View
262
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Karsinoma Kolorektal
Kanker Kolorektal (KKR) adalah penyebab utama pada mortalitas dan
morbiditas di dunia. Kejadian KKR merupakan 8,9 % dari seluruh kanker. KKR
mempunyai frekuensi 5% dari seluruh kanker dan 29% dari keganasan
gastrointestinal dengan rasio laki-laki 3:1 perempuan dan lebih dari 1/3 kasus
dibawah usia 45 tahun. KKR merupakan kanker terbanyak ketiga pada laki-laki
dan perempuan setelah kanker payudara dan kanker paru-parupada perempuan
dan setelah kanker paru-paru dan prostat pada laki-laki dengan prevalensi lebih
banyak pada kanker rektum daripada kanker kolon dengan rasio 33% pada rektum
dan 19% pada kolon(Elsabah dan Adel, 2013).
Di Inggris, KKR merupakan 15% dari semua kanker yang terdiagnosa
setiap tahunnya dan hal tersebut merupakan penyebab kematian kedua setelah
kanker paru-paru dan payudara (Smith dkk., 2010). KKR adalah kanker ketiga
terbanyak di Amerika Serikat setelah kanker prostat dan paru-paru pada laki-laki
dan setelah kanker payudara dan paru-paru pada perempuan. Pada tahun 2011
diperkirakan 142.210 kasus baru KKR terdiagnosa di Amerika Serikat dengan
perkiraan kematian 49.380 kasus (Fleming dkk, 2012).
Risiko kanker kolon meningkat sehubungan dengan pertambahan usia.
Lebih dari 90% kasus muncul pada masyarakat usia 50 tahun atau lebih. Risiko
menderita kanker adalah 1 dari 1600-1900 pada individu berusia kurang dari 39
2
tahun lebih rendah dibandingkan 1 dari 120-150 pada individu berusia 40 hingga
59 tahun dan 1 dari 30 individu pada usia 60 hingga 79 tahun(Lin dan Xiong,
2005).
2.2. Patobiomolekuler Kanker Kolorektal
Sel kanker memiliki 6 keistimewaan: self-sufficiency in growth
signals,ketidakpekaan sinyal antigrowth, invasi dan metastasis jaringan, potensi
replikatif yang tidak terbatas,angiogenesis yang terus menerus dan evation of
apoptosis(Lin dan Xiong, 2005).Perkembangan kanker merupakan hasil dari
akumulasi peningkatan genetik dan epigenetik yang mempengaruhi 6 fungsi sel
dan jaringan (Compton dkk, 2008).
Model perkembangan KKR yang menguraikan tahapan perubahan
pathogen pada onkogen dan tumor supresor gen pertama kali dihipotesakan oleh
Vogelstein dan rekan pada 1988. Potter telah mengumpulkan data yang
menjelaskan jalur genetik menuju kanker kolorektal. Mutasi awal diperkirakan
timbul pada gen supresor tumor APC yang terlatak pada kromosom 5q. Ketiadaan
fungsi protein APC menyebabkan pengumpulan β catein pada sitoplasma dan
perpindahan β cateinpada inti sel menyebabkan perlekatan sel-sel dengan
jaringan. Reseptor cadherin pada actin cytoskeleton β catein juga berhubungan
dengan jalur sinyal Wnt yang menentukan nasib sel, khususnya selama
perkembangan sel. Jika sinyal Wnt diaktifkan dan pada gilirannya mengaktifkan
Wnt reseptor, timbul fosforilasi dan aktifasi GSK-3b, yang mana akan mencegah
fosforilasi GSK-3b dari β catein. Pengumpulan inti sel β catein menyebabkan
komplek dengan Tcf/LEF (T-cell faktor/lymphocyte enhancer faktor). β-catenin-
3
LEF protein complex dapat mengaktifkan gen promotor pengenalan situs Tcf/LEF
termasuk c-Myc, cyclinD1, PPARS, matrilysn, Fra-1, UPAR, c-Jun, PML dan
gastrin. Perubahan ini pada gilirannya menstimulasi proliferasi sel dan
menghambat apoptosis. Pada model perkembangan KKR ini, pertumbuhan dari
adenoma menuju karsinoma tergantung pada akumulasi genetik dan
penyimpangan epigenetik lain. Peningkatan penting lain termasuk mutasi dari
KRAS protoonkogen(Compton dkk, 2008).
Jalur RAS memainkan peranan penting dalam perkembangan berbagai
kankerdan sering mengaktifkan mutasi di KRAS onkogen pada kanker
kolorektal(Irahara dkk., 2010). MutasiK-RAS terjadi pada 30-50% KKR dan
memiliki hubungan dengan proliferasi dan penurunan apoptosis. Mutasi K-
RASpaling umum (sekitar 90%) ditemukan di kodon 12 dan 13 (Elsabah dan Adel,
2013).
Gambar 2.1 Sebuah model genetik pembentukan tumor kolorektal(Merchant
dkk, 2007).
Keterangan : LOH, loss of heterozygosity (hilangnya heterozigositas); DCC,
deleted in colon cancer gene (penghapusan gen kanker kolon); APC, adenomatous
polyposis is coll gene (gen adenomatous poliposis); ACC, aberrant crypt foci
4
(kripta foci abberant); MMR, DMA mismatch repair enzyme (ketidakcocokan
perbaikan enzim DMA) (Merchant dkk, 2007).
2.3. Prognosis Kanker Kolorektal
Faktor prognosis KKR kategori I antara lain penyebaran lokal tumor secara
patologis (kategori pT dari sistem staging TNM dari American Joint Committee
on Cancer and the Union Internationale Contre le Cancer [AJCC/UICC]),
penyebaran node kelenjar getah bening regional (pN kategori sistem staging
TNM), invasi melalui darah atau kelanjar limfa, residual tumor setelah
pembedahan kuratif (R klasifikasi dari sistem staging AJCC/UICC) dan
peningkatan carcinoembryonic antigen elevation preoperative. Faktor yang
termasuk kategori IIA antara lain: grade tumor, status margin radial (untuk reseksi
spesimen dengan permukaan non peritoneal) dan residual tumor pada reseksi
spesimen yang diikuti terapi neoadjuvan (yp dari sistem staging TNM). Faktor
kategori IIB meliputi tipe histologi: fiturhistologisyang berhubungan
denganmicrosatellite instability(MSI) (yaitu,
responlimfoidtumorhostdanjenishistologismedulaataumucinous), tingginya tingkat
MSI(MSI-H), hilangnyaheterozigositasdi18q(DCC kehilanganalelgen),
dankonfigurasi perbatasantumor. Faktor kategori III meliputi: konten DNA,
semua penanda molekuler lain kecuali hilangnya heterozigositas 18q / DCC dan
MSI-H, invasi perineural, kepadatan microvessel, protein atau karbohidrat terkait
sel tumor, fibrosis peritumoral, respon inflamasi peritumoral, fokus diferensiasi
neuroendokrin, pengorganisasian inti sel, dan indeks proliferasi. Faktor Kategori
IV termasuk Ukuran tumor dan konfigurasi tumor (Compton dkk, 2000).
5
Penyebab KKR sangat komplek, meliputi faktor lingkungan dan genetik.
Faktor ini dapat merubah mukosa normal menjadi premalignansi polip
adenomatous dan menjadi KKR dalam tahunan (Libutti dkk, 2008). Sebagian
besar kasus KKR bersifat sporadis, hal ini merupakan indikasi bahwa faktor
predisposisi genetik atau keluarga jarang terjadi. Saat ini diperkirakan 15-30%
kasus mempunyai komponen herediter, berdasarkan timbulnya kanker pada
generasi pertama atau kedua keluarga. Kejadian KKR pada individu tanpa riwayat
keturunan mengindikasikan tingginya sindroma genetik sebagai predisposisi KKR
seperti familial polyposis (FAP) atau hereditary nonpolyposis colorectal cancer
(HNPCC) dan memiliki dua kali risiko berkembang menjadi kanker kolorektal
(Fearon dan Bommer, 2008).
FAP mewakili sekitar 1% insiden kanker kolrektal. FAP terdiri dari ratusan
hingga ribuan polip kolon yang berkembang pada penderita usia belasan hingga
30-an tahun dan jika kolon tidak dilakukan pembedahan, 100% penderita akan
berkembang menjadi kanker. FAP adalah kelainan autosomal dominan dengan
penetrasi hampir 100%. Berdasarkan analisis kariotipe terungkap sebuah
interstitial deletion pada kromosom 5q dan analisis ikatan genetik pada 5q21, gen
yang bertanggung jawab pada FAP teridentifikasi sebagai APC untuk poliposis
adenomatous kolon (Libutti dkk, 2008). Ada 3 variasi dari FAP:
1. Sindroma gardner yang berhubungan dengan tumor ekstra intestinal
termasuk tumor desmoids, kita sebasea atau kista epidermoid, lipoma, osteoma
6
(khususnya pada mandibula) dan polip pada proksimal dari traktus
gastrointestinal.
2. Sindroma Turcots, berhubungan dengan tumor otak, terutama
meduloblastoma.
3. Attenuated familial adenomatous polyposis, memiliki lebih sedikit
jumlah polip kolon (umumnya < 100) dan onset yang lambat pada pembentukan
KKR dari pada varian lain. Kelainan ini adalah penyakit autosomal dominan
disebabkan mutasi pada gen APC, lokasi pada kromosom 5q21-q22 (Merchant
dkk, 2007).
HNPCC lebih umum dari pada FAP, yaitu sekitar 2-3% dari seluruh KKR
dan hasil dari mutasi pada salah satu dari beberapa gen DNA mismatch repair
yang mengakibatkan ketidakstabilan mikrosatelit (MSI)(Merchant dkk, 2007).
Usia rata-rata polip berkembang menjadi kanker kolorektal adalah 43 tahun, ini
merupakan HNPCC tipe 1. HNPCC tipe 2 merupakan tumor extra kolon, berasal
dari perut, usus kecil, kandung empedu, pelvis renalis, ureter, kandung kemih,
uterus dan ovarium, kulit dan pancreas. Waktu paruh KKR pada HNPCC adalah
80%. HNPCC merupakan kelainan autosomal dominan dengan penetrasi sekitar
80% (Libutti dkk, 2008).
Selain riwayat keluarga, faktor lain yang berkaitan pada munculnya risiko
KKR adalah usia yang semakin tua, inflammatory bowel disease, makanan tinggi
lemak dan atau protein hewani dan gaya hidup yang sedentary.Nonsteroidal anti-
inflammatory drugs terbuki memiliki efek pelindung pada banyak penelitian dan
beberapa penelitian menyatakan bahwa HMG Co-A reductase inhibitor juga
7
memiliki efek pelindung terhadap timbulnya karsinoma kolorektal. Bermacam
paparan seperti konsumsi alkohol, merokok dan komponen diet seperti serat dan
mikronutrient seperti kalsium dan selenium telah terbuki memiliki efek pada
risiko KKR (Fearon dan Bommer, 2008).
1.4 Pemeriksaan Kanker Kolorektal
Penderita tanpa gejala yang diduga menderita kanker kolon didapatkan
anemia atau tes darah samar tinja yang positif selama pemeriksaan fisik. Diagnosa
terbaik kanker kolon dengankolonoskopi. Gejala Penderita mungkin berhubungan
perdarahan per rektum (hematochesia), peningkatan frekuensi konstipasi atau
diare dan atau rasa tidak nyaman di perut. Penurunan berat badan kurang umum
terjadi kecuali penyakit sudah lanjut, kelelahan juga sering terjadi. Kelelahan dan
anemia adalah gejala yang berhubungan dengan lesi sisi kanan.Evaluasi
laboratorium antara lain pemeriksaan darah, evaluasi pembekuan darah, kerusakan
hati dan tes fungsi ginjal, gula darah puasa, elektrolit, urinalisis, dan pengukuran
Carcinoembryonic antigen (CEA). Tujuan pencitraan untuk staging kanker kolon
dapat dibagi menjadi dua kategori: (1) deteksi dan staging tumor primer dan (2)
penentuan tingkat metastasis penyakit. Untuk deteksi kanker primer dan polip
yang lebih besar dari 1,0 cm, single dan double-contrast barium enema telah
digunakan selama bertahun-tahun. Dengan munculnya computed tomography
(CT) scan,CT colonography telah digunakan untuk skrining polip dan massa
lainnya. Beberapa pemeriksamenggunakanMagnetic Resonance Imaging (MRI)
Colonography. Untuk staging penyakit yang berpotensi metastasis ekstrakolon,
8
dapat digunakanultrasound, CT, MRI, dan tomografi emisi positron
(PET)(Compton dkk, 2008).
Skrining diperkirakan dapat mengurangi kejadian mortalitas akibat
Karsinoma kolorektal (Edwards dkk, 2010). Sebagian besar KKR berasal dari
perkembangan adenoma-karsinoma, sebuah proses yang dapat berlangsung lebih
dari 10 tahun. Perkembangan dari polip adenomatosa kecil menuju polip yang
besar akibat adanya dysplasia yang kemudian berkembang menjadi kanker
memberikan kesempatan untuk mencegah kanker dengan mengembalikan polip ke
onset kanker sebelumnya. Panjang perkembangan waktu dari polip ke kanker
memberikan waktu untuk melakukan skrining seperti kolonoskopi yang tidak
perlu diulang tiap tahun dan tes yang kurang sensitif seperti darah samar,
dilakukan tiap tahun dapat mengidentifikasi lesi yang terlewat pada awal skrining.
Kolonoskopi telah menjadi standar emas untuk mendeteksi polip kolon dan
kanker kolorektal. Telah terlihat bahwa skrining awal kolonoskopi dan prosedur
polipektomi mengurangi insiden KKR pada penderita dengan polip adenomatosa.
Penilaian saat ini tentang metoda skrining mengindikasikan bahwa tingginya
angka ketaatan setiap metoda, dari keuntungan tersebut didapatkan beberapa
metoda screening: kolonoskopi tiap 10 tahun, tes darah samar tiap tahun dan
sigmoidoskopi setiap 5 tahun dengan hemocult SENSA tiap 2-3 tahun (Merchant
dkk, 2007; Edwards dkk, 2010). Rekomendasi skrining untuk KKR sporadik
dijelaskan dalam tabel 3.
9
Tabel 2.1 Rekomendasi screening untuk kanker kolorektal
sporadic(Merchant dkk, 2007).
K a t e g o r i R i s i k o Skrining yang dianjurkan Pemeriksaan al ternat ive
Usia (usia 50 tahun, tanpa riwayat adenoma, IBD, dan riwayat keluarga) Kolonoskopi pada us ia 50 tahun dan diul ang tiap 10 tah un jika t idak ada poli p Pemeriksaan darah samar tiap tahun dan sigmoidoskopi fleksibel tiap 5 tahun atau barium enema double kontras tiap 5 tahun .
Inflammatory bowel disease Dimulai 8-10 tahun setelah gejala awal dengan kolonoskopi, tia p 1-2 tahun dengan biopsi 4 kuadran, tiap 10 tahun dengan total 30 sampel, masa dan striktur juga disertakan. -
Riwayat keluarga positi f (generasi pe rt ama at au kedua keluarga dengan KKR pada semua usi a ) Skrining awal kolonoskopi pada usia 40 tahun atau 10 tahun lebih awal pada keluarga dengan KKR.
2.5. Stadium Kanker Kolorektal
Sejarahnya KKRtelah distaging berdasarkan sistem klasifikasi Dukes.
Seperti keganasan yang lain, metode staging TNM sekarang digunakan untuk
standarisasi(Hyman, 2000). Seperti sistem Dukes, Klasifikasi TNM untuk
KKRmemberi detail lebih daripada sistem lain. TNM memberikan identifikasi
yang lebih tepat untuk prognosa penderita (Greene dkk, 2006).
Tabel 2.2 KategoriTumor Primer (T), Kelenjar limfa Regional (N),
Metastasis Jauh (M) dan Residual Tumor (R) (Greene dkk, 2006).
Kategori TNM(R) K e t e r a n g a n
T x T u m o r p r i m e r t i d a k d a p a t d i n i l a i
T 0 T i d a k a d a t u m o r p r i m e r
T i s Carcinoma in situ: intraepithelial atau invasi ke lamina propria
T 1 T u m o r m e n g i n v a s i s u b m u k o s a
T 2 T u m o r m e n g i n v a s i m u s c u l a r i s p r o p i a
T 3 Tumor menginvasi muscularis propia hingga subserosa atau kedalam peritoneal perikolik atau jaringan perirektal.
T 4 Tumor menginvasi secara langsung organ atau strutur dan atau perforasi peritoneum viseralis.
N x K e l e n j a r l i m f e r e g i o n a l t i d a k d a p a t d i n i l a i
N 0 T i d a k a d a m e t a s t a s i s k e l e n j a r l i m f e
N 1 Metastasis pada 1 atau 3 kelenjar l imfe regiona l
10
N 2 Metastasis 4 atau lebih kelenjar l imfe regional .
M x M e t a s t a s i s j a u h t i d a k d a p a t d i n i l a i
M 0 T i d a k a d a m e t a s t a s i s j a u h
M 1 M e t a s t a s i s j a u h
R 0 Reseksi komplit, batas histology negative, tidak ada residual tumor setelah reseksi.
R 1 Reseksi tidak komplit, batas histology terkena, secara mikroskop tumor masih tersisa setelah reseksi
R 2 Reseksi tidak komplit, batas tumor atau tumor masih tersisa setelah reseksi
Sistem staging menekankan kedalaman pada dinding usus (T stage),
keterlibatan kelenjar limfe (N stage) dan ada atau tidak adanya metastasis jauh (M
stage). Prediksi angka 5 tahun kelangsungan hidup menurun dengan
meningkatnya staging secara keseluruhan (Merchant dkk, 2007).
Tabel 2.3Perbandingan klasifikasi AJCC/ UICC Cancer staging Dukes dan
MAC(modified Astler-Coller) dan angka kelangsungan hidup 5 tahun
(%)(Compton dkk, 2008).
Stagin g Kank er AJ CC/U IC C Perbandingan klasifikasi Duke dan MAC Modifikasi Astler Coller Perbandingan dengan SEER 5 YSR (%)
Staging Kanker AJCC/UICC Tumor Kelenjar Limfe Regional Metastasis Jauh
Stage 0 T i s N 0 M 0 - Terbatas mukosa I n S i t u
Stage 1 T 1 N 0 M 0 Dukes A, MAC A Meluas Hingga submukosa L o k a l
T 2 N 0 M 0 Dukes A, MAC B1 Meluas hingga muskularis propia L o k a l 93,2
Stage IIA T 3 N 0 M 0 Dukes B, MAC B2 Meluas hingga muskularis propia Regional 84,7
Stage IIB T 4 N 0 M 0 Dukes B, MAC B3 72,2
Stage IIIA T1-T2 N 1 M 0 Dukes C, MAC C1 Terbatas dinding usus dan kelenjar Regional 83,4
Stage IIIB T3-T4 N 1 M 0 Dukes C, MAC C2-C3 Melewati dinding usus dan kelenjar Regional 64,1
Stage IIIC Any T N 2 M 0 Dukes C, MAC C1-C2-C3 Regional 44,3
Stage IV Any T Any N M 1 -, MAC D Metastasis jauh J a u h 8 , 1
Secara internasional klasifikasi histopatologi kanker kolorektal telah
diberikan oleh World Health Organization dan direkomendasikan oleh College of
American Pathologists(CAP). Berdasarkan klasifikasi ini, mayoritas kanker
kolorektal adalahadenocarcinoma no special type (Compton dkk, 2008).
11
Tabel2.4 Klasifikasi histopatologi karsinoma kolorektal menurutWorld
Health Organization(Compton dkk, 2008).
No T i p e s e l
1 A d e n o c a r c i n o m a
2 M u c i n o u s ( c o l l o i d ) a d e n o c a r c i n o m a ( > 5 0 % m u c i n o u s )
3 S i g n e t - r i n g c e l l c a r c i n o m a ( > 5 0 % s i g n e t - r i n g c e l l s )
4 S q u a m o u s c e l l ( e p i d e r m o i d ) c a r c i n o m a
5 A d e n o s q u a m o u s c a r c i n o m a
6 S m a l l c e l l ( o a t c e l l ) c a r c i n o m a
7 M e d u l l a r y c a r c i n o m a
8 U n d i f f e r e n t i a t e d c a r c i n o m a
9 O t h e r ( e . g . , p a p i l l a r y c a r c i n o m a )
NOS ( not otherwise specified )bukan bagian klasifikasi WHO
Grading karsinoma kolorektal, secara keseluruhan dinilai bedasarkan
arsitektur dan sitologi (contoh pleomerfism, hiperkromatisme dan produksi
musin) tetapi derajat bentuk kelenjar secara luas adalah paling penting dalam
grading, sebagian besar sistem stratifikasi tumor dibagi 4 danhampir semua
penelitian mendokumentasikan kekuatan prognosis tingkat tumor menjadi 4 antara
lain:(Compton dkk, 2008)
Tabel 2.5 Grading Karsinoma Kolorektal dan kekuatan prognosis (Compton
dkk, 2008).
Grade K e t e r a n g a n Kekuatan prognosi s
1 W e l l d i f f e r e n t i a t e d L o w - g r a d e
2 M o d e r a t e l y d i f f e r e n t i a t e d L o w - g r a d e
3 P o o r l y d i f f e r e n t i a t e d H i g h - g r a d e
4 U n d i f f e r e n t i a t e d H i g h - g r a d e
1.6 Penatalaksanaan Kanker Kolorektal
Kanker Kolorektal adalah penyakit bedah. Pembedahan masih menjadi
modalitas terapi utama. Kemoterapi dan atau radioterapi memainkan peranan
penting dalam memaksimalkan pengobatan pada konjungsi dengan pembedahan,
atau memberikan peningkatan durasi dan quality of life untuk penderita dengan
12
metastasis (Hyman, 2000). Hemikolektomi dengan diseksi kelenjar getah bening
regional diindikasikan untuk penderita pada kanker kolon stadium 1,2 atau 3,
untuk penderita yang resektabel atau pada kanker kolon metastasis low volume
synchronous dan untuk penderita dengan perforasi atau obstruksi. Angka 5years
survivalDari reseksi metastasis hati atau paru yang mengalami rekurensi
anastomosis atau rekurensi pada kelenjar getah bening sekitar20-40%. Pada
penderita stadium 2 atau 3 sekitar 20-50%berkembang menjadi metastasis atau
lokal recurent karena adanya mikrometastasis atau reseksi tumor yang tidak
adekuat. Kemoterapi sitotaksik punya 3 peranan: 1. Memberikan terapi adjuvant
yang efektif untuk mengeliminasi atau mereduksi seluruh mikrometastasis tumor,
2. Merubah penyakit penderita yang unresectable menjadi resectable dan 3.
Untuk memperpanjang waktu progresi tumor atau untuk memberikan terapi
paliatif dan meningkatkan survival dan quality of life penderita metastasis KKR
(Lin dan Xiong, 2005).
Strategi pengobatan baru untuk KKR metastasis telah dikembangkan
selama akhir dekade ini dan hasilnya secara signifikan meningkat pada
keseluruhan survival dari 6 bulan menjadi 24 bulan (Therkildsen dkk, 2014).
Kanker kolorektal relatif resisten untuk kemoterapi (Debas, 2004). Selama
beberapa dekade, 5-FU adalah satu-satunya agen kemoterapi yang digunakan, dan
pilihan terapi sekarang telah berkembang pesat(Lin dan Xiong, 2005). Percobaan
klinis telah menunjukkan kombinasi dari levamizol dan 5-FU setelah reseksi
kuratif meningkatkan angka disease-free survival dan angka survival setelah
pembedahan pada kanker stadium 3 (Dukes C). Angka rekurensi berkurang 39%,
13
kematian akibat kanker berkurang 32% dan angka kematian secara keseluruhan
menurun 31% pada penderita yang menerima kombinasi kemoterapi setelah
operasi dibandingkan dengan yang dilakukan reseksi tetapi tidak menerima
kemoterapi. Tidak ada keuntungan survival kemoterapi terlihat pada kanker
stadium 2 (Debas, 2004).
Standar pengobatan KKR metastasis telah berubah dari monoterapi 5-FU
menuju kombinasi kemoterapi berdasarkan 5-FU dan irinocetan dan atau
oxiloplatin, dan yang lebih mutahir diperkenalkan biological agents targeted pada
angiogenesis dan epidermal growth faktor receptor (EGFR) signaling
(Therkildsen dkk, 2014). Epidermal growth faktor (EGFR) memiliki semua 6
keunggulan pada terapi kanker. Cetuximab (Erbitux) adalah human-murine
chimeric anti-EGFR immunoglobulinG monoclonal antibody. Diekspresikan pada
70-80% kanker kolorektal (Lin dan Xiong, 2005).
Penelitian prospektif secara acak telah menjelaskan fungsi kemoterapi
adjuvant pada penderita dengan resiko tinggi kanker kolontetapi fungsi terapi
radiasi adjuvant masih sulit dijelaskan. Radioterapi adjuvant belum dapat
dipraktekkan secara umum, karena lebih banyak mengalami kegagalan setelah
dilakukan reseksi kuratif pada abdomen. Meskipun insiden lokal failure mencapai
20% dan lokal failure secara signifikan lebih tinggi pada penderita tertentu,
mengimplikasikan bahwa penerapan secara selektif terapi radiasi post operasi
memberikan manfaat pada pengobatan kanker kolorektal (Compton dkk, 2008).
2.7 RAS dan jalur sinyalnya
14
Seluruhsuperfamili RASdikarakteristiki olehadanyadomain G
katalitik(Jancik dkk, 2010). Sinyal kaskade intraseluler melibatkan guanine
exchange faktors (GEF) yang memfasilitasi aktivasi RASdengan mengganti
GDPinaktif dengan GTP. Setelah diaktifkan, RAS mengarah pada aktivasi
downstreampada berbagai efektor termasuk serin/treonin kinase, GTPase-
activating proteins (GAP), phosphoinositide 3-kinase (PI3K), dan GEFs.RAS
dinonaktifkan ketika molekul GTP diubah kembali ke molekul GDP. Jika KRAS
yang bermutasi maka tetap di statusGTP. Oleh karena itu, KRAS tetap dalam
keadaan terikat GTP, dengan demikian, fungsi regulasi downstram hilang
(Gambar 2 ) (Arrington dkk, 2012; Wang dkk, 2010).
Gambar 2.2Aktivasi K-RAS(Arrington dkk, 2012).
K-RAS adalah protein sitoplasmik yang terikat GTP dan melekat dengan
aktifitas GTPase. Ketika protein KRASterikat dengan GTP, maka KRAS
memancarkan sinyal proliferasi seluler yangmenghambatapoptosis danbertindak
sebagai onkogenkhas(Pentheroudakis dkk, 2013). KRAS diaktifkan oleh
15
perubahanguanosin difosfat (GDP) menjadiguanosin trifosfat (GTP) (Gambar 3),
proses ini dipromosi oleh GEFs (Wang dkk, 2010).
Gambar 2.3K-RAS diaktifkan oleh guanosin diphosphat (GDP)menjadi
guanosin triphosphate (GTP)(Wang dkk, 2010).
Ekspresi K-RAS terdeteksi pada 50% kasus glandularadenocarcinoma.
Meskipun semua kasus mucinous dan variansignet ringnegatif pada
immunostaining(Elsabah dan Adel, 2013). KRAS adalah salah satu sensoryang
memulai aktivasisinyal molekul yang memungkinkan transmisi sinyal
transductingdari permukaan sel dengan inti, sehingga mempengaruhi
diferensiasisel, pertumbuhan, kemotaksis, dan apoptosis(Jancik dkk, 2010).
Sebuah kaskade transduksi sinyal yang diinisiasi oleh bentuk aktifKRAS
digambarkan dalam (Gambar 4).
16
Gambar 2.4Sebuah kaskade transduksi sinyal yang diprakarsai oleh bentuk
aktifKRAS(Jancik dkk, 2010).
2.8 Ekspresi RAS pada KKR.
RAS adalah nama yang diberikan untuk keluarga gen yang mengkode
membran protein kelas 21kD yang terikat pada nukleotida guanine dan memiliki
aktivitas GTPase. Ada 3 macam bentuk pada manusia, NRAS, HRAS, dan KRAS.
Gen RAS, HRAS dan KRAS diidentifikasi pada tahun 1975 dari penelitian dua
kanker yang menggunakan virus, Harvey sarcoma virus dan Kirsten sarcoma
virus oleh Scolnick et al pada National Institutes of Health (NIH). RAS onkogen
memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan regulasi sel dan merupakan
produk protein yang mempengaruhi banyak fungsi sel termasuk proliferasi sel,
apoptosis, migrasi,spesifikasi fatedan diferensiasi(Arrington dkk, 2012; Smith
dkk, 2010). Jalur RAS memainkan peran penting dalam perkembangan berbagai
kankerdan sering mengaktifkan mutasi di KRAS onkogen pada kanker kolorektal.
Hanya ada sedikit laporan mutasi NRAS pada kanker kolorektal dan tidak satupun
dari studi ini berkorelasi antara mutasi RAS dengan peristiwa molekul lain, mutasi
17
NRAS pada kanker kolorektal jarang terjadi (2,2%)sumber lain menyebutkan
(1,2%) (Irahara dkk, 2010; Vaughn dkk, 2011).
Anggota RAS GTPase (HRAS, KRAS dan NRAS) penting dalam jaringan
sinyal yang menghubungkan berbagai macam sinyal upstreamkejalur efektor
downstreamdan terkait dengan fungsi kontrol beragam hasil seluler termasuk
siklus perkembangan sel, pertumbuhan, migrasi, perubahan sitoskeletal, apoptosis,
dan penuaan (Medarde dan Santos, 2011; Irahara dkk, 2010). Protein RAS
bertindak sebagai transduser signal darireseptor membran ke inti sel(misalnya
faktorreseptor pertumbuhan),sehingga dapat mengatur pertumbuhan dan
diferensiasi.Penyimpangan gen RAS menyebabkan peningkatan dan proliferasi sel
yang tidak terkendali serta transformasi maligna (Elsabah dan Adel, 2013).
Padajaringan sinyal seluler, peranH-RAS, N-RAS atau K-RAS di jalurRas-
Raf-MAPK telah terbukti penting untuk mengendalikan proliferasi, diferensiasi,
dan kelangsungan hidup sel eukaryotik (Medarde dan Santos, 2011). Semua
anggota RAS menjadi aktif ketika reseptor transmembran terdekat (seperti,
reseptor faktor pertumbuhan, pasangan reseptor G-protein, reseptor tol, dll) terikat
oleh ligan yang sesuai (Gambar 2) (Arrington dkk, 2012).
Gambar 2.5 Aktivasi RAS Cascade(Arrington dkk, 2012).
18
Analisis awal status isoformmutasiRASpada kanker memunculkan insiden
yang bervariasi pada tipe tumoryang berbedadan hubungan individualRAS
isoformyang spesifikdengan kanker tertentu. K-RAS terbukti menjadi isoform
yang paling sering bermutasi pada kanker, dengan 90% berasal dari tumor
pankreas. Sebaliknya, mutasi N-RASterkait kuat dengan tumor hematopoietik.The
Catalog of Somatic Mutations in Cancer (Cosmic) dataset menegaskan bahwa K-
RAS adalah isoform paling sering bermutasi. Ditemukan pada 22% dari semua
tumor yang dianalisis, dibandingkan dengan 8% untuk N-RAS dan 3% untuk H-
RAS. Kejadian mutasi seluruh RAS rata-rata adalah 16% (Prior dkk, 2012).Sifat
tumorigenic mutasi N-RAS berhubungan dengan fungsi anti apoptosis yang
diaktifasi oleh jalur MAPK non-canonical dimana sinyalnya melalui Stat3.
Penghambatan yang selektif pada MEK menginduksi apoptosis pada tumor
dengan mutasi N-RAS. Penemuan translasi pada N-RAS berhubungan dengan
rendahnya outcome pada penderita KKR (Wang dkk, 2013).
MutasiK-RAS terjadi pada 30-50%. KKR dan memiliki hubungan
dengan proliferasi dan penurunan apoptosis.Mutasi K-RASpaling umum
(sekitar 90%) ditemukan di kodon 12 dan 13(Elsabah dan Adel, 2013). Total,
aktifasi mutasi pada gen RASterjadi pada sekitar 20% dari semua kanker pada
manusia, terutama di kodon 12, 13 atau 61.Mutasi padaKRASterjadi sekitar 85%
dari semua mutasi RAS pada tumor manusia, NRAS sekitar 15%, dan HRAS
kurang dari 1%(Irahara dkk, 2010).
PadaK-RAS dan N-RASterdapat 2 fenomena yaitu 80% dari mutasi K-RAS
terjadi pada kodon 12, sedangkan sangat sedikit mutasipada kodon
19
61.Sebaliknya, hampir 60% dari tumor N-RASbermutasi di kodon 61,
dibandingkan dengan35% pada kodon 12.H-RAS menampilkan perilaku
intermediate, sekitar 50% : 40% antara mutasi pada kodon 12 dan 61. Dari catatan
pada tingkat DNA, K-RAS dan N-RAS berbagi urutan encoding Gly12 dan Gln61.
Selanjutnya, substitusi basa tunggal mengakibatkan penggantian asam amino yang
sama.Polamutasi K-RAS didominasi oleh mutasi transisi G-A di kedua kodon 12
sekitar 43% atau kodon 13, sehingga terjadi G12D atau G13D
mutations.Transversi G-T di basis kedua membuat sebagian besar menghasilkan
G12V. Mutasi N-RASpada kodon 12 dan 13 jauh lebih rendah dibandingkan
dengan K-RAS. Sebaliknya, H-RASterjadi pada G12V di semua kanker dengan
mutasi pada kodon 12, dan secara umum menunjukkan proporsi 3 kalilebih
tinggimutasi transversi-ke-transisi dibandingkan pada K-RAS danN-RAS. Pada
mutasi kodon 61 terdapat heterogenitas yang jelas antara isoform pada kodon
12(Prior dkk, 2012). Mutasi HRASjarang terjadi pada kanker kolorektal (Douillard
dkk, 2013).
Mutasi K-RAS hadir pada sebagian besar adenokarsinoma duktus pankreas
dan persentase yang tinggi pada tumor paru-paru dan tumor kolon tetapi sangat
jarang pada tumor kandung kemihdi mana H-RAS yang paling sering bermutasi.
Sebaliknya, penelitian mengungkapkan tingginya insiden mutasi N-RASpada
tumor hematopoietik danmelanoma maligna, sedangkan tingkatmutasi K-RAS atau
H-RAS sedikit. Pada umumnya, mutasi K-RAS lebih sering ditemukan pada
adenokarsinoma dan tumor padat, sedangkan N-RAS adalah gen RAS yang lazim
bermutasi pada leukemia, karsinoma tiroid, atau melanoma malignan. MutasiH-
20
RASjarang ditemukan, dengan prevalensi tertinggi pada karsinoma kandung
kemih(Medarde dan Santos, 2011).
Pada K-RAS pasangan Glycine 12-Glycine 13 (G12-G13) menyumbang
sekitar 99% dari mutasi (86% dan 13%), hal ini merupakan mutasi yang
mempengaruhi asam glutamat 61. Laporan terbaru menunjukkan bahwa mutasi
ekson 4 dapat memprediksi prognosis yang lebih baik. Gen N-RAS pada tumor
manusia memiliki pola distribusi yang berbeda dengan tingkat mutasi
tertinggiditemukan pada Q61 (sekitar 60% dari total mutasi N-RAS) dan
persentase yang lebih rendah terdeteksi pada G12 (24,4%) dan G13 (12,7%).
Mutasi H-RAS menunjukkan pola khusus tersendiri, dengan persentase tertinggi
mutasi di kodon 12 (sekitar 54%), diikuti oleh kodon 61 (34,5%) dan kodon 13
(9%) (Medarde dan Santos, 2011).
Mutasi gen K-RAS terjadi awal padakanker kolorektal menunjukkan
bahwa mutasi ini dapat digunakan sebagai biomarker yang berguna untuk deteksi
dini kanker kolorektal (Ren dkk, 2012). MutasiK-RAS muncul sebagai prediktif
marker yang penting terhadapresistensi pengobatan EGFR monoclonal anti
antibody. Mutasi KRAS, 90% berada di ekson 2 dan 10% di ekson 3 dan 4
(Therkildsen dkk, 2014). Wild typeKRAS, berhubungan dengan resistensi
targeting therapyantibodi monoklonal EGFR. Secara khusus, penderita dengan
mutasi KRAS di ekson 2 tidak memiliki respon terhadap terapi anti-EGFR dan
mungkin memiliki hasil yang lebih rendah jika terapinya dikombinasikan dengan
regimen kemoterapi oxaloplatin. Mutasi pada RAS (KRAS atau NRAS) selain
mutasi KRASekson 2, telah diusulkan sebagai biomarker prediksi negatif terapi
21
anti-EGFR. Sekitar 90% dari mutasi mengaktifkan gen KRAS yang terdapat pada
kodon 12 (wild-type: GGT) dan kodon 13 (wild-type: GGC) di ekson 1, sementara
hanya 5% yang terletak pada kodon 61 (wild type: CAA) di ekson 2. Hal tersebut
secara biologis masuk akal atas dasar data biokimia dan mutasi yang ada. KRAS
dan NRASmerupakan anggota onkogenyang terkait erat pada mutasigen di kodon
12, 13, 61, 117, dan 146 merupakan hasil peningkatan protein RAS-
guanosinetriphosphate (Shen dkk, 2011; Elsabah dan Adel, 2013; Douillard dkk,
2013).
Telah diterima secara luas bahwa mutasi pada gen KRAS adalah kejadian
awal karsinogenesis pada kolorektal. Seperti dijelaskan oleh Vogelstein dkk,
bahwa mutasi gen KRAS terjadi akibat progresi adenoma menjadi karsinoma.
Beberapa penelitian menyelidiki hubungan antara mutasi KRAS dengan beberapa
parameter klinikopatologi tetapi hasilnya masih menjadi kontroversi. Hal tersebut
akibat adanya perbedaan etnis, lingkungan dan gaya hidup pada populasi di barat
dan di China (Shen dkk, 2011).
Pada histopatologiKRAS wild type dan KRAS mutant typeterbanyak adalah
adenocarsinoma. Pada grade differentiation untuk KRAS wild type dan KRAS
mutant type terbanyak adalah moderatedifferentiation(Knijn dkk, 2011; Yunxia
dkk, 2010). Pada penelitian lain differentiation untuk KRAS wild type dan NRAS
mutant type terbanyak pada well differentiation(Shen dkk, 2011).
2.9 Ekspresi EGFR dan jalur sinyalnya
Sejakditemukan,Epidermal growth faktor receptor (EGFR) dianggap
sebagai kandidat yang baik untuk targeting therapykanker. Kanker kolorektal
22
merupakanmodel disease untuktargeting therapyEGFR karena gen EGFR
diperkuat pada kanker kolorektal dan di-overexpresipada tingkat RNA dan protein
padasebagian besar tumor.Perkembangan targetantibodi monoclonal-EGFR
dimulai pada tahun 1980 dan telah disetujui 2 antibodi monoklonal yaitu
cetuximab dan panitumumab. Agen ini baik sendiri maupun kombinasi dengan
kemoterapi,menunjukkanpeningkatansecara keseluruhan dan
perkembangansurvival yang berbeda dari yang agen sitotoksik konvensional
(Dahabreh dkk, 2011). EGFR telah terbukti menjadi target klinis yang bermakna
untuk antibodi monoklonal (mAbs) dengan khasiat di semua lini pengobatan
metastasis KKR (Douillard dkk, 2010).
Reseptor tyrosine kinase (RTKs), seperti EGFRadalah protein
transmembran dengan domain ikatan liganekstraseluler dan katalitik
intraselulertyrosine kinase. Pada ikatan ligan serupa, sebagian besar
merupakandimerise RTKs dan menjadi aktif melalui autofosforilasi residu tirosin
intraseluler. Aktivasi hasil RTKsdiupregulasi oleh beberapa jalur sinyal seluler
yang mempromosikan pertumbuhan sel, survival dan angiogenesis atau
rangsangan lingkungan.Aktivasi yang tidak sesuai RTKsmenyebabkan terjadinya
mutasi,overekspresi atau produksi ligan ektopik dan hal ini adalah fitur
perkembangan tumor manusia yang sering terjadi dandianggap sebagai
mekanisme utama dimana sel-sel kanker menghancurkan kontrol pertumbuhan
normal (Dempke dan Heinemann, 2010).
EGFR adalah target terapi yang telah divalidasi secara klinis untuk
beberapa jenis kankerdiantaranya kanker kolorektal, non-small-cell lung
23
cancer(NSCLC), squamous cell carcinomakepala dan leherdan kanker pankreas
(Wang dkk, 2010; Yunxia dkk, 2010). Epidermalgrowth faktor (EGF) merupakan
salah satu dari beberapa ligan EGFRyang menyebabkan transformasi
faktorpertumbuhan, amphiregulin, epiregulin, dan heparin binding EGF. Protein
adaptor hasil kompleks dimer mengaktivasi bermacam-macam jalur sinyal
downstream, seperti Ras / Raf / mitogenyang diaktifkan melalui jalur protein
kinase, jalur phosphatidylinositol3-kinase / AKT dan jalur transkripsi aktivator
sinyal transduser yang penting dalam menginduksi regulasi transkripsi
pembelahan sel, diferensiasi, migrasi, adhesi, dan apoptosis (Wang dkk, 2010;
Knijn dkk, 2011).
EGFR mengontrol diferensiasi sel, proliferasi dan angiogenesis.
EGFRdiekspresikan pada 80%kanker kolorektal. Overekspresi EGFRmerupakan
prognosisburuk yangberhubungan dengan perkembangan klinis yang agresif.
Pertumbuhan tumor dapat didorong oleh aktivasi jalur sinyal downstreamEGFR,
seperti jalur RAS-MAPK-PI3K terlepas dari apakah EGFR diaktifkan atau diblok.
Pada kanker kolorektal metastatik, EGFR menginstruksikan sel kanker untuk
berkembang biak dan bermetastasis, memblokir EGFRmenghentikan sinyal ganas
ini (Elsabah dan Adel, 2013).
Perubahan lain dalam mediator jalur EGFR (misalnya mutasi BRAF, PTEN,
PIK3CA, dll) dapat memodifikasi respon terhadap terapi anti-EGFR. Setelah
aktivasi EGFR, K-RAS diaktifkan oleh jalur downstram melalui PI3K dan
extracellular signal regulated kinase (ERK). Dengan demikian, K-RAS adalah
24
mediator penting dari EGFR-induced sinyal kaskade (Gambar 6) (Arrington dkk,
2012).
Gambar 2.6 Sinyal EGFR dan interaksi KRAS/BRAF(Arrington dkk, 2012).
Aktifasi mutasi pada gen KRAS, mengakibatkan aktivasi EGFR-independen
dari jalur MAP-kinasedan didapatkan dalam 40-45% dari penderita kanker
kolorektal (KKR).Mutasi pada gen KRASberkorelasi dengan prognosis yang
buruk karenamutasi ini menonaktifkan aktivitas GTPase endogen RASprotein dan
menyebabkan RASyang terkait dengan kanker menumpuk dan aktif. Hal ini, pada
gilirannya menyebabkan aktivasi PI3K, MAP kinase dan lain-lain yang
menyebabkan transformasi maligna. Karena RAS adalah downstream dari EGFR,
sinyal RAS yangmenyimpang seperti pada sel-sel denganmutasiK-RAS
menyebabkan disregulasi jalur RASdependen dan sinyal downstream, bahkan
ketika reseptor upstreamdi-silence oleh antibodi monoklonal anti-EGFR atau
RTKs (gambar 7) (Dempke dan Heinemann, 2010).
25
Gambar 2.7 KaskadeEGFR dan transduksi sinyal RAS termodulasi(Dempke
dan Heinemann, 2010).
Mekanismeresistensi molekulerterhadap agen anti-EGFRdisebabkan
beberapa proses umum: (1) resistensi karena aktivasi alternatifreseptor tyrosine
kinaseyang melewati jalur EGFR (misalnya c-Met,IGF-1R), (2) resistensi karena
peningkatan angiogenesis, (3) resistensiberdasarkan aktivasi konstitutif mediator
downstream (misalnya PTEN, K-RAS, dan lain-lain) dan(4) adanya mutasi
spesifikEGFR(Dempke dan Heinemann, 2010). Mekanisme ini pertama dimulai
darismall G-protein RAS, yang berhubungan dengan proteinkinase-RAFkemudian
mengaktifkan mitogen-activated protein kinase (MAPK) cascade.Kedua,adanya
lipid kinase phosphatidylinositol 3-kinase yang memicu aktivasi sinyalPDK1 -
AKT(Benvenuti dkk, 2007).
2.10 EGFR dan RAS Onkogen
Stimulasi reseptor faktor pertumbuhan, seperti EGFR menyebabkan
aktivasi dari beberapaperaturanmolekul, termasuk protein RAS. EGFR
mengaktifkan RAS dengan merangsang ikatan dengan GTP. RAS, di fase
aktifterikat dengan GTP, mengikat beberapa proteintargetutama,sehingga
26
mengaktifasibeberapa jalur downstream, termasuk yang dimediasi oleh MAP
kinase, PI3K dan lain-lain (Dempke dan Heinemann, 2010).
Saat ini onkogen KRAS adalah biomarker molekular yang paling relavan
dalam memprediksi target terapi EGFR pada kanker kolorektal (Knijn dkk, 2011).
KRAS mutasi adalah prediktor yang kuat dalam memprediksi penurunan overall
survival, progression-free survival dan angka kegagalan terapi. Bukti secara
kuantitas menunjukkan bahwa keuntungan target terapi anti-EGFR pada kanker
kolorektal terbatas pada penderita tanpa mutasi KRAS(Dahabreh dkk, 2011).
Penderita KKR metastasis dengan tumor KRAS mutasi resisten terhadap terapi
anti-EGFR antibody dengan menunjukkan rendahnya overall response rate
(ORR), progression-free survival (PFS) dan overall survival (OS) dibandingkan
penderita dengan tumor KRASwild type (Knijn dkk, 2011).
Pengujian mutasi KRAS ekson 2 secara luas telah diterapkan untuk seleksi
penderita dengan KKRmetastasis wild typepada pengobatan anti-EGFR. Tingkat
respons mencapai 40-60% untuk pengobatan antiEGFR. Pada tumor KRAS ekson
2 wild type, telah memberikan prediksipenilaiantambahan, terutama dalam RAS-
RAF-MAPK dan jalur PI3K-AKT-mTOR (Therkildsen dkk, 2014). Pengujian
mutasiRAS (KRAS ekson 3 dan 4 dan NRAS ekson 2, 3 dan 4, di samping KRAS
ekson 2 yang saat ini dilakukan) harus dilakukan sebelum pemberian anti-EGFR
mAb dan dalammeta-analisis saat ini dapat menilai dampak dari perubahanoverall
response rate (ORR), progression-free survival (PFS) dan overall survival (OS)
(Sorich dkk, 2014; Therkildsen dkk, 2014).
27
Monoclonal antibody cetuximab dan pantimumab telah dikembangkan
sebagai target terapi EGFR. Peningkatan angka respon, perpanjangan waktu
mutasi dan waktu survival telah ditunjukkan pada pemberian EGFRblocking
antibodies (Elsabah dan Adel 2013). Anti-EGFR antibody monoclonal cetuximab
secara klinis telah menunjukkan keuntungan dan telah digunakan secara luas pada
kanker kolorektal metastasis. Bermacam usaha telah dibuat untuk
mengidentifikasi biomarker yang akan mengoptimalisasikan seleksi penderita
untuk memaksimalkan index terapi penderita kanker kolorektal metastasis yang
menggunakan pengobatan cetuximab dan anti-EGFR lain (Baker dkk, 2011).
Cetuximab telah menunjukkan peningkatan efek regimen standar first-line
kemoterapi pada beberapa kanker secara umum, termasuk kanker kolorektal
metastasis (Cutsem dkk, 2011). Cetuximab adalah sebuah chimera anti-EGFR
monoclonal antibody (IgG1 antibody) yang memblokade EGFR dan terbukti
efektif pada pengobatan kanker kolorektal pada semua lini dan telah disetujui di
Amerika Serikat sebagai agen tunggal pada penderita yang resisten terhadap
kemoterapi berbasis irinocetan dan oxiloplatin atau pada kemoterapi basis
kombinasi irinocetan sehingga telah digunakan pada pengobatan kanker
kolorektal metastasis. Cetuximab tidak direkomendasikan pada penderita dengan
KRAS mutasi pada kodon 12 atau 13. Cetuximab disetujui di eropa sebagai
kemoterapi agen tunggal atau kombinasi pada penderita yang kebal dengan
pengobatan kanker kolorektal metastasis dengan KRASwild type, pada kombinasi
dengan radioterapi untuk lokally advanced SCCHN ( squamous cell carcinoma of
the head and neck) dan pada kombinasi dengan kemoterapi basis platinum untuk
28
SCCHN yang rekuren atau metastasis (Wang dkk, 2010; Baker dkk, 2011;
Pentheroudakis dkk, 2013; Therkildsen dkk, 2014).
Ada hubungan yang positif antara mutasi KRAS p.G13D dengan
pengobatan cetuximab yang menunjukkan overall and progression-free survival
yang lebih baik. Peningkatan survival pada penderita dengan tumor p.G13D yang
telah mengalami metastasis pada grup monoterapi cetuximab dapat digunakan
untuk menperkirakan efek kemoterapi. Penderita dengan tumor mutasi p.G13D
yang diterapi dengan regimen kombinasi mempunyai angka survival keseluruhan
yang lebih baik daripada penderita dengan mutasi KRAS (Rock dkk, 2010). Oleh
karena itu European Medicines Agency dan the Food and Drug Administration
membatasi penggunaan anti-EGFR antibody pada penderita dengan KKR
metastasis dengan tumor KRASwild type (Knijn dkk, 2011).
Beberapa pembatasan metaanalisis diambil sebagai pertimbangan: pertama,
heterogenitas pada populasi penelitian adalah masalah yang potensial. Mutasi
pada gen KRAS bervariasi berdasarkan asal geografis penderita, tipe tumor, atau
ketika ada predisposisi yang mendasari perkembangan kanker kolorektal seperti
colitis ulcerative. Kedua, penggunaan staging yang berbeda atau grup yang kecil
dari stadium dapat menyebabkan heterogenitas (Ren dkk, 2012).
Recommended