View
18
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
Depresi
Citation preview
Definisi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur
dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak
berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).
Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh
hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Mood
adalah keadaan emosional internal yang meresapdari seseorang, dan bukan afek, yaitu
ekspresi dari isi emosional saat itu (Kaplan, 2010).
Dalam pedoman penggolongan dan diagnosa gangguan jiwa diIndonesia III (PPDGJ
III) (1993) disebutkan bahwa gangguan utama depresi adalah adanya gangguan suasana
perasaan, kehilangan minat,menurunya kegiatan, pesimisme menghadapi massa yang
akan datang.Pada kasus patologi, depresi merupakan ketidakmampuan ekstrim
untukbereaksi terhadap rangsang, disertai menurunya nilai dari delusi, tidak mampu dan
putus asa (Maslim, 2001).
A. Etiologi
1. Faktor Biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin
biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid),
MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan
serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan
patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat
mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki
serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin
berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin
pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang
menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi
dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala depresi. Obat yang
meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion,
menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).
Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis
neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin
biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin.
Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin
biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-
Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin biogenik sentral. Aksis
neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon
pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti (Landefeld
et al, 2004). Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat
fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya
defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada
sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010).
Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah
berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ utama
pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi
mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH
(Landefeld, 2004). Pada orang lanjut usia terjadi penurunan produksi hormon
estrogen. Estrogen berfungsi melindungi sistem dopaminergik negrostriatal
terhadap neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan methamphetamin. Estrogen
bersama dengan antioksidan juga merusak monoamine oxidase (Unutzer dkk,
2002). Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat
mengalami kehilangan secara selektif pada sel – sel saraf selama proses menua.
Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang
hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di
dalam lokus seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler,
2001).
2. Faktor genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara anggota
keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar)
diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka
keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot
(Davies, 1999).Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap depresi tidak
disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam
ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat
individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah
genetik.
3. Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah
kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial
yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada
umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah
hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara,
penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan
penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010) Sedangkan menurut Kane, faktor
psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan
hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan,
kemiskinan dan penyakit fisik (Kane, 1999).
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan
dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang,
teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010). Peristiwa kehidupan dan stresor
lingkungan. Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului
episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi
mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi,
klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan
terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan
onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stressor
psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor
kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan
interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi (hardywinoto, 1999).
Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada
individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan
paranoid (kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif)
mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010).Faktor psikodinamika. Berdasarkan
teori psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat
menimbulkan depresi (Kaplan, 2010). Dalam upaya untuk mengerti depresi,
Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan (2010) mendalilkan suatu hubungan
antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang
dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek
yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya
bagi ego untuk melepaskan suatu objek, ia membedakan melankolia atau depresi
dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri
yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri,
sedangkan orang yang berkabung tidak demikian.Kegagalan yang berulang. Dalam
percobaan binatang yang dipapari kejutan listrik yang tidak bisa dihindari, secara
berulang-ulang, binatang akhirnya menyerah tidak melakukan usaha lagi untuk
menghindari. Disini terjadi proses belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada
manusia yang menderita depresi juga ditemukan ketidakberdayaan yang mirip
(Kaplan, 2010). Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu,
menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian
diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut
menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010)
B. PATOFISIOLOGI
Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter
aminergik. Neurotransmiter yang paling banyak diteliti ialah serotonin. Konduksi
impuls dapat terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter
di celah sinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter
tersebut di post sinaps sistem saraf pusat.
Pada depresi telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin yaitu
reseptor 5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang terlibat dalam mekanisme
biokimiawi depresi dan memberikan respon pada semua golongan anti depresan.
Pada penelitian dibuktikan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena
menurunnya pelepasan dan transmisi serotonin (menurunnya kemampuan
neurotransmisi serotogenik). Beberapa peneliti menemukan bahwa selain serotonin
terdapat pula sejumlah neurotransmiter lain yang berperan pada timbulnya depresi
yaitu norepinefrin, asetilkolin dan dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat
defisiensi relatif satu atau beberapa neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron
di otak, terutama pada sistem limbik. Oleh karena itu teori biokimia depresi dapat
diterangkan sebagai berikut :
1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya
kemampuan neurotransmisi serotogenik.
2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi
aktivitas norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor
presinaptik.
3. Menurunnya aktivitas dopamin.
4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.
Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya
neurotransmisi akibat kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung
oleh bukti-bukti klinis yang menunjukkan adanya perbaikan depresi pada
pemberian obat-obat golongan SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan
trisiklik yang menghambat re-uptake dari neurotransmiter atau pemberian obat
MAOI (Mono Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme
neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase.
Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang
menyebutkan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas
neurotransmisi serotogenik yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau
kelebihan serotonin semata. Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan
gangguan pada sistem serotonergik, jadi depresi timbul karena dijumpai gangguan
pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis yang belakangan ini dibuktikan
dengan pemberian anti depresan golongan SSRE (Selective Serotonin Re-uptake
Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan menghambat.
Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat dan sistem
neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki gejala-gejala
depresi. Mekanisme biokimiawi yang sudah diketahui tersebut menjadi dasar
penggunaan dan pengembangan obat-obat anti depresan.
C. Gambaran Klinis
Orang dengan gangguan depresi tidak selalu memiliki gejala yang sama satu dengan
yang lain. Frekuensi, durasi dan beratnya gejala akan bervariasi tergantung pada
masing-masing orang.
Gejala-gejala depresi antara lain (NIMH, 2008) :
a) Perasaan sedih yang menetap, khawatir atau perasaan kosong
b) Perasaan putus asa dan atau pesimisme
c) Perasaan bersalah, perasaan tidak berharga dan atau putus asa
d) Cepat marah, tidak dapat istirahat
e) Insomnia, terjaga dipagi buta, atau tidur yang berlebihan
f) Pikiran untuk bunuh diri, usaha bunuh diri
g) Perasaan sakit yang menetap, sakit kepala, kram atau gangguan pencernaan
yang tidak mudah disembuhkan walaupun dengan perawatan.
D. Derajat Depresi
Berdasarkan PPDGJ III Derajat Depresi berdasarkan banyaknya gejala Utama dan
gejala tambahan
Gejala Utama
• Perasaan depresif
• Hilangnya minat dan semangat
• Mudah lelah dan tenaga hilang
Gejala Lain
• Konsentrasi dan perhatian menurun
• Harga diri dan kepercayaan diri menurun
• Perasaan bersalah dan tidak berguna
• Pesimis terhadap masa depan
• Gagasan membahayakan diri atau bunuh diri
• Gangguan tidur
• Gangguan nafsu makan
• Menurunnya libido
a) Episode depresif ringan menurut PPDGJ III
1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama depresi seperti tersebut di
atas
2. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
3. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh episode
berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
4. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.
b) Episode depresif sedang menurut PPDGJ III
1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama
2. Ditambah sekurang-kurangnya 3 atau 4 dari gejala lainnya
3. Lamanya seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu
4. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan
urusan rumah tangga.
c) Episode Depresif Berat dengan Tanpa Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :
1. Semua 3 gejala utama depresi harus ada
2. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya
harus berintensitas berat
3. Bila ada gejala penting (misalnya retardasi psikomotor) yang menyolok, maka
pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya
secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode
depresi berat masih dapat dibenarkan.
4. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
d) Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :
1. Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut No. 3 di atas (F.32.2)
tersebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresi.
2. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik
atau alfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau
kotoran. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.
E. Pengobatan
1. Pengobatan secara biologis
a. Tricyclic Antidepressants
Obat ini membantu mengurangi gejala-gejala depresi dengan mekanisme
mencegah reuptake dari norephinefrin dan serotonin di sinaps atau dengan cara
megubah reseptor-reseptor dari neurotransmitter norephinefrin dan seroonin.
Obat ini sangat efektif, terutama dalam mengobati gejala-gejala akut dari
depresi sekitar 60% pada individu yang mengalami depresi. Tricyclic
antidepressants yang sering digunakan adalah imipramine, amitryiptilene, dan
desipramine (Reus V.I., 2004).
b. Monoamine Oxidase Inhibitors
Obat lini kedua dalam mengobati gangguan depresi mayor adalah Monoamine
Oxidase Inhibitors. MAO Inhibitors menigkatkan ketersediaan neurotransmitter
dengan cara menghambat aksi dari Monoamine Oxidase, suatu enzim yang
normalnya akan melemahkan atau mengurangi neurotransmitter dalam
sambungan sinaptik (Greene, 2005).MAOIs sama efektifnya dengan Tricyclic
Antidepressants tetapi lebih jarang digunakan karena secara potensial lebih
berbahaya (Reus V.I., 2004).
c. Selective Serotonine Reuptake Inhibitors and Related Drugs
Obat ini mempunyai struktur yang hampir sama dengan Tricyclic
Antidepressants, tetapi SSRI mempunyai efek yang lebih langsung dalam
mempengaruhi kadar serotonin. Pertama SSRI lebih cepat mengobati gangguan
depresi mayor dibandingkan dengan obat lainnya. Pasien-pasien yang
menggunakan obat ini akan mendapatkan efek yang signifikan dalam
penyembuhan dengan obat ini. Kedua, SSRI juga mempunyai efek samping
yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Ketiga, obat ini
tidak bersifat fatal apabila overdosis dan lebih aman digunakan dibandingkan
dengan obat-obatan lainnya. Dan yang keempat SSRI juga efektif dalam
pengobatan gangguan depresi mayor yang disertai dengan gangguan lainnya
seperti: gangguan panik, binge eating, gejala-gejala pramenstrual (Reus, V.I.,
2004).
d. Terapi Elektrokonvulsan
Terapi ini merupakan terapi yang paling kontroversial dari pengobatan
biologis. ECT bekerja dengan aktivitas listrik yang akan dialirkan pada otak.
Elektroda-elektroda metal akan ditempelkan pada bagian kepala, dan diberikan
tegangan sekitar 70 sampai 130 volt dan dialirkan pada otak sekitarsatu
setengah menit. ECT paling sering digunakan pada pasien dengan gangguan
depresi yang tidak dapat sembuh dengan obat-obatan, dan ECT ini mengobati
gangguan depresi sekitar 50%-60% individu yang mengalami gangguan depresi
(Reus, V.I., 2004).
2. Pengobatan secara psikologikal
a. Terapi Kognitif
Terapi kognitif merupakan terapi aktif, langsung, dan time limited yang berfokus
pada penanganan struktur mental seorang pasien. Struktur mental tersebut
terdiri ; cognitive triad, cognitive schemas, dan cognitive errors (C. Daley,
2001).
b. Terapi Perilaku
Terapi perilaku adalah terapi yang digunakan pada pasien dengan gangguan
depresi dengan cara membantu pasien untuk mengubah cara pikir dalam
berinteraksi denga lingkungan sekitar dan orang-orang sekitar. Terapi perilaku
dilakukan dalam jangka waktu yang singkat, sekitar 12 minggu (Reus, V.I.,
2004).
c. Terapi Cognitif Behaoviar Therapy (CBT)
CBT menggabungkan ilmu pengetahuan, filosofis, dan aspek perilaku menjadi
satu pendekatan yang komprehensif untuk memahami psikologis dan mengatasi
masalah umum. CBT merupakan ilmu pengetahuan karena telah diuji melalui
studi ilmiah yang banyak. Sisi filosofis CBT adalah mengakui bahwa orang-
orang memegang nilai-nilai dan keyakinan tentang diri mereka sendiri, dunia,
dan orang lain. Salah satu tujuan dari CBT adalah untuk membantu orang
mengembangkan flexible, non-extreme, dan self-helping beliefs yang membantu
mereka beradaptasi dengan realitas dan mengejar tujuan mereka. Seperti
namanya, CBT juga sangat menekankan pada perilaku. Banyak teknik CBT
melibatkan mengubah cara berpikir dan merasa dengan memodifikasi cara
bersikap. CBT melibatkan identifikasi pikiran, kepercayaan, dan makna yang
diaktifkan ketika klien merasa terganggu emosinya.
Prinsip-prinsip Cognitive Behavioral Therapy
Cara seseorang berpikir dan merasa juga sangat menentukan cara seseorang
bertindak. Jika seseorang merasa depresi, orang itu cenderung menarik diri dan
mengisolasi diri. Jika seseorang cemas, ia mungkin menghindari situasi yang ia
rasa mengancam atau berbahaya. Perilaku seseorang dapat menjadi masalah bagi
dirinya seperti berikut :
1. Perilaku merusak diri, seperti minum berlebihan atau menggunakan
narkoba untuk mengatasi kecemasan, dapat menyebabkan kerusakan fisik
langsung.
2. Mengisolasi diri dan prilaku mood depresi seperti tetap ditempat tidur
sepanjang hari dan tidak menjumpai teman-teman meningkatkan rasa
terisolasi dan mood yang rendah.
3. Perilaku menghindar, seperti menghindari situasi yang dianggap
mengancam (menghadiri kegiatan sosial, menggunakan lift, berbicara di
depan umum).
Karakteristik dari CBT adalah :
1. Menitik beratkan makna pribadi yang seseorang berikan kepada kejadian-
kejadian di
menentukan tanggapan emosional yang ia berikan.
2. Dikembangkan melalui evaluasi ilmiah.
3. Lebih berfokus bagaimana menghadapi suatu masalah daripada mencari
akar tunggal permsalahan.
4. Menawarkan nasehat praktis untuk menghadapi masalah emosi umum.
5. Berpandangan bahwa seseorang dapat berubah dan berkembang dengan
mencoba ide-ide dan strategi baru.
6. Berusaha untuk menormalkan emosi, sensasi fisik, dan pikiran
bukan untuk meyakinkan bahwa itu adalah cara untuk menyembunyikan
masalah.
d. Terapi Interpersonal
Terapi ini didasari oleh hal-hal yang mempengaruhi hubungan interpersonal
seorang individu, yang dapat memicu terjadinya gangguan mood (Barnett &
Gotlib, 1998: Coyne, 1976). Terapi ini berfungsi untuk mengetahui stressor
pada pasien yang mengalami gangguan, dan para terapis dan pasien saling
bekerja sama untuk menangani masalah interpersonal tersebut
(Barlow, 1995).
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III. Cetakan pertama. Direktorat Jendral Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI. Jakarta
2. Pardamean Engelberta, Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka
Menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Diunduh dari :
http://www.idijakbar.com/prosiding/gangguan_somatoform.htm. Pada tanggal : 25
Maret 2011
3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Cetakan
pertama. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
4. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I, Media Aeusculapicus : FAkultas kedokteran UI.
Jakarta. Hal : 216 – 217
5. Yates William R,etc. Somatoform Disorder. Jul 15th 2010. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/294908 . Pada tanggal : 25 Maret 2011
6. Kaplan, B.J., Sadock, V.A. 2007, Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition.
Recommended