View
218
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.
BAB III
METODOLOGI
3.1. Gambaran Umum
Penelitian ini terfokus pada perancangan environmentdalam sebuah karya animasi
2D berteknik Kinegram. Dalam perancangan environment ini, penulis mengangkat
tema etnik Suku Asmat. Untuk itu, penulis melakukan penelitian kualitatif
mengenai lingkungan dan budaya Asmat di Papua melalui studi literatur dan
melakukan studi eksisting untuk mengambil data acuan tentang perancangan
environmentbertema etnik dalam karya-karya animasi yang sudah ada.
Studi literatur dilakukan dengan mencari sumber yang membahas
lingkungan alamiah dan lingkungan budaya Asmat di Papua. Untuk lebih
spesifiknya, sumber literatur yang diteliti adalah yang membahas tentang alam
Papua Barat Daya (daerah geografis suku Asmat) dan budaya kesenian suku
Asmat, khususnya tentang ukiran dan ragam hiasnya. Di dalam sumber-sumber
literatur tersebut, penulis juga mengumpulkan data dokumentasi fotografis
mengenai lingkungan alamiah maupun budaya Asmat.
Studi eksisting dilakukan dengan menonton dan menganalisa film animasi
2D yang mengangkat tema etnik atau budaya dalam ceritanya. Hal ini menjadi
pertimbangan utama, karena penulis memerlukan contoh perancangan
environment yang mengangkat tema etnik di dalam sebuah karya animasi.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
3.1.1. Sinopsis
Proyek yang dikerjakan adalah sebuah karya animasi Kinegram untuk buku cerita
yang berjudul Sirets. Buku ini bercerita tentang seorang anak lelaki Asmat
bernama Amates, yang kehilangan kakak kembarnya karena perang suku.
Kematian kakaknya ini berpengaruh buruk terhadap keberlangsungan hidup warga
desanya, karena kakak Amates adalah seorang Penjaga Hutan. Untuk
menyelamatkan warga desa, Amates dimintai tolong untuk menggantikan posisi
kakaknya sebagai Penjaga Hutan. Syaratnya, adalah dengan menemui roh
kakaknya di laut – tempat bersemayamnya para arwah, pada saat bulan purnama,
untuk menanyakan nama rohnya.
Dalam perjalanannya dari pegunungan hingga ke pesisir laut, Amates
menemui banyak tantangan. Ia dikejar suku kanibal, memasuki dunia roh, dan
diserang ular roh. Berkat ujung tombak peninggalan kakak yang dibawanya,
Amates berhasil mengalahkan ular tersebut, yang berubah menjadi perahu lesung.
Ia terbangun dari dunia roh dan berada di dalam perahu lesungnya di tengah-
tengah laut. Namun saat memanggil kakaknya, ia tak kunjung mendapat jawaban,
sehingga perlahan nyawanya mulai terancam. Akhirnya Amates yang kesulitan
ditolong oleh Fumiripits, dewa suku Asmat, yang segera membantunya
menemukan lokasi roh kakaknya yang sebenarnya. Di sanalah, Amates berhasil
menemukan roh kakaknya, lalu menjadi Penjaga Hutan.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
3.1.2. Posisi Penulis
Dalam proyek ini, pekerjaan penulis adalah sebagai production designer, di mana
perancanganenvironmentyang menjadi fokus utamanya.
3.2. Tahapan Kerja
Dalam proses perancangan environment, desainer produksi harus melewati tiga
tahap pembuatan animasi, yaitu pra-produksi, produksi, dan pasca-produksi.
Pada tahap pra-produksi, hal pertama yang dilakukan adalah melakukan
riset dan brainstorming untuk menentukan gaya visual dari environment maupun
keseluruhan animasi. Ini dibutuhkan agar visual animasinya sesuai dengan latar
cerita. Dalam pembuatan Sirets, penulis terlebih dahulu melakukan riset dan studi
literatur, serta mencari dokumentasi foto-foto agar memahami seni visual dari
kebudayaan Asmat. Dari situ, dilakukanlah brainstorming dan sketsa konseptual
untuk menentukan gaya visual untuk animasi Sirets.
Tahap produksi merupakan tahap di mana penulis mulai merealisasikan
konsep gaya visual ke dalam proses penggambaran animasi. Lalu dibuatlah
gambar-gambar environmentuntuk semua adegan, sesuai dengan data-data riset
yang dijadikan landasan konsep Sirets.
Dalam tahap pasca produksi, environment dalam setiap adegan dilayout,
sehingga animasi Sirets dapat diwujudkan dalam bentuk buku cetak. Proses ini
juga mencakup proses pengambilan gambar video demo untuk menunjukkan tata
cara penggunaan Kinegram animasiSirets buat para pembacanya.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
3.3. Metode Perancangan Environment
Perancangan environment untuk animasi Sirets merupakan sebuah proses
bertahap. Setiap tahap di dalam proses tersebut saling berkesinambungan. Tahap-
tahap tersebut mencakup pembuatan cerita, riset data, riset referensi, sketsa, lalu
finalisasi perancangan environment.
Gambar 3.21. Alur kerja dalam proses perancangan EnvironmentSirets.
(Dokumentasi pribadi/2016)
Tahap pertama adalah pembuatan cerita. Ini dibutuhkan untuk menentukan
latar tempat dan waktu. Dengan mengetahui latar-latar tersebut, perancang
environmentbisa mendapat gambaran tentang data-data apa saja yang
diperlukannya, agar memvisualisasikan cerita dengan tepat.
Tahap berikutnya adalah mencari data-data yang dapat menunjang
pembuatan visual dari environmentnya. Untuk pembuatan Sirets, peneliti mencari
data yang berhubungan denganlingkungan alam Papua serta kebudayaan
SukuAsmat. Data tentang alam Papua diperlukan agar peneliti dapat
memvisualisasikan cerita Sirets, supaya sesuai dengan settingnya yang berlokasi
di Asmat, Papua. Kemudian, data mengenai kebudayaan Suku Asmat diperlukan,
agar peneliti dapat memasukkan unsur visual khas Asmat ke dalam environment
yang dirancang.Untuk hal tersebut, peneliti fokus pada ragam hias Suku Asmat
saja.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Setelah memperoleh data-data, peneliti melanjutkan proses perancangan
dengan mencari referensi penggunaan ciri seni etnik di dalam environment
animasi. Referensi-referensi yang mendukung tujuan peneliti tersebut adalah
karya-karya animasi yang mempunyai penggayaan objek-objek dan warna
environment yang terinspirasi dari suatu seni budaya dan etnik. Referensi yang
seperti itu dapat membantu peneliti untuk mempelajari bagaimana para
desainernya memasukkan elemen-elemen visual suatu budaya ke dalam
environmentnya, lalu juga seberapa jauh kebudayaan-kebudayaan yang diangkat
dapat menginspirasi mereka dalam merancang visual animasinya.
Setelah riset data dan referensi, peneliti melanjutkan proses perancangan
environment dengan membuat sketsa visual. Tahap ini merupakan tahap awal
realisasi konsep ke atas kertas. Pembuatan sketsa dimulai dengan membuat shot
adegan-adegan yang terjadi di setiap lingkungan yang berbeda. Pada proses sketsa
yang masih terfokus pada cara pengambilan gambar ini, perancang
mempertimbangkan pepohonan dan ciri lingkungan apa yang harus ditonjolkan
sesuai dengan cerita.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Gambar 3.22. Sketsa shots untuk lingkungan pegunungan dalam Sirets
(Dokumentasi pribadi/2016)
Setelah tahap pembuatan sketsa shots, perancangan environment pun
dilanjutkan dengan membuat sketsa visual. Di sini peneliti mendesain setiap objek
environmenthingga ke hasil finalnya, kemudian meletakkannya pada environment
sesuai dengan komposisi yang ditentukan dalam sketsa shots.
3.4. Pengambilan Data
Seperti yang sudah disinggung penulis sebelumnya, pengambilan data yang
dilakukan adalah melalui metode studi literatur yang berupa tulisan dan
dokumentasi fotografis, serta studi eksisting. Berikut, penulis akan memamparkan
data yang diperoleh dari studi literatur, lalu kemudian data dari studi eksisting,
yang akan dibahas dalam sub-bab berikutnya.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
3.5. Studi Literatur
Studi literatur dilakukan penulis untuk mendapatkan data mengenai lingkungan
alam di sekitar suku Asmat, ciri vegetasinya, serta jenis-jenis dan variasi ragam
hias suku Asmat.
3.5.1. DataAlam Asmat
Asmat adalah sebuah suku pedalaman yang tinggal di wilayah Pesisir Barat Daya
Irian Jaya. Jumlah penduduknya sekitar 80.000 kepala (Konrad, 2002). Daerah
tempat tinggal mereka dipenuhi rawa-rawa dan hutan tropis, serta memiliki sangat
banyak sungai yang bermuara di Laut Arafura (Sudarman, 1984).
3.5.1.1. Bentangan Alam
Wilayah Asmat terletak di sebuah delta besar, tempat bermuaranya sungai-sungai
dari pegunungan. Daerah ini terdiri oleh empat kecamatan, yaitu: kecamatan
Sawa-Erma, Agats, Ats, dan Pirimapun (memasuki daerah Merauke). Suku Asmat
menduduki daerah yang terisolasi secara alamiah. Di utara terdapat tembok besar
pegunungan yang berpuncak salju, sementara di selatan terdapat Laut Arafura.
Timur dan Baratnya pun terhalangi oleh Sungai Juliana dan Pomats (Sudarman,
1984).
3.5.1.2. Vegetasi
Secara geografis, wilayah suku Asmat terletak di daerah Dataran Rendah Pesisir
Arafura (atau Dataran Rendah Bagian Barat Daya). Secara umum, vegetasi di
daerah tersebut dapat dibagi ke dalam tiga zona berbeda, berdasarkan ketinggian
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
dan iklimnya, yaitu: Vegetasi Pegunungan, Vegetasi Dataran Rendah, dan
Vegetasi Pesisir (Kartikasari, 2007). Ketiga zona vegetasi ini mempunyai jenis-
jenis tumbuhan yang berbeda. Data ini penting, karena dapat digunakan untuk
menunjukkan perpindahan lokasi dalam animasiSirets.
Vegetasi Pegunungan terbagi ke dalam tiga sub-zona, berdasarkan
ketinggiannya, yaitu Pegunungan Atas, Tengah, dan Bawah. Pegunungan Atas
didominasi oleh lumut, Pegunungan Tengah didominasi paku-pakuan, Anggrek
dan Nothofagus, sementara Pegunungan Bawah yang sudah mulai menyentuh
daerah Dataran Rendah dipenuhi oleh pohon ek, dan Araucaria. Kalau melihatnya
secara umum, zona Vegetasi Pegunungan didominasi pepohonan Araucaria dan
Nothofagus.
Vegetasi Dataran Rendah terbagi ke dalam dua macam sub-zona, yaitu
hutan dan rawa. Daerah hutan didominasi pohon Campnosperma, sementara
daerah rawa didominasi pohon sagu (Metroxylon sagu), pandan (Pandanus spp.),
dan pohon bakau. Daerah suku Asmat, secara biogeografis terletak di perbatasan
pesisir bagian selatan Laut Arafura. Menurut Kartikasari (2007), daerah ini
dipenuhi lahan-lahan basah yang berhutan dan terletak di tepi sungai. Lahan-lahan
tersebut merupakan tempat bertumbuhnya pohon-pohon sagu, pandan, dan bakau
air tawar. Pohon bakau yang tumbuh di situ adalah Bakau Merah, Sonneratia,
beserta dengan pohon-pohon lainnya seperti Syzygium, Campnosperma, dan
Callophyllum. Banyaknya sungai di daerah ini membentuk komunitas-komunitas
perairan yang didominasi tanaman di bawah permukaan air seperti Hydrilla
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
verticillata, dan tanaman mengapung seperti Lemna, ataupun tanamanan berakar
yang terendam air berjenis Numphoides.
Vegetasi Pesisir secara umum tidak menjadi tempat ideal untuk pepohonan
besar. Jenis vegetasi yang tumbuh adalah herba pantai yang merambat di lereng,
seperti Ipomea pescapraea dan Canavallia maritime. Adapun pepohonan pesisir
seperti Barrintonia dan pohon kelapa (Cocos nucifera) yang sangat umum
ditemukan di wilayah pesisiran.
3.5.1.3. Perairan
Wilayah dataran rendah dipenuhi sungai dan rawa-rawa, serta mempunyai curah
hujan yang tinggi. Daerah tersebut dipenuhi sedimen lumpur dan pasir, yang
membuat air sungai keruh dan berwarna cokelat (Sudarman, 1984). Bebatuan
alamiah dalam bentuk apapun tidak ditemukan di daerah ini (Boelaars, 1986).
Sungai-sungai besar seperti Sungai Sirets (Eilanden), Bets, Asewets, dan Pomats
bermuara di Laut Arafura, sebuah perairan laut yang membentang dari Papua
Selatan hingga Australia Utara.
3.5.2. Motif-motif Suku Asmat
Keanekaragaman desain ragam hias suku Asmat sangat dipengaruhi oleh
banyaknya kelompok yang terdapat di antara suku Asmat sendiri. Ada dua belas
kelompok suku Asmat yang diketahui hingga sekarang: Emari Ducur, Unir
Epmak, Unir Siran, Bras (Brazza), Yupmakcain, Aramatak, Kenekap, Simai,
Joerat, Bismam, Becembub, dan Safan. Keduabelas kelompok tersebut tersebar di
tiga kawasan geografis, sehingga ada tiga kelompok besar yang diklasifikasi,
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
yaitu: Asmat Pegunungan, Asmat Pedalaman, dan Asmat Pantai (Konrad, 2002).
Namun, barang-barang kesenian orang Bras di wilayah pegunungan Brazza
mempunyai desain dan motif yang berbeda sendiri dari kawasan-kawasan lainnya,
sehingga pada 1981 wilayah suku Asmat dibagi menjadi empat kawasan (A, B, C,
D).
Gambar 3.1. Peta wilayah Asmat dengan empat kawasannya
(ASMAT – Mencekap kehidupan dalam Seni/ Ursula Konrad/ 2002)
Kelompok-kelompok suku di empat kawasan tersebut mempunyai gaya
dan ciri desain ragam hias yang berlainan satu dengan yang lain, namun secara
keseluruhan memiliki kesamaan yang membuat mereka dikenal sebagai orang
Asmat (Konrad, 2002). Keempat macam motif dan ragam hias suku Asmat
berdasarkan kawasannya, akan penulis jelaskan berikut ini.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
3.5.2.1. Ragam Hias Asmat Pantai (Kawasan A)
Ragam hias dari kawasan pesisir mempunyai ciri desain yang sering
menggambarkan motif berbentuk S dan lengkungan-lengkungan berikail, yang
dipercaya menggambarkan roh nenek moyang (Konrad, 2002). Motif yang juga
sering dijumpai adalah motif Bipane (hiasan hidung orang Asmat), dan Ainor
yang bermakna sihir (Konrad, 2002).
Gambar 3.2. Motif ragam hias Asmat Pantai
(ASMAT – Mencekap kehidupan dalam Seni/ Ursula Konrad/ 2002)
Gambar 3.3. Motif Bipane (kiri) dan Ainor (kanan)
(ASMAT – Mencekap kehidupan dalam Seni/ Ursula Konrad/ 2002)
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
3.5.2.2.Ragam Hias Asmat Pegunungan (Kawasan B)
Motif ragam hias dari kawasan pegunungan memiliki ciri khas desain yang penuh
dan meriah. Hal ini dicapai dengan menggambarkan sebuah motif besar utama
(seringkali berbentuk keluang) kemudian mengelilinginya dengan motif-motif
kecil, sehingga tercipta kesan rumit (Konrad, 2002).
Gambar 3.4. Motif ragam hias Asmat Pegunungan
(ASMAT – Mencekap kehidupan dalam Seni/ Ursula Konrad/ 2002)
3.5.2.3. Ragam Hias Asmat Pedalaman (Kawasan C)
Kelompok suku di daerah pedalaman mempunyai ciri desain khas yang sering
menggambarkan bunga-bunga, jorong, hati, dan spiral-spiral yang ujungnya
membentuk gambar tangan. Secara umum motif-motif daerah ini mempunyai
variasi motif yang banyak (Konrad, 2002).
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Gambar 3.5. Motif ragam hias Asmat Pedalaman
(ASMAT – Mencekap kehidupan dalam Seni/ Ursula Konrad/ 2002)
3.5.2.4. Ragam Hias Asmat Brazza (Kawasan D)
Kelompok Asmat Brazza adalah suku yang tinggal di pegunungan dan
mempunyai desain motif-motif yang berbeda dari kelompok-kelompok Asmat
lainnya. Secara umum, kelompok ini mempunyai desain kelok-kelok bersiku yang
mirip seperti spiral kotak.
Gambar 3.6. Motif ragam hias Asmat Brazza
(ASMAT – Mencekap kehidupan dalam Seni/ Ursula Konrad/ 2002)
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
3.6. Studi Eksisting
Untuk melihat bagaimana unsur etnik dapat diaplikasikan pada perancangan
environment sebuah animasi, penulis mengacu pada film-film animasi 2D
sepertiMulan(1998), Hercules (1997), The Lion King (1994),danSong of the Sea
(2014). Film-film animasi ini dipilih sebagai acuan karena terdapatnya desain
visual yang berlandaskan budaya dan etnik tertentu di dalam karya-karya tersebut.
3.6.1. Acuan
Penggunaan referensi seni tradisional budaya tertentu di dalam animasi sudah
pernah dilakukan di dalam industri animasi. Penonton dapat menemukannya
dalam karya animasi seperti Mulan (1997), yang memiliki setting cerita di Cina.
Ciri seni tradisional Cina yang ditunjukkan dalam Mulan dapat dilihat pada
adegan-adegan yang berlokasi di tengah pegunungan – tempat berlatihnya para
serdadu Han. Di sini, seperti yang ditulis oleh desainer produksinya Hans Bacher
(2008), para perancang visual Mulan mengambil referensi penggambaran
pemandangan gunung dari lukisan-lukisan tradisional tinta Cina.
Gambar 3.7. Latar belakang pemandangan gunung dalam Mulan (1998)
(http://images6.fanpop.com/image/articles/248000/disney-
princess_248945_10.png?cache=1441507740)
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Gambar 3.8. Latar belakang pemandangan gunung dalam Mulan (1998)
(https://lumiere-a.akamaihd.net/v1/images/li-shang-with-stick-singing-be-a-man-in-
mulan_fe77ae79.jpeg?width=445&height=445&mode=crop)
Gambar 3.9. Gambar lukisan tradisional tinta dari Cina
(http://colorpaintingart.com/wp-content/uploads/2009/12/Summer-Mountains.jpg)
Dalam animasi Mulan, pemandangan gunung digambar dengan bentuk
sederhana namun mempunyai perbedaan value untuk menciptakan kesan
kedalaman dan perspektif. Hal ini mirip dengan cara penggambaran gunung-
gunung dalam lukisan tradisional tinta dari Cina, di mana bentuk pegunungan
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
digambarkan sederhana namun mempunyai variasi value, akibat dari penggunaan
teknik color wash (penambahan air untuk mengencerkan warna) pada tinta.
Film animasi lain yang berlatar belakang budaya tertentu adalah Hercules
(1997), yang mengambil setting di Yunani kuno. Pengambilan referensi seni
tradisional Yunani kuno untuk menggarap visual animasinya sangat terlihat dalam
adegan pembuka, saat para Musai (kelompok dewi Seni dalam mitologi Yunani
kuno) menyanyikan “The Gospel Truth”.
Gambar 3.10. Adegan para Musai bernyanyi dalam Hercules (1997)
(https://www.youtube.com/watch?v=Pa0lMzaljTk)
Keseluruhan adegan tersebut digambarkan dengan gaya lukisan vas
Yunani kuno, mulai dari warna, bentuk penggambaran siluet yang rata (flat),
hingga ornamen yang menghiasi latar tempatnya. Stilasi tumbuhan juga sesaat
terlihat dalam satu potongan adegan, di mana kita bisa melihat gaya
penggambarannya yang menampilkan ciri lukisan vas Yunani kuno.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Gambar 3.11. Gaya penggambaran pepohonan seperti lukisan vas Yunani kuno dalam
Hercules (1997)
(https://www.youtube.com/watch?v=RRq7lLawQB4)
Gambar 3.12. Lukisan vas khas Yunani kuno
(http://www.ancientcivilizationslist.com/wp-content/uploads/2016/05/Greek-Vase-painting-
Achilles-and-Penthesella.jpg)
Kalau melihat film Sleeping Beauty(1959), seluruh latar belakang dan
environment terlihat sangat digayakan berdasarkan kesenian lukisan dan
manuskrip abad pertengahan, yang sarat dengan hiasan ornamental bergaya gotik.
Penggayaan visual di dalam animasi ini dirancang oleh illustrator Eyvind Earle,
yang banyak mengambil inspirasi dari lukisan abad pertengahan karya Dürer, Van
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Eyck, Breughel, lalu manuskrip Prancis dan kesenian karpet. Karya-karya seni
tersebut menginspirasinya untuk mencipatakan gaya visual abad pertengahan yang
banyak dapat ditemukan pada bentuk-bentuk pepohonan, rumput, dan bunga
dalam animasinya (Canemaker, 1996).
Gambar 3.13. Environment dalam Sleeping Beauty (1959)
(http://41.media.tumblr.com/tumblr_lu8cu1CWJD1r3gua1o1_1280.jpg)
Film animasi yang baru-baru ini juga mengangkat tema etnik dan budaya,
adalah Song of the Sea (2014), yang memiliki tema utama mitos Keltik dan
berlatar tempat di Irlandia. Animasi ini menggunakan sebuah gaya visual bertema
etnik secara konsisten pada keseluruhan filmnya. Hal ini dicapai melalui
penyederhanaan bentuk objek-objek environmentnya, hingga pemberian warna
dan tekstur yang mengacu pada gaya visual seni Keltik.
Dalam Song of the Sea penulis memperhatikan ada banyaknya elemen
dekoratif bergaya Keltik yang diterapkan pada beragam objek environmentnya,
sehingga Song of the Sea berhasil menyuguhkan sebuah gaya visual yang
bernuansa etnik Irlandia. Motif ornamental bergaya Keltik sendiri, sangat banyak
menunjukkan elemen-elemen geometris yang bulat dan spiral.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Gambar 3.14. Elemen bulat dan spiral dalam ragam hias bergaya Keltik
(https://en.wikipedia.org/wiki/Celtic_art)
Ciri ornamental Keltik yang banyak mengandung spiral dan elemen bulat
pun dapat ditemukan dalam penyederhanaan bentuk awan, ombak, dan objek
lainnya dalam Song of the Sea.
Gambar 3.15. Elemen spiral yang diterapkan pada bentuk ombak dalam Song of the Sea
(2014)
(Dokumentasi pribadi/2016)
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Gambar 3.16. Elemen bulat dan spiral yang diterapkan pada bentuk awandalam Song of
the Sea (2014)
(Dokumentasi pribadi/2016)
Gambar 3.17. Elemen spiral yang mendominasi environment dalam adegan saat Ben
bertemu The Great Seanachai dalamSong of the Sea (2014)
(Dokumentasi pribadi/2016)
Selain menggayakan bentuk objek environmentmenjadi spiral, penerapan
elemen visual bergaya Keltik juga dapat dijumpai pada pengaplikasian tekstur
bebatuan dan tembok.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Gambar 3.18. Elemen spiral yang diterapkan sebagai tekstur bebatuandalam Song of the
Sea (2014)
(Dokumentasi pribadi/2016)
Gambar 3.19. Elemen spiral yang diterapkan sebagai tekstur tembokdalam Song of the
Sea (2014)
(Dokumentasi pribadi/2016)
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
3.6.2. Temuan
Dari acuan yang diambil dari karya-karya animasi bertema etnik di atas, penulis
menyimpulkan bahwa gaya gambar tradisional suatu budaya, maupun motif-motif
ornamen etnik dapat digunakan sebagai referensi untuk pemilihan warna,
penggambaran tekstur, dan penggayaan bentuk objek-objek dalam environment.
Penerapan gaya gambar tradisional atau ornamen etnik pada ketiga hal tersebut
dapat mendukung pembentukan gaya visual yang menunjukkan ciri budaya serta
lokasi yang ingin diperlihatkan oleh animasi yang mengangkat tema etnik.
3.7. Konsep Perancangan Environment
Konsep visual dari animasi Sirets cukup banyak ditentukan oleh latar-latar tempat
yang terdapat dalam ceritanya. Di dalam cerita, pembaca dapat menemukan
adanya perpindahan tempat yang Amates lalui dari awal hingga akhir cerita.
Apabila memperhatikan perpindahan tempat Amates sambil mengikuti timeline
cerita, latar tempat yang terdapat di dalam cerita Sirets dapat dibagi menjadi tiga
wilayah geografis, yaitu:
1. Pegunungan (awal cerita)
2. Pedalaman (tengah cerita)
3. Pesisir (akhir cerita)
Selain itu, juga terdapat sebuah babak cerita, di mana Amates memasuki
keadaan antara mati dan hidup.Lingkungan tersebut berbeda sendirisecara visual,
karena tidak berpatokan pada lokasi geografis manapun. Penulis menamakan
lingkungan itu “dunia roh”.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Gambar 3.20. Timeline cerita yang sekaligus menunjukkan lingkungan apa yang dilewati
karakter utama, Amates.
(Dokumentasi pribadi/2016)
3.8. ProsesPerancangan Environment
Dari proses pencarian data, peneliti menemukan bahwa terdapat tiga kelompok
utama motif Asmat, yaitu motif Asmat Pegunungan (dan motif Brazza), motif
Asmat Pedalaman, dan motif Asmat Pantai. Peneliti juga menemukan bahwa ada
tiga wilayah geografis Suku Asmat di Papua, yaitu pegunungan, pedalaman hutan,
dan pesisir. Kedua data ini memiliki kesamaan yang dapat digunakan untuk
merealisasikan konsep environment Sirets.Konsep environment Sirets membagi
lingkungan Amates menjadi tiga wilayah utama juga, yaitu pegunungan,
pedalaman, dan pesisir. Ketiga wilayah ini perlu mempunyai perbedaan secara
fisik. Ini dapat ditonjolkan lewat penggambaran objek-objek environment yang
berbeda di setiap wilayah itu. Dalam penelitian ini, metode utama untuk
menggambarkan objek-objek environmenttersebutadalah denganmenggayakannya
berdasarkan motif-motif Asmat.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Peneliti akanmenggambar vegetasi masing-masing lingkungan
(pegunungan, pedalaman, pesisir) yang digayakan menggunakan ciri visual ragam
hias suku Asmat berdasarkan wilayahnya (motif Asmat Pegunungan dan motif
Brazza, motif Asmat Pedalaman, motif Asmat Pantai). Hal utama yang dilakukan
di sini adalah mencari bentuk pada motif yang mempunyai kesamaan bentuk
dengan bentuk pepohonan yang ingin digambar.
3.8.1. Proses Perancangan EnvironmentPegunungan
Menurut metode perancangan environmentyang telah dipaparkan di atas,
penggambaran lingkungan pegunungan dalam animasi Siretsharus mengacu pada
warna dan bentuk dari motif-motif Asmat Pegunungan. Di sini, lingkungan yang
digambarkan merupakan daerah pegunungan yang menurut data dipenuhi dengan
pepohonan besar Araucaria.
Gambar 3.23. Pepohonan Araucaria di daerah Pegunungan Asmat
(http://1.bp.blogspot.com/-Jds3TZ2TLqo/VSxnp-
YndEI/AAAAAAAAHZA/WdL638iQOqA/s1600/P4095674.jpg)
Dengan mengacu pada motif Asmat Pegunungan dan Brazza yang
merupakan ragam hias Asmat yang berasal dari lingkungan pegunungan di Papua,
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
peneliti mengambil bentuk-bentuk yang mirip dengan bentuk dahan dan ranting,
serta tekstur pohon Araucaria.
Gambar 3.24. Proses penggayaan pohon Araucaria menurut motif Asmat Pegunungan
(Dokumentasi pribadi/2016)
Setelah menggambarkan pohon besar, peneliti juga menggayakan tanaman
merambat serta semak yang ada di zona vegetasi pegunungan, yaitu Elmerrillia,
Smilax anceps,Phyllocladus dan Campnosperma seychellarum.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Gambar 3.25. Elmerrillia, Smilax anceps, Phyllocladus dan Campnosperma seychellarum.
(http://cdn2.arkive.org/media/C1/C1655DF8-A9FE-49C7-9112-
FB46CD65F768/Presentation.Large/Campnosperma-seychellarum-flower-buds.jpg)
Untuk menggayakan keempat macam semak dan tanaman merambat
tersebut, peneliti juga mengacu pada elemen visual dari motif-motif Asmat
Pegunungan. Elemen-elemen yang diambil digunakan untuk menggayakan bentuk
dedaunan dan kelopak bunga.
Gambar 3.26. Penggayaan bentuk semak dan tanaman merambat menurut motif Suku
Asmat Pegunungan
(Dokumentasi Pribadi/2016)
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Khusus untuk environmentpegunungan, peneliti juga melihat
diperlukannya gambar pegunungan di latar belakang, untuk memberi ciri
pegunungan yang khas. Di sini, pegunungan yang digambar juga mengambil
unsur visual dari motif Asmat Pegunungan. Unsur motif yang diambil, digunakan
untuk menggayakan bentuk pepohonan gunung yang terlihat dari kejauhan.
Gambar 3.27. Penggayaan bentuk gunung
(Dokumentasi Pribadi/2016)
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
3.8.2. Proses Perancangan EnvironmentPedalaman
Untuk merancang environmentpedalamanan, peneliti pun menggunakan metode
perancangan yang sama seperti di atas. Di sini, peneliti terlebih dahulu melihat
jenis pepohonan apa yang khas dari daerah Asmat Pedalaman. Dalam buku
Kartikasari - Ekologi Papua, zona vegetasi di daerah pedalaman ada dua macam,
yaitu daerah hutan dan rawa. Di daerah hutan ini, jenis pepohonan yang khas
adalah Bischofia javanica, Livistona, Pandan dan microsoriummusifolium.
Gambar 3.28. Bischofia javanica, Livistona, Pandandan microsorium musifolium.
(http://tropical.theferns.info/plantimages/b/9/b95989ef99935d9d00d0eca542a5f929ad2d4f4f.jpg)
Setelah mengetahui jenis pepohonan apa yang akan dimasukkan ke dalam
environment pedalaman hutan, peneliti kemudian mengacu pada motif Asmat
Pedalaman. Motif-motif tersebut digunakan untuk menggayakan pepohonan di
atas, agar mempunyai ciri motif Asmat Pedalaman.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Gambar 3.29. Penggayaan bentuk untuk vegetasi Pedalaman Hutan menurut motif Asmat
Pedalaman.
(Dokumentasi Pribadi/2016)
Environment pedalaman kedua yang perlu dirancang adalah rawa-rawa.
Menurut buku Ekologi Papua, rawa-rawa di pedalaman Asmat banyak ditumbuhi
pepohonan Bakau Merah dan Bakau Sonneratia.
Gambar 3.30. Pohon Bakau Merah dan Bakau Sonneratia yang khas lingkungan
Pedalaman Asmat.
(http://new.artsmia.org/wp-content/uploads/2014/08/Key2_Img1_e3.jpg)
Dengan mengacu pada motif Asmat Pedalaman, peneliti mencari unsur
motif apa yang dapat digunakan untuk menggayakan bentuk ranting dan akar
pohon Bakau, agar mempunyai bentuk khas seperti motif Asmat Pedalaman.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Gambar 3.31. Penggunaan motif Asmat Pedalaman untuk menggayakan pepohonan
Bakau dalam Environment Pedalaman.
(Dokumentasi Pribadi/2016)
3.8.3. Proses Perancangan EnvironmentPesisir
Dalam perancangan environment pesisir, peneliti mengacu pada cerita Sirets yang
lebih banyak bersetting di laut dan pulau, tempat Amates mencari roh kakaknya.
Karena itu, hanya sedikit vegetasi yang digayakan di dalam environment ini.
Khusus untuk pepohonan di pulau, jenis pohon yang digambar adalah pohon
Kelapa.
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Gambar 3.32. Pepohonan Kelapa – cocos nucifera
(http://images.floridata.com/gallery/Cocos_nucifera_grv800.jpg)
Selain itu, karena settingSirets di daerah pesisir lebih banyak bermain di
laut, peneliti lebih terfokus untuk menggunakan elemen motif Asmat Pantai untuk
menggambar bentuk gelombang dan awan.
Gambar 3.33. Penggayaan bentuk gelombang, awan, dan pohon berdasarkan bentuk motif
Asmat Pantai.
(Dokumentasi Pribadi/2016)
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
3.8.4. Proses Perancangan EnvironmentDunia Roh
Berbeda dengan environmentlainnya, dalam merancangenvironmentDunia Roh,
peneliti tidak mengacu pada motif-motif Asmat untuk menggambarkan
lingkungannya. Dunia Roh digambarkan tidak berisikan apapun selain kolam-
kolam bagi arwah-arwah keluarga yang mati beserta sebuah tiang Bisj untuk
masing-masing kolamnya. Lingkungan tersebut begitu kosong, sehingga tidak
banyak hal yang bisa digayakan. Selain itu, Dunia Roh tidak berada di wilayah
geografis manapun. Atas dasar alasan inilah, peneliti tidak berpatokan pada motif-
motif Asmat dari wilayah manapun untuk menggambarkan objek lingkungannya,
melainkan menggambarkan tiang-tiang Bisjsesuai dengan keadaan aslinya.
Gambar 3.34. Gambar tiang-tiang Bisj untuk EnvironmentDunia Roh.
(Dokumentasi Pribadi/2016)
Perancangan environment..., Aletheia Herdiman, FSD UMN,2017
Recommended