View
0
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lanjut Usia (Lansia)
2.1.1 Konsep Lanjut Usia
Menurut Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
1998 yang termuat dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 tentang kesejahteraan
lanjut usia, lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun keatas.
Menurut Pasal 1 Undang–Undang No. 4 Tahun 1965 : seseorang
dinyatakan sebagai orang jompo atau usia lanjut setelah yang
bersangkutan mencapai usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak
berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari – hari
dan menerima nafkah dari orang lain (Makhfudli 2009).
2.1.2 Batasan Lanjut Usia
Menurut WHO (1989), batasan lansia adalah kelompok usia 45-
59 tahun sebagai usia pertengahan (middle/ young elderly), usia 60-74
tahun disebut lansia (ederly), usia 75 - 90 tahun disebut tua (old), usia
diatas 90 tahun disebut sangat tua (very old) (Mubarak, 2009).
Menurut Depkes RI (2003), batasan lansia terbagi dalam empat
kelompok yaitu pertengahan umur usia lanjut (virilitas) yaitu masa
persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan
kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini (prasenium) yaitu
kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun,
8
kelompok usia lanjut (senium) usia 65 tahun keatas dan usia lanjut
dengan resiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun
atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti,
menderita penyakit berat, atau cacat (Maryam et al., 2008).
2.1.3 Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
Proses menua adalah proses alami yang disertai adanya
penurunan kondisi fisik, mental maupun psikososial yang saling
berinteraksi satu sama lain. Keadaan tersebut berpotensi menimbulkan
masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara
khusus pada lansia (Anwar 2010).
Perubahan fisik pada lanjut usia antara lain perubahan sel, sistem
persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem
kardiovaskuler, sistem pengaturan suhu tubuh, sistem pernafasan,
sistem pencernaan, sistem reproduksi, sistem genitourinaria, sistem
endokrin, sistem integumen, dan sistem muskuloskeletal. Perubahan
mental pada lanjut usia antara lain mudah curiga, bertambah pelit atau
tamak jika memiliki sesuatu dan egois. Yang perlu dimengerti adalah
sikap umum yang ditemukan pada hampir setiap lanjut usia, yaitu
keinginan berumur panjang, ingin tetap berwibawa dan dihormati
(Stanley 2007).
Perubahan psikososial yang terjadi pada lansia yaitu perubahan
pada status sosial dan peranan di masyarakat. Ketika seseorang
mengalami pensiun, maka yang dirasakan adalah pendapatan
berkurang, kehilangan status sosial, kehilangan relasi, kehilangan
9
kegiatan, akibatya timbul kesepian akibat pengasingan dari lingkungan
sosial serta perubahan cara hidup (Nugroho 2008).
2.1.4 Sindrom Geriatri
Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang tua
yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan dikaitkan dengan
kecacatan. Tamplan klinis yang tidak khas sering membuat sindrom
geriatri tidak terdiagnosis. (Vina. 2015)
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinesia,
ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan
angka morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia
tua yang lemah. Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem
organ. Sindrom geriatrik mungkin memiliki kesamaan patofisiologi
meskipun presentasi yang berbeda, dan memerlukan interventasi dan
strategi yang berfokus terhadap faktor etiologi (Panitaetal, 2011)
Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan
akibat penuaan dengan perubahan akibat proses patologis. Beberapa
problema klinik dari penyakit pada lanjut usia yang sering dijumpai.
Sindrom geriatri antara lain:
- “The O Complex” : fall, confusion, incontinence, iatrogenic
disorders, impaired homeostasis
- “The Big Three”: Intelectual failure, instability, incontinence
- “The 14 I” : Immobility, impaction, Instability, iatrogenic, intelectual
Impairment, Insomnia, Incontinence, Isolation, Impotence,
10
Immunodeffciency, Infection, Inanition, Impairment of Vision,
Smelling, Hearing, Impecunity.
1. Jenis dan klasifikasi geriatri sindrome (Vina, 2015)
a) Imobility (Imobilisasi)
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring
selama 3 hari atau lebih, diiringi gerak anatomis tubuh yang
menhilang akibat perubahan fungsi fisiologis. Berbagai faktor
fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan
imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah
adanya rasa nyeri, lemah, kekuatan otot, ketidaksembangan
dan masalah psikologis.
b) Instability (Instabilitas dan jatuh)
Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan
pasien geriatri terjatuh dan dapat mengalami patah tulang.
Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya
instabilitas dan jatuh pada orang usia lanjut. Berbagai faktor
tersebut dapat diklasifikasikan sebagai faktor instrinsik (faktor
risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor
yang terdapat di lingkungan).
c) Intelektual Impairment (Gangguan Kognitif)
Keadaan yang terutama menyebabkan gangguan
intelektual pada pasien lanjut usia adalah delirium dan
demensia. Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan
memori yang dapat disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak
berhubungan tingkat kesadaran. Demensia tudak hanya
11
masalah pada memori. Demensia mencakup berkurangnya
kemampuan untuk mengenal, berpikir, menyimpan atau
mengingat pengalaman yang lalu dan juga kehilangan pola
sentuh, psien menjadi perasa dan terganggunya aktivitas.
d) Incontinence (Inkontinensia Urin dan alvi)
WHO mendefinisikan Faecal Incontinence sebagai
hilangnya tak sadar feses cair atau padat yang merupakan
masalah sosial atau higienis. Definisi lain menyatakan
inkontinensia alvi/fekal sebagai perjalanan spontan atau
keyidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses
melalui anus. Kejadian inkontinensia alvi/fekal lebih jarang
dibandingkan inkontinensia urin.
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang
tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, sehingga
mengakibatkan masalah sosial dan higienis.
e) Isolation (Depresi)
Gangguan depresi pada usia lanjut kurang dipahami
sehngga banyak kasus tidak dikenali. Gejala depresi pada usia
lanjut sering kali dianggap sebagai bagian dari proses menua.
Faktor yang memeperberat depresi adalah kehilangan orang
yang dicintai, kehilangan rasa aman, taraf kesehatan menurun
f) Impotence (impotensi)
50% pria pada umur 65 tahun dan 75 % pria pada usia 80
tahun mengalami impotensi. 25 % terjadi akibat mengkonsumsi
12
obat-obatan seperti : anti hipertensi, anti psikosa, anti
depressant, litium (mood stabilizer). Selain karena
mengkonsumsi obat-obatan, impotensi dapat terjadi akibat
menurunnya kadar hormon.
g) Immunodeficiency (penurunan imunitas)
Perubahan yang dapat terjadi dari proses menua adalah:
berkurangnya imunitas yang dimediasi oleh sel, rendahnya
afinitas produksi antibodi, meningkatnya autoantibodi,
terganggunya fungsi makrofag, berkurangnya hipersensitivitas
tipe lambat, atrofi timus, hilangnya hormon timus, berkurangnya
produksi sel B oleh sel-sel sumsum tulang
h) Infection (infeksi)
Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi
sistem imun pada usia lanjut. Infeksi yang sering dijumpai
adlaah saluran kemih, pneumonia, sepsis dan meningitis.
Kondisi lain seperti kurang gizi, multipatologi, dan faktor
lingkungan memudahkan usia lanjut terkenaa infeks.
i) Inanitation (malnutrisi)
Etiologi malnutrisi yaitu : malnutrisi primer terjadi sebab dietnya
mutlak salah satu kurang, malnutrsi sekunder atau bersayarat.
Kelemahan nutrisi pada dasarnya terjadi pada lansia karena
kehilangan berat badan fisiologis dan patologis yang tidak
disengaja. Anoreksia pada lanjut usia merupakan penurunan
fisiologis nafsu makan dan asupan makan yang menyebabkan
kehilangan berat badan yang tidak diinginkan.
13
j) Impaction (konstipasi)
Konstipasi oleh Holson adalah 2 dari keluhan-keluhan
berikut yang berlangsung dalam 3 bulan, konsistensi feses
keras, mengejan dengan keras saat BAB, rasa tidak tuntas saat
BAB meliputi 25 % dari keseluruhan BAB. Faktor resiko yang
menyebabkan konstipasi adalah: obat-obatan (narkotik
golongan NSAID , antasid aluminium, diuretik, analgeti), kondisi
neurologis, gangguan metabolik, psikologis, penyakit saluran
cerna, lain-lain (diet rendah serat, kurang olahraga, kurang
cairan)
k) Insomnia (gangguan tidur)
Merupakan gangguan tidur yang sering dijumpai pada
pasien geriatri. Umumnya mereka mengeluh bahwa tidurnya
tidak memuaskan dan sulit mempertahankan kondisi tidur.
Sekitar 57% orang lanjut usia di komunitas mengalami
insomnia kronis, 30% pasien usia lanjut mengeluh tetap terjaga
sepanjang malam, 19 % mengeluh bangun terlalu pagi, dan 19
% mengalami kesulitan untuk tertidur. Pada usia lanjut
umumnya mengalami gangguan tidur seperti: kesulitan untuk
tertidur, kesulitan mempertahankan tidur nyenyak, bangun
terlalu pagi. Faktor yang menyebabkan insomnia: perubahan
irama sirkadian, gangguan tidur primer, penyakit fiisik
(hipertiroid, arteritis), penyakit jiwa, pengobatan polifarmasi,
demensia.
14
l) Latrogenik disorder (gangguan latrogenik)
Karakteristik yang khas dari pasien geriatri yaitu
multipatologik, sering kali menyebabkan pasien mengkonsumsi
obat yang tidak sedikit jumlahnya. Pemberian obat pada lansia
haruslah sangat hati-hati dan rasional karena obat akan
dimetabolisme di hati sedangkan pada lansia terjadi penurunan
faal hati juga terjadi penurunan faal ginjal (jumlah glomerulus
berkurang), dimana sebagian besar obat dikeluarkan melalui
ginjal sehingga pada lansia sisa metabolisme obat tidak dapat
dikeluarkan dengan baik dan dapat berefek toksik.
m) Gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman
Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering
dianggap sebagai hal yang biasa akibat proses menua.
Prevalensi gangguan penglihatan pada pasien geriatri yang
diarawat di indonesia mencapai 24 %. Gangguan penglihatan
berhubungan dengan penurunan kegiatan waktu senggang ,
status fungsional, fungsi sosial dan mobilitas. Gangguan
pengelihatan dan pendengaran berhubungan dengan kualitas
hidup, meningkatkan disabilitas fisik, ketidakseimbangan,
jatuh, fraktur panggul dan mortalitas.
2.2 Konsep Tidur
2.2.1 Pengertian Tidur
Tidur merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan
penurunan kesadaran, berkurangnya aktivitas pada otot rangka dan
penurunan metabolisme (Harkreader, Hogan & Thobaben, 2007). Tidur
15
adalah suatu keadaan berulang-ulang, perubahan status kesadaran
yang terjadi selama periode tertentu. Tidur yang cukup dapat
memulihkan tenaga. Tidur dapat memberikan waktu untuk perbaikan
dan penyembuhan sistem tubuh untuk periode keterjagaan berikutnya
(Potter & Perry, 2005). Tidur adalah kebutuhan dasar manusia, yang
merupakan proses biologi universal yang biasa terjadi pada setiap
orang, dikarakteristikkan dengan aktivitas fisik yang minimal, tingkat
kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fisiologis tubuh dan
penurunan respon terhadap stimulus eksternal (Kozier, Erb, Berman &
Snyder, 2004).
2.2.2 Fisiologi Tidur
Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur yang
melibatkan mekanisme serebral secara bergantian dengan periode
yang lebih lama, agar mengaktifkan pusat otak untuk dapat tidur dan
terjaga (Potter & Perry, 2005). Tidur diatur oleh tiga proses, yaitu :
mekanisme homeostasis, irama sirkadian dan irama ultradian
(Harkreader, Hogan & Thotaben, 2007).
1. Mekanisme Homeostatis
Sebuah mekanisme menyebabkan seseorang terjaga dan
yang lain menyebabkan tertidur (Potter & Perry, 2005). Sistem
aktivasi reticular (SAR) berlokasi pada batang otak teratas. SAR
terdiri dari sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan
terjaga. SAR dapat menerima stimulus sensori visual, auditori,
nyeri dan taktil serta aktivitas korteks serebral seperti rangsangan
16
emosi dan berpikir. Sleep Research Society (1993) berpendapat
bahwa neuron dalam SAR akan mengeluarkan katekolamin
seperti norepinefrin yang akan membuat kita terjaga (Potter &
Perry, 2005). Sedangkan tidur terjadi karena adanya pengeluaran
serotonin dari sel tertentu dalam system tidur raphe pada pons dan
otak depan bagian tengah di daerah sinkronisasi bulbar (bulbar
synchronizing region). Ketika orang mencoba tertidur, mereka
akan mencoba menutup mata dan berada dalam keadaan rileks,
stimulus ke SAR pun menurun. Jika ruangan gelap dan tenang,
maka aktivasi SAR selanjutnya akan menurun, BSR mengambil
alih yang kemudian akan menyebabkan tidur.
2. Irama Sirkadian
Irama sirkadian adalah pola bioritme yang berulang selama
rentang waktu 24 jam. Fluktuasi dan perkiraan suhu tubuh, denyut
jantung, tekanan darah, sekresi hormon, kemampuan sensorik
dan suasana hati tergantung pada pemeliharaan siklus sirkadian
24 jam (Potter & Perry, 2005). Akerstedt (2003) mengungkapkan
bahwa irama sirkadian diatur oleh hipotalamus dan
mengkordinasikan siklus tidur-bangun, sekresi hormone, pengatur
suhu tubuh, suasana hati dan kemampuan performa (Kunert &
Kolkhorst, 2007). Pola tidur-bangun muncul dan dapat
menyebabkan adanya pelepasan hormone tertentu. Melatonin,
disintesis di kelenjar pineal saat waktu gelap, saat siang hari pineal
tidak aktif tetapi jika matahari sudah terbit dan hari mulai gelap,
pineal mulai memproduksi melatonin, yang akan dilepaskan ke
17
dalam darah. Selain hormone, siklus tidur-bangun juga
dipengaruhi oleh rutinitas sehari-hari, kegiatan sosial, kebisingan,
alarm juga.
3. Irama Ultradian
Irama ultradian merupakan kejadian berulang pada jam
biologis yang kurang dari 24 jam. Siklus ultradian pada tahap tidur
terdapat dua tahapan, yaitu tidur rapid eye movement (REM) dan
tidur non rapid eye movement (NREM).
2.2.3 Jenis Tidur
Menurut Rafiudin tahun 2004, jenis tidur dibedakan menjadi 2 :
1. Tidur REM
Tidur REM terjadi saat kita bermimpi dan ini ditandai dengan
tingginya aktivitas mental dan fisik. Ciri-cirinya antara lain detak
jantung, tekanan darah, dan cara bernapas sama dengan yang
dialami saat kita terbangun.
Mimpi-mimpi selama tidur REM di antaranya bisa
membangkitkan gairah seks, sekalipun mimpi-mimpi tersebut
sebenarnya bukan kepuasan seks. Masa tidur REM kira-kira 20
menit dan terjadi empat atau lima kali selama semalam. Tidur REM
bias bergantian dengan masa tidur NREM, yaitu saat tubuh menjadi
lambat berfungsi.
2. Tidur NREM
Tidur NREM memiliki empat tingkatan. Selama tingkatan
terdalam berlangsung (3 dan 4), orang tersebut akan cukup sulit
18
dibangunkan. Beranjak lebih malam, status tidur NREM semakin
ringan. Tingkat 4, tidur serasa menyegarkan/menguatkan. Selama
periode ini, tubuh memperbaiki dirinya dengan menggunakan
hormone yang dinamakan somatostatin.
Ilmuwan mendefinisikan bahwa tidur yang terbaik adalah
tidur yang mengalami perpaduan tepat antara mengalami REM dan
NREM. Tidur yang cukup tanpa interupsi/terbangun dari lingkungan
atau faktor internal, seperti cara bernafas, lebih berperan dalam
memelihara arsitektur tidur secara alamiah, sehingga akan berhasil
dalam pemulihan stamina.
2.2.4 Siklus Tidur
Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM
dan NREM terjadi berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang
kurang cukup mengalami REM, maka esok harinya ia akan
menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat
mengendalikan emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika
NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang gesit (Mardjono,
2008).
19
Siklus tidur normal:
Tahap pratidur
↓
NREM tahap I → NREM tahap II → NREM tahap III → NREM tahap IV
↑
Tidur REM
↑
NREM tahap IV ←NREM tahap III
Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang
merupakan siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama
sirkadian ini juga merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika
terganggu, maka fungsi fisiologis dan psikologis dapat terganggu (Potter
& Perry, 2005).
2.2.5 Tidur Cukup Sesuai Usia
Tabel 2.2.5 Tidur Cukup Usia
Usia Kebutuhan Tidur
Bayi Baru Lahir 14-18 jam/hari 50% tidur REM
Bayi (0-1 tahun) 12-14 jam/hari 20-30% tidur
REM
Toddler (1-3 tahun) 11-12 jam/hari 25% tidur REM
Pra Sekolah (4-6 tahun) 11 jam/hari 20% tidur REM
Usia Sekolah (7-12 tahun) 6-10 jam/hari 18,5% tidur REM
Remaja (11-20 tahun) 9 jam/hari 20% tidur REM
Dewasa Muda (20-40
tahun)
7-8 jam/hari 20% tidur REM
20
Dewasa Akhir (40-64
tahun)
7 jam/hari 20% tidur REM
Manula (>65 tahun) 6 jam/hari 20-25% tidur REM
Sumber : Wartonah, 2004
2.2.6 Faktor Yang Mempegaruhi Tidur
Sejumlah faktor mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur,
faktor fisiologis,faktor psikologi dan lingkungan dapat mengubah
kualitas dan kuantitas tidur. Diantaranya yaitu (Perry & Potter, 2005) :
1. Penyakit fisik
Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan
fisik atau masalah suasana hati, seperti kecemasan atau depresi,
dapat menyebabkan kesulitan tidur. Penyakit juga dapat memaksa
klien untuk tidur dalam posisi yang tidak biasa.
2. Obat-obatan
Mengantuk dan deprivasi tidur adalah efek samping yang
umum. Medikasi yang diresepkan untuk tidur seringkali memberi
banyak masalah dari pada keuntungan. Orang dewasa muda dan
dewasa tengah dapat tergantung pada obat tidur untuk mengatasi
stresor gaya hidupnya. Lansia seringkali menggunakan variasi obat
untuk mengontrol atau mengatasi penyakit kroniknya, dan efek
kombinasi dari beberapa obat dapat mengganggu tidur secara
serius.
3. Gaya hidup
Rutinitas harian seseorang mempengaruhi pola tidur.
Individu yang bekerja bergantian berputar (misalnya 2 minggu siang
21
diikuti oleh 1 minggu malam) sering kali mempunyai kesulitan
menyesuaikan perubahan jadwal tidur.
4. Stress emosional
Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat
menggangu tidur. Stress emosional menyebabkan seseorang
menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi apabila tidak tidur.
Stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras utuk
tertidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak
tidur. Stres yang berlanjut akan menyebabkan kebiasaan tidur yang
buruk.
5. Lingkungan
Lingkungan fisik tempat seseorang tidur berpengaruh
penting pada kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur. Keadaan
lingkungan yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk tertidur
dan tetap tertidur di antaranya adalah suara/ kebisingan, suhu
ruangan, dan pencahayaan. Keadaan lingkungan yang aman dan
nyaman bagi seseorang dapat mempercepat terjadinya proses
tidur.
6. Aktivitas fisik dan kelelahan
Seseorang yang kelelahan menengah (moderate) biasanya
memperoleh tidur yang mengistirahatkan, khususnya jika kelelahan
adalah hasil dari kerja atau latihan yang menyenangkan. Latihan 2
jam atau lebih sebelum waktu tidur membuat tubuh mendingin dan
mempertahankan suatu keadaan kelelahan. Akan tetapi, kelelahan
22
yang berlebihan yang dihasilkan dari kerja yang meletihkan atau
penuh stres membuat sulit tidur.
7. Asupan makanan dan kalori
Makan besar, berat dan berbumbu pada makan malam
dapat menyebabkan tidak dapat dicerna yang menggangu tidur.
Kafein dan alkohol yang dikomsumsi pada malam hari mempunyai
efek produksi-insomnia. Alergi makanan juga dapat menyebabkan
insomnia.
2.2.7 Macam-macam Gangguan Tidur
1. Insomnia
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi
kebutuhan tidur baik kualitas maupun kuantitas. Jenis insomnia ada
3 macam yaitu insomnia inisial atau tidak dapat memulai tidur,
insomnia intermitten atau tidak bias mempertahankan tidur atau
sering terjaga dan insomnia terminal atau bangun secara dini dan
tidak dapat tidur kembali (Potter & Perry, 2005).
2. Hipersomnia
Hipersomnia merupakan gangguan tidur dengan kriteria
tidur berlebihan, pada umumnya lebih dari Sembilan jam pada
malam hari. Disebabkan oleh kemungkinan adanya masalah
psikologis, depresi, kecemasan, gangguan susunan saraf pusat,
ginjal, hati dan gangguan metabolism (Asmadi, 2008)
23
3. Parasomnia
Parasomnia merupakan suatu rangkaian gangguan tidur
yang mempengaruhi tidur anak-anak seperti sonambulisme (tidur
berjalan), ketakutan, dan enuresis (ngompol). Gangguan-
gangguan ini sering dialami anak bersamaan, diturunkan dalam
keluarga dan cenderung terjadi pada tahap III dan IV tidur NREM
(Kenneth & Theresa, 2006).
4. Somnambulisme
Somnambulisme merupak gangguan tingkah laku yang
sangat kompleks mencangkup adanya otomatis dan
semipurposeful aksi motorik, seperti membuka pintu, menutup
pintu, duduk di tempat tidur, menabrak kursi, berjalan kaki dan
berbicara. Termasuk tingkah laku berjalan dalam beberapa menit
dan kembali tidur (Japardi, 2002). Somnambulisme ini lebih banyak
terjadi pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. Seseorang
yang mengalami somnambulisme mempunyai risiko terjadinya
cedera (Asmadi, 2008).
5. Enuresis
Enuresis adalah kencing yang tidak disengaja
(mengompol). Terjadi pada anak-anak dan remaja, paling banyak
terjadi pada laki-laki. Penyebab secara pasti belum jelas, tetapi ada
beberapa faktor yang dapat menyebabkan enuresis seperti
gangguan pada bladder, stress dan toilet training yang kaku
(Asmadi, 2008).
24
6. Narkolepsi
Narkolepsi merupakan suatu kondisi yang dicirikan oleh
keinginan yang tak terkendali untuk tidur. Dapat dikatakan pula
bahwa narkolepsi adalah serangan mengantuk yang mendadak,
sehingga ia dapat tertidur pada setiap saat dimana serangan tidur
(kantuk) tersebut dating (Asmadi, 2008)
7. Mendengkur
Mendengkur disebabkan oleh adanya rintangan terhadap
pengaliran udara di hidung dan mulut. Amandel yang membengkak
dapat menjadi faktor yang turut menyebabkan mendengkur.
Pangkal lidah yang menyumbat saluran nafas pada lansia. Otot-otot
di bagian belakang mulut mengendur lalu bergetar jika dilewati
udara pernafasan (Asmadi, 2008).
2.2.8 Kualitas Tidur
Kualitas tidur mengandung arti kemampuan individu untuk dapat
tetap tidur dan bangun dengan jumlah tidur REM dan NREM yang
sesuai, sedangkan yang dimaksud dengan kualitas tidur adalah
keseluruhan waktu tidur individu, diantara keduanya mempertahankan
kualitas tidur lebih baik dari pada sekedar mencapai jumlah atau
banyaknya jam tidur. Kualitas tidur yang baik akan ditandai antara lain
dengan tidur yang tenang, merasa sangat segar saat bangun tidur di
pagi hari dan individu merasa penuh semangat untuk melakukan
aktivitas hidup lainnya (Craven & Hirnley, 2000)
25
Menurut Daniel et al., (1998), kualitas tidur meliputi aspek
kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur, waktu yang
diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif
seperti kedalaman dan kepulasan tidur. Persepsi mengenai kualitas
tidur itu sangat bervariasi dan individual yang dapat dipengaruhi oleh
waktu yang digunakan untuk tidur pada malam hari atau efisiensi tidur.
Menurut Lai (2001), kualitas tidur ditentukan oleh bagaimana seseorang
mempersiapkan pola tidurnya pada malam hari seperti kedalaman tidur,
kemampuan mempertahankan tidur dan kemudahan untuk tertidur
tanpa bantuan media. Kualitas tidur yang baik dapat memberikan
perasaan tenang di pagi hari, perasaan energik dan tidak mengeluh
gangguan tidur, dengan kata lain memiliki kualitas tidur baik sangat
penting dan vital untuk hidup semua orang.
Menurut Hidayat (2006), kualitas tidur seseorang dikatakan baik
apabila tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak
mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur
dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda psikologis. Di bawah ini akan
dijelaskan apa saja tanda fisik dan psikologis yang dialami.
1. Tanda fisik
Ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di
kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung),
kantuk yang berlebihan (sering menguap), tidak mampu untuk
berkonsentrasi (kurang perhatian), terlihat tanda-tanda keletihan
seperti penglihatan kabur, mual dan pusing.
26
2. Tanda psikologis
Menarik diri, apatis dan respons menurun, merasa tidak
enak badan, malas berbicara, daya ingat berkurang, bingung, timbul
halusinasi, dan ilusi penglihatan atau pendengaran, kemampuan
memberikan pertimbangan atau keputusan menurun.
Kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak
menunjukan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami
masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat
dibedakan menjadi tanda fisik dan tanda psikologis. Tanda – tanda fisik
akibat kekurangan tidur antara lain ekspresi wajah (area gelap disekitar
mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata
terlihat cekung), kantuk yang berlebihan, tidak mampu berkonsentrasi,
terlihat tanda – tanda keletihan. Sedangkan tanda – tanda psikologis
antara lain menarik diri, apatis, merasa tidak enak badan, malas, daya
ingat menurun, bingung, halusinasi, ilusi penglihatan dan kemampuan
mengambil keputusan menurun (Oktora, 2013).
Cara yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan tidur
antara lain terapi farmakologi dan terapi nonfarmakologi. Terapi
farmakologi dapat dilakukan dengan pemberian obat tidur. Obat tidur
dapat membantu klien jika digunakan dengan benar. Tetapi
penggunaan jangka panjang dapat mengganggu tidur dan 19
menyebabkan masalah yang lebih serius. Salah satu kelompok obat
yang aman digunakan adalah benzodiazepin karena obat ini tidak
menimbulkan depresi sistem saraf pusat seperti sedatif dan hipnotik.
27
Benzodiazepin menimbulkan efek relaksasi, antiansietas dan hipnotik
dengan memfasilitasi kerja neuron di sistem saraf pusat yang menekan
responsivitas terhadap stimulus sehingga dapat mengurangi terjaga
(Potter dan Perry, 2006).
Terapi nonfarmakologi yang dapat dilakukan untuk mengatasi
gangguan tidur dan meningkatkan kualitas tidur adalah terapi
pengaturan tidur, terapi psikologi, dan terapi relaksasi. Terapi
pengaturan tidur ditujukan untuk mengatur jadwal tidur penderita
mengikuti irama sirkadian tidur normal penderita dan penderita harus
disipilin menjalankan waktu tidurnya. Terapi psikologi ditujukan untuk
mengatasi gangguan jiwa atau stress berat yang menyebabkan
penderita sulit tidur. Terapi relaksasi dapat dilakukan dengan cara
relaksasi nafas dalam, relaksasi otot progresif, latihan pasrah diri, terapi
musik dan aromaterapi. Relaksasi nafas dalam dilakukan dengan
menarik nafas dari hidung kemudian dikeluarkan lewat mulut untuk
membuat lebih rileks dan nyaman. Relaksasi otot progresif adalah
relaksasi yang dilakukan dengan cara melakukan peregangan otot dan
mengistirahatkannya kembali secara bertahap dan teratur sehingga
memberi keseimbangan emosi dan ketenangan pikiran (Sitralita, 2010).
Kualitas tidur dapat diukur menggunakan Pittsburg Sleep Quality
Index (PSQI). Alat ini merupakan alat untuk menilai kualitas tidur. Alat
ini terdiri dari 19 poin pertanyaan yang berada di dalam 7 kompenen
nilai. 19 pertanyaan itu mengkaji secara luas faktor yang berhubungan
dengan tidur seperti durasi tidur, latensi tidur, dan masalah tidur. Setiap
komponen skor memiliki rentang nilai 0-3. Ketujuh komponen
28
dijumlahkan sehingga terdapat skor 0-21, dimana skor lebih tinggi dari
5 menandakan kualitas tidur yang buruk (Buysse, 1988).
2.3 Terapi Musik
2.3.1 Pengertian Terapi Musik
Terapi musik terdiri dari dua kata yaitu terapi dan musik. Kata terapi
berkaitan dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu
atau menolong orang. Biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks
masalah fisik dan mental (Djohan, 2006). Terapi musik adalah sebuah
terapi kesehatan yang menggunakan musik di mana tujuannya adalah
untuk meningkatkan atau memperbaiki kondisi fisik, emosi, kognitif, dan
sosial bagi individu dari berbagai kalangan usia. Bagi orang sehat, terapi
musik bisa dilakukan untuk mengurangi stress dengan cara
mendengarkan musik (Javasugar, 2009).
2.3.2 Jenis Terapi Musik
Dalam kongres Terapi Musik ke-9 di Washington tahun 1999
dipresentasikan lima model terapi musik, terapi musik tersebut adalah
guide imagery and music dari Helen Bony, creative music therapy dari
Poul Nordoff dan Clive Robbins, behavioral music therapy dari Clifford
K. Madsen dan improvisasi music therapy dari Juliette Alvin.
Guide imagery and music merupakan terapi yang disusun secara
berurutan guna mendukung, membangkitkan, dan memperdalam
pengalaman yang terkait dengan kebutuhan psikologis dan fisiologis.
Sepanjang perjalanan musik yang didengar, klien diberi kesempatan
untuk menghayati berbagai aspek kehidupannya melalui perjalanan
29
imajinatif. Creative music therapy adalah terapi yang memposisikan
klien dan terapis sebagai pusat pengalaman. Bermain musik adalah
fokus dalam sesi terapi dan mulai dari awal terapi individu dan
pengalaman musikal akan diserap melalui sesi-sesi yang berlangsung
(Djohan, 2006).
Behavioral music therapy merupakan terapi yang menggunakan
musik sebagai kekuatan dan isyarat stimulus untuk meningkatkan atau
memodifikasi perilaku adaptif dan menghilangkan perilaku mal-adaptif.
Musik disini digunakan untuk membantu program memodifikasi perilaku.
Improvisasi Music Therapy yaitu terapi musik yang didasarkan atas
pemahaman suatu terapi musik akan berhasil jika klien dibebaskan
untuk mengembangkan kreasinya, memainkan, atau memperlakukan
alat musik sekehendak hati. Terapis sama sekali tidak memberikan
intervensi, mencampuri ataupun memberikan peraturan, struktur, tema,
ritme, maupun bentuk musik. Dalam arti, tanpa seorang terapis
professional pun terapi ini bisa dilaksanakan (Djohan, 2006).
2.3.3 Manfaat Musik
Penggunaan terapi musik ditentukan oleh intervensi musikal
dengan maksud memulihkan, menjaga, memperbaiki emosi, fisik,
psikologis, dan kesehatan serta kesejahteraan spiritual (Djohan, 2006).
Terapi musik dapat berupa menciptakan music, bernyanyi, bergerak
mengikuti musik, atau mendengarkan musik. Terapi musik bermanfaat
bagi pasien yang menderita ketidakmampuan perkembangan,
30
gangguan kesehatan jiwa, demensia, dan nyeri (Stockslager dan
Schaeffer, 2008).
2.3.4 Prosedur Terapi Musik
Terapi musik tidak selalu membutuhkan kehadiran ahli terapi,
terapi musik dapat dilakukan dengan prosedur terapi musik yang
terstandar. Prosedur yang digunakan yaitu peneliti dapat mendengarkan
berbagai jenis musik sebelumnya untuk mempermudah penelitian. Ini
berguna untuk mengetahui respon dari tubuh responden. Lalu anjurkan
responden untuk rileks, ambil nafas dalam-dalam, tarik dan keluarkan
perlahan-lahan melalui hidung. Saat musik dimainkan, dengarkan
dengan seksama instrumennya, seolah-olah pemainnya sedang ada di
ruangan memainkan musik khusus untuk responden.
Peneliti bisa memilih tempat duduk lurus di depan speaker, atau
bisa juga menggunakan headphone. Tapi yang terpenting biarkan suara
musik mengalir keseluruh tubuh responden, bukan hanya bergaung di
kepala. Bayangkan gelombang suara itu datang dari speaker dan
mengalir ke seluruh tubuh responden. Bukan hanya dirasakan secara
fisik tapi juga fokuskan dalam jiwa. Fokuskan di tempat mana yang ingin
peneliti sembuhkan, dan suara itu mengalir ke sana. Dengarkan,
sembari responden membayangkan alunan musik itu mengalir melewati
seluruh tubuh dan melengkapi kembali sel-sel, melapisi tipis tubuh dan
organ dalam responden.
Idealnya, peneliti dapat melakukan terapi musik selama kurang
lebih 30 menit hingga satu jam tiap hari, namun jika tidak memiliki cukup
31
waktu maka terapi ini dapat dilakukan 10 menit, karena selama waktu
10 menit telah membantu pikiran responden beristirahat (Wijayanti,
2012).
2.3.5 Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Terapi Musik
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam terapi musik yaitu
hindari interupsi yang diakibatkan cahaya yang remang-remang dan
hindari menutup gorden atau pintu, usahakan klien untuk tidak
menganalisa musik dengan prinsip nikmati musik ke mana pun musik
membawa dan gunakan jenis musik sesuai dengan kesukaan klien
terutama yang berirama lembut dan teratur. Upayakan untuk tidak
menggunakan jenis musik rock and roll, disco, metal dan sejenisnya.
Karena jenis musik tersebut mempunyai karakter berlawanan dengan
irama jantung manusia (Wijayanti, 2012).
2.3.6 Pemberian Terapi Musik
Musik memiliki efek membantu untuk menenangkan otak dan
mengatur sirkulasi darah. Musik bisa meredakan rasa sakit, mengurangi
stress, menurunkan tekanan darah, memperbaiki mood, serta
menyembuhkan insomnia. Musik juga dapat mengaktifkan syaraf
menjadi rileks (Tarigan, 2010). Musik yang didengar melalui telinga akan
distimulasi ke otak, kemudian musik tersebut akan diterjemahkan
menurut jenis musik dan target yang akan distimulasi. Gelombang suara
musik yang dihantarkan ke otak berupa energi listrik melalui jaringan
32
syaraf akan membangkitkan gelombang otak yang dibedakan atas
frekuensi alfa, beta, theta, dan delta. Gelombang alfa membangkitkan
relaksasi, gelombang beta terkait dengan aktifitas mental, gelombang
tetha dikaitkan dengan situasi stress dan upaya kreatifitas, sedangkan
gelombang delta dihubungkan dengan situasi mengantuk. Musik
sebagai stimulus memasuki system limbik yang mengatur emosi, dari
bagian tersebut, otak memerintahkan tubuh untuk merespon musik
sebagai tafsirannya. Jika musik ditafsirkan sebagai penenang, sirkulasi
tubuh, degup jantung, sirkulasi nafas, dan peredaran nafas pun menjadi
tenang (Stefanus, 2011).
2.3.7 Terapi Musik Instrumental
Terapi musik instrumental adalah suatu cara penanganan
penyakit (pengobatan) dengan menggunakan nada atau suara yang
semua intrument musik dihasilkan melalui alat musik disusun demikian
rupa sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan. Bunyi-
bunyian dalam frekuensi tinggi (3.000-8.000 Hz), lazimnya bergetar
diotak dan mempengaruhi fungsi-fungsi kognitif seperti berpikir,
persepsi dan ingatan. Bunyi bunyi dengan frekuensi sedang (750-3.000
Hz) Cenderung merangsang jantung, otak dan emosi. Sedangkan bunyi
yang keluar dengan frekuensi rendah (125-750 Hz) akan mempengaruhi
gerakan-gerakan fisik.
Mekanisme kerja musik untuk rileksasi rangsangan atau unsur
irama dan nada masuk ke canalis auditorius di hantar sampai ke
thalamus sehingga memori di sistem limbic aktif secara otomatis
33
mempengaruhi saraf otonom yang disampaikan ke thalamus dan
kelenjar hipofisis dan muncul respon terhadap emosional melalui
feedback ke kelenjar adrenal untuk menekan pengeluaran hormon
stress sehingga seseorang menjadi rileks. (Stefanus, 2011). Menurut
seorang ahli dari pusat gangguan tidur di Amerika menyatakan bahwa
terapi musik yang diberikan 30 menit sampai satu jam setiap hari
menjelang waktu tidur, secara teratur selama 1 minggu cukup efektif
untuk mengurangi gangguan tidur (Djohan 2006). Musik dengan tempo
lamban memberikan rangsangan pada korteks serebri (korteks
auditorius primer dan sekunder) sehingga dapat menyeimbangkan
gelombang otak menuju gelombang otak alpha yang menandakan
ketenangan (Wijayanti 2012).
Recommended