219
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK DI SMA GADJAH MADA YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh Zismeda Taruna NIM 12110244005 PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA SEPTEMBER 2016

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK …eprints.uny.ac.id/41592/1/Skripsi_Zismeda Taruna_12110244005.pdf · siswa, dan karyawan SMA ... analisis data yang digunakan yaitu reduksi

  • Upload
    hanga

  • View
    228

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK

DI SMA GADJAH MADA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Yogyakarta

untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Zismeda Taruna

NIM 12110244005

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN

JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

SEPTEMBER 2016

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA

ROKOK DI SMA GADJAH MADA YOGYAKARTA" yang disusun oleh

Zismeda Taruna, NIM 12110244005 ini telah dipertahankan di depan Dewan .

Penguji pada tanggal22 Agustus 2016 dan dinyatakan lulus.

Nama Jabatan

Lusila Andriani Purwastuti, M.Hum. Ketua Penguji

Riana Nurhayati, M.Pd.

Widyaningsih, M.Si.

iv

v

MOTTO

“Apa yang kamu pilih itulah yang harus kamu jalani, jangan menjadi pecundang

atas apa yang kamu pilih”

vi

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-

Nya, karya ini saya persembahkan untuk :

1. Bapak, ibu, dan kakak-kakakku

2. Almamaterku, KP FIP UNY

vii

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK DI SMA

GADJAH MADA YOGYAKARTA

Oleh

Zismeda Taruna

NIM 12110244005

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta, 2) faktor pendukung dan

faktor penghambat implementasi kebijakan tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif naturalistik. Subjek dalam

penelitian ini adalah kepala sekolah, wakasek kesiswaan, guru BK, wali kelas,

siswa, dan karyawan SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Metode pengumpulkan data

melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Tahap dalam teknik

analisis data yang digunakan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan. Keabsahan data dilakukan dengan cara triangulasi sumber dan teknik.

Hasil penelitian menunjukkan implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sudah membentuk tim pelaksana

berserta tugas masing-masing, tahap interpretasi menggunakan cara sosialisasi.

Sosialisasi dilakukan saat rapat sekolah dan MOS, SMA Gadjah Mada sudah

melakukan tahapan aplikasi dengan menerapkan Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok berupa penetapan anggaran dan peralatan dengan melakukan sosialisasi

dan sudah memasang tanda dilarang merokok. Faktor pengambat implementasi

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta terjadi pada

faktor komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Faktor

pendukung Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah

Mada Yogyakarta dapat dijumpai pada faktor sumber daya dan disposisi.

Kata kunci : implementasi, kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, dengan rahmat

dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI

KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK DI SMA GADJAH MADA

YOGYAKARTA” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun guna

memenuhi syarat untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu

Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini diberikan bantuan, arahan, bimbingan, dan

dukungan dari berbagai pihak, maka dari itu Penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta atas izin

yang diberikan untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan atas izin yang diberikan

untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Lusila Andriani Purwastuti, M.Hum., Dosen Pembimbing skripsi

yang selalu memberikan perhatian dan dengan sabar serta senantiasa

memberikan ilmu, bimbingan dan motivasi kepada penulis sehingga

skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Bapak Kepala SMA Gadjah Mada Yogyakarta yang telah memberikan izin

kepada peneliti untuk melakukan penelitian disekolah.

5. Ibu dan Bapak Guru SMA Gadjah Mada Yogyakarta telah meluangkan

waktu di sela-sela kesibukannya untuk membantu peneliti dalam

mengambil data penelitian.

6. Kedua orang tua dan kakak-kakakku yang selalu memberikan doa dan

semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat sekaligus orang yang membantu penelitian, Ratri Pupitasari, Adi

B. Nugroho, Nico Rista Sandy, dan Kevin Audrio terima kasih karena

telah membantu pengambilan data penelitian di sekolah dan selalu

memberi motivasi.

x

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii

HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv

MOTTO ........................................................................................................ v

PERSEMBAHAN ......................................................................................... vi

ABSTRAK .................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR .................................................................................. viii

DAFTAR ISI ................................................................................................. x

DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 8

C. Pembatasan Masalah .............................................................................. 9

D. Rumusan Masalah .................................................................................. 9

E. Tujuan Penelitian .................................................................................... 10

F. Manfaat Penelitian .................................................................................. 10

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

A. Kebijakan Pendidikan ............................................................................ 12

1. Pengertian Kebijakan ........................................................................... 12

2. Pengertian Kebijakan Pendidikan ........................................................ 13

3. Tingkatan Kebijakan Pendidikan ......................................................... 14

4. Tahapan Proses Pembuatan Kebijakan Pendidikan .............................. 15

B. Implementasi Kebijakan Pendidikan ..................................................... 18

1. Konsep Implementasi Kebijakan .......................................................... 18

xi

2. Tahap Implementasi Kebijakan ............................................................ 19

3. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan ............................................. 21

C. Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ............................................................... 28

D. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah .................. 31

1. Ketentuan Umum Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan

Sekolah ................................................................................................ 31

2. Tujuan ................................................................................................... 31

3. Sasaran Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah ..................... 32

4. Penyelenggaraan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan

Sekolah ................................................................................................. 32

E. Penelitian yang Relevan ......................................................................... 34

F. Kerangka Berpikir .................................................................................. 37

G. Pertanyaan Penelitian ............................................................................. 39

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian ............................................................................ 40

B. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 41

C. Subjek dan Obyek Penelitian ................................................................. 41

D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 42

E. Instrumen Penelitian ............................................................................... 43

F. Teknik Analisis Data .............................................................................. 46

G. Uji Keabsahan Data ............................................................................... 48

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ...................................................................................... 50

1. Profil SMA Gadjah Mada Yogyakarta ................................................. 50

2. Implementasi Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada ......................... 59

3. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan KTR di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta .................................................................... 66

4. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan KTR di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta ..................................................................... 83

5. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan KTR di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta ..................................................................... 85

B. Pembahasan ............................................................................................ 86

1. Implementasi Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ...... 87

xii

2. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan KTR di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta ..................................................................... 93

3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan KTR di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta ..................................................................... 103

4. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan KTR di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta ..................................................................... 109

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ............................................................................................ 112

B. Saran ....................................................................................................... 113

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 115

LAMPIRAN .................................................................................................. 118

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Wawancara .................................................. 44

Tabel 2. Kisi-kisi Pedoman Observasi ..................................................... 45

Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Studi Dokumentasi ...................................... 46

Tabel 4. Profil SMA Gadjah Mada Yogyakarta ....................................... 51

Tabel 5. Keadaan Sumber Daya SMA Gadjah Mada Yogyakarta ........... 58

Tabel 6. Tim Pelaksana Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta ................................................................................ 88

Tabel 7. Pelaksana Tahapan Implementasi Kebijakan KTR di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta .......................................................... 90

Tabel 8. Penetapan Anggaran dan Peralatan Kebijakan KTR di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta .......................................................... 92

Tabel 9. Faktor Penghambat Internal dalam Pelaksanaan Kebijakan

KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ....................................... 105

Tabel 10. Faktor Eksternal Pelaksanaan Kebijakan KTR di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta ............................................................. 107

Tabel 11. Faktor Pendukung Pelaksanaan Kebijakan KTR di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta ............................................................. 109

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Proses Pembuatan Kebijakan ................................................... 15

Gambar 2. Kerangka Berpikir .................................................................... 38

Gambar 3. Triangulasi Sumber Data .......................................................... 48

Gambar 4. Triangulasi Teknik ................................................................... 49

Gambar 5. Siswa Merokok di Koridor Sekolah ......................................... 63

Gambar 6. Siswa Merokok di Koridor Sekolah ......................................... 69

Gambar 7. Puntung dan Bungkus Rokok di sekitar Koridor Sekolah ........ 69

Gamabr 8. Tempat Khusus Merokok ......................................................... 79

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Wawancara ............................................................ 118

Lampiran 2. Pedoman Observasi ............................................................... 123

Lampiran 3. Pedoman Dokumentasi .......................................................... 124

Lampiran 4. Hasil Wawancara ................................................................... 125

Lampiran 5. Analisis Data .......................................................................... 151

Lampiran 6. Catatan Lapangan .................................................................. 160

Lampiran 7. Foto Penelitian ....................................................................... 168

Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian ............................................................... 173

Lampiran 9. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ........................................ 176

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebiasaan merokok di Indonesia saat ini merupakan kebutuhan

sekunder yang dianggap sebagai kebutuhan primer oleh sebagian orang,

terutama para perokok. Merokok sudah menjadi gaya hidup sebagian

masyarakat di Indonesia. Merokok di tempat umum sudah tidak dianggap lagi

sebagai hal yang tabu oleh masyarakat. Hampir setiap tempat di Indonesia

dapat kita jumpai para perokok yang sedang menikmati sebatang rokok dalam

berbagai kondisi. Kegiatan tersebut tak hanya dilakukan oleh orang dewasa,

namun para remaja baik pria maupun wanita juga terlihat sedang menikmati

kegiatan merokok.

Tidak dapat dipungkiri bahwa merokok mengandung sensasi

kenikmatan tersendiri. Sensasi kenikmatan pada rokok bukan merupakan satu-

satunya alasan untuk merokok, ada beberapa motivasi lain yang diketahui

melatarbelakangi seseorang untuk merokok, sehingga lambat laun berpotensi

menimbulkan kecanduan. Beberapa motivasi itu antara lain menganggap

bahwa rokok adalah simbol kejantanan, rokok adalah simbol kebebasan.

Masyarakat dalam aspek sosial menganggap menghisap rokok adalah simbol

pergaulan, toleransi, persahabatan, dan solidaritas. Menghisap rokok terlihat

keren, atraktif, dan sensual. Para perokok juga meyakini bahwa rokok bisa

menghilangkan beberapa perasaan kurang nyaman seperti menghilangkan rasa

stress, menghilangkan rasa pedih, menghilangkan rasa cemas dan

2

menghilangkan rasa lelah. Beberapa perokok juga menjelaskan bahwa

menghisap rokok adalah cara mencapai konsentrasi, menumbuhkan rasa

percaya diri, meningkatkan etos kerja, dan dapat melancarkan datangnya ide

sehingga membantu menyelesaikan masalah. Menghisap rokok tidak hanya

menimbulkan stimulus yang telah diuraikan di atas, adapula anggapan lain

yang membuat merokok itu nikmat yaitu ketika selesai makan, sambil minum

kopi atau teh maupun dilakukan setelah bangun tidur di pagi hari maupun

ketika sebelum berangkat tidur di malam hari. Faktor internal kebiasaan

merokok muncul karena rasa ingin tahu sehingga mencoba-cobanya. Faktor

eksternal yang mempengaruhi dan mendorong seseorang untuk merokok

adalah kondisi lingkungan. Menghisap rokok karena meniru kebiasaan dari

keluarga sebagai contohnya menirukan orang tua mereka yang merokok (Alfi,

2011: 27-31).

Terdapat keyakinan pada masyarakat bahwa kebiasaan merokok sulit

untuk dihentikan, bahkan ada anggapan bahwa merokok bukanlah suatu

kebiasaan yang buruk bagi kesehatan. Anggapan menghilangkan kebiasaan

merokok sulit akan lebih kuat jika terjadi pada perokok yang menjadikan

rokok sebagai pelarian atas segala macam masalahnya terlebih lagi saat sudah

stress dan emosi. Mereka merasa lebih tenang saat menghisap sebatang rokok.

Banyak di antara para perokok belum mengetahui zat apa saja yang

terkandung di dalam sebatang rokok yang sedang mereka nikmati. Di dalam

sebatang rokok terkandung 4.000 jenis senyawa kimia. 400 di dalamnya

merupakan zat beracun yang berbahaya untuk tubuh, dan 43 di antaranya

3

bersifat karsinogenik. Komponen utama yaitu Nikotin yang merupakan suatu

zat berbahaya penyebab kecanduan, zat ini bisa menimbulkan efek santai

sehingga menyebabkan kebiasaan merokok sulit untuk ditinggalkan oleh

pecandu rokok. Komponen dalam rokok TAR merupakan zat berbahaya

penyebab kanker (karsinogenik) dan berbagai penyakit lainnya. Komponen

rokok yang berupa karbonmonoksida (CO) adalah salah satu gas beracun yang

dapat menurunkan kadar oksigen dalam darah, sehingga dapat menurunkan

konsentrasi dan timbulnya penyakit berbahaya. Konsumsi rokok merupakan

salah satu faktor risiko utama terjadinya berbagai penyakit tidak menular

seperti penyakit jantung koroner, stroke, kanker, penyakit paru kronis dan

diabetes mellitus yang merupakan penyebab kematian utama di dunia,

termasuk di Indonesia. Saat ini, lebih dari 60 juta penduduk Indonesia adalah

perokok aktif dan 8 orang per menit meninggal karena rokok. Jumlah ini terus

bertambah dari tahun ke tahun dan menempatkan Indonesia ke peringkat

ketiga dengan jumlah perokok aktif tertinggi di dunia setelah China dan India.

Indonesia termasuk salah satu produsen rokok terbesar di dunia.

Meningkatnya kebutuhan rokok telah menjadi pengeluaran ke dua bagi

masyarakat Indonesia (depkes.go.id).

Pencantuman peringatan atas dampak yang akan diderita oleh perokok

dalam bungkus rokok sudah ada. Peringatan pada bungkus rokok

menyebutkan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung,

impotensi dan gangguan kehamilan dan janin. Gangguan kesehatan akibat

asap rokok tidak hanya akan diterima oleh perokok, namun juga dapat

4

mengganggu kesehatan orang lain di sekitarnya. Penelitian terbaru juga

menunjukkan adanya bahaya dari second-hand smoke, yaitu asap rokok yang

terhirup oleh orang-orang bukan perokok karena berada di sekitar perokok

atau bisa disebut juga dengan perokok pasif. Sebanyak 62 juta perempuan dan

30 juta laki-laki Indonesia menjadi perokok pasif di Indonesia, dan yang

paling menyedihkan adalah anak-anak usia 0-4 tahun yang terpapar asap

rokok berjumlah 11,4 juta anak. data tersebut jelas menunjukkan bahwa begitu

bahayanya paparan asap rokok, namun hal tersebut tidak memberi pengaruh

yang signifikan untuk menurunkan angka perokok (depkes.go.id).

Upaya dalam menurunkan jumlah perokok di Indonesia memang tidak

mudah. Ada beberapa permasalahan yang kompleks di antaranya adalah aspek

ekonomi, dan sosial. Namun bagaimanapun juga masyarakat berhak

memperoleh udara segar untuk memperoleh sirkulasi pernafasan yang sehat.

Hak tersebut mendapatkan landasan hukum dalam UUD 1945 dalam pasal 28

H ayat (1) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir

dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik

dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Untuk mengatasi

hal tersebut, maka ditetapkan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok.

Konsep Kawasan Tanpa Rokok (KTR) terdapat dalam Undang-Undang

Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 115. Undang – Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang kesehatan mengamanatkan dalam upaya menciptakan

lingkungan yang sehat, maka setiap orang berkewajiban menghormati hak

orang lain dalam memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi,

5

maupun sosial, dan setiap orang berkewajiban untuk berperilaku hidup sehat

dalam mewujudkan, mempertahankan, serta memajukan kesehatan yang

setinggi-tingginya. Lingkungan yang sehat dapat terwujud antara lain dengan

menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di fasilitas kesehatan, tempat

proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan

umum, tempat kerja dan tempat umum serta tempat-tempat lain yang

ditetapkan.

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang

dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi,

menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau.

Pengertian tersebut tertuang dalam pasal pertama Peraturan Bersama Menteri

Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No.188/Menkes/PB/I/2011 tentang

Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Asap Rokok. Diharapkan dengan

pedoman tersebut terjadi intervensi yang kuat terhadap pengendalian perokok

yang sering menghisap rokok di sembarang tempat.

Menteri Pendidikan mengeluarkan Permendikbud Nomor 64 Tahun

2015 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Di Lingkungan Sekolah. Kebijakan ini

ditetapkan untuk memberi dukungan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok yang

ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Tujuan dari Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok Di Lingkungan Sekolah ini ditetapkan atas dasar melindungi para

generasi muda yang sedang menempuh pendidikan di sekolah dari paparan

asap rokok yang berbahaya dan secara tidak langsung diharapkan menurunkan

angka perokok pada pelajar.

6

Pada kenyatannya banyak perokok yang masih melanggar Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok, dengan tetap merokok di area tersebut. Sering kita

jumpai pula pelanggaran tersebut terjadi di sekolah. Sekolah merupakan salah

satu kawasan tanpa rokok, karena akan mengakibatkan terganggunya kegiatan

belajar mengajar. Beberapa guru, tenaga kependidikan bahkan kepala sekolah

dengan santainya merokok di sekolah tanpa memikirkan akibat dari kebiasaan

yang tidak baik tersebut. Efek dari kebiasaan itu adalah ketika para siswa yang

melihatnya merasa bahwa merokok adalah hal yang wajar dilakukan.

Anggapan tersebut sedikit banyak akan memberikan pengaruh bagi pelajar

untuk mencoba merokok. Sebagian pelajar di Indonesia kini telah menjadi

perokok aktif. Beberapa dari mereka terang-terangan memperlihatkan bahwa

mereka adalah perokok dan menganggap itu adalah hal yang biasa, bahkan

bisa dianggap sebagai pembuktian bahwa perokok itu keren. Beberapa pelajar

yang merokok tidak semua berani menunjukkan identitasnya karena takut

dihukum oleh sekolah dan orang tua yang melarang anaknya untuk merokok.

Berita yang diunggah oleh Humas UGM (Gusti Grehenson) pada hari

Jumat, 27 Mei 2011 mengungkapkan bahwa 16 persen pelajar SMP dan SMA

di Kota Yogyakarta adalah perokok. Jumlah presentase perokok tersebut

dibagi menjadi dua golongan, yaitu sebanyak 12 persen termasuk ke dalam

golongan perokok eksperimenter dan 4 persen sisanya adalah perokok regular.

Perokok eksperimenter merupakan golongan pelajar yang masih mencoba-

coba merokok, sedangkan perokok regular merupakan kelompok pelajar yang

sudah rutin mengkonsumsi rokok setiap hari. Perincian persentase perokok

7

disampaikan oleh Yayi Suryo Prabandari. sebagai ketua tim peneliti

menyebutkan untuk pelajar SMP jumlah perokok eksperimenter 10,32 persen

dan perokok regular 2,38 persen. Jumlah perokok ekperimenter dan regular

terjadi peningkatan untuk pelajar SMA yaitu sebanyak 13,28 persen dan 2,38

persen. Survei mengenai jumlah perokok juga dilakukan pada guru dari 30

SMP dan 30 SMA di Kota Yogyakarta. Hasil survei tersebut menyatakan 10

persen dari seluruh guru yang menjadi responden adalah perokok, bahkan 68

persen guru SMP dan SMA tersebut mengaku bahwa mereka merokok di

lingkungan sekolah. Survei tersebut dilakukan terhadap 2.015 pelajar SMP

dan SMA serta 1.602 guru dari 30 SMP dan 30 SMA oleh Quit Tobacco

Indonesia, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gajah Mada.

Hasil penelitian dari Fify Rosaliana (2015) menjelaskan bahwa di SMA

Gadjah Mada masih dijumpai guru dan siswa yang merokok di lingkungan

sekolah. SMA Gadjah Mada menyediakan ruang khusus merokok yang

bertujuan untuk meminimalisir siswa yang merokok saat jam pelajaran

berlangsung dan warga sekolah diharapkan untuk tidak merokok di koridor

sekolah padahal jelas disebutkan pada Peraturan Bersama Menteri Kesehatan

dan Menteri Dalam Negeri No.188/Menkes/PB/I/2011 tentang Pedoman

Pelaksanaan Kawasan Tanpa Asap Rokok bahwa salah satu Kawasan Tanpa

Rokok adalah di sekolah. Ruang khusus merokok tersebut juga tidak dapat

menampung keseluruhan guru dan siswa yang ingin merokok yang

mengakibatkan masih banyak guru dan siswa yang merokok di koridor

sekolah.

8

Hasil pra-observasi di SMA Gadjah Mada menemukan beberapa siswa

yang merokok di lingkungan sekolah. Beberapa ada yang merokok di sekitar

koridor sekolah, di ruang satpam, di parkiran sepeda motor, dan di dalam

kelas. Pihak sekolah membiarkan siswa yang merokok dan tidak ada sanksi

yang tegas kepada para perokok tersebut. Contoh yang tidak bagus juga

ditemukan adalah seorang guru yang merokok di lingkungan sekolah. Guru

tersebut merokok di ruang guru yang tentu saja masih masuk dalam

lingkungan sekolah. Dampak dari warga yang merokok di SMA Gadjah Mada

sangat menganggu bagi mereka yang tidak merokok. Udara segar yang

seharusnya mereka bisa nikmati menjadi tercemar akibat asap rokok.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diidentifikasikan beberapa

permasalahan yang ada, diantaranya:

a. Kebiasaan merokok di Indonesia saat ini merupakan kebutuhan sekunder

yang dianggap sebagai kebutuhan primer oleh sebagian orang hal ini

berdampak meningkatnya perokok di Indonesia.

b. Terjadi anggapan yang salah mengenai kegiatan menghisap rokok.

c. Terdapat keyakinan pada masyarakat bahwa kebiasaan merokok sulit

untuk dihentikan

d. Ancaman kesehatan bagi perokok aktif dan pasif masih mengintai.

e. Indonesia menempati peringkat ketiga dengan jumlah perokok aktif

tertinggi di dunia.

9

f. Banyak para perokok yang melanggar kebijakan kawasan tanpa rokok.

g. Angka perokok di kalangan pelajar tinggi, dengan didominasi oleh pelajar

SMA.

h. Siswa dan Guru SMA Gadjah Mada Yogyakarta banyak yang merokok di

lingkungan sekolah.

C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian sesuai dengan tujuan peneliti dan masalah yang dikaji

tidak terlalu luas, maka tidak semua masalah yang teridentifikasi akan diteliti.

Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan mempertimbangkan keterbatasan

peneliti baik tenaga, waktu, dan biaya maka peneliti membatasi permalahan

yang berfokus pada implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka

dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta?

2. Apakah faktor penghambat dan pendukung implementasi Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ?

10

E. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :

1. Mendeskripsikan implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta.

2. Mendeskripsikan faktor penghambat dan pendukung implementasi

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara

teoritis maupun praktis. Berikut adalah manfaat teoritis dan praktis dari

penelitian dengan judul Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

SMA Gadjah Mada Yogyakarta:

a. Manfaat Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa

informasi dan pengetahuan sebagai referensi serta acuan penelitian

berikutnya mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di

lingkungan sekolah. Manfaat teoritis terkait dengan Jurusan Filsafat dan

Sosiologi Pendidikan Prodi Kebijakan Pendidikan yaitu memberikan

rujukan dalam pengembangan penelitian di bidang implementasi kebijakan

khususnya mengenai kebijakan pendidikan yang terkait dengan mata

kuliah politik pendidikan.

11

b. Manfaat Praktis

1) Bagi Dinas Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam mengambil sebuah kebijakan serta bahan evaluasi

dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di lingkungan

sekolah.

2) Bagi Pihak Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan oleh

pihak sekolah terkait dengan implementasi kebijakan kawasan tanpa

rokok di lingkungan sekolah.

3) Bagi Orang tua

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan orang tua siswa dalam

memberikan perhatian kepada perilaku anaknya yang merokok di

sekolah.

4) Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi kepada

masyarakat agar tidak menjual rokok di sekitar sekolah.

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kebijakan Pendidikan

1. Pengertian Kebijakan

Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” digunakan untuk

menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu

kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam

suatu bidang kegiatan tertentu. Oleh karena itu kita memerlukan batasan

atau konsep kebijakan publik yang tepat (Budi Winarno, 2007: 16).

Sudiyono (2007: 2) menjelaskan bahwa kebijakan adalah sebuah

tindakan rekayasa sosial (social engineering) yang dilakukan oleh kelompok

atau individu untuk mencapai tujuan. Kebijakan merupakan serangkaian

tindakan yang bersifat tidak terbatas pada satu tindakan, melainkan

melibatkan satu tindakan dengan tindakan lain.

James E. Anderson mengatakan bahwa kebijakan adalah serangkaian

tindakan yang memiliki tujuan yang diikuti oleh seseorang atau sekelompok

pelaku terkait dengan suatu permasalahan tertentu, karena kebijakan terkait

dengan tindakan untuk memecahkan permasalahan (Sudiyono, 2007: 4).

James E. Anderson memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari

sejumlah aktor (pejabat, kelompok, dan instansi pemerintah) atau

serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan (Arif Rohman, 2009: 108).

Kebijakan dilihat dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan

sebagai kegiatan atau tindakan terkait dengan suatu permasalahan tertentu

13

dan dilakukan oleh aktor terkait (pejabat, kelompok, dan instansi

pemerintah) untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Pengertian Kebijakan Pendidikan

Kebijakan dalam dunia pendidikan dapat diartikan dalam berbagai

istilah. Istilah tersebut antara lain: (1) perencanaan pendidikan (educational

planning), (2) rencana induk tentang pendidikan (master plan of education),

(3) peraturan pendidikan (educational regulation), dan (4) kebijakan tentang

pendidikan (policy of education). Keempat istilah tersebut memiliki

perbedaan isi dan cakupan makna dari masing-masing yang ditunjuk oleh

istilah tersebut (Arif Rohman, 2009: 107-108).

Tilaar dan Riant Nugroho (2008: 140) mendefinisikan kebijakan

pendidikan sebagai keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-

langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan

dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam

rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu

masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.

H. M. Hasbullah (2015: 41) mendefinisikan kebijakan pendidikan

sebagai berikut :

Kebijakan pendidikan adalah seperangkat aturan sebagai bentuk

keberpihakan dari pemerintah dalam upaya membangun sistem

pendidikan sesuai dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan

bersama. Keberpihakan tersebut menyangkut dalam konteks politik,

anggaran, pemberdayaan, tata aturan, dan sebagainya. Kebijakan

pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan

langkah-langkah strategi pendidikan yang dijabarkan dari visi dan

misi pendidikan, dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan

14

pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu

tertentu.

Kebijakan pendidikan dilihat dari beberapa pendapat di atas dapat

ditarik kesimpulan sebagai tindakan atau upaya dari pemerintah untuk

menyelesaikan suatu masalah atau pun meningkatkan kualitas pada

pendidikan dengan mempertimbangkan aspek yang terkait (konteks politik,

anggaran, pemberdayaan, tata aturan). Kebijakan pendidikan dapat

meningkatkan kualitas pendidikan dengan strategi yang tepat sesuai dengan

kebutuhan dan tujuan jangka panjang untuk menyongsong pendidikan di

masa mendatang.

3. Tingkatan Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan pada dasarnya dibedakan berdasarkan

tingkatan. Ali Imron (2008:24) mengungkapkan bahwa kebijakan

pendidikan jika dilihat dari perspektif pengambil kebijakan, dapat dibedakan

menjadi 4 (empat) tingkatan yaitu 1) tingkat kebijakan nasional (penentu

kebijakan pada tingkat ini yaitu MPR/DPR/DPD), 2) tingkat kebijakan

umum (penentu kebijakan pada tingkat ini yaitu pemerintah atau eksekutif,

sehingga sifat kebijakan yang dihasilkan bersifat umum dan merupakan

kebijakan eksekutif), 3) tingkat kebijakan khusus (penentu kebijakan pada

tingkat ini yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), dan 4) tingkat

kebijakan teknis (penentu kebijakan pada tingkat ini yaitu pejabat eselon 2

ke bawah, seperti Direktorat Jendral atau pimpinan lembaga non

departemen).

15

Berdasarkan pendapat dari pakar di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa tingkatan kebijakan pendidikan yaitu kebijakan nasional (makro),

kebijakan daerah (meso), dan kebijakan teknis (mikro).

4. Tahapan Proses Pembuatan Kebijakan Pendidikan

Proses pembuatan kebijakan pendidikan tidaklah jauh berbeda

dengan proses pembuatan kebijakan publik. William N. Dunn (2003: 25)

menyebutkan proses pembuatan kebijakan adalah 1) penyusunan agenda, 2)

formulasi kebijakan, 3) adopsi kebijakan, 4) implementasi kebijakan, dan 5)

penilaian kebijakan. William N. Dunn menggambarkan tahapan kebijakan

pendidikan sebagai berikut:

Gambar 1. Proses Pembuatan Kebijakan (William N. Dunn, 2003)

Penyusunan

Agenda

Formulasi

Kebijakan

Adopsi

Kebijakan

Implementasi

Kebijakan

Penilaian

Kebijakan

16

Berdasarkan gambar di atas, William N. Dunn menjelaskan proses

pembuatan kebijakan sebagai berikut

1) Penyusunan Agenda

Tahap ini yaitu menyusun suatu masalah yang akan dicari pemecahan

masalah. Berbagai permasalahan yang ada dimasukkan ke agenda

kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Permasalahan

yang ada di agenda kebijakan didefinisikan dan dicari pemecahan

masalahnya sesuai dengan alternatif yang ada.

2) Formulasi Kebijakan

Tahap kedua dalam proses pembuatan kebijakan yaitu formulasi

kebijakan. Pada tahap ini aktor pembuat kebijakan merumuskan alternatif

kebijakan (solusi dari permasalahan) berdasarkan permasalahan yang ada

dalam agenda kebijakan.

3) Adopsi Kebijakan

Tahap ketiga dalam proses pembuatan kebijakan yaitu membahas

beberapa alternatif yang telah ditawarkan oleh para perumus kebijakan,

kemudian dilakukan adopsi dengan dukungan dari pembuat kebijakan.

4) Implementasi Kebijakan

Suatu kebijakan hanyalah menjadi sebuah wacana apabila kebijakan

tersebut tidak dilakukan implementasi. Kebijakan yang telah diambil

sebagai alternatif solusi pemecahan masalah haruslah diimplementasikan.

Implementasi kebijakan bertujuan untuk mencapai tujuan kebijakan yang

telah dirumuskan.

17

5) Penilaian Kebijakan

Kebijakan yang telah diimplementasikan perlu dilakukan penilaian atau

evaluasi agar dapat dilihat sejauh mana kebijakan tersebut mampu

menyelesaikan permasalahan yang ada. Penilaian kebijakan melibatkan

indikator keberhasilan yang digunakan sebagai standar keberhasilan

implementasi kebijakan.

Proses perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari aktor pembuat

kebijakan. Aktor pembuat kebijakan harus mempunyai dasar berupa

pendekatan teori dalam merumuskan kebijakan dan memilih komponen

utama dalam pembuatan kebijakan pendidikan. Arif Rohman (2009: 130)

menjelaskan,

Ada lima teori perumusan kebijakan pendidikan, yaitu: (a) teori

radikal, (b) teori advokasi, (c) teori transkriptif, (d) teori sinoptik,

dan (e) teori inkremental. Teori radikal mementingkan kepada

diverivikasinya dan pelimpahan tugas kepada lembaga

penyelenggara di tingkat lokal, sehingga kreatifitas lembaga lokal

lebih dihargai. Sebaliknya, teori advokasi cenderung

mementingkan peran pemerintah pusat yang masih dominan dalam

perumusan kebijakan pendidikan. Teori transkiptif berorientasi

kepada prasyarat adanya dialog pusat dengan daerah dan lembaga

penyelenggara pendidikan. Teori sinoptik menekankan kepada

metode berfikir sistem dalam perumusan kebijakan. Sedangkan

teori inkremental menekankan pada perumusan kebijakan

pendidikan yang berjangka pendek serta berusaha menghindari

perencanaan kebijakan yang berjangka panjang.

Berdasarkan pada beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan

bahwa dalam proses pembuatan kebijakan harus melalui tahapan yang

urut dan tidak dapat dilakukan secara terpisah atau salah satu tidak

dilakukan karena tahapan dalam proses pembuatan kebijakan merupakan

sebuah kesatuan. Pembuatan kebijakan harus mempunyai dasar teori agar

18

seusai dengan kebutuhan. Tahapan proses pembuatan kebijakan adalah

tahap penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,

implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Penelitian ini lebih fokus

untuk membahas implementasi kebijakan karena pada tahapan ini banyak

faktor yang mempengaruhi sebuah kebijakan dapat berjalan baik atau

tidak.

B. Implementasi Kebijakan

1. Konsep Implementasi Kebijakan

Van Meter dan Van Horn dalam Arif Rohman (2009: 134)

mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan merupakan semua tindakan

yang dilakukan oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-

kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan kepada pencapaian tujuan

kebijakan yang telah ditentukan terlebih dahulu, yakni tindakan-tindakan

yang merupakan usaha sesaat untuk mentransformasikan keputusan ke

dalam istilah operasional, maupun usaha berkelanjutan untuk mencapai

perubahan-perubahan besar dan kecil yang diamanatkan oleh keputusan-

keputusan kebijakan.

H. M. Hasbullah (2015: 94) memaparkan secara sederhana tujuan

implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan

kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.

Keseluruhan proses penetapan kebijakan baru ini bisa dimulai apabila tujuan

dan sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program telah

19

dirancang dan juga sejumlah dana telah dialokasikan untuk mewujudkan

tujuan dan sasaran tersebut.

Arif Rohman (2012: 107) menjelaskan bahwa implementasi

kebijakan pendidikan merupakan proses yang tidak hanya menyangkut

perilaku-perilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk

melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan kepada kelompok

sasaran (target groups), melainkan juga menyangkut faktor-faktor hukum,

politik, ekonomi, sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh

terhadap perilaku dari berbagai pihak yang terlibat dalam program.

Kesemuannya itu menunjukkan secara spesifik dari proses implementasi

yang sangat berbeda dengan proses formulasi kebijakan pendidikan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan

bahwa impelementasi kebijakan merupakan seluruh tindakan yang

dilakukan untuk merealisasikan tujuan kebijakan. Implementasi kebijakan

mentransformasikan sebuah kebijakan ke dalam istilah operasional agar

mudah dipahami oleh pelaksana kebijakan dan objek kebijakan.

2. Tahap Implementasi Kebijakan

Dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa tahapan yang akan

dilalui. Charles O. Jones dalam buku Politik Ideologi Pendidikan (Arif

Rohman, 2009: 135) menjelaskan bahwa implementasi adalah suatu

aktivitas atau tahapan yang dimaksudkan untuk melaksanakan kebijakan.

Ada tiga pilar aktivitas atau tahapan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut

yakni :

20

1) Pengorganisasian, pembentukan atau penataan kembali sumberdaya,

unit-unit serta metode untuk menjalankan program agar bisa berjalan

sesuai dengan tujuan.

2) Interpretasi, aktivitas menafsirkan agar suatu program menjadi rencana

dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan sesuai

harapan.

3) Aplikasi, berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan,

pembayaran atau yang lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau

perlengkapan program.

Joko Widodo (2010: 90-94) menyebutkan beberapa tahapan

implementasi kebijakan yaitu tahap interpretasi, tahap organisasi, dan tahap

aplikasi. Berikut penjelasan dari tahapan tersebut :

1) Tahap Interpretasi

Tahap Interpretasi merupakan tahap penguraian pokok dari suatu

kebijakan yang bersifat abstrak agar lebih operasional dan mudah

dipahami sehingga dapat dimengerti oleh para pelaku dan sasaran

kebijakan.

2) Tahap Organisasi

Tahap Organisasi yaitu tindakan peraturan dan penetapan

pembagian tugas pelaksana kebijakan termasuk di dalamnya terdapat

kegiatan penetapan anggaran, kebutuhan sarana dan prasana, penetapan

tata kerja, dan manajemen implementasi kebijakan.

21

3) Tahap Aplikasi

Tahap aplikasi merupakan tahap pelaksanaan kebijakan sesuai

dengan rencana yang ditetapkan. Tahapan ini merupakan tahapan untuk

menerapkan kebijakan untuk mengatasi masalah dan/atau meningkatkan

mutu pada sasaran kebijakan

Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas adalah dalam

implementasi kebijakan mempunyai tahapan yang dilakukan. Tahapan

dalam implementasi kebijakan adalah tahap interpretasi, tahap organisasi,

dan tahap aplikasi. Tahapan tersebut dilakukan untuk mengoperasikan

program atau kebijakan agar sesuai dengan tujuan.

3. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan

Tahap implementasi kebijakan merupakan tahapan yang penting dari

sebuah kebijakan. Tahap implementasi kebijakan menentukan hasil dari

kebijakan yang telah dibuat. Kebijakan dibuat dengan tujuan memperbaiki

suatu aspek dengan strategi yang tepat namun kebijakan tersebut bisa terjadi

ketidakberhasilan karena pada tahap implementasi kebijakan belum bisa

berjalan sesuai dengan kebijakan. Penentu keberhasilan atau kegagalan pada

implementasi kebijakan dipengaruhi beberapa faktor. Faktor penentu

keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan perlu dilakukan

analisis. Analisis faktor-faktor tersebut bisa digunakan untuk bahan

pertimbangan untuk meminimalisirkan segala kemungkinan kegagalan yang

terjadi dan memaksimalkan keberhasilan pada tahap implementasi

kebijakan.

22

Brian W. Hogwood & Lewis A.Gunn (Arif Rohman, 2012: 107-108)

mengemukakan bahwa untuk dapat mengimplementasikan suatu kebijakan

dapat dikatakan sempurna (perfect implementation), maka dibutuhkan

syarat-syarat sebagai berikut:

a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana tidak

akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius.

b. Untuk pelaksanaan suatu program, harus tersedia waktu dan sumber-

sumber yang cukup memadai.

c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan harus benar-benar ada atau

tersedia.

d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan

kausalitas yang handal.

e. Hubungan kausalitas tersebut hendaknya bersifat langsung dan hanya

sedikit mata rantai penghubungnya.

f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

g. Adanya pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat

i. Adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan

mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Arif Rohman (2009: 147-149) mengemukakan bahwa ada tiga faktor

yang menentukan keberhasilan dan kegagalan implementasikan kebijakan

yaitu:

a. Faktor pertama yang menentukan keberhasilan dan kegagalan pada

implementasi kebijakan berkaitan dengan rumusan kebijakan yang telah

dibuat oleh pengambil keputusan (decision maker). Berhubungan tentang

bagaimana rumusan kalimatnya jelas atau tidak, tujuannya tepat atau

tidak, sesuai dengan sararan atau tidak, terlalu sulit dipahami atau tidak,

mudah diinterpretasikan atau tidak, mudah dilaksanakan atau tidak dan

sebagainya. Pembuat kebijakan diharapkan mempertimbangkan hal-hal

tersebut sebagai pertimbangan kesepakatan dalam perumusan kebijakan.

23

b. Faktor kedua berkaitan dengan personil pelaksananya. Personil pelaksana

mempunyai latar belakang yang berbeda seperti budaya, bahasa, serta

ideologi kepartaian. Tingkat pendidikan, pengalaman, motivasi,

komitmen, kesetiaan, kinerja, kepercayaan, diri, kebiasaan-kebiasaan,

serta kemampuan bekerjasama dari setiap kepribadian personil pelaksana

akan mempengaruhi cara kerja mereka dalam implementasi kebijakan.

c. Faktor ketiga dari penentu kegagalan dan keberhasilan implementasi

kebijakan adalah faktor organisasi pelaksana. Organsasi pelaksana dapat

menentukan implementasi kebijakan diperhatikan dari jaringan sistem,

hirarki kewenangan masing-masing bagian, strategi distribusi pekerjaan,

model kepemimpinan dari kepala organisasi, peraturan organisasi, target

yang ditetapkan pada masing-masing tahap, model monitoring yang

digunakan dan model evaluasi yang dipakai.

Pendapat lain dikemukakan Model Edward III dalam buku Analisis

Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi (Subarsono, 2012: 90-92)

terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan dan

kegagalan pada implementasi kebijakan. Faktor tersebut yaitu faktor (1)

komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi.

Berikut penjelasan dari beberapa faktor yang berpengaruh terhadap

keberhasilan implementasi kebijakan:

1) Faktor Komunikasi (Communication)

Faktor komunikasi merupakan proses pemberian informasi kepada

petugas pelaksana kebijakan. Edward III informasi mengenai kebijakan

24

perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar para pelaku kebijakan

dapat mengetahui apa yang harus mereka persiapkan dan lakukan untuk

menjalankan kebijakan tersebut sehingga tujuan dan sasaran kebijakan

dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan (Joko Widodo, 2010: 97).

Model Edward III berpendapat bahwa dimensi dalam komunikasi

kebijakan terdiri dari dimensi transmisi (transmission), kejelasan

(clarity), dan konsistensi (consistency). Berikut penjelasan beberapa

dimensi dalam komunikasi kebijakan:

a) Dimensi Transmisi

Dimensi transmisi mengharapkan agar kebijakan disampaikan

tidak hanya kepada pelaksana (implementators) kebijakan tetapi juga

disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan serta pihak-pihak

yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.

b) Dimensi Kejelasan

Dimensi kejelasan menginginkan kebijakan yang ditransmisikan

kepada pelaksana dan sasaran kebijakan dapat diterima dan dimengerti

dengan jelas agar mereka mengetahui tujuan dan maksud dari

kebijakan tersebut sehingga dapat mempersiapkan segala sesuatu

untuk mensukseskan kebijakan tersebut dengan efektif dan efisien.

c) Dimensi Konsistensi

Dimensi konsistensi menginginkan implementasi kebijakan

berlangsung efektif dengan cara pemberian perintah-perintah

25

pelaksanaan harus konsisten dan jelas agar kebijakan yang diterapkan

tidak membingungkan.

2) Faktor Sumber daya (Resources)

Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam

implementasi kebijakan. Sumber daya merupakan sarana untuk

melaksanakan kebijakan. Sumber daya tersebut berupa sumber daya

manusia, sumber daya anggaran, sumber daya peralatan, dan sumber

daya kewenangan. Berikut penjelasan mengenai sumber daya dalam

implementasi kebijakan:

a) Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia dapat berwujud implementator atau

aparatur yang mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan

kebijakan. Implementator harus memiliki keahlian dan kemampuan

melaksanakan kebijakan serta perlu mengetahui siapa saja yang

terlibat dalam pelaksanaan kebijakan.

b) Sumber Daya Anggaran

Edward III dalam Joko Widodo (2010: 100) menyatakan

bahwa terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas

pelayanan yang seharusnya diberikan kepada sasaran kebijakan juga

terbatas. Terbatasnya insentif yang diberikan kepada implementator

merupakan penyebab utama gagalnya pelaksanaan program.

Kesimpulannya adalah jika sumber daya anggaran terbatas maka akan

mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping

26

program tidak bisa dilaksanakan dengan optimal, keterbatasan

anggaran menyebabkan disposisi para pelaku kebijakan rendah.

c) Sumber Daya Peralatan

Edward III dalam Joko Widodo (2010: 102) menjelaskan bahwa

sumber daya peralatan merupakan sarana yang digunakan sebagai

operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung,

tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan untuk

memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan.

d) Sumber Daya Kewenangan

Sumber daya kewenangan merupakan hal yang penting dalam

implementasi kebijakan. Sumberdaya kewenangan akan menentukan

keberhasilan dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam Joko

Widodo (2010: 103) menjelaskan bahwa:

Kewenangan (authority) yang cukup untuk membuat keputusan

sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi

lembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenangan

ini menjadi penting ketika mereka dihadapkan suatu masalah

dan mengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatu

keputusan.

Pelaksana kebijakan diberikan wewenang yang cukup untuk

membuat keputusan sendiri dalam melaksanakan kebijakan yang

menjadi kewenangannya. Kewenangan tersebut diharapkan mampu

mensuskseskan implementasi kebijakan.

3) Faktor Disposisi (Disposition)

Disposisi merupakan tindakan yang dimiliki oleh implementator

seperti kemauan, kejujuran, dan kesungguhan dalam melaksanakan

27

kebijakan. Implementator diharapkan memiliki disposisi yang baik

sehingga tidak terjadi perbedaan perspektif dengan pembuat kebijakan.

Edward III dalam Joko Widodo (2010:104-105) menjelaskan bahwa :

jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan

efisien, para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui

apa yang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk

melakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus

mempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

Kesimpulan dari faktor disposisi adalah menuntut pelaksana

kebijakan untuk memberikan kemampuan terbaiknya untuk

melaksanakan kebijakan. Kemampuan pelaksana kebijakan menjadi

penentu keefektifan implementasi kebijakan.

4) Faktor Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure)

Struktur organisasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap

implementasi kebijakan. Struktur organisasi memiliki prosedur operasi

yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP

berhubungan dengan mekanisme, sistem dan pedoman pelaksanaan

kebijakan. SOP dibuat untuk memberikan pedoman dalam sebuah

organisasi untuk melaksanakan suatu program dan kebijakan. Edward III

dalam Joko Widodo (2010: 107) menyatakan bahwa :

jelas tidaknya standar operasi, baik menyangkut mekanisme, sistem

dan prosedur pelaksanaan kebijakan, pembagian tugas pokok,

fungsi dan kewenangan, dan tangggung jawab diantara pelaku, dan

tidak harmonisnya hubungan diantara organisasi pelaksana satu

dengan yang lainnya ikut pula menentukan keberhasilan

implementasi kebijakan.

Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas adalah implementasi

merupakan tahapan yang vital dalam kebijakan. Implementasi kebijakan

28

mempunyai beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dan

kegagalan sebuah kebijakan. Faktor penentu yang mempengaruhi

implementasi kebijakan di antaranya adalah komunikasi (transmisi,

kejelasan, konsistensi), sumber daya (sumber daya manusia, anggaran,

peralatan, kewenangan), disposisi, dan struktur birokrasi

C. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah tempat atau area yang ditetapkan

dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi,

mengkomersialkan, menawarkan, maupun mempromosikan produk tembakau.

(Depkes.go.id)

Indonesia mempunyai beberapa peraturan yang telah ditetapkan

mengenai kebijakan kawasan tanpa rokok, yaitu :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan. Hal yang bersangkutan mengenai kawasan tanpa rokok terdapat

pada Pasal 113 dan Pasal 115. Berikut uraian Pasal 113 dan pasal 115:

Pasal 113:

1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif

diarahkan agar tidak menganggu dan membahayakan kesehatan

perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan

gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan

kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.

Pasal 115:

1) Kawasan tanpa rokok antara lain:

a. fasilitas pelayanan kesehatan;

b. tempat proses belajar mengajar;

c. tempat untuk bermain;

d. tempat ibadah;

e. angkutan umum;

29

f. tempat kerja; dan

g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di

wilayahnya.

2. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No.

188/MENKES/PB/I/2011 No.7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Kawasan

Tanpa Rokok. Peraturan tersebut mewajibkan pemerintah daerah

menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayah pemerintahannya. Peraturan

penetapan kawasan tanpa rokok mempunyai tujuan yang tercantum pada

Pasal 2 sebagai berikut:

a. Memberikan acuan bagi pemerintah daerah dalam menetapkan

kawasan tanpa rokok;

b. Memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya asap rokok;

c. Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi

masyarakat;

d. Melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk

merokok baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kawasan tanpa rokok yang dimaksud Peraturan Bersama Menteri

Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011 No.7

Tahun 2011 terdapat pada pasal 3 sebagai berikut:

a. Fasilitas pelayanan kesehatan;

b. Tempat proses belajar mengajar;

c. Tempat anak bermain;

d. Tempat ibadah;

e. Angkutan umum;

f. Tempat kerja;

g. Tempat umum; dan

h. Tempat lainnya yang ditetapkan.

3. Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Peraturan Gubernur menetapkan

Peraturan Kawasan Tanpa Rokok Nomor 42 Tahun 2009. Peraturan

Gubernur mengenai Peraturan Kawasan Tanpa Rokok menyebutkan

30

penetapan kawasan dilarang merokok dimaksudkan untuk melindungi

masyarakat dan/kelompok rentan (bayi, balita, ibu hamil, dan lansia)

terhadap risiko gangguan kesehatan akibat asap rokok serta menurunkan

angka kesakitan dan/atau angka kematian akibat asap rokok. Tujuan

penetapan peraturan kawasan tanpa rokok di DIY untuk mewujudkan

kualitas udara yang sehat dan bersih serta mewujudkan masyarakat yang

sehat. Area atau tempat kawasan tanpa rokok sesuai dengan pedoman

kawasan tanpa rokok pada Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan

Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011 No.7 Tahun 2011.

4. Kota Yogyakarta sebagai bagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta juga

mengeluarkan peraturan kawasan tanpa rokok. Peraturan tersebut

dituangkan pada Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2015

Tentang Kawasan Tanpa Rokok. Pasal 3 pada peraturan tersebut

memberikan penjelasan mengenai tujuan penetapan kawasan tanpa rokok

yaitu:

Pasal 3:

1) Memberikan pencegahan dari akibat bahaya asap rokok bagi

perokok aktif dan/atau perokok pasif;

2) Memberikan area atau lingkungan yang bersih dan sehat bebas dari

asap rokok;

3) Memberikan perlindungan bagi kesehatan masyarakat umum dari

akibat buruk merokok.

4) Memberikan rasa aman dan nyanab warga; dan

5) Meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat

masyarakat.

31

5. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah terdapat dalam

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64

Tahun 2015.

D. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah

1. Ketentuan umum Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan

Sekolah

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah telah ditetapkan dalam

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor

64 Tahun 2015. Pengertian dan ketentuan umum Kawasan Tanpa Rokok di

Lingkungan Sekolah tertulis dalam pasal 1 sebagai berikut:

1. Sekolah adalah Sekolah Dasar/Sekolah Dasar Luar Biasa

(SD/SDLB), Sekolah Menengah Pertama/Sekolah Menengah

Pertama Luar Biasa (SMP/SMPLB), Sekolah Menengah

Atas/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMA/SMALB), dan

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) baik negeri maupun swasta.

2. Lingkungan sekolah adalah lokasi tempat berlangsungnya kegiatan

belajar mengajar baik yang bersifat kurikuler maupun ekstra

kurikuler.

3. Pihak lain adalah orang yang melakukan aktivitas di dalam

lingkungan sekolah, selain kepala sekolah, guru, tenaga

kependidikan, dan peserta didik.

4. Kawasan tanpa rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan

dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi,

menjual, dan/atau mempromosikan rokok.

2. Tujuan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah

Tujuan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah tercantum dalam

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor 64 Tahun 2015 pada pasal 2 yaitu kawasan tanpa rokok

bertujuan untuk menciptakan Lingkungan sekolah yang bersih, sehat,

dan bebas rokok.

32

3. Sasaran Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah

Kebijakan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah

mempunyai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan Peraturan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64

Tahun 2015 pada pasal 3. Sasaran Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

Lingkungan Sekolah adalah sebagai berikut:

a. Kepala sekolah

b. Guru

c. Tenaga kependidikan

d. Peserta didik; dan

e. Pihak lain di dalam Lingkungan sekolah

4. Penyelenggaraan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

Lingkungan Sekolah

Untuk mendukung penyelenggaraan Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Lingkungan Sekolah, pihak sekolah wajib melakukan hal-hal

sesuai dengan pasal 4, pasal 5, pasal 6, dan pasal 7 dalam Peraturan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64

Tahun 2015. Hal-hal yang perlu dilakukan sekolah adalah sebagai

berikut:

Pasal 4 :

a. memasukkan larangan terkait rokok dalam aturan tata tertib

sekolah;

b. melakukan penolakan terhadap penawaran iklan, promosi,

pemberian sponsor, dan/atau kerja sama dalam bentuk apapun

33

yang dilakukan oleh perusahan rokok dan/atau organisasi yang

menggunakan merek dagang, logo, semboyan, dan/atau warna

yang dapat diasosiasikan sebagai ciri khas perusahan rokok,

untuk keperluan kegiatan kurikuler atau ekstra kulikuler yang

dilaksanakan di dalam dan di luar Sekolah;

c. memberlakukan larangan pemasangan papan iklan, reklame,

penyebaran pamflet, dan bentuk-bentuk iklan lainnya dari

perusahaan atau yayasan rokok yang beredar atau dipasang di

Lingkungan Sekolah;

d. melarang penjualan rokok di kantin/warung sekolah, koperasi

atau bentuk penjualan lain di Lingkungan Sekolah; dan

e. memasang tanda kawasan tanpa rokok di Lingkungan Sekolah.

Pasal 5 :

1) Kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan

Pihak lain dilarang merokok, memproduksi, menjual,

mengiklankan, dan/atau mempromosikan rokok di Lingkungan

Sekolah.

2) Kepala sekolah wajib menegur dan/atau memperingatkan

dan/atau mengambil tindakan terhadap guru, tenaga

kependidikan, dan peserta didik apabila melakukan larangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

3) Kepala sekolah dapat memberikan sanksi kepada guru, tenaga

kependidikan, dan Pihak lain yang terbukti melanggar

ketentuan Kawasan tanpa rokok di Lingkungan Sekolah.

4) Guru, tenaga kependidikan, dan/atau peserta didik dapat

memberikan teguran atau melaporkan kepada kepala sekolah

apabila terbukti ada yang merokok di Lingkungan Sekolah.

5) Dinas pendidikan setempat sesuai dengan kewenangannya

memberikan teguran atau sanksi kepada kepala sekolah apabila

terbukti melanggar ketentuan Kawasan tanpa rokok di

Lingkungan Sekolah berdasarkan laporan atau informasi dari

guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan/atau Pihak lain.

Pasal 6 :

Larangan penjualan rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

huruf d dan pasal 5 ayat (1) berlaku juga terhadap larangan

penjualan permen berbentuk rokok atau benda lain yang

dikonsumsi maupun yang tidak dikonsumsi yang menyerupai

rokok atau tanda apapun dengan merek dagang, logo, atau warna

yang bisa diasosiasikan dengan produk/industri rokok.

34

Pasal 7 :

1) Dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan

kewenangan melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan

Peraturan Menteri ini secara berkala paling sedikit dalam satu

tahun.

2) Dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota menyusun dan

menyampaikan hasil pelaksanaan pemantauan kepada

walikota, bupati, gubernur, dan/atau menteri terkait

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan

kewenangannya.

3) Sekolah wajib melakukan pembinaan kepada peserta didik

yang merokok di dalam maupun di luar Lingkungan Sekolah

sesuai dengan tata tertib yang berlaku di sekolah.

E. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang

dilakukan oleh:

1. Sulistianto Purbo Prasetyo pada tahun 2015 dengan judul “Implementasi

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Di Universitas Negeri Yogyakarta.

Penelitian ini didasari oleh berbagai masalah diantaranya yaitu (1) Masih

banyak mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta yang melanggar

kebijakan kawasan tanpa rokok di kampus UNY, (2) Implementasi

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Universitas Negeri Yogyakarta yang

dirasa masih kurang optimal. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui (1)

implementasi Kawasan Tanpa Rokok di Universitas Negeri Yogyakarta, (2)

faktor penghambat dalam pelaksanaan Implementasi Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok di Universitas Negeri Yogyakarta. Jenis penelitian pada

penelitian tersebut adalah penelitian deskriptif kualitatif. Narasumber

penelitian adalah Wakil Rektor II, lima Dekan, dua wakil Dekan, tujuh

35

karyawan, dan sepuluh mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan (1) observasi, (2)

wawancara, dan (3) dokumentasi. Instrumen penelitian yang digunakan

adalah peneliti itu sendiri yang terlibat langsung dalam penelitian. Teknik

pemeriksaan keabsahan data menggunakan trianggulasi sumber. Teknik

analisis data menggunakan model penelitian interaktif Miles dan Huberman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di Universitas Negeri Yogyakarta tidak berjalan

dengan efektif. Pelaksanaan kebijakan tersebut mengalami beberapa

hambatan yaitu: (1) komunikasi yang kurang baik antar pelaksana maupun

ke kelompok sasaran, (2) sumber daya manusia maupun anggaran yang

masih kurang memadai, (3) kurangnya komitmen dan dedikasi dari para

pelaksana dalam melaksanakan kebijakan, (4) Struktur birokrasi dan tidak

adanya SOP dalam proses pelaksanaan kebijakan.

2. Siti Sunarti pada tahun 2015 dengan judul “Penerapan Kawasan Tanpa Asap

Rokok Di Sekolah Tinggi Kesehatan Muhammadiyah Samarinda”.

Penelitian ini dilatar belakangi oleh kebiasaan merokok di Indonesia

menurut Rikesdas 2010, rata-rata umur mulai merokok secara nasional

adalah 17,6 tahun dengan persentase penduduk yang mulai merokok tiap

hari terbanyak pada umur 15-19 tahun. Mengatasi masalah tersebut sebagian

besar lembaga pendidikan menerapkan kawasan bebas asap rokok. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan Kawasan Tanpa Rokok di

STIKES Muhammadiyah Samarinda. Metode Penelitian yang digunakan

36

adalah studi kasus dengan strategi eksploratif. Subjek penelitian ditentukan

secara purposive. Teknik pengumpulan data menggunakan (1) observasi, (2)

diskusi kelompok terarah (DKT), dan (3) wawancara mendalam. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa STIKES Muhammadiyah Samarinda mulai

menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) pada tahun 2011 sesuai dengan

SK No. 0579/II.3.Au/Kep/2011. Strategi yang digunakan dalam penerapan

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yaitu adanya peraturan dan sanksi tertulis

bagi mahasiswa, sosialisasi tentang Kawasan Tanpa Rokok dibantu oleh

organisasi mahasiswa penerapan Kawasan Tanpa Rokok didukungan oleh

pimpinan dosen, staf, dan mahasiswa. Kesimpulan dari penelitian ini

menjalaskan bahwa penerapan Kawasan Tanpa Rokok di kampus dapat

mempengaruhi perilaku merokok mahasiswa, dosen dan staf administrasi.

Relevansi dari kedua penelitian di atas yaitu sama-sama meneliti

tentang implementasi kawasan tanpa rokok. Perbedaan penelitian di atas

terdapat pada jenjang pendidikan yang berbeda. Penelitian yang dilakukan

oleh Sulistianto Purbo Prasetyo pada tahun 2015 mengambil tentang

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok pada tingkat perguruan tinggi

yaitu di Universitas Negeri Yogyakarta. Siti Sunarti pada tahun 2015

meneliti tentang penerapan kawasan tanpa asap rokok pada tingkat

perguruan tinggi yaitu di Sekolah Tinggi Kesehatan Muhammadiyah

Samarinda.

37

F. Kerangka Berpikir

Kebiasaan merokok yang tidak terkendali mulai meresahkan masyarakat

khususnya bagi masyarakat yang tidak merokok atau sering disebut perokok

pasif. Kebebasan menghirup udara yang segar kini tercemar oleh ulah para

perokok yang tidak mempedulikan lingkungan sekitar saat mereka sedang

merokok. Efek kesehatan tentu saja mengancam perokok aktif dan perokok

pasif serta tanpa disadari perilaku tersebut menjadi contoh buruk bagi generasi

penerus bangsa. Mereka akan meniru perilaku tersebut dan menganggap

merokok di sembarang tempat adalah hal yang biasa.

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ditetapkan untuk mengatasi

permasalahan tersebut. Konsep Kawasan Tanpa Rokok terdapat dalam Undang

– Undang Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 115 dan Peraturan Bersama

Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011

No.7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Kawasan Tanpa Rokok. Implementasi

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok didukung oleh Gubernur Daerah Istimewa

Yogyakarta dan Walikota Yogyakarta, dengan Pergub Nomer 42 Tahun 2009

dan Perwal Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan

Peraturan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah.

Peraturan tersebut memberikan ketegasan batas – batas kawasan tanpa rokok di

sekolah dengan harapan terciptanya lingkungan yang sehat di dalam

lingkungan sekolah.

38

Berikut adalah alur ilustrasi dari kerangka berpikir dalam penelitian ini :

Gambar 2. Kerangka Berpikir

Implementasi Undang –

Undang Kesehatan No.36

tahun 2009 tentang

Kesehatan

Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor 64 Tahun 2015 tentang

Kawasan Tanpa Rokok di

Sekolah.

Implementasi Kebijakan Teori

Charles O. Jones

Tahap Pengorganisasian

Tahap Interpretasi

Tahap Aplikasi

Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Faktor Pendukung :

Komunikasi

Sumber Daya

Disposisi

Struktur Birokrasi

Faktor Penghambat :

Komunikasi

Sumber Daya

Disposisi

Struktur Birokrasi

39

G. Pertanyaan Penelitian

a. Bagaimana langkah-langkah dalam implementasi Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?

b. Bagaimana komunikasi dalam implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?

c. Bagaimana peran sumber daya sekolah dalam implementasi Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?

d. Bagaimana disposisi pelaksana terhadap kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

SMA Gadjah Mada Yogyakarta?

e. Bagaimana struktur birokrasi implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?

f. Faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat dalam

implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta?

40

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang berjudul “Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta” menggunakan pendekatan

kualitatif, berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian yang

lebih mengutamakan pada menggambarkan dan mengungkap sebuah peristiwa,

aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara

individual maupun kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Nana Syaodih

Sukmadinata (2006: 60) dalam buku metode penelitian pendidikan. Lexy J.

Moleong (2009: 6) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian

dengan tujuan untuk memahami fenomena seperti perilaku, persepsi, tindakan,

motivasi, dan persoalan pada subjek penelitian.

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif naturalistik karena penelitian

ini dilakukan dalam situasi yang alami sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Penelitian ini bermaksud menjelaskan data dari keterangan-keterangan yang

didapat dari lapangan berupa hasil observasi di lapangan, dokumentasi, dan

wawancara kepada subjek yang diteliti saat pelaksanaan penelitian.

Sukardi (2006: 3) menjelaskan bahwa penelitian naturalistik merupakan

salah satu metode ilmiah yang berusaha mengungkap keadaan sebenarnya yang

mungkin menutup dan tersembunyi, yang disebakan oleh adanya cerita secara

lisan maupun tertulis yang dibuat oleh orang-orang terdahulu tentang kejadian

nyata dengan cara-cara yang kurang nyata.

41

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini memilih lokasi di SMA Gadjah Mada Yogyakarta yang

beralamat di Jalan Ibu Ruswo, Yudonegaran GM II/208. Alasan peneliti

memilih tempat penelitian ini karena ingin mengetahui bagaimana

penerapan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Secara

garis besar di SMA Gadjah Mada masih dijumpai banyak pelajar, dan

beberapa guru yang masih merokok di lingkungan sekolah. Secara garis

besar SMA Gadjah Mada Yogyakarta tepat untuk penelitian ini karena di

sekolah tersebut terdapat banyak siswa yang merokok di sekolah dan

disediakan tempat khusus merokok di lingkungan sekolah. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2016.

C. Subjek dan Objek Penelitian

Pemilihan subjek atau narasumber dalam penelitian ini menggunakan

teknik purposive sampling (sampel bertujuan). Sugiyono (2012:124)

purposive sampling adalah teknik penentuan narasumber atau informan

dengan pertimbangan tertentu. Penentuan sampel atas dasar kriteria atau

pertimbangan tertentu dimaksudkan untuk mendapat berbagai macam

narasumber yang tepat dengan sebanyak mungkin informasi sehingga dapat

diperoleh kebenaran dari data yang disampaikan oleh narasumber. Berikut

yang menjadi narasumber pada penelitian ini:

1. Kepala SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai pimpinan di sekolah.

42

2. Wakasek Kesiswaan SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai koordinator

pelaksanaan 7 K (Keamanan, Kebersihan, Ketertiban, Keindahan,

Kesehatan, dan Kerindangan)

3. Guru Bimbingan dan Konseling SMA Gadjah Mada Yogyakarta selaku

pihak yang berhubungan langsung dengan peserta didik dan memberikan

bimbingan kepada siswa.

4. Wali kelas SMA Gadjah Mada Yogyakarta selaku penyelenggara

administrasi kelas termasuk di dalamnya tata tertib siswa

5. Siswa SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai sasaran Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.

6. Karyawan SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai warga sekolah yang

ikut berpengaruh lingkungan sekolah.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

observasi, dokumentasi, dan wawancara. Penjelasan teknik pengumpulan

yang dipakai dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Observasi

Pengumpulan data dengan observasi menuntut peneliti untuk terjun

langsung ke lapangan untuk mengamati dan mengawasi keadaan seperti

tempat, ruang, kegiatan, artefak lingkungan, peristiwa, perasaan, tujuan

dan tingkah laku subjek penelitian pada waktu tertentu (M. Djunaidi,

2012: 165). Observasi langsung ke lapangan diharapkan dapat

43

mengoptimalkan hasil yang didapatkan. Peneliti dapat melihat langsung

keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan.

2. Dokumentasi

Teknik pengumpulan dokumentasi merupakan mencari informasi

melalui catatan peristiwa yang sudah terjadi, dapat berupa tulisan, gambar,

atau dokumen yang berbentuk karya dari seseorang (Sugiyono. 2012: 329).

Dokumentasi dalam penelitian dapat berupa dokumen kebijakan mengenai

kawasan tanpa rokok mulai yang berlaku untuk umum sampai pada tingkat

sekolah serta dokumen profil sekolah.

3. Wawancara

Moleong (2009: 186) mengatakan teknik pengumpulan data

wawancara adalah teknik yang menjadikan percakapan yang dilakukan

oleh peneliti dan narasumber. Peneliti mengajukan pertanyaan berkaitan

dengan masalah yang diteliti. Narasumber memberikan jawaban atas

pertanyaan yang disampaikan oleh peneliti. Narasumber dalam penelitian

ini adalah kepala sekolah, guru, siswa dan karyawan SMA Gadjah Mada

Yogyakarta.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian utama dalam penelitian ini adalah peneliti itu

sendiri. Guba dan Lincoln dalam Rulam Ahmadi (2014: 104-105)

mengungkapkan manusia memiliki beberapa karakteristik sebagai intrumen

penelitian yaitu kepekaan, kemampuan beradaptasi, penekanan keseluruhan,

pengembangan dasar pengetahuan, kesegeraan proses, kesempatan untuk

44

klarifikasi dan pembuatan rangkuman serta memiliki kesempatan untuk

menyelidiki.

Peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian membutuhkan alat

atau saran yang membantu memudahkan pengambilan data di lapangan.

Arikunto (2010: 136) menjelaskan bahwa instrumen penelitian merupakan

fasilitas atau sarana yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan informasi

terkait dengan penelitian secara sistematis sehingga dapat mempermudah

pengumpulan dan pengolahan data. Instrumen yang digunakan untuk

membantu peneliti dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, dan

pedoman observasi. Penjelasan instrumen yang digunakan dalam penelitian

ini sebagai berikut:

1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara adalah sebuah instrumen berupa daftar

pertanyaan yang dipersiapkan untuk memperoleh informasi dari

sejumlah narasumber dengan hasil yang pada dasarnya memiliki

kesamaan dan mencakup materi yang sama (Rulam Ahmadi, 2014: 134).

Kisi-kisi pedoman wawancara yang digunakan penelitian ini sebagai

berikut:

Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Wawancara

No Aspek yang dikaji Indikator yang

dikaji Narasumber

1

Pelaksanaan

Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok

Prosedur

pelaksanaan

kebijakan

Kepala sekolah, guru dan

karyawan sekolah

45

Lanjutan Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Wawancara

No Aspek yang dikaji Indikator yang

dikaji Narasumber

Proses

pelaksanaan

kebijakan

Kepala sekolah, guru,

siswa, dan karyawan

sekolah

2

Faktor pendukung

dan penghambat

pelaksanaan

kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok

a. Faktor

pendukung

b. Faktor

penghambat

Kepala sekolah, guru,

siswa, dan karyawan

sekolah

2. Pedoman Obsevasi

Pedoman observasi memberikan arah dalam pelaksanaan

observasi penelitian. Pedoman penelitian membantu memudahkan

peneliti membagi fokus-fokus penelitian secara terstruktur. Penelitian ini

menggunakan pedoman observasi untuk memperoleh informasi

mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah

Mada Yogyakarta. Berikut kisi-kisi pedoman observasi yang digunakan

dalam penelitian ini,

Tabel 2. Kisi-kisi Pedoman Observasi

No Aspek yang diamati Pengamatan yang

dilakukan

Lokasi

Observasi

1 Tempat lokasi

penelitian

a. Letak geografis /

lokasi sekolah

b. Profil sekolah

SMA Gadjah

Mada

Yogyakarta

2

Implementasi

Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok

Mengamati penerapan

kebijakan kawasan

tanpa rokok

SMA Gadjah

Mada

Yogyakarta

46

3. Pedoman Studi Dokumentasi

Pedoman studi dokumentasi digunakan untuk memperoleh

tambahan data maupun informasi yang berhubungan dengan penelitian.

Studi dokumentasi diharapkan akan memperkuat data yang diperoleh dari

wawancara dan observasi. Pedoman studi dokumentasi yang digunakan

pada penelitian ini sebagai berikut :

Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Dokumentasi

No Aspek yang

dikaji

Indikator yang

dikaji Sumber Data

1 Kebijakan

Kawasan Tanpa

Rokok

a. Dasar hukum

kebijakan

b. Latar belakang

kebijakan

a. Peraturan Menteri

Pendidikan dan

Kebudayaan

Republik Indonesia

Nomor 64 Tahun

2015

b. Peraturan Gubernur

DIY Nomor 42

Tahun 2009

c. Peraturan Walikota

Yogyakarta Nomor

12 Tahun 2015

2

Pelaksanaan

Kebijakan

Kawasan Tanpa

Rokok di SMA

Gadjah Mada

Prosedur

pelaksanaan

kebijakan

Peraturan Menteri

Pendidikan dan

Kebudayaan Republik

Indonesia Nomor 64

Tahun 2015

F. Teknik Analisis Data

Bodgan dan Biklen dalam (Moleong, 2009: 248) menjelaskan bahwa

analisis data dalam penelitian kualitatif adalah mengumpulkan,

47

mengorganisasikan, mengklasifikasikan, dan memilah-milah data untuk

mendapatkan data yang penting menjadi sebuah informasi.

Teknik analisis data mempunyai tahap yang harus dilakukan setelah

proses pengumpulan data untuk memperoleh informasi yang baik yaitu: (1)

data reduction (reduksi data), (2) data display (interpretasi data), (3)

conclusion drawing/verification (penarikan kesimpulan). Sugiyono (2012:246-

252) menjelaskan tahap-tahap analisis data tersebut sebagai berikut :

1. Reduksi data

Tahap reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok,

mengklasifikasikan data pada hal-hal yang penting, dicari tema dan

polanya. Reduksi data menyederhanakan data hasil dari wawancara untuk

memperoleh data yang lebih fokus.

2. Penyajian data

Penyajian data dalam penelitian kualitatif berupa teks naratif dalam bentuk

uraian, bagan, hubungan antar variabel dan lain-lain. Penelitian ini akan

menyajikan uraian mengenai implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta.

3. Penarikan kesimpulan

Penarikan kesimpulan dan verifikasi data adalah tahap ketiga dalam proses

analisis data. Verifikasi data dilakukan dalam penelitian secara

berkesinambungan untuk memperoleh kesimpulan dengan bukti yang kuat

dan bersifat kredibel.

48

G. Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data yang digunakan untuk menguji kredibilitas

informasi atas data yang diperoleh dari penelitian ini adalah trianggulasi.

Trianggulasi data yaitu pengecekkan data dengan membandingkan antara data

yang diperoleh. Pembandingan data yang sering dilakukan yaitu melalui

berbagai sumber yang berbeda (Djunaidi, 2012: 322).

Trianggulasi data pada penelitian ini melibatkan subyek penelitian.

Subyek penelitian yang pertama adalah kepala SMA Gadjah Mada

Yogyakarta. Subyek penelitian kedua yaitu guru dan karyawan SMA Gadjah

Mada Yogyakarta. Subyek penelitian ketiga adalah siswa SMA Gadjah Mada

Yogyakarta. Ketiga subyek di atas diharapkan dapat memberikan hasil yang

bersifat kredibel. Berikut adalah triangulasi sumber data pada penelitian ini,

Gambar 3. Triangulasi Sumber Data

Kepala SMA Gadjah

Mada Yogyakarta

Guru dan Karyawan

SMA Gadjah Mada

Yogyakarta

Siswa SMA Gadjah Mada

Yogyakarta

49

Triangulasi data dalam penelitian ini juga dilakukan pada teknik

pengumpulan data yaitu wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.

Triangulasi pada teknik pengumpulan data diharapkan dapat meningkatkan

keabsahan data yang diperoleh dari penelitian. Berikut adalah triangulasi teknik

pada penelitian ini,

Gambar 4. Triangulasi Teknik

Wawancara Studi Dokumentasi

Observasi

50

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Profil SMA Gadjah Mada Yogyakarta

a. Sejarah Sekolah

SMA Gadjah Mada Yogyakarta resmi didirikan pada tanggal 28

Februari 1982 di bawah naungan Yayasan Pendidikan Pioner

Yogyakarta. Nama SMA Gadjah Mada diambil dari nama Patih Gadjah

Mada yang merupakan Patih Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan

nama besarnya sebagai penyatu nusantara. Nama Gadjah Mada menjadi

harapan agar Sekolah Menengah Atas (SMA) tersebut tumbuh menjadi

besar, sebesar nama Patih Gadjah Mada.

SMA Gadjah Mada Yogyakarta pertama kali berdiri masih

menempati gedung sekolah SD Negeri Gedong Kuning, Banguntapan

Yogyakarta. SMA Gadjah Mada Yogyakarta menerima siswa baru

pertamanya pada tahun pelajaran 1982/1983. Satu tahun kemudian yaitu

tahun pelajaran 1983/1984 lokasi SMA Gadjah Mada berpindah tempat

dari SD Negeri Gedong Kuning, Banguntapan ke Jalan Langenastran Lor

No. 12 Langenastran Yogyakarta, sampai tahun pelajaran 1989/1990.

Tahun 1990/1991 SMA Gadjah Mada Yogyakarta berpindah

tempat dari SD Negeri Gedong Kuning, Banguntapan ke Jalan

langenastran Lor No. 12 Langenastran Yogyakarta ke Jalan Ibu Ruswo,

Yudonegaran GM II/208 yang merupakan wilayah milik Kraton

51

Yogyakarta, bersama dengan itu SMA Gadjah Mada Yogyakarta tidak

lagi berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Pioner dan berganti di

bawah Yayasan Lingkungan Hidup Yogyakarta. Tahun ajaran 2013/2014

Yayasan Lingkungan Hidup Yogyakarta melimpahkan seluruh aset dan

pengelolaannya kepada Yayasan Wahana Lingkungan. Profil SMA

Gadjah Mada Yogyakarta dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 4. Profil SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Nama Sekolah SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Nomor Statistik Sekolah (NSS) 304046010056

Alamat Sekolah Jl. Ibu Ruswo, Yudonegaran GM

II/208

Kecamatan Gondomanan

Kab/Kota Yogyakarta

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Kode Pos 55121

Telp/Faks (0274) 370305 dan (0274) 370305

ext 86

Status Sekolah Swasta

Nama Yayasan Yayasan Wahana Lingkungan

No. Akte Pendirian Terakhir AHU-8463.AH.01.04. Tahun 2013

Tahun Berdiri Sekolah 1982

Status Akreditasi Sekolah B / 2010

Sumber: dokumentasi profil sekolah SMA Gadjah Mada Yogyakarta

b. Visi dan Misi Sekolah

1) Visi SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Dengan semangat UUD 1945 pasal 31 tentang pendidikan,

butir pertama; tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

Dengan semangat serta kesabaran dan cinta kasih, SMA Gadjah Mada

bertekad untuk mendidik semua anak bangsa tanpa pengecualian

52

melalui peningkatan penguasaan terhadap Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi.

2) Misi SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Untuk mewujudkan visi, sekolah memiliki misi, sebagai berikut:

a) Meningkatkan motivasi belajar para siswa untuk mencapai standar

mutu pendidikan yang ideal

b) Membentuk watak dan budi pekerti siswa untuk menjadi manusia

Indonesia seutuhnya

c) Meningkatkan profesionalisme sumber Daya Manusia tenaga

edukatif maupun administratif

d) Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif

3) Tujuan Sekolah

Berdasarkan Visi dan Misi di atas pendidikan di SMA Gadjah Mada

bertujuan, membantu proses pembentukan siswa menjadi insan

beriman dan bertaqwa dalam kepribadian yang utuh, seimbang, jujur,

disiplin, mandiri, kreatif, bekerja keras mau melayani sesama untuk

kepentingan Bangsa, Negara dan Agama.

4) Pedoman Sekolah (Peraturan akademik, Kode Etik dan Tata

Tertib Sekolah)

Pedoman sekolah dibuat untuk mengatur berjalannya kegiatan

di sekolah. Berikut pedoman sekolah yang ada di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta untuk Guru, karyawan, dan tata tertib untuk siswa:

53

a) Guru

Diberitahukan kepada segenap Guru dan karyawan bahwa jam

kerja efektif SMA Gadjah Mada dimulai pukul 07.15 WIB s.d.

pukul 14.15 WIB. Untuk hari Jum’at pukul 07.15 WIB s.d 12.00

WIB, selanjutnya beberapa point berikut perlu diperhatikan untuk

anda, saya, dan kita bersama.

1) Guru mohon hadir di sekolah minimal 15 menit sebelum jam

pelajaran dimulai dan wajib mengisi daftar hadir.

2) Saat lonceng tanda masuk dibunyikan, Guru harus segera

meninggalkan ruang Guru menuju kelas sesuai dengan bidang

studi masing-masing di kelas masing-masing.

3) Semua Guru mohon membuat administrasi Guru yang lengkap

dan diketahui kepala sekolah.

4) Guru wajib mempersiapkan materi ajaran sesuai dengan

Rencana Pembelajaran (RP) dari pokok bahasan yang sedang

berjalan dan pada kahir pokok bahasan sebaiknya diadakan

ulangan harian dengan membuat soal dan kisi-kisi serta

dianalisis hasil ulangan tersebut.

5) Pada saat mengajar Guru sebaiknya berfungsi sebagai BK pada

awal dan akhir pelajaran.

6) Pada saat Guru mengajar tata tertib kelas menjadi tanggung

jawab Guru bidang studi.

54

7) Bila dengan terpaksa harus meninggalkan kelas, Guru wajib

memberi tahu/ijin kepala sekolah dan atau Guru piket.

8) Bila ada siswa yang karena perbuatannya dan harus keluar dari

kelas, Guru wajib memberitahukan kepada kepala sekolah atau

Guru piket atau BK.

9) Tidak diperkenankan memakai sandal, kaos atau sepatu tanpa

kaos kaki, dan berpakain rapi tidak diperkenankan memakai

celana jeans dan lain lain yang kurang pantas serta merokok bila

mengajar.

10) Tidak diperkenankan Guru mencukur rambut sampai

botak/plontos

11) Guru yang mendapat tugas tambahan Wakasek, BK, Wali

Kelas harus melaksanakan tugas tambahannya tanpa

melupakan tugas utama mengajar sesuai dengan peraturan

yang ada.

12) Guru yang mendapat tugas tambahan sebagai Wali Kelas wajib

hadir setiap hari Senin dan Jum’at, untuk mendampingi

kegiatan siswa dan memberi motivasi belajar.

b) Karyawan

1) Karyawan harus masuk setiap hari dan harus sudah hadir di

sekolah 15 menit sebelum jam kerja dimulai.

2) Mengisi daftar hadir pada saat masuk dan hendak pulang.

3) Tidak diperkenankan memakai kaos pada jam kerja.

55

4) Bila terpakasa meninggalkan kerja wajib memberi tahu Kepala

Sekolah.

5) Setiap karyawan diharapkan memiliki sikap suka menolong dan

setia kawan untuk kebersamaan dan keharmonisan komunitas.

c) Tata tertib untuk siswa

1) Mengikuti Pelajaran

a) Mengawali/mengakhiri waktu belajar dengan doa secara

nasional

b) Siswa wajib mengikuti semua pelajaran dari awal hingga

akhir

c) Siswa terlambat, wajib lapor Guru piket/BP

d) Siswa yang perlu meninggalkan sekolah sebelum pelajaran

berakhir harus mendapatkan ijin dari Kepala Sekolah atau

yang mewakili

e) Siswa yang tidak dapat masuk sekolah karena sakit atau

sebab lain wajib menyerahkan surat keterangan dokter atau

orangtua wali

f) Siswa absen 3 kali tanpa keterangan diskors atau dihukum

dalam bentuk lain yang setimpal

2) Administrasi Sekolah

a) Pendaftaran ulang untuk mendapatkan status sah sebagai

siswa harus sudah dilakukan 3 (tiga) hari sebelum tahun

pelajaran baru dimulai

56

b) Pembayaran SPP, BP-3 dan DPP dilakukan paling lambat

tanggal 10 untuk tiap-tiap bulan

c) Pembayaran SPP, BP-3 dan DPP diberi tanda bukti

pembayaran dan semua bentuk pengaduan mengenai

keuangan wajib menyertakan bukti tersebut

d) Keterlambatan pembayaran SPP, BP-3 dan DPP dikenakan

sanksi.

3) Pakaian/rambut

a) Setiap datang ke sekolah baik mengikuti pelajaran maupun

untuk urusan lain harus berpakaian seragam sekolah lengkap

dengan ketentuan sebagai berikut :

b) Hari Senin, Rabu, dan Sabtu memakai seragam Putih Abu-

abu dengan atributnya

c) Hari Selasa dan Kamis siswa memakai baju batik, celana

bebas tetapi bukan jins

d) Hari Jumat siswa memakai kaos olahraga SMA Gadjah Mada

Yogyakarta dan celana bebas tetapi bukan jeans.

e) Tata rambut siswa harus rapi, tidak menutupi dahi, telinga,

dan tengkuk.

4) Ketertiban dan Keamanan

a) Kendaraan siswa wajib ditempatkan dilokasi yang tersedia,

diatur, dan kunci.

57

b) Siswa dilarang menimbulkan gangguan suara kendaraan

bermotor pada saat KBM berlangsung

c) Siswa dilarang meminjamkan kendaraan baik kepada sesama

siswa maupun kepada Guru

d) Kendaraan yang hilang bukan tanggung jawab sekolah

e) Tamu yang ingin menemui siswa harus sepengetahuan

sekolah/Guru piket

f) Di lingkungan sekolah siswa tidak boleh merokok,

minum/membawa/mengedarkan minuman sesuai dengan

tujuan pendidikan

g) Di lingkungan sekolah siswa dilarang

membawa/mengedarkan gambar/bacaan yang tidak sesuai

dengan tujuan pendidikan

h) Di lingkungan sekolah siswa dilarang membawa/menyimpan

senjata tajam dan atau senjata lain yang dapat membahayakan

jiwa orang lain

i) Dilarang memindahkan perabotan tanpa ijin dari Pimpinan

Sekolah

j) Dilarang merusak perabotan yang ada baik disengaja atau

tidak disengaja

k) Dilarang mengotori/mencorat-coret dinding, meja, kursi

ataupun yang lainnya dalam bentuk apapun

58

l) Dilarang membawa/menghidupkan HP selama pelajaran

berlangsung

5) Sanksi Pelanggaran

Siswa yang ternyata melakukan pelanggaran terhadap tata

tertib siswa SMA Gadjah Mada Yogyakarta, dikenakan sanksi

sebagai berikut:

a) Mengganti perabotan, seharga perabotan yang dirusak,

dikotori atau dicorat-coret

b) Peringatan pertama, kedua, ketiga

c) Skorsing untuk jangka waktu tertentu

d) Dikeluarkan dari sekolah

5. Keadaan Sumber Daya Manusia

Untuk mencapai tujuan serta visi dan misi sekolah dengan

baik, sumber daya sangat diperlukan. Seluruh komponen sumber daya

bekerja sama untuk tercapainya tujuan dari sekolah. Berikut tabel

sumber daya yang dimilik SMA Gadjah Mada Yogyakarta:

Tabel 5. Keadaan sumber daya manusia SMA Gadjah Mada

Yogyakarta

No. Tugas Jumlah

1. Kepala Sekolah 1

2. Wakil Kepala Sekolah 3

3. Tata Usaha 2

4. Guru Mata Pelajaran 19

5. Guru Bimbingan dan Konseling 1

6. Pustakawan 1

7. Petugas Keamanan 1

8. Peserta didik 110

Jumlah 138

Sumber: dokumentasi profil sekolah SMA Gadjah Mada Yogyakarta

59

2. Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta

Implementasi kebijakan merupakan cara yang dilakukan olek pihak

berwenang untuk mencapai tujuan kebijakan. Implementasi kebijakan

mempunyai beberapa tahapan untuk mencapai tujuan. Charles O. Jones

menjelaskan ada tiga pilar tahapan dalam pelaksanaan kebijakan yaitu

pengorganisasian, interpretasi, dan aplikasi.

Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah

Mada tentu saja harus melewati tahapan pengorganisasian, interpretasi, dan

aplikasi. Berikut hasil penelitian mengenai beberapa tahapan yang dilalui

SMA Gadjah Mada Yogyakarta dalam implementasi kebijakan tersebut:

a. Tahap Pengorganisasian

Tahap pengorganisasian mempunyai maksud untuk pembentukan

tim pelaksana kebijakan dengan sumber daya yang ada beserta tugas

yang harus dilaksanakan oleh setiap pelaksana kebijakan. Tim pelaksana

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada adalah Guru

Bimbingan Konseling, Wali Kelas, dan Wakasek Kesiswaan serta

diawasi oleh Kepala Sekolah. Hal tersebut disampaikan oleh Bapak AE

selaku Pelaksana Tugas Kepala SMA Gadjah Mada Yogyakarta:

“Kalau tim khususnya yang menangani masalah rokok tidak ada.

Tapi itu nanti masuk dalam kenakalan peserta didik sehingga

yang menanggani program tersebut adalah Guru Bimbingan

Konseling dan Wali Kelasnya serta dibantu Wakasek

Kesiswaan. Kepala sekolah mengawasi pelaksanaannya”

(AE/05/05/2016)

60

Koordinasi pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

SMA Gadjah Mada dilakukan oleh Guru Bimbingan Konseling, Wali

Kelas, dan Wakasek Kesiswaan serta diawasi oleh Kepala Sekolah. Ibu

EM selaku Guru Bimbingan dan Konseling di SMA Gadjah Mada

menjelaskan koordinasi pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok

sebagai berikut:

“...untuk menanggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di

lingkungan sekolah terdapat koordinasi antara Kepala Sekolah,

Guru bimbingan konseling dan Wali Kelas serta dibantu

Wakasek Kesiswaan.” (EM/18/04/2016)

Tugas dari masing pelaksana kebijakan cukup sederhana yaitu

mengawasi perilaku siswa di lingkungan sekolah dan memberikan sanksi.

Wali Kelas mendapat tugas tambahan yaitu untuk pemasangan tanda

larangan merokok di kelasnya masing-masing. Peralatan yang digunakan

untuk melaksakan kebijakan tersebut adalah tanda dilarang merokok.

Berikut penjelasan yang disampaikan oleh Bapak AE selaku Pelaksana

Tugas Kepala Sekolah di SMA Gadjah Mada:

“Tugas dari tim untuk mensukseskan program tersebut hanya

mengawasi siswa di sekolah, jika ada siswa yang melanggar

akan diberikan sanksi. Guru Wali Kelas juga memasang tulisan

dilarang merokok di dalam kelas.” (AE/05/05/2016)

Hasil observasi di SMA Gadjah Mada menemukan Guru

Bimbingan dan Konseling yang sedang menegur siswa yang sedang

merokok di depan kelas. Guru Bimbingan dan Konseling memberikan

sanksi kepada siswa tersebut untuk mematikan rokoknya. Sanksi tersebut

belum bisa memberikan efek untuk menghentikan siswa merokok di

61

sekolah, karena masih ditemukan siswa lain yang merokok di sekolah

walaupun sudah diberi sanksi dari Guru Bimbingan dan Konseling.

Kesimpulan dari beberapa pendapat dan hasil observasi di atas

menunjukkan SMA Gajah Mada sudah membentuk tim untuk

melaksanakan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.

Tim yang ditunjuk oleh sekolah beranggotakan Guru Bimbingan

Konseling, Wali Kelas, Wakasek Kesiswaan, dan diawasi oleh Kepala

Sekolah. Tim tersebut berkoordinasi untuk melaksanakan kebijakan

sesuai dengan tujuan. .

b. Tahap Interpretasi

Tahap interpretasi merupakan tahap penjelasan mengenai tujuan

dari sebuah kebijakan. Penjelasan yang dimaksudkan agar kebijakan

mudah dipahami sehingga pelaksana kebijakan dan sasaran kebijakan

dapat melaksanakan dengan baik.

Penjelasan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah

Mada dilakukan dengan cara sosialisasi. Sosialisasi dilaksanakan saat

MOS. Berikut penjelasan dari Bapak AE selaku Pelaksana tugas Kepala

Sekolah di SMA Gadjah Mada Yogyakarta bahwa:

“Dulu pernah dilakukan sosialisasi kebijakan kawasan tanpa

rokok di sekolah waktu MOS dan setiap awal tahun pelajaran.

Untuk Guru cara mensosialisasikannya dengan cara

menyampaikan pada rapat, kalau mau merokok di sana

tempatnya jangan di ruangan Guru, apalagi perokok pasif

terkena akibatnya yang paling banyak dari perokok yang

merokok di sembarang tempat” (AE/05/05/2016)

62

Pernyataan tersebut diperjelas oleh Ibu EM selaku Guru Bimbingan dan

Konseling di SMA Gadjah Mada Yogyakarta yang menjelaskan,

“Pihak sekolah pernah melakukan sosialisasi mengenai

kebijakan tersebut saat rapat sekolah dan pada saat MOS atau

tahun ajaran baru yang dihadiri orang tua siswa.”

(EM/18/04/2016)

Tindak lanjut dari sosialisasi yang dilakukan oleh SMA Gadjah

Mada saat MOS mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok untuk saat

ini belum ada program khusus yang dibuat. Hal tersebut diungkapkan

oleh Ibu TE selaku Guru di SMA Gadjah Mada sebagai berikut:

“Sepertinya di sekolah ini belum ada program yang khusus

dibuat untuk menanggapi kawasan tanpa rokok di sekolah.”

(TE/20/04/2015)

Penjelasan di atas diperkuat oleh pendapat Ibu EM selaku Guru

Bimbingan dan Konseling sebagai berikut:

“Kalau dari pihak sekolah tidak ada program apa-apa, tetapi

kami melakukan pemasangan plang tidak merokok di kelas.

anak-anak tidak peduli. Kalau usaha kita ya bisa nya paling pas

pelajaran di kelas tidak boleh merokok dan menyuruh untuk

mematikan rokok atau menyarankan merokok ke kamar mandi.

Pihak sekolah tidak bisa ketat terhadap para perokok di sekolah

terutama pada siswa, karena beberapa siswa tidak akan masuk

sekolah jika tidak boleh merokok di sekolah. “ (EM/18/04/2016)

Pendapat lain disampaikan oleh Bapak AE selaku Pelaksana Tugas Kepala

Sekolah di SMA Gadjah Mada sebagai berikut :

“...sekolah sudah memasukan larangan merokok di sekolah pada

tata tertib. Pelaksanaan tata tertib diawasi oleh Kepala Sekolah

dibantu Guru dan karyawan. Pihak sekolah juga sudah

memasang tanda dilarang merokok.” (AE/05/05/2016)

Hasil pencermatan dokumen tata tertib sekolah menunjukkan

kebenaran sudah dicantumkan larangan merokok di tata tertib sekolah.

63

Tata tertib yang berlaku belum bisa dipatuhi sepenuhnya oleh warga

sekolah. Hasil observasi di SMA Gadjah Mada menunjukkan terdapat

beberapa siswa yang merokok di koridor sekolah dan seorang guru yang

merokok di ruang guru. Perilaku yang ditunjukkan oleh guru dan siswa

tersebut belum sesuai dengan tata tertib yang dibuat oleh pihak SMA

Gadjah Mada. Berikut hasil dokumentasi observasi di SMA Gadjah

Mada:

Gambar 5. Siswa merokok di koridor sekolah

Hasil observasi di SMA Gadjah Mada tidak menemukan kegiatan

khusus yang dibuat oleh pihak sekolah untuk menanggapi Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah. Pelaksana kebijakan

seperti Wali Kelas dan Guru BK hanya memberikan sanksi teguran dan

menyuruh untuk mematikan bagi siswa maupun guru yang merokok di

sekolah.

Kesimpulan dari beberapa pendapat dan hasil observasi di atas

menunjukkan bahwa tahap interpretasi implementasi Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada menggunakan sosialisasi.

64

Sosialisasi dilaksanakan saat MOS dengan mengundang orang tua siswa.

Sosialisasi sebelumnya juga sudah dilakukan terlebih dahulu kepada

Guru saat rapat sekolah. Tindak lanjut dari sosialisasi yang dilakukan

oleh pihak sekolah sampai saat ini belum ada program khusus untuk

menangani pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA

Gadjah Mada.

c. Tahap Aplikasi

Tahap aplikasi merupakan tahap pelaksanaan setelah tahap

pengorganisaian dan tahap interpretasi dilakukan. Tahap aplikasi

mencakup semua hal yang berhubungan dengan cara pelaksana

mengatasi masalah atau meningkatkan mutu pada sasaran kebijakan

termasuk di dalamnya berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi

pelayanan, pembayaran atau yang lainnya yang disesuaikan dengan

tujuan atau perlengkapan program.

Tahap aplikasi yang dilakukan oleh SMA Gadjah Mada untuk

menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan

Sekolah sudah dimulai sejak adanya Pergub DIY Nomor 42 Tahun 2009

tentang kawasan tanpa rokok. Informasi tersebut didapatkan saat

wawancara dengan Bapak AE selaku Pelaksana Tugas Kepala Sekolah di

SMA Gadjah Mada Yogyakarta:

“Pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini

sejak diberlakukanya Pergub DIY tentang kawasan tanpa rokok

yang di dalamnya sekolah termasuk tempat yang dimaksud.”

(AE/05/05/2016)

65

Anggaran yang digunakan untuk pelaksanaan Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada menggunakan anggaran sosialisasi

yang dilakukan saat MOS, untuk peralatan yang digunakan untuk

melaksnakan kebijakan tersebut menggunakan tanda dilarang merokok

dan pemasangan tanda dilarang merokok menggunakan anggaran

peralatan kelas. Berikut penjelasan Ibu MV selaku Karyawan di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta:

“Untuk anggarannya kami masukkan dalam anggaran sosialisasi

awal MOS dan pemasangan tanda dilarang merokok kita

ambilkan dari anggaran peralatan kelas.” (MV/03/05/2016)

Hal tersebut diperkuat oleh Ibu TE selaku Guru dan Wali Kelas di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta sebagai berikut:

“Untuk anggaran mungkin tidak ada ya mas. Sosialisasinya

menggunakan dana saat pengenalan sekolah atau MOS dan

pemasangan tanda dilarang merokok menggunakan dana lain

lain di peralatan kelas.” (TE/20/04/2016)

Hasil observasi di SMA Gadjah Mada, belum ditemukan tanda

dilarang merokok yang dimaksud oleh Ibu MV dan Ibu AE. Tanda

dilarang merokok seharusnya berada di dalam kelas. Beberapa siswa

mengaku tahu jika ada tanda tersebut di dalam kelas, namun ada siswa

yang dengan sengaja mencopot tanda dilarang merokok. Berikut

penjelasan dari AI selaku siswa di SMA Gadjah Mada:

“Memasang tulisan dilarang merokok di kelas mas, tetapi itu

juga tidak berpengaruh pada kami yang merokok dan ada juga

yang dicopot lagi sama teman-teman.” (AI/25/04/2016)

Kesimpulan dari beberapa pendapat dan hasil observasi di atas

adalah pihak sekolah sudah mulai melaksanakan Kebijakan Kawasan

66

Tanpa Rokok sejak diberlakukannya Pergub Nomor 42 tahun 2009.

Program lanjutan untuk menanggapi kebijakan tersebut belum ada namun

pihak sekolah sudah memasang tanda dilarang merokok sesuai dengan

Permendikbud Nomor 64 tahun 2015 tentang Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Lingkungan Sekolah. Pelaksanaan kebijakan kawasan tersebut

masih terjadi pelanggaran karena masih ada siswa dan guru yang

merokok di sekolah. Anggaran yang digunakan untuk pelaksanaan

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada menggunakan

anggaran sosialisasi yang dilakukan saat MOS, untuk peralatan yang

digunakan adalah tanda dilarang merokok dan pemasangan tanda

dilarang merokok menggunakan anggaran peralatan kelas

3. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Implementasi kebijakan merupakan cara yang dilakukan untuk

mencapai sebuah tujuan pada suatu kebijakan. Model Edward III dalam

buku Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi (Subarsono,

2012: 90-92) menjelaskan terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap

keberhasilan dan kegagalan pada implementasi kebijakan. Empat faktor

tersebut adalah komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokasi.

a. Komunikasi

Komunikasi merupakan faktor penting pertama dalam

implementasi kebijakan. Komunikasi bertujuan untuk memberikan

informasi dari pihak yang berwenang kepada pelaksana kebijakan

67

tentang maksud dari implementasi kebijakan. Pelaksana Kebijakan

Kawasan Tanpa Asap Rokok di Lingkungan Sekolah adalah Kepala

Sekolah, Guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan pihak lain di

dalam lingkungan sekolah.

Pihak sekolah mempunyai wewenang atau tugas untuk

mengkomunikasikan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah

kepada semua warga sekolah. Model Edward III mengemukakan bahwa

komunikasi kebijakan terdiri dari 3 dimensi yaitu dimensi transisi

(transmision), dimensi kejelasan (clarity), dimensi konsistensi

(consistency).

1) Dimensi transisi mengharapkan agar kebijakan disampaikan kepada

sasaran kebijakan agar tujuan dari kebijakan dapat dipahami dan

dilaksanakan dengan baik. Sosialisasi menjadi alat komunikasi SMA

Gadjah Mada Yogyakarta untuk menyampaikan kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok di Sekolah. Kegiatan sosialisasi pernah dilakukan pihak

sekolah. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Bapak AE selaku

Pelaksana tugas Kepala Sekolah di SMA Gadjah Mada Yogyakarta

bahwa:

“Dulu pernah dilakukan sosialisasi kebijakan kawasan tanpa

rokok di sekolah waktu MOS dan setiap awal tahun pelajaran.

Untuk Guru cara mensosialisasikannya dengan cara

menyampaikan pada rapat, kalau mau merokok di sana

tempatnya jangan di ruangan Guru, apalagi perokok pasif

terkena akibatnya yang paling banyak dari perokok yang

merokok di sembarang tempat.” (AE/05/05/2016)

68

Pernyataan tersebut diperjelas oleh Ibu EM selaku Guru Bimbingan

dan Konseling di SMA Gadjah Mada Yogyakarta yang menjelaskan,

“Pihak sekolah pernah melakukan sosialisasi mengenai

kebijakan tersebut saat rapat sekolah dan pada saat MOS atau

tahun ajaran baru yang dihadiri orang tua siswa. Menurut saya

sosialisasi yang dilakukan tidak berguna karena yang dulu

Kepala Sekolahnya menyediakan suatu tempat untuk merokok

di lingkungan sekolah. Sekarang dengan pergantian Kepala

Sekolah mencoba untuk menghilangkan tempat tersebut.”

(EM/18/04/2016)

Hal serupa juga dikemukakan oleh Ibu TE selaku Guru di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta:

“Ya pernah, pernah ada sosialisasi kepada orang tua siswa

pada saat penerimaan siswa baru. Sosialisasi berupa

pembinaan dan penjelasan tentang kebijakan kawasan tanpa

rokok di sekolah“ (TE/20/04/2016)

Kegiatan sosialisasi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta dilakukan pada saat Masa Orientasi Sekolah

(MOS) dan tahun ajaran baru. Sosialisasi dilakukan dengan cara

mengumpulkan orang tua di sekolah. Sosialisasi merupakan sarana

komunikasi yang penting karena suatu informasi dalam kebijakan

akan tersampaikan dengan baik kepada sasaran dan akan

mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan.

2) Dimensi kejelasan dalam komunikasi kebijakan menginginkan

kebijakan dapat dimengerti oleh implementator dan sasaran kebijakan.

Kejelasan yang diterima oleh implementator dan sasaran kebijakan

sangat penting agar mengetahui tujuan dan maksud dari kebijakan

tersebut. Beberapa siswa mengaku tidak tahu akan adanya kebijakan

69

tersebut tetapi mereka paham bahwa merokok di sekolah itu tidak

boleh. Seperti yang dijelaskan oleh AI siswa SMA Gadjah Mada

Yogyakarta sebagai berikut:

“...Saya tidak tahu mas kalau ada peraturan seperti itu di

sekolah ini, tapi saya tahu kalau merokok di sekolah itu

memang tidak boleh.” (AI/25/04/2016)

Pendapat diperjelas oleh Ibu TE selaku Guru di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta:

“...Sosialisasi peraturan tanpa rokok di sekolah saya rasa masih

kurang jelas karena masih ada beberapa siswa yang merokok

di lingkungan sekolah seperti tidak tahu kalau ada peraturan

seperti itu.” “ (TE/20/04/2016)

Hasil observasi di lapangan juga menjumpai beberapa siswa

merokok di koridor sekolah. Selain itu dijumpai beberapa puntung

rokok beserta bungkusnya dibuang sembarangan di depan koridor

kelas. Hal tersebut menunjukan bahwa siswa sudah terbiasa merokok

di koridor sekolah. Berikut beberapa foto hasil observasi

menunjukkan hal yang sudah disampaikan di atas:

Gambar 6. Siswa merokok

di koridor sekolah

Gambar 7. Puntung dan bungkus

rokok di sekitar koridor sekolah

70

Beberapa informasi di atas dapat disimpulkan bahwa

penyampaian kebijakan kawasan tanpa rokok masih belum jelas.

Pemahaman mengenai kebijakan tersebut khususnya pada siswa

kemungkinan dapat terhambat apabila orang tua siswa tidak

menyampaikan kebijakan tersebut kepada anaknya karena sosialisasi

yang diadakan ditujukan untuk orang tua siswa.

3) Dimensi konsistensi dalam komunikasi kebijakan menginginkan

implementasi kebijakan berjalan efektif dengan perintah-perintah yang

jelas dan konsisten. Dimensi konsistensi di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta belum bisa dianggap sebagai sikap konsisten karena

terdapat sebuah tempat berada di dalam lingkungan yang digunakan

khusus untuk merokok. Tempat yang dimaksud terletak tidak jauh dari

ruang kelas. Tempat khusus merokok tersebut merupakan kebijakan

dari Kepala Sekolah lama yang bertujuan untuk memberikan ruang

kepada Guru dan karyawan termasuk siswa yang merokok. Hal

tersebut sesuai dengan hasil wawancara kepada Ibu EM selaku Guru

Bimbingan dan Konseling di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai

berikut:

“....Dulu ada tempat khusus merokok yang dibuat oleh Kepala

Sekolah yang lama, soalnya Kepala Sekolah yang lama juga

merokok. Tempat itu ditujukan agar mereka yang rokok tidak

menggangu yang tidak merokok jadi pas jam istirahat pada

ngumpul di tempat itu. Pada ngrokoknya di kawasan itu karena

sejuk dan bisa bersantai. Lalu kita tebang aja itu pohonnya.

Kita mengusirnya dari situ susah karena enak. Akhirnya

pohonnya kita tebang, akhirnya sekarang merokok sedikit,

terus ya sudah dimatikan.” (EM/18/04/2016)

71

Pendapat yang lain disampaikan oleh Bapak AE selaku Pelaksana

tugas Kepala Sekolah di SMA Gadjah Mada Yogyakarta mengenai

adanya tempat khusus merokok di sekolah sebagai berikut:

“Kalau saya sendiri memang setuju ada tempat khusus untuk

membuat Guru ataupun siswa tidak merokok di sembarang

tempat. Kalau tidak disediakan, akan merugikan yang tidak

merokok juga karena beberapa dari siswa merokok di

sembarang tempat.” (AE/05/05/2016)

Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa tidak adanya

konsistensi antara kebijakan yang diberlakukan dengan kenyataan

yang ada di lapangan. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah

jelas menegaskan bahwa lingkungan sekolah merupakan kawasan

tanpa rokok. Studi dokumentasi pada tata tertib sekolah juga

menunjukkan hasil yang tidak konsisten karena pada tata tertib

sekolah tercantum pada aspek ketertiban dan keamanan menjelaskan

bahwa di lingkungan sekolah siswa tidak boleh merokok,

minum/membawa/mengedarkan minuman keras, obat-obat terlarang

atau sejenisnya.

Data yang didapatkan dari observasi di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta menunjukkan tidak konsistennya pihak sekolah terhadap

kebijakan kawasan tanpa rokok karena dijumpai seorang Guru yang

merokok di ruang Guru. Hasil wawancara juga mendapatkan

pengakuan dari Bapak AB selaku Wakasek Kesiswaan di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta sebagai berikut :

”Saya sering merokok di sekolah tetapi saya merokoknya pada

saat tidak mengajar di kelas. Biasanya saya merokok di ruang

72

Guru waktu jeda mengajar atau pada waktu istirahat.”

(AB/26/04/2016)

Hal tersebut mengindikasikan konsistensi pelaksanakan

kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada tidak berjalan

dengan baik karena terdapat beberapa Guru sebagai implementator

justru menunjukkan sikap tidak sejalan dengan kebijakan tersebut

dengan merokok di lingkungan sekolah.

b. Sumber Daya

Sumber daya mempunyai peran yang sangat berpengaruh dalam

implementasi sebuah kebijakan. Sumber daya yang tersedia diharapkan

mendukung implementasi kebijakan, jika sumber daya tidak mendukung

tentu saja akan menghambat pelaksanaan kebijakan. Sarana penunjang

yang tepat juga dapat memaksimalkan tujuan dari sebuah kebijakan.

Sumber daya pada proses implementasi kebijakan kawasan tanpa

rokok di sekolah berhubungan dengan kesiapan dari pihak pelaksana.

Sumber daya tersebut dapat berupa sumber daya manusia, sumber daya

anggaran, sumber daya peralatan, dan sumber daya kewenangan. Berikut

hasil penelitian mengenai sumber daya implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta:

1) Sumber daya manusia dari pihak sekolah dapat dilihat dari jumlah

staff yang menangani kebijakan tersebut, keahlian yang dimiliki

anggota pelaksana, informasi yang relevan tentang implementasi

kebijakan dan persiapan lainnya. Sumber daya manusia yang

digunakan sebagai pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di

73

sekolah adalah Guru Bimbingan Konseling dan Guru Wali Kelas

dibantu Wakasek Kesiswaan. Berikut penjelasan dari Bapak AE

selaku Pelaksana Tugas Kepala SMA Gadjah Mada Yogyakarta:

“Kalau tim khususnya yang menanggani masalah rokok tidak

ada. Tapi itu nanti masuk dalam kenalakan peserta didik

sehingga yang menanggani program tersebut adalah Guru

Bimbingan Konseling dan Wali Kelasnya. Dibantu Wakasek

Kesiswaan.” (AE/05/05/2016)

Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Bapak AB selaku Wakasek

Kesiswaan di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai berikut:

“Koordinasi pelaksanaan menanganai kebijakan tersebut

sebagian besar dilakukan oleh Guru Bimbingan Konseling dan

Wali Kelas.” (AB/26/04/2016)

Saat ini jumlah anggota yang menangani Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sudah cukup namun

terkendala dengan beberapa Guru yang juga mengajar di sekolah lain.

Keadaan tersebut membuat koordinasi sekolah menjadi terhambat.

Informasi tersebut diperoleh saat wawancara dengan Ibu TE selaku

Guru di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai beikut:

“Guru-Guru di sini ada juga yang mengajar di sekolah lain,

untuk kebijakan-kebijakan seperti itu menunggu forum. Hal-

hal mengenai kebijakan dapat disampaikan saat rapat.” “

(TE/20/04/2016)

Kesiapan sumber daya manusia dalam implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta menggunakan

Guru Bimbingan dan Konseling karena pelanggaran yang dilakukan

termasuk dalam kenalakan pelajar. Guru wali kelas dibantu oleh

74

Wakasek Kesiswaan ikut mengawasi pelaksanaan kebijakan, namun

saat ini sumber daya manusia yang ada belum bisa dimaksimalkan.

2) Sumber daya anggaran dalam pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa

rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sudah cukup karena program

dari sekolah tidak membutuhkan pendanaan yang besar. Pendanaan

untuk program hanya terdapat pada pemasangan tanda dilarang

merokok. Pemasangan tanda dilarang merokok menggunakan

anggaran peralatan kelas. Hal tersebut disampaikan oleh Bapak AE

selaku pelaksana tugas Kepala Sekolah.

“Untuk anggaran program tersebut pihak sekolah tidak

menganggarkan khusus karena programnya tidak

membutuhkan biaya. Pemasangan tulisan dilarang merokok

hanya menggunakan dana lain-lain yang termasuk dalam

peralatan kelas.” (AE/05/05/2016)

Hal tersebut diperkuat oleh pendapat dari Ibu EM selaku Guru

Bimbingan dan Konseling sebagai berikut:

“Anggarannya kami jadikan satu dengan sosialisasi maupun

rapat. Untuk pemasangan gambar dilarang merokok itu

menggunakan uang peralatan kelas.” (EM/18/04/2016)

Anggaran dalam pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok

sudah termasuk ke dalam anggaran sosialisasi saat awal tahun ajaran

baru atau MOS dan termasuk ke dalam anggaran rapat. Pengadaan

tanda dilarang merokok menggunakan anggaran peralatan kelas.

3) Sumber daya peralatan yang digunakan untuk melaksanakan

kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada hanya

menggunakan tanda dilarang merokok dan untuk selebihnya

75

menggunakan sumber daya manusia yang tersedia yaitu Guru

Bimbingan Konseling dan Walikelas dibantu oleh Wakasek

Kesiswaan diawasi oleh Kepala Sekolah. Tidak ada peralatan khusus

dari sekolah karena tidak ada program khusus untuk menangani

kebijakan tersebut.

Hasil observasi di SMA Gadjah Mada tidak ditemukan tanda

dilarang merokok, namun menurut beberapa siswa tanda tersebut

memang ada tetapi sering dicopot oleh siswa. Berikut penjelasan dari

AI selaku siswa di SMA Gadjah Mada:

“Memasang tulisan dilarang merokok di kelas mas, tetapi itu

juga tidak berpengaruh pada kami yang merokok dan ada

juga yang dicopot lagi sama teman-teman.” (AI/25/04/2016)

4) Sumber daya kewenangan yang berada di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta menjadi tugas dari Kepala Sekolah. Kepala Sekolah

mempunyai kewenangan untuk mengatur pelaksanaan kebijakan

kawasan tanpa rokok di sekolah. Sumber daya kewenangan di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta kurang maksimal dalam pelaksanaan

kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah. Selain sosialisasi, belum

ada program dari sekolah yang mendukung implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Hal tersebut

dijelaskan oleh Bapak AE selaku Pelaksana tugas Kepala Sekolah di

SMA Gadjah Mada Yogyakarta:

“Programnya hanya tidak boleh merokok di lingkungan

sekolah, sesuai dengan program yang ada. Tetapi pada waktu

jam istirahat, anak-anak juga merokok di luar sekolah. Nah

76

daripada merokok diluar ketahuan pihak luar sekolah, makanya

dilokalisir di dalam lingkungan sekolah saja. Kalau saya

sendiri sih, karena saya tidak merokok, lebih nyaman kalau

tidak ada yang merokok” (AE/05/05/2016)

Pernyataan yang sama disampaikan oleh Ibu EM selaku Guru

Bimbingan dan Konseling di SMA Gadjah Mada Yogyakarta yang

menjelaskan,

“Kalau dari pihak sekolah tidak ada program apa-apa, tetapi

kami melakukan pemasangan plang tidak merokok di kelas.

anak-anak tidak peduli. Kalau usaha kita ya bisa nya paling pas

pelajaran di kelas tidak boleh merokok dan menyuruh untuk

mematikan rokok atau menyarankan merokok ke kamar mandi.

Pihak sekolah tidak bisa ketat terhadap para perokok di

sekolah terutama pada siswa, karena beberapa siswa tidak akan

masuk sekolah jika tidak boleh merokok di sekolah.”

(EM/18/04/2016)

Hal serupa juga dikemukakan oleh Ibu TE selaku Guru di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta:

“Sepertinya di sekolah ini belum ada program yang khusus

dibuat untuk menanggapi kawasan tanpa rokok di sekolah.”

(TE/20/04/2016)

Sumber daya yang ada belum bisa untuk memaksimalkan

pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta. Belum ada sumber daya kewenangan dari Kepala

Sekolah yang dapat mengkontrol siswa maupun Guru merokok di

sekolah. Jadi, kesiapan dari pihak sekolah masih kurang.

c. Disposisi atau sikap

Disposisi atau sikap adalah karakteristik dari pelaksana kebijakan.

Hal ini berkaitan dengan bagaimana karakteristik pelaksana yang

mendukung atau menolak kebijakan. Pelaksana diharapkan memliki

77

kapasitas untuk melaksanakan kebijakan. Pelaksana kebijakan yang

terpilih sesuai dengan kapasitasnya harus mempunyai komitmen yang

kuat untuk melaksanakan kebijakan.

Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah meliputi

Kepala Sekolah, Wakasek kesiswaan, Guru bimbingan konseling, dan

wali kelas. Pihak – pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di sekolah diharapkan memiliki dedikasi untuk

melaksanakan tanggung jawab tersebut. Kepala Sekolah memiliki

tanggung jawab mengawasi dan mensukseskan kebijakan tersebut dengan

bekerja sama dengan seluruh Guru dan karyawan. Pihak sekolah

melakukan upaya untuk mensosialisasikan kebijakan kawasan tanpa

rokok di sekolah kepada kelompok sasaran, pemasangan papan tanda

larangan dilarang merokok di kawasan sekolah. Sikap pelaksana

kebijakan di SMA Gadjah Mada Yogyakarta masih belum menunjukkan

dukungan penuh terhadap pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di

sekolah, hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara dengan Ibu EM

selaku Guru Bimbingan dan Konseling di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta:

“...Dulu jika akan menerapkan kebijakan kawasan tanpa rokok

belum bisa maksimal dan terkesan enggak mempan karena

Kepala Sekolah yang dulu malah menerapkan kebijakan bebas

rokok di sekolah yang bertempat di belakang kelas yang terdapat

pohon rindang yang menurut siswa asik untuk nongkrong”

(EM/18/04/2016)

Hasil observasi dilapangan juga menemukan guru yang sedang

merokok di sekolah. Guru tersebut merokok di ruang guru yang termasuk

78

dalam lingkungan sekolah. Hal tersebut menunjukkan sikap yang tidak

sejalan dengan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan

Sekolah. Hasil wawancara juga menemukan pengakuan dari guru yang

merokok tersebut. Guru tersebut ternyata adalah Wakasek Kesiswaan di

SMA Gadjah Mada. Berikut pengakuan dari Bapak AB terkait perilaku

merokok di ruang guru:

“Saya sering merokok di sekolah tetapi saya merokoknya pada

saat tidak mengajar di kelas. Biasanya saya merokok di ruang

guru waktu jeda mengajar atau pada waktu istirahat.”

(AB/26/04/2016)

Pendapat pelaksana kebijakan terhadap pelaksanaan Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada bermacam-macam.

Beberapa guru setuju dengan adanya kebijakan tersebut, namun ada juga

yang tidak setuju melihat kondisi siswa yang ada di SMA Gadjah Mada.

Berikut pebdapat dari Ibu EM selaku Guru Bimbingan dan Konseling di

SMA Gadjah Mada Yogyakarta:

“Kalau saya tidak setuju mas jika ada tempat khusus merokok

di sekolah, tetapi mau bagaimana lagi melihat kondisi siswa

yang memang sudah tidak bisa diatur lagi untuk tidak merokok

di sekolah...” (EM/18/04/2016)

Tanggapan lain disampaikan oleh Bapak AE selaku Pelaksana Tugas

Kepala Sekolah di SMA Gadjah Mada Yogyakarta,

“Kalau saya sendiri memang setuju ada tempat khusus untuk

membuat Guru ataupun siswa tidak merokok di sembarang

tempat. Kalau tidak disediakan, akan merugikan yang tidak

merokok juga karena beberapa dari siswa merokok di

sembarang tempat. Menurut saya sendiri, sepanjang daerah-

daerah tertentu masih banyak tumbuhan, tidak ada masalah.

Tapi kalau untuk daerah yang tidak ada tanaman tapi disitu ada

asap rokok, daerah seperti itulah yang berkewajiban menjadikan

79

daerah tanpa rokok. Tidak bisa melarang orang untuk berhenti

rokok, ada sekian ribu orang yang hidup dari rokok, kasihan

kalau dilarang, mereka-mereka yang hidup dari rokok. Cuma

sebagai perokok, harus bisa menempatkan diri supaya tidak

menggangu yang lain” (AE/05/05/2016)

Bapak AB selaku Wakasek Kesiswaan memberikan tanggapan mengenai

adanya tempat khusus merokok sebagai berikut:

“ Tempat khusus untuk merokok menurut saya itu perlu karena

bagi seorang perokok jika tidak merokok rasanya pahit. Tempat

khusus merokok di sekolah ini memang diperlukan karena

beberapa Guru ada yang merokok termasuk saya, tetapi yang saya

kurang suka yaitu banyak siswa yang merokok di sekolah ini.

Kebiasaan merokok mereka didapatkan saat masih berada di

sekolah lamanya atau waktu masih SMP. Sebenarnya tempat

khusus untuk merokok di sekolah ini untuk memberi tempat para

perokok agar tidak merokok di sembarang tempat, tetapi dari

masyarakat banyak mendapat tanggapan yang tidak baik.”

(AB/26/04/2016)

Hasil observasi menemukan adanya lokasi yang digunakan oleh

pihak sekolah sebagai tempat khusus untuk merokok. Lokasi tersebut

berada tidak jauh dari ruang guru. Berikut foto hasil observasi yang

menunjukan tempat khusus merokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta :

Gambar 8. Tempat khusus merokok

Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa

sikap atau disposisi pelaksana kebijakan di SMA Gadjah Mada ini belum

bisa sesuai dengan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah. Terdapat

kebijakan dari mantan Kepala Sekolah untuk membuat tempat khusus

80

untuk merokok di sekolah. Guru Bimbingan dan Konseling memberikan

pendapat tidak setuju dengan adanya kebijakan tersebut, namun tidak

bisa berbuat banyak karena kondisi siswa yang memang suadah

mempunyai kebiasaan merokok yang susah untuk diatur. Keadaan siswa

yang seperti itu juga dipersulit dengan pendapat Kepala Sekolah yang

setuju jika ada tempat khusus merokok walaupun ada upaya untuk

menghilangkan tempat tersebut.

d. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi jelas mempengaruhi keberhasilan kebijakan

karena melibatkan banyak pihak di dalamnya. Beberapa pihak yang

terlibat dalam pelaksanaan kebijakan akan bersinergi membentuk struktur

birokrasi untuk mewujudkan implementasi kebijakan sesuai dengan

tujuan. Struktur birokrasi memiliki pemimpin yang mempunyai peran

sebagai penanggung jawab. Pemimpin struktur birokrasi dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta adalah Kepala Sekolah, namun karena Kepala Sekolah yang

lama sudah meninggal dunia saat ini sementara digantikan oleh pelaksana

tugas Kepala Sekolah.

Sebuah implementasi kebijakan tentu saja memiliki Standart

Operating Procedure (SOP). SOP digunakan sebagai pedoman oleh

pelaksana kebijakan dalam melaksanakan tugasnya. Implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta tidak

sepenuhnya serupa dengan SOP, hanya dilakukan secara sederhana

81

seperti yang dijelaskan oleh Bapak AE selaku Pelaksana Tugas Kepala

Sekolah di SMA Gadjah Mada Yogyakarta,

“Untuk SOPnya kebijakan kawasan tanpa rokok ini mungkin kita

belum menjalankan sebagaimana mestinya, namun sekolah sudah

memasukan larangan merokok di sekolah pada tata tertib.

Pelaksanaan tata tertib diawasi oleh Kepala Sekolah dibantu Guru

dan karyawan. Pihak sekolah juga sudah memasang tanda dilarang

merokok. Tidak ada pedoman dari sekolah untuk melaksanakan

kebijakan tanpa rokok, hanya untuk melokalisasi para perokok

supaya tidak menggangu yang tidak merokok.. Jadi oleh Kepala

Sekolah yang almarhum, disediakan tempat khusus untuk merokok

di lingkungan sekolah, ada pohon rindang jadi asapnya bisa

dinetralkan. Sehingga tempat tersebut dijadikan kawasan khusus

untuk merokok. Namun untuk saat ini pihak sekolah

mengupayakan untuk menghilangkan kawasan khusus merokok

tersebut.” (AE/05/05/2016)

Pelaksanaan kebijakan tersebut mempunyai tim yang terdiri dari

Guru bimbingan konseling, Guru walikelas dibantu Wakasek Kesiswaan

dan diawasi oleh Kepala Sekolah. Tugas dari tim tersebut dijelaskan oleh

Bapak AE selaku Kepala Sekolah di SMA Gadjah Mada sebagai berikut:

“Tugas dari tim untuk mensukseskan program tersebut hanya

mengawasi siswa di sekolah, jika ada siswa yang melanggar akan

diberikan sanksi. Guru Wali Kelas juga memasang tulisan dilarang

merokok di dalam kelas.” (AE/05/05/2016)

Untuk menjalankan kebijakan tersebut perlu dilakukan koordinasi.

Berikut penjelasan dari Ibu EM selaku Guru Bimbingan dan Konseling di

SMA Gadjah Mada mengenai koordinasi pelaksanaan kebijakan kawasan

tanpa rokok:

“...untuk menanggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di

lingkungan sekolah terdapat koordinasi antara Kepala Sekolah,

Guru bimbingan konseling dan Wali Kelas.” (EM/18/04/2016)

82

Hal tersebut diperkuat dengan pendpat Ibu TE selaku Guru di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta:

“Koordinasi untuk menanggapi kebijakan tersebut dilakukan oleh

Guru Wali Kelas dengan Guru bimbingan dan konseling diawasi

oleh Kepala Sekolah.” (TE/20/04/2016)

Koordinasi yang dilakukan pihak sekolah dalam pelaksanaan

kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah melibatkan Guru bimbingan

dan konseling, Guru Wali Kelas dan Wakasek Kesiswaan serta diawasi

oleh Kepala Sekolah. Koordinasi antar anggota disesuaikan dengan tugas

masing-masing.

Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa

belum ada pedoman yang jelas dari pihak sekolah untuk mengatur

pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.

Pihak sekolah sudah melaksanakan perintah untuk memasukan larangan

merokok di lingkungan sekolah pada tata tertib sekolah, selain itu pihak

sekolah juga telah memasang tanda dilarang merokok di sekolah.

Tim pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah

Mada terdiri dari Guru Bimbingan Konseling, Wali Kelas, Wakasek

Kesiswaan dan Kepala Sekolah. Tugas pelaksana kebijakan disini adalah

mengawasi siswa di sekolah, jika ada siswa yang melanggar akan

diberikan sanksi. Guru Wali Kelas mempunyai tugas memasang tulisan

dilarang merokok di dalam kelas serta mengawasi siswa agar tidak

merokok di kelas. Koordinasi pelaksanaan kebijakan tersbut dimulai dari

83

Wali Kelas dan Guru bimbingan konseling dibantu Wakasek Kesiswaan.

Pelaksanaan kebijakan tersebut diawasi oleh Kepala Sekolah.

4. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

di SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta kurang berjalan dengan baik. Pelaksanaan kebijakan tersebut

masih memiliki beberapa kendala yang dihadapi. Kendala yang dihadapi

mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan kawasan tanpa rokok di sekolah.

Kendala yang menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut dijelaskan oleh

Bapak AE selaku Pelaksana Tugas Kepala Sekolah di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta :

“Faktor penghambat dalam pelaksanaan program tersebut yang

jelas siswa sudah terbiasa dengan rokok. Banyak siswa yang

berhenti rokok sebentar, tetapi pikirannya menjadi tidak bisa fokus.

Guru pun juga begitu. Mungkin mereka akan berhenti, kalau sudah

terkena penyakit seperti jantung, dll.” (AE/05/05/2016)

Kendala lain juga dijelaskan oleh Ibu EM selaku Guru Bimbingan dan

Konselng di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai berikut :

“Penghambatnya berasal dari input siswa yang masuk ke sekolah

ini sebagian besar adalah siswa dari sekolah lain yang dikeluarkan

karena kenakalan mereka. Penghambat lainnya berasal dari

anaknya sendiri yang memang tidak mempunyai keinginan untuk

berhenti. Mungkin mereka berpikir daripada kearah minuman keras

atau ke narkoba mending merokok, itu kata siswanya. Pengaruh

lingkungan mereka juga mempengaruhi seperti keluarga

bermasalah, disini kebanyakan, dari keluarga broken home, orang

tua terlalu sibuk, anaknya terbengkalai, keadaan orang tua yang

tidak mampu kemudian mungkin dulu SMP nya tidak dapat

mengatasi keadaan mereka yang seperti itu.” (EM/18/04/2016)

84

Pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta masih menemui hambatan. Faktor yang menjadi penghambat

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok selain faktor eksternal yang

telah disampaikan di atas, terdapat faktor internal yang menjadi hambatan.

Faktor internal yang menghambat pelaksanaan kebijakan kawasann tanpa

rokok dijelaskan oleh Ibu EM selaku Guru BK di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta sebagai berikut :

“.....Dulu jika akan menerapkan kebijakan kawasan tanpa rokok

belum bisa maksimal dan terkesan enggak mempan karena Kepala

Sekolah yang dulu malah menerapkan kebijakan bebas rokok di

sekolah yang bertempat di belakang kelas yang terdapat pohon

rindang yang menurut siswa asik untuk nongkrong....”

(EM/18/04/2016)

Ibu EM menambahkan.

“....Beberapa Guru ada yang merokok di sekolah ini. Mereka sering

merokok di ruang Guru namun melihat situasi sekitar jika keadaan

sepi mereka baru merokok agar tidak menganggu yang lain. Hal

seperti yang membuat kami susah untuk memberi tahu para siswa

yang merokok karena beberapa Guru saja merokok di sekolah.”

(EM/18/04/2016)

Pendapat lain disampaikan oleh Ibu TE selaku Guru yang tidak merokok di

SMA Gadjah Mada Yogyakarta:

“Penghambatnya karena kurang ketegasan dari sekolah Guru-Guru

disini ada juga yang mengajar di sekolah lain, untuk kebijakan-

kebijakan seperti itu menunggu forum. Hal-hal mengenai kebijakan

dapat disampaikan saat rapat. Untuk pendukungnya Kepala Sekolah

yang baru berusaha menghilangkan tempat khusus merokok yang

dibuat oleh mantan Kepala Sekolah” “ (TE/20/04/2016)

Kesimpulan dari beberapa penjelasan di atas terdapat beberapa

faktor internal yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan kebijakan

kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada terdapat dua faktor, yakni

85

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternalnya adalah sebagian

besar siswa yang masuk ke SMA Gadjah Mada merupakan pindahan dari

sekolah lain yang dikeluarkan karena kenakalan. Sebagian siswa tersebut

memiliki kebiasaan merokok sejak masih di sekolah lama maupun saat

masih SMP.

Faktor penghambat yang berasal dari internal sekolah adalah mantan

Kepala Sekolah menyediakan tempat khusus merokok di sekolah. Tempat

tersebut kini mulai dihilangkan namun tetap saja masih banyak siswa yang

merokok bahkan ada yang merokok di dalam kelas maupun di lingkungan

sekolah. Faktor penghambat internal yang kedua yaitu beberapa Guru

mengajar di sekolah lain sehingga menyebabkan koordinasi kurang terjalin

dengan baik. Faktor penghambat yang ketiga yaitu beberapa Guru merokok

di lingkungan sekolah, hal tersebut membuat siswa tidak peduli jika diberi

peringatan agar tidak merokok di sekolah.

5. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah

Mada mempunyai beberapa faktor pendukung yang membantu dalam

menjalankan kebijakan tersebut. Faktor pendukung pelaksaan kebijakan dari

hasil wawancara adalah beberpa Guru tidak suka jika ada yang merokok di

sekolah. Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan oleh Bapak AB selaku

Wakasek Kesiswaan:

“Untuk pendukungnya banyak Guru yang tidak suka jika ada yang

merokok di dekatnya jadi mereka itu yang suka menegur orang

86

merokok di sekolah termasuk saya juga pernah ditegur.”

(AB/26/04/2016)

Faktor pendukung yang lain adalah pihak sekolah sudah melakukan

sosialisasi dan memasukkan larangan merokok ke dalam tata tertib sekolah

sesuai dengan Permendikbud Nomor 64 tahun 2015. Berikut penjelasan dari

Bapak AE selaku Pelaksana Tugas Kepala Sekolah:

“Sejauh faktor pendukungnya kita sudah melakukan sosialisasi

mengenai kebijakan tanpa rokok di sekolah, kemudian kami juga

sudah memasukkan larangan merokok di tata tertib sekolah.”

(AE/05/05/2016)

Ibu TE selaku Guru memberikan tambahan sebagai berikut:

“Untuk pendukungnya Kepala Sekolah yang baru berusaha

menghilangkan tempat khusus merokok yang dibuat oleh mantan

Kepala Sekolah. Pendukung larangan merokok di sekolah ini sudah

dipasang tanda dilarang merokok dan pihak sekolah sudah mencoba

menghilangkan tempat khusus merokok dengan menebang pohon

yang biasa digunakan berteduh saat merokok.” “ (TE/20/04/2016)

Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas adalah pelaksanaan

kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada mempunyai faktor

yang mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut. Pendukung pelaksanaan

kebijakan tersebut yaitu beberapa Guru tidak suka jika ada yang merokok

di sekolah, pihak sekolah sudah memasukkan larangan merokok ke dalam

tata tertib sekolah dan sudah memasang tanda dilarang merokok di sekolah

serta upaya untuk menghilangkan tempat khusus merokok di sekolah.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan

dokumentasi dapat dilakukan pembahasan terhadap rumusan masalah

penelitian sebagai berikut:

87

1. Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah

Mada Yogyakarta

Implementasi kebijakan merupakan seluruh tindakan yang

dilakukan untuk merealisasikan tujuan kebijakan. Implementasi kebijakan

memiliki tiga tahap yang harus dilakukan agar sesuai dengan tujuan

kebijakan. Charles O. Jones dalam buku Politik Ideologi Pendidikan (Arif

Rohman, 2009:135) menyebutkan ada tiga tahapan implementasi

kebijakan antara lain adalah pengorganisasian, interpretasi, dan aplikasi.

SMA Gadjah Mada tentu saja harus melaksanakan ketiga tahapan

di atas untuk melaksanakan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok. Berikut

pembahasan dari hasil penelitian mengenai tahapan yang dilakukan oleh

SMA Gadjah Mada dalam melaksanakan kebijakan tersebut:

a. Tahap Pengorganisasian

Tahap pengorganisasian merupakan tahap pertama yang

dilakukan oleh SMA Gadjah Mada untuk melaksanakan Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok. Tahap pengorganisasian merupakan tahap

dimana akan dilakukan persiapan implementasi kebijakan berupa

pembuatan tim pelaksana kebijakan berserta dengan tugasnya masing-

masing, kemudian menetapkan anggaran dan peralatan yang dipakai

untuk melaksanakan kebijakan.

SMA Gajah Mada sudah membentuk tim untuk melaksanakan

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah. Tim yang

ditunjuk oleh sekolah beranggotakan Guru Bimbingan Konseling, Wali

88

Kelas, Wakasek Kesiswaan, dan diawasi oleh Kepala Sekolah. Tim

tersebut berkoordinasi sesuai dengan tugas masing-masing untuk

melaksanakan kebijakan sesuai dengan tujuan. Tim pelaksana dan

tugasnya dalam pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA

Gadjah Mada dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 6. Tim pelaksana Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta

Jabatan Tugas

Kepala Sekolah Mengawasi pelaksanaan Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok SMA Gadjah Mada

Wakasek Kesiswaan Koordinator pelaksanaan Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok SMA Gadjah Mada

Guru Bimbingan

dan Konseling

Membimbing siswa ke arah yang lebih baik dan

menegur siswa yang merokok sembarangan di

sekolah

Wali Kelas Memasang tanda dilarang merokok di kelas dan

menegur siswa yang merokok di dalam kelas

Berdasarkan penjelasan di atas, tahap pengorganisasian untuk

melaksanakan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada

sudah sesuai dengan teori pengorganisasian dalam implementasi

kebijakan yang dikemukakan oleh Charles O Jones. Teori tersebut

menjelaskan pada tahap pengorgansasian dilakukan pembentukan atau

penataan kembali sumber daya, unit-unit serta metode untuk

menjalankan program agar bisa berjalan sesuai dengan tujuan.

Pelaksanaan tahap pengorganisasian di SMA Gadjah Mada sudah

membuat tim pelaksana yang berasal dari sumber daya manusia yang

ada. Tim pelaksana kebijakan juga diberikan tugas masing-masing

89

untuk melaksanakan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah

Mada Yogyakarta.

Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah tahap

pengorganisasian di SMA Gadjah Mada dalam rangka melaksanakan

kebijakan sudah dilaksanakan. Tim pelaksana kebijakan beserta tugas

masing-masing pelaksana sudah dibentuk dengan anggota Kepala

Sekolah, Guru Bimbingan Konseling, Wali Kelas, dan Wakasek

Kesiswaan.

b. Tahap Interpretasi

Joko Widodo (2010: 90-94) menjelaskan bahwa tahap

interpretasi merupakan tahap penguraian pokok dari suatu kebijakan

yang bersifat abstrak agar lebih operasional dan mudah dipahami

sehingga dapat dimengerti oleh para pelaku dan sasaran kebijakan.

Tahap interpretasi merupakan tahap penjelasan mengenasi sebuah

kebijakan kepada pelaksana dan sasaran kebijakan. Penjelasan tujuan

kebijakan dilakukan agar pelaksana dan sasaran kebijakan dapat

menjalankan kebijakan dengan baik.

Pelaksanaan tahap interpretasi di SMA Gadjah Mada sudah

sesuai dengan teori Charles O. Jones. Tahap interpretasi menurut

Charles O. Jones adalah aktivitas menafsirkan agar suatu program

menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta

dilaksanakan sesuai harapan sedangkan pelaksanaan tahap interpretasi

di SMA Gadjah Mada yang berkaitan dengan Kebijakan Kawasan

90

Tanpa Rokok menggunakan cara sosialisasi. Berikut tabel pelaksanaan

tahapan interpretasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah

Mada Yogyakarta:

Tabel 7. Pelaksanaan tahapan interpretasi Kebijakan KTR di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta

No Kegiatan Waktu Pelaksanaan

1 Sosialisasi tata tertib sekolah termasuk

di dalamnya ada peraturan larangan

merokok di sekolah

Awal tahun ajaran atau

saat Masa Orientasi

Sekolah

2 Sosialisasi Kebijakan KTR kepada

kepala sekolah, guru, dan karyawan

Rapat sekolah

Sosialisasi pertama dilakukan kepada Guru saat rapat sekolah.

Sosialisasi pertama dilakukan kepada Guru karena di sekolah ini

pelaksana kebijakan yang ditunjuk adalah Guru. Guru dalam hal ini

sudah termasuk Guru bimbingan konseling, Wakasek Kesiswaan, dan

Wali Kelas. Pelaksana kebijakan diberikan sosialisasi bertujuan agar

dapat memahami tujuan dari kebijakan tersebut. Pemahaman dari

pelaksana kebijakan dapat mempengaruhi implementasi sebuah

kebijakan. Sosialisasi kedua dilaksanakan saat MOS dengan

mengundang orang tua siswa. Penjelasan Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok dimasukkan saat penyampaian tata tertib sekolah. Tata tertib di

SMA Gadjah Mada sudah mencantumkan larangan merokok.

Pencantuman larangan tersebut ke dalam tata tertib sekolah telah sesuai

dengan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015.

Pelaksanaan kebijakan tersebut tentu saja membutuhkan

program dari sekolah namun saat ini program lanjutan untuk

91

menanggapi kebijakan tersebut belum ada. Program awal dari pihak

sekolah hanya sudah melakukan sosialisasi, memasukkan larangan

merokok ke dalam tata tertib sekolah dan sudah memasang tanda

dilarang merokok.

Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah tahapan interpretasi

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada menggunakan

cara sosialisasi. Sosialisasi dilakukan saat rapat sekolah dan MOS.

Sosialisasi dilakukan pelaksanaan kebijakan dapat berjalan dengan baik

oleh Kepala Sekolah, Guru, Karyawan, dan Siswa.

c. Tahap Aplikasi

Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah

Mada sudah dilaksanakan sejak diberlakukannya Pergub Nomor 42

tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok karena dalam peraturan

tersebut menyebutkan tempat belajar mengejar termasuk kawasan tanpa

rokok dan sekolah merupakan tempat belajar mengajar, penjelasan

tersebut juga terdapat dalam Perwal Kota Yogyakarta Nomor 12 tahun

2015. Permendikbud Nomor 64 tahun 2015 memberikan penguatan

terhadap kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah.

Charles O.Jones dalam (Arif Rohman, 2009:135) menjelaskan

tahap aplikasi berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan,

pendanaan atau yang lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau

perlengkapan pelaksanaan kebijakan. Implementasi Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada pada tahap aplikasi sudah sesuai

92

dengan teori Charles O. Jones. Pihak sekolah sudah menetapkan

anggaran dan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada. Penetapan anggaran dan

peralatan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 8. Penetapan anggaran dan peralatan Kebijakan KTR di

SMA Gadjah Mada

No. Program Penggunaan anggaran

1. Sosialisasi Kebijakan KTR yang

sudah termasuk dalam tata tertib

sekolah

Menggunakan anggaran

MOS

2. Sosialsasi Kebijakan KTR saat rapat

sekolah

Mengunakan anggaran

rapat sekolah

3. Pengadaan tanda dilarang merokok Menggunakan anggaran

peralatan kelas

Peralatan yang digunakan untuk mendukung implementasi

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada berupa tanda

dilarang merokok sesuai dengan Pergub DIY Nomor 42 tahun 2009,

Perwal Kota Yogyakarta Nomor 12 tahun 2015, dan Permendikbud

Nomor 64 tahun 2015 yang mewajibkan pemasangan tanda dilarang

merokok pada kawasan tanpa rokok termasuk sekolah. Anggaran untuk

pelaksanaan kebijakan tersebut menggunakan dana sosialisasi dan

pemasangan tanda dilarang merokok menggunakan anggaran peralatan

kelas.

Kesimpulan dari pembahasan di atas menunjukkan bahwa SMA

Gadjah Mada sudah melakukan tahapan aplikasi dengan menerapkan

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok berupa penetapan anggaran dan

peralatan dengan programnya melakukan sosialisasi, memasukkan

93

larangan merokok ke dalam tata tertib sekolah dan sudah memasang

tanda dilarang merokok.

2. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Impelementasi merupakan tahap yang penting dalam sebuah

kebijakan. Implementasi akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu

kebijakan yang telah dibuat. Kebijakan yang telah dibuat dengan baik

tidak akan berjalan jika tidak diimplementasikan dan hanya akan menjadi

wacana semata. Proses implementasi kebijakan pastinya akan dipengaruhi

beberapa faktor yang menyebabkan sebuah keberhasilan maupun

kegagalan.

Terdapat empat faktor yang akan mempengaruhi sebuah proses

implementasi kebijakan. Faktor pertama adalah bagaimana jalinan

komunikasi dalam proses implementasi kebijakan. Ketersediaan sumber

daya menjadi faktor berikutnya. Faktor ketiga yang mempengaruhi

keberhasilan dan kegagalan dalam proses implementasi kebijakan adalah

komitmen atau sikap dari pelaksana kebijakan. Faktor terkahir yaitu

struktur birokrasi. Seluruh faktor tersebut akan menentukan pelaksanaan

kebijakan sesuai dengan tujuan atau tidak.

Berdasarkan hasil wawancara, obersvasi, dan studi dokumentasi

dapat dijelaskan bagaimana faktor komunikasi, ketersediaan sumber daya,

disposisi/sikap, serta struktur birokrasi akan mempengaruhi implementasi

94

kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai

berikut:

a. Komunikasi

Komunikasi mempunyai peran yang penting dalam

implementasi suatu kebijakan. Sebuah kebijaka harus

dikomunikasikan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana

kebijakan. Pelaksana kebijakan kawasan tanpa asap rokok dalam hal

ini adalah sekolah. Sekolah mempunyai tugas untuk menyampaikan

infromasi mengenai kebijakan kawasan tanpa rokok kepada seluruh

warga sekolah selaku obyek kebijakan. Komunikasi harus

disampaikan dengan jelas dan akurat agar mudah dimengerti dan

berjalan sesuai dengan tujuan kebijakan kawasan tanpa asap rokok di

SMA Gadjah Mada Yogyakarta.

Model Edward III mengemukakan bahwa komunikasi

kebijakan terdiri dari 3 dimensi yaitu dimensi transisi (transmision),

dimensi kejelasan (clarity), dimensi konsistensi (consistency).

1) Dimensi Transmisi

Dimensi transmisi dalam komunikasi pelaksanaan kebijakan

mengharapkan pelaksana kebijakan memberitahukan tentang

kebijakan yang akan dilaksanakan. Penjelasan kebijakan mencakup

tujuan yang akan dicapai dan persiapan apa saja yang dilakukan

untuk mencapai tujuan kebijakan tersebut.

95

SMA Gadjah Mada Yogyakarta melakukan komunikasi

kebijakan kawasan tanpa rokok melalui cara sosialisasi. Sosialisasi

dilakukan saat ada Masa Oreintasi Sekolah (MOS) dan tahun ajaran

baru. Sosialisasi dilakukan dengan acara mengundang para orang

tua siswa ke sekolah untuk dijelaskan mengenai peraturan atau tata

tertib di sekolah termasuk didalamnya kawasan tanpa rokok di

sekolah. Penyampaian informasi mengenai kebijakan kawasan

tanpa rokok atau dilarang merokok juga dilakukan langsung kepada

siswa pada keseharian di sekolah. Komunikasi antara Kepala

Sekolah, Guru, dan karyawan adalah selalu mengingatkan untuk

tidak merokok di kawasan sekolah. Sosialisasi juga dilakukan saat

rapat sekolah.

Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah dimensi transisi

dalam pelaksanaan kebijakan kawsan tnpa rokok dilakukan dengan

cara sosialisasi saat MOS dan rapat sekolah.

2) Dimensi Kejelasan

Pada dimensi kejelasan, komunikasi yang dilakukan oleh

pelaksana kebijakan diharapkan dapat diterima secara jelas oleh

sasaran kebijakan. Kejelasan yang diterima oleh sasaran kebijakan

sangat penting agar mengetahui tujuan dan maksud dari kebijakan

tersebut.

Hasil wawancara dengan siswa mengenai pelaksanaan

kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada

96

menunjukkan beberapa siswa mengaku tidak tahu akan adanya

kebijakan tersebut tetapi mereka paham bahwa merokok di sekolah

itu tidak boleh. Beberapa Guru di sekolah tersebut juga merokok di

lingkungan sekolah namun hanya dilakukan di ruang Guru. Hasil

observasi menemukan beberapa siswa merokok di koridor sekolah,

bahkan ditemukan bungkus dan puntung rokok dibuang

sembarangan di sekitar koridor kelas yang mengindikasikan bahwa

merokok di lingkungan sekolah adalah hal sudah biasa dilakukan.

Hal tersebut tentu saja tidak sesuai dengan Permendikbud Nomor

64 tahun 2015 yang jelas memberikan larangan merokok di

lingkungan sekolah. Pasal 3 dalam kebijakan Permendikbud Nomor

64 tahun 2015 menyebutkan sasaran Kawasan Tanpa Rokok di

Lingkungan Sekolah adalah Kepala Sekolah, Guru, tenaga

kependidikan, peserta didik, dan pihak lain di dalam lingkungan

sekolah.

Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah sosialisasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada masih belum

jelas karena ada siswa yang mengaku tidak tahu mengenai

kebijakan tersebut serta ditemukan beberapa Guru yang merokok di

sekolah.

3) Dimensi konsistensi

Model Edward III menjelaskan bahwa dimensi konsistensi

menginginkan implementasi kebijakan berlangsung efektif dengan

97

cara pemberian perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan

jelas agar kebijakan yang diterapkan tidak membingungkan.

Permendikbud Nomor 64 tahun 2015 memberikan perintah

dilarang merokok di lingkungan sekolah, melakukan penolakan

terhadap penawaran iklan, promosi, pemberian sponsor dalam

bentuk apapun, kemudian pihak sekolah diharapkan memasukkan

larangan terkait rokok dalam tata tertib sekolah. Sasaran dari

kebijakan tersebut adalah Kepala Sekolah, Guru, peserta didik, dan

karyawan.

Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah

Mada adalah Kepala Sekolah, Wakasek Kesiswaan, Guru

Bimbingan Konseling, dan Wali Kelas. Konsistensi dalam

pelaksanaan kebijakan di SMA Gadjah Mada belum terlihat karena

terdapat tempat khusus yang disediakan oleh mantan Kepala

Sekolah sebagai area merokok. Area merokok tersebut terletak

tidak jauh dari ruang tata usaha. Pihak sekolah membuat area

khusus merokok untuk melokalisir siswa yang merokok di

sembarang tempat. Pelaksana tugas Kepala Sekolah yang saat ini

menjabat juga setuju dengan adanya area tersebut, namun saat ini

area tersebut mulai dihilangkan dengan menebang pohon rindang

yang berada di area tersebut.

Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah pihak sekolah

sudah memasukkan larangan merokok dalam tata tertib sekolah dan

98

sudah berusaha menghilangkan area khusus merokok namun

pelaksana tugas Kepala Sekolah mengaku setuju jika ada tempat

khusus merokok di sekolah

b. Sumber Daya

Sumber daya menjadi faktor pendukung keberhasilan

komunikasi yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan kepada objek

kebijakan. Sumber daya pada proses implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok di sekolah berhubungan dengan kesiapan dari pihak

pelaksana. Sumber daya tersebut dapat berupa sumber daya manusia,

sumber daya anggaran, sumber daya peralatan, dan sumber daya

kewenangan.

1. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia yang berkaitan dengan implementasi

kebijakan adalah jumlah anggota dan keahlian yang dimiliki

pelaksana kebijakan. Pelaksana kebijakan di SMA Gadjah Mada

diberikan kepada Guru Bimbingan Konseling, Wali Kelas, dan

Wakasek Kesiswaan serta diawasi oleh Kepala Sekolah.

Saat ini jumlah pelaksana kebijakan di SMA Gadjah Mada

sudah memadai namun terkendala dengan beberapa Guru mengajar

di sekolah lain yang memberikan akibat kurang lancarnya

koordinasi antar pelaksana. Sumber daya manusia dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah

Mada Yogyakarta menggunakan Guru Bimbingan dan Konseling

99

karena pelanggaran yang dilakukan termasuk dalam kenakalan

pelajar. Wali Kelas dibantu oleh Wakasek Kesiswaan ikut

mengawasi siswa agar tidak merokok di kelas.

2. Sumber daya Anggaran

Sumber daya anggaran yang digunakan untuk pelaksanaan

kebijakan kawasan tanpa rokok tidak dianggarkan secara khusus

oleh pihak sekolah. Pihak sekolah tidak menganggarkan khusus

karena tidak ada program khusus untuk menanggapi kebijakan

tersebut.

Sosialisasi menjadi langkah awal pihak sekolah menanggapi

kebijakan tersebut namun sosialisasi yang dilakukan termasuk

dalam pengenalan sekolah atau MOS sehingga anggarannya juga

sudah termasuk ke dalam sosialisasi saat MOS. Sosialisasi juga

dilaksanakan saat rapat Guru dengan Kepala Sekolah. Pihak

sekolah memasang tanda dilarang merokok di setiap kelas.

Pemasangan tanda tersebut menggunakan anggran peralatan kelas.

3. Sumber Daya Peralatan

Sumber daya peralatan menjadi hal yang penting dalam

implementasi kebijakan. Sumber daya peralatan digunakan untuk

menunjang pelaksanaan kebijakan. Implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok juga membutuhkan peralatan untuk

menunjang keberhasilan tujuan kebijakan. Permendikbud Nomor

64 tahun 2015 pasal 4 memberikan perintah kepada pihak sekolah

100

untuk memasang tanda kawasan tanpa rokok di lingkungan

sekolah. Pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA

Gadjah Mada sudah memasang tanda kawasan tanpa rokok di

lingkungan sekolah dan untuk selebihnya menggunakan sumber

daya manusia yang tersedia yaitu Guru Bimbingan Konseling dan

Wali kelas dibantu oleh Wakasek Kesiswaan diawasi oleh Kepala

Sekolah. Tidak ada peralatan lain dari sekolah karena tidak ada

program khusus untuk menangani kebijakan tersebut.

Hasil observasi di SMA Gadjah Mada Yogyakarta tidak

menemukan tanda dilarang merokok. Tanda dilarang merokok

tersebut seharusnya berada di dalam kelas namun tidak ditemukan

dan menurut beberapa siswa tanda tersebut dulu ada namun dilepas

oleh siswa yang tidak suka dengan larangan merokok di kelas. Tata

tertib yang di dalamnya terdapat larangan merokok juga tidak

ditemukan di SMA Gadjah Mada Yogyakarta.

4. Sumber daya Kewenangan

Menurut Edward III sumber daya kewenangan menjadi

kekuatan oleh suatu lembaga untuk mempengaruhi lembaga

tersebut dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenangan

tersebut sangat penting ketika suatu lembaga dihadapkan suatu

masalah dan harus segera diselesaikan dengan suatu keputusan.

Kewenangan dalam pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa

rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta adalah Kepala Sekolah,

101

namun saat ini posisi tersebut digantikan oleh pelaksana tugas.

Kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Sekolah belum bisa untuk

memaksimalkan pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di

SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Belum ada keputusan dari Kepala

Sekolah yang dapat mengkontrol siswa maupun Guru merokok di

sekolah. Jadi, kesiapan dari pihak sekolah masih kurang. Belum

ada program dari sekolah yang mendukung implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok selain sosialisasi yang dilakukan pada tahun

ajaran baru dan keseharian di sekolah. Belum adanya program

lanjutan yang mendukung kebijakan tersebut secara tidak langsung

Kepala Sekolah belum memaksimalkan jumlah dan keahlian

anggota pelaksana kebijakan yang dimiliki oleh sekolah. Sarana

pendukung yang dibuat sekolah berupa tanda tulisan dilarang

merokok diacuhkan oleh sebagian Guru dan siswa.

c. Disposisi

Sikap atau komitmen dari pelaksana kebijakan dibutuhkan

dalam implementasi kebijakan. Komitmen yang kuat dari pelaksana

kebijakan dapat mensukseskan implementasi kebijakan, untuk itu

tuntutan komitmen pada pelaksana kebijakan harus kuat dan penuh

dedikasi terhadap pelaksanaan sebuah kebijakan.

Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah

Mada Yogyakarta yang dapat dilihat pada saat wawancara dan

observasi menunjukan bahwa sikap pelaksana kebijakan masih belum

102

bisa mendukung sepenuhnya terhadap pelaksanaan kebijakan kawasan

tanpa rokok di sekolah. Kebijakan Kepala Sekolah yang lama justru

membuat suatu tempat khusus untuk merokok di kawasan sekolah.

Kawasan tersebut terletak di dekat ruang guru dengan pohon kersen

yang rindang cocok untuk bersantai sambil merokok.

Bergantinya Kepala Sekolah yang lama kepada pelaksana

tugas membuat kawasan khusus merokok tersebut dihilangkan dengan

langkah pertama menebang pohon kersen. Dihapuskannya area khusus

merokok tersebut membuat para siswa yang merokok kurang

terkendali. Sebagian siswa merokok di sepanjang koridor sekolah,

bahkan ada yang merokok di dalam kelas, selain itu juga terdapat guru

yang merokok di ruang guru.

d. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi merupakan faktor yang perlu diperhatikan

selain komunikasi, sumber daya, dan disposisi. Struktur birokrasi

mempunyai pengaruh dalam implementasi kebijakan. Implementasi

kebijakan akan melibatkan banyak orang di dalamnya. Standar

operasional prosedur (SOP) dibuat untuk mempermudah

impelementasi kebijakan dan memberi pedoman kepada pelaksana

kebijakan.

Struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta belum dibuat pedoman

berupa SOP secara rinci untuk mengatur pembagian tugas pelaksana

103

kebijakan sehingga implementasi kebijakannya tidak memiliki

struktur dan berjalan kurang efektif. Kebijakan kawasan tanpa rokok

di sekolah dianggap tidak terlalu rumit sehingga pelaksana kebijakan

melakukan tugas sesuai jabatan di sekolah. Kepala Sekolah yang

dibantu oleh wakil Kepala Sekolah bertugas sebagai pemimpin,

inovator, motivator, dan mengawasi berlangsungnya kegiatan di

sekolah. Wali Kelas maupun Guru yang lain bertanggung jawab

kepada Kepala Sekolah untuk melaksanakan kegiatan proses belajar

mengajar secara efektif dan efisien serta memberikan pengarahan

kepada siswa untuk tidak merokok di dalam kelas. Karyawan

membantu melancarkan pelaksanaan kebijakan pada bagian

administrasi sekolah.

Pembagian tugas yang tidak terlalu rumit dalam pelaksanaan

kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta

ternyata masih belum bisa dimaksimalkan. Masih banyak pelanggaran

yang terjadi di sekolah tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat

disimpulkan bahwa belum ada upaya dari pihak sekolah yang mampu

mengatasi permasalahan terkait dengan pelaksanaan kebijakan

kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta.

3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

di SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Sejak diberlakukannya Undang – Undang Kesehatan No.36 tahun

2009 tentang Kesehatan yang di dalamnya memuat kawasan tanpa rokok

104

di sekolah sampai sekarang masih banyak ditemukan hambatan dalam

pelaksanaannya. Produk kebijakan pendidikan terbaru tentang Kawasan

Tanpa Rokok di Sekolah adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015 yang diharapkan

dapat memperkuat kebijakan- kebijakan sebelumnya. Khusus di Daerah

Istimewa Yogyakarta terdapat Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2009

tentang kawasan dilarang merokok dimana sekolah menjadi salah satu

tempat yang dimaksud dalam kebijakan tersebut. Peraturan Walikota

Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2015 juga dibuat untuk menegaskan aturan

tentang kawasan tanpa rokok di Kota Yogyakarta. Beberapa kebijakan

yang telah disampaikan pada pelaksanaan di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta masih terdapat pelanggaran yang dikarena adanya hambatan.

Hambatan yang terjadi pada pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa

rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta dipengaruhi adanya faktor

internal dan eksternal. Faktor penghambat tersebut dapat diketahui

menggunakan teori Edward III dengan pembagian faktor seperti

komunikasi (trasnmisi, kejelasan, dan konsistensi), sumber daya (manusia,

anggran, peralatan, dan kewenangan), faktor disposisi dan struktur

birokrasi. Faktor penghambat internal dalam pelaksanaan Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

105

Tabel 9. Faktor penghambat internal dalam pelaksanaan Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta

No. Jenis faktor Dimensi Penghambat

1.

.

Komunikasi Kejelasan Siswa mengaku tidak tahu

adanya kebijakan KTR

Konsistensi Pihak sekolah menyediakan

tempat khusus merokok di

sekolah

2. Sumber daya Kewenangan Belum ada program

lanjutan yang terkait dengan

pelaksanaan Kebijakan

KTR

3. Disposisi Beberapa guru tidak sejalan

dengan Kebijakan KTR dan

masih merokok di sekolah

Pihak sekolah kurang tegas

dalam memberikan sanksi

kepada para pelanggar

Kebijakan KTR

Keinginan guru dan siswa

untuk merokok susah

dikendalikan

4. Struktur birokrasi Kuranganya koordinasi

sekolah dalam menanggapi

kebijakan KTR

Faktor internal pertama yang menghambat implementasi kebijakan

kawasan tanpa asap rokok di SMA Gadjah Mada terkait dengan faktor

komunikasi pada dimensi kejelasan. Beberapa siswa di SMA Gadjah Mada

mengaku tidak jika ada kebijakan tersebut. Faktor internal penghambat

kedua masih berkaitan dengan faktor komunikasi namun terdapat pada

dimensi yang berbeda, yakni pada dimensi konsistensi. Kebijakan mantan

Kepala Sekolah yang justru menyediakan suatu tempat khusus untuk

merokok. Kebijakan dari mantan Kepala Sekolah tersebut menjadikan

siswa dengan bebas merokok di area sekolah terutama di tempat yang

sudah disediakan. Beberapa siswa juga terlihat merokok di sepanjang

106

koridor sekolah, bahkan ada yang mengaku pernah merokok di dalam

kelas. Berdasarkan observasi terdapat Guru yang sedang merokok di ruang

Guru, hal tersebut juga menjadi hambatan dalam pelaksanaan kebijakan

kawasan tanpa rokok di sekolah. Siswa yang melihat perilaku guru yang

semacam itu menjadi acuh terhadap kebijakan kasawan tanpa rokok di

sekolah karena mereka merasa bahwa guru bebas untuk merokok di

sekolah dan kebebasan seperti itu ingin dimiliki oleh siswa yang merokok,

dengan kondisi semacam itu menjadikan ketidaktegasan sekolah dalam

melaksanakan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok. Hal tersebut termasuk

dalam hambatan pada faktor disposisi atau sikap.

Faktor internal yang terdapat pada faktor struktur birokrasi adalah

status Guru yang juga mengajar di sekolah lain. Guru-guru menyesuaikan

jadwal di mana harus mengajar, jadi tidak fokus pada satu sekolah.

Akbibat dari Guru yang berpindah-pindah mengajar ke sekolah lain

kebijakan yang ada belum sempat dibahas karena harus menunggu forum.

Pengusulan program-program atas kebijakan yang telah dibuat

disampaikan ketika ada rapat. Pihak sekolah kurang tegas dalam

menanggapi hambatan tersebut sehingga menyebabkan program-program

di sekolah kurang mendapat perhatian. Pihak sekolah juga kurang tegas

dalam memberikan sanksi kepada para pelanggar kawasan tanpa rokok di

sekolah.

Faktor pengahambat dalam pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di SMA Gadjah Mada juga terdapat pada faktor eksternal. Faktor

107

eksternal yang terjadi di SMA Gadjah Mada dapat dilihat pada tabel

berikut ini:

Tabel 10. Faktor eksternal pelaksanaan Kebijakan KTR di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta

No. Jenis faktor Penghambat

1. Sumber daya Siswa yang masuk ke

SMA Gadjah Mada

sebagian besar adalah

pindahan dari sekolah

lain yang dikeluarkan

karena perilaku yang

melanggar tata tertib.

2. Sumber daya Faktor keadaan

keluarga (broken home,

orang tua sibuk, ayah

yang merokok) siswa

yang membuat mereka

menggunakan rokok

sebagai pelarian untuk

merokok

3. Sumber daya Pengaruh lingkungan

dari masyarakat kepada

siswa yang kurang baik

Faktor eksternal yang menghambat pelaksanaan kebijakan kawasan

tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta berkaitan dengan faktor

sumber daya yang ada . Hambatan dari faktor eksternal berasal dari siswa

yang masuk ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagian besar berasal dari

siswa yang dikeluarkan. Sekolah yang bagus mengeluarkan mereka karena

tidak sanggup untuk menangani tingkah laku siswa yang sudah melanggar

tata tertib sekolah dan sudah tidak bisa ditoleransi. SMA Gadjah Mada

Yogyakarta akan menampung siswa yang dikeluarkan oleh sekolah yang

baik tersebut dengan alasan memberikan mereka kesempatan untuk

melanjutkan sekolah. Efek yang didapat oleh pihak sekolah adalah

108

kesulitan untuk mengontrol siswa – siswa yang menjadi produk kegagalan

sekolah yang lama dalam mendidik mereka.

Faktor eksternal yang lain yang menghambat implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta adalah

pengaruh lingkungan siswa di rumah dan di masyarakat. Lingkungan siswa

di rumah berbeda – beda, ada siswa yang berasal dari keluarga yang

broken home. Kenyataan seperti itu mempengaruhi kejiwaan siswa.

Mereka mencari pelampiasan yang setidaknya dapat mengurangi beban

pikirannya. Merokok menjadi alternatif bagi meraka untuk merasakan

sensasi senang dan sejenak melupakan permasalahan yang dihadapinya.

Kebiasaan itu menjadi keseharian mereka yang mengakibatkan kecanduan

untuk menghisap rokok tidak bisa dihilangkan begitu saja. Beberapa dari

siswa ada juga yang mengalami kondisi keluarga yang kurang baik.

Berbeda dengan siswa dengan keluarga yang broken home, keadaan yang

mereka hadapi adalah terlalu sibuknya orang tua sehingga tidak

memperdulikan mereka. Mereka merasa di dalam keluarga yang tidak

jelas, kedua orang tua masih lengkap dan tidak ada perceraian di

dalamnya, namun mereka tidak merasakan kasih sayang dari orang tua dan

rokok menjadi pelampiasan mereka untuk lari dari kenyataan yang tengah

dihadapi. Kasus lain terjadi pada keluarga yang lengkap, namun terdapat

figur seorang ayah yang gemar merokok menjadi contoh buruk untuk

anak. Melihat kebiasaan ayah yang merokok kemudian mendorong anak

untuk mencoba merokok dan pada akhirnya kecanduan.

109

Faktor eksternal yang berasal dari masyarakat adalah tempat

bermain siswa, para tetangga dan teman-teman mereka banyak yang

merokok dan tidak jarang dari mereka ditawari untuk mencoba rokok.

Sebagian siswa di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ada yang sudah mulai

bekerja paruh waktu. Lingkungan kerja yang rata-rata terdapat pegawai

yang merokok untuk melepas lelah sering menjadi contoh buruk bagi

siswa yang mulai bekerja paruh waktu.

4. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

di SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Pelaksanaan kebijakan selain mempunyai faktor penghambat juga

mempunyai faktor yang mendukung pelaksanaan sesuai dengan tujuan

yang diharapkan. Sebuah kebijakan tentunya membutuhkan faktor yang

mendukung pelaksanaan agar kebijakan bisa bertahan hingga mencapai

tujuan. Faktor pendukung pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

di SMA Gadjah Mada dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 11. Faktor pendukung pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di SMA Gadjah Mada.

No. Jenis faktor Dimensi Faktor

Pendukung

1. Sumber daya Kewenangan Keputusan

sekolah untuk

memasang tanda

dilarang merokok

di sekolah

110

Lanjutan Tabel 11. Faktor Pendukung Pelaksanaan Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada

No Jenis Faktor Dimensi Faktor

Pendukung

Pihak sekolah

memasukkan

aturan larangan

merokok ke

dalam tata tertib

sekolah

2. Disposisi Kepala sekolah

yang baru

berusaha untuk

menghilangkan

kawasan khusus

untuk merokok

Sikap yang

ditunjukkan oleh

beberapa guru

yang tidak suka

jika ada yang

merokok di

sekolah baik itu

guru maupun

siswa.

SMA Gadjah Mada pernah mempunyai tempat khusus untuk

merokok hasil keputusan dari mantan Kepala Sekolah. Tempat tersebut

terletak tidak jauh dari ruang Guru. Pihak sekolah dengan Kepala Sekolah

yang baru berusaha untuk menghilangkan kawasan khusus untuk merokok.

Cara yang digunakan untuk menghilangkan lokasi tersebut adalah dengan

menebang pohon yang berada di tempat para siswa untuk berteduh dan

merokok. Usaha pihak sekolah dengan menghilangkan tempat khusus

merokok merupakan faktor pendukung yang penting. Hal tersebut

berkaitan dengan faktor disposisi atau sikap yang ditunjukkan oleh kepala

sekolah.

111

Faktor lain yang mendukung pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa

rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta berkaitan dengan faktor

sumberdaya pada dimensi kewenangan. Keputusan sekolah untuk

memasang tanda dilarang merokok di sekolah dan memasukkan aturan

larangan merokok ke dalam tata tertib sekolah telah sesuai dengan

Permendikbud Nomor 64 tahun 2015. Dukungan sekecil apapun juga

diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, seperti sikap atau

disposisi yang ditunjukkan oleh beberapa Guru yang tidak suka jika ada

yang merokok di sekolah baik itu Guru maupun siswa.

112

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dijelaskan pada hasil

penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa SMA Gadjah Mada

Yogyakarta sudah melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok dengan

menetapkan tim pelaksana berserta tugasnya, anggaran dan peralatan serta telah

melakukan sosialisasi kepada warga sekolah.

Faktor penghambat implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta adalah (1) kebijakan mantan kepala sekolah yang

justru menyediakan suatu tempat khusus untuk merokok di sekolah, (2) beberapa

guru tidak sejalan dengan kebijakan kawasan tanpa rokok tersebut dan masih

merokok di lingkungan sekolah, (3) kurangnya koordinasi sekolah dalam

menanggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah, (4) pihak sekolah kurang

tegas dalam memberikan sanksi kepada para pelanggar kawasan tanpa rokok di

sekolah, (5) keinginan guru dan siswa untuk tidak merokok di sekolah susah

untuk dikendalikan, (6) siswa yang masuk ke SMA Gadjah Mada sebagian besar

adalah pindahan dari sekolah lain yang dikeluarkan karena perilaku yang

melanggar tata tertib, (7) faktor keadaan keluarga (broken home, orang tua sibuk,

ayah yang merokok) siswa yang membuat mereka menggunakan rokok sebagai

113

pelarian untuk merokok, (8) pengaruh lingkungan dari masyarakat kepada siswa

yang kurang baik.

Faktor pendukung pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta adalah (1) Kepala sekolah yang baru berusaha untuk

menghilangkan kawasan khusus untuk merokok, (2) keputusan sekolah untuk

memasang tanda dilarang merokok di sekolah, (3) sekolah memasukkan aturan

larangan merokok ke dalam tata tertib sekolah, (4) sikap yang ditunjukkan oleh

beberapa guru yang tidak suka jika ada yang merokok di sekolah baik itu guru

maupun siswa.

B. Saran

1. Bagi Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta

a. Meningkatkan pengawasan implementasi kebijakan kawasan tanpa

rokok pada tiap sekolah yang berada dalam naungan Dinas Pendidikan

Kota Yogyakarta

b. Perlunya pembuatan sanksi yang tegas dari dinas pendidikan untuk

menertibkan larangan merokok di kawasan sekolah.

2. Bagi pihak SMA Gadjah Mada Yogyakarta

a. Meningkatkan komunikasi antar pelaksana dengan kelompok sasaran

kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah

b. Meningkatkan kesadaran warga sekolah yang merokok dengan

pendidikan karakter positif.

c. Memberikan sanksi yang tegas kepada para pelanggar kebijakan KTR

114

3. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling SMA Gadjah Mada Yogyakarta perlu

melakukan pendekatan persuasif dari pihak sekolah kepada warga sekolah

yang merokok dan orang tua siswa tentang larangan merokok di kawasan

sekolah.

4. Bagi Guru SMA Gadjah Mada Yogyakarta tidak merokok di lingkungan

sekolah agar menjadi teladan bagi siswa

115

DAFTAR PUSTAKA

Alfi Satiti. (2011). Strategi Rahasia Berhenti Merokok. Edisi Kedua. Yogyakarta:

Datamedia.

Ali Imron. (2008). Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk, dan

Masa Depannya. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Arif Rohman. (2009). Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Laksbang

Mediatama.

___________. (2012). Kebijakan Pendidikan Analisis Dinamika Formulasi dan

Implementasi.. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Budi Winarno. (2007). Kebijakan Publik: Teori dan Proses (edisi revisi), Jakarta:

Media Pressindo.

Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Fify Rosaliana. (2015). Kultur Sekolah di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Skripsi.

Universitas Negeri Yogyakarta.

Hasbullah. (2015). Kebijakan Pendidikan Dalam Perspektif Teori, Aplikasi dan

Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Humas Universitas Negeri Yogyakarta. (2011). 16 Persen Siswa SMP dan SMA di

Kota Yogyakarta Perokok. Diakses dari http://ugm.ac.id/id/berita/3390-

16.persen.siswa.smp.dan.sma.di.kota.yogyakarta.perokok. Diunduh pada hari

Senin tanggal 29 Maret 2016.

Joko Widodo. (2010). Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis

Kebijakan Publik. Malang: Bayu Media.

Lexy L. Moleong. (2009). Metode Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

116

M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif.

Sleman: Ar-Ruzz Media.

Nana Syaodih Sukmadinata. (2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri

No.188/Menkes/PB/I/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa

Asap Rokok.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun

2015 tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.

Ruslam Ahmadi. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Sleman: Ar-Ruzz Media.

Siti Sunarti. (2015). Penerapan Kawasan Tanpa Rokok Di Sekolah Tinggi Kesehatan

Muhammadiyah Samarinda. Skripsi. Universitas Gadjah Mada.

Subarsono. (2012). Analisis Kebijakan Pendidikan: Konsep, Teori, dan Aplikasi.

Cetakan VI. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudiyono. (2007). Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Pendidikan. Buku

Ajar. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,

dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Suharsimi Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

PT. Rineka Cipta.

Sukardi. (2006). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Sulistianto Purbo Prasetyo. (2015). Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

Di Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.

117

Tilaar, H.AR & Riant Nugroho. (2008). Kebijakan Pendidikan : Pengantar Untuk

Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai

Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Undang – Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan (Kawasan Tanpa Rokok).

UUD 1945 dalam pasal 28 H ayat (1) tentang Hak Asasi Manusia.

LAMPIRAN

118

PEDOMAN WAWANCARA

A. Pedoman Wawancara untuk Kepala Sekolah

1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?

2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?

3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika ada tempat khusus untuk merokok di

lingkungan sekolah?

4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Sekolah?

5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?

6. Apakah ada pedoman untuk melaksanakan kebijakan tanpa rokok di

sekolah ini?

7. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok?

8. Apakah ada program dari pihak sekolah untuk menanggapi Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok di sekolah?

9. Apakah ada sanksi yang ditetapkan dalam program tersebut?

10. Apakah ada tim khusus yang menangani program dari sekolah dalam

menganggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

11. Siapa saja tim yang terlibat di dalamnya?

12. Apa saja kriteria sebagai tim yang menangani program tersebut?

13. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah sebagai

tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

119

14. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program

tersebut?

15. Apakah anggaran yang telah ditetapkan sudah cukup?

16. Bagaimana tanggapan tim pelaksana mengenai kebijakan kawasan tanpa

rokok di sekolah?

17. Siapa saja pihak yang mendukung atau menolak kebijakan kawasan tanpa

rokok di sekolah?

18. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

120

B. Pedoman Wawancara untuk Guru dan Karyawan

1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?

2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?

3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok

di sekolah ini?

4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu/Anda mengenai Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok di Sekolah?

5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?

6. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok?

7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok?

8. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah

sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

9. Bagaimana koordinasi dalam pelaksanaan program tersebut?

10. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program

tersebut?

11. Apakah anggaran yang telah ditetapkan sudah cukup?

12. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar

terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok?

13. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

121

C. Pedoman Wawancara untuk Siswa

1. Apakah Anda seorang perokok?

2. Apakah Anda pernah merokok di lingkungan sekolah?

3. Bagaimana pendapat Anda mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

di Sekolah?

4. Apakah sekolah mengadakan sosialisasi mengenai Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok?

5. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok?

6. Apakah Anda setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok di

sekolah ini?

7. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar

terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok?

122

D. Pedoman Wawancara untuk Karyawan

1. Apakah Anda seorang perokok?

2. Apakah Anda pernah merokok di lingkungan sekolah?

3. Bagaimana pendapat Anda mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

Sekolah?

4. Apakah sekolah mengadakan sosialisasi mengenai Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok?

5. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok?

6. Apakah Anda setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok di

sekolah ini?

7. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar

terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok?

123

PEDOMAN OBSERVASI

No Aspek yang diamati Pengamatan yang

dilakukan

Lokasi

Observasi

1 Tempat lokasi penelitian

a. Letak geografis / lokasi

sekolah

b. Profil sekolah

SMA Gadjah

Mada

Yogyakarta

2 Implementasi Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok

Mengamati penerapan

kebijakan kawasan tanpa

rokok

SMA Gadjah

Mada

Yogyakarta

124

PEDOMAN STUDI DOKUMENTASI

No Aspek yang dikaji Indikator yang dikaji Sumber Data

1 Kebijakan

Kawasan Tanpa

Rokok

a. Dasar hukum

kebijakan

b. Latar belakang

kebijakan

a. Undang-Undang

Republik Indonesia

Nomor 36 ahun 2009

Tentang Kesehatan

b. Peraturan Bersama

Menteri Kesehatan

dan Menteri Dalam

Negeri No.

188/MENKES/PB/I/2

011 No.7 Tahun 2011

c. Peraturan Gubernur

DIY Nomor 42 Tahun

2009

d. Peraturan Walikota

Yogyakarta Nomor 12

Tahun 2015

e. Peraturan Menteri

Pendidikan dan

Kebudayaan Republik

Indonesia Nomor 64

Tahun 2015

2

Pelaksanaan

Kebijakan

Kawasan Tanpa

Rokok di SMA

Gadjah Mada

Prosedur pelaksanaan

kebijakan

a. Peraturan Bersama

Menteri Kesehatan dan

Menteri Dalam Negeri

No.

188/MENKES/PB/I/20

11 No.7 Tahun 2011

125

HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI

Hari/ Tanggal : 18 April 2016

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Narasumber : EM

Jabatan : Guru Bimbingan dan Konseling

1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?

Saya jelas tidak merokok mas, saya sebagai seorang ibu memberi contoh yang

baik kepada anak – anak saya. Kalau ada anak saya yang berani merokok akan

saya marahi tapi pakai nasehat saja.

2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?

Jelas tidak pernah karena saya saja tidak merokok.

3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok

di sekolah ini?

Kalau saya tidak setuju mas jika ada tempat khusus merokok di sekolah, tetapi

mau bagaimana lagi melihat kondisi siswa yang memang sudah tidak bisa

diatur lagi untuk tidak merokok di sekolah. Dulu ada tempat khusus merokok

yang dibuat oleh kepala sekolah yang lama, soalnya kepala sekolah yang lama

juga merokok. Tempat itu ditujukan agar mereka yang rokok tidak menggangu

yang tidak merokok jadi saat jam istirahat mereka berkumpul di tempat itu.

Pada merokoknya di kawasan itu karena sejuk dan bisa bersantai. Lalu kita

tebang aja itu pohonnya. Kita mengusirnya dari situ susah karena enak.

Akhirnya pohonnya kita tebang,

126

4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Sekolah?

Kalau saya sebenarnya setuju saja, tetapi kita melihat kondisi yang ada di

sekolah. Kalau sekolah yang baik mungkin bisa untuk menegakkan aturan itu.

Pihak sekolah disini tidak bias seutuhnya sesuai dengan kebijakan kawasan

tanpa rokok di lingkungan sekolah. kita menegur secara kasar pun mereka

berani untuk melawan. Kami disini mendidik tidak hanya untuk melarang-

melarang saja. Cara kami mendidik disini harus pelan-pelan dan penuh

kesabaran. Siswa yang masuk di sekolah ini sebagian besar adalah pindahan

dari sekolah lain yang dikeluarkan karena kenakalannya yang sudah tidak bisa

ditolerir. Sebagian dari siswa tersebut pindah kesini karena setengah hati

dengan alasan mereka dikeluarkan dari sekolah sudah malu dan yang kedua

adalah jika mereka tidak sekolah mau jadi apa di masyarakat.

5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?

Pelaksanaannya sudah lama tetapi disini kami buat berbeda dengan sekolah

lain, dengan cara melokalisir perokok pada tempat yang disediakan.

6. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok?

Pihak sekolah pernah melakukan sosialisasi mengenai kebijakan tersebut saat

rapat sekolah dan pada saat MOS atau tahun ajaran baru yang dihadiri orang

tua siswa. Menurut saya sosialisasi yang dilakukan tidak berguna karena yang

dulu kepala sekolahnya menyediakan suatu tempat untuk merokok di

127

lingkungan sekolah. Sekarang dengan pergantian kepala sekolah mencoba

untuk menghilangkan tempat tersebut.

7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok?

Kalau dari pihak sekolah tidak ada program apa-apa, tetapi kami melakukan

pemasangan plang tidak merokok di kelas. anak-anak tidak peduli. Kalau usaha

kita ya bisa nya paling pas pelajaran di kelas tidak boleh merokok dan

menyuruh untuk mematikan rokok atau menyarankan merokok ke kamar

mandi. Pihak sekolah tidak bisa ketat terhadap para perokok di sekolah

terutama pada siswa, karena beberapa siswa tidak akan masuk sekolah jika

tidak boleh merokok di sekolah.

8. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah

sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Sebagai guru BK saya memberikan bimbingan kepada anak agar berperilaku

baik dan mendengarkan permasalahn yang dihadapi oleh siswa untuk dicarikan

jalan keluar dari permasa;ahan yang dihadapi.

9. Bagaimana koordinasi dalam pelaksanaan program tersebut?

Sebenarnya tidak ada program di sekolah ini tetapi untuk menanggapi

kebijakan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah terdapat koordinasi

antara kepala sekolah, guru bimbingan konseling dan wali kelas.

10. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program

tersebut?

128

Anggarannya kami jadikan satu dengan sosialisasi maupun rapat. Untuk

pemasangan gambar dilarang merokok itu menggunakan uang peralatan kelas.

11. Apakah anggaran yang telah ditetapkan sudah cukup?

Sudah kami sesuaikan dengan dana yang tersedia sehingga saya rasa sudah

cukup, tetapi jika akan membuat khusus untuk menangani kebijakan tidak

boleh merokok di sekolah mungkin belum bisa dipastikan cukup atau tidaknya

karena belum tahu programnya seperti apa.

12. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar

terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok?

Sanksinya menegur untuk mematikan rokoknya dan membersihkan abu dari

rokok mereka. Sejauh ini cuman sanksi seperti itu yang bisa kami berikan

kepada mereka yang merokok sembarangan. Beberapa guru ada yang merokok

di sekolah ini. Mereka sering merokok di ruang guru namun melihat situasi

sekitar jika keadaan sepi mereka baru merokok agar tidak menganggu yang

lain. Hal seperti yang membuat kami susah untuk memberi tahu para siswa

yang merokok karena beberapa guru saja merokok di sekolah.

13. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Penghambatnya berasal dari input siswa yang masuk ke sekolah ini sebagian

besar adalah siswa dari sekolah lain yang dikeluarkan karena kenakalan

mereka. Penghambat lainnya berasal dari anaknya sendiri yang memang tidak

mempunyai keinginan untuk berhenti. Mungkin mereka berpikir daripada

129

kearah minuman keras atau ke narkoba mending merokok, itu kata siswanya.

Pengaruh lingkungan mereka juga mempengaruhi seperti keluarga bermasalah,

disini kebanyakan, dari keluarga broken home, orang tua terlalu sibuk, anaknya

terbengkalai, keadaan orang tua yang tidak mampu kemudian mungkin dulu

SMP nya tidak dapat mengatasi keadaan mereka yang seperti itu. Dulu jika

akan menerapkan kebijakan kawasan tanpa rokok belum bisa maksimal dan

terkesan enggak mempan karena kepala sekolah yang dulu malah menerapkan

kebijakan bebas rokok di sekolah yang bertempat di belakang kelas yang

terdapat pohon rindang yang menurut siswa asik untuk nongkrong

130

HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI

Hari/ Tanggal : 20 April 2016

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Narasumber : TE

Jabatan : Guru

1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?

Tidak, saya tidak merokok. Ada orang merokok di dekat saya saja tidak kuat

karen asapnya yang menggangu.

2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?

Tidak pernah. Saya bukan perokok jadinya saya tidak merokok apalagi di

sekolah

3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok

di sekolah ini?

Sebenarnya saya tidak setuju kalau ada tempat khusus merokok di lingkungan

sekolah, tetapi dulu pernah disediakan oleh pihak sekolah untuk siswa yang

susah diberhentikan rokoknya. Beberapa siswa tersebut merupakan pindahan

dan banyak yang bermasalah, Kita sebisa mungkin mengusahakan di

lingkungan sekolah tidak ada yang merokok.

4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Sekolah?

Ya kebijakan tersebut sangat bagus, setidaknya membatasi konsumsi rokok

walaupun hanya selama berada di sekolah saja.

131

5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?

Sudah lama sepertinya mas, tetapi ya seperti ini sekolahnya

6. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok?

Ya pernah, pernah ada sosialisasi kepada orang tua siswa pada saat penerimaan

siswa baru. Sosialisasi berupa pembinaan dan penjelasan tentang kebijakan

kawasan tanpa rokok di sekolah. Menurut saya sosialisasi peraturan tanpa

rokok di sekolah saya rasa masih kurang jelas karena masih ada beberapa siswa

yang merokok di lingkungan sekolah seperti tidak tahu kalau ada peraturan

seperti itu

7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok?

Sepertinya di sekolah ini belum ada program yang khusus dibuat untuk

menanggapi kawasan tanpa rokok di sekolah.

8. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah

sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Untuk wali kelas tugasnya memasang tanda dilarang merokok di kelas dan

menegur siswa yang merokok di kelas.

9. Bagaimana koordinasi dalam pelaksanaan program tersebut?

Koordinasi untuk menanggapi kebijakan tersebut dilakukan oleh guru wali

kelas dengan guru bimbingan dan konseling diawasi oleh kepala sekolah.

132

10. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program

tersebut?

Untuk anggaran mungkin tidak ada ya mas. Sosialisasinya menggunakan dana

saat pengenalan sekolah atau MOS dan pemasangan tanda dilarang merokok

menggunakan dana lain lain di peralatan kelas.

11. Apakah anggran yang telah ditetapkan sudah cukup?

Kalau anggaran untuk sosialisasi itu sudah cukup

12. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar

terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok?

Biasanya kita menegur, entah itu guru atau siswa untuk mematikan rokoknya.

Selain itu juga memberi saran agar jangan merokok disini, lebih baik di luar

atau di toilet.

13. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Penghambatnya karena kurang ketegasan dari sekolah. Guru-guru disini ada

juga yang mengajar di sekolah lain, untuk kebijakan-kebijakan seperti itu

menunggu forum. Hal-hal mengenai kebijakan dapat disampaikan saat rapat.

Untuk pendukungnya kepala sekolah yang baru berusaha menghilangkan

tempat khusus merokok yang dibuat oleh mantan kepala sekolah. Pendukung

larangan merokok di sekolah ini sudah dipasang tanda dilarang merokok dan

pihak sekolah sudah mencoba menghilangkan tempat khusus merokok dengan

menebang pohon yang biasa digunakan berteduh saat merokok.

133

HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI

Hari/ Tanggal : 26 April 2016

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Narasumber : AB

Jabatan : Wakasek Kesiswaan

1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?

Saya merokok mas, sudah lama saya merokok. Merokok sudah menjadi

kebiasaan saya sehari-hari dan susah untuk saya hilangkan

2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?

Saya sering merokok di sekolah tetapi saya merokoknya pada saat tidak

mengajar di kelas. Biasanya saya merokok di ruang guru waktu jeda mengajar

atau pada waktu istirahat.

3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok

di sekolah ini?

Tempat khusus untuk merokok menurut saya itu perlu karena bagi seorang

perokok jika tidak merokok rasanya pahit. Tempat khusus merokok di sekolah

ini memang diperlukan karena beberapa guru ada yang merokok termasuk

saya, tetapi yang saya kurang suka yaitu banyak siswa yang merokok di

sekolah ini. Kebiasaan merokok mereka didapatkan saat masih berada di

sekolah lamanya atau waktu masih SMP. Sebenarnya tempat khusus untuk

merokok di sekolah ini untuk memberi tempat para perokok agar tidakmerokok

134

di sembarang tempat, tetapi dari masyarakat banyak mendapat tanggapan yang

tidak baik.

4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Sekolah?

Kebijakan seperti itu bagus untuk mengendalikan siswa agar tidak merokok di

sekolah, tetapi jika dilaksanakan di sekolah ini saya rasa tidak bisa karena

siswa yang berada di sini kebanyakan adalah siswa pindahan dari sekolah lain

yang dikeluarkan karena kenakalan mereka termasuk kebiasaan merokok.

5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?

Pelaksanaannya seharusnya dimulai sejak ditetapkannya kebijakan kawasan

tanpa rokok yang di dalamnya sekolah termasuk kawasan yang dimaksud oleh

kebijakannya.

6. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok?

Untuk sosialisasi itu pernah kami adakan pada saat awal masuk tahun ajaran

baru.

7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok?

Programnya kami masukkan saat pengenalan sekolah. Pengenalan sekolah

akan menyampaikan semua yang menjadi ketentuan di sekolah ini termasuk

tata tertib yang didalamnya terdapat peraturan dilarang merokok di sekolah

untuk siswa.

135

8. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah

sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Saya selaku Wakasek Kesiswaan sebagai koordinator dibantu Guru Bimbingan

Konseling dan Wali Kelas.

9. Bagaimana koordinasi dalam pelaksanaan program tersebut?

Koordinasi pelaksanaan menanganai kebijakan tersebut sebagian besar

dilakukan oleh guru Bimbingan Konseling dan wali kelas. Saya sebagai

Wakasek Kesiswaan menjadi koordinator

10. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program

tersebut?

Anggarannya sudah masuk ke dalam anggaran sosialisasi profil sekolah saat

MOS

11. Apakah anggaran yang telah ditetapkan sudah cukup?

Saya rasa sudah cukup mas untuk sosialisasinya.

12. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar

terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok?

Kalau merokoknya di dalam kelas kami tegur untuk segera mematikan

rokoknya

13. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Penghambatnya adalah banyak sekali siswa yang merokok di sekolah ini dan

kebiasaan itu sudah mereka dapatkan sejak di sekolah lama atau saat masih

136

SMP. Untuk pendukungnya banyak guru yang tidak suka jika ada yang

merokok di dekatnya jadi mereka itu yang suka menegur orang merokok di

sekolah termasuk saya juga pernah ditegur.

137

HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI

Hari/ Tanggal : 11 Mei 2016

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Narasumber : PS

Jabatan : Karyawan

1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?

Saya merokok mas

2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?

Saya jarang merokok di sekolah mas

3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok

di sekolah ini?

Setuju saja agar yang merokok masih punya tempat buat merokok dan tidak

menganggu yang lain

4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Sekolah?

Bagus agar siswa tidak merokok di sekolah

5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?

Sudah lama mas, dulu ada peraturan dari provinsi kalau tidak salah

6. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok?

Sosialisasinya pas awal masuk sekolah itu mas, pengenalan tata tertib sekolah.

138

7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok?

Ya itu tadi sosialisasi menjadi programnya mas

8. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah

sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Saya tugasnya hanya menjaga sekolah mas, kalau untuk pelaksanaan kebijakan

saya tidak diberi tugas khusus

9. Bagaimana koordinasi dalam pelaksanaan program tersebut?

Biasanya kebijakan seperti itu dilakukan guru sama kepala sekolah

10. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program

tersebut?

Kurang tahu soal anggaran mas

11. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar

terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok?

Sanksinya disuruh matikan rokok terus membersihkan sisa abunya.

12. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Penghambatnya banyak siswa yang merokok di sekolah ini dan itu sudah

menjadi kebiasaan mereka di luar sekolah mas.

139

HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI

Hari/ Tanggal : 3 Mei 2016

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Narasumber : MV

Jabatan : Karyawan

1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?

Saya tidak merokok mas

2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?

Tidak pernah mas

3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok

di sekolah ini?

Setuju agar pada tidak merokok sembarangan di sekolah

4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Sekolah?

Kalau menurut saya sendiri setuju ada kebijakan seperti itu

5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?

Kurang tahu perisnya kapan tetapi sudah lama mas ya begini sekolahnya

6. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok?

Sosialisasinya dilakukan saat MOS mas, di dalam tata tertib ada perturan tidak

boleh merokok juga.

7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok?

140

Sosialisasi sama pemasangan tanda dilarang merokok saja programnya

8. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah

sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Karyawan hanya membantu menegur guru atau siswa yang merokok

sembarangan di sekolah, kemudian anggaran kami yang mengurus.

9. Bagaimana koordinasi dalam pelaksanaan program tersebut?

Koordinasi dilakukan guru BK dan wali kelas mas. TU hanya membantu saja.

10. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program

tersebut?

Untuk anggarannya kami masukkan dalam anggaran sosialisasi awal MOS dan

pemasangan tanda dilarang merokok kita ambilkan dari anggran peralatan

kelas.

11. Apakah anggaran yang telah ditetapkan sudah cukup?

Untuk program yang seperti ini saya rasa sudah cukup

12. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar

terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok?

Sanksinya ditegur untuk mematikan rokoknya atau disuruh pindah merokok di

tempat lain

13. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Penghambatnya ada beberapa guru yang merokok, siswa yang merokok banyak

dan susah diatur. Pendukungnya sekarang pohon yang berada di tempat khusus

merokok ditebang sehingga menjadi panas dan jarang yang merokok disitu

141

HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI

Hari/ Tanggal : 5 Mei 2016

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Narasumber : AE

Jabatan : Pelaksana Tugas Kepala Sekolah SMA Gadjah Mada Yogyakarta

1. Apakah Bapak/Ibu seorang perokok?

Saya tidak merokok mas, karena menurut saya merokok tidak mendapatkan

manfaat yang jelas dan hanya akan menghabiskan uang saja. Merokok juga

menimbulkan berbagai penyakit.

2. Apakah Bapak/Ibu pernah merokok di lingkungan sekolah?

Saya bukan perokok jadi tentu saja saya tidak pernah merokok, apalagi

merokok di sekolah yang jelas ada peraturan tidak boleh merokok di sekolah.

3. Apakah Bapak/Ibu setuju jika ada tempat khusus untuk merokok di

lingkungan sekolah?

Kalau saya sendiri memang setuju ada tempat khusus untuk membuat guru

ataupun siswa tidak merokok di sembarang tempat. Kalau tidak disediakan,

akan merugikan yang tidak merokok juga karena beberapa dari siswa merokok

di sembarang tempat. Menurut saya sendiri, sepanjang daerah-daerah tertentu

masih banyak tumbuhan, tidak ada masalah. Tapi kalau untuk daerah yang

tidak ada tanaman tapi disitu ada asap rokok, daerah seperti itulah yang

berkewajiban menjadikan daerah tanpa rokok. Tidak bisa melarang orang

untuk berhenti rokok, ada sekian ribu orang yang hidup dari rokok, kasihan

142

kalau dilarang, mereka-mereka yang hidup dari rokok. Cuma sebagai perokok,

harus bisa menempatkan diri supaya tidak menggangu yang lain

4. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Sekolah?

Kalau menurut saya sendiri sepanjang daerah-daerah tertentu masih banyak

tumbuhan tidak ada masalah untuk merokok tapi jika untuk daerah yang tidak

ada tanaman tapi disitu ada asap rokok, daerah seperti itulah yang

berkewajiban menjadikan daerah tanpa rokok. Kita tidak bisa melarang orang

untuk berhenti rokok karena ada sekian ribu orang yang hidup dari rokok.

Kasihan kalau dilarang pengonsumsian rokok karena banyak pekerja yang

hidup dari rokok. Perlu ditekankan lagi sebagai perokok, harus bisa

menempatkan diri supaya tidak menggangu orang lain.

5. Kapan awal pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini?

Pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah ini sejak

diberlakukanya Pergub DIY tentang kawasan tanpa rokok yang di dalamnya

sekolah termasuk tempat yang dimaksud.

6. Apakah ada pedoman untuk melaksanakan kebijakan tanpa rokok di

sekolah ini?

Untuk SOPnya kebijakan kawasan tanpa rokok ini mungkin kita belum

menjalankan sebagaimana mestinya, namun sekolah sudah memasukan

larangan merokok di sekolah pada tata tertib. Pelaksanaan tata tertib diawasi

oleh kepala sekolah dibantu guru dan karyawan. Pihak sekolah juga sudah

memasang tanda dilarang merokok. Tidak ada pedoman dari sekolah untuk

143

melaksanakan kebijakan tanpa rokok, hanya untuk melokalisasi para perokok

supaya tidak menggangu yang tidak merokok.. Jadi oleh Kepala Sekolah yang

almarhum, disediakan tempat khusus untuk merokok di lingkungan sekolah,

ada pohon rindang jadi asapnya bisa dinetralkan. Sehingga tempat tersebut

dijadikan kawasan khusus untuk merokok. Namun untuk saat ini pihak sekolah

mengupayakan untuk menghilangakan kawasan khusus merokok tersebut.

7. Apakah pihak sekolah pernah mengadakan sosialisasi mengenai

kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Dulu pernah dilakukan sosialisasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah

waktu MOS dan setiap awal tahun pelajaran. Untuk guru cara

mensosialisasikannya dengan cara menyampaikan pada rapat, kalau mau

merokok di sana tempatnya jangan di ruangan guru, apalagi perokok pasif

terkena akibatnya yang paling banyak dari perokok yang merokok di

sembarang tempat.

8. Apakah ada program dari pihak sekolah untuk menanggapi Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok di sekolah?

Programnya hanya tidak boleh merokok di lingkungan sekolah, sesuai dengan

kebijakan yang ada. Tetapi pada waktu jam istirahat, anak-anak juga merokok

di luar. Daripada merokok di luar ketahuan masyarakat, makanya dilokalisir

oleh sekolah. Kalau saya sendiri karena saya tidak merokok, lebih nyaman

kalau tidak ada yang merokok di sekolah.

144

9. Apakah ada sanksi yang ditetapkan dalam program tersebut?

Sanksinya yang pertama adalah segera mematikan rokok kemudian sanksi yang

kedua disuruh membersihkan tempatnya itu dari abu-abu rokok.

10. Apakah ada tim khusus yang menangani program dari sekolah dalam

menganggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Kalau tim khususnya yang menanggani masalah rokok tidak ada. Tapi itu nanti

masuk dalam kenalakan peserta didik sehingga yang menanggani program

tersebut adalah guru Bimbingan Konseling dan wali kelasnya serta dibantu

wakasek kesiswaan. Kepala Sekolah mengawasi pelaksanaannya.

11. Siapa saja tim yang terlibat di dalamnya?

Tim yang terlibat untuk menangani program kawasan tanpa rokok adalah

guru Bimbingan Konseling dan wali kelas beserta wakasek kesiswaan yang

diawasi langsung oleh kepala sekolah.

12. Apa saja kriteria sebagai tim yang menangani program tersebut?

Untuk krtiteria khusus sebagai tim yang menangani program tersebut tidak

ada, hanya saja guru bimbingan dan konseling memang mempunyai tugas

untuk mengatasi kenakalan siswa sedangkan walikelas menjadi orang tua

siswa di kelas diharapkan memeberikan bimbingan kepada siswanya.

13. Apa saja tugas dari tim untuk mensukseskan program dari sekolah

sebagai tanggapan dari kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Tugas dari tim untuk mensukseskan program tersebut hanya mengawasi

siswa di sekolah, jika ada siswa yang melanggar akan diberikan sanksi. Guru

wali kelas juga memasang tulisan dilarang merokok di dalam kelas.

145

14. Apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk menerapkan program

tersebut?

Untuk anggaran program tersebut pihak sekolah tidak menganggarkan khusus

karena programnya tidak membutuhkan biaya. Pemasangan tulisan dilarang

merokok hanya menggunakan dana lain-lain yang termasuk dalam peralatan

kelas.

15. Apakah anggaran yang telah ditetapkan sudah cukup?

Saya rasa sudah karena cukup sederhana programnya

16. Bagaimana tanggapan tim pelaksana mengenai kebijakan kawasan

tanpa rokok di sekolah?

Tanggapan dari tim pelaksana cukup baik tetapi mereka mengaku kesusahan

untuk mengatur siswa yang merokok sembarangan di sekolah dan ada

beberapa guru yang merokok di sekolah.

17. Siapa saja pihak yang mendukung atau menolak kebijakan kawasan

tanpa rokok di sekolah?

Yang jelas mendukung adalah yang tidak merokok, yang merokok pasti tidak

setuju dengan kawasan tanpa rokok di sekolah karena mereka tidak bisa

merokok di sekolah”

18. Apa saja faktor yang menjadi penghambat atau pendukung dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah?

Faktor penghambat dalam pelaksanaan program tersebut yang jelas siswa

sudah terbiasa dengan rokok. Banyak siswa yang berhenti rokok sebentar,

tetapi pikirannya menjadi tidak bisa fokus. Guru pun juga begitu. Mungkin

146

mereka akan berhenti, kalau sudah terkena penyakit seperti jantung, dll.

Upaya sekolah saat ini belum pada taraf melarang, hanya melokalisir agar

orang yang merokok punya tempat sendiri sehingga tidak mengganggu orang

yang tidak merokok. Kalau kita melarang, kita mematikan orang yang ada di

belakang produk rokok. Sejauh faktor pendukungnya kita sudah melakukan

sosialisasi mengenai kebijakan tanpa rokok di sekolah, kemudian kami juga

sudah memasukkan larangan merokok di tata tertib sekolah.

147

HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI

Hari/ Tanggal : 25 April 2016

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Narasumber : AI

Jabatan : Siswa

1. Apakah Anda seorang perokok?

Iya mas saya merokok

2. Sejak kapan mulai merokok?

Saya sudah merokok mulai SMP. Awalnya saya hanya mencoba karena teman-

teman saya juga merokok, di rumah bapak juga merokok.

3. Apakah Anda pernah merokok di lingkungan sekolah?

Saya pernah merokok di sekolah bahkan saya sering merokok di dalam kelas

tetapi tergantung gurunya yang lagi mengajar galak atau tidak. Saat ada

kunjungan dari dinas kami tidak merokok mas.

4. Apakah alasan Anda tidak bisa menahan untuk merokok di sekolah?

Alasan saya tidak bisa menahan untuk merokok di sekolah karena melihat

teman-teman yang merokok jadi kepingin. Kalau misalnya baru tidak punya

rokok saya minta ke teman atau makan permen.

5. Bagaimana pendapat Anda mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

di Sekolah?

Bagus itu mas, tetapi untuk perokok seperti saya susah kalau tidak merokok

walaupun hanya sebentar saja.

148

6. Apakah sekolah mengadakan sosialisasi mengenai Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok?

Setahu saya belum pernah ada sosialisasi mas. Saya tidak tahu mas kalau ada

peraturan seperti itu di sekolah ini, tapi saya tahu kalau merokok di sekolah itu

memang tidak boleh.

7. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok?

Memasang tulisan dilarang merokok di kelas mas, tetapi itu juga tidak

berpengaruh pada kami yang merokok dan ada juga yang dicopot lagi sama

teman-teman.

8. Apakah Anda setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok di

sekolah ini?

Setuju mas, biar nanti waktu ingin merokok bisa merokok di tempat itu. Dulu

juga sudah disediakan sekolah tetapi sekarang sudah ditebang pohonnya jadi

tidak rindang lagi dan tidak nyaman untuk merokok karena tempatnya sekarang

panas.

9. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar

terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok?

Sanksinya hanya disuruh mematikan rokok terus pindah ke tempat lain,

misalnya ke toilet atau keluar sekolah di angkringan.

149

HASIL TRANSKIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI

Hari/ Tanggal : 27 April 2016

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Narasumber : RO

Jabatan : Siswa

1. Apakah Anda seorang perokok?

Saya tidak merokok mas

2. Apakah Anda pernah merokok di lingkungan sekolah?

Di luar sekolah aja saya tidak merokok apalagi di sekolah mas

3. Bagaimana pendapat Anda mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

di Sekolah?

Ya bagus, agar mereka tidak merokok di sekolah

4. Apakah sekolah mengadakan sosialisasi mengenai Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok?

Kurang tahu saya mas, belum pernah mungkin

5. Apakah ada program dari sekolah menanggapi adanya Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok?

Kalau ada yang merokok di kelas disuruh keluar kelas, nanati di luar kelas pada

merokok dulu

150

6. Apakah Anda setuju jika disediakan tempat khusus untuk merokok di

sekolah ini?

Setuju mas, karena disini teman-teman banyak yang merokok. Kasian nanti

kalau tidak disediakan tempat buat merokok

7. Apakah ada sanksi yang diberikan dari sekolah kepada para pelanggar

terkait program yang menanggapi adanya Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok?

Sanksinya hanya suruh mematikan rokok terus dibagikan permen

151

CONTOH ANALISIS DATA WAWANCARA

A. Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada

Yogyakarta

1. Komunikasi

Informan Hasil wawancara

AE Dulu pernah dilakukan sosialisasi kebijakan kawasan tanpa

rokok di sekolah waktu MOS dan setiap awal tahun pelajaran.

Untuk guru cara mensosialisasikannya dengan cara

menyampaikan pada rapat, kalau mau merokok di sana

tempatnya jangan di ruangan guru, apalagi perokok pasif

terkena akibatnya yang paling banyak dari perokok yang

merokok di sembarang tempat

EM Pihak sekolah pernah melakukan sosialisasi mengenai

kebijakan tersebut saat rapat sekolah dan pada saat MOS atau

tahun ajaran baru yang dihadiri orang tua siswa. Menurut saya

sosialisasi yang dilakukan tidak berguna karena yang dulu

kepala sekolahnya menyediakan suatu tempat untuk merokok di

lingkungan sekolah. Sekarang dengan pergantian kepala

sekolah mencoba untuk menghilangkan tempat tersebut

TE Ya pernah, pernah ada sosialisasi kepada orang tua siswa pada

saat penerimaan siswa baru. Sosialisasi berupa pembinaan dan

152

penjelasan tentang kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah

Kesimpulan Komunikasi kebijakan yang dilakukan oleh pihak sekolah

menggunakan cara sosialisasi. Sosialiasasi dilakukan saat MOS

dan rapat sekolah.

2. Sumber Daya

Informan Hasil Wawancara

AE Programnya hanya tidak boleh merokok di lingkungan sekolah,

sesuai dengan program yang ada. Tetapi pada waktu jam

istirahat, anak-anak juga merokok di luar sekolah. Nah daripada

merokok diluar ketahuan pihak luar sekolah, makanya

dilokalisir di dalam lingkungan sekolah saja. Kalau saya sendiri

sih, karena saya tidak merokok, lebih nyaman kalau tidak ada

yang merokok

EM Kalau dari pihak sekolah tidak ada program apa-apa, tetapi

kami melakukan pemasangan plang tidak merokok di kelas.

anak-anak tidak peduli. Kalau usaha kita ya bisa nya paling pas

pelajaran di kelas tidak boleh merokok dan menyuruh untuk

mematikan rokok atau menyarankan merokok ke kamar mandi.

Pihak sekolah tidak bisa ketat terhadap para perokok di sekolah

terutama pada siswa, karena beberapa siswa tidak akan masuk

sekolah jika tidak boleh merokok di sekolah

TE Sepertinya di sekolah ini belum ada program yang khusus

153

dibuat untuk menanggapi kawasan tanpa rokok di sekolah

Kesimpulan Pihak sekolah belum bisa memaksimalkan sumber daya yang

ada untuk melaksanakan program karena belum ada program

khusus yang dibuat oleh sekolah untuk menanggapi kebijakan

kawasan tanpa rokok di sekolah

3. Disposisi atau Sikap

Infrorman Hasil wawancara

AE Kalau saya sendiri memang setuju ada tempat khusus

untuk membuat guru ataupun siswa tidak merokok di

sembarang tempat. Kalau tidak disediakan, akan

merugikan yang tidak merokok juga karena beberapa dari

siswa merokok di sembarang tempat. Menurut saya

sendiri, sepanjang daerah-daerah tertentu masih banyak

tumbuhan, tidak ada masalah. Tapi kalau untuk daerah

yang tidak ada tanaman tapi disitu ada asap rokok, daerah

seperti itulah yang berkewajiban menjadikan daerah

tanpa rokok. Tidak bisa melarang orang untuk berhenti

rokok, ada sekian ribu orang yang hidup dari rokok,

kasihan kalau dilarang, mereka-mereka yang hidup dari

rokok. Cuma sebagai perokok, harus bisa menempatkan

diri supaya tidak menggangu yang lain

154

EM Kalau saya tidak setuju mas jika ada tempat khusus

merokok di sekolah, tetapi mau bagaimana lagi melihat

kondisi siswa yang memang sudah tidak bisa diatur lagi

untuk tidak merokok di sekolah

AB Tempat khusus untuk merokok menurut saya itu perlu

karena bagi seorang perokok jika tidak merokok rasanya

pahit. Tempat khusus merokok di sekolah ini memang

diperlukan karena beberapa guru ada yang merokok

termasuk saya. Saya sering merokok di sekolah tetapi

saya merokoknya pada saat tidak mengajar di kelas.

Biasanya saya merokok di ruang guru waktu jeda

mengajar atau pada waktu istirahat

Kesimpulan Sikap yang dimiliki pelaksana kebijakan kawasan tanpa

rokok di SMA Gadjah Mada berbeda-beda. Beberapa

guru tidak setuju dengan adanya tempat khusus merokok

di sekolah, sebagian lainnya setuju. Terdapat guru yang

mengaku sering merokok di sekolah

4. Struktur Birokrasi

Informan Hasil Wawancara

EM Untuk menanggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di

lingkungan sekolah terdapat koordinasi antara kepala

155

sekolah, guru bimbingan konseling dan wali kelas

TE Koordinasi untuk menanggapi kebijakan tersebut dilakukan

oleh guru wali kelas dengan guru bimbingan dan konseling

diawasi oleh kepala sekolah

AB Koordinasi pelaksanaan menanganai kebijakan tersebut

sebagian besar dilakukan oleh guru Bimbingan Konseling

dan wali kelas

Kesimpulan Koordinasi pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di

SMA Gadjah Mada dilakukan oleh guru Bimbingan

Konseling, walikelas, dan guru mata pelajaran. Kepala

sekolah sebagai pemimpin dalam struktur birokrasi

bertugas mengawasi berjalannya kebijakan tersebut.

B. Faktor Pengahambat dan Pendukung Implementasi Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada

1. Faktor Penghambat

Informan Hasil Wawancara

AE Faktor penghambat dalam pelaksanaan program tersebut

yang jelas siswa sudah terbiasa dengan rokok. Banyak

siswa yang berhenti rokok sebentar, tetapi pikirannya

menjadi tidak bisa fokus. Guru pun juga begitu. Mungkin

156

mereka akan berhenti, kalau sudah terkena penyakit

seperti jantung, dll

EM Penghambatnya berasal dari input siswa yang masuk ke

sekolah ini sebagian besar adalah siswa dari sekolah lain

yang dikeluarkan karena kenakalan mereka. Penghambat

lainnya berasal dari anaknya sendiri yang memang tidak

mempunyai keinginan untuk berhenti. Mungkin mereka

berpikir daripada kearah minuman keras atau ke narkoba

mending merokok, itu kata siswanya. Pengaruh

lingkungan mereka juga mempengaruhi seperti keluarga

bermasalah, disini kebanyakan, dari keluarga broken

home, orang tua terlalu sibuk, anaknya terbengkalai,

keadaan orang tua yang tidak mampu kemudian mungkin

dulu SMP nya tidak dapat mengatasi keadaan mereka

yang seperti itu. Beberapa guru ada yang merokok di

sekolah ini. Mereka sering merokok di ruang guru namun

melihat situasi sekitar jika keadaan sepi mereka baru

merokok agar tidak menganggu yang lain. Hal seperti

yang membuat kami susah untuk memberi tahu para

siswa yang merokok karena beberapa guru saja merokok

di sekolah

TE Penghambatnya karena kurang ketegasan dari sekolah

157

Guru-guru disini ada juga yang mengajar di sekolah lain,

untuk kebijakan-kebijakan seperti itu menunggu forum.

Hal-hal mengenai kebijakan dapat disampaikan saat

rapat. Untuk pendukungnya kepala sekolah yang baru

berusaha menghilangkan tempat khusus merokok yang

dibuat oleh mantan kepala sekolah

Kesimpulan Faktor penghambat implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta adalah

kebijakan mantan kepala sekolah yang justru

menyediakan suatu tempat khusus untuk merokok di

sekolah, beberapa guru tidak sejalan dengan kebijakan

kawasan tanpa rokok tersebut dan masih merokok di

lingkungan sekolah, kurangnya koordinasi sekolah dalam

menanggapi kebijakan kawasan tanpa rokok di sekolah,

pihak sekolah kurang tegas dalam memberikan sanksi

kepada para pelanggar kawasan tanpa rokok di sekolah,

keinginan guru dan siswa untuk tidak merokok di sekolah

susah untuk dikendalikan, siswa yang masuk ke SMA

Gadjah Mada sebagian besar adalah pindahan dari

sekolah lain yang dikeluarkan karena perilaku yang

melanggar tata tertib, faktor keadaan keluarga (broken

home, orang tua sibuk, ayah yang merokok) siswa yang

158

membuat mereka menggunakan rokok sebagai pelarian

untuk merokok, dan pengaruh lingkungan dari

masyarakat kepada siswa yang kurang baik

2. Faktor Pendukung

Informan Hasil Wawancara

AB Untuk pendukungnya banyak guru yang tidak suka jika

ada yang merokok di dekatnya jadi mereka itu yang suka

menegur orang merokok di sekolah termasuk saya juga

pernah ditegur.

AE Sejauh faktor pendukungnya kita sudah melakukan

sosialisasi mengenai kebijakan tanpa rokok di sekolah,

kemudian kami juga sudah memasukkan larangan

merokok di tata tertib sekolah.

TE Untuk pendukungnya kepala sekolah yang baru berusaha

menghilangkan tempat khusus merokok yang dibuat oleh

mantan kepala sekolah. Pendukung larangan merokok di

sekolah ini sudah dipasang tanda dilarang merokok dan

pihak sekolah sudah mencoba menghilangkan tempat

khusus merokok dengan menebang pohon yang biasa

digunakan berteduh saat merokok

159

Kesimpulan Faktor pendukung pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa

rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta adalah Kepala

sekolah yang baru berusaha untuk menghilangkan

kawasan khusus untuk merokok, keputusan sekolah

untuk memasang tanda dilarang merokok di sekolah,

pihak sekolah memasukkan aturan larangan merokok ke

dalam tata tertib sekolah, sikap yang ditunjukkan oleh

beberapa guru yang tidak suka jika ada yang merokok di

sekolah baik itu guru maupun siswa.

160

CATATAN LAPANGAN I

Hari/tanggal : Senin, 18 Januari 2016

Waktu : 09.00 WIB

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Kegiatan : Mengantar Surat Ijin Observasi

Deskripsi :

Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk mengantarkan surat ijin

observasi ke bagian Tata Usaha. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan surat

tersebut. Kemudian peneliti diminta untuk datang kembali pada keesokan harinya.

Setelah dirasa cukup, peneliti pamit pulang dan dan mengucapkan terimakasih.

CATATAN LAPANGAN II

Hari/tanggal : Selasa, 19 Januari 2016

Waktu : 08.30 WIB

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Kegiatan : Konfirmasi Surat Ijin Observasi dan Wawancara

Deskripsi :

Peneliti data ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk konfirmasi surat ijin

observasi ke bagian Tata Usaha. Peneliti diminta untuk menemui Bapak Alex.

Bapak Alex bersedia untuk diwawancarai pada hari itu, peneliti melakukan

wawancara terkait data-data awal yang diperlukan dalam pembuatan proposal

penelitian.

161

CATATAN LAPANGAN III

Hari/tanggal : Rabu, 13 April 2016

Waktu : 08.30 WIB

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Kegiatan : Mengantar Surat Ijin Penelitian

Deskripsi :

Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk mengantar surat ijin

penelitian ke bagian Tata Usaha. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan

penelitian, kemudian peneliti menjelaskan bahwa sebelumnya telah melakukan

observasi awal dengan Bapak Alex. Peneliti diminta untuk datang kembali

keesokan harinya untuk konfirmasi surat ijin penelitian.

CATATAN LAPANGAN IV

Hari/tanggal : Kamis, 14 April 2016

Waktu : 09.00 WIB

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Kegiatan : Konfirmasi Surat Ijin Penelitian

Deskripsi :

Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk konfirmasi surat ijin

penelitian yang telah diantarkan pada hari sebelumnya. Peneliti diminta untuk

menemui Bapak Alex selaku Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan. Setelah

bertemu dengan Bapak Alex, peneliti diminta untuk melakukan wawancara

162

dengan Ibu Emil. Peneliti dan bu Emil mengatur jadwal untuk melakukan

wawancara terkait dengan masalah yang sedang diteliti.

CATATAN LAPANGAN V

Hari/tanggal : Senin, 18 April 2016

Waktu : 09.30 WIB

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Kegiatan : Wawancara

Deskripsi :

Peneliti menemui ibu Emil untuk melakukan wawancara. Wawancara dilakukan

didalam ruangan BK. Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan yang kemudian

dijawab oleh ibu Emil dengan sebenar-benarnya sesuai dengan yang terjadi

disekolah tersebut. Wawancara berlangsung kurang lebih 1 jam. Peneliti juga

melakukan observasi dengan melihat temapt khusus merokok di SMA Gadjah

Mada Yogyakarta.

CATATAN LAPANGAN VI

Hari/tanggal : Rabu, 20 April 2016

Waktu : 08.00 WIB

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Kegiatan : Wawancara dan observasi

Deskripsi :

Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta dan menemui Bapak Alex

untuk meminta guru yang dapat diwawancarai, kemudian Bapak Alex

163

memberikan rekomendasi untuk wawancara dengan Ibu Tri Endaryati. Peneliti

menemui ibu Tri Endaryati untuk melakukan wawancara. Wawancara dilakukan

didalam ruangan guru. Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan yang kemudian

dijawab oleh ibu Emil dengan sebenar-benarnya sesuai dengan yang terjadi

disekolah tersebut. Wawancara berlangsung kurang lebih 30 menit. Setelah

melakukan wawancara, peneliti melakukan observasi di lingkungan sekolah.

Peneliti menemukan beberapa puntung rokok yang ada disekitar koridor kelas.

CATATAN LAPANGAN VII

Hari/tanggal : 25 April 2016

Waktu : 10.00 WIB

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Kegiatan : Wawancara dan observasi

Deskripsi :

Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada untuk melakukan wawancara dan observasi

dengan siswa di SMA Gadjah Mada. Peneliti bertemu dengan siswa yang sering

merokok di lingkungan sekolah. Wawancara berlangsung kurang lebih 30 menit.

Setelah melakukan wawancara, peneliti melakukan observasi terkait dengan

masalah penelitian, melihat-lihat kedalam kelas, mengamati kebiasaan siswa di

SMA Gadjah Mada Yogyakarta.

164

CATATAN LAPANGAN VIII

Hari/tanggal : 27 April 2016

Waktu : 10.00 WIB

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Kegiatan : Wawancara dan observasi

Deskripsi :

Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada untuk melakukan wawancara dan observasi

dengan siswa di SMA Gadjah Mada. Peneliti bertemu dengan siswa yang tidak

merokok di lingkungan sekolah. Wawancara berlangsung kurang lebih 30 menit.

Setelah melakukan wawancara, peneliti melakukan observasi terkait dengan

masalah penelitian, melihat-lihat kedalam kelas, mengamati kebiasaan siswa di

SMA Gadjah Mada Yogyakarta.

CATATAN LAPANGAN IX

Hari/tanggal : 3 Mei 2016

Waktu : 09.00 WIB

Tempat : SMA Gadah Mada Yogyakarta

Kegiatan : Wawancara dan observasi

Deskripsi :

Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk melakukan wawancara

dan observasi dengan karyawan TU di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Peneliti

mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Wawancara berlangsung sekitar

165

30 jam. Setelah melakukan wawancara, peneliti melakukan observasi terkait

dengan penelitian dan menemukan beberapa siswa yang merokok di koridor

sekolah.

CATATAN LAPANGAN X

Hari/tanggal : 4 Mei 2016

Waktu : 09.00 WIB

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Kegiatan : Meminta profil sekolah dan observasi

Deskripsi :

Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk meminta profil sekolah

SMA Gadjah Mada. Peneliti menemui Bapak Alex, kemudian beliau

mengarahkan peneliti untuk meminta kepada bagian Tata Usaha. Kemudian

peneliti diberikan hardfile profil sekolah SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah

mendapatkan profil sekolah, peneliti melakukan observasi terkait dengan

penelitian

CATATAN LAPANGAN XI

Hari/tanggal : 5 Mei 2016

Waktu : 08.30 WIB

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Kegiatan : Wawancara dan observasi

Deskripsi :

166

Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk melakukan wawancara

dan observasi dengan Bapak Arinta selaku kepala sekolah. Peneliti mengajukan

beberapa pertanyaan terkait dengan implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok

di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Wawancara berlangsung sekitar 1 jam. Setelah

melakukan wawancara, peneliti melakukan observasi terkait dengan penelitian.

CATATAN LAPANGAN XII

Hari/tanggal : 9 Mei 2016

Waktu : 10.00 WIB

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Kegiatan : Wawancara dan observasi

Deskripsi :

Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk melakukan wawancara

dan observasi dengan Bapak Alex selaku guru dan wakil kepala sekolah bagian

kesiswaan. Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Wawancara

berlangsung sekitar 45 menit. Setelah melakukan wawancara, peneliti melakukan

observasi terkait dengan penelitian.

167

CATATAN LAPANGAN XIII

Hari/tanggal : 11 Mei 2016

Waktu : 10.00 WIB

Tempat : SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Kegiatan : Wawancara dan observasi

Deskripsi :

Peneliti datang ke SMA Gadjah Mada Yogyakarta untuk melakukan wawancara

dan observasi dengan satpam sekolah yang sering mengamati perilaku siswa di

sekolah. Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Wawancara

berlangsung sekitar 30 menit. Setelah melakukan wawancara, peneliti melakukan

observasi terkait dengan penelitian.

FOTO HASIL WAWANCARA PENELITIAN

168

Peneliti melakukan wawancara dengan

Kepala Sekolah

Peneliti melakukan wawancara dengan

Guru

Peneliti melakukan wawancara dengan

Guru BK Peneliti melakukan wawancara dengan

siswa

Peneliti melakukan wawancara dengan

Guru

FOTO HASIL OBSERVASI PENELITIAN

169

Area khusus merokok

Area khusus merokok ini berada di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Area

tersebut terletak berada di antara ruang tata usaha dan kelas. Penggunaan area

tersebut dikhususkan oleh pihak sekolah kepada para perokok karena banyak

siswa yang merokok di sekolah. Area khusus merokok ini merupakan hasil

keputusan dari mantan Kepala Sekolah yang saat ini sudah digantikan oleh Bapak

AE selaku Pelaksana Tugas Kepala Sekolah. Saat ini dengan pergantian kepala

sekolah area khusus merokok di SMA Gadjah Mada mulai dihilangan dengan cara

memotong pohon rindang yang berada di area tersebut. Langkah untuk memotong

pohon tersebut karena para siswa menyukai kerindangan pohon tersebut untuk

merokok di bawahnya. Area tersebut kerap dijadikan oleh para siswa untuk

berkumpul dan merokok bersama.

FOTO HASIL OBSERVASI PENELITIAN

170

Asbak dan puntung rokok di ruang guru

Asbak dan puntung rokok tersebut ditemukan di ruang guru. Pengambilan

foto absak dan puntung rokok hanya berselang beberapa detik seorang guru

mematikan rokoknya pada asbak dengan adanya hal seperti itu menunjukkan

bahwa ada guru yang merokok di area sekolah. Perilaku yang ditunjukkan guru

tersebut bisa menjadi contoh buruk bagi siswa dan bertentangan dengan

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.

FOTO HASIL OBSERVASI PENELITIAN

171

Beberapa siswa merokok di koridor sekolah

Foto di atas menunjukkan dua siswa SMA Gadjah Mada Yogyakarta sedang

merokok di koridor sekolah padahal sudah disediakan tempat khusus merokok.

Perilaku merokok di sekolah jelas bertentangan dengan Permendikbud Nomor 64

tahun 2015 tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.

FOTO HASIL OBSERVASI PENELITIAN

172

Puntung dan bungkus rokok dibuang sembarangan

di sekitar koridor sekolah

Bungkus dan puntung rokok yang dibuang sembarangan oleh siswa tersebut

menunjukkan bahwa siswa sudah biasa merokok di lingkungan sekolah. Para

siswa tidak akan membuang sampah rokok tersebut di koridor sekolah jika

mereka tidak terbiasa merokok di tempat tersebut.

173

174

175

176

SALINAN

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 64 TAHUN 2015

TENTANG

KAWASAN TANPA ROKOK DI LINGKUNGAN SEKOLAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan perilaku hidup bersih dan

sehat didukung dengan penciptaan lingkungan sekolah

yang bebas dari pengaruh rokok;

b. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan secara

menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan dari dampak

buruk rokok, perlu menciptakan kawasan tanpa rokok di

lingkungan sekolah;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Kawasan

Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah;

177

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia

tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4301);

2. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor

144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5063);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang

Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5105) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang

Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa

Produk Tembakau Bagi Kesehatan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 278, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5380);

5. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang

Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);

6. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 15);

7. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang

Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri

Kabinet Kerja;

178

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DI LINGKUNGAN

SEKOLAH.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Sekolah adalah Sekolah Dasar/Sekolah Dasar Luar Biasa

(SD/SDLB), Sekolah Menengah Pertama/Sekolah

Menengah Pertama Luar Biasa (SMP/SMPLB), Sekolah

Menengah Atas/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa

(SMA/SMALB), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

baik negeri maupun swasta.

2. Lingkungan sekolah adalah lokasi tempat berlangsungnya

kegiatan belajar mengajar baik yang bersifat kurikuler

maupun ekstra kurikuler.

3. Pihak lain adalah orang yang melakukan aktivitas di

dalam lingkungan sekolah, selain kepala sekolah, guru,

tenaga kependidikan, dan peserta didik.

4. Kawasan tanpa rokok adalah ruangan atau area yang

dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau

kegiatan memproduksi, menjual, dan/atau

mempromosikan rokok.

Pasal 2

Kawasan tanpa rokok bertujuan untuk menciptakan

Lingkungan sekolah yang bersih, sehat, dan bebas rokok.

Pasal 3

Sasaran Kawasan tanpa rokok di Lingkungan Sekolah:

a. kepala sekolah;

b. guru;

c. tenaga kependidikan;

d. peserta didik; dan

e. pihak lain di dalam Lingkungan sekolah.

179

Pasal 4

Untuk mendukung Kawasan tanpa rokok di Lingkungan

Sekolah, Sekolah wajib melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. memasukkan larangan terkait rokok dalam aturan tata

tertib sekolah;

b. melakukan penolakan terhadap penawaran iklan, promosi,

pemberian sponsor, dan/atau kerja sama dalam bentuk

apapun yang dilakukan oleh perusahan rokok dan/atau

organisasi yang menggunakan merek dagang, logo,

semboyan, dan/atau warna yang dapat diasosiasikan

sebagai ciri khas perusahan rokok, untuk keperluan

kegiatan kurikuler atau ekstra kulikuler yang

dilaksanakan di dalam dan di luar Sekolah;

c. memberlakukan larangan pemasangan papan iklan,

reklame, penyebaran pamflet, dan bentuk-bentuk iklan

lainnya dari perusahaan atau yayasan rokok yang beredar

atau dipasang di Lingkungan Sekolah;

d. melarang penjualan rokok di kantin/warung sekolah,

koperasi atau bentuk penjualan lain di Lingkungan

Sekolah; dan

e. memasang tanda kawasan tanpa rokok di Lingkungan

Sekolah.

Pasal 5

(1) Kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik,

dan Pihak lain dilarang merokok, memproduksi, menjual,

mengiklankan, dan/atau mempromosikan rokok di

Lingkungan Sekolah.

(2) Kepala sekolah wajib menegur dan/atau memperingatkan

dan/atau mengambil tindakan terhadap guru, tenaga

kependidikan, dan peserta didik apabila melakukan

larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

(3) Kepala sekolah dapat memberikan sanksi kepada guru,

tenaga kependidikan, dan Pihak lain yang terbukti

melanggar ketentuan Kawasan tanpa rokok di Lingkungan

Sekolah.

180

(4) Guru, tenaga kependidikan, dan/atau peserta didik dapat

memberikan teguran atau melaporkan kepada kepala

sekolah apabila terbukti ada yang merokok di Lingkungan

Sekolah.

(5) Dinas pendidikan setempat sesuai dengan kewenangannya

memberikan teguran atau sanksi kepada kepala sekolah

apabila terbukti melanggar ketentuan Kawasan tanpa

rokok di Lingkungan Sekolah berdasarkan laporan atau

informasi dari guru, tenaga kependidikan, peserta didik,

dan/atau Pihak lain.

Pasal 6

Larangan penjualan rokok sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 huruf d dan pasal 5 ayat (1) berlaku juga terhadap

larangan penjualan permen berbentuk rokok atau benda lain

yang dikonsumsi maupun yang tidak dikonsumsi yang

menyerupai rokok atau tanda apapun dengan merek dagang,

logo, atau warna yang bisa diasosiasikan dengan

produk/industri rokok.

Pasal 7

(1) Dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan

kewenangan melakukan pemantauan dan evaluasi

pelaksanaan Peraturan Menteri ini secara berkala paling

sedikit dalam satu tahun.

(2) Dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota menyusun

dan menyampaikan hasil pelaksanaan pemantauan

kepada walikota, bupati, gubernur, dan/atau menteri

terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai

dengan kewenangannya.

(3) Sekolah wajib melakukan pembinaan kepada peserta didik

yang merokok di dalam maupun di luar Lingkungan

Sekolah sesuai dengan tata tertib yang berlaku di sekolah.

181

Pasal 8

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal

diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya

dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 22 Desember 2015

MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

REPUBLIK INDONESIA,

TTD.

ANIES BASWEDAN

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 29 Desember 2015

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

TTD.

WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1982

Salinan sesuai dengan aslinya. Kepala Biro

Hukum dan Organisasi, Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan,

TTD.

Aris Soviyani

NIP196112071986031001

182

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 42

TAHUN 2009

TENTANG

KAWASAN DILARANG MEROKOK DENGAN

RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 11 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian

Pencemaran Udara, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Kawasan

Dilarang Merokok;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa

Jogjakarta sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1955 Nomor 43, Tembahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 827);

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah

beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 tentang Berlakunya Undang-

Undang Nomor 2, 3, 10 dan 11 Tahun 1950;

4. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2007

tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Daerah Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta Tahun 2009 Nomor 5);

5. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2007

tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Tahun 2009 Nomor 7);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG KAWASAN DILARANG MEROKOK.

BAB I KETENTUAN

UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

1. Kawasan Dilarang Merokok adalah ruang atau area yang dinyatakan dilarang untuk merokok

meliputi tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat spesifik sebagai tempat

belajar mengajar, area kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.

183

2. Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang

dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tobacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau

sintetisnya yang mengandung nikotin, tar, dan zat adiktif dengan atau tanpa bahan tambahan.

3. Tempat atau ruangan adalah bagian dari suatu bangunan gedung yang berfungsi sebagai

tempat melakukan kegiatan dan/atau usaha.

4. Tempat Umum adalah sarana yang diselenggarakan oleh Pemerintah, swasta atau

perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat termasuk tempat umum milik

Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, gedung perkantoran umum, tempat pelayanan

umum, tempat perbelanjaan, tempat rekreasi dan sejenisnya.

5. Tempat Pelayanan Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan

upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, Swasta, Yayasan, Lembaga Sosial,

Perorangan dan/atau Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM).

6. Tempat Kerja adalah ruang tertutup yang bergerak atau tidak bergerak dimana tenaga kerja

bekerja atau tempat yang sering dimasuki tenaga kerja dan tempat sumber-sumber bahaya.

7. Tempat Proses Belajar mengajar adalah tempat proses belajar mengajar baik di dalam

ruangan maupun di luar ruangan kegiatan proses belajar mengajar.

8. Arena Kegiatan Anak-anak adalah tempat atau arena yang diperuntukkan kegiatan anak-

anak, seperti Tempat Penitipan Anak (TPA), tempat pengasuhan anak, arena bermain anak-

anak, atau sejenisnya.

9. Tempat Ibadah adalah tempat yang digunakan untuk kegiatan ibadah keagamaan seperti:

masjid, gereja, pura, dan vihara.

10. Angkutan Umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan darat,

air, dan udara.

11. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

12. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten Bantul, Pemerintah Kabupaten

Kulon Progo, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, Pemerintah Kabupaten Sleman, dan

Pemerintah Kota Yogyakarta,

184

Pasal 2

Penetapan kawasan dilarang merokok dimaksudkan untuk:

a. melindungi masyarakat dan/atau kelompok rentan (bayi, balita, ibu hamil, dan lansia) terhadap

risiko ancaman gangguan kesehatan akibat asap rokok; dan

b. menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian akibat asap rokok.

Pasal 3

Penetapan kawasan dilarang merokok bertujuan untuk:

a. mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih; dan

b. mewujudkan masyarakat yang sehat.

BAB II

185

PENETAPAN KAWASAN DILARANG MEROKOK

Pasal 4

(1) Dengan Peraturan ini menetapkan Kawasan Dilarang Merokok meliputi Tempat Pelayanan

Kesehatan, Tempat Proses Belajar Mengajar, Arena Kegiatan Anak-anak, Tempat Ibadah,

Angkutan Umum, Tempat Umum, dan Tempat Kerja, dengan rincian keterangan sebagaimana

tercantum dalam Lampiran I, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.

(2) Penanggung jawab Tempat Umum dan Tempat Kerja yang ditetapkan sebagai Kawasan

Dilarang Merokok dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok.

(3) Ibu hamil, anak berusia kurang dari 19 tahun, dan anak yang mengenakan seragam sekolah

tidak boleh memasuki tempat khusus untuk merokok.

(4) Bupati/Walikota dapat menetapkan tempat lain sebagai Kawasan Dilarang Merokok selain yang

ditetapkan pada ayat (1).

BAB III

TANDA DILARANG MEROKOK

Pasal 5

(1) Tempat yang ditetapkan sebagai Kawasan Dilarang Merokok sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 ayat (1) dilengkapi dengan tanda atau simbol dilarang merokok.

(2) Tempat khusus untuk merokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilengkapi

dengan tanda atau simbol tempat merokok.

(3) Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa tanda atau simbol

sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan Lampiran III, yang merupakan bagian tak

terpisahkan dari Peraturan ini.

(4) Penempatan tanda dilarang merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mudah terlihat

dan tidak mengganggu keindahan tempat.

(5) Penanggungjawab penempatan tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

ditentukan oleh Kepala instansi/kantor/lembaga sesuai dengan kewenanganya.

(6) Penanggung jawab pengadaan tanda atau simbol sebagaimana dimaksud pada ayat (3) oleh

Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya.

BAB V

PEMBINAAN

Pasal 6

Pimpinan dan/atau penanggung jawab instansi/kantor/lembaga sesuai dengan kewenangannya

bertanggungjawab melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan Peraturan ini.

BAB VI

186

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 7

Peraturan ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan

penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ditetapkan di Yogyakarta

pada tanggal 14 Oktober 2009

GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

ttd

HAMENGKU BUWONO X Diundangkan di Yogyakarta

pada tanggal 14 Oktober 2009

SEKRETARIS DAERAH

PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

ttd

TRI HARJUN ISMAJI

BERITA DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2009 NOMOR 42

187

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

NOMOR 42 TAHUN 2009

TENTANG

KAWASAN DILARANG MEROKOK I. UMUM

Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna

tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar

dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mewujudkan derajat kesehatan

masyarakat yang optimal di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta perlu diselenggarakan berbagai

upaya, yang salah satunya adalah dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur tentang Kawasan

dilarang Merokok.

Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang

dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya

yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Rokok juga merupakan salah

satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan

masyarakat, oleh karena dalam rokok terdapat kurang lebih 4.000 (empat ribu) zat kimia antara lain

nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik, yang dapat mengakibatkan berbagai

penyakit antara lain kanker, penyakit jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema, bronkitis kronik,

dan gangguan kehamilan.

Tingkat kematian akibat kebiasaan merokok di Indonesia telah mencapai 57.000 (lima puluh

tujuh ribu) orang setiap tahunnya dan 4.000.000 (empat juta) kematian di dunia setiap tahunnya.

Pada tahun 2030 diperkirakan tingkat kematian di dunia akibat konsumsi tembakau akan mencapai

10.000 (sepuluh ribu) orang tiap tahunnya dengan sekitar 70% (tujuh puluh persen) terjadi di negara-

negara berkembang termasuk Indonesia.

Perokok aktif di Indonesia termasuk di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta cukup tinggi.

Perokok aktif biasa merokok di mana saja ada kesempatan, tanpa memperhitungkan dampak

kerugian yang dialami oleh perokok pasif yakni yang tidak merokok namun turut menghirup asap

rokok. Peraturan Gubernur tentang Kawasan Dilarang Merokok ini merupakan salah satu upaya

dalam rangka membatasi perokok aktif untuk tidak merokok di tempat umum dan di tempat yang

merupakan Kawasan Dilarang Merokok.

Peraturan Gubernur bukan untuk melarang merokok, namun untuk mengatur perilaku merokok

dengan tujuan:

a. melindungi kesehatan dari bahaya akibat merokok;

b. membudayakan hidup sehat;

c. menekan perokok pemula;

d. melindungi kesehatan perokok pasif.

Tempat yang merupakan Kawasan Dilarang Merokok adalah tempat pelayanan kesehatan,

tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat

umum, dan tempat kerja. Untuk tempat umum dan tempat kerja dapat menyediakan kawasan untuk

merokok (smoking area) dan tidak diperkenankan merokok selain di kawasan ini.

Pemimpin/pengelola tempat Kawasan Dilarang Merokok bertanggungjawab memberikan

informasi tentang larangan merokok dengan penandaan berupa stiker, tulisan atau tempelan lainnya,

disamping juga melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan peraturan ini di lingkungan yang

menjadi kewenangannya.

188

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

189

LAMPIRAN I

PERATURAN GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

NOMOR 42 TAHUN 2009

TANGGAL 14 OKTOBER 2009

KAWASAN DILARANG MEROKOK

No. Kawasan Dilarang Merokok Keterangan

I. Tempat Umum 1. Terminal Angkutan Umum Antar Kota Antar Provinsi

(AKAP)

2. Bandara Adi Sucipto

3. Stasiun Kereta Api

4. Halte Bus di Provinsi DIY

II. Tempat Kerja 1. Kantor/instansi/Lembaga/Badan/ Dinas Pemerintah

Daerah Provinsi DIY, Pemerintah Kabupaten/Kota di

Provinsi DIY

2. Kantor/instansi/Lembaga/ Badan Pemerintah Pusat

yang ada di wilayah Provinsi DIY

3. Kantor/instansi/Lembaga Swasta di wilayah Provinsi

DIY

III. Tempat Proses Belajar

Mengajar

Tempat proses belajar mengajar dari tingkat usia dini

sampai dengan perguruan tinggi baik pendidikan formal

maupun non formal

IV. Tempat Pelayanan

Kesehatan

Rumah Sakit/Puskesmas /Balai Pengobatan/Rumah

Bersalin/praktek bersama/praktek perorangan/apotik

V. Arena Kegiatan Anak-anak Taman Pintar, Kids Fun, dan tempat lain sejenis untuk

bermain anak

VI. Tempat Ibadah Masjid, Gereja, Vihara, Pura, Klenteng dan tempat lain

sejenis yang digunakan untuk ibadah

VII. Angkutan Umum 1. Angkutan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP)

2. Angkutan Antar Kota Antar Provinsi (AKAP)

3. Taksi di Provinsi DIY

4. Angkutan Pariwisata di Provinsi DIY

5. Angkutan Sewa di Provinsi DIY

GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

ttd

HAMENGKU BUWONO X

190

LAMPIRAN II

PERATURAN GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

NOMOR 42 TAHUN 2009

TANGGAL 14 OKTOBER 2009

TANDA ATAU PETUNJUK TULISAN

”KAWASAN DILARANG MEROKOK”

KAWASAN DILARANG

MEROKOK

Peraturan Gubernur No Tahun

TANDA ATAU PETUNJUK TULISAN

”TEMPAT MEROKOK”

TEMPAT MEROKOK Ibu hamil, anak berseragam sekolah, dan anak dibawah

usia 19 tahun dilarang masuk

Peraturan Gubernur No Tahun

GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

ttd

HAMENGKU BUWONO X

191

LAMPIRAN III

PERATURAN GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

NOMOR 42 TAHUN 2009

TANGGAL 14 OKTOBER 2009

A. Simbol Kawasan Dilarang Merokok B. Simbol Tempat Merokok

KAWASAN DILARANG

MEROKOK

TEMPAT

MEROKOK

GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

ttd

HAMENGKU BUWONO X

192

WALIKOTA YOGYAKARTA

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA

NOMOR 12 TAHUN 2015

TENTANG KAWASAN

TANPA ROKOK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA KOTA YOGYAKARTA,

Menimbang : a. bahwa rokok merupakan hasil olahan tembakau dan

sintesis yang mengandung nikotin dan tar yang membahayakan bagi kesehatan manusia;

b. bahwa Pasal 115 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan mewajibkan Pemerintah Daerah menetapkan Kawasan Tanpa Rokok;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Walikota tentang Kawasan Tanpa Rokok;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Timur, Djawa Tengah, Djawa

Barat dan Dalam Daerah Istimewa Yogyakarta (Diundangkan pada tanggal 14 Agustus 1950);

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor

144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5657 dan Nomor 5589);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 tentang

Berlakunya Undang-Undang Nomor 2, 3, 10 dan 11 Tahun 1950 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950

Nomor 58);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Aditif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 278, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5380);

193

6. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 188/MENKES/PB/I/2011 dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang

Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49);

7. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran

Udara (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009 Nomor 5);

8. Peraturan Gubernur DIY Nomor 42 Tahun 2009 tentang Kawasan Dilarang Merokok (Berita Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009 Nomor 42);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK.

BAB I KETENTUAN

UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Walikota ini yang dimaksud dengan:

1. Kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, sosial dan

budaya yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

2. Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek,

rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya atau

sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.

3. Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat KTR adalah tempat atau

ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk merokok,

memproduksi, menjual, dan mempromosikan rokok.

4. Tempat atau Gedung Tertutup adalah tempat atau ruang yang ditutup oleh

atap dan/atau dibatasi oleh satu dinding atau lebih terlepas dari material yang digunakan dengan struktur permanen atau sementara.

5. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk

menyelenggarakan upaya kesehatan, baik yang dimiliki dan/atau dikelola oleh pemerintah, swasta, masyarakat, dan/atau perorangan.

6. Tempat Proses Belajar-mengajar adalah tempat yang dimanfaatkan untuk

kegiatan belajar dan mengajar dan/atau pendidikan dan/atau pelatihan baik formal maupun non-formal.

7. Tempat anak bermain adalah tempat atau arena yang diperuntukkan untuk kegiatan anak-anak.

8. Tempat Ibadah adalah tempat yang digunakan untuk kegiatan keagamaan.

9. Angkutan Umum Penumpang adalah angkutan penumpang yang

menggunakan kendaraan umum dengan sistem membayar atau menyewa.

10. Tempat Kerja adalah setiap tempat atau gedung tertutup atau terbuka yang bergerak dan atau tidak bergerak yang digunakan untuk bekerja dengan mendapatkan kompensasi normal (gaji/upah) termasuk tempat

lain yang dilintasi oleh pekerja di Kawasan Tanpa Rokok.

194

11. Tempat Umum adalah semua tempat tertutup yang dapat diakses oleh

masyarakat umum dan/atau tempat yang dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat, terlepas dari kepemilikan atau hak untuk

menggunakan yang dikelola oleh negara, swasta, dan/atau masyarakat.

12. Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab kawasan tanpa rokok adalah

orang dan/atau badan hukum yang karena jabatannya memimpin atau bertanggung jawab atas kegiatan dan/atau sarana prasarana di kawasan

yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok, baik milik pemerintah maupun swasta.

13. Daerah adalah Kota Yogyakarta.

14. Pemerintah Daerah adalah Walikota berserta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

15. Walikota adalah Walikota Kota Yogyakarta.

Pasal 2

Maksud Penetapan Kawasan Tanpa Rokok adalah untuk memberikan jaminan perolehan lingkungan udara yang bersih dan sehat bagi masyarakat.

Pasal 3

Tujuan penetapan Kawasan Tanpa Rokok untuk:

a. memberikan perlindungan dari bahaya asap rokok bagi perokok aktif dan/atau perokok pasif;

b. memberikan ruang dan lingkungan yang bersih, sehat serta bebas dari asap rokok bagi masyarakat;

c. melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk merokok baik langsung maupun tidak langsung;

d. memenuhi rasa aman dan nyaman warga; dan

e. meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat.

BAB II KAWASAN TANPA

ROKOK

Pasal 4

Kawasan Tanpa Rokok meliputi:

a. fasilitas pelayanan kesehatan;

b. tempat proses belajar-mengajar;

c. tempat anak bermain;

d. tempat ibadah;

e. fasilitas olahraga;

f. angkutan umum;

g. tempat kerja; dan

h. tempat umum.

Pasal 5

Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a adalah:

a. rumah sakit;

b. klinik;

c. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas);

d. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu);

e. tempat praktek kesehatan;

f. apotek; dan

g. toko obat.

195

Pasal 6

Tempat belajar mengajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b

adalah:

a. sekolah;

b. perguruan tinggi;

c. balai pendidikan dan pelatihan;

d. balai latihan kerja;

e. tempat bimbingan belajar;

f. tempat kursus; dan

g. gedung dan kawasan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Pasal 7

Tempat anak bermain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c adalah:

a. area bermain anak; dan

b. tempat penitipan anak;

Pasal 8

Tempat ibadah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d adalah:

a. pura;

b. masjid/mushola;

c. gereja;

d. vihara; dan

e. klenteng.

Pasal 9

Fasilitas olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e adalah:

a. gedung olahraga;

b. kolam renang; dan

c. tempat senam;

Pasal 10

Angkutan umum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f adalah:

a. bus umum;

b. taksi;

c. kereta api; dan

d. kendaraan wisata,

e. angkutan anak sekolah; dan

f. angkutan karyawan.

Pasal 11

Tempat kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf g adalah:

a. kantor pemerintah;

b. kantor milik pribadi/swasta; dan

c. industri/pabrik.

Pasal 12

Tempat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf h adalah:

a. tempat wisata;

b. tempat hiburan;

c. hotel

d. restoran;

196

e. kantin;

f. halte;

g. terminal angkutan umum; dan

h. stasiun kereta api.

Pasal 13

(1) Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf g dan h menyediakan tempat

khusus merokok.

(2) Tempat khusus merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. merupakan ruang terbuka yang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik;

b. terpisah dari gedung utama dan ruang lain yang digunakan untuk beraktifitas;

c. jauh dari pintu masuk dan keluar; dan

d. jauh dari tempat orang berlalu-lalang.

BAB III KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB

Pasal 14

(1) Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan bertanggung jawab untuk melaksanakan

penetapan kawasan tanpa rokok.

(2) Satuan Kerja Perangkat Daerah berkewajiban menindaklanjuti penetapan kawasan tanpa rokok, dengan:

a. mengumpulkan data dan informasi tentang kawasan tanpa rokok di

Daerah;

b. melakukan pendidikan tentang bahaya rokok bagi masyarakat;

c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kawasan tanpa rokok; dan

d. melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kawasan tanpa rokok;

(3) Setiap pengelola Kawasan Tanpa Rokok wajib:

a. memasang papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok dengan memuat

tanda larangan merokok, larangan mengiklankan produk rokok dan larangan menjual produk rokok;

b. melakukan pengawasan internal pada tempat dan/atau lokasi yang menjadi tanggung jawabnya; dan

c. menghilangkan asbak di kawasan tanpa rokok

(4) Contoh Tanda larangan merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.

BAB IV LARANGAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 15

(1) Setiap orang dilarang merokok di Kawasan Tanpa Rokok.

(2) Setiap orang dan/atau badan dilarang menjual dan/atau membeli rokok di

Kawasan Tanpa Rokok.

197

(3) Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab kawasan tanpa rokok dilarang

membiarkan dan/atau mengizinkan merokok, memproduksi, menjual,

mempromosikan rokok dan menerima sponsor produk rokok.

(4) Setiap orang dilarang menjual rokok kepada anak dibawah usia 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 16

Setiap orang dilarang merokok di luar Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 apabila kawasan tersebut terdapat ibu hamil, anak- anak dan orang lanjut usia.

BAB V

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu Pembinaan

Pasal 17

(1) Walikota atau Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas

pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan melakukan pembinaan terhadap penataan dan pengelolaan Kawasan Tanpa Rokok.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. penyebarluasan informasi dan sosialisasi;

b. koordinasi dan bekerja sama dengan seluruh lembaga pemerintah dan non-pemerintah baik nasional maupun internasional.

c. memberikan pedoman pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok; dan

d. menindaklanjuti hasil monitoring dan evaluasi implementasi Kawasan

Tanpa Rokok;

Pasal 18

(1) Pembinaan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan dan SKPD lainnya.

(2) SKPD lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

a. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya dalam urusan pendidikan

melakukan pembinaan terhadap KTR tempat proses belajar mengajar dan tempat anak bermain dan/atau berkumpulnya anak-anak;

b. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya dalam urusan sosial melakukan

pembinaan terhadap KTR tempat ibadah;

c. SKPD yang tugas dan fungsinya dalam urusan perhubungan melakukan pembinaan terhadap KTR angkutan umum;

d. SKPD yang tugas dan fungsinya dalam urusan olahraga melakukan pembinaan terhadap KTR fasilitas olahraga;

e. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya dalam urusan ketenagakerjaan melakukan pembinaan KTR tempat kerja;

f. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya dalam urusan pariwisata

melakukan pembinaan KTR tempat pariwisata; dan

g. SKPD sebagai KTR melakukan pembinaan terhadap lingkungannnya.

(3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan

oleh Sekretaris Daerah.

198

Pasal 19

(1) Pembinaan pelaksanaan KTR dalam rangka pengembangan kemampuan

masyarakat untuk berperilaku hidup sehat.

(2) Pembinaan pelaksanaan KTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh SKPD sesuai bidang tugasnya dan/atau wewenangnya di bawah koordinasi Sekretaris Daerah.

Pasal 20

Pembinaan KTR dilaksanakan dengan :

a. bimbingan

b. penyuluhan;

c. pemberdayaan masyarakat; dan

d. menyiapkan petunjuk teknis.

Bagian Kedua Pengawasan

Pasal 21

(1) Walikota atau Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan dan SKPD lainnya bersama-

sama masyarakat, badan, lembaga dan/atau organisasi kemasyakatan melakukan pengawasan pelaksanaan KTR.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dibentuk Tim Pengawas KTR yang ditetapkan dengan Keputusan Walikota.

Pasal 22

(1) Pengawasan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

(2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaporkan oleh masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah setiap 3 (tiga) bulan sekali.

Pasal 23

(1) Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR wajib melakukan

inspeksi dan pengawasan di KTR yang menjadi tanggung jawabnya.

(2) Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR harus melaporkan hasil inspeksi dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada

SKPD terkait setiap 3 (tiga) bulan sekali.

Pasal 24

(1) SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan

dan SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan ketertiban berkoordinasi dengan SKPD lainnya melakukan inspeksi dan pengawasan di KTR.

(2) SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan selanjutnya melaporkan hasil inspeksi dan pengawasan kepada kepada Walikota.

Pasal 25

Pelaksanan pengawasan dan inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan

bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.

199

BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 26

(1) Partisipasi masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk:

a. memberi saran, pendapat, dan pemikiran, usulan dan pertimbangan

berkenaan dengan pemantauan dan pelaksanaan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok;

b. pemberian bimbingan dalam penyuluhan serta penyebarluasan

informasi kepada masyarakat tentang Kawasan Tanpa Rokok;

c. menetapkan lingkungan tanpa asap rokok di rumah dan lingkungan tempat tinggalnya;

d. melakukan pengadaan dan pemberian bantuan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok;

e. melaporkan setiap orang yang melanggar Pasal 15 kepada, pengelola, pimpinan dan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok; dan

f. mengingatkan setiap orang yang terbukti melanggar Pasal 16.

(2) Walikota atau Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan menyebarluaskan informasi

berkenaan dengan partisipasi masyarakat dalam penataan dan pengelolaan Kawasan Tanpa Rokok.

BAB VII

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 27

(1) Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR yang melanggar ketentuan Pasal 15, dikenakan sanksi berupa:

a. peringatan lisan;

b. peringatan tertulis;

c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau

d. pencabutan izin atau rekomendasi pencabutan izin sesuai dengan

kewenangan Pemerintah Daerah.

(2) Tata cara pemberian Sanksi Administratif di KTR:

a. tim pengawas KTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)

memberikan peringatan lisan kepada pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR;

b. apabila peringatan lisan tidak diindahkan selama 30 (tiga puluh) hari

kalender, maka tim pengawasan KTR memberikan peringatan tertulis

kepada pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR;

c. apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak peringatan

tertulis diterima, pimpinan atau penanggungjawab KTR belum memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam peringatan tertulis,

maka Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab kawasan tanpa rokok diberikan sanksi berupa penghentian sementara; dan

d. Setelah masa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada

huruf c berakhir dan pengelola, pimpinan, atau penanggungjawab KTR belum memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam peringatan tertulis, maka Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab kawasan

tanpa rokok diberikan sanksi berupa pencabutan izin

200

BAB VIII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 28

Peraturan Walikota ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan

Walikota ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kota Yogyakarta.

Ditetapkan di Yogyakarta

pada tanggal 2 Maret 2015

WALIKOTA YOGYAKARTA,

ttd

HARYADI SUYUTI

Diundangkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Maret 2015

SEKRETARIS DAERAH KOTA YOGYAKARTA,

ttd

TITIK SULASTRI

BERITA DAERAH KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2015 NOMOR 12

201

LAMPIRAN I KEPUTUSAN WALIKOTA YOGYAKARTA

NOMOR 12 TAHUN 2015

TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

TANDA LARANGAN MEROKOK

WALIKOTA YOGYAKARTA,

ttd

HARYADI SUYUTI

202

No.

Indikator

Ged. I

Ged. II

Ged. III

Ged. IV

Ged. V Sebutkan lokasi di dalam gedung yang diperiksa, seperti: lobi, ruang tunggu,

ruang kerja, restoran, bar,

ruang kelas, kamar kecil,

ruang tunggu pasien, ruang dokter, kamar hotel, dll)

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Tidak

1 Ditemukan orang merokok di dalam gedung

2 Ditemukan ruang khusus merokok di dalam gedung

3 Ditemukan tanda dilarang merokok di semua pintu masuk

4 Tercium bau asap rokok

5 Ditemukan asbak dan korek api di dalam gedung

6 Ditemukan puntung rokok di dalam gedung

7 Ditemukan indikasi kerjasama dengan Industri tembakau dalam bentuk sponsor, promosi, iklan rokok (misalnya: serbet, tatakan gelas, asbak, poster, spanduk, billboard, dll)

8 Ditemukan penjualan rokok di lingkungan gedung Kawasan Tanpa Rokok.

LAMPIRAN II KEPUTUSAN WALIKOTA YOGYAKARTA

NOMOR 12 TAHUN 2015

TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

FORMULIR ATAU LEMBAR PENGAWASAN KAWASAN TANPA ROKOK

Section A Nama

Formulir Pemantauan Wilayah KTR

Implementasi KTR 100%

Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor .... Tahun 2015

Logo Pemkot

Institusi : Nama Petugas Inspeksi:

Tanggal Kunjungan :

Waktu Kunjungan :

Section B

203

Section C

Pertanyaan untuk Pengelola Gedung:

Komentar tambahan oleh Petugas

Inspeksi Apakah anda tahu tentang kebijakan KTR di Kota Yogyakarta yang melarang orang merokok di

1 dalam gedung? Ya

2 Apakah anda mendukung dan melaksanakan kebijakan KTR di Kota Yogyakarta ? Ya

Apakah anda tahu bahwa Kebijakan KTR harus dilaksanakan oleh Pengelola 3 Gedung? Ya

Apakah anda tahu bahwa Pengelola Gedung akan terkena sanksi jika tidak melaksanakan 4 Kebijakan KTR? Ya

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

5

Kendala apa saja yang anda hadapi ketika melaksanakan

Kebijakan Kota Yogyakarta Bebas Rokok di lembaga anda? Tolong

sebutkan.

Solusi apa saja yang dapat dilakukan? Tolong sebutkan.

1

2

3

1

2

3

Section D Masukkan kepada Pengelola Gedung untuk perbaikan (Petugas Inspeksi harus langsung memberikan masukkan berdasarkan hasil inspeksi)

Petugas Inspeksi: Kepala Institusi/ Pimpinan Pengelola Gedung

Tandatangan: ( ) Tandatangan: ( )

Nama Nama

WALIKOTA YOGYAKARTA,

ttd

HARYADI SUYUTI