LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI INFEKSI DAN TUMOR
“HIV / AIDS”
DISUSUN OLEH
KELOMPOK C-I FKK 2
Eko Sarwono 17113215A
Nining Anugrah WS 18123421A
Aina Kurnia JS 18123431A
Yeni Andani 18123437A
Ridha Nurul Qumaryah 18123438A
Retno Ning Aty 18123439A
DOSEN PENGAMPU
Inaratul RH., M.Sc., Apt
Hari, tanggal praktikum : Selasa, 17 November 2015
Tanggal pengumpulan laporan resmi : Rabu, 18 November 2015
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2015
I. PENDAHULUAN
A. Definisi
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul
akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi human
immunodeficiency virus (HIV). AIDS ini bukan merupakan suatu penyakit saja, tetapi
merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai jenis
mikroorganisme seperti, infeksi bakteri, virus, jamur, bahkan timbulnya keganasan akibat
menurunnya daya tahan tubuh penderita
B. Epidemiologi
Infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik
kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar ODHA
berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase
penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat.
Jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS di dunia pada tahun 2008 diperkirakan
sebanyak 33,4 juta orang. Sebagian besar (31,3 juta) adalah orang dewasa dan 2,1 juta anak
di bawah 15 tahun.
Saat ini AIDS adalah penyebab kematian utama di Afrika sub Sahara, dimana paling
banyak terdapat penderita HIV positif di dunia (26,4 juta orang yang hidup dengan
HIV/AIDS), diikuti oleh Asia dan Asia Tenggara dimana terdapat 6,4 juta orang yang
terinfeksi. Lebih dari 25 juta orang telah meninggal sejak adanya endemi HIV/AIDS.
Sampai dengan akhir Maret 2005, tercatat 6.789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan.
Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada
tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara
90.000 sampai 130.000 orang.
C. Klasifikasi
Stadium Klinis HIV/AIDS Untuk Dewasa dan Remaja adalah sebagai berikut :
Infeksi primer HIV
Asimptomatik
Sindroma retroviral akut
Stadium Klinis 1
Asimptomatik
Limfadenopati meluas persisten
Stadium Klinis 2
Berat badan menurun yang sebabnya tidak dapat dijelaskan
Infeksi saluran napas berulang (sinusitis, tonsilitis, bronkitis, otitis media, faringitis)
Herpes zoster
Cheilits angularis
Ulkus mulut berulang
Pruritic papular eruption (PPE)
Dermatitis seboroika
Infeksi jamur kuku
Stadium Klinis 3
Berat badan menurun yang tidak dapat dijelaskan sebabnya ( > 10%)
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan sebabnya lebih dari 1 bulan
Demam yang tidak diketahui sebabnya (intermiten maupun tetap selama lebih dari 1
bulan)
Kandidiasis oral persisten
Oral hairy leukoplakia
Tuberkulosis (TB) paru
Infeksi bakteri yang berat (empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi,
meningitis, bakteriemi selain pneumonia)
Stomatitis, gingivitis atau periodontitis ulseratif nekrotikans yang akut
Anemia (Hb < 8 g/dL), netropeni (< 500/mm3), dan/atau trombositopeni kronis (<
50.000/mm3) yang tak dapat diterangkan sebabnya
Stadium Klinis 4
HIV wasting syndrome (berat badan berkurang >10% dari BB semula, disertai salah
satu dari diare kronik tanpa penyebab yang jelas (>1 bulan) atau kelemahan kronik
dan demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas).
Pneumonia pneumocystis
Pneumonia bakteri berat yang berulang
Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, anorektal atau genital lebih dari sebulan
atau viseral dimanapun)
Kandidiasis esofagus (atau di trakea, bronkus atau paru)
Tuberkulosis ekstra paru
Sarkoma Kaposi
Infeksi Cytomegalovirus (retinistis atau infeksi organ lain)
Toksoplasmosis susunan saraf pusat
Ensefalopati HIV
Kriptokokus ekstra paru termasuk meningitis
Infeksi mikobakterium non-tuberkulosis yang luas (diseminata)
Progressive multifocal leukoencephalopathy
Kriptosporidiosis kronis
Isosporiosis kronis
Mikosis diseminata (histoplasmosis, koksidioidomikosis, penisiliosis ekstraparu)
Septikemi berulang (termasuk salmonella non-tifoid)
Limfoma (otak atau non-Hodgkin sel B)
Karsinoma serviks invasive
Leishmaniasis diseminata atipikal
D. Faktor Resiko
Hubungan seksual yang tidak aman (tidak menggunakan kondom) dengan orang yang
telah terinfeksi HIV
Penggunaan jarum suntik, tindik, tattoo yang dapat menimbulkan luka dan tidak
disterilkan, dipergunakan secara bersama-sama dan sebelumnya telah digunakan oleh
orang yang terinfeksi HIV
Melalui transfusi darah yang terinfeksi HIV
Ibu hamil yang terinfeksi HIV pada anak yang dikandungnya pada saat :
o Antenatal yaitu saat bayi masih berada dalam rahim, melalui plasenta
o Intranatal yaitu saat prosses persalinan, bayi terpapar darah ibu atau cairan
vagina
o Post-natal yaitu setelah proses persalinan melalui air susu ibu
o Kenyataanya 25-35% dari semua bayi yang dilahirkan oleh ibu yang sudah
terinfeksi dinegara berkembang tertular HIV, dan 90% bayi dan anak yang
tertular HIV tertular dari ibunya.
II. PATOFISIOLOGI
Infeksi HIV terjadi melalui 3 cara utama : seksual, parenteral dan perinatal. Hubungan
seks, baik anal maupun vaginal, adalah modus yang paling umum. Kemungkinan penularan
hubungan seks lewat anal 0,1-3 %/ kontak dan 0,1 – 0,2 %/ Kontak seks vaginal.
Penggunaan jarum atau peralatan suntikan lainyya yang terkontaminasi oleh pengguna
obat terlarang adalah penyebab utama transmisi parenteral dan akhir-akhir ini jumlahnya
seperempat dari kasus AIDS yang dilaporkan ke Amerika. Petugas kesehatan mempunyai
resiko yang kecil tertular HIV akibat pekerjaanya, sebagia besar penularan karena luka akibat
jarum suntik.Infeksi perinatal atau penularan vertical, penyebab utama (>90% pada infeksi
HIV anak).
A. Patogenesis
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki molekul
reseptor membran CD4. Sejauh ini, sasaran yang disukai adalah limfosit T helper positif, atau sel
T4 (limfosit CD4+). Gp120 HIV berikatan kuat dengan limfosit CD4+ sehingga gp41 dapat
memperantarai fusi membran virus ke membran sel.
Baru-baru ini ditemukan bahwa dua koreseptor permukaan sel, CCR5 atau CXCR4
diperlukan, agar gp120 dan gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4+. Koreseptor ini
menyebabkan perubahan-perubahan konformasi sehingga gp41 dapat masuk ke membran sel
sasaran. Individu yang mewarisi dua salinan defektif gen reseptor CCR5 (homozigot) resisten
terhadap timbulnya AIDS, walupun berulang kali terpajan HIV (sekitar 1% orang Amerika
keturunan Caucasian). Individu yang heterozigot untuk gen defektif ini tidak terlindung dari
AIDS, tetapi awitan penyakit agak melambat.
Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monosit dan makrofag.
Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoar untuk HIV tetapi tidak
dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia,
seperti sel natural killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel Langerhans, sel dendritik, sel
mikroglia dan berbagai jaringan tubuh.
Setelah berfusi dengan limfosit CD4+, maka berlangsung serangkaian proses kompleks
yang apabila berjalan lancar, menyebabkan terbentuknya partikel virus baru dari sel yang
terinfeksi. Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau
mungkin mengalami proses-proses replikasi sehingga menghasilkan banyak virus.
HIV-1 awalnya menginfeksi sel T dan makrofag secara langsung atau dibawa oleh sel
dendrit. Replikasi virus pada kelenjar getah bening regional menimbulkan viremia dan
penyebaran virus yang meluas pada jaringan limfoid. Viremia tersebut dikendalikan oleh respon
imun pejamu, kemudian pasien memasuki fase laten klinis. Selama fase ini, replikasi virus pada
sel T maupun makrofag terus berlangsung, tetapi virus tetap tertahan. Pada tempat itu
berlangsung pengikisan bertahap sel CD4+ melalui infeksi sel yang produktif. Jika sel CD4+
yang tidak hancur tidak dapat tergantikan, jumlah sel CD4+ menurun dan pasien mengalami
gejala klinis AIDS. Makrofag pada awalnya juga ditumpangi virus; makrofag tidak dilisiskan
oleh HIV-1, dapat mengangkut virus ke berbagai jaringan, terutama ke otak.
B. Etiologi.
HIV adalah suatu retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Retrovirus berdiameter 70-
130 nm. Masa inkubasi virus ini selama sekitar 10 tahun.
Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya, atau kapsul viral, terdiri
dari lemak lapis ganda yang banyak mengandung tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari
dua glikoprotein; gp120 dan gp41. Terdapat suatu protein matriks yang disebut gp17 yang
mengelilingi segmen bagian dalam membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu
protein kapsid yang disebut p24.
Di dalam kapsid terdapat dua untai RNA identik dan molekul preformed reverse
transcriptase, integrase dan protease yang sudah terbentuk. Reverse transcriptase adalah
enzim yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sel sasaran.
C. Gejala
Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara HIV dan
sistem imun :
1. Fase akut.
Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia, demam,
ruam dan kadang-kadang meningitis aseptik (Mitchell dan Kumar, 2007). Pada fase ini
terdapat produksi virus dalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada
jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Segera
setelah hal itu terjadi, muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan
melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu setelah pajanan)
dan melalui munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia
mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya jumlah virus
dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus
berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan.
2. Fase kronis
Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar
sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para pasien
tidak menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita
yang mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan (Candida) atau herpes zoster.
Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas
akan disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan
regenerasi sistem imun yang besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar.
Setelah melewati periode yang panjang dan beragam, pertahanan pejamu mulai menurun dan
jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin
meningkat.
3. Fase kritis
Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat
merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan
mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah
sel CD4+ menurun di bawah 500 sel/μL. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para
pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder dan atau manifestasi
neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS). Jika kondisi lazim yang
menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa
seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200 sel/μL
sebagai pengidap AIDS.
Menurut Barakbah et al (2007) hampir semua orang yang terinfeksi HIV, jika tidak
diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV atau
AIDS.
1. Gejala Konstitusi
Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita mengalami
paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Gejala tersebut
berupa:
Demam terus menerus lebih dari 37°C.
Kehilangan berat badan 10% atau lebih.
Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening di luar
daerah inguinal.
Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus.
2. Gejala Neurologi
Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beranekaragam seperti kelemahan
otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa,
psikosis dan dapat sampai koma (gejala radang otak).
3. Gejala Infeksi
Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan penderita sudah sangat
lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi, misalnya:
a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP )
PCP merupakan infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada penderita AIDS (80%).
Disebabkan parasit sejenis protozoa yang pada keadaan tanpa infeksi HIV tidak
menimbulkan sakit berat. Pada penderita AIDS, protozoa ini berkembang pesat sampai
menyerang paru-paru yang mengakibatkan pneumonia. Gejala yang ditimbulkannya adalah
batuk kering, demam dan sesak nafas. Pada pemeriksaan ditemukan ronkhi kering. Diagnosis
ditegakkan dengan ditemukannya P.carinii pada bronkoskopi yang disertai biopsi
transbronkial dan lavase bronkoalveolar.
b. Tuberkulosis
Infeksi Mycobacterium tuberkulosis pada penderita AIDS sering mengalami penyebaran luas
sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini sangat resisten terhadap obat anti tuberkulosis
yang biasa. Gambaran klinis TBC pada penderita AIDS tidak khas seperti pada penderita
TBC pada umumnya. Hal ini disebabkan karena tubuh sudah tidak mampu bereaksi terhadap
kuman. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil kultur.
c. Toksoplasmosis
Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi Toxoplasma gondii, yang
sebelumnya merupakan infeksi laten. Gejala dapat berupa sakit kepala dan panas, sampai
kejang dan koma. Jarang ditemukan toksoplasmosis di luar otak.
d. Infeksi Mukokutan.
Herpeks simpleks, herpes zoster dan kandidiasis oris merupakan penyakit paling sering
ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul satu jenis atau beberapa jenis secara bersama.
Sifat kelainan mukokutan ini persisten dan respons terhadap pengobatan lambat sehingga
sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaannya.
4. Gejala Tumor
Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalam Sarkoma Kaposi dan limfoma
maligna non-Hodgkin.
D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik infeksi HIV primer bervariasi, tetapi pasien sering mengalami gejala
viral atau mononucleus-like illness seperti demam, faringitis, dan adenopati (gangguan
kelenjar terutama kelenjar limfa). Gejala dapat hilang setelah 2 minggu.
Sebagian besar anak lahir dengan HIV tanpa gejala. Pada pemeriksaan fisik mereka
sering menunjukkan tanda-tanda yang tidak dapat dijelaskan seperti gangguan kelenjar limfa,
pembesaran hati, kehilangan berat badan.
E. Diagnosis
Menurut Barakbah et al (2007) karena banyak negara berkembang, yang belum
memiliki fasilitas pemeriksaan serologi maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO
menetapkan kriteria diagnosis AIDS sebagai berikut:
Definisi kasus AIDS dicurigai bila paling sedikit mempunyai 2 gejala mayor dan 1
gejala minor dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan sistem imun lain yang diketahui,
seperti kanker, malnutrisis berat atau sebab-sebab lainnya.
Gejala Mayor : Penurunan berat badan > 10% berat badan per bulan, Diare kronis
lebih dari 1 bulan dan Demam lebih dari 1 bulan.
Gejala Minor : Adanya Sarkoma Kaposi meluas atau meningitis cryptococcal sudah
cukup untuk menegakkan AIDS, Batuk selama lebih dari 1 bulan, Pruritus dermatitis
menyeluruh, Infeksi umum yang rekuren, misalnya herpes zoster, Kandidiasis
orofaringeal, Infeksi herpes simpleks kronis progresif atau yang meluas,
Limfadenopati generalisata.
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan
diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal fluid)
penderita.
1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan teknik ELISA yaitu
sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% (Kresno). Biasanya memberikan hasil positif 2-3
bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah menggunakan antigen recombinan, yang sangat
spesifik terhadap envelope dan core.
2. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu protein dalam
suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya protein HIV yang
digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti
gp120 dan gp41. Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun
pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal masih ada
pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun status infeksi individu
yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab
sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2.
Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan imunophenotyping yaitu dengan flow
cytometry dan cell sorter. Prinsip flowcytometry dan cell sorting (fluorescence activated cell
sorter, FAST) adalah menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifasi karakteristik
permukaan setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu
suspensi menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu celah, yang
ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan
sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap
karakteristik molekul pada permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat
diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat
itu dapat mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-
masing dalam suatu populasi campuran.
III. SASARAN TERAPI
1. Replikasi HIV
2. Limfosit CD4
IV. TUJUAN TERAPI
1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
2. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/ peningkatan sel
CD4)
3. Menurunkan komplikasi akibat HIV
4. Memperbaiki kualitas hidup ODHA
5. Menurunkan morbiditas dan mortalitas
V. STRATEGI TERAPI
A.Tata Laksana Terapi
Guideline terapi ARV
Guideline terapi toxoplasmosis
TERAPI NON FARMAKOLOGI
Tindakan pencegahan yang dapat menurunkan resiko penularan infeksi HIV antara
lain:
Konseling atau edukasi mengenai penyakit HIV
Kurangi jumlah pasangan seksual dan memakai kondom
Tidak memakai alat suntik secara bersama-sama
Wanita dengan HIV : memakai kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan
tidak memberikan ASI.
Pakai kondom dari lateks.
Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama
serta tidur yang cukup dan menjaga kebersihan.
TERAPI FARMAKOLOGI
Pengobatan untuk menekan replikasi HIV dengan obat anti retroviral (ARV). Terapi
dengan kombinasi ARV menghambat replikasi virus adalah strategi yang sukses pada terapi
HIV. Ada 3 golongan obat ARV yaitu :
1. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)
a) Analog nukleosida (NsRTI)
b) Analog nukleotida (NtRTI)
c) Non nukleosida (NNRTI)
2. HIV Protease Inhibitor (PI)
3. Fusion Inhibitor (FI)
Obat ARV terdiri atas beberapa golongan seperti nucleoside reverse transriptase inhibitor,
non-nucleotide reverse transcriptase inhibitor, protease inhibitor dan viral entri inhibitor.
1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NsRTI)
Reverse transcriptase (RT) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral sebelum
bergabung dengan kromosom hospes. Karena antivirus golongan ini bekerja pada tahap awal
replikasi HIV, obat-obat golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut sel yang rentan,
tapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk dapat bekerja, semua
obat golongan NRTI harus mengalami fosforilasi oleh enzim sel hospes di sitoplasma.
a) Zidovudin
Mekanisme kerja: Target zidovudin adalah enzim reverse transcriptase (RT) HIV. Zidovudin
bekerja dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase virus, setelah gugus
azidotimidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5’ monofosfat akan
bergabung pada ujung 3’ rantai DNA virus dan menghambat reaksi reverse transcriptase.
Resistensi: Resistensi terhadap zidovudin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse
transcriptase. Terdapat laporan resistensi silang dengan analog nukleosida lainnya.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya (seperti lamivudin dan
abakavir)
Dosis: zidovudin tersedia dalam bentuk kapsul 100 mg. tablet 300 mg dan sirup 5mg/
5ml. Dosis peroral 600 mg per hari.
Efek samping: Anemia, neutropenia, sakit kepala, mual.
b) Didanosin
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.
Resistensi: resistensi terhadap didanosin disebabkan oleh mutasi pada reserve
transoriptase.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, terutama infeksi HIV tingkat lanjut, dalam kombinasi dengan anti
HIV lainnya.
Dosis: tablet dan kapsul salut enteric per oral 400 mg per hari dalam dosis tunggal atau
terbagi.
Efek samping: Diare, Pankreatitis, Neuropati perifer.
c) Zalsitabin
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.
Resistensi: resistensi terhadap zaisitabin disebabkan oleh mutasi pada reserve
transoriptase. Dilaporkan ada resistensi silang dengan lamivudin.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat lanjut yang tidak
responsif terhadap zidovudin, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (bukan
didanosin)
Dosis: diberikan per oral 2.25 mg per hari (satu tablet 0,75 mg setiap 8 jam).
Efek samping: Neuropati perifer, stomatitis, ruam, dan pancreatitis.
d) Stavudin
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.
Resisten: resisten terhadap stavudin disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 75 dan
kodon 50.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, terutama HIV tingkat lanjut, dikombinasikan dengan anti-HIV
lainnya.
Dosis: per oral 80 mg per hari (satu kapsul 40 mg setiap 12 jam)
Efek samping: Neuropati perifer. Pernah terjadi asidosis laktat, peningkatan enzim
transminase sementara. Efek samping lain yang sering terjadi adalah sakit kepala, mual
dan ruam.
e) Lamivudin
Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai
DNA virus.
Resistensi: mutasi terhadap lamivudin disebkan karena mutasi pada RT kodon 184.
Terdapat laporan adanya resistensi silang dengan didanosin dan zalcitabin.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2) dan HBV
Indikasi: infeksi HIV dan HBV,: untuk infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV
lainnya (seperti zidovudin dan abkavir)
Dosis: per oral 300 mg per hari (1 tablet 150 mg dua kali sehari, atau satu tablet 300 mg
sekali sehari). Untuk terapi HIV, lamivudin dapat dikombinasikan dengan zidovudin atau
dengan zidovudin dan abakavir.
Efek samping: sakit kepala dan mual
f) Emtrisitabin
Merupakan derivat 5-fluorinated lamivudin. Obat ini diubah ke bentuk trifosfat oleh enzim
selular. Mekanisme kerja selanjutnya sama dengan lamivudin.
Resistensi: terdapat laporan resistensi silang antara lamivudin dan emtrisitabin.
Indikasi: infeksi HIV dan HBV
Dosis: per oral sekali sehari 200 mg kapsul
Efek samping: efek samping yang paling sering adalah nyeri abdomen dengan rasa
keram, diare, kelemahan otot, sakit kepala, lipodistropi, mual, rhinitis, pruritus dan ruam.
Yang lebih jarang terjadi adalah reaksi alergi, asidosis laktat, mimpi buruk, parestesia,
pneumonia, steatosis hati.
g) Abakavir
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.
Resistensi: resistensi terhadap abakavir
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti zidovudin dan
lamivudin.
Dosis: per oral 600 mg per hari (2 tablet 300 mg)
Efek samping: mual, muntah, diare, reaksi hipersensitif (demam, malaise, ruam), dan
gangguan gastrointestinal.
2. Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI)
Tidak seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilase intraseluler untuk menjadi
bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahapfosforilasi saja. Diharapkan, dengan
berkurangnya satu tahap fosforilasi, obat dapat bekerja lebih cepat dan konversinya menjadi
bentuk aktiv lebih sempurna.
a) Tenofovir disoproksil
Bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA
virus.
Resisten: Resisten terhadap tenofovir
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2) serta berbagai retrovirus lainnya dan HBV.
Indikasi: infeksi HIV dalam kombinasi dengan lamivudin dan abakavir.
Dosis: per oral sekali sehari 300 mg tablet.
Efek samping: mual, muntah, flatulens, dan diare.
3. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)
Merupakan kelas obat yang menghambat aktivasi enzim reverse transcriptase dengan
cara berikatan di tempat yang dekat dengan tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan
konformasi pada situs aktif ini. Obat-obat golongan ini tidak hanya memiliki kesamaan
toksisitas dan profil resistensi. Tidak seperti NRTI dan NtRTI, NNRTI tidak mengalami
fosforilasi untuk menjadi bentuk aktif. NNRTI hanya aktif terhadap HIV-1, tidak HIV-2.
Semua senyawa NNRTI dimetabolisme oleh sitokrom P450 sehingga cenderung untuk
berinteraksi dengan obat lain.
a) Nevirapin
Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT.
Resisten terhadap nevirapin
Spekterum aktivitas: HIV tipe 1
Indikasi: infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama NRTI.
Dosis: per oral 200 mg per hari selama 14 hari pertama (satu tablet 200 mg per hari),
kemudian 400 mg per hari (dua kali 200 mg tablet)
Efek samping: ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolens, mual dan peningkatan
enzim hati.
b) Delavirdin
Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT.
Resisten terhadap delavirdin disebabkan oleh mutasi pada RT. Tidak ada resistensi silang
dengan nevirapin dan evavirens.
Spekterum aktivitas: HIV tipe 1
Indikasi: infeksi HIV-1, dikombinasi dengan anti HIV lainnya, terutama NRTI.
Dosis: per oral 1200 mg per hari (2 tablet 200 mg 3 kali sehari). Obat ini juga tersedia
dalam bentuk tablet 100 mg.
Efek samping: Ruam, peningkatan tes fungsi hati, juga pernah terjadi neutropenia.
c) Efaviren
Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT.
Resisten terhadap efavirens
Spekterum aktivitas: HIV tipe 1
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya, terutama NRTI dan
NtRTI.
Dosis: per oral 600 mg per hari (sekali sehari tablet 600 mg) sebaiknya sebelum tidur
untuk mengurangi efek samping SSPnya.
Efek samping: sakit kepala, pusing, mimpi buruk, sulit berkonsntrasi dan ruam.
4. Protease inhibitor (PI)
Semua PI bekerja dengan cara berikatan secara reversibel dengan situs aktif HIV-
Protease. HIV-protease sangat penting untuk inefektivitas virus dan penglepasan poliprotein
virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan polipeptida prekursor virus oleh
enzim protease sehingga menghambat maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partikel
virus yang imatur dan tidak virulen.
a) Sakuinavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Resistensi terhadap sakuinavir disebkan oleh mutasi pada enzim protease terjadi resistensi
silang dengan PI lainnya.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lain (NRTI dan beberapa PI
seperti ritonavir).
Dosis: per oral 3600 mg per hari (6 kapsul 200 mg soft kapsul 3 kali sehari), diberikan
bersama dengan makanan atau sampai dengan dua jam setelah makan lengkap.
Efek samping: diare, mual, nyeri abdomen.
b) Ritonavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Resistensi terhadap ritonavir disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (NRTI dan PI seperti
sakuinavir)
Dosis: per oral 1200 mg per hari (6 kapsul 100 mg, dua kali sehari bersama dengan
makanan)
Efek samping: mual, muntah, diare.
c) Indinavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 2400 mg per hari (2 kapsul 400 mg setiap 8 jam, dimakan dalam keadaan
perut kososng, ditambah dengan dehidrasi) sedikitnya 1,5 L air per hari. Obat ini tersedia
dalam kapsul 100, 200, 333, dan 400 mg.
Efek samping; mual, hiperbilirubinemia, dan batu ginjal.
d) Nelvinavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Resisten terhadap nelfinavir disebabkan terutama oleh mutasi pada protease kodon 30.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 2250 mg per hari (3 tablet 250 mg 3 kali sehari) atau 2500 mg per hari (5
tablet 250 mg 2 kali sehari), bersama dengan makanan.
Efek samping: Diare, mual, muntah.
e) Amprenavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Resistensi terhadap amprenavir terutama disebabkan oleh mutasi pada protease kodon
50.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 2400 mg per hari (8 kapsul 150 mg 2 kali sehari, diberikan bersama atau
tanpa makanan, tapi tidak boleh bersama dengan makanan)
Efek samping: mual, diare, ruam, parestesia perioral/oral.
f) Lopinavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Resistensi: mutasi yang menyebabkan resistensi terhadap lopinavir belum diketahui
hingga saat ini.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 1000 mg per hari (3 kapsul 166,6 mg 2 kali sehari, setiap kapsul
mengandung 133,3 mg lopinavir + 33,3 ritonavir), diberikan bersamaan dengan
makanan.
Efek samping: mual, muntah, peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida, peningkatan
y-GT.
g) Atazanavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 400 mg per hari (sekali sehari 2 kapsul 200 mg), diberikan bersama
dengan makanan.
Efek samping: hiperbilirubinemia, mual, perubahan EKG (jarang).
5. Viral entri inhibitor
Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat fusi virus ke sel.
a) Enfuvirtid
Menghambat masuknya HIV-1 ke dalam sel dengan cara menghambat fusi virus ke membran
sel. Enfuvirtid berikatan dengan bagian HR1 (first heptad-repeat) pada subunit gp41
envelope glikoprotein virus serta menghambat terjadinya perubahan konformasi yang
dibutuhkan untuk fusi virus ke membran sel.
Resistensi: perubahan genotip pada gp41 asam amino 36-45 menyebabkan resistensi
terhadap enfuvirtid. Tidak ada resistensi silang dengan anti HIV golongan lain. Isolat
klinis yang resisten terhadap NRTI, NNRTI atau PI tetap peka terhadap envuvirtid.
Indikasi: terapi infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya.
Dosis: Enfuvirtid 90 mg (1 mL) dua kali sehari diinjeksi subkutan di lengan atas, bagian
paha anterior atau di abdomen. Setiap injeksi harus diberikan pada tempat yang berbeda
dari tempat injeksi sebelumnya dimana belum ada bekas reaksi injeksi dosis sebelumnya.
Efek samping: efek samping yang tersering adalah reaksi lokal seperti nyeri, eritema,
pruritus, iritasi dan nodul/kista.
VI. PENYELESAIAN KASUS
KASUS
Bapak AG, 60 tahun, 61 kg, TB 170 cm, didiagnosis HIV stadium IV (AIDS) pada
tahun 2004, dan mulai menggunakan terapi antiretroviral sejak tahun 2012, saat CD4 126
sel/mm3 dan viral loadnya 98,743 copi/ml dan baru pulih dari episode toxoplasmosis cerebral.
Sebulan terakhir pasien sering mengalami kesemutan kira-kira 1-2x seminggu. Dia masih
menggunakan kombinasi stavudin 40 mg 2x sehari, tablet didanosine 400 mg setiap hari dan
indinavir 800 mg tiap 8 jam.
Selain itu dia juga menggunakan sulfadiazine 500 mg 4xsehari, pirimetamine 25 mg
setiap hari, dan asam folat 15 mg 3xsehari. Hasil terakhir menunjukkan bahwa saat ini CD4
nya adalah 320 sel/mm3 dan viral loadnya 50 copi/ml
Vital sign : TD 125/80 mmHg
HR 75x permenit
RR 15x permenit
T 37,40C
Diagnosis : HIV
Pertanyaan :
1. Kembangkan kasus berikut, mulai gejala klinis, parameter lab yang mendukung.
2. Analisis kasus dan kerjakan kasus tersebut.
ANALISIS KASUS :
Pengembangan Kasus
Penyelesaian kasus dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective,
Assesment, dan Plan) pada kasus ini adalah sebagai berikut :
SUBYEKTIF
Nama : Bapak AG
umur : 60 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Keluhan : Didiagnosis HIV stadium IV (AIDS) pada tahun 2004, dan mulai
menggunakan terapi antiretroviral sejak tahun 2012, saat CD4 126 sel/mm3 dan viral loadnya
98,743 copi/ml dan baru pulih dari episode toxoplasmosis cerebral. Sebulan terakhir pasien
sering mengalami Nyeri, kesemutan, tangan dan kaki kebal, bagian ujung tubuh hilang rasa,
lemah otot, tidak ada refleks kira-kira 1-2x seminggu.
Riwayat pengobatan : telah menggunakan kombinasi stavudin 40 mg 2x sehari, tablet
didanosine 400 mg setiap hari dan indinavir 800 mg tiap 8 jam. Pada kasus ini pasien
diberikan pengobatan ARV lini kedua dikarenakan pasien intoleransi terhadap golongan
NNRTI . Selain itu dia juga menggunakan sulfadiazine 500 mg 4xsehari, pirimetamine 25 mg
setiap hari, dan asam folat 15 mg 3xsehari untuk mengatasi penyakit toxoplasmosis
cereberalnya.
OBYEKTIF
Data tanda vital
Data
laboratorium :
ASSESMENT
Pemeriksaa
n
Data pasien Nilai normal Keterangan
Tekanan
Darah
125/80 mmHg 90-120/60-80 mmHg Normal
RR 15 x per menit 16-20 x per menit Normal
HR 100 bpm 60-100 bpm Normal
Suhu 37,4°C 36-37,5°C Normal
Pemeriksaan Data pasien Nilai normal Keterangan
CD4 320 sel/mm3 800-1500 sel/mm3 Menurun
Viral load 50 copi/mL 40-70 copi/mL Normal
Glikosa darah
puasa
110 mg/dL 100 – 126 mg/dL Normal
Urinalisis Negatif Negatif Normal
Kreatinin
serum
1,1 mg/dL 0,6-1,5 mg/dL Normal
BUN 20 mg/dl 15 – 40 (mg/dl) Normal
SGOT
SGPT
30 u/l
30 u/l
SGOT : 5 – 40 (u/l)
SGPT : 5 – 41 (u/l)
Normal
Normal
Kolesterol
total
143 mg/dL <200 mg/dL Normal
HDL 79 mg/dL >55 mg/dL Normal
LDL 68 mg/dL ≤150 mg/dL Normal
TG 100 mg/dL <150 mg/dL Normal
Berdasarkan keluhan pasien yang berupa nyeri, kesemutan, bagian ujung tubuh hilang
rasa, lemah otot, tidak ada refleks maka pasien di diagnosa menderita neuropati perifer akibat
pengobatan ARV
PLAN
Berdasarkan gejala yang timbul kemungkinan besar disebabkan oleh penggunaan
ARV stavudin dan didanosine. Menurut guideline terapi cara penanganannya dapat dilakukan
dengan terapi farmakologi, yaitu dilakukan penggantian obat ARV lain yang sesuai dengan
anjuran/rujukan yang telah ditetapkan dengan diberikan pengobatan Tenofovir dan
Lamivudine sebagai lini kedua, dimana dikarenakan pasien sebelumnya telah mendapatkan
terapi lini kedua dikarenakan pasien mengalami intoleransi terhadap golongan NNRTI
sehingga diberikan pengobatan lini kedua. Dan pada riwayat pasien, pasien sebelumnya
mengalami Toxoplasmosis cerebral tetapi telah pulih dan obat-obat yang digunakan untuk
penyakit toxoplasmosis dapat dihentikan jika jumlah CD4 naik diatas 200 sel/mm2 atau lebih.
Untuk mengatasi neuropati perifer pasien dapat diatasi dengan pemberian vitamin B
kompleks.
TERAPI NON FARMAKOLOGI
Tindakan pencegahan yang dapat menurunkan resiko penularan infeksi HIV antara
lain:
Konseling atau edukasi mengenai penyakit HIV
Kurangi jumlah pasangan seksual dan memakai kondom
Tidak memakai alat suntik secara bersama-sama
Wanita dengan HIV : memakai kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan tidak
memberikan ASI.
Pakai kondom dari lateks.
Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta
tidur yang cukup dan menjaga kebersihan.
TERAPI FARMAKOLOGI
Penggunaan obat rasional
Analisis rasionalitas terapi dilakukan dengan melakukan analisis obat-obat yang digunakan.
Berikut ini adalah uraian analisis rasionalitas obat yang digunakan :
1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NsRTI)
Reverse transcriptase (RT) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral sebelum
bergabung dengan kromosom hospes. Karena antivirus golongan ini bekerja pada tahap awal
replikasi HIV, obat-obat golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut sel yang rentan,
tapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk dapat bekerja, semua
obat golongan NRTI harus mengalami fosforilasi oleh enzim sel hospes di sitoplasma.
a) Zidovudin
Mekanisme kerja: Target zidovudin adalah enzim reverse transcriptase (RT) HIV. Zidovudin
bekerja dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase virus, setelah gugus
azidotimidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5’ monofosfat akan
bergabung pada ujung 3’ rantai DNA virus dan menghambat reaksi reverse transcriptase.
Resistensi: Resistensi terhadap zidovudin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse
transcriptase. Terdapat laporan resistensi silang dengan analog nukleosida lainnya.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya (seperti lamivudin dan
abakavir)
Dosis: zidovudin tersedia dalam bentuk kapsul 100 mg. tablet 300 mg dan sirup 5mg/
5ml. Dosis peroral 600 mg per hari.
Efek samping: Anemia, neutropenia, sakit kepala, mual.
b) Didanosin
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.
Resistensi: resistensi terhadap didanosin disebabkan oleh mutasi pada reserve
transoriptase.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, terutama infeksi HIV tingkat lanjut, dalam kombinasi dengan anti
HIV lainnya.
Dosis: tablet dan kapsul salut enteric per oral 400 mg per hari dalam dosis tunggal atau
terbagi.
Efek samping: Diare, Pankreatitis, Neuropati perifer.
c) Zalsitabin
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.
Resistensi: resistensi terhadap zaisitabin disebabkan oleh mutasi pada reserve
transoriptase. Dilaporkan ada resistensi silang dengan lamivudin.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat lanjut yang tidak
responsif terhadap zidovudin, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (bukan
didanosin)
Dosis: diberikan per oral 2.25 mg per hari (satu tablet 0,75 mg setiap 8 jam).
Efek samping: Neuropati perifer, stomatitis, ruam, dan pancreatitis.
d) Stavudin
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.
Resisten: resisten terhadap stavudin disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 75 dan
kodon 50.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, terutama HIV tingkat lanjut, dikombinasikan dengan anti-HIV
lainnya.
Dosis: per oral 80 mg per hari (satu kapsul 40 mg setiap 12 jam)
Efek samping: Neuropati perifer. Pernah terjadi asidosis laktat, peningkatan enzim
transminase sementara. Efek samping lain yang sering terjadi adalah sakit kepala, mual
dan ruam.
e) Lamivudin
Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai
DNA virus.
Resistensi: mutasi terhadap lamivudin disebkan karena mutasi pada RT kodon 184.
Terdapat laporan adanya resistensi silang dengan didanosin dan zalcitabin.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2) dan HBV
Indikasi: infeksi HIV dan HBV,: untuk infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV
lainnya (seperti zidovudin dan abkavir)
Dosis: per oral 300 mg per hari (1 tablet 150 mg dua kali sehari, atau satu tablet 300 mg
sekali sehari). Untuk terapi HIV, lamivudin dapat dikombinasikan dengan zidovudin atau
dengan zidovudin dan abakavir.
Efek samping: sakit kepala dan mual
f) Emtrisitabin
Merupakan derivat 5-fluorinated lamivudin. Obat ini diubah ke bentuk trifosfat oleh enzim
selular. Mekanisme kerja selanjutnya sama dengan lamivudin.
Resistensi: terdapat laporan resistensi silang antara lamivudin dan emtrisitabin.
Indikasi: infeksi HIV dan HBV
Dosis: per oral sekali sehari 200 mg kapsul
Efek samping: efek samping yang paling sering adalah nyeri abdomen dengan rasa
keram, diare, kelemahan otot, sakit kepala, lipodistropi, mual, rhinitis, pruritus dan ruam.
Yang lebih jarang terjadi adalah reaksi alergi, asidosis laktat, mimpi buruk, parestesia,
pneumonia, steatosis hati.
g) Abakavir
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.
Resistensi: resistensi terhadap abakavir
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti zidovudin dan
lamivudin.
Dosis: per oral 600 mg per hari (2 tablet 300 mg)
Efek samping: mual, muntah, diare, reaksi hipersensitif (demam, malaise, ruam), dan
gangguan gastrointestinal.
2. Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI)
Tidak seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilase intraseluler untuk menjadi
bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahapfosforilasi saja. Diharapkan, dengan
berkurangnya satu tahap fosforilasi, obat dapat bekerja lebih cepat dan konversinya menjadi
bentuk aktiv lebih sempurna.
a) Tenofovir disoproksil
Bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA
virus.
Resisten: Resisten terhadap tenofovir
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2) serta berbagai retrovirus lainnya dan HBV.
Indikasi: infeksi HIV dalam kombinasi dengan lamivudin dan abakavir.
Dosis: per oral sekali sehari 300 mg tablet.
Efek samping: mual, muntah, flatulens, dan diare.
3. Protease inhibitor (PI)
Semua PI bekerja dengan cara berikatan secara reversibel dengan situs aktif HIV-
Protease. HIV-protease sangat penting untuk inefektivitas virus dan penglepasan poliprotein
virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan polipeptida prekursor virus oleh
enzim protease sehingga menghambat maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partikel
virus yang imatur dan tidak virulen.
a) Sakuinavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Resistensi terhadap sakuinavir disebkan oleh mutasi pada enzim protease terjadi resistensi
silang dengan PI lainnya.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lain (NRTI dan beberapa PI
seperti ritonavir).
Dosis: per oral 3600 mg per hari (6 kapsul 200 mg soft kapsul 3 kali sehari), diberikan
bersama dengan makanan atau sampai dengan dua jam setelah makan lengkap.
Efek samping: diare, mual, nyeri abdomen.
b) Ritonavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Resistensi terhadap ritonavir disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (NRTI dan PI seperti
sakuinavir)
Dosis: per oral 1200 mg per hari (6 kapsul 100 mg, dua kali sehari bersama dengan
makanan)
Efek samping: mual, muntah, diare.
c) Indinavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 2400 mg per hari (2 kapsul 400 mg setiap 8 jam, dimakan dalam keadaan
perut kososng, ditambah dengan dehidrasi) sedikitnya 1,5 L air per hari. Obat ini tersedia
dalam kapsul 100, 200, 333, dan 400 mg.
Efek samping; mual, hiperbilirubinemia, dan batu ginjal.
d) Nelvinavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Resisten terhadap nelfinavir disebabkan terutama oleh mutasi pada protease kodon 30.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 2250 mg per hari (3 tablet 250 mg 3 kali sehari) atau 2500 mg per hari (5
tablet 250 mg 2 kali sehari), bersama dengan makanan.
Efek samping: Diare, mual, muntah.
e) Amprenavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Resistensi terhadap amprenavir terutama disebabkan oleh mutasi pada protease kodon
50.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 2400 mg per hari (8 kapsul 150 mg 2 kali sehari, diberikan bersama atau
tanpa makanan, tapi tidak boleh bersama dengan makanan)
Efek samping: mual, diare, ruam, parestesia perioral/oral.
f) Lopinavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Resistensi: mutasi yang menyebabkan resistensi terhadap lopinavir belum diketahui
hingga saat ini.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 1000 mg per hari (3 kapsul 166,6 mg 2 kali sehari, setiap kapsul
mengandung 133,3 mg lopinavir + 33,3 ritonavir), diberikan bersamaan dengan
makanan.
Efek samping: mual, muntah, peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida, peningkatan
y-GT.
g) Atazanavir
Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).
Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.
Dosis: per oral 400 mg per hari (sekali sehari 2 kapsul 200 mg), diberikan bersama
dengan makanan.
Efek samping: hiperbilirubinemia, mual, perubahan EKG (jarang).
Evaluasi obat terpilih
1. Tenofovir (TDF)
Indikasi : Antiretroviral pada pengobatan HIV
Dosis : 1x sehari 245 mg dengan atau tanpa makanan
Efek samping : Fanconis syndrome dengan disertai renal toksisitas, depresi,
insomnia, demam , pusing.
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : Karena pada pengobatan awal menggunakan d4T dan ddI, dimana
kombinasi tersebut memiliki efek samping neuropati perifer sehingga obat harus
dihentikan, berdasarkan guideline yang ada apabila telah menggunakan d4T atau AZT
maka pengobatan diganti TDF + (3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada panduan
lini kedua.
Harga : obat gratis
2. Lamivudin (3TC)
Indikasi : Antiretroviral pada pengobatan HIV
Dosis : 150 mg peroral tiap 12 jam atau 300 mg peroral sekali sehari <50kg: 2mg/kg
peroral tiap 12 jam dengan/ tanpa makanan.
Efek samping : infeksi saluran nafas bagian atas, mual, muntah, diare, nyeri perut;
batuk; sakit kepala, insomnia; malaise, nyeri muskuloskelatal; gejala nasal;
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : Karena pada pengobatan awal menggunakan d4T dan ddI, dimana
kombinasi tersebut memiliki efek samping neuropati perifer sehingga obat harus
dihentikan, berdasarkan guideline yang ada apabila telah menggunakan d4T atau AZT
maka pengobatan diganti TDF + (3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada panduan
lini kedua. Lamivudin juga memiliki efek samping paling ringan dengan laju resisten
yang lambat.
Harga : obat gratis
3. Kaletra
Kandungan : Sediaan tablet yang mengandung lopinavir 200 mg dan ritonavir 50 mg
Indikasi : Antiretroviral pada pengobatan HIV
Dosis : 2x sehari 1 tablet diminum dengan atau tanpa makanan
Efek samping : Efek samping yang paling umum adalah defekasi abnormal, lelah-
lemah, diare, mual dan muntah
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : karena sesuai dengan panduan lini kedua yang direkomendasikan
dan merupakan obat golongan protease inhibitor kombinasi dengan ritonavir yang
dimaksudkan untuk mengurangi dosis dari obat golongan PI karena jika tanpa
ritonavir dosis yang diperlukan menjadi tinggi sekali
Harga : -
4. Neurobion Forte
Kandungan :
Vitamin B1 (Thiamine mononitrate) 100 mg
Vitamin B6 (Pyridoxol Hydrochloride) 100 mg
Vitamin B12 5000 mcg
Indikasi : Untuk pengobatan kekurangan Vitamin B1, B6 dan B12 seperti pada beri-
beri dan polineuritis.
Dosis : 1x sehari 1 tablet sesudah makan
Efek samping : -
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : Neurobion digunakan untuk mengatasi neuropati perifer pasien
akibat dari efek samping penggunaan ARV, karena neurobion berisi vitamin B
kompleks yang juga berfungsi memelihara integritas jaringan saraf.
Harga : Dos 10x10 tab Rp. 165.000
KOMUNIKASI INFORMASI EDUKASI
Memberikan informasi tentang obat baik mengenai nama obat, dosis, aturan pakai dan
cara penggunaan obat.
Penyampaian informasi, instruksi, dan peringatan kepada pasien tentang efek terapi
dan efek samping yang mungkin timbul selama pengobatan efek samping yang
kemungkinan dapat terjadi.
Meyakinkan pasien bahwa pengobatan dengan antiretroviral dapat memberikan
manfaat.
Pemberian informasi dan edukasi yang jelas kepada pasien sebelum memulai terapi.
Memberi penjelasan mengenai alasan obat pasien diganti
Tetap memberi informasi mengenai pencegahan penularan penyakit AIDS
baik secara non seksual maupun seksual
Memberikan informasi mengenai pencegahan terhadap infeksi lain seperti:
1. Menggunakan air bersih
2. Memasak makanan dengan benar
3. Mencuci tangan dengan benar
4. Menggunakan antiseptic jika terluka
Memberi edukasi mengenai hidup sehat seperti olahraga teratur, tetap aktif
beraktivitas agar lebih sehat.
Pengobatan pendukung seperti :
Aspek Psikologis, meliputi :
Perawatan personal dan dihargai
Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-
masalahnya
Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya
Tindak lanjut medis
Mengurangi penghalang untuk pengobatan
Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka
Aspek Sosial.
Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari
lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal:
Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan
diperhatikan
Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang dalam
mengatasi suatu masalah.
MONITORING DAN EVALUASI
Pemantauan klinis yang perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak
memulai terapi ARV (pergantian obat baru) dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien
telah mencapai keadaan stabil. Dimana Pada setiap kunjungan perlu dilakukan
penilaian klinis termasuk tanda dan gejala efek samping obat atau gagal terapi dan
frekuensi infeksi (infeksi bakterial, kandidiasis dan atau infeksi oportunistik lainnya)
ditambah konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan
kepatuhan.
Monitoring pengobatan toxoplasmosis selama 3-6 minggu
Pemantauan labolatoris berupa:
1. pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan
2. Pasien yang mendapat TDF, perlu pemeriksaan kreatinin serum pada awal, dan
setiap 3 bulan pada tahun pertama kemudian jika stabil dapat dilakukan setiap 6
bulan.
3. Pengukuran viral load (HIV RNA) tidak dianjurkan sebagai dasar pengambilan
keputusan untuk memulai terapi ARV atau sebagai alat pemantau respon
pengobatan pada saat tersebut. Dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis dini
adanya kegagalan terapi atau menilai adanya ketidaksesuaian antara hasil CD4
dan keadaan klinis dari pasien yang diduga mengalami kegagalan terapi ARV.
VII. PERTANYAAN DAN JAWABAN
1. Nur Itciani Harlin (18123441A)
Pertanyaan :
Kenapa lebih memilih lamivudine (3TC) dibandingkan dengan FTC ?
Jawaban :
Karena lamivudine memiliki efek samping yang lebih ringan dan laju resistensinya
lebih lambat, dan juga lamivudine merupakan obat gratis subsidi pemerintah.
2. Rosita Rahmah (18123452A)
Pertanyaan :
Untuk efek samping berupa neuropati perifer, apakah ditangani dengan obat-obatan
tertentu ?
Jawaban :
Ya, untuk neuropati perifer ditangani dengan pemberian obat yang dapat menangani
gangguan syaraf seperti neurobion, dimana neurobion berisi vitamin B kompleks.
3. Irfan (18123547A)
Pertanyaan :
Untuk sulfadiazine , pirimidin dan asam folat merupakan obat untuk HIV pasien ?
Jawaban :
Tidak, karena sulfadiazine, pirimidin dan asam folat digunakan untuk mengatasi
toxoplasma serebral pasien, tetapi tidak digunakan lagi karena status pasien telah
pulih dari episode toxoplasma.
VIII. KESIMPULAN
Pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami efek samping neuropati
perifer karena penggunaan kombinasi obat ARV stavudin dan didanosine yang ditandai
dengan gejala berupa nyeri, kesemutan, bagian ujung tubuh hilang rasa, lemah otot, tidak ada
reflex oleh karena itu dilakukan penghentian obat dan mengganti obat yang sesuai dengan
guideline yang ada, dan efek samping tersebut diatasi dengan pemberian neurobion. Dan
untuk penggunaan obat sulfadiazine, pirimetamine, dan asam folat dapat dihentikan karena
nilai CD4 pasien lebih dari 200 sel/mm2
DAFTAR PUSTAKA
Clinical Management of the HIV-Infected Adult: A Manual For Midlevel Clinicals, oleh
Patricia Yeargin, Rosemary Donnelly, dan Dianne Weyer, RN, MN, CFNP.
Southeast AETC and MATEC, Maret 2003.
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
bagi ODHA, Jakarta, 2003.
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral, Jakarta, 2004.
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Jakarta, 2002.
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Puskesmas,
Jakarta, 2004.
Fletcher CV. & Kakuda TN. HIV Infection di Dipiro JT et al. Pharmacotherapy, A
Pathophysiologic Approach., 6th ed, Mc Graw-hill, NewYork, 2005: 2255-2277.
Gregg CR. Drug Interaction And Anti-Infective Therapies.The American journal of Medicine
1999;106:227-237.
Hoffmann C, Rockstroh JK, Kamps BS. HIV Medicine 2005. Flying Publisher. Paris,
Cagliari, Wuppertal, Sevilla 2005.
Management Sciences for Health, Managing Drug Supply, New York, Kumarin Press, 1998.
Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana., 2007, Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan dan
Efek Sampingnya, Edisi Keenam, PT. Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta.
Tim Penyusun IONI, 2000, IONI: Informatorium Obat Nasional Indonesia, hal. 301, Depkes
RI Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Tim Penyusun ISO Farmakoterapi, 2008, ISO Farmakoterapi Jilid II, PT. ISFI Penerbitan,
Jakarta.