BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Hemorhoid adalah pelebaran pleksus hemorrhoidalis yang tidak merupakan
keadaan patologik. Hanya jika hemorhoid ini menimbulkan keluhan atau penyulit
sehingga diperlukan tindakan.[1]
Kata hemorrhoid berasal dari kata haemorrhoides (Yunani) yang berarti aliran
darah (haem = darah, rhoos = aliran) jadi dapat diartikan sebagai darah yang mengalir
keluar. Hemorhoid adalah pelebaran pleksus hemorrhoidalis yang tidak merupakan
keadaan patologik. Hanya jika hemorhoid ini menimbulkan keluhan atau penyulit
sehingga diperlukan tindakan. Hemoroid dapat menimbulkan gejala karena banyak
hal. Faktor yang memegang peranan kausal ialah mengedan pada waktu defekasi,
konstipasi menahun, kehamilan, dan obesitas.[1]
Insidensi hemoroid meningkat dengan bertambahnya usia. Mungkin sekurang-
kurangnya 50% orang yang berusia lebih dari 50 tahun menderita hemoroid dalam
berbagai derajat. Namun demikian tidak berarti penyakit ini hanya diderita oleh orang
tua saja. Hemoroid dapat mengenai segala usia, bahkan kadang-kadang dapat
dijumpai pada anak kecil. Walaupun hemoroid tidak mengancam keselamatan jiwa,
tetapi dapat menyebabkan perasaan yang tidak nyaman.[1]
Secara umum teknik anastesi dibagi menjadi 3 jenis anestesi yaitu anestesi
umum, anestesi regional dan anestesi lokal. Anastesi umum adalah suatu keadaan
tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh
tubuh akibat pemberian obat anestesi yang bersifat reversibel. [2]
Pada teknik anestesi regional atau disebut juga anestesi neuroaxial, dibagi
menjadi 3 macam teknik yaitu anestesi spinal, anestesi regional, dan anestesi kaudal.
Anestesi spinal adalah adalah anestesi regional yang dilakukan dengan cara
menyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang sub arakhnoid melalui pungsi
1
lumbal. Teknik anestesi spinal mempunyai keuntungan secara umum yaitu
terkontrolnya kesadaran pasien selama tindakan pembedahan berlangsung.[3]
Anestesi spinal (subarakhnoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. [4]
I.2 Anastesi dan Reanimasi
I.2.1 Definisi
Ilmu anastesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa
tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman, dan ilmu yang mempelajari
tata laksana untuk menjaga/mempertahankan hidup dan kehidupan pasien
selama operasi akibat obat anastesia dan mengembalikannya seperti keadaan
semula. [2]
I.2.2 Ruang Lingkup
Ruang lingkup ilmu anastesi dan reanimasi adalah penanggulangan
nyeri akut dan nyeri kronik ; usaha-usaha kedokteran gawat darurat ; usaha –
usaha kedokteran perioperatif. [2]
I.2.3 Langkah Baku
Berikut ini adalah langkah-langkah baku yang selalu dilakukan
sebelum memberikan pelayanan anastetik-analgesik sebelum dilakukan
pembedahanatau prosedur diagnostik: [2]
a. Evaluasi pre anastesi dan reanimasi
b. Persiapan pre anastesi dan reanimasi
2
c. Anastesi dan reanimasi : Induksi, pemeliharaan, dan pemulihan
d. Pasca anastesi
I.3 Anestesi Spinal
I.3.1 Definisi
Anestesi spinal juga dikenal sebagai subarachnoid anestesi adalah
bentuk anestesi lokal atau regional, yang melibatkan suntikan obat anestesi ke
dalam cairan cerebro spinal (CSF). di ruang subarachnoid Injeksi ini biasanya
disuntikan di daerah lumbal pada ruang L2 / 3 atau L3 / 4. [5]
CSF dari kanalis vertebralis menempati ruang (kedalaman 2-3mm)
sempit dimana terdapat medulla spinalis dan cauda equina, dan tertutup oleh
lapisan arakhnoid. Anestesi loKal yang disuntikkan, akan menyebar di CSF
ternpat penyuntikan kemudian mengikuti aliran CSF . Tahap berikutnya
mungkin menjadi yang paling penting, dan menyebar karena adanya interaksi
antara kepadatan dari kedua CSF dan solusi anestesi lokal di bawah pengaruh
gravitasi. Gravitasi akan 'diterapkan' melalui posisi pasien (telentang, duduk,
dll), dan, dalam posisi horizontal, oleh pengaruh kurva dari kanal tulang
belakang. [6]
I.3.2 Anatomi Vertebra
Tulang vertebral terdiri dari 33 tulang: 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal,
5 sacral, dan 4 coccygeal. Kolom vertebral biasanya berisi tiga kurva. Kurva
servikal dan lumbal adalah cembung anterior, dan kurva thoraks adalah
cembung posterior. [7]
Terdapat lima ligamen yang menyokong tulang belakang bersama-
sama, yaitu, ligamentum supraspinosus, ligamentum interspinosus,
ligamentum flavum, ligamentum anterior dan posterior. Ligamen
supraspinous menghubungkan akar dari prosesus spinosus dari vertebra
servikalis ketujuh (C7) ke sakrum. Ligamentum supraspinous dikenal sebagai
3
ligamentum nuchae di area di atas C7. Ligamen interspinous menghubungkan
antar prosesus spinosus. Ligamentum flavum, atau ligamen kuning,
menghubungkan lamina di atas dan bawah bersama-sama. Akhirnya, ligamen
membujur posterior dan anterior mengikat badan vertebra bersama-sama. [7]
GAMBAR 1. Anatomi Vertebra
I.3.3 Mekanisme Kerja Spinal Anestesi
Farmakokinetik anestesi lokal termasuk penyerapan dan eliminasi
obat. Empat faktor berperan dalam penyerapan anestesi lokal dari ruang
subarachnoid ke dalam jaringan saraf, (1) konsentrasi anestesi lokal di CSF,
(2) luas permukaan jaringan saraf terkena CSF, (3) lipid isi jaringan saraf, dan
(4) aliran darah ke jaringan saraf. [8]
Saraf-saraf pada medulla spinalis menyerap anestesi lokal yang
diinjeksi ke dalam ruang subarachnoid. Semakin luas permukaan saraf
terkena, semakin besar penyerapan anestesi local. Mekanisme kerja anestesi
local adalah dengan difusi dari CSF ke piameter dan ke medulla spinalis, yang
merupakan proses yang lambat. Hanya bagian paling dangkal dari sumsum
tulang belakang dipengaruhi oleh difusi anestesi lokal. [8]
Mekanisme kerja dari spinal anestesi, obat bekerja pada reseptor
spesifik pada saluran natrium (sodium channel), mencegah peningkatan
4
permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi
depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf.
Mekanisme utama aksi anestetik lokal adalah memblokade “voltage-gated
sodium channels”. Membrane akson saraf, membrane otot jantung, dan badan
sel saraf memiliki potensial istirahat -90 hingga -60 mV. Selama eksitasi,
lorong sodium terbuka, dan secara cepat berdepolarisasi hingga tercapai
potensial equilibrium sodium (+40 mV). Akibat dari depolarisasi, lorong
sodium menutup (inaktif) dan lorong potassium terbuka. Aliran sebelah luar
dari repolarisasi potassium mencapai potensial equilibrium potassium (kira-
kira -95 mV). Repolarisasi mngembalikan lorong sodium ke fase istirahat.
Gradient ionic transmembran dipelihara oleh pompa sodium. Fluks ionic ini
sama halnya pada otot jantung, dan dan anestetik local memiliki efek yang
sama di dalam jaringan. [8]
Fungsi sodium channel bisa diganggu oleh beberapa cara. Toksin
biologi seperti batrachotoxin, aconitine, veratridine, dan beberapa venom
kalajengking berikatan pada reseptor diantara lorong dan mencegah
inaktivasi. Akibatnya terjadi pemanjangan influx sodium melalui lorong dan
depolarisasi dari potensial istirahat. Tetrodotoxin (TTX) dan saxitoxin
memblok lorong sodium dengn berikatan kepada chanel reseptor di dekat
permukan extracellular. Serabut saraf secara signifikan berpengaruh
terhadap blockade obat anestesi local sesuai ukuran dan derajat mielinisasi
saraf. Aplikasi langsung anestetik lokal pada akar saraf, serat B dan C yang
kecil diblok pertama, diikuti oleh sensasi lainnya, dan fungsi motorik yang
terakhir diblok. [8]
I.3.4 Teknik Anastesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di
atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan
posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
5
menyebabkan menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan
anestesi spinal adalah sebagai berikut : [8]
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga supaya tulang
belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar processus
spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.
Gambar 2. Teknik Spinal Anastesi
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-
3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
6
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor
tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia
spinal kontinyu dapat dimasukan kateter. Posisi duduk sering dikerjakan
untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik
hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.
1.3.5 Indikasi Anestesi Spinal
Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk
pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila
mammae ke bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki. [8]
I.3.6 Kontra Indikasi Anestesi Spinal
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat
suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati,
dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor
cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan
(misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama
operasi yang tidak diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat
terapi antibiotik dan tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat
dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus
7
memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang
dapat meningkatkan risiko meningitis.[8]
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi
setelah pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat
meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui
jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal,
herniasi otak dapat terjadi.[8]
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan resiko pembentukan hematoma,
hal ini penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi sebelum melakukan induksi anestesi spinal. Jika durasi
operasi tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup
panjang untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi
membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan,
penambahan terapi spinal seperti epinefrin dan apakah kateter spinal akan
diperlukan.[8]
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi diatas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang
belakang sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit
neurologis seperti multiple sclerosis masih kontroversial karena dalam
percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap
toksisitas obat bius lokal.[8]
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin
menggabungkan pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati, dalam
perawatan anestesi mereka deformitas dari kolumna spinalis dapat
meningkatkan kesulitan dalam menempatkan anestesi spinal. Arthritis,
kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal dalam kemampuan dokter anestesi
8
untuk performa anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali
pasien untuk menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba
anestesi spinal.[8]
I.4 Hemorhoid
I.4.1 Definisi Hemorhoid
Hemorhoid adalah pelebaran pleksus hemorrhoidalis yang tidak
merupakan keadaan patologik. Hanya jika hemorhoid ini menimbulkan
keluhan atau penyulit sehingga diperlukan tindakan. Kata hemorrhoid berasal
dari kata haemorrhoides (Yunani) yang berarti aliran darah (haem = darah,
rhoos = aliran) jadi dapat diartikan sebagai darah yang mengalir keluar.
Hemorhoid adalah pelebaran pleksus hemorrhoidalis yang tidak merupakan
keadaan patologik. Hanya jika hemorhoid ini menimbulkan keluhan atau
penyulit sehingga diperlukan tindakan. Hemoroid dapat menimbulkan gejala
karena banyak hal. Faktor yang memegang peranan kausal ialah mengedan
pada waktu defekasi, konstipasi menahun, kehamilan, dan obesitas. [1]
I.4.2 Anatomi
Canalis ani panjangnya sekitar 4 cm dan berjalan ke bawah dan
belakang dari ampulla recti ke anus. Kecuali defekasi, dinding lateralnya
tetap teraposisi oleh m.levator ani dan sphincter ani. [9]
Canalis ani dibatasi pada bagian posterior oleh corpus anococcygeale,
yang merupakan massa jaringan fibrosa yang terletak antara canalis ani dan os
coccygis. Di lateral di batasi oleh fossa ischiorectalis yang terisi lemak. Pada
pria, di anterior dibatasi oleh corpus perineale, diafragma urogenitalis, urethra
pars membranacea, dan bulbus penis. Pada wanita, di anterior dibatasi oleh
corpus perineale, diafragma urogenitalis dan bagian bawah vagina.[9]
9
Bantalan hemoroid adalah jaringan normal dalam saluran anus dan
rectum distal Untuk fungsi kehidupan bersosial yang normal dapat berfungsi
sebagai Fungsi kontinens yaitu menahan pasase abnormal gas, feses cair dan
feses padat Fungsi lainnya adalah efektif sebagai katup kenyal yang
“watertight”[9]
Bantalan vaskuler arterio-venous, matriks jar. ikat dan otot polos.
Bantalan hemoroid normal terfiksasi pada jaringan fibroelastik dan otot polos
dibawahnya. Hemoroid interna dan eksterna saling berhubungan, terpisah
linea dentate.[9]
Jaringan hemorrhoid mengandung struktur arterio-venous fistula yang
dindingnya tidak mengandung otot, jadi pembuluh darah tersebut adalah
sinusoid, bukan vena
Gambar 3.Bantalan hemorrhoid (dari www.hemorrhoid.net)
10
Mukosa paruh atas canalis ani berasal dari ektoderm usus belakang
(hind gut). Gambaran anatomi yang penting adalah : [9]
1. Dibatasi oleh epitel selapis thoraks.
2. Mempuyai lipatan vertikal yang dinamakan collum analis yang
dihubungkan satu sama lain pada ujung bawahnya oleh plica semilunaris
yang dinamakan valvula analis (sisa membran proctedeum.
3. Persarafannya sama seperti mukosa rectum dan berasal dari saraf otonom
pleksus hypogastricus. Mukosanya hanya peka terhadap regangan.
4. Arteri yang memasok adalah arteri yang memasok usus belakang, yaitu
arteri rectalis superior, suatu cabang dari arteri mesenterica inferior.
Aliran darah vena terutama oleh vena rectalis superior, suatu cabang v.
Mesenterica inerior.
5. Aliran cairan limfe terutama ke atas sepanjang arteri rectalis superior
menuju nodi lympatici para rectalis dan akhirnya ke nodi lympatici
mesenterica inferior.
Mukosa paruh bawah canalis ani berasal dari ektoderm proctodeum
dengan struktur sebagai berikut :
1. Dibatasi oleh epitel berlapis gepeng yang lambat laun bergabung pada
anus dengan epidermis perianal.
2. Tidak mempunyai collum analis
3. Persarafan berasal dari saraf somatis n. rectalis inferior sehingga peka
terhadap nyeri, suhu, raba, dan tekan.
4. Arteri yang memasok adalah a. rectalis inferior, suatu cabang a. pudenda
interna. Aliran vena oleh v. rectalis inferior, muara dari v. pudenda
interna, yang mengalirkan darah vena ke v. iliaca interna.
5. Aliran cairan limfe ke bawah menuju nodi lympatici inguinalis
superficialis medialis.
11
Selubung otot sangat berkembang seperti pada bagian saluran cerna,
dibagi menjadi lapisan otot lar logitudinal dan lapisan dalam sirkular. Lapisan
sirkular pada ujung atas canalis ani menebal membentuk spincter ani internus
involunter. Sphincter internus diliputi oleh lapisan otot bercorak yang
membentuk sphincter ani ekstenus volunter.[9]
Gambar 4. Skema Penampang Memanjang Anus (www.hemorrhoid.net)
Pada perbatasan antara rectum dan canalis ani, penggabungan spincter
ani internus dengan pars profunda sphincter ani eksternus dan m. Puborectalis
memebentuk cincin yang nyata yan teraba pada pemeriksaaan rectum,
dinamakan cincin anorectal.[9]
I.4.3 Patofisiologi Hemoroid
Kebiasaan mengedan lama dan berlangsung kronik merupakan salah
satu risiko untuk terjadinya hemorrhoid. Peninggian tekanan saluran anus
sewaktu beristirahat akan menurunkan venous return sehingga vena membesar
dan merusak jar. ikat penunjang Kejadian hemorrhoid diduga berhubungan
dengan faktor endokrin dan usia.
Hubungan terjadinya hemorrhoid dengan seringnya seseorang
mengalami konstipasi, feses yang keras, multipara, riwayat hipertensi dan
12
kondisi yang menyebabkan vena-vena dilatasi hubungannya dengan kejadian
hemmorhoid masih belum jelas hubungannya.[9]
Hemorhoid interna yang merupakan pelebaran cabang-cabang v.
rectalis superior (v. hemoroidalis) dan diliputi oleh mukosa. Cabang vena
yang terletak pada colllum analis posisi jam 3,7, dan 11 bila dilihat saat paien
dalam posisi litotomi mudah sekali menjadi varises. Penyebab hemoroid
interna diduga kelemahan kongenital dinding vena karena sering ditemukan
pada anggota keluarga yang sama. Vena rectalis superior merupakan bagian
paling bergantung pada sirkulasi portal dan tidak berkatup. Jadi berat kolom
darah vena paling besar pada vena yang terletak pada paruh atas canalis ani.
Disini jaringan ikat longgar submukosa sedikit memberi penyokong pada
dinding vena. Selanjutnya aliran balik darah vena dihambat oleh kontraksi
lapisan otot dinding rectum selama defekasi. Konstipasi kronik yang dikaitkan
dengan mengedan yang lama merupakan faktor predisposisi. Hemoroid
kehamilan sering terjadi akibat penekanan vena rectalis superior oleh uterus
gravid. Hipertensi portal akibat sirosis hati juga dapat menyebabkan
hemoroid. Kemungkinan kanker rectum juga menghambat vena rectalis
superior.[9]
Hemoroid eksterna adalah pelebaran cabang-cabang vena rectalis
(hemorroidalis) inferior waktu vena ini berjalan ke lateral dari pinggir anus.
Hemorroid ini diliputi kulit dan sering dikaitkan dengan hemorroid interna
yang sudah ada. Keadaan klinik yang lebih penting adalah ruptura cabang-
cabang v. rectalis inferior sebagai akibat batuk atau mengedan, disertai adanya
bekuan darah kecil pada jaringan submukosa dekat anus. Pembengkakan kecil
berwarna biru ini dinamakan hematoma perianal.[9]
Kedua pleksus hemoroid, internus dan eksternus, saling berhubungan
secara longgar dan merupakan awal dari aliran vena yang kembali bermula
dari rectum sebelah bawah dan anus. Pleksus hemoroid intern mengalirkan
13
darah ke v. hemoroid superior dan selanjutnya ke vena porta. Pleksus
hemoroid eksternus mengalirkan darah ke peredaran sistemik melalui daerah
perineum dan lipat paha ke daerah v. Iliaka.[9]
I.4.4 Tipe Hemorrhoid
Hemoroid dibedakan atas hemorrhoid interna dan eksterna.
Gambar 5 Derajat Pada Hemorrhoid Interna
Klasifikasi Tingkat Penyakit Hemoroid (IH=Internal Hemoroid,
EH=External Hemoroid, AC=Anal Canal, AT=Anchoring Tisue, PL=Pecten
Ligamen. Hemoroid Tingkat III dan IV, Pleksus Hemoroid berada diluar anal
kanal.
14
Tingkat I I Tingkat II I Tingkat III Tingkat IV
Tabel I
Klasifikasi Hemorrhoid Interna
Classification Treatment Options
1st Degree – No rectal prolapse Diet
Local & general drugs
Sclerotherapy
Infrared coagulation
2nd Degree – Rectal prolapse is
spontaneously reducible
Sclerotherapy
Infrared coagulation
Banding [recurring banding may
require Procedure for Prolapse
and Hemorrhoids (PPH)]
3rd Degree – Rectal prolapse is manually
reducible
Banding
Hemorrhoidectomy
Procedure for Prolapse and
Hemorrhoids (PPH)
4th Degree – Rectal prolapse irreducible Hemorrhoidectomy
Procedure for Prolapse and
Hemorrhoids (PPH)
Dikutip dari : ethicon-endo surgery , www.pph.com 2007
15
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas
Nama : Tn. S
Usia : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Alamat : Sumberjo, Dawung, Sragen
Stastus Pernikahan : Menikah
Tanggal masuk : 13-08-2013
Anamnesis dilakukan : 16-08-2013 pukul 04.00
II. Keluhan Utama
Keluar benjolan dari anus
III. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan keluar benjolan dari anus yang besar lebih
besar daripada biasanya, pada saat buang air besar malam sebelum pasien
dibawa ke RSUD Sragen. Benjolan tersebut tidak dapat dimasukkan
kembali kedalam anus, terasa perih, panas dan pasien mengeluhkan tidak
dapat duduk karena ada benjolan tersebut. Pasien merasa sangat terganggu
karena benjolan tersebut menyebabkan keluarnya kotoran dari anus dan
merembes di celana pasien. Pasien belum mengobati keluhan tersebut
dengan apapun. Kemudian pagi harinya pasien langsung dibawa ke RSUD
Sragen
IV. Riwayat Penyakit Dahulu
Sejak 2 tahun yang lalu pasien mengeluhkan ada benjolan kecil yang
keluar pada saat buang air besar dan masih dapat di masukan. Hal tersebut
berlangsung selama 2 tahun dan tidak pernah diperiksakan maupun
16
mengkonsumsi obat untuk mengobati keluhannya dikarenakan merasa
tidak mampu.
V. Riwayat Penyakit Keluarga
Dari keluarga tidak terdapat riwayat keluhan maupun penyakit yang sama.
VI. Kebiasaan dan Lingkungan
Pasien memiliki kebiasaan makan teratur tiga kali sehari, namun jarang
makan makanan yang berserat seperti sayuran dan buah buahan. Dan pada
saat buang air besar suka mengejan keras sampai berkeringat bahkan
sampai merasa pusing.
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada 14 Agustus 2013
Keadaan Umum : Compos Mentis
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 85 x/menit
Suhu : 36,4C
Pernafasan : 20 x/menit
Status Generalisa. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis,
turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik
dan teraba hangat.
b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma
c. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik
d. Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas
2) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran
kelenjar tiroid.
17
i. Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a) Auskultasi : S1 S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan
murmur.
2) Paru
a) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua
pulmo. Tidak terdengar suara wheezing
j. Pemeriksaan Abdomen
a) Auskultasi : Terdengar suara bising usus
k. Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
Turgor kulit cukup, akral hangat
A. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan 13-08-2013 Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 12,7 11,5-15,5 g/dL
Leukosit 8.90 4800-10800/L
Hematokrit 38,6 35-45%
Eritrosit 5,00x106 4,0-4,2x106/
Trombosit 359000 150000-450000/L
MCV 77,1 80,0-99,0 fl
MCH 25,4 27,0-31,0 pg
MCHC 32,9 33,0-37,0 %
18
RDW 14,2 11,5-14,5 %
MPV 8,2 7,2-14,1 fl
CT 2.00 1-3 menit
BT 2.00 1-6 menit
Gol. Darah B
Kimia Klinik
SGOT 12 < 31 U/L
SGPT 9 < 32 U/L
Ureum 28,3 10-50 mg/dL
Creatinin 0,91 0,60-0,90 mg/dL
GDS 105 ≤ 200 mg/dL
Seroimmunologi
HbsAg Negatif Negatif
PEMERIKSAAN ECG
Normal ECG
B. KESAN ANESTESI
Laki-laki 60 tahun menderita hemoroid interna stadium 3 dengan ASA
C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien yaitu:
19
a. Intravena Fluid Drip(IVFD) RL 20 tpm saat di bangsal, kemudian diganti dengan
cairan koloid Fima-Hes 150 tpm di ruang operasi.
b. Informed Consent Operasi
c. Konsultasi kepada Bagian Anastesi
d. Informed Consent Pembiusan
Dilakukan operasi dengan spinal anastesi dengan status ASA I
D. Kesimpulan
ACC ASA I
E. Laporan Anastesi
1. Diagnosis Pra Bedah
Hemoroid
2. Diagnosis Pasca Bedah
Hemoroid Interna
3. Penatalaksanaan Pre-Operasi
4. Penatalaksanaan Anastesi
a. Jenis Pembedahan : Henoroidektomi
b.Jenis Anastesi : Regional Anastesi
c.Teknik Anastesi : Spinal Anastesi
d.Mulai Anastesi : 16 Agustus 2013, pukul 09.50 WIB
e.Mulai Operasi : 16 Agustus 2013, pukul 09.55 WIB
f. Premedikasi : Cedantron 1 amp (4mg)
g.Induksi : Bunascan (Bupivacaine)1 amp (5mg)
h.Intubasi : -
i. Medikasi Tambahan : -
j. Maintanance : O2
k.Relaksasi : -
l. Respirasi : Spontan Respirasi
m. Posisi : Supine
20
n.Cairan Durante Operasi : Fima-Hes 500ml
o.Pemantauan HR : terlampir
p.Selesai Operasi : 10.40
Tanggal 16 Agustus 2013 pukul 09.40, Tn. S , 60 tahun tiba di ruang operasi
dengan terpasang infus RL 20 tpm. Dilakukan pemasangan manset dan pemasangan
pulse oxymetri dengan tekanan 125/72 mmHg, nadi 70x/menit, dan SpO2 99%.
Pukul 09.50 diberikan premedikasi dengan injeksi Cedantron 4mg secara intravena.
Setelah itu dilakukan induksi dengan injeksi Bunascan(bupivacaine 0.5%) 1 ampul
secara intratekal. Setelah itu dipasang kanul nasal Oksigen untuk pemeliharaan
respirasi dan jugan menunggu kerja dari Bunascan.
Setelah pasien terinduksi dengan tanda-tanda seperti kesemutan, kaki terasa
berat dan tidak bisa digerakkan, maka operasi dapat dimulai. Selama operasi
berlangsung, nadi, tekanan darah, dan saturasi oksigen dimonitor setiap 5 menit,
dengan hasil:
Jam 09.45 :TD 125/72 mmHg, nadi 70x/menit, SpO2 99%
Jam 09.50 :TD 125/70 mmHg, nadi 70x/menit, SpO2 99%
Jam 09.55 :TD 120/71 mmHg, nadi 77x/menit, SpO2 99%
Jam 10.00 :TD 90/62 mmHg, nadi 75x/menit, SpO2 99%
Jam 10.05 :TD 100/65 mmHg, nadi 68x/menit, SpO2 98%
Jam 10.10 :TD 105/68 mmHg, nadi 80x/menit, SpO2 99%
Jam 10.15 :TD 118/73mmHg, nadi 70x/menit, SpO2 99%
Jam 10.20 :TD 80/42 mmHg, nadi 67x/menit, SpO2 100%
Jam 10.25 :TD 90/68 mmHg, nadi 68x/menit, SpO2 99%
Jam 10.30 :TD 105/68 mmHg, nadi 68x/menit, SpO2 99%
Jam 10.35 :TD 111/68 mmHg, nadi 61x/menit, SpO2 98%
Jam 10.40 :TD 113/62 mmHg, nadi 68x/menit, SpO2 99%
21
Perdaraham yang keluar adalah sekitar ±75ml. Pembedahan berlangsung
sekitar 45 menit dengan IVFD FimaHes 150tpm. Setelah operasi pasien dipindahkan
dari ruang operasi ke recovery room. Didalam recovery room, pasien diberikan
oksigen 1 liter/menit dan infus RL dengan jumlah tetesan 20tpm. Selain itu dilakukan
penilaian terhadap ALDRETE score. Dilakukan pemantauan keadaan umum, tingkat
kesadaran, vital sign menggunakan ALDRETE score, yaitu :
1. Aktivitas : mampu bergerak sesuai perintah 2
2. Respirasi : mampu bernapas dalam dan batuk 2
3. Sirkulasi : TD±20-50% 1
4. Kesadaran : Sadar penuh 2
5. Warna kulit : kulit kemerahan 2
Total skor ALDRETE = 9 maka pasien dapat keluar dari recovery room(RR).
Injeksi Ketorolac 30mg diberikan per-8jam, jam pertama di ruang operasi, diteruskan
jam kedua dan ketiga di ruang perawatan.
BAB III
22
PEMBAHASAN
Pasien dengan nama Tn. S berusia 60 tahun datang ke RSUD Sragen dengan
keluhan utama keluar benjolan dari anus. Benjolan tersebut muncul pada saat buang
air besar dan tidak dapat dikembalikan lagi ke dalam. Setelah melalui pemeriksaan
lebih lanjut diperoleh diagnosa yaitu hemoroid. Tn. S direncanakan operasi
hemoroidektomi. Sebelum dilakukan operasi maka direncanakan laboratorium dan
pemeriksaan EKG. Hasil dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan pada angka
MCV 77,1 dan angka MCH 25,4, dan angka kreatinin sebesar 0,91.
Dari bidang anastesi yang akan melakukan pembiusan untuk memberikan rasa
nyaman pada pasien selama operasi, diputuskan untuk dilakukan regional anastesi
dengan tekhnik spinal anastesi dengan alasan lokasi pembedahan adalah pada bagian
anus. Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan
daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke
bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian
bawah (termasuk seksio sesaria), perineum, anus dan kaki. 8
Anestesi spinal merupakan salah satu tehnik anestesi dengan menyuntikan
sejumlah obat lokal anestesi ke dalam ruang subarachnoid. Tehnik ini mempunyai
onset yang cepat, tingkat keberhasilan yang tinggi, simpel, efektif, dan relatif mudah
dilakukan. Tetapi selain itu, anestesi spinal juga memiliki beberapa komplikasi yang
sering terjadi, diantaranya efek terhadap hemodinamik yaitu hipotensi. 3
Komplikasi hemodinamik pada anestesi spinal yang paling sering terjadi adalah
hipotensi. Hal ini merupakan perubahan fisiologis yang sering terjadi pada anestesi
spinal. Insidensi kejadian hipotensi pada anestesi spinal mencapai 8 – 33 %. Dan
dalam penelitiannya, Scott, 1991., menyebutkan bahwa pada 11.000 kasus yang
dilakukan anestesi spinal, 38 % diantaranya mengalami hipotensi. Penyebab utama
dari terjadinya hipoten si pada anestesi spinal adalah blokade simpatis. Dimana
derajat hipotensi berhubungan dengan tingkat penyebaran obat anestesi lokal. Level
blok yang hanya mencapai sacral maupun lumbal biasanya hanya sedikit ataupun
23
tidak berpengaruh terhadap tekanan darah, dibandingkan dengan level blok yang
lebih tinggi.11
Mengingat frekuensi kejadian hipotensi yang ada pada anestesi spinal, maka
perlu dilakukan pemantauan tekanan dareah secara intensif dan berkala. Pemantauan
tekanan darah dilakukan tiap lima menit menggunakan pemasangan pulse oxymetri.
Pada pasien didapatkan penurunan tekanan darah pada 5 menit ke 4, 8, dan 9, yaitu
pada 5 menit ke 4 tekanan darah adalah 90/62 mmHg, 5 menit ke 8 adalah 80/42
mmHg, dan 5 menit ke 9 adalah 90/68 mmHg.
Faktor-faktor pada anestesi spinal yang mempengaruhi terjadinya hipotensi :
1. Ketinggian blok simpatis
Hipotensi selama anestesi spinal dihubungkan dengan meluasnya blokade
simpatis dimana mempengaruhi tahanan vaskuler perifer dan curah jantung.
Blokade simpatis yang terbatas pada rongga thorax tengah atau lebih rendah
menyebabkan vasodilatasi anggota gerak bawah dengan kompensasi
vasokonstriksi pada anggota gerak atas atau dengan kata lain vasokonstriksi yang
terjadi diatas level dari blok, diharapkan dapat mengkompensasi terjadinya
vasodilatasi yang terjadi dibawah level blok.11
Pada beberapa penelitian dikatakan efek terhadap kardiovaskuler lebih
minimal pada blok yang terjadi dibawah T5.3
2. Posisi Pasien
Kontrol simpatis pada sistem vena sangat penting dalam memelihara venous
return dan karenanya kardiovaskuler memelihara homeostasis selama perubahan
postural. Vena-vena mempunyai tekanan darah dan berisi sebagian besar darah
sirkulasi (70%). Blokade simpatis pada anestesi spinal menyebabkan hilangnya
fungsi kontrol dan venous return menjadi terg antung pada gravitasi. Jika anggota
gerak bawah lebih rendah dari atrium kanan, vena-vena dilatasi, terjadi sequestering
volume darah yang banyak (pooling vena). Penurunan venous return dan curah
24
jantung bersama-sama dengan penurunan tahanan perifer dapat menyebabkan
hipotensi yang berat. Hipotensi pada anestesi spinal sangat dipengaruhi oleh posisi
pasien. Pasien dengan posisi head-up akan cenderung terjadi hipotensi diakibatkan
oleh venous pooling. Oleh karena itu pasien sebaiknya pada posisi slight head-down
selama anestesi spinal untuk mempertahankan venous return.13
3. Faktor Agent Anestesi Spinal
Derajat hipotensi tergantung juga pada agent anestesi spinal. Pada level
anestesi yang sama, bupivacaine mengakibatkan hipotensi yang lebih kecil
dibandingkan tetracaine. Hal ini mungkin disebabkan karena blokade serabut-
serabut simpatis yang lebih besar dengan tetracain di banding bupivacaine. Barisitas
agent anestesi juga dapat berpengaruh terhadap hipotensi selama anestesi spinal.
Agent tetracaine maupun bupivacaine yang hiperbarik dapat lebih menyebabkan
hipotensi dibandingkan dengan agent yang isobarik ataupun hipobarik. Hal ini
dihubungkan dengan perbedaan level blok sensoris dan simpatis. Dimana agent
hiperbarik menyebar lebih jauh daripada agent isobarik maupun hipobarik sehingga
menyebabkan blokade simpatis yang lebih tinggi.12
4. Adapun beberapa faktor resiko lain terjadinya hipotensi pada anestesi spinal,
diantaranya adalah hipertensi preoperatif, usia lebih dari 40 th, obesitas, kombinasi
general anestesi dan regional anestesi, alkoholisme yang kronis, dan tekanan darah
baseline kurang dari 120 mmHg. 11
TINDAKAN PENCEGAHAN
25
Tindakan pencegahan terjadinya hipotensi pada pemberian anastesi spinal bisa
dilakukan dengan cara pemberian preloading dengan 1 – 2 liter cairan intravena
(kristaloid atau koloid) sudah secara luas dilakukan untuk mencegah hipotensi pada
anestesi spinal. Pemberian cairan tersebut secara rasional untuk meningkatkan
volume sirkulasi darah dalam rangka mengkompensasi penurunan resistensi perifer.13
Kleinman dan Mikhail mengatakan hipotensi akibat efek kardiovaskuler dari
anestesi spinal dapat diantisipasi dengan loading 10 – 20 ml/kg cairan intravena
(kristaloid atau koloid) pada pasien sehat akan dapat mengkompensasi terjadinya
venous pooling.14
Pada beberapa penelitian yang lain dikatakan bahwa preloading cairan
intravena pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal adalah tidak efektif. Coe et
al. dalam penelitiannya mengatakan bahwa prehidrasi pada pasien yang akan
dilakukan anestesi spinal tidak mempunyai efek yang signifikan dalam mencegah
terjadinya hipotensi. Hal ini juga dibenarkan oleh Buggy et al. Berbeda dengan Arndt
et al. dia mengatakan bahwa prehidrasi dapat secara signifikan menurunkan insidensi
terjadinya hipotensi, namun hanya dalam waktu 15 menit pertama setelah dilakukan
anestesi spinal.11
Salinas mengatakan bahwa penurunan tekanan darah dapat dicegah dengan
pemberian preloading cairan kristaloid. Namun hal ini tergantung dari waktu
pemberian cairan tersebut. Dia mengatakan pemberian 20 ml/kg ringer laktat (RL)
sesaat setelah dilakukan anestesi spinal dapat secara efektif menurunkan frekuensi
terjadinya hipotensi, bila dibandingkan dengan preloading 20 menit atau lebih
sebelum dilakukan anestesi spinal.3
Mojica, et.al., pada penelitiannya menilai efektivitas pemberian RL 20 cc/kg 20
menit sebelum dilakukan anestesi spinal dengan pemberian RL 20 cc/kg pada saat
dilakukan anestesi spinal. Penelitian tersebut membandingkan kedua cara diatas
dengan pemberian placebo (RL 1 – 2 cc/min). Dan didapatkan hasil bahwa pemberian
kristaloid sebelum dilakukan anestesi spinal tidak menurunkan insidensi terjadinya
26
hipotensi yang dibandingkan dengan pemberian placebo. Hal ini disebabkan oleh
karena waktu paruh kristaloid yang pendek, dimana saat mulai terjadinya hipotensi,
kristaloid sudah mulai berdifusi ke ruang interstitial, sehingga tidak dapat
mempertahankan venous return dan curah jantung. Berbeda dengan pemberian
kristaloid saat dilakukan anestesi spinal, ternyata cara ini lebih efektif dalam
menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, karena dengan cara ini kristaloid masih
dapat memberikan volume intravaskuler tambahan (additional fluid) untuk
mempertahankan venous return dan curah jantung. 15
Algoritme penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal :12
1. Pada pasien sehat
Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih, dilakukan
loading cairan kristaloid 500 – 1000 ml dengan mempertimbangkan diberikan
vasopresor, bila laju nadi sekitar 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 5 – 10
mg IV, dan bila laju nadi sekitar 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 50 –
100 mcg IV, pemberian vasopresor tersebut dapat diulang setiap 2 – 3 mnt bila
perlu sampai tekanan darah kembali normal. Perlu dipertimbangkan juga untuk
mengubah posisi menjadi trendelenburg.
2. Pada pasien dengan adanya penyakit jantung dan kardiovaskuler serta penyakit di
susunan saraf pusat
Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih dan ditemukan
adanya gejala seperti nausea vomitus, nyeri dada, dsb.
Dengan laju nadi 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 10 – 20 mg IV, jika tidak
ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan epinephrine 8 – 16
mg IV atau infus titrasi epinephrine 0.15 – 0.3 mcg/kg/min.
Dengan laju nadi 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 100 – 200 mcg IV,
jika tidak ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan infus
27
titrasi phenylephrine 0.15 – 0.75 mcg/kg/min atau infus titrasi norepinephrine
0.01 – 0.1 mcg/kg/min.
EFEK MENGIGIL PADA ANASTESI
Menggigil pada tindakan anestesia merupakan komplikasi yang umum
dijumpai pada anestesia modern. Mekanisme terjadinya menggigil pada anestesia
umum dan neuraksial hampir sama, yaitu terjadinya redistribusi panas tubuh dari
kompartemen inti ke kompartemen perifer. Post Anesthetic Shivering (PAS) atau
menggigil pasca-anestesia Post anestesia spinal dan menurunkan kejadian dari
menggigil terjadi pada 5-65% pasien yang menjalani anestesi umum dan lebih kurang
33-56,7% pasien dengan anestesia antinosiseptif yang dimiliki pada korda spinalis
dengan regional.
Gangguan pengaturan suhu pada anestesia spinal lebih berat terjadi
dibandingkan anestesia epidural. Efek vasodilatasi perifer pada anestesia spinal
menyebabkan terjadinya perpindahan panas dari kompartemen sentral menuju
28
kompartemen perifer sehingga menyebabkan hipotermi . Ketinggian blok spinal yang
tercapai berhubungan langsung dengan ambang mengigil pasien sehingga semakin
tinggi blok yang dihasilkan maka ambang menggigil pasien akan semakin
rendahMenggigil pasca-anestesia merupakan mekanisme kompensasi tubuh yang
dapat juga menimbulkan efek samping yang merugikan .
Menggigil pasca-anestesia dapat menyebabkan hal yang merugikan
metabolisme tubuh, yaitu meningkatkan produksi CO2 300-500% dan konsumsi O2
sampai dengan 200-400%, yang diikuti dengan meningkatnya ventilasi semenit,
pelepasan katekolamin, peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan curah jantung.
Keadaan tersebut menyebabkan nyeri pada luka operasi, peningkatan tekanan
intrakranial, peningkatan tekanan i nt ra o ku l e r d a n b a h ka n s e b a g i a n
b e s a r p a s i e n mengemukakan bahwa pengalaman menggigil yang mereka alami
jauh lebih buruk daripada nyeri pada luka operasi. Hal tersebut harus dihindari
terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau dengan cadangan ventilasi
yang terbatas (6). Menggigil pasca-anestesi dapat diatasi dengan beberapa cara atau
pendekatan. Pendekatan yang ditempuh dapat berupa non-farmakologis menggunakan
konduksi panas yang dapat meningkatkan toleransi terhadap sistem regulasi tubuh
terhadap hipotermia atau dapat juga menggunakan pendekatan farmakologis dengan
obat- obatan. Obat yang sering dipakai untuk mengatasi menggigil antara lain adalah
pethidin, klonidin, dan tramadol. Obat-obat lain yang juga dapat digunakan untuk
menurunkan atau mengurangi kejadian menggigil diantaranya ondansetron,
neostigmin, dan fentanyl
29
BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilakukan operasi hemoroidektomi pada pasien hemoroid interna
dengan teknik anestesi spinal pada seorang pria berumur 60 tahun dengan berat badan
50 kg, yang didiagnosis menderita hemoroid interna. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tanda vital dengan tekanan darah 120/80mmHg, denyut nadi 85x/menit,
respirasi 28x/menit, dan suhu 36,40C. Pada pemantauan tekanan darah didapatkan
penurunan tekanan darah pada menit ke 4, 8, dan 9 yaitu berturut turut 90/62 mmHg,
80/42 mmHg, dan 90/68 mmHg.
Untuk mencegah terjadinya hipotensi pada anastesi spinal perlu dilakukan
prevensi praoperatif, pengamatan durante operasi, dan terapi hipotensi jika hipotensi
menjadi masalah dalam operasi. Secara umum operasi berjalan dengan tidak ada
hambatan, karena penurunan tekanan darah tidak berlangsung lama, dan pengelolaan
anastesi berlangsung dengan baik
30
Recommended