BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini tuntutan akan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang konsisten, bermutu tinggi, dengan cara paling efektif, biaya
terjangkau, serta akuntabel semakin menguat. Bagi rumah sakit negeri,
pengendalian biaya pelayanan kesehatan seringkali menjadi persoalan
yang cukup memberatkan di tengah ketatnya persaingan dengan rumah
sakit dan klinik swasta. Dalam jangka panjang persoalan ini dikhawatirkan
akan menjadi beban berat bagi anggaran belanja rumah sakit negeri.
Rumah Sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan perorangan kepada masyarakat
memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan
derajat kesehatan masyarakat, Oleh karena itu rumah sakit dituntut
memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang
ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.Pelayanan
kesehatan yang bermutu dengan pembiayaan yang efisien menjadi pilihan
masyarakat saat ini. Sebagai konsekuensinya setiap pemberi pelayanan
kesehatan dituntut untuk bisa memberikan pelayanan yang berkualitas
agar dapat menarik pelanggan. Namun hal ini berbeda jika dipandang dari
segi masyarakat sebagai pihak yang menggunakan jasa pelayanan
tersebut, dimana biaya pelayanan kesehatan menjadi salah satu faktor
penentu utilisasi terhadap pelayanan kesehatan. Fenomena yang terjadi
saat ini adalah biaya pelayanan kesehatan cendrung naik dari tahun ke
1
tahun, terutama biaya pelayanan di rumah sakit. Untuk itu perlu dicari
suatu solusi untuk mengendalikan biaya pelayanan di rumah sakit melalui
mekanisme pembayaran pra upaya (prospective payment system) di
rumah sakit. Prospective Payment System (PPS) adalah sistem
pembayaran kepada pemberi pelayanan kesehatan dalam jumlah uang
yang sudah ditetapkan sebelum pelayanan diberikan dengan sebelumnya
memperhitungkan tindakan medic yang diperlukan dan lama hari rawatan.
PPS dapat berupa per diem package (tarif rumah sakit harian), buget tarif
rumah sakit,sistem kapitasi. Yang popular saat ini adalah penerapan
tagihan rumah sakit melalui pendekatan case mix, yaitu suatu cara
pendekatan ilmiah untuk mengklarifikasi dan (1)menggambarkan out put
dari suatu Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK).Pendekatan ini
menggolongkan kasus penyakit dan tindakan dalam sejumlah kelompok
yang disebut Diagnosis Related Group’s (DRG’s).
Sampai saat ini Departemen Kesehatan belum membuat tarif
yangbersifat tetap per episode penyakit atau diagnosis penyakit sehingga
memungkinkan pasien membayar sesuai dengan kemampuannya. Sistem
casemic atau yang lebih popular nama Diagnosis Related Group (DRG)
merupakan salah satu alternative yang dikembangkan oleh Negara-
negara didunia dengan menggunakan prinsipprospective payment system
(PPS) di rumah sakit. Di Indonesia konsep casemic dikenal dengan nama
Indonesia Diagnosis Related Group (INA-DRG) yang disusun oleh
pemerintah dengan mengacu pada standar penyusunan tarif pelayanan
rumah sakit Internasional atau International Refined Diagnosis Related
2
Group (IR-DRG) versi dua. Standar tarif baku ini dibuat berdasarkan
kumpulan data biaya pelayanan rumah sakit dan uji coba penerapan
system pembiayaan terpadu berbasis layanan di 15 rumah sakit vertikal
di Indonesia tahun 2006.
Dalam penyusunan DRG’s diperlukan sekali pemetaan pasien dari mulai
masuk rumah sakit sampai keluar, yang sangat terkait dengan sumber
daya yang dihabiskan/dipakai yang dikenal dengan clinical pathway. Saat
ini Departemen Kesehatan sudah membuat kebijakan untuk mewajibkan
semua rumah sakit mempunyai clinical pathway setiap kasus penyakit.
Menurut Depkes kasus yang diproritaskan untuk dibuatkan clinical
pathway adalah kasus yang sering ditemui, kasus yang banyak terjadi,
memerlukan biaya yang tinggi, perjalanan penyakit dapat diperkirakan
serta telah tersedia standar pelayanan medis (SPM) dan standar
operating procedure (SOP).
Salah satu contoh kasus yang memerlukan clinical pathway adalah
sectio caesaria. Di bagian kebidanan, kasus ini adalah pembedahan yang
paling sering ditemui dan memerlukan biaya yang tinggi, perjalanan dan
hasilnya dapat diperkirakan dan telah mempunyai SPM dan SOP dari
ikatan profesi (POGI). Untuk menentukan berapa biaya yang harus
dikeluarkan dalam pelayanan tindakan sectio caesaria ini perlu dilakukan
suatu perhitungan biaya atau yang dikenal dengan cost of treatment.
Cost of treatment merupakan perhitungan biaya yang terkait
dengan biaya langsung dan tidak langsung yang dibutuhkan layanan
kesehatan per penyakit terhadap pasien yang sesuai dengan clinical
3
pathwaynya. Secara teknis perhitungan biaya tersebut akan
mempergunakan Activity Based Costing untuk biaya langsungnya yang
dimodifikasi dengan Simple Distribution Methode untuk biaya tidak
langsungnya.
Tak jarang pihak manajemen rumah sakit negeri mengeluhkan total
biaya penanganan diagnosis tertentu sering berbeda-beda pada setiap
dokter, bahkan sering lebih besar dari ketetapan Askes sehingga
berpotensi merugikan rumah sakit negeri saat mengajukan klaim biaya ke
pihak Askes, tidak sedikit dijumpai kasus keberagaman penyelenggaraan
pelayanan pasien dengan perbedaan perilaku dokter memberikan resep
obat, pemeriksaan penunjang medik yang menyebabkan jumlah
pembayaran untuk setiap kasus cenderung tinggi. Selain itu juga lamanya
rawat inap dirumah sakit (LOS), lambatnya proses administrasi, dan
lambatnya penanganan terhadap pasien merupakan persoalan yang
sering dikeluhkan pasien.Mengutip pernyataan Muller et al (2008),
penerapan clinical pathways merupakan sebuah pendekatan yang dapat
digunakan dalam rasionalisasi biaya tanpa mengurangi mutu. Metode ini
merupakan model manajemen pelayanan kesehatan yang telah banyak
diterapkan rumah sakit di berbagai belahan dunia. Pada tahun 2003
dilaporkan bahwa sebanyak 80% rumah sakit di Amerika Serikat telah
menerapkan clinical pathways.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFENISI
Clinical Pathways merupakan suatu konsep perencanaan pelayanan
terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien
berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang
berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu
selama di rumah sakit.
Clinical pathway adalah sebuah pemetaan mengenai tindakan klinis
untuk diagnosis tertentu dalam waktu tertentu, yang mendokumentasikan
clinical practice terbaik dan bukan hanya clinical practice sekarang.
Clinical pathway di rumah sakit adalah suatu pedoman yang
menerangkan aktivitas yang dialami pasien dari masuk hingga keluar
rumah sakit yang diperlukan sebagai alat bantu untuk meningkatkan mutu
pelayanan dan mengendalikan biaya pelayanan. Clinical pathway
merupakan dasar untuk melakukan evaluasi agar tercapai pelayanan
medic yang bermutu, menghindari tindakan atau aktivitas yang tidak perlu.
Konsep ini merupakan pedoman dasar pasien mendapatkan kepastian
biaya pelayanan agar pasien mendapatkan biaya dari upaya
penyembuhan penyakitnya.
5
Clinical pathway yang diterapkan dengan baik dapat menjadi “alat”
kendali mutu pelayanan kesehatan RS. Di sisi yang lain, dalam era JKN
yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan kini, penerapan clinical pathway
dapat menjadi salah satu upaya kendali biaya. Biaya yang dikeluarkan
dari pemberi pelayanan kepada pasien dapat dihitung berdasarkan clinical
pathway dan dibandingkan dengan tarif INA CBG’s yang telah ditetapkan.
Sehingga, jika biaya pelayanan yang diberikan kepada pasien melebihi
tarif INA CBG’s yang telah diterapkan maka rumah sakit dapat segera
mengupayakan efisisensi.
B. MANFAAT CLINICAL PATHWAYS
1. Hasil dan revisi CP dapat dipakai sebagai alat (entry point) untuk
melakukan perbaikan dan revisi Standar Pelayanan Medis dan asuhan
Keperawatan yang bersifat dinamis dan berdasarkan pendekatan
Evidence-based Medicine (EBM) dan Evidence-based Nurse (EBN).
Partisipasi aktif, komitmen dan konsistensi dari seluruh jajaran direksi,
manajemen dan profesi harus dijaga dan dipertahankan demi terlaksana
dan suksesnya program Casemix di rumah sakit. Bila Sistem Casemix
6
Rumah Sakit telah berjalan, maka untuk selanjutnya akan lebih mudah
untuk masuk ke dalam sistem pembiayaan lebih lanjut yakni Health
Resources Group (HRG)
2. Clinical Pathways menjadi salah satu komponen dari Sistem DRG-
Casemix yang terdiri dari kodefikasi penyakit dan prosedur tindakan (ICD
10 dan ICD 9-CM) dan perhitungan biaya (baik secara top down costing
atau activity based costing maupun kombinasi keduanya), sehingga
Implementasi Clinical Pathways berkaitan erat dengan Clinical
Governance dalam hubungannya menjaga dan meningkatkan mutu
pelayanan dengan biaya yang dapat diestimasikan dan terjangkau.
3.Clinical Pathways bisa digunakan sebagai salah satu alat mekanisme
evaluasi penilaian risiko penilaian risiko untuk mendeteksi kesalahan aktif
(active errors) dan laten (latent / system errors) maupun nyaris terjadi
(near miss) dalam Manajemen Risiko Klinis (Clinical Risk Management)
dalam rangka menjaga dan meningkatkan keamanan dan keselamatan
pasien (patient safety).
C. LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN CLINICAL PATHWAYS
Setelah memahami pentingnya clinical pathway, masalah baru
yang muncul adalah bagaimana membuat clinical pathway dengan benar?
Clinical pathway masih merupakan hal yang baru bagi sebagian besar
rumah sakit di Indonesia.
Penyusunan Format Clinical Pathways harus memperhatikan komponen
yang harus dicakup sebagaimana definisi dari Clinical Pathways.
7
Manfaatkan data yang telah ada di lapangan rumah sakit dan kondisi
setempat dan sensus harian.Variabel varians varians dalam Clinical
Pathways dapat digunakan sebagai alat (entry point) untuk melakukan
audit medis dan manajemen baik untuk tingkat pertama maupun kedua
(1st party and 2nd party audits) dalam rangka menjaga dan meningkatkan
mutupelayanan.
Variabel tindakan tindakan dalam Clinical Pathways bisa digunakan
sebagai alat dalam melakukan surveilans Tim Pengendalian Infeksi
Nosokomial dan selanjutnya untuk menilai Health Impact Intervention.
Variabel obat obatan dalam Clinical Pathways dapat digunakan sebagai
alat (entry point) untuk melakukan kegiatan evaluasi dan monitoring dari 5
Langkah 12 Kegiatan Tim Farmasi dan Terapi Komite Medik RS.
Sekaligus secara tidak langsung menggalakkan penggunanan obat secara
rasional dan dapat melihat cermin dari penggunaan obat generik.
Berdasarkan PERMENKES Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010
tentang Standar Pelayanan Kedokteran, dokter dan dokter gigi dalam
melaksanakan praktik
kedokteran termasuk di Rumah Sakit harus sesuai dengan standar.
Standar tersebut meliputi Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
(PNPK) dan SPM (Standar Pelayanan Medis). PNPK merupakan standar
pelayanan kedokteran yang bersifat nasional dan dibuat oleh organisasi
profesi serta disahkan oleh menteri, sementara
SPM dibuat dan diterapkan oleh pimpinan pelayanan kesehatan.
Selanjutnya, Rumah Sakit sebagai pemberi pelayanan kesehatan perlu
8
menyusun langkah pelayanan yang lebih detail yang diberikan pada
masing-masing pasien berdasarkan PNPK dan SPO yang diwujudkan
dalam clinical pathway .Adapun Langkah Penyusunan Clinical
Pathway dalam Rangka Kendali Mutu & Kendali Biaya Manaj
emen Rumah Sakit adalah :
1. Menentukan Topik
Topik yang dipilih terutama yang bersifat high volume, high cost,
high risk dan problem prone. Dapat pula dipilih kasus-kasus yang
mempunyai gap yang besar antara biaya yang dikeluarkan dengan tarif
INA CBG’s yang telah ditetapkan.
2. Menunjuk koordinator (penasehat multidisiplin)
Kordinator utama bertugas sebagai fasilitator, sehingga tidaklah
harus memahami clinical pathway secara konten. Sebelum menunjuk
koordinator, terlebih dahulu dikumpulkan anggota yang berasal dari
berbagai disiplin yang terlibat dalam pemberi pelayanan pasien. Tim
multidisiplin tersebut wajib menyampaikan item-item
pelayanan yang diberikan kepada pasien berdasarkan SPO kepada
masing-masing tim profesi dan mengikuti rangkaian rapat dalam
kelanjutan membuat clinical pathway.
3. Menentukan Pemain Kunci
Pemain kunci adalah siapa saja yang terlibat dalam pelayanan
yang diberikan kepada pasien. Misal, pemain kunci dalam pemberian
pelayanan kepada pasien
9
Appendicits Akut tanpa komplikasi adalah dokter umum, dokter spesialis
bedah, dokter spesialis anastesi, perawat, dan ahli gizi.
4. Melakukan Kunjungan Lapangan
Setelah menentukan anggota dalam penyusunan clinical pathway,
maka selanjutnya dilakukan kunjungan lapangan untuk mencari pedoman
praktik klinis (PPK), misalnya dalam bentuk SPO atau SPM dan SAK
(Standar Asuhan Keperawatan). Kunjungan lapangan dilakukan agar
dapat menilai sejauh mana pelayanan yang didapatkan oleh pasien. Juga
menilai hambatan yang terjadi di bangsal dalam menjalankan SPO atau
SPM sehingga dapat dibuat rekomendasi dalam menyusun clinical
pathway. Dalam mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, dapat
pula dilakukan dengan melakukan benchmarking terhadap penerapan
clinical pathway di tempat lain. Perlu diingat bahwa, clinical pathway untuk
kasus dengan diagnosis yang sama yang diterapkan di rumah sakit lain
belum tentu dapat serta-merta diterapkan di rumah sakit kita. Hasil
benchmarking perlu dipadukan dengan kemampuan manajerial dan SDM
RS serta kondisi-kondisi lain yang terkait.
5. Mencari Literatur
Dalam mencari literatur dapat mencari best practice dalam skala
nasional yaitu PNPK, ataupun sumber-sumber guideline/ jurnal penelitian
internasional dan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing rumah
sakit. Evidence Based Medicine diperlukan bilamana PNPK belum/ tidak
dikeluarkan oleh organisasi profesi ybs.
6. Melaksanakan Customer Focus Group
10
Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan
disesuaikan dengan kemampuan rumah sakit sehingga, kesenjangan
antara harapan dan pelayanan yang didapatkan pasien dapat diketahui
dan dapat diperbaiki.
7. Telaah Pedoman Praktik Klinis (PPK)
Langkah awal dalam tahap ini adalah melakukan revisi PPK (SPM
dan SAK), namun jika sebelumnya rumah sakit belum mempunyai PPK,
maka PPK harus dibuat, karena tidak ada clinical pathway tanpa adanya
PPK. Berdasarkan Permenkes. No 1438 tahun 2010, clinical pathway
bersifat sebagai pelengkap PPK. Menurut Permenkes tersebut, PPK harus
di-review setiap 2 tahun sekali, sehingga secara tidak langsung
pembuatan clinical pathway dapat meningkatkan kepatuhan review PPK.
8. Analisis casemix
Dalam pengembangan clinical pathway, perlu dilakukan
mengumpulkan aktivitas-aktivitas untuk dikaitkan dengan besarnya biaya,
untuk mencegah adanya Fraud. Dalam hal ini perlu dilakukan identifikasi
LoS suatu diagnosis, biaya per-kasus, penggunanan obat apakah sudah
sesuai dengan formularium nasional, maupun tes penunjang diagnostik
suatu penyakit.
9. Menetapkan Desain Clinical Pathway serta Pengukuran Proses dan
Outcome
Dalam menetapkan desain, hal yang terpenting adalah beberapa
informasi yang harus ada dalam clinical pathway, yaitu kolom pencatatan
informasi tambahan, variasi, kolom tanda tangan, serta kolom verifikasi
11
dari bagian rekam medis. Kemudian, ditetapkanlah item-item aktivitas dari
masing-masing penyakit sesuai dengan literatur yang telah dipilih dan
disesuaikan dengan keadaan rumah sakit. Item aktivias ini sebaiknya
mudah dimengerti, sehingga meningkatkan kepatuhan dalam
menjalankannya.
10.Sosialisasi dan Edukasi
Tahap terakhir dalam membuat clinical pathway adalah,
melakukan sosialisasi dan edukasi kepada para pengguna, dalam hal ini
berbagai profesi yang berhubungan langsung pada pasien. Dalam tahap
awal dapat dilakukan uji coba penerapan clinical pathway yang telah
disusun guna mendapatkan feedback untuk mendapatkan bentuk yang
user friendly serta konten yang sesuai dengan kondisi di lapangan dalam
rangka mencapai kepatuhan penerapan clinical pathway yang lebih
optimal. Sosialisasi clinical pathway ini harus dilakukan intensif minimal
selam 6 bulan. Perlu ditekankan bahwa clinical pathway adalah “alat.”
Efektifitas dalam kendali mutu dan kendali biaya amat tergantung pada
user yang menerapkannya. Sehingga, perlu disusun strategi sedemikian
rupa agar alat tersebut diterapkan sebagaimana mestinya dalam
kepatuhan maupun ketepatan penggunaannya.
12
D. CONTOH FORMAT CLINICAL PATHWAY KASUS DI BAGIAN
KEBIDANAN DAN KANDUNGANl
Berikut akan dilampirkan adalah beberapa contoh clinical pathways
untuk kasus – kasus dibagian kebidanan (seksio sesarea tanpa penyulit)
dan clinical pathways beberapa kasus di bagian kandungan yang sudah
disahkan dan dipakai di beberapa Rumah Sakit di Indonesia.
13
BAB III
KESIMPULAN
1. Clinical Pathways merupakan suatu konsep perencanaan
pelayanan terpadu yang merangkum pemetaan mengenai tindakan
klinis untuk diagnosis tertentu dalam waktu tertentu, yang
mendokumentasikan clinical practice terbaik dan bukan hanya
clinical practice sekarang.
2. Hasil dan revisi CP dapat dipakai untuk melakukan perbaikan dan
revisi Standar Pelayanan Medis dan asuhan Keperawatan,
Implementasi CP berkaitan erat dengan Clinical Governance yang
menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan dengan biaya yang
dapat diestimasikan dan terjangkau serta CP juga bermanfaat
dalam rangka menjaga dan meningkatkan keamanan dan
keselamatan pasien (patient safety).
3. Langkah Penyusunan Clinical Pathway di buat oleh Rumah Sakit berdasarkan PNPK dan SPO.
14
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Windi Pertiwi, Alur penyusunan CP at:http://Pasca Sarjana .umy. ac.
Id/ mmn/ wp-content/ uploads/ 2014
Pener apan.cl i ni cal .pathways.ter bukti .mampu.menur unkan.bi
aya.pengobatan.di .r s at: http://ugm.ac.i d/i d/ber i ta/3795, 2013
Depkes RI, Kep.Menkes RI No.228/Menkes/SK/III/2002, Tentang Standar
Pelayanan Minimal
Rivany, R, 1998 ” DRG’s dan Casemix, Reformasi Mikroekonomi di
Industri Layanan Kesehatan Modul
Depkes RI,2007, “Pedoman Tarif INA-DRG” URUN REMBUG, Jakarta
Satriabudi,B, 2005, “Pendanaan obat yang semakin berat dalam
Thabrany, Pendanaan Kesehatan an Alternatif Mobilisasi Dana
Kesehatan di Indonesia, PT Rajagrafindo” Jakarta.
Persi (Jum’at, 8 Juli 2005) “Determinan Tagihan Rawat Inap Rumah Sakit
(Studi Penelitian Kasus Dua Penyakit Akut di DKI Jakarta). Jurnal
elektronik.
15
Recommended