SEMINAR DOKTER MUDA
STIGMA
Oleh:
Samiyah 010810495
Erich Ferdiansyah L. 010810496
Alfin Firasy M. 010810497
Felicitas Farica S. 010810498
Fahmy Indra 010710273
Adhyanti 010810042
Pembimbing:
Azimatul Karimah, dr., SpKJ
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ARILANGGA
RUMAH SAKIT UMUM Dr. SOETOMO
SURABAYA
2013
1
DAFTAR ISI
JUDUL…………………………………………………………………….. 1
DAFTAR ISI………………………………………………………………. 2
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………… 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………… 5
2.1 Definisi ………………………………………………………….. 5
2.2 Sejarah…………………………………………………………… 6
2.3 Proses Stigmatisasi………………………………………………. 7
2.4 Akibat Stigma…………………………………………………… 9
2.5 Penanggulangan Stigma…………………………………………. 10
BAB 3 KESIMPULAN……………………………………………………. 12
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 15
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Stigma merupakan penghalang utama untuk mencegah orang dalam
mencari bantuan. Banyak orang yang hidup dengan gangguan jiwa mengatakan
stigma yang mereka hadapi seringkali lebih buruk daripada gangguan jiwa yang
diamalmi itu sendiri. Panyakit gangguan jiwa sangat mempengaruhi presepsi
orang-orang dari segala usia dan dari semua lapisan masyarakat. Hal ini dapat
terjadi dalam berbagai bentuk gangguan jiwa termasuk depresi, kecemasan, dan
schizophrenia.
Kata stigma awalnya merupakan sebutan untuk budak-budak Yunani, yang
jelas membedakan mereka dengan majikannya. Meskipun tanda salib yang ada
pada tangan dan kaki orang suci Kristen disebut stigmata, umumnya kata tersebut
mengindikasikan aib atau kecacatan.
Meskipun terdapat kesepakatan mengenai apa itu ‘stigma’ (cap tentang aib
atau cela yang membedakan satu orang dengan orang lain), definisi berbeda dalam
luasnya dari pengalaman yang mereka jelaskan. Stigmatisasi adalah proses
dimana satu kondisi atau aspek dari seseorang dihubungkan secara luas dengan
indentitas orang tersebut (Mansoury & Dowell, 1989). Stigma adalah negatif efek
dari label (Hayward & Bright, 1997), atau proses dari pembentukan pribadi
menyimpang (Schlosberg 1993). Bagi Corrigan & Penn (1999), stigma adalah
istilah lain untuk prasangka yang berdasarkan stereotipe negatif. Kesimpulan yang
jelas adalah aspek ‘negatif’ mencerminkan tidak hanya stereotipe yang tidak
menguntungkan tapi juga sikap negatif dan perilaku buruk dari pemberi stigma.
Laporan pengalaman dari pasien dan keluarga dengan gangguan jiwa
terhadap stigma dan diskriminasi sangat banyak. Mood Disorders Society of
Canada’s (MDSC) Oktober 2006 mengadakan workshop riset tentang stigma yang
didukung oleh Institute of Neurosciences, Mental Health and Addiction
(INMHA), Badan Kesehatan Masyarakat Kanada )fokus pada mengidentifikasi
prioritas penelitian atas stigma. Hampir 100 peserta yang mewakili konsumen,
pasien, keluarga, pengasuh, peneliti, profesional dan pembuat kebijakan,
diidentifikasi stigma dan diskriminasi seperti yang diungkapkan oleh kesehatan
3
dan kesehatan mental profesional sebagai prioritas nomor satu mereka. Apabila
keadaan tersebut tidak tertangani dengan baik maka akan menjadi masalah -
masalah yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, kita harus dapat menangani dan
menyelesaikan masalah ini. Maka kami di dalam makalah ini akan membahas
tentang Stigma.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kata stigma awalnya merupakan sebutan untuk budak-budak Yunani, yang
jelas membedakan mereka dengan majikannya. Meskipun tanda salib yang ada
pada tangan dan kaki orang suci Kristen disebut stigmata, umumnya kata tersebut
mengindikasikan aib atau kecacatan.
Meskipun terdapat kesepakatan mengenai apa itu ‘stigma’ (cap tentang aib
atau cela yang membedakan satu orang dengan orang lain), definisi berbeda dalam
luasnya dari pengalaman yang mereka jelaskan. Stigmatisasi adalah proses
dimana satu kondisi atau aspek dari seseorang dihubungkan secara luas dengan
indentitas orang tersebut (Mansoury & Dowell, 1989). Stigma adalah negatif efek
dari label (Hayward & Bright, 1997), atau proses dari pembentukan pribadi
menyimpang (Schlosberg 1993). Bagi Corrigan & Penn (1999), stigma adalah
istilah lain untuk prasangka yang berdasarkan stereotipe negatif. Kesimpulan yang
jelas adalah aspek ‘negatif’ mencerminkan tidak hanya stereotipe yang tidak
menguntungkan tapi juga sikap negatif dan perilaku buruk dari pemberi stigma.
Pada bukunya yang terbit tahun 1963, Goffman mendefinisikan stigma
sebagai ‘Sifat yang sangat meragukan’. Menurutnya, stigmatisasi adalah proses
interaktif sosial, namun beberapa orang yang menginterpretasi karyanya
mengindikasikan bahwa kesalahan teeletak pada orang yang menjadi sasaran
stigma. Beberapa penulis baru menggunakan istilah stigma dalam pengertian yang
lebih luas, contohnya, untuk mengacu pada reaksi dari orang lain, atau untuk
mengikut sertakan sikap dan kelakuan dari korban dan pelaku.
Demi komunikasi yang tepat sangatlah penting bagi para peneliti untuk
mendefinisikan mana konsep stigma yang mereka gunakan. Berdasarkan
Scrambler, dikembangkan dalam karya tentang epilepsy – adalah felt stigma dan
enacted stigma. Felt stigma (stigma internal atau stigmatisasi diri) merujuk pada
perasaan malu dan ekspektsi dari diskriminasi yang mencegah untuk
membicarakan pengalaman mereka dan menghentikan mereka dari mencari
5
pertolongan. Enacted stigma (stigma eksternal, diskriminasi) merujuk pada
pengalaman terhadap perlakuan yang tidak adil dari orang lain. Felt stigma dapat
sama merusak dengan enacted stigma karena sama-sama mengarah pada
penarikan diri dan restriksi dari dukungan sosial.
2.2 Sejarah
Kata pertama dan terakhir tentang stigma dimiliki oleh orang dengan
gangguan jiwa. Shaw (1998) mengutip tentang reaksi bukunya yang bercerita
tentang deperesi post-natalnya: “Bagaimana kita bisa mempercayai kredibilitas
orang ini ketika ia sendiri menyatakan bahwa dirinya menderita dari depresi berat
pada saat itu”. Untungnya, hanya sebagian kecil dari para psikiater yang
mengabaikan narasi tersebut. Karya Goffman (1963) menceritakan tentang
pengalaman orang-orang yang dicap dengan berbagai stigmata. Proyek Barham &
Hayward (1995) menceritakan tentang penderita skizofrenia yang tinggal di
komunitas, yang mengingatkan tentang karya Goffman dengan peghuni rumah
sakit jiwa. Read & Reynold (1996) serta Sayce (2000) memberi informasi lebih
banyak mengenai apa arti menjadi seseorang yang menderita gangguan jiwa.
Realitas mengenai karir psikiater US memainkan peranan besar dalam karya Fink
& tasma (1992) dan Wahl (1999). Tema utama dari keenam buku tersebut adalah
eksklusi sosial, kesulitan finansial, dan diskriminasi. Laporan terbaru, berdasarkan
respon dari 556 pengguna di UK menunjukkan bahwa 70% pernah mengalami
diskriminasi dalam berbagai bentuk: 47% di tempat kerja, 44% dari dokter umum,
dan 32% dari tenaga kesehatan lainnya (Mental Health Foundation, 2000).
Dalam hal sudut pandang sejarah, buku yang paling sering dibaca adalah
Porter (1991). Buku tersebut merupakan rekaman berharga tentang sikap dan
pengobatan pada masa itu. Penuh dengan pengalaman personal yang menarik,
yang dimulai degan kutipan terkenal dari Nathaniel Lee: “Mereka menyebutku
gila, dan aku menyebut mereka gila, dan terkutuklah mereka, mereka lebih banyak
dari pada aku”. Stigma dari masa ke masa dan dalam berbagai kebudayaan juga di
deskripsikan dalam bab 2 dari buku Fink & Tasman (1992). Karya yang paling
komprehensif dan terstruktur dalam area ini adalah dari Fabrega (1990, 1991),
artikel tersebut, yang secara ekstensif direferensikan, memberikan wawasan
6
berharga mengenai berbagai pengaruh budaya, agama, etnik, dan sejarah pada
stigmatisasi. Masyarakat barat selalu mensosiasikan moralitas dan kebajikan
dengan kesehatan dan nalar/logika, dan masyarakat Kristen awal selalu
menghubungkan ‘gila’ dengan gambaran iblis, kejahatan, pengacau, dan pendosa
(Schlosberg, 1993). Pengetahuan mengenai asosiasi tersebut adalah hal yang
penting untuk mengerti tentang asal dari stigma psikiatrik.
Sudut pandang sejarah adalah hal yang penting, namun akanlah sangat
konyol apabila menganggap stigma hanya sebagai masalah historical, atau
menganggap stigma, seperti kemiskinan, selalu dekat dengan kita.
Kendati pendekatan ilmiah dan peningkatan dari model kesehatan, stigma belum
dapat disingkirkan (Read & Law 1999). Angermerver (1987) membandingkan
persepsi tentang stigma pada pasien rawat inap dalam rumah sakit yang terisolasi
dan pasien rawat inap di rumah sakit universitas besar, dimana mereka sering
bertemu orang-orang dengan berbagai kondisi kesehatan. Berlawanan dengan
prediksi dari para staf dan peneliti, grup yang berada di rumah sakit universitas
yang besar memilki stigma yang lebih besar, mereka lebih memilik untuk menjadi
pasien rumah sakit yang rahasia dan terisolasi.
2.3 Proses Stigmatisasi
Beberapa komentator mengadopsi posisi ekstrim dimana tidak ada stigma
yang melekat sama sekali pada penderita gangguan jiwa. Penggagas pandangan
ini mengatakan bahwa rasa diskriminasi terhadap mantan penderita adalah tidak
nyata dan merupakan tanda dari kesalahan interpretasi akibat dari psikopatologi
yang berlangsung. Scheff, penulis pada akhir 1960, mengenalkan tentang teori
labeling. Scheff menulis bahwa label ‘skizofrenia’ mengaktifkan stereotipe dari
gangguan jiwa yang telah dipelajari sejak kecil (dari teman, keluargam dan media)
dan kita merespon dengan sesuai baik sebagai pasien, anggota keluarga, maupun
professional. Label tersebut mempengaruhi bagaimana kita merespon dan
memperlakukan pasien serta bagaimana pasien tersebut merasa dan bersikap.
7
Terdapat beberapa bukti bahwa label diagnostik dapat mempengaruhi
sikap orang, siswa menunjukan sikap yang sama kecuali kepada orang yang
dideskripsikan sebagai penderita kanker atau skizofrenia. Orang dengan
skizofrenia di gambarkan sebagai orang yang tidak diinginkan menjadi teman dan
tidak bisa berfungsi dalam masyarakat. Mengubah label dapay mengubah persepsi
ekspekatsi terhadap sesuatu.
Orang sering berfikir: ‘Label itu jelek, tidak ada label yang baik’, jadi
singkirkan label dan tidak akan adla lagi stiga dan diskriminasi. Hal ini sangat
sederhana, kita tidak bisa menyingkirkan semua label dan terminology psikiatrik.
Sebuah kata dibutuhkan untuk komunikasi klinis dan perbandingan hasil
penelitian. Tentu saja kita memilki ekspetasi negatif yang kuat terhadap kondisi
seperti skizofrenia, namun labeling bukan merupakan segalanya. Menilik reaksi
masyarakat terhadap seseorang yang berjalan dengan stereotip ‘pasien psikiatri
kronis’, meskipun masyarakat tidak tahu mengenai label spesifik orang tersebut,
orang tersebut akan di jauhi dan ditolak secara sosial. Tidak semua dari kita
memilki stereotipe sama tentang gangguan jiwa, dan tidak semua memilki
pandangan negatif. Maka dari itu, kita harus mempertimbangkan apa arti dari
setiap label pada setiap orang.
Sudut pandang lain akan berargumen bahwa label adalah irelevan;
penolakan masyarakat pada orang dengan diagnosa gangguan jiwa adalah murni
berdasarkan dari kelakukan mereka. Mereka dengan gangguan jiwa kronik
mungkin memiliki tanda fisik dari penyakit mereka, seperti kebersihan diri yang
jelek, penampilan yang berantakan, dan pergerakan wajah yang abnormal, yang
akan mengurangi penerimaan sosial mereka. Namun, bahkan dengan tidak adanya
kelakuan abnormal, persepsi seseorang dapat berubah saat mereka percaya bahwa
seseorang menderita gangguan jiwa. Hal ini berefek pada penderita yang
mengetahu bahwa orang lain mengetahui tentang penyakit mereka.
Kebanyakan penelitian pada tahun 1970 yang focus pada debat label vs
kelakuan, namun ini adalah dikotomi yang salah. Bukan salah satu dari labeling
atau kelakuan yang mengakibatkan stigma, namun campuran dari keduanya.
Mereka dengan gangguan jiwa didiskriminasi dan menderita sebagai akibatnya.
8
2.4 Akibat Stigma
Masyarakat UK telah lama berlaih dari rumah sakit jiwa gaya Victoria.
Pengobatan efektif saat ini mengizinkan kesembuhan dan integrasi dari pasien
gangguan jiwa dengan masyarakat. Namun, stigma dari gangguan jiwa masih
mempengaruhi kesempatan untuk penderita mendapatkan pekerjaan atau rumah
atau pernikahan. Diskriminasi mengubah bagaimana pasien melihat diri mereka,
nilai diri dan tempat mereka di masa depan.
Efek psikologis segera dari diagnosa psikiatrik adalah ketidakpercayaan,
malu, terror, kesedihan dan kemarahan. Penolakan sosial menyebabkan penurunan
dari kepercayaan diri, yang menjurus pada penarikan diri. Penderita mungkin
menerima rendahnya ekspektasi masyarakat terhadap mereka dan menyerah untuk
berusaha. Tidak adanya harapan dan kurang prospek adalah faktor yang erberan
dalam tingginya angka bunuh diri pada orang dengan gangguan jiwa.
Label gangguan jiwa membuat semakin sulit mencari kerja. Skizofrenia
mengakibatkan UK kehilangan £1,7 miliar pertahun. Ketika orang dengan
gangguan jiwa berat diberi dorongan dan disuport untuk mencari kerja, maka
angka rawat inap akan turun dan secara garis besar akan meningkatkan kesehatan
mental mereka.
Beberapa dari mereka yang merespon pada MIND’s 1996 survei, merasa
bahwa mereka pernah didiskriminasikan oleh petugas medis, kebanyakan
disebabkan oleh gangguan jiwa yang menutupi penyakit fisik. Penderita, seperti
yang dilaporkan pada survei besar dari Yayasan Kesehatan Mental, menganggap
bahwa dokter umum mereka tidak sensitive, acuh, dan sangat bergantung pada
obat untuk treatmen. Mungkin karena kurangnya pelayanan kesehatan
berkontribusi pada tingginya angka mortalitas pada penderita skizifrenia di UK.
Petugas medis menyembunyikan jiwa mereka atau anggota keluar.
Penyangkalan terhadap penyakit menunda pengobatan dan memiliki andil dalam
tingginya angka bunuh diri pada mahasiswa kedokteran dan dokter muda. Orang
yang memiliki gangguan jiwa sering dianggap bukan saksi yang kredibel dan
tuntutan kebanyakan dibatalkan karena mereka takut, apabila rahasia medisnya
terbongkar, mereka tidak akan dipercaya.
9
Keluarga penderita gangguan jiwa berat juga merasakan stigma yang
membuat separuh dari mereka untuk menyembunyikan admisi keluarga mereka
dengan gangguan jiwa berat dalam rumah sakit. Stigma yang dirasakan secara
langsung oleh mereka yang tinggal dengan penderita gangguan jiwa juga
dirasakan oleh petugas kesehatan dalam derajat tertentu. Kita tidak boleh lupa
bahwa dalam Nazi Jerman, beberapa tenaga kesehatan juga dibunuh bersama para
penderita gangguan jiwa. Petugas kesehatan jiwa juga kebanyakan tidak mendapat
uang yang layak, hal ini berpengaruh pada kesulitan rekrutmen dan retensi.
2.5 Penanggulangan Stigma
Keuntungan pada individu dan keluarga dalam menghadapi stigma
meliputi merubah efek negatif dari diskriminasi yang disebutkan diatas.
Kemungkinan penderita akan datang lebih awal dan lebih patuh dalam mengikuti
pengobatan apabila pelayanan medis tidak menstigma. Pelayanan yang dinilai
lebih tidak menstigma memiliki angka drop-out lebih rendah. Bukti anekdotal
menunjukan bahwa stigma dari gangguan jiwa akan memberi efek pada rekrutmen
dan retensi pada staff. Lingkungan kerja yang anti-stigma dapat menjadi
pengalamn positif bagi mereka yang terlibat. Masyarakat akan mendapat
keuntungan dari kohesi sosial yang lebih besar, dan secara finansial, dengan
merehabilitasi pasien untuk mendapatkan pekerjaan kembali. Diskriminasi
gangguan jiwa bercabang dari struktur masyarakat dan dari sikap dan perilaku
individual, kedua hal tersebut perlu dirubah dengan pembaharuan hokum, edukasi
publik, dan protes. Edukasi publik dan protes dapat berbasis internasional,
nasional, dan lokal. Proyek internasional termasuk diantaranya global program
dari Asosiasi Psikiatri Dunia untuk memerangi stigma dan diskriminasi yang
muncul dari skizofrenia. Program ini diawali di beberapa Negara dan memberikan
hasil awal yang menjanjikan. Hari Kesehatan Mental Sedunia dirayakan di lebih
dari seratus Negara setiap tahunnya, dengan banyak acara edukasi publik yang
berbeda. Pada tahun 1992 di Norwegia diselenggarakan kampanye mass-media
yang mengakibatkan perubahan dalam pengetahuan dan sikap yang berarti.
Mungkin hal ini membantu membuat reaksi positif pada Perdana Menteri
Norwegia ketika, pada 1998, dia mengambil cuti karena depresi.
10
Dalam pemerintahan Inggris dibuat kebijakan untuk mempromosikan
inklusi para penderita gangguan mental dalam berbagai area di masyarakat. The
Royal College of Psychiatrists (Inggris) saat ini sedang melakukan kampanye 5
tahun ‘Changing Minds, every family in the land’. Tujuannya adalah untuk
mereduksi stigma dari gangguan jiwa dengan aktivitas seperti road show, acara
local, dan trailer bioskop. Tentu saja, media, terutama TV merupakan sumber
utama informasi masyarakat dan pandangan mengenai gangguan mental. The
Royal College of Psychiatrists memiliki jaringan pada Divisional Public
Education Officers yang perannya adalah mendukung media lokal untuk
memberikan informasi yang akurat tentang kesehatan mental, menulis artikel,
menjadi nara sumber untuk jurnalis, menulis komplain tentang diskriminasi dan
memberi dukungan bagi orang yang juga melakukan protes. Penyedian informasi
yang akurat yang mengkontradiksi stereotipe dapat membantu mengubah
kepercayaan yang salah tentang gangguan jiwa. Kesulitan terletak pada cara
menyalurkan informasi yang benar kepada target.
11
BAB 3
KESIMPULAN
Konsep gangguan jiwa dari the Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder (DSM)-IV, yang merupakan rujukan dari PPDGJ-III,
menyatakan bahwa gangguan jiwa dikonseptualisasikan secara klinis sebagai
sindrom psikologis atau pola behavioral yang terdapat pada seorang individu dan
diasosiasikan dengan distress (misalnya symptom yang menyakitkan) atau
disabilitas (yakni hendaya di dalam satu atau lebih wilayah fungsi yang penting)
atau diasosiasikan dengan resiko mengalami kematian, penderitaan, disabilitas,
atau kehilangan kebebasan diri yang penting sifatnya, yang meningkat secara
signifikan. Gangguan jiwa adalah suatu bentuk ketidakmampuan menyesuaikan
diri yang serius sifatnya, terhadap tuntutan atau kondisi lingkungan yang
mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Beban yang ditimbulkan oleh gangguan
jiwa yang dipikul oleh penderita membuat mereka tak mampu menikmati
kehidupannya secara normal, baik secara individu maupun social. Beban ini
ditambah oleh adanya stigma negative masyarakat terhadap penderita gangguan
jiwa. Stigma adalah ciri negative yang melekat pada pribadi seseorang karena
pengaruh lingkungannya. Stigma yang paling umum terjadi, ditimbulkan oleh
pandangan sebagian masyarakat yang mengidentikan gangguan jiwa dengan
“orang gila”.
Oleh karena gejala – gejala yang dianggap aneh dan berbeda dengan orang
normal, masih banyak orang yang menanggapi penderita gangguan jiwa,
khususnya gangguan jiwa seperti psikosis dan skizofrenia) dengan perasaan takut,
jijik, dan menganggap mereka berbahaya. Tidak jarang mereka diperlakukan
dengan cara yang semena – mena seperti penghinaan, perlakuan kasar, hingga
dipasung dalam kamar gelap. Selain bentuk stigma tersebut, ada beberapa bentuk
stigma lain yang berkembang di dalam masyarakat kita. Pertama, keyakinan atau
kepercayaan bahwa gangguan jiwa itu disebabkan pengaruh supranatural dan hal
– hal gaib, seperti guna – guna, tempat keramat, roh jahat, setan, sesaji yang salah,
kutukan, dan lain sebagainya. Kedua, keyakinan atau kepercayaan bahwa
gangguan jiwa merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ketiga,
12
keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa meruapakan penyakit yang
bukan urusan medis. Keempat, keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa
merupakan penyakit yang bersifat herediter. Stigmatisasi terhadap gangguan jiwa
adalah sebuah faktor penting yang mencegah penderita gangguan jiwa untuk
mendapatkan terapi dan pengobatan. Banyak penderita gangguan jiwa yang tidak
mendapat penanganan sebagaimana mestinya atau menjalani pengobatan secara
tuntas. Hal itu terkait dengan masih kuatnya stigma dari masyarakat bahwa orang
yang berobat ke RSJ selalu diidentikkan sebagai orang gila.
Stigma terhadap gangguan jiwa tidak hanya menimbulkan konsekuensi
negative terhadap penderitanya, tetapi juga anggota keluarganya. Beban stigma
menderita gangguan jiwa membuat penderita dan keluarganya memilih untuk
menyembunyikan kondisinya daripada mencari, bahkan stigma tersebut dapat
membuat pihak keluarga tak memahami karakter anggota keluarganya yang
menderita gangguan jiwa. Keluarga jadi bersikap apatis dan sering mengelak bila
diajak untuk berobat, misalnya ke psikiater, padahal dukungan keluarga sangat
penting untuk upaya penyembuhan pasien dengan gangguan jiwa. Salah satu
contoh upaya anti stigma yang cukup besar adalah kampanye global yang dirintis
oleh World Psychiatric Association pada tahun 1996 yang bernama Open The
Doors. Kampanye ini memfokuskan untuk memerangi stigma dan diskriminasi
pada skizofrenia dan sudah dimulai di 20 negara dengan tujuan khusus yaitu
meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan pada skizofrenia dan
penanganannya, mengembangkan kemampuan penderita skizofrenia dan keluarga
mereka yang mengalami skizofrenia, dan memulai aksi untuk menghilangkan
penghakiman dan diskriminasi. Di Amerika, dalam upaya untuk mengatasi atau
mengurangi stigma di masyarakat terhadap gangguan jiwa ini, sejumlah anggota
keluarga dari para penderita gangguan jiwa mendirikan the National Alliance for
Mentally Ill (NAMI). Dalam perkembangan selanjutnya program yang
dilaksanakan antara lain memberikan public education and information. Termasuk
di sini adalah membantu pasien dan keluarganya untuk mendapatkan pengetahuan
dan keterampilan untuk hidup dengan gangguan jiwa. NAMI juga
menyelenggarakan support group yang dilaksanakan family-to-family dan peer-to-
peer. Program yang lain adalah awareness and stigma di mana mereka melakukan
13
talk show dan rally untuk mengalang dana dan meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang gangguan jiwa. Mereka juga memberikan respon tentang
stigma yang kurang benar tentang gangguan jiwa dengan menulis di berbagai
media massa. Upaya ini sekaligus juga berusaha meningkatkan pemahaman
masyarakat sehingga masyarakat dapat menghargai dan menerima orang yang
mengalami gangguan jiwa. Di Indonesia sejauh ini belum ada sebuah organisasi
atau kelompok mantan pasien gangguan jiwa atau keluarganya. Namun indikasi
mengarah ke sana sudah mulai tampak, misalnya telah mulai muncul gerakan
pemberdayaan pasien dan keluarga gangguan jiwa yang bertujuan untuk memberi
keterlibatan keluarga dalam proses terapi yang diberikan pihak rumah sakit.
Beberapa rumah sakit telah menerapkan kegiatan family gathering dimana
keluarga diberi psikoedukasi mengenai gangguan jiwa, penyebab dan terapinya.
Dalam kesempatan ini keluarga juga mendapatkan kesempatan untuk berbagi
pengalaman. Peningkatan kemandirian dan produktifitas pasien tersebut
diharapkan dapat berpengaruh terhadap stigma terhadap pasien gangguan jiwa
yang selama ini ada pada masyarakat. Masyarakat di sekitar pasien diharapkan
dapat berubah persepsi dan perilakunya setelah mengetahui perkembangan
kemandirian pasien sehingga kesemua upaya ini diharapkan akan mampu
mengurangi stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa.
14
DAFTAR PUSTAKA
Byrne, Peter. 2001. Psychiatric Stigma. Diunduh dari
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
Gray, Alison J. 2002. Stigma in Psychiatry. Diunduh dari
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
Maramis, Willy F. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press.
Wesr, Keon, Miles Hwestone dan Emily A. Holmes. 2010. Rethinking ‘Mental
Health Stigma’. Diunduh dari www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
15