ANALISIS WACANA KRITIS “DAI KOMERSIAL”
DALAM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN KARYA
PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Disusun Oleh:
Yogi Sulaeman
NIM: 1111051000004
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M./1436 H.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata-1 di Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari saya terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakrta, 09 Juni 2015
Yogi Sulaeman
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Analisis Wacana Kritis “Dai Komersial” dalam Buku Setan
Berkalung Surban Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Rabu, 03 Juni 2015. Skripsi ini diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
pada program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta, 09 Juni 2015
Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. H. Arief Subhan, MA Ahmad Fatoni, S.Sos.I
NIP. 19660110 199303 1 004
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Rubiyanah, MA Fita Fathurokhmah, M.Si
NIP. 19730822 199803 2 001 NIP.19830610 200912 2 001
Pembimbing,
Dr. H. A Ilyas Ismail, MA
NIP.19630405 199403 1 001
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
ANALISIS WACANA PESAN DAKWAH
DALAM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN KARYA
PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Disusun Oleh:
Yogi Sulaeman
NIM: 1111051000004
Disetujui Oleh Dosen Pembimbing:
Dr. H. A Ilyas Ismail, MA
NIP.19630405 199403 1 001
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M./1436 H.
ABSTRAK
Nama : Yogi Sulaeman
Nim : 1111051000004
“Analisis Wacana Kritis “Dai Komersial” dalam Buku Setan Berkalung
Surban Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA”
Berdakwah melalui tulisan merupakan media dakwah yang cukup efektif
dalam menyampaikan pesan–pesan dakwah di zaman sekarang, karena media ini
memiliki usia dalam jangka panjang dan pengaruh dalam jangkauan luas. Salah
satu media tulisan yang dapat digunakan sebagai dakwah ialah buku, seperti buku
Setan Berkalung Surban dalam penelitian ini. Di sisi lain, masyarakat modern
sekarang ini sedang euforia dengan buku yang berisi hiburan, dan mulai
melupakan buku yang berisi keislaman. Jelasnya, bagaimana dakwah itu dikemas
dengan sebaik mungkin. Karena dakwah yang efektif, ialah yang dapat menarik
hati objek dakwahnya, dalam hal ini ialah pembacanya.
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana struktur teks yang
diwacanakan oleh Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dalam buku Setan
Berkalung Surban? Bagaimana kognisi sosial dan konteks sosial yang ada dalam
buku Setan Berkalung Surban?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis wacana
kritis Teun A. Van Dijk dengan pendekatan kualitatif. Menurutnya penelitian
wacana tidak hanya terbatas pada teks semata, tetapi juga bagaimana suatu teks
diproduksi dan dipahami oleh si pembuat teks. Dan bagaimana kognisi sosial dan
konteks sosial yang ada.
Penelitian ini fokus pada tulisan tentang dai komersial. Tulisan ini memiliki
3 pesan utama, pertama menghimbau dai agar memiliki perilaku yang sesuai
dengan ucapan mereka. Kedua, mengkrtitik dan memperingati dai yang yang
mengejar popularitas dalam dakwah. Ketiga, menjelaskan keharaman dai
komersial. Tulisan ini disampaikan dengan alur singkat dan padat dengan 3-5
halaman. Tulisan ini memiliki latar, detail, maksud, dan praanggapan yang jelas.
Bahasa dan pilihan kata yang digunakan cukup ringan dan kaya akan unsur
retoris.
Secara kognisi sosial, tulisan ini berisikan representasi pemikiran beliau
terhadap fenomena dai komersial yang dilandaskan pada pengetahuan Islamnya
yang mendalam dengan disiplin ilmu lainnya. Kemudian strategi beliau dalam
menulis buku ini adalah menggunakan bahasa yang ringan dan pengantar berupa
kisah nyata atau hasil dari perkumupulan bersama para Ulama. Secara konteks
sosial, dapat diketahui bahwa alasan beliau dalam menulis buku ini adalah untuk
mengkritik perilaku para dai komersial, dan memberi solusi dari fenomena itu,
dengan cara pertama, masyarakat untuk tidak mengundang mereka lagi dan kedua,
pemerintah agar memberdayakan peran imam masjid di Indonesia. Layaknya
matahari dengan bumi, begitulah perumpamaan arti penting pengetahuan Islam
bagi umat Islam. Fungsi buku ini dalam menyampaikan pesan dakwah sangat
bermanfaat bagi masyarakat. Mereka harus mendongkrak kembali semangat baca
mereka terhadap buku bertema Islam, agar mendapat bekal pengetahuan Islam
yang cukup sehingga selamat dunia dan akhirat.
Kata Kunci: Buku, Dai Komersial, Analisis Wacana, Kognisi Sosial, dan
Konteks Sosial.
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala
puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. atas segala rahmat dan
kemudahan dari-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam senantiasa terlimpahkan pada junjungan Nabi Besar Muhammad saw.,
para keluarga beliau, para sahabat beliau yang mulia, dan umat beliau yang
mengikuti dan mengamalkan sunnah dan ajarannya hingga hari akhir nanti.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari benar bahwa tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak terkait, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Karena berkat arahan, bantuan, dan motivasi yang diberikan,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan gelar Strata
Satu (S1) di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada kedua orang tua penulis H. Eman Sulaeman dan Hj. Dedeh
Kurniasih, S.Pd.I. yang telah memberikan banyak kebaikan kepada penulis yang
tak bisa penulis sebutkan seluruhnya dan tak akan pernah bisa penulis balas
seutuhnya. Terimakasih banyak Ayah dan Ibu, semoga Allah swt. memberikan
pahala yang berlimpah atas amal kebaikan kalian kepada anak-anak kalian.
Aamiin. Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Suparto, MA, selaku Pembantu Dekan Bidang Akademik, Ibu Dr.
Roudhonah, M.Ag., selaku Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan
Bapak Dr. Suhaimi, M.Si., selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.
3. Bapak Rachmat Baihaky, MA, Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
(KPI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, selalu memberikan
dukungan kepada penulis selama perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Fita Fathurokhmah, SS., M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam (KPI) yang telah banyak membantu penulis.
5. Bapak Dr. H. A.Ilyas Ismail, MA, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
telah banyak memberikan arahan, saran serta motivasi kepada penulis selama
penulisan skripsi ini. Terimakasih banyak atas bimbingannya.
6. Ibu Artiarini Puspita Arwan, M.Psi., selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang selalu memberikan perhatian, dukungan, doa, dan bimbingan kepada
penulis sejak awal perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini selesai.
7. Seluruh Dosen dan Karyawan di Lingkungan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Sahabat-sahabat mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam angkatan 2011 dan
sahabat-sahabat mahasantri Darus-Sunnah angkatan 2011 (Fushilat).
Terimakasih atas kebersamaannya, penulis bangga menjadi bagian dari kalian.
Tetap berjuang dan tetap semangat!
9. Adik-adik tersayang, Balkis dan Yaser Hafair Syah yang selalu menemani dan
menghibur penulis selama ini. Semoga Allah swt. selalu melindungi kalian
dengan rahmat-Nya di dunia maupun di akhirat. Aamiin.
10. Langit Merah di malam hari, Mia Islamiati, yang jauh di sana tapi selalu
serasa dekat di sisi, yang selalu tulus untuk menemani, mendukung,
mendoakan, dan memberi perhatian yang hangat kepada penulis dalam
menjalani segala rintangan dalam kehidupan ini. Juga atas bantuannya yang
sangat berharga dalam pengeditan tulisan skripsi ini. Semoga Allah swt. selalu
melimpahkan cinta-Nya kepadamu dan kepada kita. Aamiin.
Besar harapan penulis bahwa skripsi ini dapat menambah keilmuan
terutama bagi rekan-rekan mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis sadari bahwa skripsi ini
masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, penulis menyadari
pentingnya kritik dan saran yang bersifat membangun agar dapat menjadi
masukan di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pihak lain pada umumnya.
Jakarta, 09 Juni 2015
Yogi Sulaeman
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. i
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 5
D. Metodologi Penelitian ............................................................... 6
E. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 12
F. Teknik Penulisan ....................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan ................................................................ 13
BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Analisis Wacana ....................................................................... 15
B. Dakwah ..................................................................................... 31
C. Buku sebagai Media Dakwah ................................................... 35
BAB III PROFIL PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA DAN
GAMBARAN UMUM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN
A. Profil Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA .......................... 37
B. Karya-Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA .............. 40
C. Aktivitas Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA .................... 43
D. Gambaran Umum Buku Setan Berkalung Surban.................... 45
BAB IV ANALISIS WACANA KRITIS “DAI KOMERSIAL” DALAM
BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN KARYA PROF. DR. KH.
ALI MUSTAFA YAQUB, MA
A. Struktur Teks yang Diwacanakan dalam Buku Setan Berkalung
Surban....................................................................................... 49
B. Analisis Wacana Berdasarkan Kognisi Sosial ......................... 93
C. Analisis Wacana Berdasarkan Konteks Sosial ......................... 100
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 105
B. Saran ......................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 109
LAMPIRAN .................................................................................................... 113
DAFTAR TABEL
Tabel 1 ........................................................................................................ 8
Tabel 2 ........................................................................................................ 9
Tabel 3 ........................................................................................................ 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman yang semakin pesat sekarang ini melahirkan
banyak teknologi canggih yang bisa dimanfaatkan manusia. Penggunaan media
komunikasi modern pun, menjadi sebuah kebutuhan yang harus dimanfaatkan
keberadaannya untuk kepentingan dalam menyampaikan pesan atau dakwah
Islam. Salah satunya adalah dakwah melalui media tulisan, yang disebut
dengan dakwah bil qalam, baik melalui media cetak seperti buku atau media
internet seperti blog. Keuntungan dakwah bil qalam adalah bisa menembus
ruang dan waktu dalam jangkauan luas.1
Rasulullah saw. sebagai panutan umat Islam sedunia tidak hanya
melakukan dakwah secara lisan dan memberikan suri tauladan dalam
berperilaku, akan tetapi juga melakukan dakwah melalui tulisan. Hal ini dapat
dilihat pada dokumentasi surat-surat Nabi saw. yang ditulis oleh seorang ahli
sejarah yaitu Muhammad bin Sa‟ad (W. 230 H.) dalam kitabnya Al-Thabaqat
al-Kubra yang seluruhnya berjumlah tidak kurang dari 105 buah surat.2
Sebagai fenomena keagamaan, perintah tentang dakwah serta pengertian
yang dikandungnya bersumber dari firman Allah swt. yang tercantum dalam
Al-Qur‟an (Surat Ali Imran, 3: 104), yaitu:
1 M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikatif, (Jakarta: CV. Pedoman, 1997), h.33.
2 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),
cet. Ke-2, h. 181.
ولم تهر وأ ت ال ن غ ت روف ويت ػت ت مرون ةال
ت ويأ يت غن إل الت ث يدت
ت أ تك ت ك ولت
يدن فت ت ال
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”
Buku adalah salah satu media cetak yang cukup diminati di kalangan
masyarakat Indonesia. Eksistensi buku sebagai penyampai informasi dan
pengetahuan kepada masyarakat Indonesia, tidak akan lekang termakan usia.
Tulisan atau karya seseorang akan terus melekat dalam hati sebagai buah tutur
setiap hari, berbeda dengan dakwah secara lisan yang dapat memikat jutaan
orang akan tetapi bisa hilang dengan cepat tanpa membekas dalam hati.3
Salah satu buku yang menyajikan pesan dakwah Islam adalah buku yang
berjudul Setan Berkalung Surban, karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub,
MA. Buku ini berisi kumpulan artikel beliau yang diterbitkan di media cetak
terkenal di Indonesia, seperti Koran KOMPAS, REPUBLIKA, Majalah
NABAWI, dan juga memuat makalah beliau pada Seminar Internasional,
khutbah Jumat di New York, dan khutbah nikah yang sangat mengharukan
pada pernikahan Duta Besar Paraguay yang baru saja masuk Islam di bawah
bimbingan beliau.
Pesan dalam buku ini sarat akan pesan dakwah di dalamnya, karena buku
ini menjawab banyak problematika sosial yang muncul di tengah masyarakat
Islam modern saat ini, khususnya di Indonesia. Dengan terdiri dari tiga bab
3 M. Isa Anshori, Mujahid Dakwah, (Bandung: Diponegoro, 1991), cet. Ke-4, h. 34.
besar yaitu akidah, ibadah, dan muamalah, buku ini membahas tuntas semua
masalah sosial yang muncul dengan menghadirkan solusi yang pas sesuai nash-
nash yang ada, yang berasal dari Al-Quran dan riwayat-riwayat hadis shahih
yang bisa dijadikan hujjah dan dalil dalam menyampaikan ajaran Islam. Salah
satu temanya adalah membahas tuntas tentang dai komersial.
Selain isi pesannya yang sangat dalam akan ajaran Islam dan memiliki
tingkat kredibilitas yang sangat tinggi, pesannya pun dikemas dengan sangat
menarik dan memiliki kesan berbaur dengan pembacanya, sehingga sangat
mudah untuk memahami isinya dan tidak membosankan untuk membacanya.
Kemudian kredibilitas penulisnya juga sangatlah terkenal sebagai dai dan
ulama hadis di dalam Negeri bahkan di luar Negeri. Banyak sekali tugas mulia
beliau yang sudah dilakukan dan sedang dilakukan untuk umat muslim di
Indonesia maupun di dunia. Di Indonesia beliau adalah Imam Besar Masjid
Istiqlal Jakarta, masjid yang menjadi kebanggan bangsa Indoesia, karena
memiliki penghargaan sebagai masjid terbesar se-Asia Tenggara. Juga sebagai
pendiri dan penanggung jawab Darus-Sunnah International Institute for Hadith
Sciences sebagai pesantren berstandar Internasional satu-satunya yang ada di
Indonesia yang khusus mempelajari hadis dan ilmu hadis.
Di luar Negeri beliau menjadi penasihat di Darul Uloom, New York,
USA. Beliau juga sering megikuti dan menyampaikan materi presentasi di
Seminar Internasional antara Ulama Dunia. Ketika orang lain disibukkan
dengan kehidupan dunia untuk mencari harta benda, beliau hanya disibukkan
dengan kegiatan dan aktifitas untuk menyiarkan agama Islam ke seluruh dunia.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis wacana dalam
buku ini, yang membahas tentang fenomena dai komersial yang sedang hangat
di tengah masyarakat modern Islam di Indonesia sekarang ini. Berdasarkan
latar belakang diatas, maka penelitian ini diberi judul “Analisis Wacana Kritis
“Dai Komersial” dalam Buku Setan Berkalung Surban Karya Prof. Dr. KH. Ali
Mustafa Yaqub, MA.”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah menganalisis pesan dakwah
tentang dai komersial yang terkandung dalam bab muamalah pada buku Setan
Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Berikut ini 8
judul yang akan diteliti:
a. Setan Berkalung Surban
b. Surban dan Jubah Haram
c. Dai Berbulu Musang
d. Dai-dai Sesat
e. Kode Etik Dakwah
f. Dakwah dan Kearifan Lokal
g. Keteladanan Buya Hamka
h. Memberdayakan Imam Masjid
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
skripsi ini adalah:
a. Bagaimana struktur teks yang diwacanakan oleh Prof. Dr. KH. Ali Mustafa
Yaqub, MA dalam Buku Setan Berkalung Surban?
b. Bagaimana kognisi sosial dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr.
KH. Ali Mustafa Yaqub, MA?
c. Bagaimana konteks sosial dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr.
KH. Ali Mustafa Yaqub, MA?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini ialah :
a. Mengetahui struktur teks yang diwacanakan dalam Buku Setan Berkalung
Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
b. Mengetahui kognisi sosial dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof.
Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
c. Mengetahui konteks sosial dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof.
Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
1. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif terhadap khasanah
keilmuan dalam bidang dakwah melalui media cetak buku.
2. Juga dapat menjadi referensi bagi penelitian analisis wacana kritis dalam
sebuah buku.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada aktivis dakwah untuk
menjadikan media cetak khususnya buku, sebagai media dalam menyampaikan
nilai-nilai Islam kepada masyarakat modern sekarang ini. Penelitian ini juga
dapat memberikan masukan dan dorongan kepada mahasiswa dan masyarakat
untuk lebih menyukai buku yang bertema Islam.
D. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma Penelitian adalah kumpulan sejumlah asumsi yang dipegang
bersama, konsep atau proposisi yang dapat mengarahkan cara berpikir peneliti
dalam penelitiannya.4 Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah
paradigma kritis. Teori kritis adalah usaha pencerahan. Sebagai toeri yang
kritis, maka teori yang dikembangkan Horkheimer dan Adorno mau
menciptakan kesadaran yang kritis: teori kritis pada hakikatnya mau menjadi
Aufklarung atau pencerahan.5
Meskipun banyak macam ilmu sosial kritis, semuanya memiliki tiga
asumsi dasar yang sama. Pertama, semuanya menggunakan prinsi-prinsip dasar
ilmu sosial interpretatif yakni bahwa ilmuwan kritis menganggap perlu untuk
memahami pengalaman orang dalam konteks. Secara khusus pendekatan kritis
bertujuan untuk menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana
berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas. Kedua, pendekatan ini
mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usaha mengungkap struktur-struktur
yang sering kali tersembunyi. Ketiga, pendekatan kritis berupaya
menggabungkan teori dan tindakan. Teori-teori tersebut jelas normatif dan
4 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2007), h.49. 5 Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 156-
166.
bertindak untuk mencapai perubahan dalam berbagai kondisi yang
mempengaruhi hidup kita.6
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu pendekatan
untuk menjelaskan sebuah penelitian dengan menggunakan kata-kata.7
Pendekatan ini bertujuan untuk memahami (understanding) dunia makna yang
diwacanakan dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali
Mustafa Yaqub, MA.8
3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis wacana kualitatif. Analisis wacana merupakan salah satu bentuk
alternatif untuk menganalisis pesan dalam media selain analisis isi kuantitatif.9
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model analisis wacana kritis
Teun A. Van Dijk, teori Van Dijk merupakan model analisis wacana yang
paling banyak digunakan. Ini dikarenakan model tersebut dapat
mengelaborasikan elemen-elemen wacana dalam suatu teks secara praktis dan
kritis. Melalui metode ini penulis dapat mengetahui bagaimana sebuah pesan
disampaikan melalui kata atau kalimat. Unsur penting dalam analisis wacana
adalah kepaduan, kesatuan, dan penafsiran peneliti.
Model yang digunakan adalah model Teun A. Van Djik, menurutnya
penelitian wacana tidak hanya terbatas pada teks semata, tetapi juga bagaimana
6 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma dan Diskursus Teori
Komunikasi di Masyarakat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 259-260. 7 Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian (Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan), (Bandung:
Refika Aditama, 2012), h.50. 8 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 2001), h.9. 9 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 68.
suatu teks diproduksi. Kelebihan analisis wacana model Van Djik adalah
bahwa penelitian wacana tidak semata-mata dengan menganalisis teks saja,
tetapi juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok
kekuasaan yang ada dalam masyarakat, dan bagaimana kognisi atau pikiran
serta kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu,
sehingga analisis wacana ini memiliki sifat kritis.10
Terdapat tiga struktur yang menjadi elemen analisis wacana dalam
pemaparan struktur teks oleh Van Djik. Jika digambarkan maka struktur teks
adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Struktur Makro
Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yang
diangkat oleh suatu teks
Superstruktur
Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan
kesimpulan
Struktur Mikro
Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat,
dan gaya yang dipakai oleh suatu teks.
Berikut tabel yang akan menjelaskan satu per satu elemen wacana Teun
A. Van Djik yang diterapkan dalam dimensi teks sosial penelitian ini:
10
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiS, 2013),
cet. Ke-3, h. 224.
Tabel 2
Struktur Wacana
Hal yang Diamati Elemen
Struktur Makro
Tematik
Tema atau topik yang
dikedepankan dalam Buku Setan
Berkalung Surban karya Prof. Dr.
KH. Ali Mustafa Yaqub, MA
Topik
Suprestruktur
Skematik
bagaimana pendapat disusun dan
dirangkai dalam Buku Setan
Berkalung Surban karya
Skema
Struktur Mikro
1. Semantik
Makna yang ingin ditekankan
dalam Buku Setan Berkalung
Surban
Latar, Detail,
Maksud,
Praanggapan
2. Sintaksis
Bagaimana kalimat (bentuk,
susunan yang dipilih)
Bentuk kalimat,
Koherensi, Kata
ganti
3. Stilistik
pilihan kata apa yang dipakai
dalam Buku Setan Berkalung
Surban
Leksikon
4. Retoris
Bagaimana dan dengan cara apa
penekanan dilakukan dalam Buku
Setan Berkalung Surban
dilakukan.11
Grafis, Metafora,
ekspresi
4. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Objeknya adalah buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali
Mustafa Yaqub, MA.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Yaitu pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan, yang berarti
tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Observasi dilakukan dengan
membaca dan mengamati setiap paragraf dalam buku Setan Berkalung Surban
karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.12
b. Dokumentasi
11
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 227-229. 12
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Lainnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), h. 69.
Dokumentasi adalah merupakan sebuah teknik untuk mencari dan
mendapatkan data mengenai hal-hal yang tertulis disebut juga studi pustaka.13
Yaitu dengan mengumpulkan data berupa buku penelitian, buku dakwah, buku
komunikasi, buku-buku Islam, informasi dari internet dan informasi lainnya
yang berkaitan dengan masalah penelitian.
c. Wawancara
Untuk mengumpulkan informasi dari informan, penulis menggunakan
teknik wawancara. Yaitu percakapan yang dilakukan dua orang atau lebih,14
di
mana penulis mengajukan beberapa pertanyaan kepada nara sumber dalam
penelitian ini. Adapun nara sumbernya ialah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub,
MA, Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc., dan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I.
6. Teknik Analisis Data
a. Proses Penafsiran Data
Teknik Analisis penelitian kualitatif adalah menggunakan teknik
penjabaran dengan kata-kata.15
Dalam hal ini, penulis akan memperhatikan
teks-teks yang terdapat pada buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH.
Ali Mustafa Yaqub, MA, yang kemudian akan ditafsirkan oleh peneliti dengan
kerangka analisis wacana yang dikemukakan oleh Teun A. Van Dijk.
b. Penyimpulan Hasil Penelitian
Kesimpulan hasil penelitian diambil berdasarkan pada interpretasi
peneliti atas obyek yang diteliti dan data yang diperoleh dalam kegiatan
penelitian.
13
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2002), cet. Ke-5, h. 149. 14
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), cet. Ke-
1, h. 130.
15 Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian (Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan), h.123.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah meninjau beberapa skripsi
yang sama pembahasannya dengan subjek yang berbeda, antara lain:
a. Skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Pesan Dakwah dalam Buku
Renungan Tasawuf Karya Hamka” yang ditulis oleh Muhammad Rico
Zulkarnain Tahun 2008 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
b. Skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Pesan Dakwah dalam Novel
Kopiah Gusdur Karya Damien Dematra” yang ditulis oleh Ririn Syodikin
Tahun 2011 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualititaif.
c. Skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Materi Khotbah Jumat Muhasabah
Dzikrulmaut Ustaz Dr. H. Sunandar, M.Ag (2010-2011)” yang ditulis oleh
Faiz Fikri Al-Fahmi Tahun 2013 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualititaif.
Perbedaan antara skripsi ini dengan yang terdahulu adalah pada subjek
dan objeknya. Persamaan antara skripsi ini dengan yang terdahulu adalah
menggunakan metode analisis wacana Teun A. Van Djik dan menggunakan
pendekatan penelitian yang sama yaitu pendekatan penelitian kualitatif.
F. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan mengacu pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang disusun oleh tim
penulis Hamid Nasuhi, dkk., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, (Ciputat, CeQDA, 2007).
G. Sistematika Penulisan
Dalam pembahasan penelitian ini, secara sistematis penulisannya dibagi
kedalam lima bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, meliputi:
Latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka,
teknik penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II Berisi Landasan Teoritis, meliputi:
Pertama teori tentang analisis wacana, yaitu: Pengertian analisis
wacana dan model analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk
“kognisis sosial dan konteks sosial”. Kedua teori tentang
dakwah, yaitu: Pengertian dakwah dan pesan dakwah. Ketiga
buku sebagai media dakwah.
BAB III Berisi profil Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dan
gambaran umum buku Setan Berkalung Surban, meliputi:
Profil Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, karya-karya Prof.
Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, aktivitas Prof. Dr. KH. Ali
Mustafa Yaqub, MA, dan gambaran umum buku Setan
Berkalung Surban.
BAB IV Berisi temuan data dan pembahasan penelitian,yang meliputi:
Struktur teks yang diwacanakan dalam buku Setan Berkalung
Surban, analisis wacana berdasarkan kognisi sosial, dan analisis
wacana berdasarkan konteks sosial.
BAB V Penutup, meliputi: Kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Analisis Wacana
1. Pengertian Analisis Wacana
Secara etimologi, „Wacana‟ berasal dari bahasa Sansekerta wac atau wak
atau vak yang memiliki arti „Berkata‟ atau „Berucap‟. Kata ana berfungsi
sebagai sufiks (akhiran) yang bermakna „Membedakan‟ (nominalisasi).
Kemudian kata Sansekerta itu mengalami perubahan menjadi wacana, yang
berarti perkataan atau tuturan.16
Istilah wacana merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yakni
discourse. Kata discourse berasal dari bahasa latin discursus, dis: dari, dalam
arah yang berbeda dan curere: lari, sehingga berarti lari kian kemari.17
Dalam
hierarki gramatikal, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi di atas
satuan kalimat, sebagai satuan tertinggi yang lengkap, maka di dalam wacana
terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami
tanpa keraguan.18
Wacana dapat di realisasikan dalam bentuk karangan yang
utuh seperti, novel, buku, seni ensiklopedia, artikel, dan sebagainya.19
Secara terminologi, istilah wacana memiliki arti yang sangat luas. Hal ini
dikarenakan perbedaan lingkup dan displin ilmu yang menggunakannya.
Bahkan kamus pun, tidak bisa dianggap sepenuhnya merujuk pada referensi
16
Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi, Prinsip-prinsip Analisis Wacana,
(Yohyakarta: Tiara Wacana, 2005), h.3. 17
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 9. 18
Abdul Chaer, Kajian Bahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 62 . 19
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, Telaah Wacana, (Jakarta:
The Intercultural Intitute, 2009), h. 11.
yang objektif, pasti memiliki definisi yang berbeda pula. Wacana adalah
komunikasi buah pikiran dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau gagasan, dan
percakapan.20
Berikut ini beberapa pengertian wacana dari beberapa pakar
komunikasi:
Menurut Samsuri wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang
peristiwa komunikasi, biasanya terdiri atas seperangkat kalimat yang
mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan yang lain. Komunikasi itu
dapat menggunakan bahasa lisan dan dapat pula memakai tulisan.21
Sedangkan Ismail Marhaimin mengartikan wacana sebagai “Kemampuan
untuk maju (dalam pembahasan) menurut urutan-urutan yang teratur dan
semestinya”, dan “Komunikasi buah pikiran, baik lisan maupunn tulisan, yang
resmi dan teratur”.22
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa wacana adalah
“rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal
(subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang
koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa”.23
Kajian terhadap wacana sering disebut sebagai analisis wacana, istilah
analisis dalam Kamus Pintar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu sifat
penelitian, penguraian, kupasan. Sedangkan analisa adalah penyeledikan
terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan sebenarnya.24
Analisis wacana merupakan pendekatan baru muncul beberapa puluh
tahun belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini membatasi
20
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 9. 21
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 10. 22
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 10. 23
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 11. 24
Hamis ST, Kamus Bahasa Indonesia, (Surabaya: Pustaka Dua, 2000), cet. Ke-1, h. 34.
penganalisaannya hanya kepada soal kalimat dan barulah memalingkan
perhatiannya kepada penganalisaan wacana.25
Analisis wacana merupakan salah satu studi mengenai pesan dalam
komunikasi selain analisis isi kuantitatif. Menurut Eriyanto, terdapat empat
perbedaan anatara analisis wacana dengan analisis isi (kuantitatif), antara lain:
a. Analisis wacana lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi
yang umumnya kuantitatif, analisi wacana menekankan pada pemaknaan
teks ketimbang penjumlahan unit kategori seperti yang terdapat dalam
analisi isi. Sehingga dalam menentukan analisis datanya, analisis wacana
tidak memerlukan lembaran koding.
b. Analisis isi kuantitatif lebih menekankan kepada “apa” (what) yang
dikatakan oleh media, dan hanya bergerak pada level makro isi media saja.
Sedangkan analisis wacana menekankan kepada “bagaimana” (how) dan isi
media, analisis wacana juga meneliti pada level mikro yang menyusun suatu
teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris.
c. Analisi isi kuantitatif pada umumnya hanya dapat digunakan untuk
membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), atau
dengan kata lain yang dipentingkan adalah objektivitas, validitas
(keakuratan data), dan realibitas. Sedangkan dalam analisis wacana, unsur
terpenting dalam analisisnya adalah penafsiran dari teks yang latent
(tersembunyi).
d. Analisis isi bertujuan melakukan generalisasi dalam penyimpulan hasil
penelitiannya, dan bahkan melakukan prediksi. Hal ini karena dalam unit
25
A. Hamid Hasan Lubis, Analisis Wacana Pragmatik, (Bandung: Angkasa, 1993), cet. Ke-
1, h. 12.
atau perangkat penelitiannya menggunkan sample, angket dan sebagainya.
Sedangkan analisis wacana tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi
dengan menggunakan beberapa asumsi.26
Analisis wacana bersifat lebih mendalam bila dibandingkan dengan
analisis isi sebab analisis wacana menafsirkan pesan yang tersembunyi. Untuk
analisis wacana tulisan, penelitian bukan hanya sekedar pada kalimat yang
ditulis, tetapi pada kata dan hubungan kalimat, bagaimana kalimat itu dibentuk
dan tujuan dari kata atau kalimat itu disajikan. Analisis wacana tidak bertujuan
untuk melakukan generalisasi seperti yang dilakukan dalam penelitian dengan
menggunakan analisis isi dalam menyimpulkan hasil.
2. Model Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk
Dari berbagai macam model analisis wacana yang diperkenalkan oleh
para ahli. Model analisis wacana milik Van Dijk adalah model yang banyak
dipakai dalam penelitian, karena model ini mengelaborasi elemen-elemen
wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis dan kritis.
Model yang dipakai oleh Van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial”.
Nama pendekatan semacam ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik
pendekatan yang diperkenalkan oleh Van Djik. Menurutnya, penelitian wacana
tidak hanya terbatas pada teks semata, tetapi juga bagaimana suatu teks
diproduksi. Kelebihan analisis wacana model Van Djik adalah bahwa
penelitian wacana tidak semata-mata dengan menganalisis teks saja, tetapi juga
melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada
dalam masyarakat, dan bagaimana kognisi atau pikiran serta kesadaran yang
26
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 70-71.
membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu, sehingga analisis wacana
ini memiliki sifat kritis.27
Wacana oleh Van Dijk digambarkan memiliki tiga dimensi, yaitu: teks,
kognisi sosial, dan konteks sosial. Ketiga bagian ini adalah bagian yang
integral dalam kerangka teori Van Dijk, untuk itulah Van Dijk
menggambungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan
analisis.
a. Teks
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang
masing-masing bagian saling mendukung. Van Dijk membaginya ke dalam tiga
tingkatan. Pertama struktur makro, ini merupakan makna global/umum dari
suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema dari suatu teks.
Kedua Suprastruktur, adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan
elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh. Ketiga struktur mikro,
adalah makna yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi,
anak kalimat, parafrasa yang dipakai, dan sebagainya.28
Struktur wacana Van
Dijk ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 3.
Struktur Wacana Hal yang Diamati Unit Analisis
27
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 224.
28 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 226.
Struktur Makro
TEMATIK
(apa yang dikatakan)
Elemen: Tema atau Topik
Teks
Suprestruktur
SKEMATIK
(bagaimana pendapat disusun
dan dirangkai)
Elemen: Skema
Teks
Struktur Mikro
SEMANTIK
(apa arti pendapat yang ingin
disampaikan?)
Elemen: Latar, Detail,
Maksud, Praanggapan
Paragraf
SINTAKSIS
(Bagaimana pendapat
disampaikan?)
Elemen: Bentuk kalimat,
Koherensi, Kata ganti
Kalimat
Proposisi
STILISTIK
(pilihan kata apa yang
dipakai?)
Elemen: Leksikon
Kata
RETORIS
(dengan cara apa pendapat
disampaikan?)
Elemen: Grafis, Metafora,
Ekspresi29
Kalimat
Proposisi30
Beberapa hal yang diamati dari struktur makro, superstruktur, dan
struktur mikro dalam analisis wacana Van Dijk adalah:
1) Tematik
Tematik adalah hal yang diamati dalam struktur makro analisis
wacana Van Dijk. Secara etimologi tematik berasal dari kata Yunani yaitu
tithenai yang berarti menempatkan atau meletakkan. Sedangkan dilihat
sebagai sebuah tulisan, tema merupakan suatu amanat utama yang
disampaikan oleh penulis melalui tulisannya.31
Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum dari sebuah teks.
Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari
suatu teks. Topik merupakan elemen yang terdapat dalam tematik. Topik
menunjukan inti pesan atau informasi yang paling penting yang ingin
disampaikan komunikator dalam hal ini penulis rubrik. Dengan topik, kita
dapat mengetahui masalah dan tindakan yang diambil oleh penulis rubrik
dalam mengatasi masalah.
29
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 227-229. 30
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), h. 163. 31
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 75.
Gagasan penting Van Djik, wacana umumnya dibentuk dalam tata
aturan umum (macrorule). Teks tidak hanya didefinisikan mencerminkan
suatu pandangan tertentu atau topik tertentu, tetapi suatu pandangan umum
yang koheren. Van Djik menyebut hal ini sebagai koherensi global (global
chorence), yakni bagian-bagian dalam teks kalau dirunut menunjuk pada
suatu titik gagasan umum, dan bagian-bagian itu saling mendukung satu
sama lain untuk menggambarkan topik umum tersebut.32
2) Skematik
Pada umumnya, teks, atau wacana memiliki skema atau alur, yang
dimulai dari pendahuluan hingga penutup. Alur tersebut menunjukkan
bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga
membentuk kesatuan arti. Dalam menganalisis wacana sebuah berita,
terdapat dua kategori besar pada struktur skema, pertama summary yang
terdiri dari dua elemen judul dan lead (teras berita). Sedangkan kategori
yang kedua adalah story yakni isi berita secara keseluruhan.33
Menurut Van Dijk, skematik merupakan strategi wartawan untuk
mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun
bagian-bagian dengan urutan-urutan tertentu. Skematik yang memberikan
tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang diakhirkan untuk
menyembunyikan informasi penting.34
32
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 229-230. 33
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 232.
34 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 234.
3) Semantik
Secara umum, semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah
makna satuan lingual, baik makna leksikal yaitu makna untuk semantik
yang terkecil yang disebut leksem, maupun makna yang terbentuk dari
penggabungan satuan kebahasaan yang disebut dengan makna gramatikal.
Sementara itu dalam Analisis wacana, semantik dalam pandangan Van Dijk
dikategorikan sebagai makna lokal, yaitu makna yang muncul dari
hubungan makna tertentu dalam suatu bangunan teks.35
Dengan kata lain, semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana
yang penting dari struktur wacana, tetapi juga menggiring ke arah sisi
tertentu dari suatu peristiwa. Elemen yang diamati dalam semantik adalah
latar, detail, maksud, dan praanggapan. Berikut penjelasan masing-masing
elemen wacana seperti semantik, seperti latar, detail, dan maksud:
a) Latar
Latar adalah bagian berita yang dapat memengaruhi semantik (arti)
yang ingin ditampilkan, latar dapat menjadi alasan pembenar dalam suatu
gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Latar umumnya ditampilkan di
awal sebelum pendapat wartawan yang sebenarnya muncul dengan
maksud mempengaruhi dan memberi kesan bahwa pendapat wartawan
sangat beralasan. Oleh karena itu, latar membantu menyelediki
bagaimana seseorang memberi pemaknaan atas suatu peristiwa.36
35
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 78. 36
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 235.
b) Detail
Elemen wacana detail berhubungan dengan kontrol informasi yang
ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara
berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik.
Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi dalam jumlah sedikit
(bahkan kalau perlu tidak disampaikan) kalau hal itu merugikan
kedudukannya.
Informasi yang menguntungkan komunikator, bukan hanya
ditampilkan secara berlebih tetapi juga dengan detail yang lengkap kalau
perlu dengan data-data. Detail yang lengkap dan panjang lebar
merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan
citra tertentu kepada khalayak. Detail yang lengkap itu akan dihilangkan
kalau berhubungan dengan sesuatu yang menyangkut kelemahan atau
kegagalan dirinya. Hal yang menguntungkan komunikator atau pembuat
teks akan diuraikan secara detail dan terperinci, sebaliknya fakta yang
tidak menguntungkan. Detail informasi akan dikurangi.37
c) Maksud
Elemen wacana maksud, hampir sama dengan elemen detail.
Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator
akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya, informasi yang
merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit dan tersembunyi.38
37
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 238.
38 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 240.
d) Praanggapan
Elemen wacana praanggapan merupakan pernyataan yang
digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Kalau latar berarti upaya
mendukung pendapat dengan jalan memberi latar belakang, maka
praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan
premis yang dipercaya kebenarannya. Praanggapan hadir dengan
pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak perlu
dipertanyakan.39
Teks berita umumnya mengandung banyak sekali
praanggapan. Praanggapan ini merupakan fakta yang belum terbukti
kebenarannya, tetapi dijadikan dasar untuk mendukung gagasan tertentu.
4) Sintaksis
Secara etimologi, kata sintaksis berasal dari kata Yunani (sun berarti
dengan, dan tattein berarti menempatkan). Jadi, kata sintaksis berarti
menempatkan bersama-sama hal-hal menjadi kelompok kata atau kalimat.
Secara terminologi, menurut Ramlan, sintaksis adalah bagian atau cabang
dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, ataupun
frasa.40
Maksudnya adalah bagaimana sebuah kata atau kalimat disusun
menjadi kesatuan yang memilki arti. Elemen yang diamati dalam sintaksis
adalah bentuk kalimat, koherensi, dan kata ganti. Berikut penjelasan
masing-masing elemen wacana sintaksis, seperti bentuk kalimat, koherensi,
dan kata ganti:
39
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 256. 40
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 80.
a) Bentuk kalimat
Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan
cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Dimana ia menanyakan
apakah A yang menjelaskan B, ataukah B yang menjelaskan A. Logika
kaulitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek
(yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan).
Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata
bahasa, tetapi menetukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat.
Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari
pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek
dari pernyataannya.41
b) Koherensi
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, atau kalimat
dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda
dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga, fakta yang tidak
berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang
menghubungkannya.
Koherensi secara mudah dapat diamati di antaranya dari kata
hubung (konjungsi) yang dipakai untuk menghubungkan fakta. Apakah
dua kalimat dipandang sebagai hubungan kausal, keadaan, waktu, kondisi
dan sebagainya. Koherensi merupakan elemen yang menggambarkan
41
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 251.
bagaimana peristiwa dihubungkan atau dipandang saling terpisah oleh
wartawan.42
c) Kata Ganti
Merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukan
dimana seseorang dalam wacana. Dalam mengungkapkan sikapnya,
seseorang dapat menggunakan kata ganti "saya" atau "kami" yang
menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi
komunikator semata-mata. Tetapi, ketika memakai kata ganti "kita"
menjadikan sikap tersebut sebagai represntasi dari sikap bersama dalam
suatu komunitas tertentu. Batas antara komunikator dengan khalayak
dengan sengaja dihilangkan untuk menunjukan apa yang menjadi sikap
komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruhan.43
5) Stilistik
Stilistik adalah cara yang digunakan oleh penulis rubrik untuk
menyatukan maksudnya dengan menggunakan gaya bahasa tertentu sesuai
dengan keinginan penulis rubrik. Gaya bahasa dalam pengertian disini
mencakup pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan dan
sebagainya. Elemen dalam bentuk stalistik adalah leksikal merupakan
pemilihan dan pemakaian kata atau frasa dalam menyebut sesuatu ataupun
peristiwa dengan menggunakan kata lain yang memiliki persamaan
(sinonim), seperti kata “meninggal”, yang memiliki kata lain mati, tewas,
gugur, terbunuh, menghembuskan nafas terakhir, dan sebagainya.
42
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 242-243. 43
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 82.
Pengertian leksikon, pada dasarnya elemen ini menandakan
bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan
kata yang tersedia. Diantara beberapa kata itu seseorang dapat memilih
diantara pilihan yang tersedia. Dengan demikian pilihan kata yang dipakai
tidak semata hanya karena kebetulan, tetapi juga secara ideologis
menunjukan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas.44
6) Retoris
Strategi retoris yang dimaksud disini adalah yang diungkapkan ketika
seseorang berbicara atau menulis. Retoris berhubungan erat dengan
bagaimana suatu pesan disampaikan kepada khalayak. Retoris berfungsi
persuasive (mempengaruhi).45
Elemen dalam strategi retoris dapat muncul
dalam bentuk grafis, metafora, dan ekspresi. Untuk lebih jelasnya, akan
dijelaskan pengertian grafis, metafora sebagai berikut:
a) Grafis
Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang
ditekankan atau ditonjolkan (yang berarti dianggap penting) oleh
seseorang yang dapat diamati oleh teks. Dalam wacana berita, grafis ini
biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan
tulisan lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis
bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran lebih besar. Termasuk di
dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik, gambar atau table
untuk mendukung arti penting suatu pesan. Bagian yang dicetak berbeda
44
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 255. 45
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 84.
adalah bagian yang dipandang penting oleh komunikator, dimana ia
menginginkan khalayak menaruh perhatian lebih pada bagian tersebut.46
b) Metafora
Dalam suatu wacana seorang wartawan tidak hanya menyampaikan
pesan pokok melalui teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang
dimaksudkan sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita. Akan
tetapi, pemakaian metafora tertentu bisa jadi menjadi petunjuk utama
untuk mengerti makna suatu teks. Metafora tertentu dipakai oleh
wartawan secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan pembenar
atas pendapat atau gagasan tertentu kepada public. Wartawan
menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, pribahasa,
pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan mungkin ungkapan yang
diambil dari ayat-ayat suci yang semuanya dipakai untuk memperkuat
pesan utama.47
b. Kognisi Sosial dan Konteks Sosial
Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada
struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau
menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Dalam dimensi ini,
menerangkan bagaimana teks diproduksi oleh pembuat teks, cara memandang
suatu realitas sosial yang melahirkan teks tertentu. Untuk membongkar
bagaimana makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis
kognisi dan konteks sosial. Kognisi sosial memiliki hubungan dengan proses
produksi pembuatan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas
46
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 258. 47
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 259.
representasi kognisi dan strategi wartawan dalam memproduksi suatu berita,
karena setiap teks pada dasarnya dihasilkan melalui kesadaran, pengetahuan,
prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa.
Meskipun terlihat bersifat individual, bukan berarti pendekatan Van Dijk
bersifat personal dan mengabaikan faktor sosial. Analisis teks harus tetap
dihubungkan dengan konteks sosial. Konteks sosial berusaha memasukan
semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian
bahasa. Titik perhatian dari konteks sosial adalah menghubungkan teks lebih
jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat
atas suatu wacana untuk menunjukkan bagaimana makna yang dihayati
bersama. Penelitian ini sangat efektif dalam melihat sejauh mana peranan teks
membangun pemahaman bersama dalam masyarakat.48
B. Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Secara etimologi, kata dakwah berasal dari bahasa Arab yakni berasal
dari kata “da‟aa-yad‟uu-da‟watan” yang berarti seruan, ajakan, dan
panggilan.49
Dilihat dari kosakatanya, kata dakwah merupakan bentuk kata
benda (isim), dalam pengertiannya, karena diambil (musytaq) dari fi‟il
muta‟addi, mengandung nilai dinamika, yakni ajakan, seruan, panggilan,
permohonan. Seruan dan panggilan ini dapat dilakukan suara, tulisan, atau
perbuatan.50
48
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 260-270. 49
Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah.
1990), h. 127. 50
Abu Al-Husain Ahmadi ibn Faris, Mu‟jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1979), h. 279.
Dalam buku Ensiklopedi islam, kata dakwah diartikan dengan menyeru
atau mengajak manusia untuk melakukan kebaikan dan meuruti petunjuk,
menyuruh berbuat kebajikan dan melarang perbuatan mugkar sesuai dengan
ajaran Allah dan Rasul, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan
akhirat.51
Secara terminologi, dakwah memiliki arti yang beragam dari para
ahli. Berikut pengertian dakwah menurut para ahli:
a) Menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dakwah bukan hanya
penyampaian kata-kata semata, tetapi juga moralitas dan perilaku.
Melakukan dakwah berarti memberi contoh dan teladan secara terus-
menerus kepada masyarakat yang didakwahi.52
b) Menurut Prof. Dr. Hamka, dakwah adalah seruan dan panggilan untuk
menganut suatu pendirian yang pada dasarnya berkonotasi positif dengan
substansinya terletak pada aktivitasnya yang memerintahkan amar ma‟ruf
nahi munkar.53
c) Menurut Syaikh Ali Mahfudz, dakwah adalah memotivasi manusia untuk
melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyeru mereka berbuat
ma‟ruf dan melarang mereka dari perbuatan munkar, agar mereka mendapat
kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.54
d) Menurut Ahmad Ghalwusy, dakwah adalah menyampaikan pesan Islam
kepada manusia di setiap waktu dan tempat dengan berbagai metode dan
51
Siti Uswatun Khasanah, Berdakwah dengan jalan debat antara muslim dan non muslim.
(Purwokerto : STAIN Purwokerto Press, 2007), h. 25. 52
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, h. 230. 53
Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956), h. 233. 54
Ali Mahfudz, Hidayah al-Mursyidin, Terjemahan Chodijah Nasution (Yogyakarta: Tiga
A, 1970), h. 17.
media yang sesuai dengan situasi dan kondisi para penerima pesan
dakwah.55
Dari beberapa definisi tentang dakwah di atas, dapat disimpulkan bahwa
dakwah adalah menyampaikan pesan Islam kepada manusia, baik lisan maupun
tulisan dengan cara menyeru, memotivasi, dan memberi contoh dalam bentuk
perilaku kepada mereka secara terus-menerus, untuk melakukan kebaikan
(ma‟ruf) dan menjauhi perbuatan mungkar (munkar), agar selamat di dunia dan
akhirat.
Dakwah memiliki setidaknya 3 unsur penting di dalamnya dari sekian
banyak masukan dari para ahli, yaitu dai (subjek dakwah), mad‟u (objek
dakwah), dan pesan dakwah. Dai adalah adalah bentuk (isim fa‟il) dari kata
da‟a,yang berarti orang yang menyeru, sering kali disebut juga mubalig karena
proses menyeru tersebut juga merupakan proses penyampaian atas pesan-pesan
tertentu. Dai sebagai subjek dakwah atau komunikator memiliki dua pengertian
sebagai berikut:
a. Secara umum, dai adalah setiap muslim yang berdakwah sebagai kewajiban
yang melekat sebagai penganut Islam, berdasarkan pada hadis Rasul saw.
“Ballighu „anni walau ayat.”
b. Secara khusus, dai adalah mereka yang mengambil keahlian khusus dalam
dakwah dengan kesungguhan luar biasa dan qudrah hasanah.56
2. Pesan Dakwah
Pesan dakwah dalam komunikasi disebut sebagai message (pesan).57
Pesan adalah seperangkat lambang bermakna yang disampaikan komunikator
55
Ahmad Ghalwusy, Al-Da‟wah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishr, 1987), h. 10-
11. 56
Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h.27.
kepada komunikan, baik berupa bahasa, isyrat, gambar, warna, dan lain
sebagainya yang secara langsung dapat menerjemahkan perasaan atau ide
komunikator kepada komunikan.58
Pesan dalam ajaran Islam adalah perintah, nasihat, permintaan, dan
amanah yang harus disampaikan kepada orang lain. Sedangkan pesan dakwah
adalah semua pernyataan yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Al-Hadis baik
secara lisan maupun tulisan.59
Oleh sebab itu, apabila sebuah pesan dakwah
bertentangan Al-Qur‟an dan Al-Hadis, tidak dapat dikatakan sebagai pesan
dakwah. Kategorisasi pesan dakwah secara garis besar dapat digolongkan
menjadi tiga jenis pesan dakwah, yaitu, akidah, syariah, dan akhlak,60
sebagai
berikut:
a) Akidah
Akidah Islam disebut dengan Tauhid dan merupakan pokok
kepercayaan agama Islam. Dalam Islam, akidah merupakan I‟tiqadh
Bathiniyyah yang mencakup keyakinan-keyakinan dalam rukun iman. Di
dalamnya bukan hanya menjelaskan apa yang wajib diyakini, akan tetapi
juga meliputi larangan akan sesuatu yang bertentangan di dalamnya,
contohnya sesuatu yang wajib kita yakini adalah salah satu sifat yang wajib
bagi Allah Qidam (terdahulu), maka kita dilarang dan haram hukumnya
untuk meyakini sifat yang berlawanan dari Qidam yaitu Huduts (baru).61
Adapun isinya meliputi:
57
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 88. 58
Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1994), cet. Ke-8, h. 18. 59
Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 43. 60
Moh Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 332. 61
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, h. 90.
1) Iman kepada Allah swt.
2) Iman kepada malaikat-malaikat Allah swt.
3) Iman kepada kitab-kitab Allah swt.
4) Iman kepada rasul-rasul Allah swt.
5) Iman kepada hari akhir (kiamat)
6) Iman kepada Qadha dan Qadar Allah swt.
b) Syariah
Secara etimologi, syariah berasalah dari bahasa Arab yang berarti
jalan. Secara terminologi, syariah adalah ketentuan atau aturan dari Allah
swt. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah swt. dan untuk
mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Syariah adalah
sesuatu yang harus dilakukan setelah keimanan, yaitu merealisasikan amal
baik dalam kehidupan sehari-hari sesuai perintah Allah swt.62
Adapun isinya
meliputi:
1) Ibadah meliputi apa yang ada dalam rukun Islam, yaitu, shalat wajib,
puasa, zakat, dan pergi haji jika mampu.
2) Muammalah meliputi semua hubungan sosial manusia dengan sesame
manusia lainnya, yang sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadis, agar
tercipta hubungan yang harmonis dan kerukunan antar sesama. Di
dalamnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan, ekonomi, politik,
sosial, hukum, budaya, dan sebagainya.63
62
E. Hasan Saleh, Studi Islam di Perguruan Tinggi Pembinaan IMTAQ dan Pengembangan
Wawasan, (Jakarta: ISTN, 2000), h. 55. 63
Hendi Suhendi, Fiqh Mu‟ammalah,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 2.
c) Akhlak
Secara etimologi, akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu bentuk jamak
dari khuluqun, yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Secara terminologi, akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam
jiwa seseorang, sehingga menjadi sebuah kepribadian.64
Akhlak terbagi
menjadi dua menurut sifatnya, akhlak mahmudah (terpuji), dan akhlak
madzmumah (tercela).
C. Buku sebagai Media Dakwah
Hamzah Ya‟qub membagi sarana dakwah menjadi lima macam, yaitu:
lisan, tulisan, audio, visual, dan internet. Dari lima macam pembagian tersebut,
secara umum dapat dipersempit menjadi tiga media, yaitu :
a) Spoken words, media dakwah yang berbentuk ucapan atau bunyi yang
ditangkap dengan indra telinga, seperti ceramah secara langsung.
b) Printed writings, berbentuk tulisan seperti buku, gambar, lukisan, dan
sebagainya yang dapat ditangkap dengan mata.
c) The audio visual, berbentuk gambar hidup yang dapat didengar sekaligus
dilihat, seperti televisi, video, film, dan lain sebaginya.65
Buku sebagai salah satu contoh media cetak merupakan satu alat yang
ampuh dalam komunikasi. Keistimewaan yang dimiliki oleh media ini, tidak
terdapat pada media lain, yaitu bahwa media tersebut bisa dibaca berulang kali,
sehingga benar-benar dapat mempengaruhi sasarannya. Melihat antusias
masyarakat yang sangat baik terhadap buku, membuat buku menjadi salah satu
64
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 4. 65
Amal Fathullah Zarkasyi, Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah,
(Jakarta: GIP, 1998), h. 154.
media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan dakwah kepada
masyarakat Indonesia.66
Bahkan buku menjadi sarana “perang pena” bagi para penulis, ketika
suatu buku muncul, maka akan muncul buku lain untuk melengkapi, bahkan
mengkritik. Asalkan berangkat dengan niat yang baik untuk memperbaiki dan
mencari kebenaran dalam rangka berdakwah, maka tidak menjadi masalah.67
66 H.A. Suminto, Problematika Da‟wah, (Jakarta : Tinta Mas, 1973), cet. Ke-1, h. 47.
67 Badiatul Muchlisin Asti, Berdakwah dengan Menulis Buku, (Bandung: Media Qalbu,
2004), cet. Ke-1, h. 44.
BAB III
PROFIL PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA DAN
GAMBARAN UMUM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN
A. Profil Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA
1. Riwayat Hidup Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA
Ali Mustafa Yaqub, lahir di Desa Kemiri Kecamatan Subah Kabupaten
Batang Jawa Tengah, 2 Maret 1952. Nuansa religius telah menemaninya sejak
beliau masih duduk di bangku sekolah dasar.68
Ayahnya bernama Yaqub,
seorang dai terkemuka di masanya dan sebagai imam di masjid-masjid Jawa
Tengah, misinyanya adalah “Menegakkan Amar Ma‟ruf dan Memberantas
Kemungkaran.” Ibunya bernama Zulaikha, seorang ustadzah dan ibu rumah
tangga, dan meninggal pada tahun 1996. Ali Mustafa memiliki 7 orang
saudara, yang dua di antara telah meninggal dunia. Salah satu kakaknya ialah
Ahmad Dahlan Nuri Yaqub, yang juga mengikuti jejak ayahnya sama seperti
beliau, pengasuh pondok pesantren Darus Salam Batang, Jawa Tengah.69
Namun, obsesinya untuk terus belajar di sekolah umum terpaksa kandas,
karena setelah tamat SMP beliau harus mengikuti arahan orang tuanya,
mencari kaweruh di Pesantren. Maka dengan diantar ayahnya, pada tahun 1966
beliau mulai mondok untuk menerima piwulang di Pondok Seblak Jombang
sampai tingkat Tsanawiyah 1969. Kemudia beliau nyantri lagi di Pesantren
Tebuireng Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari
68
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003), h. 143. 69
Ni‟ma Diana Cholidah, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap Perkembangan Kajian
Hadis Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 11.
Pondok Seblak, terhitung dari tahun 1969-1972. Kemudian pada pertengahan
tahun 1972, beliau melanjutkan studi strata satu pada program studi syariah
Universitas Hasyim Asy‟ari Jombang sampai tahun 1975.70
Di samping belajar formal sampai Fakultas Syariah Universitas Hasyim
Asy‟ari, di pesantren ini beliau menekuni kitab-kitab kuning71
di bawah asuhan
para kiai sepuh, antara lain Al-Marhum KH. Idris Kamali, Al-Marhum KH.
Adlan Ali, Al-Marhum KH. Shobari, dan Al-Musnid KH. Syansuri Badawi. Di
Pesantren ini beliau juga mengajar Bahasa Arab, sampai awal 1976.72
Tahun 1976 beliau ngelmu lagi di Fakultas Syariah Universitas Islam
Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, sampai tamat dengan
mendapatkan ijazah License (Lc.), pada tahun 1980. Kemudian masih di kota
yang sama, beliau melanjutkan lagi studinya di Universitas King Saud, Jurusan
Tafsir dan Hadis, sampai tamat dengan memperoleh ijazah Master, 1985. Tidak
berhenti sampai di sana, beliau pun menyelesaikan studi doktoralnya di
Universitas Nizamia, Hyderabad India, Spesialisasi Hukum Islam, pada tahun
2007.73
Sekarang ini beliau beetempat tinggal dengan keluarganya yang terdiri
dari seorang istri dan seorang anak laki-laki sulungnya di Jl. SD Inpres No. 11
Pisangan Barat Ciputat 15419 Jakarta. Dan sekarang beliau sedang membina
Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences yang beliau dirikan
sejak tahun 1997 di dekat rumahnya dan juga di Malaysia.
70
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, h. 240. 71
Dinamakan kitab kuning karena kitab-kitab itu dicetak pada kertas berwarna kuning,
dengan alasan dapat memberi kesan klasik pada pembacanya. Martin Van Bruinessen, Kitab
Kuning, Pesantren, dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999), h. 142. 72
Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Hadis, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000), h. 105. 73
Hartono, Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di Indonesia (Studi atas
Pemikiran Abdul Hakim Abdat dan Ali Mustafa Yaqub), (Jakarta: Tesis S2 Konsentrasi Tafsir
Hadis, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 83-
84.
Sosok yang dipanggil akrab “Pak Kiai” oleh para muridnya ini
merupakan sosok yang sangat menginspirasi para muridnya. Sikapnya yang
tegas dan disiplin selalu beliau ajarkan setiap pertemuan perkuliahan tanpa
henti, dengan harapan semua muridnya menjadi Ulama Besar di dunia, bahkan
sampai bisa melebihinya.74
Dahulu, setiap pukul 03.30 WIB dini hari, ketika beliau masih dalam usia
muda, beliau rela mengetuk pintu kamar muridnya untuk membangunkan
mereka melaksanakan Qiyam al-Lail. Tanpa henti beliau memberikan
perhatian yang hangat dan berlimpah kepada muridnya. Namun sekarang,
diusianya yang mulai menua, beliau cukup membangunkan muridnya dengan
menelpon murid tertuanya, untuk membangunkan teman yang lainnya. Tidak
hanya bagi muridnya saja beliau melimpahkan kasih sayangnya yang
berlimpah, beliau juga melimpahkan kasih sayangnya kepada umat Islam di
Dunia. Salah satu buktinya adalah beliau selalu menulis buku bertema Islam di
tengah kesibukannya yang sangat padat.75
2. Riwayat Pendidikan
Jika diurutkan, maka perjalanan pendidikan beliau ialah sebagai berikut :
a. Pondok Seblak Jombang (1966 – 1969)
b. Pesantren Tebuireng, Jombang (1969 – 1972)
c. Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy'ari, Jombang (1972 – 1975)
d. Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh,
Saudi Arabia (S1, 1976 – 1980)
74
Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh
Salamah, Jakarta, 04 Mei 2015. 75
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah Darus-
Sunnah, Jakarta, 11 Mei 2015.
e. Fakultas Pascasarjana Universitas King Saud, Riyadh, Saudi Arabia,
Spesialisasi Tafsir Hadis (S2, 1980 – 1985)
f. Universitas Nizamia, Hyderabad India, Spesialisasi Hukum Islam (S3, 2006
– 2007)
B. Karya-karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA
Berikut ini karya-karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dari tahun
1986-201576
:
1. Memahami Hakikat Hukum Islam (alih Bahasa dari Prof. Dr. Muhammad
Abdul Fattah al-Bayanuni, 1986)
2. Nasihat Nabi kepada para Pembaca dan Penghafal Al-Qur‟an (1990)
3. Imam al-Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis (1991)
4. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (alih Bahasa dari Prof. Dr.
Muhammad Mustafa Azami, 1994)
5. Kritik Hadis (1995)
6. Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat (alih Bahasa dari
Muhammad Jameel Zino, Saudi Arabia, 1418 H)
7. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (1997)
8. Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (1999)
9. Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Hadis (2000)
10. Islam Masa Kini (2001)
11. Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi‟i (alih Bahasa dari Prof. Dr. Abd.
al-Rahman al-Khumayis, 2001)
76
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), h. 160-
163.
12. Aqidah Imam Empat Abu Hanifah, Malik, Syafi‟i, dan Ahmad (alih
Bahasa dari Prof. Dr. Abd. al-Rahman al-Khumayis, 2001)
13. Fatwa-fatwa Kontemporer (2002)
14. MM Azami Pembela Eksistensi Hadis (2002)
15. Pengajian Ramadhan Kiai Duladi (2003)
16. Hadis-hadis Bermasalah (2003)
17. Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003)
18. Nikah Beda Agama dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Hadis (2005)
19. Imam Perempuan (2006)
20. Haji Pengabdi Setan (2006)
21. Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007)
22. Pantun Syariah Ada Bawal Kok Pilih Tiram (2008)
23. Toleransi antar Umat Beragama, (dua bahasa, Arab dan Indonesia, 2008)
24. Islam di Amerika; Catatan Safari Ramadhan 1429 H. Imam Besar Masjid
Istiqlal, (dua bahasa, Inggris – Indonesia, 2009)
25. Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika dalam
Perspektif Al-Qur'an dan Hadis (2009)
26. Islam Between War and Piece (2009)
27. Mewaspadai Provokator Haji (2009)
28. Kidung Bilik Pesantren (2009)
29.
ء ػايي احلالل واحلرام يف األطػث واألرشبث واألدويث واملصخدرصات الجيييث ىلع ض
(0202) الهخاب والصث
30. Kiblat antara Bangunan dan Arah Ka‟bah (dua bahasa, Arab dan
Indonesia, 2010)
31.
ء الهخاب والصث (0202) اىلتيث ىلع ض
32. 25 Menit Bersama Obama (2010)
33. Kiblat Menurut Al-Qur‟an dan Hadis: Kritik atas Fatwa MUI No. 5/2010,
(2011)
34. Ramadhan Bersama Ali Mustafa Yaqub (2011)
35. Makan Tak Pernah Kenyang (2012)
36. Cerita dari Maroko (2012)
37. Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme (2012)
38.
( 0202) ديلو احلصتث
39. Panduan Amar Makruf Nahi Munkar (2012)
40.
ء الهخاب والصث ال وذي احلجث ىلع ض (0202) إثتات رمضان وش
41. Isbat Ramadan, Syawal, dan Zulhijah Menurut Al-Kitab dan Sunnah
(2013)
42. Menghafal Al-Qur‟an di Amerika Serikat (2014)
43.
(0202) اىطرق الصديدث يف ف الصث انلتيث
44. Cara Benar Memahami Hadis (2014)
45. Setan Berkalung Surban (2014)
46.
اةيث وضيث اىػياء احفاق يف األصل ال اخخالف (0202) ال
47. Titik Temu Wahabi-NU (2015)
C. Aktivitas Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA
1. Bidang Organisasi
a. Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat (1987).
b. Sekjen Pimpinan Pusat Ittihadul Muballighin (1990-1996).
c. Ketua Dewan Pakar, merangkap ketua Dewan Departemen Luar Negeri
Ittihadul Muballighin (1996-2000).
d. Anggota Delegasi MUI untuk Memantau Pemotongan Hewan di Amerika
(2000).
e. Studi Banding tentang Cara Menjaga Kelestarian Al-Qur'an, di Iran,
Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2005).
f. Studi Banding tentang Cara Menjaga Kelestarian Al-Qur'an, di Mesir,
Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2005).
g. Studi Banding tentang Cara Menjaga Kelestarian Al-Qur'an, di Saudi
Arabia, Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2005).
h. Mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh.
i. Wakil ketua Komisi Fatwa MUI Pusat (2005 sampai sekarang).
j. Anggota lajnah Pentashih Al-Qur‟an DEPAG RI (2005 sampai sekarang).
k. Studi Banding tentang Cara Menjaga Kelestarian Al-Qur'an, di Turki,
Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2006).
l. Peserta & Pemakalah dalam Konferensi Dunia tentang Metode Penetapan
Fatwa di Kuala Lumpur, Malaysia (2006).
m. Ketua Delegasi MUI untuk Memantau Pemotongan Hewan di Kanada
(2007).
n. Peserta Konferensi ke 6 tingkat dunia, Lembaga Keuangan Islam Dunia, di
Bahrain (2007).
o. Ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi).
p. Anggota Dewan Syari‟ah Majlis Al-Dzikra.
q. Anggota Dewan Syari‟ah Bank Bukopin Syari‟ah.77
2. Bidang Pendidikan
a. Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah Jakarta (1991-
1997).
b. Guru Besar di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) (1985 sampai sekarang).
c. Dosen di Institut Studi Ilmu Al-Quran (ISIQ/PTIQ).
d. Dosen Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (2012 sampai
sekarang).
e. Mendirikan Madrasah Darus-Sunnah 6 Tahun Setingkat Dengan Smp Dan
Sma (2014).78
3. Bidang Dakwah
a. Pengajian Tinggi Islam Masjid Istiqlal.
b. Pengajian di Masjid Agung Sunda Kelapa.
c. Pengajian di Masjid Agung At-Tin.
77
Ni‟ma Diana Cholidah, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap Perkembangan Kajian
Hadis Kontemporer di Indonesia, h. 20. 78
Ali Mustafa Yaqub, Isbat Ramadan, Syawal, dan Zulhijah Menurut Al-Kitab dan
Sunnah, (Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, 2013), h. 118.
d. Pengajian di Masjid Raya Pondok Indah.79
e. Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI.
f. Tahun 1989, bersama keluarganya beliau mendirikan Pesantren “Darus-
Salam” di desa kelahirannya.
g. Ramadhan 1415 H/Februari 1995-1997 beliau diamanati untuk menjadi
pengasuh/pelaksana Harian Pesantren Al-Hamidiyah Depok, setelah
pendirinya KH. Achmad Sjaichu wafat 4 Januari 1995.
h. Imam Besar Masjid Istiqlal (2005 sampai sekarang).
i. Pengasuh Darus-Sunnah International Institute for Hadith Scincens di
Indonesia dan Malaysia (1997 sampai sekarang).80
D. Gambaran Umum Buku Setan Berkalung Surban
1. Tampilan Fisik dan Identitas Buku
Judul Buku : Setan Berkalung Surban
Penulis : Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA
Editor : Denden Taupik Hidayat, SS., Lc.
Penerbit : Pustaka Firdaus
No. ISBN : 978-979-541-224
Tahun Terbit : 2014 M.
Tempat Terbit : Jakarta
Cetakan : Ke-1
Jumlah Halaman : 163
Tampilan Fisik : Warna cover depan adalah hitam. Terdapat gambar
surban berwarna merah di depan sampul. Di tengahnya tertera judul buku yang
79
Tim Redaksi Majalah Nabawi, Kolom Artikel Utama, (Jakarta: IMDAR, 1436 H./2015
M.), edisi 109, h. 12. 80
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, h. 240.
sangat mencolok dengan menggunakan warna merah pada kata “Setan” dan warna
putih pada kata “Berkalung Surban”. Menandakan bahwa buku ini mencoba
menarik perhatian pembaca dan mencoba menjelaskan dengan singkat apa yang
ada dalam buku ini. Ukuran bukunya sedang, sehingga mudah dibawa kemana-
mana, dan bisa dibaca dimanapun kita berada.
2. Sekilas Tentang Buku Setan Berkalung Surban
Buku ini adalah salah satu dari karya beliau yang menjawab problematika
kehidupan umat Islam di Indonesia. Buku dengan judul yang sangat
mengandung makna majas ini berisi kritikan-kritikan beliau terhadap fenomena
kehidupan umat sekarang ini yang semakin kompleks. Dengan buku ini beliau
mencoba menerjemahkan apa yang ada pada masyarakat Indonesia, dan
meluruskannya dengan pendapat beliau yang didasari pada dalil-dalil Al-
Qur‟an dan Al-Hadis, serta memberikan solusi yang tepat di dalamnya.81
Buku ini berisi artikel-artikel beliau yang dimuat di berbagai media massa
terkenal, seperti, Koran KOMPAS, REPUBLIKA, Majalah Nabawi. Juga
memuat makalah beliau pada Seminar Intenasional, Khutbah Jumat di New
York USA, dan Khutbah Nikah Duta Besar Paraguay yang baru saja masuk
Islam di bawah bimbingan beliau. Semua materi ini berjumlah 42 judul yang
dibagi menjadi tiga kategori besar di dalamnya, yaitu akidah berjumlah 9 judul,
ibadah 13 judul, dan muamalah 20 judul. Seluruhnya menggunakan bahasa
Indonesia, kecuali 3 judul khusus yang berasal dari makalah beliau pada
81
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah Darus-
Sunnah, Jakarta, 11 Mei 2015.
Seminar Intenasional, Khutbah Jumat di New York USA, dan Khutbah Nikah
Duta Besar Paraguay.82
Kategori pertama adalah tentang akidah. Salah satu persoalan yang disorot
pada bidang ini adalah toleransi umat beragama di Indonesia. Indonesia
merupakan Negara yang mendapatkan perhatian besar dunia dalam hal
toleransi antarumat beragama. Banyak wartawan mancanegara bahkan tokoh-
tokoh dunia yang datang langsung ke Indonesia untuk menanyakan tentang
rahasia stabilitas sosial di Negara Indonesia yang multietnis dan multiagama.
Dalam buku ini beliau memberi jawaban yang gamblang dan menunjukkan
solusinya yang berasal dari sejarah umat Islam masa lalu, yaitu saat di Madinah
Nabi Muhammad saw. membina kerukunan antara umat Islam dengan agama-
agama lainnya seperti, Nashrani, Yahudi, Majusi, dan Paganisme. Bahkan
Rasul saw. bersama penganut agama lain membuat perjanjian damai untuk
saling menghormati dan menjaga satu sama lain yang disebut Piagam
Madinah.
Tidak kalah menariknya isi pesan yang ada pada kategori ibadah. Kritik
demi kritik beliau sampaikan demi membangun kesadaran umat Islam dalam
menjalankan ibadah yang baik dan benar. Di dalamnya dijelaskan banyak
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan umat Islam dalam praktek
ibadah seperti, kurban, puasa Ramadhan, haji, azan, dan salat. Bahkan beliau
juga mampu menguak hubungan kualitas ibadah dengan kemunduran umat
Islam di Indonesia dalam bidang ekonomi. Beliau menekankan adanya
82
Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh
Salamah, Jakarta, 04 Mei 2015.
reorientasi ibadah agar berpahala maksimalis sehingga berbuntut pada
ekonomis maksimalis.
Kategori terakhir adalah persoalan muamalah, yang menjadi pamungkas
pada buku ini, juga fokus pada penelitian ini. Problematika umat Islam dalam
bidang muamalah lebih kompleks dibandingkan dengan dua bidang
sebelumnya. Salah satunya adalah fenomena dai bertarif yang beliau bahasakan
dengan sebuah singkatan yaitu dai walakedu (jual ayat kejar duit) yang
semakin ramai muncul di masyarakat.83
83
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. vii-ix.
BAB IV
ANALISIS WACANA KRITIS “DAI KOMERSIAL” DALAM BUKU
SETAN BERKALUNG SURBAN KARYA
PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA
A. Struktur Teks yang Diwacanakan dalam Buku Setan Berkalung Surban
1. Judul: Setan Berkalung Surban
a. Level Teks
1) Struktur Makro
a) Segi Tematik
Tema atau topik adalah sebuah gambaran umum dari teks, dapat
juga dikatakan sebuah gagasan inti atau ringkasan utama sebuah teks.
Dalam tulisan Alex Sobur yang mengutip Keraf, mengatakan bahwa
tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis
melalui tulisannya.84
Topik tulisan ini adalah tentang muamalah.
Gagasan intinya adalah mengkritik dai yang hanya bermodal surban
tetapi berdakwah tidak berdasarkan niat karena Allah swt. melainkan
mengikuti hawa nafsu dan kehendak setan.85
2) Superstruktur
a) Segi Skematik
Pada umumnya, teks, atau wacana memiliki skema atau alur,
yang dimulai dari pendahuluan hingga penutup. Alur tersebut
84
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 75.
85 Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,
Jakarta, 18 Mei 2015.
menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan
diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Skematik memiliki dua
kategori besar yaitu summary yang terdiri dari judul dan lead (teras
berita) serta story (isi berita keseluruhan). Berikut penjabarannya:
Tulisan ini berjudul “Setan Berkalung Surban.” Lead (teras
berita) menggambarkan mengenai judul yang diangkat untuk
membawa pembaca kepada pendahuluan. Pendahuluan tulisan ini
diawali dengan sebuah cerita yang berasal dari hadis Rasul saw.
dengan bahasa Arab dan bahasa Indonesia, sebagai berikut:
وشي ن رشل اهلل صل اهلل غييت غ أيب ريرة ريض اهلل غ كال/ "وك ، وكيتج ح خذت
ػام ، فأ اىط حان آت ، فجػو يتث
ظ زكة رمضان ، فأ فت : ب
وش م إل رشل اهلل صل اهلل غييت فػ رت ، كال / إني متخاج ، وغل خيال ، ول أل ي
ةا / " يا أ وشي ج ، فلال انلب صل اهلل غييت تدت صت
، فأ خاجث شديدة ، فخييتج خت
ارخث ؟ " ، كال / كيتج / يا شيك التا فػو أ ريترة ، رشل اهلل، شك خاجث شديدة ،
، كال ، فخييتج شبيي د." " : وخياال ، فرحتخ كدت نذةم ، وشيػ ا إ 86أ
“Abu Hurairah ra. Bercerita: Suatu hari Rasulullah saw.
menugaskan saya untuk menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan.
Tiba-tiba datanglah seseorang melihat-lihat makanan dan langsung
mengambilnya. Dia lalu saya tangkap, dan saya katakan: “Kamu
akan saya laporkan kepada Rasul saw.” orang itu menjawab: “Saya
orang yang sudah berkeluarga dan sangat membutuhkan makanan
tersebut untuk keluarga saya.” Mendengar itu saya pun
melepaskannya. Ketika pagi tiba Rasul saw. bertanya: “Wahai Abu
Hurairah apa yang kamu lakukan pada orang yang kamu tangkap tadi
malam?” Saya menjawab: “Wahai Rasulullah, orang itu mengadukan
kesusahan keluarganya, dan dia memohon harta zakat saat itu juga,
lalu saya bebaskan.” Rasul saw. bersabda: Dia telah mengelabuimu,
dan nanti malam ia akan datang lagi.”87
86
Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Mesir: Dar al-Hadis, 2008), juz 3, h. 101. 87
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 92.
Pendahuluan dalam tulisan ini menggunakan cerita dengan
bahasa Arab dan bahasa Indonesia dari sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Tujuannya adalah untuk mengajak
pembaca agar membaca hadis Rasul saw. juga agar memberi
penguatan pada pesannya. Inti dari tulisan ini berada dalam akhir
cerita tersebut, yaitu:
“Dari Hadis ini, ada pelajaran menarik. Pertama, bahwa setan
dapat menjelma menjadi manusia. Kedua, dalam rangka mengecoh
dan mencari korban, setan dapat menjelma menjadi seorang ustaz atau
ustazah dengan segala atribut dan nasehat-nasehatnya.”88
Tulisan ini ditutup dengan memberikan sebuah peringatan
kepada kita agar berhati-hati terhadap segala macam bentuk rayuan
setan yang ada di dunia ini. Cerita ini berlangsung sampai tiga kali
berulang-ulang dan pada hari ketiga Rasul saw. memberitahukannya
bahwa ia adalah setan. Kesimpulan dari tulisan ini menjelaskan bahwa
meskipun seseorang itu menggunakan surban dan menjadi dai, jika
dakwahnya tidak berlandaskan ikhlas karena Allah, maka sama saja
dakwahnya itu mengikuti rayuan setan dan hawa nafsunya.
Story tulisan ini memberikan pandangan kepada orang-orang
bahwa setan dapat menyerupai apapun dan siapapun untuk menggoda
manusia, bahkan dalam bentuk yang menurut umat Islam baik
(menggunakan surban). Jika para dai yang menggunakan surban
melakukan dakwahnya bukan dilandaskan atas keikhlasan karena
Allah swt. melainkan karena mengikuti hawa nafsunya karena ingin
88
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94.
populer misalnya, maka sama saja dakwahnya itu mengikuti kehendak
setan bukan mengikuti keinginan Allah swt.
3) Struktur Mikro
a) Segi Semantik
Semantik adalah studi linguistik yang mempelajari makna atau
arti dalam bahasa.89
Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan
praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari Abu Hurairah yang
diamanati untuk menjaga zakat Ramadhan yaitu di Bait al-Mal. Detail
tulisan ini sangat bagus, karena menceritakan secara naratif tentang
kejadian yang dialami Abu Hurairah selama 3 hari untuk menjaga
harta zakat dari awal sampai akhir. Berikut detail dalam tulisan ini:
“Abu Hurairah ra. bercerita, “Suatu hari Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menugaskan saya untuk menjaga harta
zakat pada bulan Ramadhan. Tiba-tiba datanglah seseorang melihat-
lihat makanan dan langsung mengambilnya. Dia lalu saya tangkap,
dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah.”
Orang itu menjawab: „Saya orang yang sudah berkeluarga dan
sangat membutuhkan makanan untuk keluarga saya.” Mendengar itu
saya pun melepaskannya. Ketika pagi tiba, Rasulullah bertanya:
“Wahai Abu Hurairah apa yang dilakukan oleh orang yang kamu
tangkap tadi malam?” Saya menjawab: “Wahai Rasulullah, orang itu
mengadukan kesusahan keluarganya dan dia memohon harta zakat
saat itu juga, lalu saya bebaskan.” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam lalu bersabda: “Dia telah mengelabui kamu wahai Abu
Hurairah dan nanti malam dia akan kembali lagi”.
Dari sabda Nabi ini, saya tahu bahwa dia akan kembali lagi.
Malam harinya saya mengawasinya secara teliti dan ternyata betul
apa yang disampaikan Rasulullah, ia telah berada di ruang harta
zakat sambil memilih-milih harta zakat yang terkumpul lalu ia
mengambilnya. Melihat itu, dia lalu saya tangkap, dan saya katakan,
“Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah.” Orang itu
menjawab: “Saya betul-betul sangat membutuhkan makanan itu
89
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), cet.
Ke-3, h. 2.
sekarang, keluarga saya kini sedang menunggu sambil menahan
lapar. Saya berjanji tidak akan kembali lagi esok hari”. Mendengar
itu, saya merasa kasihan dan akhirnya saya lepaskan kembali.
Keesokan harinya Rasulullah bertanya kembali: “Apa yang dilakukan
oleh orang yang kamu tangkap tadi malam, wahai Abu Hurairah?”
Saya menjawab: “Orang kemarin datang kembali dan mengambil
harta zakat. Karena keluarganya sudah lama kelaparan, akhirnya
saya melepaskannya”. Mendengar itu, Rasulullah bersabda: “Dia
telah membohongi kamu dan nanti malam ia akan kembali untuk yang
ketiga kalinya”.
Malamnya ternyata orang itu kembali lagi dan seperti biasa dia
mengambil harta zakat yang sudah terkumpul di dalam gudang.
Melihat itu, dia lalu saya tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan
saya laporkan kepada Rasulullah. Bukankah kamu kemarin berjanji
tidak akan kembali lagi tapi mengapa kini kembali juga?” Orang itu
menjawab: “Ijinkanlah. Saya akan ajarkan kepada kamu sebuah
kalimat yang apabila kamu membacanya Allah akan selalu menjaga
kamu serta kamu tidak akan disentuh dan didekati oleh setan hingga
pagi hari". Saya merasa tertarik dengan ucapannya lalu saya
menanyakan kalimat apa itu. Dia menjawab: “Apabila kamu hendak
tidur, jangan lupa membaca ayat Kursi, maka Allah akan menjaga
kamu dan kamu tidak akan didekati oleh setan sehingga pagi tiba”.
Para Sahabat Nabi saw. memang suka dengan amalan-amalan.
Keesokan harinya Rasulullah kembali menanyakan apa yang
telah saya lakukan tadi malam dan saya katakan: “Ya Rasulullah, dia
mengajarkan saya kalimat yang sangat bermanfaat dan berfaidah.”
Rasulullah lalu bertanya kembali: “Kalimat apa yang diajarkannya?”
Saya menjawab, “Dia mengajarkan ayat Kursi dari awal sampai
akhir dan dia katakan bahwa kalau saya membacanya sebelum tidur,
maka Allah akan menjaga saya sampai pagi hari.” Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Yang dia sampaikan
itu betul namun dia sudah berhasil mengelabui kamu dengan
mengambil harta zakat. Tahukah kamu siapa orang yang mendatangi
kamu tiga malam itu?” Saya menjawab: “Tidak, saya tidak tahu”.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Ketahuilah
bahwa dia itu adalah setan.”(HR. Al-Bukhari)”90
90
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 92-94.
Sedangkan maksud dalam tulisan ini menjelaskan jika ibadah
bukan karena Allah swt., maka ibadah itu untuk setan, disampaikan
dengan jelas dalam kalimat berikut:
“Ketika sebuah ibadah dilakukan tidak dalam rangka
menjalankan perintah Allah dan atau Rasul-Nya, apalagi dalam rangka
memenuhi keinginan selera alias hawa nafsu yang dibisiki oleh setan,
maka di sinilah ibadah itu bukan untuk Allah tetapi untuk setan.”91
Praanggapan tulisan ini berada dalam kutipan berikut:
“Di sinilah, banyak orang terkecoh dengan penampilan setan.
Apabila yang digoda seorang yang senang beribadah, setan tidak akan
menyuruhnya untuk bermain judi, mencuri, korupsi, dan sebagainya,
tetapi setan menyerunya untuk melakukan perbuatan yang lahiriahnya
adalah sebuah ibadah.”92
b) Sintaksis
Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antar
kata dalam tuturan atau kalimat.93
Maksudnya adalah bagaimana
sebuah kata atau kalimat disusun menjadi kesatuan yang memilki arti.
Elemen yang diamati dalam sintaksis adalah bentuk kalimat,
koherensi, dan kata ganti. Bentuk kalimat dalam tulisan ini
menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dan kalimat pasif
awalan di- dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Pertama, bahwa setan dapat menjelma menjadi manusia.
Kedua, dalam rangka mengecoh dan mencari korban, setan dapat
menjelma menjadi seorang ustaz atau ustazah dengan segala atribut
dan nasehat-nasehatnya.” 94
91
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 92
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 93
W. M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Jogjakarta: Universitas Gajah Mada Press,
2001) cet. Ke-3, h. 161. 94
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94.
“Untung, Abu Hurairah diberitahu Nabi saw. bahwa wiridan
tersebut adalah benar.”95
Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „tetapi‟
yang bermakna pengingkaran, yang dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
“Di sinilah, banyak orang terkecoh dengan penampilan setan.
Apabila yang digoda seorang yang senang beribadah, setan tidak akan
menyuruhnya untuk bermain judi, mencuri, korupsi, dan sebagainya,
tetapi setan menyerunya untuk melakukan perbuatan yang lahiriahnya
adalah sebuah ibadah. Ketika sebuah ibadah dilakukan tidak dalam
rangka menjalankan perintah Allah dan atau Rasul-Nya, apalagi dalam
rangka memenuhi keinginan selera alias hawa nafsu yang dibisik oleh
setan, maka di sinilah ibadah itu bukan untuk Allah tetapi untuk
setan.”96
Kata „tetapi‟ yang pertama berfungsi untuk menjelaskan situasi
orang yang beriman dan suka beribadah justru akan digoda dengan
sesuatu yang lahirnya adalah ibadah akan tetapi hakikatnya mengikuti
setan. Sedangkan pemahaman yang beredar adalah bahwa setan akan
menggoda seseorang yang beriman dengan sesuatu yang mungkar atau
buruk. Kemudian kata „tetapi‟ yang kedua berfungsi untuk
menjelaskan seorang dai yang berdakwah bukan karena Allah, maka
dakwahnya itu tidak lain adalah untuk mengikuti kehendak setan.
Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Yang
dia sampaikan itu betul namun dia sudah berhasil mengelabui kamu
dengan mengambil harta zakat. Tahukah kamu siapa orang yang
mendatangi kamu tiga malam itu?” Saya menjawab: “Tidak, saya
95
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 96
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94.
tidak tahu”. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda:
“Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan.”97
Penggunaan kata „dia‟ dalam kalimat ini menggambarkan
ketidaksukaan Rasul saw. terhadap apa yang dilakukan setan.
Sedangkan kata „kamu‟ dalam kalimat ini menggambarkan kedekatan
Rasul saw. dengan Abu Hurairah.
“Hadis ini juga memberikan peringatan kepada kita agar hati-
hati menghadapi rayuan setan karena boleh jadi setan betina tampil
dengan jilbab dan busana muslimah dan setan jantan tampil dengan
berkalung surban.”98
Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak
adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk
menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan
demikian pembaca dapat menerima dengan mudah ajakan beliau.
c) Segi Stilistik
Stilistik adalah cara yang digunakan beliau untuk menyatakan
maksud melalui pilihan kata yang digunakan. Seperti terdapat dalam
kutipan berikut:
“Untung, Abu Hurairah diberitahu Nabi saw. bahwa wiridan
tersebut adalah benar, sehingga ia mengamalkannya bukan karena
mengikuti perintah setan tapi mengikuti perintah Nabi saw.”99
Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata wiridan
untuk menjelaskan ayat kursi yang dimaksud di dalam ceritanya.
97
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 93-94. 98
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 99
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94.
d) Segi Retoris
Retoris dalam tulisan ini menggunakan bentuk ekspresi berupa
peringatan tentang gangguan setan dan metafora dalam bentuk kiasan
tentang setan, untuk menyampaikan pesannya kepada pembaca. Hal
ini terlihat dari kutipan:
“Hadis ini juga memberikan peringatan kepada kita agar
hati-hati menghadapi rayuan setan karena boleh jadi setan betina
tampil dengan jilbab dan busana muslimah dan setan jantan tampil
dengan berkalung surban.”100
2. Judul: Surban dan Jubah Haram
a. Level Teks
1) Struktur Makro
a) Segi Tematik
Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya
adalah menjelaskan tentang hukum pakaian syuhrah yaitu pakaian
yang dipakai karena ingin tenar atau dikenal orang lain, dalam hal ini
ingin dikenal sebagai seorang dai atau kiai.101
2) Superstruktur
a) Segi Skematik
Tulisan ini berjudul “Surban dan Jubah Haram”. Pendahuluan
tulisan ini diawali dengan sebuah hadis sebagai berikut:
ب ت ل أ ث، ث م اىتليا ت ذىث ي تب اهلل ث ىتبص
جتيا أ رة يف ادل ت تب ش ت ىبس ث
ارا )رواه اة اج( 102في
100
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 101
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,
Jakarta, 18 Mei 2015. 102
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Mesir: Dar ibn Haytsam, 2005), juz 4, h. 84.
“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah
akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian
ia dibakar dalam api neraka. (HR. Ibnu Majah)”103
Pendahuluan dalam tulisan ini menyampaikan sebuah hadis
yang mengharamkan memakai pakaian syuhrah. Inti dari tulisan ini
berada dalam kutipan berikut:
“Menurut para Ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang
berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri di mana
pemakainya tinggal. Disebut pakaian syuhrah (popularitas), karena
pemakainya dengan pakaian tersebut ingin mudah dikenal oleh orang-
orang. Pakaian syuhrah adakalanya berebda dari pakaian umumnya
penduduk suatu negeri karena terlalu bagus atau berbeda karena
terlalu buruk. Ketika pakaian itu berbeda dari yang lain karena terlalu
bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari yang lain sehingga
kemudian ia merasa bangga, sombong, ria, sum‟ah, dan lain
sebagainya. Ketika pakaian itu berbeda karena sangat lebih buruk dari
pakaian orang-orang pada umumnya, maka pemakainya ingin disebut
sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan lain
sebagainya.”104
Tulisan ini ditutup dengan ajakan kepada kita untuk
berpenampilan sesuai apa yang ada di budaya kita sendiri. Kesimpulan
dari tulisan ini adalah menegaskan keharaman memakai pakaian
syuhrah sesuai yang telah disepakati oleh para Ulama dan
menganjurkan memakai pakaian sesuai budaya masing-masing seperti
yang dicontohkan oleh Rasul saw.
Story tulisan ini adalah memberikan penjelasan kepada orang-
orang bahwa memakai pakian syuhrah adalah haram hukumnya,
karena berbeda dari adat pemakainya berada dan terdapat niat yang
buruk dalam memakainya, seperti ria, somobong, dan bahkan ingin
103
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 104
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95.
dianggap zuhud. Dalam hal ini larangan bagi para dai untuk
menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia,
karena ingin dikenal sebagai dai.
3) Struktur Mikro
a) Segi Semantik
Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar
tulisan ini berawal dari sebuah hadis yang melarang memakai pakaian
syuhrah, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Detail tulisan ini sangat
bagus, karena beliau menjelaskan secara naratif tentang hukum
memakai pakaian syuhrah, dari mulai mendatangkan hadisnya,
menjelaskan maknanya, sampai menyimpulkannya, yang terdapat
dalam kutipan berikut:
“Dalam kitab Sunan Ibn Majah, ada Hadis bahwa Rasulullah
saw. mengatakan:
ب ت ل أ ث، ث م اىتليا ت ذىث ي تب اهلل ث ىتبص
جتيا أ رة يف ادل ت تب ش ت ىبس ث
ارا )رواه اة اج( في “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah
akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian
ia dibakar di api neraka.” (HR. Ibnu Majah)
Menurut para Ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang
berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri di mana
pemakainya tinggal. Disebut pakaian syuhrah (popularitas) karena
pemakainya dengan pakaian tersebut ingin mudah dikenal oleh orang-
orang. Pakaian syuhrah adakalanya berbeda dari pakaian umumnya
penduduk suatu negeri karena terlalu bagus atau berbeda karena
terlalu buruk. Ketika pakaian itu berbeda dari yang lain karena terlalu
bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari orang-orang pada
umumnya. Akibatnya, dia merasa berbeda dari yang lain sehingga
kemudian ia merasa bangga, sombong, ria, sum‟ah, dan lain
sebagainya. Ketika pakaian itu berbeda karena sangat lebih buruk dari
pakaian orang-orang pada umumnya, maka pemakainya ingin disebut
sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan lain sebagainya.
Berdasarkan Hadis ini, para Ulama sepakat bahwa pakaian syuhrah
adalah haram dikenakan.
Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan
jubah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian
syuhrah karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti
itu. Pada abad lalu, surban dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi
pakaian Ulama. KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy‟ari, Syeikh
Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai surban.
Maka pada masa itu, surban sudah menjadi tradisi para Ulama.
Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban. Dasarnya adalah
mengikuti tradisi (adat) dan tradisi dapat menjadi hukum, sepanjang
tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Memang, dalam Hadis yang sahih, Nabi saw. memakai surban
karena bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan surban. Maka,
surban (penutup kepala dengan dua sampai tiga ubel-ubel) adalah
tradisi bangsa Arab pada saat itu. Orang Islam dan orang musyrikin
juga sama-sama memakai surban.”105
Maksud dalam tulisan ini ialah menerangkan hukum pakaian
syuhrah dalam konteks Indonesia, yang disampaikan dengan jelas
dalam kalimat berikut:
“Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan
jubbah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori
pakaian syuhrah, karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian
seperti itu. Pada abad lalu, surban dan jubah mungkin sudah menjadi
tradisi pakaian Ulama. KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy‟ari,
Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai
surban. Maka pada masa itu, surban menjadi tradisi para Ulama.
Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban. Dasarnya adalah
mengikuti tradisi (adat) dan tradisi dapat menjadi hukum, sepanjang
tidak bertentangan dalam syariat Islam.”106
Praanggapan dalam tulisan ini ialah menghukumi penampilan
syuhrah sama dengan hukum pakaian syuhrah, yang disampaikan
dengan jelas dalam kalimat berikut:
105
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95-96. 106
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96.
“Melihat makna hadis di atas, tampaknya bukan hanya pakaian
syuhrah saja yang dilarang oleh Nabi saw., tetapi juga penampilan
syuhrah.”107
b) Sintaksis
Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif,
dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Berdasarkan hadis ini, para Ulama sepakat pakaian syuhrah
adalah haram dikenakan.”108
Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung
„karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat
dalam kutipan berikut:
“Para Ulama papan atas dari Saudi Arabia seperti, Mufti Besar
Syeikh Bin Baz rahimahullah, Mufti Besar masa kini Syeikh Abdul
Aziz Alu al-Syaikh, Syeikh Shaleh bin Muhammad al-„Utsaimin, dan
lain-lain, semuanya sepakat bahwa memakai surban bukan merupakan
ibadah. Tidak sunah apalagi wajib, namun hanya mengikuti tradisi
bangsa Arab pada saat itu. Hal itu dikarenakan tidak ada satu hadis
pun yang shahih yang menerangkan keutamaan memakai surban.
Semua hadis tentang keutamaan memakai surban adalah hadis-hadis
palsu.”109
Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan
hubungan kausal sebab akibat, yaitu menjelaskan tidak adanya satu
hadis pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan memakai surban,
sehingga memakai surban tidaklah mengandung ibadah sunah apalagi
wajib.
Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
107
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100. 108
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95. 109
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96.
“Apabila masyarakat di mana kita tinggal tidak memelihara
rambut panjang dan tidak memakai belangkon, maka berambut
panjang dan memakai belangkon juga dilarang oleh Rasulullah saw.
Di antara kita terkadang karena ketidaktahuannya menganggap
pakaian yang dipakai adalah sebuah ibadah, sunah, dan mengikuti
Nabi saw. padahal pakaian seperti itu justru dilarang oleh Rasulullah
saw.”110
Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak
adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk
menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan
demikian pembaca dapat menerima dengan mudah penjelasan beliau.
c) Segi Stilistik
Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:
“Menurut para ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang
berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk Negeri di mana
pemakainya tinggal.”111
“Memang, dalam hadis yang shahih, Nabi saw. memakai
surban karena bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan
surban.”112
Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata „syuhrah‟
unuk menjelaskan pakaian yang digunakan untuk dikenal orang lain
atau pakaian yang berbeda dari budaya si pemakainya. Sedangkan
kata „surban‟ untuk menjelaskan pakaian yang menjadi adat Arab
yaitu penutup kepala dari kain yang dibelitkan.
d) Segi Retoris
Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora dalam bentuk
ungkapan sehari-hari seperti pada kalimat berikut:
110
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 97. 111
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95. 112
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96.
“Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban.”113
Juga menggunakan grafis pada arti dari hadis seperti dalam
kutipan berikut:
“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah
akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian
ia dibakar dalam api neraka. (HR. Ibnu Majah)”114
“Perbedaan antara surban kita dari surban orang musyrikin
adalah memakai kopiah lebih dahulu.(HR. Imam Abu Dawud dan Al-
Tirmidzi)”115
3. Judul: Dai Berbulu Musang
a. Level Teks
1) Struktur Makro
a) Segi Tematik
Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya
adalah menjelaskan tentang hukum dai yang bertarif menurut kajian
fikih.116
2) Superstruktur
a) Segi Skematik
Tulisan ini berjudul “Dai Berbulu Musang.” Pendahuluan
tulisan ini diawali dengan kalimat berikut:
“Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang, Prof. Dr.
H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran
nasional berjudul Dai Berbulu Musang. Artikel ini dimaksudkan
untuk menasehati dan mengkritisi para dai yang perilaku
113
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 114
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 115
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 116
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,
Jakarta, 18 Mei 2015.
kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia
sampaikan.”117
Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan tulisan Prof. Dr. H.
Ayyub Sani Ibrahim dalam koran nasional. Inti dari tulisan ini berada
dalam kutipan berikut:
“Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballighin, sebuah
organisasi para dai yang dipimpin oleh Shahibul Fadhiilah Bapak KH.
Syukron Ma‟mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam Musyawarah
Nasional (Munas) ke-4, yang dihadiri oleh sekitar 350 orang peserta
yang terdiri dari para Ulama dan dai seluruh Indonesia merumuskan
enam butir kode etik dakwah. Di antara kode-kode etik dakwah itu,
dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang menjadi
objek dakwah.”118
Tulisan ini ditutup dengan wasiat dan nasihat kepada para dai,
agar menjadi orang yang memecahkan masalah umat, bukan
menambah masalah umat dengan memasang tarif tinggi ketika di
undang berdakwah oleh umat. Kesimpulan dari tulisan ini
menjelaskan semakin maraknya fenomena dai yang bertarif.
Story tulisan ini memberikan pandangan kepada orang-orang
bahwa zaman sekarang ini sedang marak muncul fenomena dai
bertarif yang menyusahkan masyarakat sebagai objek dakwah mereka.
Seharusnya dai itu adalah orang yang menenangkan masyarakat
dengan nasihat-nasihatnya, bukan malah meresahkan mereka dengan
tarifnya. Sudah seharusnya para dai kembali bertaubat untuk tidak
memasang tarif lagi dalam dakwahnya, jika pun nanti diberi hadiah
117
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 118
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98.
atau bahkan uang oleh masyarakat yang mengundang, hal itu tidak
mengapa asalkan tidak ada perjanjian dari awalnya.
3) Struktur Mikro
a) Segi Semantik
Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar
tulisan ini berawal dari tulisan Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim tahun
1980-an dan Musyawarah Nasional ke-4 tanggal 25-28 Juni 1996
yang menjelaskan fenomena dai bertarif. Detail tulisan ini sangat
bagus, karena menceritakan secara naratif tentang tulisan Prof. Dr. H.
Ayyub Sani Ibrahim tahun 1980-an dan hasil Musyawarah Nasional
ke-4, juga tentang hukum dai bertarif, yang dapat dilihat dalam
kutipan berikut:
“Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang, Prof. Dr.
H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran
nasional berujudul Dai Berbulu Musang. Artikel ini dimaksudkan
untuk menasehati dan mengkritisi para dai yang perilaku
kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia
sampaikan. Sebagai sebuah nasehat, semoga Allah swt telah
memberikan pahala kepada beliau. Namun fenomena dai berbulu
musang pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih
parah daripada sekedar dai berbulu musang, karena muncul oknum dai
yang berani memungut imbalan bahkan pasang tarif dalam
berdakwah. Dai seperti ini disebut dai walakedu (jual ayat kejar duit).
Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballigin, sebuah
organisasi para dai yang dipimpin oleh Shahibul Fadhiilah Bapak KH.
Syukron Ma‟mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam Musyawarah
Nasional (Munas) ke-4, yang dihadiri oleh sekitar 350 orang peserta
yang terdiri dari para Ulama dan dai seluruh Indonesia merumuskan
enam butir kode etik dakwah. Di antara kode-kode etik dakwah itu,
dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang menjadi
objek dakwah. Apa yang dirumuskan oleh Munas Ittihadul Muballigin
itu mendapat apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama ketika itu
Bapak Dr. H. Tarmizi Taher.
Kendati demikian, fenomena dai berbulu musang maupun dai
yang memungut imbalan tidaklah surut jumlahnya, bahkan belakangan
jauh lebih parah, karena berkembangnya dai-dai yang memasang tarif
dalam berdakwah.”119
Maksud dalam tulisan ini ialah menjelaskan hukum dai bertarif,
yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut:
“Masyarakat juga banyak yang bertanya kepada kami, apa
hukumnya memasang tarif dalam berdakwah dan memberikan uang
sebesar itu kepada dari bertarif. Dalam kajian fikih memang ada tiga
pendapat yang berkembang: pertama, pendapat yang
mengharamkannya secara mutlak, baik ada perjanjian sebelumnya
maupun tidak. Pendapat ini memiliki dalil-dalil yang kuat, baik dari
Al-Qur‟an maupun Hadis. Pendapat kedua, yang membolehkan
berdakwah dengan memungut imbalan.”
“Sementara pendapat ketiga, dan inilah yang diambil oleh
Munas ke-4 Ittihadul Muballigin tahun 1996 adalah pendapat yang
mengatakan bahwa apabila ada perjanjian sebelumnya, bahwa seorang
dai akan menerima upah dalam dakwahnya, maka hal itu tidak
dibolehkan. Sedangkan apabila tidak ada perjanjian apa-apa kemudian
dai diberi uang saku maka hal itu dibolehkan.”120
Praanggapan dalam tulisan ini ialah menyamakan kewajiban
dakwah dengan salat dan puasa, yang disampaikan dengan jelas dalam
kalimat berikut:
“Dakwah adalah sebuah kewajiban agama, seperti halnya salat
dan puasa, kendati ia tidak menjadi rukun Islam.”121
b) Sintaksis
Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif
dengan awalan me-, dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di
sebuah koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang.”122
119
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98-99. 120
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 121
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100.
“Banyak masyarakat yang gagal untuk mendatangkan seorang
dai.”123
Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung
„karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat
dalam kutipan berikut:
“Sepanjang pengamatan kami, tarif termahal dalam berdakwah
adalah seratus juta rupiah satu kali ceramah (satu titik) dan yang
paling murah adalah sepuluh juta rupiah. Maka wajar saja apabila
masyarakat mengeluh dan protes terhadap fenomena pasang tarif ini,
karena uang yang mereka kumpulkan adalah uang sumbangan dari
orang-orang miskin yang mengumpulkan dengan memeras keringat
tapi kemudian dirampok begitu saja oleh oknum dai berbulu musang
itu.”124
Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan
hubungan sebab akibat, yaitu menjelaskan karena dai memasang tarif,
wargapun menjadi mengeluh dan resah.
Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Bersyukurlah dai yang dibuka aibnya oleh Allah swt. di dunia
karena dia masih punya kesempatan untuk bertaubat. Dan celakalah
dai ketika aibnya dibuka oleh Allah swt. di akhirat karena dia tidak
punya kesempatan lagi untuk bertaubat.”125
Kata „ia‟ dalam kalimat ini menjelaskan tentang dai yang dibuka
aibnya oleh Allah swt. di dunia. Kemudian kata „dia‟ menunjukkan
jarak antara beliau dengan dai yang tidak dibuka aibnya oleh Allah
swt. Hal ini menunjukkan beliau tidaklah memiliki hubungan apapun
terhadap dai tersebut.
122
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 123
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 124
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100. 125
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 101.
c) Segi Stilistik
Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:
“Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya
justru kian bermunculan, bahkan lebih parah dari pada sekedar dai
berbulu musang, karena muncul oknum dai yang berani memungut
imbalan bahkan pasang tariff dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut
dai walakedu (jual ayat kejar duit).”126
Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata „dai
berbulu musang‟ dan „walakedu‟ (jual ayat kejar duit) untuk
menjelaskan dai yang bertarif.
d) Segi Retoris
Retoris dalam tulisan ini menggunakan grafis terutama pada arti
dari ayat Al-Qur‟an dan hadis seperti dalam kutipan berikut:
“Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya
justru kian bermunculan, bahkan lebih parah dari pada sekedar dai
berbulu musang, karena muncul oknum dai yang berani memungut
imbalan bahkan pasang tarif dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut
dai walakedu (jual ayat kejar duit).”127
“Sesungguhnya yang paling berhak diambil upahnya adalah
Al-Qur‟an. (HR. Al-Bukhari)”128
“Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang
telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan
petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al
Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua
(mahluk) yang dapat mela'nati.(QS. Al-Baqarah: 129)”129
Kemudian menggunakan bentuk ekspresi berupa nasihat kepada
para dai, yang terdapat dalam kutipan berikut:
“Dai seyogianya adalah orang yang memecahkan masalah
umat bukan orang yang membuat masalah umat. Dai adalah orang
yang meringankan masalah umat bukan orang yang membuat masalah
126
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 127
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 128
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 129
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100.
umat. Dai adalah orang yang meringankan beban umat bukan orang
yang membebani umat.”130
4. Judul: Dai-dai Sesat
a. Level Teks
1) Struktur Makro
a) Segi Tematik
Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya
adalah menjelaskan haramnya dai memasang bertarif dan mengikuti
dai bertarif.131
2) Superstruktur
a) Segi Skematik
Tulisan ini berjudul “Dai-dai Sesat.” Pendahuluan tulisan ini
diawali dengan kalimat berikut:
“Dalam Surat Yasin, ada kisah menarik yang berkaitan dengan
masalah dakwah. Dalam ayat 13 dan seterusnya, Allah swt.
memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk menceritakan sebuah
kisah kepada kaum musyrikin Makkah yang mendustakan Nabi saw.
Kisah itu adalah perilaku orang-orang dalam menyikapi para dai
(utusan Allah).”132
Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan sebuah kisah
kepada kaum musyrikin Makkah tentang perilaku orang-orang dalam
menyikapi para dai. Inti dari tulisan ini berada dalam kutipan berikut:
“Melihat perilaku warga Anthakiyah yang tidak mau menerima
ajakan dakwah para dai itu, datanglah kemudian seseorang dari tempat
yang jauh yang bernama Habib al-Najjar. Ia berusaha untuk menolong
para dai itu dari ancaman penyiksaan dan pembunuhan warga
130
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100-101. 131
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,
Jakarta, 18 Mei 2015. 132
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 102.
Anthakiyah. Habib al-Najjar menasehati kaumnya agar mengikuti
ajakan (dakwah) para dai itu. Kemudian Habib mengatakan:
هتدون )يس: (00اتبعىا من ل يسئلكم أجرا وهم م
“Ikutilah orang-orang yang dalam berdakwah tidak meminta
imbalan karena mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk
dari Allah” (QS. Yasin: 21).”133
Tulisan ini ditutup dengan penegasan dalam pelarangan
mengikuti dai yang bertarif berdasarkan kaidah hukum Islam “apa
yang haram diambil haram juga diberikan.” Kesimpulan dari tulisan
ini adalah menjelaskan bahwa ayat 21 surat Yasin ini sangat tepat
untuk dijadikan petunjuk bagi kita dalam menyikapi perilaku sejumlah
dai yang dalam dakwahnya menyimpang dari tuntunan Islam, dalam
hal ini para dai yang memasang tarif.
Story tulisan ini memberikan pandangan kepada orang-orang
bagaimana cara berperilaku terhadap para dai. Jika seorang dai tidak
meminta imbalan dalam dakwahnya, maka kita harus mengikutinya.
Tapi sebaliknya, jika seorang dai meminta imbalan dalam dakwahnya
maka kita tidak boleh mengikutinya kalau tidak disebut haram. Karena
para dai yang bertarif tidak melandaskan dakwahnya karena Allah
swt. melainkan karena hawa nafsu dan godaan setan.
3) Struktur Mikro
a) Segi Semantik
Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar
tulisan ini perintah Allah swt. kepada Nabi saw. untuk menceritakan
sebuah kisan kepada kaum musyrikin. Detail tulisan ini sangat bagus,
133
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103.
karena menceritakan secara naratif kisah yang dimaksud dalam
perintah Allah swt. itu, dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Disebutkan bahwa sebuah negeri yang menurut beberapa
sumber disebut Negeri Anthakiyah didatangi oleh tiga orang utusan
Allah yang masing-masing bernama Shadiq, Shaduq, dan Syallom.
Dalam riwayat lain disebutkan para utusan itu bernama Sam‟un,
Yohana, dan Bolus (Paulus). Mereka memperkenalkan kepada warga
negeri Anthakiyah bahwa mereka para dai yang diutus oleh Nabi Isa
al-Masih as. untuk berdakwah kepada warga Anthakiyah agar mereka
hanya menyembah Allah swt. dan tidak menyekutukan-Nya. Warga
Anthakiyah saat itu dipimpin oleh raja yang bernama Antikhos yang
menyembah patung.
Warga Anthakiyah ternyata tidak merespon dakwah para dai itu.
Mereka menolak para dai itu bahkan mengatakan bahwa kamu semua
adalah orang-orang seperti kami, mana mungkin kamu mendapat
wahyu dari Allah? Sekiranya kamu adalah utusan-utusan Allah,
niscaya kamu bukan manusia tapi malaikat. Mereka bahkan
mengatakan bahwa keberadaan para dai itu telah mencelakakan
kehidupan mereka. Mereka mengancam apabila para dai itu tidak
menghentikan dakwahnya, maka mereka akan melempari batu dan
menyiksanya.
Melihat perilaku warga Anthakiyah yang tidak mau menerima
ajakan dakwah para dai itu, datanglah kemudian seseorang dari tempat
yang jauh yang bernama Habib al-Najjar. Ia berusaha untuk menolong
para dai itu dari ancaman penyiksaan dan pembunuhan warga
Anthakiyah. Habib al-Najjar menasehati kaumnya agar mengikuti
ajakan (dakwah) para dai itu.”134
Maksud dalam tulisan ini ialah menentukan hukum dai bertarif
berdasarkan penafsiran beliau terhadap surat Yasin ayat 21, yang
disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut:
“Menurut kajian ilmu Ushul Fiqh, teks Al-Qur‟an seperti ini
memiliki dua pengertian (dalalah), yaitu dalalah manthuq (pengertian
tekstual atau tersurat) dan dalalah mafhum (pengertian kontekstual
atau tersirat). Dalalah mafhum (tersirat) ada dua macam, mafhum
muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Mafhum muwafaqah adalah
pengertian tersirat yang sesuai dengan pengertian tersurat. Sedangkan
134
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 102-103.
mafhum mukhalafah adalah pengertian tersirat yang berlawanan
dengan pengertian tersurat. Menurut para ahli Ushul Fiqh, baik
manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat) adalah hujjah (dalil)
dalam syari‟at Islam. Mafhum mukhalafah dari ayat di atas adalah
Allah memerintahkan kita agar tidak mengikuti para dai yang dalam
berdakwah meminta imbalan karena mereka adalah orang-orang
sesat.”135
Praanggapan dalam tulisan ini ialah menjelaskan keadaan
kebolehan memberi imbalan kepada dai, dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
“Apabila dalam dakwahnya dai tidak meminta imbalan, maka
menurut mayoritas Ulama, kita boleh memberikan imbalan dan dai
boleh menerimanya. Semoga Allah melindungi kita semuanya dari
larangan-laranganNya.”136
b) Sintaksis
Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif
dengan awalan me-, dan imbuhan me- -kan, dapat dilihat dalam
kutipan berikut:
“Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di
sebuah koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang.”137
“Banyak masyarakat yang gagal untuk mendatangkan seorang
dai.”138
Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung
„karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat
dalam kutipan berikut:
135
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103. 136
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 104. 137
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 138
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99.
“Kisah Habib al-Najjar ini kemudian menjadi firman Allah
karena disebutkan di dalam Al-Quran.”139
Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan
hubungan sebab akibat, yaitu menjelaskan kisah Habib al-Najjar yang
menjadi alasan turunnya Al-Quran surat Yasin ayat 21.
Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Bila demikian, maka pasang tarif dalam berdakwah juga sangat
diharamkan. Apabila dalam dakwahnya dai tidak meminta imbalan,
maka menurut mayoritas ulama, kita boleh memberikan imbalan dan
dai boleh menerimanya. Semoga Allah melindungi kita semuanya
dari larangan-laranganNya.”140
Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak
adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk
menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan
demikian pembaca dapat menerima dengan mudah penjelasan beliau.
c) Segi Stilistik
Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:
“Menurut kajian ilmu Ushul Fiqh, teks Al-Qur‟an seperti ini
memiliki dua pengertian (dalalah), yaitu dalalah manthuq
(pengertian tekstual atau tersurat) dan dalalah mafhum (pengertian
kontekstual atau tersirat). Dalalah mafhum (tersirat) ada dua macam,
mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Mafhum
muwafaqah adalah pengertian tersirat yang sesuai dengan pengertian
tersurat. Sedangkan mafhum mukhalafah adalah pengertian tersirat
yang berlawanan dengan pengertian tersurat. Menurut para ahli Ushul
Fiqh, baik manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat) adalah
hujjah (dalil) dalam syari‟at Islam. Mafhum mukhalafah dari ayat di
atas adalah Allah memerintahkan kita agar tidak mengikuti para dai
yang dalam berdakwah meminta imbalan karena mereka adalah orang-
orang sesat.”141
139
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103. 140
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 104. 141
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103.
Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata kata dari
bahasa Arab karena untuk menjelaskan tentang tafsir dari sebuah ayat
Al-Qur‟an.
d) Segi Retoris
Retoris dalam tulisan ini menggunakan grafis pada arti dari ayat
Al-Qur‟an seperti dalam kutipan berikut:
“Ikutilah orang-orang yang dalam berdakwah tidak meminta
imbalan karena mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk
dari Allah” (QS. Yasin: 21).”142
Juga menggunakan sebuah kaidah hukum Islam yang dicetak
miring, sebagi berikut:
“Berdasarkan kaidah hukum Islam, apa yang haram diambil
haram juga diberikan, maka haram hukumnya memberikan imbalan
kepada dai yang dalam dakwahnya meminta imbalan.”143
5. Judul: Kode Etik Dakwah
a. Level Teks
1) Struktur Makro
a) Segi Tematik
Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya
adalah menjelaskan tujuh kode etik dakwah bagi para dai.144
2) Superstruktur
a) Segi Skematik
Tulisan ini berjudul “Kode Etik Dakwah.” Pendahuluan tulisan
ini diawali dengan kalimat berikut:
142
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103. 143
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103. 144
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,
Jakarta, 18 Mei 2015.
“Pada tahun 1996 Ittihadul Muballighin, Organisasi para
mubalig yang dipimpin oleh KH. Syukron Ma‟mun,
menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas).”145
Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan waktu terjadinya
Musyawarah Nasional. Inti dari tulisan ini berada dalam:
“Salah satu keputusan penting yang diambil dalam Munas itu
adalah merumuskan Kode Etik Dakwah. Keputusan ini diambil karena
pada waktu itu mulai muncul dai Walakedu (Jual Agama Kejar
Duit).”146
Tulisan ini ditutup dengan ungkapan perasaan beliau yang
kecewa terhadap semakin maraknya fenomena dai bertarif di
Indonesia ini. Kesimpulan dari tulisan ini adalah pengharapan beliau
agar rumusan kode etik itu dapat menjadi pedoman para dai atau
mubalig dalam menjalankan dakwahnya.
Story tulisan ini ingin memberikan pelajaran kepada para dai
tentang tujuh kode etik dakwah yang telah disepakati oleh Ulama se-
Dunia, yang harus mereka laksanakan dalam dakwahnya agar
mendapat pahala dari Allah dan bukan mendapat laknat dari-Nya.
3) Struktur Mikro
a) Segi Semantik
Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar
tulisan ini berawal dari Musyawarah Nasional ke-4 tanggal 25-28 Juni
1996 yang meghasilkan kode etik dakwah bagi para dai. Detail tulisan
ini sangat bagus, karena menjelaskan tujuan dibuatnya kode edik
dakwah, dapat dilihat dalam kutipan berikut:
145
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105. 146
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105.
“Pada tahun 1996 Ittihadul Muballighin, Organisasi para
mubalig yang dipimpin oleh KH. Syukron Ma‟mun,
menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas). Salah satu
keputusan penting yang diambil dalam Munas itu adalah merumuskan
Kode Etik Dakwah. Keputusan ini diambil karena pada waktu itu
mulai muncul dai Walakedu (Jual Agama Kejar Duit). Rumusan kode
etik itu diharapkan dapat menjadi pedoman para dai atau mubalig
dalam menjalankan dakwahnya, sehingga mereka dapat mewarisi
tugas para Nabi, bukan justru mendapat laknat dari Allah swt. dalam
berdakwah.”147
Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan kode etik bagi para
dai. Terlihat dalam kutipan berikut:
“Sekurang-kurangnya ada tujuh Kode Etik Dakwah, kode
pertama, tidak memisahkan antara perbuatan dan ucapan. Kode ini
diambil dari Al-Qur‟an Surah al-Shaff ayat 2-3.”
“Kode kedua, tidak melakukan toleransi agama. Hal itu
berdasarkan Firman Allah swt. dalam surat Al-Kafirun.”
“Kode Ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain. Ini
diambil dari surat Al-An‟am ayat 108.”
“Kode keempat, tidak melakukan diskriminasi. Tedapat dalam
surat Al-An‟am 52.”
“Kode kelima, tidak memungut imbalan. Kode ini diambil dari
surat Saba‟ ayat 47.”
“Kode keenam, tidak berkawan dengan pelaku maksiat. Hal
itulah yang telah terjadi atas kaum Bani Israil seperti diceritakan
dalam surat Al-Madinah ayat 78-79.”
“Kode ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak
diketahui. Kode ini diambil dari surat Al-Isra ayat 36.”148
Praanggapan dalam tulisan ini ialah memberitahu bahwa dai
bertarif tidak lenyap setelah dimunculkannya kode etik dakwah.
Terlihat dalam kutipan berikut:
“Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik
Dakwah itu telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu
147
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105. 148
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105-109.
menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat
ke Hari Kiamat, fenomena munculnya dai walakedu semakin
ramai.”149
b) Sintaksis
Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif
dengan awalan me-, dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Ketika Nabi saw. masih berada di Makkah dan mengajarkan
Islam kepada orang-orang miskin.”150
“Akhirnya justru Allah swt. melaknat mereka semua.”151
Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung
„namun‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat
dalam kutipan berikut:
“Namun bangsawan Quraisy ini tidak mau berdampingan
dengan rakyat kecil. Mereka minta kepada Nabi saw. untuk mengusir
Bilal dan kawan-kawannya itu. Nabi saw. kemudian menyetujui
permintaan tersebut, namun akhirnya Allah menurunkan ayat yang
mengkritik perilaku Nabi saw. itu, yaitu Surah al-An‟am ayat 52.”152
Kata „namun‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan
hubungan kausal, yaitu menjelaskan sikap Nabi saw. yang menjadi
alasan turunnya surat al-An‟am ayat 52 untuk mengkritik perilaku
Nabi saw. itu.
Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Kode pertama ini juga diambil dari perilaku Rasulullah saw. di
mana secara umum beliau tidak memerintahkan sesuatu kecuali
beliau melakukannya.”153
149
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 109. 150
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 107. 151
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 108. 152
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 107. 153
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105.
Kata „beliau‟ dalam kalimat ini ditujukan kepada Nabi
Muhammad saw. dan berfungsi sebagai penghormatan beliau
(penagrang) kepada Nabi Muhammad saw.
c) Segi Stilistik
Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:
“Para dai yang runtang-runtung, gandeng renceng dengan
pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan amar
makruf dan nahi mungkar.”154
“Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik
Dakwah itu telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai
walakedu menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin
mendekat ke Hari Kiamat, fenomena munculnya dai walakedu
semakin ramai”155
Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata runtang-
runtung, gandeng renceng untuk menjelaskan berteman atau bergaul.
Kemudian menggunakan kata walakedu (jual ayat kejar duit) untuk
menjelaskan dai yang bertarif.
d) Segi Retoris
Retoris dalam tulisan ini menggunakan bentuk grafis terutama
pada arti ayat Al-Qur‟an dan hadis yang disampaikan dalam tulisan
ini, terdapat dalam kutipan di bawah ini:
“Para dai yang runtang-runtung, gandeng renceng dengan
pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan amar
makruf dan nahi mungkar.”156
“Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik
Dakwah itu telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu
menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat
154
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 108. 155
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 109. 156
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 108.
ke Hari Kiamat, fenomena munculnya dai walakedu semakin
ramai”157
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?Amat besar kebencian
di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.(QS. Ash-Shaff: 2-3)”158
“Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku. (QS. Al-
Kafirun)”159
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dari Kabilah Bani „Auf
adalah satu bangsa dengan umat Islam. Bagi orang-orang Yahudi,
agama mereka dan bagi orang-orang Islam agama mereka. (HR. Ibnu
Hisyam)”160
6. Judul: Dakwah dan Kearifan Lokal
a. Level Teks
1) Struktur Makro
a) Segi Tematik
Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya
adalah menjelaskan cara berdakwah yang harus menggunakan
pendekatan budaya masyarakat Indonesia, bukan malah memaksakan
budaya lain dan melarang budaya lokal yang digunakan.161
2) Superstruktur
a) Segi Skematik
Tulisan ini berjudul “Dakwah dan Kearifan Lokal.”
Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut:
“Bulan Agusuts 1982, Almarhum Bapak Mr. (Sarjana Hukum)
H. Muhammad Roem memberikan ceramah di hadapan anggota
Young Muslim Association in Europe (YMAE) yang akrab di
157
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 109. 158
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105. 159
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 106. 160
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 106. 161
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,
Jakarta, 18 Mei 2015.
kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan PPME (Persatuan
Pemuda Muslim Eropa) di Kediaman Bapak H. Hambali Ma‟sum di
Den Haag, Negeri Belanda. Pak Roem mengatakan bahwa Buya
Hamka pernah ditanya oleh Dr. Syauqi Futaki (Ketua Japan Islamic
Congress), “Apa penyebab orang Indonesia khususnya orang Jawa
begitu mudah masuk Islam dengan serentak dalam jumlah yang
banyak tanpa ada konflik sedikit pun?” Menurut Pak Roem, Buya
Hamka saat itu menjawab, “Itulah yang sedang saya pelajari.”162
Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan pidatonya H.
Muhammad Roem dalam pertemuan PPME. Inti dari tulisan ini berada
dalam:
“Para ahli berbeda pendapat tentang kapan Islam masuk ke
Indonesia, khususnya di Tanah Jawa. Sebagian berpendapat bahwa
Islam sudah masuk di Kepulauan Indonesia pada abad pertama
Hijriyah (sekitar abad ke-7 atau 8 Masehi). Sebagian berpendapat
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14 Masehi. Kendati begitu,
para ahli sependapat bahwa Islam masuk ke Indonesia tidak melalui
cara-cara kekerasan dan lain sebagainya, melainkan dengan cara yang
sangat damai.”163
Tulisan ini ditutup dengan ungkapan kekecewaan beliau
terhadap sikap dai zaman sekarang yang cenderung tidak
memerhatikan kearifan lokal dan cenderung memaksakan budaya
Arab kepada masyarakat. Kesimpulan dari tulisan ini adalah
menjelaskan alasan mayoritas masyarakat Indonesia dapat menerima
Islam karena dahulu para dai dari Arab menyampaikan dakwahnya
berdasarkan pendekatan kultural.
Story tulisan ini ingin memberikan pelajaran kepada para dai di
Indonesia bahwa dakwah seharusnya dilakukan dengan pendekatan
kultural atau budaya sesuai dengan kearifan lokal dari suatu objek
162
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 163
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110.
dakwah. Bukan dengan pemaksaan suatu budaya lain kepada
masyarakat Indonesia apalagi sampai melarang budaya asli mereka
dengan kekerasan. Dengan demikian, masyarakat Indonesia pun akan
mudah menerima ajaran Islam dengan lapang dada.
3) Struktur Mikro
a) Segi Semantik
Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar
tulisan ini berawal dari pidato H. Muhammad Roem dalam pertemuan
PPME tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Detail tulisan ini
sangat bagus, karena menjelaskan bagaimana masuknya Islam ke
Indonesia, dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Apabila kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan
masyarakat Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat di atas dapat
dibenarkan. Peninggalan-peninggalan Islam yang merupakan warisan
para dai yang sering disebut dengan para wali sangat kental sekali
dengan budaya-budaya lokal alias budaya Jawa. Kendati mereka
banyak berasal dari negeri Arab, namun mereka tidak serta merta
mengubah secara radikal budaya lokal dengan budaya Arab. Mereka
justru membaur dan meleburkan diri dengan budaya lokal alias
budaya Jawa. Arsitektur masjid-masjid yang mereka tinggalkan,
semisal Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya, Mesjid Agung Demak,
Mesjid Menara Kudus, dan lain-lain menunjukkan bahwa para dai itu
sangat arif dengan budaya-budaya lokal sehingga mereka tidak
menggantinya dengan budaya Arab. Arsitek masjid-masjid tersebut
sampai sekarang menjadi saksi sejarah tentang begitu bijaknya para
dai dalam berdakwah sehingga bangunan-bangunan tersebut masih
kental dengan budaya Jawa. Bahkan Masjid Menara Kudus, juga
kental dengan arsitektur Hindu.”164
164
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111.
Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan alasan para dai
menggunakan pendekatan kultural untuk menyebarkan Islam di
Indonesia. Terlihat dalam kutipan berikut:
“Bagi para dai, bangunan adalah bukan akidah dan bukan
ibadah, melainkan bagian dari muamalah. Maka sepanjang tidak
bertentangan dengan syariat Islam, budaya-budauya tersebut tetap
mereka lestarikan. Hasilnya, orang Jawa tidak merasa kaget untuk
memasuki masjid karena mereka merasa masuk ke rumah adat mereka
sendiri. Menurut catatan para ahli, para dai di samping melestarikan
budaya fisik seperti arsitektur Jawa dalam bangunan masjid, mereka
juga melakukan pendekatan kultural dalam menyampaikan pesan-
pesan keislaman kepada masyakat Jawa.”165
Praanggapan dalam tulisan ini ialah memberitahu bahwa dai
Indonesia sekarang ini, kurang memerhatikan kearifan lokal rakyat
Indonesia. Bahkan ia cenderung memaksakan corak Arab kepada
objek dakwahnya. Terlihat dalam kutipan berikut:
“Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan
kearifan lokal seperti tersebut di atas. Dalam masalah sosial budaya,
tampak ada sebuah pemaksaan harus bercorak Arab. Pakaian harus
dengan jubah dan ubel-ubel surban yang membungkus kepala.
Bangunan masjid juga mesti berbentuk kubah, kendati sebenarnya
kubah bukan dari Arab melainkan dari gereja Byzantium.”166
b) Sintaksis
Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif
dengan awalan me-, dan imbuhan me- -kan, dapat dilihat dalam
kutipan berikut:
165
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 166
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112.
“Maka dalam rangka dakwah, para dai melakukan pendekatan
sosial dengan tidak mengonsumsi daging sapi.”167
“Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan
kearifan lokal seperti tersebut di atas.”168
Tulisan ini juga menggunakan kalimat pasif dengan imbuhan di-
-kan, seperti berikut:
“Pendekatan dakwah yang dilakukan oleh para dai yang datang
dari Jazirah Arab khususnya dari Hadhramaut adalah pendekatan
kultural.”169
Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung
„sehingga‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat
dalam kutipan berikut:
“Para ahli juga tampaknya sependapat bahwa pendekatan
dakwah yang dilakukan oleh para dai yang datang dari Jazirah Arab
khususnya dari Hadhramaut adalah pendekatan kultural. Sehingga
masyarakat khususnya di tanah Jawa tidak merasa terusik sedikitpun
dalam masalah sosial budaya, sementara mereka sudah menjadi orang
Islam.”170
Kata „sehingga‟ dalam paragraf ini digunakan untuk
menjelaskan hubungan sebab akibat, yaitu menjelaskan alasan
masyarakat mudah menerima ajaran Islam yang diajarkan oleh para
dai kepada mereka.
Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Apabila kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan
masyarakat Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat di atas dapat
dibenarkan. Peninggalan-peninggalan Islam yang merupakan warisan
para dai yang sering disebut dengan para wali sangat kental sekali
dengan budaya-budaya lokal alias budaya Jawa.”171
167
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112. 168
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112. 169
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 170
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 171
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111.
Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak
adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk
menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan
demikian pembaca dapat menerima dengan mudah penjelasan beliau.
c) Segi Stilistik
Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:
“Kami mengatakan sekiranya masjid di Bali memasukkan
ornamen-ornamen Bali, dan masjid di Kalimantan Utara
memasukkan ornamen-ornamen Dayak, maka orang Bali dan orang
Dayak akan mudah dan tidak merasa terkejut saat memasuki masjid
karena mereka merasa memasuki rumah adat mereka sendiri.”172
“Dalam sastra Jawa dikenal ada Tembang Mocopat yaitu
kumpulan beberapa tembang yang mencerminkan nasihat perjalanan
hidup manusia.”173
Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata ornamen
untuk menjelaskan arsitektur bangunan. Kemudian menggunakan kata
tembang untuk menjelaskan syair atau lagu.
d) Segi Retoris
Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora ungkapan
sehari-hari, terdapat dalam kutipan di bawah ini:
“Arsitek masjid-masjid tersebut sampai sekarang menjadi saksi
sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam berdakwah sehingga
bangunan-bangunan tersebut masih kental dengan budaya Jawa.
Bahkan Masjid Menara Kudus, juga kental dengan arsitektur
Hindu.”174
Dan juga menggunakan grafis pada nama-nama tembang karya
Sunan Kalijaga, terdapat dalam kutipan di bawah ini:
172
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112-113. 173
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 174
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111.
“Dr. Purwadi M. Hum, Rektor Institut Kesenian Jawa di
Jogjakarta, dalam bukunya Dakwah Sunan Kalijaga, menyebutkan
bahwa para wali khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga dalam
mentransformasikan ajaran-ajaran Islam, beliau menciptakan
tembang-tembang (lagu-lagu) seperti tembang Dhandang Gulo dan
lain sebagainya. Dalam sastra Jawa dikenal ada Tembang Mocopat
yaitu kumpulan beberapa tembang yang mencerminkan nasihat
perjalanan hidup manusia. Tembang-tembang itu antara lain adalah
Mijil, yang mengisahkan tentang kelahiran seorang manusia ke dunia,
kemudian Sinom yang menceritakan tentang manusia yang muda,
kemudian Asmoro Dono yang menceritakan tentang manusia yang
sudah menginjak remaja yang sudah mencintai lawan jenisnya,
Megatruh (putus nyawa) yang menceritakan tentang kematian
manusia, Pucung alias menjadi pocong yang dibungkus kain kafan
dan masuk liang lahat, dan lain-lain.”175
7. Judul: Keteladanan Buya Hamka
a. Level Teks
1) Struktur Makro
a) Segi Tematik
Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya
adalah menjelaskan kiprah keislaman Buya Hamka yang sampai akhir
hayatnya masih tetap memegang ajaran Rasulullah saw. tanpa
memikirkan kepentingan duniawi.176
2) Superstruktur
a) Segi Skematik
Tulisan ini berjudul “Keteladanan Buya Hamka.” Pendahuluan
tulisan ini diawali dengan kalimat berikut:
“Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana
Menteri Malaysia menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan
175
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111-112. 176
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,
Jakarta, 18 Mei 2015.
murid Buya Hamka yang dapat menceramahkan secara akademik
pemikiran moderat almarhum Buya Hamka. Ceramah itu akan
disampaikan dalam pertemuan berkala institut Wasatiyyah Malaysia
(IWM) yang dijadwalkan pada bulan Juni 2014 mendatang.”177
Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan latar belakang
untuk menceritakan tentang permintaan Perdana Menteri Malaysia
kepada beliau. Inti dari tulisan ini berada dalam kutipan berikut:
“Sekurang-kurangnya, ada dua sikap Buya Hamka yang patut
diteladani. Pertama, pada tahun 1982, ketika Buya Hamka masih
menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
pusat. Waktu itu MUI mengeluarkan fatwa bahwa umat Indonesia
tidak boleh menghadiri perayaan Natal bersama. Fatwa ini
menimbulkan polemik antara pro dan kontra. Konon, Buya Hamka
didesak untuk mencabut fatwa itu atau mengundurkan diri. Buya
Hamka akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai Ketua Umum MUI Pusat. Beliau lebih berprinsip pada
penegakkkan yang hak sesuai tuntutan Al-Qur‟an dan Hadis.”178
“Kedua, pada akhir tahun 1970-an, Buya Hamka juga
melakukan kejutan besar yang dinilai bersebrangan dengan
kelompoknya. Selama itu, dalam menetakan awal bulan Ramadan dan
awal bulan Syawal, ada kelompok yang bersikukuh menggunakan
metode hisab. Pada waktu itu, tampaknya Buya Hamka juga
mengikuti metode kelompok tersebut. Namun, setelah mengetahui
petunjuk Nabi saw. bahwa dalam menetapkan awal bulan Ramadan
dan awal bulan Syawal haruslah menggunakan rukyat (melihat bulan),
Buya Hamka kemudian mengeluarkan pernyataan yang sangat
mengejutkan, di mana beliau berkata “Saya kembali ke rukyat.”
Pernyataan Buya Hamka ini, juga menimbulkan kegoncangan di
kalangan umat Islam Indonesia. Tidak sedikit orang yang
mencemoohkan, melecehkan dan mengolok-olokkan Buya Hamka
karena sikap dan perilakunya itu. Namun Buya Hamka tetap memgang
prinsip rukyat itu sampai beliau wafat pada tahun 1984.”179
Tulisan ini ditutup dengan doa beliau terhadap almarhum
Hamka dan harapan beliau kepada muslim Indonesia agar bisa
177
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 178
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 179
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115.
meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka. Kesimpulan dari tulisan
ini adalah menjelaskan bahwa Buya Hamka tidak merasa gengsinya
akan jatuh dengan sikapnya yang moderat, justru dengan sikap itulah
Buya Hamka merasa yakin atas kebenaran yang dipegangnya.
Strory tulisan ini ingin memberikan kisah keteladanan Buya
Hamka dalam melaksanakan dakwah Islam dengan ikhlas dan benar
sesuai sumber yang terpercaya yaitu berasal dari ajaran Rasulullah
saw. dan tidak mendahulukan kepentingan pribadi apalagi
kepentingan duniawi sampai akhir hayatnya.
3) Struktur Mikro
a) Segi Semantik
Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar
tulisan ini berawal dari permintaan staf kantor perdana menteri
Malaysia yang meminta kepada beliau untuk mencarikan salah satu
murid Buya Humka untuk menyapaikan pemikiran moderat Buya
Hamka. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menampilkan latar
belakang penulisan dengan jelas, dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana
Menteri Malaysia menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan
murid Buya Hamka yang dapat menceramahkan secara akademik
pemikiran moderat almarhum Buya Hamka. Ceramah itu akan
disampaikan dalam pertemuan berkala Institut Wasatiyyah Malaysia
(IWM) yang dijadwalkan pada bulan Juni 2014 mendatang. Dan
melalui bantuan seorang kawan, akhirnya kami mendapatkan murid
Buya Hamka yang dimaksud. Kami kemudian ternostalgia dengan
kiprah keislaman Buya Hamka yang patut diteladani oleh tokoh dan
umat Islam Indonesia.”180
180
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114.
Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan prinsip Buya
Hamka dalam berdakwah. Terlihat dalam kutipan berikut:
“Buya Hamka bukanlah tipologi seorang yang disebut ulama
“ulama” alias “usia lanjut makin ambisi”, namun beliau lebih
berprinsip pada penegakan yang hak sesuai tuntutan al-Qur‟an dan
Hadis. Beliau lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya dan
berpegang kepada prinsip al-Qur‟an dan Hadis.”181
Praanggapan dalam tulisan ini terlihat dalam kutipan berikut:
“Sikap dan perilaku Buya Hamka ini barangkali sulit ditemukan
di negeri kita ini. Umumnya, orang justru mempertahankan jabatannya
mati-matian. Seandainya ada tokoh yang mundur dari jabatannya, itu
pun karena dia berambisi untuk mendapatkan jabatan lain yang lebih
tinggi tingkatannya.”182
“Bandingkan dengan ustaz-ustaz bawahan yang apabila
memiliki pendapat, mereka pertahankan mati-matian pendapat itu
kendati bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw.”183
b) Sintaksis
Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif
dengan awalan me-, dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Buya Hamka juga melakukan sebuah kejutan besar.”184
“Semoga Allah swt. menerima amal ibadah Buya Hamka.”185
Juga menggunakan awalan ber-, dan imbuhan me- -kan, dalam
kalimat berikut:
“Beliau lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya dan
berpegang kepada prinsip al-Qur‟an dan Hadis.”186
181
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 182
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 183
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 184
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 185
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 116. 186
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115.
Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung
„ketika‟ yang memiliki makna hubungan waktu, yang dapat dilihat
dalam kutipan berikut:
“Kami sungguh merasa terharu, ketika Buya Hamka telah
meninggalkan kita 30 tahun yang lalu, negeri Jiran Malaysia mencari
murid Buya Hamka dalam Islam. Kami teringat dengan sebuah
pepatah yang menyatakan, “Seorang Nabi tidak dihormati di
negerinya sendiri.” Betapapun, tokoh dan umat Islam Indonesia lebih
berhak untuk meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka, kendati
kita tidak dapat melarang tokoh dan umat Islam di Malaysia dan di
Negara lain juga akan meneladani sikap dan perilkau Buya
Hamka.”187
Kata „ketika‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan
hubungan waktu di dalamnya, yaitu menjelaskan kiprah Buya Hamka
dalam berdakwah yang tetap menjadi panutan bagi dunia, setelah 30
tahun sepeninggalannya.
Kata ganti dalam tulisan ini adalah:
“Beliau lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya dan
berpegang kepada prinsip al-Qur‟an dan Hadis.”188
Kata „beliau‟ dalam kalimat ini ditujukan kepada Buya Hamka
dan berfungsi sebagai bentuk penghormatan beliau (pengarang)
kepada Buya Hamka.
c) Segi Stilistik
Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:
“Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana
Menteri Malaysia menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan
187
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115-116. 188
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114.
murid Buya Hamka yang dapat menceramahkan secara akademik
pemikiran moderat almarhum Buya Hamka.”189
“Bandingkan dengan ustaz-ustaz bawahan yang apabila
memiliki pendapat, mereka pertahankan mati-matian pendapat itu
kendati bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw.”190
Buya Hamka tidak merasa bahwa dengan sikapnya untuk
kembali ke rukyat itu gengsinya akan jatuh.”191
Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata moderat
untuk menjelaskan orang yang selalu berada di tengah-tengah, dan
orang yang berada dalam jalan yang benar. Kemudian menggunakan
kata ustaz bawahan untuk menjelaskan dai yang tidak sesuai dengan
kode etik dakwah, dan dai yang tidak memiliki pengetahuan yang
tinggi. Juga menggunakan kata gengsi untuk menjelaskan harga diri.
d) Segi Retoris
Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora dalam bentuk
pepatah disampaikan kalimat di bawah ini dengan tulisan miring:
“Kami teringat dengan sebuah pepatah yang menyatakan,
“Seorang Nabi tidak dihormati di negerinya sendiri.” Betapapun,
tokoh dan umat Islam Indonesia lebih berhak untuk meneladani sikap
dan perilkau Buya Hamka, kendati kita tidak dapat melarang tokoh
dan umat Islam di Malaysia dan di Negara lain juga akan meneladani
sikap dan perilkau Buya Hamka.”192
8. Judul: Memberdayakan Imam Masjid
a. Level Teks
1) Struktur Makro
a) Segi Tematik
189
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 190
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 191
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 192
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115.
Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya
adalah menjelaskan keharusan meningkatkan peran dan jaminan
kehidupan kepada Imam Masjid sebagai upaya meminimalisir dai
bertarif di Indonesia.193
2) Superstruktur
a) Segi Skematik
Tulisan ini berjudul “Memberdayakan Imam Masjid.”
Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut:
“Sekurang-kurangnya, ada dua perhelatan yang berkaitan
dengan imam masjid yang diselenggarakan pada tahun 2013. Pertama,
silaturahmi dan konferensi imam masjid se-Indonesia yang
diselenggarakan pada 27-29 Juni 2013 di Batam, Kepulauan Riau.
Acara yang disponsori oleh Gubernur Kepulauan Riau dan dibuka
oleh Menteri Agama Republik Indonesia ini, melahirkan sebuah
organisasi nasional imam masjid yang bernama IPIM (Ikatan
Persaudaraan Imam Masjid). Acara ini dihadiri oleh kurang lebih 250
orang mewakili imam-imam masjid seluruh Indonesia. Perhelatan
imam masjid yang kedua adalah konferensi imam masjid se-Dunia
yang diselenggarakan pada 2-6 Desember 2013 di Pekanbaru, Riau,
yang disponsori oleh Gubernur Provinsi Riau dan dibuka oleh Menteri
Agama Republik Indonesia.”194
Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan latar belakang
untuk menceritakan tentang dua perhelatan yang diselenggarakan
berkaitan dengan peran Imam Masjid. Inti dari tulisan ini berada
dalam kutipan berikut:
“Ada kesepakatan dari para peserta maupun para narasumber,
baik dalam konferensi IPIM maupun konferensi ICIM, semuanya
bersepakat bahwa imam masjid memiliki peran dan fungsi yang
sangat strategis karena ia selalu berhadapan langsung dengan para
193
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,
Jakarta, 18 Mei 2015. 194
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 117.
jamaah minimal lima kali dalam satu sehari. Peran dan fungsi ini
dapat dimanfaatkan untuk mentrasformasi ajaran Islam yang
merupakan rahmat bagi semua penghuni alam kepada para jamaah
masjid.”195
Tulisan ini ditutup dengan harapan beliau kepada para imam
masjid agar memiliki pengetahuan ilmiah yang tinggi untuk
mencerahkan umat dari paham-paham yang sesat. Kesimpulan dari
tulisan ini adalah menjelaskan bahwa imam masjid tidak hanya
seorang yang hafal Al-Qur‟an, tetapi juga harus memiliki kapasitas
keilmuan untuk menjawab persoalan-persoalan umat.”196
Story tulisan ini ingin menjelaskan tentang peran penting
seorang Imam Masjid di setiap tempat, bahkan setiap Negara. Di mana
peran ini sangat strategis untuk mentransformasikan ajaran Islam
kepada masyarakat, karena ia sering berinteraksi dengan masyarakat
setiap harinya. Sehingga IPIM memiliki semangat untuk
memberdayakan atau meningkatkan peran Imam Masjid ini.
3) Struktur Mikro
a) Segi Semantik
Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar
tulisan ini berawal dari Konferensi Imam Masjid se-Indonesia yang
diselenggarakan tanggal 27-29 Juni 2013 di Batam dan Konferensi
Imam Masjid se-Dunia yang diselenggarakan tanggal 2-6 Desember
2013 di Pekanbaru. Detail tulisan ini sangat bagus, karena
195
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 196
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118.
menampilkan siapa saja yang termasuk dalam Konferensi itu dengan
jelas, dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Konferensi imam masjid yang pertama se-Dunia ini kemudian
melahirkan organisasi imam masjid internasional yang disebut al-
Majlis al-„Alami li „Aimmat al-Masajid atau ICIM (International
Council of Imam Masjid). Apabila IPIM berkantor pusat di Jakarta,
maka ICIM berkantor pusat di Pekanbaru, Provinsi Riau. Deklarasi
pembentukan ICIM yang tertuang dalam Piagam Pekanbaru
ditandantangani oleh wakil-wakil dari 12 negara peserta, yaitu
Malaysia, Kuwait, Palestina, Perancis, Irak, Sinegal, Singapura,
Afrika Selatan, Tunisia, Brunei Darussalam, Pakistan, dan Indonesia.
Sebagai ketua ICIM terpilih wakil dari Kuwait, sementara Indonesia
diamanati menjadi Sekretaris Jenderal. Beberapa negara yang siap
hadir namun berhalangan adalah Mesir, Rusia, Jepang, dan
Australia.”197
Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan peran Imam Masjid
dalam berdakwah. Terlihat dalam kutipan berikut:
“Di banyak negara, peran imam masjid juga lebih dominan
karena ia tidak hanya mengimami shalat berjamah tetapi juga menjadi
khatib, baik untuk Shalat Jumat, Hari Raya, dan lain-lain. Dari sinilah
kemudian, konferensi, baik IPIM maupun ICIM, menyepakati untuk
meningkatkan kualitas sumber daya imam masjid sehingga imam
masjid tidak menjadi sebatas seorang tukang yang menjalankan tugas
menjadi imam, tetapi juga menjadi pembina umat sesuai dengan
tuntunan ajaran Islam. Maka imam masjid haruslah seorang yang
memiliki kreatifitas dan inovatif dalam membina umat. Imam masjid
juga bukan sebatas memimpin shalat berjamaah, tetapi juga
memimpin masyarakat.”198
Praanggapan dalam tulisan ini terlihat dalam kutipan berikut:
“Di sisi lain, peran yang demikian penting bagi imam, tentu
tidak dapat terlaksana secara maksimal manakala imam harus juga
sibuk memikirkan asap dapur.”199
197
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 117. 198
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 199
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118.
b) Sintaksis
Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat pasif
dengan awalan di-, dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Karenanya, dalam konferensi pertama IPIM kemarin, muncul
wacana bahwa seyogianya imam masjid diangkat oleh pejabat tinggi
negara. Untuk mesjid negara, imam masjid diangkat oleh Presiden;
untuk masjid raya (tingkat provinsi), imam masjid diangkat oleh
Gubernur; untuk masjid agung (tingkat kabupaten/kota), imam masjid
diangkat oleh Bupati/Walikota; untuk masjid jami‟ (tingkat
kecamatan), imam masjid diangkat oleh Camat; dan untuk masjid
(tingkat desa), imam masjid diangkat oleh Kepala Desa.”200
Juga menggunakan imbuhan meng- -i, dalam kalimat berikut:
“Di banyak negara, peran imam masjid juga lebih dominan
karena ia tidak hanya mengimami shalat berjamah.”201
Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung
„karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat
dalam kutipan berikut:
“Di banyak negara, peran imam masjid juga lebih dominan
karena ia tidak hanya mengimami shalat berjamah tetapi juga
menjadi khatib, baik untuk Shalat Jumat, Hari Raya, dan lain-lain.”202
Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan
hubungan kausal di dalamnya, yaitu menjelaskan bahwa imam masjid
memiliki peran yang dominan dalam berdakwah karena ia tidak hanya
mengimami salat berjamaah tetapi juga sering berinteraksi dengan
masyarakat.
Kata ganti dalam tulisan ini adalah:
200
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118-119. 201
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 202
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118.
“Apabila imam memiliki kapasitas ilmiah yang memadai, maka
diharapkan ia dapat mencerahkan umat.”203
Kata „ia‟ dalam kalimat ini digunakan untuk menjelaskan imam
yang memiliki kapasitas ilmiah yang memadai.
c) Segi Stilistik
Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:
“Dalam konteks inilah beberapa negara, seperti Saudi Arabia
misalnya, imam masjid menjadi sebuah icon pemimpin umat, sebut
saja misalnya imam-imam Masjid al-Haram di Makkah dan imam
Masjid Nabawi di Madinah.”204
“sehingga dengan demikian imam memiliki peran yang sangat
penting dalam mencegah munculnya faham-faham radikalisme,
apatisme, liberalisme, dan faham-faham sesat lainnya.”205
Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata icon
untuk menjelaskan seorang figure dan tokoh. Kemudian menggunakan
kata radikalisme untuk menjelaskan sebuah paham ekstrem atau keras.
Juga menggunakan kata apatisme untuk menjelaskan paham yang
acuh tak peduli terhadap sesuatu. Lalu menggunakan kata liberalisme
untuk menjelaskan paham yang selalu ingin bebas dan mendambakan
kebebasan mutlak.
d) Segi Retoris
Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora berupa idiom
disampaikan seperti kalimat di bawah ini:
“Di sisi lain, peran yang demikian penting bagi imam, tentu
tidak dapat terlaksana secara maksimal manakala imam harus juga
sibuk memikirkan asap dapur.”206
203
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 119. 204
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 205
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 119. 206
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118.
Juga menggunakan bentuk grafis dalam kalimat berikut:
“Konferensi imam masjid yang pertama se-Dunia ini kemudian
melahirkan organisasi imam masjid internasional yang disebut al-
Majlis al-„Alami li „Aimmat al-Masajid atau ICIM (International
Council of Imam Masjid).”207
B. Analisis Wacana Berdasarkan Kognisi Sosial
Penelitian mengenai kognisi sosial ini menyangkut kesadaran mental
penulis dalam membentuk teks tersebut. Pendekatan ini berdasarkan pada
asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh si
pemakai bahasa, dengan kata lain, teks merupakan representasi dari si
penulis.208
Oleh karena itu dibutuhkan penelitian terhadap representasi kognisi
dan strategi beliau dalam memproduksi teksnya.
Buku Setan Berkalung Surban ini, merupakan salah satu karya yang
mencerminkan kepribadian beliau sebagai Ulama yang kritis dalam
menegakkan kebenaran sesuai ajaran agama Islam yang diperintahkan oleh
Allah swt. dan Rasul-Nya.209
Kehidupan beliau sebagai Ulama Besar di dunia,
membuat beliau memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah sosial
umat Islam se-Dunia, terkhusus di Indonesia sebagai tanah kelahiran beliau.
Tugas mulianya ini pun, membuat beliau sangat produktif dalam membuat
karya-karya bertema Islam, yang isinya kebanyakan membahas tentang
fenomena sosial yang muncul di Indonesia.
Setiap Tulisan beliau dalam buku ini, didasarkan pada analisis yang
mendalam tentang pengetahuan agama Islam yang murni sesuai dengan Al-
207
Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 117. 208
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 74. 209
Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh
Salamah, Jakarta, 04 Mei 2015.
Qur‟an dan Hadis, yang juga tetap menggunakan pendekatan disiplin ilmu
pengetahuan lainnya.210
Tulisan dalam buku ini seolah wujud dari adonan
pengetahuan yang beliau racik, yang terdiri dari bahan ilmu pengetahuan
agama Islam, ilmu pengetahuan umum, dan fenomena sosial. Sehingga
memberi kesan bahwa beliau mampu merangkum berbagai disiplin ilmu dan
berbagai fenomana lintas sektor kehidupan.
Adapun representasi kognisi dari setiap tulisan ialah sebagai berikut,
judul pertama “Setan Berkalung Surban” memuat banyak sekali nilai-nilai
Islam di dalamnya yang beliau hubungkan dengan fenomena sosial yang ada.
Kunci dari tulisan ini adalah sebuah kisah dari sebuah hadis Rasulullah saw.
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yang menceritakan tentang kisah Abu
Hurairah dengan Rasulullah saw. yang kemudian dihubungkan dengan
fenomena yang ada di muslim Indonesia tentang para dai yang hanya bermodal
surban untuk berdakwah yang mengedepankan hawa nafsu dan rayuan setan
belaka. Dengan demikian, terlihatlah keabsahan representasi kognisi beliau
dalam tulisan ini, karena dilandaskan dengan dalil yang kuat.
Judul kedua “Surban dan Jubah Haram” memuat nilai-nilai Islam juga
memuat nilai-nilai sosial dan budaya di dalamnya yang beliau hubungkan
dengan fenomena sosial yang ada. Kunci dari tulisan ini adalah sebuah hadis
riwayat Imam Ibnu Majah yang menjelaskan keharaman memakai baju
syuhrah. Juga menjelaskan tentang bagaimana seharusnya seorang warga
sebuah Negara bersikap dan berpakaian sesuai dengan budaya masing-masing,
bukan justru membanggakan budaya lain apalagi sampai mengagungkan
210
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah Darus-
Sunnah, Jakarta, 11 Mei 2015.
budaya itu. Kemudian dihubungkan tentang fenomena warga dan dai di
Indonesia yang terkesan mengagungkan pakaian jubah dan menganggapnya
sebagai syariat Islam, yang padahal pakaian itu adalah budaya dari pakaian
Arab dan bukan merupakan syariat Islam. Dengan demikian terlihatlah
kekayaan representasi kognisi beliau dalam tulisan ini.
Judul ketiga “Dai Berbulu Musang” memuat banyak nilai Islam di
dalamnya yang membahas tentang hukum memasang tarif dalam berdakwah
menurut kajian fikih. Kunci dalam tulisan ini adalah ketiga kajian fikih tentang
hukum memasang tarif dalam dakwah. Penjelasan beliau tentang hukum
memasang tarif dalam tulisan ini sangat menggambarkan kekuatan representasi
kognisi beliau yang dalam akan kajian fikih yang berdasarkan pada Al-Quran
dan Hadis.
Judul keempat “Dai-dai Sesat” memuat banyak nilai Islam yang
membahas tentang hukum dai yang meminta tarif. Tulisan dalam judul ini
sangat menunjukkan representasi kognisi beliau yang Istiqamah dalam
menjelaskan hukum dai yang memasang tarif, dengan hukum haram. Kunci ini
adalah Qs. Yasin ayat 21. Secara implisit atau mafhum mukhalafah dari ayat ini
melarang umat Islam untuk mengikuti dai yang memasang tarif kalau tidak
disebut haram.
Judul kelima “Kode Etik Dakwah” memuat banyak nilai Islam di
dalamnya yang membahas tentang tujuh kode etik bagi seorang dai yang
disahkan oleh Musyawarah Nasional (Munas) Organisasi Ittihadul Muballighin
pada tahun 1996. Kunci dalam tulisan ini adalah ketujuh kode etik dakwah
tersebut, di mana semuanya berdasarkan pada Al-Qur‟an dan Hadis. Sehingga
terlihatlah kredibilitas kognisi pemikiran beliau dalam menyampaikan tulisan
ini, karena makna teks dalam tulisan ini dibuat dari perkumpulan resmi para
dai se-Nasional yang berlandaskan pada Al-Qur‟an dan Hadis.
Judul keenam “Dakwah dan Kearifan Lokal” memuat banyak nilai Islam
dan nilai budaya di dalamnya. Kunci tulisan ini adalah kata „budaya‟ yang
beliau kaitkan dengan fenomena yang ada di masyarakat juga sesuai dengan
ajaran Islam. Di mana beliau menjelaskan dalam tulisan ini, bahwa kiat sukses
dalam berdakwah itu harus menggunakan pendekatan budaya yang dimiliki
masyarakat sekitar di mana tempat para dai berdakwah. Baik dalam kampung
maupun dalam kota, baik kaya maupun miskin, dari Sabang sampai Merauke.
Para dai harus menghormati kearifan lokal masyarakat. Bukan
memaksakan budaya lain kepada mereka, bahkan sampai melarang budaya
mereka, tentu saja kata budaya ini harus digaris bawahi yaitu hanya budaya
yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, seperti gaya berpakaian,
arsitektur bangunan, cara bersosialisasi, dan sebagainya yang masih bisa
diterima oleh ajaran Islam. Dengan demikian terlihatlah garis merah dari
representasi kognisi beliau dalam tulisan ini.
Judul ketujuh “Keteladanan Buya Hamka” memuat pemikiran dan
perasaan beliau tentang sosok Buya Hamka yang sangat beliau hormati.
Tulisan ini menceritakan kisah Buya Hamka yang memiliki pemikiran sangat
moderat dalam membela agama Allah swt. dalam dakwahnya dan tidak
mementingkan keindahan dunia dalam hidupnya. Jika dibaca, maka tulisan ini
akan menyentuh hati pembacanya karena memberikan nuansa yang
mengharukan dan memotivasi untuk melakukan dakwah seperti sosok Hamka.
Dari sini terlihat jelas representasi kognisi beliau berdasarkan pada pemikiran
dan perasaan beliau yang setuju dengan metode dakwah Hamka.
Judul kedelapan “Memberdayakan Imam Masjid” memuat nilai-nilai
Islam dan juga nilai ekonomi di dalamnya yang dihubungkan dengan fenomena
dai bertarif dan tentang peran penting imam masjid. Ide tulisan ini berasal dari
dua perhelatan besar yang berkaitan dengan imam masjid, pertama perhelatan
se-Indonesia yang diadakan 27-29 Juni 2003 di Batam Riau, kedua perhelatan
se-Dunia yang diadakan 2-6 Desember 2003 di Pekanbaru Riau. Tulisan ini
menjelaskan bahwa solusi berikutnya dalam meminimalisir dai bertarif adalah
dengan memberdayakan peran imam masjid. Dari tulisan ini terlihat bahwa
representasi kognisi beliau berdasarkan pada dua perhelatan yang besar tentang
imam masjid, sehingga dapat meyakinkan para pembacanya terhadap apa yang
beliau tuangkan dalam tulisan ini.
Kognisi pemikiran beliau dalam 8 tulisan ini ialah banyaknya ayat-ayat
Al-Qur‟an dan hadis-hadis Rasulullah saw. yang bernilai shahih dan dapat
dijadikan hujjah atau dalil, yang dijadikan sebagai landasan berpikir beliau
dalam berdakwah melalui buku ini. Dengan penonjolan berupa ayat Al-Qur‟an
dan hadis Rasul saw. dalam buku ini, dapat diketahui bahwa kritik beliau
sebagai Ulama di Indonesia adalah sebuah ilmu yang sangat bermanfaat bagi
umat Islam di Indonesia. Dari hal ini juga dapat diketahui bahwa beliau
memiliki kredibilitas yang tinggi sebagai komunikator yang menyampaikan
pesan dakwah kepada umat Islam di Indonesia melalui bukunya Setan
Berkalung Surban.
Di mana kredibilitas komunikator adalah sarat utama untuk mewujudkan
komunikasi yang efektif, karena komunikasi dikatakan berhasil jika gagasan
atau pemikiran komunikator berhasil tersampaikan kepada komunikannya, hal
ini didasarkan pada sebuah definisi komunikasi; “Komunikasi merupakan
pertukaran sebuah pemikiran atau gagasan.”211
Akan tetapi tidak hanya sampai di sini, beliau memiliki tujuan agar umat
Islam Indonesia merubah perilaku yang menyimpang itu menjadi perilaku yang
sesuai dengan ajaran agama Islam. Hal tersebut didasarkan pada sebuah
definisi komunikasi yang menjelaskan bahwa pengiriman dan penerimaan
pesan dilakukan dengan maksud tertentu; “Situasi-situasi tersebut merupakan
sebuah sumber yang mengirimkan sebuah pesan kepada penerima dengan
tujuan tertentu untuk memengaruhi perilaku manusia.”212
Hal ini diperkuat oleh keterangan beliau bahwa sosok yang mengisnpirasi
beliau dalam menulis kritikan ini adalah Rasulullah saw. dan alhmarhum Ayah
beliau. Rasulullah saw. bersabda:
خطعت فتيصا ت يصت ته بيده فإنت ل تهرا فيتيغيي ت تك ى ت رأ خطعت فتليتت ت يصت فإنت ل
ان )رواه مصي( ػف اإلي ضت وذلم أ
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”213
211
John B. Hoben, “English Communication at Colgate Re-examined,” Journal of
Communication 4, (1954): h. 77. 212
Gerald R. Miller, “On Defining Communication: Another Stab,” Journal of
Communication 16, (1966): h. 92. 213
Muslim, Shahih Muslim, (Mesir: Dar al-Hadis, 2010), juz 1, h. 50.
Menurut beliau, merubah kemungkaran dengan tangan tidak selalu
bermakna kekerasan apalagi peperangan. Pengertian kekerasan dan peperangan
hanya ada zaman Rasul saw., karena situasi zaman dahulu yang
memungkinkan untuk itu. Sedangkan zaman sekarang sudah berbeda dari
zaman dahulu. Agama Islam itu rahmatan lil‟aalamiin (rahmat bagi seluruh
alam). Meskipun zaman sudah berbeda, tapi hukum Islam akan selalu bisa
ditegakkan dan dijalankan. Salah satunya tentang menghilangkan
kemungkaran, maka pada zaman sekarang pilihan terbaik dengan
menggunakan tangan adalah dengan cara menulis, bukan kekerasan.214
Begitulah representasi kognisi beliau dalam menyusun buku ini.
Selanjutnya beliau selalu memberikan pengantar berupa cerita ataupun
kisah nyata yang mayoritas berasal dari pertemuan-pertemuan yang beliau ikuti
bersama tokoh-tokoh dunia. Dengan memberikan ilustrasi dan pengantar
seperti ini, para pembaca pun akan mudah memahami apa yang hendak beliau
sampaikan, dan para pembaca akan mudah menerima segala pesan beliau
karena memiliki sumber yang dapat dipercaya. Terlebih pada bagian akhir dari
setiap judul beliau memberikan ajakan dan menyampaikan doa dan harapan,
dengan bahasa yang santun, agar dapat kembali pada ajaran Islam yang murni
yang diridhai oleh Allah swt. agar selamat dunia dan akhirat. Begitulah strategi
penyampaian pesan dakwah beliau dalam buku ini.
C. Analisis Wacana Berdasarkan Konteks Sosial
Titik perhatian dari konteks sosial adalah mengubungkan teks lebih jauh
dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat atas
214
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,
Jakarta, 19 Mei 2015.
suatu wacana.215
Bagian ini adalah langkah terakhir yang terdapat dalam
metode analisis wacana Van Dijk. Buku ini berisi kritikan beliau terhadap
fenomena sosial yang ada di tengah masyarakat. Salah satu pembahasan
terbesarnya adalah tentang dai komersial.216
Dai sekarang ini hanya mengejar
harta dalam dakwahnya. Bahkan dalam isinya, sangat sedikit sekali
mengandung pesan dakwah di dalamnya.217
Adapun konteks sosial dari setiap bab ialah sebagai berikut, judul
pertama “Setan Berkalung Surban” yang menjadi kata kunci adalah „surban‟
dan „setan‟, yang digunakan secara eksplisit untuk mengkritik para dai yang
hanya bermodal surban untuk menyampaikan dakwahnya tetapi tidak
berlandaskan dengan niat karena Allah swt. malah mengikuti hawa nafsu dan
kehendak setan dalam melaksanakan dakwahnya itu.
Judul kedua “Surban dan Jubah Haram,” yang menjadi kata kuncinya
adalah „syuhrah‟, „surban‟, „jubah‟ dan „haram‟, yang digunakan untuk
menjelaskan fenomena yang semakin marak tentang penampilan dai yang
berlebih-lebihan, yang bertujuan untuk dikenal masyarakat sebagai dai atau
kiai. Seolah-olah mereka ingin menyatakan pakaian itu menjadi ciri khas bagi
para dai dan bahkan menjadi syariat. Dari judul ketiga “Dai Berbulu Musang”
yang menjadi kata kunci adalah „walakedu‟, yang digunakan untuk
menjelaskan tentang semakin maraknya fenomena dai bertarif di masyarakat.
Bahkan semakin hari fenomena dai bertarif semakin menjadi karena dilihat
dengan tarifnya yang kian menjulang ke langit dan membuat masyarakat panik.
215
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 260-270. 216
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah Darus-
Sunnah, Jakarta, 11 Mei 2015. 217
Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh
Salamah, Jakarta, 04 Mei 2015.
Judul keempat “Dai-dai Sesat,” yang menjadi kata kuncinya adalah „dai‟
dan „sesat‟, yang digunakan untuk menjelaskan bahwa hukum dai bertarif
adalah haram dan begitu pula hukum mengikuti dai bertarif. Tulisan ini sebagai
pembuktian keistiqamahan beliau dalam menghukumi dai bertarif secara tegas.
Kemudian tidak hanya kepada dainya saja, akan tetapi juga kepada masyarakat
yang mengikuti dai tersebut.
Judul kelima “Kode Etik Dakwah,” yang menjadi kata kuncinya adalah
„kode etik dakwah‟ sendiri, yang digunakan untuk menjelaskan tujuh kode etik
dakwah bagi para dai sedunia, sebagai salah satu solusi untuk mengurangi
fenomena dai bertarif. Dengan demikian mereka para dai yang biasa memasang
tarif, diharapkan akan sadar dan merubah niat dakwahnya ikhlas karena Allah
swt., bukan karena mencari harta, apalagi sampai menyusahkan warga.
Judul keenam “Dakwah dan Kearifan Lokal,” yang menjadi kata
kuncinya adalah „dakwah‟ dan „budaya‟, yang digunakan untuk menjelaskan
keadaan para dai sekarang yang cenderung memaksakan budaya Arab kepada
masyarakat. Juga menjelaskan keharusan berdakwah bagi para dai untuk
menggunakan pendekatan budaya yang ada di masyarakat. Bukan malah
memaksakan budaya lain kepada mereka, apalagi sampai melarang dan
mengharamkan budaya mereka, karena dengan demikian masyarakat akan
mudah untuk menerima ajaran Islam. Begitulah yang dicontohkan oleh Ulama
terdahulu dalam misinya menyebarkan Islam di Indonesia, mereka
menggunakan pendekatan budaya kepada penduduk Indonesia dan tidak
memaksakan budaya Arab atau Timur Tengah.
Judul ketujuh “Keteladanan Buya Hamka,” yang menjadi kata kuncinya
adalah „keteladan Buya Hamka‟, „dakwah yang benar‟, yang digunakan untuk
menjelaskan bagaimana cara Buya Hamka berdakwah yang selalu membela
kebenaran yang sebenarnya dan tidak mementingkan kepentingan dunia dan
kepentingan pribadinya. Bahkan sampai setelah Buya Hamka meninggal dunia,
Negara Malaysia masih mencari murid Hamka untuk menjelaskan
pemikirannya yang moderat, hal ini menjadi penguat kiprah dakwah Hamka
yang sangat menakjubkan.
Judul kedelapan “Memberdayakan Imam Masjid,” yang menjadi kata
kuncinya adalah „pemberdayaan‟, dan „imam masjid‟, yang digunakan untuk
menjelaskan keharusan untuk memberdayakan peran imam masjid yang sangat
penting, karena situasi dan kondisinya yang sangat strategis untuk
menyebarkan pesan dakwah kepada masyarakat. Hal ini sekaligus menjadi opsi
kedua untuk meminimalisir dai bertarif, karena dengan kehadiran imam masjid,
masyarakat tidak perlu lagi mencari dai-dai lain yang bertarif mahal yang
menyusahkan mereka, juga karena imam masjid diberi jaminan kehidupan
yang layak oleh pemerintah. Dengan demikian, imam masjid akan merasa
cukup dengan kehidupannya tanpa harus memberi tarif lagi untuk berdakwah
kepada masyarakat karena untuk menutupi kehidupannya.218
Dalam delapan bab ini, beliau membahas tuntas tentang masalah
fenomena dai yang mulai memprihatinkan di Indonesia tercinta ini. Terlihatlah
tujuan beliau dalam menulis buku ini ialah untuk meluruskan fenomena dai
komersial itu, seperti jelas beliau dalam wawancara bersama penulis:
218
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,
Jakarta, 19 Mei 2015.
“Salah satu bahasan dalam buku ini menjelaskan tentang fenomena dai
yang memasang tarif yang muncul di tengah umat Islam Indonesia. Di mana
mayoritas dai sekarang hanya mengejar materi dan popularitas dalam dakwah
mereka. Sehingga hal ini perlu saya luruskan melalui buku ini, sesuai dengan
ajaran Islam yang benar tentunya.”219
Solusi yang beliau sarankan dalam mengatasi dai bertarif atau dai
komersial adalah agar masyarakat Indonesia tidak lagi dan berhenti
mengundang para dai komersial itu. Dan agar pemerintah memberdayakan
peran imam masjid dan memerhatikan kehidupan imam masjid khususnya
dalam hal ekonomi, karena imam masjid memiliki posisi yang strategis sebagai
pencerah bagi umat Islam.220
Buku Setan Berkalung Surban ini adalah salah satu karya beliau yang
membahas tentang fenomena sosial yang sedang berkembang di masyarakat
Indonesia. Buku ini dapat dijadikan acuan bagi masyarakat untuk mengetahui
fenomena sosial yang sedang aktual muncul di masyarakat Indonesia dan juga
untuk menjalankan pesan dakwah yang ada dalam buku ini, tanpa harus
mengerahkan kemampuan berpikir yang mendalam, karena bahasa dalam buku
ini sangat simpel dan mudah dipahami oleh masyarakat awam.
219
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,
Jakarta, 19 Mei 2015. 220
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,
Jakarta, 19 Mei 2015.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan penelitian dan menganalisis bahasan-bahasan
yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis memiliki kesimpulan
sebagai berikut:
1. Struktur makro dalam tulisan ini menunjukan konsep dominan di dalamnya,
tema dari tulisan yang diteliti dalam buku ini adalah tentang muamalah
yaitu membahas dai komersial. di mana Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub,
MA., dalam 8 judul yang diteliti menjelaskan tiga pesan inti di dalamnya.
Pertama menjelaskan keharusan para dai dan para imam masjid untuk
menyesuaikan diri mereka antara ucapan dan perilaku mereka di depan dan
di belakang masyarakat. Kedua mengkritik dan memperingati mayoritas dai
sekarang ini yang berdakwah dan berpakaian hanya untuk mendapatkan
kepopuleran dalam hidupnya, sehingga dakwah yang mereka lakukan bukan
ikhlas karena Allah swt tetapi mengikuti kehendak setan. Ketiga yaitu
menjelaskan keharaman bagi para dai untuk memasang tarif pada setiap
aktivitas dakwahnya. Kemudian menjelaskan tentang himbauan kepada
pemerintah untuk memberikan perhatian khusus bagi para imam masjid
dalam hal ekonomi, agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai imam
dan dai di masyarakat sekitar mereka, dengan tenang dan fokus tanpa harus
memikirkan asap dapur di rumahnya, juga demi meminimalisir fenomena
dai bertarif, karena imam masjid memiliki kedudukan strategis untuk
mentransformasikan ajaran islam kepada masyarakat.
2. Secara superstruktur Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA mengarang
buku ini dengan alur yang sangat singkat dan padat untuk disampaikan,
dalam satu judul hanya terdiri dari 3-5 halaman saja, di mana sudah
mencakup pendahuluan, inti, penutup dan kesimpulan.
3. Secara struktur mikro Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA menggunakan
detail yang sangat baik dari masing-masing judul tersebut. Beliau juga
menyampaikan maksud dan praanggapannya dengan jelas dalam setiap
judul. Bahasa yang digunakan sederhana dan tidak terlalu berat, beliau tidak
banyak menampilkan ragam gaya bahasa yang sulit, dan terkesan akrab
dengan pembacanya. Bentuk kalimat yang digunakan merupakan bentuk
kalimat aktif dan pasif. Beliau lebih sering menggunakan kata ganti orang
ketiga, dan koherensi sebab akibat. Leksikal yang ditampilkan merupakan
ragam bentuk bahasa tulisan yang populer. Retoris yang digunakan dalam
buku ini berupa penggunaan grafis, metafora, dan ekspresi. Buku ini kaya
akan unsur retoris di dalamnya, inilah yang membuat buku ini terkesan
akrab dengan pembacanya.
4. Jika dilihat dari kognisi sosial dari 8 judul yang diteliti, Prof. Dr. KH. Ali
Mustafa Yaqub, MA membentuk makna setiap teks dalam tulisannya
berdasarkan penggabungan nilai-nilai Islam yang mendalam dan disiplin
ilmu lainnya terhadap fenomena dai komersial yang berkembang di tengah
masyarakat yang dituangkan dengan singkat dan padat. Sehingga cara beliau
mengisahkan dan menyelipkan pesan moral dan sosial dalam tulisannya
yang diperkuat dengan dalil-dalil dari ayat Al-Qur‟an dan Hadis, merupakan
representasi dari pemikirannya. Sedangkan pendahuluan berupa kisah nyata,
juga gaya bahasa beliau yang mudah dipahami dan akrab dengan
pembacanya merupakan strategi beliau dalam menulis buku ini. Dalam
konteks sosial dapat diketahui bahwa alasan beliau dalam menulis buku ini
adalah untuk mengkritik perilaku dai komersial Indonesia yang sedang
aktual, juga memberi solusi dari perilaku dai komersial itu dengan cara
masyarakat agar tidak mengundang mereka lagi dan pemberdayaan peran
imam masjid di Indonesia oleh pemerintah terutama juga memberikan
bantuan ekonomi kepada imam masjid, karena mereka memiliki posisi yang
strategis sebagai dai dan pencerah bagi umat Islam Indonesia. Setiap pesan
dalam tulisan di buku ini disampaikan berlandaskan Al-Qur‟an dan Hadis,
sehingga dapat dikatakan bahwa tulisan dalam buku ini merupakan
manifestasi dari pemikiran Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
B. Saran-saran
Mengingat bahwa tidak ada yang sempurna dari setiap karya manusia,
maka buku Setan Berkalung Surban ini pun tidak luput dari kekurangan dan
kekhilafan. Maka dalam bagian ini, penulis mencoba memberikan pandangan
mengenai beberapa hal berkenaan dengan saran untuk buku ini dan untuk pihak
lainnya. Saran-sarannya ialah sebagai berikut:
1. Kepada Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA terus semangat dalam
menyampaikan dakwah Islam di Indonesia dan di seluruh dunia. Jangan
pernah berhenti berdakwah. Tetap konsisten untuk selalu menuliskan buku
bertema Islam, karena buku memiliki ketahanan yang panjang untuk
menyimpan ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan kehendak Allah swt.
dan Rasul-Nya. Seyogianya tulisan dalam buku ini direvisi kembali, untuk
memperbaiki beberapa kesalahan dalam hal pengetikan, adapun tentang isi
sudah sangat baik.
2. Kepada masyarkat secara umum, jangan menjauhi bacaan bertema Islam
dan lebih menyukai bacaan yang bersifat menghibur apalagi gosip, karena
kita tak selamanya hidup di dunia, dan kita sudah harus mempersiapkan
bekal untuk diri kita kelak di akhirat. Salah satu caranya adalah dengan kita
rajin membaca buku bertema Islam dan mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Dan agar tidak mengundang para dai komersial lagi
untuk berdakwah, agar fenomena dai seperti itu berkurang jumlahnya, untuk
kemudian menghilang selamanya. Semoga tulisan dalam buku ini dapat
menjadi bahan pelajaran dan renungan untuk memperbaiki diri menuju
jalan yang dikehendaki Allah swt. dan Rasul-Nya, karena dengan dengan
begitu, kita akan selamat di dunia dan akhirat. Aamiin.
3. Kepada para dai di Indonesia, mengingat para dai memiliki peran dan tugas
yang sangat mulia bagi agama Islam, sudah selayaknya bagi para dai untuk
menyempurnakan dakwahnya dan sudah seharusnya para dai membuang
jauh-jauh budaya meminta imbalan pada masyarakat yang mengundang
untuk berdakwah, karena dakwah sendiri berarti menolong agama Allah,
dan barang siapa yang menolong agama Allah, maka Allah pun akan
menolongnya. Juga agar para dai di Indonesia dapat menyampaikan
dakwahnya lewat tulisan dengan kreatifitas yang tinggi, agar masyarakat
Indonesia mulai tertarik kembali untuk membaca buku-buku bertema Islam.
Semoga para dai di Indonesia semakin bersemangat dan semakin ikhlas
dalam menjalankan dakwahnya. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009.
Anshori, M. Isa. Mujahid Dakwah. Bandung: Diponegoro. Cet. Ke-4. 1991.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
PT. Rineka Cipta. Cet. Ke-5. 2002.
Asti, Badiatul Muchlisin. Berdakwah dengan Menulis Buku. Bandung: Media
Qalbu. Cet. Ke-1. 2004.
Aziz, Moh Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2009.
Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Bandung: Mizan,
1999.
Bukhari. Shahih al-Bukhari. Mesir: Dar al-Hadis. 2008.
Bungin, Burhan. Analisa Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003.
_____________. Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma dan Diskursus Teori
Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Cet.
Ke-3. 2002.
__________. Kajian Bahasa. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Cholidah, Ni‟ma Diana. Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap Perkembangan
Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Danim, Sudarwan. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Cet. Ke-
1. 2002.
Effendy, Onong Uchana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1994.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS
Cet. Ke-3. 2013.
Faris, Abu Al-Husain Ahmadi ibn. Mu‟jam Maqayis al-Lughah. Beirut: Dar al-
Fikr, 1979.
Ghalwusy, Ahmad. Al-Da‟wah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Kutub al-Mishr, 1987.
Ghazali, M. Bahri. Dakwah Komunikatif. Jakarta: CV. Pedoman, 1997.
Hamka. Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1956.
Hartono. Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di Indonesia (Studi atas
Pemikiran Abdul Hakim Abdat dan Ali Mustafa Yaqub). Jakarta: Tesis S2
Konsentrasi Tafsir Hadis, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta (SPs UIN Jakarta), 2009.
Hoben, John B. “English Communication at Colgate Re-examined.” Journal of
Communication 4, (1954): h. 77.
Khasanah, Siti Uswatun. Berdakwah dengan jalan debat antara muslim dan non
muslim. Purwokerto : STAIN Purwokerto Press, 2007.
Lubis, A. Hamid Hasan. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa. Cet.
Ke-1. 1993.
Mahfudz, Ali. Hidayah al-Mursyidin, Terjemahan Chodijah Nasution.
Yogyakarta: Tiga A, 1970.
Majah, Ibnu. Sunan Ibnu Majah. Mesir: Dar ibn Haytsam. 2005.
Miller, Gerald R. “On Defining Communication: Another Stab.” Journal of
Communication 16, (1966): h. 92.
Moleong, Lexy. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2007.
Mulyana. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi, Prinsip-prinsip Analisis
Wacana. Yohyakarta: Tiara Wacana, 2005.
Muriah, Siti. Metodologi Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2000.
Muslim. Shahih Muslim. Mesir: Dar al-Hadis. 2010.
Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Saleh, E. Hasan. Studi Islam di Perguruan Tinggi Pembinaan IMTAQ dan
Pengembangan Wawasan. Jakarta: ISTN, 2000.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995.
ST, Hamis. Kamus Bahasa Indonesia. Surabaya: Pustaka Dua. Cet. Ke-1. 2000.
Suharsaputra, Uhar. Metode Penelitian (Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan.
Bandung: Refika Aditama, 2012.
Suhendi, Hendi. Fiqh Mu‟ammalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Suminto, H.A. Problematika Da‟wah. Jakarta : Tinta Mas. Cet. Ke-1. 1973.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya, 2001.Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah.
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
Tim Redaksi Majalah Nabawi. Kolom Artikel Utama. Jakarta: IMDAR. edisi 109.
1436 H./2015 M.
Verhaar, W. M. Asas-asas Linguistik Umum. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada
Press. Cet. Ke-3, 2001.
Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh
Salamah. Jakarta, 04 Mei 2015.
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah
Darus-Sunnah. Jakarta, 11 Mei 2015.
Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman
beliau. Jakarta, 19 Mei 2015.
Yaqub, Ali Mustafa. Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Hadis.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
_________________. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka
Firdaus. Cet. Ke-2. 2000.
_________________. Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003.
_________________. Isbat Ramadan, Syawal, dan Zulhijah Menurut Al-Kitab
dan Sunnah. Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, 2013.
_________________. Setan Berkalung Surban. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014.
Yunus, Muhammad. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus
Wadzuryah. 1990.
Zaimar, Okke Kusuma Sumantri dan Ayu Basoeki Harahap. Telaah Wacana.
Jakarta: The Intercultural Intitute, 2009.
Zarkasyi, Amal Fathullah. Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan
Dakwah. Jakarta: GIP, 1998.
LAMPIRAN
DOKUMENTASI FOTO PENULIS BERSAMA
PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA
DOKUMENTASI FOTO PENULIS BERSAMA EDITOR BUKU SETAN
BERKALUNG SURBAN,
DENDEN TAUPIK HIDAYAT, SS., Lc.
DOKUMENTASI FOTO PENULIS BERSAMA
MUHAMMAD ALI WAFA, Lc., S.S.I.
ASISTEN PROF. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA
DOKUMENTASI HASIL WAWANCARA BERSAMA
PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB
1. Mengapa anda menulis buku ini?
Jawaban: “Tulisan ini saya buat untuk mengkritik para dai yang bertarif dalam
dakwahnya yang sangat menyusahkan warga Indonesia sekarang ini.”
2. Siapa yang menginspirasi anda dalam menulis buku ini?
Jawaban: “Rasulullah saw. pertama dari hadis yang menceritakan tentang kisah
Abu Hurairah ra. Bersama Rasul saw. kedua dari hadis yang menjelaskan
keharusan menghilangkan kemungkaran dengan tangan, lisan, dan hati. Saya
mengambil pilihan pertama, yaitu dengan menggunakan tangan, tetapi tidak
dengan pedang melainkan dengan tulisan, karena agama Islam adalah
Rahmatan lil‟aalamiin (rahmat bagi seluruh alam).”
3. Apa gagasan inti dari judul Setan Berkalung Surban?
Jawaban: “Gagasan intinya adalah mengkritik dai yang hanya bermodal surban,
tetapi melakukan dakwah tidak berdasarkan niat ikhlas karena Allah swt.
melainkan mengikuti hawa nafsu dan kehendak setan.”
4. Apa gagasan inti dari judul Surban dan Jubah Haram?
Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan tentang hukum pakaian syuhrah
yaitu pakaian yang dipakai karena ingin tenar atau dikenal orang lain, dalam
hal ini ingin dikenal sebagai seorang dai atau kiai.”
5. Apa gagasan inti dari judul Dai Berbulu Musang?
Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan tentang hukum dai yang bertarif
menurut kajian fikih.”
6. Apa gagasan inti dari judul Dai-dai Sesat?
Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan haramnya dai memasang bertarif
dan mengikuti dai bertarif.”
7. Apa gagasan inti dari judul Kode Etik Dakwah?
Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan tujuh kode etik dakwah bagi para
dai.”
8. Apa gagasan inti dari judul Dakwah dan Kearifan Lokal?
Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan cara berdakwah yang harus
menggunakan pendekatan budaya masyarakat Indonesia, bukan malah
memaksakan budaya lain dan melarang budaya lokal yang digunakan.”
9. Apa gagasan inti dari judul Keteladanan Buya Hamka?
Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan kiprah keislaman Buya Hamka
yang sampai akhir hayatnya masih tetap memegang ajaran Rasulullah saw.
tanpa memikirkan kepentingan duniawi.”
10. Apa gagasan inti dari judul Memberdayakan Imam Masjid?
Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan keharusan meningkatkan peran
dan jaminan kehidupan kepada Imam Masjid sebagai upaya meminimalisir dai
bertarif di Indonesia.”
11. Judul mana yang menjadi inti dari pembahasan “Dai Komersial” dalam
buku ini?
Jawaban: “Inti dari pembahasan tentang Dai Komersial terdapat dalam judul Dai-
dai Sesat. Dalam tulisan ini dijelaskan keharaman dai memasang tariff. Hal ini
sesuai dengan ayat suci Al-Qur‟an ayat 21 yang artinya Ikutilah orang-orang
yang dalam berdakwah tidak meminta imbalan karena mereka adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk dari Allah. Berarti jika orang berdakwah
meminta imbalan mereka tidak mendapat petunjuk melainkan sesat dan
menyesatkan. ”
12. Judul mana yang menjadi solusi dari fenomena “Dai Komersial” dalam
buku ini?
Jawaban: “Solusinya terdapat dalam judul Memberdayakan Imam Masjid, karena
dengan demikian tidak ada lagi dai yang akan memasang tarif. Pertama, karena
masyarakat sudah merasa cukup dengan keberadaan imam masjid di sekitar
mereka. Kedua, para imam masjid tidak usah memikirkan masalah ekonomi
lagi dalam dakwahnya, karena sudah ditanggung biaya hidupnya dan
keluarganya oleh pemerintah.”
13. Bagaimana perasaan anda tentang “Dai Komersial” yang anda wacanakan
dalam buku ini?
Jawaban: “Saya terbebas dan tidak mau kenal dengan mereka dai yang memasang
tarif dalam dakwahnya.”
14. Bagaimana konteks sosial tentang “Dai Komersial” dalam buku ini?
Jawaban: “Salah satu bahasan dalam buku ini menjelaskan tentang fenomena dai
yang memasang tarif yang muncul di tengah umat Islam Indonesia. Di mana
mayoritas dai sekarang hanya mengejar materi dan popularitas dalam dakwah
mereka. Sehingga hal ini perlu saya luruskan melalui buku ini, sesuai dengan
ajaran Islam yang benar tentunya.”
15. Apa saran anda untuk para dai komersial di Indonesia sekarang ini?
Jawaban: “Segera bertaubat! Karena kehidupan dunia hanya sementara. Jika
belum ikhlas dalam berdakwah lebih baik jangan berdakwah dan melakukan
pekerjaan lain. Karena dakwah adalah kewajiban bukan pekerjaan untuk
mencari uang. Ingatlah jika kalian menolong agama Allah, maka Allah akan
menolong kalian dalam segala hal! Tidak hanya terbatas dalam masalah uang.
Jadi perbaiki kembali niat kalian dalam berdakwah di masyarakat.”
16. Apa saran anda untuk masyarakat mengenai fenomena “Dai Komersial” di
Indonesia?
Jawaban: “Jangan panggil mereka! Dengan demikian mereka tidak akan berani
lagi memasang tarif. Dan sedikit demi sedikit para dai komersial akan
berkurang.”
DOKUMENTASI HASIL WAWANCARA BERSAMA EDITOR BUKU
SETAN BERKALUNG SURBAN,
DENDEN TAUPIK HIDAYAT, SS., Lc.
1. Bagaimana sosok Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub menurut anda selaku
muridnya?
Jawaban: “Beliau adalah sosok yang sangat menginspirasi para muridnya.
Sikapnya yang tegas dan disiplin selalu beliau ajarkan setiap pertemuan
perkuliahan.”
2. Hal apa yang paling berkesan dari beliau untuk anda?
Jawaban: “Beliau selalu mendoakan kami dengan penuh keikhlasan dengan
berharap kami menjadi Ulama Besar di dunia bahkan bisa melebihi beliau.
Meskipun sulit, namun kami akan berusaha untuk meraih harapan beliau itu.”
3. Bagaimana kesan anda menjadi editor buku ini?
Jawaban: “Saya sungguh sangat bangga dan terhormat menjadi editor dalam buku
Setan Berkalung Surban ini. Siapa yang tidak akan bahagia memiliki
kesempatan menjadi editor buku seorang Ulama besar seperti beliau ini? dalam
kesempatan ini juga saya meminta maaf karena masih terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan dalam pengeditan buku ini.”
4. Bagaimana pendapat anda tentang buku ini?
Jawaban: “Buku ini sangat bagus dalam menjelaskan fenomena yang ada di
tengah masyarakat Indonesia sekarang ini.”
5. Menurut anda, dari mana sajakah kognisi pemikiran beliau dalam menulis buku
ini?
Jawaban: “Menurut saya, pengetahuan beliau yang mendalam tentang agama
Islam menjadi dasar kognisi pemikiran beliau dalam tulisan ini. Beliau berhasil
melihat Islam secara menyeluruh. Maksudnya adalah, beliau bisa melihat
fenomena sosial yang ada dan menafsirkannya dengan ajaran-ajaran Islam. Hal
ini juga menggambarkan kepribadian beliau yang kritis.”
6. Menurut anda, bagaimana konteks sosial dalam buku ini?
Jawaban: “Dai sekarang ini hanya mengejar harta dalam dakwahnya. Bahkan
dalam isinya, sangat sedikit sekali mengandung pesan dakwah di dalamnya,
kebanyakan hanyalah mengandung unsur hiburan dari pada unsur pengetahuan.
Beliau berhasil menjelaskan dengan tuntas semua fenomena itu dan juga
memberikan solusi atas fenomena itu.”
DOKUMENTASI HASIL WAWANCARA BERSAMA
MUHAMMAD ALI WAFA, Lc., S.S.I.,
ASISTEN PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA
1. Bagaimana sosok Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub menurut anda selaku
muridnya?
Jawaban: “Beliau adalah sosok yang sangat menginspirasi kami dalam membela
agama Allah.”
2. Hal apa yang paling berkesan dari beliau untuk anda?
Jawaban: “Kenangan paling berkesan untuk kami adalah perhatian beliau yang
luar biasa kepada kami dan kepada umat Islam di Dunia. Beliau sering
membangunkan kami untuk melaksanakan Qiyam al-Lail dengan ikhlas.
Dahulu ketika beliau masih muda, beliau membangunkan kami dengan
langsung mengetuk pintu kamar kami. Sekarang meski sudah tua, beliau tetap
membangunkan kami dengan cara menelpon saudara tertua di antara kami,
untuk membangunkan yang lainnya melaksanakan Qiyam al-Lail .”
3. Bagaimana kesan anda menjadi asisten beliau?
Jawaban: “Saya sungguh bahagia. Tetapi di sisi lain saya merasa malu karena
kapasitas saya yang masih jauh untuk menuju sempurna. Tapi saya akan terus
berusaha mencari ilmu sebanyak-banyaknya agar bisa membuat beliau bahagia
pula.”
4. Bagaimana pendapat anda tentang buku ini?
Jawaban: “Buku ini cukup berani. Beliau memang orang yang sangat berani untuk
mengkritik dan menghapuskan kemungkaran di tengan umat Islam. Salah satu
moto beliau yang selalu disampaikan kepada murid-muridnya setiap hari
adalah Janganlah kalian mati, kecuali kalian menjadi penulis. Kedisiplinan
beliau dalam menulis sangat ketat sekali, bahkan di tengah kesibukan beliau
yang sangat padat mengurusi umat, beliau selalu bisa produktif menghasilkan
hasil tulisan.”
5. Menurut anda, dari mana sajakah kognisi pemikiran beliau dalam menulis buku
ini?
Jawaban: “Menurut saya, pengetahuan beliau dalam buku ini diambil hasil beliau
dalam menafsirkan fenomena sosial dalam pengetahuan Islam dan disiplin ilmu
lainnya. Di mana seluruh pengetahuan beliau itu berasal dari nash Al-Quran
dan Hadis. Beliau juga adalah sosok Ulama yang tegas dalam memberantas
kemungkaran. Hanya saja, cara beliau dalam melakukan itu tidak dengan
kekerasan. Inilah yang menjadi ciri khas beliau dalam menegakkan kebenaran
di bumi ini, dan seperti itulah ideologi beliau selaku Ulama di dunia ini.”
6. Menurut anda, bagaimana konteks sosial dalam buku ini?
Jawaban: “Buku ini berisi kritikan beliau terhadap fenomena sosial yang ada di
tengah masyarakat. Salah satu pembahasan terbesarnya adalah tentang dai
komersial. Beliau berhasil menjelaskan dengan tuntas semua fenomena itu dan
juga memberikan solusi atas fenomena itu.”
BAB III
MUAMALAH
23
SETAN BERKALUNG SURBAN
Dalam Kitab Shahih al-Bukhari, ada kisah menarik:
ن رشل ظ زكة اهلل صل اهلل غ أيب ريرة ريض اهلل غ كال/ "وك فت ب وشي غييتحان آت ، فجػو
، وكيتج رمضان ، فأ ح خذت
ػام ، فأ اىط م إل رشل : يتث فػ رت
صل اهلل أل
تدت اهلل صت ، فأ ، كال / إني متخاج ، وغل خيال ، ول خاجث شديدة ، فخييتج خت وشي ج ، غييت
ارخث ؟ " ، كال / كيتج / يا اهلل فلال انلب صل شيك التا فػو أ ريترة ، ةا
/ " يا أ وشي غييت
، كال اهلل رشل ، فخييتج شبيي كدت نذةم ، " : ، شك خاجث شديدة ، وخياال ، فرحتخ ا إ أ
د." وشيػل رشل ت د ، ىل شيػ
اهلل صل اهلل فػرفتج أ وشي ، فجاء " : غييت ح د " فرصدت شيػ إ
م إل رشل فػ رت ، فليتج / أل ح خذت
ػام ، فأ اىط اهلل صل اهلل يتث ن ، غييت ، كال / دغت وشي
ج ، فلال ل رش تدت صت ، فأ ، فخييتج شبيي د ، فرحتخ غ
صل اهلل ل فإني متخاج ، وغل خيال ، ال أ
شيك ؟ " كيتج اهلل ا فػو أ ريترة ، ةا
/ " يا أ وشي ، شك خاجث وخياال ، اهلل يا رشل : غييت
د." كدت نذةم ، وشيػ ا إ ، كال / " أ ، فخييتج شبيي فرحتخ
م إل رشل فػ رت ، فليتج / أل ح خذت
ػام ، فأ اىط اثلاثلث ، فجاء يتث ح صل اهلل فرصدت
تم اهلل غيين أ د ، كال / دغت تػ د ، ث ال تػ خ ات ، إم حزت ذا آخر ثالث مر ، و وشي غييت
ات حتفػم اهلل كتويتج إل فراشم ، فاكترأ
؟ كال / " إذا أ ا ا ، كيتج / ال اهلل آيث اىتهرتسي ة
ت يزال غييتم اآليث ، فإم ى اىتح اىتليم خت تتخ ربم شيتطان اهلل إل إال خافظ ، وال حلت. تح ، فخييتج شبيي خت حصت
ج، فلال ل رشل تدت صتارخث ؟ " ، كيتج اهلل صل اهلل فأ شيك الت
ا فػو أ " / وشي : غييت
ات حتفػن اهلل يا رشل ن ك حػيي أ ا ه ؟ " ، كال اهلل ، زخ ، كال / " ا ، فخييتج شبيي : ة
ويتج إل اآليث كال ل / إذا أ ا خت تتخ ل و
ت أ آيث اىتهرتسي
ت اىتح اهلل فراشم ، فاكترأ ال إل إال
ت يزال غييتم رص اهلل اىتليم، وكال ل / ى ختتح ، وكا أ ربم شيتطان خت حصت خافظ ، وال حلت
، فلال صل شت يت ت تاطب اهلل ء ىلع الت ي نذوب ، تػت كدت صدكم و ا إ / " أ وشي غييت
ريترة ؟ " ، كال / ال ، كال / " ذاك شيتطان ةا تذ ثالث يلال يا أ
"
)رواه الخاري( Abu Hurairah ra. bercerita, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam menugaskan saya untuk menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan.
Tiba-tiba datanglah seseorang melihat-lihat makanan dan langsung
mengambilnya. Dia lalu saya tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya
laporkan kepada Rasulullah.” Orang itu menjawab: „Saya orang yang sudah
berkeluarga dan sangat membutuhkan makanan untuk keluarga saya.”
Mendengar itu saya pun melepaskannya. Ketika pagi tiba, Rasulullah bertanya:
“Wahai Abu Hurairah apa yang dilakukan oleh orang yang kamu tangkap tadi
malam?” Saya menjawab: “Wahai Rasulullah, orang itu mengadukan kesusahan
keluarganya dan dia memohon harta zakat saat itu juga, lalu saya bebaskan.”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Dia telah mengelabui
kamu wahai Abu Hurairah dan nanti malam dia akan kembali lagi”. Dari sabda Nabi ini, saya tahu bahwa dia akan kembali lagi. Malam
harinya saya mengawasinya secara teliti dan ternyata betul apa yang
disampaikan Rasulullah, ia telah berada di ruang harta zakat sambil memilih-
milih harta zakat yang terkumpul lalu ia mengambilnya. Melihat itu, dia lalu saya
tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah.”
Orang itu menjawab: “Saya betul-betul sangat membutuhkan makanan itu
sekarang, keluarga saya kini sedang menunggu sambil menahan lapar. Saya
berjanji tidak akan kembali lagi esok hari”. Mendengar itu, saya merasa kasihan
dan akhirnya saya lepaskan kembali. Keesokan harinya Rasulullah bertanya
kembali: “Apa yang dilakukan oleh orang yang kamu tangkap tadi malam, wahai
Abu Hurairah?” Saya menjawab: “Orang kemarin datang kembali dan
mengambil harta zakat. Karena keluarganya sudah lama kelaparan, akhirnya
saya melepaskannya”. Mendengar itu, Rasulullah bersabda: “Dia telah
membohongi kamu dan nanti malam ia akan kembali untuk yang ketiga kalinya”. Malamnya ternyata orang itu kembali lagi dan seperti biasa dia mengambil
harta zakat yang sudah terkumpul di dalam gudang. Melihat itu, dia lalu saya
tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah.
Bukankah kamu kemarin berjanji tidak akan kembali lagi tapi mengapa kini
kembali juga?” Orang itu menjawab: “Ijinkanlah. Saya akan ajarkan kepada
kamu sebuah kalimat yang apabila kamu membacanya Allah akan selalu menjaga
kamu serta kamu tidak akan disentuh dan didekati oleh setan hingga pagi hari".
Saya merasa tertarik dengan ucapannya lalu saya menanyakan kalimat apa itu.
Dia menjawab: “Apabila kamu hendak tidur, jangan lupa membaca ayat Kursi,
maka Allah akan menjaga kamu dan kamu tidak akan didekati oleh setan
sehingga pagi tiba”. Para Sahabat Nabi saw. memang suka dengan amalan-
amalan. Keesokan harinya Rasulullah kembali menanyakan apa yang telah saya
lakukan tadi malam dan saya katakan: “Ya Rasulullah, dia mengajarkan saya
kalimat yang sangat bermanfaat dan berfaidah.” Rasulullah lalu bertanya
kembali: “Kalimat apa yang diajarkannya?” Saya menjawab, “Dia mengajarkan
ayat Kursi dari awal sampai akhir dan dia katakan bahwa kalau saya
membacanya sebelum tidur, maka Allah akan menjaga saya sampai pagi hari.”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Yang dia sampaikan itu
betul namun dia sudah berhasil mengelabui kamu dengan mengambil harta zakat.
Tahukah kamu siapa orang yang mendatangi kamu tiga malam itu?” Saya
menjawab: “Tidak, saya tidak tahu”. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
lalu bersabda: “Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan.”(HR. Al-Bukhari)
Dari Hadis ini, ada pelajaran menarik. Pertama, bahwa setan dapat
menjelma menjadi manusia. Kedua, dalam rangka mengecoh dan mencari korban,
setan dapat menjelma menjadi seorang ustaz atau ustazah dengan segala atribut
dan nasihat-nasihatnya. Di sinilah, banyak orang terkecoh dengan penampilan
setan. Apabila yang digoda seorang yang senang beribadah, setan tidak akan
menyuruhnya untuk bermain judi, mencuri, korupsi , dan sebagainya, tetapi, setan
menyerunya untuk melakukan perbuatan yang lahiriahnya adalah sebuah ibadah.
Ketika sebuah ibadah dilakukan tidak dalam rangka menjalankan perintah Allah
dan atau Rasul-Nya, apalagi dalam rangka memenuhi keinginan selera alias hawa
nafsu yang dibisik oleh setan, maka di sinilah ibadah itu bukan untuk Allah tetapi
untuk setan.
Untung, Abu Hurairah diberitahu Nabi saw. bahwa wiridan tersebut adalah
benar, sehingga ia megamalkannya bukan karena mengikuti perintah setan tapi
mengikuti perintah Nabi saw. Hadis ini juga memberikan peringatan kepada kita
agar hati-hati menghadapi rayuan setan karena boleh jadi setan betina tampil
dengan jilbab dan busana muslimah dan setan jantan tampil dengan berkalung
surban.***
24
SURBAN DAN JUBAH HARAM
Dalam kitab Sunan Ibn Majah, ada Hadis bahwa Rasulullah saw.
mengatakan:
تب ت ىبس ث ارا ب في ت ل أ ث، ث م اىتليا ت ذىث ي تب اهلل ث ىتبص
جتيا أ رة يف ادل ت . ش
)رواه اة اج(
“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan
memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar di api
neraka.” (HR. Ibnu Majah)
Menurut para ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari
pakaian yang dipakai oleh penduduk Negeri di mana pemakainya tinggal. Disebut
pakaian syuhrah (popularitas) karena pemakainya dengan pakaian tersebut ingin
mudah dikenal oleh orang-orang. Pakaian syuhrah adakalanya berbeda dari
pakaian umumnya penduduk suatu Negeri karena terlalu bagus atau berbeda
karena terlalu buruk. Ketika pakaian itu berbeda dari yang lain karena terlalu
bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari orang-orang pada umumnya.
Akibatnya, dia merasa berbeda dari yang lain sehingga kemudian ia merasa
bangga, sombong, ria, sum‟ah, dan lain sebagainya. Ketika pakaian itu berbeda
karena sangat lebih buruk dari pakaian orang-orang pada umumnya, maka
pemakainya ingin disebut sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan
lain sebagainya. Berdasarkan Hadis ini, para ulama sepakat bahwa pakaian
syuhrah adalah haram dikenakan.
Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan jubah, yang
di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah karena
masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti itu. Pada abad lalu, surban
dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi pakaian ulama. KH Ahmad Dahlan, KH
Hasyim Asy‟ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai
surban. Maka pada masa itu, surban sudah menjadi tradisi para ulama. Karenanya,
sah-sah saja, ulama memakai surban. Dasarnya adalah mengikuti tradisi (adat) dan
tradisi dapat menjadi hukum, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Memang, dalam Hadis yang sahih, Nabi saw. memakai surban karena
bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan surban. Maka, surban (penutup
kepala dengan dua sampai tiga ubel-ubel) adalah tradisi bangsa Arab pada saat itu.
Orang Islam dan orang musyrikin juga sama-sama memakai surban. Dalam Hadis
riwayat Imam Abu Dawud dan al-Tirmidzi, Nabi saw. berkata:
ىلع اىتلالنس ائ اىتػ كيت شت ت ال ا وبيت ا ةيت ق . فرت )رواه أة داود واىرتذي(
”Perbedaan antara surban kita dari surban orang musyrikin adalah
memakai kopiah lebih dahulu.” (HR. Imam Abu Dawud dan al-Tirmidzi)
Para ulama papan atas dari Saudi Arabia seperti, Mufti Besar Syekh Bin Baz
rahimahullah, Mufti Besar masa kini, Syekh Abdul Aziz Alu al-Syaikh, Syekh
Shaleh bin Muhammad al-„Utsaimin, dan lain-lain, semuanya sepakat bahwa
memakai surban bukan merupakan ibadah. Tidak sunah apalagi wajib, namun
hanya mengikuti tradisi bangsa Arab pada saat itu. Hal itu harena tidak ada satu
Hadis pun yang sahih yang menerangkan keutamaan memakai surban. Semua
Hadis tentang keutamaan memakai surban adalah Hadis-Hadis palsu. Menurut
para ulama itu, sunah Nabi saw. dalam berpakaian adalah kita berpakaian dengan
pakaian yang lazim dipakai oleh masyarakat di mana kita berada, kecuali apabila
kita menjadi tamu di sebuah Negeri, maka kita boleh memakai pakaian Negeri
kita sendiri, seperti orang Indonesia yang sedang beribadah haji di Makkah.
Melihat makna Hadis di atas, tampaknya bukan hanya pakaian syuhrah saja
yang dilarang oleh Nabi saw., tetapi juga penampilan syuhrah. Termasuk
berambut panjang bagi laki-laki dan memakai belangkon. Apabila masyarakat di
mana kita tinggal tidak memelihara rambut panjang dan tidak memakai
belangkon, maka berambut panjang dan memakai belangkon juga dilarang oleh
Rasulullah saw. Di antara kita terkadang karena ketidaktahuannya menganggap
pakaian yang dipakai adalah sebuah ibadah, sunah, dan mengikuti Nabi saw.
padahal pakaian seperti itu justru dilarang oleh Rasulullah saw.***
25
DAI BERBULU MUSANG
Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang, Prof. Dr. H. Ayyub
Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran nasional berujudul Dai
Berbulu Musang. Artikel ini dimaksudkan untuk menasehati dan mengkritisi para
dai yang perilaku kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia
sampaikan. Sebagai sebuah nasehat, semoga Allah swt telah memberikan pahala
kepada beliau. Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya justru
kian bermunculan, bahkan lebih parah daripada sekedar dai berbulu musang,
karena muncul oknum dai yang berani memungut imbalan bahkan pasang tarif
dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut dai walakedu (jual ayat kejar duit).
Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballigin, sebuah organisasi para
dai yang dipimpin oleh Shahibul Fadhiilah Bapak KH. Syukron Ma‟mun pada
tanggal 25-28 Juni 1996 dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-4, yang
dihadiri oleh sekitar 350 orang peserta yang terdiri dari para ulama dan dai seluruh
Indonesia merumuskan enam butir kode etik dakwah. Di antara kode-kode etik
dakwah itu, dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang menjadi
objek dakwah. Apa yang dirumuskan oleh Munas Ittihadul Muballigin itu
mendapat apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama ketika itu Bapak Dr. H.
Tarmizi Taher.
Kendati demikian, fenomena dai berbulu musang maupun dai yang
memungut imbalan tidaklah surut jumlahnya, bahkan belakangan jauh lebih parah,
karena berkembangnya dai-dai yang memasang tarif dalam berdakwah.
Kami sungguh sangat kenyang menerima pengaduan masyarakat tentang
kekecewaan mereka terhadap oknum-oknum dai yang memasang tarif dalam
berdakwah. Banyak masyarakat yang gagal untuk mendatangkan seorang dai
karena setelah tawar-menawar seperti layaknya berdagang sapi mereka tidak
mampu membayar tarif yang diminta oleh dai yang bersangkutan.
Masyarakat juga banyak yang bertanya kepada kami, apa hukumnya
memasang tarif dalam berdakwah dan memberikan uang sebesar itu kepada dai
bertarif. Dalam kajian fikih memang ada tiga pendapat yang berkembang:
pertama, pendapat yang mengharamkannya secara mutlak, baik ada perjanjian
sebelumnya maupun tidak. Pendapat ini memiliki dalil-dalil yang kuat, baik dari
al-Qur‟an maupun Hadis. Pendapat kedua yang membolehkan berdakwah dengan
memungut imbalan. Pendapat ini berlandaskan sebuah Hadis riwayat Imam
Bukhari di mana Rasulullah saw. mengatakan:
را نخاب جت أ ت غييت ت خذت
ا أ خق
. اهلل إن أ
)رواه الخاري( “Sesungguhnya yang paling berhak diambil upahnya adalah al-Qur‟an.”
(HR. Al-Bukhari)
Dalil ini memang kuat, namun penggunaan (Istidlal) Hadis ini untuk
membolehkan memungut imbalan dalam berdakwah sangat lemah, karena
berdasarkan Sabab Wurud Hadis ini, Hadis ini tidak berkaitan dengan dakwah
melainkan berkaitan dengan proses pengobatan orang yang sakit dengan cara
ruqyah (membacakan Surah al-Fatihah).
Sementara pendapat ketiga, dan inilah yang diambil oleh Munas ke-4
Ittihadul Muballigin tahun 1996 adalah pendapat yang mengatakan bahwa apabila
ada perjanjian sebelumnya, bahwa seorang dai akan menerima upah dalam
dakwahnya, maka hal itu tidak dibolehkan. Sedangkan apabila tidak ada
perjanjian apa-apa kemudian dai diberi uang saku maka hal itu dibolehkan.
Dakwah adalah sebuah kewajiban agama, seperti halnya salat dan puasa,
kendati ia tidak menjadi rukun Islam. Surah al-Baqarah ayat 159 mengancam
orang-orang yang tidak mau berdakwah, bahwa mereka akan dilaknat oleh Allah
swt. dan makhluk-makhluk-Nya yang melaknat.
داس يف اىت داه لي دا ةي دد ت بػت دى ت ات وال يي الت ا تزنلتا أ ن خ يكت ي هخداب إن ال
ولم ييتػغن اهلل أ الال . وييتػ
( 021)اللرة/ “Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan
dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati” (QS. Al-Baqarah:
129)
Maka, orang yang tidak mau berdakwah kecuali diberi imbalan sama artinya
dia tidak mau berdakwah. Fenomena memungut imbalan ini belakangan sungguh
sangat memprihatinkan karena banyak dai yang dalam dakwahnya memakai cara
berdagang sapi dengan tawar-menawar, per jam, per titik, dan sebagainya.
Sepanjang pengamatan kami, tarif termahal dalam berdakwah ini adalah
seratus juta rupiah satu kali ceramah (satu titik) dan yang paling murah adalah
sepuluh juta rupiah. Maka wajar saja apabila masyarakat mengeluh dan protes
terhadap fenomena pasang tarif ini, karena uang yang mereka kumpulkan adalah
uang sumbangan dari orang-orang miskin yang mengumpulkan dengan memeras
keringat tapi kemudian dirampok begitu saja oleh oknum dai berbulu musang itu.
Dai seyogianya adalah orang yang memecahkan masalah umat bukan orang yang
membuat masalah umat. Dai adalah orang yang meringankan beban umat bukan
orang yang membebani umat. Dai-dai yang berkeinginan cepat kaya lebih baik
berdagang sapi saja, karena terbukti banyak orang yang berdagang sapi
mendapatkan uang ratusan milyar rupiah, mobil pun banyak, dan istri pun
berderet-deret. Bersyukurlah dai yang dibuka aibnya oleh Allah swt. di dunia
karena ia masih punya kesempatan untuk bertaubat. Dan celakalah dai ketika
aibnya dibuka oleh Allah swt. di akhirat karena dia tidak punya kesempatan lagi
untuk bertaubat.***
26
DAI-DAI SESAT
Dalam Surat Yasin, ada kisah menarik yang berkaitan dengan masalah
dakwah. Dalam ayat 13 dan seterusnya, Allah swt. memerintahkan Nabi
Muhammad saw. untuk menceritakan sebuah kisah kepada kaum musyrikin
Makkah yang mendustakan Nabi saw. Kisah itu adalah perilaku orang-orang
dalam menyikapi para dai (utusan Allah). Disebutkan bahwa sebuah Negeri yang
menurut beberapa sumber disebut Negeri Anthakiyah didatangi oleh tiga orang
utusan Allah yang masing-masing bernama Shadiq, Shaduq, dan Syallom. Dalam
riwayat lain disebutkan para utusan itu bernama Sam‟un, Yohana, dan Bolus
(Paulus). Mereka memperkenalkan kepada warga Negeri Anthakiyah bahwa
mereka para dai yang diutus oleh Nabi Isa al-Masih as. untuk berdakwah kepada
warga Anthakiyah agar mereka hanya menyembah Allah swt. dan tidak
menyekutukan-Nya. Warga Anthakiyah saat itu dipimpin oleh raja yang bernama
Antikhos yang menyembah patung.
Warga Anthakiyah ternyata tidak merespon dakwah para dai itu. Mereka
menolak para dai itu bahkan mengatakan bahwa kamu semua adalah orang-orang
seperti kami, mana mungkin kamu mendapat wahyu dari Allah? Sekiranya kamu
adalah utusan-utusan Allah, niscaya kamu bukan manusia tapi malaikat. Mereka
bahkan mengatakan bahwa keberadaan para dai itu telah mencelakakan kehidupan
mereka. Mereka mengancam apabila para dai itu tidak menghentikan dakwahnya,
maka mereka akan melempari batu dan menyiksanya.
Melihat perilaku warga Anthakiyah yang tidak mau menerima ajakan
dakwah para dai itu, datanglah kemudian seseorang dari tempat yang jauh yang
bernama Habib al-Najjar. Ia berusaha untuk menolong para dai itu dari ancaman
penyiksaan dan pembunuhan warga Anthakiyah. Habib al-Najjar menasehati
kaumnya agar mengikuti ajakan (dakwah) para dai itu. Kemudian Habib
mengatakan:
خدون ت ت م را و جتت أ ئيك ت ال يصت . احتػا
(00)يس/ “Ikutilah orang-orang yang dalam berdakwah tidak meminta imbalan
karena mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah” (QS.
Yasin: 21)
Kisah Habib al-Najjar ini kemudian menjadi firman Allah karena disebutkan
di dalam Al-Quran. Ayat 21 Surah Yasin ini sangat tepat untuk dijadikan petunjuk
bagi kita dalam menyikapi perilaku sejumlah dai yang dalam dakwahnya
menyimpang dari tuntunan Islam. Menurut kajian ilmu Ushul Fiqh, teks Al-
Qur‟an seperti ini memiliki dua pengertian (dalalah), yaitu dalalah manthuq
(pengertian tekstual atau tersurat) dan dalalah mafhum (pengertian kontekstual
atau tersirat). Dalalah mafhum (tersirat) ada dua macam, mafhum muwafaqah dan
mafhum mukhalafah. Mafhum muwafaqah adalah pengertian tersirat yang sesuai
dengan pengertian tersurat. Sedangkan mafhum mukhalafah adalah pengertian
tersirat yang berlawanan dengan pengertian tersurat. Menurut para ahli Ushul
Fiqh, baik manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat) adalah hujjah (dalil)
dalam syari‟at Islam. Mafhum mukhalafah dari ayat di atas adalah Allah
memerintahkan kita agar tidak mengikuti para dai yang dalam berdakwah
meminta imbalan karena mereka adalah orang-orang sesat. Apabila mengikuti dai
yang dalam berdakwah meminta imbalan saja diharamkan oleh Allah melalui ayat
di atas, apalagi mengikuti dai yang dalam berdakwah memasang tarif.
Berdasarkan kaidah hukum Islam, apa yang haram diambil haram juga
diberikan, maka haram hukumnya memberikan imbalan kepada dai yang dalam
dakwahnya meminta imbalan. Bila demikian, maka pasang tarif dalam berdakwah
juga sangat diharamkan. Apabila dalam dakwahnya dai tidak meminta imbalan,
maka menurut mayoritas ulama, kita boleh memberikan imbalan dan dai boleh
menerimanya. Semoga Allah melindungi kita semuanya dari larangan-
laranganNya.***
27
KODE ETIK DAKWAH
Pada tahun 1996 Ittihadul Muballighin, Organisasi para mubalig yang
dipimpin oleh KH. Syukron Ma‟mun, menyelenggarakan Musyawarah Nasional
(Munas). Salah satu keputusan penting yang diambil dalam Munas itu adalah
merumuskan Kode Etik Dakwah. Keputusan ini diambil karena pada waktu itu
mulai muncul dai Walakedu (Jual Agama Kejar Duit). Rumusan kode etik itu
diharapkan dapat menjadi pedoman para dai atau mubalig dalam menjalankan
dakwahnya, sehingga mereka dapat mewarisi tugas para Nabi, bukan justru
mendapat laknat dari Allah swt. dalam berdakwah.
Sekurang-kurangya ada tujuh Kode Etik Dakwah, kode pertama, tidak
memisahkan antara perbuatan dan ucapan. Kode ini diambil dari al-Qur‟an Surah
al-Shaff ayat 2-3:
ػين ا ال تفت تللن ا ل آ ي ا ال حلت .ياأ ػين اهلل خا غتد نب ا ال تفت نت تللا
.أ
(2-0)الصف/
“Hai Orang-Orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal
yang kalian tidak melakukannya? Amat besar murka disisi Allah swt, karena
kalian mengatakan hal-hal yang tidak kalian kerjakan.”(QS. Al-Shaff: 2-3)
Kode pertama ini juga diambil dari perilaku Rasulullah saw. di mana secara
umum beliau tidak memerintahkan sesuatu kecuali beliau melakukannya. Kode
kedua, tidak melakukan toleransi agama. Toleransi antar umat beragama memang
sangat dianjurkan sebatas tidak menyangkut masalah akidah dan ibadah. Dalam
masalah keduniaan (muamalah), Islam sangat menganjurkan adanya toleransi.
Bahkan Nabi saw. banyak memberikan contoh tentang hal itu, sementara toleransi
dalam akidah dan ibadah dilarang dalam Islam. Hal itu berdasarkan Firman Allah
swt. dalam Surah al-Kafirun ayat 6:
ت ول دي ت ديك . ىك
(6)الكفرون/ “Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6)
Dalam Hadis riwayat Imam Ibn Hisyam juga disebutkan:
ت دحت يت ؤت ت وليت ت دحت ل يت ؤت ت ع ال ث تف أ تد ةنت غ . إن ح
)رواه اإلام اة شام( “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dari Kabilah Bani „Auf adalah satu
bangsa dengan umat Islam. Bagi orang-orang Yahudi, agama mereka dan bagi
orang-orang Islam, agama mereka.” (HR. Ibnu Hisyam)
Kode ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain. Ini diambil dari Surah
al-An‟am ayat 108.
ت دون غن يدت ي ث اهلل فيصتا اهلل وال تصتا ال ا ىكي أ نذلم زي غيت وا ةغيت غدت
ين ا كا حػت ت ة ت فينتيئ ت مرتجػ إل ربي ت ث ي . خ
( 021)األػام/ "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. Al-
An‟am: 108)
Kode keempat, tidak melakukan diskriminasi. Ketika Nabi saw. masih
berada di Makkah dan mengajarkan Islam kepada orang-orang miskin antara lain
Bilal al-Habsyi, Shuhaib al-Rumi, Salman al-Farisi, dan lain-lain, tiba-tiba datang
kepada Nabi saw. tokoh-tokoh bangsawan Quraisy yang juga hendak belajar Islam
dari beliau. Namun bangsawan Quraisy ini tidak mau berdampingan dengan
rakyat kecil. Mereka minta kepada Nabi saw. untuk mengusir Bilal dan kawan-
kawannya itu.
Nabi saw. kemudian menyetujui permintaan tersebut, namun akhirnya Allah
menurunkan ayat yang mengkritik perilaku Nabi saw. itu, yaitu Surah al-An‟am
ayat 52:
غن يدت ي رد ال ت وال تطت ت ت خصاة ا غييتم ت ةاىتغداة واىتػشي يريدون وجت ربي ال اىظ ت فخهن رد ء فخطت ت شت ت ت خصاةم غييت ا ء و .شت
(52)األػام/ “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di
pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. kamu tidak
memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun
tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang
menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-
orang yang zalim)” (QS. Al-An‟am:52)
Kode kelima, tidak memungut imbalan. Kode ini diambil antara lain dari al-
Qur‟an Surah Saba` ayat 47:
ك لتا شأ ري إال ىلع كوت جت
ت إنت أ ىك ر ف جت
ت أ يد اهلل ت ء ش ىلع كي شت . و
( 24)شتأ/ “Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk
kamu. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu."
(QS. Saba‟: 47)
Demikian pula perilaku para Nabi, termasuk Nabi Muhammad saw. dalam
berdakwah, mereka tidak pernah memungut imbalan, apalagi pasang tarif, tawar-
menawar, dan lain sebagainya.
Kode keenam, tidak berkawan dengan pelaku maksiat. Para dai yang
runtang-runtung, gandeng renceng dengan pelaku maksiat, mereka menjadi tidak
mampu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Akhirnya justru Allah
swt. melaknat mereka semua. Hal itulah yang telah terjadi atas kaum Bani Israil
seperti diceritakan dalam Surah al-Maidah ayat 78-79:
تا ا غص ذلم ة ي مرت ائيو ىلع لصان داوود وغيس اةت ت ةن إست كفروا ي ال ىػخدون ) ا ك 87وكا حػت ه لئتس تهر فػي ت ن خ ت ػين ( كا ال يتا . ا حفت
( 41-41)املائدة/ “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan
Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar
yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka
perbuat itu.” (QS. Al-Ma‟idah: 78-79)
Kode ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui. Kode ini
diambil dari Surah al-Isra ayat 36:
ا ىيتس ف ئال وال تلت مصت ولم كن خترص واىتفؤاد ك أ ع والت ت إن الص غيت . لم ة
( 26)اإلسراء:
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al-Isra: 36)
Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik Dakwah itu telah
berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu menjadi lenyap? Tampaknya
tidak demikian, justru semakin mendekat ke Hari Kiamat, fenomena munculnya
dai Walakedu semakin ramai. Bahkan sering dibarengi dengan apa yang disebut
dengan management walakedu.***
28
DAKWAH DAN KEARIFAN LOKAL
Bulan Agusuts 1982, Almarhum Bapak Mr. (Sarjana Hukum) H.
Muhammad Roem memberikan ceramah di hadapan anggota Young Muslim
Association in Europe (YMAE) yang akrab di kalangan masyarakat Indonesia
dengan sebutan PPME (Persatuan Pemuda Muslim Eropa) di Kediaman Bapak H.
Hambali Ma‟sum di Den Haag, Negeri Belanda. Pak Roem mengatakan bahwa
Buya Hamka pernah ditanya oleh Dr. Syauqi Futaki (Ketua Japan Islamic
Congress), “Apa penyebab orang Indonesia khususnya orang Jawa begitu mudah
masuk Islam dengan serentak dalam jumlah yang banyak tanpa ada konflik sedikit
pun?” Menurut Pak Roem, Buya Hamka saat itu menjawab, “Itulah yang sedang
saya pelajari.” Buya Hamka rahimahullah wafat pada tahun 1984. Semoga
sebelum itu, beliau sudah menemukan jawaban yang dipelajarinya tadi.
Para ahli berbeda pendapat tentang kapan Islam masuk ke Indonesia,
khususnya di Tanah Jawa. Sebagian berpendapat bahwa Islam sudah masuk di
Kepulauan Indonesia pada abad pertama Hijriyah (sekitar abad ke-7 atau 8
Masehi). Sebagian berpendapat Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14
Masehi. Kendati begitu, para ahli sependapat bahwa Islam masuk ke Indonesia
tidak melalui cara-cara kekerasan dan lain sebagainya, melainkan dengan cara
yang sangat damai. Para ahli juga tampaknya sependapat bahwa pendekatan
dakwah yang dilakukan oleh para dai yang datang dari Jazirah Arab khususnya
dari Hadhramaut adalah pendekatan kultural. Sehingga masyarakat khususnya di
tanah Jawa tidak merasa terusik sedikitpun dalam masalah sosial budaya,
sementara mereka sudah menjadi orang Islam.
Apabila kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan masyarakat
Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat di atas dapat dibenarkan. Peninggalan-
peninggalan Islam yang merupakan warisan para dai yang sering disebut dengan
para wali sangat kental sekali dengan budaya-budaya lokal alias budaya Jawa.
Kendati mereka banyak berasal dari Negeri Arab, namun mereka tidak serta merta
mengubah secara radikal budaya lokal dengan budaya Arab. Mereka justru
membaur dan meleburkan diri dengan budaya lokal alias budaya Jawa. Arsitektur
masjid-masjid yang mereka tinggalkan, semisal Masjid Agung Sunan Ampel
Surabaya, Mesjid Agung Demak, Mesjid Menara Kudus, dan lain-lain
menunjukkan bahwa para dai itu sangat arif dengan budaya-budaya lokal sehingga
mereka tidak menggantinya dengan budaya Arab. Arsitek masjid-masjid tersebut
sampai sekarang menjadi saksi sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam
berdakwah sehingga bangunan-bangunan tersebut masih kental dengan budaya
Jawa. Bahkan Masjid Menara Kudus, juga kental dengan arsitektur Hindu.
Bagi para dai, bangunan adalah bukan akidah dan bukan ibadah, melainkan
bagian dari muamalah. Maka sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam,
budaya-budauya tersebut tetap mereka lestarikan. Hasilnya, orang Jawa tidak
merasa kaget untuk memasuki masjid karena mereka merasa masuk ke rumah adat
mereka sendiri. Menurut catatan para ahli, para dai di samping melestarikan
budaya fisik seperti arsitektur Jawa dalam bangunan masjid, mereka juga
melakukan pendekatan kultural dalam menyampaikan pesan-pesan keislaman
kepada masyakat Jawa.
Dr. Purwadi M. Hum, Rektor Institut Kesenian Jawa di Jogjakarta, dalam
bukunya Dakwah Sunan Kalijaga, menyebutkan bahwa para wali khususnya
Kanjeng Sunan Kalijaga dalam mentransformasikan ajaran-ajaran Islam, beliau
menciptakan tembang-tembang (lagu-lagu) seperti tembang Dhandang Gulo dan
lain sebagainya. Dalam sastra Jawa dikenal ada Tembang Mocopat yaitu
kumpulan beberapa tembang yang mencerminkan nasihat perjalanan hidup
manusia. Tembang-tembang itu antara lain adalah Mijil, yang mengisahkan
tentang kelahiran seorang manusia ke dunia, kemudian Sinom yang menceritakan
tentang manusia yang muda, kemudian Asmoro Dono yang menceritakan tentang
manusia yang sudah menginjak remaja yang sudah mencintai lawan jenisnya,
Megatruh (putus nyawa) yang menceritakan tentang kematian manusia, Pucung
alias menjadi pocong yang dibungkus kain kafan dan masuk liang lahat, dan lain-
lain. Itu semua merupakan pesan-pesan moral ajaran Islam yang dikemas dengan
budaya lokal.
Di bidang sosial, khususnya di Kawasan Pesisir Utara Jawa Tengah, sampai
saat ini masih banyak masyarakat yang tidak mengonsumsi daging sapi. Di daerah
Pekalongan misalnya, saaat ini kita akan melihat apa yang namanya bakso kerbau,
bukan bakso sapi. Bahkan sebagai bagian dari masyarakat Pesisir Utara Jawa
Tengah, kami mengonsumsi daging sapi setelah kami tinggal di Jawa Timur.
Konon, ketika Islam masuk di Kawasan Utara Jawa Tengah, masyarakat yang saat
itu masih beragama Hindu sangat keberatan apabila orang Islam membunuh dan
mengonsumsi hewan sapi yang mereka sucikan. Maka dalam rangka dakwah, para
dai melakukan pendekatan sosial dengan tidak mengonsumsi daging sapi. Inilah
bentuk-bentuk kearifan lokal yang dilakukan oleh para dai dalam menjalankan
dakwah pada saat itu. Dan hasilnya adalah seperti yang dipertanyakan oleh Dr.
Syauqi Futaki di atas.
Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan kearifan lokal
seperti tersebut di atas. Dalam masalah sosial budaya, tampak ada sebuah
pemaksaan harus bercorak Arab. Pakaian harus dengan jubah dan ubel-ubel
surban yang membungkus kepala. Bangunan masjid juga mesti berbentuk kubah,
kendati sebenarnya kubah bukan dari Arab melainkan dari gereja Byzantium. Di
Bali, Kalimantan Utara, dan lain-lain, kami sempat menanyakan ketika warga
setempat membangun masjid, “Mengapa ornamen Bali dan Dayak tidak Anda
masukkan dalam masjid yang sedang Anda bangun?” Kami mengatakan sekiranya
masjid di Bali memasukkan ornamen-ornamen Bali, dan masjid di Kalimantan
Utara memasukkan ornamen-ornamen Dayak, maka orang Bali dan orang Dayak
akan mudah dan tidak merasa terkejut saat memasuki masjid karena mereka
merasa memasuki rumah adat mereka sendiri.***
29
KETELADANAN BUYA HAMKA
Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana Menteri Malaysia
menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan murid Buya Hamka yang
dapat menceramahkan secara akademik pemikiran moderat almarhum Buya
Hamka. Ceramah itu akan disampaikan dalam pertemuan berkala Institut
Wasatiyyah Malaysia (IWM) yang dijadwalkan pada bulan Juni 2014 mendatang.
Dan melalui bantuan seorang kawan, akhirnya kami mendapatkan murid Buya
Hamka yang dimaksud.
Kami kemudian ternostalgia dengan kiprah keislaman Buya Hamka yang
patut diteladani oleh tokoh dan umat Islam Indonesia. Sekurang-kurangnya, ada
dua sikap Buya Hamka yang patut diteladani. Pertama, pada tahun 1982, ketika
Buya Hamka masih menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Pusat. Waktu itu MUI mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam Indonesia
tidak boleh menghadiri perayaan Natal bersama. Fatwa ini menimbulkan polemik
antara pro dan kontra. Konon, Buya Hamka didesak untuk mencabut fatwa itu
atau mengundurkan diri. Buya Hamka akhirnya justru memilih untuk
mengundurkan diri dari jabatannya Sebagai Ketua Umum MUI Pusat. Sikap dan
perilaku Buya Hamka seperti ini barangakali sulit ditemukan di Negeri kita ini.
Umumnya, orang justru mempertahankan jabatannya mati-matian. Seandainya ada
tokoh yang mundur dari jabatannya, itu pun karena dia berambisi untuk
mendapatkan jabatan lain yang lebih tinggi tingkatannya. Buya Hamka bukanlah
tipologi seorang yang disebut ulama “ulama” alias “usia lanjut makin ambisi”,
namun beliau lebih berprinsip pada penegakan yang hak sesuai tuntutan al-Qur‟an
dan Hadis. Beliau lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya dan berpegang
kepada prinsip al-Qur‟an dan Hadis.
Kedua, pada akhir tahun 1970-an, Buya Hamka juga melakukan sebuah
kejutan besar yang dinilai bersebrangan dengan kelompoknya. Selama itu, dalam
menetapkan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal, ada kelompok yang
bersikukuh menggunakan metode hisab. Pada waktu itu, tampaknya Buya Hamka
juga mengikuti metode kelompok tersebut. Namun, setelah mengetahui petunjuk
Nabi saw. bahwa dalam menetapkan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal
haruslah menggunakan rukyat (melihat bulan), Buya Hamka kemudian
mengeluarkan pernyataan yang sangat mengejutkan di mana beliau berkata, “Saya
kembali ke rukyat.” Pernyataan Buya Hamka ini, juga menimbulkan kegoncangan
di kalangan umat Islam Indonesia. Tidak sedikit orang yang mencemoohkan,
melecehkan, dan mengolok-olokkan Buya Hamka karena sikap dan perilakunya
itu. Namun Buya Hamka tetap memegang prinsip rukyat itu sampai beliau wafat
pada tahun 1984. Buya Hamka tidak merasa bahwa dengan sikapnya untuk
kembali ke rukyat itu gengsinya akan jatuh, justru dengan sikap itulah Buya
Hamka merasa yakin atas kebenaran yang dipegangnya. Bandingkan dengan
ustaz-ustaz bawahan yang apabila memiliki pendapat, mereka pertahankan
matian-matian pendapat itu kendati bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw.
Ustaz-ustaz bawahan lebih mempertahankan gengsinya karena arogansi pribadi
atau kelompok daripada kembali mengikuti petunjuk Nabi saw.
Kami sungguh merasa terharu, ketika Buya Hamka telah meninggalkan kita
30 tahun yang yang lalu, Negeri Jiran Malaysia mencari murid Buya Hamka yang
dapat memaparkan pemikiran moderat Buya Hamka dalam Islam. Kami teringat
dengan sebuah pepatah yang menyatakan, “Seorang Nabi tidak dihormati di
Negerinya sendiri.” Betapapun, tokoh dan umat Islam Indonesia lebih berhak
untuk meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka, kendati kita tidak dapat
melarang tokoh dan umat Islam di Malaysia dan di Negara lain juga akan
meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka.
Semoga Allah swt. menerima amal ibadah Buya Hamka, mengampuni
dosa-dosanya, dan menjadikan tokoh dan umat Islam Indonesia meneladani sikap
dan perilakunya.***
30
MEMBERDAYAKAN IMAM MASJID
Sekurang-kurangnya, ada dua perhelatan yang berkaitan dengan imam
masjid yang diselenggarakan pada tahun 2013. Pertama, silaturahmi dan
konferensi imam masjid se-Indonesia yang diselenggarakan pada 27-29 Juni 2013
di Batam, Kepulauan Riau. Acara yang disponsori oleh Gubernur Kepulauan Riau
dan dibuka oleh Menteri Agama Republik Indonesia ini, melahirkan sebuah
organisasi nasional imam masjid yang bernama IPIM (Ikatan Persaudaraan Imam
Masjid). Acara ini dihadiri oleh kurang lebih 250 orang mewakili imam-imam
masjid seluruh Indonesia. Perhelatan imam masjid yang kedua adalah konferensi
imam masjid se-Dunia yang diselenggarakan pada 2-6 Desember 2013 di
Pekanbaru, Riau, yang disponsori oleh Gubernur Provinsi Riau dan dibuka oleh
Menteri Agama Republik Indonesia.
Konferensi imam masjid yang pertama se-Dunia ini kemudian melahirkan
organisasi imam masjid internasional yang disebut al-Majlis al-„Alami li „Aimmat
al-Masajid atau ICIM (International Council of Imam Masjid). Apabila IPIM
berkantor pusat di Jakarta, maka ICIM berkantor pusat di Pekanbaru, Provinsi
Riau. Deklarasi pembentukan ICIM yang tertuang dalam Piagam Pekanbaru
ditandantangani oleh wakil-wakil dari 12 Negara peserta, yaitu Malaysia, Kuwait,
Palestina, Perancis, Irak, Sinegal, Singapura, Afrika Selatan, Tunisia, Brunei
Darussalam, Pakistan, dan Indonesia. Sebagai ketua ICIM terpilih wakil dari
Kuwait, sementara Indonesia diamanati menjadi Sekretaris Jenderal. Beberapa
Negara yang siap hadir namun berhalangan adalah Mesir, Rusia, Jepang, dan
Australia.
Ada kesepakatan dari para peserta maupun para narasumber, baik dalam
konferensi IPIM maupun konferensi ICIM, semuanya bersepakat bahwa imam
masjid memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis karena ia selalu
berhadapan langsung dengan para jamaah minimal lima kali dalam satu sehari.
Peran dan fungsi ini dapat dimanfaatkan untuk mentrasformasi ajaran Islam yang
merupakan rahmat bagi semua penghuni alam kepada para jamaah masjid. Di
banyak Negara, peran imam masjid juga lebih dominan karena ia tidak hanya
mengimami salat berjamah tetapi juga menjadi khatib, baik untuk Salat Jumat,
Hari Raya, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, konferensi, baik IPIM maupun
ICIM, menyepakati untuk meningkatkan kualitas sumber daya imam masjid
sehingga imam masjid tidak menjadi sebatas seorang tukang yang menjalankan
tugas menjadi imam, tetapi juga menjadi pembina umat sesuai dengan tuntunan
ajaran Islam. Maka imam masjid haruslah seorang yang memiliki kreatifitas dan
inovatif dalam membina umat. Imam masjid juga bukan sebatas memimpin salat
berjamaah, tetapi juga memimpin masyarakat. Dalam konteks inilah beberapa
Negara, seperti Saudi Arabia misalnya, imam masjid menjadi sebuah icon
pemimpin umat, sebut saja misalnya imam-imam Masjid al-Haram di Makkah dan
imam Masjid Nabawi di Madinah. Karenanya, imam masjid tidak hanya seorang
yang hafal al-Qur‟an, memiliki kemampuan membaca al-Qur‟an dan vokal yang
memadai, namun juga memiliki kapasitas keilmuan untuk menjawab persoalan-
persoalan umat.
Di sisi lain, peran yang demikian penting bagi imam, tentu tidak dapat
terlaksana secara maksimal manakala imam harus juga sibuk memikirkan asap
dapur. Di sejumlah Negara seperti Kuwait, Saudi Arabia, Turki ,dan lain-lain,
imam masjid menjadi tanggung jawab Negara. Ia diangkat oleh Negara dan
mendapatkan jaminan kesejahteraan dari Negara. Bahkan, Imam Masjid al-
Haram misalnya di Saudi Arabia, memiliki pengawal dan ajudan seperti layaknya
seorang pejabat tinggi Negara. Sementara di beberapa Negara, termasuk
Indonesia, imam masjid belum sampai kepada level itu. Karenanya, dalam
konferensi pertama IPIM kemarin, muncul wacana bahwa seyogianya imam
masjid diangkat oleh pejabat tinggi Negara. Untuk mesjid Negara, imam masjid
diangkat oleh Presiden; untuk masjid raya (tingkat provinsi), imam masjid
diangkat oleh Gubernur; untuk masjid agung (tingkat kabupaten/kota), imam
masjid diangkat oleh Bupati/Walikota; untuk masjid jami‟ (tingkat kecamatan),
imam masjid diangkat oleh Camat; dan untuk masjid (tingkat desa), imam masjid
diangkat oleh Kepala Desa.
Apabila imam memiliki kapasitas ilmiah yang memadai, maka diharapkan
ia dapat mencerahkan umat, melalui transformasi ajaran Islam sesuai tuntunan
Nabi saw. sehingga dengan demikian imam memiliki peran yang sangat penting
dalam mencegah munculnya paham-paham radikalisme, apatisme, liberalisme,
dan paham-paham sesat lainnya.***
Recommended