View
62
Download
9
Category
Preview:
DESCRIPTION
pancasila
Citation preview
MAKALAH KEWARGANEGARAAN
KORUPSI
OLEH
KELOMPOK 1
KELAS A
1. Adli Satria Sandika (1207136334)
2. Annur Fauzi. S (1207113567)
3. M. Khaidiz Rafi (1207154316)
4. Nico Gunawan (1207113557)
5. Yesi Afriani (1207112173)
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2013
Kata pengantar
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah swt yang atas hidayah dan ridho
nya penulis mampu menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun dalam
menyelesaikan tugas kewarganegaraan yang diberikan oleh dosen mata kuliah
Pancasila, ibu Ermiyati.
Makalah ini berisikan tentang permasalahan korupsi dan penanggulangan nya.
Seperti yang kita lihat bahwa pada saat ini banyak terjadi penyelewengan uang
negara untuk kepentingan sendiri atau golongan.
Oleh sebab itu,kami sebagai penulis merasa khawatir dengan keadaan ini dan
berusaha untuk melakukan upaya yang bisa meminimalisir tindakan korupsi
tersebut dengan cara membuat makalah ini.
Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pancasila, Ibu
Ir.ermiyati yang telah memberikan bimbingan kepada penulis serta pihak-pihak
terkait yang membantu penyelesaian makalah ini.
Makalah ini jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran pembaca agar kami lebih baik dikemudian
harinya.
Pekanbaru,11 Desember 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan
keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu
proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan
masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh
dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang terlibat sejak
dari perencanaan sampai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantara dua faktor
tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya. Indonesia merupakan
salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber
daya alamnya. Tetapi ironisnya, negara tercinta ini dibandingkan dengan negara
lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan
termasuk negara yang miskin.
Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya.
Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi
juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan
rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan
terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi
social (penyakit sosial) yang sangat berbahaya yang mengancam semua
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah
mengakibatkan kerugian materil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang
lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan
keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif
dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya di luar
batas kewajaran.
1.2 Tujuan
1.mahasiswa dapat memahami pengertian korupsi
2.mahasiswa dapat mengetahui akibat akibat dari korupsi
3.mahasiswa dapat mengetahui UU mengenai Korupsi
4.mahasiswa dapat mengetahui cara cara penanggulangan korupsi
1.3 Rumusan Masalah
Apa pengertian dari korupsi?
Apa saja tingkatan dari korupsi?
Sebutkan faktor faktor penyebab korupsi?
Sebutkan dampak dari korupsi?
Sebutkan nilai dan prinsip anti korupsi?
Sebutkan perangkat hukum dan UU tentang korupsi?
Bab II
ISI
2.1. Pengertian Korupsi
a. Secara etimologi
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin “corrumpere”, “corruptio” ,
“corruptus”.Kemudian diadopsi oleh beberapa bangsa di dunia. Beberapa
bangsa di dunia memiliki istilah tersendiri mengenai korupsi.Dalam bahasa
inggris korupsi berasal dari kata Corruption, Corruptyang berarti Jahat, rusak,
curang.Dalam bahasa prancis korupsi berasal dari kata Corruption yang
berarti Rusak.Dalam bahasa belanda korupsi berasal dari kata
Corruptie,Korruptie .Istilah “korupsi” yang dipakai di Indonesia merupakan
turunan dari bahasa Belanda
b. Secara Terminologi
• Korup = busuk, palsu, suap (kamus besar bahasa Indonesia, 1991)
• Korup = suka menerima uang sogok, menyelewengkan uang/barang milik
perusahaan atau negara, menerima uang dengan menggunakan jabatan untuk
kepentingan pribadi (kamus hukum, 2002)
• Korup = kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian (the lexicon webster dictionary, 1978)
c. Menurut para ahli
• David M. Chalmers:
Tindakan-tindakan manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang
membahayakan ekonomi (financial manipulations and decision injurious to
the economy are often libeled corrupt).
• J.J. Senturia:
Penyalahgunaankekuasaan pemerintahan untuk keuntungan pribadi (the of
public power for private profit).
• Syed Husein Alatas:
Tindakan yang meliputi penyuapan (bribery), pemerasan (extortion) dan
nepotisme.
d. Transparency International:
Penyalahgunaan kekuasaan (amisuseof power), kekuasaan yang dipercayakan
(a power that isentrusted), dan keuntungan pribadi (a private benefit) baik
sebagai pribadi, anggota keluarga, maupun kerabat dekat lainnya.
e. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :
korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang Negara, atau
perusahaan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
f. Menurut Kamus Hukum yang ditulis Prof. R. Subekti, SH. Dan
Tjtrosudibio :
Korupsi adalah perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan uang Negara.
g. Menurut Kamus Hukum yang ditulis Dr. Andi Hamzah, SH.
korupsi adalah suatu perbuatan buruk, busuk, bejat, suka disuap, perbuatan
yang menghina atau memfitnah, menyimpang dari kesucian, tidak bermoral.
2.1.2. Tingkatan korupsi
Pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust)
Pengkhianatan merupakan bentuk korupsi paling sederhana. Semua orang
yang berkhianat atau mengkhianati kepercayaan atau amanat yang
diterimanya adalah koruptor. Amanat dapat berupa apapun, baik materi
maupun non materi (ex: pesan, aspirasi rakyat).Anggota DPR yang tidak
menyampaikan aspirasi rakyat/menggunakan aspirasi untuk kepentingan
pribadi merupakan bentuk korupsi
Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
Abuse of power merupakan korupsi tingkat menengah.Merupakan segala
bentuk penyimpangan yang dilakukan melalui struktur kekuasaan, baik pada
tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya, termasuk
lembaga pendidikan, tanpa mendapatkan keuntungan materi.
Penyalahgunaan kekuasan untuk mendapatkan keuntungan material (material
benefit).
Penyimpangan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan material baik bagi
dirinya sendiri maupun orang lain. Korupsi pada level ini merupakan tingkat
paling membahayakan karena melibatkan kekuasaan dan keuntungan material.
Ini merupakan bentuk korupsi yang paling banyak terjadi di Indonesia
2.1.3. Macam macam korupsi
• Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 jo UU No
20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut,
terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33
tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7 kelompok yakni :
• Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara
• Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
• Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
• Korupsi yang terkait dengan pemerasan
• Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
• Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan
• Korupsi yang terkait dengan gratifikasi, dll.
• Menurut Aditjandra dari definisi tersebut digabungkan dan dapat diturunkan
menjadi dihasilkan tiga macam model korupsi (2002: 22-23) yaitu :
• Model korupsi lapis pertama
Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari
pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas
pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara,
pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari
birokrat atau petugas pelayan publik lainnya.
• Model korupsi lapis kedua
Jarring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan
hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut
Aditjandra, pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan
yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya
bisa mencapai level nasional.
• Model korupsi lapis ketiga
Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana
kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua
digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di
bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh
pimpinan rezim yang menjadi anggota jarring-jaring korupsi internasional
korupsi tersebut.
2.1.4. Faktor penyebab korupsi
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi
menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya
bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi
lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini
adalah aspek-aspek penyebab seseorang berbuat Korupsi.
Ada beberapa sebab terjadinya praktek korupsi. Menurut Prop. Dr. Nur
Syam, M.Si. penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena
ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya.
Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke
arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang
akan melakukan korupsi. Jadi, jika menggunakan cara pandang penyebab korupsi
seperti ini, maka salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap
kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara
yang salah dalam mengakses kekayaan. Korupsi dengan demikian kiranya akan
terus berlangsung, selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang
kekayaan. Semakin banyak orang salah dalam memandang kekayaan, maka
semakin besar pula kemungkinan orang akan melakukan kesalahan dalam
mengakses kekayaan.
Singh (1974) menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya
korupsi di India adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%),
hambatan struktur administrasi (17,2 %), hambatan struktur sosial (7,08 %).
Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi
adalah sebagai berikut :
a. Peninggalan pemerintahan kolonial.
b. Kemiskinan dan ketidaksamaan.
c. Gaji yang rendah.
d. Persepsi yang populer.
e. Pengaturan yang bertele-tele.
f. Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi yaitu :
a. Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b. Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c. Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah
dengan upeti atau suap.
d. Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap
bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
e. Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat
dihindarkan.
f. Menurut kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat menolak suapan dan
korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
g. Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan
organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Kemudian menurut Erry R.Hardjapamekas, ia menyebutkan tingginya kasus
korupsi di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:
1. Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa,
2. Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil,
3. Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan
perundangan,
4. Rendahnya integritas dan profesionalisme,
5. Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga perbankan, keuangan,
dan birokrasi belum mapan,
6. Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat,
7. Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika.
Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan
tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat,
kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya dorongan
dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya).
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut
GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi
meliputi:
Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang
secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
Opportunities (kesempatan) : berkaitan dengan keadaan organisasi
atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka
kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
Needs (kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan
oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
Exposures (pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau
konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku
diketemukan melakukan kecurangan.
Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku
(aktor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di
luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan pihak korban.
Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan dengan korban
perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat yang
kepentingannya dirugikan.
Selain itu, faktor-faktor yang juga mempengaruhi seseorang untuk
melakukan tindakan pidana korupsi, diantarnya;
Klasik
a. Ketiadaan dan kelemahan pemimpin.
Ketidakmampuan pemimpin untuk menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya, merupakan peluang bawahan melakukan korupsi. Pemimpin
yang bodoh tidak mungkin mampu melakukan kontrol manajemen
lembaganya. Kelemahan pemimpin ini juga termasuk ke leadershipan,
artinya, seorang pemimpin yang tidak memiliki karisma, akan mudah
dipermainkan anak buahnya. Leadership dibutuhkan untuk menumbuhkan
rasa takut di kalangan staf untuk melakukan penyimpangan.
b. Kelemahan pengajaran dan etika.
Hal ini terkait dengan sistem pendidikan dan substansi pengajaran
yang diberikan. Pola pengajaran etika dan moral lebih ditekankan pada
pemahaman teoritis, tanpa disertai dengan bentuk-bentuk
pengimplementasiannya.
c. Kolonialisme dan penjajahan.
Penjajah telah menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang
tergantung, lebih memilih pasrah daripada berusaha dan senantiasa
menempatkan diri sebagai bawahan. Sementara, dalam pengembangan
usaha, mereka lebih cenderung berlindung di balik kekuasaan (penjajah)
dengan melakukan kolusi dan nepotisme. Sifat dan kepribadian inilah yang
menyebabkan munculnya kecenderungan sebagian orang melakukan
korupsi..
d. Rendahnya pendidikan.
Masalah ini sering pula sebagai penyebab timbulnya korupsi.
Minimnya keterampilan, skill, dan kemampuan membuka peluang usaha
adalah wujud rendahnya pendidikan. Dengan berbagai keterbatasan itulah
mereka berupaya mencari peluang dengan menggunakan kedudukannya
untuk memperoleh keuntungan yang besar. Yang dimaksud rendahnya
pendidikan di sini adalah komitmen terhadap pendidikan yang dimiliki.
Karena pada kenyataannya koruptor rata-rata memiliki tingkat
pendidikan yang memadai, kemampuan, dan skill.
e. Kemiskinan.
Keinginan yang berlebihan tanpa disertai instropeksi diriatas
kemampuan dan modal yang dimiliki mengantarkan seseorang cenderung
melakukan apa saja yang dapat mengangkat derajatnya. Atas keinginannya
yang berlebihan ini, orang akan menggunakan kesempatan untuk mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya.
f. Tidak adanya hukuman yang keras, seperti hukuman mati, seumur hidup
atau di buang ke Pulau Nusakambangan. Hukuman seperti itulah yang
diperlukan untuk menuntaskan tindak korupsi.
g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi.
Modern
a. Rendahnya Sumber Daya Manusia.
Penyebab korupsi yang tergolong modern itu sebagai akibat rendahnya
sumber daya manusia. Kelemahan SDM ada empat komponen, sebagai
berikut:
1) Bagian kepala, yakni menyangkut kemampuan seseorang menguasai
permasalahan yang berkaitan dengan sains dan knowledge.
2) Bagian hati, menyangkut komitmen moral masing-masing komponen
bangsa, baik dirinya maupun untuk kepentingan bangsa dan negara,
kepentingan dunia usaha, dan kepentingan seluruh umat manusia.
Komitmen mengandung tanggung jawab untuk melakukan sesuatu
hanya yang terbaik dan menguntungkan semua pihak.
3) Aspek skill atau keterampilan, yakni kemampuan seseorang dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
4) Fisik atau kesehatan. Ini menyangkut kemampuan seseorang
mengemban tanggung jawab yang diberikan. Betapa pun memiliki
kemampuan dan komitmen tinggi, tetapi bila tidak ditunjang dengan
kesehatan yang prima, tidak mungkin standardalam mencapai tujuan.
b. Struktur Ekonomi
Pada masa lalu struktur ekonomi yang terkait dengan kebijakan
ekonomi dan pengembangannya dilakukan secara bertahap. Sekarang tidak
ada konsep itu lagi. Dihapus tanpa ada penggantinya, sehingga semuanya
tidak karuan, tidak dijamin. Jadi, kita terlalumemporak-perandakan produk
lama yang bagus.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hal-hal atau faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi antara lain;
Kurang atau dangkalnya pendidikan agama dan etika sehingga
memebrikan peluang untuk dilakukannya tindak pidana korupsi.
Kurangnya sanksi yang keras.
Kurangnya gaji dan pendapatan pegawai dibandingkan dengan kebutuhan
yang makin hari makin meningkat.
Lemahnya pengawasan terhadap para penyelenggara Negara.
Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan
sumber atau sebab meluasnya korupsi.
Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien,
yang memberikan peluang orang untuk korupsi.
2.1.5. Dampak Korupsi
• Korupsi menghambat pembangunan & kegiatan usaha di Indonesia
• Setiap kegiatan perekonomian harus melewati “pintu-pintu” korupsi
• Perkembangan kegiatan usaha terhambat, pengangguran makin banyak, harga
barang & jasa menjadi melambung
• Pendidikan dan kesehatan sangat mahal
• Rendahnya kualitas infrastruktur dan pelayanan publik;
• Timbulnya ekonomi biaya tinggi;
• Berkurangnya penerimaan negara;
• Runtuhnya lembaga dan nilai-nilai demokrasi;
• Membahayakan kelangsungan pembangunan dan supremasi hukum;
• Meningkatnya kemiskinan dan kesengsaraan rakyat;
• Bertambahnya masalah sosial dan kriminal;
• Adanya mata rantai antara korupsi dengan bentuk kejahatan lain, khususnya
kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi.
Dampak korupsi diberbagai bidang :
Dampak korupsi Terhadap Perekonomian Nasional
• Laju pertumbuhan Yang Lamban
• Pengangguran Yang tinggi
• Jumlah Orang miskin absolut yang tinggi
• Tergantung pada utang / investasi luar negeri
• Kebocoran dana pembangunan
Dampak korupsi Terhadap Sumber Daya Alam
• Minyak akan habis sebelum tahun 2030
• Tingkat Kerusakan hutan sudah dalamm keadaan bahaya (stadium 4)
• Pencemaran Laut dan hilangnya potensi kelautan
• Bencana alam marak secara nasional
Dampak korupsi Terhadap Keamanan dan Keutuhan Negara
• Konflik Vertikal dan Horizontal
• Disintegrasi
• Kelemahan pertahanan
Dampak korupsi Terhadap Sosial Budaya
• Keretakan kehidupan rumah tangga
• Lahir Generaasi yang split personality
• Lahir Budaya keganasan
• Lahir Budaya Hedonisme
2.1.6. Nilai dan Prinsip Anti Korupsi
Prinsip-prinsip antikorupsi pada dasarnya merupakan langkah-langkah
antisipatif yang harus dilakukan agar laju pergerakan korupsi dapat dibendung
bahkan diberantas. Pada dasarnya prinsip-prinsip antikorupsi terkait dengan semua
aspek kegiatan public yang menuntut adanya integritas, objektivitas, kejujuran,
keterbukaan, tanggung gugat, dan meletakkan kepentingan public di atas kepentingan
individu.
Dalam konteks korupsi ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan untuk
mencegah terjadinya korupsi, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi, kewajaran
(fairness), dan adanya aturan main yang dapat membatasi ruang gerak korupsi serta
control terhadap aturan main tersebut.
a. AKUNTABILITAS
Prinsip akuntabilitas merupakan pilar penting dalam rangka mencegah terjadinya
korupsi. Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah-
langkah yang dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara
sempurna. Oleh karena itu prinsip akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak
korupsi membutuhkan perangkat-perangkat pendukung, baik berupa perundang-
undangan (de jure) maupun dalam bentuk komitmen dan dukungan masyarakat (de
facto). Keberadaan undang-undang maupun peraturan secara otomatis mengharuskan
adanya akuntabilitas. Dalam hal keuangan Negara pemerintah memliki undang-
undang tentang pengelolaan anggaran Negara. Sesuai dengan penjelasan pasal 12 ayat
3 undang-undang tentang keuangan Negara, defisit anggaran dibatasi maksimal 3
persen dari produk domestik bruto (PDB) dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60
persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Dalam penyusunan APBD defisit juga
tidak boleh melebihi 3 persen dan utang tidak boleh melebihi 60 persen dari PBD.
Sebagai bentuk perwujudan prinsip akuntabilitas, undang-undang keuangan
Negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan atas
mereka yang karena kelengahan atau kesengajaan telah merugikan Negara. Prinsip
akuntabilitas pada sisi lain juga mengharuskan agar setiap penganggaran biaya dapat
disusun sesuai target atau sasaran.
Agenda-agenda yang harus ditempuh untuk mewujudkan prinsip-prinsip
akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara meliputi dua aspek yaitu :
1.) Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban. Mekanisme yang berjalan selama
ini adalah bahwa setiap pengelolaan anggaran Negara dibuat dalam beberapa rangkap
yang ditunjukkan kepada penanggungjawab proyek pada lembaga yang bersangkutan
dan yang menadai, yakni Direktorat Jendral Anggaran Departemen Keuangan, yang
kemudian ditembuskan kepada komponen-komponen atau lembaga yang melakukan
pengawasan.
Melalui prinsip akuntabilitas, maka mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban
tidak hanya diajukan kepada segelintir pihak seperti penanggung jawab proyek dan
direktorat jendral anggaran departemen keuangan , melainkan kepada semua pihak
khususnya kepada lembaga-lembaga control seperti DPR yang membidanginya serta
kepada masyarakat. Disamping itu, prinsip akuntabilitas akan menekankan
pentingnya proses penganggaran keuangan yang lebih memfokuskan pada produk-
produk anggaran yang riil. Demikian juga dengan forum-forum untuk penentuan
anggaran dana pembanguna harus dilakukan dengan cara yang mudah sehingga
masyarakat memiliki akses untuk forum-forum tersebut jika forum-forum
penganggaran biaya pembangunan itu rumit atau terkesan rahasia maka akan menjadi
sasaran koru[tor untuk memainkan peran jahatnya dengan maksimal.
2.) Berkenaan dengan upaya-upaya evaluasi. Selama ini evaluasi hanya terbatas sebagai
penilaian dan evaluasi terhadap kinerja administrasi dan proses pelaksanaan seperti
diuraikan sebelumnya dan tidak dilakukan. Evaluasi terhadap dampak dan manfaat
yang diberikan oleh setiap proyek kepada masyarakat, baik dampak langsung maupun
manfaat jangka panjang setelah beberapa tahun proyek itu dilaksanakan. Sector
evaluasi merupakan sector yang wajib di akuntabilitasi demi menjaga kredibilitas
keuangan yang telah dianggarkan. Ketiadaan evaluasi yang serius akan
mengakibatkan tradisi penganggaran keuangan yang buruk.
b. TRANSPARANSI
Transparansi merupakan prinsip yang menghartuskan semua proses kebijakan
dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh
public. Transparansi menjadi pintu masuk, sekaligus konrtol bagi seluruh proses
dinamika structural kelembagaan sluruh sector kehidupan public mensyatratkan
adanya transparasi, sehingga tidak terjadi distorsi dan penyelewengan yang
merugikan masyarakat. Dalam bentuk yang paling sederhana, keterikatan interaksi
antar dua individu atau lebih mengharuskan adanya keterbukaan. Keterbukaan dalam
konteks ini merupakan bagian dari kejujuran untuk saling menjunjung kepercayaan
(trust) yang terbina antar individu.
Dalam konteks pemberantasan korupsi yang melibatkan kekuasaan dan
keuangan, ada sektorsektor yang mengharuskan keterlibatan masyarakat agar tidak
terjebak dalam lingkartan setan korupsi yang begitu akut dan menyengsarakan
rakyat. Sektorsektor yang harus melibatkan masyarakat adalah sebagai berikut:
Pertama, proses penganggaran yang bersifat dari bawah ke atas (bottom up),
mulai dari perencanaan, implementasi, laporan pertanggungjawaban dan penilaian
(evaluasi) terhadap kinerja anggaran, hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan
masyrakatr melakukan control terhadap pengelolaan anggaran.
Kedua, proses penyusunan kegiatan atau proyek pembangunan dan anggaran.
Hal ini terkait pula dengan proses pembahasan tentang sumber-sumber pendanaan
(anggartan pendapatan) dan alokasi anggaran (anggaran belanja) pada semua
tingkatan yang tidak cukup hanya melibatkan pihak-pihak tertentu.
Ketiga, proses pembahasan tentang pembuatan rancangan peraturan yang
beraturan dengan strategi penggalangan dana pembangunan dlam penetapan retribusi,
pajak serta aturan-aturan lain yang berkaitan dengan penganggaran pemerintah.
Keempat, proses pembahasan tentang tata cara dan mekanisme pengelolaan
proyek mulai dari pelaksanaan tender, pengerjaan teknis, pelaporan financial
pertanggung jawaban secara teknis dari proyek yang dikerjakan oleh pimpinan
proyek atau kontraktor. Proses pengawasan dalam pelaksanam program dan proyek
pembangunan yang berkaitan dengan kepentinagn public atau pemenuhan kebutuhan
masyarakat dan yang lebih khusus lagi adalah proyek-proyek yang diusulkan oleh
masyarakat sendiri.
Kelima, proses evaluasi terhadap penyelenggaraan proyek yang dilakukan
secara terbuka dan bukan hanya pertanggung jawaban secara administratif. Evaluasi
harus dilakukan sebagai pertanggung jawaban secara teknis dan fisik dari seriap out
put kerja-kerja pembangunan.
Untuk memperjelas gambaran peran serta masyarakat dalam proses
transparansi kebijakan pembangunan, khusunya yang bersentuhan dengan anggaran
tersebut, maka dapat di gambarkan sebagai berikut:
Dengan demikian, secara teknis yang dapat dikembangkan dalam system
penganggaran hingga proses pelaksanaanya adalah adanya transparansi dan
keterbukaan kepada public. Salah contoh konkret yang lain adalah dalam hal tender
pelaksanaan proyek, tender ini harus dilakukan secara transparan, lelenag terbuka
berdasarkan komitmen bersama antara semua komponen (stakebolder) terkait dengan
proyek yang akn dikerjakan. demikian pula dalam hal pengawasan dan control,
masyarakat harus mendapat legitimasi dan secara yuridis mendapatkan pengakuan
dari pemerintah. Faktor lain adalah persyaratan jangka waktu teknis dari suatau
proyek. Kebanyakan penyimpangan terjadi karena tidak ada ketegasan atau penetapan
syarat jangka waktu teknis atau proyek proyek fisik). Sehubungan dengan ini, maka
seharusnya bukan hanya aspek ketepatan waktu penyelesain proyek yang ditetapkan
bagi setiap kontraktor, dimana pekerjaan dianggap selesai setelah serah terima hasil
(out put) pekerjaan. Akan tetapi harus ada pertanggung jawaban waktu teknis dari
setiap output pekerjaan. Misalnya, pertanggung jawaban terhadap kualitas pekerjaan
yang telah diselesaikan (ada garansi hasil pekerjaan dari kontraktor sebagi jaminan
atas kualitas pekerjaan yang diselesaiakan), khususnya untuk proyek-proyek fisik.
Kurangya transparansi dalam pengelolaan keuangan Negara ini dapat dilihat
dari tidak tertatanya adminidtrasi keuangan Negara dengan baik. Hal ini misalnya
bias dilihat dari aliran dana tertentu (non budgeter) yang ada dibeberapa departemen.
Dana-dana tersebut biasanya hanya diketahui segelintir orang. Tentu saja semua itu
merupakan makanan empuk bagi para pejabat bermental korup. Ketidaktahuan
masyarakat akan dana-dana tersebut memberikan keleluasaan bagi oknum aparat
untuk menikmatinya sesuka hati. Jika saja dana-dana non-bujeter tersebut - yang
tentu saja bisa berasal dari APBN – maka bias dipastikan betapa besar kerugian
Negara yang harus ditanggung oleh karenanya, masyarakat harus memiliki akses
terhadap pengelolaan keuangan Negara, sehingga ketidaktahuan rakyat akan dana-
dana tersebut tidak terulang kembali.
Transparansi pengelolaan keuangan negara sangat mendesak untuk dilakukan
semua itu penting agar lembaga-lembaga control sepeti DPR maupun lembaga
control dari lsm mendapatkan kemudahan untuk mengetahui segenap dana-dan yang
tidak terdeteksi atau tidak diketahui umum. Oleh karenanya, salah satu bentuk umum
dari metode transparansi keuanagn Negara ini adalah diharuskannya pemisahan
fungsi kepengurusan pembukuan (book keeping). Rentang kendali seperti ini
diharapkan tidak menimbulkan rendahnya control (pengendalian intern), sehingga
dapat menimbulkan in-efisiensi dan ketidakefektifan pengelolaan keuangan Negara.
Proses transparansi di masing-masing Negara berbeda-beda. Di hongkong
misalnya, badan yang bertugas mengatasi korupsi diberi wewenang untuk
mempelajari dan menelah tata kerja di instansi atau kantor tersebut. Dari teknis
tersebut kemudian di buat rekomendasi kepada instansi atua kantor yang
bersangkutan tentang bagaimana tata cara kerja yang seharusnya di lakukan supaya
tidak terjadi korupsi, atau setidaknya memperkecil kemungkinan tewrjadinya
korupsin dengan tata cara yangb di rekomendasikan tersebut. Langakah ini member
inisiatif kepad lembaga pengontrol untuk tidak hanya menilai kinerja sebuah lembaga
melalui laporan kegiatan dan evaluasi semata. Lembaga komntrol ini secara aktif
mengamati secara langsung mekanisme kerja masinh-masing lembaga, sehingga
mereka mengetahui proses terjadinya korupsi sekaligus mengambil langkah-langkah
penyelesainnya.
c. FAIRNESS
Fairness merupakan salah satu prinsip antikorupsi yang mengedepankan
kepatuhan atau Kewajaran. Prinsip fairness saesungguhnya lebih ditujukan untuk
mencegah terjadinya manipulasi dalam penganggaran proyek pembangunan, baik
dalam bentuk merk up maupun ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika mempelajari
definisi korupsi sebelumnya, maka dalam korupsi itu sendiri terdapat unsur-unsur
manipuilasi yang penyimpangan baik dalam bentuk anggaran, kebijakan, dan
sebagainya.
Berdasarkan kondisi tersebut maka, maka para perumus kebijakan pembangunan
menekankan pentingnya prinsip fairness dalam proses penganggaran hingga
pelaksanaanya. Prinsip ini merupakan bagian dari tegaknya Good Coorperate
Governance (GCG). Munculnya wacana GCG yang salah satunya berprinsipkan
fairness (kewajaran) ini dilatarbelakangi oleh terjadinya skandal keuangan secara
beruntun yang menerpa perusahaan-perusahaan besar di AS, seperti enron, Qwest
Communications, Global crossing, Tyco dan Worldcom. Skandal keuangan tersebut
di lakukan oleh para penjahat kelas elit, di mana tindakan mereka ini sering di seburt
sebagai kejahatan kerah putih (White collar crime).
Hyzell croal dalam bukunya White collar crime (kejahatan kerah putih)
merumuskan kejahatan kerah putih atau koruptor sebagai kejahatn ornag-orang yang
menyukai cara-cara licik. Menipu ,dan jauh dari sifat-sifat fairness. Croall berkata:
“white collar crime is defined as the abuse of legimate occupational rol which is
regulated by law. Selanjutnya dikatakanya pula the tirm white collar crime with fraud
embexxl ment and other offences associated bigh status employess. Apa yang menjadi
makna pernyataan croall tersebut adalah bahwa kejahatn yang sellu menggorogoti
aset perusahaan dalam jumlah besar ini, umumnya di lakukan dengan cara menipu,
menggelapkan, dan cara-cara licik lainnya. Mereka adalah orang-orang yang tidak
jujur (unfair) dan tidak menyukai kejujuran (dislike to fairness).
Untuk menghindari pelanggaran terhadap prinsip fairness, khususnya dalam
proses penganggaran, di perlukan beberapa lanhkah sebagai berikut:
Pertama, komprehensif dan disiplin yang berarti mempertimbangkan
keseluruhan aspek, berkesinambungan, taat asas, prinsip pembebanan, pengeluaran,
dan tidak melampaui batas (off budget). Asas ini di maksudkan agar anggaran bias di
manffatkan secara sewajarnya.
Kedua,fleksibilitas yaitu adanya diskresi tertentu dalam konteks efisiensi dan
efektibilitas (prinsip tak tersangka, perubahan, pergeseran, dan dio sentralisasi
manajemen).
Ketiga, terprediksi, yaitu ketetapan perencanaan atasa dasar asas value vor
money dan menghindari defisit dalam trahun anggaran berjalan. Anggaran yang
terprediksi merupakan cerminan dari adanya prinsip fairness di dalam proses
pembangunan. Sudah menjadi kewajaran manakala anggaran pembangunan ini sebisa
mungkin menghindari deficit. Pada waktu-waktu lalu, terjadinya deficit sering di
akibatkan oleh tingkah polah koruptor yang sengaja mengeruk-ngeruk anggaran
pembangunan yang sudah pasti. Akibatnya pemerintah harus membayar kerugian-
kerugian defisat tersebut. Keempat, kejujuran, yaitu adanya bias perkiraan
penerimaan maupun pengeluaraan yang di sengaja, yang berasal dari pertimbangan
teknis maupun politis. Kejujuran merupakan bagian pokok dari prinsip fairness.
Dengan kejujuran, maka segala hal yang bersangkuran dengan pembangunan, baik
mulai dari proses penganggaran hingga pelaksanaanya harus sesuai dengan apa yang
di tetapkan. Tidak lagi terjadi nantinya bahwa ap yang menjadi kenyataan di lapangan
berbeda dengan apa yang telah di rumuskan. Semuanya harus wajar, harus jujur, dan
berjalan dengan seperti apa yang di rencanakan dan di tetapkan.
Kelima, informative, yakni perlu system informasi pelaporan yang teratur dan
informative sebagai dasar penilaian kinerja, kejujuran dan proses pengembalian
keputusan. Sifat informatif merupakan cirri khas dari kejujuran. Pemerintah yang
informatif dan membantu kerja-kerja lembaga control seperti DPR, LSM maupun
masyarakat secara langsung, berarti merupakan pemerintah yang telah bersikap wajar
dan jujur dan tidak menutup-nutupi apa yang memang harus di sampaikan.
Prinsip fairness akan teraktualisasi secara signifikan apabila didukung oleh
prinsip meritokrasi, yaitu sebuah system yang menekankan pada kualitas,
kompetensi, dan prestasi seseorang selama ini, prinsip meritokrasi terabaikan oleh
adanya ikatan-ikatan primordial yang di dukung oleh kekuasaan yang birokratis-
sentralistik, sehingga memancing timbulnya tindakan-tindakan yang menyimpang
dari prinsip-prinsip kewajaran
Dengan demikian, prinsip fairness bertujuan mencegah menjalarnya
praktekpraktek ketidakwajaran, baik berupa penipuan maupun penyimpangan dalam
segala level kehidupan. di samping itu, fairness dapat menggiring setiap proses
pembangunan khususnya yang berkaitan dengan penganggaran berjalan secara wajar,
jujur, dan sesuai dengan prosedur yang telah di sepakati bersama pemerintah dan
rakyat.
2.1.7. Kebijakan Antikorupsi
Kebijakan merupakan sebuah usaha mengatur tata interaksi dalam ranah
sosial. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa yang mengancam tata kehidupan
berbangsa telah memaksa setiap Negara membuat undang-undang untuk
mencegahnya. Beberapa Negara membuat aturan main anti korupsi yang
mempersempit ruang gerak perilaku korupsi. Kebijakan tersebut tidak selalu identik
dengan undang-undang anti korupsi, namu bias berupa undang-undang kebebasan
mengakses informasi, undang-undang di sentralisasi, undang-undang anti monopoli,
mauoun yang lainnya yang dapat memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus
mengontrol kinerja dan penggunaan anggaran Negara oleh para pejabat Negara.
Signifikan kebijakan anti korupsi terletak padsa asumsi bahwa hokum atau
penegakan hokum di yakini sebagai cara efektif untuk mengendalikan naluri berbuat
korupsi. Korupsi bagian dari nilai-nilai yang ada dalam diri seseorang dapat di
kendalikan dan di control oleh peraturan atau undang-undang langkah ini merupakan
subsistem dari keseluruhan sistem kehidupan sebuah Negara yang merangkul
sekaligus menat beragam kepentigan, demi terciptanya sebuah kenegaraan yang
harmonis.
Kebijakan antikorupsi dapat di lihat dalam beberapa perspektif:
Pertama,isi kebijakan. Komponen penting dari sebuah kebijakan adalah
konten atau isi dari kebijakan tersebut. Dengan kata lain, kebijakan anti-korupsi
menjadi efektif apabila di dalamnya terkandung unsure-unsur yang terkait dengan
persoalan korupsi sebagai focus dari kegiatanm tersebut. Paling tidak, di dalamnya
terkandung unsure-unsur yang secara teoretis dapat menjawab persoalan yang hendak
di atur dalam kebijakan antikorupsi.
Kedua, pembuat kebijakan. Kebijakan antikorupsi tidak bias dilepaskan dari
para pembuat kebijakan. Paling tidak, isi dari kebijakan merupakan cermin dari
kualitas dan integritas pembuatnya. Sekaligus akan menentukan kualitas isi kebijakan
tersebut. Apabila pembuat kebijakan antikorupsi adalah mereka yang tidak
memahami duduk masalah korupsi atau justru mereka menjadi bagian dari carut
marut perilaku koruptif, maka alih-alih dapat menjadi control dan memberikan jalan
dari tindakn korupsi, justru tindakan tersebut bias menjadi bumerang bagi
pemberantasan korupsi.
Ketiga, penegakan kebijakan. Kebijakan yang telah di buat dapat berfungsi
apabila di dukung oleh actor-aktor penegak kebiajakn itu sendiri. Penegak kebijakan
dalm struktur kenegaraan modern terdiri dari kepolisian, pengadilan, pengacara, dan
lembaga pemasyarakatan. Apabila penegak kebijakan tidak memiliki komitmen untuk
meletakkanya sebagai aturan yang mengikat bagi semua, termasuk bagi dirinya, maka
sebuah kebijakan hanya akan menjadi instrumen kekuasaan yang justru melahirkan
kesenjangan, Ketidakadilan, dan bentuk penyimpangan lainya.
Keempat, kultue kebijakan (hokum). Eksitensi sebuah kebijakan terkait
dengan nilai-nilai, pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran masyarakat terhadap
hokum undang-undang anti korupsi. Lebih jauh kultur kebijakan ini akan menentukan
tingkat partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Keempat hal tersebut akan menentukan efektifitas pelaksanaan dan fungsi
sebuah kebijakan. Dalam konteks kebijakan antikorupsi, maka keempat komponen
tersebut akan berpengaruh terhadap efektifitas pemberantasan korupsi melalui
kebijakan yang ada.
Namun, sebagai produk politik, sebuah kebijakan seringkali tidak berfungsi
secara maksimal baik karena adanya intervensi kekuasaan maupun karena tidak di
potong oleh sistem maupun budaya masyarakat. Akibatnya, langkah pemberantasan
korupsi yang seharusnya bias efektif melalui peraturan tidak berjalan secara normal.
hal ini bias di lihat dari sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia yang belum
mampu menghasilkan kerja maksimal di bandingkan dengan keberadaan undang-
undang atau peraturan antikorupsi yang sudah ada sejak lama. Bahkan sebagai
Negara asia yang memiliki undang-undang antikorupsi, Indonesia jusdtru berada di
tingkat yang sangat rendah dalam peringkat Negara-negara yang bebas dari korupsi.
2.1.8. Control Kebijakan
Tradisi pembangunan yang di anut selama ini lebih bersifat sentralistik.
Menurut David Korten lebih dari tiga dasawarsa, pembangunan di ansumsikan dari
pemerintah dan untuk pemerintah sendiri. Ini berarti bahwa fungsi, peran, dan
kewenangan pemerintah teramat dominan hingga terkesan bahwa proses kenegaraan
hanya menjadi tugas pemerintah dan sama sekali tidak perlu melibatkan rakyat.
Seolah-olah, pemerintah dan sama sekali tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah,
pemerintah paling mengetahui seluk beluk kehidupan masyarakat di negaranya. Itulah
sebabnya, di tengah arus demokratisasi, paradigma tersebut harus di rekonstruksi
sehingga tumbuh tradisi baru berupa control kebijakan.
Tradisi control kebijakan ini memeiliki perbedaan di berbagai Negara di
dunia. Negara dengan basis sistem politik dan sistem pengawasan kebijakan yang
lemah semisal di Negara-negara berkembang, lebih rentan bagi tumbuh suburnya
korupsi dari pada di Negara- Negara modern yang memiliki sistem politik serta
control yang relatif kuat. Control sosial dan control lembaga pada Negara-negara
berkembang dan terbelakang relatif masih lemah, sehingga tidak mempu
membendung perilaku aparat pemerintah dalam melakukan tindakan penyimpoangan
dan penyelewengan.
Kenyataan tersebut menunjukkan adanya peran pemerintyah yang begitu kuat
(exevutive beavy), sehingga memaksa semua pihak berada dalam kendalanya tanpa
reserve. Masalah ini m,enjadi semakin kompleks ketika persoalan mentalitas di
kalangan aparat pemerintah lebih menonjolkan kepentinganya masing-masing.
Konsekuensinya, pembangunan tidak hanya menjadi kaku dalam pelaksanaanya,
tetapi sering memihak pada kelompok ekonomi dan sosial yang kuat. Memihak pada
kelompok yang kuat akan lebih menjanjikan imbalan materi bagi aparat pelaksana
proyek dari pada memihak pada kelompok yang lemah.
Dari perspektif di atas, hubungan kolusi antara penguasa dan pengusaha
acapkali terjadi dalam bingkai terlalu dominannya kekuasaan yang tidak di imbangi
oleh pengawasan dan control kebijakan. Tidak adanya pengawasan dan kebijakan
terhadap pemerintah menyebabkan pemerintah sering kali mengambil kebijakan yang
hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan banyak orang. Control
kebijakan merupakan salah satu cara yang jitu untuk memberantas atau minimal
mengurangi tindakn korupsi yang merajalela.
Terbentuknya lembaga atau forum-forum yang peduli terhadap masalah-
masalah penganggaran merupakan embrio bagi tumbuh dan berkembangya gerakan
rakyat untuk melakukan control dan pengawasan kepada pemerintah. Pada saat
kesadaran masyarakat yang kian bangkit itu, maka langkah-langkah yang dan
konkret dari setiap lembaga di harapkan mengembalikan tiga strategi pokok yang
saling terkait yaitu: analisis kebijakan, advokasi, dan pemberdayaan komunitas local.
Semuanya mengarah pada upaya menciptakn proses-proses penganggaran yang
transparan untuk kepentingan masyarakat local dan daerah.
Paling tidak terdapat tiga model control terhadap kebijakan pemerintah, yaitu
oposisi, penyempurnaan, dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaan tioga
model control tersebut tergantung pada bentuik rumusan dan pelaksanaan kebijakan
pemerintah serta pilihan politik yang hendak di bangun. Namun, substansi dari ketiga
model itu adalah keterlibatan masyarakat dalam mengontrol kebijakan Negara.
Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip penganggaran dan pengelolaan keuangan
Negara, yakni tertib waktu dan administrasi, taat perundang-undangan, transparan,
akuntabilitas, alokasi dan distribusi, stabilitas dan kepatuhan seta keadilan, maka
keterlibatan rakyat menjadi sangat strategis. Keterlibatan rakyat dalam proses
penganggaran tidak hanya pada tahap perencanaan atau program hingga proyek,
tetapi juga pada saat pembahasan dan pengalokasian anggaran. Lebih jauh lagi rakyat
juga harus terlibat ketika anggaran itu di kelola di lapangan, pada saat di turunkan
dalam bentuk proyek baik kegiatan yang berbentuk fisik maupun non-fisik. Peran dan
keterlibatan rakyat dalam melakukan pengawasan dan control pada saat implementasi
sangat penting untuk menghindari adanya penyelewengan dan penyimpangan
anggaran. Termasuk pula dalam hal evaluasi dan penelitian kinerja anggaran, rakyat
atau masyarakat tetap harus ikut bertanggung jawab untuk melakukannya sebagai
bahan dalam menyusun rencana kegiatan atau program selanjutnya.
Secara lebih focus, yang menjadi sasaran pengawasan dan control public
dalam proses pengewloolaan anggaran Negara adalah: pertama, berkaitan dengan
konsistensi dalam perencanaan program atau kegiatan. Dan kedua, berkaitan denghan
pelaksanaan penganggaran itu sendiri.
Melalui focus atau sasaran pertama, program program kegiatan atau proyek
yang di tetapkan DPR/DPRD bersama dengan pemerintah (presiden, gubernur, dan
bupati) harus sesuai denghan yang di usulkan oleh rakyat dan sesuai puila dengan
kegiatan proyek/program yang telah disosialisasikan kepada rakyat.
Sementara melalui focus dan sasaran yang kedua, dimaksudkan agar
masyarakat secara intensif melakukan control dan pengawasan terhadap sector-sektro
yang meliputi:
1. Sumber-sumber pendapatan Negara yang utama seperti pajak dan retribusi,
penjualan migas dan sumber-sumber lain yang di kelolah oleh pemerintah.
2. Tata cara penarikan dana dari berbagai sumber anggaran Negara seperti proses
penepatan pajak retribusi dan penetapannya, dana perimbangan (pusat dan daerah),
penetapan pinjaman luar negeri dan pengolalanya dalam penganggaran.
3. Memonitor lapangan pertanggung jawaban pelaksanaan proyak yang di sampaikan
oleh kontraktor atau pemimpin proyek, baik secara administrasi maupun kualitas
pekerjaan secara fisik.
4. Limit waktu dalam penyelesaian proyek tidak hanya dibatasi pada aspek ketepatan
dalam penyelesaiaan proyek dimana proyek dianggap selesai setelah serah terima
hasil (out put) pekerjaan, tetapi harus ada pertanggung jawaban teknis terhadap
kualitas setiap pekerjaan yang telah dikerjakan , terutama proyek-proyek fisik.Dengan
demikian, control terhadap kebijakan mulai proses pembuatan sampai pelaksanaan
dan dampat yang di hasilkan dapat dievaluasi dan terus di sempurnakan. Lebih dari
itu, seluruh rangkaian kebiojakan tersebut dapat menutup peluang bagi berseminya
korupsi.
2.1.9. Upaya Yang Dapat Ditempuh Dalam Pemberantasan Korupsi
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi
di Indone-sia, antara lain sebagai berikut :
a. Upaya pencegahan (preventif).
b. Upaya penindakan (kuratif).
c. Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.
d. Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Upaya Pencegahan (Preventif)
a. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan
pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan
agama.
b. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki
tang-gung jawab yang tinggi.
d. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan
masa tua.
e. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
f. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab
etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan
mela-lui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.
2.10.2 Upaya Penindakan (Kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar
dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum
pidana. Beberapa contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov
Rusia milik Pemda NAD (2004).
b. Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga
melekukan pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI
Jakarta (2004).
d. Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan
keuang-an negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e. Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement
deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f. Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g. Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h. Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i. Menetapkan SEOrang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam
kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar
Rp 15,9 miliar (2004).
j. Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa
a. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol
sosial terkait dengan kepentingan publik.
b. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa
hingga ke tingkat pusat/nasional.
d. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan
peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
e. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif
dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
a. Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang
meng-awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia
dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk
memberantas korupsi me-lalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat
melawan praktik korupsi. ICW la-hir di Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di tengah-
tengah gerakan reformasi yang meng-hendaki pemerintahan pasca-Soeharto
yg bebas korupsi.
b. Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan
memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba
se-karang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju
organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah
Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai
kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam.
Sedangkan survei TI pada 2005, In-donesia berada di posisi keenam negara
terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan,
Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari
Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti &
Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.
Daftar Pustaka
Membaca Akhiar Salmi, Paper 2006, "Memahami UU tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi", MPKP FE, UI
Drehel, Axel and Christos Kotsogiannis, Corruption Around the World: Evidence
from a Structural Mode. 2004
Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia . Jakarta :
GhaliaIndonesia
Lembaga Administrasi Negara, SANKRI ( Sistem Administrasi Negara Kesatuan
Republik Indonesia), prinsip-prinsip Penyenggarraan Negara, Jakarta, 2003.
Pope, Jeremy, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas
Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003.
TAP MPR-RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan NegaraYang
Bersih dan Bebas KKN.
Recommended