Upload
ikhwan-sopa
View
70
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
COACHABILITY MINDSET
さTエW HWゲデ ┘;┞ デラ IヴW;デW ;ミ┞ HヴW;ニデエヴラ┌ェエ キゲ ゲキマヮノ┞ デラ ノWデ キデ エ;ヮヮWミく C;ヴ; デWヴH;キニ ┌ミデ┌ニ menciptakan sebuah terobosan adalah dengan membolehkannya terjadi. Penghalang terbesar
antara kita yang hari ini dan kita yang kita inginkan ;S;ノ;エ Sキヴキ ニキデ; ゲWミSキヴキくざ
By:
Ikhwan Sopa
E.D.A.N. Coach
Coachability Trainer
http://coaching.qacomm.com
Coaching dapat dinyatakan sebagai "Membantu seseorang dengan pendampingan yang intinya
adalah memelihara tingkat kehendaknya akan sesuatu dan membangun interaksi dengannya
berbasis ciri-ciri dan tanda-tanda dan melanjutkannya dengan pembiaran-pembiaran positif."
Esensi coaching berkisar pada dua fenomena.
Pertama, coaching-coaching-an. Coaching adalah sebuah proses
yang dijalani oleh seseorang yang masih sering kucing-kucingan
dengan hidupnya sendiri. Ibarat seekor kucing, dia sehat wal-afiat,
full of resources and energy, confident, bernyawa sembilan,
berkuku tajam, terampil dan cekatan, menggemaskan, tapi sering
lebih memilih untuk molor seharian, menangkap tikus yang
sebenarnya untuk dimakan tapi malah dijadikan mainan, tiba-tiba
melompat atau nyelonong dan mampir kian kemari secara impulsif
dengan keceriaan, dan tidak jarang mengeong semalaman di
cabang pohon tinggi yang berhasil dipanjatnya tapi bingung
bagaimana harus turun dari sana.
Kedua, coach-coach hota hai. Bermakna "Some Things Happen". Coaching adalah proses fasilitasi
makhluk Tuhan yang sedang
berkehendak. Jika Tuhan yang Maha
Berkehendak berkehendak, maka Dia
cukup hanya berkata "Jadi!" maka
jadilah ia. Siapapun yang bukan Tuhan
dan menginginkan sesuatu terjadi dan
dirinya ingin menjadi, maka ia harus
berkomitmen dan memahami bahwa
ada banyak yang harus terjadi agar itu
terjadi, bagaimana itu terjadi, apa yang
harus terjadi, apa yang tidak boleh
terjadi sehingga sesuatu terjadi, apa yang harus terjadi sehingga sesuatu tidak terjadi. Apa yang
menjadikan dan apa yang tidak menjadikan. Semuanya agar sesuatu itu terjadi dan ia "menjadi".
Agar ia menjadi makhluk dengan potensi penuh dan tidak sekadar menjadi makhluk jadi-jadian
yang setengah jadi.
Coachability dapat dinyatakan sebagai "Tingkat kemudahan seseorang dalam menerima dan
menindaklanjuti masukan, bimbingan dan pengarahan."
Coaching vs. Training. Perbedaannya terletak pada goal dan target setting. Di dalam training, goal
dan target diset oleh trainer atau oleh materi training. Di dalam coaching, goal dan target diset
oleh coachee sendiri (pihak yang di-coach).
Coaching vs. Consulting. Di dalam konsultasi, konsultan adalah pihak yang dianggap expert dan
dibayar untuk advice profesionalnya. Di dalam coaching, coachee (pihak yang di-coach) adalah
pihak yang diposisikan paling mengerti keadaan dan situasi dirinya sendiri dan coach (pihak yang
meng-coach) dibayar untuk membantunya menyadari dan menguatkan pengertian-pengertian itu.
Coaching vs. Mentoring. Perbedaannya terletak pada cara perolehan knowledge dan skill.
Mentoring adalah proses transfer knowledge dan skill dari orang lain yang lebih expert, lebih
berpengalaman, lebih senior, menguasai atau memiliki knowledge dan skill yang tacit (tidak
mudah ditransfer kepada orang lain) di mana transfer itu dilakukan dengan relationship yang
intens dan bukan tidak mungkin menjadi hubungan seumur hidup. Coaching adalah proses
pengembangan knowledge dan skill dari dalam diri coachee (pihak yang di-coach) yang
berorientasi pada learn, unlearn, atau relearn demi penajaman, penguatan, breakthrough, atau
going out of comfort zone.
Coaching vs. Counselling. Perbedaannya ditentukan oleh status stamina dari coachee (pihak yang
di-coach). Jika ia berperforma sesuai rencana dan staminanya tetap mendukung maka proses
coaching berlanjut. Jika staminanya menurun atau melemah maka proses coaching bergeser
menjadi counseling.
Coaching vs. Therapy. Perbedaannya terletak pada wellbeingness status dari seseorang. Jika ia
sedang sakit (mental) maka yang dibutuhkannya adalah terapi. Jika ia sehat dan memiliki
kemampuan yang sesuai dengan tujuannya maka ia bisa menjalani coaching.
Coaching vs. Managing. Perbedaannya ada pada peran dan positioning dari pihak yang
mendampingi seseorang pada suatu saat. Jika positioning itu membentuk hirarki yang vertikal
maka ia sedang melaksanakan fungsi managing dan jika yang dibentuk adalah hubungan
kesetaraan maka ia sedang menjadi coach. Beruntunglah anda jika atasan anda berkata begini, "ini
masukan sebagai teman" dan beruntunglah anda jika membiasakan diri untuk bertanya "anda
sekarang sedang jadi boss saya atau sedang jadi teman?"
Coachability adalah pra-kondisi yang mewarnai keseluruhan proses coaching yang dapat
diseumpamakan seperti Presuppositions dalam NLP, Suggestibility dalam Hypnosis, atau Ground
Rules dalam sebuah Training.
It takes two to tango. Dalam coaching yang mengedepankan kemitraan dan kesetaraan, coach
(pihak yang meng-coach) dan coachee (pihak yang di-coach) sudah selayaknya memiliki skill yang
sepadan. Coach memerlukan coaching skill dan coachee memerlukan coachee skill. Jika anda
ingin menjadi coachee dari seorang coach dan ia memiliki otoritas untuk menolak atau menerima
anda berdasarkan tingkat coachabilitas anda, bagaimana caranya memperbesar peluang anda
untuk bisa berdansa bersamanya? Be coachable !
Coachability bagi seorang coach eksternal, secara etis dan secara profesional dapat dipersepsi
sebagai faktor yang menentukan keputusan "yes" atau "no" terkait deal coaching.
Di satu sisi, coaching adalah sebuah proses yang ketat waktu, sangat terstruktur, berorientasi pada
komitmen dan tindakan, dikendalikan oleh purpose, goal, target, dan berfokus sempit. Di sisi lain,
sesi coaching tidak terlalu mudah digelar karena berbagai kesibukan, alasan dan latar belakang
kedua pihak.
Jika seorang coach mendapati calon coacheenya ternyata bercoachabilitas rendah maka ia lebih
mungkin menolak deal coaching, sebab dengan semua karakteristik di atas, berhasil atau gagalnya
coaching adalah keberhasilan yang besar atau kegagalan yang besar (karena tujuan, waktu, dan
fokus yang sempit itu). High risk.
Bayangkan ini. Anda memerlukan coach dan anda ngebet dicoach oleh coach idola anda dan tidak
mau bercoaching ria dengan coach yang lain, sementara coach idola anda itu punya otoritas untuk
menolak anda karena faktor coachabilitas anda, bagaimana? Be coachable !
Dan bagi seorang coach internal, misalnya supervisor, leader, manager, dan bahkan kepala kantor
atau direktur yang dilekati fungsi coach, "yes / no" menjadi tidak berlaku bagi mereka karena
mereka tidak bisa dan tidak pantas menolak berinteraksi dengan bawahan, staf, atau timnya. Dan
tentu saja, sungguh tidak layak sekedar mengucilkan mereka. Terus bagaimana? Make them
coachable !
Bisa dikatakan coaching itu bukan barang yang baru paling tidak jika menilik sejarah elemen-
elemen yang membangun coaching skill. Misalnya saja, kita mengenal Socratic Questioning yang
sebutan ini langsung menjelaskan asal muasalnya. Bahkan, jika kita mempelajari Quran dan Hadits
tidak hanya dari sisi contentnya saja melainkan juga dari sisi strukturnya, kita akan menemukan
berbagai demonstrasi dari teknik-teknik coaching.
Misalnya, bagaimana cara Rasulullah SAW menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, bagaimana
Allah SWT mengajukan pertanyaan yang memprovokasi pikiran, bagaimana Allah SWT
membangun berbagai metafor yang benar-benar clean and clear, bagaimana Allah SWT dan
Rasulullah SAW sering menggunakan "the power of three", bagaimana Allah SWT dan Rasulullah
SAW mengurutkan poin-poin dengan meletakkan poin terkuat di depan atau di belakang
pertanyaan atau pernyataan, atau bagaimana Allah SWT memfirmankan statement yang mampu
mendesirkan hati dan menggetarkan dada.
Tingkat kesulitan proses coaching ditentukan setidaknya oleh sepuluh aspek di mana tempat
pertama (penyulit terbesar) diduduki oleh beliefs dan values dari coachee (pihak yang di-coach).
Menariknya, sebagai aspek yang bersifat profound dan paling besar magnitudenya, keberhasilan
menggeser limiting beliefs dan values menjadi bentuk-bentuk resources akan melejitkan
coachability factor seorang coachee. Dengan kata lain, jika beliefs dan values (calon) coachee
dikelola dengan baik maka ia akan menjadi lebih coachable atau bahkan sangat coachable. Berikut
ini contoh turn around-nya, menerapkan teknik produktivitas yang disebut piggy-backing.
Agama dan keyakinan spiritual adalah sistem beliefs dan values yang paling profound dan paling
besar magnitudenya. Maka, jika anda beragama Islam mulailah mempelajari adab guru (mursyid)
dan murid. Jika anda beragama Kristen mulailah mempelajari fenomena murid-murid Yesus. Jika
anda beragama Buddha mulailah mempelajari bagaimana murid-muridnya. Jika anda beragama
Kong Hu Cu mulailah belajar dari Confucius tentang bagaimana menjadi pembelajar. Jika anda
beragama Shinto mulailah menggali Zen untuk menemukan mutiara dan hikmah sebagai murid
kehidupan. Begitu seterusnya.
Faktor penyulit proses coaching yang kedua adalah karakter individu atau dalam bahasa yang
mudah, kepribadian. Memang tidak mudah, membangun hubungan kemitraan, kesetaraan dan
pendampingan yang melibatkan dua kepribadian yang berbeda, di mana kepribadian adalah
cerminan dan keluaran dari preferensi pola pikir, gaya belajar, dan pola komunikasi.
Anda bisa mendapatkan personality assessment dengan pendekatan dan teknik apapun untuk
mengetahui kepribadian anda (dan orang di sekitar anda termasuk calon coach anda). Anda dapat
memanfaatkan pendekatan yang populer atau yang akademik, misalnya Personality Plus, MBTI,
DISC atau DISCX, BMS, HBDI dan sebagainya. Memanfaatkan yang manapun, terkait tingkat
coachabilitas anda hanya ada dua traits yang perlu anda klarifikasi ada atau tidak ada dan dominan
atau tidak dominan di dalam diri anda. Dua hal itu diuraikan sebagai berikut.
Seseorang yang narsistik adalah yang paling tidak coachable sebab percaya diri mereka
melampaui tingkat kepercayaan mereka kepada orang lain. Menariknya, orang narsis justru
berpeluang besar untuk pandai dalam self-coaching. Perhatikanlah, rata-rata coach dan trainer
adalah mereka yang punya sisi narsis. Keberhasilan mereka sangat dipengaruhi oleh kemampuan
mereka dalam melakukan self-coaching. Mereka memiliki kecerdasan linguistik dan literasi yang di
atas rata-rata. Dengan kata lain, mereka memiliki kemampuan untuk meramu dan merumuskan
berbagai hal yang menuntut kemampuan berartikulasi. Mereka pandai bertanya dan sekaligus
pandai menjawab. Mereka juga, pandai mengelola peran.
Seseorang yang action bias adalah yang paling coachable. Orang seperti ini sangat berorientasi
pada tindakan sampai-sampai orientasi yang demikian kuat ini malah menjadi semacam bias
perilaku dalam dunia psikologi. Orang yang action bias akan selalu menuntut bahwa dalam situasi
apapun (termasuk minimnya data dan fakta) harus ada yang dia lakukan. Mereka tidak bisa hanya
duduk diam, mereka bisa "sakau". Ilmu terpenting mereka adalah ini: "Ngapain Kek".
Bacalah segala literatur tentang coaching dan bertanyalah kepada coach-coach yang handal,
berpengalaman dan memiliki jam terbang tinggi. Ketika sampai pada ciri-ciri, karakteristik atau
traits dari seseorang yang disebut sebagai "coachee ideal", maka nyaris setiap pointer akan
dimulai dengan frasa "willingness to..." Dalam satu kata, semua ciri-ciri, karakteristik dan traits itu
adalah "berkehendak" (baca lagi definisi coaching di atas). Coaching, adalah tentang nurturing
kehendak. Keep coachable !