20
www.futurumcorfinan.com Page 1 25 % Rule: Masih Relevankah dalam Penentuan Royalti? Pengantar Ric Richardson, mungkin anda kurang familiar dengan nama ini. Namun nama ini sempat mencuat di tahun 2009 ketika gugatan yang ia lakukan dikabulkan oleh pengadilan. Tidak tanggung-tanggung kompensasi atas gugatan yang ia dapat adalah $ 388 juta. Kasus ini sendiri melibatkan Uniloc (perusahaan yang didirikan oleh Ric Richardson) dan perusahaan IT raksasa Microsoft. Uniloc menggugat Microsoft untuk membayar royalti atas penggunaan teknologi dari Uniloc. Sayangnya pada tahun 2011, pengadilan membatalkan keputusan di tahun 2009 dan menolak untuk menyetujui pembayaran royalti dengan alasan metode perhitungan yang dipakai oleh Uniloc tidak dapat diterima. Pengukuran nilai royalti dari penggunaan suatu hak kekayaan intelektual merupakan hal yang kompleks dan sampai saat ini belum ada penggunaan metode standar yang disetujui oleh semua pihak. Dalam perkembangannya terdapat beberapa metode yang bisa dipakai diantaranya adalah Discounted Cash Flow, kapitalisasi pendapatan, Return on Investment, Muhammad Putrawal DILARANG MENG-COPY, MENYALIN, ATAU MENDISTRIBUSIKAN SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS DARI PENULIS Untuk pertanyaan atau komentar bisa diposting melalui website www.futurumcorfinan.com

25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 1

25 % Rule:

Masih Relevankah dalam Penentuan Royalti?

Pengantar

Ric Richardson, mungkin anda kurang familiar dengan nama ini. Namun nama ini sempat

mencuat di tahun 2009 ketika gugatan yang ia lakukan dikabulkan oleh pengadilan. Tidak

tanggung-tanggung kompensasi atas gugatan yang ia dapat adalah $ 388 juta. Kasus ini sendiri

melibatkan Uniloc (perusahaan yang didirikan oleh Ric Richardson) dan perusahaan IT raksasa

Microsoft. Uniloc menggugat Microsoft untuk membayar royalti atas penggunaan teknologi dari

Uniloc. Sayangnya pada tahun 2011, pengadilan membatalkan keputusan di tahun 2009 dan

menolak untuk menyetujui pembayaran royalti dengan alasan metode perhitungan yang dipakai

oleh Uniloc tidak dapat diterima.

Pengukuran nilai royalti dari penggunaan suatu hak kekayaan intelektual merupakan hal yang

kompleks dan sampai saat ini belum ada penggunaan metode standar yang disetujui oleh

semua pihak. Dalam perkembangannya terdapat beberapa metode yang bisa dipakai

diantaranya adalah Discounted Cash Flow, kapitalisasi pendapatan, Return on Investment,

Muhammad Putrawal

DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,

ATAU MENDISTRIBUSIKAN

SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN

INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS

DARI PENULIS

Untuk pertanyaan atau komentar bisa

diposting melalui website

www.futurumcorfinan.com

Page 2: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 2

simulasi Monte Carlo, dan juga modifikasi dari pendekatan Black-Scholes. Selain metode ini

sebenarnya ada satu metode lagi yang cukup populer dan sering digunakan sebagai acuan

dalam melakukan penilaian hak kekayaan intelektual, metode ini dikenal dengan nama 25%

rule. Metode ini cukup sederhana dan sudah digunakan sejak tahun 70an dan masih terus

digunakan sampai sekarang. Richard Razgaitis menyebutnya sebagai “The most famous

heuristic, or rule of thumb” untuk menilai hak kekayaan intelektual1.

Metode 25% rule menyarankan bahwa pemakai paten (licensee) membayar tarif royalti setara

25% dari yang ekspetasi laba yang diharapkan untuk produk yang memakai manfaat paten

tersebut. 25% Rule telah digunakan terutama dalam menilai paten, aturan ini juga berguna (dan

diterapkan) dalam menilai hak cipta, merek dagang, rahasia dagang, dan skill/pengetahuan

teknis (technical know-how). Aturan ini sudah umum digunakan sejak beberapa dekade lalu.

Waktu terus berjalan dan kini bisnis mulai mengalami perubahan. Mulai muncul pertanyaan

apakah aturan ini masih berlaku? Apakah aturan ini masih mempunyai pengaruh yang kuat dan

relevan untuk digunakan sebagai dasar penentuan tarif royalti?

Terdapat beberapa pihak yang pro dan kontra terhadap penerapan aturan ini. Mulai muncul

beberapa kasus dimana terjadi penolakan penggunaan 25% rule sebagai dasar perhitungan

royalti. Salah satu kasus yang paling mencuat adalah keputusan pengadilan sengketa antara

Uniloc U.S.A., Inc. versus Microsoft Corp di tahun 2011. Dalam kasus ini, pengadilan setempat

memutuskan untuk tidak menerima metode 25% rule sebagai dasar dari perhitungan royalti

paten yang harus dibayarkan. Setelah kasus ini mulai muncul perdebatan bagaimana

pembayaran royalti yang wajar dan apakah 25 % rule ini masih bisa dipakai. Tulisan ini akan

membahas apa itu sebenarnya 25 % rule, bagaimana aturan ini diterapkan serta perdebatan

apakah aturan ini masih layak untuk diterapkan.

Sejarah 25 % Rule

Menurut beberapa sumber 25% rule secara resmi dikembangkan sejak beberapa dekade yang

lalu oleh Robert Goldscheider. Pada tahun 1950an Goldscheider, melakukan beberapa

penelitian empiris terhadap salah satu kliennya, anak perusahaan Amerika yang beroperasi di

Swiss. Perusahaan ini memiliki 18 lisensi eksklusif yang berlaku di seluruh dunia dengan masa

berlaku lisensi 3 tahun plus opsi untuk dapat diperpanjang. Pada penelitian ini ditemukan

bahwa perusahaan pemakai (licensee) menghasilkan laba sekitar 20% dari penjualan, dan

1 Razgaitis, Early-Stage Technologies, p. 96.

Page 3: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 3

mereka membayar royalti kepada pemegang lisensi (licensor) sebesar 5% dari penjualan.

Dengan demikian, tingkat royalti yang dibayarkan merupakan 25% dari laba produk berlisensi

tersebut2.

Goldscheider pertama kali menulis metode ini pada tahun 1971.3 Walaupun dia juga

menyebutkan bahwa metode seperti ini sudah ada sebelumnya.4 Misalnya, pada tahun 1958,

Albert S. Davis seorang konsultan untuk Research Corporation, perusahaan yang mempelopori

pemberian lisensi untuk penemuan-penemuan teknologi yang dihasilkan oleh Universitas.

Albert S. Davis menulis: "Jika paten melindungi licensee dari kompetisi dan digunakan secara

valid, royalti yang diberikan harus mewakili sekitar 25% dari laba yang diharapkan.5

Bentuk metode yang sama juga muncul pada tahun 1938, ketika pengadilan the Sixth Circuit

Court of Appeals sedang menghadapi masalah dalam penentuan royalti yang wajar. Dalam

pengadilan tersebut ada pernyataan dari saksi ahli yang menyatakan bahwa "hak royalti yang

diberikan kepada penemu harus merepresentasikan proporsi tertentu dari laba yang dibuat oleh

produsen. Porsi untuk penemu mulai dari 10% hingga 30 % dari laba bersih produk tersebut.6

Pemikiran yang mendasari munculnya metode ini adalah bahwa licensor dan licensee harus

melakukan pembagian atas laba yang dihasilkan oleh produk yang memakai teknologi yang

dipatenkan. Ada asumsi adalah bahwa licensee berhak atas mayoritas terbesar dari pembagian

(misalnya, 75%) dari laba karena melakukan pengembangan awal, pengembangan lanjutan,

pemasaran produk, kontribusi teknologi / kekayaan intelektual pendukung, menanggung beban

operasional, dan menganggung risiko komersialisasi.7

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah atas apa tarif royalti ini dibebankan? Dibebankan

terhadap laba yang mana? Terdapat beberapa hal yang dapat diperhatikan:

2 Robert Goldscheider, Technology Management: Law/Tactics/Forms (New York: Clark Boardman, 1991),

section 10.04.

3 Robert Goldscheider and James T. Marshall, “The Art of Licensing—From the Consultant’s Point of View,”

The Law and Business of Licensing 2 (1980), p. 645.

4 Goldscheider, Technology Management.

5 Albert S. Davis, Jr., “Basic Factors to Be Considered in Fixing Royalties,” Patent Licensing, Practicing Law

Institute (1958).

6 Horvath v. McCord Radiator and Mfg. Co. et al., 100 F.2d 326, 335 (6th Cir. 1938).

7 Robert Goldscheider, John Jarosz, and Carla Mulhern. Use of The 25 PerCent Rule in Valuing Intellectual Property

(2002). Page 1

Page 4: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 4

Laba yang diperhitungkan adalah laba pihak licensee8, hal ini wajar mengingat pihak

licensee-lah yang akan menggunakan hak kekayaan intelektual. Nilai dari hak kekayaan

intelektual itu sendiri sebagian besar akan ditentukan oleh ketentuan khusus untuk

penggunanya (contohnya infrastruktur organisasional).9 Hak kekayaan intelektual seperti

halnya aset yang lain akan bermakna ketika berhasil menimbulkan manfaat saat

penggunaannya.10 Penggunaan hak kekayaan intelektual sendiri bertujuan untuk

mendapatkan manfaat di masa depan sehingga perhitungan akan fokus pada laba yang

diharapkan di masa depan untuk itu biaya yang berhubungan dengan masa lalu atau

sunk cost seharusnya diabaikan dalam perhitungan.11

Laba yang dimaksud laba disini adalah laba jangka panjang.12 Penggunaan dari suatu

lisensi bukan hanya berdampak untuk jangka waktu yang singkat saja namun juga

berpengaruh dalam jangka panjang. Jika analis hanya fokus pada periode yang pendek,

misalnya periode satu bulan atau satu tahun biasanya tidak akan merefleksikan manfaat

8 Dalam kasus penentuan royalti Standard Manufacturing Co., Inc dan DBP, Ltd v. United States, masing-masing ahli

dari kedua belah pihak fokus pada tingkat laba pengguna paten. Dalam kasus ini pengadilan mengambil

pengecualian dengan memakai laba dari pihak terdakwa, pengadilan memberikan pernyataan “bahwa keuntungan

pihak terdakwa lebih realistis dan dapat diandalkan dalam menghitung keuntungan yang diperoleh untuk [penggugat]

mengingat sebagian besar laba yang dihasilkan hasil dari penjualan produk yang sedang dipermasalahkan." Standar

Manufacturing Co, Inc. dan DBP, Ltd v. Amerika Serikat, 42 Fed. Cir. 748, 767 (1999). Pengadilan mencatat bahwa

berbagai pengadilan federal dengan kasus serupa mengambil pendekatan yang sama, mengutip Mahurkar v. CR

Bard., Inc, Davol Inc, dan Bard Access System, Inc., 79 F.3d 1572, 1580 (Fed. Cir. 1996) (pengadilan distrik tidak

mempermasalahkan dalam perhitungan porsi royalti dengan menggunakan laba dari produk yang sedang

dipermasalahkan); TWM Manufacturing Co, Inc v Dura Corp dan Kidde, Inc., 789 F. 2d 895, 899 (Fed Cir 1986..)

(Pengadilan menegaskan perhitungan kerugian berdasarkan keuntungan dari hak paten yang digunakan ).; Trans-

World Manufacturing Corp v. Al Nyman & Sons, Inc., dan Al-Site Corporation, 750 F. 2d 1552, 1568 (Diantara faktor-

faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan tarif royalti yang wajar adalah keuntungan yang diharapkan dari

penggunaan hak kekayaan intelektual dan bukti/fakta laba aktual yang sudah didapatkan dari paten yang

dipermasalahkan).

9 Baruch Lev, “Rethinking Accounting,” Financial Executive Online (March/April 2002), www.fei.org/

maggable/articles/3-4-2002.coverstory.cfm.

10 Dalam keadaan tertentu, laba dari licensor bisa dijadikan sebagai acuan.Artinya, keuntungan tersebut

mencerminkan keseriusan pihak tersebut dalam mengembangkan lisensi. Keuntungan tersebut juga dapat berfungsi

sebagai alternatif untuk mencari laba yang hilang atau lisensi yang tidak diketahui keuntungannya.

11 Richard Brealey and Stewart C. Myers, Principles of Corporate Finance, sixth ed. (New York: McGraw-Hill,

2000), p. 123.

12 Razgaitis, Early-Stage Technologies.

Page 5: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 5

masa berkelanjutan yang akan dihasilkan oleh penggunaan hak kekayaan intelektual.

Selain itu beberapa perusahaan baru ataupun produk baru akan membutuhkan waktu

untuk mencapai tingkat operasional yang stabil dan efisiensi. Untuk itu, dalam rangka

mengevaluasi economic return dari suatu produk secara benar, terkadang investasi di

muka perlu untuk diamortisasi selama umur ekonomis produk (bukan hanya

ditempatkan di tahun awal nya).

Laba yang dipakai adalah “Fully loaded”, laba ini muncul setelah mempertimbangkan

bahwa faktanya terdapat biaya-biaya di luar biaya produksi yang masih perlu

dikeluarkan untuk mendukung aktivitas produk, meskipun biaya ini terkadang tidak bisa

dihubungkan langsung dengan volume produksi. Bagaimanapun biaya ini muncul

berkaitan dengan kepentingan terhadap produk yang dihasilkan. Kegagalan untuk

memperhitungkan biaya operasional ini dapat menyebabkan tingkat perhitungan

pengembalian produk yang terkesan terlalu tinggi.13

Dalam akuntasi terdapat beberapa macam istilah laba yang dikenal. Salah satunya adalah laba

kotor, laba kotor merupakan selisih antara pendapatan dan biaya produksi. Namun

bagaimanapun laba kotor tidak memperhitungkan semua biaya operasional yang berhubungan

dengan aktivitas setelah produksi. Biaya tersebut antara lain meliputi biaya pemasaran dan

penjualan, biaya umum dan administrasi, serta biaya penelitian dan pengembangan.

Bagaimanapun biaya ini terkait dengan produk yang akan dijual, untuk itu biaya ini tetap harus

diperhitungkan.

Ilustrasi Penggunaan 25% Rule

Hak kekayaan intelektual seperti halnya aset lain, dapat (dan) dinilai dengan menggunakan tiga

pendekatan, yaitu income approach, market approach, dan cost approach.14 Income approach

berfokus pada pengembalian yang dihasilkan oleh licensee karena manfaat hak kekayaan

13

Robert Goldscheider, John Jarosz, and Carla Mulhern. Use of The 25 PerCent Rule in Valuing Intellectual

Property(2002). Page 3

14 Shannon P. Pratt et al., Valuing a Business: The Analysis and Appraisal of Closely Held Companies, Third ed.

(New York: McGraw-Hill, 1996), pp. 149–285; Shannon P. Pratt et al., Valuing Small Businesses and Professional

Practices, Second ed. (New York: McGraw-Hill, 1993), pp. 507–524; Smith and Parr, Valuation of Intellectual

Property and Intangible Assets, pp. 127–136; Reilly and Schweihs, Valuing Intangible Assets, pp. 118–203.

Page 6: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 6

intelektual yang dipakai. Market approach berfokus pada nilai market dari transfer teknologi

yang dilakukan. Cost approach berfokus pada kemampuan (dan biaya) yang diperlukan untuk

mengembangkan alternatif aset yang bertujuan untuk menghasilkan manfaat yang sama bagi

perusahaan (efisiensi).

25% rule merupakan bentuk dari income approach. Penggunaan metode ini sangat berguna

dalam kondisi hak kekayaan intelektual yang dipakai memberikan porsi yang signifikan dalam

suatu produk dan (atau) ketika manfaat tambahan dari hak kekayaan intelektual itu sulit untuk

diukur.15

Manfaat penggunaan hak kekayaan intelektual seringkali dikaitkan dengan peningkatan

pendapatan ataupun pengurangan biaya yang ditimbulkan oleh pemakaian suatu hak kekayaan

intelektual.16 25% Rule dapat (dan) diterapkan ketika pihak licensee melaporkan pendapatan

per lini produk dan data laba operasi yang dimunculkan sudah termasuk hak kekayaan

intelektual. Perlu diperhatikan bahwa bukan berarti yang menjadi satu-satunya penggerak

dalam penentuan value produk tersebut adalah karena pemanfaatan hak kekayaan intelektual

(Bahkan, yang mendasari 25% rule adalah pemahaman bahwa penggerak value dari suatu

produk tersebut terdiri dari beberapa faktor). Itulah sebabnya hanya sebagian dari laba (25%)

yang akan dibayar sebagai biaya lisensi. Dan bisa jadi pembagian laba yang sesuai mungkin

kurang dari 25% dari laba produk.

Aturan ini juga dapat (dan) diterapkan walau pihak licensee tidak melaporkan laba produk di

tingkat laba operasional. (Bahkan, pada kenyataan hanya sedikit perusahaan yang melaporkan

laba produk sampai level ini). Selama pendapatan produk dan harga pokok penjualan

dilaporkan (contoh : ada keterangan laba kotor), akuntan atau ekonom dapat (dan tidak)

mengalokasikan biaya umum (biaya di luar biaya produksi) untuk setiap lini produk dalam

rangka untuk memperoleh laba operasional. Ilustrasi berikut menunjukkan bagaimana aturan ini

diterapkan.17

15

Robert Goldscheider, John Jarosz, and Carla Mulhern. Use of The 25 PerCent Rule in Valuing Intellectual

Property(2002). Page 3

16 Paul E. Schaafsma, “An Economic Overview of Patents,” Journal of the Patent Trademark Office Society 79

(April 1997), pp. 251, 253.

17 Robert Goldscheider, John Jarosz, and Carla Mulhern. Use of The 25 PerCent Rule in Valuing Intellectual Property

(2002). Page 4

Page 7: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 7

Sebuah hak kekayaan intelektual dapat meningkatkan atau memperbaiki pendapatan produk

melalui peningkatan harga jual (meskipun ada kemungkinan terjadi penurunan volume

penjualan) atau melalui peningkatan volume penjualan.

Kolom kedua pada ilustrasi di atas menggambarkan dampak dari paten terhadap peningkatan.

Dengan menerapkan 25% rule terhadap laba operasi maka didapatkan tingkat royalti sebesar

9,1%.

Sebuah hak kekayaan intelektual juga dapat mengurangi biaya produksi ataupun biaya

operasional untuk membuat suatu produk. Ilustrasi dibawah menggambarkan bahwa dengan

menerapkan 25% rule terhadap laba operasi didapatkan tingkat royalti sebesar 10%.18

18

Robert Goldscheider, John Jarosz, and Carla Mulhern. Use of The 25 PerCent Rule in Valuing Intellectual

Property(2002). Page 5

Page 8: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 8

Aplikasi dan Justifikasi dari 25% Rule

25% Rule telah digunakan dalam kasus penggunaan lisensi dan juga dalam litigasi. Selama

lebih dari tiga dekade, berbagai studi telah mencatat penggunaan metode ini secara luas.

Dalam survei yang diterbitkan pada tahun 1997 mengenai penggunaan lisensi, Degnan dan

Horton menemukan bahwa sekitar 25% (angka ini hanya kebetulan belaka) perusahaan pemilik

lisensi menggunakan aturan 25% sebagai dasar awal dalam negosiasi. Mereka juga

menemukan bahwa sekitar 50% dari organisasi menggunakan "analisis profit-sharing" (variasi

lain dari 25% rule) dalam menentukan royalti.19

Salah satu contoh kasus adalah Standard Manufacturing Co., Inc. and DBP, Ltd. v. United

States, Pengadilan AS mengklaim menggunakan pendekatan dua-langkah untuk menentukan

tarif royalti yang wajar.20 Langkah pertama melibatkan estimasi dari nilai awal atau patokan

dasar untuk tarif royalti. Langkah kedua mensyaratkan dilakukan penyesuaian, baik positif atau

negatif tergantung dari kekuatan pada tawar-menawar dari kedua pihak. Kekuatan tawar

menawar ini biasa berkaitan dengan 15 faktor yang dijelaskan dalam Georgia Pacific Corp. v.

United States Plywood Corporation.21 Kasus ini memutuskan bahwa aplikasi dari 25% rule

merupakan pendekatan yang tepat untuk menentukan tarif dasar dari royalti yang akan

dibayarkan. Pengadilan juga mengungkapkan bahwa pengadilan-pengadilan lain juga mengakui

25% rule sebagai rule of thumb dalam penentuan royalti lisensi.

Berdasarkan pengamatan terdahulu, aturan ini terbukti memberikan panduan yang berguna

bagi pihak licensee dan licensor dalam mempertimbangkan porsi pembagian laba yang didapat

dari penggunaan hak kekayaan intelektual. Sebuah logika yang tidak realistis jika salah satu

pihak ingin mendapatkan seluruh laba 100% secara keseluruhan. Jelas dengan situasi ini tidak

akan ada kesepakatan tawar-menawar yang akan tercapai. Pembagian dengan 50/50 nampak

reasonable sebagai win-win solution, meski pada kenyataannya, bukti di lapangan

menunjukkan sebaliknya. Richard Razgaitis telah mengidentifikasi enam alasan bahwa

penggunaan pembagian 25/75 sebagai nilai dasar awal sangatlah logis22 :

19

Degnan and Horton, “A Survey of Licensed Royalties,” p. 92.

20 Standard Manufacturing Co., Inc. and DBP, Ltd. v. United States, 42 Fed. Cir. 748 (1999 U.S. Claims LEXIS 11)

21 Georgia-Pacific Corp. v. United States Plywood Corporation, 318 F. Supp. 1116 (S.D.N.Y. 1970), modified

and aphid, 446 F.2d 295 (2d Cir. 1971).

22 Razgaitis, Early-Stage Technologies, pp. 99–102.

Page 9: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 9

1. "Memang beginilah adanya." Banyak pemberi lisensi dan pemegang lisensi telah

menyetujui pembagian 25/75. Hal ini, menurut Razgaitis, merupakan suatu norma

industri.

2. Biasanya 75% dari pekerjaan yang diperlukan untuk mengembangkan dan

mengkomersialkan produk harus dilakukan oleh penerima lisensi.

3. "He who has the gold makes the rules." hak kekayaan intelektual memiliki pengaruh

yang cukup besar dalam suatu bisnis, banyak alternatif investasi yang terbuka

dikarenakan adanya penggunaan hak kekayaan intelektual.

4. Rasio tingkat pengembalian (payback ratio) sebanyak 3 kali adalah hal yang umum.

Rasio ini juga dapat diperoleh licensee dengan mendapatkan 75% dari laba dengan

investasi sebesar 25%.

5. Teknologi adalah hal yang pertama dari 4 proses yang diperlukan dalam komersialisasi.

Hal yang lain adalah membuat produk siap untuk di proses, melakukan pemrosesan,

dan menjualnya.

6. Rasio penelitian dan pengembangan (R&D) terhadap laba umumnya berada di kisaran

25-33%.

Apakah 25% Rule masih relevan digunakan? : Kasus Uniloc Vs Microsoft

Dalam keputusan pengadilan kasus Uniloc vs Microsoft pada tahun 2011. Pengadilan Federal

membuat dua keputusan yang memberikan perubahan signifikan dalam standar pembayaran

royalti dalam hal hak kekayaan intelektual. Pertama, pengadilan menghapuskan 25% rule

sebagai “rule of thumb” yang sebelumnya biasa digunakan sebagai dasar untuk menghitung

tarif royalti yang wajar, Kedua, Pengadilan menekankan keterbatasan menggunakan "market

value" test yang dilakukan oleh pihak Uniloc.

Awal mula kasus ini dimulai pada tahun 2003 ketika Uniloc menggugat Microsoft yang dianggap

telah menggunakan teknologi yang telah mereka daftarkan hak patennya. Teknologi yang

dipermasalahkan melibatkan sistem registrasi software. Saat pertama kali menginstall suatu

aplikasi, pengguna software akan membutuhkan untuk memasukkan password untuk

mengaktifkan aplikasi ini. Sistem registrasi ini telah dipatenkan oleh Uniloc, tujuan registrasi ini

sendiri dimaksudkan untuk mencegah pengguna software memperbanyak software ini tanpa

seizin dari produsen software yang sah. (Jika anda sudah pernah menggunakan nomor seri

atau password untuk mengaktifkan aplikasi Microsoft Word saat penginstallan, anda sudah

Page 10: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 10

menggunakan teknologi yang dipersoalkan). Pada persidangan di Rhode Island tanggal 8 April

2009 juri memutuskan bahwa Microsoft telah melanggar paten Uniloc. Berdasarkan perhitungan

dari ahli pihak Uniloc disebutkan bahwa jumlah ganti rugi royalti yang perlu dibayarkan sebesar

$ 565.000.000. Ahli Uniloc menggunakan dua pendekatan dalam kalkulasi perhitungan ini,

yaitu "25% Rule" dan "Entire Market Value Rule," Jumlah tersebut tidak sepenuhnya disetujui

oleh juri. Berdasarkan keputusan juri akhirnya ditetapkan bahwa Uniloc akan dibayar $

388.000.000.23

Logika dari tim ahli Uniloc tergambar dari ilustrasi dibawah. Diasumsikan bahwa per produknya

memiliki value added sebesar $ 10 dengan 25% rule maka porsi untuk Uniloc adalah $ 2,5 per

produk. Dikalikan dengan total seluruh produk maka didapat Angka $ 565.000.000.

Tim ahli Uniloc lalu memperkuat analisa ini dengan mengadakan reasonable checking dengan

membandingkan nilai royalti dengan total market value dari penjualan produk tersebut. Didapat

bahwa total royalti hanyalah bagian kecil jika dibandingkan dengan total sales nya (hanya 2,9%)

Pada tanggal 4 Januari tahun 2011, the United States Court of Appeals for the

Federal Circuit membatalkan keputusan sebelumnya dan mengeluarkan keputusan bahwa

acuan 25 % rule yang dipakai oleh pihak Uniloc tidak dapat diterima.

Pengadilan mencapai kesimpulan bahwa (i) aturan ini memiliki kecacatan fundamental dalam

menentukan tarif dasar dari royalti dalam suatu negosiasi dan (ii) aturan ini sudah "pasif

ditoleransi" dalam kasus-kasus sebelumnya di masa lalu. Konsisten dengan tujuan simulasi

23

Jessica Martinez, Uniloc v. Microsoft: Reducing the Potential to Recover Reasonable Royalty Rate

Damages, BERKELEY TECH. L.J. BOLT (February 23, 2011)

Value Added per Produk 10$

25% Rule 25%

Porsi Uniloc per Produk 2.50$

Total Unit Produk 225,978,721

Penggantian Royalti untuk Uniloc 564,946,803$

Market Value dari Penjualan Produk $ 19 Miliar

Penggantian Royalti untuk Uniloc hanyalan 2,9% dari nilai market

value penjualan produk

Page 11: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 11

negosiasi, pengadilan menekankan bahwa ahli dari Uniloc perlu untuk menggunakan fakta-fakta

mengenai perusahaan, teknologi, dan industri yang mendukung penerapan 25% rule dalam

kasus ini.24 Pengadilan mempertanyakan darimana nilai $ 10 yang dijadikan sebagai patokan

pembagian porsi laba dan nilai $ 19 milliar sebagai nilai market value dari produk yang

disengketakan.

Meskipun pengadilan mengandalkan pada keputusan Mahkamah Agung untuk mensahkan

keputusan ini, sebetulnya penolakan 25% rule ini tidak memerlukan analisis hukum yang

mendalam dan lebih ditekankan pada logika akal sehat. Tingkat royalti dengan memakai 25%

rule dimaksudkan untuk mencerminkan harga yang pantas disetujui oleh Uniloc dan Microsoft

pada saat negosiasi.25 Jika dipikir secara logika tarif ini bisa dikatakan tidak layak mengingat

bahwa usaha yang dikeluarkan oleh untuk Microsoft menjual jutaan kopi softwarenya bisa

dikatakan cukup besar. Dan jika harus membayar $ 2,50 untuk setiap salinan software mereka

yang menggunakan teknologi Uniloc dirasa tidak relevan dan tidak sebanding dengan usaha

yang telah dilakukan oleh Microsoft. Keputusan akhir pengadilan menyimpulkan bahwa aturan

25% rule dihapuskan dan untuk kasus-kasus masa depan akan dibutuhkan pendekatan analisis

yang berbeda dengan cara melakukan pertimbangan eksplisit terhadap fakta dan keadaan dari

kasus yang dihadapi.

Konfirmasi Robert Goldscheider terhadap pemakaian 25% Rule setelah kasus Uniloc Vs

Microsoft

Robert Goldscheider menyakini bahwa pekerjaan menilai suatu hak kekayaan intelektual

bukanlah pekerjaan yang mudah dan butuh fleksibilitas dalam pengerjaannya. Selama lebih dari

lima puluh tahun pengalamannya sebagai negosiator, tim penasihat, dan juga sebagai ahli

dalam kasus litigasi yang melibatkan hak kekayaan intelektual, tidak dapat dipungkiri fakta

bahwa keahlian profesional ini memerlukan keterampilan yang cukup banyak seperti

pengetahuan umum tentang pasar, teknologi, dan bisnis dari masing-masing perusahaan yang

terlibat.

24

IPmetricsBLOG, The 25% Rule is legally iadequate – CAFC. Diakses 27 Februari 2015

25 Jessica Martinez, Uniloc v. Microsoft: Reducing the Potential to Recover Reasonable Royalty Rate

Damages, BERKELEY TECH. L.J. BOLT (February 23, 2011)

Page 12: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 12

Bahkan ketika pengetahuan itu sudah dimiliki, diperlukan pengalaman khusus untuk

mengetahui bagaimana cara menerapkannya dalam transaksi atau konteks litigasi. Untuk

alasan itu, seringkali keahlian dalam menilai hak kekayaan intelektual juga disebutkan sebagai

suatu “seni”.26

Dalam penggunaannya seringkali 25% rule dianggap sebagai “crude tool” atau “rule of thumb”,

namun Robert Goldscheider percaya bahwa metode ini terus berkembang menjadi metodologi

yang sensitif yang masih dapat diterima oleh banyak pihak dalam pekerjaan menilai hak

kekayaan intelektual. Terlepas dari bagaimana pengadilan melihat peran 25% rule dalam

litigasi, aturan ini terus memandu hasil dari kesepakatan ribuan kerjasama lisensi hak kekayaan

intelektual (tidak melibatkan litigasi) di seluruh dunia. Namun, keputusan pengadilan mengenai

Uniloc ini tidak bisa dipungkiri bisa mengganggu konsistensi penerapan 25% rule antara

"negosiasi hipotetis" di pengadilan dan negosiasi yang sebenarnya terjadi di dunia nyata.

Perkembangan ini berbahaya dan perlu diperhatikan dampaknya.

Sebuah contoh dramatis keberhasilan penerapan 25% Rule terjadi pada awal 1990-an dalam

proses negosiasi antara dua perusahaan petrokimia besar, Dow Chemical Company dan WR

Grace.27 Dow adalah produsen terkemuka polietilen28, dengan penjualan tahunan melebihi $ 1

miliar. Salah satu proses pembuatan produknya (P-1) memerlukan pembelian senyawa (Y) dari

WR Grace dengan jumlah pemesanan mencapai senilai $ 400 juta per tahunnya.

26

Robert Goldsheider, The Classic 25% Rule and The Art of Intellectual Property Licensing.2011

27 Robert Goldsheider, The Classic 25% Rule and The Art of Intellectual Property Licensing.2011

28 Bahan kimia untuk pembuatan plastik

Page 13: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 13

Dow memiliki hak paten pada produk P-1, dimana hak paten ini akan berakhir dalam tujuh

tahun. Di masa depan mereka memutuskan untuk tidak menggunakan lagi P-1 dan

mengalihkan semua produksi ke P-2. Dalam pembuatan P-2 ini Dow tidak memerlukan

pembelian senyawa dari WR Grace. Daripada menyia-nyiakan paten P-1, Dow memutuskan

untuk menawarkan WR Grace kesempatan untuk menjadi pemegang lisensi dari P-1. Grace

(sebagai satu-satunya produsen dari Y) selain mendapatkan laba tersendiri dari memproduksi

produk ini juga dapat menghindari terjadinya kerugian akibat tidak bisa lagi menjual senyawa Y

ke Dow.

Grace ternyata juga tertarik dengan ide ini. Pada negosiasi awal Grace menawarkan akan

memberikan pembayaran royalti sebesar 5% dari penjualan P-1 kepada Dow.

Page 14: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 14

Sesuai dengan saran dari Robert Goldscheider. Dow mencoba mengkalkulasi nilai ini dengan

memakai aturan 25% rule. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dengan penggunaan paten

dari Dow, Grace bisa mendapatkan laba operasi sebesar 44% dari sales. Temuan ini dijadikan

dasar oleh pihak Dow meminta untuk meminta porsi royalty 11% (25% dari 44%) dari penjualan

Grace.

Setelah mengamati penawaran dari Dow, pihak Grace menyetujui kesepakatan ini dengan

pertimbangan mereka masih bisa menghasilkan 33% laba operasi dari penjualan produk P-1 ini.

Nilai 33% laba operasi ini juga masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata laba

operasi yang dimiliki oleh Grace. Untuk pihak Dow sendiri, penambahan 6% royalti ini akan

memberikan tambahan yang cukup signifikan dalam rekening bank Dow.

Kesimpulannya penerapan aturan 25% rule ini menghasilkan win-win solution bagi kedua belah

pihak mengingat :

1. Dow membuat lebih banyak laba, jika dibandingkan menerima penawaran 5% Grace

pada negosiasi awal.

2. Laba operasi yang dihasilkan Grace lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata laba

operasi yang dimiliki oleh Grace.

Penawaran pihak Grace

Grace Dow

Dengan jumlah royalti 5% from penjualan P-1

Membayar

Penawaran pihak Dow

Grace Dow

Dengan jumlah royalti 11% from penjualan P-1

*Catatan 11% = (25% dari 44%)

Dow mengkalkulasi bahwa Grace bisa

menghasilkan laba operasi 44% dari penjualan

JADI

Membayar

Page 15: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 15

3. Grace tidak jadi mengalami kerugian akibat tidak lagi bisa menjual senyawa Y kepada

Dow.

Contoh diatas merupakan salah satu contoh yang diberikan Robert Goldscheider dalam

penerapan 25% rule di dalam kasus yang terjadi di lapangan. Dalam masa awal pemakaiannya

25% rule dipakai sebagai rasio pembagi yang dipakai pada awal melakukan negosiasi. Dengan

besaran rasio yang dimungkinkan (tetapi tidak harus) untuk dipakai sama dengan 25:75,

tergantung pada pengalaman para kedua belah pihak sebelumnya. Rasio ini bagaimanapun

merupakan sebuah hal yang harus dipertimbangkan lebih lanjut dalam setiap kasus, dengan

mempertimbangkan kondisi spesifik yang mempengaruhi masing-masing pihak dalam industri

yang bersangkutan. Tarif dasar yang diajukan pada negosiasi awal tetap terbuka kemungkinan

untuk direvisi oleh para ahli dari pihak yang bernegosiasi dengan mempertimbangkan Georgia-

Pacific Factor dan sumber informasi lain seperti informasi mengenai kemungkinan terjadi

kecacatan dalam pemakaian produk, Book of Wisdom, data statistik kriteria lisensi per industri,

dan pendapat peradilan.

Pernyataan diatas ini mencerminkan pemahaman ulang mengenai pemanfaatan dari 25% rule.

Robert Goldscheider ingin mengungkapkan bahwa jika ada kutipan pernyataan darinya yang

menyatakan bahwa setiap negosiasi hipotetis harus dimulai pada 25:75 dan nilai ini tidak akan

berubah merupakan pernyataan yang tidak benar dan menyesatkan. Proses penilaian yang

dilakukan harus diadaptasi berdasarkan kasus yang dihadapi, yang sangat memungkinkan

untuk dilakukan modifikasi.

Robert Goldscheider menyatakan bahwa pada beberapa kesempatan selain menggunakan

perbandingan 25:75, dia juga memutuskan menggunakan rasio dasar sebagai fungsi tambahan

(kadang-kadang disebut sebagai "Marjinal" laba operasi). Pendekatan alternatif perlu

diperhitungkan mengingat bahwa kontribusi relatif dari setiap pihak bisa berbeda - beda. Batas

awal seperti (dari 15:85 sampai untuk 80:20) masih terbuka untuk dimodifikasi lebih lanjut,

dengan mempertimbangkan metode pendekatan lain, seperti interpretasi dari faktor Georgia

Pacific, non-infringing dan the book of wisdom.29

29

Robert Goldsheider, The Classic 25% Rule and The Art of Intellectual Property Licensing.2011

Page 16: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 16

Kritik terhadap 25% rule

Beberapa kritik yang dialamatkan terhadap metode ini antara lain :

Banyak pihak yang beranggapan bahwa aturan ini sebagai “crude tool” dan “rule of

thumb”. Salah satu yang melontarkan kritik adalah Mark Berkmann, yang menyatakan

bahwa: 25% rule tidak memperhitungkan keadaan khusus yang akan menentukan

nilai aktual paten yang dipermasalahkan. Tidak ada pertimbangan lain yang

diperhitungkan untuk menentukan jumlah/nilai dari keekonomisan atau penambahan

nilai yang dihasilkan oleh penggunaan suatu paten dibandingkan alternatif lainnya.30

Pendukung dari 25% rule tidak pernah menyepakati bagaimana cara mengukur laba

yang nantinya akan dipakai dalam penentuan pembagian royalti.31

Pada jurnal-jurnal awalnya Robert Goldscheider menggunakan 25% dari laba kotor.

Namun, ia kemudian memakai laba operasi dan menolak penggunaan laba kotor

sebagai ukuran dikarenakan bisa menghasilkan nilai yang salah.

Robert Goldscheider, bagaimanapun, telah menulis, "Aturan ini bukanlah untuk

membagi laba kotor." Sebaliknya, ia menegaskan aturan ini harus menggunakan

laba operasi dimana semua biaya operasional sudah dikeluarkan. Dia menjelaskan

bahwa laba kotor harus disesuaikan dengan mengalokasikan biaya umum (biaya

non manufaktur) untuk setiap lini produk untuk mendapatkan laba operasi. Jika

menggunakan pernyataan ini dan dikaitkan dengan kasus Microsoft maka

perhitungan terhadap kasus Microsoft bisa berbeda. Laba usaha untuk Microsoft

selama periode yang diklaim oleh pihak Uniloc adalah sekitar 35% dari pendapatan.

Jika dibandingkan dengan pendekatan berdasarkan laba kotor seperti yang

dilakukan Uniloc, maka akan memotong jumlah royalti lebih dari setengahnya,

mengurangi pembayaran royalti dari $ 200 juta menjadi di bawah $ 100 juta.32

Russell Parr menggambarkan pemakaian aturan dengan menggunakan laba kotor,

tetapi juga telah menyatakan pernyataan yang berbeda bahwa "satu-satunya

aplikasi yang sesuai dari aturan ini adalah laba operasi.

Richard Razgaitis berpendapat peraturan 25% berlaku untuk laba tambahan yang

timbul karena pemakaian paten.

30

Mark Berkman, “Valuing Intellectual Property Assets for Licensing Transactions,” Licensing Journal 22

(April 2002), p. 16.

31 Roy J. Epstein, “The 25% Rule for Patent Infringement damages after Uniloc,” 2011

32 Roy J. Epstein, “The 25% Rule for Patent Infringement damages after Uniloc,” 2011

Page 17: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 17

Jonathan Kemmerer dan Jiaqing Lu berdebat untuk penggunaan EBITDA dalam

aturan ini.

William Lee menjelaskan dia menggunakan aturan ini dengan membandingkannya

terhadap ekspektasi laba yang didapatkan oleh lisensi, tanpa menyebutkan pada

definisi laba akuntansi tertentu.

Aturan ini tidak sejalan dengan rasionalitas dalam ekonomi atau prinsip dari bisnis.33.

Secara akal sehat tidak akan ada perusahaan yang akan membayar royalti diatas

manfaat tambahan yang diberikan oleh pemakaian hak kekayaan intelektual. Jika

manfaat tambahan yang disebabkan oleh pemakaian hak kekayaan intelektual

katakanlah hanyalah $ 6, pemegang lisensi rasional seharusnya tidak harus membayar

lebih dari $ 6, terlepas dari perhitungan apapun berdasarkan peraturan paten. Jika

hanya menggunakan aturan 25% rule secara mentah maka ada kemungkinan hal

seperti ini bisa terjadi.

Contoh :

Aturan ini tidak didukung dengan bukti empiris yang kuat. Pendukung dari 25% rule tidak

berhasil menyebutkan bukti empiris yang valid untuk mendukung rule ini. Contohnya

bukti empiris yang dipakai untuk menunjukkan kesuksesan penggunaan 25% rule

merupakan licensee yang tidak dipilih secara acak.

Contoh licensee yang digunakan sebagai contoh original terjadi pada tahun 1950an. Hal

ini tidak didukung bukti ilmiah yang bisa menunjukkan aturan ini berlaku dari tahun ke

tahun dan di semua industri. Selain itu yang dijadikan contoh hanya satu licensor (yaitu

klien Robert Goldshcieder itu sendiri)

33

Alan Cox, and Stephen Rusek, “The Demise of Junk Science and The 25% Rule,” 2010

Dengan Paten Tanpa Paten Perubahan

Laba 30 36 6

Royalti 0 9* 9

*Catatan 9 = (25% dari 36)

Perubahan royalti lebih tinggi jika dibandingkan dengan

perubahan laba

Page 18: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 18

25% rule tidak dapat memenuhi syarat sebagai metode untuk menghitung kerugian yang

disebabkan oleh paten karena bahkan pendukung paling kuat dari metode ini juga

hanya menyebutkan aturan ini sebagai "titik awal" untuk beberapa perhitungan lain yang

dibutuhkan untuk menemukan jumlah besaran pembayaran royalti yang benar.

Penggunaan aturan 25% rule merupakan jalan yang memutar yang sebenarnya tidak

perlu untuk dilakukan. Hasil akhir yang nantinya dihasilkan juga tidak akurat. Pihak yang

mengevaluasi hak kekayaan intelektual harus memberikan analisis ekonomi yang

koheren didasarkan pada fakta-fakta dan data yang benar-benar terjadi pada kasus

yang dihadapi. Keakuratan dari data-data ini dinilai menggunakan statistik, benchmark

royalti yang valid, dan alat-alat empiris lainnya Daftar panjang kasus seperti Polaroid v.

Kodak, TWM v. Dura, Panduit, dan Georgia-Pacific-menunjukkan bagaimana tarif royalti

yang rasional dapat ditentukan berdasarkan fakta analisis, meskipun sebelumnya tidak

tersedia besaran royalti awal yang ditentukan. Dalam kasus ini aturan 25% rule tidak

digunakan dan tidak akan meningkatkan akurasi hasil akhirnya .

Kesimpulan

Dari pembahas di atas ada kecenderungan yang menunjukkan bahwa rule 25% ini tidak relevan

dan tidak bisa digunakan lagi. Berdasarkan pembahasan diatas bisa dilihat bahwa 25% rule

telah digunakan dalam dua keadaan. Yang pertama dalam kasus litigasi/sengketa ganti-rugi

pembayaran royalti atas penggunaan paten, dan yang kedua dalam kasus negosiasi awal untuk

penggunaan paten di masa depan. Perbedaan dari kedua keadaan di atas adalah waktu

terjadinya penggunaan paten, kondisi pertama menunjukkan penggunaan paten yang sudah

dilakukan di masa lampau, sedangkan kondisi kedua penggunaan paten baru akan dilakukan di

masa yang akan datang.

Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa terdapat beberapa pengadilan yang sudah

menolak gugatan-gugatan hukum yang menuntut pembayaran royalti dengan menggunakan

25% rule sebagai perhitungan dasar. Dalam kasus ini penggunaan 25% rule bisa dibilang

lemah, terutama karena tidak memperhitungkan fakta-fakta lain yang terjadi di lapangan. Meski

begitu perlu diperhatikan juga bahwa aturan ini masih bisa dipakai sebagai dasar awal dalam

pembuka negosiasi dari pihak yang ingin mengadakan kerja sama dalam pemakaian hak

kekayaan intelektual. Berdasarkan beberapa contoh kasus di atas terdapat telah menunjukkan

bahwa ada beberapa kesepakatan tawar menawar yang berhasil dilakukan dengan

Page 19: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 19

menggunakan 25% rule sebagai basis. Yang perlu diperhatikan adalah penerapan dan

fleksibilitas dalam penggunaan metode ini. Rasio ini bisa digunakan dengan syarat tarif yang

diajukan merupakan sebuah hal yang harus dipertimbangkan lebih lanjut dalam setiap kasus,

dengan mempertimbangkan kondisi spesifik yang mempengaruhi masing-masing pihak.

~~~~~~ ####### ~~~~~~

Page 20: 25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti

www.futurumcorfinan.com

Page 20

Disclaimer

This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of

writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have been

compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any

representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising from

the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is not

intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your advisors

for specific advice.

This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of the

authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at www.futurumcorfinan.com

© FUTURUM. All Rights Reserved