View
33
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
,alkajdf
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mengingat pendidikan yang baik itu merupakan pendidikan yang tidak
hanya mempersiapkan para siswanya untuk suatu profesi atau jabatan melainkan
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-
hari. Dan salah satu persoalan yang akan timbul dalam sebuah proses pendidikan
adalah dalam hal model pembelajaran yang digunakan oleh para guru dimana guru
lebih cenderung menerapkan model pembelajaran langsung (model pembelajaran
konvensional).
Pada pembelajaran konvensional, guru menjadi pusat pembelajaran,
berperan mentransfer dan meneruskan (transmit) informasi sehingga siswa tidak
perlu mengkonstruksi ide-idenya. Tingkat partisipasi siswa sangat terbatas karena
arus interaksi didominasi oleh guru. Bentuk penugasan dalam pembelajaran ini
bersifat individual. Sebagai konsekuensinya, evaluasi yang diterapkan dikelaspun
juga individual.
Dalam hal ini, guru perlu menyusun dan melaksanakan kegiatan belajar
mengajar dimana siswa dapat aktif membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini
sesuai dengan pandangan kontruktivisme yaitu keberhasilan belajar tidak hanya
bergantung pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan
awal siswa. Keberhasilan dalam proses pembelajaran dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang
berkaitan dengan diri siswa, diantaranya adalah kemampuan, minat, motivasi,
keaktifan belajar dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar
diri siswa, diantaranya adalah model pembelajaran.
Model pembelajaran memiliki andil yang cukup besar dalam kegiatan
belajar mengajar. Kemampuan menangkap pelajaran oleh siswa dapat dipengaruhi
dari pemilihan model pembelajaran yang tepat, sehingga tujuan pembelajaran
1
yang ditetapkan akan tercapai. Terdapat berbagai macam model pembelajaran
yang dapat dijadikan alternatif bagi guru untuk menjadikan kegiatan pembelajaran
di kelas berlangsung efektif dan optimal.
Berdasarkan alasan tersebut, maka sangatlah penting bagi para guru
khususnya dalam hal memahami karakteristik materi, peserta didik, dan
metodologi pembelajaran proses pembelajaran terutama berkaitan dengan
pemilihan model-model pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran
akan lebih variatif, inovatif, dan konstruktif dalam merekonstruksi wawasan
pengetahuan dan implementasinya sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan
kreatifitas peserta didik.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1.2.1. Apa pengertian dari teori belajar konstruktivisme ?
1.2.2. Siapa tokoh pelopor teori belajar konstruktivisme ?
1.2.3. Apa saja ciri dan prinsip dari teori konstruktivisme ?
1.2.4. Apa saja konsep dasar dari teori konstruktivisme tentang pendidikan ?
1.2.5. Apa saja kelebihan dan kelemahan dari teori konstruktivisme ?
1.2.6. Apa saja kendala dalam penerapan teori konstruktivisme dan
solusinya ?
1.2.7. Apa saja implikasi dari teori konstruktivisme pada pembelajaran ?
1.2.8. Bagaimana hubungan teori konstruktivisme dengan teori belajar lain ?
1.2.9. Apa saja model pembelajaran dari teori konstruktivisme ?
1.2.10. Apa saja aplikasi/contoh dari teori pembelajaran kontruktivisme ?
2
1.3 Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu:
1.3.1. Mengetahui pengertian dari teori belajar konstruktivisme.
1.3.2. Mengetahui siapa tokoh pelopor teori belajar konstruktivisme.
1.3.3. Mengetahui ciri dan prinsip dari teori konstruktivisme.
1.3.4. Mengetahui konsep dasar dari teori konstruktivisme tentang
pendidikan.
1.3.5. Mengetahui kelebihan dan kelemahan dari teori konstruktivisme.
1.3.6. Mengetahui kendala dalam penerapan teori konstruktivisme dan
solusinya.
1.3.7. Mengetahui implikasi dari teori konstruktivisme pada pembelajaran.
1.3.8. Mengetahui hubungan teori konstruktivisme dengan teori belajar lain.
1.3.9. Mengetahui model pembelajaran dari teori konstruktivisme.
1.3.10. Mengetahui aplikassi teori pembelajaran konstruktivisme.
3
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme
Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan
baru dalam stuktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan itu
terbentuk bukan dari objek semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu
sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang di amatinya. Menurut
konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi
dikontruksi dalam diri seseorang. Oleh sebab itu tidak bersifat statis akan tetapi
bersifat dinamis. Tergantung individu yang melihat dan mengkontruksinya.
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda
dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang
bersifat mekanistik antara stimulus respon, konstruktivisme lebih memahami
belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan
dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya.
Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang
dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan
pengalaman demi pengalaman. Demikian ini menyebabkan seseorang mempunyai
pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Menurut teori ini, satu prinsip yang
mendasar adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun
siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam
memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini,
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan ide-ide mereka sendiri. Guru dapat memberikan siswa anak tangga
yang membawa siswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan
siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata-kata mereka sendiri.
4
2.2 Tokoh Pelopor Konstruktivisme
Teori pembelajaran konstruktivisme memiliki dasar teori kognitif dengan
penekanan diberikan pada bagaimana struktur kognitif membangun dan
mengorganisasi pengetahuan. Ada dua tokoh penting yang mempelopori teori
dasar konstruktivisme ini yaitu Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Teori yang
dikemukakan oleh Jean Piaget disebut konstruktivisme psikologi / individu /
kognitif, sedangkan teori yang dipelopori oleh Lev Vygotskynialah
konstruktivisme sosial.
2.2.1 Teori Konstruktivisme Piaget: Psikologi/ Individu/ Kognitif
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang terkenal dengan teori
perkembangan kognitif dan bagaimana manusia membina pengetahuan. Menurut
Piaget, keupayaan mengurus maklumat dan pengetahuan berlaku secara
berperingkat. Proses membina pengetahuan juga berlaku mengikut peringkat yang
bermula dengan pengetahuan sedia ada dalam struktur kognitif. struktur asas
dalam organiasasi mental ini dinamakan skema. Justeru, pengetahuan sedia ada
yang yang menjadi asas tingkah laku ialah skema.
Pengetahuan dibina apabila maklumat baru diserap masuk atau
disesuaikan dalam struktur kognitif melalui proses adaptasi. Proses
adaptasi merujuk kepada proses menyesuaikan dan menerima maklumat baru
dalam struktur kognitif untuk mendapatkan keseimbangan antara skema dengan
persekitaran. Ini dinamakan EQUILIBRASI.
Menurut Cahyo (2013) dalam blog Indri RB menyatakan bahwa proses
mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Piaget, adalah sebagai berikut:
a. Skemata
Piaget mengatakan bahwa schemata orang dewasa mulai dari schemata anak
melaui proses adaptasi sampai pada penataan dan organisasi. Makin mampu
5
seseorang membedakan satu stimulus dengan stimulus lainnya, makin banyak
schemata yang dimilikinya. Dengan demikian, schemata adalah struktur
organisasi kognitif yang selalu berkembang dan berubah. Proses yang
menyebabkan adanya perubahan tersebut adalah asimilasi dan akomodasi
b. Asimilasi
Asimilasi merupakan proses kognitif dan penyerapan baru ketika seseorang
memadukan stimulus atau presepsi ke dalam schemata atau perilaku yang sudah
ada. Pada dasarnya, asimilasi tidak mengubah schemata, tapi mempengaruhi atau
memungkinkan pertumbuhan schemata. Asimilasi terjadi secara kontinu,
berlangsung terus-menerus dalam perkembanfan intelektual anak.
c. Akomodasi
Akomodasi adalah proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai
pengalaman baru. Proses tersebut menghasilkan terbentuknya schemata baru dan
berubshnya schemata lama.
d. Keseimbangan
Dengan adanya keseimbangan, efisiensi interaksi antara anak yang sedang
berkambang dengan lingkungannya dapat tercapai dan terjamin. Piaget membagi
fase perkembangan manusia ke dalam empat perkembangan yang tertera dalam
table di bawah ini:
Tahapan Usia Gambaran
Sensorimotor 0-2 Bayi bergerak dari tindakan reflek
instingtif pada saat lahir sampai
permulaan pemikiran simbolis. Bayi
membangun suatu pemahaman
tentang dunia melalui
pengoorgadinasian pengalaman-
pengalaman sensor dengan tindakan
6
fisik
Operational 2-7 Anak mulai merepresentasikan
dunia denan kata-kata dan gambar-
gambar.
Concerte
operational
7-11 Pada saat ini anak dapat berpikir
secara logis mengenai peristiwa-
peristiwa yang konkret
Formal
operational
11-15 Anak remaja berpikir dengan cara
yang lebih abstrak dan logis.
Pemikiran lebih idealistik
2.2.2 Teori Konstruktivisme Vygotsky: Sosial
Teori perkembangan kognitif Vygotsy merupakan dasar teori ini. Menurut
Vygotsky, perkembangan konsep anak berkembang sistematis, logika dan rasional
dengan bantuan dan bimbingan orang lain. Jadi teori konstruktivisme sosial ini
berperan utama dalam pembelajaran dalam konteks sosial-budaya.
Dalam konteks sosial, individu berbagi dan saling membangun
pengetahuan baru. keterlibatan dengan orang lain memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengevaluasi dan meningkatkan pengetahuan diri.
Pandangan Konstruktivisme Sosial
1. Pelajar memiliki keunikan karena berbeda latar belakangnya.
2. Latar belakang, pengalaman, interaksi dan budaya masyarakat sangat
mempengaruhi pembelajaran individu.
3. Pelajar bertanggung jawab terhadap konstruksi pengetahuan sendiri.
4. Pengalaman sukses dan keyakinan diri mempengaruhi motivasi untuk
belajar.
5. Guru sebagai fasilitator.
6. Pembelajaran terjadi dalam situasi sosial dan akif.
7
7. Kolaborasi antara guru, siswa dan bahan pengajaran penting dalam
pembelajaran.
8. Pembelajaran berbasis konteks penting dalam memfasilitasi siswa.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip
seperti yang dikutip oleh Slavin (2000: 256) pada blog Sonsaka yaitu:
a. Pembelajaran sosial (social leaning)
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran
kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi
bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap.
b. ZPD (zone of proximal development)
Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika
berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat
memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah
mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan atau support
dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal
yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan
kognitif si anak.
c. Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship)
Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh
kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang
dewasa, atau teman yang lebih pandai.
d. Pembelajaran Termediasi (mediated learning)
Vygostky menekankan pada scaffolding.Siswa diberi masalah yang
kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam
memecahkan masalah siswa.
Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan
eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial
pembelajaran. Menurut teori Vigotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari
interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vigotsky juga
8
yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang
belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan
kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development
mereka.
2.3 Ciri Dan Prinsip Teori Belajar Konstruktivisme
Ciri-ciri pembelajaran secara konstruktivisme adalah sebagai berikutu,
sebagaimana dijelaskan oleh Ansori, (2007):
1. Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar.
2. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa.
3. Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin
dcapai.
4. Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan
menekankan pada hasil belajar.
5. Mendorong siswa untuk mampu melakukan penyelidikan.
6. Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar.
7. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa.
8. Penilaian belajar lebih menenkankan pada kinerja dan pemahaman
siswa.
9. Mendasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip teori kognitif.
10. Banyak menggunakan teriminologi kognitif untuk menjelaskan
proses pembelajaran, seperti: prediksi, inferensi, kreasi, dan analisis.
11. Mendorong siswa untuk berpartisispasi aktif dalam dialog atau
diskusi dengan siswa lain dan guru.
12. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun
pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman
nyata.
Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan
dalam belajar-mengajar adalah sebagai berikut.
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
9
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali
hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3. Murid aktif mengonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu
terjadi perubahan konsep ilmiah.
4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar
proses konstruksi berjalan lancar.
5. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
6. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah
pertanyaan.
7. Mencari dan menilai pendapat siswa.
8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu, hanya ada satu prinsip yang paling penting, yaitu guru tidak boleh
hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat
membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi
sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan
mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri
untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang nantinya
dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
2.4 Konsep Dasar Konstruktivisme Tentang Pendidikan
Teori konstruktivisme memiliki konsep dasar tersendiri mengenai
pendidikan yang berbeda dengan teori lainnya. Konstruktivisme
mempunyai pandangan tersendiri mengenai pendidikan yang meliputi
tujuan pendidikan, hakikat guru, siswa, hakikt pembelajaran, hakikat
anak, proses belajar, dan lain sebagainya. Pandangan dari beberapa hal
tersebut telah membuat konsep tersendiri tentang pendidikan menurut
konstruktivisme.
10
Beberapa konsep tersebut dijabarkan dalam uraian di bawah ini.
1. Tujuan Umum Pendidikan
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui
proses aktif individu mengonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman
fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan
pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya
menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk
menyelesaikan persoalan hidupnya. Yujuan filsafat pendidikan
memberikan inspirasi bagaimanan mengorganisasikan proses
pembelajaran yang ideal.
Dalam filsafat pendidikan, teori pendidikan bertujuan
menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-prinsip
pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Peranan filsafat
pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan
pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan
tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan
dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari
teori pendidik.
2. Hakikat Seorang Guru
Menurut prinsip konstruktivisme, seorang guru punya peran
sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar
siswa berjalan dengan baik. Maka, tekanan diletakkan pada siswa
yang belajar dan bukan pada disiplin ataupun guru yang mengajar.
Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam
beberapa tugas antara lain sebagai berikut :
a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa ikut
bertanggung jawab dalam membuat desain, proses, dan penelitian.
Karena itu, memberi pelajaran atau model ceramah jelas bukanlah
tugas utama seorang guru.
b. Guru menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang
merangsang keingintahuan siswa, membantu mereka untuk
11
mengeksresikan gagasan mereka dan mengomunikasikan ide
ilmiahnya. Selain itu, juga menyediakan sarana yang merangsang
berpikir siswa secara produktif dan mendukung pengalaman
belajar siswa.
c. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran
siswa itu jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan
mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk
mengahadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu
dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. Disini, guru
perlu mengerti mereka sudah pada taraf mana.
d. Dalam sistem konstruktivisme, guru dituntut penguasaan bahan
yang luas dan mendalam. Guru perlu mempunyai pandangan yang
sangat luas mengenai pengetahuan dari bahan yang mau
diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam akan
memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan gagasan
siswa yang berbeda dan juga memungkinkan untuk menunjukkan
apakah gagasan sisawa itu jalan atau tidak. Penguasaan bahan
memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan atau
model untuk sampai kepada suatu pemecahan persoalan, dan
tidak terpaku kepada satu model.
Kecenderungan pola pengajaran yang dilakukan tidak lagi
berorientasi pada bagaimana siswa belajr dan berpikir tetapi lebih
cenderung bagaimana guru mengajar didepan kelas. Guru perlu
menawarkan berbagai aktivitas belajar di dalam kelas selama
proses belajar berlangsung. Tugas guru hanyalah mengamati atau
mengobservasi, menilai dan menunjukkan hal-hal yang perlu
dilakukan siswa.
3. Hakikat Seorang Siswa
Dalam konstruktivisme para siswa menciptakan atau membentuk
pengetahuan mereka sendiri melalui tingkatan atau interaksi dengan
dunia. Pendekatan konstruktivisme sosial juga mempertimbangkan
12
konteks soaial di dalamnya pembelajarab muncul dan menekankan
pentingnya interaksi sosial dan negosisasi dalam pembelajaran.
Hakikat siswa dalam teori konstruktivisme ini tidak berbeda
dengan hakikat anak dan perkembangan kognitifnya. Menurut piaget,
pengetahuan tidak tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang,
melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktf memanipulasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan perkembangan
kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang
keadaan ketidakseimbangan dan keadaan keseimbangan.
4. Hakikat Ilmu Pengetahuan
Para penganut konstruktivisme nerpendapat bahwa pengetahuan itu
merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan
bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang
dipelajari, tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap
objek, pengalaman maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah
sesuatu yang sudah ada di sana dan tinggal mengambilnya, tetapi
merupakan suatu bentukan terus-menerus dari seseorang yang setiap
kali mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang
baru.
Menurut Von Glaserfeld, tokoh filsafat konstruktivisme di AS,
pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari
pemikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran
orang yang belum punya pengetahuan (siswa). Bahkan bila guru
bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengertiannya kepada
siswa, pemindahn itu harus diinterprestasikan dan dikonstruksikan
oleh siswa sendiri dengan pengalaman mereka.
Sosiokulturalisme yang ditokohi oleh Vygotsky, menjelaskan
bahwa pengetahuan dibentuk baik secara pribadi tetapi juga oleh
interaksi sosial dan kulturaldengan orang-orang yang lebih tahu
tentang hal itu dan lingkungan yang mendukung. Dengan
13
dimasukkannya seseorang dalam suatu masyarakat ilmiah dan kultur
yang sudah punya gagasan tertentu, maka orang itu membentuk
pengetahuannya. Semesntara itu konstruktivisme sosiologis
menyatakan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh masyarakat sosial.
Unsur masyarakatkah yang penting, sedang unsur pribadi tidak begitu
di perhatian.
2.5 Strategi Belajar Konstruktivisme
a. Top Down Processing
Dalam pembelajaran konstruktivisme, siswa belajar dimulai dari
masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian
menghasilkan atau menemukan keterampilan yang dibutuhkan.
Misalnya, siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat,
kemudian ia akan belajar untuk membaca, belajar tentang tata
bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian mencari tahu cara
menulis titik dan komanya. Belajar dengan pendekatan top down
processing ini berbeda dengan pendekatan belajar bottom-up
processing yang tradisional dimana keterampilan dibangun secara
perlahan melalui keterampilan yang lebih kompleks.
b. Cooperative Learning
Cooperative learning adalah suatu strategi yang digunakan untuk
proses belajar dengan pola siswa akan lebih mudah menemukan
secara komprehensif konsep-konsep yang sulit jika mereka
mendiskusikannya dengan siswa yang lain tentang problem yang
dihadapi. Dalam strategi cooperative learning, siswa belajar
dalam pasangan-pasangan atau kelompok untuk saling membantu
memecahkan problem yang dihadapi. Cooperative learning lebih
menekankan pada lingkungan sosial belajar dan menjadikan
kelompok belajar sebagai tempat untuk mendapatkan
14
pengetahuan, mengeksplorasi pengetahuan, dan menantang
pengetahuan yang dimiliki oleh individu.
c. Generative Learning
Strategi ini menekankan adanya integrasi yang aktif antara materi
atau pengetahuan yang baru diperoleh dengan skemata. Sehingga,
dengan menggunakan pendekatan generative learning, diharapkan
siswa menjadi lebih aktif melakukan proses adaptasi ketika
menghadapi stimulus baru. Selain itu, generative learning ini
mengajarkan sebuah metode yang untuk melakukan kegiatan
mental saat belajar, seperti membuat pertanyaan, kesimpilan, atau
analogi-analogi terhadap apa yang dipelajar.
2.6 Kelebihan Dan Kelemahan Teori Kosntruktivsme
Kelebihan Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme ini memiliki beberapa kelebihan yang tidak
dimiliki oleh teori pembelajaran lain. Di antara beberapa
kelebihan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Guru bukan satu-satunya sumber belajar. Peserta didik
menurut kosntruktivisme adalah peserta didik yang aktif
mengonstruksi pengetahuan yang ia dapat. Mereka
membandingkan pengalaman kognitif mereka dengan persepsi
kognitif mereka tentang sesuatu. Jadi guru dalam
pembelajaran konstruktivisme hanya sebagai fasilitator, bukan
model atau sumber utama yang bertugas untuk menstrasfer
ilmu pada siswa.
b. Siswa (pembelajar) lebih aktif dan kreatif. Ebagai akibat
konstruksi mandiri pembelajar terhadap sesuatu, pembelajar
dituntut aktif dan kreatif untuk mengaitkan ilmu baru yang
mereka dapat dengan pengalaman mereka sebelumnya,
sehingga tercipta konsep yang sesuai dengan yang diharapkan.
15
c. Pembelajaran lebih bermakna. Belajar bermakna berarti
mengonstruksi informasi dalam struktur pengertian lamanya.
Jadi, dapat dijabarkan bahwa dalam konstruktivisme,
pembelajar mendapatkan ilmunya tidak hanya dengan
mendengarkan penjelasan gurunya, tetapi juga dengan
mengaitkan pengalaman pribadi mereka dengan informasi
baru yang mereka dapat.
d. Pembelajar memiliki kebebebasan belajar. Kebebasan di sini
berarti bahwa pembelajar dapat bebas mengonstruksi ilmu
baru itu sesuai pengalamannya sebelumnya, sehingga tercipta
konsep yang diinginkan.
e. Perbedaan individual terukur dan dihargai. Karena proses
belajar sesuai konstruktivisme adalah proses belajar mandiri,
maka potensi individu akan terukur dengan sangat jelas.
f. Proses evaluasi difokuskan pada penilaian proses. Filsafat
konstruktivisme menuntun pembelajar untuk mengonstruksi
ilmu barunya dengan merefleksikan pada pengalaman
sebelumnya untuk membuat konsep baru.
g. Guru berpikir proses membina pengetahuan baru, siswa
berpikir untuk menyelesaikan masalah, dan membuat
keputusan.
h. Siswa menjadi lebih mudah paham. Sebab, siswa terlibat
secara langsung dalam membina pengetahuan baru.
Karenanya, mereka akan lebih paham dan boleh
mengaplikasikannya dalam sebuah situasi.
Kelemahan Teori Konstruktivisme
a. Proses belajar konstruktivisme secara konseptual adalah
proses belajar yang bukan merupakan perolehan informasi
yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa
kepada pengaamannya melalui proses asimilasi dan
16
akomodassi yang bermuara pada pemutakhiran struktur
kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi
prosesnya dari segi peroehan pengetahuan dari fakta-fakta
yang terlepas-lepas.
b. Peranan siswa. Menurut pandangan ini, belajar merupakan
suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini
harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan
kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep, dan memberi
makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang
dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata
lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya
belajar. Namun, yang akhirnya paling menentukan adalah
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu
sendiri.
c. Peranan guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik
berperan membantu agar proses pengonstruksian pengetahuan
oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan
pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu
siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
d. Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peranan
utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam
mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti
bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya
disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
e. Evaluasi. Pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan
belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan
dan interprestasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan,
serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
2.7 Kendala Dalam Penerapan Teori Konstruktivisme Dan Solusinya
17
Selain menimbulkan kelebihan dan kelemahan, teori konstruktivisme juga
menimbulkan kendala tersendiri dalam penerapannya dikelas. Menurut Asrori
(2007), kendala-kendala yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru. Guru selama ini telah
terbiasa mengajar dengan menggunakan pendekatan tradisional, mengubah
kebiasaan ini merupakan suatu hal yang tidak mudah.
2. Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan
pembelajaran berbasis konstruktivisme. Guru konstruktivistis dituntut untuk
lebih kreatif dalam merencanakan kegiatan pembelajaran dan dalam memilih
menggunakan media yang sesuai.
3. Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru
dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar. Guru
khawatir target pencapaian kurikulum (TPK) tidak tercapai.
4. System evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir. Padahal, yang
terpenting dari suatu pembelajaran adalah proses belajarnya, bukan hasil
akhirnya.
5. Besarnya beban mengajar guru, latar pendidikan guru tidak sesuai dengan
mata pelajaran yang diasuh, dan banyaknya pelajaran yang harus dipelajari
siswa merupakan yang cukup serius.
6. Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru. Siswa akan belajar jika ada
transfer pengetahuan dan tugas-tugas dari gurunya. Mengubah sikap
“menunggu informasi” menjadi “pencari dan pengonstruksi informasi”
merupakan kendala itu sendiri.
7. Adanya budaya negative di lingkungan siswa. Salah satu contohnya di
lingkungan rumah. Pendapat orang tua selalu dianggap paling benar, anak
dilarang membantah pendapat orang tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke
sekolah. Siswa terkondisi untuk “mengiyakan” pendapat atau penjelasan
guru. Siswa tidak berani mengemukakan pendapatnya yang mungkin
berbeda dengan gurunya.
18
Oleh karena itu, perlu adanya solusi dalam penanganan masalah tersebut.
Banyak sumber dalam psikologi pembelajaran dan pendidikan yang menawarkan
solusi terhadap masalah diatas. Di antara tawaran solusinya adalah sebagai berikut
:
1. Guru, sebagai subjek sentral dalam pendidikan, harus memiliki wawasan
baru dan luas dalam model-model pembelajaran.
2. Sekolah dan penyelenggaraannya harus memiliki visi dan misi yang jelas
yang menjangkau masa depan, dan melengkapi dengan sarana prasarana
yang memadai.
3. Dibutuhkan keberanian dari pelaku-pelaku pendidikan untuk secara kritis
menyikapi berbagai perubahan dan membuat terobosan.
4. Peserta didik tidak lagi dijadikan aset yang mampu menjual nama baik
lembaga, tetapi harus diberi kesempatan berkembang secara optimal dan
alamiah.
5. Sebaiknya system UAN dikaji kembali, untuk melihat efektivitasnya untuk
kelangsungan generasi muda berikutnya. Jangan sampai system UAN
menjerumuskan siswa yang mungkin tidak berbakat pada materi yang
diujikan tapi berbakat pada keterampilan lain. Itu akan membatasi kreativitas
siswa.
6. Bagi guru yang mempersiapkan UAN untuk siswanya, sebaiknya
mempersiapkannya dari jauh-jauh hari, agar tidak terkesan mengejar waktu,
hingga akhirnya mengorbankan kesempatan siswa untuk berpartisipasi aktif
dalam kelas.
7. Jika UAN dilanjutkan pelaksanaannya, sebaiknya lebih memperhatikan
penilaian proses, tidak hanya penilaian produk akhir. Mungkin ini bias
dilakukan dengan mengganti jenis soal, sehingga dapat mengukur kualitas
siswa secara murni.
8. Konstruktivisme dapat meningkatkan mutu pendidikan, namun
pelaksanaannya tidak mutlak dapat diterapkan pada semua kondisi
pendidikan di Indonesia, perlu penyesuaian dengan kondisi lapangan yang
ada.
19
20
2.8 Implikasi Teori Konstruktivisme Pada Pembelajaran
Keberadaan teori pembelajaran sangat penting dalam membantu pendidik
untuk menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa pada masa kini. Seorang
pendidik atau guru akan menggunakan kaidah atau metode untuk menjamin
kualitas pengajaran bagi siswa didiknya. Kualitas pengajaran ini biasanya
mengacu pada metode pengajaran yang didapat dari teori pembelajaran. Dengan
kata lain, teori pembelajaran yang dianut akan member implikasi atau dampak
kepada pembelajaran itu sendiri. Dalam hal ini, termasuk di dalamnya adalah teori
konstruktivisme yang menekankan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dari
pengalaman siswa sendiri.
Sebagaimana kita ketahui, belajar dalam pengertian konstruktivisme adalah
suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dibuat sendiri
oleh pelajar atau orang yang mau mengerti. Orang itulah yang aktif berfikir,
membuat konsep, dan mengambil makna. Guru atau pendidik di sini hanyalah
membantu agar proses konstruksi itu berjalan. Guru bukan mentransfer
pengetahuan sebagai yang sudah tahu, tetapi membantu agar anak didik
membentuk pengetahuannya.
Dalam belajar system ini, peran siswa diutamakan dan keaktifan siswa untuk
membentuk pengetahuan dinomorsatukan. Semua peralatan, bahan, lingkungan,
dan fasilitas disediakan untuk membantu pembentukan itu. Siswa diberi
kesempatan mengungkapkan pemikirannya akan suatu masalah, tanpa dihambat
sedikit pun. Dengan dibiasakan berpikir sendiri dan mempertanggungjawabkan
pemikirannya, siswa akan terlatih untuk menjadi pribadi yang sungguh mengerti,
yang kritis, kreatif, dan rational.
Dalam pengertian konstruktivisme, siswa tidak dianggap sebagai suatu
tabula rasa yang kosong, yang tidak mengerti apa-apa sebelumnya. Siswa
dipahami sebagai subjek yang sudah membawa “pengertian awal” akan sesuatu
sebelum mereka mulai belajar secara formal.
21
Pihak guru dituntut pengetahuan yang luas dan mendalam, agar dapat
memahami jalan pikiran anak. Guru menantang, mempertajam, dan menunjukkan
apakah jalan pikiran murid benar. Guru tidak mengklaim bahwa satu-satunya jalan
yang benar adalah yang sama dengannya. Kesalahan pemikiran anak diterima
sebagai landasan kemajuan. Bukankah perkembangan semua ilmu dimulai dari
kesalahan, demikian tandas para konstruktivisme.
Melihat penjelasan mengenai pembelajaran ini, maka teori konstruktivisme
ini telah membentuk dan memberi implikasi tertentu dalam proses pembelajaran.
Berikut ini implikasi teori ini terhadap proses belajar mengajar.
1. Implikasi Konstruktivisme Terhadap Proses Belajar
a. Makna Belajar
Menurut paham konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif
pelajar mengonstruksikan arti sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan
lain-lain. Belajara juga merupakan proses mengasimilasikan dan
menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan
pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya
dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut
(Fosnot, 1996) :
1) Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa
dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi
arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
2) Konstruksi arti adalah proses yang terus-menerus. Setiap kali
berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan
rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
3) Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih
pada suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian
yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan
merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang
menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
22
4) Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema
seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut
situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang
baik untuk memacu belajar.
5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia
fisik dan lingkungan.
6) Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui
pelajar konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi
interaksi dengan bahan yang dipelajari.
b. Tujuan Belajar
Tugas guru dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme
adalah membantu siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri
melalui proses internalisasi, pembentukan kembali, dan transformasi
informasi yang telah diperolehnya menjadi pengetahuan baru.
Transformasi terjadi kalau ada pemahaman (understanding). Sedangkan
pemahaman terjadi sebagai akibat terbentuknya struktur kognitif baru
dalam pikiran siswa. Pemahaman terjadi kalau terjadi proses akomodasi
atau perubahan paradigma dalam pikiran siswa.
Berlandaskan teori, tujuan pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan konstruktivisme adalah membangun pemahaman. Pemahaman
dinilai penting, karena akan memberikan makna kepada apa yang
dipelajari. Karena itu, tekanan belajar bukanlah untuk memperoleh atau
menemukan lebih banyak, tetapi yang lebih penting adalah memberikan
interpretasi melalui skema atau struktur kognitif yang berbeda.
Menurut Poedjiadi (1999), tujuan pendidikan dari pembelajaran
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki
kemampuan berpikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
Oleh sebab itu, kurikulum harus dirancang sedemikian rupa sehingga
terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat
dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah
23
sering kali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis
masalah dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, peserta didik diharapakan
selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.
Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan
pada diri peserta didik.
c. Isi Pembelajaran
Dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme, guru tidak dapat menentukan secara spesifik isi atau
bahan yang harus dipelajari oleh siswa, tetapi hanya sebatas memberikan
rambu-rambu bahan pembelajaranyang sifatnya umum. Prose penyajian
dimulai dari keseluruhan ke bagian-bagian, bukan sebaliknya. Mengingat
aliran konstruktivisme lebih mengutamakan pemahaman terhadap konsep-
konsep besar, maka konsep tersebut disajikan dalam konteksnya yang
actual yang kadang-kadang kompleks. Siswa perlu memahami bahwa hal-
hal yang kompleks akan memberikan tantangan untuk diketahui dan
dipahami.
Dalam belajar secara konstruktivisme siswa harus membentuk
pengertian dari berbagai sudut pandang, maka dalam proses belajarnya
tidak bias dipisahkan dengan dunia riil dan informasi dari berbagai
sumber. Di kelas, siswa harus dimotivasi untuk mencari sudut pandang
baru dan mempertimbangkan sumber data alternatif.
d. Peran Pelajar
Paham konstruktivisme memandang belajar sebagai kegiatan yang
aktif, artinya siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari
arti sendiri apa yang mereka pelajari. Mereka sendirilah yang bertanggung
jawab atas hasil belajarnya. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas
apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkannya
dengan apa yang telah ia ketahui serta menyelesaikan ketegangan antara
24
apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman
yang baru.
Dalam hal ini, Fosnot (1996) menambahkan bahwa belajar
merupakan proses organik untuk menemukan sesuatu bukan suatu proses
mekanis untuk mengumpulkan fakta. Belajar itu suatu perkembangan
pemikiran dengan membuat kerangka. Di sini, siswa harus punya
pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes hipotesis, memanipulasi
objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan,
meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan,
mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi
baru. Siswa harus membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru
membentuk sebagai mediator dalam proses pembentukan itu. Dengan kata
lain, belajar berarti terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian,
dan dalam proses selalu memperbaiki tingkat pemikiran yang tidak
lengkap.
2. Implikasi Konstruktivisme Terhadap Proses Mengajar
a. Makna Mengajar
Makna balajar bagi paham konstruktivisme bukanlah kagiatan
memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melalui suatu kegiatan
yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya.mengajar
berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat
makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Tugas guru adalah membantu agar siswa mampu mengonstruksi
pengetahuannya sesuai dengan situasi konkret, maka strategi pembelajaran
yang digunakan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi siswa.
Guru tidak dapat memastikan strategi yang digunakan, yang dapat hanya
sebatas tawaran dan saran. Dalam hal ini, teknik dan seni yang dimiliki
guru ditantang untuk mengoptimalkan pembelajaran.
25
Pendekatan konstruktivisme mementingkan pengembangan
lingkungan belajar yang meningkatkan pembentukan pengertian dari
perspektif ganda, dan informasi yang efektif atau control eksternal yang
teliti dari peristiwa-peristiwa siswa yang ketat, dihindari sama sekali.
Untuk maksud tersebut, guru perlu melakukan hal-hal berikut :
1) Menyajikan masalah-masalah actual pada siswa dalam konteks yang
sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
2) Pembelajaran distrukturkan di sekitar konsep-konsep primer.
3) Memberi dorongan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan
sendiri.
4) Memberikan siswa untuk menemukan jawaban dari pertanyaan
sendiri.
5) Memberanikan siswa mengemukakan pendapat dan menghargai
sudut pandangnya.
6) Menantang siswa untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam,
bukan sekedar menyelesaikan tugas.
7) Menganjurkan siswa bekerja dalam kelompok.
8) Mendorong siswa untuk berani menerima tanggung jawab.
9) Menilai proses dan hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran.
Selain beberapa point tersebut, menurut Paul Suparno (2001),
seorang pengajar juga harus melakukan hal-hal berikut ini agar terjadi
pengajaran yang baik menurut paham konstruktivisme.
1) Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti
apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.
2) Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan
bersama sehingga sungguh terlibat.
26
3) Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai
dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi
sebagai pelajar juga di tengah pelajar.
4) Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan
kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
5) Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat
mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa
berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru.
b. Fungsi dan Peran Siswa
Pengajar sebagai mediator dan fasilitator, menurut prinsip
konstruktivisme, seorang pengajar atau guru berperan sebagai mediator
dan fasilitator yang membantu agar proses belajar murid berjalan dengan
baik. Tekanan ada pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin
ataupun guru yang mengajar. Fungsi mediator dan fasilitator dapat
dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut (Paul Suparno, 2001) :
1) Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa
bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses dan penelitian.
Oleh karena itu, jelas member kuliah atau ceramah bukanlah tugas
utama seorang guru.
2) Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang
keingintahuan siswa dan membantu mereka mengekspresikan
gagasannya dan mengomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan
sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif.
Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung
proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu
menyediakan pengalaman konflik.
3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran murid
jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah
pengetahuan murid itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru
27
yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan
kesimpulan murid.
c. Penataan Lingkungan Belajar
Penataan lingkungan belajar berdasar pendekatan konstruktivisme
diidentifikasikan dengan alternatif sebagai berikut :
1) Menyediakan pengalaman belajar melalui proses pembentukan
pengetahuan di mana siswa ikut menentukan topik/sub topik yang
mereka sikapi, metode pembelajaran berikut strategi pembelajaran
yang dipergunakan.
2) Menyediakan pengalaman belajar yang kaya akan alternatif seperti
peninjauan masalah dari berbagai segi.
3) Mengintegrasikan proses belajar dengan konteks yang nyata dan
relevan dengan harapan siswa dapat menerapkan pengetahuan yang
didapat dalam hidup sehari-hari.
4) Memberikan kesempatan pada siswa untuk menentukan isi dan arah
belajar mereka dengan menempatkan guru sebagai konsultan.
5) Peningkatan interaksi antara guru dengan siswa dan antar siswa
sendiri.
6) Meningkatkan penggunaan berbagai sumber belajar di samping
komunikasi tertulis dan lisan.
7) Meningkatkan kesadaran siswa dalam proses pembentukan
pengetahuan mereka agar siswa mampu menjelaskan
mengapa/bagaimana mereka memecahkan masalah dengan cara
tertentu.
d. Hubungan Guru-Siswa
28
Dalam aliran konstruktivisme, guru bukanlah seseorang yang maha
tahu dan siswa bukanlah yang belum tahu, karena itu harus diberi tahu.
Dalam proses belajar, siswa aktif mencari tahu dengan membentuk
pengetahuannya, sedangkan guru membantu agar pencarian itu berjalan
dengan baik. Dalam banyak hal, guru dan siswa bersama-sama
membangun pengetahuan. Dalam hal ini, hubungan guru dan siswa lebih
sebagai mitra yang bersama-sama membangunpengetahuan.
Untuk mengidentifikasi sejumlah karakteristik hubungan guru-siswa
dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik berikut ini :
1) Hubungan antara guru dengan siswa diupayakan terjadi secara
optimal.
2) Pembelajaran perlu difokuskan pada kemampuan siswa untuk
menguasai konsep dan mengutarakan pandangannya.
3) Evaluasi siswa terintegrasi dalam proses belajar mengajar melalui
observasi terhadap siswa yang umumnya bekerja dalam kelompok.
4) Aktivitas siswa lebih ditekankan pada pengembangan generalisasi dan
demonstrasi.
5) Aktivitas pembelajaran relatif tergantung pada isi yang menyebabkan
siswa berpikir.
e. Strategi Mengajar
Implikasi model pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran
khususnya strategi mengajar di kelas meliputi empat tahapan, yaitu :
1) Persepsi. Dalam tahap ini, siswa didorong untuk mengungkapkan
pengetahuan awal tentang konsep yang akan dibahas. Di sisni guru
dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan problematik tentang
fenomena yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep
yang akan dibahas dan siswa diberi kesempatan untuk
mengomunikasikan, mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep
itu.
29
2) Eksplorasi. Di tahap ini, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki
dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan
penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang
pendidik serta secara berkelompok didiskusikan dengan kelompok
lain.
3) Diskusi dan Penjelasan Konsep. Saat siswa member penjelasan dan
solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan
penguatan pendidik, maka siswa membangun pemahaman baru
tentang konsep yang sedang dipelajari.
4) Pengembangan dan Aplikasi. Guru berusaha menciptakan iklim
pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan
pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan atau pemunculan
dan pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu di
lingkungannya.
3. Implikasi Konstruktivisme Bagi Guru dan Siswa
Sebelumnya, sedikit telah disinggung mengenai implikasi teori ini bagi
guru dan siswa. Meski demikian, implikasi tersebut akan mengubah dan
mengarahkan guru dan siswa pada hal-hal sebagai berikut :
a. Pendidik dalam proses pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan
kognitif tingkat tinggi seperti mengklasifikasikan, menganalisis,
menginterpretasikan, memprediksi dan menyimpulkan, dan lainnya.
b. Pendidik merancang tugas yang mendorong peserta didik untuk mencari
pemecahan masalah secara individual dan kolektif sehingga meningkatkan
kepercayaan diri yang tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan rasa
tanggung jawab pribadi.
c. Dalam proses pembelajaran, pendidik harus memberi peluang seluas-
luasnya agar terjadi proses dialogis antara sesame peserta didik, dan antara
peserta didik dengan pendidik, sehingga semua pihak merasa bertanggung
jawab bahwa pembentukan pengetahuan adalah tanggung jawab bersama.
30
Caranya dengan member pertanyaan-pertanyaan, tugas-tugas yang terkait
dengan topik tertentu, yang harus dipecahkan, didalami secara individual
ataupun kolektif, kemudian diskusi kelompok, menulis, dialog dan
presentasi di depan teman yang lain.
Peranan antara pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) menurut aliran
konstruktivisme bisa kita lihat lebih lanjut dalam table berikut ini.
N
oPeranPesertaDidik (Siswa) PeranPendidik (Guru)
1
Berinisiatifmengemukakanmasalahd
anpokokpikiran,
kemudianmenganalisisdanmenjawab
nyasendiri.
Mengutamakanperansiswadalambe
rinisiatifsendiridanketerlibatanakti
fdalamkegiatanbelajar.
2
Bertanggungjawabsendiriterhadapke
giatanbelajarnyaataupenyelesaiansua
tumasalah.
Memusatkanperhatiankepada
proses berpikiratau proses mental
siswa,
bukankepadakebenaranjawabansis
wasaja.
3
Secaraaktifbersamadengantemansek
elasnyamendiskusikanpenyelesaian
masalahataupokokpikiran yang
merekamunculkan,
danapabiladirasaperludapatmenanya
kannyakepada guru.
Guru
perlufleksibeldalammeresponsjaw
abanataupemikiransiswa.
Menghargaipemikiransiswadanme
nghindariperkataan, “inisatu-
satunyajawabanbenar!”
4 Atasinisiatifsendiridanmandiriberup
ayamemperolehpemahaman yang
mendalam (deep understanding)
terhadapsuatutopikmasalahbelajar.
Guru
perlumenyediakanpengalamanbela
jardenganmengaitkanpengetahuan
yang
telahdimilikisiswasehinggabelajars
31
ebagai proses
konstruksipengetahuandapatterwuj
ud.
5
Secaraaktifmengajukandanmenggun
akanberbagaihipotesis
(kemungkinanjawaban)
dalammemecahkansuatumasalah.
Memaklumiakanadanyaperbedaan
individual,
termasukdalamhalperkembangank
ognitifsiswa.
6
Seacaraktifmengajukanberbagai data
atauinformasipendukungdalampenye
lesaiansuatumasalahataupokokpikira
n yang dimunculkansendiriatau yang
telahdimunculkanolehtemansekelas.
Guru
perlumenyampaikantujuanpembela
jarandanapa yang akandipelajaridi
awalkegiatanbelajar. Hal
iniakanmempengaruhikeaktifansis
wa, karenaiatahuapa yang akan di
pelajaridanuntukapaiaterlibatdala
mpembelajaran.
7
Secarakreatifdanimajinatifmengaitka
nantaragagasan yang
telahdimilikidenganinformasibaru
yang diterima.
Guru
perlubanyakberinteraksidengansis
wauntukdapatmengetahuiapa yang
telahmerekaketahuidanapa yang
merekapikirkan.
2.9 Hubungan Konstruktivisme Dengan Teori Belajar Lain
Selama 20 tahun terakhir ini, konstruktivisme telah banyak mempengaruhi
pendidikan sains dan matematika di banyak Negara Amerika, Eropa, dan
Australia. Inti teori ini berkaitan dengan beberapa teori belajar seperti teori
perubahan konsep, teori belajar bermakna dan Ausubel, dan teori skema. Lantas,
apa hubungan teori konstruktivisme dengan beberapa teori di atas, berikut
uraiannya.
1. Teori Belajar Konsep
32
Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori perubahan konsep ini
dipengaruhi atau didasari oleh filsafat konstruktivisme. Konstruktivisme yang
menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan
teori perubahan konsep yang menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan
konsep terus-menerus, sangat berperan dalam menjelaskan mengapa seorang
siswa bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari.
Konstruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk
pengetahuan yang tidak tepat.
Dengan demikian, seorang pendidik dibantu untuk mengarahkan siswa
dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan
konsep sangat membantu karena mendorong pendidik agar menciptakan suasana
dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada murid
sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan ilmuwan. Konstruktivisme dan
teori perubahan konsep memberikan pengertian bahwa setiap orang dapat
membentuk pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir pengembangan
karena setiap kali mereka masih dapat mengubah pengertiannya sehingga lebih
sesuai dengan pengertian ilmuwan. “Salah pengertian” dalam memahami sesuatu,
menurut teori konstruktivisme dan teori perubahan konsep, bukanlah akhir dari
segala-galanya melainkan justru menjadi awal untuk pengembangan yang lebih
baik.
Menurut Fosnot (1996), dalam proses belajar ada proses perubahan konsep
yang mirip dengan yang ada pada filsafat sains tersebut. Tahap pertama perubahan
konsep itu disebut asimilasi dan tahap kedua disebut akomodasi. Dengan
asimilasi, siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk
berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan akomodasi, siswa mengubah
konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru lagi yang mereka hadapi.
Akomodasi disebut juga perubahan konsep secara radikal. Ada pun syarat-
syaratnya adalah sebagai berikut :
a. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada.
b. Kosep baru harus dapat dimengerti, rasional dan dapat memecahkan
persoalan atau fenomena yang baru.
33
c. Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab
persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori sebelumnya.
d. Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan
penemuan baru.
2. Teori Bermakna Ausubel
Menurut Ausubel dan Hanesian (1978), seseorang belajar dengan
mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam
proses itu seseorang dapat mengembangkan skema yang ada atau dapat
mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari
sendiri. Teori belajar bermakna Ausubel ini sangat dekat dengan konstruktivisme.
Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman,
fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam system pengertian yang telah dipunyai.
Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep
atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa
dalam proses belajar itu siswa aktif.
3. Teori Skema
Menurut teori ini, pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau
skema yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Teori ini lebih
menunjukkan bahwa pengetahuan kita tersusun dalam suatu skema yang terletak
dalam ingatan kita. Dalam belajar, kita dapat menambah skema yang ada sehingga
dapat menjadi lebih luas dan berkembang.
4. Konstruktivisme, Behaviorisme, dan Maturasionisme
Konstruktivisme berbeda dengan behaviorisme dan maturasionisme. Bila
behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran,
konstruktivisme lebih menekankan pengembangan konsep dan pengertian yang
mendalam. Bila maturasionisme lebih menekankan pengetahuan yang
berkembang sesuai dengan langkah-langkah perkembangan kedewasaan,
konstruktivisme lebih menekankan pengetahuan sebagai konstruksi aktif siswa.
34
Dalam pengertian maturasionisme, bila seseorang mengikuti perkembangan
pengetahuan yang ada, dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang
lengkap. Sedangkan menurut konstruktivisme, bila seseorang tidak
mengonstruksikan pengetahuan secara aktif, meskipun ia berumur tua akan tetap
tidak akan berkembang pengetahuannya.
Dalam teori ini, kreativitas dan kaktifan siswa akan membantu mereka untuk
berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu menjadi
orang yang kritis menganalisis sesuatu hal, karena mereka berpikir dan bukan
meniru saja. Kadang-kadang, orang menganggap bahwa konstruktivisme sama
dengan teori pencarian sendiri (inquiry approach) dalam belajar. Sebenarnya,
kalau kita lihat secara teliti, kedua teori ini tidak sama. Dalam banyak hal, mereka
punya kesamaan, seperti penekanan keaktifan siswa untuk memenuhi suatu hal.
Dapat terjadi bahwa metode pencarian sendiri memang merupakan metode
konstruktivisme tetapi tidak semua konstruktivisme dengan metode pencarian
sendiri.
2.10 Model Pembelajaran Dari Teori Konstruktivisme
Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dapat juga
diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam kegitan pembelajaran. Dengan
kata lain, praktisnya model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang
digunakan untuk merancang pembelajaran tatap muka di dalam ruang kelas dan
untuk menyusun materi pengajaran. Beberapa model pembelajaran dari
pengembangan teori konstruktivisme antara lain :
a. Discovery Learning
Metodediscovery learning adalah metode mengajar yang mengatur
pelajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang
sebelumnya belum diketahuinya tidak melalui pemberitahuan, namun
ditemukan sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi.
35
Dengan demikian pembelajaran discovery ialah suatu pembelajaran yang
melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat,
dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat
belajar sendiri. Metode discovery learning sebagai sebuah teori belajar dapat
didefiniskan sebagai belajar yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan
pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan untuk mengorganisasi
sendiri.
Pada intinya, model pembelajaran Discovery Learning ini mengubah
kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran
yang teacher oriented dimana guru menjadi pusat informasi menjadi student
oriented; siswa menjadi objek aktif belajar. Metode ini juga mengubah dari
modus expository siswa yang hanya menerima informasi secara keseluruhan
dari guru ke modus discovery yang menuntut siswa secara aktif menemukan
informasi sendiri melalui bimbingan guru.
b. Reception Learning
Model reception learning menuntut guru menyiapkan situasi belajar, memilih
materi-materi yang tepat untuk siswa, dan kemudian menyampaikan dalam bentuk
pengajaran yang terorganisasi dengan baik, mulai dari umum ke hal-hal yang
terperinci. Menurut Ausubel, pada dasarnya orang memperoleh pengetahuan
melalui penerimaan, bukan melalui penemuan.
c. Assisted Learning
Assisted learning mempunyai peran sangat penting bagi perkembangan
individu. Menurut Vygotsky, perkembangan kognitif terjadi melalui proses
interaksi dan percakapan seorang anak dengan lingkungan sekitarnya. Orang lain
disebut sebagai pembimbing atau guru.
d. Active Learning
Pendekatan belajar aktif adalah suatu cara atau strategi belajar mengajar yang
menuntut keaktifan dan partisipasi peserta didik seoptimal mungkin sehingga
36
peserta didik mampu mengubah tingkah lakunya secara efektif dan efisien dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Siswa dalam melakukan pembelajaran aktif dapat menggunakan sumber daya
diluar pengajar seperti perpustakaan, site/web, wawancara untuk memperoleh
informasi.
e. Kontekstual Learning
Pembelajaran kontekstual learning merupakan suatu proses pendidikan yang
holistic dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran
yang dipelajari dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan
mereka sehari-hari.
f. Quantum Learning
Quatum learning ialah pengajaran yang dapat mengubah suasana belajar yang
menyenangkan serta mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi
cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain.
2.11 Aplikasi Teori Konstruktivisme Bagi Pelajaran Matematika
Pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih
memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman
mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan
dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk
mengonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Dengan strategi pembelajran konstruktivisme, diharapakan adanya perubahan
dari sikap guru dan siswa dalam belajar matematika berikut ini :
1. Dari semula berfokus mengingat (memorizing) atau menghafal (rote
learning) ke arah berpikir (thinking) dan pemahaman (understanding).
37
2. Dari semula model ceramah kependekatan discovery learning, inductive
learning, atau inquiry learning.
3. Dari semula belajar individual ke kooperatif (kelompok).
4. Dari semula positivis (behaviorist) ke konstruktivisme yang di tandai
dengan perubahan paradigma pembelajaran, dari paradigma pengetahuan
dipindahkan dari otak guru ke otak siswa (knowledge transmitted)
kebentuk interaktif, investigative, eksploratif, open ended, keterampilan
proses, modeling, ataupun pemecahan masalah.
5. Dari semula subject centered ke clearer centered (terkonstruksinya
pengetahuan siswa).
Untuk lebih praktisnya, berikut ini contoh praktik pembelajaran
konstruktivisme pada pelajaran matematika.
1. Contoh pembelajaran Berbasis Konstruktivisme
Berikut ini adalah contoh pembelajaran pengurangan bilangan dasar, seperti
(13-7). Langkah-langkah proses pembelajarannya adalah sebagai berikut :
a. Pada tahap awal, guru memberikan soal di papan tulis, ditransparansi,
ataupun di kertas peraga.
b. Guru bertanya pada siswa, berapa kelereng yang dimiliki budi pada
awalnya? jawaban yang diinginkan adalah 12. Guru lalu menggambar
dipapan tulis 12 buah kelereng dengan menekankan bahwa 12 bernilai 1
puluhan dan 2 satuan atau 12=10+2.
c. Guru meminta siswanya bekerja dalam kelompok dengan menggunakan
benda-benda konkret yang dimilikinya untuk menggambarkan 12 kelereng
yang dimiliki budi.
d. Guru bertanya kepada siswa, berapa butir kelereng yang diberikan kepada
adiknya dan berapa sisa kelereng yang dimiliki budi sekarang? Biarkan
siswa bekerja sendiri-sendiri atau bekerja dikelompoknya untuk menjawab
soal tersebut.
e. Ada dua kemungkinan jwaban siswa atau kelompok siswa. Pada waktu
diskusi kelompok, guru sebaiknya menawarkan alternatif kedua ini kepada
beberapa kelompok.
38
12=10+2
12-9=3
12-9=2+1=3
f. Budi memiliki 12 kelereng. 9 kelereng diberikan kepada adiknya. Berapa
kelereng yang dimiliki budi sekarang ?
g. Guru memberikan kesempatan kepada siswa atau kelompok untuk
melaporkan cara mereka mendapatkan hasilnya.
h. Guru member soal tambahan seperti 13-9 dan 12-8. Para siswa masih
boleh menggunakan benda-benda konkret. Bagi siswa yang masih
menggunakan alternatif pertama, sarankan untuk mencoba alternatif
barang kedua dalam proses menjawab dua soal di atas
i. Guru member soal tambahan seperti 14-9 dan 13-8. Bagi siswa atau
kelompok siswa yang sudah dapat menyelesaikan soal ini tanpa
menggunakan benda konkret dapat mengerjakan soal-soal yang ada di
buku.
2. Belajar Arti Konstruktivisme dari Contoh Sebelumnya
Dari contoh proses pembelajaran pengurangan sebelumnya, dapat
dikemukakan beberapa hal berikut :
a. Peran guru sebagai fasilitator dalam membantu siswanya dapat dengan
mudah melakukan operasi pengurangan dasar bilangan. Dengan cara
seperti ini, pengetahuan diharapkan dapat dengan mudah terkonstruksi
atau terbangun didalam pikiran siswanya.
b. Dengan alternatif rancangan belajar seperti itu, para siswa sendirilah
yang harus membangun pengetahuan bahwa 12-9=2+1, 13-9=3+1, 12-
8=2+2, 14-9=4+1, dan seterusnya.
c. Para siswa dibimbing untuk secara demokratis menentukan pilihan-
pilihan, dan secara dini belajar untuk menghargai pendapat teman
lainnya meskipun berbeda dengan pendapatnya sendiri.
39
d. Dengan alternatif rancangan pembelajaran seperti itu, ketika para siswa
diminta menentukan hasil dari 15-8 misalnya, didalam pikiran siswa
akan muncul gambaran (sebagai hasil pengalaman belajar dikelasnya),
kelereng sejumlah 1 puluhan dan 5 satuan yang jika di ambil 8 akan
menghasilkan 5+2=7.
e. Pengalaman belajar yang dirancang ini tidak akan berhasil jika siswa
tidak atau kurang terampil menentukan hasil 10-9=1, 10-8=2, 10-7=3
dan seterusnya. Jelaslah bahwa pengetahuan yang telah dimilki siswa
akan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran.
f. Proses pembelajaran ini sesungguhnya didasarkan pada suatu
keyakinan dari para penganut konstruktivisme yang menyatakan
bahwa suatu pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari otak seorang
guru dengan begitu saja kedalam otak siswa. Siswa sendirilah yang
dengan bantuan guru akan dapat menemukan kembali pengetahuan
yang sudah ditemukan para ahli matematika.
g. Dengan fasilitas dari para guru matematika, sebagaimana dinyatakan
para pakar pendidikan matematika, prosedur pengurangan dasar
bilangan seperti 12-9 maupun 13-8 ditemukan kembali (guided re-
invention) si pembelajar seperti ketika para siswa menemukan kembali
rumus, konsep, ataupun prinsip seperti yang ditemukan para
matematikawan.
3. Implikasinya pada Pembelajaran
Belajar matematika merupakan proses memperoleh pengetahuan yang
diciptakan atau dilakukan oleh siswa sendiri melalui transformasi pengalaman
individu siswa. Berdasarkan penjelasan dari contoh sebelumnya, implikasi
konstruktivisme pada pembelajaran diantaranya adalah :
a. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak mesti diikuti dengan
hasil yang bagus pada siswanya. Setiap siswa harus mengonstruksi
(membangun) pengetahuan matematika didalam benaknya masing-
40
masing berdasar pada kerangka kognitif yang sudah ada didalam
benaknya.
b. Tugas setiap guru adalah memfasilitasi siswanya, sehingga
pengetahuan matematika dibangun atau dikonstruksi para siswa sendiri
dan bukan ditanamkan oleh para guru.
c. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model
mental yang digunakan para siswa. Karenanya, para guru harus mau
bertanya dan mau megamati pekerjaan siswanya. Setiap kesalahan
siswa harus menjadi umpan balik dalam proses penyempurnaan
rancangan proses pembelajaran berikutnya.
d. Pada konstruktivisme, siswa perlu mengonstruksi pemahaman mereka
sendiri untuk masing-masing konsep matematika, sehingga peranan
guru membantu perkembangan siswa membuat konstruksi-konstruksi
mental yang diperlukan menjadi sangat optimal.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan
baru dalam stuktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut teori
kontruktivisme, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan
pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun
sendiri pengetahuan di dalam memorinya.
Teori yang dikemukakan oleh Jean Piaget disebut konstruktivisme
psikologi / individu / kognitif, sedangkan teori yang dipelopori oleh Lev
Vygotskynialah konstruktivisme sosial.
Ciri-ciri pembelajaran secara konstruktivisme menurut Ansori, (2007):
41
Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar.
Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa.
Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin
dcapai.
Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekankan
pada hasil belajar.
Prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar-mengajar
adalah sebagai berikut:
Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya
dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
Murid aktif mengonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi
perubahan konsep ilmiah.
Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses
konstruksi berjalan lancar.Menurut prinsip konstruktivisme, seorang
pengajar atau guru berperan sebagaimediator dan fasilitator yang
membantu agar proses belajar murid berjalan dengan baik
3.2 Saran
Berdasarkan uraian dan simpulan tentang pembelajaran matematika
dengan teori belajar konstruktivisme, maka diajukan beberapa saran sebagai
berikut. Kepada guru disarankan agar dalam mengajarkan matematika di sekolah
hendaknya terlebih dahulu memahami dengan baik hakikat anak dan hakikat
matematika itu sendiri serta menggunakan teori belajar yang relevan dengan
kedua hal tersebut. Ketiga hal ini sangat penting untuk mengantarkan anak
mencintai matematika. Kepada orangtua disarankan agar membantu anak,
utamanya mempersiapkan benda-benda nyata di rumah yang dapat dimanipulasi
oleh mereka dalam rangka memahami konsep matematika. Terakhir, kepada
42
pemerintah disarankan agar terus memberi dukungan materil dan moril kepada
guru dalam menerapkan dan mengembangkan setiap metode dan teori belajar
yang dapat meningkatkan prestasi belajar anak, khususnya dalam mata pelajaran
matematika.
DAFTAR PUSTAKA
43
Recommended