37
TUGAS MATA KULIAH EPIDEMIOLOGI KESEHATAN SURVEILANS KESEHATAN IBU DAN ANAK “KEMATIAN BAYI DI PUSKESMAS KERTEK II WONOSOBO” Dosen Pengampu : TUTI SUKINI , S.SiT ,M.Kes Dibuat Oleh : HELMI ROHYANI NIM : P.174.24.513.008 POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG

Tugas epid b.utik

Embed Size (px)

Citation preview

TUGAS MATA KULIAHEPIDEMIOLOGI KESEHATAN

SURVEILANS KESEHATAN IBU DAN ANAK“KEMATIAN BAYI DI PUSKESMAS

KERTEK II WONOSOBO”

Dosen Pengampu : TUTI SUKINI , S.SiT ,M.Kes

Dibuat Oleh :

HELMI ROHYANI

NIM : P.174.24.513.008

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG

PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN KOMUNITAS MAGELANG

KELAS WONOSOBO

2013

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kondisi derajat kesehatan masyarakat Indonesia saat ini masih memprihatinkan , antara lain ditandai

dengan masih tingginya Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Ibu. Angka Kematian Bayi merupakan salah satu

indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kemajuan kesehatan suatu Negara. Millenium Development

Goals (MDG’s) atau tujuan pembangunan millennium adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan

manusia melalui komitmen bersama antara 189 negara anggota PBB untuk melaksanakan 8 (delapan) tujuan

pembangunan, yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua,

mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan

kesehatan ibu, memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, kelestarian lingkungan

hidup, serta membangun kemitraan global dalam pembangunan.

Dalam kesepakatan Negara-negara dunia yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs)

tujuan ke-4 adalah Menurunkan Angka Kematian Anak, targetnya adalah menurunkan angka kematian anak sebesar

dua pertiganya antara tahun 1990-2015. Sebagai salah satu anggota PBB, Indonesia memiliki dan ikut

melaksanakan komitmen tersebut dalam upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Indonesia menargetkan pada

tahun 2015 Angka Kematian Bayi ( AKB ) turun menjadi 17 bayi per 1000 kelahiran. Jawa Tengah sebagai bagian

dari negara kesatuan Republik Indonesia juga ikut serta mendukung komitmen pemerintah tersebut ,dengan

melaksanakan program dan kegiatan yang bertujuan untuk mencapai target MDG’s.

Berdasarkan SDKI telah terjadi penurunan AKB secara signifikan selama 4 tahun survei dari 66 per 1000

kelahiran hidup pada tahun1994 menjadi 39 per 1000 kelahiran pada tahun 2007. Sedangkan di Jawa Tengah

berdasarkan SDKI terjadi penurunan AKB dari periode 2003 sebesar 36 menjadi 26 per 1000 kelahiran .

Menurut Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011, Angka Kematian Bayi di Provinsi Jawa

Tengah 10,34 per 1000 kelahiran dan AKB di Kabupaten Wonosobo 13,23 per 1000 kelahiran. Kesehatan bayi

menjadi hal yang sangat penting karena akan menentukan apakah generasi kita yang akan datang dalam keadaan

sehat dan berkualitas. Upaya untuk meningkatkan kesehatan bayi menjadi sangat strategis bagi upaya

pembangunan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Oleh karena itu penulis tertarik mengangkat Kematian Bayi

di Puskesmas Kertek II Wonosobo sebagai Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Kesehatan.

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. SURVEILANS

1. PENGERTIAN

Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terus menerus

dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam

pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008).

Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi

outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-

perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut

kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last,

2001). Kadang digunakan istilah surveilans epidemiologi. Surveilans memungkinkan pengambil keputusan untuk

memimpin dan mengelola dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan

dini bagi pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu diperhatikan pada

suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk mencegah outbreak penyakit

dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi

kementerian kesehatan, kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani

dengan baik (DCP2, 2008).

2. TUJUAN SURVEILANS

Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi,sehingga

penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanankesehatan dengan lebih efektif.

Tujuan khusus surveilans:

a. Memonitor kecenderungan (tren) penyakit;

b. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak;

c. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada populasi;

d. Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi, monitoring,dan

evaluasi program kesehatan;

e. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;

f. Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).

3. JENIS SURVEILANS

a. Surveilans Individu

Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-individu yang mengalami

kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans

individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang

dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi

gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit

menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa

inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul

AIDS 1980an dan SARS. Dikenal dua jenis karantina:

Karantina total : Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit

menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar.

Karantina parsial : Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif,

berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak

sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa

diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang

di pos-pos lainnya tetap bekerja.

b. Surveilans Penyakit

Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap

distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi,

evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus

perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu. Di banyak negara, pendekatan

surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program

surveilans tuberkulosis dan program surveilans malaria. Beberapa dari system surveilans vertikal

dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps,

karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program surveilans penyakit vertikal yang

berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi

penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumber daya masing-masing, dan

memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.

c. Surveilans Sindromik

Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus

terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans

sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang

bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator

individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat

ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.

Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional. sindromik

berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses Sebagai

contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans)

berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang

berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk

atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan

menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans

tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk

fluburung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai

instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).

d. Surveilans Berbasis Laboratorium.

Surveilans berbasis laboratorium digunakan untuk mendeteksi dan memonitor penyakit infeksi.

Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis,

penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan

deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan

pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).

e. Surveilans Terpadu

Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan surveilans

disuatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik

bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama,

melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit.

Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data

khusus penyakit-penyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006). Karakteristik pendekatan

surveilans terpadu:

Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services);

Menggunakan pendekatan solusi majemuk;

Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural;

Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis data,

tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan

laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya);

Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan

pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki

kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002).

f. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global

Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang serta

organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-

masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan

bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring

yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan

organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi

batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-

penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru

muncul (new emerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans

global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan

pertahanan keamanan dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).

4. MANAJEMEN SURVEILANS

Surveilans mencakup dua fungsi manajemen:

a. Fungsi inti : Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-langkah intervensi

kesehatan masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data, analisis

data,konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah intervensi kesehatan

masyarakat mencakup respons segera (epidemic type response) dan respons terencana (management

type response).

b. Fungsi pendukung : Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan, supervise , penyediaan

sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi . (WHO, 2001; McNabb

et al., 2002).

5. PENDEKATAN SURVEILANS

Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis:

a. Surveilans pasif : Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit

yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan

surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO

diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan

surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan

surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang

dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan

kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena

waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas

kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat

sederhana dan ringkas.

b. Surveilans aktif : Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala

kelapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan

rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus

(case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada

surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan

tanggungjawab itu.(Gordis, 2000) Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal.

Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.

Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community surveilance. Dalam community

surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan

diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan

mengenali dan merujuk kasus mungkin(probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan

di tingkat lebih tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium.

Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006).

B. KEMATIAN BAYI

Kematian bayi adalah kematian yang terjadi saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat 1

tahun. Penyebab Kematian Bayi antara lain : BBLR, asfiksia, infeksi, hipotermi, trauma persalinan, kelainan

kongenital, dan penyebab lain (pengetahuan yang kurang tentang perawatan bayi, tradisi masyarakat yang tidak

percaya tenaga kesehatan, sistem rujukan yang kurang efektif, dll)

Dari hasil SKRT 2001, kematian neonatal adalah 180 kasus. Kasus lahir mati berjumlah 115 kasus. Jumlah

seluruh kematian bayi adalah 466 kasus. Menurut umur kematian, 79,4% dari kematian neonatal terjadi sampai

dengan usia 7 hari, dan 20,6% terjadi pada usia 8-28 hari. Proporsi kematian neonatal sebesar 39% dari seluruh

kematian bayi (N=466). Rasio kematian post neonatal dan neonatal adalah 1,58. Rasio tersebut sama nilainya

dengan rasio hasil SKRT 1995. Pola ini tidak lazim seperti umumnya di negara berkembang pada kondisi tahun

1999, dimana dua per tiga dari kematian bayi terjadi pada masa neonatal. Kemungkinan kejadian kematian bayi

pada usia terlalu dini cenderung dilupakan perlu dipertimbangkan sebagai salah satu sebab rendahnya pelaporan

kasus kematian. Rasio kematian postneonatal dan neonatal sangat dipengaruhi oleh keberhasilan program imunisasi

dan manajemen penanggulangan bayi sakit. Apabila pencapaian program berhasil, maka proporsi kematian

postneonatal akan menurun, sedangkan proporsi kematian neonatal akan meningkat.

Menurut karakteristik kesehatan ibu sebelum dan ketika hamil, kematian neonatal banyak terjadi pada

kelompok umur 20-39 tahun, pada anak pertama, dan pada ibu dengan paritas 3 ke atas. Banyak studi menunjukkan

bahwa kehamilan ke dua dan ketiga adalah paling tidak menyulitkan, sedangkan komplikasi meningkat setelah anak

ke tiga. Sebagian besar dari kematian neonatal ibunya tidak mengalami komplikasi ketika hamil. Di antara ibu yang

mengalami gangguan kesehatan ketika hamil, kematian neonatal terjadi pada 7,5% ibu yang menderita anemi.

Dari hasil studi SKRT ibu yang menderita infeksi ketika hamil sebesar 4,6% . Ibu yang menderita infeksi

ketika hamil dapat menyebabkan dampak yang besar terhadap ibu sendiri maupun janin dan bayi neonatal seperti

cacat congenital (infeksi rubella), aborsi spontan atau fetal death (infeksi sifiliis), infeksi neonatal (gonorrhoea atau

infeksi streptococcus group B), berat bayi lahir rendah (malaria).

Menurut karakteristik perawatan bayi baru lahir, hanya sekitar 26,7% bayi neonatal yang dibawa berobat.

Pengobatan terbanyak ke rumah sakit 8,3%, sedangkan ke puskesmas 5,5%. Sekitar 6% bayi neonatal dibawa ke

pengobat tradisional. Sebagian besar bayi neonatal meninggal di rumah yaitu 54,2%. Di antara yang meninggal di

fasilitas kesehatan, 38,5% meninggal di rumah sakit dan 1,1% meninggal di puskesmas/poliklinik.

Pola penyakit penyebab kematian menunjukkan bahwa proporsi penyebab kematian neonatal kelompok

umur 0-7 hari tertinggi adalah premature dan berat badan lahir rendah/LBW (35%), kemudian asfiksia lahir (33,6%).

Penyakit penyebab kematian neonatal kelompok umur 8-28 hari tertinggi adalah infeksi sebesar 57,1% (termasuk

tetanus, sepsis, pnemonia, diare), kemudian feeding problem (14,3%).

1. Bayi Berat Lahir Rendah ( BBLR )

BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa kehamilan.

Berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram) merupakan salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap

kematian perinatal dan neonatal. Berat badan lahir rendah (BBLR) dibedakan dalam 2 katagori yaitu:

a. BBLR karena premature (usia kandungan kurang dari 37 minggu) atau

b. BBLR karena intrauterine growth retardation (IUGR) yaitu bayi cukup bulan tetapi berat kurang untuk

usianya. Banyak BBLR di negara berkembang dengan IUGR sebagai akibat ibu dengan status gizi buruk,

anemi, malaria, dan menderita penyakit menular seksual (PMS) sebelum konsepsi atau ketika hamil, namun

dari hasil survei proporsi kematian BBLR dengan IUGR hanya 1,4%. Masalah-masalah BBLR :

a. Asfiksia : berdampak pada proses adapatasi pernapasan waktu lahir sehingga mengalami asfiksia lahir.

BBLR membutuhkan kecepatan dan ketrampilan resusitasi.

b. Gangguan napas : gangguan napas sering terjadi pada BBLR kurang bulan adalah penyakit membrane

hialin, sedangkan pada BBLR lebih bulan adalah aspirasi meconium. BBLR yang mengalami gangguan

napas harus segera dirujuk ke fasilitas rujukan yang lebih tinggi

c. Hipotermi : terjadi karena hanya sedikit lemak tubuh dan system pengaturan suhu tubuh pada bayi baru

lahir belum matang. Metode kanguru dengan kontak kulit dengan kulit membantu BBLR tetap hangat.

d. Hipoglikemi karena hanya sedikit simpanan energi pada bayi baru lahir dengan BBLR

e. Masalah pemberian ASI: karena ukuran tubuh kecil,kurang energy,lemah,lambungnya kecil dan tidak

dapat mengisap. BBLR sering mendapatkan ASI dengan bantuan, membutuhkan pemberian ASI

dakam jumlah yang sedikit tapi sering. BBLR dengan kehamilan ≥ 35 minggu dan berat lahir ≥2000

gram umumnya bisa langsung menetek

f. Infeksi karena system kekebalan tubuh BBLR belum matang. Keluarga dan tenaga kesehatan yanag

merawart BBLR harus melakukan tindakan pencegahan infeksi antara lain dengan mencuci tangan

dengan baik

g. Ikterus ( kadar bilirubin yang tinggi karena fungsi hati yang belum matang. BBLR menjadi kuning lebih

awal dan lebih lama dari pada bayi yang cukup beratnya.

h. Masalah perdarahan berhubungan dengan belum matangnya system pembekuan darah saat lahir.

Pemberian injeksi vitamin K dengan dosis 1 mg segera setelah lahir ( dalam 6 jam pertama) untuk

semua bayi baru lahir dapat mencegah kejadian perdarahan.

2. ASFIKSIA

Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Penyebab

Asfiksia :

a. Keadaan Ibu : preeklamsia dan eklamsia, perdarahan abnormal ( plasenta previa atau solutio

plasenta), partus lama, demam selama persalinan, infeksi berat (malaria, sipilis,TBC, HIV), kahamilan

post matur (sesudah 42 minggu kehamilan).

b. Keadaan Bayi : lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat, prolapsus tali pusat, bayi prematur

(sebelum 37 minggu kehamilan), persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi

vakum, forsep), kelainan kongenital, air ketuban bercampur meconium (warna kehijauan).

Bidan diharapkan mampu melakukan Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir dan sistem rujukan yang tepat

(selama kehamilan , persalinan, baru lahir ).

3. INFEKSI

Infeksi sebagai penyebab kematian neonatal masih banyak dijumpai. Infeksi ini termasuk tetanus

neonatorum, sepsis, pneumoni, diare. Masih sekitar 12 negara dengan estimasi kasus neonatal tetanus yang tinggi

termasuk di Indonesia. Proporsi kematian karena tetanus neonatorum hasil survei menunjukkan tertinggi di antara

penyakit infeksi (9,5%). Case fatality rate tetanus sangat tinggi. Pengobatannya sulit, namun pencegahan

(imunisasi TT ibu hamil) merupakan kunci untuk menurunkan kematian ini, selain persalinan bersih dan perawatan

tali pusat yang tepat. Pengelolaan bayi yang sakit sesuai dengan MTBM (Manajemen Terpadu Balita Muda) dan

MTBS ( Manajemen Terpadu Balita Sakit), lakukan rujukan dan kolaborasi secara tepat.

4. KELAINAN KONGENITAL

Cacat lahir merupakan salah satu penyebab kematian neonatal yang penting di negara berkembang,

diperkirakan sekitar 10 persen. Dari hasil survei dijumpai sebesar 7,3 persen kematian akibat cacat lahir.

5. HIPOTERMIA

Hipotermia adalah keadaan dimana tubuh merasa sangat kedinginan. Bayi hipotermi adalah bayi dengan

suhu badan dibawah normal . Suhu badan normal pada neonates adalah 36,5 – 37,5 derajat celcius. Gejala awal

hipotermi apabila suhu kurang dari 36 derajat celcius atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Hipotermia

dibedakan atas : Stres dingin ( 36-36,5 ˚C), Hipotermi sedang (32-36 ˚C), Hipotermi berat ( dibawah 32 ˚C). Bayi

yang sangat rawan terhadap hipotermi yaitu : bayi kurang bulan/premature, bayi berat lahir rendah, bayi sakit.

Pencegahan dan Pengobatan Hipotermi :

a. Penstabilan suhu tubuh dengan menggunakan selimut hangat ( tapi hanya pada bagian dada,untuk

mencegah turunnya tekanan darah secara mendadak).

b. Tempatkan dalam ruangan yang hangat

c. Penghangatan maksimal 0,5- 1 ˚C tiap jam

d. Untuk bayi kurang dari 100 gram sebaiknya diletakkan dalam incubator

e. Bayi dibungkus dengan selimut dan kepala ditutup dengan topi

f. Menghangatkan bayi dengan lampu pijar 40-60 watt yang diletakkan pada jarak setengah meter diatas bayi.

g. Melakukan tujuh rantai hangat , yaitu :

Menyiapkan tempat melahirkan yang hangat,kering,bersih,penerangan cukup

Mengeringkan tubuh bayi segera setelah lahir dengan handuk kering dan bersih

Menjaga bayi tetap hangat dengan mendekap di dada ibu

Memberi ASI sedini mungkin

Memberi perawatan bayi baru lahir yang memadai

Menunda memandikan bayi

Melatih semua orang yang terlibat dalam pertolongan persalinan/perawatan bayi

6. TRAUMA PERSALINAN

Trauma persalinan adalah kelahiran pada bayi baru lahir yang terjadi karena trauma kelainan akibat

tindakan, cara persalinan / gangguan yang diakibatkan oleh kelainan fisiologik persalinan ( Sarwono Prawirohardjo,

2001:229 ). Penyebabnya : makrosomia, mal presentasi, presentasi ganda (bagian terendah janin lebih dari 1

bagian, DKP, kelahiran dengan tindakan (vakum, forcep), persaliana lama, ditosia bahu, partus presipitatus, bayi

kurang bulan. Macam-macam trauma persalinan :

a. Trauma pada jaringan kulit : Perlukaan kulit , kaput suksedaneum

b. Tekanan daerah kepala sub periostal : Kerusakan jaringan sub periostal, kerusakan integritas jaringan,

Nutrisi Injuryeliminasi alvi, sephal hematom, perdarahan

c. Trauma pada Susunan Saraf : Paralisis pleksus brakialis, paralisis nervus facialis,paralisis nervus frenikus

d. Patah tulang : Fraktura klavikula,fraktura humeri,fraktura femoris

C. UPAYA – UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN

1. Dari gambaran penyakit penyebab kematian neonatal di Indonesia, dan permasalahan kesehatan neonatal

yang kompleks dimana dipengaruhi oleh faktor medis, sosial dan budaya (sama dengan permasalahan

kesehatan maternal) maka:

a. Bidan di desa atau petugas kesehatan harus mampu melakukan:

1) perawatan terhadap bayi neonatal.

2) promosi perawatan bayi neonatal kepada ibunya.

3) pertolongan pertama bayi neonatal yang mengalami gangguan atau sakit.

b. Kepala Puskesmas dan jajarannya mempunyai komitmen yang tinggi dalam melaksanakan :

1) Deteksi dan penanganan bayi neonatal sakit

2) Persalinan yang ditolong/didampingi oleh tenaga kesehatan

3) Pembinaan bidan di desa dan pondok bersalin di desa

4) PONED dengan baik dan lengkap (obat, infus, alat-alat emergensi)

5) Organisasi transportasi untuk kasus rujukan

c. Kepala Dinkes Dati II dan atau RS Dati II dan jajarannya mempunyai komitmen yang tinggi dalam

melaksanakan:

1) Fungsi RS Dati II sebagai PONEK 24 jam

2) Sistem yang tertata sehingga memberi kesempatan kepada keluarga bayi neonatal dari

golongan tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan standar, termasuk pertolongan gawat

darurat di RS Dati II dengan biaya terjangkau.

3) Pelayanan berkualitas yang berkesinambungan

4) Pembinaan teknis profesi kebidanan untuk bidan yang bekerja

5) Puskesmas/desa melalui pelatihan, penyegaran pengetahuan dan keterampilan, penanganan

kasus rujukan.

d. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan neonatal emergency care di

Puskesmas dan RS Dati II.

2. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kematian bayi yaitu :

Peningkatan Kegiatan imunisasi pada bayi

Peningkatan ASI eksklusif , status gizi, deteksi dini dan pemantauan tumbuh kembang

Pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi

Program ManajemenTumbuh Kembang Balita Sakit dan Manajemen Tumbuh Kembang Balita

Muda

Pertolongan Persalinan dan penatalaksanaan Bayi Baru Lahir dengan tepat

Diharapkan keluarga memiliki pengetahuan,pemahaman,dan perawatan pasca persalinan sesuai

standar kesehatan

Program Asuh

Keberadaan Bidan Desa

Perawatan Neonatal Dasar meliputi perawatan tali pusat,pencegahan hipotermi dengan metode

kanguru, menyusui dini, usaha bernapas spontan,pencegahan infeksi,penanganan neonatal sakit,

audit kematian neonatal

Pelayanan antenatal yang berkualitas

3. Partisipasi bidan dalam mencegah kematian yaitu dengan:

Menerapkan program ASUH ( Awal Sehat Untuk Hidup Sehat ) yang memfokuskan kegiatan pada

keselamatan dan kesehatan bayi baru lahir

Mengintensifkan kegiatan kunjungan rumah 7 hari pertama pasca persalinan berisi pelayanan dan

konseling perawatan bayi dan ibu nifas yang bermutu

Pelayanan antenatal yang berkualitas

Penanganan persalinan, neonatal,bayi sesuai kompetensi dan system rujukan yang tepat

4. Partisipasi masyarakat dalam mencegah kematian bayi yaitu dengan:

Menyebarluaskan pengetahuan tentang pentingnya 7 hari pertama pasca persalinan bagi

kehidupan bayi selanjutnya

Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kunjungan rumah 7 hari pertama pasca persalinan

oleh Bidan di Desa

Mencatatkan dan melaporkan adanya ibu hamil,ibu melahirkan,dan bayi meninggal pada bidan di

desa , agar diperoleh masukan untuk merencanakan tindakan/ kunjungan dan memecahkan

sekaligus mengantisipasi masalah kematian bayi.

Mendukung dan mempertahankan keberadaan bidan di desa

Menurut sebab utama pada janin, asfiksia lahir (39%), premature dan BBLR (33,2%). Kelainan

bawaan memberi kontribusi sebesar 4,2%.Sedangkan sebab ibu yang mempengaruhi janin

sebesar 5,1% (4).

D. ANGKA KEMATIAN BAYI ( AKB )

1. Konsep dan definisi

AKB adalah banyaknya bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun AKB per 1000 kelahiran hidup

pada tahun yang sama. Nilai normatif AKB kurang dari 40 sangat sulit diupayakan penurunannya (hard rock), antara 40-70 tergolong sedang, namun sulit untuk diturunkan, dan lebih besar dari 70 tergolong

mudah untuk diturunkan.

2. Manfaat

Indikator ini terkait langsung dengan target kelangsungan hidup anak dan merefleksikan kondisi sosial,

ekonomi dan lingkungan anak-anak bertempat tinggal termasuk pemeliharaan kesehatannya. AKB

cenderung lebih menggambarkan kesehatan reproduksi dari pada Akaba. Meskipun target program terkait

khusus dengan kematian balita, AKB relevan dipakai untuk memonitor pencapaian target program karena

mewakili komponen penting pada kematian balita.

3. Metode Perhitungan

Rumus yang digunakan:

AKB = Banyaknya kematian bayi (di bawah 1 tahun) selama tahun tertentu

X 1000

Banyaknya kelahiran hidup

BAB III

PEMAPARAN KASUS

A. PROFIL PUSKESMAS KERTEK II

Secara geografis wilayah Puskesmas Kertek II terletak antara 7° 21’13” sampai 7º 26’23” lintang selatan

( LS ) dan 109°56’31” bujur timur ( BT ). Berjarak kurang lebih 17 km dari ibukota kabupaten. Berdasarkan hasil

sensus penduduk 2011 dan laporan registrasi penduduk bulanan, penduduk kecamatan Kertek wilayah Puskesmas

Kertek II pada akhir tahun 2011 sebanyak 45.400 jiwa, laki-laki 23.114 dan wanita 22.286. Sex Ratio (perbandingan

jumalh penduduk laki-laki dan wanita) di wilayah Puskesmas Kertek II 2011 adalah 103,72. Pada tahun 2011 rata-

rata kepadatan penduduk di kecamatan Kertek adalah 1.143 jiwa per km ².

Tabel Jumlah Sarana Kesehatan dan Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kertek II

NO Kategori Jumlah

1 Puskesmas 1

2 PKD 5

3 PUSTU 1

4 Posyandu 40

5 Dokter Umum 1

6 Dokter Gigi -

7 Perawat 7

8 Bidan Rawat Inap -

9 Bidan Puskesmas 3

10 Petugas Gizi 1

11 Penyuluh Kesehatan 1

12 Kesling 1

13 Bidan Desa 8

14 TU 2

Jumlah Kelahiran hidup tahun 2011 yaitu 571 dan jumlah kematian bayi 16 sehingga

AKB = Jumlah kematian bayi x 1000 = 16 x 1000=28,02

Jumlah kelahiran hidup 571

Jadi Angka Kematian Bayi tahun 2011 : 28,02 per 1000 kelahiran hidup. AKB tahun 2011 puskesmas Kertek II lebih

tinggi dibandingkan AKB Kabupaten Wonosobo dan AKB propinsi Jawa Tengah.

B. KASUS KEMATIAN BAYI

Dari kasus kematian bayi yang terjadi pada tahun 2011, dari jumlah 16 kematian, perincian sebabnya

adalah :

1. BBLR : 7 ( 43,75% )

2. IUFD : 4 ( 25 %)

3. Asfiksia : 3 ( 18,75%)

4. Kelainan kongenital : 2 ( 12,50%)

44%

25%

19%

13%

Sebab Kematian Bayi Tahun 2011

BBLRIUFDASFIKSIAKEL>KONGENITAL

januari

febru

arimare

tap

ril mei junijuli

agustu

s

septem

ber

oktober

nopember

desember

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

jumlah kematian bayi per bulan tahun 2011

jumlah kematian bayi per bulan tahun 2011

Kasus kematian bayi yang terjadi pada tahun 2012 ber jumlah 19 kematian, terjadi peningkatan 18,75%

dibandingkan tahun 2011 perincian sebabnya adalah :

1. BBLR : 6 ( 31,50%)

2. IUFD : 4 ( 21,14%)

3. Asfiksia : 3 (15,79%)

4. Pneumoni : 3 (15,79%)

5. Diare : 1 ( 5,26%)

6. Kelainan Kongenital : 1 ( 5,26%)

7. Aspirasi : 1 ( 5,26%)

31.50%

21.14%15.79%

15.79%

5.26%

5.26%5.26%

Sebab Kematian Bayi Tahun 2012

BBLRIUFDASFIKSIAPNEUMONIDIAREKELAINAN KONGENITALASPIRASI

januari

pebruari

maret

april mei juni

juli

agustu

s

septem

ber

oktober

nopember

00.5

11.5

22.5

33.5

4

Jumlah kematian bayi per bulan tahun 2012

jumlah

Dibandingkan dengan tahun 2011 pada tahun 2012 ini terjadi peningkatan Kematian Bayi

Tahun 2011 Tahun 201214.5

15

15.5

16

16.5

17

17.5

18

18.5

19

19.5

16

19

Jumlah Kematian Bayi

Jumlah Kematian Bayi

C. PERENCANAAN UNTUK MENCEGAH KEMATIAN BAYI

NO RENCANA KEGIATAN WAKTU

1. AMP ( Audit Maternal Perinatal ) untuk intern puskesmas dilaksanakan setiap

Triwulan pada Minilokakarya menggunakan Dana BOK .

Maret,Juni,Septe

mber,Desember

2013

2 Pelayanan antenatal yang berkualitas:

Sosialisasi kelas bumil

Penyuluhan kelas bumil ke desa

Pemantauan bumil resti

Validasi data K1-K4

- Feb sd

mei

3 Imunisasi

Peningkatan Kegiatan imunisasi pada bayi melalui Posyandu

Sweeping imunisasi

Sosialisasi LIL untuk desa yang belum UCI

Sosialisasi LIL ke desa

- Jan-Des

- Jan,April

Juli,Okt

- Feb

- Maret,Apr

4 Mengutamakan Pertolongan persalinan di sarana kesehatan Jan-Des

Supervisi ke PKD/PUSTU

5 Status gizi

Pembinaan pada penderita gizi buruk

Pelacakan gizi buruk baru

Pemberian PMT ( gizi buruk dan bumil KEK )

Pemantauan gizi buruk

Pemantauan gizi melalui posyandu

- Feb,maret

- Insidensi

- Maret

- Maret sd mei

- Jan sd des

6 Peningkatan ASI eksklusif

Penyuluhan Asi eksklusif

7 Deteksi dini dan pemantauan tumbuh kembang lewat posyandu Jan sd des

8 Penyuluhan kesehatan reproduksi remaja

9 Program Manajemen Tumbuh Kembang Balita Sakit dan Manajemen Tumbuh

Kembang Balita Muda sesuai Protap pada Poli KIA

Jan sd des

10 Pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi

Kampanye Cuci tangan pakai sabun di SD dan kader

Kunjungan rumah penderita pneumonia,diare,campak,dll

April-mei

Jan-des

11 MINILOKAKARYA Puskesmas Tiap Bulan Jan sd des

BAB IV

PEMBAHASAN

Kasus Kematian Bayi tahun 2012 mengalami tren kenaikan dibandingkan dengan kasus kematian bayi

tahun 2011. Kematian bayi tahun 2011 berjumlah 16 dan kematian bayi tahun 2012 berjumlah 19, mengalami

kenaikan 18,75% .

Berdasarkan angka kejadiannya antara kematian tahun 2011 dengan 2012 tidak jauh berbeda. Tahun 2011

periciannya yaitu BBLR: 7 ( 43,75%), IUFD: 4 ( 25 %), Asfiksia: 3 ( 18,75%), Kelainan kongenital: 2 ( 12,50%).

Sedangkan tahun 2012 : BBLR: 6 ( 31,50%), IUFD: 4 ( 21,14%), Asfiksia: 3 (15,79%), Pneumoni: 3 (5,79%), Diare: 1

( 5,26%), Kelainan Kongenital: 1 ( 5,26%) dan Aspirasi: 1 ( 5,26%).

Pada tahun 2011 dan tahun 2012 BBLR, IUFD, dan asfiksia masih menjadi angka kejadian yang paling

sering muncul. Perbedaannya yaitu pada tahun 2012 kematian bayi dengan infeksi pada bayi ( pneumonia dan

diare) kejadiannya sebanyak 4 berarti 21% dari seluruh kejadian , dan pada tahun 2011 angka kejadian infeksi tidak

ada.

Surveilans di Puskesmas Kertek II menggunakan surveilans terpadu (integrated surveillance). Surveilans di

Puskesmas Kertek II menata dan memadukan semua kegiatan surveilans di wilayah puskesmas sebagai sebuah

pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama,

melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun

pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu

(WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006).

Dalam perencanaan Program Tahunan tidak ada program kerja yang khusus menyebutkan untuk

mengatasi kematian ibu dan anak, tetapi program yang ada di puskesmas secara keseluruhan saling mendukung

program yang satu dengan yang lain. Program Imunisasi , program perbaikan gizi masyarakat, program promosi

kesehatan juga mendukung program KIA.

Dalam pelaksanaan kegiatan banyak kegiatan yang pelaksanaannya tidak sesuai dengan perencanaan

program. Walaupun secara umum tujuan pelaksanaan program puskesmas salah satunya adalah untuk menurunkan

angka kematian ibu dan angka kematian anak tapi jika dilihat pada poin-poin perencanaan program kerja yang masih

global dan belum terperinci per tujuan yang akan dicapai sehingga petugas kesehatan seakan-akan hanya dikejar-

kejar pencapaian target program saja, tetapi tujuan utama yang akan dicapai seolah terlupakan. Untuk tahun 2012 ini

terjadi peningkatan kematian bayi yang bermakna tetapi dari pihak puskesmas belum melakukan tindakan untuk

mengantisipasinya. Masalah baru diketahui pada saat perencanaan awal tahun. Tetapi secara umum perencanaan

program kerja dan pelaksanaan kegiatan sudah bagus mendukung Kesehatan Ibu dan Anak yang bertujuan

menurunkan AKI dan AKB.

Menyangkut fungsi manajemen surveilans yang ada di Puskesmas Kertek II :

a. fungsi inti : Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-langkah intervensi

kesehatan masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data, analisis

data,konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah intervensi kesehatan

masyarakat mencakup respons segera (epidemic type response) dan respons terencana (management type

response). Dalam kegiatan surveilans yang ada di puskesmas khususnya untuk kematian bayi dalam

pelaksanaan fungsi manajemen inti baru sebatas pada pencatatan dan pelaporan data sedangkan untuk

analisis data belum terperinci , konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris belum terlaksana, untuk umpan

balik baru sebatas pelaksanaan AMP untuk setiap kematian yang terjadi. Untuk langkah intervensi

kesehatan masyarakat respon segeranya sudah terlaksana ditandai dengan pembuatan autopsy verbal

kematian bayi oleh petugas kesehatan dan untuk respon terencana belum dilaksanakan dengan baik baru

pelaksanaan AMP dan perencanaan yang lain masih bersifat global ( umum) dan belum mendetail khusus

untuk kematian bayi.

b. fungsi pendukung : Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan, supervise ,penyediaan

sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi . (WHO, 2001; McNabb

et al., 2002).

Dalam kegiatan surveilans yang ada di puskesmas khususnya untuk kematian bayi dalam pelaksanaan

fungsi manajemen pendukung puskesmas kertek belum secara aktif melaksanaan baru sebatas pada melanjutkan

kebijakan dari Dinas Kesehatan Kabupaten, seperti pelatihan selama ini hanya ikut pelatihan yang dilaksanakan oleh

DKK, pelatihan untuk peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petugas kesehatan oleh puskesmas belum pernah

dilakukan. Yang dilaksanakan supervise dan komunikasi.

Surveilans pasif; Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit

yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Jenis surveilans di

Puskesmas Kertek II tergolong surveilans pasif karena hanya menunggu laporan dari masyarakat , rumah sakit

tentang kejadian kematian bayi, tidak bertindak aktif dengan mendatangi rumah sakit . Kekurangan surveilans pasif

adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-reported,

karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan

kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan

pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan

perlu dibuat sederhana dan ringkas. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kematian Bayi di Puskesmas Kertek II tahun 2011 jumlah 16 dengan AKB 17,44% ( lebih tinggi

dibandingkan AKB Kabupaten Wonosobo dan Propinsi Jawa Tengah ). Kematian Bayi tahun 2012

sampai bulan Desember berjumlah 19 kematian, meningkat 18,75% dibandingkan dengan tahun

2011.

2. Kejadian terbanyak kematian bayi di tahun 2011 dan 2012 BBLR, IUFD dan Asfiksia. Untuk tahun 2012 ada

kejadian infeksi yaitu pneumonia dan diare.

3. Pencatatan dan pelaporan tentang Kematian Bayi sudah berjalan dengan baik, tetapi dalam pencatatan

belum terperinci dan pengisian autopsi verbal kematian bayi juga banyak data yang belum diisi dengan

lengkap serta pengarsipannya banyak yang hilang sehingga penulis dalam menelusuri kematian kurang

terperinci.

4. Perencanaan dan Pelaksanaan Kegiatan di tingkat Puskesmas belum ada yang khusus menyebutkan

ditujukan untuk mengatasi AKB, tetapi Perencanaan dan Pelaksanaan kegiatan merupakan program secara

umum yang juga bertujuan menurunkan AKI dan AKB.

5. Surveilans yang dilaksanakan berdasarkan fungsi manajemen inti yaitu pencatatan, pelaporan kematian

bayi, analisis belum terperinci, umpan balik kegiatan AMP sudah dilaksanakan.Untuk fungsi pendukung

yang sudah dilaksanakan supervise dan komunikasi, sedangkan untuk pelatihan,penyediaan sumber daya

belum dilakukan. Surveilans yang digunakan surveilans terpadu dan surveilans pasif.

B. Saran

Untuk Puskesmas :

1. Pencatatan dan Pelaporan diharapkan lebih lengkap dan terperinci, pengarsipan yang baik agar

data yang ada tidak hilang.

2. Program kerja lebih terperinci dan dikhususkan untuk mencegah kematian bayi.

3. Pelatihan berupa penambahan pengetahuan dan ketrampilan bisa dilaksanakan secara mandiri

oleh Puskesmas.

4. Lebih mengaktifkan sistem surveilans di Puskesmas untuk Kematian Bayi, tidak hanya surveilans

untuk penyakit.

Untuk Bidan :

1. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mengenai penatalaksanaan Bayi baru lahir yang

bermasalah dan penangananmasalah pada bayi .

2. Pencatatan dan pelaporan lebih ditertibkan.

3. Mendukung dan mensukseskan semua program Puskesmas.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Panduan Manajemen Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir Untuk Bidan.Kemenkes RI.2011

Buku Panduan Modu Manajemen BBLR Untuk Bidan.Kemenkes RI .2011

Wonosobo Dalam Angka.BPS Wonosobo.2011

Profil Kesehatan Propinsi Jawa Tengah.Dinkes Jateng.2011

DCP2 (2008).Public health surveillance.The best weapon to avert epidemics. Disease Control

Giesecke J lance.pdf (2002). Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.

Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.

Erme MA, Quade TC (2010). Epidemiologic surveillance.Enote. www.enotes.com/public-health.../

epidemiologic-surveillance. Diakses 21 Agustus 2010.

JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The Johns Hopkins

and IFRC Public Health Guide for Emergencies.

Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.

Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F, Pavlin JA, Gesteland PH,

McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-Kulis V, Rodier G (2002).

Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber DJ, Howard K (2006).

Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using billing data. Ann Fam

Med 2006;4:351-358.

WHO (2001).An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly epidemiological

record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer

_____ (2002). Surveillance: slides. http://www.who.int

Wuhib T, Chorba TL, Davidiants V, MacKenzie WR, McNabb SJN (2002). Assessment of the infectious

diseases surveillance system of the Republic of Armenia: an example of surveillance in The

Republics of the former Soviet Union. BMC Public Health, 2:3 http://www.biomedcentral.