan data register bulan
vitamin A semua posyandu yaitu 43 posyandu di wilayah kerja Puskesmas
Pisangan.
3. Pengambilan sampel menggunakan teknik proportional random sampling
dari kerangka sampel pada masing-masing Posyandu.
4. Kemudian dilakukan pengundian untuk menentukan anak yang terpilih
sebagai sampel sesuai dengan jumlah minimal sampel yang dibutuhkan.
Populasi Target
Populasi Studi
Sampel yang diharapkan
Subjek Aktual
Seluruh anak usia 6-23
bulan di wilayah kerja
puskesmas pisangan
2506 anak usia 6-23 bulan
di wilayah kerja
puskesmas pisangan
132 anak usia 6-23 bulan
di wilayah kerja
puskesmas pisangan
132 anak usia 6-23 bulan
di wilayah kerja
puskesmas pisangan
Gambar 4.1 Tahapan pemilihan sampel
71
71
E. Pengumpulan Data
1. Persiapan Pengumpulan
Sebelum mengadakan penelitian, peneliti meminta izin penelitian
kepada instansi yang terkait yaitu, Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan, dan Puskesmas Pisangan. Setelah surat diurus, peneliti meminta
daftar nama anak usia 6-23 bulan untuk menentukan anak yang akan
dijadikan sebagai sampel penelitian. Setelah ditentukan anak mana saja
yang akan menjadi sample penelitian, peneliti meminta tolong kepada
kader untuk memberikan informasi kepada ibu dan anak terpilih untuk
datang ke tempat yang ditentukan sebagai lokasi pengumpulan data
(rumah kader atau posyandu).
2. Sumber Data
Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan
sekunder. Data primer didapat dari hasil wawancara menggunakan
kuesioner pada responden yang menjadi sampel dalam penelitian. Data
primer yang diperlukan antara lain:
a. Data status gizi PB/U (pajang badan menurut umur) anak dengan
melakukan pengukuran antropometri panjang badan anak
menggunakan length board.
b. Data status gizi tinggi badan ibu dkukan pengukuran antropometri
tinggi badan ibu menggunakan microtoise.
c. Data mengenai asupan zat gizi menggunakan lembar food recall 24
jam dengan mencatat asupan makanan.
72
72
d. Data mengenai poal asuh, ASI eksklusif dan riwayat infeksi yang
didapatkan melalui wawancara dan pengisian.
Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder
dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Puskesmas, dan Posyandu
di Puskesmas Pisangan untuk melihat gambaran umum wilayah dan data
jumlah anak di lokasi penelitian.
3. Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Length board
Length board berfungsi sebagai alat ukur panjang badan sampel
denganketelitian sebesar 0,1 cm. data tentang panjang badan ini
menggambarkan presentase angka kejadian stunting.
b. Microtoise
Microtoise digunakan untuk mengukur tinggi badan responden
dengan ketelitian 0,1 cm. data tinggi badan ini menggambarkan
distribusi tinggi badan ibu.
c. Kuesioner
Kuesioner yang digunakan berisisi pertanyaan-pertanyaan yang
akan ditanyakan kepada responden (ibu) setelah responden mengisi
dan menandatangani lembar persetejuan penelitian halaman pertama.
Serta pada halaman terakhir kuesioner terdapat formulir food recall 24
jam yang berfungsi untuk mencatat informasi tentang makan dan
minuman beserta jumalah dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi
oleh sampel dalam satu hari.
73
73
4. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan oleh 2 – 3 orang, yang terdiri dari
peneliti sendiri dibantu oleh pengumpul data yang lain. Pengumpulan data
dilakukan dengan pengukuran antropometri dan wawancara setelah
adanya persetujuan untuk melakukan wawancara yang ditandatangani pada
lembar inform consent oleh responden. Pengukuran antropometri berupa
pengukuran panjang badan anak dan tinggi badan ibu. Sementara
wawancara menggunakan kuesioner yang memuat pertanyaan dari variabel
yang akan diamati. Wawancara ditutp dengan pertanyan recall 24 jam
yang memuat data asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi selama
24 jam sebelum penelitian dilakukan.
a. Prosedur pengukuran panjang badan anak
Pengukuran panjang badan anak menggunakan length board
dengan tingkat ketilitian 0,1 cm dengan posisi berbaring. Length board
adalah alat ukur yang berbentuk panjang, terdiri atas tiga bagian yaitu
kepala, badan dan kaki. Bagian kepala dan kaki length board adalah
tegak lurus terhadap badan length board sementara bagian kaki length
board dapat di gerakkan.
Langkah mengukur panjang badan anak adalah sebagai berikut
(WHO, 2008):
1) Membaringkan anak di atas length board yang telah diberi alas,
dengan posisi kepala anak menempel pada kepala length board
sambal menekan rambut.
74
74
2) Memposisikan kepala anak menghadap keatas sehingga mata
dan telinga anakemmbentuk garis vertical terhadap badan
length board.
3) Mengecek posisi bahu anak menyentuh badan length board
4) Meluruskan satu kaki anak sejajar terhadap kaki length board.
5) Memposisikan htelapak kaki anak sejajar terhadap kaki length
board.
6) Membaca angkapada sisi badan length boarddan mencatat
dengan cepat.
7) Melakukan pengukuran sebanyak dua kali.
b. Prosedur pengukuran tinggi badan
Mengukur tinggi badan ibu menggunakan mikrotoise dengan
kapasitas ukuran panjang dua meter dan ketelitian 0,1 cm. sebelum
melakukan pengukuran, microtoise harus terpasang pada dinding datar
dengan syarat dinding tegak lurusmembentuk sudut siku-sikuterhadap
alas atau lantai.
Langkah mengukur tinggi badan adalah sebagai berikut (WHO,
2008):
1) Mempersilahkan responden berdiri tegap tanpa alas kaki
membelakangi dinding dan mata menghaap lurus kedepan.
2) Membiarkan tangan responden menggantung bebas dan
menempel pada badan
3) Membantu memposisikan tumit, bokong, bahu dan kepala
bagian belakang menyentuh dinding
75
75
4) Mempersilahkan responden menarik napas sementara tangan
mengukur menarik tuas mikrotoise sehingga menyentuh dan
sedikit menekan rambut responden
5) Membaca dan mencatat angka yang tertera pada skala baca
microtoise
6) Melakukan pengukuran sebanyak dua kali
c. Prosedur recall 24 jam
Wawancara recall 24 jam dilakukan untuk menjawab variabel
asupan energi,protein dan kalsium. Kekuatan data recall 24 jam
bergantung pada kemampuan enumerator dalam memahami informasi
responden terutama tentang ukuran perbahan makanan. Recall 24 jam
kemuadian diolah dengan Microsoft Excel dan Software Nitrisurvey
2007 untuk memperoleh jumalah asupan zat-zat gizi. Asupan
dikatakan cukup apabila memenuhi minimal angka kecukupan gizinya.
d. Prosedur pengisian kusioner
Pengisian kuesioner dilakukan oleh enumerator melalui
wawancara setelah responden mengisi dan menandatangani lembar
persetejuan penelitian halaman pertama.
1) Variabel berat badan lahir kuesioner nomor D1
2) Variabel panjang badan lahir kuesioner nomor D2
3) Variabel tinggi badan ibu kuesioner nomor B4
4) Variabel jarak kelahiran kuesioner nomor C7
5) Variabel pola asuh kuesioner nomor F1-F10
6) Variabel ASI eksklusif kuesioner nomor E1-E6
76
76
7) Variabek penyakit infeksi kuesioner nomor G1-G4
F. Pengolahan data
1. Editing
Pada tahap ini yang dilakukan adalah memeriksa kelengkapan data
yang telah terkumpul, lalu disusun urutannya. Selanjutnya, dilihat apakah
terdapat kesalahan dalam pengisian serta melihat konsistensi jawaban dari
setiap pertanyaan setiap variabel.
2. Coding
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah memberikan kode
pada data yang tersedia kemudian mengklasifikasikan data sesuai
kebutuhan penelitian.
3. Processing
Pada tahap ini yang dilakukan adalah memasukkan data kedalam
paket program komputer seperti software SPSS yang kemudian akan
dianalisis secara statistik.
4. Cleaning
Pada tahap ini yang dilakukan adalah memeriksa kembali data
yang telah dimasukkan apakah masih ada pertanyaan yang belum terisi,
jawaban yang belum dikode, atau kesalahan dalam pemberian kode.
77
77
G. Validitas Dan Realibilitas
1. Validitas Data
Validitas merupakan kemampuan sebuah tes untuk mengukur apa
yang seharusnya diukur (Swarjana, 2016). Pada penelitian ini, uji validitas
yang digunakan adalah dengan uji validitas isi. Yaitu dengan cara
memperhatikan dan melihat tanggapan dari responden dalam mengisi
setiap pertanyaan yang ada dalam kuisioner. Peneliti memperhatikan
waktu pengisian kuisioner, serta menanyakan apakah pertanyaan dari
kuisioner tersebut sulit dimengerti atau bermakna ganda.
Berdasarkan hasil pengujian validitas, hasil dari tanggapan dan
observasi responden dalam menjawab pertanyaan adalah tidak ada yang
bermakna ganda, dan rata-rata waktu pengisian kuisioner adalah 15
menit. Pada pengukuran antropometri (panjang badan anak, berat badan
anak, dan tinggi badan ibu) memenuhi aspek valid.
2. Reliabilitas Data
Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat alat ukur yang digunakan
dapat terjaga konsistennya apabila pengukuran dilakukan berulang-ulang.
Uji reliabilitas kuesioner dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
rumus statistik Cronbach’s alpha keseluruhan dengan membandingkan
nilai r hasil (nilai alpha) dengan r tabel. Apabila r alpha lebih besar dari r
tabel berarti kuesioner tersebut reliabel (Arifin, 2012). Uji reliabilitas pada
penelitian ini dilakukan pada kuesioner bagian variabel ASI eksklusif, pola
asuh dan penyakit infeksi. Berikut merupakan kriteria reliabilitas :
78
78
Tabel 4.1 Kriteria Reliabilitas
Nilai Kriteria
α≥ 0,9 Excellent
0,8 ≤ α < 0,9 Good
0,7 ≤ α < 0,8 Acceptable
0,6 ≤ α < 0,7 Questionable
0,5 ≤ α < 0,6 Poor
α < 0,5 Unacceptable
Hasil uji reliabilitas yang dihasilkan adalah pada kuesioner bagian
variabel ASI eksklusif dihasilkan nilai α sebesar 0.808, artinya item yang
digunakan bersifat good dan reliabel. Pada kuesioner bagian variabel pola
asuh dihasilkan nilai α sebesar 0.824, artinya item yang digunakan bersifat
good dan reliabel. Pada kuesioner bagian variabel riwayat penyakit infeksi
dihasilkan nilai α sebesar 0.850, artinya item yang digunakan bersifat good
dan reliabel.
H. Analisis data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan analisis yang digunakan untuk
menjabarkan secara deskriptif mengenai frekuensi dan proporsi baik
variabel yang diteliti yaitu variabel independen dan variabel dependen
(Sumantri, 2011). Analisi ini digunakan untuk melihat gambaran distribusi
frekuensi dari variabel- variabel yang diteliti, baik variabel dependen
maupun variabel independen.
79
79
2. Analisis Bivariat
Analisis Bivariat merupakan analisis yang dilakukan untuk
mengetahui hubungan atau pengaruh dari variabel dependen dan
independen dengan menggunakan uji statistik (Sumantri, 2011). Pada
penelitian ini analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan
variabel independen (berat badan lahir, panjang badan lahir, tinggi badan
ibu, jarak kelahiran, asupan energy, asupan protein, asupan kalsium, pola
asuh, pemberian ASI eksklusid dan riwayat infeksi) terhadap variabel
dependen (kejadian stunting) pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Pisangan.
Analisis ini menggunakan uji Chi-square karena variabel
independen dan dependen berbentuk katagorik. Untuk melihat ada
tidaknya hubungan antara variabel digunakan derajat kemaknaaan (alpha)
0.05. apabila hasil uji mendapatkan nilai p< 0,05 maka hasil uji bermakna
dan apabila nilai p> 0.05 maka hasil uji tidak bermakna. Berikut adalah
rumus Chi-Square yang digunakan :
𝑋2 = ∑ (0 − 𝐸) 2
𝐸
Keterangan:
X2 = Statistic Chi-Square
O = Nilai Obervasi
E = Nilai Yang Diharapkan
80
80
I. Etik Penelitian
Penelitian ini sudah diajukan ethical clearance-nya kepada Komisi Etik Penelitian
Fakulas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta dan
disetujui dengan nomor surat Un.01/F10/KP.01.1/KE.SP/08.02.007/2018.
81
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Kota Tangerang Selatan memiliki 26 Puskesmas yang tersebar dibawah
naungan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. salah satu Puskesmas yang
berada di Kota Tangerang Selatan adalah Puskesmas Pisangan. Puskesmas
Pisangan merupakan yang beralamat di Jalan Hijau Lestari Vll, Pisangan,
Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten 15419. Puskesmas Pisangan
meliputi 2 wilayah kelurahan yang termasuk dalam wilayah kerja puskesmas
Pisangan yaitu Kelurahan Pisangan dan Kelurahan Cirendeu. Wilayah
Kelurahan Pisangan berada di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang
Selatan, dan mempunyai luas wilayah 4,67 km2, dengan batas wilayah sebagai
berikut :
Sebelah Utara : Kelurahan Cirendeu
Sebelah Barat : Kelurahan Cipayung
Sebelah Selatan : Kelurahan Pondok Cabe Ilir
Sebelah Timur : DKI Jakarta dan Cinere Depok
Adapun wilayah Kelurahan Cirendeu berada di Kecamatan Ciputat
Timur, Kota Tangerang Selatan, dan mempunyai luas wilayah 3,30 km2,
dengan batas wilayah sebagai berikut :
82
Sebelah Utara : Kelurahan Rempoa
Sebelah Barat : Kelurahan Cempaka Putih
Sebelah Selatan : Kelurahan Pisangan
Sebelah Timur : DKI Jakarta
B. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mengetahui gambaran distribusi
frekuensi dari variabel- variabel yang diteliti, baik variabel dependen maupun
variabel independen. Adapun variabel dependen dari penelitian ini yaitu
stunting pada anak dan variabel independen dari penelitian ini yaitu berat
badan lahir, panjang badan lahir, tinggi badan ibu, jarak kelahiran, asupan
energi, asupan protein, asupan kalsium, pola asuh, pemberian ASI eksklusif
dan riwayat infeksi pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2018.
Adapun hasil dari analisis univariat pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Gambaran Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-23 Bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Gambaran status gizi anak usia 6-23 bulan di di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan menggunakan indeks panjang badan menurut umur
(PB/U). Anak dikatakan stunting apabila memiliki nilai Z-score -3 SD
sampai dengan -2 SD. Sedangkan normal apabila memiliki nilai Z-score -2
SD sampai dengan 2 SD. Berikut merupakan gambaran kejadian stunting
pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota
Tangerang Selatan tahun 2018:
83
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kejadian Stunting Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Kategori Status
Frekuensi
Jumlah (n) Presentase (%)
Stunting (< -2 SD) 41 31,1
Normal (≥ -2 SD) 91 68,9
Total 132 100
Berdasarkan Tabel 5.1 diatas diketahui bahwa dari 132 responden
penelitian sebagian besar memiliki status gizi berdasarkan panjang badan
menurut umur (PB/U) normal (Z-score ≥-2 SD) yaitu sebanyak 91
responden (68,9%).
2. Gambaran Berat Badan Lahir Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di
Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Berat badan lahir adalah berat badan anak yang diukur pertama kali
setelah lahir atau maksimal 24 jam setelah lahir. Berat badan lahir dalam
penelitian ini dikatagorikan menjadi dua, yaitu berat badan lahir rendah
dan berat badan lahir normal. Berat badan lahir dikatakan rendah apabila
berat badan lahir <2500 gram dan dikatakan normal apabila berat badan
lahir ≥2500 gram.
Berikut merupakan gambaran berat badan lahir pada anak usia 6-23
bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun
2018:
84
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Berat Badan Lahir Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Kategori Berat Badan
Lahir
Frekuensi
Jumlah (n) Presentase (%)
Rendah (< 2500 gram) 11 8,3
Normal (≥ 2500 gram) 121 91,7
Total 132 100
Berdasarkan Tabel 5.2 diatas diketahui bahwa dari 132 responden
penelitian sebagian besar responden memiliki katagori berat badan lahir
normal (≥2500 gram) yaitu sebanyak 121 responden (91,7%).
3. Gambaran Panjang Badan Lahir Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di
Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Panjang lahir adalah panjang badan anak yang diukur pertama kali
setelah lahir atau maksimal 24 jam setelah lahir. Panjang badan lahir
dalam penelitian ini dikatagorikan menjadi dua, yaitu pendek dan normal.
Panjang badan lahir dikatakan pendek apabila <48 cm dan panjang badan
lahir dikatakan normal apabila ≥48 cm.
Berikut merupakan gambaran panjang badan lahir pada anak usia
6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan
tahun 2018:
85
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Panjang Badan Lahir
Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Kategori Panjang
Badan Lahir
Frekuensi
Jumlah (n) Presentase (%)
Pendek (< 48 cm) 51 38,6
Normal (≥ 48 cm) 81 61,4
Total 132 100
Berdasarkan Tabel 5.3 diatas diketahui bahwa dari 132 responden
penelitian sebagian besar responden yang memiliki katagori panjang badan
lahir normal (≥48 cm) yaitu sebanyak 81 responden (61,4%).
4. Gambaran Tinggi Badan Ibu Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Tinggi badan ibu dalam penelitian ini dikatagorikan menjadi dua,
yaitu pendek dan normal. Tinggi badan ibu dikatakan pendek apabila
tinggi badan ibu <150 cm dan tinggi badan ibu dikatakan normal apabila
tinggi badan ibu ≥150 cm.
Berikut merupakan gambaran tinggi badan ibu pada anak usia 6-23
bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun
2018.
86
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tinggi Badan Ibu Pada Anak
Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Kategori Tinggi
Badan Ibu
Frekuensi
Jumlah (n) Presentase (%)
Pendek (< 150 cm) 38 28,8
Normal (≥ 150 cm) 94 71,2
Total 132 100
Berdasarkan Tabel 5.4 diatas diketahui bahwa dari 132 responden
penelitian sebagian besar responden (ibu) yang memiliki katagori tinggi
badan yang normal (≥150 cm) yaitu sebanyak 94 responden (71,2%).
5. Gambaran Jarak Kelahiran Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Jarak kelahiran adalah jarak antara anak yang lahir dengan anak
kelahiran anak sebelumnya. Jarak kelahiran dalam penelitian ini
dikatagorikan menjadi dua, yaitu jarak lahir dekat dan jarak lahir normal.
Jarak kelahiran anak dikatakan dekat apabila jarak kelahiran <3 tahun dan
dikatakan normal apabila jarak kelahiran ≥3 tahun.
Berikut merupakan gambaran jarak kelahiran pada anak usia 6-23
bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun
2018.
87
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jarak Kelahiran Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Kategori Jarak
Kelahiran
Frekuensi
Jumlah (n) Presentase (%)
Dekat (< 3 tahun) 81 61,4
Normal (≥ 3 tahun) 51 38,6
Total 132 100
Berdasarkan Tabel 5.5 diatas diketahui bahwa dari 132 responden
penelitian sebagian besar responden yang memiliki katagori jarak
kelahiran anak yang dekat (<3 tahun) yaitu sebanyak 81 responden
(61,4%).
6. Gambaran Asupan Energi Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Asupan energi dalam penelitian ini dikatagorikan menjadi dua,
yaitu tidak adekuat dan adekuat. Asupan energi pada anak dikatakan tidak
adekuat apabila asupan energi anak < 77% AKG dan dikatakan adekuat
apabila asupan energi anak ≥77% AKG.
Berikut merupakan gambaran asupan energi pada anak usia 6-23
bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun
2018.
88
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Energi Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Kategori Asupan
Energi
Frekuensi
Jumlah (n) Presentase (%)
Tidak adekuat 47 35,6
adekuat 85 64,4
Total 132 100
Berdasarkan Tabel 5.6 diatas diketahui bahwa dari 132 responden
penelitian terdapat sebagian besar yang memiliki katagori asupan energi
yang adekuat (cukup) yaitu sebanyak 85 responden (64,4%).
7. Gambaran Asupan Protein Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Asupan protein dalam penelitian ini dikatagorikan menjadi dua,
yaitu tidak adekuat dan adekuat. Asupan protein pada anak dikatakan tidak
adekuat apabila asupan protein anak < 77% AKG dan dikatakan adekuat
apabila asupan protein anak ≥77% AKG.
Berikut merupakan gambaran asupan eprotein pada anak usia 6-23
bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun
2018.
89
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Protein Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Kategori Asupan
Protein
Frekuensi
Jumlah (n) Presentase (%)
Tidak adekuat 30 22,7
adekuat 102 77,3
Total 132 100
Berdasarkan Tabel 5.7 diatas diketahui bahwa dari 132 responden
penelitian terdapat sebagian besar yang memiliki asupan protein adekuat
(cukup) yaitu sebanyak 102 responden (77,3%).
8. Gambaran Asupan Kalsium Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Asupan kalsium dalam penelitian ini dikatagorikan menjadi dua,
yaitu tidak adekuat dan adekuat. Asupan kalsium pada anak dikatakan
tidak adekuat apabila asupan kalsium anak < 77% AKG dan dikatakan
adekuat apabila asupan kalsium anak ≥77% AKG.
Berikut merupakan gambaran asupan kalsium pada anak usia 6-23
bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun
2018.
90
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Asupan Kalsium Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Kategori Asupan
Kalsium
Frekuensi
Jumlah (n) Presentase (%)
Tidak adekuat 23 17,4
adekuat 109 82,6
Total 132 100
Berdasarkan Tabel 5.8 diatas diketahui bahwa dari 132 responden
penelitian terdapat sebagian besar yang memiliki katagori asupan kalsium
adekuat (cukup) yaitu sebanyak 109 responden (82,6%).
9. Gambaran Pola Asuh Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Pola asuh adalah suatu upaya pencegahan kesakitan, pemeliharaan
kesehatan dan gizi anak yang meliputi pengasuhan harian, imunisasi,
penimbangan rutin, praktek kebersihan, upaya pencarian pelayanan
kesehatan, kebiasaan sarapan dan frekuensi makan sayur dan buah. Pada
penelitian ini pola suh dikatagorikan menjadi dua, yaitu pola asuh yang
kurang baik dan pola asuh baik. Pola asuh kurang baik apabila skor
jawaban <80% dan dikatakan pola asuh baik apabila skor jawaban ≥80%.
Berikut merupakan gambaran pola asuh pada anak usia 6-23 bulan
di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun 2018.
91
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Asuh Pada Anak
Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Kategori Pola Asuh
Frekuensi
Jumlah (n) Presentase (%)
Kurang 38 28,8
Baik 94 71,2
Total 132 100
Berdasarkan Tabel 5.9 diatas diketahui bahwa dari 132 responden
penelitian sebagian besar yang memiliki katagori pola asuh yang baik
(skor jawaban ≥80%) yaitu sebanyak 94 responden (71,2%).
10. Gambaran ASI Eksklusif Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif adalah ASI yang
diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa
menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain
(kecuali obat, vitamin, dan mineral). Pada penelitian ini pemberian ASI
Eksklusif dikatagorikan menjadi dua, yaitu tidak ASI eksklusif dan ASI
eksklusif. Dikatakan tidak ASI eksklusif apabila anak mendapatkan asupan
makanan dan minuman selain ASI selama 6 bulan pertama dan dikatakan
ASI Eksklusif apabila anak hanya mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) selama
6 bulan pertama. Berikut merupakan gambaran ASI Eksklusif pada anak
usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang
Selatan tahun 2018.
92
Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan ASI Eksklusif Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Kategori ASI
Eksklusif
Frekuensi
Jumlah (n) Presentase (%)
Tidak ASI Eksklusif 59 44,7
ASI Eksklusif 73 55,3
Total 132 100
Berdasarkan Tabel 5.10 diatas diketahui bahwa dari 132
responden penelitian sebagian besar yang memiliki katagori pemberian
ASI Eksklusif yaitu sebanyak 73 responden (55,3%).
11. Gambaran Riwayat Infeksi Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Pada penelitian ini variabel riwayat infeksi dikatagorikan menjadi
dua, yaitu sering dan jarang. Dikatakan memiliki riwayat infeksi yang
sering apabila anak mengalami sakit infeksi pada enam bulan terakhir
dengan frekuensi mencapai jarak enam kali dan berlangsung minimal 3
hari setiap periode sakit dan dikatakan riwayat infeksi yang jarang apabila
kurang dari frekuensi tersebut diatas.
Berikut merupakan gambaran riwayat penyakit infeksi pada anak
usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang
Selatan tahun 2018.
93
Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Infeksi Pada
Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Kategori Riwayat
Infeksi
Frekuensi
Jumlah (n) Presentase (%)
Sering 40 30,3
Jarang 92 69,7
Total 132 100
Berdasarkan Tabel 5.11 diatas diketahui bahwa dari 132
responden penelitian sebagian besar yang memiliki katagori riwayat
infeksi yang jarang yaitu sebanyak 92 responden (69,7%).
94
C. Analisis Bivariat
Hasil analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen. Adapun variabel dependen
dari penelitian ini yaitu stunting pada anak dan variabel independen dari
penelitian ini yaitu berat badan lahir, panjang badan lahir, tinggi badan ibu,
jarak kelahiran, asupan energi, asupan protein, asupan kalsium, pola asuh,
pemberian ASI eksklusif dan riwayat infeksi pada anak usia 6-23 bulan di
wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2018.
Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square.
Dengan menggunakan uji ini akan terlihat kemaknaan hubungannya secara
statistik. Jika hasil uji mendapatkan p value <0,05 berarti terdapat hubungan
yang bermakna secara statistik dan jika hasil uji mendapatkan p value >0,05
berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik. Berikut adalah
hasil analisis bivariat pada penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
95
Tabel 5.12 Hasil Analisis Bivariat Antara Variabel Indenpenden
Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-23 Bulan
Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Variabel Independen
Stunting Total
P-Value Ya Tidak
N % N % N %
Berat badan lahir
Rendah 7 63,6 4 36,4 11 100 0,015*
Normal 34 28,1 87 71,9 121 100
Panjang badan lahir
Pendek 22 43,1 29 56,9 51 100 0,029*
Normal 19 23,5 62 76,5 81 100
Tinggi badan ibu
Pendek 6 15,8 32 84,2 38 100 0,028*
Normal 35 37,2 59 62,8 94 100
Jarak kelahiran
Dekat 26 32,1 55 67,9 81 100 0,895
Normal 15 29,4 36 70,6 51 100
Asupan energy
Tidak adekuat 16 34,0 31 66,0 47 100 0,723
Adekuat 25 29,4 60 70,6 85 100
Asupan protein
Tidak adekuat 12 40,0 18 60,0 30 100 0,327
Adekuat 29 28,4 73 71,6 102 100
Asupan kalsium
Tidak adekuat 12 52,2 11 47,8 23 100 0,031*
Adekuat 29 26,6 80 73,4 109 100
Pola asuh
Kurang 27 71,1 11 28,9 38 100 0,000*
Baik 14 14,9 80 85,1 94 100
ASI Eksklusif
Tidak ASI Eksklusif 17 28,8 42 71,2 59 100 0,755
ASI Eksklusif 24 32,9 49 67,1 73 100
Riwayat penyakit infeksi
Sering 27 67,5 13 32,5 40 100 0,000*
Jarang 14 15,2 78 84,8 92 100
96
Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 5.12 diketahui bahwa dari 10
variabel independen terdapat 6 variabel independen yang memiliki hubungan dan
4 variabel independen yang tidak memiliki hubungan dengan status gizi
berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak usia 6-23 bulan di
wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun 2018. Dikatakan
berhubungan bermakna apabila hasil uji mendapatkan nilai p< 0,05. Dikatakan
tidak berhubungan apabila hasil uji mendapatkan nilai nilai p> 0,05.
Adapun variabel yang berhubungan adalah berat badan lahir (p=0.015) ,
panjang badan lahir (p=0,029), tinggi badan ibu (p=0,028) asupan kalsium
(p=0,031), pola asuh (p=0,000) dan riwayat infeksi (p=0,000). Adapun variabel
yang tidak berhubungan adalah jarak kelahiran (p=0,082), asupan energi
(p=0,723), asupan protein (p=0,327) dan ASI eksklusif (p=0,755).
Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 5.12 diketahui bahwa pada
variabel yang berhubungan yaitu berat badan lahir terdapat 11 anak dengan berat
badan lahir rendah dan 7 (63,6%) anak diantaranya mengalami stunting, pada
variabel panjang badan lahir terdapat 51 anak dengan panjang badan lahir rendah
dan 22 (43,1%) anak diantaranya mengalami stunting. Pada variabel tinggi badan
ibu terdapat 38 ibu dengan tinggi badan yang rendah dan 6 ibu (15,8%) memiliki
anak yang stunting. Pada variabel asupan gizi kalsium terdapat 23 anak dengan
asupan kalsium yang tidak adekuat dan 12 (52,2%) anak diantaranya mengalami
stunting. Pada variabel pola asuh terdapat 38 anak dengan pola asuh yang kurang
dan 27 (71,1%) anak diantaranya mengalami stunting, dan yang terakhir pada
variabel riwayat infeksi yaitu terdapat 40 anak dengan riwayat infeksi yang sering
dan 27 (67,5%) anak diantaranya mengalami stunting.
97
Pada variabel yang tidak berhubungan juga diketahui bahwa pada variabel
jarak kelahiran terdapat 81 anak dengan jarak kelahiran yang dekat dan 26
(32,1%) anak diantaranya yang mengalami stunting. Pada variabel asupan energi
terdapat 47 anak dengan asupan energi yang tidak adkuat dan 16 (34,0%) anak
diantaranya mengalami stunting. Pada variabel asupan protein terdapat 30 anak
dengan asupan protein yang tidak adekuat dan 12 (40,0%) anak diantaranya
mengalami stunting. Yang terakhir pada variabel ASI eksklusif terdapat 59 anak
yang tidak diberi ASI secara eksklusif dan 17 (28,8%) anak diantaranya
mengalami stunting.
98
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menyadari adanya keterbatasan dan
kekurangan yang mungkin akan berpengaruh dalam hasil penelitian ini secara
keseluruhan. Namun dengan memilih desain penelitian yang sesuai dengan
tujuan penelitian dan analisa hasil diharapkan mampu meminimalisir
kekurangan dan keterbatasan dalam penelitian ini. Adapun beberapa
keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini tidak mengkaji riwayat responden selama hamil, meskipun
beberapa variabel independen yang diduga berhubungan terhadap kejadian
stunting merupakan output dari kondisi ibu selama hamil.
2. Penelitian ini menggunakan metode food recall 1x24 jam untuk mengukur
variabel asupan energi, protein dan kalsium. Pengkajian asupan makanan
menggunakan food recall 1x 24 jam belum cukup mampu menggambarkan
kebiasaan makan anak dalam waktu lama. Dan juga metode ini bergantung
pada ingatan dan subjektifitas seseorang. Responden mungkin lupa,
mengurangi, atau menambahkan makanan dan minuman yang telah
dimakanannya tetapi penelitian ini memberikan food model kepada
responden untuk membantu mengingat ukuran porsi yang dimakan oleh
responden.
99
3. Penelitian ini tidak mengukur zat gizi yang terkandung di dalam ASI (Air
Susu Ibu) akan tetapi sebagian besar responden sudah tidak ASI sebanyak
44,7%. Sehingga dapat dikatakan anak usia 6-23 bulan sebagian besarnya
tidak mengonsumsi ASI lagi.
B. Gambaran Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
Stunting merupakan indikator yang digunakan untuk menggambarkan
status gizi pada anak dengan indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau
tinggi badan menurut umur (TB/U). Anak dikatakan stunting apabila memiliki
nilai Z-score -3 SD sampai dengan -2 SD. Sedangkan normal apabila memiliki
nilai Z-score -2 SD sampai dengan 2 SD. Stunting pada anak merupakan hasil
jangka panjang konsumsi kronis diet berkualitas rendah yang dikombinasikan
dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah lingkungan (Semba, et al.,
2008). Garza et al. (2013) meneybutkan bahwa seseorang yang memiliki
riwayat stunting pada usia dini cenderung memiliki tinggi badan lebih rendah
ketika anak beranjak dewasa.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 41
(31,1%) anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan yang
mengalami stunting. Hal serupa ditemukan pada penelitian yang dilakukan di
Depok oleh Fitriatul (2014) bahwa ditemukan besar masalah stunting pada
anak usia 12-23 bulan sebesar 21,8%. Selain itu, penelitian di Bogor oleh Erni,
dkk (2016) juga menemukan besar masalah stunting pada anak usia 6-24 bulan
100
sebesar 18,60%. Hal ini menunjukkan bahwa masalah stunting masih banyak
ditemukan. Dalam penelitian ini dilakukan pada semua posyandu yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Pisangan sehingga angka kejadian stunting sedikit
lebih banyak daripada penelitain sebelumnyaoleh Fitriatul yang hanya
dilakuakan pada sebagian posyandu di Kelurahan Depok.
Dua tahun pertama kehidupan adalah priode kriteis pertumbuhan yang
berhubungan dengan kemampuan hidup seorang ketika dewasa (Barkes,
2008). Dua tahun pertaa kehidupan adalah periode kecepatan pertumbuhan
yang pesat sekaligus permulaan perlambatan pertumbuhan. Kecepatan dan
perlambatan pertumbuhan akan berlanjut sampai memasuki umur 3 tahun.
Kecepatan pertumbuhan perlahan menurun ketika memasuki umur berikutnya
(Lejarraga, 2002). Menurut Barker (1998) kegagalan pertumbuhan pada dua
tahun pertama adalah bentuk kerusakan permanen yang konsekuensi itu dapat
ditemui dimasa mendatang dan cenderung berulang pada generasi berikutnya.
Konsekuensi kesakitan akibat dari kondisi kurang gizi selama hamil dan
stuning pada dua tahun pertama kehidupan dalam konsep perkembangan
penyakit. Kesakitan yang diderita oleh seseorang ketika dewasa adalah
kumulasi defisit antara kebutuhan dan ketersediaan zat gizi dan oksigen yang
dialami sejak anak dalam kandungan.
Ada banyak sekali dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah
gizi pada periode dua tahun pertam, yaitu dalam jangka pendek adalah
terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik,
dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang
101
akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif
dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan
risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit
jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua,
serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya
produktivitas ekonomi (Depkes, 2016).
C. Gambaran Dan Hubungan Variabel Independen Dengan Variabel
Dependen Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas
Pisangan Tahun 2018.
Berdasarkan hasil peneltian terdapat beberapa variabel independen
yang memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan status gizi
berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak usia 6-23 bulan
di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan tahun 2018.
Adapun variabel yang berhubungan adalah berat badan lahir, panjang badan
lahir, asupan kalsium, pola asuh dan riwayat infeksi.
Berikut adalah gambaran dan hubungan dari variabel independen
(berat badan lahir, panjang badan lahir, tinggi badan ibu, jarak kelahiran,
asupan energy, asupan protein, asupan kalsium, pola asuh, pemberian ASI
eksklusif dan riwayat infeksi) dengan variael dependen yaitu kejadian stunting
pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja puskesmas pisangan tahun 2018:
102
1. Gambaran dan Hubungan Berat Badan Lahir Dengan Kejadian
Stunting
Berat badan lahir adalah berat badan anak yang diukur pertama kali
setelah lahir atau maksimal 24 jam setelah lahir. Berat lahir pada anak
khususnya sangat terkait dengan kematian janin, neonatal, dan
postneonatal; mordibitas bayi dan anak; dan pertumbuhan dan
pengembangan jangka panjang. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR)
didefinisikan yaitu berat lahir yang kurang dari 2500 gram dan berat badan
lahir normal (BBLN) lebih dari sama dengan 2500 gram (Kemenkes,
2017). Berat badan lahir rendah (BBLR) dapat disebabkan oleh masalah
durasi kehamilan dan laju pertumbuhan janin. Maka dari itu, bayi dengan
berat lahir <2500 gram bisa dikarenakan dia lahir secara prematur atau
karena terjadi retardasi pertumbuhan (Semba & Bloem, 2001).
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 11
(8,3%) anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan
mengalami berat badan lahir rendah. Hal serupa ditemukan pada penelitian
yang dilakukan di Aceh oleh Wanda dkk (2014) bahwa sebagian besar
terdapat 39,09% anak usia 6-24 bulan dengan berat badan lahir rendah.
Selain itu, penelitian di Yogyakarta oleh Silvania (2017) bahwa terdapat
55,6% anak yang mengalami berat badan lahir rendah. Angka berat badan
lahir rendah (BBLR) di wilayah kerja Puskesmas Pisangan dibandingakan
dengan penelitian sebelumnya memang jauh berbeda dikarenakan kejadian
BBLR diwilayah Puskesmas Pisangan sangat sedikit sekali.
103
Dari 11 (8,3%) anak yang memiliki berat badan lahir rendah
sebanyak, terdapat 7 anak (63,6%) anak diantaranya yang mengalami
stunting. Hasil bivariat pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan status
gizi berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak usia 6-23
bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan
(p=0,015). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Fitri (2012) dan
Setyorini (2013) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat
badan lahir dengan kejadian stunting di Sumatera dan Depok.
Hubungan berat badan lahir dengan kejadian stunting pada anak
diperjelas dengan keberadaan ibu sebagai penanggung jawab terhadap
pertumbuhan janin. Selain berhubungan dengan status gizi anak, status gizi
ibu juga menentukan berat badan lahir anak. Potensi genetik ibu yang
terukur dari tinggi badan ibu akan diturunkan kepada anak sejak anak
masih dalam kandungan. Interaksi antara potensi genetik ibu dan
lingkungan selama hamil akan mempengaruhi ukuran berat lahir anak
(Fitriatu, 2017). Dalam penelitian lain, berat lahir rendah telah diketahui
berkorelasi dengan stunting. Dalam analisis multivariat tunggal variabel
berat lahir rendah dapat bertahan, hal ini menunjukkan bahwa berat lahir
rendah memiliki efek yang besar terhadap stunting. Seperti yang telah
diketahui sebelumnya, efek dari berat lahir rendah terhadap kesehatan
anak adalah faktor yang paling relevan untuk kelangsungan hidup anak
(Taguri et al., 2007).
104
Dampak dari bayi yang memiliki berat lahir rendah akan
berlangsung antar generasi yang satu ke generasi selanjutnya. Anak
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) kedepannya akan memiliki
ukuran antropometri yang kurang di masa dewasa. Bagi perempuan yang
lahir dengan berat rendah, memiliki risiko besar untuk menjadi ibu yang
stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi dengan berat lahir
rendah seperti ibunya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stunted tersebut
akan menjadi perempuan dewasa yang stunted juga, dan akan membentuk
siklus sama seperti sebelumnya (Semba dan Bloem, 2001).
2. Gambaran dan Hubungan Panjang Badan Lahir Dengan Kejadian
Stunting
Panjang badan lahir adalah panjang badan anak yang diukur
pertama kali setelah lahir atau maksimal 24 jam setelah lahir. Panjang
badan lahir dikatagorikan menjadi dua, yaitu panjang badan yang pendek
dan panjang badan yang normal. Panjang badan lahir dikatakan pendek
apabila panjang badan lahir <48 cm dan panjang badan lahir dikatakan
normal apabila panjang badan lahir ≥48 cm (Kemenkes, 2017)
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 51
(38,6%) anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan
mengalami panjang badan rendah atau pendek (<48 cm). Hal serupa
ditemukan pada penelitian yang dilakukan di Yogyakarta oleh Intan (2017)
terdapat 23,2% anak dengan panjang badan lahir rendah yaitu <48 cm.
penelitian yang sama di Depok oleh Fitriatul (2014) ditemukan sebesar
105
23,1% anak dengan panjang badan lahir rendah, Cameron (2002)
menjelaskan panjang badan lahir merupakan hasil akumulasi dari interaksi
berbagai faktor selama masa kehamilan ibu yang didominasi oleh faktor
genetik orang tua.
Berdasarkan hasil penelitian dari 51 (38,6%) anak yang memiliki
panjang badan lahir rendah atau pendek, terdapat 22 (43,1%) anak
diantaranya yang mengalami stunting. Hasil bivariat menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara panjang badan lahir dengan
status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak
usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang
Selatan (p=0,029). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian intan
(2017) yang dilakukan pada anak usia 6-24 bulan di puskesmas lendah II
Kulon Progo bahwa terdapat hubungan yang signifinkan antara panjang
badan lahir dengan kejadian stunting (p=0,000).
Panjang lahir bayi akan berdampak pada pertumbuhan selanjutnya,
seperti terlihat pada hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Pati
Kabupaten Pati didapatkan hasil bahwa panjang badan lahir yang rendah
atau pendek (<48 cm) merupakan salah satu faktor risiko balita stunting
usia 12-36 bulan. Bahwa bayi yang lahir dengan panjang badan lahir yang
rendah memiliki risiko 2,8 kali mengalami stunting dibanding bayi yang
lahir dengan panjang badan lahir normal (Anugraheni & Kartasurya,
2012).
106
Berngard et al. (2013) mengatakan bahwa pertumbuhan linier yang
dialami janin akan berlanjut setelah kelahiran dan juga mendapati bahwa
panjang lahir merupakn predictor terkuat untuk kondisi gagal tumbuh
padaa usia 3 dan 6 bulan. Panjang badan badan bayi saat lahir
menggambarkan pertumbuhan linear bayi selama dalam kandungan.
Ukuran linear yang rendah biasanya menunjukkan keadaan gizi yang
kurang yang diderita selama masa kehamilan atau pada saat anak masih
dalam kandungan yang diawali dengan perlambatan atau retardasi
pertumbuhan janin. Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa
kehamilan dan pada saat masa kehamilan menyebabkan gangguan
pertumbuhan pada janin sehingga dapat menyebabkan bayi lahir dengan
panjang badan lahir pendek atau rrendah (Supariasa, dkk., 2012).
3. Gambaran dan Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian
Stunting
Tinggi badan ibu diukur menggunakan microtoise dengan
ketelitian 0,1 cm. Pengukuran tinggi badan pada posisi berdiri tegap
dengan kepala, bahu, bokong, betis dan tumit menempel pada dinding dan
tegak lurus pada bidang datar. Tinggi badan ibu dalam penelitian ini
dikatagorikan menjadi dua, yaitu tinggi badan ibu pendek apabila tinggi
badan ibu <150 cm dan tinggi badan ibu dikatakan normal apabila tinggi
badan ibu ≥150 cm.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 38
(28,8%) tinggi badan ibu yang termasuk katagori pendek (< 150 cm ) di
107
wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota tangerang Selatan. Hal serupa
ditemukan pada penelitian yang dilakukan di Kabupaten Majene, makassar
oleh Yusdari (2017) bahwa sebagian besar terdapat 102 ibu (55,7%)
dengan tinggi badan pendek
Berdasarkan hasil penelitian dari 38 (28,8%) ibu yang tinggi badan
pendek (<150 cm), terdapat 6 (15,8%) ibu diantaranya memiliki anak
yang mengalami stunting. Hasil bivariat menunjukkan terdapat hubungan
yang signifikan antara tinggi badan ibu dengan status gizi berdasarkan
panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak usia 6-23 bulan di wilayah
kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan (p=0,028).
Hal ini sejalan dengan penelitian Fitriatul (2014) bahwa terdapat
hubungan tinggi badan ibu dengan stunting pada anak usia 12-23 bulan di
Wilayah Depok. Begitu juga pada penelitian yang dilakukan oleh Siti
Wahdah (2014) bahwa kejadian stunting berhubungan signifikan dengan
tinggi badan orang tua, baik tinggi badan ibu maupun tinggi badan ayah.
Ibu yang pendek berkaitan dengan kejadian stunting pada anak.
Tinggi badan ibu sangat berkaitan dengan cadangan makanan yang
baik. Cadangan makanan yang baik dalam rentang waktu panjang maupun
pendek akan berpengaruh pada komponen tubuh. Ibu yang tinggi dan
bergizi baik memiliki riwayat baik dalam menyediakan cadangan energi
untuk janin daripada ibu stunting yang memiliki riwayat kurang gizi
kronik (Wells, 2013)
Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir
proses tumbuh kembang anak. Melalui intruksi genetik yang terkandung di
108
dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas pertumbuhan.
Walaupun demikian, komposisi genetik bukan merupakan faktor utama
yang menentukan tinggi badan seseorang, karena kendala lingkungan dan
gizi merupakan persoalan yang lebih penting. Termasuk dalam pemenuhan
makanan yang baik secara kualitas dan kuantitas (Fitriatul, 2014).
4. Gambaran dan Hubungan Asupan Kalsium Dengan Kejadian
Stunting
Asupan adalah jumlah zat gizi yang terkandung dalam makanan
yang telah dikonsumsi selama sehari sebelum penelitian dilakukan. Jumlah
kebutuhan makanan harus meningkat sesuai dengan umurnya. Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 23 anak (17,4%) anak
usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan memiliki asupan
kalsium yang kurang dari yang dianjurkan. Hal serupa ditemukan pada
penelitian Fitriatul (2014) terdapat 79,7% sampel yang memiliki asupan
kalsium kurang dari yang dianjurkan.
Dari 23 anak (17,4%) yang memiliki asupan kalsium yang kurang,
terdapat 12 anak (52,2%) diantaranya mengalami stunting. Hasil bivariat
menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara asupan kalsium
dengan status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada
anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang
Selatan (p=0,031). Hal ini sejalan dengan penelitian Fitriatul (2014) bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara asupan kalsium dengan kejadian
stunting di kota Depok. Begitu juga dengan penelitian Estillyta (2017)
109
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan kalsium dengan
kejadian stunting.
Hubungan asupan kalsium terhadap stunting dijelaskan dari peran
utama kalsium dan tulang. Stunting adalah hasil dari kegagalan
pertumbuhan yang menurunkan perkembangan dan pematangan kondrosit
tulang. Kalsium adalah penyusun utama matriks kondrosit tulang.
Kondrosit adalah bagian tulang yang bertugas merespon hormone
pertumbuhan dan mengawal proses pembentukan tulang (Branca and
Ferari, 2002).
Beberapa zat gizi mikro yang sangat penting untuk mencegah
terjadinya stunting yaitu vitamin A, zinc, zat besi dan iodin. Namun,
beberapa zat gizi mikro lainnya seperti kalsium dan fosfor juga sangat
penting perannya dalam pertumbuhan linier anak. Selama pertumbuhan,
tuntutan terhadap mineralisasi tulang sangat tinggi, rendahnya asupan
kalsium dapat mengakibatkan rendahnya mineralisasi matriks deposit
tulang baru dan disfungsi osteoblast. Defisiensi kalsium akan
mempengaruhi pertumbuhan linier jika kandungan kalsium dalam tulang
kurang dari 50% kandungan normal.
Kalsium dapat ditemukan dalam bahan makanan sehari-hari,
produk dari susu dan olahan nya merupakan sumber kalsium yang tinggi,
selain iu sayur-sayuran hijau, ikan, seafood, dan kacang kedelai juga
merupakan sumber kalsium yang baik (Mahan, 2012). Asupan kalsium
yang memadai dibutuhkan untuk menjaga beberapa fungsi fisiologis
110
tubuh, terutama dalam aspek pertumbuhan dan perkembangan tulang. Hal
ini sangat penting diperhatikan pada anak yang sedang dalam masa
pertumbuhan, karena dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kondisi
kesehatan mereka pada saat dewasa dan pada kehidupan selanjutnya.
Defisiensi kalsium akan mempengaruhi tulang yang berdampak pada
gangguan pertumbuhan. Pada bayi kekurangan kalsium di dalam tulang
dapat menyebabkan rakitis, sedangkan pada anak-anak kekurangan deposit
kalsium dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan Peacock(2010).
Dalam Al-Quran telah disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 88
bahwa:
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu,dan bertakwalah kepada Allah yang kamu
telah beriman kepadanya”
Berdasarkan tafsir qurash shihan Makanlah apa saja yang halal dan
baik menurut selera kalian, dari makanan yang diberikan dan dimudahkan
Allah untuk kalian. Takutlah dan taatlah selalu kepada Allah selama kalian
beriman kepada- Nya. Selain itu dalam QS Al-Baqarah ayat 57
111
“Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan
kepadamu ‘manna’ dan ‘salwa’. Makanlah dari makanan yang baik-baik
yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya
Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”.
Dalam tafsir quraish shihab Pada firman Allah "Dan Kami
turunkan atas kalian mann dan salwâ" terdapat fakta ilmiah yang
ditemukan di bidang ilmu pengetahuan modern belakangan ini. Yaitu,
bahwa protein yang diambil dari hewan, seperti daging hewan dan burung
(di antaranya burung puyuh), merupakan makanan manusia yang lebih
bergizi daripada protein yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dari segi
asimilasi kehidupan dan pemanfaatannya untuk tubuh. Di samping itu,
mann terbuat dari zat gula yang merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan kekuatan gerak bagi tubuh.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia sebaiknya makan
makananan yang halal dan baik yang berasal dari rezeki yang Allah telah
berikan kepada kita. Artinya, sebaiknya kita sebagai manusia dapat
menggunakan rezeki yang kita dapat sebaik mungkin contohnya dalam
menggunakannya untuk membeli makanan yang halal dan baik. Memakan
112
makanan yang halal dan baik serta bergizi selain bermanfaat bagi tubuh
manusia dan juga tentunya mendapat berkah.
5. Gambaran dan Hubungan Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting
Pola asuh merupakan interaksi yang terjadi di antara ibu dan anak
(Adriani dan Wijatmadi, 2012). Semakin eratnya interaksi ibu dan anak,
maka semakin baik pula kualitas dan kuantitas peranan ibu dalam
mengasuh anak. Hal tersebut karena pola asuh merupakan indikator atas
peran ibu dalam mengasuh anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Sehingga,
pola asuh merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kurang gizi atau
terganggunya perkembangan anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 38
anak (28,8%) anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan
memiliki pola asuh yang kurang baik. Hal serupa ditemukan pada
penelitian Fitriatul (2014) terdapat 41,4% anak usia 6-24 bulan yang
memiliki pola asuh yang kurang baik.
Dari 38 anak (28.8%) yang memiliki pola asuh yang kurang,
terdapat 27 anak (71,1%) diantaranya yang mengalami stunting. Hasil
bivariat menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh
dengan status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) pada
anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang
Selatan (p=0,000). Hal ini sejalan dengan penelitian Brigitte (2013) pola
113
asuh terutama ibu memiliki kontribusi yang besar dalam proses
pertumbuhan anak dimana pola asuh menunjukan hubungan yang
signifikan dengan kejadian stunting pada anak 6-23 bulan di wilayah
pesisir.
Pola asuh merupakan interaksi yang terjadi di antara ibu dan anak
(Adriani dan Wijatmadi, 2012). Semakin eratnya interaksi ibu dan anak,
maka semakin baik pula kualitas dan kuantitas peranan ibu dalam
mengasuh anak. Hal tersebut karena pola asuh merupakan indikator atas
peran ibu dalam mengasuh anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Pada umumnya keluarga merupakan lingkungan hidup yang
pertama bagi setiap orang. Kehidupan di dalam keluarga merupakan
lingkungan hidup yang pertama kali memberikan pengaruh pada cara
individu itu memenuhi kebutuhan dasar didalam mendapatkan
pengetahuan, memiliki sikap dan mengembangkan keterampilan didalam
dan untuk kehidupan. Dalam hal ini, peranan orang tua menjadi amat
sentral dan sangat besar pengaruhnya bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter)
pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang
tua pada anaknya (Pathil, 2016).
Islam sudah menjelaskan bagaimana pola asuh yang baik terhdap
anak tercantum didalam Al-Qur’an Surat An- Nisa ayat 9 menyebutkan
bahwa:
114
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah,
yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar”.
Kandungan Al Qur’an Surat An Nisa’ Ayat 9 adalah menyeru agar
umat islam menyiapkan generasi penerus yang berkualitas sehingga anak
mampu mengaktualisasikan potensinya sebagai bekal kehidupan dimasa
mendatang. Jadi, Allah SWT telah memperingatkan kepada orang-orang
yang telah mendekati akhir hayatnya supaya mereka memikirkan, bahwa
janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama
tentang kesejahteraan hidup mereka dikemudian hari. Untuk itu selalulah
bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selalu berkata lemah
lembut (Said, 2013).
6. Gambaran dan Hubungan Riwayat Infeksi Dengan Kejadian Stunting
Pada penelitian ini variabel riwayat infeksi dikatagorikan menjadi
dua, yaitu sering dan jarang. Dikatakan sering apabila anak mengalami
sakit infeksi pada enam bulan terakhir dengan frekuensi mencapai jarak
115
enam kali dan berlangsung minimal 3 hari setiap periode sakit dan
dikatakan jarang apabila kurang dari frekuensi tersebut.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 40
anak (30,3%) anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan
yang memiliki riwayat penyakit infeksi yang sering. Hal serupa ditemukan
pada penelitian Fitriatul (2014) terdapat 49,6% anak usia 6-24 bulan
memiliki riwayat penyakit infeksi yang sering.
Dari 40 anak (30,3%), terdapat 27 (67,5%) anak diantaranya
mengalami stunting. Hasil bivariat menunjukkan terdapat hubungan yang
signifikan antara riwayat penyakit infeksi dengan status gizi berdasarkan
panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak usia 6-23 bulan di wilayah
kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan (p=0,000). Hal ini
sejalan dengan penelitian sejalan dengan penelitian Fitriatul (2014) pada
anak usia 12-23 bulan di Depok terdapat sebanyak 32,8% anak yang
memiliki riwayat penyakit infeksi mengalami stunting dan terdapat
hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian stunting
(p=0,009). Begitu juga pada penelitian Arifin dkk.(2012) ada hubungan
yang signifikan antara riwayat infeksi dengan kejadian stunting (p =
0,021).
Infeksi dan asupan nutrisi merupakan sebuah lingkaran yang saling
berhubungan timbal balik (Nency dan Arifin, 2005). Rendahnya asupan
makanan dapat menurunkan imunitas dalam tubuh sehingga tubuh mudah
mengalami infeksi yang menyebabkan gizi kurang atau sebaliknya tubuh
116
yang mengalami infeksi akan menganggu penyerapan zat gizi oleh
sehingga tubuh akan mengalami kurang gizi (Latanza, 2015).
Islam meyakini segala macam penyakit baik penyakit infeksi
maupun tidak infeksi pasti ada obatnya. Islam juga menganjurkan kepada
umatnya untuk meyakininya dan berusaha untuk sembuh dari penyakitnya
(mencari pengobatan kepelayanan kesehatan). Sepeti Hadist berikut ini:
Telah menceritakan kepada kami [Harun bin Ma'ruf] dan [Abu Ath
Thahir] serta [Ahmad bin 'Isa] mereka berkata; Telah menceritakan
kepada kami [Ibnu Wahb]; Telah mengabarkan kepadaku ['Amru] yaitu
Ibnu Al Harits dari ['Abdu Rabbih bin Sa'id] dari [Abu Az Zubair] dari
[Jabir] dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Setiap penyakit ada obatnya. Apabila ditemukan obat yang tepat untuk
suatu penyakit, maka akan sembuhlah penyakit itu dengan izin Allah 'azza
wajalla." (HR. Muslimm).
117
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin 'Ubadah Al
Wasithi] telah menceritakan kepada kami [Yazid bin Harun] telah
mengabarkan kepada kami [Isma'il bin 'Ayyasy] dari [Tsa'labah bin
Muslim] dari [Abu Imran Al Anshari] dari [Ummu Ad Darda] dari [Abu
Ad Darda] ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan
menjadikan bagi setiap penyakit terdapat obatnya, maka berobatlah dan
jangan berobat dengan sesuatu yang haram!" (HR. Abu Daud).
7. Gambaran dan Hubungan Jarak Kelahiran Anak Dengan Kejadian
Stunting
Jarak kelahiran adalah jarak antara anak yang lahir dengan anak
sebelumnya. Dalam penelitian ini jarak kelahiran dikatagorikan menjadi
dua, yaitu jarak kelahiran yang dekat dan jarak kelahiran yang normal.
Jarak kelahiran anak dikatakan dekat apabila jarak kelahiran anak < 3
tahun dan jarak kelahiran dikatakan normal apabila jarak kelahiran anak
≥3 tahun.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat sebanyak 81 anak
(61,4%) dengan jarak kelahiran dekat (< 3 tahun), dan 51 anak (38,6%)
dengan jarak kelahiran normal (≥3 tahun). Hal serupa ditemukan pada
penelitian yang dilakukan di Kabupaten Majene, makassar oleh Yusdari
(2017) bahwa sebagian besar didapati dengan jarak kelahiran dekat sebesar
97 (53%) .
118
Berdasarkan hasil penelitian dari 81 anak (61,4%) yang memiliki
jarak kelahiran yang dekat(< 3 tahun), 26 anak (32,1%) diantaranya yang
mengalami stunting. Hasil bivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara jarak kelahiran dengan status gizi berdasarkan
panjang badan menurut umur (PB/U) pada anak usia 6-23 bulan di wilayah
kerja Puskesmas Pisangan kota Tangerang Selatan (p=0,895). Hal ini tidak
sejalan dengan penelitian Yusdari (2017) bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara jarak kelahiran dengan kejadian stunting.
Jarak kelahiran adalah kurun waktu dalam tahun antara kelahiran
terakhir dengan kelahiran sekarang (Fajarina, 2012). Jarak kelahiran anak
yang terlalu dekat akan mempengaruhi status gizi dalam keluarga karena
kesulitan mengurus anak dan kurang menciptakan suasana tenang di
rumah ( Lutviana dan Budiono, 2010). Jarak kelahiran yang cukup,
membuat ibu dapat pulih dengan sempurna dari kondisi setelah
melahirkan, saat ibu sudah merasa nyaman dengan kondisinya maka ibu
dapat menciptakan pola asuh yang baik dalam mengasuh dan
membesarkan anaknya (Nurjana dan Septiani, 2013). Gerakan Keluarga
Berencana bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Ibu dan Anak
serta mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera yang menjadi
dasar terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian
kelahiran (Nurjana dan Septiani, 2013).
Mengenai jarak kelahiran, islam sudah menganjurkannya untuk
memberi jarak kelahiran anak yaitu terdapat didalam Al-Qur’ān Sūrah Al-
Baqarah: 233.
119
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
Berdasarkan tafsir Quraish Shihab dikatakan menyusui dapat
memperbaiki kondisi kesehatan bayi secara umum melalui perangsangan
pertumbuhan sistem pencernaan dan merangsang untuk mendapatkan zat-
zat makanan yang dibutuhkan bayi. Di samping itu menyusui juga
bermanfaat bagi sang ibu, karena dapat mengembalikan alat reproduksinya
kepada kepada keadaan semula setelah proses kelahiran..
120
Islam telah menganjurkan untuk memberikan jarak terhadap
kelahiran anak agar jarak ideal setiap anak adalah tiga tahun. Dua tahun
pertama dianjurkan sebagai masa menyusui seperti yang difirmankan
Allah swt. dalam Al-Qur’ān Sūrah Al-Baqarah: 233. Setelah masa
menyusui telah genap dua tahun, selanjutnya adalah masa penyapihan.
Apabila masa penyapihan berjalan lancar, maka sang ibu bisa segera hamil
lagi. Dengan jarak kehamilan yang normal 9 bulan, maka anak kedua atau
anak berikutnya akan lahir dengan jarak kelahiran rata-rata tiga tahun
setelah kelahiran anak sebelumnya.
8. Gambaran Dan Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan
Kejadian Stunting
Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada
bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau
mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin, dan
mineral). Pada penelitian ini ASI eksklusif dikatagorikan menjadi dua,
yaitu tidak ASI eksklusif dan ASI eksklusif. Dikatakan tidak ASI eksklusif
apabila anak mendapatkan asupan makanan dan minuman selain ASI
selama 6 bulan pertama dan dikatakan ASI Eksklusif apabila anak hanya
mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) selama 6 bulan pertama.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat sebanyak 59 anak
(44,7%) anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dan terdapat 73
(55,3%) yang mendapatkan ASI eksklusif. Hal serupa ditemukan pada
121
penelitian Yusdarif (2017) terdapat 100 (54,6%) anak yang tidak ASI
eksklusif dari 183 sampel anak sebagai sampelnya.
Dari 59 (44,7%) anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif
terdapat 17 (28,8%) anak diantaranya yang mengalami stunting. Hasil
bivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
pemberian ASI eksklusif dengan status gizi berdasarkan panjang badan
menurut umur (PB/U) pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan (p=0,755). Hal ini tidak
sejalan dengan penelitian Fitriatul (2014) dan Yusdarif (2013) bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian stunting. Begitu juga pada penelitian (Oktavia, 2011) bahwa
perilaku ibu dalam pemberian ASI ekslusif memiliki hubungan yang
bermakna dengan indeks PB/U, dimana 48 dari 51 anak stunted tidak
mendapatkan ASI eksklusif .
Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada anak yang tidak
diberi ASI Eksklusif (ASI < 6 bulan) dibandingkan dengan anak yang
diberi ASI Eksklusif (≥ 6 bulan) (Hien dan Kam, 2008). Penelitian yang
dilakukan oleh Teshome (2009) menunjukkan bahwa anak yang tidak
mendapatkan kolostrum lebih berisiko tinggi terhadap stunting. Hal ini
mungkin disebabkan karena kolostrum memberikan efek perlindungan
pada bayi baru lahir dan bayi yang tidak menerima kolostrum mungkin
memiliki insiden, durasi dan keparahan penyakit yang lebih tinggi seperti
diare yang berkontribusi terhadap kekurangan gizi. Penelitian lain juga
122
menyebutkan pemberian kolostrum pada bayi berhubungan dengan
kejadian stunting (Kumar, et al., 2006). Selain itu, durasi pemberian ASI
yang berkepanjangan merupakan faktor risiko untuk stunting (Teshome,
2009).
Pemberian ASI memiliki berbagai manfaat terhadap kesehatan,
terutama dalam hal perkembangan anak. Komposisi ASI banyak
mengandung asam lemak tak jenuh dengan rantai karbon panjang
(LCPUFA, long-chain polyunsaturated fatty acid) yang tidak hanya
sebagai sumber energi tapi juga penting untuk perkembangan otak karena
molekul yang dominan ditemukan dalam selubung myelin. ASI juga
memiliki manfaat lain, yaitu meningkatkan imunitas anak terhadap
penyakit, berdasarkan penilitian pemberian ASI dapat menurunkan
frekuensi diare, konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi traktus
respiratorius, serta infeksi telinga. Secara tidak langsung, ASI juga
memberikan efek terhadap perkembangan psikomotor anak, karena anak
yang sakit akan sulit untuk mengeksplorasi dan belajar dari sekitarnya.
Manfaat lain pemberian ASI adalah pembentukan ikatan yang lebih kuat
dalam interaksi ibu dan anak, sehingga berefek positif bagi perkembangan
dan perilaku anak (Henningham & McGregor, 2008).
ASI (Air Susu ibu) merupakan bentuk makanan yang ideal untuk
memenuhi gizi anak, karena ASI sanggup memenuhi kebutuhan gizi bayi
untuk hidup selama 6 bulan pertama kehidupan. Meskipun setelah itu,
makanan tambahan yang dibutuhkan sudah mulai dikenalkan kepada bayi,
123
ASI merupakan sumber makanan yang penting bagi kesehatan bayi.
karena merupakan sumber protein yang berkualitas baik dan mudah
didapat. dapat memenuhi tiga perempat dari kebutuhan protein bayi usia 6
– 12 bulan, selain itu ASI juga mengandung semua asam amino essensial
yang dibutuhkan oleh bayi (Berg, A. & Muscat, R. J., 1985).
ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja bagi bayi sejak
lahir sampai usia 6 bulan. Namun ada pengecualian, bayi diperbolehkan
mengonsumsi obat-obatan, vitamin, dan mineral tetes atas saran dokter.
Selama 6 bulan pertama pemberian ASI eksklusif, bayi tidak diberikan
makanan dan minuman lain (susu formula, jeruk, madu, air, teh, dan
makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, bubur nasi, biskuit, nasi
tim). Sedangkan ASI predominan adalah memberikan ASI kepada bayi,
tetapi pernah memberikan sedikit air atau minuman berbasis air, misalnya
teh, sebagai makanan/ minuman prelakteal sebelum ASI keluar
(Kemenkes, 2010).
Anjuran kepada seorang ibu dalam memberikan ASI (Air Susu ibu)
juga sudah diatur dalam Al-Quran dalam surat Al-Baqarah ayat 233
sebagai berikut:
124
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan”
Banyak sekali manfaat ketika ibu memberika ASI eksklusif kepada
anaknya. Manfaat yang bisa diperoleh dari pemberian ASI Eksklusif
berdasarkan beberapa hasil penelitian diantaranya:
125
a. Mencegah terjadinya diare, pneumonia dan meningitis yang
disebabkan oleh ganguan atau infeksi saluran pencernaan yang
belum siap untuk mencerna makanan luar seperti susu, pisang,
sereal dan sebagainya.
b. Memberikan sistem imun (imunitas) pada bayi sehingga bayi tidak
mudah untuk terserang penyakit.
c. Mencegah bayi mengalami gizi buruk yang dilihat dari berat
badan, tinggi badan, lingkaran kepala
d. Mengandung zat-zat nutrisi yang penting dan lengkap untuk
pertumbuhan dan perkembangan tubuh bayi seperti: Karbohidrat,
Protein, Lemak, Vitamin, Mineral.
e. Meningkatkan hubungan kasih sayang antara anak dengan ibu
f. Membuat ibu lebih sehat karena ASI yang diproduksi dikeluarkan,
tidak ditahan
g. Memberikan ketahanan pada tubuh bayi.
9. Gambaran dan Hubungan Asupan Energi Dengan Kejadian Stunting
Asupan adalah jumlah zat gizi yang terkandung dalam makanan
yang telah dikonsumsi selama sehari sebelum penelitian dilakukan. Jumlah
kebutuhan makanan harus meningkat sesuai dengan umurnya. Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 47 anak (35,6%) anak
usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan memiliki asupan
energi yang kurang dari yang dianjurkan. Hal serupa ditemukan pada
penelitian yang dilakukan di Manado oleh Gladys (2014) bahwa sebagian
126
besar terdapat 67 (69,1%) anak dengan asupan energi kurang dari
kebutuhan energi yang harus didapatkannya.
Dari 47 anak (35,6%) yang memiliki asupan energi yang kurang
sebanyak 16 anak (32,1%) diantaranya mengalami stunting. Hasil bivariat
menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan
energi dengan status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur
(PB/U) pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan
kota Tangerang Selatan (p=0,723). Namun ada kecenderungan anak yang
kurang asupan energi mengalami stunting. Hal ini sejalan dengan
penelitian Fitriatul (2014). Namun bertentangan dengan penelitian Gladys
(2014) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
asupan energ dengan kejadian stunting.
Menurut Krisnansari (2010) Asupan makanan yang kurang akan
sangat mempengaruhi keseimbangan nutrisi dalam tubuh. Tidak
tersedianya makanan dirumah akan berdampak pada asupan makan anak.
Apabila ketersedian makanan di rumah tidak adekuat maka anak akan
mendapatkan makanan bergizi yang kurang. Kurangnya asupan makanan
sehingga berdampak pada kekurangan energi akan dapat menyebabkan
kehilangan berat badan, gangguan pertumbuhan berat badan dan
terhambatnya pencapaian tinggi badan (Sharlin dan Edelstein, 2011).
Asupan adalah jumlah zat gizi yang terkandung dalam makanan
yang telah dikonsumsi selama sehari sebelum penelitian dilakukan. Jumlah
kebutuhan makanan harus meningkat sesuai dengan umurnya. Asupan
makanan yang kurang akan sangat mempengaruhi keseimbangan nutrisi
127
dalam tubuh. Tidak tersedianya makanan dirumah akan berdampak pada
asupan makan anak. Apabila ketersedian makanan di rumah tidak adekuat
maka anak akan mendapatkan makanan bergizi yang kurang (Krisnansari,
2010). Kurangnya asupan makanan sehingga berdampak pada kekurangan
energi akan dapat menyebabkan kehilangan berat badan, gangguan
pertumbuhan berat badan dan terhambatnya pencapaian tinggi badan
(Sharlin dan Edelstein, 2011).
10. Gambaran dan Hubungan Asupan Protein Dengan Kejadian Stunting
Asupan adalah jumlah zat gizi yang terkandung dalam makanan
yang telah dikonsumsi selama sehari sebelum penelitian dilakukan. Jumlah
kebutuhan makanan harus meningkat sesuai dengan umurnya. Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 30 anak (22,7%) anak
usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan memiliki asupan
protein yang kurang dari yang dianjurkan. Hal serupa ditemukan pada
penelitian Fitriatul (2014) terdapat 52,6% sampel yang memiliki asupan
protein kurang dari yang dianjurkan.
Dari 30 anak (22,7%) yang memiliki asupan protein yang kurang,
terdapat 12 anak (40,0%) diantaranya mengalami stunting. Hasil bivariat
menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan
protein dengan status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur
(PB/U) pada anak usia 6-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan
kota Tangerang Selatan (p=0,327). Namun memiliki kecenderungan anak
yang asupan proteinnya kurang mengalami stunting. Hal ini sejalan
128
dengan penelitian Fitriatul (2014) bahwa tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara asupan protein dengan kejadian stunting di kota Depok.
Namun bertentangan dengan penelitian Rosmanindar (2013) dan Gladys
(2014).
Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki
fungsi esensial lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal (Pipes,
1985). Sebagai sumber energi, protein menyediakan 4 kkal energi per 1
gram protein, sama dengan karbohidrat. Protein terdiri atas asam amino
esensial dan non-esensial, yang memiliki fungsi berbeda-beda. Protein
mengatur kerja enzim dalam tubuh, sehingga protein juga berfungsi
sebagai zat pengatur. Protein juga berperan sebagai pemelihara netralitas
tubuh (sebagai buffer), pembentuk antibody, mengangkut zat-zat gizi, serta
pembentuk ikatan-ikatan esensial tubuh, misalnya hormone. Oleh karena
itu, protein memiliki fungsi yang khas dan tidak dapat digantikan oleh zat
lain (Almatsier, 2001).
129
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Pisangan
didapatkan hasil sebagai berikut:
1. Gambaran stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018 sebanyak 41 anak (31,1%).
2. Gambaran tinggi badan ibu pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 38 ibu (28,8%)
dengan tinggi badan yang rendah atau pendek dan 94 ibu (71,2%)
yang memiliki tinggi badan normal.
3. Gambaran jarak kelahiran pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 81 anak (61,4%)
dengan jarak kelahiran yang dekat dan 51 anak (38,6%) yang jarak
kelahiran normal.
4. Gambaran berat badan lahir pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu 11 anak (8,3%) dengan
berat badan lahir rendah dan 121 anak (91,7%) yang berat badan lahir
normal
5. Gambaran panjang badan lahir pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 51 anak
130
(38,6%) yang memiliki panjang badan lahir yang rendah dan 81 anak
(61,4%) yang memiliki panjang badan lahir yang normal.
6. Gambaran ASI eksklusif pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 59 anak (44,7%)
yang tidak diberi ASI eksklusif dan 73 anak (55,3%) yang diberi ASI
eksklusif.
7. Gambaran pola asuh pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 38 anak (28,8%)
yang memiliki pola asuh yang kurang dan 94 anak (71,2%) memiliki
pola asuh yang baik.
8. Gambaran riwayat infeksi pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 40 anak (30,3%)
dengan riwayat infeksi yang sering dan 92 anak (69,7%) dengan
riwayat infeksi yang jarang.
9. Gambaran asupan energi pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 47 anak (35,6 %)
dengan asupan energy yang tidak adekuat dan 85 anak (64,4%)
memiliki asupan energy yang adekuat.
10. Gambaran asupan protein pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 30 anak (22,7%) anak
yang memiliki asupan protein yang tidak adekuat dan 102 anak
(77,3%) memiliki asupan protein yang adekuat.
11. Gambaran asupan kalsium pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018 yaitu sebanyak 23 anak (17,4%)
131
yang memiliki asupan kalsium yang tidak adekuat dan 109 anak
(82,6%) yang memiliki asupan kalsium yang adekuat.
12. Terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir, panjang
badan lahir, tinggi badan ibu, asupan kalsium, pola asuh dan riwayat
infeksi pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Pisangan Tahun 2018
13. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jarak kelahiran,
asupan energi, asupan protein dan pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pisangan Tahun 2018.
B. Saran
1. Bagi puskesmas
a. Perlunya pendidikan dan pelatihan secara khusus bagi petugas
kesehatan dan kader posyandu dalam melakukan pengukuran
antropometri secara benar, sehingga didapatkan hasil dari status gizi
balita yang valid dan reliabel.
b. Meningkatkan peran surveilans gizi khusunya pada stunting, dengan
mengetahui lebih dini diharapkan dapat meminimalisir risiko stunting.
2. Bagi masyarakat (terutama ibu)
a. Kepada ibu yang memiliki anak balita sebaiknya untuk lebih peduli
terhadap pola asuh dan penyakit infeksi pada anak.
b. Hendaknya Ibu memperhatikan dan meningkatkan kebutuhan
makananan anak yang mengandung konsumsi zat gizi yang cukup
dengan komposisi yang sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
132
dan memberikan makanan yang beraneka ragam agar kebutuhan
gizinya tercukupi.
3. Bagi peneliti selanjutnya
a. Peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti faktor lain yang dapat
menyebabkan stunting yang tidak diteliti pada penelitian ini
b. Melakukan metode FFQ untuk mengetahui gambaran asupan makan
dalam waktu yang lama.
c. Menggunakan desain studi kohort untuk menjawab hubungan sebab
akibat.
133
DAFTAR PUSTAKA
ACC/SCN. 1997. “3rd Report on The World Nutrition Situation”. Geneva. dari
www.unscn.org
ahayu, Atikah, dkk. 2015. Riwayat Berat Badan Lahir dengan Kejadian
Stunting pada Anak Usia Bawah Dua Tahun Kesmas. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional, 9(3):67-73
Almatsier, Sunita (ed). 2005. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Almatsier, Sunita (ed). 2005. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Anindita, Putri. 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga,
Kecukupan Protein & Zinc Dengan Stunting (Pendek) Pada anak Usia 6–
35 Bulan Di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 617 - 626 Online
di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm
Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan.
Depok: FKM UI.
Arisman. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
134
Astari, L. D., A. Nasoetion, dan C. M. Dwiriani. 2005. “Hubungan Karakteristik
Keluarga, Pola Pengasuhan, dan Kejadian Stunting Anak Usia 6-12
Bulan”. Media Gizi dan Keluarga 29 (2): 40-46. Diakses pada 25 Januari
2012 dari www.repository.ipb.ac.id
Ayuningtias, Mutia. (2016). Hubungan Karakteristik Keluarga Dengan Kejadian
Stunting Pada Anak Baru Sekolah. Skripsi. Semarang: Program Studi Ilmu
Gizi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran.
BAPPENAS. dari www.pkmsobo.banyuwangikab.go.id
Berg A. dan Muscat R. J. 1985. Faktor Gizi (Di-Indonesiakan oleh Achmad
Djaeni Sediaoetama). Jakarta: Bhratara Karya Aksara Bishwakarma,
Brown, J. E. 2008. Nutrition Through the Life Cycle, Fourth Edition. Belmont:
Thomson Wadswoth.
Candra, Aryu. 2013. Hubungan Underlying Factors Dengan Kejadian Stunting
Pada Anak 1-2 Tahun. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
Candra, Dewi, dkk. 2017. Pengaruh Konsumsi Protein Dan Seng Serta Riwayat
Penyakit Infeksi Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Balita Umur 24-
59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Penida III. Arc. Com. Health,
3(1):36-46
CDC (Centers for Disease Control and Prevention). 1988. “National Health And
Nutrition Examination Survey III”. Westat Inc. dari www.cdc.gov
135
de Onis, Mercedes. 2001. Child Growth and Development in Nutrition and Health
in Developing Countries, editor Richard D. Semba and Martin W. Bloem,
Totowa :Humana Press.
Diana, F. M. 2006. “Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak Batita di
Kecamatan Kuranji Kelurahan Pasar Ambacang Kota Padang Tahun
2004”. Jurnal Kesehatan Masyarakat, dari www.jurnalkesmas.com
Ernawati, Fitrah, dkk. 2013. Pengaruh Asupan Protein Ibu Hamil Dan Panjang
Badan Bayi Lahir Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia 12 Bulan
di Kabupaten Bogor. Penelitian Gizi Dan Makanan, Juni 2013 Vol. 36 (1):
1- 11
Faramita, Ratih. 2014. Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Keluarga dengan
Kejadian Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Barombong Kota Makassar Tahun 2014. Skripsi. Makassar: Fakultas Ilmu
Kesehatan UIN Alauddin.
Fitryaningsih, Ani. 2016. Hubungan Berat Badan Lahir dan Jumlah Anak Dalam
Keluarga Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Puskesmas Gilingan Surakarta. Skripsi. Program Studi S1 Ilmu Gizi
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Gibson, R.S. 2005. Priciples of Nutritional Assessment. New York: Oxford
University Press, Inc.
Henningham & McGregor. 2008. Public Health Nutrition editor M.J. Gibney, et
al (alih bahasa: Andry Hartono). Jakarta: EGC.
136
Inc. Hidayah, N. R. 2011. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian
Stunting pada Anak Usia 24 – 59 Bulan di Propinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun 2010 (Analisis Data Riskesdas 2010) (Skripsi). Depok: FKM UI.
Indriyani. 2011. Hubungan Antara Pola Asuh Gizi dan Faktor Lain dengan Status
Gizi Anak (12 – 59) bulan di Kelurahan Sindangrasa Bogor Tahun 2011
(Skripsi). Depok: FKM UI.
Istiftiani, Nourmatania. 2011. Hubungan Pemberian Makanan Pendamping ASI
dan Faktor Lain dengan Status Gizi Naduta di Kelurahan Depok
Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok Tahun 2011 (Skripsi). Depok:
FKM UI.
Kalanda, BF, FH Verhoeff, dan BJ Brabin. 2006. Breast and Complementary
Feeding Practices In Relation to Morbidity and Growth In Malawian
Infants. European Journal of Clinical Nutrition 60, 401–407. 7 Maret
2012. www.ncbi.nlm.nih.gov.
Kementerian Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia
Tahun 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia
Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan. 2018. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia
Tahun 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
137
Khaldun, Syamsu. 2008. “Z-Skor Status Gizi Anak Di Provinsi Sulawesi Selatan
2007”. J. Sains & Teknologi, Vol. 8 No. 2: 112 – 125. dari
www.pasca.unhas.ac.id
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Masithah T., Soekirman, dan D. Martianto. 2005. “Hubungan Pola Asuh Makan
Dan Kesehatan Dengan Status Gizi Anak Batita Di Desa Mulya Harja”.
Media Gizi Keluarga, 29 (2): 29-39. dari www.repository.ipb.ac.id
Masithah T., Soekirman, dan D. Martianto. 2005. “Hubungan Pola Asuh Makan
Dan Kesehatan Dengan Status Gizi Anak Batita Di Desa Mulya Harja”.
Media Gizi Keluarga, 29 (2): 29-39. Diakses pada 19 Januari dari
www.repository.ipb.ac.id
MCA Indonesia. 2015. Stunting dan Masa Depan Indonesia. Tersedia di
http://mcaindonesia.go.id/wpcontent/uploads/2015/01/BackgrounderStunti
ng-ID.pdf (diakses 25 Oktober 2017).
Medhin, Girma et al. 2010. “Prevalence and Predictors Of Undernutrition Among
Infants Aged Six and Twelve Months In Butajira, Ethiopia: The P-MaMiE
Birth Cohort”. Medhin et al. BMC Public Health, 10:27. Diakses pada 13
Maret 2012 dari www.biomedcentral.com
Narendra, M. B., et al. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta:
Sagung Seto.
138
Neldawati. 2006. Hubungan Pola Pemberian Makan pada Anak dan Karakteristik
Lain dengan Status Gizi Anak 6-59 Bulan di Laboratorium Gizi
Masyarakat Puslitbang Gizi dan Makanan (P3GM) (Analisis Data
Sekunder Data Anak Gizi Buruk Tahun 2005) (Skripsi). Depok: FKM UI.
Notoatmojo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta. Oktavia, Rita. 2011. Hubungan Pengetahuan Sikap dan Perilaku
Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Baduta di
Puskesmas Biaro Kecamatan Ampek Angkek Kabupaten Agam Tahun
2011 (Skripsi). Depok: FKM UI.
Permata, Y. L. 2009. Kelengkapan Imunisasi Dasar Anak Anak dan Faktorfaktor
yang Berhubungan di Rumah Sakit Mary Cileungsi Hijau Bogor, Maret
2008 (Skripsi). Jakarta: FK UI.
Rahayu, Atikah, dkk. 2015. Riwayat Berat Badan Lahir dengan Kejadian
Stunting pada Anak Usia Bawah Dua Tahun Kesmas. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional, 9(3):67-73
Ramli, et al. 2009. “Prevalence and Risk Factors For Stunting and Severe Stunting
Among Under-Fives in North Maluku Province of Indonesia”. BMC
Pediatrics 9: 64. dari www.biomedcentral.com
Robert dkk. (2008). Maternal and Child Undernutrition 1; Maternal and Child
Undernutrition: Global and Regional Exposures and Health
Consequences. The Lancet, 371: 243-260
139
Rosha, Dkk. (2012). Analisis Determinan Stunting Anak 0-23 Bulan Pada Daerah
Miskin Di Jawa Tengah Dan Jawa Timur (Determinant Analysis Of
Stunting Children Aged 0-23 Months In Poor Areas In Central And East
Java). Panel Gizi Makan:2012
Said, Amin Mahfudh. 2013. Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 9. Tersedia di
http://aminmahfud.blogspot.co.id/2013/02/tafsir-surat-nisa-ayat-9.html
(diakses pada 15 Desember 2017)
Saryono. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dalam Bidang
Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Semba, R. D. dan M. W. Bloem. 2001. Nutrition and Health in Developing
Countries. New Jersey: Humana Press.
Semba, R. D., et al. 2008. “Effect of Parental Formal Education on Risk of Child
Stunting in Indonesia and Bangladesh: A Cross Sectional Study”. The
Lancet Article, 371: 322–328. Diakses pada 25 Januari 2012 dari
www.lancet.com
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an, Vol 1. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an, Vol 11. Jakarta: Lentera Hati.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: IPB PAU Pangan & Gizi.
140
Suhardjo. 1992. Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Kanisius.
Supriasa, I. D. Y. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Suharjo. 1996. Gizi dan Pangan. Yogyakarta: Kanisius.
Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Supriasa, I. D. Y. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Syafiq, Ahmad. 2007. “Tinjauan Atas Kesehatan dan Gizi Anak Usia Dini”
Tehsome, Beka, et al. 2009. “Magnitude and Determinants of Stunting In
Children Underfive Years of Age In Food Surplus Region of Ethiopia: The
Case Of West Gojam Zone. Ethiop”. J. Health Dev., 23(2): 98-106.
Diakses pada 29 Februari 2012 dari www.ejhd.uib.no
Unicef Indonesia, 2013. Ringkasan Kajian Gizi Ibu dan Anak, Oktober 2012.
Tersedia www.unicef.org (diakses tanggal 25 Oktober 2018)
UNSCN. 2008. “6th Report on The World Nutrition Situation, Progress in
Nutrition”. Diakses pada 25 Januari 2012 dari www.unscn.org
USAID. 2010. “Nutrition Assessment For 2010 New Project Design”. Diakses
pada 30 Januari 2012 dari www.indonesia.usaid.gov
WHO. 1997. “WHO Global Database on Child Growth and Malnutrition”.
Geneva. Diakses pada 22 Februari 2012 dari www.who.int
141
Willett, Walter. 1998. Nutritional Epidemiology second edition. New York:
Oxford University Press.
Zahraini, Yuni. 2009. Hubungan status KADARZI dengan status gizi anak 12-59
bulan di Provinsi DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur (Skripsi).
Depok: FKM UI.
142
LAMPIRAN
143
STATUS_GIZI
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
STUNTING 41 31.1 31.1 31.1
NORMAL 91 68.9 68.9 100.0
Total 132 100.0 100.0
TINGGI_IBU
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
PENDEK 38 28.8 28.8 28.8
NORMAL 94 71.2 71.2 100.0
Total 132 100.0 100.0
JARAK_KELAHIRAN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
DEKAT 81 61.4 61.4 61.4
NORMAL 51 38.6 38.6 100.0
Total 132 100.0 100.0
BB_LAHIR
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
RENDAH 11 8.3 8.3 8.3
NORMAL 121 91.7 91.7 100.0
Total 132 100.0 100.0
PB_LAHIR
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
PENDEK 51 38.6 38.6 38.6
NORMAL 81 61.4 61.4 100.0
Total 132 100.0 100.0
144
ASUPAN_ENERGI
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
TIDAK ADEKUAT 47 35.6 35.6 35.6
ADEKUAT 85 64.4 64.4 100.0
Total 132 100.0 100.0
ASUPAN_PROTEIN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
TIDAK ADEKUAT 30 22.7 22.7 22.7
ADEKUAT 102 77.3 77.3 100.0
Total 132 100.0 100.0
ASUPAN_KALSIUM
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
TIDAK ADEKUAT 23 17.4 17.4 17.4
ADEKUAT 109 82.6 82.6 100.0
Total 132 100.0 100.0
ASI_EKS
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
TIDAK 59 44.7 44.7 44.7
YA 73 55.3 55.3 100.0
Total 132 100.0 100.0
P_ASUH
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
KURANG 38 28.8 28.8 28.8
BAIK 94 71.2 71.2 100.0
Total 132 100.0 100.0
145
RIWAYAT_INFEKSI
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
SERING 40 30.3 30.3 30.3
JARANG 92 69.7 69.7 100.0
Total 132 100.0 100.0
TINGGI_IBU * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTING NORMAL
TINGGI_IBU
PENDEK Count 6 32 38
% within TINGGI_IBU 15.8% 84.2% 100.0%
NORMAL Count 35 59 94
% within TINGGI_IBU 37.2% 62.8% 100.0%
Total Count 41 91 132
% within TINGGI_IBU 31.1% 68.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.812a 1 .016
Continuity Correctionb 4.853 1 .028
Likelihood Ratio 6.306 1 .012
Fisher's Exact Test .022 .012
Linear-by-Linear Association 5.768 1 .016
N of Valid Cases 132
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.80.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for TINGGI_IBU
(PENDEK / NORMAL) .316 .120 .831
For cohort STATUS_GIZI =
STUNTING .424 .194 .925
For cohort STATUS_GIZI =
NORMAL 1.342 1.090 1.652
N of Valid Cases 132
146
JARAK_KELAHIRAN * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTING NORMAL
JARAK_KELAHIRAN
DEKAT
Count 26 55 81
% within
JARAK_KELAHIRAN 32.1% 67.9% 100.0%
NORMAL
Count 15 36 51
% within
JARAK_KELAHIRAN 29.4% 70.6% 100.0%
Total
Count 41 91 132
% within
JARAK_KELAHIRAN 31.1% 68.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .106a 1 .745
Continuity Correctionb .017 1 .895
Likelihood Ratio .106 1 .745
Fisher's Exact Test .847 .450
Linear-by-Linear Association .105 1 .746
N of Valid Cases 132
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.84.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
JARAK_KELAHIRAN
(DEKAT / NORMAL)
1.135 .530 2.430
For cohort STATUS_GIZI =
STUNTING 1.091 .642 1.854
For cohort STATUS_GIZI =
NORMAL .962 .763 1.213
N of Valid Cases 132
147
BB_LAHIR * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTING NORMAL
BB_LAHIR
RENDAH Count 7 4 11
% within BB_LAHIR 63.6% 36.4% 100.0%
NORMAL Count 34 87 121
% within BB_LAHIR 28.1% 71.9% 100.0%
Total Count 41 91 132
% within BB_LAHIR 31.1% 68.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.947a 1 .015
Continuity Correctionb 4.403 1 .036
Likelihood Ratio 5.429 1 .020
Fisher's Exact Test .035 .021
Linear-by-Linear Association 5.902 1 .015
N of Valid Cases 132
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.42.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for BB_LAHIR
(RENDAH / NORMAL) 4.478 1.232 16.281
For cohort STATUS_GIZI =
STUNTING 2.265 1.333 3.847
For cohort STATUS_GIZI =
NORMAL .506 .230 1.114
N of Valid Cases 132
148
PB_LAHIR * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTING NORMAL
PB_LAHIR
PENDEK Count 22 29 51
% within PB_LAHIR 43.1% 56.9% 100.0%
NORMAL Count 19 62 81
% within PB_LAHIR 23.5% 76.5% 100.0%
Total Count 41 91 132
% within PB_LAHIR 31.1% 68.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.661a 1 .017
Continuity Correctionb 4.779 1 .029
Likelihood Ratio 5.586 1 .018
Fisher's Exact Test .021 .015
Linear-by-Linear Association 5.618 1 .018
N of Valid Cases 132
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.84.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for PB_LAHIR
(PENDEK / NORMAL) 2.475 1.163 5.271
For cohort STATUS_GIZI =
STUNTING 1.839 1.111 3.044
For cohort STATUS_GIZI =
NORMAL .743 .568 .971
N of Valid Cases 132
149
ASUPAN_ENERGI * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTING NORMAL
ASUPAN_ENERGI
TIDAK ADEKUAT Count 16 31 47
% within ASUPAN_ENERGI 34.0% 66.0% 100.0%
ADEKUAT Count 25 60 85
% within ASUPAN_ENERGI 29.4% 70.6% 100.0%
Total Count 41 91 132
% within ASUPAN_ENERGI 31.1% 68.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .303a 1 .582
Continuity Correctionb .125 1 .723
Likelihood Ratio .301 1 .583
Fisher's Exact Test .695 .359
Linear-by-Linear Association .301 1 .583
N of Valid Cases 132
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.60.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
ASUPAN_ENERGI (TIDAK
ADEKUAT / ADEKUAT)
1.239 .578 2.656
For cohort STATUS_GIZI =
STUNTING 1.157 .691 1.940
For cohort STATUS_GIZI =
NORMAL .934 .730 1.196
N of Valid Cases 132
150
ASUPAN_PROTEIN * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTING NORMAL
ASUPAN_PROTEIN
TIDAK ADEKUAT
Count 12 18 30
% within
ASUPAN_PROTEIN 40.0% 60.0% 100.0%
ADEKUAT
Count 29 73 102
% within
ASUPAN_PROTEIN 28.4% 71.6% 100.0%
Total
Count 41 91 132
% within
ASUPAN_PROTEIN 31.1% 68.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 1.449a 1 .229
Continuity Correctionb .959 1 .327
Likelihood Ratio 1.405 1 .236
Fisher's Exact Test .264 .163
Linear-by-Linear Association 1.438 1 .230
N of Valid Cases 132
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.32.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
ASUPAN_PROTEIN (TIDAK
ADEKUAT / ADEKUAT)
1.678 .719 3.917
For cohort STATUS_GIZI =
STUNTING 1.407 .823 2.404
For cohort STATUS_GIZI =
NORMAL .838 .611 1.151
N of Valid Cases 132
151
ASUPAN_KALSIUM * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTING NORMAL
ASUPAN_KALSIUM
TIDAK ADEKUAT
Count 12 11 23
% within
ASUPAN_KALSIUM 52.2% 47.8% 100.0%
ADEKUAT
Count 29 80 109
% within
ASUPAN_KALSIUM 26.6% 73.4% 100.0%
Total
Count 41 91 132
% within
ASUPAN_KALSIUM 31.1% 68.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.798a 1 .016
Continuity Correctionb 4.666 1 .031
Likelihood Ratio 5.443 1 .020
Fisher's Exact Test .024 .017
Linear-by-Linear Association 5.755 1 .016
N of Valid Cases 132
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.14.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
ASUPAN_KALSIUM (TIDAK
ADEKUAT / ADEKUAT)
3.009 1.197 7.566
For cohort STATUS_GIZI =
STUNTING 1.961 1.189 3.234
For cohort STATUS_GIZI =
NORMAL .652 .419 1.013
N of Valid Cases 132
152
ASI_EKS * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTING NORMAL
ASI_EKS
TIDAK Count 17 42 59
% within ASI_EKS 28.8% 71.2% 100.0%
YA Count 24 49 73
% within ASI_EKS 32.9% 67.1% 100.0%
Total Count 41 91 132
% within ASI_EKS 31.1% 68.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .252a 1 .616
Continuity Correctionb .098 1 .755
Likelihood Ratio .252 1 .615
Fisher's Exact Test .706 .378
Linear-by-Linear Association .250 1 .617
N of Valid Cases 132
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.33.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for ASI_EKS
(TIDAK / YA) .826 .392 1.742
For cohort STATUS_GIZI =
STUNTING .876 .522 1.471
For cohort STATUS_GIZI =
NORMAL 1.061 .844 1.333
N of Valid Cases 132
153
P_ASUH * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTING NORMAL
P_ASUH
KURANG Count 27 11 38
% within P_ASUH 71.1% 28.9% 100.0%
BAIK Count 14 80 94
% within P_ASUH 14.9% 85.1% 100.0%
Total Count 41 91 132
% within P_ASUH 31.1% 68.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 39.856a 1 .000
Continuity Correctionb 37.277 1 .000
Likelihood Ratio 38.721 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 39.555 1 .000
N of Valid Cases 132
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.80.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for P_ASUH
(KURANG / BAIK) 14.026 5.690 34.573
For cohort STATUS_GIZI =
STUNTING 4.771 2.825 8.058
For cohort STATUS_GIZI =
NORMAL .340 .205 .564
N of Valid Cases 132
154
RIWAYAT_INFEKSI * STATUS_GIZI Crosstabulation
STATUS_GIZI Total
STUNTING NORMAL
RIWAYAT_INFEKSI
SERING
Count 27 13 40
% within
RIWAYAT_INFEKSI 67.5% 32.5% 100.0%
JARANG
Count 14 78 92
% within
RIWAYAT_INFEKSI 15.2% 84.8% 100.0%
Total
Count 41 91 132
% within
RIWAYAT_INFEKSI 31.1% 68.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 35.589a 1 .000
Continuity Correctionb 33.189 1 .000
Likelihood Ratio 34.655 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 35.319 1 .000
N of Valid Cases 132
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.42.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
RIWAYAT_INFEKSI
(SERING / JARANG)
11.571 4.835 27.692
For cohort STATUS_GIZI =
STUNTING 4.436 2.616 7.522
For cohort STATUS_GIZI =
NORMAL .383 .243 .604
N of Valid Cases 132
155
INFORM CONSENT
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
STUNTING PADA ANAK USIA 6-23 BULAN DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PISANGAN KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2018
Assalamualaikum wr. wb
Perkenalkan nama saya Nurul Farhanah Syah. Pada kesempatan kali ini
saya mohon kesedian Ibu untuk berkenan menjadi responden penelitian dengan
judul di atas, yang pada saat ini sedang menyusun skripsi untuk menyelesaikan
studi di S1 Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Maka dari itu, saya akan menanyakan kepada Ibu beberapa hal yang
berkaitan dengan penelitian saya serta pengukuran panjang badan kepada anak Ibu
dan pengukuran tinggi badan kepada Ibu. Jawaban yang Ibu berikan akan
bermanfaat bagi program kesehatan Kota Tangerang Selatan dan terjamin
kerahasiaannya.
Apakah Ibu bersedia menjadi responden pada penelitian ini?
Iya (mengisi kuesioner)/ Tidak
Atas bantuan dan kesediaan waktu yang telah Ibu berikan, saya ucapkan
terimakasih.
Wassalamualaikum. wr. wb.
LEMBAR PERSETUJUAN
Setelah mendengar penjelasan tentang mengenai tujuan penelitian, prosedur penelitian, manfaat dan inti dari kuesioner ini.Saya mengerti bahwa:
Pada diri saya akan dilakukan pengukuran tinggi badan dan wawancara sesuai dengan pertanyaan pada kuesioner
Pada diri anak saya akan dilakukan pengukuran antropometri yang meliputi pengukuran panjang badan.
Maka dengan ini saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Umur : tahun
Alamat :
Nama anak yang berpartisipasi:
No. Telepon : Menyatakan setuju untuk berpartisipasi sebagai subyek penelitian ini secara sukarela dan bebas tanpa ada paksaan, dengan catatan apabila merasa dirugikan dalam penelitian ini dalam bentuk apapun berhak
membatalkan persetujuan ini.
____________, tanggal ___/___/2018
Peneliti, Pembuat pernyataan,
(________________) (________________
156
KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK USIA 12-23 BULAN
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PISANGAN KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2018
Tanggal Wawancara
Nama Pewawancara
:______________________
: ______________________
A. Identifikasi Posyandu Koding
A1 Nama posyandu [ ]
A2 RT/RW [ ]
A3 No. responden [ ]
B. Identitas Responden Koding
B1 Nama ibu [ ]
B2 Tanggal lahir ibu [ ]
B3 Umur [ ]
B4 Tinggi badan ibu [ ]
C. Identitas anak [ ]
C1 Nama anak Koding
C2 Jenis kelamin [ ]
C3 Tanggal lahir anak [ ]
C4 Umur anak [ ]
C5 Berat badan [ ]
C6 Panjang badan [ ]
157
C7 Jarak kelahiran anak dengan kelahiran sebelumnya [ ]
D. Berat dan Panjang Badan Lahir Koding
D1 Apakah (nama anak) ditimbang sesaat setelah lahir?
[ ]
(sesaat berarti penimbangan bayidilakukan kurang dari 24 jam setelah lahir)
1. Ya, berapa berat lahir (nama anak) ………. gram (silahkan cek KMS atau KIA)
2. Tidak
88. Lupa
99. Tidak tahu
D2 Apakah (nama anak) diukur panjang badan sesaat setelah lahir?
[ ]
(sesaat berarti penimbangan bayidilakukan kurang dari 24 jam setelah lahir)
1. Ya, berapa panjang lahir (nama anak) ………. gram (silahkan cek KMS atau KIA)
2. Tidak
88. Lupa
99. Tidak tahu
E. ASI Ekslusif Koding
E1 Berapa lama setelah melahirkan ibu pertama kali menyusui (nama anak)?
[ ] 1. Segera (kurang dari 1 jam) lanjut ke E3 4. Tidak pernah lanjut E2
2. ………. Jam lanjut ke E3 88. Lupa
3. ………. Hari lanjut ke E3 99. Tidak tahu
E2 Mengapa ibu tidak memberikan ASI (tidak menyusui)? Lanjut ke E6 [ ]
1. ASI tidak keluar
158
2. Anak sakit
3. Ibu sakit
4. Lain-lain (Sebutkan) ……….
E3 Dalam tiga hari pertama setelah melahirkan, apakah ibu memberikan cairan putih kekuningan (kolostrum) yang
keluar dari payudara ibu ? [ ]
1. Ya 88. Lupa
2. Tidak 99. Tidak tahu
E4 Apakah saat ini (nama anak) masih disusui?
[ ] 1. Ya
2. Tidak, mengapa? ………. Lanjut ke E5
E5 Pada umur berapa (nama anak) berhenti disusui?
[ ] 1. ………. Hari 88. lupa
2. ………. Minggu 99. tidak tahu
3. ………. Bulan
E6 Pada umur berapa (nama anak) mulai mendapat makanan ttambahan selain ASI ?
[ ] 4. ………. Hari 88. lupa
5. ………. Minggu 99. tidak tahu
6. ………. Bulan
F. Pola Asuh Koding
F1 Berapa kali dalam tiga bulan terakhir ibu membawa (nama anak) ke posyandu? [ ]
1. 3 kali (Rutin)
159
2. < 3 kali (Tidak rutin)
F2 Apakah (nama anak) telah mendapat imunisasi lengkap?
[ ]
1. Ya (5 macam imunisasi)
[ ] Hepatitis B (HB) 0
[ ] BCG (biasanya di lengan kanan atas)
[ ] Polio
[ ] DPT (biasanya di paha)
[ ] Campak (biasanya pada lengan kiri
2. Tidak
F3 Bila (nama anak) mengeluh diare, apa yang ibu lakukan?
[ ] Jawaban:
1. Upaya penyembuhan (memberikan oralit
atau membawa kepetugas kesehatan)
2. Membiarkan saja
F4 Siapa yang memasak makanan dirumah?
[ ] Jawaban:
1. Ibu (Responden) 2. Lainnya
F5 Siapa yang mengasuh (nama anak) dirumah?
[ ] Jawaban:
1. Ibu (Responden) 2. Lainnya
F6 Siapa yang menyiapkan makanan (nama anak) setiap hari?
[ ] Jawaban:
1. Ibu (Responden) 2. Lainnya
F7 Apakah ibu selalu mencuci tangan sebelum menyuapi (nama anak)?
[ ] Jawaban:
1. Ya 2. Tidak
160
F8 Pada jam berapa ibu memberi sarapan berupa makanan berat kepada (nama anak) setiap hari?
[ ] Jam: ……….
1. < jam 09.00 2. ≥ jam 09.00
F9 Berapa kali (nama anak) makan buah dalam satu minggu terakhir?
[ ] Jawaban:
1. ≥ 3 kali 2. < 3 kali
F10 Berapa kali (nama anak) makan sayur dalam satu minggu terakhir?
[ ] Jawaban:
3. ≥ 3 kali 4. < 3 kali
G. Riwayat Infeksi Koding
G1 Apakah (nama anak) pernah sakit selama enam bulan terakhir?
[ ] 1. Tidak
2. Ya
G2 Apakah (nama anak) dalam enam bulan terakhir memiliki keluhan kesehatan, seperti:
a. Panas 1. Tidak 2. Ya …………… hari
[ ]
b. batuk 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
c. pilek 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
d. ISPA 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
e. Diare 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
f. Demam tipoid 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
g. Demam berdarah 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
h. Cacar 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
161
i. TBC 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
j. Lainnya, (Sebutkan) ………. 1. Tidak 2. Ya …………… hari [ ]
G3 Sakit apa yang sering diderita (nama anak)?
Jawaban:
G4 Berapa kali dalam enam bulan terakhir (nama anak) mengeluh sakit tersebut ? (Sesuai jawaban G3)
[ ] Jawaban:
1. Jarang atau kadang-kadang (< 6 kali) 2. Sering (≥ 6 kali)
162
FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM
Tanggal Wawancara :
Hari Ke :
Waktu Makan Menu Makan Banyaknya
URT *Berat (Gram)
Pagi/Jam
Selingan Pagi/Jam
Siang/Jam
163
Selingan Siang/Jam
Malam/Jam
Selingan Malam/Jam
Keterangan:
URT : Urutan Rumah Tangga (Terlampir)
*Berat (Gr) : tidak perlu diisi oleh responden
164