View
577
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekalipun pungutan pajak sudah diatur dalam perundang-undangan
perpajakan, harus diakui dan dipahami bahwa segala sesuatunya tidak selalu
berjalan sesuai dengan proses hukum yang diinginkan kedua belah pihak, baik
pemerintah selaku pemungut pajak maupun masyarakat yang terkena pajak.
Umumnya sengketa pajak itu terjadi disebabkan adanya perbedaan pendapat
terhadap tanggal surat pemberitahuan, dan perbedaan lainnya.
Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah wajib pajak dan pemahaman
hak dan kewajiban dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan tidak
dapat dihindarkan akan timbulnya sengketa perpajakan yang memerlukan proses
penyelesaian sengketa yang cepat, murah, dan sederhana. Dalam rangka
menyelesaikan sengketa pajak yang umumnya berawal dari upaya hukum wajib
pajak, pemerintah membentuk Pengadilan Pajak sebagai tempat penyelesaian
sengketa perpajakan. penyelesaian sengketa perpajakan melalui lembaga yang
dibentuk pemerintah atau yang diatur di dalam perundang-undangan perpajakan,
menjadi cara bijak yang bisa dilakukan agar keadilan dan kepastian dalam proses
pemungutan pajak tetap berjalan dengan baik.
Oleh karenanya, dalam makalah ini, penulis akan menguraikan Pengadilan
Pajak dan penyelesaian sengketa perpajakan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan masalahnya ialah
“Bagaimana sistematika penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Pajak?”
1
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Pajak. Selain itu pula, penulis berharap semoga makalah ini dapat
memberi manfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Di samping bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah tersebut, makalah ini
juga dibuat guna menambah pengetahuan serta memperluas wawasan penulis
mengenai penyelesaian sengketa pajak dan Pengadilan Pajak dan agar makalah ini
dapat diijadikan referensi bagi para pembaca.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sengketa Pajak
Definisi sengketa pajak terdapat dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak, yang saat ini digunakan sebagai dasar hukum
penyelesaian sengketa pajak pada tingkat banding dan gugatan. Undang-undang
tersebut Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa sengketa pajak adalah sengketa yang
timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang
berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding
atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Ada dua cara menyelesaiakan sengketa pajak, pertama melalui upaya
hukum administrasi dan kedua melalui jalur pengadilan. Upaya hukum
administrasi dilakukan agar wajib pajak dapat memperoleh keadilan. Dalam
menerbitkan surat ketetapan pajak, Direktorat Jenderal Pajak bisa saja keliru.
Misalnya keliru dalam hal tulisan, pengenaan tarif, atau yang lainnya. Oleh
karenanya, perundang-undangan mengatur soal pembetulan. Kekeliruan yang
terjadi dapat diselesesaikan dengan cara pembetulan dan dengan mengajukan
keberatan. Upaya hukum pembetulan dan keberatan merupakan upaya hukum
administrasi. Namun dalam makalah ini, kami hanya akan membahas upaya
hukum administrasi melalui keberatan.
Sengketa pajak yang bisa diselesaikan melalui jalur pengadilan meliputi
banding, gugatan, dan peninjauan kembali. Hal ini diberlakukan sama, baik untuk
pajak pusat maupun pajak daerah. Dengan dibukanya penyelesaian sengketa pajak
melalui peradilan pajak diharapkan tercipta keseimbangan hak antara wajib pajak
dan fiskus dalam penetapan pajak, yang pada akhirnya diharapkan dapat
mewujudkan keadilan dalam pelaksanaan pengenaan dan pemungutan pajak.
3
B. Sanksi Pajak
Wajib pajak yang terbukti bersalah atau melanggar ketentuan dalam
perundang-undangan perpajakan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang
tercantum dalam Undang-undang KUP. Secara garis besar, pengenaan sanksi
pajak ini ada dua, yaitu pertama, sanksi administrasi karena Wajib Pajak
melanggar ketentuan-ketentuan yang bersifat administratif. Dan kedua, sanksi
pidana karena Wajib Pajak melanggar ketentuan-ketentua pidana. Pelanggaran ini
akan menentukan berat ringannya sanksi yang akan diberikan.
Wajib Pajak biasanya akan dikenakan sanksi administrasi karena
melanggar hal-hal seperti tidak atau terlambat menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan maupun Surat Pemberitahuan Masa, terlambat membayar
besarnya pajak terutang ke bank sesuai batas waktu yang ditentukan.
a. Sanksi Administrasi Denda
Sanksi denda diatur dalam 10 Pasal KUP, yaitu sebagai berikut:
1. Sanski sebesar Rp 500.000 dan 1.000.000 yang diatur dalam Pasal 7
ayat (1) Undang-undang KUP. Sanksi sebesar Rp 500.000 dikenakan
apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai. Sebesar Rp 100.000 apabila Wajib Pajak
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa lainnya dan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Pengahasilan Wajib Pajak Orang
Pribadi. Dan sebesar Rp 1.000.000 apabila Wajib Pajak tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Badan.
2. Sanksi sebesar 150% yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-
undang KUP. Sanksi ini dikenakan Wajib Pajak yang telah dilakukan
tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan
mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38. Terhadap ketidakbenaran
perbuatan Wajib Pajak tersebut, tidak akan dilakukan penyidikan,
apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapan
4
ketidakbenaran perbuatannya disertai pelunasan pembayaran jumlah
pajak berserta sanksi administrasi denda sebesar 150% dari jumlah
pajak yang kurang dibayar.
3. Sanksi sebesar 50% yang diatur dalam Pasal 25 ayat (9). Sanksi
sebesar 50% dikenakan dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau
dikabulkan sebagian. Denda dihitung dari jumlah pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi denda pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan.
4. Sanksi sebesar 100% yang diatur dalam Pasal 27 ayat (5d). Sanksi
sebesar 100% dikenakan dalam hal permohonan banding Wajib Pajak
ditolak atau didahulukan sebagian. Denda dihitung dari jumlah pajak
berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.
5. Sanksi sebesar 1 kali dan paling banyak 2 kali yang diatur dalam Pasal
36 Undang-undang KUP. Sanksi sebesar paling sedikit satu kali dan
paling banyak dua kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
yang dikenakan apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana pajak
karena kealpaannya.
6. Sanksi sebesar 2 kali atau paling banyak 4 kali yang diatur dalam Pasal
39 ayat (1) Undang-undang KUP. Sanksi sebesar paling sedikit 2 kali
dan paling banyak 4 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
dikenakan apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana pajak karena
kesengajaannya. Sanksi ini merupakan akumulasi dengan sanksi
pidana berupa penjara.
7. Sanksi sebesar 2 kali dan paling banyak 6 kali yang diatur dalam Psal
39 A Undang-undang KUP. Sanksi sebesar 2 kali atau paling banyak 6
kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar. Denda ini
dikenakan apabila Wajib Pajak sengaja menerbitkan atau
menggunakan faktur pajak, yang tidak berdasarkan yang sebenarnya
dan juga belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
8. Sanksi sebesar paling banyak Rp 25 juta.
5
Diatur dalam Pasal 41 A Undang-undang KUP. Sanksi sebesar paling
banyak Rp 25 juta dikenakan apabila seseorang dengan sengaja tidak
memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukit
yang tidak benar. Sanksi denda ini dibarengi dengan pidana kurungan
paling lama 1 tahun.
9. Sanksi paling banyak Rp 75 juta yang diatur dalam Pasal 41 B
Undang-undang KUP. Sanksi sebesar paling banyak Rp 75 juta
dikenakan apabila seseorang dengan sengaja menghalangi atau
mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Sanksi
denda ini dibarengi dengan penjara paling lama 3 tahun.
10. Sanksi paling banyak Rp 1 miliar yang diatur dalam Pasal 41 C
Undang-undang KUP. Sanksi sebesar paling banyak Rp 1 miliar
dikenakan apabila seseorang dengan sengaja tidak memenuhi
kewajiban memberikan data sebagaimana diatur dalam Pasal 35 A ayat
(1) Undang-undang KUP. Sanksi denda ini dibarengi dengan pidana
kurungan paling lama satu tahun.
11. Sanksi sebanyak 4 kali jumlah pajak terutang yang diatur dalam Pasal
44 B Undang-undang KUP. Sanksi sebesar 4 kali jumlah pajak yang
tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan
dikenakan apabila Wajib Pajak akan dihentikan proses penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan.
b. Sanksi Administrasi Bunga
Sanksi administrasi berupa bunga diatur dalam 12 pasal. Hampir semua
pasal tersebut menyebutkan sanksi bungan sebesar 2% per bulan. Ketentuan
sanksi bunga tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Sanksi bunga 2% perbulan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang
KUP. Sanksi ini dikenakan dalam hal Wajib Pajak membetulkan
sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak
menjadi lebih besar. Bunga diitung sejak saat penyampaian Surat
Pemberitahuan terakhir sampai dengan tanggal pembayaran.
6
2. Sanksi bunga 20% per bulan dalam Pasal 8 ayat (2a) Undang-undang
KUP. Sanksi ini dikenakan dalam hal Wajib Pajak membetulkan
sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak
menjadi lebih besar. Bunga diitung sejak jatuh tempo pembayaran
sampai dengan tanggal pembayaran.
3. Sanksi bunga 2% perbulan dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-undang
KUP. Sanksi ini dikenakan dalam hal pembayaran atau penyetoran
pajak dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak
yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak. Bunga dihitung dari
tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran.
4. Sanksi bunga 2% perbulan dalam Pasal 9 ayat (2b) Undang-undang
KUP. Sanksi ini dikenakan dalam hal pembayaran atau penyetoran
pajak dilakukan setelah jatuh tempo penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan. Bunga dihitung dari berakhirnya batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal
pembayaran.
5. Sanksi bunga 2% per bulan dalam Pasal 13 Ayat (2) Undang-undang
KUP. Sanksi ini dikenakan dalam hal terdapat kekurangan pembayaran
pajak yang terutang dalam SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar). Bunga dihitung sejak terutangnya pajak atau berakhirnya masa
pajak dan paling lama 24 bulan.
6. Sanksi bunga 48% dalam Pasal 13 Ayat (5). Sanksi ini dikenakan
apabila wajib pajak setelah jangka waktu lima tahun dipidana karena
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lain
yang menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
7. Sanksi bunga 2% per bulan dalam Pasal 14 Ayat (3) Undang-undang
KUP. Sanksi ini dikenakan dalam hal terdapat kekurangan pajak yang
terutang dalam Surat Tagihan Pajak yaitu kekurangan pembayaran PPh
tahun berjalan dan adanya hasil penelitian akibat salah tulis dan atau
salah hitung. Bunga dihitung sejak terutangnya pajak sampai
diterbitkannya STP dan paling lama 24 bulan.
7
8. Sanksi 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang diatur dalam Pasal
14 Ayat (4) Undang-undang KUP. Sanksi dikenakan yaitu pertama,
terhadap pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur
pajak tetapi tidak tepat waktu. Kedua, terhadap PKP yang tidak
mengisi faktur pajak dengan lengkap. Dan ketiga, terhadap PKP yang
tidak melaporkan faktur pajak sesuai dengan masa penerbitan faktur
pajak.
9. Sanksi 2% per bulan dalam Pasal 14 Ayat (5) Undang-undang KUP.
Sanksi ini dikenakan terhadap PKP yang gagal berproduksi dan telah
diberikan pengembalian Pajak masukan. Bunga dihitung dari jumlah
pajak yang ditagih kembali yaitu dari tanggal penerbitan Surat
Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan
tanggal penerbitan STP.
10. Sanksi bunga 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
dalam Pasal 15 Ayat (4) Undang-undang KUP. Sanksi ini dikenakan
apabila terhadap wajib pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT).
11. Sanksi bunga 2% per bulan dalam Pasal 19 ayat (2). Sanksi ini
dikenakan terhadap wajib pajak yang mengangsur atau menunda
pembayaran pajak. Bunga dihitung dari jumlah pajak yang masih harus
dibayar.
12. Sanksi bunga 2% per bulan dalam Pasal 19 ayat (3). Sanksi ini
dikenakan terhadap wajib pajak yang menunda penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak
yang terutang kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
Bunga dihitung dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal dibayarnya
kekurangan pajak.
8
c. Sanksi Administrasi Kenaikan
Sedikitnya ada delapan ketentuan dalam KUP yang mengatur sanksi
administrasi berupa kenaikan. Sanksi ini merupakan sanksi yang cukup berat
secara nominal atau jumlah jika itu harus ditanggung oleh wajib pajak. Berikut
ketentuannya:
1. Sanksi kenaikan sebesar 50% diatur dalam Pasal 8 ayat (5). Sanksi ini
dikenakan terhadap pajak yang kurang dibayar akibat pengungkapan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan. Sanksi kenaikan
dihitung dari pajak yang kurang bayar.
2. Sanksi kenaikan sebesar 50% diatur dalam Pasal 13 ayat (13) huruf a.
Sanksi ini dikenakan terhadap Pajak Penghasilan yang tidak atau
kurang dibayar dalam satu tahun pajak, apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain, pajak terutang tidak atau kurang
dibayar.
3. Sanksi kenaikan sebesar 100% yang diatur dalam Pasal 13 ayat (3)
huruf b. Sanksi ini dikenakan atas PPh yang tidak atau kurang
dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan
dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor. Apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak terutang
tidak atau kurang dibayar.
4. Sanksi kenaikan sebesar 100% diatur dalam Pasal 13 ayat (3) huruf c.
Sanksi ini dikenakan atas Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang
dibayar, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain,
pajak terutang tidak atau kurang dibayar.
5. Sanksi kenaikan sebesar 200% diatur dalam Pasal 13A. Sanksi ini
dikenakan apabila wajib pajak karena kealpaannya tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga
menimbulkan kerugian pada Pendapatan Negara.
9
6. Sanksi kenaikan sebesar 100% diatur dalam Pasal 15 ayat (2). Sanksi
ini dikenakan bila diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan.
7. Sanksi kenaikan sebesar 100% diatur dalam Pasal 17c ayat (5). Sanksi
ini dikenakan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan surat
ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak dari wajib pajak dengan kriteria tertentu. Wajib pajak
yang digolongkan memenuhi kriteria tertentu adalah wajib pajak yang
tepat waktu dalam menyampaikan Surat, tidak punya tunggakan untuk
semua jenis pajak kecuali tunggakan yang sudah mempunyai izin
mengangsur atau menunda pembayaran pajak, tidak pernah dipidana
karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dengan
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam jangka
waktu lima tahun terakhir.
8. Sanksi kenaikan sebesar 100% diatur dalam Pasal 17d ayat (5). Sanksi
ini dikenakan berdasarkan pada hasil pemeriksaan, diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). SKPKB diterbitkan setelah
dilakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dari wajib pajak yang memenuhi persyaratan
tertentu.
C. Penyelesaian Sengketa melalui Keberatan
Keberatan yang bisa diajukan oleh wajib pajak menciptakan keseimbangan
antara wajib pajak dan fiskus atau pejabat yang berwenang serta menjamin wajib
pajak terhindar dari kesewenangan fiskus. Penetapan pajak yang dilakukan fiskus
masih bisa ditanggapi oleh wajib pajak. Bila memberatkan, wajib pajak dapat
menggunakan lembaga keberatan ini untuk protes. Dengan demikian, penetapan
pajak masih bisa ditinjau kembali apabila wajib pajak bisa menunjukan bukti
bahwa penetapan pajak tersebut tidak benar.
10
Dalam KUP dijelaskan bahwa Surat Keputusan Keberatan adalah surat
keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap
pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan wajib pajak. Jadi
dapat dipahami bahwa keberatan adalah sengketa yang timbul antara wajib pajak
dengan pejabat pajak mengenai penetapan besarnya pajak yang terutang.
Lebih jelas lagi, Pasal 25 ayat (1) Undang-undang KUP menyatakan wajib
pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal atas suatu:
a. Surat Ketetepan Pajak Kurang Bayar,
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil,
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar,
e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelum mengajukan banding ke Pengadilan Pajak, wajib pajak akan
mengajukan upaya hukum melalui keberatan. Periode Januari-September 2010
terdapat sebanyak 6.500 keberatan yang diajukan wajib pajak di seluruh
Indonesia. Pada tahun 2008 mencapai 20.000 keberatan dan tahun 2009 mencapai
13.000 keberatan.1 Jumlah sengketa yang tidak sedikit ini menjadi alert bagi kita
semua untuk lebih serius dalam perpajakan.
Syarat atau ketentuan yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dalam
mengajukan keberatan, di antaranya ialah2:
a. Diajukan tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah
pajak terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah
rugi menurut perhitungan wajib pajak disertai alasan yang menjadi dasar
perhitungan.
b. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak 1 Detikfinance.com. Sebagaimana dikutip pula oleh Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Manajemen Sengketa dalam Pungutan Pajak: Analisis Yuridis terhadap Teori dan Kasus, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal. 72.2 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Manajemen Sengketa dalam Pungutan Pajak: Analisis Yuridis terhadap Teori dan Kasus, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal. 72.
11
kecuali wajib pajak dapat menunjukan jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Keadaan di luar kekuasaan
wajib pajak meliputi bencana, alam, kebakaran, huru-hara/kerusuhan
massal, diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan yang
mengakibatkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tertera dalam
surat ketetapan pajak berubah, kecuali Surat Keputusan Pembetulan yang
diterbitkan sebagai hasil Persetujuan Bersam; atau keadaan lain
berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
c. Wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar sejumlah yang telah
disetujui wajib pajak dalam pembahasan hasil akhir pemeriksaan, sebelum
keberatan disampaikan.
d. Untuk satu surat keberatan diajukan terhadap satu ketetapan pajak atau
pemotongan/pemungutan pajak.
Atas permohonan keberatan wajib pajak, Direktur Jenderal Pajak harus
memberi keputusan atas keberatan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, sebagaimana diatur dalam Pasal 26
ayat (2) Undang-undang KUP. Namun, sebelum keputusan diterbitkan, wajib
pajak masih dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis kepada
Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak selanjutnya membuat keputusan
atas keberatan yang dapat berupa: (i) mengabulkan seluruhnya atau sebagiannya,
(ii) menolak, atau (iii) menambah besarnya jumlah pajak yang harus dibayar.
Ketentuan tentang keberatan diatur dalam beberapa Undang-undang pajak,
yaitu Undang-undang KUP, Undang-undang PBB, Undang-undang BPHTB, dan
Undang-undang PDRD. Pengaturan keberatan pada pajak pusat diatur dalam tiga
Undang-undang yang disesuaikan dengan jenis pajak pusat yang diajukan
keberatan. Sedangkan untuk jenis pajak daerah keberatan diatur dalam Undang-
undang PDRD dan peraturan daerah yang memberlakukan pajak daerah di
provinsi, kabupaten, atau kota.3
3 Marohit Pahala Siahaan, Seri Hukum Pajak Indonesia: Hukum Pajak Formal, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 193.
12
D. Pengadilan Pajak
Sejak tahun 1998, BPSP sudah ditetapkan menjadi Badan Pengadilan
Sengketa Pajak. Namun, BPSP ini belum menjadi Badap Peradilan yang
berpuncak di Mahkamah Agung. Kedudukannya berada di luar sistem peradilan
(kekuasaan kehakiman), tepatnya di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karenanya,
BPSP diubah menjadi Pengadilan Pajak berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002.
Kedudukannya menjadi berada di dalam sistem peradilan, tepatnya di bawah
kekuasaan yudikatif.
Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 menyatakan bahwa
Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan
terhadap sengketa pajak. Pengadilan Pajak berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa pajak. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat
pertama dan terakhir dalam kewenangannya tersebut. Konsekuensinya, hanya
Pengadilan Pajaklah yang bisa memutus sengketa perpajakan. Putusannya tidak
dapat diajukan gugatan ke pengadilan umum, pengadilan tata usaha negara, atau
badan peradilan lainnya.
Pasal 10 ayat (2) Undang-undang yang sama di atas dinyatakan pula
bahwa Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata
usaha negara. kemudian, dalam Undang-undang yang sama, Pasal 25 ayat (1)
dinyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan peradilan sebagaimana dimaksus dalam Pasal 10 tersebut. Pasal 15
ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Pajak adalah salah satu pengadilan
khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Penyelesaian sengketa pajak harus dilakukan dengan adil melalui prosedur
dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Oleh karenanya, pengadilan pajak
ini memenuhi persyaratan sebagai pengadilan administrasi murni, putusan
Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang bersifat final yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. Meskipun demikian, masih dimungkinkan untuk dilakukan
13
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Peninjauan kembali ke Mahkamah
Agung merupakan upaya hukum luar biasa, Mahkamah Agung akan menilai
aspek pemeriksaan yang meliputi aspek penerapan hukum dan aspek fakta-fakta
yang mendasari sengketa perpajakan.
Menurut Syorfin Syofyan dan Asyar Hidayat dalam bukunya Hukum
Pajak dan Permasalahannya, Undang-undang merupakan produk politik,
sehingga ia tidak bebas dari kepentingan suatu kelompok. Hal ini dapat dilihat
dari Undang-undang Pajak yang telah mereduksi fungsi kontrol Mahkamah
Agung sebagai yudikatif, khususnya dalam tugas dan wewenang pemeriksaan
penerapan hukum (kasasi) terhadap tindakan pemerintah (Dirjen Pajak) dalam
menetapkan pajak (beschikking) yang dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan
Pajak.4
Menurut Tjia Siauw Jan dalam bukunya Pengadilan Pajak: Upaya
Kepastian Hukum dan Keadilan bagi Wajib Pajak, terjadi dualisme dalam
pembinaan Pengadilan Pajak. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun
2002 mengatur dengan tegas bahwa pembinaan secara teknis Pengadilan Pajak
dilakukan oleh Mahkamah Agung, tetapi Pasal 5 Ayat (2) disebutkan bahwa
pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak
dilakukan oleh Departemen Keuangan.5 Namun, penulis tidak akan membahas
dua persoalan tentang Pengadilan Pajak tersebut secara mendalam dalam makalah
ini.
Proses penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak mewajibkan
kehadiran terbanding dan tergugat, sedangkan untuk pemohon banding atau
penggugat tidak diwajibkan untuk menghadiri persidangan, kecuali jika dipanggil
oleh hakim dengan dasar alasan yang cukup jelas. Pengadilan pajak yang diatur
dalam Undang-undang Pengadilan Pajak bersifat khusus menyangkut acara
penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan ialah sebagai berikut6:
4 Syorfin Syofyan dan Asyar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, (Jakarta: Refika Aditama, 2004), hal. 114.5 Tjia Siauw Jan, Pengadilan Pajak: Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan bagi Wajib Pajak, (Bandung: PT Alumni Bandung, 2013), hal. 96 Marohit Pahala Siahaan, Seri Hukum Pajak Indonesia: Hukum Pajak Formal, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 210-211.
14
a. Sidang Peradilan Pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka,
namun dalam hal tertentu dan khusus guna menjaga kepentingan
pemohon Banding atau tergugat, sidang dapat dinyatakan tertutup,
sedangkan pembacaan putusan hakim Pengadilan Pajak dilaksanakan
dalam sidang terbuka untuk umum.
b. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga hakim
khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah
sarjana Hukum atau sarjana lain.
c. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut
sengketa perpajakan.
d. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya pajak terutang dari
wajib pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga wajib
pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya pajak
terutang yang dikenakan kepadanya. Sehingga akibat jenis putusan
Pengadilan Pajak, di samping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan
pada Pengadilan Pajak, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan
seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut di atas, dalam undang-
undang Pengadilan Pajak diatur hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan
Pengadilan Pajak.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 14 tahun 2002, Pengadilan
Pajak dibentuk dengan berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia. Sidang
Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila di pandang perlu
dapat dilakukan di tempat lain.
Susunan Pengadilan Pajak terdiri dari pimpinan, hakim anggota,
sekretaris, dan panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak terdiri dari seorang ketua dan
paling banyak lima orang ketua. Wakil ketua dapat lebih dari satu didasarkan pada
jumlah sengketa pajak yang harus diselesaikan. Apabila sengketa pajak sudah
tidak memungkinkan untuk ditangani oleh satu wakil ketua, diperlukan lebih dari
satu wakil ketua. Tugas tiap wakil ketua akan disesuaikan dengan jenis pajak,
wilayah kantor perpajakan, dan atau sengketa pajak.
15
Hakim Pengadilan Pajak diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon
yang diusulkan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat persetujuan Mahkamah
Agung. Ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak diangkat oleh Presiden dari
hakim Pengadilan Pajak yang diusulkan Menteri Keuangan setelah mendapat
persetujuan dari Mahkamah Agung. Ketua, wakil ketua, dan hakim Pengadilan
Pajak adalah pejabat negara yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman di
bidang sengketa pajak.
Kepaniteraan dalam Pengadilan Pajak dipimpin oleh seorang panitera dan
dibantu oleh seorang wakil panitera dan beberapa orang panitera pengganti.
Panitera, wakil panitera, dan panitera pengganti diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak diatur
bahwa upaya hukum yang dapat diajukan oleh Wajib Pajak yaitu gugatan,
banding, dan peninjauan kembali. Upaya hukum gugatan dan banding diajukan ke
Pengadilan Pajak, sedangkan upaya hukum peninjauan kembali diajukan ke
Mahkamah Agung.
E. Banding
Pasal 27 Undang-undang KUP mengatur bahwa Banding adalah upaya
hukum atas Surat Keputusan Keberatan yang telah diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak. Sedangkan, Pasal 1 angka 6 Undang-undang Pengadilan Pajak
mengatur bahwa Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib
Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan
Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakaan yang berlaku.
Artinya, apabila wajib pajak merasa tidak memperoleh keadilan atas keputusan
keberatan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak, wajib pajak dapat mengajukan
upaya hukum banding ke Pengadilan Pajak.
Ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002
mengatur syarat-syarat untuk dapat mengajukan banding, sebagai berikut:
16
a. Diajukan dengan Surart Banding dalam Bahasa Indonesia.
b. Jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang
dibanding. Jangka waktu dimaksud tidak mengikat karena keadaan di luar
kekuasaan pemohon banding.
c. 1 (satu) surat banding untuk 1 (satu) keputusan, dengan disertai alasan
yang jelas dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang
dibanding. Juga dilampiri salinan surat keputusan yang dibanding.
d. Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang
terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang yang
dimaksud telah dibayar sebesar 50%.
Namun, ketentuan yang terakhir telah dihapus oleh Undang-undang KUP.
Pasal 27 ayat (5c) Undang-undang tersebut mengatur bahwa jumlah pajak yang
belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak
yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan. Jadi, persyaratan
membayar 50% tidak lagi menjadi syarat yang harus dipenuhi wajib pajak.
Pemohon banding dapat mengajukan surat pernyataan pencabutan kepada
Pengadilan Pajak atas banding yang telah diajukannya. Pencabutan banding dapat
diajukan atas banding yang belum dilakukan pemeriksaan atau sedang dilakukan
pemeriksaan. Banding yang dicabut tersebut akan dihapus dari daftar sengketa
dengan dua cara, yaitu:
a. Melalui penetapan Ketua Pengadilan Pajak, dalam hal surat pernyataan
pencabutan banding diajukan sebelum sidang dilaksanakan.
b. Melalui putusan majelis atau hakim tunggal, dalam hal surat pernyataan
pencabutan banding diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding.
Pasal 105 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah diatur bahwa wajib pajak dapat mengajukan permohonan
banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai
keberatannya yang ditetapkan oleh kepala daerah. Syarat-syarat untuk dapat
mengajukan banding Pajak Daerah sama dengan syarat-syarat yang diatur untuk
pajak pusat.
17
Contoh kasus: untuk tahun pajak 2008, terhadap wajib pajak PT. A
diterbitkan SKPKB dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp
1.000.000.000,00. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, wajib pajak hanya
menyetujui pajak yang harus dibayar sebesar Rp 200.000.000,00. Wajib pajak
telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp 200.000.000,00 dan
kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Pajak
mengabulkan sebagian keberatan wajib pajak dengan jumlah pajak yang masih
harus dibayar sebesar Rp 750.000.000,00. Selanjutnya wajib pajak mengajukan
permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang
harus dibayar menjadi sebesar Rp 450.000.000,00. Wajib pajak dikenai sanksi
berupa denda sebesar 100% × (Rp 450.000.000,00 – Rp 200.000.000,00) = Rp
250.000.000,00. Dengan demikian pajak terutang yang harus dibayar oleh wajib
pajak adalah Rp 600.000.000,00. Karena wajib pajak sudah membayar pajak
terutang sebesar Rp 200.000.000,00, wajib pajak hanya membayar pajak terutang
sebesar Rp 400.000.000,00.
Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, ketentuan pengenaan
sanksi administrasi denda kepada wajib pajak yang mengajukan banding tidaklah
tepat. Bahkan sangat aneh ketika seseorang mencari keadilan atas perhitungan
jumlah pajak, harus dikenakan sanksi denda 100% apabila bandingnya ditolak
atau diterima sebagian. Undang-undang tidak menjelaskan logika hukum mengapa
harus dikenakan denda sebesar 100% apabila bandingnya ditolak atau diterima
sebagian.7 Penulis sependapat dengan dua Guru Besar perpajakan Universitas
Indonesia ini.
F. Gugatan
Pasal 1 angka 7 Undang-undang Pengadilan Pajak mengatur bahwa
gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan wajib pajak terhadap
pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan
gugatan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Hak wajib pajak untuk
7 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Manajemen Sengketa dalam Pungutan Pajak: Analisis Yuridis terhadap Teori dan Kasus, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal. 88
18
mengajukan gugatan diatur dalam Undang-undang KUP untuk semua jenis pajak
pusat.
Hal-hal yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Pajak diatur dalam
Pasal 23 ayat (2) Undang-undang KUP, yaitu sebagai berikut:
a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
Pengumuman Lelang;
b. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan,
selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
d. Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang
dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang
telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Gugatan dimaksudkan untuk memberikan hak kepada wajib pajak untuk
mengajukan gugatan dalam hal penagihan pajak, yang meliputi pelaksanaan Surat
Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang. Pasal
37 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 menegaskan lebih lanjut bahwa
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang dapat
diajukan gugatan meliputi keputusan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak
selain:
a. Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur
atau tata cara penerbitan;
b. Surat Keputusan Pembetulan;
c. Surat Keputusan Keberbatan yang penerbitannya telah sesuai dengan
prosedur atau tata cara penerbitan;
d. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
e. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
f. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
g. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
h. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
19
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Pajak ialah sebagai berikut:
a. Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia.
b. Jangka waktu gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak 14 (empat
belas) sejak tanggal pelaksanaan penagihan. Sedangkan untuk gugatan
terhadap keputusan selain gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima keputusan yang digugat. Jangka
waktu tersebut tidak mengikat apabila terjadi keadaan di luar kekuasaan
penggugat dan dapat diperpanjang selama 14 (empat belas) hari sejak
berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat. Apabila dalam jangka
waktu tersebut wajib pajak tidak mengajukan gugatan, hak wajib pajak
untuk menggugat dinyatakan gugur.
c. 1 (satu) Surat Gugatan untuk 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu)
Keputusan.
Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus,
atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan
tanggal diterima pelaksanaan penagihan pajak, atau keputusan yang digugat dan
dilampiri salinan dokumen yang digugat.
Penggugat dapat mengajukan surat pernyataan pencabutan kepada
Pengadilan Pajak atas gugatan yang telah diajukannya. Pencabutan gugatan dapat
diajukan atas gugatan yang belum dilakukan pemeriksaan atau sedang dilakukan
pemeriksaan. Gugatan yang dicabut tersebut akan dihapus dari daftar sengketa
dengan dua cara, yaitu:
c. Melalui penetapan Ketua Pengadilan Pajak, dalam hal surat pernyataan
pencabutan gugatan diajukan sebelum sidang dilaksanakan.
d. Melalui putusan majelis atau hakim tunggal, dalam hal surat pernyataan
pencabutan gugatan diajukan dalam sidang atas persetujuan tergugat.
G. Peninjauan Kembali
20
Upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum terakhir yang
dapat diajukan baik oleh wajib pajak maupun oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Upaya hukum peninjauan kembali diajukan ke Mahkamah Agung setelah ada
putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Pajak. Artinya, Mahkamah Agung
akan melakukan pemeriksaan ulang atas putusan Pengadilan Pajak yang
dimohonkan peninjauan kembali oleh wajib pajak atau oleh Direktorat Jenderal
Pajak.
Upaya peninjauan kembali hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan
yang sudah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002, yakni sebagai
berikut:
a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau
tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau
didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan
palsu.
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan,
yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan
menghasilkan putusan yang berbeda.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada
yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b
dan huruf c.
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain alasan-alasan di atas, syarat lain yang harus dipenuhi untuk dapat
mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau
tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan
hukum tetap. Atau 3 (tiga bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang
21
hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan
oleh pejabat yang berwenang. Atau 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.8
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan
kembali dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam jangka waktu 6 bulan sejak permohonan peninjauan kembali
diterima oleh Mahkamah Agung, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil
putusan melalui pemeriksaan acara biasa;
b. dalam jangka waktu satu bulan sejak permohonan peninjauan kembali
diterima oleh Mahkamah Agung, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil
putusan melalui pemeriksaan acara cepat; dan
c. putusan atas permohonan peninjauan kembali harus diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak Pasal 1
angka 5 menyatakan bahwa sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam
8 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Manajemen Sengketa dalam Pungutan Pajak: Analisis Yuridis terhadap Teori dan Kasus, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal. 91
22
bidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan
kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan,
termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Ada dua cara menyelesaiakan sengketa pajak, pertama melalui upaya
hukum administrasi dan kedua melalui jalur pengadilan. Salah satu bentuk upaya
hukum administrasi adalah dengan mengajukan keberatan. Dalam KUP dijelaskan
bahwa Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap
surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak
ketiga yang diajukan wajib pajak. Jadi dapat dipahami bahwa keberatan adalah
sengketa yang timbul antara wajib pajak dengan pejabat pajak mengenai
penetapan besarnya pajak yang terutang.
Sengketa pajak yang bisa diselesaikan melalui jalur pengadilan meliputi
banding, gugatan, dan peninjauan kembali. Pasal 27 Undang-undang KUP
mengatur bahwa Banding adalah upaya hukum atas Surat Keputusan Keberatan
yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Sedangkan, Pasal 1 angka 6
Undang-undang Pengadilan Pajak mengatur bahwa Banding adalah upaya hukum
yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu
keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakaan yang berlaku.
Pasal 1 angka 7 Undang-undang Pengadilan Pajak mengatur bahwa
gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan wajib pajak terhadap
pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan
gugatan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Upaya hukum
Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum terakhir yang dapat diajukan baik
oleh wajib pajak maupun oleh Direktorat Jenderal Pajak. Upaya hukum
peninjauan kembali diajukan ke Mahkamah Agung setelah ada putusan yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Pajak.
23
Daftar Pustaka
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
24
Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Manajemen Sengketa dalam Pungutan
Pajak: Analisis Yuridis terhadap Teori dan Kasus, (Jakarta: Mitra Wacana Media,
2012).
Marohit Pahala Siahaan, Seri Hukum Pajak Indonesia: Hukum Pajak Formal,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010).
Syorfin Syofyan dan Asyar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya,
(Jakarta: Refika Aditama, 2004).
Tjia Siauw Jan, Pengadilan Pajak: Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan bagi
Wajib Pajak, (Bandung: PT Alumni Bandung, 2013).
25