IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK
DI SMA GADJAH MADA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Zismeda Taruna
NIM 12110244005
PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
SEPTEMBER 2016
PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA
ROKOK DI SMA GADJAH MADA YOGYAKARTA" yang disusun oleh
Zismeda Taruna, NIM 12110244005 ini telah dipertahankan di depan Dewan .
Penguji pada tanggal22 Agustus 2016 dan dinyatakan lulus.
Nama Jabatan
Lusila Andriani Purwastuti, M.Hum. Ketua Penguji
Riana Nurhayati, M.Pd.
Widyaningsih, M.Si.
iv
v
MOTTO
“Apa yang kamu pilih itulah yang harus kamu jalani, jangan menjadi pecundang
atas apa yang kamu pilih”
vi
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-
Nya, karya ini saya persembahkan untuk :
1. Bapak, ibu, dan kakak-kakakku
2. Almamaterku, KP FIP UNY
vii
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK DI SMA
GADJAH MADA YOGYAKARTA
Oleh
Zismeda Taruna
NIM 12110244005
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta, 2) faktor pendukung dan
faktor penghambat implementasi kebijakan tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif naturalistik. Subjek dalam
penelitian ini adalah kepala sekolah, wakasek kesiswaan, guru BK, wali kelas,
siswa, dan karyawan SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Metode pengumpulkan data
melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Tahap dalam teknik
analisis data yang digunakan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan. Keabsahan data dilakukan dengan cara triangulasi sumber dan teknik.
Hasil penelitian menunjukkan implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sudah membentuk tim pelaksana
berserta tugas masing-masing, tahap interpretasi menggunakan cara sosialisasi.
Sosialisasi dilakukan saat rapat sekolah dan MOS, SMA Gadjah Mada sudah
melakukan tahapan aplikasi dengan menerapkan Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok berupa penetapan anggaran dan peralatan dengan melakukan sosialisasi
dan sudah memasang tanda dilarang merokok. Faktor pengambat implementasi
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta terjadi pada
faktor komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Faktor
pendukung Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah
Mada Yogyakarta dapat dijumpai pada faktor sumber daya dan disposisi.
Kata kunci : implementasi, kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, dengan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK DI SMA GADJAH MADA
YOGYAKARTA” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun guna
memenuhi syarat untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini diberikan bantuan, arahan, bimbingan, dan
dukungan dari berbagai pihak, maka dari itu Penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta atas izin
yang diberikan untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan atas izin yang diberikan
untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Dra. Lusila Andriani Purwastuti, M.Hum., Dosen Pembimbing skripsi
yang selalu memberikan perhatian dan dengan sabar serta senantiasa
memberikan ilmu, bimbingan dan motivasi kepada penulis sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan.
4. Bapak Kepala SMA Gadjah Mada Yogyakarta yang telah memberikan izin
kepada peneliti untuk melakukan penelitian disekolah.
5. Ibu dan Bapak Guru SMA Gadjah Mada Yogyakarta telah meluangkan
waktu di sela-sela kesibukannya untuk membantu peneliti dalam
mengambil data penelitian.
6. Kedua orang tua dan kakak-kakakku yang selalu memberikan doa dan
semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabat sekaligus orang yang membantu penelitian, Ratri Pupitasari, Adi
B. Nugroho, Nico Rista Sandy, dan Kevin Audrio terima kasih karena
telah membantu pengambilan data penelitian di sekolah dan selalu
memberi motivasi.
x
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
MOTTO ........................................................................................................ v
PERSEMBAHAN ......................................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 8
C. Pembatasan Masalah .............................................................................. 9
D. Rumusan Masalah .................................................................................. 9
E. Tujuan Penelitian .................................................................................... 10
F. Manfaat Penelitian .................................................................................. 10
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
A. Kebijakan Pendidikan ............................................................................ 12
1. Pengertian Kebijakan ........................................................................... 12
2. Pengertian Kebijakan Pendidikan ........................................................ 13
3. Tingkatan Kebijakan Pendidikan ......................................................... 14
4. Tahapan Proses Pembuatan Kebijakan Pendidikan .............................. 15
B. Implementasi Kebijakan Pendidikan ..................................................... 18
1. Konsep Implementasi Kebijakan .......................................................... 18
xi
2. Tahap Implementasi Kebijakan ............................................................ 19
3. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan ............................................. 21
C. Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ............................................................... 28
D. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah .................. 31
1. Ketentuan Umum Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan
Sekolah ................................................................................................ 31
2. Tujuan ................................................................................................... 31
3. Sasaran Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah ..................... 32
4. Penyelenggaraan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan
Sekolah ................................................................................................. 32
E. Penelitian yang Relevan ......................................................................... 34
F. Kerangka Berpikir .................................................................................. 37
G. Pertanyaan Penelitian ............................................................................. 39
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian ............................................................................ 40
B. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 41
C. Subjek dan Obyek Penelitian ................................................................. 41
D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 42
E. Instrumen Penelitian ............................................................................... 43
F. Teknik Analisis Data .............................................................................. 46
G. Uji Keabsahan Data ............................................................................... 48
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ...................................................................................... 50
1. Profil SMA Gadjah Mada Yogyakarta ................................................. 50
2. Implementasi Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada ......................... 59
3. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan KTR di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta .................................................................... 66
4. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan KTR di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta ..................................................................... 83
5. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan KTR di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta ..................................................................... 85
B. Pembahasan ............................................................................................ 86
1. Implementasi Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ...... 87
xii
2. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan KTR di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta ..................................................................... 93
3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan KTR di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta ..................................................................... 103
4. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan KTR di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta ..................................................................... 109
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................................ 112
B. Saran ....................................................................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 115
LAMPIRAN .................................................................................................. 118
xiii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Wawancara .................................................. 44
Tabel 2. Kisi-kisi Pedoman Observasi ..................................................... 45
Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Studi Dokumentasi ...................................... 46
Tabel 4. Profil SMA Gadjah Mada Yogyakarta ....................................... 51
Tabel 5. Keadaan Sumber Daya SMA Gadjah Mada Yogyakarta ........... 58
Tabel 6. Tim Pelaksana Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta ................................................................................ 88
Tabel 7. Pelaksana Tahapan Implementasi Kebijakan KTR di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta .......................................................... 90
Tabel 8. Penetapan Anggaran dan Peralatan Kebijakan KTR di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta .......................................................... 92
Tabel 9. Faktor Penghambat Internal dalam Pelaksanaan Kebijakan
KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ....................................... 105
Tabel 10. Faktor Eksternal Pelaksanaan Kebijakan KTR di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta ............................................................. 107
Tabel 11. Faktor Pendukung Pelaksanaan Kebijakan KTR di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta ............................................................. 109
xiv
DAFTAR GAMBAR
hal
Gambar 1. Proses Pembuatan Kebijakan ................................................... 15
Gambar 2. Kerangka Berpikir .................................................................... 38
Gambar 3. Triangulasi Sumber Data .......................................................... 48
Gambar 4. Triangulasi Teknik ................................................................... 49
Gambar 5. Siswa Merokok di Koridor Sekolah ......................................... 63
Gambar 6. Siswa Merokok di Koridor Sekolah ......................................... 69
Gambar 7. Puntung dan Bungkus Rokok di sekitar Koridor Sekolah ........ 69
Gamabr 8. Tempat Khusus Merokok ......................................................... 79
xv
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Pedoman Wawancara ............................................................ 118
Lampiran 2. Pedoman Observasi ............................................................... 123
Lampiran 3. Pedoman Dokumentasi .......................................................... 124
Lampiran 4. Hasil Wawancara ................................................................... 125
Lampiran 5. Analisis Data .......................................................................... 151
Lampiran 6. Catatan Lapangan .................................................................. 160
Lampiran 7. Foto Penelitian ....................................................................... 168
Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian ............................................................... 173
Lampiran 9. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ........................................ 176
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebiasaan merokok di Indonesia saat ini merupakan kebutuhan
sekunder yang dianggap sebagai kebutuhan primer oleh sebagian orang,
terutama para perokok. Merokok sudah menjadi gaya hidup sebagian
masyarakat di Indonesia. Merokok di tempat umum sudah tidak dianggap lagi
sebagai hal yang tabu oleh masyarakat. Hampir setiap tempat di Indonesia
dapat kita jumpai para perokok yang sedang menikmati sebatang rokok dalam
berbagai kondisi. Kegiatan tersebut tak hanya dilakukan oleh orang dewasa,
namun para remaja baik pria maupun wanita juga terlihat sedang menikmati
kegiatan merokok.
Tidak dapat dipungkiri bahwa merokok mengandung sensasi
kenikmatan tersendiri. Sensasi kenikmatan pada rokok bukan merupakan satu-
satunya alasan untuk merokok, ada beberapa motivasi lain yang diketahui
melatarbelakangi seseorang untuk merokok, sehingga lambat laun berpotensi
menimbulkan kecanduan. Beberapa motivasi itu antara lain menganggap
bahwa rokok adalah simbol kejantanan, rokok adalah simbol kebebasan.
Masyarakat dalam aspek sosial menganggap menghisap rokok adalah simbol
pergaulan, toleransi, persahabatan, dan solidaritas. Menghisap rokok terlihat
keren, atraktif, dan sensual. Para perokok juga meyakini bahwa rokok bisa
menghilangkan beberapa perasaan kurang nyaman seperti menghilangkan rasa
stress, menghilangkan rasa pedih, menghilangkan rasa cemas dan
2
menghilangkan rasa lelah. Beberapa perokok juga menjelaskan bahwa
menghisap rokok adalah cara mencapai konsentrasi, menumbuhkan rasa
percaya diri, meningkatkan etos kerja, dan dapat melancarkan datangnya ide
sehingga membantu menyelesaikan masalah. Menghisap rokok tidak hanya
menimbulkan stimulus yang telah diuraikan di atas, adapula anggapan lain
yang membuat merokok itu nikmat yaitu ketika selesai makan, sambil minum
kopi atau teh maupun dilakukan setelah bangun tidur di pagi hari maupun
ketika sebelum berangkat tidur di malam hari. Faktor internal kebiasaan
merokok muncul karena rasa ingin tahu sehingga mencoba-cobanya. Faktor
eksternal yang mempengaruhi dan mendorong seseorang untuk merokok
adalah kondisi lingkungan. Menghisap rokok karena meniru kebiasaan dari
keluarga sebagai contohnya menirukan orang tua mereka yang merokok (Alfi,
2011: 27-31).
Terdapat keyakinan pada masyarakat bahwa kebiasaan merokok sulit
untuk dihentikan, bahkan ada anggapan bahwa merokok bukanlah suatu
kebiasaan yang buruk bagi kesehatan. Anggapan menghilangkan kebiasaan
merokok sulit akan lebih kuat jika terjadi pada perokok yang menjadikan
rokok sebagai pelarian atas segala macam masalahnya terlebih lagi saat sudah
stress dan emosi. Mereka merasa lebih tenang saat menghisap sebatang rokok.
Banyak di antara para perokok belum mengetahui zat apa saja yang
terkandung di dalam sebatang rokok yang sedang mereka nikmati. Di dalam
sebatang rokok terkandung 4.000 jenis senyawa kimia. 400 di dalamnya
merupakan zat beracun yang berbahaya untuk tubuh, dan 43 di antaranya
3
bersifat karsinogenik. Komponen utama yaitu Nikotin yang merupakan suatu
zat berbahaya penyebab kecanduan, zat ini bisa menimbulkan efek santai
sehingga menyebabkan kebiasaan merokok sulit untuk ditinggalkan oleh
pecandu rokok. Komponen dalam rokok TAR merupakan zat berbahaya
penyebab kanker (karsinogenik) dan berbagai penyakit lainnya. Komponen
rokok yang berupa karbonmonoksida (CO) adalah salah satu gas beracun yang
dapat menurunkan kadar oksigen dalam darah, sehingga dapat menurunkan
konsentrasi dan timbulnya penyakit berbahaya. Konsumsi rokok merupakan
salah satu faktor risiko utama terjadinya berbagai penyakit tidak menular
seperti penyakit jantung koroner, stroke, kanker, penyakit paru kronis dan
diabetes mellitus yang merupakan penyebab kematian utama di dunia,
termasuk di Indonesia. Saat ini, lebih dari 60 juta penduduk Indonesia adalah
perokok aktif dan 8 orang per menit meninggal karena rokok. Jumlah ini terus
bertambah dari tahun ke tahun dan menempatkan Indonesia ke peringkat
ketiga dengan jumlah perokok aktif tertinggi di dunia setelah China dan India.
Indonesia termasuk salah satu produsen rokok terbesar di dunia.
Meningkatnya kebutuhan rokok telah menjadi pengeluaran ke dua bagi
masyarakat Indonesia (depkes.go.id).
Pencantuman peringatan atas dampak yang akan diderita oleh perokok
dalam bungkus rokok sudah ada. Peringatan pada bungkus rokok
menyebutkan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung,
impotensi dan gangguan kehamilan dan janin. Gangguan kesehatan akibat
asap rokok tidak hanya akan diterima oleh perokok, namun juga dapat
4
mengganggu kesehatan orang lain di sekitarnya. Penelitian terbaru juga
menunjukkan adanya bahaya dari second-hand smoke, yaitu asap rokok yang
terhirup oleh orang-orang bukan perokok karena berada di sekitar perokok
atau bisa disebut juga dengan perokok pasif. Sebanyak 62 juta perempuan dan
30 juta laki-laki Indonesia menjadi perokok pasif di Indonesia, dan yang
paling menyedihkan adalah anak-anak usia 0-4 tahun yang terpapar asap
rokok berjumlah 11,4 juta anak. data tersebut jelas menunjukkan bahwa begitu
bahayanya paparan asap rokok, namun hal tersebut tidak memberi pengaruh
yang signifikan untuk menurunkan angka perokok (depkes.go.id).
Upaya dalam menurunkan jumlah perokok di Indonesia memang tidak
mudah. Ada beberapa permasalahan yang kompleks di antaranya adalah aspek
ekonomi, dan sosial. Namun bagaimanapun juga masyarakat berhak
memperoleh udara segar untuk memperoleh sirkulasi pernafasan yang sehat.
Hak tersebut mendapatkan landasan hukum dalam UUD 1945 dalam pasal 28
H ayat (1) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Untuk mengatasi
hal tersebut, maka ditetapkan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok.
Konsep Kawasan Tanpa Rokok (KTR) terdapat dalam Undang-Undang
Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 115. Undang – Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang kesehatan mengamanatkan dalam upaya menciptakan
lingkungan yang sehat, maka setiap orang berkewajiban menghormati hak
orang lain dalam memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi,
5
maupun sosial, dan setiap orang berkewajiban untuk berperilaku hidup sehat
dalam mewujudkan, mempertahankan, serta memajukan kesehatan yang
setinggi-tingginya. Lingkungan yang sehat dapat terwujud antara lain dengan
menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di fasilitas kesehatan, tempat
proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan
umum, tempat kerja dan tempat umum serta tempat-tempat lain yang
ditetapkan.
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang
dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi,
menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau.
Pengertian tersebut tertuang dalam pasal pertama Peraturan Bersama Menteri
Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No.188/Menkes/PB/I/2011 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Asap Rokok. Diharapkan dengan
pedoman tersebut terjadi intervensi yang kuat terhadap pengendalian perokok
yang sering menghisap rokok di sembarang tempat.
Menteri Pendidikan mengeluarkan Permendikbud Nomor 64 Tahun
2015 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Di Lingkungan Sekolah. Kebijakan ini
ditetapkan untuk memberi dukungan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Tujuan dari Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok Di Lingkungan Sekolah ini ditetapkan atas dasar melindungi para
generasi muda yang sedang menempuh pendidikan di sekolah dari paparan
asap rokok yang berbahaya dan secara tidak langsung diharapkan menurunkan
angka perokok pada pelajar.
6
Pada kenyatannya banyak perokok yang masih melanggar Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok, dengan tetap merokok di area tersebut. Sering kita
jumpai pula pelanggaran tersebut terjadi di sekolah. Sekolah merupakan salah
satu kawasan tanpa rokok, karena akan mengakibatkan terganggunya kegiatan
belajar mengajar. Beberapa guru, tenaga kependidikan bahkan kepala sekolah
dengan santainya merokok di sekolah tanpa memikirkan akibat dari kebiasaan
yang tidak baik tersebut. Efek dari kebiasaan itu adalah ketika para siswa yang
melihatnya merasa bahwa merokok adalah hal yang wajar dilakukan.
Anggapan tersebut sedikit banyak akan memberikan pengaruh bagi pelajar
untuk mencoba merokok. Sebagian pelajar di Indonesia kini telah menjadi
perokok aktif. Beberapa dari mereka terang-terangan memperlihatkan bahwa
mereka adalah perokok dan menganggap itu adalah hal yang biasa, bahkan
bisa dianggap sebagai pembuktian bahwa perokok itu keren. Beberapa pelajar
yang merokok tidak semua berani menunjukkan identitasnya karena takut
dihukum oleh sekolah dan orang tua yang melarang anaknya untuk merokok.
Berita yang diunggah oleh Humas UGM (Gusti Grehenson) pada hari
Jumat, 27 Mei 2011 mengungkapkan bahwa 16 persen pelajar SMP dan SMA
di Kota Yogyakarta adalah perokok. Jumlah presentase perokok tersebut
dibagi menjadi dua golongan, yaitu sebanyak 12 persen termasuk ke dalam
golongan perokok eksperimenter dan 4 persen sisanya adalah perokok regular.
Perokok eksperimenter merupakan golongan pelajar yang masih mencoba-
coba merokok, sedangkan perokok regular merupakan kelompok pelajar yang
sudah rutin mengkonsumsi rokok setiap hari. Perincian persentase perokok
7
disampaikan oleh Yayi Suryo Prabandari. sebagai ketua tim peneliti
menyebutkan untuk pelajar SMP jumlah perokok eksperimenter 10,32 persen
dan perokok regular 2,38 persen. Jumlah perokok ekperimenter dan regular
terjadi peningkatan untuk pelajar SMA yaitu sebanyak 13,28 persen dan 2,38
persen. Survei mengenai jumlah perokok juga dilakukan pada guru dari 30
SMP dan 30 SMA di Kota Yogyakarta. Hasil survei tersebut menyatakan 10
persen dari seluruh guru yang menjadi responden adalah perokok, bahkan 68
persen guru SMP dan SMA tersebut mengaku bahwa mereka merokok di
lingkungan sekolah. Survei tersebut dilakukan terhadap 2.015 pelajar SMP
dan SMA serta 1.602 guru dari 30 SMP dan 30 SMA oleh Quit Tobacco
Indonesia, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gajah Mada.
Hasil penelitian dari Fify Rosaliana (2015) menjelaskan bahwa di SMA
Gadjah Mada masih dijumpai guru dan siswa yang merokok di lingkungan
sekolah. SMA Gadjah Mada menyediakan ruang khusus merokok yang
bertujuan untuk meminimalisir siswa yang merokok saat jam pelajaran
berlangsung dan warga sekolah diharapkan untuk tidak merokok di koridor
sekolah padahal jelas disebutkan pada Peraturan Bersama Menteri Kesehatan
dan Menteri Dalam Negeri No.188/Menkes/PB/I/2011 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kawasan Tanpa Asap Rokok bahwa salah satu Kawasan Tanpa
Rokok adalah di sekolah. Ruang khusus merokok tersebut juga tidak dapat
menampung keseluruhan guru dan siswa yang ingin merokok yang
mengakibatkan masih banyak guru dan siswa yang merokok di koridor
sekolah.
8
Hasil pra-observasi di SMA Gadjah Mada menemukan beberapa siswa
yang merokok di lingkungan sekolah. Beberapa ada yang merokok di sekitar
koridor sekolah, di ruang satpam, di parkiran sepeda motor, dan di dalam
kelas. Pihak sekolah membiarkan siswa yang merokok dan tidak ada sanksi
yang tegas kepada para perokok tersebut. Contoh yang tidak bagus juga
ditemukan adalah seorang guru yang merokok di lingkungan sekolah. Guru
tersebut merokok di ruang guru yang tentu saja masih masuk dalam
lingkungan sekolah. Dampak dari warga yang merokok di SMA Gadjah Mada
sangat menganggu bagi mereka yang tidak merokok. Udara segar yang
seharusnya mereka bisa nikmati menjadi tercemar akibat asap rokok.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diidentifikasikan beberapa
permasalahan yang ada, diantaranya:
a. Kebiasaan merokok di Indonesia saat ini merupakan kebutuhan sekunder
yang dianggap sebagai kebutuhan primer oleh sebagian orang hal ini
berdampak meningkatnya perokok di Indonesia.
b. Terjadi anggapan yang salah mengenai kegiatan menghisap rokok.
c. Terdapat keyakinan pada masyarakat bahwa kebiasaan merokok sulit
untuk dihentikan
d. Ancaman kesehatan bagi perokok aktif dan pasif masih mengintai.
e. Indonesia menempati peringkat ketiga dengan jumlah perokok aktif
tertinggi di dunia.
9
f. Banyak para perokok yang melanggar kebijakan kawasan tanpa rokok.
g. Angka perokok di kalangan pelajar tinggi, dengan didominasi oleh pelajar
SMA.
h. Siswa dan Guru SMA Gadjah Mada Yogyakarta banyak yang merokok di
lingkungan sekolah.
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian sesuai dengan tujuan peneliti dan masalah yang dikaji
tidak terlalu luas, maka tidak semua masalah yang teridentifikasi akan diteliti.
Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan mempertimbangkan keterbatasan
peneliti baik tenaga, waktu, dan biaya maka peneliti membatasi permalahan
yang berfokus pada implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta?
2. Apakah faktor penghambat dan pendukung implementasi Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ?
10
E. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Mendeskripsikan implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta.
2. Mendeskripsikan faktor penghambat dan pendukung implementasi
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
teoritis maupun praktis. Berikut adalah manfaat teoritis dan praktis dari
penelitian dengan judul Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
SMA Gadjah Mada Yogyakarta:
a. Manfaat Teoritis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
informasi dan pengetahuan sebagai referensi serta acuan penelitian
berikutnya mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di
lingkungan sekolah. Manfaat teoritis terkait dengan Jurusan Filsafat dan
Sosiologi Pendidikan Prodi Kebijakan Pendidikan yaitu memberikan
rujukan dalam pengembangan penelitian di bidang implementasi kebijakan
khususnya mengenai kebijakan pendidikan yang terkait dengan mata
kuliah politik pendidikan.
11
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Dinas Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam mengambil sebuah kebijakan serta bahan evaluasi
dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di lingkungan
sekolah.
2) Bagi Pihak Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan oleh
pihak sekolah terkait dengan implementasi kebijakan kawasan tanpa
rokok di lingkungan sekolah.
3) Bagi Orang tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan orang tua siswa dalam
memberikan perhatian kepada perilaku anaknya yang merokok di
sekolah.
4) Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi kepada
masyarakat agar tidak menjual rokok di sekitar sekolah.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kebijakan Pendidikan
1. Pengertian Kebijakan
Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” digunakan untuk
menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu
kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam
suatu bidang kegiatan tertentu. Oleh karena itu kita memerlukan batasan
atau konsep kebijakan publik yang tepat (Budi Winarno, 2007: 16).
Sudiyono (2007: 2) menjelaskan bahwa kebijakan adalah sebuah
tindakan rekayasa sosial (social engineering) yang dilakukan oleh kelompok
atau individu untuk mencapai tujuan. Kebijakan merupakan serangkaian
tindakan yang bersifat tidak terbatas pada satu tindakan, melainkan
melibatkan satu tindakan dengan tindakan lain.
James E. Anderson mengatakan bahwa kebijakan adalah serangkaian
tindakan yang memiliki tujuan yang diikuti oleh seseorang atau sekelompok
pelaku terkait dengan suatu permasalahan tertentu, karena kebijakan terkait
dengan tindakan untuk memecahkan permasalahan (Sudiyono, 2007: 4).
James E. Anderson memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari
sejumlah aktor (pejabat, kelompok, dan instansi pemerintah) atau
serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan (Arif Rohman, 2009: 108).
Kebijakan dilihat dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan
sebagai kegiatan atau tindakan terkait dengan suatu permasalahan tertentu
13
dan dilakukan oleh aktor terkait (pejabat, kelompok, dan instansi
pemerintah) untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Kebijakan dalam dunia pendidikan dapat diartikan dalam berbagai
istilah. Istilah tersebut antara lain: (1) perencanaan pendidikan (educational
planning), (2) rencana induk tentang pendidikan (master plan of education),
(3) peraturan pendidikan (educational regulation), dan (4) kebijakan tentang
pendidikan (policy of education). Keempat istilah tersebut memiliki
perbedaan isi dan cakupan makna dari masing-masing yang ditunjuk oleh
istilah tersebut (Arif Rohman, 2009: 107-108).
Tilaar dan Riant Nugroho (2008: 140) mendefinisikan kebijakan
pendidikan sebagai keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-
langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan
dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam
rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu
masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.
H. M. Hasbullah (2015: 41) mendefinisikan kebijakan pendidikan
sebagai berikut :
Kebijakan pendidikan adalah seperangkat aturan sebagai bentuk
keberpihakan dari pemerintah dalam upaya membangun sistem
pendidikan sesuai dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan
bersama. Keberpihakan tersebut menyangkut dalam konteks politik,
anggaran, pemberdayaan, tata aturan, dan sebagainya. Kebijakan
pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan
langkah-langkah strategi pendidikan yang dijabarkan dari visi dan
misi pendidikan, dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan
14
pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu
tertentu.
Kebijakan pendidikan dilihat dari beberapa pendapat di atas dapat
ditarik kesimpulan sebagai tindakan atau upaya dari pemerintah untuk
menyelesaikan suatu masalah atau pun meningkatkan kualitas pada
pendidikan dengan mempertimbangkan aspek yang terkait (konteks politik,
anggaran, pemberdayaan, tata aturan). Kebijakan pendidikan dapat
meningkatkan kualitas pendidikan dengan strategi yang tepat sesuai dengan
kebutuhan dan tujuan jangka panjang untuk menyongsong pendidikan di
masa mendatang.
3. Tingkatan Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan pada dasarnya dibedakan berdasarkan
tingkatan. Ali Imron (2008:24) mengungkapkan bahwa kebijakan
pendidikan jika dilihat dari perspektif pengambil kebijakan, dapat dibedakan
menjadi 4 (empat) tingkatan yaitu 1) tingkat kebijakan nasional (penentu
kebijakan pada tingkat ini yaitu MPR/DPR/DPD), 2) tingkat kebijakan
umum (penentu kebijakan pada tingkat ini yaitu pemerintah atau eksekutif,
sehingga sifat kebijakan yang dihasilkan bersifat umum dan merupakan
kebijakan eksekutif), 3) tingkat kebijakan khusus (penentu kebijakan pada
tingkat ini yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), dan 4) tingkat
kebijakan teknis (penentu kebijakan pada tingkat ini yaitu pejabat eselon 2
ke bawah, seperti Direktorat Jendral atau pimpinan lembaga non
departemen).
15
Berdasarkan pendapat dari pakar di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa tingkatan kebijakan pendidikan yaitu kebijakan nasional (makro),
kebijakan daerah (meso), dan kebijakan teknis (mikro).
4. Tahapan Proses Pembuatan Kebijakan Pendidikan
Proses pembuatan kebijakan pendidikan tidaklah jauh berbeda
dengan proses pembuatan kebijakan publik. William N. Dunn (2003: 25)
menyebutkan proses pembuatan kebijakan adalah 1) penyusunan agenda, 2)
formulasi kebijakan, 3) adopsi kebijakan, 4) implementasi kebijakan, dan 5)
penilaian kebijakan. William N. Dunn menggambarkan tahapan kebijakan
pendidikan sebagai berikut:
Gambar 1. Proses Pembuatan Kebijakan (William N. Dunn, 2003)
Penyusunan
Agenda
Formulasi
Kebijakan
Adopsi
Kebijakan
Implementasi
Kebijakan
Penilaian
Kebijakan
16
Berdasarkan gambar di atas, William N. Dunn menjelaskan proses
pembuatan kebijakan sebagai berikut
1) Penyusunan Agenda
Tahap ini yaitu menyusun suatu masalah yang akan dicari pemecahan
masalah. Berbagai permasalahan yang ada dimasukkan ke agenda
kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Permasalahan
yang ada di agenda kebijakan didefinisikan dan dicari pemecahan
masalahnya sesuai dengan alternatif yang ada.
2) Formulasi Kebijakan
Tahap kedua dalam proses pembuatan kebijakan yaitu formulasi
kebijakan. Pada tahap ini aktor pembuat kebijakan merumuskan alternatif
kebijakan (solusi dari permasalahan) berdasarkan permasalahan yang ada
dalam agenda kebijakan.
3) Adopsi Kebijakan
Tahap ketiga dalam proses pembuatan kebijakan yaitu membahas
beberapa alternatif yang telah ditawarkan oleh para perumus kebijakan,
kemudian dilakukan adopsi dengan dukungan dari pembuat kebijakan.
4) Implementasi Kebijakan
Suatu kebijakan hanyalah menjadi sebuah wacana apabila kebijakan
tersebut tidak dilakukan implementasi. Kebijakan yang telah diambil
sebagai alternatif solusi pemecahan masalah haruslah diimplementasikan.
Implementasi kebijakan bertujuan untuk mencapai tujuan kebijakan yang
telah dirumuskan.
17
5) Penilaian Kebijakan
Kebijakan yang telah diimplementasikan perlu dilakukan penilaian atau
evaluasi agar dapat dilihat sejauh mana kebijakan tersebut mampu
menyelesaikan permasalahan yang ada. Penilaian kebijakan melibatkan
indikator keberhasilan yang digunakan sebagai standar keberhasilan
implementasi kebijakan.
Proses perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari aktor pembuat
kebijakan. Aktor pembuat kebijakan harus mempunyai dasar berupa
pendekatan teori dalam merumuskan kebijakan dan memilih komponen
utama dalam pembuatan kebijakan pendidikan. Arif Rohman (2009: 130)
menjelaskan,
Ada lima teori perumusan kebijakan pendidikan, yaitu: (a) teori
radikal, (b) teori advokasi, (c) teori transkriptif, (d) teori sinoptik,
dan (e) teori inkremental. Teori radikal mementingkan kepada
diverivikasinya dan pelimpahan tugas kepada lembaga
penyelenggara di tingkat lokal, sehingga kreatifitas lembaga lokal
lebih dihargai. Sebaliknya, teori advokasi cenderung
mementingkan peran pemerintah pusat yang masih dominan dalam
perumusan kebijakan pendidikan. Teori transkiptif berorientasi
kepada prasyarat adanya dialog pusat dengan daerah dan lembaga
penyelenggara pendidikan. Teori sinoptik menekankan kepada
metode berfikir sistem dalam perumusan kebijakan. Sedangkan
teori inkremental menekankan pada perumusan kebijakan
pendidikan yang berjangka pendek serta berusaha menghindari
perencanaan kebijakan yang berjangka panjang.
Berdasarkan pada beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa dalam proses pembuatan kebijakan harus melalui tahapan yang
urut dan tidak dapat dilakukan secara terpisah atau salah satu tidak
dilakukan karena tahapan dalam proses pembuatan kebijakan merupakan
sebuah kesatuan. Pembuatan kebijakan harus mempunyai dasar teori agar
18
seusai dengan kebutuhan. Tahapan proses pembuatan kebijakan adalah
tahap penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Penelitian ini lebih fokus
untuk membahas implementasi kebijakan karena pada tahapan ini banyak
faktor yang mempengaruhi sebuah kebijakan dapat berjalan baik atau
tidak.
B. Implementasi Kebijakan
1. Konsep Implementasi Kebijakan
Van Meter dan Van Horn dalam Arif Rohman (2009: 134)
mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan merupakan semua tindakan
yang dilakukan oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-
kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan kepada pencapaian tujuan
kebijakan yang telah ditentukan terlebih dahulu, yakni tindakan-tindakan
yang merupakan usaha sesaat untuk mentransformasikan keputusan ke
dalam istilah operasional, maupun usaha berkelanjutan untuk mencapai
perubahan-perubahan besar dan kecil yang diamanatkan oleh keputusan-
keputusan kebijakan.
H. M. Hasbullah (2015: 94) memaparkan secara sederhana tujuan
implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan
kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.
Keseluruhan proses penetapan kebijakan baru ini bisa dimulai apabila tujuan
dan sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program telah
19
dirancang dan juga sejumlah dana telah dialokasikan untuk mewujudkan
tujuan dan sasaran tersebut.
Arif Rohman (2012: 107) menjelaskan bahwa implementasi
kebijakan pendidikan merupakan proses yang tidak hanya menyangkut
perilaku-perilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan kepada kelompok
sasaran (target groups), melainkan juga menyangkut faktor-faktor hukum,
politik, ekonomi, sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh
terhadap perilaku dari berbagai pihak yang terlibat dalam program.
Kesemuannya itu menunjukkan secara spesifik dari proses implementasi
yang sangat berbeda dengan proses formulasi kebijakan pendidikan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa impelementasi kebijakan merupakan seluruh tindakan yang
dilakukan untuk merealisasikan tujuan kebijakan. Implementasi kebijakan
mentransformasikan sebuah kebijakan ke dalam istilah operasional agar
mudah dipahami oleh pelaksana kebijakan dan objek kebijakan.
2. Tahap Implementasi Kebijakan
Dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa tahapan yang akan
dilalui. Charles O. Jones dalam buku Politik Ideologi Pendidikan (Arif
Rohman, 2009: 135) menjelaskan bahwa implementasi adalah suatu
aktivitas atau tahapan yang dimaksudkan untuk melaksanakan kebijakan.
Ada tiga pilar aktivitas atau tahapan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut
yakni :
20
1) Pengorganisasian, pembentukan atau penataan kembali sumberdaya,
unit-unit serta metode untuk menjalankan program agar bisa berjalan
sesuai dengan tujuan.
2) Interpretasi, aktivitas menafsirkan agar suatu program menjadi rencana
dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan sesuai
harapan.
3) Aplikasi, berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan,
pembayaran atau yang lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau
perlengkapan program.
Joko Widodo (2010: 90-94) menyebutkan beberapa tahapan
implementasi kebijakan yaitu tahap interpretasi, tahap organisasi, dan tahap
aplikasi. Berikut penjelasan dari tahapan tersebut :
1) Tahap Interpretasi
Tahap Interpretasi merupakan tahap penguraian pokok dari suatu
kebijakan yang bersifat abstrak agar lebih operasional dan mudah
dipahami sehingga dapat dimengerti oleh para pelaku dan sasaran
kebijakan.
2) Tahap Organisasi
Tahap Organisasi yaitu tindakan peraturan dan penetapan
pembagian tugas pelaksana kebijakan termasuk di dalamnya terdapat
kegiatan penetapan anggaran, kebutuhan sarana dan prasana, penetapan
tata kerja, dan manajemen implementasi kebijakan.
21
3) Tahap Aplikasi
Tahap aplikasi merupakan tahap pelaksanaan kebijakan sesuai
dengan rencana yang ditetapkan. Tahapan ini merupakan tahapan untuk
menerapkan kebijakan untuk mengatasi masalah dan/atau meningkatkan
mutu pada sasaran kebijakan
Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas adalah dalam
implementasi kebijakan mempunyai tahapan yang dilakukan. Tahapan
dalam implementasi kebijakan adalah tahap interpretasi, tahap organisasi,
dan tahap aplikasi. Tahapan tersebut dilakukan untuk mengoperasikan
program atau kebijakan agar sesuai dengan tujuan.
3. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan
Tahap implementasi kebijakan merupakan tahapan yang penting dari
sebuah kebijakan. Tahap implementasi kebijakan menentukan hasil dari
kebijakan yang telah dibuat. Kebijakan dibuat dengan tujuan memperbaiki
suatu aspek dengan strategi yang tepat namun kebijakan tersebut bisa terjadi
ketidakberhasilan karena pada tahap implementasi kebijakan belum bisa
berjalan sesuai dengan kebijakan. Penentu keberhasilan atau kegagalan pada
implementasi kebijakan dipengaruhi beberapa faktor. Faktor penentu
keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan perlu dilakukan
analisis. Analisis faktor-faktor tersebut bisa digunakan untuk bahan
pertimbangan untuk meminimalisirkan segala kemungkinan kegagalan yang
terjadi dan memaksimalkan keberhasilan pada tahap implementasi
kebijakan.
22
Brian W. Hogwood & Lewis A.Gunn (Arif Rohman, 2012: 107-108)
mengemukakan bahwa untuk dapat mengimplementasikan suatu kebijakan
dapat dikatakan sempurna (perfect implementation), maka dibutuhkan
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana tidak
akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius.
b. Untuk pelaksanaan suatu program, harus tersedia waktu dan sumber-
sumber yang cukup memadai.
c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan harus benar-benar ada atau
tersedia.
d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan
kausalitas yang handal.
e. Hubungan kausalitas tersebut hendaknya bersifat langsung dan hanya
sedikit mata rantai penghubungnya.
f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.
g. Adanya pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat
i. Adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Arif Rohman (2009: 147-149) mengemukakan bahwa ada tiga faktor
yang menentukan keberhasilan dan kegagalan implementasikan kebijakan
yaitu:
a. Faktor pertama yang menentukan keberhasilan dan kegagalan pada
implementasi kebijakan berkaitan dengan rumusan kebijakan yang telah
dibuat oleh pengambil keputusan (decision maker). Berhubungan tentang
bagaimana rumusan kalimatnya jelas atau tidak, tujuannya tepat atau
tidak, sesuai dengan sararan atau tidak, terlalu sulit dipahami atau tidak,
mudah diinterpretasikan atau tidak, mudah dilaksanakan atau tidak dan
sebagainya. Pembuat kebijakan diharapkan mempertimbangkan hal-hal
tersebut sebagai pertimbangan kesepakatan dalam perumusan kebijakan.
23
b. Faktor kedua berkaitan dengan personil pelaksananya. Personil pelaksana
mempunyai latar belakang yang berbeda seperti budaya, bahasa, serta
ideologi kepartaian. Tingkat pendidikan, pengalaman, motivasi,
komitmen, kesetiaan, kinerja, kepercayaan, diri, kebiasaan-kebiasaan,
serta kemampuan bekerjasama dari setiap kepribadian personil pelaksana
akan mempengaruhi cara kerja mereka dalam implementasi kebijakan.
c. Faktor ketiga dari penentu kegagalan dan keberhasilan implementasi
kebijakan adalah faktor organisasi pelaksana. Organsasi pelaksana dapat
menentukan implementasi kebijakan diperhatikan dari jaringan sistem,
hirarki kewenangan masing-masing bagian, strategi distribusi pekerjaan,
model kepemimpinan dari kepala organisasi, peraturan organisasi, target
yang ditetapkan pada masing-masing tahap, model monitoring yang
digunakan dan model evaluasi yang dipakai.
Pendapat lain dikemukakan Model Edward III dalam buku Analisis
Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi (Subarsono, 2012: 90-92)
terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan dan
kegagalan pada implementasi kebijakan. Faktor tersebut yaitu faktor (1)
komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi.
Berikut penjelasan dari beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
keberhasilan implementasi kebijakan:
1) Faktor Komunikasi (Communication)
Faktor komunikasi merupakan proses pemberian informasi kepada
petugas pelaksana kebijakan. Edward III informasi mengenai kebijakan
24
perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar para pelaku kebijakan
dapat mengetahui apa yang harus mereka persiapkan dan lakukan untuk
menjalankan kebijakan tersebut sehingga tujuan dan sasaran kebijakan
dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan (Joko Widodo, 2010: 97).
Model Edward III berpendapat bahwa dimensi dalam komunikasi
kebijakan terdiri dari dimensi transmisi (transmission), kejelasan
(clarity), dan konsistensi (consistency). Berikut penjelasan beberapa
dimensi dalam komunikasi kebijakan:
a) Dimensi Transmisi
Dimensi transmisi mengharapkan agar kebijakan disampaikan
tidak hanya kepada pelaksana (implementators) kebijakan tetapi juga
disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan serta pihak-pihak
yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.
b) Dimensi Kejelasan
Dimensi kejelasan menginginkan kebijakan yang ditransmisikan
kepada pelaksana dan sasaran kebijakan dapat diterima dan dimengerti
dengan jelas agar mereka mengetahui tujuan dan maksud dari
kebijakan tersebut sehingga dapat mempersiapkan segala sesuatu
untuk mensukseskan kebijakan tersebut dengan efektif dan efisien.
c) Dimensi Konsistensi
Dimensi konsistensi menginginkan implementasi kebijakan
berlangsung efektif dengan cara pemberian perintah-perintah
25
pelaksanaan harus konsisten dan jelas agar kebijakan yang diterapkan
tidak membingungkan.
2) Faktor Sumber daya (Resources)
Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam
implementasi kebijakan. Sumber daya merupakan sarana untuk
melaksanakan kebijakan. Sumber daya tersebut berupa sumber daya
manusia, sumber daya anggaran, sumber daya peralatan, dan sumber
daya kewenangan. Berikut penjelasan mengenai sumber daya dalam
implementasi kebijakan:
a) Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia dapat berwujud implementator atau
aparatur yang mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan
kebijakan. Implementator harus memiliki keahlian dan kemampuan
melaksanakan kebijakan serta perlu mengetahui siapa saja yang
terlibat dalam pelaksanaan kebijakan.
b) Sumber Daya Anggaran
Edward III dalam Joko Widodo (2010: 100) menyatakan
bahwa terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas
pelayanan yang seharusnya diberikan kepada sasaran kebijakan juga
terbatas. Terbatasnya insentif yang diberikan kepada implementator
merupakan penyebab utama gagalnya pelaksanaan program.
Kesimpulannya adalah jika sumber daya anggaran terbatas maka akan
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping
26
program tidak bisa dilaksanakan dengan optimal, keterbatasan
anggaran menyebabkan disposisi para pelaku kebijakan rendah.
c) Sumber Daya Peralatan
Edward III dalam Joko Widodo (2010: 102) menjelaskan bahwa
sumber daya peralatan merupakan sarana yang digunakan sebagai
operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung,
tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan untuk
memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan.
d) Sumber Daya Kewenangan
Sumber daya kewenangan merupakan hal yang penting dalam
implementasi kebijakan. Sumberdaya kewenangan akan menentukan
keberhasilan dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam Joko
Widodo (2010: 103) menjelaskan bahwa:
Kewenangan (authority) yang cukup untuk membuat keputusan
sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi
lembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenangan
ini menjadi penting ketika mereka dihadapkan suatu masalah
dan mengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatu
keputusan.
Pelaksana kebijakan diberikan wewenang yang cukup untuk
membuat keputusan sendiri dalam melaksanakan kebijakan yang
menjadi kewenangannya. Kewenangan tersebut diharapkan mampu
mensuskseskan implementasi kebijakan.
3) Faktor Disposisi (Disposition)
Disposisi merupakan tindakan yang dimiliki oleh implementator
seperti kemauan, kejujuran, dan kesungguhan dalam melaksanakan
27
kebijakan. Implementator diharapkan memiliki disposisi yang baik
sehingga tidak terjadi perbedaan perspektif dengan pembuat kebijakan.
Edward III dalam Joko Widodo (2010:104-105) menjelaskan bahwa :
jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan
efisien, para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui
apa yang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk
melakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus
mempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
Kesimpulan dari faktor disposisi adalah menuntut pelaksana
kebijakan untuk memberikan kemampuan terbaiknya untuk
melaksanakan kebijakan. Kemampuan pelaksana kebijakan menjadi
penentu keefektifan implementasi kebijakan.
4) Faktor Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure)
Struktur organisasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap
implementasi kebijakan. Struktur organisasi memiliki prosedur operasi
yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP
berhubungan dengan mekanisme, sistem dan pedoman pelaksanaan
kebijakan. SOP dibuat untuk memberikan pedoman dalam sebuah
organisasi untuk melaksanakan suatu program dan kebijakan. Edward III
dalam Joko Widodo (2010: 107) menyatakan bahwa :
jelas tidaknya standar operasi, baik menyangkut mekanisme, sistem
dan prosedur pelaksanaan kebijakan, pembagian tugas pokok,
fungsi dan kewenangan, dan tangggung jawab diantara pelaku, dan
tidak harmonisnya hubungan diantara organisasi pelaksana satu
dengan yang lainnya ikut pula menentukan keberhasilan
implementasi kebijakan.
Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas adalah implementasi
merupakan tahapan yang vital dalam kebijakan. Implementasi kebijakan
28
mempunyai beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dan
kegagalan sebuah kebijakan. Faktor penentu yang mempengaruhi
implementasi kebijakan di antaranya adalah komunikasi (transmisi,
kejelasan, konsistensi), sumber daya (sumber daya manusia, anggaran,
peralatan, kewenangan), disposisi, dan struktur birokrasi
C. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah tempat atau area yang ditetapkan
dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi,
mengkomersialkan, menawarkan, maupun mempromosikan produk tembakau.
(Depkes.go.id)
Indonesia mempunyai beberapa peraturan yang telah ditetapkan
mengenai kebijakan kawasan tanpa rokok, yaitu :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan. Hal yang bersangkutan mengenai kawasan tanpa rokok terdapat
pada Pasal 113 dan Pasal 115. Berikut uraian Pasal 113 dan pasal 115:
Pasal 113:
1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif
diarahkan agar tidak menganggu dan membahayakan kesehatan
perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan
gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan
kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
Pasal 115:
1) Kawasan tanpa rokok antara lain:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat untuk bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
29
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di
wilayahnya.
2. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No.
188/MENKES/PB/I/2011 No.7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Kawasan
Tanpa Rokok. Peraturan tersebut mewajibkan pemerintah daerah
menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayah pemerintahannya. Peraturan
penetapan kawasan tanpa rokok mempunyai tujuan yang tercantum pada
Pasal 2 sebagai berikut:
a. Memberikan acuan bagi pemerintah daerah dalam menetapkan
kawasan tanpa rokok;
b. Memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya asap rokok;
c. Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi
masyarakat;
d. Melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk
merokok baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kawasan tanpa rokok yang dimaksud Peraturan Bersama Menteri
Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011 No.7
Tahun 2011 terdapat pada pasal 3 sebagai berikut:
a. Fasilitas pelayanan kesehatan;
b. Tempat proses belajar mengajar;
c. Tempat anak bermain;
d. Tempat ibadah;
e. Angkutan umum;
f. Tempat kerja;
g. Tempat umum; dan
h. Tempat lainnya yang ditetapkan.
3. Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Peraturan Gubernur menetapkan
Peraturan Kawasan Tanpa Rokok Nomor 42 Tahun 2009. Peraturan
Gubernur mengenai Peraturan Kawasan Tanpa Rokok menyebutkan
30
penetapan kawasan dilarang merokok dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dan/kelompok rentan (bayi, balita, ibu hamil, dan lansia)
terhadap risiko gangguan kesehatan akibat asap rokok serta menurunkan
angka kesakitan dan/atau angka kematian akibat asap rokok. Tujuan
penetapan peraturan kawasan tanpa rokok di DIY untuk mewujudkan
kualitas udara yang sehat dan bersih serta mewujudkan masyarakat yang
sehat. Area atau tempat kawasan tanpa rokok sesuai dengan pedoman
kawasan tanpa rokok pada Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan
Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011 No.7 Tahun 2011.
4. Kota Yogyakarta sebagai bagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta juga
mengeluarkan peraturan kawasan tanpa rokok. Peraturan tersebut
dituangkan pada Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2015
Tentang Kawasan Tanpa Rokok. Pasal 3 pada peraturan tersebut
memberikan penjelasan mengenai tujuan penetapan kawasan tanpa rokok
yaitu:
Pasal 3:
1) Memberikan pencegahan dari akibat bahaya asap rokok bagi
perokok aktif dan/atau perokok pasif;
2) Memberikan area atau lingkungan yang bersih dan sehat bebas dari
asap rokok;
3) Memberikan perlindungan bagi kesehatan masyarakat umum dari
akibat buruk merokok.
4) Memberikan rasa aman dan nyanab warga; dan
5) Meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat
masyarakat.
31
5. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah terdapat dalam
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64
Tahun 2015.
D. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah
1. Ketentuan umum Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan
Sekolah
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah telah ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
64 Tahun 2015. Pengertian dan ketentuan umum Kawasan Tanpa Rokok di
Lingkungan Sekolah tertulis dalam pasal 1 sebagai berikut:
1. Sekolah adalah Sekolah Dasar/Sekolah Dasar Luar Biasa
(SD/SDLB), Sekolah Menengah Pertama/Sekolah Menengah
Pertama Luar Biasa (SMP/SMPLB), Sekolah Menengah
Atas/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMA/SMALB), dan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) baik negeri maupun swasta.
2. Lingkungan sekolah adalah lokasi tempat berlangsungnya kegiatan
belajar mengajar baik yang bersifat kurikuler maupun ekstra
kurikuler.
3. Pihak lain adalah orang yang melakukan aktivitas di dalam
lingkungan sekolah, selain kepala sekolah, guru, tenaga
kependidikan, dan peserta didik.
4. Kawasan tanpa rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan
dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi,
menjual, dan/atau mempromosikan rokok.
2. Tujuan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah
Tujuan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah tercantum dalam
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 64 Tahun 2015 pada pasal 2 yaitu kawasan tanpa rokok
bertujuan untuk menciptakan Lingkungan sekolah yang bersih, sehat,
dan bebas rokok.
32
3. Sasaran Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah
Kebijakan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah
mempunyai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64
Tahun 2015 pada pasal 3. Sasaran Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
Lingkungan Sekolah adalah sebagai berikut:
a. Kepala sekolah
b. Guru
c. Tenaga kependidikan
d. Peserta didik; dan
e. Pihak lain di dalam Lingkungan sekolah
4. Penyelenggaraan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
Lingkungan Sekolah
Untuk mendukung penyelenggaraan Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Lingkungan Sekolah, pihak sekolah wajib melakukan hal-hal
sesuai dengan pasal 4, pasal 5, pasal 6, dan pasal 7 dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64
Tahun 2015. Hal-hal yang perlu dilakukan sekolah adalah sebagai
berikut:
Pasal 4 :
a. memasukkan larangan terkait rokok dalam aturan tata tertib
sekolah;
b. melakukan penolakan terhadap penawaran iklan, promosi,
pemberian sponsor, dan/atau kerja sama dalam bentuk apapun
33
yang dilakukan oleh perusahan rokok dan/atau organisasi yang
menggunakan merek dagang, logo, semboyan, dan/atau warna
yang dapat diasosiasikan sebagai ciri khas perusahan rokok,
untuk keperluan kegiatan kurikuler atau ekstra kulikuler yang
dilaksanakan di dalam dan di luar Sekolah;
c. memberlakukan larangan pemasangan papan iklan, reklame,
penyebaran pamflet, dan bentuk-bentuk iklan lainnya dari
perusahaan atau yayasan rokok yang beredar atau dipasang di
Lingkungan Sekolah;
d. melarang penjualan rokok di kantin/warung sekolah, koperasi
atau bentuk penjualan lain di Lingkungan Sekolah; dan
e. memasang tanda kawasan tanpa rokok di Lingkungan Sekolah.
Pasal 5 :
1) Kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan
Pihak lain dilarang merokok, memproduksi, menjual,
mengiklankan, dan/atau mempromosikan rokok di Lingkungan
Sekolah.
2) Kepala sekolah wajib menegur dan/atau memperingatkan
dan/atau mengambil tindakan terhadap guru, tenaga
kependidikan, dan peserta didik apabila melakukan larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
3) Kepala sekolah dapat memberikan sanksi kepada guru, tenaga
kependidikan, dan Pihak lain yang terbukti melanggar
ketentuan Kawasan tanpa rokok di Lingkungan Sekolah.
4) Guru, tenaga kependidikan, dan/atau peserta didik dapat
memberikan teguran atau melaporkan kepada kepala sekolah
apabila terbukti ada yang merokok di Lingkungan Sekolah.
5) Dinas pendidikan setempat sesuai dengan kewenangannya
memberikan teguran atau sanksi kepada kepala sekolah apabila
terbukti melanggar ketentuan Kawasan tanpa rokok di
Lingkungan Sekolah berdasarkan laporan atau informasi dari
guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan/atau Pihak lain.
Pasal 6 :
Larangan penjualan rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf d dan pasal 5 ayat (1) berlaku juga terhadap larangan
penjualan permen berbentuk rokok atau benda lain yang
dikonsumsi maupun yang tidak dikonsumsi yang menyerupai
rokok atau tanda apapun dengan merek dagang, logo, atau warna
yang bisa diasosiasikan dengan produk/industri rokok.
34
Pasal 7 :
1) Dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangan melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
Peraturan Menteri ini secara berkala paling sedikit dalam satu
tahun.
2) Dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota menyusun dan
menyampaikan hasil pelaksanaan pemantauan kepada
walikota, bupati, gubernur, dan/atau menteri terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
kewenangannya.
3) Sekolah wajib melakukan pembinaan kepada peserta didik
yang merokok di dalam maupun di luar Lingkungan Sekolah
sesuai dengan tata tertib yang berlaku di sekolah.
E. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang
dilakukan oleh:
1. Sulistianto Purbo Prasetyo pada tahun 2015 dengan judul “Implementasi
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Di Universitas Negeri Yogyakarta.
Penelitian ini didasari oleh berbagai masalah diantaranya yaitu (1) Masih
banyak mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta yang melanggar
kebijakan kawasan tanpa rokok di kampus UNY, (2) Implementasi
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Universitas Negeri Yogyakarta yang
dirasa masih kurang optimal. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui (1)
implementasi Kawasan Tanpa Rokok di Universitas Negeri Yogyakarta, (2)
faktor penghambat dalam pelaksanaan Implementasi Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok di Universitas Negeri Yogyakarta. Jenis penelitian pada
penelitian tersebut adalah penelitian deskriptif kualitatif. Narasumber
penelitian adalah Wakil Rektor II, lima Dekan, dua wakil Dekan, tujuh
35
karyawan, dan sepuluh mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan (1) observasi, (2)
wawancara, dan (3) dokumentasi. Instrumen penelitian yang digunakan
adalah peneliti itu sendiri yang terlibat langsung dalam penelitian. Teknik
pemeriksaan keabsahan data menggunakan trianggulasi sumber. Teknik
analisis data menggunakan model penelitian interaktif Miles dan Huberman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di Universitas Negeri Yogyakarta tidak berjalan
dengan efektif. Pelaksanaan kebijakan tersebut mengalami beberapa
hambatan yaitu: (1) komunikasi yang kurang baik antar pelaksana maupun
ke kelompok sasaran, (2) sumber daya manusia maupun anggaran yang
masih kurang memadai, (3) kurangnya komitmen dan dedikasi dari para
pelaksana dalam melaksanakan kebijakan, (4) Struktur birokrasi dan tidak
adanya SOP dalam proses pelaksanaan kebijakan.
2. Siti Sunarti pada tahun 2015 dengan judul “Penerapan Kawasan Tanpa Asap
Rokok Di Sekolah Tinggi Kesehatan Muhammadiyah Samarinda”.
Penelitian ini dilatar belakangi oleh kebiasaan merokok di Indonesia
menurut Rikesdas 2010, rata-rata umur mulai merokok secara nasional
adalah 17,6 tahun dengan persentase penduduk yang mulai merokok tiap
hari terbanyak pada umur 15-19 tahun. Mengatasi masalah tersebut sebagian
besar lembaga pendidikan menerapkan kawasan bebas asap rokok. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan Kawasan Tanpa Rokok di
STIKES Muhammadiyah Samarinda. Metode Penelitian yang digunakan
36
adalah studi kasus dengan strategi eksploratif. Subjek penelitian ditentukan
secara purposive. Teknik pengumpulan data menggunakan (1) observasi, (2)
diskusi kelompok terarah (DKT), dan (3) wawancara mendalam. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa STIKES Muhammadiyah Samarinda mulai
menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) pada tahun 2011 sesuai dengan
SK No. 0579/II.3.Au/Kep/2011. Strategi yang digunakan dalam penerapan
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yaitu adanya peraturan dan sanksi tertulis
bagi mahasiswa, sosialisasi tentang Kawasan Tanpa Rokok dibantu oleh
organisasi mahasiswa penerapan Kawasan Tanpa Rokok didukungan oleh
pimpinan dosen, staf, dan mahasiswa. Kesimpulan dari penelitian ini
menjalaskan bahwa penerapan Kawasan Tanpa Rokok di kampus dapat
mempengaruhi perilaku merokok mahasiswa, dosen dan staf administrasi.
Relevansi dari kedua penelitian di atas yaitu sama-sama meneliti
tentang implementasi kawasan tanpa rokok. Perbedaan penelitian di atas
terdapat pada jenjang pendidikan yang berbeda. Penelitian yang dilakukan
oleh Sulistianto Purbo Prasetyo pada tahun 2015 mengambil tentang
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok pada tingkat perguruan tinggi
yaitu di Universitas Negeri Yogyakarta. Siti Sunarti pada tahun 2015
meneliti tentang penerapan kawasan tanpa asap rokok pada tingkat
perguruan tinggi yaitu di Sekolah Tinggi Kesehatan Muhammadiyah
Samarinda.
37
F. Kerangka Berpikir
Kebiasaan merokok yang tidak terkendali mulai meresahkan masyarakat
khususnya bagi masyarakat yang tidak merokok atau sering disebut perokok
pasif. Kebebasan menghirup udara yang segar kini tercemar oleh ulah para
perokok yang tidak mempedulikan lingkungan sekitar saat mereka sedang
merokok. Efek kesehatan tentu saja mengancam perokok aktif dan perokok
pasif serta tanpa disadari perilaku tersebut menjadi contoh buruk bagi generasi
penerus bangsa. Mereka akan meniru perilaku tersebut dan menganggap
merokok di sembarang tempat adalah hal yang biasa.
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ditetapkan untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Konsep Kawasan Tanpa Rokok terdapat dalam Undang
– Undang Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 115 dan Peraturan Bersama
Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011
No.7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Kawasan Tanpa Rokok. Implementasi
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok didukung oleh Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Walikota Yogyakarta, dengan Pergub Nomer 42 Tahun 2009
dan Perwal Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan
Peraturan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah.
Peraturan tersebut memberikan ketegasan batas – batas kawasan tanpa rokok di
sekolah dengan harapan terciptanya lingkungan yang sehat di dalam
lingkungan sekolah.
38
Berikut adalah alur ilustrasi dari kerangka berpikir dalam penelitian ini :
Gambar 2. Kerangka Berpikir
Implementasi Undang –
Undang Kesehatan No.36
tahun 2009 tentang
Kesehatan
Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 64 Tahun 2015 tentang
Kawasan Tanpa Rokok di
Sekolah.
Implementasi Kebijakan Teori
Charles O. Jones
Tahap Pengorganisasian
Tahap Interpretasi
Tahap Aplikasi
Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Faktor Pendukung :
Komunikasi
Sumber Daya
Disposisi
Struktur Birokrasi
Faktor Penghambat :
Komunikasi
Sumber Daya
Disposisi
Struktur Birokrasi
39
G. Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana langkah-langkah dalam implementasi Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?
b. Bagaimana komunikasi dalam implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?
c. Bagaimana peran sumber daya sekolah dalam implementasi Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?
d. Bagaimana disposisi pelaksana terhadap kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
SMA Gadjah Mada Yogyakarta?
e. Bagaimana struktur birokrasi implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?
f. Faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat dalam
implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta?
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian yang berjudul “Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta” menggunakan pendekatan
kualitatif, berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian yang
lebih mengutamakan pada menggambarkan dan mengungkap sebuah peristiwa,
aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara
individual maupun kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Nana Syaodih
Sukmadinata (2006: 60) dalam buku metode penelitian pendidikan. Lexy J.
Moleong (2009: 6) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian
dengan tujuan untuk memahami fenomena seperti perilaku, persepsi, tindakan,
motivasi, dan persoalan pada subjek penelitian.
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif naturalistik karena penelitian
ini dilakukan dalam situasi yang alami sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Penelitian ini bermaksud menjelaskan data dari keterangan-keterangan yang
didapat dari lapangan berupa hasil observasi di lapangan, dokumentasi, dan
wawancara kepada subjek yang diteliti saat pelaksanaan penelitian.
Sukardi (2006: 3) menjelaskan bahwa penelitian naturalistik merupakan
salah satu metode ilmiah yang berusaha mengungkap keadaan sebenarnya yang
mungkin menutup dan tersembunyi, yang disebakan oleh adanya cerita secara
lisan maupun tertulis yang dibuat oleh orang-orang terdahulu tentang kejadian
nyata dengan cara-cara yang kurang nyata.
41
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini memilih lokasi di SMA Gadjah Mada Yogyakarta yang
beralamat di Jalan Ibu Ruswo, Yudonegaran GM II/208. Alasan peneliti
memilih tempat penelitian ini karena ingin mengetahui bagaimana
penerapan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Secara
garis besar di SMA Gadjah Mada masih dijumpai banyak pelajar, dan
beberapa guru yang masih merokok di lingkungan sekolah. Secara garis
besar SMA Gadjah Mada Yogyakarta tepat untuk penelitian ini karena di
sekolah tersebut terdapat banyak siswa yang merokok di sekolah dan
disediakan tempat khusus merokok di lingkungan sekolah. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2016.
C. Subjek dan Objek Penelitian
Pemilihan subjek atau narasumber dalam penelitian ini menggunakan
teknik purposive sampling (sampel bertujuan). Sugiyono (2012:124)
purposive sampling adalah teknik penentuan narasumber atau informan
dengan pertimbangan tertentu. Penentuan sampel atas dasar kriteria atau
pertimbangan tertentu dimaksudkan untuk mendapat berbagai macam
narasumber yang tepat dengan sebanyak mungkin informasi sehingga dapat
diperoleh kebenaran dari data yang disampaikan oleh narasumber. Berikut
yang menjadi narasumber pada penelitian ini:
1. Kepala SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai pimpinan di sekolah.
42
2. Wakasek Kesiswaan SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai koordinator
pelaksanaan 7 K (Keamanan, Kebersihan, Ketertiban, Keindahan,
Kesehatan, dan Kerindangan)
3. Guru Bimbingan dan Konseling SMA Gadjah Mada Yogyakarta selaku
pihak yang berhubungan langsung dengan peserta didik dan memberikan
bimbingan kepada siswa.
4. Wali kelas SMA Gadjah Mada Yogyakarta selaku penyelenggara
administrasi kelas termasuk di dalamnya tata tertib siswa
5. Siswa SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai sasaran Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.
6. Karyawan SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai warga sekolah yang
ikut berpengaruh lingkungan sekolah.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasi, dokumentasi, dan wawancara. Penjelasan teknik pengumpulan
yang dipakai dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Observasi
Pengumpulan data dengan observasi menuntut peneliti untuk terjun
langsung ke lapangan untuk mengamati dan mengawasi keadaan seperti
tempat, ruang, kegiatan, artefak lingkungan, peristiwa, perasaan, tujuan
dan tingkah laku subjek penelitian pada waktu tertentu (M. Djunaidi,
2012: 165). Observasi langsung ke lapangan diharapkan dapat
43
mengoptimalkan hasil yang didapatkan. Peneliti dapat melihat langsung
keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan.
2. Dokumentasi
Teknik pengumpulan dokumentasi merupakan mencari informasi
melalui catatan peristiwa yang sudah terjadi, dapat berupa tulisan, gambar,
atau dokumen yang berbentuk karya dari seseorang (Sugiyono. 2012: 329).
Dokumentasi dalam penelitian dapat berupa dokumen kebijakan mengenai
kawasan tanpa rokok mulai yang berlaku untuk umum sampai pada tingkat
sekolah serta dokumen profil sekolah.
3. Wawancara
Moleong (2009: 186) mengatakan teknik pengumpulan data
wawancara adalah teknik yang menjadikan percakapan yang dilakukan
oleh peneliti dan narasumber. Peneliti mengajukan pertanyaan berkaitan
dengan masalah yang diteliti. Narasumber memberikan jawaban atas
pertanyaan yang disampaikan oleh peneliti. Narasumber dalam penelitian
ini adalah kepala sekolah, guru, siswa dan karyawan SMA Gadjah Mada
Yogyakarta.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian utama dalam penelitian ini adalah peneliti itu
sendiri. Guba dan Lincoln dalam Rulam Ahmadi (2014: 104-105)
mengungkapkan manusia memiliki beberapa karakteristik sebagai intrumen
penelitian yaitu kepekaan, kemampuan beradaptasi, penekanan keseluruhan,
pengembangan dasar pengetahuan, kesegeraan proses, kesempatan untuk
44
klarifikasi dan pembuatan rangkuman serta memiliki kesempatan untuk
menyelidiki.
Peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian membutuhkan alat
atau saran yang membantu memudahkan pengambilan data di lapangan.
Arikunto (2010: 136) menjelaskan bahwa instrumen penelitian merupakan
fasilitas atau sarana yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan informasi
terkait dengan penelitian secara sistematis sehingga dapat mempermudah
pengumpulan dan pengolahan data. Instrumen yang digunakan untuk
membantu peneliti dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, dan
pedoman observasi. Penjelasan instrumen yang digunakan dalam penelitian
ini sebagai berikut:
1. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara adalah sebuah instrumen berupa daftar
pertanyaan yang dipersiapkan untuk memperoleh informasi dari
sejumlah narasumber dengan hasil yang pada dasarnya memiliki
kesamaan dan mencakup materi yang sama (Rulam Ahmadi, 2014: 134).
Kisi-kisi pedoman wawancara yang digunakan penelitian ini sebagai
berikut:
Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Wawancara
No Aspek yang dikaji Indikator yang
dikaji Narasumber
1
Pelaksanaan
Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok
Prosedur
pelaksanaan
kebijakan
Kepala sekolah, guru dan
karyawan sekolah
45
Lanjutan Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Wawancara
No Aspek yang dikaji Indikator yang
dikaji Narasumber
Proses
pelaksanaan
kebijakan
Kepala sekolah, guru,
siswa, dan karyawan
sekolah
2
Faktor pendukung
dan penghambat
pelaksanaan
kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok
a. Faktor
pendukung
b. Faktor
penghambat
Kepala sekolah, guru,
siswa, dan karyawan
sekolah
2. Pedoman Obsevasi
Pedoman observasi memberikan arah dalam pelaksanaan
observasi penelitian. Pedoman penelitian membantu memudahkan
peneliti membagi fokus-fokus penelitian secara terstruktur. Penelitian ini
menggunakan pedoman observasi untuk memperoleh informasi
mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah
Mada Yogyakarta. Berikut kisi-kisi pedoman observasi yang digunakan
dalam penelitian ini,
Tabel 2. Kisi-kisi Pedoman Observasi
No Aspek yang diamati Pengamatan yang
dilakukan
Lokasi
Observasi
1 Tempat lokasi
penelitian
a. Letak geografis /
lokasi sekolah
b. Profil sekolah
SMA Gadjah
Mada
Yogyakarta
2
Implementasi
Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok
Mengamati penerapan
kebijakan kawasan
tanpa rokok
SMA Gadjah
Mada
Yogyakarta
46
3. Pedoman Studi Dokumentasi
Pedoman studi dokumentasi digunakan untuk memperoleh
tambahan data maupun informasi yang berhubungan dengan penelitian.
Studi dokumentasi diharapkan akan memperkuat data yang diperoleh dari
wawancara dan observasi. Pedoman studi dokumentasi yang digunakan
pada penelitian ini sebagai berikut :
Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Dokumentasi
No Aspek yang
dikaji
Indikator yang
dikaji Sumber Data
1 Kebijakan
Kawasan Tanpa
Rokok
a. Dasar hukum
kebijakan
b. Latar belakang
kebijakan
a. Peraturan Menteri
Pendidikan dan
Kebudayaan
Republik Indonesia
Nomor 64 Tahun
2015
b. Peraturan Gubernur
DIY Nomor 42
Tahun 2009
c. Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor
12 Tahun 2015
2
Pelaksanaan
Kebijakan
Kawasan Tanpa
Rokok di SMA
Gadjah Mada
Prosedur
pelaksanaan
kebijakan
Peraturan Menteri
Pendidikan dan
Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 64
Tahun 2015
F. Teknik Analisis Data
Bodgan dan Biklen dalam (Moleong, 2009: 248) menjelaskan bahwa
analisis data dalam penelitian kualitatif adalah mengumpulkan,
47
mengorganisasikan, mengklasifikasikan, dan memilah-milah data untuk
mendapatkan data yang penting menjadi sebuah informasi.
Teknik analisis data mempunyai tahap yang harus dilakukan setelah
proses pengumpulan data untuk memperoleh informasi yang baik yaitu: (1)
data reduction (reduksi data), (2) data display (interpretasi data), (3)
conclusion drawing/verification (penarikan kesimpulan). Sugiyono (2012:246-
252) menjelaskan tahap-tahap analisis data tersebut sebagai berikut :
1. Reduksi data
Tahap reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok,
mengklasifikasikan data pada hal-hal yang penting, dicari tema dan
polanya. Reduksi data menyederhanakan data hasil dari wawancara untuk
memperoleh data yang lebih fokus.
2. Penyajian data
Penyajian data dalam penelitian kualitatif berupa teks naratif dalam bentuk
uraian, bagan, hubungan antar variabel dan lain-lain. Penelitian ini akan
menyajikan uraian mengenai implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta.
3. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan dan verifikasi data adalah tahap ketiga dalam proses
analisis data. Verifikasi data dilakukan dalam penelitian secara
berkesinambungan untuk memperoleh kesimpulan dengan bukti yang kuat
dan bersifat kredibel.
48
G. Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data yang digunakan untuk menguji kredibilitas
informasi atas data yang diperoleh dari penelitian ini adalah trianggulasi.
Trianggulasi data yaitu pengecekkan data dengan membandingkan antara data
yang diperoleh. Pembandingan data yang sering dilakukan yaitu melalui
berbagai sumber yang berbeda (Djunaidi, 2012: 322).
Trianggulasi data pada penelitian ini melibatkan subyek penelitian.
Subyek penelitian yang pertama adalah kepala SMA Gadjah Mada
Yogyakarta. Subyek penelitian kedua yaitu guru dan karyawan SMA Gadjah
Mada Yogyakarta. Subyek penelitian ketiga adalah siswa SMA Gadjah Mada
Yogyakarta. Ketiga subyek di atas diharapkan dapat memberikan hasil yang
bersifat kredibel. Berikut adalah triangulasi sumber data pada penelitian ini,
Gambar 3. Triangulasi Sumber Data
Kepala SMA Gadjah
Mada Yogyakarta
Guru dan Karyawan
SMA Gadjah Mada
Yogyakarta
Siswa SMA Gadjah Mada
Yogyakarta
49
Triangulasi data dalam penelitian ini juga dilakukan pada teknik
pengumpulan data yaitu wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.
Triangulasi pada teknik pengumpulan data diharapkan dapat meningkatkan
keabsahan data yang diperoleh dari penelitian. Berikut adalah triangulasi teknik
pada penelitian ini,
Gambar 4. Triangulasi Teknik
Wawancara Studi Dokumentasi
Observasi
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Profil SMA Gadjah Mada Yogyakarta
a. Sejarah Sekolah
SMA Gadjah Mada Yogyakarta resmi didirikan pada tanggal 28
Februari 1982 di bawah naungan Yayasan Pendidikan Pioner
Yogyakarta. Nama SMA Gadjah Mada diambil dari nama Patih Gadjah
Mada yang merupakan Patih Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan
nama besarnya sebagai penyatu nusantara. Nama Gadjah Mada menjadi
harapan agar Sekolah Menengah Atas (SMA) tersebut tumbuh menjadi
besar, sebesar nama Patih Gadjah Mada.
SMA Gadjah Mada Yogyakarta pertama kali berdiri masih
menempati gedung sekolah SD Negeri Gedong Kuning, Banguntapan
Yogyakarta. SMA Gadjah Mada Yogyakarta menerima siswa baru
pertamanya pada tahun pelajaran 1982/1983. Satu tahun kemudian yaitu
tahun pelajaran 1983/1984 lokasi SMA Gadjah Mada berpindah tempat
dari SD Negeri Gedong Kuning, Banguntapan ke Jalan Langenastran Lor
No. 12 Langenastran Yogyakarta, sampai tahun pelajaran 1989/1990.
Tahun 1990/1991 SMA Gadjah Mada Yogyakarta berpindah
tempat dari SD Negeri Gedong Kuning, Banguntapan ke Jalan
langenastran Lor No. 12 Langenastran Yogyakarta ke Jalan Ibu Ruswo,
Yudonegaran GM II/208 yang merupakan wilayah milik Kraton
51
Yogyakarta, bersama dengan itu SMA Gadjah Mada Yogyakarta tidak
lagi berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Pioner dan berganti di
bawah Yayasan Lingkungan Hidup Yogyakarta. Tahun ajaran 2013/2014
Yayasan Lingkungan Hidup Yogyakarta melimpahkan seluruh aset dan
pengelolaannya kepada Yayasan Wahana Lingkungan. Profil SMA
Gadjah Mada Yogyakarta dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 4. Profil SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Nama Sekolah SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Nomor Statistik Sekolah (NSS) 304046010056
Alamat Sekolah Jl. Ibu Ruswo, Yudonegaran GM
II/208
Kecamatan Gondomanan
Kab/Kota Yogyakarta
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Kode Pos 55121
Telp/Faks (0274) 370305 dan (0274) 370305
ext 86
Status Sekolah Swasta
Nama Yayasan Yayasan Wahana Lingkungan
No. Akte Pendirian Terakhir AHU-8463.AH.01.04. Tahun 2013
Tahun Berdiri Sekolah 1982
Status Akreditasi Sekolah B / 2010
Sumber: dokumentasi profil sekolah SMA Gadjah Mada Yogyakarta
b. Visi dan Misi Sekolah
1) Visi SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Dengan semangat UUD 1945 pasal 31 tentang pendidikan,
butir pertama; tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
Dengan semangat serta kesabaran dan cinta kasih, SMA Gadjah Mada
bertekad untuk mendidik semua anak bangsa tanpa pengecualian
52
melalui peningkatan penguasaan terhadap Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi.
2) Misi SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Untuk mewujudkan visi, sekolah memiliki misi, sebagai berikut:
a) Meningkatkan motivasi belajar para siswa untuk mencapai standar
mutu pendidikan yang ideal
b) Membentuk watak dan budi pekerti siswa untuk menjadi manusia
Indonesia seutuhnya
c) Meningkatkan profesionalisme sumber Daya Manusia tenaga
edukatif maupun administratif
d) Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif
3) Tujuan Sekolah
Berdasarkan Visi dan Misi di atas pendidikan di SMA Gadjah Mada
bertujuan, membantu proses pembentukan siswa menjadi insan
beriman dan bertaqwa dalam kepribadian yang utuh, seimbang, jujur,
disiplin, mandiri, kreatif, bekerja keras mau melayani sesama untuk
kepentingan Bangsa, Negara dan Agama.
4) Pedoman Sekolah (Peraturan akademik, Kode Etik dan Tata
Tertib Sekolah)
Pedoman sekolah dibuat untuk mengatur berjalannya kegiatan
di sekolah. Berikut pedoman sekolah yang ada di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta untuk Guru, karyawan, dan tata tertib untuk siswa:
53
a) Guru
Diberitahukan kepada segenap Guru dan karyawan bahwa jam
kerja efektif SMA Gadjah Mada dimulai pukul 07.15 WIB s.d.
pukul 14.15 WIB. Untuk hari Jum’at pukul 07.15 WIB s.d 12.00
WIB, selanjutnya beberapa point berikut perlu diperhatikan untuk
anda, saya, dan kita bersama.
1) Guru mohon hadir di sekolah minimal 15 menit sebelum jam
pelajaran dimulai dan wajib mengisi daftar hadir.
2) Saat lonceng tanda masuk dibunyikan, Guru harus segera
meninggalkan ruang Guru menuju kelas sesuai dengan bidang
studi masing-masing di kelas masing-masing.
3) Semua Guru mohon membuat administrasi Guru yang lengkap
dan diketahui kepala sekolah.
4) Guru wajib mempersiapkan materi ajaran sesuai dengan
Rencana Pembelajaran (RP) dari pokok bahasan yang sedang
berjalan dan pada kahir pokok bahasan sebaiknya diadakan
ulangan harian dengan membuat soal dan kisi-kisi serta
dianalisis hasil ulangan tersebut.
5) Pada saat mengajar Guru sebaiknya berfungsi sebagai BK pada
awal dan akhir pelajaran.
6) Pada saat Guru mengajar tata tertib kelas menjadi tanggung
jawab Guru bidang studi.
54
7) Bila dengan terpaksa harus meninggalkan kelas, Guru wajib
memberi tahu/ijin kepala sekolah dan atau Guru piket.
8) Bila ada siswa yang karena perbuatannya dan harus keluar dari
kelas, Guru wajib memberitahukan kepada kepala sekolah atau
Guru piket atau BK.
9) Tidak diperkenankan memakai sandal, kaos atau sepatu tanpa
kaos kaki, dan berpakain rapi tidak diperkenankan memakai
celana jeans dan lain lain yang kurang pantas serta merokok bila
mengajar.
10) Tidak diperkenankan Guru mencukur rambut sampai
botak/plontos
11) Guru yang mendapat tugas tambahan Wakasek, BK, Wali
Kelas harus melaksanakan tugas tambahannya tanpa
melupakan tugas utama mengajar sesuai dengan peraturan
yang ada.
12) Guru yang mendapat tugas tambahan sebagai Wali Kelas wajib
hadir setiap hari Senin dan Jum’at, untuk mendampingi
kegiatan siswa dan memberi motivasi belajar.
b) Karyawan
1) Karyawan harus masuk setiap hari dan harus sudah hadir di
sekolah 15 menit sebelum jam kerja dimulai.
2) Mengisi daftar hadir pada saat masuk dan hendak pulang.
3) Tidak diperkenankan memakai kaos pada jam kerja.
55
4) Bila terpakasa meninggalkan kerja wajib memberi tahu Kepala
Sekolah.
5) Setiap karyawan diharapkan memiliki sikap suka menolong dan
setia kawan untuk kebersamaan dan keharmonisan komunitas.
c) Tata tertib untuk siswa
1) Mengikuti Pelajaran
a) Mengawali/mengakhiri waktu belajar dengan doa secara
nasional
b) Siswa wajib mengikuti semua pelajaran dari awal hingga
akhir
c) Siswa terlambat, wajib lapor Guru piket/BP
d) Siswa yang perlu meninggalkan sekolah sebelum pelajaran
berakhir harus mendapatkan ijin dari Kepala Sekolah atau
yang mewakili
e) Siswa yang tidak dapat masuk sekolah karena sakit atau
sebab lain wajib menyerahkan surat keterangan dokter atau
orangtua wali
f) Siswa absen 3 kali tanpa keterangan diskors atau dihukum
dalam bentuk lain yang setimpal
2) Administrasi Sekolah
a) Pendaftaran ulang untuk mendapatkan status sah sebagai
siswa harus sudah dilakukan 3 (tiga) hari sebelum tahun
pelajaran baru dimulai
56
b) Pembayaran SPP, BP-3 dan DPP dilakukan paling lambat
tanggal 10 untuk tiap-tiap bulan
c) Pembayaran SPP, BP-3 dan DPP diberi tanda bukti
pembayaran dan semua bentuk pengaduan mengenai
keuangan wajib menyertakan bukti tersebut
d) Keterlambatan pembayaran SPP, BP-3 dan DPP dikenakan
sanksi.
3) Pakaian/rambut
a) Setiap datang ke sekolah baik mengikuti pelajaran maupun
untuk urusan lain harus berpakaian seragam sekolah lengkap
dengan ketentuan sebagai berikut :
b) Hari Senin, Rabu, dan Sabtu memakai seragam Putih Abu-
abu dengan atributnya
c) Hari Selasa dan Kamis siswa memakai baju batik, celana
bebas tetapi bukan jins
d) Hari Jumat siswa memakai kaos olahraga SMA Gadjah Mada
Yogyakarta dan celana bebas tetapi bukan jeans.
e) Tata rambut siswa harus rapi, tidak menutupi dahi, telinga,
dan tengkuk.
4) Ketertiban dan Keamanan
a) Kendaraan siswa wajib ditempatkan dilokasi yang tersedia,
diatur, dan kunci.
57
b) Siswa dilarang menimbulkan gangguan suara kendaraan
bermotor pada saat KBM berlangsung
c) Siswa dilarang meminjamkan kendaraan baik kepada sesama
siswa maupun kepada Guru
d) Kendaraan yang hilang bukan tanggung jawab sekolah
e) Tamu yang ingin menemui siswa harus sepengetahuan
sekolah/Guru piket
f) Di lingkungan sekolah siswa tidak boleh merokok,
minum/membawa/mengedarkan minuman sesuai dengan
tujuan pendidikan
g) Di lingkungan sekolah siswa dilarang
membawa/mengedarkan gambar/bacaan yang tidak sesuai
dengan tujuan pendidikan
h) Di lingkungan sekolah siswa dilarang membawa/menyimpan
senjata tajam dan atau senjata lain yang dapat membahayakan
jiwa orang lain
i) Dilarang memindahkan perabotan tanpa ijin dari Pimpinan
Sekolah
j) Dilarang merusak perabotan yang ada baik disengaja atau
tidak disengaja
k) Dilarang mengotori/mencorat-coret dinding, meja, kursi
ataupun yang lainnya dalam bentuk apapun
58
l) Dilarang membawa/menghidupkan HP selama pelajaran
berlangsung
5) Sanksi Pelanggaran
Siswa yang ternyata melakukan pelanggaran terhadap tata
tertib siswa SMA Gadjah Mada Yogyakarta, dikenakan sanksi
sebagai berikut:
a) Mengganti perabotan, seharga perabotan yang dirusak,
dikotori atau dicorat-coret
b) Peringatan pertama, kedua, ketiga
c) Skorsing untuk jangka waktu tertentu
d) Dikeluarkan dari sekolah
5. Keadaan Sumber Daya Manusia
Untuk mencapai tujuan serta visi dan misi sekolah dengan
baik, sumber daya sangat diperlukan. Seluruh komponen sumber daya
bekerja sama untuk tercapainya tujuan dari sekolah. Berikut tabel
sumber daya yang dimilik SMA Gadjah Mada Yogyakarta:
Tabel 5. Keadaan sumber daya manusia SMA Gadjah Mada
Yogyakarta
No. Tugas Jumlah
1. Kepala Sekolah 1
2. Wakil Kepala Sekolah 3
3. Tata Usaha 2
4. Guru Mata Pelajaran 19
5. Guru Bimbingan dan Konseling 1
6. Pustakawan 1
7. Petugas Keamanan 1
8. Peserta didik 110
Jumlah 138
Sumber: dokumentasi profil sekolah SMA Gadjah Mada Yogyakarta
59
2. Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta
Implementasi kebijakan merupakan cara yang dilakukan olek pihak
berwenang untuk mencapai tujuan kebijakan. Implementasi kebijakan
mempunyai beberapa tahapan untuk mencapai tujuan. Charles O. Jones
menjelaskan ada tiga pilar tahapan dalam pelaksanaan kebijakan yaitu
pengorganisasian, interpretasi, dan aplikasi.
Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah
Mada tentu saja harus melewati tahapan pengorganisasian, interpretasi, dan
aplikasi. Berikut hasil penelitian mengenai beberapa tahapan yang dilalui
SMA Gadjah Mada Yogyakarta dalam implementasi kebijakan tersebut:
a. Tahap Pengorganisasian
Tahap pengorganisasian mempunyai maksud untuk pembentukan
tim pelaksana kebijakan dengan sumber daya yang ada beserta tugas
yang harus dilaksanakan oleh setiap pelaksana kebijakan. Tim pelaksana
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada adalah Guru
Bimbingan Konseling, Wali Kelas, dan Wakasek Kesiswaan serta
diawasi oleh Kepala Sekolah. Hal tersebut disampaikan oleh Bapak AE
selaku Pelaksana Tugas Kepala SMA Gadjah Mada Yogyakarta:
“Kalau tim khususnya yang menangani masalah rokok tidak ada.
Tapi itu nanti masuk dalam kenakalan peserta didik sehingga
yang menanggani program tersebut adalah Guru Bimbingan
Konseling dan Wali Kelasnya serta dibantu Wakasek
Kesiswaan. Kepala sekolah mengawasi pelaksanaannya”
(AE/05/05/2016)
60
Koordinasi pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
SMA Gadjah Mada dilakukan oleh Guru Bimbingan Konseling, Wali
Kelas, dan Wakasek Kesiswaan serta diawasi oleh Kepala Sekolah. Ibu
EM selaku Guru Bimbingan dan Konseling di SMA Gadjah Mada
menjelaskan koordinasi pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok
sebagai berikut:
“...untuk menanggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di
lingkungan sekolah terdapat koordinasi antara Kepala Sekolah,
Guru bimbingan konseling dan Wali Kelas serta dibantu
Wakasek Kesiswaan.” (EM/18/04/2016)
Tugas dari masing pelaksana kebijakan cukup sederhana yaitu
mengawasi perilaku siswa di lingkungan sekolah dan memberikan sanksi.
Wali Kelas mendapat tugas tambahan yaitu untuk pemasangan tanda
larangan merokok di kelasnya masing-masing. Peralatan yang digunakan
untuk melaksakan kebijakan tersebut adalah tanda dilarang merokok.
Berikut penjelasan yang disampaikan oleh Bapak AE selaku Pelaksana
Tugas Kepala Sekolah di SMA Gadjah Mada:
“Tugas dari tim untuk mensukseskan program tersebut hanya
mengawasi siswa di sekolah, jika ada siswa yang melanggar
akan diberikan sanksi. Guru Wali Kelas juga memasang tulisan
dilarang merokok di dalam kelas.” (AE/05/05/2016)
Hasil observasi di SMA Gadjah Mada menemukan Guru
Bimbingan dan Konseling yang sedang menegur siswa yang sedang
merokok di depan kelas. Guru Bimbingan dan Konseling memberikan
sanksi kepada siswa tersebut untuk mematikan rokoknya. Sanksi tersebut
belum bisa memberikan efek untuk menghentikan siswa merokok di
61
sekolah, karena masih ditemukan siswa lain yang merokok di sekolah
walaupun sudah diberi sanksi dari Guru Bimbingan dan Konseling.
Kesimpulan dari beberapa pendapat dan hasil observasi di atas
menunjukkan SMA Gajah Mada sudah membentuk tim untuk
melaksanakan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.
Tim yang ditunjuk oleh sekolah beranggotakan Guru Bimbingan
Konseling, Wali Kelas, Wakasek Kesiswaan, dan diawasi oleh Kepala
Sekolah. Tim tersebut berkoordinasi untuk melaksanakan kebijakan
sesuai dengan tujuan. .
b. Tahap Interpretasi
Tahap interpretasi merupakan tahap penjelasan mengenai tujuan
dari sebuah kebijakan. Penjelasan yang dimaksudkan agar kebijakan
mudah dipahami sehingga pelaksana kebijakan dan sasaran kebijakan
dapat melaksanakan dengan baik.
Penjelasan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah
Mada dilakukan dengan cara sosialisasi. Sosialisasi dilaksanakan saat
MOS. Berikut penjelasan dari Bapak AE selaku Pelaksana tugas Kepala
Sekolah di SMA Gadjah Mada Yogyakarta bahwa:
“Dulu pernah dilakukan sosialisasi kebijakan kawasan tanpa
rokok di sekolah waktu MOS dan setiap awal tahun pelajaran.
Untuk Guru cara mensosialisasikannya dengan cara
menyampaikan pada rapat, kalau mau merokok di sana
tempatnya jangan di ruangan Guru, apalagi perokok pasif
terkena akibatnya yang paling banyak dari perokok yang
merokok di sembarang tempat” (AE/05/05/2016)
62
Pernyataan tersebut diperjelas oleh Ibu EM selaku Guru Bimbingan dan
Konseling di SMA Gadjah Mada Yogyakarta yang menjelaskan,
“Pihak sekolah pernah melakukan sosialisasi mengenai
kebijakan tersebut saat rapat sekolah dan pada saat MOS atau
tahun ajaran baru yang dihadiri orang tua siswa.”
(EM/18/04/2016)
Tindak lanjut dari sosialisasi yang dilakukan oleh SMA Gadjah
Mada saat MOS mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok untuk saat
ini belum ada program khusus yang dibuat. Hal tersebut diungkapkan
oleh Ibu TE selaku Guru di SMA Gadjah Mada sebagai berikut:
“Sepertinya di sekolah ini belum ada program yang khusus
dibuat untuk menanggapi kawasan tanpa rokok di sekolah.”
(TE/20/04/2015)
Penjelasan di atas diperkuat oleh pendapat Ibu EM selaku Guru
Bimbingan dan Konseling sebagai berikut:
“Kalau dari pihak sekolah tidak ada program apa-apa, tetapi
kami melakukan pemasangan plang tidak merokok di kelas.
anak-anak tidak peduli. Kalau usaha kita ya bisa nya paling pas
pelajaran di kelas tidak boleh merokok dan menyuruh untuk
mematikan rokok atau menyarankan merokok ke kamar mandi.
Pihak sekolah tidak bisa ketat terhadap para perokok di sekolah
terutama pada siswa, karena beberapa siswa tidak akan masuk
sekolah jika tidak boleh merokok di sekolah. “ (EM/18/04/2016)
Pendapat lain disampaikan oleh Bapak AE selaku Pelaksana Tugas Kepala
Sekolah di SMA Gadjah Mada sebagai berikut :
“...sekolah sudah memasukan larangan merokok di sekolah pada
tata tertib. Pelaksanaan tata tertib diawasi oleh Kepala Sekolah
dibantu Guru dan karyawan. Pihak sekolah juga sudah
memasang tanda dilarang merokok.” (AE/05/05/2016)
Hasil pencermatan dokumen tata tertib sekolah menunjukkan
kebenaran sudah dicantumkan larangan merokok di tata tertib sekolah.
63
Tata tertib yang berlaku belum bisa dipatuhi sepenuhnya oleh warga
sekolah. Hasil observasi di SMA Gadjah Mada menunjukkan terdapat
beberapa siswa yang merokok di koridor sekolah dan seorang guru yang
merokok di ruang guru. Perilaku yang ditunjukkan oleh guru dan siswa
tersebut belum sesuai dengan tata tertib yang dibuat oleh pihak SMA
Gadjah Mada. Berikut hasil dokumentasi observasi di SMA Gadjah
Mada:
Gambar 5. Siswa merokok di koridor sekolah
Hasil observasi di SMA Gadjah Mada tidak menemukan kegiatan
khusus yang dibuat oleh pihak sekolah untuk menanggapi Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah. Pelaksana kebijakan
seperti Wali Kelas dan Guru BK hanya memberikan sanksi teguran dan
menyuruh untuk mematikan bagi siswa maupun guru yang merokok di
sekolah.
Kesimpulan dari beberapa pendapat dan hasil observasi di atas
menunjukkan bahwa tahap interpretasi implementasi Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada menggunakan sosialisasi.
64
Sosialisasi dilaksanakan saat MOS dengan mengundang orang tua siswa.
Sosialisasi sebelumnya juga sudah dilakukan terlebih dahulu kepada
Guru saat rapat sekolah. Tindak lanjut dari sosialisasi yang dilakukan
oleh pihak sekolah sampai saat ini belum ada program khusus untuk
menangani pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA
Gadjah Mada.
c. Tahap Aplikasi
Tahap aplikasi merupakan tahap pelaksanaan setelah tahap
pengorganisaian dan tahap interpretasi dilakukan. Tahap aplikasi
mencakup semua hal yang berhubungan dengan cara pelaksana
mengatasi masalah atau meningkatkan mutu pada sasaran kebijakan
termasuk di dalamnya berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi
pelayanan, pembayaran atau yang lainnya yang disesuaikan dengan
tujuan atau perlengkapan program.
Tahap aplikasi yang dilakukan oleh SMA Gadjah Mada untuk
menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan
Sekolah sudah dimulai sejak adanya Pergub DIY Nomor 42 Tahun 2009
tentang kawasan tanpa rokok. Informasi tersebut didapatkan saat
wawancara dengan Bapak AE selaku Pelaksana Tugas Kepala Sekolah di
SMA Gadjah Mada Yogyakarta:
“Pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini
sejak diberlakukanya Pergub DIY tentang kawasan tanpa rokok
yang di dalamnya sekolah termasuk tempat yang dimaksud.”
(AE/05/05/2016)
65
Anggaran yang digunakan untuk pelaksanaan Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada menggunakan anggaran sosialisasi
yang dilakukan saat MOS, untuk peralatan yang digunakan untuk
melaksnakan kebijakan tersebut menggunakan tanda dilarang merokok
dan pemasangan tanda dilarang merokok menggunakan anggaran
peralatan kelas. Berikut penjelasan Ibu MV selaku Karyawan di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta:
“Untuk anggarannya kami masukkan dalam anggaran sosialisasi
awal MOS dan pemasangan tanda dilarang merokok kita
ambilkan dari anggaran peralatan kelas.” (MV/03/05/2016)
Hal tersebut diperkuat oleh Ibu TE selaku Guru dan Wali Kelas di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta sebagai berikut:
“Untuk anggaran mungkin tidak ada ya mas. Sosialisasinya
menggunakan dana saat pengenalan sekolah atau MOS dan
pemasangan tanda dilarang merokok menggunakan dana lain
lain di peralatan kelas.” (TE/20/04/2016)
Hasil observasi di SMA Gadjah Mada, belum ditemukan tanda
dilarang merokok yang dimaksud oleh Ibu MV dan Ibu AE. Tanda
dilarang merokok seharusnya berada di dalam kelas. Beberapa siswa
mengaku tahu jika ada tanda tersebut di dalam kelas, namun ada siswa
yang dengan sengaja mencopot tanda dilarang merokok. Berikut
penjelasan dari AI selaku siswa di SMA Gadjah Mada:
“Memasang tulisan dilarang merokok di kelas mas, tetapi itu
juga tidak berpengaruh pada kami yang merokok dan ada juga
yang dicopot lagi sama teman-teman.” (AI/25/04/2016)
Kesimpulan dari beberapa pendapat dan hasil observasi di atas
adalah pihak sekolah sudah mulai melaksanakan Kebijakan Kawasan
66
Tanpa Rokok sejak diberlakukannya Pergub Nomor 42 tahun 2009.
Program lanjutan untuk menanggapi kebijakan tersebut belum ada namun
pihak sekolah sudah memasang tanda dilarang merokok sesuai dengan
Permendikbud Nomor 64 tahun 2015 tentang Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Lingkungan Sekolah. Pelaksanaan kebijakan kawasan tersebut
masih terjadi pelanggaran karena masih ada siswa dan guru yang
merokok di sekolah. Anggaran yang digunakan untuk pelaksanaan
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada menggunakan
anggaran sosialisasi yang dilakukan saat MOS, untuk peralatan yang
digunakan adalah tanda dilarang merokok dan pemasangan tanda
dilarang merokok menggunakan anggaran peralatan kelas
3. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Implementasi kebijakan merupakan cara yang dilakukan untuk
mencapai sebuah tujuan pada suatu kebijakan. Model Edward III dalam
buku Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi (Subarsono,
2012: 90-92) menjelaskan terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap
keberhasilan dan kegagalan pada implementasi kebijakan. Empat faktor
tersebut adalah komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokasi.
a. Komunikasi
Komunikasi merupakan faktor penting pertama dalam
implementasi kebijakan. Komunikasi bertujuan untuk memberikan
informasi dari pihak yang berwenang kepada pelaksana kebijakan
67
tentang maksud dari implementasi kebijakan. Pelaksana Kebijakan
Kawasan Tanpa Asap Rokok di Lingkungan Sekolah adalah Kepala
Sekolah, Guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan pihak lain di
dalam lingkungan sekolah.
Pihak sekolah mempunyai wewenang atau tugas untuk
mengkomunikasikan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah
kepada semua warga sekolah. Model Edward III mengemukakan bahwa
komunikasi kebijakan terdiri dari 3 dimensi yaitu dimensi transisi
(transmision), dimensi kejelasan (clarity), dimensi konsistensi
(consistency).
1) Dimensi transisi mengharapkan agar kebijakan disampaikan kepada
sasaran kebijakan agar tujuan dari kebijakan dapat dipahami dan
dilaksanakan dengan baik. Sosialisasi menjadi alat komunikasi SMA
Gadjah Mada Yogyakarta untuk menyampaikan kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok di Sekolah. Kegiatan sosialisasi pernah dilakukan pihak
sekolah. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Bapak AE selaku
Pelaksana tugas Kepala Sekolah di SMA Gadjah Mada Yogyakarta
bahwa:
“Dulu pernah dilakukan sosialisasi kebijakan kawasan tanpa
rokok di sekolah waktu MOS dan setiap awal tahun pelajaran.
Untuk Guru cara mensosialisasikannya dengan cara
menyampaikan pada rapat, kalau mau merokok di sana
tempatnya jangan di ruangan Guru, apalagi perokok pasif
terkena akibatnya yang paling banyak dari perokok yang
merokok di sembarang tempat.” (AE/05/05/2016)
68
Pernyataan tersebut diperjelas oleh Ibu EM selaku Guru Bimbingan
dan Konseling di SMA Gadjah Mada Yogyakarta yang menjelaskan,
“Pihak sekolah pernah melakukan sosialisasi mengenai
kebijakan tersebut saat rapat sekolah dan pada saat MOS atau
tahun ajaran baru yang dihadiri orang tua siswa. Menurut saya
sosialisasi yang dilakukan tidak berguna karena yang dulu
Kepala Sekolahnya menyediakan suatu tempat untuk merokok
di lingkungan sekolah. Sekarang dengan pergantian Kepala
Sekolah mencoba untuk menghilangkan tempat tersebut.”
(EM/18/04/2016)
Hal serupa juga dikemukakan oleh Ibu TE selaku Guru di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta:
“Ya pernah, pernah ada sosialisasi kepada orang tua siswa
pada saat penerimaan siswa baru. Sosialisasi berupa
pembinaan dan penjelasan tentang kebijakan kawasan tanpa
rokok di sekolah“ (TE/20/04/2016)
Kegiatan sosialisasi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta dilakukan pada saat Masa Orientasi Sekolah
(MOS) dan tahun ajaran baru. Sosialisasi dilakukan dengan cara
mengumpulkan orang tua di sekolah. Sosialisasi merupakan sarana
komunikasi yang penting karena suatu informasi dalam kebijakan
akan tersampaikan dengan baik kepada sasaran dan akan
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan.
2) Dimensi kejelasan dalam komunikasi kebijakan menginginkan
kebijakan dapat dimengerti oleh implementator dan sasaran kebijakan.
Kejelasan yang diterima oleh implementator dan sasaran kebijakan
sangat penting agar mengetahui tujuan dan maksud dari kebijakan
tersebut. Beberapa siswa mengaku tidak tahu akan adanya kebijakan
69
tersebut tetapi mereka paham bahwa merokok di sekolah itu tidak
boleh. Seperti yang dijelaskan oleh AI siswa SMA Gadjah Mada
Yogyakarta sebagai berikut:
“...Saya tidak tahu mas kalau ada peraturan seperti itu di
sekolah ini, tapi saya tahu kalau merokok di sekolah itu
memang tidak boleh.” (AI/25/04/2016)
Pendapat diperjelas oleh Ibu TE selaku Guru di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta:
“...Sosialisasi peraturan tanpa rokok di sekolah saya rasa masih
kurang jelas karena masih ada beberapa siswa yang merokok
di lingkungan sekolah seperti tidak tahu kalau ada peraturan
seperti itu.” “ (TE/20/04/2016)
Hasil observasi di lapangan juga menjumpai beberapa siswa
merokok di koridor sekolah. Selain itu dijumpai beberapa puntung
rokok beserta bungkusnya dibuang sembarangan di depan koridor
kelas. Hal tersebut menunjukan bahwa siswa sudah terbiasa merokok
di koridor sekolah. Berikut beberapa foto hasil observasi
menunjukkan hal yang sudah disampaikan di atas:
Gambar 6. Siswa merokok
di koridor sekolah
Gambar 7. Puntung dan bungkus
rokok di sekitar koridor sekolah
70
Beberapa informasi di atas dapat disimpulkan bahwa
penyampaian kebijakan kawasan tanpa rokok masih belum jelas.
Pemahaman mengenai kebijakan tersebut khususnya pada siswa
kemungkinan dapat terhambat apabila orang tua siswa tidak
menyampaikan kebijakan tersebut kepada anaknya karena sosialisasi
yang diadakan ditujukan untuk orang tua siswa.
3) Dimensi konsistensi dalam komunikasi kebijakan menginginkan
implementasi kebijakan berjalan efektif dengan perintah-perintah yang
jelas dan konsisten. Dimensi konsistensi di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta belum bisa dianggap sebagai sikap konsisten karena
terdapat sebuah tempat berada di dalam lingkungan yang digunakan
khusus untuk merokok. Tempat yang dimaksud terletak tidak jauh dari
ruang kelas. Tempat khusus merokok tersebut merupakan kebijakan
dari Kepala Sekolah lama yang bertujuan untuk memberikan ruang
kepada Guru dan karyawan termasuk siswa yang merokok. Hal
tersebut sesuai dengan hasil wawancara kepada Ibu EM selaku Guru
Bimbingan dan Konseling di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai
berikut:
“....Dulu ada tempat khusus merokok yang dibuat oleh Kepala
Sekolah yang lama, soalnya Kepala Sekolah yang lama juga
merokok. Tempat itu ditujukan agar mereka yang rokok tidak
menggangu yang tidak merokok jadi pas jam istirahat pada
ngumpul di tempat itu. Pada ngrokoknya di kawasan itu karena
sejuk dan bisa bersantai. Lalu kita tebang aja itu pohonnya.
Kita mengusirnya dari situ susah karena enak. Akhirnya
pohonnya kita tebang, akhirnya sekarang merokok sedikit,
terus ya sudah dimatikan.” (EM/18/04/2016)
71
Pendapat yang lain disampaikan oleh Bapak AE selaku Pelaksana
tugas Kepala Sekolah di SMA Gadjah Mada Yogyakarta mengenai
adanya tempat khusus merokok di sekolah sebagai berikut:
“Kalau saya sendiri memang setuju ada tempat khusus untuk
membuat Guru ataupun siswa tidak merokok di sembarang
tempat. Kalau tidak disediakan, akan merugikan yang tidak
merokok juga karena beberapa dari siswa merokok di
sembarang tempat.” (AE/05/05/2016)
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa tidak adanya
konsistensi antara kebijakan yang diberlakukan dengan kenyataan
yang ada di lapangan. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah
jelas menegaskan bahwa lingkungan sekolah merupakan kawasan
tanpa rokok. Studi dokumentasi pada tata tertib sekolah juga
menunjukkan hasil yang tidak konsisten karena pada tata tertib
sekolah tercantum pada aspek ketertiban dan keamanan menjelaskan
bahwa di lingkungan sekolah siswa tidak boleh merokok,
minum/membawa/mengedarkan minuman keras, obat-obat terlarang
atau sejenisnya.
Data yang didapatkan dari observasi di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta menunjukkan tidak konsistennya pihak sekolah terhadap
kebijakan kawasan tanpa rokok karena dijumpai seorang Guru yang
merokok di ruang Guru. Hasil wawancara juga mendapatkan
pengakuan dari Bapak AB selaku Wakasek Kesiswaan di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta sebagai berikut :
”Saya sering merokok di sekolah tetapi saya merokoknya pada
saat tidak mengajar di kelas. Biasanya saya merokok di ruang
72
Guru waktu jeda mengajar atau pada waktu istirahat.”
(AB/26/04/2016)
Hal tersebut mengindikasikan konsistensi pelaksanakan
kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada tidak berjalan
dengan baik karena terdapat beberapa Guru sebagai implementator
justru menunjukkan sikap tidak sejalan dengan kebijakan tersebut
dengan merokok di lingkungan sekolah.
b. Sumber Daya
Sumber daya mempunyai peran yang sangat berpengaruh dalam
implementasi sebuah kebijakan. Sumber daya yang tersedia diharapkan
mendukung implementasi kebijakan, jika sumber daya tidak mendukung
tentu saja akan menghambat pelaksanaan kebijakan. Sarana penunjang
yang tepat juga dapat memaksimalkan tujuan dari sebuah kebijakan.
Sumber daya pada proses implementasi kebijakan kawasan tanpa
rokok di sekolah berhubungan dengan kesiapan dari pihak pelaksana.
Sumber daya tersebut dapat berupa sumber daya manusia, sumber daya
anggaran, sumber daya peralatan, dan sumber daya kewenangan. Berikut
hasil penelitian mengenai sumber daya implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta:
1) Sumber daya manusia dari pihak sekolah dapat dilihat dari jumlah
staff yang menangani kebijakan tersebut, keahlian yang dimiliki
anggota pelaksana, informasi yang relevan tentang implementasi
kebijakan dan persiapan lainnya. Sumber daya manusia yang
digunakan sebagai pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di
73
sekolah adalah Guru Bimbingan Konseling dan Guru Wali Kelas
dibantu Wakasek Kesiswaan. Berikut penjelasan dari Bapak AE
selaku Pelaksana Tugas Kepala SMA Gadjah Mada Yogyakarta:
“Kalau tim khususnya yang menanggani masalah rokok tidak
ada. Tapi itu nanti masuk dalam kenalakan peserta didik
sehingga yang menanggani program tersebut adalah Guru
Bimbingan Konseling dan Wali Kelasnya. Dibantu Wakasek
Kesiswaan.” (AE/05/05/2016)
Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Bapak AB selaku Wakasek
Kesiswaan di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai berikut:
“Koordinasi pelaksanaan menanganai kebijakan tersebut
sebagian besar dilakukan oleh Guru Bimbingan Konseling dan
Wali Kelas.” (AB/26/04/2016)
Saat ini jumlah anggota yang menangani Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sudah cukup namun
terkendala dengan beberapa Guru yang juga mengajar di sekolah lain.
Keadaan tersebut membuat koordinasi sekolah menjadi terhambat.
Informasi tersebut diperoleh saat wawancara dengan Ibu TE selaku
Guru di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai beikut:
“Guru-Guru di sini ada juga yang mengajar di sekolah lain,
untuk kebijakan-kebijakan seperti itu menunggu forum. Hal-
hal mengenai kebijakan dapat disampaikan saat rapat.” “
(TE/20/04/2016)
Kesiapan sumber daya manusia dalam implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta menggunakan
Guru Bimbingan dan Konseling karena pelanggaran yang dilakukan
termasuk dalam kenalakan pelajar. Guru wali kelas dibantu oleh
74
Wakasek Kesiswaan ikut mengawasi pelaksanaan kebijakan, namun
saat ini sumber daya manusia yang ada belum bisa dimaksimalkan.
2) Sumber daya anggaran dalam pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa
rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sudah cukup karena program
dari sekolah tidak membutuhkan pendanaan yang besar. Pendanaan
untuk program hanya terdapat pada pemasangan tanda dilarang
merokok. Pemasangan tanda dilarang merokok menggunakan
anggaran peralatan kelas. Hal tersebut disampaikan oleh Bapak AE
selaku pelaksana tugas Kepala Sekolah.
“Untuk anggaran program tersebut pihak sekolah tidak
menganggarkan khusus karena programnya tidak
membutuhkan biaya. Pemasangan tulisan dilarang merokok
hanya menggunakan dana lain-lain yang termasuk dalam
peralatan kelas.” (AE/05/05/2016)
Hal tersebut diperkuat oleh pendapat dari Ibu EM selaku Guru
Bimbingan dan Konseling sebagai berikut:
“Anggarannya kami jadikan satu dengan sosialisasi maupun
rapat. Untuk pemasangan gambar dilarang merokok itu
menggunakan uang peralatan kelas.” (EM/18/04/2016)
Anggaran dalam pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok
sudah termasuk ke dalam anggaran sosialisasi saat awal tahun ajaran
baru atau MOS dan termasuk ke dalam anggaran rapat. Pengadaan
tanda dilarang merokok menggunakan anggaran peralatan kelas.
3) Sumber daya peralatan yang digunakan untuk melaksanakan
kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada hanya
menggunakan tanda dilarang merokok dan untuk selebihnya
75
menggunakan sumber daya manusia yang tersedia yaitu Guru
Bimbingan Konseling dan Walikelas dibantu oleh Wakasek
Kesiswaan diawasi oleh Kepala Sekolah. Tidak ada peralatan khusus
dari sekolah karena tidak ada program khusus untuk menangani
kebijakan tersebut.
Hasil observasi di SMA Gadjah Mada tidak ditemukan tanda
dilarang merokok, namun menurut beberapa siswa tanda tersebut
memang ada tetapi sering dicopot oleh siswa. Berikut penjelasan dari
AI selaku siswa di SMA Gadjah Mada:
“Memasang tulisan dilarang merokok di kelas mas, tetapi itu
juga tidak berpengaruh pada kami yang merokok dan ada
juga yang dicopot lagi sama teman-teman.” (AI/25/04/2016)
4) Sumber daya kewenangan yang berada di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta menjadi tugas dari Kepala Sekolah. Kepala Sekolah
mempunyai kewenangan untuk mengatur pelaksanaan kebijakan
kawasan tanpa rokok di sekolah. Sumber daya kewenangan di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta kurang maksimal dalam pelaksanaan
kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah. Selain sosialisasi, belum
ada program dari sekolah yang mendukung implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Hal tersebut
dijelaskan oleh Bapak AE selaku Pelaksana tugas Kepala Sekolah di
SMA Gadjah Mada Yogyakarta:
“Programnya hanya tidak boleh merokok di lingkungan
sekolah, sesuai dengan program yang ada. Tetapi pada waktu
jam istirahat, anak-anak juga merokok di luar sekolah. Nah
76
daripada merokok diluar ketahuan pihak luar sekolah, makanya
dilokalisir di dalam lingkungan sekolah saja. Kalau saya
sendiri sih, karena saya tidak merokok, lebih nyaman kalau
tidak ada yang merokok” (AE/05/05/2016)
Pernyataan yang sama disampaikan oleh Ibu EM selaku Guru
Bimbingan dan Konseling di SMA Gadjah Mada Yogyakarta yang
menjelaskan,
“Kalau dari pihak sekolah tidak ada program apa-apa, tetapi
kami melakukan pemasangan plang tidak merokok di kelas.
anak-anak tidak peduli. Kalau usaha kita ya bisa nya paling pas
pelajaran di kelas tidak boleh merokok dan menyuruh untuk
mematikan rokok atau menyarankan merokok ke kamar mandi.
Pihak sekolah tidak bisa ketat terhadap para perokok di
sekolah terutama pada siswa, karena beberapa siswa tidak akan
masuk sekolah jika tidak boleh merokok di sekolah.”
(EM/18/04/2016)
Hal serupa juga dikemukakan oleh Ibu TE selaku Guru di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta:
“Sepertinya di sekolah ini belum ada program yang khusus
dibuat untuk menanggapi kawasan tanpa rokok di sekolah.”
(TE/20/04/2016)
Sumber daya yang ada belum bisa untuk memaksimalkan
pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta. Belum ada sumber daya kewenangan dari Kepala
Sekolah yang dapat mengkontrol siswa maupun Guru merokok di
sekolah. Jadi, kesiapan dari pihak sekolah masih kurang.
c. Disposisi atau sikap
Disposisi atau sikap adalah karakteristik dari pelaksana kebijakan.
Hal ini berkaitan dengan bagaimana karakteristik pelaksana yang
mendukung atau menolak kebijakan. Pelaksana diharapkan memliki
77
kapasitas untuk melaksanakan kebijakan. Pelaksana kebijakan yang
terpilih sesuai dengan kapasitasnya harus mempunyai komitmen yang
kuat untuk melaksanakan kebijakan.
Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah meliputi
Kepala Sekolah, Wakasek kesiswaan, Guru bimbingan konseling, dan
wali kelas. Pihak – pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di sekolah diharapkan memiliki dedikasi untuk
melaksanakan tanggung jawab tersebut. Kepala Sekolah memiliki
tanggung jawab mengawasi dan mensukseskan kebijakan tersebut dengan
bekerja sama dengan seluruh Guru dan karyawan. Pihak sekolah
melakukan upaya untuk mensosialisasikan kebijakan kawasan tanpa
rokok di sekolah kepada kelompok sasaran, pemasangan papan tanda
larangan dilarang merokok di kawasan sekolah. Sikap pelaksana
kebijakan di SMA Gadjah Mada Yogyakarta masih belum menunjukkan
dukungan penuh terhadap pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di
sekolah, hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara dengan Ibu EM
selaku Guru Bimbingan dan Konseling di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta:
“...Dulu jika akan menerapkan kebijakan kawasan tanpa rokok
belum bisa maksimal dan terkesan enggak mempan karena
Kepala Sekolah yang dulu malah menerapkan kebijakan bebas
rokok di sekolah yang bertempat di belakang kelas yang terdapat
pohon rindang yang menurut siswa asik untuk nongkrong”
(EM/18/04/2016)
Hasil observasi dilapangan juga menemukan guru yang sedang
merokok di sekolah. Guru tersebut merokok di ruang guru yang termasuk
78
dalam lingkungan sekolah. Hal tersebut menunjukkan sikap yang tidak
sejalan dengan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan
Sekolah. Hasil wawancara juga menemukan pengakuan dari guru yang
merokok tersebut. Guru tersebut ternyata adalah Wakasek Kesiswaan di
SMA Gadjah Mada. Berikut pengakuan dari Bapak AB terkait perilaku
merokok di ruang guru:
“Saya sering merokok di sekolah tetapi saya merokoknya pada
saat tidak mengajar di kelas. Biasanya saya merokok di ruang
guru waktu jeda mengajar atau pada waktu istirahat.”
(AB/26/04/2016)
Pendapat pelaksana kebijakan terhadap pelaksanaan Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada bermacam-macam.
Beberapa guru setuju dengan adanya kebijakan tersebut, namun ada juga
yang tidak setuju melihat kondisi siswa yang ada di SMA Gadjah Mada.
Berikut pebdapat dari Ibu EM selaku Guru Bimbingan dan Konseling di
SMA Gadjah Mada Yogyakarta:
“Kalau saya tidak setuju mas jika ada tempat khusus merokok
di sekolah, tetapi mau bagaimana lagi melihat kondisi siswa
yang memang sudah tidak bisa diatur lagi untuk tidak merokok
di sekolah...” (EM/18/04/2016)
Tanggapan lain disampaikan oleh Bapak AE selaku Pelaksana Tugas
Kepala Sekolah di SMA Gadjah Mada Yogyakarta,
“Kalau saya sendiri memang setuju ada tempat khusus untuk
membuat Guru ataupun siswa tidak merokok di sembarang
tempat. Kalau tidak disediakan, akan merugikan yang tidak
merokok juga karena beberapa dari siswa merokok di
sembarang tempat. Menurut saya sendiri, sepanjang daerah-
daerah tertentu masih banyak tumbuhan, tidak ada masalah.
Tapi kalau untuk daerah yang tidak ada tanaman tapi disitu ada
asap rokok, daerah seperti itulah yang berkewajiban menjadikan
79
daerah tanpa rokok. Tidak bisa melarang orang untuk berhenti
rokok, ada sekian ribu orang yang hidup dari rokok, kasihan
kalau dilarang, mereka-mereka yang hidup dari rokok. Cuma
sebagai perokok, harus bisa menempatkan diri supaya tidak
menggangu yang lain” (AE/05/05/2016)
Bapak AB selaku Wakasek Kesiswaan memberikan tanggapan mengenai
adanya tempat khusus merokok sebagai berikut:
“ Tempat khusus untuk merokok menurut saya itu perlu karena
bagi seorang perokok jika tidak merokok rasanya pahit. Tempat
khusus merokok di sekolah ini memang diperlukan karena
beberapa Guru ada yang merokok termasuk saya, tetapi yang saya
kurang suka yaitu banyak siswa yang merokok di sekolah ini.
Kebiasaan merokok mereka didapatkan saat masih berada di
sekolah lamanya atau waktu masih SMP. Sebenarnya tempat
khusus untuk merokok di sekolah ini untuk memberi tempat para
perokok agar tidak merokok di sembarang tempat, tetapi dari
masyarakat banyak mendapat tanggapan yang tidak baik.”
(AB/26/04/2016)
Hasil observasi menemukan adanya lokasi yang digunakan oleh
pihak sekolah sebagai tempat khusus untuk merokok. Lokasi tersebut
berada tidak jauh dari ruang guru. Berikut foto hasil observasi yang
menunjukan tempat khusus merokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta :
Gambar 8. Tempat khusus merokok
Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa
sikap atau disposisi pelaksana kebijakan di SMA Gadjah Mada ini belum
bisa sesuai dengan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah. Terdapat
kebijakan dari mantan Kepala Sekolah untuk membuat tempat khusus
80
untuk merokok di sekolah. Guru Bimbingan dan Konseling memberikan
pendapat tidak setuju dengan adanya kebijakan tersebut, namun tidak
bisa berbuat banyak karena kondisi siswa yang memang suadah
mempunyai kebiasaan merokok yang susah untuk diatur. Keadaan siswa
yang seperti itu juga dipersulit dengan pendapat Kepala Sekolah yang
setuju jika ada tempat khusus merokok walaupun ada upaya untuk
menghilangkan tempat tersebut.
d. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi jelas mempengaruhi keberhasilan kebijakan
karena melibatkan banyak pihak di dalamnya. Beberapa pihak yang
terlibat dalam pelaksanaan kebijakan akan bersinergi membentuk struktur
birokrasi untuk mewujudkan implementasi kebijakan sesuai dengan
tujuan. Struktur birokrasi memiliki pemimpin yang mempunyai peran
sebagai penanggung jawab. Pemimpin struktur birokrasi dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta adalah Kepala Sekolah, namun karena Kepala Sekolah yang
lama sudah meninggal dunia saat ini sementara digantikan oleh pelaksana
tugas Kepala Sekolah.
Sebuah implementasi kebijakan tentu saja memiliki Standart
Operating Procedure (SOP). SOP digunakan sebagai pedoman oleh
pelaksana kebijakan dalam melaksanakan tugasnya. Implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta tidak
sepenuhnya serupa dengan SOP, hanya dilakukan secara sederhana
81
seperti yang dijelaskan oleh Bapak AE selaku Pelaksana Tugas Kepala
Sekolah di SMA Gadjah Mada Yogyakarta,
“Untuk SOPnya kebijakan kawasan tanpa rokok ini mungkin kita
belum menjalankan sebagaimana mestinya, namun sekolah sudah
memasukan larangan merokok di sekolah pada tata tertib.
Pelaksanaan tata tertib diawasi oleh Kepala Sekolah dibantu Guru
dan karyawan. Pihak sekolah juga sudah memasang tanda dilarang
merokok. Tidak ada pedoman dari sekolah untuk melaksanakan
kebijakan tanpa rokok, hanya untuk melokalisasi para perokok
supaya tidak menggangu yang tidak merokok.. Jadi oleh Kepala
Sekolah yang almarhum, disediakan tempat khusus untuk merokok
di lingkungan sekolah, ada pohon rindang jadi asapnya bisa
dinetralkan. Sehingga tempat tersebut dijadikan kawasan khusus
untuk merokok. Namun untuk saat ini pihak sekolah
mengupayakan untuk menghilangkan kawasan khusus merokok
tersebut.” (AE/05/05/2016)
Pelaksanaan kebijakan tersebut mempunyai tim yang terdiri dari
Guru bimbingan konseling, Guru walikelas dibantu Wakasek Kesiswaan
dan diawasi oleh Kepala Sekolah. Tugas dari tim tersebut dijelaskan oleh
Bapak AE selaku Kepala Sekolah di SMA Gadjah Mada sebagai berikut:
“Tugas dari tim untuk mensukseskan program tersebut hanya
mengawasi siswa di sekolah, jika ada siswa yang melanggar akan
diberikan sanksi. Guru Wali Kelas juga memasang tulisan dilarang
merokok di dalam kelas.” (AE/05/05/2016)
Untuk menjalankan kebijakan tersebut perlu dilakukan koordinasi.
Berikut penjelasan dari Ibu EM selaku Guru Bimbingan dan Konseling di
SMA Gadjah Mada mengenai koordinasi pelaksanaan kebijakan kawasan
tanpa rokok:
“...untuk menanggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di
lingkungan sekolah terdapat koordinasi antara Kepala Sekolah,
Guru bimbingan konseling dan Wali Kelas.” (EM/18/04/2016)
82
Hal tersebut diperkuat dengan pendpat Ibu TE selaku Guru di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta:
“Koordinasi untuk menanggapi kebijakan tersebut dilakukan oleh
Guru Wali Kelas dengan Guru bimbingan dan konseling diawasi
oleh Kepala Sekolah.” (TE/20/04/2016)
Koordinasi yang dilakukan pihak sekolah dalam pelaksanaan
kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah melibatkan Guru bimbingan
dan konseling, Guru Wali Kelas dan Wakasek Kesiswaan serta diawasi
oleh Kepala Sekolah. Koordinasi antar anggota disesuaikan dengan tugas
masing-masing.
Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa
belum ada pedoman yang jelas dari pihak sekolah untuk mengatur
pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.
Pihak sekolah sudah melaksanakan perintah untuk memasukan larangan
merokok di lingkungan sekolah pada tata tertib sekolah, selain itu pihak
sekolah juga telah memasang tanda dilarang merokok di sekolah.
Tim pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah
Mada terdiri dari Guru Bimbingan Konseling, Wali Kelas, Wakasek
Kesiswaan dan Kepala Sekolah. Tugas pelaksana kebijakan disini adalah
mengawasi siswa di sekolah, jika ada siswa yang melanggar akan
diberikan sanksi. Guru Wali Kelas mempunyai tugas memasang tulisan
dilarang merokok di dalam kelas serta mengawasi siswa agar tidak
merokok di kelas. Koordinasi pelaksanaan kebijakan tersbut dimulai dari
83
Wali Kelas dan Guru bimbingan konseling dibantu Wakasek Kesiswaan.
Pelaksanaan kebijakan tersebut diawasi oleh Kepala Sekolah.
4. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
di SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta kurang berjalan dengan baik. Pelaksanaan kebijakan tersebut
masih memiliki beberapa kendala yang dihadapi. Kendala yang dihadapi
mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan kawasan tanpa rokok di sekolah.
Kendala yang menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut dijelaskan oleh
Bapak AE selaku Pelaksana Tugas Kepala Sekolah di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta :
“Faktor penghambat dalam pelaksanaan program tersebut yang
jelas siswa sudah terbiasa dengan rokok. Banyak siswa yang
berhenti rokok sebentar, tetapi pikirannya menjadi tidak bisa fokus.
Guru pun juga begitu. Mungkin mereka akan berhenti, kalau sudah
terkena penyakit seperti jantung, dll.” (AE/05/05/2016)
Kendala lain juga dijelaskan oleh Ibu EM selaku Guru Bimbingan dan
Konselng di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai berikut :
“Penghambatnya berasal dari input siswa yang masuk ke sekolah
ini sebagian besar adalah siswa dari sekolah lain yang dikeluarkan
karena kenakalan mereka. Penghambat lainnya berasal dari
anaknya sendiri yang memang tidak mempunyai keinginan untuk
berhenti. Mungkin mereka berpikir daripada kearah minuman keras
atau ke narkoba mending merokok, itu kata siswanya. Pengaruh
lingkungan mereka juga mempengaruhi seperti keluarga
bermasalah, disini kebanyakan, dari keluarga broken home, orang
tua terlalu sibuk, anaknya terbengkalai, keadaan orang tua yang
tidak mampu kemudian mungkin dulu SMP nya tidak dapat
mengatasi keadaan mereka yang seperti itu.” (EM/18/04/2016)
84
Pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta masih menemui hambatan. Faktor yang menjadi penghambat
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok selain faktor eksternal yang
telah disampaikan di atas, terdapat faktor internal yang menjadi hambatan.
Faktor internal yang menghambat pelaksanaan kebijakan kawasann tanpa
rokok dijelaskan oleh Ibu EM selaku Guru BK di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta sebagai berikut :
“.....Dulu jika akan menerapkan kebijakan kawasan tanpa rokok
belum bisa maksimal dan terkesan enggak mempan karena Kepala
Sekolah yang dulu malah menerapkan kebijakan bebas rokok di
sekolah yang bertempat di belakang kelas yang terdapat pohon
rindang yang menurut siswa asik untuk nongkrong....”
(EM/18/04/2016)
Ibu EM menambahkan.
“....Beberapa Guru ada yang merokok di sekolah ini. Mereka sering
merokok di ruang Guru namun melihat situasi sekitar jika keadaan
sepi mereka baru merokok agar tidak menganggu yang lain. Hal
seperti yang membuat kami susah untuk memberi tahu para siswa
yang merokok karena beberapa Guru saja merokok di sekolah.”
(EM/18/04/2016)
Pendapat lain disampaikan oleh Ibu TE selaku Guru yang tidak merokok di
SMA Gadjah Mada Yogyakarta:
“Penghambatnya karena kurang ketegasan dari sekolah Guru-Guru
disini ada juga yang mengajar di sekolah lain, untuk kebijakan-
kebijakan seperti itu menunggu forum. Hal-hal mengenai kebijakan
dapat disampaikan saat rapat. Untuk pendukungnya Kepala Sekolah
yang baru berusaha menghilangkan tempat khusus merokok yang
dibuat oleh mantan Kepala Sekolah” “ (TE/20/04/2016)
Kesimpulan dari beberapa penjelasan di atas terdapat beberapa
faktor internal yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan kebijakan
kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada terdapat dua faktor, yakni
85
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternalnya adalah sebagian
besar siswa yang masuk ke SMA Gadjah Mada merupakan pindahan dari
sekolah lain yang dikeluarkan karena kenakalan. Sebagian siswa tersebut
memiliki kebiasaan merokok sejak masih di sekolah lama maupun saat
masih SMP.
Faktor penghambat yang berasal dari internal sekolah adalah mantan
Kepala Sekolah menyediakan tempat khusus merokok di sekolah. Tempat
tersebut kini mulai dihilangkan namun tetap saja masih banyak siswa yang
merokok bahkan ada yang merokok di dalam kelas maupun di lingkungan
sekolah. Faktor penghambat internal yang kedua yaitu beberapa Guru
mengajar di sekolah lain sehingga menyebabkan koordinasi kurang terjalin
dengan baik. Faktor penghambat yang ketiga yaitu beberapa Guru merokok
di lingkungan sekolah, hal tersebut membuat siswa tidak peduli jika diberi
peringatan agar tidak merokok di sekolah.
5. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah
Mada mempunyai beberapa faktor pendukung yang membantu dalam
menjalankan kebijakan tersebut. Faktor pendukung pelaksaan kebijakan dari
hasil wawancara adalah beberpa Guru tidak suka jika ada yang merokok di
sekolah. Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan oleh Bapak AB selaku
Wakasek Kesiswaan:
“Untuk pendukungnya banyak Guru yang tidak suka jika ada yang
merokok di dekatnya jadi mereka itu yang suka menegur orang
86
merokok di sekolah termasuk saya juga pernah ditegur.”
(AB/26/04/2016)
Faktor pendukung yang lain adalah pihak sekolah sudah melakukan
sosialisasi dan memasukkan larangan merokok ke dalam tata tertib sekolah
sesuai dengan Permendikbud Nomor 64 tahun 2015. Berikut penjelasan dari
Bapak AE selaku Pelaksana Tugas Kepala Sekolah:
“Sejauh faktor pendukungnya kita sudah melakukan sosialisasi
mengenai kebijakan tanpa rokok di sekolah, kemudian kami juga
sudah memasukkan larangan merokok di tata tertib sekolah.”
(AE/05/05/2016)
Ibu TE selaku Guru memberikan tambahan sebagai berikut:
“Untuk pendukungnya Kepala Sekolah yang baru berusaha
menghilangkan tempat khusus merokok yang dibuat oleh mantan
Kepala Sekolah. Pendukung larangan merokok di sekolah ini sudah
dipasang tanda dilarang merokok dan pihak sekolah sudah mencoba
menghilangkan tempat khusus merokok dengan menebang pohon
yang biasa digunakan berteduh saat merokok.” “ (TE/20/04/2016)
Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas adalah pelaksanaan
kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada mempunyai faktor
yang mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut. Pendukung pelaksanaan
kebijakan tersebut yaitu beberapa Guru tidak suka jika ada yang merokok
di sekolah, pihak sekolah sudah memasukkan larangan merokok ke dalam
tata tertib sekolah dan sudah memasang tanda dilarang merokok di sekolah
serta upaya untuk menghilangkan tempat khusus merokok di sekolah.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan
dokumentasi dapat dilakukan pembahasan terhadap rumusan masalah
penelitian sebagai berikut:
87
1. Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah
Mada Yogyakarta
Implementasi kebijakan merupakan seluruh tindakan yang
dilakukan untuk merealisasikan tujuan kebijakan. Implementasi kebijakan
memiliki tiga tahap yang harus dilakukan agar sesuai dengan tujuan
kebijakan. Charles O. Jones dalam buku Politik Ideologi Pendidikan (Arif
Rohman, 2009:135) menyebutkan ada tiga tahapan implementasi
kebijakan antara lain adalah pengorganisasian, interpretasi, dan aplikasi.
SMA Gadjah Mada tentu saja harus melaksanakan ketiga tahapan
di atas untuk melaksanakan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok. Berikut
pembahasan dari hasil penelitian mengenai tahapan yang dilakukan oleh
SMA Gadjah Mada dalam melaksanakan kebijakan tersebut:
a. Tahap Pengorganisasian
Tahap pengorganisasian merupakan tahap pertama yang
dilakukan oleh SMA Gadjah Mada untuk melaksanakan Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok. Tahap pengorganisasian merupakan tahap
dimana akan dilakukan persiapan implementasi kebijakan berupa
pembuatan tim pelaksana kebijakan berserta dengan tugasnya masing-
masing, kemudian menetapkan anggaran dan peralatan yang dipakai
untuk melaksanakan kebijakan.
SMA Gajah Mada sudah membentuk tim untuk melaksanakan
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah. Tim yang
ditunjuk oleh sekolah beranggotakan Guru Bimbingan Konseling, Wali
88
Kelas, Wakasek Kesiswaan, dan diawasi oleh Kepala Sekolah. Tim
tersebut berkoordinasi sesuai dengan tugas masing-masing untuk
melaksanakan kebijakan sesuai dengan tujuan. Tim pelaksana dan
tugasnya dalam pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA
Gadjah Mada dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 6. Tim pelaksana Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta
Jabatan Tugas
Kepala Sekolah Mengawasi pelaksanaan Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok SMA Gadjah Mada
Wakasek Kesiswaan Koordinator pelaksanaan Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok SMA Gadjah Mada
Guru Bimbingan
dan Konseling
Membimbing siswa ke arah yang lebih baik dan
menegur siswa yang merokok sembarangan di
sekolah
Wali Kelas Memasang tanda dilarang merokok di kelas dan
menegur siswa yang merokok di dalam kelas
Berdasarkan penjelasan di atas, tahap pengorganisasian untuk
melaksanakan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada
sudah sesuai dengan teori pengorganisasian dalam implementasi
kebijakan yang dikemukakan oleh Charles O Jones. Teori tersebut
menjelaskan pada tahap pengorgansasian dilakukan pembentukan atau
penataan kembali sumber daya, unit-unit serta metode untuk
menjalankan program agar bisa berjalan sesuai dengan tujuan.
Pelaksanaan tahap pengorganisasian di SMA Gadjah Mada sudah
membuat tim pelaksana yang berasal dari sumber daya manusia yang
ada. Tim pelaksana kebijakan juga diberikan tugas masing-masing
89
untuk melaksanakan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah
Mada Yogyakarta.
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah tahap
pengorganisasian di SMA Gadjah Mada dalam rangka melaksanakan
kebijakan sudah dilaksanakan. Tim pelaksana kebijakan beserta tugas
masing-masing pelaksana sudah dibentuk dengan anggota Kepala
Sekolah, Guru Bimbingan Konseling, Wali Kelas, dan Wakasek
Kesiswaan.
b. Tahap Interpretasi
Joko Widodo (2010: 90-94) menjelaskan bahwa tahap
interpretasi merupakan tahap penguraian pokok dari suatu kebijakan
yang bersifat abstrak agar lebih operasional dan mudah dipahami
sehingga dapat dimengerti oleh para pelaku dan sasaran kebijakan.
Tahap interpretasi merupakan tahap penjelasan mengenasi sebuah
kebijakan kepada pelaksana dan sasaran kebijakan. Penjelasan tujuan
kebijakan dilakukan agar pelaksana dan sasaran kebijakan dapat
menjalankan kebijakan dengan baik.
Pelaksanaan tahap interpretasi di SMA Gadjah Mada sudah
sesuai dengan teori Charles O. Jones. Tahap interpretasi menurut
Charles O. Jones adalah aktivitas menafsirkan agar suatu program
menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta
dilaksanakan sesuai harapan sedangkan pelaksanaan tahap interpretasi
di SMA Gadjah Mada yang berkaitan dengan Kebijakan Kawasan
90
Tanpa Rokok menggunakan cara sosialisasi. Berikut tabel pelaksanaan
tahapan interpretasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah
Mada Yogyakarta:
Tabel 7. Pelaksanaan tahapan interpretasi Kebijakan KTR di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta
No Kegiatan Waktu Pelaksanaan
1 Sosialisasi tata tertib sekolah termasuk
di dalamnya ada peraturan larangan
merokok di sekolah
Awal tahun ajaran atau
saat Masa Orientasi
Sekolah
2 Sosialisasi Kebijakan KTR kepada
kepala sekolah, guru, dan karyawan
Rapat sekolah
Sosialisasi pertama dilakukan kepada Guru saat rapat sekolah.
Sosialisasi pertama dilakukan kepada Guru karena di sekolah ini
pelaksana kebijakan yang ditunjuk adalah Guru. Guru dalam hal ini
sudah termasuk Guru bimbingan konseling, Wakasek Kesiswaan, dan
Wali Kelas. Pelaksana kebijakan diberikan sosialisasi bertujuan agar
dapat memahami tujuan dari kebijakan tersebut. Pemahaman dari
pelaksana kebijakan dapat mempengaruhi implementasi sebuah
kebijakan. Sosialisasi kedua dilaksanakan saat MOS dengan
mengundang orang tua siswa. Penjelasan Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok dimasukkan saat penyampaian tata tertib sekolah. Tata tertib di
SMA Gadjah Mada sudah mencantumkan larangan merokok.
Pencantuman larangan tersebut ke dalam tata tertib sekolah telah sesuai
dengan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015.
Pelaksanaan kebijakan tersebut tentu saja membutuhkan
program dari sekolah namun saat ini program lanjutan untuk
91
menanggapi kebijakan tersebut belum ada. Program awal dari pihak
sekolah hanya sudah melakukan sosialisasi, memasukkan larangan
merokok ke dalam tata tertib sekolah dan sudah memasang tanda
dilarang merokok.
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah tahapan interpretasi
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada menggunakan
cara sosialisasi. Sosialisasi dilakukan saat rapat sekolah dan MOS.
Sosialisasi dilakukan pelaksanaan kebijakan dapat berjalan dengan baik
oleh Kepala Sekolah, Guru, Karyawan, dan Siswa.
c. Tahap Aplikasi
Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah
Mada sudah dilaksanakan sejak diberlakukannya Pergub Nomor 42
tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok karena dalam peraturan
tersebut menyebutkan tempat belajar mengejar termasuk kawasan tanpa
rokok dan sekolah merupakan tempat belajar mengajar, penjelasan
tersebut juga terdapat dalam Perwal Kota Yogyakarta Nomor 12 tahun
2015. Permendikbud Nomor 64 tahun 2015 memberikan penguatan
terhadap kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah.
Charles O.Jones dalam (Arif Rohman, 2009:135) menjelaskan
tahap aplikasi berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan,
pendanaan atau yang lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau
perlengkapan pelaksanaan kebijakan. Implementasi Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada pada tahap aplikasi sudah sesuai
92
dengan teori Charles O. Jones. Pihak sekolah sudah menetapkan
anggaran dan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada. Penetapan anggaran dan
peralatan dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 8. Penetapan anggaran dan peralatan Kebijakan KTR di
SMA Gadjah Mada
No. Program Penggunaan anggaran
1. Sosialisasi Kebijakan KTR yang
sudah termasuk dalam tata tertib
sekolah
Menggunakan anggaran
MOS
2. Sosialsasi Kebijakan KTR saat rapat
sekolah
Mengunakan anggaran
rapat sekolah
3. Pengadaan tanda dilarang merokok Menggunakan anggaran
peralatan kelas
Peralatan yang digunakan untuk mendukung implementasi
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada berupa tanda
dilarang merokok sesuai dengan Pergub DIY Nomor 42 tahun 2009,
Perwal Kota Yogyakarta Nomor 12 tahun 2015, dan Permendikbud
Nomor 64 tahun 2015 yang mewajibkan pemasangan tanda dilarang
merokok pada kawasan tanpa rokok termasuk sekolah. Anggaran untuk
pelaksanaan kebijakan tersebut menggunakan dana sosialisasi dan
pemasangan tanda dilarang merokok menggunakan anggaran peralatan
kelas.
Kesimpulan dari pembahasan di atas menunjukkan bahwa SMA
Gadjah Mada sudah melakukan tahapan aplikasi dengan menerapkan
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok berupa penetapan anggaran dan
peralatan dengan programnya melakukan sosialisasi, memasukkan
93
larangan merokok ke dalam tata tertib sekolah dan sudah memasang
tanda dilarang merokok.
2. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Impelementasi merupakan tahap yang penting dalam sebuah
kebijakan. Implementasi akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu
kebijakan yang telah dibuat. Kebijakan yang telah dibuat dengan baik
tidak akan berjalan jika tidak diimplementasikan dan hanya akan menjadi
wacana semata. Proses implementasi kebijakan pastinya akan dipengaruhi
beberapa faktor yang menyebabkan sebuah keberhasilan maupun
kegagalan.
Terdapat empat faktor yang akan mempengaruhi sebuah proses
implementasi kebijakan. Faktor pertama adalah bagaimana jalinan
komunikasi dalam proses implementasi kebijakan. Ketersediaan sumber
daya menjadi faktor berikutnya. Faktor ketiga yang mempengaruhi
keberhasilan dan kegagalan dalam proses implementasi kebijakan adalah
komitmen atau sikap dari pelaksana kebijakan. Faktor terkahir yaitu
struktur birokrasi. Seluruh faktor tersebut akan menentukan pelaksanaan
kebijakan sesuai dengan tujuan atau tidak.
Berdasarkan hasil wawancara, obersvasi, dan studi dokumentasi
dapat dijelaskan bagaimana faktor komunikasi, ketersediaan sumber daya,
disposisi/sikap, serta struktur birokrasi akan mempengaruhi implementasi
94
kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai
berikut:
a. Komunikasi
Komunikasi mempunyai peran yang penting dalam
implementasi suatu kebijakan. Sebuah kebijaka harus
dikomunikasikan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana
kebijakan. Pelaksana kebijakan kawasan tanpa asap rokok dalam hal
ini adalah sekolah. Sekolah mempunyai tugas untuk menyampaikan
infromasi mengenai kebijakan kawasan tanpa rokok kepada seluruh
warga sekolah selaku obyek kebijakan. Komunikasi harus
disampaikan dengan jelas dan akurat agar mudah dimengerti dan
berjalan sesuai dengan tujuan kebijakan kawasan tanpa asap rokok di
SMA Gadjah Mada Yogyakarta.
Model Edward III mengemukakan bahwa komunikasi
kebijakan terdiri dari 3 dimensi yaitu dimensi transisi (transmision),
dimensi kejelasan (clarity), dimensi konsistensi (consistency).
1) Dimensi Transmisi
Dimensi transmisi dalam komunikasi pelaksanaan kebijakan
mengharapkan pelaksana kebijakan memberitahukan tentang
kebijakan yang akan dilaksanakan. Penjelasan kebijakan mencakup
tujuan yang akan dicapai dan persiapan apa saja yang dilakukan
untuk mencapai tujuan kebijakan tersebut.
95
SMA Gadjah Mada Yogyakarta melakukan komunikasi
kebijakan kawasan tanpa rokok melalui cara sosialisasi. Sosialisasi
dilakukan saat ada Masa Oreintasi Sekolah (MOS) dan tahun ajaran
baru. Sosialisasi dilakukan dengan acara mengundang para orang
tua siswa ke sekolah untuk dijelaskan mengenai peraturan atau tata
tertib di sekolah termasuk didalamnya kawasan tanpa rokok di
sekolah. Penyampaian informasi mengenai kebijakan kawasan
tanpa rokok atau dilarang merokok juga dilakukan langsung kepada
siswa pada keseharian di sekolah. Komunikasi antara Kepala
Sekolah, Guru, dan karyawan adalah selalu mengingatkan untuk
tidak merokok di kawasan sekolah. Sosialisasi juga dilakukan saat
rapat sekolah.
Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah dimensi transisi
dalam pelaksanaan kebijakan kawsan tnpa rokok dilakukan dengan
cara sosialisasi saat MOS dan rapat sekolah.
2) Dimensi Kejelasan
Pada dimensi kejelasan, komunikasi yang dilakukan oleh
pelaksana kebijakan diharapkan dapat diterima secara jelas oleh
sasaran kebijakan. Kejelasan yang diterima oleh sasaran kebijakan
sangat penting agar mengetahui tujuan dan maksud dari kebijakan
tersebut.
Hasil wawancara dengan siswa mengenai pelaksanaan
kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada
96
menunjukkan beberapa siswa mengaku tidak tahu akan adanya
kebijakan tersebut tetapi mereka paham bahwa merokok di sekolah
itu tidak boleh. Beberapa Guru di sekolah tersebut juga merokok di
lingkungan sekolah namun hanya dilakukan di ruang Guru. Hasil
observasi menemukan beberapa siswa merokok di koridor sekolah,
bahkan ditemukan bungkus dan puntung rokok dibuang
sembarangan di sekitar koridor kelas yang mengindikasikan bahwa
merokok di lingkungan sekolah adalah hal sudah biasa dilakukan.
Hal tersebut tentu saja tidak sesuai dengan Permendikbud Nomor
64 tahun 2015 yang jelas memberikan larangan merokok di
lingkungan sekolah. Pasal 3 dalam kebijakan Permendikbud Nomor
64 tahun 2015 menyebutkan sasaran Kawasan Tanpa Rokok di
Lingkungan Sekolah adalah Kepala Sekolah, Guru, tenaga
kependidikan, peserta didik, dan pihak lain di dalam lingkungan
sekolah.
Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah sosialisasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada masih belum
jelas karena ada siswa yang mengaku tidak tahu mengenai
kebijakan tersebut serta ditemukan beberapa Guru yang merokok di
sekolah.
3) Dimensi konsistensi
Model Edward III menjelaskan bahwa dimensi konsistensi
menginginkan implementasi kebijakan berlangsung efektif dengan
97
cara pemberian perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan
jelas agar kebijakan yang diterapkan tidak membingungkan.
Permendikbud Nomor 64 tahun 2015 memberikan perintah
dilarang merokok di lingkungan sekolah, melakukan penolakan
terhadap penawaran iklan, promosi, pemberian sponsor dalam
bentuk apapun, kemudian pihak sekolah diharapkan memasukkan
larangan terkait rokok dalam tata tertib sekolah. Sasaran dari
kebijakan tersebut adalah Kepala Sekolah, Guru, peserta didik, dan
karyawan.
Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah
Mada adalah Kepala Sekolah, Wakasek Kesiswaan, Guru
Bimbingan Konseling, dan Wali Kelas. Konsistensi dalam
pelaksanaan kebijakan di SMA Gadjah Mada belum terlihat karena
terdapat tempat khusus yang disediakan oleh mantan Kepala
Sekolah sebagai area merokok. Area merokok tersebut terletak
tidak jauh dari ruang tata usaha. Pihak sekolah membuat area
khusus merokok untuk melokalisir siswa yang merokok di
sembarang tempat. Pelaksana tugas Kepala Sekolah yang saat ini
menjabat juga setuju dengan adanya area tersebut, namun saat ini
area tersebut mulai dihilangkan dengan menebang pohon rindang
yang berada di area tersebut.
Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah pihak sekolah
sudah memasukkan larangan merokok dalam tata tertib sekolah dan
98
sudah berusaha menghilangkan area khusus merokok namun
pelaksana tugas Kepala Sekolah mengaku setuju jika ada tempat
khusus merokok di sekolah
b. Sumber Daya
Sumber daya menjadi faktor pendukung keberhasilan
komunikasi yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan kepada objek
kebijakan. Sumber daya pada proses implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok di sekolah berhubungan dengan kesiapan dari pihak
pelaksana. Sumber daya tersebut dapat berupa sumber daya manusia,
sumber daya anggaran, sumber daya peralatan, dan sumber daya
kewenangan.
1. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia yang berkaitan dengan implementasi
kebijakan adalah jumlah anggota dan keahlian yang dimiliki
pelaksana kebijakan. Pelaksana kebijakan di SMA Gadjah Mada
diberikan kepada Guru Bimbingan Konseling, Wali Kelas, dan
Wakasek Kesiswaan serta diawasi oleh Kepala Sekolah.
Saat ini jumlah pelaksana kebijakan di SMA Gadjah Mada
sudah memadai namun terkendala dengan beberapa Guru mengajar
di sekolah lain yang memberikan akibat kurang lancarnya
koordinasi antar pelaksana. Sumber daya manusia dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah
Mada Yogyakarta menggunakan Guru Bimbingan dan Konseling
99
karena pelanggaran yang dilakukan termasuk dalam kenakalan
pelajar. Wali Kelas dibantu oleh Wakasek Kesiswaan ikut
mengawasi siswa agar tidak merokok di kelas.
2. Sumber daya Anggaran
Sumber daya anggaran yang digunakan untuk pelaksanaan
kebijakan kawasan tanpa rokok tidak dianggarkan secara khusus
oleh pihak sekolah. Pihak sekolah tidak menganggarkan khusus
karena tidak ada program khusus untuk menanggapi kebijakan
tersebut.
Sosialisasi menjadi langkah awal pihak sekolah menanggapi
kebijakan tersebut namun sosialisasi yang dilakukan termasuk
dalam pengenalan sekolah atau MOS sehingga anggarannya juga
sudah termasuk ke dalam sosialisasi saat MOS. Sosialisasi juga
dilaksanakan saat rapat Guru dengan Kepala Sekolah. Pihak
sekolah memasang tanda dilarang merokok di setiap kelas.
Pemasangan tanda tersebut menggunakan anggran peralatan kelas.
3. Sumber Daya Peralatan
Sumber daya peralatan menjadi hal yang penting dalam
implementasi kebijakan. Sumber daya peralatan digunakan untuk
menunjang pelaksanaan kebijakan. Implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok juga membutuhkan peralatan untuk
menunjang keberhasilan tujuan kebijakan. Permendikbud Nomor
64 tahun 2015 pasal 4 memberikan perintah kepada pihak sekolah
100
untuk memasang tanda kawasan tanpa rokok di lingkungan
sekolah. Pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA
Gadjah Mada sudah memasang tanda kawasan tanpa rokok di
lingkungan sekolah dan untuk selebihnya menggunakan sumber
daya manusia yang tersedia yaitu Guru Bimbingan Konseling dan
Wali kelas dibantu oleh Wakasek Kesiswaan diawasi oleh Kepala
Sekolah. Tidak ada peralatan lain dari sekolah karena tidak ada
program khusus untuk menangani kebijakan tersebut.
Hasil observasi di SMA Gadjah Mada Yogyakarta tidak
menemukan tanda dilarang merokok. Tanda dilarang merokok
tersebut seharusnya berada di dalam kelas namun tidak ditemukan
dan menurut beberapa siswa tanda tersebut dulu ada namun dilepas
oleh siswa yang tidak suka dengan larangan merokok di kelas. Tata
tertib yang di dalamnya terdapat larangan merokok juga tidak
ditemukan di SMA Gadjah Mada Yogyakarta.
4. Sumber daya Kewenangan
Menurut Edward III sumber daya kewenangan menjadi
kekuatan oleh suatu lembaga untuk mempengaruhi lembaga
tersebut dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenangan
tersebut sangat penting ketika suatu lembaga dihadapkan suatu
masalah dan harus segera diselesaikan dengan suatu keputusan.
Kewenangan dalam pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa
rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta adalah Kepala Sekolah,
101
namun saat ini posisi tersebut digantikan oleh pelaksana tugas.
Kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Sekolah belum bisa untuk
memaksimalkan pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di
SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Belum ada keputusan dari Kepala
Sekolah yang dapat mengkontrol siswa maupun Guru merokok di
sekolah. Jadi, kesiapan dari pihak sekolah masih kurang. Belum
ada program dari sekolah yang mendukung implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok selain sosialisasi yang dilakukan pada tahun
ajaran baru dan keseharian di sekolah. Belum adanya program
lanjutan yang mendukung kebijakan tersebut secara tidak langsung
Kepala Sekolah belum memaksimalkan jumlah dan keahlian
anggota pelaksana kebijakan yang dimiliki oleh sekolah. Sarana
pendukung yang dibuat sekolah berupa tanda tulisan dilarang
merokok diacuhkan oleh sebagian Guru dan siswa.
c. Disposisi
Sikap atau komitmen dari pelaksana kebijakan dibutuhkan
dalam implementasi kebijakan. Komitmen yang kuat dari pelaksana
kebijakan dapat mensukseskan implementasi kebijakan, untuk itu
tuntutan komitmen pada pelaksana kebijakan harus kuat dan penuh
dedikasi terhadap pelaksanaan sebuah kebijakan.
Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah
Mada Yogyakarta yang dapat dilihat pada saat wawancara dan
observasi menunjukan bahwa sikap pelaksana kebijakan masih belum
102
bisa mendukung sepenuhnya terhadap pelaksanaan kebijakan kawasan
tanpa rokok di sekolah. Kebijakan Kepala Sekolah yang lama justru
membuat suatu tempat khusus untuk merokok di kawasan sekolah.
Kawasan tersebut terletak di dekat ruang guru dengan pohon kersen
yang rindang cocok untuk bersantai sambil merokok.
Bergantinya Kepala Sekolah yang lama kepada pelaksana
tugas membuat kawasan khusus merokok tersebut dihilangkan dengan
langkah pertama menebang pohon kersen. Dihapuskannya area khusus
merokok tersebut membuat para siswa yang merokok kurang
terkendali. Sebagian siswa merokok di sepanjang koridor sekolah,
bahkan ada yang merokok di dalam kelas, selain itu juga terdapat guru
yang merokok di ruang guru.
d. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi merupakan faktor yang perlu diperhatikan
selain komunikasi, sumber daya, dan disposisi. Struktur birokrasi
mempunyai pengaruh dalam implementasi kebijakan. Implementasi
kebijakan akan melibatkan banyak orang di dalamnya. Standar
operasional prosedur (SOP) dibuat untuk mempermudah
impelementasi kebijakan dan memberi pedoman kepada pelaksana
kebijakan.
Struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta belum dibuat pedoman
berupa SOP secara rinci untuk mengatur pembagian tugas pelaksana
103
kebijakan sehingga implementasi kebijakannya tidak memiliki
struktur dan berjalan kurang efektif. Kebijakan kawasan tanpa rokok
di sekolah dianggap tidak terlalu rumit sehingga pelaksana kebijakan
melakukan tugas sesuai jabatan di sekolah. Kepala Sekolah yang
dibantu oleh wakil Kepala Sekolah bertugas sebagai pemimpin,
inovator, motivator, dan mengawasi berlangsungnya kegiatan di
sekolah. Wali Kelas maupun Guru yang lain bertanggung jawab
kepada Kepala Sekolah untuk melaksanakan kegiatan proses belajar
mengajar secara efektif dan efisien serta memberikan pengarahan
kepada siswa untuk tidak merokok di dalam kelas. Karyawan
membantu melancarkan pelaksanaan kebijakan pada bagian
administrasi sekolah.
Pembagian tugas yang tidak terlalu rumit dalam pelaksanaan
kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta
ternyata masih belum bisa dimaksimalkan. Masih banyak pelanggaran
yang terjadi di sekolah tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa belum ada upaya dari pihak sekolah yang mampu
mengatasi permasalahan terkait dengan pelaksanaan kebijakan
kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta.
3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
di SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Sejak diberlakukannya Undang – Undang Kesehatan No.36 tahun
2009 tentang Kesehatan yang di dalamnya memuat kawasan tanpa rokok
104
di sekolah sampai sekarang masih banyak ditemukan hambatan dalam
pelaksanaannya. Produk kebijakan pendidikan terbaru tentang Kawasan
Tanpa Rokok di Sekolah adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015 yang diharapkan
dapat memperkuat kebijakan- kebijakan sebelumnya. Khusus di Daerah
Istimewa Yogyakarta terdapat Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2009
tentang kawasan dilarang merokok dimana sekolah menjadi salah satu
tempat yang dimaksud dalam kebijakan tersebut. Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2015 juga dibuat untuk menegaskan aturan
tentang kawasan tanpa rokok di Kota Yogyakarta. Beberapa kebijakan
yang telah disampaikan pada pelaksanaan di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta masih terdapat pelanggaran yang dikarena adanya hambatan.
Hambatan yang terjadi pada pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa
rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta dipengaruhi adanya faktor
internal dan eksternal. Faktor penghambat tersebut dapat diketahui
menggunakan teori Edward III dengan pembagian faktor seperti
komunikasi (trasnmisi, kejelasan, dan konsistensi), sumber daya (manusia,
anggran, peralatan, dan kewenangan), faktor disposisi dan struktur
birokrasi. Faktor penghambat internal dalam pelaksanaan Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
105
Tabel 9. Faktor penghambat internal dalam pelaksanaan Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta
No. Jenis faktor Dimensi Penghambat
1.
.
Komunikasi Kejelasan Siswa mengaku tidak tahu
adanya kebijakan KTR
Konsistensi Pihak sekolah menyediakan
tempat khusus merokok di
sekolah
2. Sumber daya Kewenangan Belum ada program
lanjutan yang terkait dengan
pelaksanaan Kebijakan
KTR
3. Disposisi Beberapa guru tidak sejalan
dengan Kebijakan KTR dan
masih merokok di sekolah
Pihak sekolah kurang tegas
dalam memberikan sanksi
kepada para pelanggar
Kebijakan KTR
Keinginan guru dan siswa
untuk merokok susah
dikendalikan
4. Struktur birokrasi Kuranganya koordinasi
sekolah dalam menanggapi
kebijakan KTR
Faktor internal pertama yang menghambat implementasi kebijakan
kawasan tanpa asap rokok di SMA Gadjah Mada terkait dengan faktor
komunikasi pada dimensi kejelasan. Beberapa siswa di SMA Gadjah Mada
mengaku tidak jika ada kebijakan tersebut. Faktor internal penghambat
kedua masih berkaitan dengan faktor komunikasi namun terdapat pada
dimensi yang berbeda, yakni pada dimensi konsistensi. Kebijakan mantan
Kepala Sekolah yang justru menyediakan suatu tempat khusus untuk
merokok. Kebijakan dari mantan Kepala Sekolah tersebut menjadikan
siswa dengan bebas merokok di area sekolah terutama di tempat yang
sudah disediakan. Beberapa siswa juga terlihat merokok di sepanjang
106
koridor sekolah, bahkan ada yang mengaku pernah merokok di dalam
kelas. Berdasarkan observasi terdapat Guru yang sedang merokok di ruang
Guru, hal tersebut juga menjadi hambatan dalam pelaksanaan kebijakan
kawasan tanpa rokok di sekolah. Siswa yang melihat perilaku guru yang
semacam itu menjadi acuh terhadap kebijakan kasawan tanpa rokok di
sekolah karena mereka merasa bahwa guru bebas untuk merokok di
sekolah dan kebebasan seperti itu ingin dimiliki oleh siswa yang merokok,
dengan kondisi semacam itu menjadikan ketidaktegasan sekolah dalam
melaksanakan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok. Hal tersebut termasuk
dalam hambatan pada faktor disposisi atau sikap.
Faktor internal yang terdapat pada faktor struktur birokrasi adalah
status Guru yang juga mengajar di sekolah lain. Guru-guru menyesuaikan
jadwal di mana harus mengajar, jadi tidak fokus pada satu sekolah.
Akbibat dari Guru yang berpindah-pindah mengajar ke sekolah lain
kebijakan yang ada belum sempat dibahas karena harus menunggu forum.
Pengusulan program-program atas kebijakan yang telah dibuat
disampaikan ketika ada rapat. Pihak sekolah kurang tegas dalam
menanggapi hambatan tersebut sehingga menyebabkan program-program
di sekolah kurang mendapat perhatian. Pihak sekolah juga kurang tegas
dalam memberikan sanksi kepada para pelanggar kawasan tanpa rokok di
sekolah.
Faktor pengahambat dalam pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di SMA Gadjah Mada juga terdapat pada faktor eksternal. Faktor
107
eksternal yang terjadi di SMA Gadjah Mada dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 10. Faktor eksternal pelaksanaan Kebijakan KTR di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta
No. Jenis faktor Penghambat
1. Sumber daya Siswa yang masuk ke
SMA Gadjah Mada
sebagian besar adalah
pindahan dari sekolah
lain yang dikeluarkan
karena perilaku yang
melanggar tata tertib.
2. Sumber daya Faktor keadaan
keluarga (broken home,
orang tua sibuk, ayah
yang merokok) siswa
yang membuat mereka
menggunakan rokok
sebagai pelarian untuk
merokok
3. Sumber daya Pengaruh lingkungan
dari masyarakat kepada
siswa yang kurang baik
Faktor eksternal yang menghambat pelaksanaan kebijakan kawasan
tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta berkaitan dengan faktor
sumber daya yang ada . Hambatan dari faktor eksternal berasal dari siswa
yang masuk ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagian besar berasal dari
siswa yang dikeluarkan. Sekolah yang bagus mengeluarkan mereka karena
tidak sanggup untuk menangani tingkah laku siswa yang sudah melanggar
tata tertib sekolah dan sudah tidak bisa ditoleransi. SMA Gadjah Mada
Yogyakarta akan menampung siswa yang dikeluarkan oleh sekolah yang
baik tersebut dengan alasan memberikan mereka kesempatan untuk
melanjutkan sekolah. Efek yang didapat oleh pihak sekolah adalah
108
kesulitan untuk mengontrol siswa – siswa yang menjadi produk kegagalan
sekolah yang lama dalam mendidik mereka.
Faktor eksternal yang lain yang menghambat implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta adalah
pengaruh lingkungan siswa di rumah dan di masyarakat. Lingkungan siswa
di rumah berbeda – beda, ada siswa yang berasal dari keluarga yang
broken home. Kenyataan seperti itu mempengaruhi kejiwaan siswa.
Mereka mencari pelampiasan yang setidaknya dapat mengurangi beban
pikirannya. Merokok menjadi alternatif bagi meraka untuk merasakan
sensasi senang dan sejenak melupakan permasalahan yang dihadapinya.
Kebiasaan itu menjadi keseharian mereka yang mengakibatkan kecanduan
untuk menghisap rokok tidak bisa dihilangkan begitu saja. Beberapa dari
siswa ada juga yang mengalami kondisi keluarga yang kurang baik.
Berbeda dengan siswa dengan keluarga yang broken home, keadaan yang
mereka hadapi adalah terlalu sibuknya orang tua sehingga tidak
memperdulikan mereka. Mereka merasa di dalam keluarga yang tidak
jelas, kedua orang tua masih lengkap dan tidak ada perceraian di
dalamnya, namun mereka tidak merasakan kasih sayang dari orang tua dan
rokok menjadi pelampiasan mereka untuk lari dari kenyataan yang tengah
dihadapi. Kasus lain terjadi pada keluarga yang lengkap, namun terdapat
figur seorang ayah yang gemar merokok menjadi contoh buruk untuk
anak. Melihat kebiasaan ayah yang merokok kemudian mendorong anak
untuk mencoba merokok dan pada akhirnya kecanduan.
109
Faktor eksternal yang berasal dari masyarakat adalah tempat
bermain siswa, para tetangga dan teman-teman mereka banyak yang
merokok dan tidak jarang dari mereka ditawari untuk mencoba rokok.
Sebagian siswa di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ada yang sudah mulai
bekerja paruh waktu. Lingkungan kerja yang rata-rata terdapat pegawai
yang merokok untuk melepas lelah sering menjadi contoh buruk bagi
siswa yang mulai bekerja paruh waktu.
4. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
di SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Pelaksanaan kebijakan selain mempunyai faktor penghambat juga
mempunyai faktor yang mendukung pelaksanaan sesuai dengan tujuan
yang diharapkan. Sebuah kebijakan tentunya membutuhkan faktor yang
mendukung pelaksanaan agar kebijakan bisa bertahan hingga mencapai
tujuan. Faktor pendukung pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
di SMA Gadjah Mada dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 11. Faktor pendukung pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di SMA Gadjah Mada.
No. Jenis faktor Dimensi Faktor
Pendukung
1. Sumber daya Kewenangan Keputusan
sekolah untuk
memasang tanda
dilarang merokok
di sekolah
110
Lanjutan Tabel 11. Faktor Pendukung Pelaksanaan Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada
No Jenis Faktor Dimensi Faktor
Pendukung
Pihak sekolah
memasukkan
aturan larangan
merokok ke
dalam tata tertib
sekolah
2. Disposisi Kepala sekolah
yang baru
berusaha untuk
menghilangkan
kawasan khusus
untuk merokok
Sikap yang
ditunjukkan oleh
beberapa guru
yang tidak suka
jika ada yang
merokok di
sekolah baik itu
guru maupun
siswa.
SMA Gadjah Mada pernah mempunyai tempat khusus untuk
merokok hasil keputusan dari mantan Kepala Sekolah. Tempat tersebut
terletak tidak jauh dari ruang Guru. Pihak sekolah dengan Kepala Sekolah
yang baru berusaha untuk menghilangkan kawasan khusus untuk merokok.
Cara yang digunakan untuk menghilangkan lokasi tersebut adalah dengan
menebang pohon yang berada di tempat para siswa untuk berteduh dan
merokok. Usaha pihak sekolah dengan menghilangkan tempat khusus
merokok merupakan faktor pendukung yang penting. Hal tersebut
berkaitan dengan faktor disposisi atau sikap yang ditunjukkan oleh kepala
sekolah.
111
Faktor lain yang mendukung pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa
rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta berkaitan dengan faktor
sumberdaya pada dimensi kewenangan. Keputusan sekolah untuk
memasang tanda dilarang merokok di sekolah dan memasukkan aturan
larangan merokok ke dalam tata tertib sekolah telah sesuai dengan
Permendikbud Nomor 64 tahun 2015. Dukungan sekecil apapun juga
diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, seperti sikap atau
disposisi yang ditunjukkan oleh beberapa Guru yang tidak suka jika ada
yang merokok di sekolah baik itu Guru maupun siswa.
112
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dijelaskan pada hasil
penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa SMA Gadjah Mada
Yogyakarta sudah melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok dengan
menetapkan tim pelaksana berserta tugasnya, anggaran dan peralatan serta telah
melakukan sosialisasi kepada warga sekolah.
Faktor penghambat implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta adalah (1) kebijakan mantan kepala sekolah yang
justru menyediakan suatu tempat khusus untuk merokok di sekolah, (2) beberapa
guru tidak sejalan dengan kebijakan kawasan tanpa rokok tersebut dan masih
merokok di lingkungan sekolah, (3) kurangnya koordinasi sekolah dalam
menanggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah, (4) pihak sekolah kurang
tegas dalam memberikan sanksi kepada para pelanggar kawasan tanpa rokok di
sekolah, (5) keinginan guru dan siswa untuk tidak merokok di sekolah susah
untuk dikendalikan, (6) siswa yang masuk ke SMA Gadjah Mada sebagian besar
adalah pindahan dari sekolah lain yang dikeluarkan karena perilaku yang
melanggar tata tertib, (7) faktor keadaan keluarga (broken home, orang tua sibuk,
ayah yang merokok) siswa yang membuat mereka menggunakan rokok sebagai
113
pelarian untuk merokok, (8) pengaruh lingkungan dari masyarakat kepada siswa
yang kurang baik.
Faktor pendukung pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA
Gadjah Mada Yogyakarta adalah (1) Kepala sekolah yang baru berusaha untuk
menghilangkan kawasan khusus untuk merokok, (2) keputusan sekolah untuk
memasang tanda dilarang merokok di sekolah, (3) sekolah memasukkan aturan
larangan merokok ke dalam tata tertib sekolah, (4) sikap yang ditunjukkan oleh
beberapa guru yang tidak suka jika ada yang merokok di sekolah baik itu guru
maupun siswa.
B. Saran
1. Bagi Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta
a. Meningkatkan pengawasan implementasi kebijakan kawasan tanpa
rokok pada tiap sekolah yang berada dalam naungan Dinas Pendidikan
Kota Yogyakarta
b. Perlunya pembuatan sanksi yang tegas dari dinas pendidikan untuk
menertibkan larangan merokok di kawasan sekolah.
2. Bagi pihak SMA Gadjah Mada Yogyakarta
a. Meningkatkan komunikasi antar pelaksana dengan kelompok sasaran
kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah
b. Meningkatkan kesadaran warga sekolah yang merokok dengan
pendidikan karakter positif.
c. Memberikan sanksi yang tegas kepada para pelanggar kebijakan KTR
114
3. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling SMA Gadjah Mada Yogyakarta perlu
melakukan pendekatan persuasif dari pihak sekolah kepada warga sekolah
yang merokok dan orang tua siswa tentang larangan merokok di kawasan
sekolah.
4. Bagi Guru SMA Gadjah Mada Yogyakarta tidak merokok di lingkungan
sekolah agar menjadi teladan bagi siswa
115
DAFTAR PUSTAKA
Alfi Satiti. (2011). Strategi Rahasia Berhenti Merokok. Edisi Kedua. Yogyakarta:
Datamedia.
Ali Imron. (2008). Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk, dan
Masa Depannya. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Arif Rohman. (2009). Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Laksbang
Mediatama.
___________. (2012). Kebijakan Pendidikan Analisis Dinamika Formulasi dan
Implementasi.. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Budi Winarno. (2007). Kebijakan Publik: Teori dan Proses (edisi revisi), Jakarta:
Media Pressindo.
Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Fify Rosaliana. (2015). Kultur Sekolah di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Skripsi.
Universitas Negeri Yogyakarta.
Hasbullah. (2015). Kebijakan Pendidikan Dalam Perspektif Teori, Aplikasi dan
Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Humas Universitas Negeri Yogyakarta. (2011). 16 Persen Siswa SMP dan SMA di
Kota Yogyakarta Perokok. Diakses dari http://ugm.ac.id/id/berita/3390-
16.persen.siswa.smp.dan.sma.di.kota.yogyakarta.perokok. Diunduh pada hari
Senin tanggal 29 Maret 2016.
Joko Widodo. (2010). Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis
Kebijakan Publik. Malang: Bayu Media.
Lexy L. Moleong. (2009). Metode Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
116
M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Sleman: Ar-Ruzz Media.
Nana Syaodih Sukmadinata. (2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri
No.188/Menkes/PB/I/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa
Asap Rokok.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun
2015 tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.
Ruslam Ahmadi. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Sleman: Ar-Ruzz Media.
Siti Sunarti. (2015). Penerapan Kawasan Tanpa Rokok Di Sekolah Tinggi Kesehatan
Muhammadiyah Samarinda. Skripsi. Universitas Gadjah Mada.
Subarsono. (2012). Analisis Kebijakan Pendidikan: Konsep, Teori, dan Aplikasi.
Cetakan VI. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudiyono. (2007). Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Pendidikan. Buku
Ajar. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Suharsimi Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Sukardi. (2006). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Sulistianto Purbo Prasetyo. (2015). Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
Di Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
117
Tilaar, H.AR & Riant Nugroho. (2008). Kebijakan Pendidikan : Pengantar Untuk
Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai
Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Undang – Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan (Kawasan Tanpa Rokok).
UUD 1945 dalam pasal 28 H ayat (1) tentang Hak Asasi Manusia.
118
PEDOMAN WAWANCARA
A. Pedoman Wawancara untuk Kepala Sekolah
1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?
2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?
3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika ada tempat khusus untuk merokok di
lingkungan sekolah?
4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Sekolah?
5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?
6. Apakah ada pedoman untuk melaksanakan kebijakan tanpa rokok di
sekolah ini?
7. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok?
8. Apakah ada program dari pihak sekolah untuk menanggapi Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di sekolah?
9. Apakah ada sanksi yang ditetapkan dalam program tersebut?
10. Apakah ada tim khusus yang menangani program dari sekolah dalam
menganggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
11. Siapa saja tim yang terlibat di dalamnya?
12. Apa saja kriteria sebagai tim yang menangani program tersebut?
13. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah sebagai
tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
119
14. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program
tersebut?
15. Apakah anggaran yang telah ditetapkan sudah cukup?
16. Bagaimana tanggapan tim pelaksana mengenai kebijakan kawasan tanpa
rokok di sekolah?
17. Siapa saja pihak yang mendukung atau menolak kebijakan kawasan tanpa
rokok di sekolah?
18. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
120
B. Pedoman Wawancara untuk Guru dan Karyawan
1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?
2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?
3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok
di sekolah ini?
4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu/Anda mengenai Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok di Sekolah?
5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?
6. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok?
7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok?
8. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah
sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
9. Bagaimana koordinasi dalam pelaksanaan program tersebut?
10. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program
tersebut?
11. Apakah anggaran yang telah ditetapkan sudah cukup?
12. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar
terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok?
13. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
121
C. Pedoman Wawancara untuk Siswa
1. Apakah Anda seorang perokok?
2. Apakah Anda pernah merokok di lingkungan sekolah?
3. Bagaimana pendapat Anda mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
di Sekolah?
4. Apakah sekolah mengadakan sosialisasi mengenai Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok?
5. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok?
6. Apakah Anda setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok di
sekolah ini?
7. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar
terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok?
122
D. Pedoman Wawancara untuk Karyawan
1. Apakah Anda seorang perokok?
2. Apakah Anda pernah merokok di lingkungan sekolah?
3. Bagaimana pendapat Anda mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
Sekolah?
4. Apakah sekolah mengadakan sosialisasi mengenai Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok?
5. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok?
6. Apakah Anda setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok di
sekolah ini?
7. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar
terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok?
123
PEDOMAN OBSERVASI
No Aspek yang diamati Pengamatan yang
dilakukan
Lokasi
Observasi
1 Tempat lokasi penelitian
a. Letak geografis / lokasi
sekolah
b. Profil sekolah
SMA Gadjah
Mada
Yogyakarta
2 Implementasi Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok
Mengamati penerapan
kebijakan kawasan tanpa
rokok
SMA Gadjah
Mada
Yogyakarta
124
PEDOMAN STUDI DOKUMENTASI
No Aspek yang dikaji Indikator yang dikaji Sumber Data
1 Kebijakan
Kawasan Tanpa
Rokok
a. Dasar hukum
kebijakan
b. Latar belakang
kebijakan
a. Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor 36 ahun 2009
Tentang Kesehatan
b. Peraturan Bersama
Menteri Kesehatan
dan Menteri Dalam
Negeri No.
188/MENKES/PB/I/2
011 No.7 Tahun 2011
c. Peraturan Gubernur
DIY Nomor 42 Tahun
2009
d. Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 12
Tahun 2015
e. Peraturan Menteri
Pendidikan dan
Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 64
Tahun 2015
2
Pelaksanaan
Kebijakan
Kawasan Tanpa
Rokok di SMA
Gadjah Mada
Prosedur pelaksanaan
kebijakan
a. Peraturan Bersama
Menteri Kesehatan dan
Menteri Dalam Negeri
No.
188/MENKES/PB/I/20
11 No.7 Tahun 2011
125
HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI
Hari/ Tanggal : 18 April 2016
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Narasumber : EM
Jabatan : Guru Bimbingan dan Konseling
1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?
Saya jelas tidak merokok mas, saya sebagai seorang ibu memberi contoh yang
baik kepada anak – anak saya. Kalau ada anak saya yang berani merokok akan
saya marahi tapi pakai nasehat saja.
2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?
Jelas tidak pernah karena saya saja tidak merokok.
3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok
di sekolah ini?
Kalau saya tidak setuju mas jika ada tempat khusus merokok di sekolah, tetapi
mau bagaimana lagi melihat kondisi siswa yang memang sudah tidak bisa
diatur lagi untuk tidak merokok di sekolah. Dulu ada tempat khusus merokok
yang dibuat oleh kepala sekolah yang lama, soalnya kepala sekolah yang lama
juga merokok. Tempat itu ditujukan agar mereka yang rokok tidak menggangu
yang tidak merokok jadi saat jam istirahat mereka berkumpul di tempat itu.
Pada merokoknya di kawasan itu karena sejuk dan bisa bersantai. Lalu kita
tebang aja itu pohonnya. Kita mengusirnya dari situ susah karena enak.
Akhirnya pohonnya kita tebang,
126
4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Sekolah?
Kalau saya sebenarnya setuju saja, tetapi kita melihat kondisi yang ada di
sekolah. Kalau sekolah yang baik mungkin bisa untuk menegakkan aturan itu.
Pihak sekolah disini tidak bias seutuhnya sesuai dengan kebijakan kawasan
tanpa rokok di lingkungan sekolah. kita menegur secara kasar pun mereka
berani untuk melawan. Kami disini mendidik tidak hanya untuk melarang-
melarang saja. Cara kami mendidik disini harus pelan-pelan dan penuh
kesabaran. Siswa yang masuk di sekolah ini sebagian besar adalah pindahan
dari sekolah lain yang dikeluarkan karena kenakalannya yang sudah tidak bisa
ditolerir. Sebagian dari siswa tersebut pindah kesini karena setengah hati
dengan alasan mereka dikeluarkan dari sekolah sudah malu dan yang kedua
adalah jika mereka tidak sekolah mau jadi apa di masyarakat.
5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?
Pelaksanaannya sudah lama tetapi disini kami buat berbeda dengan sekolah
lain, dengan cara melokalisir perokok pada tempat yang disediakan.
6. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok?
Pihak sekolah pernah melakukan sosialisasi mengenai kebijakan tersebut saat
rapat sekolah dan pada saat MOS atau tahun ajaran baru yang dihadiri orang
tua siswa. Menurut saya sosialisasi yang dilakukan tidak berguna karena yang
dulu kepala sekolahnya menyediakan suatu tempat untuk merokok di
127
lingkungan sekolah. Sekarang dengan pergantian kepala sekolah mencoba
untuk menghilangkan tempat tersebut.
7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok?
Kalau dari pihak sekolah tidak ada program apa-apa, tetapi kami melakukan
pemasangan plang tidak merokok di kelas. anak-anak tidak peduli. Kalau usaha
kita ya bisa nya paling pas pelajaran di kelas tidak boleh merokok dan
menyuruh untuk mematikan rokok atau menyarankan merokok ke kamar
mandi. Pihak sekolah tidak bisa ketat terhadap para perokok di sekolah
terutama pada siswa, karena beberapa siswa tidak akan masuk sekolah jika
tidak boleh merokok di sekolah.
8. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah
sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Sebagai guru BK saya memberikan bimbingan kepada anak agar berperilaku
baik dan mendengarkan permasalahn yang dihadapi oleh siswa untuk dicarikan
jalan keluar dari permasa;ahan yang dihadapi.
9. Bagaimana koordinasi dalam pelaksanaan program tersebut?
Sebenarnya tidak ada program di sekolah ini tetapi untuk menanggapi
kebijakan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah terdapat koordinasi
antara kepala sekolah, guru bimbingan konseling dan wali kelas.
10. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program
tersebut?
128
Anggarannya kami jadikan satu dengan sosialisasi maupun rapat. Untuk
pemasangan gambar dilarang merokok itu menggunakan uang peralatan kelas.
11. Apakah anggaran yang telah ditetapkan sudah cukup?
Sudah kami sesuaikan dengan dana yang tersedia sehingga saya rasa sudah
cukup, tetapi jika akan membuat khusus untuk menangani kebijakan tidak
boleh merokok di sekolah mungkin belum bisa dipastikan cukup atau tidaknya
karena belum tahu programnya seperti apa.
12. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar
terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok?
Sanksinya menegur untuk mematikan rokoknya dan membersihkan abu dari
rokok mereka. Sejauh ini cuman sanksi seperti itu yang bisa kami berikan
kepada mereka yang merokok sembarangan. Beberapa guru ada yang merokok
di sekolah ini. Mereka sering merokok di ruang guru namun melihat situasi
sekitar jika keadaan sepi mereka baru merokok agar tidak menganggu yang
lain. Hal seperti yang membuat kami susah untuk memberi tahu para siswa
yang merokok karena beberapa guru saja merokok di sekolah.
13. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Penghambatnya berasal dari input siswa yang masuk ke sekolah ini sebagian
besar adalah siswa dari sekolah lain yang dikeluarkan karena kenakalan
mereka. Penghambat lainnya berasal dari anaknya sendiri yang memang tidak
mempunyai keinginan untuk berhenti. Mungkin mereka berpikir daripada
129
kearah minuman keras atau ke narkoba mending merokok, itu kata siswanya.
Pengaruh lingkungan mereka juga mempengaruhi seperti keluarga bermasalah,
disini kebanyakan, dari keluarga broken home, orang tua terlalu sibuk, anaknya
terbengkalai, keadaan orang tua yang tidak mampu kemudian mungkin dulu
SMP nya tidak dapat mengatasi keadaan mereka yang seperti itu. Dulu jika
akan menerapkan kebijakan kawasan tanpa rokok belum bisa maksimal dan
terkesan enggak mempan karena kepala sekolah yang dulu malah menerapkan
kebijakan bebas rokok di sekolah yang bertempat di belakang kelas yang
terdapat pohon rindang yang menurut siswa asik untuk nongkrong
130
HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI
Hari/ Tanggal : 20 April 2016
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Narasumber : TE
Jabatan : Guru
1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?
Tidak, saya tidak merokok. Ada orang merokok di dekat saya saja tidak kuat
karen asapnya yang menggangu.
2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?
Tidak pernah. Saya bukan perokok jadinya saya tidak merokok apalagi di
sekolah
3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok
di sekolah ini?
Sebenarnya saya tidak setuju kalau ada tempat khusus merokok di lingkungan
sekolah, tetapi dulu pernah disediakan oleh pihak sekolah untuk siswa yang
susah diberhentikan rokoknya. Beberapa siswa tersebut merupakan pindahan
dan banyak yang bermasalah, Kita sebisa mungkin mengusahakan di
lingkungan sekolah tidak ada yang merokok.
4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Sekolah?
Ya kebijakan tersebut sangat bagus, setidaknya membatasi konsumsi rokok
walaupun hanya selama berada di sekolah saja.
131
5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?
Sudah lama sepertinya mas, tetapi ya seperti ini sekolahnya
6. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok?
Ya pernah, pernah ada sosialisasi kepada orang tua siswa pada saat penerimaan
siswa baru. Sosialisasi berupa pembinaan dan penjelasan tentang kebijakan
kawasan tanpa rokok di sekolah. Menurut saya sosialisasi peraturan tanpa
rokok di sekolah saya rasa masih kurang jelas karena masih ada beberapa siswa
yang merokok di lingkungan sekolah seperti tidak tahu kalau ada peraturan
seperti itu
7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok?
Sepertinya di sekolah ini belum ada program yang khusus dibuat untuk
menanggapi kawasan tanpa rokok di sekolah.
8. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah
sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Untuk wali kelas tugasnya memasang tanda dilarang merokok di kelas dan
menegur siswa yang merokok di kelas.
9. Bagaimana koordinasi dalam pelaksanaan program tersebut?
Koordinasi untuk menanggapi kebijakan tersebut dilakukan oleh guru wali
kelas dengan guru bimbingan dan konseling diawasi oleh kepala sekolah.
132
10. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program
tersebut?
Untuk anggaran mungkin tidak ada ya mas. Sosialisasinya menggunakan dana
saat pengenalan sekolah atau MOS dan pemasangan tanda dilarang merokok
menggunakan dana lain lain di peralatan kelas.
11. Apakah anggran yang telah ditetapkan sudah cukup?
Kalau anggaran untuk sosialisasi itu sudah cukup
12. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar
terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok?
Biasanya kita menegur, entah itu guru atau siswa untuk mematikan rokoknya.
Selain itu juga memberi saran agar jangan merokok disini, lebih baik di luar
atau di toilet.
13. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Penghambatnya karena kurang ketegasan dari sekolah. Guru-guru disini ada
juga yang mengajar di sekolah lain, untuk kebijakan-kebijakan seperti itu
menunggu forum. Hal-hal mengenai kebijakan dapat disampaikan saat rapat.
Untuk pendukungnya kepala sekolah yang baru berusaha menghilangkan
tempat khusus merokok yang dibuat oleh mantan kepala sekolah. Pendukung
larangan merokok di sekolah ini sudah dipasang tanda dilarang merokok dan
pihak sekolah sudah mencoba menghilangkan tempat khusus merokok dengan
menebang pohon yang biasa digunakan berteduh saat merokok.
133
HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI
Hari/ Tanggal : 26 April 2016
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Narasumber : AB
Jabatan : Wakasek Kesiswaan
1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?
Saya merokok mas, sudah lama saya merokok. Merokok sudah menjadi
kebiasaan saya sehari-hari dan susah untuk saya hilangkan
2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?
Saya sering merokok di sekolah tetapi saya merokoknya pada saat tidak
mengajar di kelas. Biasanya saya merokok di ruang guru waktu jeda mengajar
atau pada waktu istirahat.
3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok
di sekolah ini?
Tempat khusus untuk merokok menurut saya itu perlu karena bagi seorang
perokok jika tidak merokok rasanya pahit. Tempat khusus merokok di sekolah
ini memang diperlukan karena beberapa guru ada yang merokok termasuk
saya, tetapi yang saya kurang suka yaitu banyak siswa yang merokok di
sekolah ini. Kebiasaan merokok mereka didapatkan saat masih berada di
sekolah lamanya atau waktu masih SMP. Sebenarnya tempat khusus untuk
merokok di sekolah ini untuk memberi tempat para perokok agar tidakmerokok
134
di sembarang tempat, tetapi dari masyarakat banyak mendapat tanggapan yang
tidak baik.
4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Sekolah?
Kebijakan seperti itu bagus untuk mengendalikan siswa agar tidak merokok di
sekolah, tetapi jika dilaksanakan di sekolah ini saya rasa tidak bisa karena
siswa yang berada di sini kebanyakan adalah siswa pindahan dari sekolah lain
yang dikeluarkan karena kenakalan mereka termasuk kebiasaan merokok.
5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?
Pelaksanaannya seharusnya dimulai sejak ditetapkannya kebijakan kawasan
tanpa rokok yang di dalamnya sekolah termasuk kawasan yang dimaksud oleh
kebijakannya.
6. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok?
Untuk sosialisasi itu pernah kami adakan pada saat awal masuk tahun ajaran
baru.
7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok?
Programnya kami masukkan saat pengenalan sekolah. Pengenalan sekolah
akan menyampaikan semua yang menjadi ketentuan di sekolah ini termasuk
tata tertib yang didalamnya terdapat peraturan dilarang merokok di sekolah
untuk siswa.
135
8. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah
sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Saya selaku Wakasek Kesiswaan sebagai koordinator dibantu Guru Bimbingan
Konseling dan Wali Kelas.
9. Bagaimana koordinasi dalam pelaksanaan program tersebut?
Koordinasi pelaksanaan menanganai kebijakan tersebut sebagian besar
dilakukan oleh guru Bimbingan Konseling dan wali kelas. Saya sebagai
Wakasek Kesiswaan menjadi koordinator
10. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program
tersebut?
Anggarannya sudah masuk ke dalam anggaran sosialisasi profil sekolah saat
MOS
11. Apakah anggaran yang telah ditetapkan sudah cukup?
Saya rasa sudah cukup mas untuk sosialisasinya.
12. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar
terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok?
Kalau merokoknya di dalam kelas kami tegur untuk segera mematikan
rokoknya
13. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Penghambatnya adalah banyak sekali siswa yang merokok di sekolah ini dan
kebiasaan itu sudah mereka dapatkan sejak di sekolah lama atau saat masih
136
SMP. Untuk pendukungnya banyak guru yang tidak suka jika ada yang
merokok di dekatnya jadi mereka itu yang suka menegur orang merokok di
sekolah termasuk saya juga pernah ditegur.
137
HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI
Hari/ Tanggal : 11 Mei 2016
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Narasumber : PS
Jabatan : Karyawan
1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?
Saya merokok mas
2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?
Saya jarang merokok di sekolah mas
3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok
di sekolah ini?
Setuju saja agar yang merokok masih punya tempat buat merokok dan tidak
menganggu yang lain
4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Sekolah?
Bagus agar siswa tidak merokok di sekolah
5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?
Sudah lama mas, dulu ada peraturan dari provinsi kalau tidak salah
6. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok?
Sosialisasinya pas awal masuk sekolah itu mas, pengenalan tata tertib sekolah.
138
7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok?
Ya itu tadi sosialisasi menjadi programnya mas
8. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah
sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Saya tugasnya hanya menjaga sekolah mas, kalau untuk pelaksanaan kebijakan
saya tidak diberi tugas khusus
9. Bagaimana koordinasi dalam pelaksanaan program tersebut?
Biasanya kebijakan seperti itu dilakukan guru sama kepala sekolah
10. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program
tersebut?
Kurang tahu soal anggaran mas
11. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar
terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok?
Sanksinya disuruh matikan rokok terus membersihkan sisa abunya.
12. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Penghambatnya banyak siswa yang merokok di sekolah ini dan itu sudah
menjadi kebiasaan mereka di luar sekolah mas.
139
HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI
Hari/ Tanggal : 3 Mei 2016
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Narasumber : MV
Jabatan : Karyawan
1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?
Saya tidak merokok mas
2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?
Tidak pernah mas
3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok
di sekolah ini?
Setuju agar pada tidak merokok sembarangan di sekolah
4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Sekolah?
Kalau menurut saya sendiri setuju ada kebijakan seperti itu
5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?
Kurang tahu perisnya kapan tetapi sudah lama mas ya begini sekolahnya
6. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok?
Sosialisasinya dilakukan saat MOS mas, di dalam tata tertib ada perturan tidak
boleh merokok juga.
7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok?
140
Sosialisasi sama pemasangan tanda dilarang merokok saja programnya
8. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah
sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Karyawan hanya membantu menegur guru atau siswa yang merokok
sembarangan di sekolah, kemudian anggaran kami yang mengurus.
9. Bagaimana koordinasi dalam pelaksanaan program tersebut?
Koordinasi dilakukan guru BK dan wali kelas mas. TU hanya membantu saja.
10. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program
tersebut?
Untuk anggarannya kami masukkan dalam anggaran sosialisasi awal MOS dan
pemasangan tanda dilarang merokok kita ambilkan dari anggran peralatan
kelas.
11. Apakah anggaran yang telah ditetapkan sudah cukup?
Untuk program yang seperti ini saya rasa sudah cukup
12. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar
terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok?
Sanksinya ditegur untuk mematikan rokoknya atau disuruh pindah merokok di
tempat lain
13. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Penghambatnya ada beberapa guru yang merokok, siswa yang merokok banyak
dan susah diatur. Pendukungnya sekarang pohon yang berada di tempat khusus
merokok ditebang sehingga menjadi panas dan jarang yang merokok disitu
141
HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI
Hari/ Tanggal : 5 Mei 2016
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Narasumber : AE
Jabatan : Pelaksana Tugas Kepala Sekolah SMA Gadjah Mada Yogyakarta
1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?
Saya tidak merokok mas, karena menurut saya merokok tidak mendapatkan
manfaat yang jelas dan hanya akan menghabiskan uang saja. Merokok juga
menimbulkan berbagai penyakit.
2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?
Saya bukan perokok jadi tentu saja saya tidak pernah merokok, apalagi
merokok di sekolah yang jelas ada peraturan tidak boleh merokok di sekolah.
3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika ada tempat khusus untuk merokok di
lingkungan sekolah?
Kalau saya sendiri memang setuju ada tempat khusus untuk membuat guru
ataupun siswa tidak merokok di sembarang tempat. Kalau tidak disediakan,
akan merugikan yang tidak merokok juga karena beberapa dari siswa merokok
di sembarang tempat. Menurut saya sendiri, sepanjang daerah-daerah tertentu
masih banyak tumbuhan, tidak ada masalah. Tapi kalau untuk daerah yang
tidak ada tanaman tapi disitu ada asap rokok, daerah seperti itulah yang
berkewajiban menjadikan daerah tanpa rokok. Tidak bisa melarang orang
untuk berhenti rokok, ada sekian ribu orang yang hidup dari rokok, kasihan
142
kalau dilarang, mereka-mereka yang hidup dari rokok. Cuma sebagai perokok,
harus bisa menempatkan diri supaya tidak menggangu yang lain
4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Sekolah?
Kalau menurut saya sendiri sepanjang daerah-daerah tertentu masih banyak
tumbuhan tidak ada masalah untuk merokok tapi jika untuk daerah yang tidak
ada tanaman tapi disitu ada asap rokok, daerah seperti itulah yang
berkewajiban menjadikan daerah tanpa rokok. Kita tidak bisa melarang orang
untuk berhenti rokok karena ada sekian ribu orang yang hidup dari rokok.
Kasihan kalau dilarang pengonsumsian rokok karena banyak pekerja yang
hidup dari rokok. Perlu ditekankan lagi sebagai perokok, harus bisa
menempatkan diri supaya tidak menggangu orang lain.
5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?
Pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini sejak
diberlakukanya Pergub DIY tentang kawasan tanpa rokok yang di dalamnya
sekolah termasuk tempat yang dimaksud.
6. Apakah ada pedoman untuk melaksanakan kebijakan tanpa rokok di
sekolah ini?
Untuk SOPnya kebijakan kawasan tanpa rokok ini mungkin kita belum
menjalankan sebagaimana mestinya, namun sekolah sudah memasukan
larangan merokok di sekolah pada tata tertib. Pelaksanaan tata tertib diawasi
oleh kepala sekolah dibantu guru dan karyawan. Pihak sekolah juga sudah
memasang tanda dilarang merokok. Tidak ada pedoman dari sekolah untuk
143
melaksanakan kebijakan tanpa rokok, hanya untuk melokalisasi para perokok
supaya tidak menggangu yang tidak merokok.. Jadi oleh Kepala Sekolah yang
almarhum, disediakan tempat khusus untuk merokok di lingkungan sekolah,
ada pohon rindang jadi asapnya bisa dinetralkan. Sehingga tempat tersebut
dijadikan kawasan khusus untuk merokok. Namun untuk saat ini pihak sekolah
mengupayakan untuk menghilangakan kawasan khusus merokok tersebut.
7. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai
kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Dulu pernah dilakukan sosialisasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah
waktu MOS dan setiap awal tahun pelajaran. Untuk guru cara
mensosialisasikannya dengan cara menyampaikan pada rapat, kalau mau
merokok di sana tempatnya jangan di ruangan guru, apalagi perokok pasif
terkena akibatnya yang paling banyak dari perokok yang merokok di
sembarang tempat.
8. Apakah ada program dari pihak sekolah untuk menanggapi Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di sekolah?
Programnya hanya tidak boleh merokok di lingkungan sekolah, sesuai dengan
kebijakan yang ada. Tetapi pada waktu jam istirahat, anak-anak juga merokok
di luar. Daripada merokok di luar ketahuan masyarakat, makanya dilokalisir
oleh sekolah. Kalau saya sendiri karena saya tidak merokok, lebih nyaman
kalau tidak ada yang merokok di sekolah.
144
9. Apakah ada sanksi yang ditetapkan dalam program tersebut?
Sanksinya yang pertama adalah segera mematikan rokok kemudian sanksi yang
kedua disuruh membersihkan tempatnya itu dari abu-abu rokok.
10. Apakah ada tim khusus yang menangani program dari sekolah dalam
menganggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Kalau tim khususnya yang menanggani masalah rokok tidak ada. Tapi itu nanti
masuk dalam kenalakan peserta didik sehingga yang menanggani program
tersebut adalah guru Bimbingan Konseling dan wali kelasnya serta dibantu
wakasek kesiswaan. Kepala Sekolah mengawasi pelaksanaannya.
11. Siapa saja tim yang terlibat di dalamnya?
Tim yang terlibat untuk menangani program kawasan tanpa rokok adalah
guru Bimbingan Konseling dan wali kelas beserta wakasek kesiswaan yang
diawasi langsung oleh kepala sekolah.
12. Apa saja kriteria sebagai tim yang menangani program tersebut?
Untuk krtiteria khusus sebagai tim yang menangani program tersebut tidak
ada, hanya saja guru bimbingan dan konseling memang mempunyai tugas
untuk mengatasi kenakalan siswa sedangkan walikelas menjadi orang tua
siswa di kelas diharapkan memeberikan bimbingan kepada siswanya.
13. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah
sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Tugas dari tim untuk mensukseskan program tersebut hanya mengawasi
siswa di sekolah, jika ada siswa yang melanggar akan diberikan sanksi. Guru
wali kelas juga memasang tulisan dilarang merokok di dalam kelas.
145
14. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program
tersebut?
Untuk anggaran program tersebut pihak sekolah tidak menganggarkan khusus
karena programnya tidak membutuhkan biaya. Pemasangan tulisan dilarang
merokok hanya menggunakan dana lain-lain yang termasuk dalam peralatan
kelas.
15. Apakah anggaran yang telah ditetapkan sudah cukup?
Saya rasa sudah karena cukup sederhana programnya
16. Bagaimana tanggapan tim pelaksana mengenai kebijakan kawasan
tanpa rokok di sekolah?
Tanggapan dari tim pelaksana cukup baik tetapi mereka mengaku kesusahan
untuk mengatur siswa yang merokok sembarangan di sekolah dan ada
beberapa guru yang merokok di sekolah.
17. Siapa saja pihak yang mendukung atau menolak kebijakan kawasan
tanpa rokok di sekolah?
Yang jelas mendukung adalah yang tidak merokok, yang merokok pasti tidak
setuju dengan kawasan tanpa rokok di sekolah karena mereka tidak bisa
merokok di sekolah”
18. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?
Faktor penghambat dalam pelaksanaan program tersebut yang jelas siswa
sudah terbiasa dengan rokok. Banyak siswa yang berhenti rokok sebentar,
tetapi pikirannya menjadi tidak bisa fokus. Guru pun juga begitu. Mungkin
146
mereka akan berhenti, kalau sudah terkena penyakit seperti jantung, dll.
Upaya sekolah saat ini belum pada taraf melarang, hanya melokalisir agar
orang yang merokok punya tempat sendiri sehingga tidak mengganggu orang
yang tidak merokok. Kalau kita melarang, kita mematikan orang yang ada di
belakang produk rokok. Sejauh faktor pendukungnya kita sudah melakukan
sosialisasi mengenai kebijakan tanpa rokok di sekolah, kemudian kami juga
sudah memasukkan larangan merokok di tata tertib sekolah.
147
HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI
Hari/ Tanggal : 25 April 2016
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Narasumber : AI
Jabatan : Siswa
1. Apakah Anda seorang perokok?
Iya mas saya merokok
2. Sejak kapan mulai merokok?
Saya sudah merokok mulai SMP. Awalnya saya hanya mencoba karena teman-
teman saya juga merokok, di rumah bapak juga merokok.
3. Apakah Anda pernah merokok di lingkungan sekolah?
Saya pernah merokok di sekolah bahkan saya sering merokok di dalam kelas
tetapi tergantung gurunya yang lagi mengajar galak atau tidak. Saat ada
kunjungan dari dinas kami tidak merokok mas.
4. Apakah alasan Anda tidak bisa menahan untuk merokok di sekolah?
Alasan saya tidak bisa menahan untuk merokok di sekolah karena melihat
teman-teman yang merokok jadi kepingin. Kalau misalnya baru tidak punya
rokok saya minta ke teman atau makan permen.
5. Bagaimana pendapat Anda mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
di Sekolah?
Bagus itu mas, tetapi untuk perokok seperti saya susah kalau tidak merokok
walaupun hanya sebentar saja.
148
6. Apakah sekolah mengadakan sosialisasi mengenai Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok?
Setahu saya belum pernah ada sosialisasi mas. Saya tidak tahu mas kalau ada
peraturan seperti itu di sekolah ini, tapi saya tahu kalau merokok di sekolah itu
memang tidak boleh.
7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok?
Memasang tulisan dilarang merokok di kelas mas, tetapi itu juga tidak
berpengaruh pada kami yang merokok dan ada juga yang dicopot lagi sama
teman-teman.
8. Apakah Anda setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok di
sekolah ini?
Setuju mas, biar nanti waktu ingin merokok bisa merokok di tempat itu. Dulu
juga sudah disediakan sekolah tetapi sekarang sudah ditebang pohonnya jadi
tidak rindang lagi dan tidak nyaman untuk merokok karena tempatnya sekarang
panas.
9. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar
terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok?
Sanksinya hanya disuruh mematikan rokok terus pindah ke tempat lain,
misalnya ke toilet atau keluar sekolah di angkringan.
149
HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI
Hari/ Tanggal : 27 April 2016
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Narasumber : RO
Jabatan : Siswa
1. Apakah Anda seorang perokok?
Saya tidak merokok mas
2. Apakah Anda pernah merokok di lingkungan sekolah?
Di luar sekolah aja saya tidak merokok apalagi di sekolah mas
3. Bagaimana pendapat Anda mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
di Sekolah?
Ya bagus, agar mereka tidak merokok di sekolah
4. Apakah sekolah mengadakan sosialisasi mengenai Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok?
Kurang tahu saya mas, belum pernah mungkin
5. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok?
Kalau ada yang merokok di kelas disuruh keluar kelas, nanati di luar kelas pada
merokok dulu
150
6. Apakah Anda setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok di
sekolah ini?
Setuju mas, karena disini teman-teman banyak yang merokok. Kasian nanti
kalau tidak disediakan tempat buat merokok
7. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar
terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok?
Sanksinya hanya suruh mematikan rokok terus dibagikan permen
151
CONTOH ANALISIS DATA WAWANCARA
A. Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada
Yogyakarta
1. Komunikasi
Informan Hasil wawancara
AE Dulu pernah dilakukan sosialisasi kebijakan kawasan tanpa
rokok di sekolah waktu MOS dan setiap awal tahun pelajaran.
Untuk guru cara mensosialisasikannya dengan cara
menyampaikan pada rapat, kalau mau merokok di sana
tempatnya jangan di ruangan guru, apalagi perokok pasif
terkena akibatnya yang paling banyak dari perokok yang
merokok di sembarang tempat
EM Pihak sekolah pernah melakukan sosialisasi mengenai
kebijakan tersebut saat rapat sekolah dan pada saat MOS atau
tahun ajaran baru yang dihadiri orang tua siswa. Menurut saya
sosialisasi yang dilakukan tidak berguna karena yang dulu
kepala sekolahnya menyediakan suatu tempat untuk merokok di
lingkungan sekolah. Sekarang dengan pergantian kepala
sekolah mencoba untuk menghilangkan tempat tersebut
TE Ya pernah, pernah ada sosialisasi kepada orang tua siswa pada
saat penerimaan siswa baru. Sosialisasi berupa pembinaan dan
152
penjelasan tentang kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah
Kesimpulan Komunikasi kebijakan yang dilakukan oleh pihak sekolah
menggunakan cara sosialisasi. Sosialiasasi dilakukan saat MOS
dan rapat sekolah.
2. Sumber Daya
Informan Hasil Wawancara
AE Programnya hanya tidak boleh merokok di lingkungan sekolah,
sesuai dengan program yang ada. Tetapi pada waktu jam
istirahat, anak-anak juga merokok di luar sekolah. Nah daripada
merokok diluar ketahuan pihak luar sekolah, makanya
dilokalisir di dalam lingkungan sekolah saja. Kalau saya sendiri
sih, karena saya tidak merokok, lebih nyaman kalau tidak ada
yang merokok
EM Kalau dari pihak sekolah tidak ada program apa-apa, tetapi
kami melakukan pemasangan plang tidak merokok di kelas.
anak-anak tidak peduli. Kalau usaha kita ya bisa nya paling pas
pelajaran di kelas tidak boleh merokok dan menyuruh untuk
mematikan rokok atau menyarankan merokok ke kamar mandi.
Pihak sekolah tidak bisa ketat terhadap para perokok di sekolah
terutama pada siswa, karena beberapa siswa tidak akan masuk
sekolah jika tidak boleh merokok di sekolah
TE Sepertinya di sekolah ini belum ada program yang khusus
153
dibuat untuk menanggapi kawasan tanpa rokok di sekolah
Kesimpulan Pihak sekolah belum bisa memaksimalkan sumber daya yang
ada untuk melaksanakan program karena belum ada program
khusus yang dibuat oleh sekolah untuk menanggapi kebijakan
kawasan tanpa rokok di sekolah
3. Disposisi atau Sikap
Infrorman Hasil wawancara
AE Kalau saya sendiri memang setuju ada tempat khusus
untuk membuat guru ataupun siswa tidak merokok di
sembarang tempat. Kalau tidak disediakan, akan
merugikan yang tidak merokok juga karena beberapa dari
siswa merokok di sembarang tempat. Menurut saya
sendiri, sepanjang daerah-daerah tertentu masih banyak
tumbuhan, tidak ada masalah. Tapi kalau untuk daerah
yang tidak ada tanaman tapi disitu ada asap rokok, daerah
seperti itulah yang berkewajiban menjadikan daerah
tanpa rokok. Tidak bisa melarang orang untuk berhenti
rokok, ada sekian ribu orang yang hidup dari rokok,
kasihan kalau dilarang, mereka-mereka yang hidup dari
rokok. Cuma sebagai perokok, harus bisa menempatkan
diri supaya tidak menggangu yang lain
154
EM Kalau saya tidak setuju mas jika ada tempat khusus
merokok di sekolah, tetapi mau bagaimana lagi melihat
kondisi siswa yang memang sudah tidak bisa diatur lagi
untuk tidak merokok di sekolah
AB Tempat khusus untuk merokok menurut saya itu perlu
karena bagi seorang perokok jika tidak merokok rasanya
pahit. Tempat khusus merokok di sekolah ini memang
diperlukan karena beberapa guru ada yang merokok
termasuk saya. Saya sering merokok di sekolah tetapi
saya merokoknya pada saat tidak mengajar di kelas.
Biasanya saya merokok di ruang guru waktu jeda
mengajar atau pada waktu istirahat
Kesimpulan Sikap yang dimiliki pelaksana kebijakan kawasan tanpa
rokok di SMA Gadjah Mada berbeda-beda. Beberapa
guru tidak setuju dengan adanya tempat khusus merokok
di sekolah, sebagian lainnya setuju. Terdapat guru yang
mengaku sering merokok di sekolah
4. Struktur Birokrasi
Informan Hasil Wawancara
EM Untuk menanggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di
lingkungan sekolah terdapat koordinasi antara kepala
155
sekolah, guru bimbingan konseling dan wali kelas
TE Koordinasi untuk menanggapi kebijakan tersebut dilakukan
oleh guru wali kelas dengan guru bimbingan dan konseling
diawasi oleh kepala sekolah
AB Koordinasi pelaksanaan menanganai kebijakan tersebut
sebagian besar dilakukan oleh guru Bimbingan Konseling
dan wali kelas
Kesimpulan Koordinasi pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di
SMA Gadjah Mada dilakukan oleh guru Bimbingan
Konseling, walikelas, dan guru mata pelajaran. Kepala
sekolah sebagai pemimpin dalam struktur birokrasi
bertugas mengawasi berjalannya kebijakan tersebut.
B. Faktor Pengahambat dan Pendukung Implementasi Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada
1. Faktor Penghambat
Informan Hasil Wawancara
AE Faktor penghambat dalam pelaksanaan program tersebut
yang jelas siswa sudah terbiasa dengan rokok. Banyak
siswa yang berhenti rokok sebentar, tetapi pikirannya
menjadi tidak bisa fokus. Guru pun juga begitu. Mungkin
156
mereka akan berhenti, kalau sudah terkena penyakit
seperti jantung, dll
EM Penghambatnya berasal dari input siswa yang masuk ke
sekolah ini sebagian besar adalah siswa dari sekolah lain
yang dikeluarkan karena kenakalan mereka. Penghambat
lainnya berasal dari anaknya sendiri yang memang tidak
mempunyai keinginan untuk berhenti. Mungkin mereka
berpikir daripada kearah minuman keras atau ke narkoba
mending merokok, itu kata siswanya. Pengaruh
lingkungan mereka juga mempengaruhi seperti keluarga
bermasalah, disini kebanyakan, dari keluarga broken
home, orang tua terlalu sibuk, anaknya terbengkalai,
keadaan orang tua yang tidak mampu kemudian mungkin
dulu SMP nya tidak dapat mengatasi keadaan mereka
yang seperti itu. Beberapa guru ada yang merokok di
sekolah ini. Mereka sering merokok di ruang guru namun
melihat situasi sekitar jika keadaan sepi mereka baru
merokok agar tidak menganggu yang lain. Hal seperti
yang membuat kami susah untuk memberi tahu para
siswa yang merokok karena beberapa guru saja merokok
di sekolah
TE Penghambatnya karena kurang ketegasan dari sekolah
157
Guru-guru disini ada juga yang mengajar di sekolah lain,
untuk kebijakan-kebijakan seperti itu menunggu forum.
Hal-hal mengenai kebijakan dapat disampaikan saat
rapat. Untuk pendukungnya kepala sekolah yang baru
berusaha menghilangkan tempat khusus merokok yang
dibuat oleh mantan kepala sekolah
Kesimpulan Faktor penghambat implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta adalah
kebijakan mantan kepala sekolah yang justru
menyediakan suatu tempat khusus untuk merokok di
sekolah, beberapa guru tidak sejalan dengan kebijakan
kawasan tanpa rokok tersebut dan masih merokok di
lingkungan sekolah, kurangnya koordinasi sekolah dalam
menanggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah,
pihak sekolah kurang tegas dalam memberikan sanksi
kepada para pelanggar kawasan tanpa rokok di sekolah,
keinginan guru dan siswa untuk tidak merokok di sekolah
susah untuk dikendalikan, siswa yang masuk ke SMA
Gadjah Mada sebagian besar adalah pindahan dari
sekolah lain yang dikeluarkan karena perilaku yang
melanggar tata tertib, faktor keadaan keluarga (broken
home, orang tua sibuk, ayah yang merokok) siswa yang
158
membuat mereka menggunakan rokok sebagai pelarian
untuk merokok, dan pengaruh lingkungan dari
masyarakat kepada siswa yang kurang baik
2. Faktor Pendukung
Informan Hasil Wawancara
AB Untuk pendukungnya banyak guru yang tidak suka jika
ada yang merokok di dekatnya jadi mereka itu yang suka
menegur orang merokok di sekolah termasuk saya juga
pernah ditegur.
AE Sejauh faktor pendukungnya kita sudah melakukan
sosialisasi mengenai kebijakan tanpa rokok di sekolah,
kemudian kami juga sudah memasukkan larangan
merokok di tata tertib sekolah.
TE Untuk pendukungnya kepala sekolah yang baru berusaha
menghilangkan tempat khusus merokok yang dibuat oleh
mantan kepala sekolah. Pendukung larangan merokok di
sekolah ini sudah dipasang tanda dilarang merokok dan
pihak sekolah sudah mencoba menghilangkan tempat
khusus merokok dengan menebang pohon yang biasa
digunakan berteduh saat merokok
159
Kesimpulan Faktor pendukung pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa
rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta adalah Kepala
sekolah yang baru berusaha untuk menghilangkan
kawasan khusus untuk merokok, keputusan sekolah
untuk memasang tanda dilarang merokok di sekolah,
pihak sekolah memasukkan aturan larangan merokok ke
dalam tata tertib sekolah, sikap yang ditunjukkan oleh
beberapa guru yang tidak suka jika ada yang merokok di
sekolah baik itu guru maupun siswa.
160
CATATAN LAPANGAN I
Hari/tanggal : Senin, 18 Januari 2016
Waktu : 09.00 WIB
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Kegiatan : Mengantar Surat Ijin Observasi
Deskripsi :
Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk mengantarkan surat ijin
observasi ke bagian Tata Usaha. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan surat
tersebut. Kemudian peneliti diminta untuk datang kembali pada keesokan harinya.
Setelah dirasa cukup, peneliti pamit pulang dan dan mengucapkan terimakasih.
CATATAN LAPANGAN II
Hari/tanggal : Selasa, 19 Januari 2016
Waktu : 08.30 WIB
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Kegiatan : Konfirmasi Surat Ijin Observasi dan Wawancara
Deskripsi :
Peneliti data ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk konfirmasi surat ijin
observasi ke bagian Tata Usaha. Peneliti diminta untuk menemui Bapak Alex.
Bapak Alex bersedia untuk diwawancarai pada hari itu, peneliti melakukan
wawancara terkait data-data awal yang diperlukan dalam pembuatan proposal
penelitian.
161
CATATAN LAPANGAN III
Hari/tanggal : Rabu, 13 April 2016
Waktu : 08.30 WIB
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Kegiatan : Mengantar Surat Ijin Penelitian
Deskripsi :
Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk mengantar surat ijin
penelitian ke bagian Tata Usaha. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan
penelitian, kemudian peneliti menjelaskan bahwa sebelumnya telah melakukan
observasi awal dengan Bapak Alex. Peneliti diminta untuk datang kembali
keesokan harinya untuk konfirmasi surat ijin penelitian.
CATATAN LAPANGAN IV
Hari/tanggal : Kamis, 14 April 2016
Waktu : 09.00 WIB
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Kegiatan : Konfirmasi Surat Ijin Penelitian
Deskripsi :
Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk konfirmasi surat ijin
penelitian yang telah diantarkan pada hari sebelumnya. Peneliti diminta untuk
menemui Bapak Alex selaku Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan. Setelah
bertemu dengan Bapak Alex, peneliti diminta untuk melakukan wawancara
162
dengan Ibu Emil. Peneliti dan bu Emil mengatur jadwal untuk melakukan
wawancara terkait dengan masalah yang sedang diteliti.
CATATAN LAPANGAN V
Hari/tanggal : Senin, 18 April 2016
Waktu : 09.30 WIB
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Kegiatan : Wawancara
Deskripsi :
Peneliti menemui ibu Emil untuk melakukan wawancara. Wawancara dilakukan
didalam ruangan BK. Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan yang kemudian
dijawab oleh ibu Emil dengan sebenar-benarnya sesuai dengan yang terjadi
disekolah tersebut. Wawancara berlangsung kurang lebih 1 jam. Peneliti juga
melakukan observasi dengan melihat temapt khusus merokok di SMA Gadjah
Mada Yogyakarta.
CATATAN LAPANGAN VI
Hari/tanggal : Rabu, 20 April 2016
Waktu : 08.00 WIB
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Kegiatan : Wawancara dan observasi
Deskripsi :
Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta dan menemui Bapak Alex
untuk meminta guru yang dapat diwawancarai, kemudian Bapak Alex
163
memberikan rekomendasi untuk wawancara dengan Ibu Tri Endaryati. Peneliti
menemui ibu Tri Endaryati untuk melakukan wawancara. Wawancara dilakukan
didalam ruangan guru. Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan yang kemudian
dijawab oleh ibu Emil dengan sebenar-benarnya sesuai dengan yang terjadi
disekolah tersebut. Wawancara berlangsung kurang lebih 30 menit. Setelah
melakukan wawancara, peneliti melakukan observasi di lingkungan sekolah.
Peneliti menemukan beberapa puntung rokok yang ada disekitar koridor kelas.
CATATAN LAPANGAN VII
Hari/tanggal : 25 April 2016
Waktu : 10.00 WIB
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Kegiatan : Wawancara dan observasi
Deskripsi :
Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada untuk melakukan wawancara dan observasi
dengan siswa di SMA Gadjah Mada. Peneliti bertemu dengan siswa yang sering
merokok di lingkungan sekolah. Wawancara berlangsung kurang lebih 30 menit.
Setelah melakukan wawancara, peneliti melakukan observasi terkait dengan
masalah penelitian, melihat-lihat kedalam kelas, mengamati kebiasaan siswa di
SMA Gadjah Mada Yogyakarta.
164
CATATAN LAPANGAN VIII
Hari/tanggal : 27 April 2016
Waktu : 10.00 WIB
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Kegiatan : Wawancara dan observasi
Deskripsi :
Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada untuk melakukan wawancara dan observasi
dengan siswa di SMA Gadjah Mada. Peneliti bertemu dengan siswa yang tidak
merokok di lingkungan sekolah. Wawancara berlangsung kurang lebih 30 menit.
Setelah melakukan wawancara, peneliti melakukan observasi terkait dengan
masalah penelitian, melihat-lihat kedalam kelas, mengamati kebiasaan siswa di
SMA Gadjah Mada Yogyakarta.
CATATAN LAPANGAN IX
Hari/tanggal : 3 Mei 2016
Waktu : 09.00 WIB
Tempat : SMA Gadah Mada Yogyakarta
Kegiatan : Wawancara dan observasi
Deskripsi :
Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk melakukan wawancara
dan observasi dengan karyawan TU di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Peneliti
mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Wawancara berlangsung sekitar
165
30 jam. Setelah melakukan wawancara, peneliti melakukan observasi terkait
dengan penelitian dan menemukan beberapa siswa yang merokok di koridor
sekolah.
CATATAN LAPANGAN X
Hari/tanggal : 4 Mei 2016
Waktu : 09.00 WIB
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Kegiatan : Meminta profil sekolah dan observasi
Deskripsi :
Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk meminta profil sekolah
SMA Gadjah Mada. Peneliti menemui Bapak Alex, kemudian beliau
mengarahkan peneliti untuk meminta kepada bagian Tata Usaha. Kemudian
peneliti diberikan hardfile profil sekolah SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah
mendapatkan profil sekolah, peneliti melakukan observasi terkait dengan
penelitian
CATATAN LAPANGAN XI
Hari/tanggal : 5 Mei 2016
Waktu : 08.30 WIB
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Kegiatan : Wawancara dan observasi
Deskripsi :
166
Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk melakukan wawancara
dan observasi dengan Bapak Arinta selaku kepala sekolah. Peneliti mengajukan
beberapa pertanyaan terkait dengan implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok
di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Wawancara berlangsung sekitar 1 jam. Setelah
melakukan wawancara, peneliti melakukan observasi terkait dengan penelitian.
CATATAN LAPANGAN XII
Hari/tanggal : 9 Mei 2016
Waktu : 10.00 WIB
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Kegiatan : Wawancara dan observasi
Deskripsi :
Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk melakukan wawancara
dan observasi dengan Bapak Alex selaku guru dan wakil kepala sekolah bagian
kesiswaan. Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Wawancara
berlangsung sekitar 45 menit. Setelah melakukan wawancara, peneliti melakukan
observasi terkait dengan penelitian.
167
CATATAN LAPANGAN XIII
Hari/tanggal : 11 Mei 2016
Waktu : 10.00 WIB
Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta
Kegiatan : Wawancara dan observasi
Deskripsi :
Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk melakukan wawancara
dan observasi dengan satpam sekolah yang sering mengamati perilaku siswa di
sekolah. Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Wawancara
berlangsung sekitar 30 menit. Setelah melakukan wawancara, peneliti melakukan
observasi terkait dengan penelitian.
FOTO HASIL WAWANCARA PENELITIAN
168
Peneliti melakukan wawancara dengan
Kepala Sekolah
Peneliti melakukan wawancara dengan
Guru
Peneliti melakukan wawancara dengan
Guru BK Peneliti melakukan wawancara dengan
siswa
Peneliti melakukan wawancara dengan
Guru
FOTO HASIL OBSERVASI PENELITIAN
169
Area khusus merokok
Area khusus merokok ini berada di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Area
tersebut terletak berada di antara ruang tata usaha dan kelas. Penggunaan area
tersebut dikhususkan oleh pihak sekolah kepada para perokok karena banyak
siswa yang merokok di sekolah. Area khusus merokok ini merupakan hasil
keputusan dari mantan Kepala Sekolah yang saat ini sudah digantikan oleh Bapak
AE selaku Pelaksana Tugas Kepala Sekolah. Saat ini dengan pergantian kepala
sekolah area khusus merokok di SMA Gadjah Mada mulai dihilangan dengan cara
memotong pohon rindang yang berada di area tersebut. Langkah untuk memotong
pohon tersebut karena para siswa menyukai kerindangan pohon tersebut untuk
merokok di bawahnya. Area tersebut kerap dijadikan oleh para siswa untuk
berkumpul dan merokok bersama.
FOTO HASIL OBSERVASI PENELITIAN
170
Asbak dan puntung rokok di ruang guru
Asbak dan puntung rokok tersebut ditemukan di ruang guru. Pengambilan
foto absak dan puntung rokok hanya berselang beberapa detik seorang guru
mematikan rokoknya pada asbak dengan adanya hal seperti itu menunjukkan
bahwa ada guru yang merokok di area sekolah. Perilaku yang ditunjukkan guru
tersebut bisa menjadi contoh buruk bagi siswa dan bertentangan dengan
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.
FOTO HASIL OBSERVASI PENELITIAN
171
Beberapa siswa merokok di koridor sekolah
Foto di atas menunjukkan dua siswa SMA Gadjah Mada Yogyakarta sedang
merokok di koridor sekolah padahal sudah disediakan tempat khusus merokok.
Perilaku merokok di sekolah jelas bertentangan dengan Permendikbud Nomor 64
tahun 2015 tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.
FOTO HASIL OBSERVASI PENELITIAN
172
Puntung dan bungkus rokok dibuang sembarangan
di sekitar koridor sekolah
Bungkus dan puntung rokok yang dibuang sembarangan oleh siswa tersebut
menunjukkan bahwa siswa sudah biasa merokok di lingkungan sekolah. Para
siswa tidak akan membuang sampah rokok tersebut di koridor sekolah jika
mereka tidak terbiasa merokok di tempat tersebut.
176
SALINAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 64 TAHUN 2015
TENTANG
KAWASAN TANPA ROKOK DI LINGKUNGAN SEKOLAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan perilaku hidup bersih dan
sehat didukung dengan penciptaan lingkungan sekolah
yang bebas dari pengaruh rokok;
b. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan secara
menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan dari dampak
buruk rokok, perlu menciptakan kawasan tanpa rokok di
lingkungan sekolah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Kawasan
Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah;
177
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5105) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa
Produk Tembakau Bagi Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 278, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5380);
5. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);
6. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 15);
7. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang
Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri
Kabinet Kerja;
178
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DI LINGKUNGAN
SEKOLAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Sekolah adalah Sekolah Dasar/Sekolah Dasar Luar Biasa
(SD/SDLB), Sekolah Menengah Pertama/Sekolah
Menengah Pertama Luar Biasa (SMP/SMPLB), Sekolah
Menengah Atas/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa
(SMA/SMALB), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
baik negeri maupun swasta.
2. Lingkungan sekolah adalah lokasi tempat berlangsungnya
kegiatan belajar mengajar baik yang bersifat kurikuler
maupun ekstra kurikuler.
3. Pihak lain adalah orang yang melakukan aktivitas di
dalam lingkungan sekolah, selain kepala sekolah, guru,
tenaga kependidikan, dan peserta didik.
4. Kawasan tanpa rokok adalah ruangan atau area yang
dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau
kegiatan memproduksi, menjual, dan/atau
mempromosikan rokok.
Pasal 2
Kawasan tanpa rokok bertujuan untuk menciptakan
Lingkungan sekolah yang bersih, sehat, dan bebas rokok.
Pasal 3
Sasaran Kawasan tanpa rokok di Lingkungan Sekolah:
a. kepala sekolah;
b. guru;
c. tenaga kependidikan;
d. peserta didik; dan
e. pihak lain di dalam Lingkungan sekolah.
179
Pasal 4
Untuk mendukung Kawasan tanpa rokok di Lingkungan
Sekolah, Sekolah wajib melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. memasukkan larangan terkait rokok dalam aturan tata
tertib sekolah;
b. melakukan penolakan terhadap penawaran iklan, promosi,
pemberian sponsor, dan/atau kerja sama dalam bentuk
apapun yang dilakukan oleh perusahan rokok dan/atau
organisasi yang menggunakan merek dagang, logo,
semboyan, dan/atau warna yang dapat diasosiasikan
sebagai ciri khas perusahan rokok, untuk keperluan
kegiatan kurikuler atau ekstra kulikuler yang
dilaksanakan di dalam dan di luar Sekolah;
c. memberlakukan larangan pemasangan papan iklan,
reklame, penyebaran pamflet, dan bentuk-bentuk iklan
lainnya dari perusahaan atau yayasan rokok yang beredar
atau dipasang di Lingkungan Sekolah;
d. melarang penjualan rokok di kantin/warung sekolah,
koperasi atau bentuk penjualan lain di Lingkungan
Sekolah; dan
e. memasang tanda kawasan tanpa rokok di Lingkungan
Sekolah.
Pasal 5
(1) Kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik,
dan Pihak lain dilarang merokok, memproduksi, menjual,
mengiklankan, dan/atau mempromosikan rokok di
Lingkungan Sekolah.
(2) Kepala sekolah wajib menegur dan/atau memperingatkan
dan/atau mengambil tindakan terhadap guru, tenaga
kependidikan, dan peserta didik apabila melakukan
larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Kepala sekolah dapat memberikan sanksi kepada guru,
tenaga kependidikan, dan Pihak lain yang terbukti
melanggar ketentuan Kawasan tanpa rokok di Lingkungan
Sekolah.
180
(4) Guru, tenaga kependidikan, dan/atau peserta didik dapat
memberikan teguran atau melaporkan kepada kepala
sekolah apabila terbukti ada yang merokok di Lingkungan
Sekolah.
(5) Dinas pendidikan setempat sesuai dengan kewenangannya
memberikan teguran atau sanksi kepada kepala sekolah
apabila terbukti melanggar ketentuan Kawasan tanpa
rokok di Lingkungan Sekolah berdasarkan laporan atau
informasi dari guru, tenaga kependidikan, peserta didik,
dan/atau Pihak lain.
Pasal 6
Larangan penjualan rokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf d dan pasal 5 ayat (1) berlaku juga terhadap
larangan penjualan permen berbentuk rokok atau benda lain
yang dikonsumsi maupun yang tidak dikonsumsi yang
menyerupai rokok atau tanda apapun dengan merek dagang,
logo, atau warna yang bisa diasosiasikan dengan
produk/industri rokok.
Pasal 7
(1) Dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangan melakukan pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan Peraturan Menteri ini secara berkala paling
sedikit dalam satu tahun.
(2) Dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota menyusun
dan menyampaikan hasil pelaksanaan pemantauan
kepada walikota, bupati, gubernur, dan/atau menteri
terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan kewenangannya.
(3) Sekolah wajib melakukan pembinaan kepada peserta didik
yang merokok di dalam maupun di luar Lingkungan
Sekolah sesuai dengan tata tertib yang berlaku di sekolah.
181
Pasal 8
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2015
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA,
TTD.
ANIES BASWEDAN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD.
WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1982
Salinan sesuai dengan aslinya. Kepala Biro
Hukum dan Organisasi, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan,
TTD.
Aris Soviyani
NIP196112071986031001
182
GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN
GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 42
TAHUN 2009
TENTANG
KAWASAN DILARANG MEROKOK DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 11 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Kawasan
Dilarang Merokok;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Jogjakarta sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1955 Nomor 43, Tembahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 827);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 tentang Berlakunya Undang-
Undang Nomor 2, 3, 10 dan 11 Tahun 1950;
4. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2007
tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun 2009 Nomor 5);
5. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2007
tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 2009 Nomor 7);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG KAWASAN DILARANG MEROKOK.
BAB I KETENTUAN
UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Kawasan Dilarang Merokok adalah ruang atau area yang dinyatakan dilarang untuk merokok
meliputi tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat spesifik sebagai tempat
belajar mengajar, area kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.
183
2. Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang
dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tobacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau
sintetisnya yang mengandung nikotin, tar, dan zat adiktif dengan atau tanpa bahan tambahan.
3. Tempat atau ruangan adalah bagian dari suatu bangunan gedung yang berfungsi sebagai
tempat melakukan kegiatan dan/atau usaha.
4. Tempat Umum adalah sarana yang diselenggarakan oleh Pemerintah, swasta atau
perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat termasuk tempat umum milik
Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, gedung perkantoran umum, tempat pelayanan
umum, tempat perbelanjaan, tempat rekreasi dan sejenisnya.
5. Tempat Pelayanan Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, Swasta, Yayasan, Lembaga Sosial,
Perorangan dan/atau Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM).
6. Tempat Kerja adalah ruang tertutup yang bergerak atau tidak bergerak dimana tenaga kerja
bekerja atau tempat yang sering dimasuki tenaga kerja dan tempat sumber-sumber bahaya.
7. Tempat Proses Belajar mengajar adalah tempat proses belajar mengajar baik di dalam
ruangan maupun di luar ruangan kegiatan proses belajar mengajar.
8. Arena Kegiatan Anak-anak adalah tempat atau arena yang diperuntukkan kegiatan anak-
anak, seperti Tempat Penitipan Anak (TPA), tempat pengasuhan anak, arena bermain anak-
anak, atau sejenisnya.
9. Tempat Ibadah adalah tempat yang digunakan untuk kegiatan ibadah keagamaan seperti:
masjid, gereja, pura, dan vihara.
10. Angkutan Umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan darat,
air, dan udara.
11. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
12. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten Bantul, Pemerintah Kabupaten
Kulon Progo, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, Pemerintah Kabupaten Sleman, dan
Pemerintah Kota Yogyakarta,
184
Pasal 2
Penetapan kawasan dilarang merokok dimaksudkan untuk:
a. melindungi masyarakat dan/atau kelompok rentan (bayi, balita, ibu hamil, dan lansia) terhadap
risiko ancaman gangguan kesehatan akibat asap rokok; dan
b. menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian akibat asap rokok.
Pasal 3
Penetapan kawasan dilarang merokok bertujuan untuk:
a. mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih; dan
b. mewujudkan masyarakat yang sehat.
BAB II
185
PENETAPAN KAWASAN DILARANG MEROKOK
Pasal 4
(1) Dengan Peraturan ini menetapkan Kawasan Dilarang Merokok meliputi Tempat Pelayanan
Kesehatan, Tempat Proses Belajar Mengajar, Arena Kegiatan Anak-anak, Tempat Ibadah,
Angkutan Umum, Tempat Umum, dan Tempat Kerja, dengan rincian keterangan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
(2) Penanggung jawab Tempat Umum dan Tempat Kerja yang ditetapkan sebagai Kawasan
Dilarang Merokok dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok.
(3) Ibu hamil, anak berusia kurang dari 19 tahun, dan anak yang mengenakan seragam sekolah
tidak boleh memasuki tempat khusus untuk merokok.
(4) Bupati/Walikota dapat menetapkan tempat lain sebagai Kawasan Dilarang Merokok selain yang
ditetapkan pada ayat (1).
BAB III
TANDA DILARANG MEROKOK
Pasal 5
(1) Tempat yang ditetapkan sebagai Kawasan Dilarang Merokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dilengkapi dengan tanda atau simbol dilarang merokok.
(2) Tempat khusus untuk merokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilengkapi
dengan tanda atau simbol tempat merokok.
(3) Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa tanda atau simbol
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan Lampiran III, yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari Peraturan ini.
(4) Penempatan tanda dilarang merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mudah terlihat
dan tidak mengganggu keindahan tempat.
(5) Penanggungjawab penempatan tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditentukan oleh Kepala instansi/kantor/lembaga sesuai dengan kewenanganya.
(6) Penanggung jawab pengadaan tanda atau simbol sebagaimana dimaksud pada ayat (3) oleh
Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya.
BAB V
PEMBINAAN
Pasal 6
Pimpinan dan/atau penanggung jawab instansi/kantor/lembaga sesuai dengan kewenangannya
bertanggungjawab melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan Peraturan ini.
BAB VI
186
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 7
Peraturan ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan
penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 14 Oktober 2009
GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
ttd
HAMENGKU BUWONO X Diundangkan di Yogyakarta
pada tanggal 14 Oktober 2009
SEKRETARIS DAERAH
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
ttd
TRI HARJUN ISMAJI
BERITA DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2009 NOMOR 42
187
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TENTANG
KAWASAN DILARANG MEROKOK I. UMUM
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna
tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar
dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta perlu diselenggarakan berbagai
upaya, yang salah satunya adalah dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur tentang Kawasan
dilarang Merokok.
Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang
dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya
yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Rokok juga merupakan salah
satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan
masyarakat, oleh karena dalam rokok terdapat kurang lebih 4.000 (empat ribu) zat kimia antara lain
nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik, yang dapat mengakibatkan berbagai
penyakit antara lain kanker, penyakit jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema, bronkitis kronik,
dan gangguan kehamilan.
Tingkat kematian akibat kebiasaan merokok di Indonesia telah mencapai 57.000 (lima puluh
tujuh ribu) orang setiap tahunnya dan 4.000.000 (empat juta) kematian di dunia setiap tahunnya.
Pada tahun 2030 diperkirakan tingkat kematian di dunia akibat konsumsi tembakau akan mencapai
10.000 (sepuluh ribu) orang tiap tahunnya dengan sekitar 70% (tujuh puluh persen) terjadi di negara-
negara berkembang termasuk Indonesia.
Perokok aktif di Indonesia termasuk di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta cukup tinggi.
Perokok aktif biasa merokok di mana saja ada kesempatan, tanpa memperhitungkan dampak
kerugian yang dialami oleh perokok pasif yakni yang tidak merokok namun turut menghirup asap
rokok. Peraturan Gubernur tentang Kawasan Dilarang Merokok ini merupakan salah satu upaya
dalam rangka membatasi perokok aktif untuk tidak merokok di tempat umum dan di tempat yang
merupakan Kawasan Dilarang Merokok.
Peraturan Gubernur bukan untuk melarang merokok, namun untuk mengatur perilaku merokok
dengan tujuan:
a. melindungi kesehatan dari bahaya akibat merokok;
b. membudayakan hidup sehat;
c. menekan perokok pemula;
d. melindungi kesehatan perokok pasif.
Tempat yang merupakan Kawasan Dilarang Merokok adalah tempat pelayanan kesehatan,
tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat
umum, dan tempat kerja. Untuk tempat umum dan tempat kerja dapat menyediakan kawasan untuk
merokok (smoking area) dan tidak diperkenankan merokok selain di kawasan ini.
Pemimpin/pengelola tempat Kawasan Dilarang Merokok bertanggungjawab memberikan
informasi tentang larangan merokok dengan penandaan berupa stiker, tulisan atau tempelan lainnya,
disamping juga melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan peraturan ini di lingkungan yang
menjadi kewenangannya.
188
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
189
LAMPIRAN I
PERATURAN GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TANGGAL 14 OKTOBER 2009
KAWASAN DILARANG MEROKOK
No. Kawasan Dilarang Merokok Keterangan
I. Tempat Umum 1. Terminal Angkutan Umum Antar Kota Antar Provinsi
(AKAP)
2. Bandara Adi Sucipto
3. Stasiun Kereta Api
4. Halte Bus di Provinsi DIY
II. Tempat Kerja 1. Kantor/instansi/Lembaga/Badan/ Dinas Pemerintah
Daerah Provinsi DIY, Pemerintah Kabupaten/Kota di
Provinsi DIY
2. Kantor/instansi/Lembaga/ Badan Pemerintah Pusat
yang ada di wilayah Provinsi DIY
3. Kantor/instansi/Lembaga Swasta di wilayah Provinsi
DIY
III. Tempat Proses Belajar
Mengajar
Tempat proses belajar mengajar dari tingkat usia dini
sampai dengan perguruan tinggi baik pendidikan formal
maupun non formal
IV. Tempat Pelayanan
Kesehatan
Rumah Sakit/Puskesmas /Balai Pengobatan/Rumah
Bersalin/praktek bersama/praktek perorangan/apotik
V. Arena Kegiatan Anak-anak Taman Pintar, Kids Fun, dan tempat lain sejenis untuk
bermain anak
VI. Tempat Ibadah Masjid, Gereja, Vihara, Pura, Klenteng dan tempat lain
sejenis yang digunakan untuk ibadah
VII. Angkutan Umum 1. Angkutan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP)
2. Angkutan Antar Kota Antar Provinsi (AKAP)
3. Taksi di Provinsi DIY
4. Angkutan Pariwisata di Provinsi DIY
5. Angkutan Sewa di Provinsi DIY
GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
ttd
HAMENGKU BUWONO X
190
LAMPIRAN II
PERATURAN GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TANGGAL 14 OKTOBER 2009
TANDA ATAU PETUNJUK TULISAN
”KAWASAN DILARANG MEROKOK”
KAWASAN DILARANG
MEROKOK
Peraturan Gubernur No Tahun
TANDA ATAU PETUNJUK TULISAN
”TEMPAT MEROKOK”
TEMPAT MEROKOK Ibu hamil, anak berseragam sekolah, dan anak dibawah
usia 19 tahun dilarang masuk
Peraturan Gubernur No Tahun
GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
ttd
HAMENGKU BUWONO X
191
LAMPIRAN III
PERATURAN GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TANGGAL 14 OKTOBER 2009
A. Simbol Kawasan Dilarang Merokok B. Simbol Tempat Merokok
KAWASAN DILARANG
MEROKOK
TEMPAT
MEROKOK
GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
ttd
HAMENGKU BUWONO X
192
WALIKOTA YOGYAKARTA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA
NOMOR 12 TAHUN 2015
TENTANG KAWASAN
TANPA ROKOK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA KOTA YOGYAKARTA,
Menimbang : a. bahwa rokok merupakan hasil olahan tembakau dan
sintesis yang mengandung nikotin dan tar yang membahayakan bagi kesehatan manusia;
b. bahwa Pasal 115 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan mewajibkan Pemerintah Daerah menetapkan Kawasan Tanpa Rokok;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Walikota tentang Kawasan Tanpa Rokok;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Timur, Djawa Tengah, Djawa
Barat dan Dalam Daerah Istimewa Yogyakarta (Diundangkan pada tanggal 14 Agustus 1950);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5657 dan Nomor 5589);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 tentang
Berlakunya Undang-Undang Nomor 2, 3, 10 dan 11 Tahun 1950 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950
Nomor 58);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Aditif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 278, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5380);
193
6. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 188/MENKES/PB/I/2011 dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49);
7. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009 Nomor 5);
8. Peraturan Gubernur DIY Nomor 42 Tahun 2009 tentang Kawasan Dilarang Merokok (Berita Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009 Nomor 42);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK.
BAB I KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Walikota ini yang dimaksud dengan:
1. Kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, sosial dan
budaya yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
2. Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek,
rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya atau
sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
3. Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat KTR adalah tempat atau
ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk merokok,
memproduksi, menjual, dan mempromosikan rokok.
4. Tempat atau Gedung Tertutup adalah tempat atau ruang yang ditutup oleh
atap dan/atau dibatasi oleh satu dinding atau lebih terlepas dari material yang digunakan dengan struktur permanen atau sementara.
5. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan, baik yang dimiliki dan/atau dikelola oleh pemerintah, swasta, masyarakat, dan/atau perorangan.
6. Tempat Proses Belajar-mengajar adalah tempat yang dimanfaatkan untuk
kegiatan belajar dan mengajar dan/atau pendidikan dan/atau pelatihan baik formal maupun non-formal.
7. Tempat anak bermain adalah tempat atau arena yang diperuntukkan untuk kegiatan anak-anak.
8. Tempat Ibadah adalah tempat yang digunakan untuk kegiatan keagamaan.
9. Angkutan Umum Penumpang adalah angkutan penumpang yang
menggunakan kendaraan umum dengan sistem membayar atau menyewa.
10. Tempat Kerja adalah setiap tempat atau gedung tertutup atau terbuka yang bergerak dan atau tidak bergerak yang digunakan untuk bekerja dengan mendapatkan kompensasi normal (gaji/upah) termasuk tempat
lain yang dilintasi oleh pekerja di Kawasan Tanpa Rokok.
194
11. Tempat Umum adalah semua tempat tertutup yang dapat diakses oleh
masyarakat umum dan/atau tempat yang dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat, terlepas dari kepemilikan atau hak untuk
menggunakan yang dikelola oleh negara, swasta, dan/atau masyarakat.
12. Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab kawasan tanpa rokok adalah
orang dan/atau badan hukum yang karena jabatannya memimpin atau bertanggung jawab atas kegiatan dan/atau sarana prasarana di kawasan
yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok, baik milik pemerintah maupun swasta.
13. Daerah adalah Kota Yogyakarta.
14. Pemerintah Daerah adalah Walikota berserta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
15. Walikota adalah Walikota Kota Yogyakarta.
Pasal 2
Maksud Penetapan Kawasan Tanpa Rokok adalah untuk memberikan jaminan perolehan lingkungan udara yang bersih dan sehat bagi masyarakat.
Pasal 3
Tujuan penetapan Kawasan Tanpa Rokok untuk:
a. memberikan perlindungan dari bahaya asap rokok bagi perokok aktif dan/atau perokok pasif;
b. memberikan ruang dan lingkungan yang bersih, sehat serta bebas dari asap rokok bagi masyarakat;
c. melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk merokok baik langsung maupun tidak langsung;
d. memenuhi rasa aman dan nyaman warga; dan
e. meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat.
BAB II KAWASAN TANPA
ROKOK
Pasal 4
Kawasan Tanpa Rokok meliputi:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar-mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. fasilitas olahraga;
f. angkutan umum;
g. tempat kerja; dan
h. tempat umum.
Pasal 5
Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a adalah:
a. rumah sakit;
b. klinik;
c. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas);
d. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu);
e. tempat praktek kesehatan;
f. apotek; dan
g. toko obat.
195
Pasal 6
Tempat belajar mengajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b
adalah:
a. sekolah;
b. perguruan tinggi;
c. balai pendidikan dan pelatihan;
d. balai latihan kerja;
e. tempat bimbingan belajar;
f. tempat kursus; dan
g. gedung dan kawasan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Pasal 7
Tempat anak bermain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c adalah:
a. area bermain anak; dan
b. tempat penitipan anak;
Pasal 8
Tempat ibadah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d adalah:
a. pura;
b. masjid/mushola;
c. gereja;
d. vihara; dan
e. klenteng.
Pasal 9
Fasilitas olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e adalah:
a. gedung olahraga;
b. kolam renang; dan
c. tempat senam;
Pasal 10
Angkutan umum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f adalah:
a. bus umum;
b. taksi;
c. kereta api; dan
d. kendaraan wisata,
e. angkutan anak sekolah; dan
f. angkutan karyawan.
Pasal 11
Tempat kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf g adalah:
a. kantor pemerintah;
b. kantor milik pribadi/swasta; dan
c. industri/pabrik.
Pasal 12
Tempat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf h adalah:
a. tempat wisata;
b. tempat hiburan;
c. hotel
d. restoran;
196
e. kantin;
f. halte;
g. terminal angkutan umum; dan
h. stasiun kereta api.
Pasal 13
(1) Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf g dan h menyediakan tempat
khusus merokok.
(2) Tempat khusus merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. merupakan ruang terbuka yang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik;
b. terpisah dari gedung utama dan ruang lain yang digunakan untuk beraktifitas;
c. jauh dari pintu masuk dan keluar; dan
d. jauh dari tempat orang berlalu-lalang.
BAB III KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 14
(1) Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan bertanggung jawab untuk melaksanakan
penetapan kawasan tanpa rokok.
(2) Satuan Kerja Perangkat Daerah berkewajiban menindaklanjuti penetapan kawasan tanpa rokok, dengan:
a. mengumpulkan data dan informasi tentang kawasan tanpa rokok di
Daerah;
b. melakukan pendidikan tentang bahaya rokok bagi masyarakat;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kawasan tanpa rokok; dan
d. melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kawasan tanpa rokok;
(3) Setiap pengelola Kawasan Tanpa Rokok wajib:
a. memasang papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok dengan memuat
tanda larangan merokok, larangan mengiklankan produk rokok dan larangan menjual produk rokok;
b. melakukan pengawasan internal pada tempat dan/atau lokasi yang menjadi tanggung jawabnya; dan
c. menghilangkan asbak di kawasan tanpa rokok
(4) Contoh Tanda larangan merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.
BAB IV LARANGAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 15
(1) Setiap orang dilarang merokok di Kawasan Tanpa Rokok.
(2) Setiap orang dan/atau badan dilarang menjual dan/atau membeli rokok di
Kawasan Tanpa Rokok.
197
(3) Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab kawasan tanpa rokok dilarang
membiarkan dan/atau mengizinkan merokok, memproduksi, menjual,
mempromosikan rokok dan menerima sponsor produk rokok.
(4) Setiap orang dilarang menjual rokok kepada anak dibawah usia 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 16
Setiap orang dilarang merokok di luar Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 apabila kawasan tersebut terdapat ibu hamil, anak- anak dan orang lanjut usia.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu Pembinaan
Pasal 17
(1) Walikota atau Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas
pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan melakukan pembinaan terhadap penataan dan pengelolaan Kawasan Tanpa Rokok.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyebarluasan informasi dan sosialisasi;
b. koordinasi dan bekerja sama dengan seluruh lembaga pemerintah dan non-pemerintah baik nasional maupun internasional.
c. memberikan pedoman pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok; dan
d. menindaklanjuti hasil monitoring dan evaluasi implementasi Kawasan
Tanpa Rokok;
Pasal 18
(1) Pembinaan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan dan SKPD lainnya.
(2) SKPD lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya dalam urusan pendidikan
melakukan pembinaan terhadap KTR tempat proses belajar mengajar dan tempat anak bermain dan/atau berkumpulnya anak-anak;
b. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya dalam urusan sosial melakukan
pembinaan terhadap KTR tempat ibadah;
c. SKPD yang tugas dan fungsinya dalam urusan perhubungan melakukan pembinaan terhadap KTR angkutan umum;
d. SKPD yang tugas dan fungsinya dalam urusan olahraga melakukan pembinaan terhadap KTR fasilitas olahraga;
e. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya dalam urusan ketenagakerjaan melakukan pembinaan KTR tempat kerja;
f. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya dalam urusan pariwisata
melakukan pembinaan KTR tempat pariwisata; dan
g. SKPD sebagai KTR melakukan pembinaan terhadap lingkungannnya.
(3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan
oleh Sekretaris Daerah.
198
Pasal 19
(1) Pembinaan pelaksanaan KTR dalam rangka pengembangan kemampuan
masyarakat untuk berperilaku hidup sehat.
(2) Pembinaan pelaksanaan KTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh SKPD sesuai bidang tugasnya dan/atau wewenangnya di bawah koordinasi Sekretaris Daerah.
Pasal 20
Pembinaan KTR dilaksanakan dengan :
a. bimbingan
b. penyuluhan;
c. pemberdayaan masyarakat; dan
d. menyiapkan petunjuk teknis.
Bagian Kedua Pengawasan
Pasal 21
(1) Walikota atau Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan dan SKPD lainnya bersama-
sama masyarakat, badan, lembaga dan/atau organisasi kemasyakatan melakukan pengawasan pelaksanaan KTR.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dibentuk Tim Pengawas KTR yang ditetapkan dengan Keputusan Walikota.
Pasal 22
(1) Pengawasan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
(2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaporkan oleh masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah setiap 3 (tiga) bulan sekali.
Pasal 23
(1) Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR wajib melakukan
inspeksi dan pengawasan di KTR yang menjadi tanggung jawabnya.
(2) Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR harus melaporkan hasil inspeksi dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
SKPD terkait setiap 3 (tiga) bulan sekali.
Pasal 24
(1) SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan
dan SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan ketertiban berkoordinasi dengan SKPD lainnya melakukan inspeksi dan pengawasan di KTR.
(2) SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan selanjutnya melaporkan hasil inspeksi dan pengawasan kepada kepada Walikota.
Pasal 25
Pelaksanan pengawasan dan inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.
199
BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 26
(1) Partisipasi masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk:
a. memberi saran, pendapat, dan pemikiran, usulan dan pertimbangan
berkenaan dengan pemantauan dan pelaksanaan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok;
b. pemberian bimbingan dalam penyuluhan serta penyebarluasan
informasi kepada masyarakat tentang Kawasan Tanpa Rokok;
c. menetapkan lingkungan tanpa asap rokok di rumah dan lingkungan tempat tinggalnya;
d. melakukan pengadaan dan pemberian bantuan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok;
e. melaporkan setiap orang yang melanggar Pasal 15 kepada, pengelola, pimpinan dan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok; dan
f. mengingatkan setiap orang yang terbukti melanggar Pasal 16.
(2) Walikota atau Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan menyebarluaskan informasi
berkenaan dengan partisipasi masyarakat dalam penataan dan pengelolaan Kawasan Tanpa Rokok.
BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 27
(1) Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR yang melanggar ketentuan Pasal 15, dikenakan sanksi berupa:
a. peringatan lisan;
b. peringatan tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
d. pencabutan izin atau rekomendasi pencabutan izin sesuai dengan
kewenangan Pemerintah Daerah.
(2) Tata cara pemberian Sanksi Administratif di KTR:
a. tim pengawas KTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
memberikan peringatan lisan kepada pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR;
b. apabila peringatan lisan tidak diindahkan selama 30 (tiga puluh) hari
kalender, maka tim pengawasan KTR memberikan peringatan tertulis
kepada pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR;
c. apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak peringatan
tertulis diterima, pimpinan atau penanggungjawab KTR belum memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam peringatan tertulis,
maka Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab kawasan tanpa rokok diberikan sanksi berupa penghentian sementara; dan
d. Setelah masa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada
huruf c berakhir dan pengelola, pimpinan, atau penanggungjawab KTR belum memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam peringatan tertulis, maka Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab kawasan
tanpa rokok diberikan sanksi berupa pencabutan izin
200
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Peraturan Walikota ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan
Walikota ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kota Yogyakarta.
Ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 2 Maret 2015
WALIKOTA YOGYAKARTA,
ttd
HARYADI SUYUTI
Diundangkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Maret 2015
SEKRETARIS DAERAH KOTA YOGYAKARTA,
ttd
TITIK SULASTRI
BERITA DAERAH KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2015 NOMOR 12
201
LAMPIRAN I KEPUTUSAN WALIKOTA YOGYAKARTA
NOMOR 12 TAHUN 2015
TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK
TANDA LARANGAN MEROKOK
WALIKOTA YOGYAKARTA,
ttd
HARYADI SUYUTI
202
No.
Indikator
Ged. I
Ged. II
Ged. III
Ged. IV
Ged. V Sebutkan lokasi di dalam gedung yang diperiksa, seperti: lobi, ruang tunggu,
ruang kerja, restoran, bar,
ruang kelas, kamar kecil,
ruang tunggu pasien, ruang dokter, kamar hotel, dll)
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
1 Ditemukan orang merokok di dalam gedung
2 Ditemukan ruang khusus merokok di dalam gedung
3 Ditemukan tanda dilarang merokok di semua pintu masuk
4 Tercium bau asap rokok
5 Ditemukan asbak dan korek api di dalam gedung
6 Ditemukan puntung rokok di dalam gedung
7 Ditemukan indikasi kerjasama dengan Industri tembakau dalam bentuk sponsor, promosi, iklan rokok (misalnya: serbet, tatakan gelas, asbak, poster, spanduk, billboard, dll)
8 Ditemukan penjualan rokok di lingkungan gedung Kawasan Tanpa Rokok.
LAMPIRAN II KEPUTUSAN WALIKOTA YOGYAKARTA
NOMOR 12 TAHUN 2015
TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK
FORMULIR ATAU LEMBAR PENGAWASAN KAWASAN TANPA ROKOK
Section A Nama
Formulir Pemantauan Wilayah KTR
Implementasi KTR 100%
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor .... Tahun 2015
Logo Pemkot
Institusi : Nama Petugas Inspeksi:
Tanggal Kunjungan :
Waktu Kunjungan :
Section B
203
Section C
Pertanyaan untuk Pengelola Gedung:
Komentar tambahan oleh Petugas
Inspeksi Apakah anda tahu tentang kebijakan KTR di Kota Yogyakarta yang melarang orang merokok di
1 dalam gedung? Ya
2 Apakah anda mendukung dan melaksanakan kebijakan KTR di Kota Yogyakarta ? Ya
Apakah anda tahu bahwa Kebijakan KTR harus dilaksanakan oleh Pengelola 3 Gedung? Ya
Apakah anda tahu bahwa Pengelola Gedung akan terkena sanksi jika tidak melaksanakan 4 Kebijakan KTR? Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
5
Kendala apa saja yang anda hadapi ketika melaksanakan
Kebijakan Kota Yogyakarta Bebas Rokok di lembaga anda? Tolong
sebutkan.
Solusi apa saja yang dapat dilakukan? Tolong sebutkan.
1
2
3
1
2
3
Section D Masukkan kepada Pengelola Gedung untuk perbaikan (Petugas Inspeksi harus langsung memberikan masukkan berdasarkan hasil inspeksi)
Petugas Inspeksi: Kepala Institusi/ Pimpinan Pengelola Gedung
Tandatangan: ( ) Tandatangan: ( )
Nama Nama
WALIKOTA YOGYAKARTA,
ttd
HARYADI SUYUTI