View
84
Download
37
Category
Preview:
DESCRIPTION
Hukum KesehatanTugas KuliahInformed Consent
Citation preview
Informed Consent Sebagai Upaya Preventif
Tindakan Malpraktek
disusun oleh:
Santi Nastiti, 0906490411
Disusun Sebagai Tugas Makalah
untuk Mata Kuliah Hukum Kesehatan
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2012
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
atas berkah limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini membahas mengenai “Informed Consent, Sebagai Upaya
Preventif Tindakan Malpraktek”. Makalah ini disusun selain dalam rangka
menyelesaikan tugas akhir semester mata kuliah Hukum Kesehatan, juga untuk
mengetahui lebih dalam bagaimana informed consent, sebagai upaya preventif
tindakan malpraktek.
Dalam proses penulisan makalah ini, tentunya penulis mendapatkan
bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih penulis
sampaikan kepada seluruh pihak yang membantu penyelesaian makalah ini.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Begitu pula isi dari makalah ini.
Penulis berharap para pembaca memberikan saran dan kritik yang membangun
untuk kemajuan penulis di masa mendatang.
Depok, 14 Mei 2012
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
ABSTRAK ............................................................................................................ 1
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 2
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 2
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan Makalah ........................................................................... 3
1.4. Metode Penelitian ......................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 5
2.1.Definisi Pasien, Dokter, dan Rumah Sakit ...................................................... 5
2.1.1. Definisi Pasien ....................................................................................... 5
2.1.2. Definisi Dokter ...................................................................................... 5
2.1.3. Definisi Rumah Sakit ............................................................................. 8
2.2.Hubungan Hukum Antara Pasien dan Dokter ................................................. 9
2.2.1. Berdasarkan Perjanjian (Ius contractu) ................................................. 9
2.2.2. Berdasarkan Undang-Undang (Ius delicto) ............................................ 10
2.3.Tinjauan Informed Consent ............................................................................. 12
2.3.1. Informed Consent Sebagai Hak Pasien .................................................. 12
2.3.2. Pengertian Informed Consent ................................................................ 15
2.3.3. Kode Etik Kedokteran dan Informed Consent ..................................... 16
2.3.4. Aspek Perdata Informed Consent .......................................................... 18
2.3.5. Aspek Pidana Informed Consent ........................................................... 25
2.3.6. Aspek Administratif Informed Consent ................................................ 27
2.3.7. Alasan-Alasan yang Mengecualikan Informed Consent ....................... 29
2.4.Malpraktek Kedokteran ................................................................................... 32
2.4.1. Definisi Malpraktek Kedokteran ........................................................... 32
iii
2.4.2. Malpraktek dan Kaitannya dengan Pengertian Standar profesi
kedokteran ............................................................................................. 33
2.4.3. Jenis-Jenis Malpraktek .......................................................................... 36
2.4.4. Penanggulangan Malpraktek Medis ...................................................... 38
2.4.4.1.Pada Bidang Kedokteran .......................................................... 38
2.4.4.2.Pada Bidang Hukum ................................................................. 39
2.5.Tanggung Jawab Perawat dan Rumah Sakit .................................................... 40
2.5.1. Tanggung Jawab Perawat ...................................................................... 40
2.5.2. Tanggung Jawab Rumah Sakit ............................................................... 41
BAB IV PENUTUP ............................................................................................... 43
4.1. Kesimpulan .................................................................................................... 43
4.2. Saran .............................................................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 46
1
ABSTRAK
Makalah ini membahas masalah Informed Consent, Sebagai UpayaPreventif Tindakan Malpraktek. Sebelumnya diuraikan terlebih dahulubagaimana aspek etis dan aspek hukum informed consent, bilamana informedconsent dikesampingkan, bagaimana aspek hukum tindakan malpraktek,bagaimana tanggung jawab perawat dan rumah sakit dalam hal terjadi tindakanmalpraktek, dan bagaimana informed consent sebagai upaya preventif tindakanmalpraktek. Penulis menyarankan, agar dalam pemberian penjelasan terkaitdengan informed consent seyogyanya disampaikan dalam bahasa yang sederhanadan mudah dimengerti oleh pasien. Selain itu, dalam hal menyikapi permasalahan-permasalahan di atas, perlulah kiranya upaya-upaya preventif, baik dari doktermaupun pasien. Data untuk makalah ini penulis peroleh dengan menggunakanmetode studi kepustakaan.
Kata Kunci: Informed Consent; Malpraktek.
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pekerjaan dokter mempunyai ciri khusus, antara lain merupakan hubungan
yang sangat pribadi karena didasarkan pada kepercayaan. Pasien senantiasa harus
percaya kepada kemampuan dokter yang menanganinya. Namun keadaan
demikian lama-kelamaan mengalami perubahan, sehubungan dengan
perkembangan yang terjadi dalam pelbagai bidang kehidupan. Dengan semakin
meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab
atas kesehatannya sendiri, maka kepercayaan yang semula tertuju pada
kemampuan dokter secara pribadi, sekarang bergeser pada kemampuan ilmunya.
Timbul kesadaran masyarakat untuk menuntut suatu hubungan yang seimbang
dan tidak lagi sepenuhnya pasrah kepada dokter.1 Husein Kerbala mengatakan
bahwa selain kepercayaan tidak lagi pada dokter secara pribadi, akan tetapi
kepada kemampuan ilmu kedokteran, perubahan pola hubungan dokter-pasien
terjadi karena:
a. ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan itu bukan lagi keadaan
tanpa penyakit, akan tetapi berarti kesejahteraan fisik, mental dan sosial.
b. semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada
pasien.
Dengan demikian terlihat hubungan dokter-pasien tidak hanya bersifat medis
semata, tetapi juga bersifat sosial, yuridis dan ekonomis.2
1 Veronica Komalawati, “Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik
(Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien)”, cetakan ke-2, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2002), hal 38-39.
2 Husein Kerbala, “Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent”, cetakan ke-1, (Jakarta:
PT Penebar Swadaya, 1993), hal 38.
3
Di Indonesia, kasus Dokter Setyaningrum pada tahun 1980-an untuk
pertama kalinya menggugah kesadaran masyarakat akan hubungan yang seimbang
antara dokter dengan pasien. Sejak kasus itu mencuat, terjadi perubahan pola
hubungan pasien-dokter dari paternalistik menjadi partnership.3 Pasien menjadi
sadar akan hak-haknya, antara lain hak atas informasi dan hak memberikan
persetujuan yang umum disebut dengan informed consent.
Banyak kasus bermunculan setelah kasus dr. Setyaningrum, dimana pasien
atau keluarga pasien menggugat dan menuntut tenaga medis dalam berbagai kasus
malpraktek. Kasus-kasus seperti “Keluarga Bayi Jared-Jayden dan RS Omni”
serta “Keluarga Bayi Ismi dan RS Borromeus” baru-baru ini merupakan contoh
nyata fenomena ini. Dari sini terlihat, pemahaman Informed Consent yang
memadai amat dibutuhkan sebagai upaya preventif tindakan malpraktek.
Permasalahan ini yang hendak penulis angkat, apa dan bagaimana “Informed
Consent, Sebagai Upaya Preventif Tindakan Malpraktek”.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang makalah di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan makalah ini sebagai berikut.
1. Bagaimana aspek etis dan aspek hukum informed consent?
2. Bilamana informed consent dikesampingkan?
3. Bagaimana aspek hukum tindakan malpraktek?
4. Bagaimana tanggung jawab perawat dan rumah sakit dalam hal terjadi
tindakan malpraktek?
5. Bagaimana informed consent sebagai upaya preventif tindakan
malpraktek?
1.3. Tujuan Penulisan Makalah
3 Tempo Online, “Vonis Bebas Untuk Profesi Dokter”, diakses dari
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/08/25/HK/mbm.19840825.HK41200.id.html,
pada tanggal 7 April 2012 pukul 12.53 WIB.
4
Untuk lebih mengarahkan dalam pembahasan nantinya, perlu kiranya
diketahui apa yang menjadi tujuan penulisan makalah ini. Yang menjadi tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui bagaimana aspek etis dan aspek hukum informed consent?
2. Mengetahui bilamana informed consent dikesampingkan?
3. Mengetahui bagaimana aspek hukum tindakan malpraktek?
4. Mengetahui bagaimana tanggung jawab perawat dan rumah sakit dalam
hal terjadi tindakan malpraktek?
5. Mengetahui bagaimana informed consent sebagai upaya preventif tindakan
malpraktek?
1.4. Metode Penelitian
Data penulisan makalah ini diperoleh dengan metode studi kepustakaan.
Metode studi kepustakaan yaitu suatu metode dengan membaca telaah pustaka
tentang “Informed Consent, Sebagai Upaya Preventif Tindakan Malpraktek”.
Selain itu penulis juga memperoleh data dari internet.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Pasien, Dokter, dan Rumah Sakit
2.1.1. Definisi Pasien
Pasien adalah orang yang berdasarkan pemeriksaan dokter dinyatakan
menderita penyakit mengidap penyakit baik di dalam tubuh maupun di dalam
jiwanya.4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran membedakan pasien dengan
menggunakan istilah “pasien yang kompeten” dan “pasien”. Berdasarkan Pasal 1
angka 7 Permenkes ini, “pasien yang kompeten” adalah pasien dewasa atau bukan
anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak
terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak
mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami
penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas. Dalam
kaitannya dengan informed consent, pasien yang kompeten ini berhak
memberikan persetujuan tindakan kedokteran (Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008). Lebih lanjut mengenai ini akan
dibahas dalam sub-bab “Aspek Perdata Informed Consent” dan sub-bab “Alasan-
Alasan yang Mengecualikan Informed Consent”.
2.1.2. Definisi Dokter
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, “Tenaga Kesehatan” adalah setiap orang yang mengabdikan
diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi
4 Husein, op.cit., hal 36.
6
dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau
masyarakat (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan). Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan menyatakan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari:
a. tenaga medis;
b. tenaga keperawatan;
c. tenaga kefarmasian;
d. tenaga kesehatan masyarakat;
e. tenaga gizi;
f. tenaga keterapian fisik;
g. tenaga keteknisian medis.
Tenaga medis menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini meliputi
dokter dan dokter gigi. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
memberikan definisi dokter dan dokter gigi. Pasal 1 ayat (2) menjelaskan Dokter
dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 35 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
menyebutkan bahwa; “Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan
pendidikan dan kompetensi yang dimiliki...” Apa itu surat tanda registrasi? Surat
tanda registrasi didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 8 UU ini; “Surat tanda
registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah diregistrasi”.
Menurut Pasal 1 Angka 5 UU ini, Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap
7
dokter dan dokter gigi yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah
mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk
melakukan tindakan profesinya. Sertifikat kompetensi menurut Pasal 1 Angka 4
UU ini adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau
dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah
lulus uji kompetensi. Selain itu, dalam Pasal 36 ayat (1) UU ini disebutkan bahwa;
“Setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki SIP”. SIP adalah akronim dari Surat Izin Praktik, yaitu
bukti tertulis yang diberikan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada dokter dan
dokter gigi yang telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik
kedokteran (Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007,
Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan
praktik kedokteran harus sesuai dengan kewenangan dan kompetensi yang
dimiliki serta kewenangan lainnya yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran. Pasal
19 ayat (2) Permenkes ini menyebutkan ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) dapat
disimpangi dokter dan dokter gigi dalam rangka gawat darurat guna penyelamatan
jiwa atau pencegahan kecacatan pasien.
Apa makna dari surat tanda registrasi, Registrasi, Sertifikat kompetensi,
dan SIP? Semua itu adalah bentuk pengakuan pemerintah bahwa seorang dokter
atau dokter gigi mempunyai kewenangan untuk melakukan praktik kedokteran di
Indonesia. Kewenangan tersebut pada asasnya terbatas pada apa yang tercantum
dalam SIP. Meskipun demikian, peraturan perundang-undangan memungkinkan
seorang dokter atau dokter gigi dapat melampaui kewenangannya manakala
kondisi gawat darurat guna penyelamatan jiwa atau pencegahan kecacatan pasien.
Jadi, apa definisi dokter? Walaupun dalam peraturan perundang-undangan
tidak diberikan definisi dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau pun dokter gigi
spesialis, namun dari uraian di atas dapat disimpulkan, definisinya dalam konteks
yuridis formal di Indonesia. Dokter tak hanya seseorang yang menjalani
pendidikan di suatu fakultas kedokteran (dokter gigi: pendidikan di fakultas
8
kedokteran gigi; dokter spesialis: melanjutkan pendidikan spesialisasi tertentu)
lalu mendapat ijazah untuk pendidikannya itu menurut peraturan hukum positif.
Tetapi juga telah mendapat pengakuan pemerintah dalam hal kewenangan
menyelenggarakan praktik kedokteran tertentu.
2.1.3. Definisi Rumah Sakit
Siregar dan Amalia menyatakan bahwa rumah sakit adalah suatu
organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan ilmiah khusus dan
rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik
dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya
terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan
pemeliharaan kesehatan yang baik.5
Definisi Rumah Sakit terdapat dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya disebut dengan UU Rumah Sakit) yang
menyatakan: “Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Pasal 1
Angka 1)”.
Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memiliki izin, yang terdiri dari
izin mendirikan dan izin operasional. Izin sebagaimana dimaksud itu diberikan
setelah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini
(Pasal 25 UU Rumah Sakit).
Adapun fungsi Rumah Sakit Menurut Pasal 5 UU Rumah Sakit yaitu:
a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit;
5 Widi Hariyanti, “Analisis Teori Antrian Sebagai Penentu Optimalisasi Pelayanan
Konsumen Pada Intalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Klipang Di Semarang”, Jurnal Bisnis dan
Kewirausahaan, Vol. 2 Nomor 3 April 2009, Hal 248.
9
b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis;
c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan;
dan
d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan;
2.2. Hubungan Hukum Antara Pasien dengan Dokter
Seperti yang telah dikemukakan di atas, hubungan dokter dengan pasien
mempunyai aspek hukum di samping aspek-aspek lainnya. Salah satu aspek
hukum yang penting adalah aspek hukum perikatan. Menurut KUHPerdata,
perikatan dapat lahir dari “Perjanjian (Ius contractu)” dan “Undang-undang (Ius
delicto)”.
2.2.1. Berdasarkan Perjanjian (Ius contractu)
Timbulnya hubungan hukum antara dokter-pasien berdasarkan perjanjian
mulai terjadi saat pasien datang ke tempat praktek dokter atau ke rumah sakit dan
dimulainya anamnesa dan pemeriksaan oleh dokter. Dari seorang dokter harus
dapat diharapkan bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkan
pasiennya.6
Ada dua kategori perjanjian dalam hukum perdata, yakni sebagai berikut.7
1. Resultaatsverbintenis, yaitu perikatan berdasarkan hasil kerja (prestasinya
berupa hasil). Misalnya kontrak antara dokter gigi dengan pasiennya untuk
membuat gigi palsu, juga dokter ahli kecantikan dan dokter spesialis bedah
6 Veronica, Op.cit.
7 Fred Ameln, “Kapita Selekta Hukum Kedokteran”, cet. ke-1, Grafikatama Jaya, 1991,
hal 42-43.
10
plastik dengan pasiennya, serta dokter ahli orthopedi yang membuat prothesa
kaki untuk pasiennya.
2. Inspanningsverbintenis, yaitu perikatan berdasarkan daya upaya/usaha yang
maksimal. Di sini dokter tidak menjanjikan kesembuhan, tetapi berjanji
berdaya upaya maksimal untuk kesembuhan pasien. Contohnya kontrak
terapuetik8 dokter-pasien.
Di samping bentuk Resultaatsverbintenis dan Inspanningsverbintenis,
menurut Husein Kerbala, ada perjanjian yang merupakan bentuk antara
keduanya. Suatu operasi usus buntu yang dilakukan di kota besar dengan rumah
sakit yang relatif lengkap dan modern peralatannya dengan dokter-dokter
spesialisasi yang cukup berpengalaman, maka operasi itu dapat dimasukkan dalam
Resultaatsverbintenis. Namun bila operasi usus buntu itu dilakukan di sebuah
puskesmas atau di rumah sakit di kota kecil yang serba terbatas peralatan dan
tenaga medisnya, maka tidak dapat dikategorikan dalam Resultaatsverbintenis,
tetapi tepat dimasukkan Inspanningsverbintenis.9
2.2.2. Berdasarkan Undang-Undang (Ius delicto)10
8 Menurut Husein Kerbala, kontrak terapeutik yang disebut juga dengan transaksi
terapeutik adalah suatu perjanjian antara dokter dengan pasien untuk melakukan tindakan
terapeutik atau pengobatan. Lihat, Husein Kerbala, op.cit., hal 38. Terhadap hubungan hukum
yang terjadi antara pasien dengan dokter menurut beliau lebih tepat digunakan istilah perjanjian
medis atau kontrak medis yaitu suatu hubungan hukum antara dokter dengan pasiennya mengenai
hal-hal yang menyangkut medis. Istilah perjanjian medis ini lebih luas dari kontrak terapeutik,
karena perjanjian medis ini dapat mencakup sampai tindakan terapi. Terminologi tersebut di atas
juga dipakai dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran. Pasal 1 angka 3 Permenkes ini menyebutkan tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif
yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Permenkes sepakat dengan Husein Kerbala bahwa definisi tindakan terapeutik lebih sempit
cakupannya daripada tindakan medis.
9 Ibid., Husein, hal 39.
10 J. Guwandi, “Dokter, Pasien, dan Hukum”, (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2007), hal 4.
11
Di Indonesia hal ini diatur di dalam KUHPerdata pasal 1365 tentang
perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang berbunyi:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang yang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 telah merumuskan perbuatan
melanggar hukum “sebagai suatu tindakan atau non-tindakan yang atau
bertentangan dengan kewajiban si pelaku, atau bertentangan dengan susila baik,
atau kurang hati-hati dan ketelitian yang seharusnya dilakukan di dalam
masyarakat terhadap seseorang atau barang orang lain”.
Jika seorang dokter tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di atas,
maka ia dapat dianggap telah melakukan pelanggaran hukum. Melanggar
ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang karena tindakannya bertentangan
dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dapat
diharapkan daripadanya dalam pergaulan sesama warga masyarakat.
Jika dikaitkan dengan Hukum Kedokteran, maka masih timbul pertanyaan
apakah yang dimaksud dengan “kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian” itu?
Jawabannya adalah standar-standar dan prosedur profesi medik di dalam
melakukan suatu tindakan medik tertentu. Namun Standar-standar tersebut juga
bukan sesuatu yang tetap karena pada waktu-waktu tertentu terhadapnya haruslah
diadakan evaluasi untuk dapat memgikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Namun tidak saja terhadap suatu perbuatan yang dilakukan, tetapi juga
terhadap suatu kelalaian yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain dapat
pula dimintakan penggantian kerugian. Hal ini dirumuskan di dalam pasal 1366
KUHPerdata yang berbunyi:
Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang
hati-hatinya.
12
Selain itu seseorang juga bertanggung-jawab terhadap tindakan atau
kelalaian/kurang hati-hati dari orang yang berada di bawah perintahnya. Hal ini
dirumuskan di dalam pasal 1367 KUHPerdata yang berbunyi:
Seseorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, tetapi juga kerugian yang disebabkan perbuatan orang-
orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada
di bawah pengawasannya.
2.3. Tinjauan Informed Consent
2.3.1. Informed Consent Sebagai Hak Pasien
Perikatan medis yang lahir dari perjanjian medis merupakan hubungan
hukum yang bersifat timbal balik. Sebagai hubungan hukum yang bersifat timbal
balik, perjanjian medis selalu mempunyai dua segi yang isinya hak di satu pihak
dan kewajiban di pihak lainnya. Dengan lain perkataan bahwa hak pihak pertama
merupakan kewajiban pihak kedua dan sebaliknya kewajiban pihak pertama itu
merupakan hak bagi pihak kedua. Demikian juga dengan hubungan hukum antara
dokter dengan pasiennya pun terdapat hak dan kewajiban.
Pada literatur hukum kesehatan terdapat beberapa hak pasien antara lain:11
a) Hak atas informasi
b) Hak memberikan persetujuan
c) Hak memilih dokter
d) Hak memilih sarana kesehatan (Rumah Sakit)
e) Hak atas rahasia kedokteran
f) Hak menolak pengobatan/perawatan
g) Hak menolak suatu tindakan medis tertentu
h) Hak untuk menghentikan pengobatan/perawatan (di Rumah Sakit tersedia
formulir keluar paksa)
i) Hak atas second opinion (pendapat kedua)
j) Hak melihat rekam medis/hak “inzage” rekam medis
11 Fred, op.cit., hal 40.
13
Butir a dan b dinamakan “informed consent”.
Berkaitan dengan informed consent sebagai hak pasien di satu sisi, di sisi
lain lain pasien juga mempunyai kewajiban memberikan penjelasan lengkap,
sebanyak mungkin tentang penyakitnya. Kewajiban pasien ini dapat dikaitkan
dengan hak dokter atas “itikad baik” pasien.12
Informed Consent diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, salah satunya Pasal 8 yang menyebutkan Setiap orang berhak
memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan
pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan menyebutkan kewajiban dari tenaga kesehatan antara lain adalah
memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan
dilakukan serta meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Selain itu dalam pasal 22 ayat (1) ini juga disebutkan tenaga kesehatan diwajibkan
untuk menghormati hak-hak pasien, yang dalam penjelasan pasal Peraturan
Pemerintah ini dikatakan hak-hak pasien itu meliputi hak atas informasi dan hak
untuk memberikan/menolak persetujuan. Informed Consent juga diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran. Berikut beberapa pasal yang mengatur
mengenai informed consent.
Pasal 2
Ayat (1): Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
Ayat (3): Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan
kedokteran dilakukan.
Pasal 7
12 Ibid., hal 53
14
(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada
pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
(2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan
diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
(3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sekurangkurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
f. Perkiraan pembiayaan.
Pasal 8
(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi :
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka
sekurangkurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding;
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya
tindakan kedokteran;
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan
tindakan.
(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif,
diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama
dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang
mungkin terjadi.
c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya
dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing
alternatif tindakan.
15
e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan
darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga
lainnya.
(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua
risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang
dilakukan, kecuali:
a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya
sangat ringan
c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya
(unforeseeable)
(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:
a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)
2.3.2. Pengertian Informed Consent
Pada dasarnya, hubungan dokter dengan pasien yang dikenal dengan
kontrak terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak manusia, yaitu:
a. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination/TROS)
b. Hak atas informasi (the right to information)
Dengan kedua hak dasar itu dokter dan pasien bersama-sama menemukan terapi
(cara penyembuhan) yang paling tepat akan diterapkan pada diri pasien. Dari sini
pangkal informed consent lahir. 13
Berikut beberapa pendapat yang pernah disampaikan mengenai definisi
informed consent.
a. Secara harfiah, informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan
consent. Informed berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan atau
13 Husein, op.cit., hal 56-57, mengutip Hermien K., “Hukum kedokteran di Dunia
Internasional”, makalah disampaikan pada Simposium Medical Law, Jakarta, 6-7 Juni 1983, hal 1.
16
informasi. Sedangkan consent itu berarti suatu persetujuan atau mengizinkan.
Dengan demikian informed consent itu berarti suatu persetujuan yang
diberikan setelah mendapat informasi (informed).14
b. D. Veronica Komalawati merumuskan pengertian informed consent sebagai:15
“...suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan
dilakukan dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapat informasi dari
dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan menolong dirinya
disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.”
c. Di dalam Patient Bill of Rights atau American Hospital Assosiation, informed
consent dirumuskan sebagai:
“The patient has the right to receive from his physician information
necessary to give. Informed Consent prior to the start of any procedure
and/or treatment.” 16
d. Menurut Black’s Law Dictionary maka dikatakan bahwa informed consent
adalah: A person's agreement to allow something to happen, made with full
knowledge of the risks involved and the alternatives. For the legal profession,
informed consent is defined in Model Rule of Professional Conduct l.O(e). 2.
A patient's knowing choice about a medical treatment or procedure, made
after a physician or other healthcare provider discloses whatever information
a reasonably prudent provider in the medical community would give to a
patient regarding the risks involved in the proposed treatment or procedure. -
Also termed knowing consent. 17
2.3.3. Kode Etik Kedokteran dan Informed Consent
14 Ibid., hal 57.
15 Ibid., mengutip Veronica Komalawati, “Hukum dan Etika dalam Praktek Kedokteran”,
(Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal 86.
16 Ibid., mengutip Fred Ameln, “Informed Consent: Pada Perjanjian Medis Dokter/Dokter
Gigi, Beberapa Aspek Yuridis dan Etis”, disampaikan pada Seminar Informed Consent di RSPP
Jakarta, 30 Agustus 1991, hal 21.
17 Bryan A. Garner, Ed., “Black's Law Dictionary 9th ed., (St. Paul Min: West Group,
2009), hal 375.
17
Dari segi etik, penerapan informed consent dianggap sebagai upaya dokter
untuk membuktikan kesungguhannya dalam mematuhi primum non nocere
(yang paling diutamakan adalah untuk tidak mencelakakan pasien), serta
prinsip mengutamakan kepentingan pasien. Dokter yang memegang prinsip
primum non nocere akan selalu menerima apa pun yang diputuskan oleh
pasiennya. Sehingga dapat dikatakan bahwa aspek etik dari informed consent
sangatlah luas dan besar dan menjadi landasan moral bagi kalangan tenaga
kesehatan, khususnya para dokter.18
Dalam profesi kedokteran, dikenal adanya suatu kode etik yang disusun
berdasarkan asas etik. Dasar etik tersebut berlaku sejak zaman Hippocrates dan
merupakan asas yang tidak pernah berubah, yang secara universal dipakai di
seluruh dunia. Jika dijabarkan terdapat enam asas dalam profesi kedokteran
yakni:19
1. Asas menghormati otonomi pasien
Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui apa yang akan
dilakukan oleh dokter serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya
sendiri sehingga kepadanya perlu diberikan informasi yang cukup.
Pasien berhak untuk dihormati pendapat dan keputusannya, dan tidak
boleh dipaksa. Untuk itu maka perlu adanya informed consent.
2. Asas kejujuran
Dokter hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya secara jujur
akan apa yang terjadi , apa yang akan dilakukan, serta akibat/risiko
yang dapat terjadi.
3. Asas tidak merugikan
Dokter berpedoman pada primum non nocere, tidak melakukan
tindakan yang tidak perlu, dan mengutamakan tindakan yang tidak
merugikan pasien, serta mengupayakan risiko fisik, risiko psikologis,
maupun risiko sosial akibat tindakan tersebut seminimal mungkin.
18 Husein, op.cit., hlm. 90.
19 Ari Yunanto dan Helmi, “Hukum Pidana Malpraktik Medik”, (Yogyakarta: Andi
Offset, 2010), hlm. 9.
18
4. Asas manfaat
Semua tindakan dokter yang dilakukan terhadap pasien harus
bermanfaat bagi pasien guna mengurangi penderitaan atau
memperpanjang hidupnya. Untuk itu dokter wajib membuat rencana
perawatan/tindakan yang berlandaskan pada pengetahuan yang sahih
dan dapat berlaku secara umum.
5. Asas kerahasiaan
Dokter harus menghormati kerahasiaan pasien, meskipun pasien
tersebut sudah meninggal dunia.
6. Asas keadilan
Dokter harus berlaku adil, tidak memandang kedudukan atau
kepangkatan, tidak memandang kekayaan, dan tidak berat sebelah
dalam merawat pasien.
Dari asas tersebut kemudian disusun peraturan kode etik kedokteran
Indonesia yang menjadi landasan bagi setiap dokter untuk mengambil keputusan
etik dalam melakukan tugas profesinya sebagai seorang dokter. Kode etik
kedokteran yang berlaku sekarang dinyatakan mulai berlaku pertama kali dengan
Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Men. Kes/Sk/X/1983 tentang Berlakunya
Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) bagi para dokter di seluruh Indonesia,
baik yang menjadi anggota IDI maupun yang tidak menjadi anggota IDI. Kodeki
berisi tentang kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap penderita, kewajiban
dokter terhadap teman sejawat, dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.20
2.3.4. Aspek Perdata Informed Consent
Telah dijelaskan di muka bahwa informed consent merupakan hubungan
hukum yang lahir dari perjanjian medis. Perjanjian medis yang termasuk perikatan
medis merupakan perikatan pada umumnya yang berlaku ketentuan-ketentuan
umum hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Dengan demikian, syarat sahnya perjanjian medis juga
kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien haruslah memenuhi ketentuan
20 Husein, op. cit., hlm. 91.
19
dalam KUHPerdata Buku III Bab II Bagian Kedua Tentang Syarat-Syarat yang
Diperlukan Untuk Sahnya Suatu Perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian dalam
pasal 1320 Buku III Bab II Bagian Kedua KUHPerdata disebutkan ada empat,
yaitu:
1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal.
Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai
orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sehingga dapat
dimintakan pembatalannya pada pengadilan manakala syarat subjektif ini tidak
terpenuhi. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif
karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu. Syarat objektif ini apabila tidak terpenuhi maka perjanjiannya batal
demi hukum.21
Ad. 1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya
Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa kesepakatan harus diberikan
tanpa adanya kekhilafan, atau diperolehnya tidak dengan dengan paksaan atau
penipuan. Subekti menjelaskan dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan,
dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat, setuju, seiya-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang
diadakan itu. Apa yang dikehendaki pihak satu, juga dikehendaki pihak yang lain.
Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik.22
Paksaan terjadi, jika seseorang memberikan persetujuannya karena takut
suatu ancaman. Misalnya rahasianya akan dibuka jika ia tidak menyetujui suatu
perjanjian. Yang diancam harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang undang-
21 Subekti (a), “Hukum Perjanjian”, cet. ke-12, (Jakarta: Penerbit Intermasa, 2002), hal
17.
22 Ibid.
20
undang. Jikalau yang diancam itu suatu perbuatan yang diizinkan oleh undang-
undang, misalnnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan hakim
dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan.23
Kekhilafan dapat terjadi, baik menyangkut subjek maupun objeknya.24
Misalnya, seseorang yang ingin mengobati penyakitnya datang ke seorang dokter.
Sebenarnya ia ingin berobat kepada seorang dokter spesialis, tetapi karena
ketidaktahuannya ia datang ke dokter umum. Sebaliknya dokter umum itu
mengira bahwa calon pasien itu tahu bahwa dirinya memang hanya seorang dokter
umum dan sungguh ingin berobat kepadanya.25 Kekhilafan mengenai objeknya,
terjadi jika hal yang dijadikan objek perjanjian itu sesungguhnya bukan yang
dimaksudkan oleh pihak-pihak.26
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan,
sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.27
Adapun dalam menyatakan persesuaian kehendak itu, dapat dilakukan
dengan berbagai cara, baik secara tegas (expressed contract) mapun diam-diam
(implied contract). Dalam bentuk Expressed Contract sifat atau luas jangkauan
pemberian pelayanan pengobatan sudah ditawarkan oleh sang dokter yang
dilakukan secara nyata dan jelas, baik secara tertulis maupun secara lisan. Dalam
bentuk Implied Contract adanya kontrak disimpulkan dari tindakan-tindakan para
pihak. Timbulnya bukan karena adanya persetujuan, tetapi dianggap ada oleh
23 Subekti (b), “Pokok-Pokok Hukum Perdata”, cet. ke-31, (Jakarta: PT Intermasa, 2003),
hal 135.
24 Ibid.
25 Agus Sardjono, “Buku Ajar (Buku A) Hukum Dagang”, (Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004), hal 13.
26 Ibid.
27 Subekti (b), op.cit.
21
hukum berdasarkan akal sehat dan keadilan. Maka jika seorang pasien datang ke
suatu klinik medis dan sang dokter mengambil riwayat penyakitnya, memeriksa
keadaan fisik pasien dan memberikan pengobatan yang diperlukan, maka
dianggap tersirat sudah ada hubungan kontrak antara pasien dan dokter.28
Menurut Veronica Komalawati, jika dihubungkan dengan perjanjian medis
(Veronica menyebutnya dengan transaksi terapeutik) sebagai hubungan
interpersonal, maka yang disebut informed consent untuk dilakukan tindakan
medis merupakan konstruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan
baik oleh dokter maupun pasien setelah masing-masing menyatakan kehendaknya
sehingga masing-masing telah mendapatkan informasi secara bertimbal balik.
Oleh karena itu, informed consent diartikan sebagai persetujuan setelah
informasi.29
Bentuk informed consent tidak harus tertulis, tetapi bisa secara lisan.
Ketentuan mengenai ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran yang bunyinya: “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.” Namun untuk tindakan kedokteran
yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan (Pasal 3 ayat (1)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008). Berikut Pasal
3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Pasal 3
(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
28 J. Guwandi, op.cit., hal 20.
29 Veronica, op.cit., hal 156.
22
(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam
bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk
itu.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam
bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang
dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Ad 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada dasarnya orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut
hukum. Cakap menurut hukum maksudnya orang tersebut mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. Setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak
cakap (Pasal 1329 KUHPerdata). Tak cakap membuat suatu perjanjian adalah
(Pasal 1330 KUHPerdata):
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian tertentu.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka
istri telah dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Selain kecakapan berlandaskan faktor usia, kecakapan juga ditentukan
berdasarkan faktor kesehatan mental.30 Kecakapan juga ditentukan oleh undang-
30 Agus Sardjono, op.cit., hal 14, mengutip J. David Reitzel, et al., “Contemporary
Business Law, Principles and Cases”, ed. ke-4, (Mc.Graw-Hill Book Company, 1986), hal 142.
23
undang.31 Misalnya, seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medis
haruslah tenaga kesehatan yang telah memperoleh Surat Izin Praktek dan tindakan
medis tersebut adalah sebatas tindakan (wewenang) yang memang ditulis dalam
Surat Izin Praktek Tenaga Kesehatan itu dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Seringkali ditemui kasus dimana seorang tenaga kesehatan melampaui
wewenangnya, misalnya kasus seorang dokter gigi yang membuka klinik
kecantikan untuk operasi plastik padahal ia hanya mempunyai Surat Izin Praktek
(SIP) sebagai dokter gigi yanbg tentu saja wewenangnya sebatas tindakan medis
oleh dokter gigi yang tercantum dalam SIP itu. Lebih lanjut mengenai SIP akan
dibahas dalam sub-bab “Aspek Administratif Informed Consent”.
Ad 3) Suatu hal tertentu
Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua
belah pihak jika timbul suatu perselisihan.32 Barang yang dimaksud paling sedikit
ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata). Tidaklah menjadi
halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat
ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata).
Menurut Veronica Komalawati, dihubungkan dengan objek dalam
perjanjian medis, maka urusan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang perlu
ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus
dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerja sama yang
didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Oleh karena upaya
penyembuhan yang akan dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan
adanya standar pelayanan medik.33
31 Ibid.
32 Subekti (a), op.cit., hal 18.
33 Veronica, op.cit., hal 164.
24
Dengan demikian, dapat terlihat bahwa ketentuan mengenai objek
perjanjian ini erat kaitannya dengan masalah: (1) pelaksanaan upaya medik sesuai
dengan standar pelayanan medik yang meliputi standar pelayanan penyakit dan
standar pelayanan penunjang; serta (2) masalah infomasi yang diberikan harus
tidak melebihi dari yang dibutuhkan oleh pasien. Jadi jika dokter tidak dapat
menentukan dan menjelaskan, atau memberikan informasi mengenai upaya medik
yang akan dilakukannya, maka berarti syarat ini tidak terpenuhi.34
Ad 4) Suatu sebab yang halal
Syarat terakhir adalah sebab yang halal. Sebab yang halal maksudnya
adalah isi dari suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang di sini adalah undang-undang yang bersifat melindungi
kepentingan umum, sehingga jika dilanggar akan membahayakan kepentingan
umum.35 Misalnya, menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan menentukan bahwa tindakan pengguguran kandungan merupakan
perjanjian dengan sebab terlarang, kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis
dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang ini
(Pasal 75 dan Pasal 76).
Lalu bagaimana bila perjanjian terapeutik dilakukan oleh tenaga kesehatan
dalam rangka melakukan pekerjaan di bawah Rumah Sakit? Dalam kaitan dengan
tanggung jawab Rumah Sakit, maka pada prinsipnya Rumah Sakit bertanggung-
jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatannya sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu, Rumah
34 Ibid., hal 165.
35 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, “Mengenal Hukum Perdata”, ed. ke-1,
cet. ke-1, (Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008), hal 132, mengutip Hardijan Rusli, “Hukum Perjanjian
Indonesia dan Common Law”, cet. ke-2, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal 99.
25
Sakit bertanggung jawab atas wanprestasi dan melawan hukum (1243, 1370,
1371, dan 1365 KUHPerdata) bila tindakan itu dilakukan pegawainya.36
2.3.5. Aspek Pidana Informed Consent
Telah dibahas bahwa sebelum tindakan medik dilakukan diperlukan
persetujuan pasien. Mengapa seorang pasien harus memberikan persetujuan itu;
misalnya suatu operasi? Dilihat dari aspek pidananya, hal ini dikaitkan dengan
Pasal 351 KUHP dimana diatur hal penganiayaan. Jika seseorang menusukkan
pisau ke dalam badan seseorang lain.yang menimbulkan luka, perbuatan ini
merupakan penganiayaan. Jika seseorang membius orang lain, ini pun termasuk
penganiayaan. Jika seseorang yang membius tersebut kebetulan seorang dokter,
maka tindakan itu tetap penganiayaan.37
Tindakan-tindakan itu bukan suatu penganiayaan menurut Hukum Pidana
manakala:38
a. orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan;
b. tindakan medik itu berdasarkan suatu indikasi medik, dan ditujukan pada
suatu tujuan yang konkrit; serta
c. tindakan medik itu dilakukan sesuai ilmu kedokteran.
Ad. a. Orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan
Telah dikemukakan di muka bahwa keharusan memberikan persetujuan
disyaratkan adanya pemberian informasi terlebih dahulu. Telah dijelaskan pula
bahwa hanya dalam keadaan-keadaan tertentu, persetujuan seperti itu tidak
disyaratkan, misalnya pasien tidak mampu mengucapkan keinginannya atau dalam
keadaan darurat. Dalam hal yang terakhir itu, bukan menjadi masalah teori mana
yang akan dipergunakan yakni berkenaan dengan permasalahan apakah tindakan
36 Fred, op.cit., hal. 71.
37 Fred, op.cit., hal 43-44.
38 H.J.J Leenen, Pelayanan Kesehatan dan Hukum”, Eds., A.F. Lamintang, (Bandung:
Binacipta, 1991), hal 154-156.
26
medis itu merupakan suatu penganiayaan atau tidak, khususnya tentang
bagaimana caranya tindakan tersebut jangan sampai termasuk dalam
pengertiannya. Jika adanya persetujuan itu pada umumnya tidak dapat
membenarkan adanya suatu penyimpangan terhadap standar profesional medis,
maka hanya dalam satu hal adanya suatu persetujuan itu dapat membuat suatu
tindakan medis yang tidak diindikasikan menjadi suatu tindakan yang dapat
dibenarkan, yakni jika tindakan tersebut sifanya tidak terlarang secara etis.
Ad. b. tindakan medik itu berdasarkan suatu indikasi medik, dan ditujukan pada
suatu tujuan yang konkrit
Itu berarti bahwa perawatan medis sesuai dengan standar profesional
secara medis yang berlaku, harus ditujukan pada tujuan ilmu kedokteran.
Tindakan itu juga harus dibenarkan secara etis. Selanjutnya cara yang dipakai itu
harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, instrumen-instrumen yang dipakai
itu memang diperlukan, dan terdapat keseimbangan antara cara yang dipakai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Kegunaan secara intrumental itu dianggap
tidak ada misalnya: jika suatu tindakna medis yang sifatnya beray itu telah
diterapkan pada suatu perasaan sakit yang ringan; jika dilakukan suatu tindakan
medis yang sifatnya tidak perlu; jika kepada pasien telah tidak diberikan
“pencegah rasa sakit” dalam jumlah yang memadai dan lain-lain. Suatu
penanganan yang tidak dapat dipertangungjawabkan secara intrumental atau
menurut tujuan itu harus diberikan kualifikasi sebagai suatu penganiayaan.
Sebagai suatu kekecualian dapat terjadi bahwa bagi seorang pasien itu terdapat
perbedaan antara tujuan dengan pelayanan, misalnya pada percobaan-percobaan
pada manusia, tetapi jika orang menginginkan agar tindakan tersebut tidak dapat
disebut sebagai suatu tindakan yan sifatnya melawan hukum secara material,
maka tindakan itu harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan bagi suatu
percobaan.
Ad. c. tindakan medik itu dilakukan sesuai ilmu kedokteran.
Masalahnya di sini adalah berkenaan dengan ketelitian melakukan
tindakan medis, baik pada waktu melakukan pemeriksaan untuk membuat
27
diagnosa maupun pada waktu melakukan terapi, dan berkenaan dengan ketelitian
memberikan sarana pencegah rasa sakit dan memberikan pelayanan.
Syarat-syarat yang disebutkan dalam huruf b dan huruf c di atas juga dapat
disebut dengan “bertindak lege artis” (bertindak menurut standar profesional
medis). Dengan demikian, menurut Leenen, maka suatu pembedahan yang
dilakukan dengan hati-hati dan didasarkan pada indikasi yang baik itu, jika karena
suatu hal ternyata gagal, tidaklah bersifat melawan hukum.39
Jika dokter memenuhi ketiga syarat itu, maka ia tidak dapat dikenakan
pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Ketiga syarat itu harus semua dipenuhi.
Satu sama lain saling berhubungan. Upaya ini menurut Leenen meniadakan “de
materieele wederechtelykheid”, yaitu menghilangkan sifat yang bertentangan
dengan hukum. Fred Ameln menyebutnya dengan “Buitenwettelyke schuld-
uitsluitingsgrond” atau dasar peniadaan culpa di luar undang-undang. Selain itu
juga dikenal prinsip AVAS yang berarti “afwezighyd van alle schuld”, tidak
terdapat suatu kelalaian sama sekali.40
2.3.6. Aspek Administratif Informed Consent
Dalam hukum administratif, masalah kualifikasi yuridis berkenaan antara
lain dengan kewenangan yuridis untuk melakukan tindakan medis. Kewenangan
yuridis untuk melakukan tindakan medis salah satu wujudnya adalah Surat Izin
Praktek yang diberikan aparatur negara yang berwenang kepada tenaga kesehatan.
Dalam Surat Izin Praktek dituliskan Ruang Lingkup kewenangan tenaga
kesehatan.
Dasar hukum Surat Izin Praktek adalah Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut
UU Kesehatan) sebagai berikut.
39 Ibid.
40 Fred, Op.cit.
28
ayat (1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan.
ayat (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang
keahlian yang dimiliki.
ayat (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib
memiliki izin dari pemerintah.
Penjelasan Pasal 23 ayat (1) menyatakan “kewenangan yang dimaksud dalam ayat
ini adalah kewenangan yang diberikan berdasarkan pendidikannya setelah melalui
proses registrasi dan pemberian izin dari pemerintah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.
Selain dalam UU Kesehatan, mengenai surat izin praktek juga diatur
dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan.
Pasal 4
(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga
kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.
(2) Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi
tenaga kesehatan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur oleh Menteri.
Pasal 5
(1) Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan
tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya
dapat melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan
adaptasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur oleh Menteri.
29
Surat Izin Praktek diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri
Kesehatan, sebagai berikut.
(1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang
Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
(2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/149/I/2010
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
(3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/148/I/2010
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat
2.3.7. Alasan-Alasan yang Mengecualikan Informed Consent
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
menyebutkan dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien
dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
Hal ini berarti ada keadaan dimana informed consent tak harus dipenuhi. Di
samping ketentuan dalam Permenkes itu, juga terdapat doktrin mengenai keadaan-
keadaan yang dapat menjadi alasan dikesampingkannya informed consent.
Alasan-alasan yang dapat mengecualikan informed consent adalah sebagai
berikut.41
a. Pasien yang akan menjalani pengobatan dengan “placebo” (sugestif
therapeuticum) 42
Kadangkala ada orang yang datang kepada dokter mengungkapkan
keluhan-keluhan penyakitnya (pusing, sakit kepala, dan lain-lain). Tetapi hasil
pemeriksaan dan diagnosa dokter menyatakan orang ini secara medis tidak
mengidap suatu penyakit apa pun. Mengapa demikian? Mereka ini hanya
“merasa” saja sakit. Perasaan ini terus dipupuk dan diikuti sehingga perasaan
sakitnya makin parah.
41 Ibid., hal 46.
42 Husein, op.cit., hal 73
30
Terhadap pasien yang demikian dokter akan mengobatinya dengan cara
placebo, yakni diberi suatu obat yang sebenarnya bukan obat (hanya kembang
gula, vitamin) tetapi diberi aturan minum seperti obat pada umumnya. Jadi terapi
yang digunakan juga harus berbentuk sugesti “sugestif-therapeuticum”. Karena
timbulnya penyakit yang dirasakan itu dari sugesti. Kepada pasien yang demikian,
dokter tidak mungkin menyampaikan diagnosa dan terapi yang dilakukan.
Penyampaian informasi itu justru akan merusak rencana terapi dan proses
penyembuhan.
b. Pasien yang akan merasa dirugikan bila mendengar informasi tersebut43
Bila keadaan pasien sudah sangat parah dan labil, misalnya berpenyakit
lemah jantung yang sudah akut, maka dokter dapat menyampingkan hak pasien
tersebut atas informasi. Bila hasil diagnosa menunjukkan pasien mengalami
komplikasi dengan penyakit lever, dan lain-lain maka informasi tentang ini dapat
disampaikan kepada keluarga pasien yang berwenang.
c. Pasien yang sakit jiwa44
Dapat dipahami jika pasien ini dapat dikesampingkan hak informasinya
karena ia tidak akan mampu memahami informasi dokter, terutama pasien yang
sakitnya telah parah sehingga sama sekali tidak dapat berkomunikasi lagi.
d. Pasien yang belum dewasa45
Tentang kelompok pasien belum dewasa, Prof Leenen membedakannya
ke dalam dua kelompok, yakni: (1) Grup A: yang masih anak (de
jongereminderjarige); dan (2) Grup B: yang sudah mendekati kedewasaan (de
Oudere minderjarige). Sukar untuk menarik suatu batas umur antara Grup A dan
Grup B dan di sini dapat dipakai “The Major-Minor Rule” yaitu orang yang
43 Ibid.
44 Ibid.
45 Fred, op.cit., hal 46
31
belum dewasa dapat dikategorikan grup B jika mereka oleh dokter dinilai cukup
matang untuk menerima infomasi tentang penyakitnya.
Secara hukum perdata, seseorang dinyatakan dewasa pada umur 21 tahun
(Pasal 330 KUHPerdata). Walaupun demikian, banyak contoh bahwa orang yang
belum dewasa sudah dianggap mampu bertindak menurut hukum tanpa izin orang
tua. Hal ini disebut terobosan umur dewasa di dalam hukum. Misalnya untuk
hukum perdata membuat testamen 18 tahun. Misalnya untuk hukum pidana:
- Pada umur 16 tahun seseorang diberlakukan hukum pidana untuk orang
dewasa (Pasal 45 KUHPidana).
- Mengajukan pengaduan pada delik aduan (klachtdelichten) 16 tahun.
Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan mengenai
kesehatan yang mengatur batas dewasa dalam melakukan perjanjian terapeutik.
e. Pasien Tidak Sadar
Pada literatur Leenen, dikemukakan adanya suatu “fiksi yuridis”. Fiksi
yuridis menyatakan bahwa seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui
apa yang pada umumnya disetujui oleh pasien yang berada dalam keadaan sadar
pada situasi dan kondisi sakit yang sama. Fred Ameln menyebutnya dengan
“presumed consent”. Prof. W. Van der Mijn mengatakan bahwa hal paien yang
dalam kondisi tidak sadar dapat dikaitkan pula dengan pasal 1354 KUHPerdata
yag mengatur “Zaakwaarneming” atau perwakilan sukarela, yaitu suatu sikap
tindak yang pada dasarnya pengambil-alih tanggung jawab dengan bertindak
menolong pasien dan bila pasien telah sadardokter bisa bertanya apakah
perawatan diteruskan atau ingin tukar dokter atau ingin memperoleh second
opinion. Selain itu, jikalau dokter harus melakukan tindakan medis untuk
menyelamatkan jiwa (life saving) seorang pasien yang tidak sadar, maka ia tidak
memerlukan informed consent dari siapa pun. Ini juga disebut oleh Fred Ameln
sebagai “presumed consent”.
Oleh karena itu, persetujuan untuk pasien yang tidak sadar, tergantung
dokter:
32
(1) Bisa menunggu sampai keluarganya datang atau sampai siuman, tanpa
membahayakan jiwa pasien.
(2) Segera melakukan tindakan medik atas dasar:
a. Live-saving
b. Fiksi hukum (Leenen)
c. Zaakwaarneming (van der Mijn)
2.4. Malpraktek Kedokteran
2.4.1. Definisi Malpraktek Kedokteran
Menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English by
Hornby Cs. 2-nd edition, Oxford University Press, London Malpraktek dalam
bahasa Inggris disebut “malpractice” yang berarti “wrongdoing” atau “neglect of
duty”. Dalam Coughlin’s Dictionary of Law terdapat perumusan malpractice yang
dikaitkan dengan kesalahan profesi: Malpractice is Professional misconduct on
the part of a professional person, such as a physician, dentist, veterinarian.
Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in
the performance of professional duties; intentional wrongdoing; or illegal or
unethical practice. Jika pengertian ini diterapkan di bidang kedokteran maka
dapat dikatakan seorang dokter melakukan malpraktek jika ia melakukan suatu
tindakan medik yang salah (wrong doing) atau ia tidak atau tidak cukup mengurus
pengobatan/perawatan pasien (neglect the patient by giving not enough care to the
patient).46 Black’s Law Dictionary Ed. ke-9 menggunakan istilah medical
malpractice, yaitu “A doctor's failure to exercise the degree of care and skill that
a physician or surgeon of the same medical specialty would use under similar
circumstances”.47
Malpraktek menurut Ninik Mariyanti, SH, dapat diuraikan sebagai
berikut:48
46 Fred, op.cit., hal 83-84.
47 Bryan, op.cit., hal 1073.
48 Ninik Mariyanti, “Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata”,
(Jakarta: Bina Aksara, 1998), hlm 38.
33
a. Dalam arti umum, malpraktek merupakan suatu praktek (khususnya praktek
dokter)yang buruk dan tidak memenuhi standar yang telah dilakukan oleh
profesi.
b. Dalam arti khusus, dilihat dari pasien malpraktek dapat terjadi dalam:
Menentukan diagnosis, misalnya diagnosisnya sakit maag tapi ternyata
pasien sakit lever.
Menjalankan operasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi mata sebelah
kanan tetapi yang dilakukan pada mata kiri.
Selama menjalankan perawatan.
Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan
Menurut Antonius P.S. Wibowo, SH Medical Malpractice diartikan
sebagai kesalahan dalam melaksanakan profesi medis berdasarkan standar profesi
medis. Dengan banyaknya kasus malpraktek yang terjadi, barangkali menandakan
bahwa aparat kesehatan masih kurang profesional. Atau merupakan bukti bahwa
pelayanan kesehatan masih belum memadai.49
2.4.2. Malpraktek dan Kaitannya dengan Pengertian Standar profesi
kedokteran 50
Tentang standar profesi kedokteran ada berbagai perumusan dari beberapa
ahli hukum, antara lain Leenen dan tentang tanggung gugat (liability) seorang
dokter dari “Supreme Court” Canada. Keputusan Supreme Court of Canada 1956
tentang “Principle of Liability of a Doctor” menyatakan: “The doctor has to
possess the skill, knowledge, and judgement of the average of the group of
technicians to which he belong”. Unsur skill dan average dalam keputusan
Supreme Court of Canada ini ditemui pula dalam perumusan Leenen mengenai
standar profesi kedokteran , yaitu: “Berbuat secara teliti atau seksama menurut
ukuran medik, sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata
(average) dibanding dengan dokter dari kategori keahlian medik yang sama,
49 Antonius P.S. Wibowo, “Kumpulan Karangan Ilmiah Populer di Media Cetak”,
(Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma jaya,1998), hlm.21.
50 Fred, op.cit., hal hal 86-90.
34
dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana upaya (middelen) yang sebanding
atau proposional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medik tersebut”.
Unsur standar profesi kedokteran yang terdapat dalam rumusan Leenen:
a) Berbuat secara teliti atau seksama (zorgvuldig handelen) dikaitkan dengan
culpa atau kelalaian. Bila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteg”,
tidak teliti, tidak berhati-hati maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia
sangat tidak berhati-hati ia memenuhi culpa lata.
b) Sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standaard).
c) Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medik yang
sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie).
d) Situasi dan Kondisi yang sama (gelijke omstandigheden).
e) Sarana upaya (middelen) yang sebanding atau proposional (asas
proposionalitas) dengan tujuan konkret tindakan atau perbuatan medik
tersebut.
Kelima unsur dari standar ini harus dipakai untuk menguji apakah suatu
perbuatan medik merupakan malpraktek atau tidak. Ternyata unsur perumusan
Standar profesi kedokteran menurut Leenen yang paling lengkap dan memiliki
lebih banyak unsur yang sangat relevan.
Terdapat beberapa pengertian pada perumusan Leenen yang memerlukan
penjelasan:
a. Ukuran Medis
Ukuran medis merupakan unsur yang paling penting dari Standar
profesi kedokteran . Tiap perbuatan medis seorang dokter harus sesuai ukuran
medis yang berlaku. Pengertian ukuran medis menurut Leenen dapat
dirumuskan sebagai: “suatu cara melakukan tindakan medis dalam suatu
kasus yang konkret menurut suatu ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu
medik dan pengalaman.
Harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberikan kriterium yang
eksak untuk dipakai pada tiap tindakan medik karena perbedaan situasi
kondisi dan pula fisik pasien yang berbeda-beda yang dapat menghasilkan
reaksi yang berbeda pula walaupun diberikan terapi yang sama.
35
b. Tujuan Medik
Tindakan para tenaga kesehatan harus ditujukan pada perbaikan situasi
pasien. Menurut Leenen, tujuan ilmu kedokteran dapat dirumuskan sebagai
berikut :
i. Menyembuhkan dan mencegah penyakit;
ii. Meringankan penderitaan;
iii. Mengantar pasien (comforting) termasuk mengantar menghadapi akhir
hidup; dan
iv. Asas keseimbangan.
Ketentuan mengenai Standar Profesi ini telah termuat dalam undang-
undang. Pasal 24 ayat (1) UU Kesehatan mengatakan bahwa Tenaga kesehatan
yang telah memperoleh Surat Izin Praktek harus memenuhi ketentuan kode etik,
standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional. Menurut Pasal 24 ayat (2) UU Kesehatan tersebut,
ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh organisasi profesi. Di dalam pasal 51 huruf a Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (selanjutnya disebut UU
Praktek Kedokteran) yang menyatakan bahwa Dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban salah satunya
memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien.
Apa yang dimaksud standar profesi dan standar prosedur operasional?
Penjelasan Pasal 50 UU Praktek Kedokteran memberikan batasan definisinya,
yakni: “Yang dimaksud dengan “standar profesi” adalah batasan kemampuan
(knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh
seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Yang dimaksud
dengan “standar prosedur operasional” adalah suatu perangkat
instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses
kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional memberikan langkah yang
36
benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai
kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan
berdasarkan standar profesi”.
2.4.3. Jenis-Jenis Malpraktek51
Malpraktek terdiri dari dua bentuk, yaitu malpraktek etika dan malpraktek
yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.
a. Malpraktek Etika
Yang dimaksud dengan malpraktek etika adalah dokter melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Di Indonesia, terdapat Kode
Etik Kedokteran (KODEKI) yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
berisikan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk
dokter. Mengenai KODEKI ini telah dibahas pada awal tulisan ini.
Malpraktek etika sering terjadi seiring dengan kemajuan teknologi
kedokteran yang makin canggih, cepat dan mempermudah tenaga medis dalam
melakukan tindakan medis. Contohnya adalah pemeriksaan laboratorium. Sering
ada kasus di mana pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak diperlukan asalkan
dokter yang bersangkutan mau memeriksa dengan teliti. Namun dokter tetap
mengirimkan pasiennya ke laboratorium karena pihak laboratorium berjanji
memberikan ‘hadiah’ pada sang dokter. Contoh lain adalah di pemberian obat.
Banyak perusahaan obat yang memberi berbagai janji pada dokter agar obat
tersebut disertakan dalam resep.
Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat pedoman bagi para dokter
untuk mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan
moral, yakni :
Menentukan indikasi medisnya.
Mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati.
51 Antonius, op.cit., hal.31-35.
37
Mempertimbangkan dampak tindakan yang akan dilakukan terhadap mutu
kehidupan pasien.
Mempertimbangkan hal-hal kontekstual yang terkait dengan situasi kondisi
pasien, misalnya, aspek sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya.
b. Malpraktek Yuridik
Soedjatmiko membedakannya menjadi tiga bentuk, yaitu
1. Malpraktek Perdata (Civil Practice)
Terjadi ketika terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi
perjanjian dalam transaksi teurapetik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya
perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada pasien. Terdapat
beberapa syarat agar suatu perbuatan dianggap melawan hukum, yaitu adanya
suatu perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat), perbuatan tersebut
melanggar hukum (baik tertulis atau tidak tertulis), adanya suatu kerugian, ada
hubungan sebab akibat antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang
diderita.
Agar dapat memperoleh ganti rugi, pasien harus dapat membuktikan
bahwa tindakan itu malpraktek dalam empat unsur yaitu:
Adanya suatu kewajiban dari dokter terhadap pasien.
Dokter melanggar standar pelayanan medik yang lazim digunakan.
Pasien telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Kerugian tersebut disebabkan oleh pelayanan di bawah standar.
Namun, tidak semua tindakan malpraktek dokter harus digugat terlebih
dahulu oleh pasien. Ada kalanya kasus tersebut langsung masuk ke pengadilan
apabila melihat dari fakta yang ada, dan dokterlah yang harus membuktikan
bahwa ia tidak bersalah. Misalnya saja, di satu kasus di mana gunting operasi
tertinggal di perut pasien. Gunting tersebut merobek perut pasien dari dalam dan
38
pasien tersebut meninggal. Gunting di perut pasien menjadi barang bukti sehingga
tim operasi saat itu dapat dijatuhkan perkara.
2. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau cacat akibat ketidakhati-
hatian dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Terdapat tiga bentuk malpraktek
pidana, yaitu:
Malpraktek pidana karena kesengajaan, misalnya adalah melakukan aborsi
tanpa indikasi medis yang membenarkan, eutanasia, hingga membocorkan
rahasia pasien.
Malpraktek pidana karena kecerobohan, misalnya melakukan tindakan medis
tanpa disetujui oleh pasien.
Malpraktek pidana karena kealpaan, misalnya kesalahan operasi yang
menyebabkan pasien cacat atau meninggal dunia.
c. Malpraktek Administratif
Terjadi apabila ada pelanggaran hukum administrasi negara yang berlaku,
misalnya menjalankan praktek tanpa surat izin praktek atau menjalankan praktek
tanpa membuat catatan medik.
2.4.4. Penanggulangan Malpraktek Medis52
2.4.4.1. Pada Bidang Kedokteran
Karena malpraktek berhubungan dengan kemampuan tenaga medis,
maka yang perlu diusahakan pada bidang kedokteranini adalah penjagaan kualitas
medik. Penjagaan kualitas medik dapat dicapai dengan melakukan Audit Medik
(Medical Auditing). Yang dimaksud dengan audit medik adalah evaluasi secara
sistematis dari kualitas pelayanan medik. Hal ini diatur dalam undang-undang
karena berhubungan dengan salah satu kewajiban dokter yaitu menjaga
52 Soerjono Soekanto, “Aspek Hukum Kesehatan Suatu Kumpulan Catatan”, (Jakarta:
Penerbit IND-HILL-CO, 1989), hal 36-40.
39
kerahasiaan pasien. Segala hal yang berhubungan dengan pasien, yang diketahui
melalui audit, tetap harus dirahasiakan oleh para anggota tim audit medik. Audit
medik dapat dilaksanakan dalam rumah sakit maupun praktek pribadi para dokter.
Audit medik dapat dibagi menjadi tiga metode:
1. Prospectief
2. Retrospectif. Metode ini banyak dipakai oleh para tenaga kesehatan.
3. Simultaan
Audit medik juga dapat dibagi menjadi :
1. Proses pelaynan hasil
2. Pengadaan
3. Pendapat pasien
Selain audit medik, untuk menjaga kualitas pelayanan kedokteran rumah
sakit dapat membentuk Malpractice Review Committee yang bertugas membahas
keadaan rumah sakit mengenai kesalahan personil rumah sakit secara periodik.
Sidang tim komisi dilakukan untuk mempelajari kesalahan-kesalahan tersebut
demi perbaikan pelayanan rumah sakit.
2.4.4.2. Pada Bidang Hukum
Cara menanggulangi malpraktek melalui bidang hukum adalah dengan
mempertahankan suatu tingkat kualitas profesional kedokteran yang tinggi
melalui Hukum Disiplin Tenaga Kesehatan.Tujuan dari diciptakannya Hukum
Disiplin Tenaga Kesehatan ini adalah sebagai berikut:
a. Melindungi masyarakat
Dengan hukum disiplin ini, kepentingan masyarakat dapat dilindungi
dalam hal menerima pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi, sehingga
kerugian yang disebabkan oleh kelalaian dan kesalahan dapat dihindari.
b.Memberikan kepastian hukum kepada tenaga kesehatan (termasuk dokter)
40
Dengan hukum disiplin ini, pihak tenaga kesehatan juga mendapat
kepastian hukum seperti pasien sehingga dapat menjalankan tugasnya dengan
nyaman.
2.5.Tanggung Jawab Perawat dan Rumah Sakit53
2.5.1. Tanggung Jawab Perawat
Peranan perawat juga sangat besar dalam pelaksanaan informed consent.
Meskipun hal tersebut bukan merupakan kewenangan perawat, melainkan
kewenangan dokter yang dapat didelegasikan kepada perawat. Untuk penelaahan
mengenai tanggung jawab perawat maka dapat dibedakan perawat atas:
1. Perawat yang bekerja untuk mendapatkan gaji dari dokter
2. Perawat yang bekerja untuk digaji oleh rumah sakit dan diperbantukan kepada
dokter
Untuk perawat yang bekerja dan digaji oleh seorang dokter, maka pada
umumnya dokterlah yang bertanggung jawab terhadap tindakan perawat yang
dilakukan atas perintah dokter, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1367
KUHPerdata. Akan tetapi apabila perawat melakukan sesuatu tindakan medik
yang tidak sesuai dengan ijazah yang ia miliki, perawat itu sendiri yang harus
bertanggung jawab. Apabila seorang perawat di dalam praktik diperintahkan
untuk meminta tanda tangan dari seorang pasien pada formulir persetujuan, maka
perawat tersebut secara etik moral harus bertanya terlebih dahulu kepada pasien,
apakah ia telah mendapat keterangan atau informasi dari dokter akan penyakit dan
tindakan medik yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya, serta apakah ia telah
memahami keterangan tersebut.
Selanjutnya untuk perawat yang bekerja dan diberi gaji oleh rumah sakit
dan diperbantukan kepada dokter maka rumah sakit secara perdata bertanggung
jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perawat. Terhadap tanggung
jawab rumah sakit ini, dapat digunakan konstruksi pasal 1367 KUHPerdata,
karena perawat dalam menjalankan tugas keperawatannya di rumah sakit itu atas
53 Husein, op.cit., hal 96-97.
41
dasar perintah dari pihak rumah sakit. Namun dalam hal-hal tertentu maka
perawat pun tetap harus bertanggung-jawab atas yang ia lakukan sendiri.
2.5.2. Tanggung Jawab Rumah Sakit
Secara umum dalam kaitannya dengan tanggung jawab rumah sakit maka
pada dasarnya rumah sakit bertanggung jawab secara perdata terhadap semua
tindakan medis maupun non medis di rumah sakit itu. Hal ini juga berdasarkan
pasal1367 KUHPerdata.
Apabila tanggung jawab rumah sakit dikaitkan dengan hal pelaksanaan
informed consent, maka tanggung jawab tersebut meliputi tigal hal, yaitu:
1. Tanggung jawab yang berkaitan dengan personalia
Rumah sakit secara umum bertanggung jawab atas tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh personalia rumah sakit, yang dilakukan
dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Khusus mengenai tindakan
dokter maka dokter dalam hubungannya dengan rimah sakit dapat
dibedakan atas:
a. Dokter-in atau dokter purnawaktu (full time)
Dokter mendapat gaji dari rumah sakit yang bersangkutan dan ia
merupakan karyawan dari rumah sakit itu, sehingga pasien hanya
mempunyai perikatan perawatan dengan rumah sakit, sehingga rumah
sakit ikut bertanggung jawab atas tindakan dokternya.
b. Dokter-out atau dokter tamu
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan informed consent bagi suatu
tindakan medik yang dokter tersebut ambil maka hanya dokter itulah
yang bertanggung jawab.
2. Tanggung jawab yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
Rumah sakit dalam pelaksanaan informed consent bertanggung jawab
untuk untuk menyediakan formulir yang dibutuhkan. Pada dasarnya
formulir-formulir tersebut secara formil, berkasnya adalah milik rumah
sakit sedangkan isinya merupakan hak pasien. Akhirnya rumah sakit wajib
memeriksa setiap persyaratan administratif termasuk formulir persetujuan
42
tindakan medis atau formulir operasi sebelum tindakan medis atau operasi
itu dilakukan. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab yang dipikul
rumah sakit terhadap kelengkapan administratif.
3. Tanggung jawab yang berkaitan dengan duty of care
Duty of care diartikan dengan kewajiban memberi perawatan. Hal ini
sebenarnya terletak dalam bidang medik dan perawatan, sehingga
penilaiannya juga harus ditafsirkan oleh kedua bidang tersebut. Mengenai
hal yang sangat berkaitan dengan duty of care untuk saat ini adalah unit
emergensi atau unit gawat darurat.
Apabila emergensi dikaitkan dengan hal informed consent, maka
dalam keadaan emergensi kewajiban untuk memberikan informasi dan
kewajiban untuk memberikan persetujuan pasien atau keluarganya lebih
dahulu sebelum tindakan medik dilakukan tidak berlaku bila:
1) Keadaan mengharuskan segera dilakukan operasi
Dalam pasal 45 ayat (2) UU Rumah Sakit menyebutkan bahwa
Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam
rangka penyelamatan jiwa manusia.
2) Consent express tidak mungkin diperoleh dalam waktu singkat dari:
i. Pasien sendiri karena berada dalam keadaan tidak sadar, atau
dari keluarga terdekat yang berwenang untuk bertindak atas
namanya
ii. Jika tidak segera dilakukan pembedahan akan sangat
membahayakan kesehatan atau jiwa pasien.
Oleh sebab itu dalam kadaan emergensi digunakan “presumed
consent” artinya dokter seolah-olah telah mendapat persetujuan dari
pasien secara diam-diam. Namun dalam pasal 45 ayat (1) UU Rumah Sakit
menyebutkan bahwa Rumah Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum
apabila pasien menolak pengobatan, setelah adanya penjelasan medis yang
komprehensif.
43
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Dari segi etik, penerapan informed consent dianggap sebagai upaya dokter
untuk membuktikan kesungguhannya dalam mematuhi primum non nocere
(yang paling diutamakan adalah untuk tidak mencelakakan pasien), serta
prinsip mengutamakan kepentingan pasien. Sehingga dapat dikatakan bahwa
aspek etik dari informed consent sangatlah luas dan besar dan menjadi
landasan moral bagi kalangan tenaga kesehatan, khususnya para dokter.
Dalam profesi kedokteran, dikenal adanya suatu kode etik yang disusun
berdasarkan asas etik. Kode etik kedokteran yang berlaku sekarang
dinyatakan mulai berlaku pertama kali dengan Keputusan Menteri Kesehatan
No. 434/Men. Kes/Sk/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran
Indonesia (Kodeki) bagi para dokter di seluruh Indonesia.
Dari segi hukum, seorang dokter juga terikat aturan-aturan hukum, yang
meliputi hukum perdata yang mengatur kaedah-kedah hukum dalam
hubungan antar individu dalam masyarakat, hukum pidana yang berisi aturan
hukum yang bersifat publik dan mengatur masalah tindak pidana yang timbul
dalam masyarakat serta menyelesaikan tindak pidana tersebut, serta hukum
administrasi. Dengan demikian di dalam menjalankan tugasnya, seorang
dokter di samping harus mematuhi etika kedokteran juga harus mematuhi
hukum yang berlaku.
2. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
menyebutkan dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa
pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan
kedokteran. Selain itu, terdapat doktrin mengenai alasan-alasan yang dapat
mengecualikan informed consent, yaitu sebagai berikut. (1) Pasien yang akan
menjalani pengobatan dengan “placebo” (sugestif therapeuticum); (2) Pasien
44
yang akan merasa dirugikan bila mendengar informasi tersebut; (3) Pasien
yang sakit jiwa; (4) Pasien yang belum dewasa; dan (5) Pasien Tidak Sadar.
3. Dilihat dari segi hukum, malpraktek ada tiga, yakni Malpraktek Perdata,
Malpraktek Pidana, dan Malpraktek Administratif, Malpraktek
Perdata,Terjadi ketika terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya
isi perjanjian dalam transaksi teurapetik oleh tenaga kesehatan, atau
terjadinya perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada
pasien. Pada Malpraktek Pidana, terdapat tiga bentuk malpraktek. Pertama,
malpraktek pidana karena kesengajaan, misalnya adalah melakukan aborsi
tanpa indikasi medis yang membenarkan, eutanasia, hingga membocorkan
rahasia pasien. Kedua, malpraktek pidana karena kecerobohan, misalnya
melakukan tindakan medis tanpa disetujui oleh pasien. Ketiga, malpraktek
pidana karena kealpaan, misalnya kesalahan operasi yang menyebabkan
pasien cacat atau meninggal dunia. Malpraktek Administratif terjadi apabila
ada pelanggaran hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya
menjalankan praktek tanpa surat izin praktek atau menjalankan praktek tanpa
membuat catatan medik.
4. Peranan perawat juga sangat besar dalam pelaksanaan informed consent.
Meskipun hal tersebut bukan merupakan kewenangan perawat, melainkan
kewenangan dokter yang dapat didelegasikan kepada perawat. Untuk
perawat yang bekerja dan digaji oleh seorang dokter, maka pada umumnya
dokterlah yang bertanggung jawab terhadap tindakan perawat yang dilakukan
atas perintah dokter, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata.
untuk perawat yang bekerja dan diberi gaji oleh rumah sakit dan
diperbantukan kepada dokter maka rumah sakit secara perdata bertanggung
jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perawat. Terhadap
tanggung jawab rumah sakit ini, dapat digunakan konstruksi pasal 1367
KUHPerdata. Akan tetapi apabila perawat melakukan sesuatu tindakan medik
yang tidak sesuai dengan ijazah yang ia miliki, perawat itu sendiri yang harus
bertanggung jawab. Mengenai tanggung jawab Rumah Sakit, apabila
tanggung jawab rumah sakit dikaitkan dengan hal pelaksanaan informed
consent dan personalia, maka pada dasarnya rumah sakit bertanggung jawab
45
secara perdata terhadap semua tindakan medis maupun non medis di rumah
sakit itu. Hal ini juga berdasarkan pasal 1367 KUHPerdata.
5. Dengan adanya informed consent ini, diharapkan dapat diminimalisasi
sengketa kedokteran yang terjadi atau yang dewasa ini sering disebut sebagai
malpraktik, walaupun pada kenyataannya sengketa kedokteran hingga saat ini
masih seringkali terjadi dan masih banyak ditemui pasien yang tidak
mengetahui hak-hak mereka sebagai pasien. Kemudian perlu juga
digarisbawahi terkait minimalisasi sengketa kedokteran dengan adanya
informed consent bukan berarti bahwa informed consent merupakan sarana
yang dapat membebaskan dokter dari tanggung jawab hukum jika terjadi
malpraktik. Malpraktik adalah masalah lain yang erat kaitannya dengan
pelaksanaan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan standar. Meskipun
sudah mengantongi informed consent, tetapi jika pelaksanaannya tidak sesuai
standar, maka dokter tetap harus bertanggung jawab atas kerugian yang
terjadi.
3.2. Saran
1. Dalam pemberian penjelasan terkait dengan informed consent seyogyanya
disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh
pasien karena bahasa kedokteran banyak menggunakan istilah asing yang
tidak dapat dimengerti oleh orang yang awam dalam bidang kedokteran,
sehingga penjelasan dengan menggunakan bahasa kedokteran, tidak akan
membawa hasil apa-apa, malah akan membingungkan pasien.
2. Dalam hal menyikapi permasalahan-permasalahan di atas, perlulah kiranya
upaya-upaya preventif, baik dari dokter maupun pasien. Misalnya untuk
dokter agar selalu dilakukan informed consent seperti yang telah
dipaparkan di atas dan untuk pasien diharapkan dapat aktif untuk meminta
hak atas informasi terhadap tindakan medis yang dilakukan dokter
terhadapnya.
46
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. cet. ke-1. Jakarta: Grafikatama
Jaya, 1991.
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. ed.
ke-1. cet. ke-1. Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008.
Garner, Bryan A. Ed. Black's Law Dictionary 9th ed. St. Paul Min: West Group,
2009.
Guwandi, J., “Dokter, Pasien, dan Hukum”. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007.
Hariyanti, Widi. “Analisis Teori Antrian Sebagai Penentu Optimalisasi Pelayanan
Konsumen Pada Intalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Klipang Di
Semarang”, Bisnis dan Kewirausahaan. Vol. 2 (2009): 248.
Kerbala, Husein. Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent. cetakan ke-1.
Jakarta: PT Penebar Swadaya, 1993.
Komalawati: Veronica. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik
(Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien). Cetakan ke-2.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
Leenen, H.J.J. Pelayanan Kesehatan dan Hukum. Eds. A.F. Lamintang. Bandung:
Binacipta, 1991.
Mariyanti, Ninik. Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata.
Jakarta: Bina Aksara, 1998.
Sardjono, Agus. Buku Ajar (Buku A) Hukum Dagang. Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004.
47
Soekanto, Soerjono. Aspek Hukum Kesehatan Suatu Kumpulan Catatan. Jakarta:
Penerbit IND-HILL-CO, 1989.
Subekti. Hukum Perjanjian. cet. ke-12. Jakarta: Penerbit Intermasa, 2002.
- - -. Pokok-Pokok Hukum Perdata. cet. ke-31. Jakarta: PT Intermasa, 2003.
Wibowo, Antonius P.S. Kumpulan Karangan Ilmiah Populer di Media Cetak.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atmajaya,1998.
Yunanto, Ari dan Helmi. Hukum Pidana Malpraktik Medik. Yogyakarta: Andi
Offset, 2010.
INTERNET:
Tempo Online, “Vonis Bebas Untuk Profesi Dokter”, Style Sheet.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/08/25/HK/mbm.198408
25.HK41200. id.html (7 April 2012)
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin
Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/149/I/2010 tentang
Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/148/I/2010 tentang
Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat
48
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin
Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik
Recommended