Upload
trantram
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian
Definisi dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang
menentukan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”14
. Dari
definisi tersebut beberapa sarjana kurang menyetujui karena mengandung
beberapa kelemahan.
Menurut J. Satrio, Kata “perjanjian” secara umum mempunyai arti yang
luas dan sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang
menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki
oleh para pihak, termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian perkawinan dan
lain-lain.
Dalam arti sempit “perjanjian” disini hanya ditujukan kepada hubungan-
hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud
oleh Buku III KUHPerdata.15
Abdulkadir Muhammad juga menerangkan bahwa rumusan Pasal 1313
KUHPerdata mengandung beberapa kelemahan-kelemahan, yaitu16
:
1. Hanya menyangkut sepihak saja.
Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya
14 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit, hal. 338. 15 J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian (buku 1), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.28. 16 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, 1992, hal.78.
Universitas Sumatera Utara
16
hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.
Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus
antara pihak-pihak.
2. Kata perbuatan termasuk di dalamnya konsensus.
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan
tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum
(onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya
dipakai kata “persetujuan”.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut diatas terlalu luas, karena
mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam
lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara
debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang
dikehendaki oleh buku ketiga KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian
yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
4. Tanpa menyebutkan tujuan.
Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan
perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk
apa.
Pendapat dari Abdul Kadir Muhamad ini juga sama dengan Mariam Darus
Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa: Definisi
perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah tidak
lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya
mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat
Universitas Sumatera Utara
17
mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji
kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian
yang diatur dalam KUHPerdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam
KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain
dinilai dengan uang.17
Pendapat dari Gunawan Widjaja yang menyatakan bahwa rumusan dalam
Pasal 1313 KUHPerdata menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseroang
mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti timbul prestasi dari satu atau
lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas
prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi.18
Rumusan
tersebut memberikan konsekuensi bahwa dalam satu perjanjian akan selalu ada
dua pihak, dimana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur)
dan pihak lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur).
Gunawan Widjaja memberikan alasan lain bahwa Pasal 1313 KUHPerdata
tidak berdiri sendiri tetapi dikembangkan dengan Pasal 1314 KUHPerdata yang
menentukan bahwa :
“Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan.
Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang
satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa
menerima imbalan. Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu
persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu,
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.”
17 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, (1), Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hal. 65. 18 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.249.
Universitas Sumatera Utara
18
Pasal 1313 KUHPerdata dikembangkan dengan menyatakan bahwa atas
prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur dalam perjanjian tersebut dapat
meminta dilakukannya kontraprestasi dari lawan pihaknya tersebut.19
Dua rumusan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 dan 1314
KUHPerdata menentukan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan
perikatan yang bersifat sepihak (dimana satu pihak yang wajib berprestasi) dan
perikatan yang bertimbal balik (kedua belah pihak saling berprestasi).
Berdasarkan hal tersebut, dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari
satu perikatan dengan kewajiban yang saling bertimbal balik yakni debitur pada
satu sisi menjadi kreditur. Kewajiban yang saling bertimbal balik merupakan
karakterisik dari perikatan yang lahir dari perjanjian, sedangkan perikatan yang
lahir dari undang- undang, hanya ada satu pihak yang menjadi debitur dan pihak
lain yang menjadi kreditur yang berhak atas pelaksanaan prestasi debitur.20
Para sarjana mencoba menguraikan definisi dari perjanjian walaupun
terdapat kelemahan definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata.
Subekti berpendapat bahwa ”Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal”.21
Abdulkadir Muhammad mengartikan “Perjanjian adalah suatu persetujuan
dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan
suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.22
19 Loc.it. 20 Ibid hal.250. 21
Subekti (1), Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, 1987, hal.1. 22 Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hal.78.
Universitas Sumatera Utara
19
M. Yahya Harahap mengartikan “perjanjian maksudnya adalah hubungan
hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang
memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu
prestasi”.23
B. Asas-Asas Perjanjian
Asas-asas perjanjian dalam hukum perdata, yaitu :
1. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan
untuk lahirnya kesepakatan. Pengertian ini adalah tidak tepat, karena
maksud asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada
saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan
antara para pihak, maka lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum
dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya
kesepakatan oleh para pihak melahirkan hal dan kewajiban bagi mereka atau
biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni
melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.
Lahirnya perjanjian pada saat terjadinya kesepakatan tidak berlaku
bagi semua jenis kontrak, karena asas ini hanya berlaku terhadap kontrak
konsensual, sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riel tidak
berlaku, karena terhadap kontrak formal memerlukan formalitas tertentu
untuk lahirnya kontrak, sedangkan untuk kontrak riel, lahir pada saat
penyerahan barang yang menjadi objek kontrak.24
23 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6 24 Ahmadi Miru (2), Hukum Kontrak Bernuansa Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal.9.
Universitas Sumatera Utara
20
2. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat
penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sarjana
hukum biasanya didasarkan pada pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada
pasal 1320 KUHPerdata yang menerangkan syarat sahnya suatu perjanjian.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada
seseorang dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,
diantaranya:
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
c. Bebas menentukan isi atau klausula perjanjian;
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian;
e. Bebas menentukan hukum yang digunakan; dan
f. Kebebasan-kebebasan lainnya.
Kebebasan berkontrak ini tetap saja ada batasnya, yakni tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,
maupun kesusilaan. Larangan ini berlaku umum dalam hukum kontrak.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin
kebebasan seseorang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga
dari sifatnya buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang
mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya
Universitas Sumatera Utara
21
(mengenyampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang
sifatnya memaksa.
Walaupun banyak para ahli yang mendasarkan asas kebebasan
berkontrak pada pasal 1338 KUHPerdata, namun dalam pasal tersebut
sebenarnya paling tidak terdapat 3 (tiga) asas, yakni :
a. Pada kalimat “semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan
asas kebebasan berkontrak;
b. Pada kalimat “berlaku sebagai undang-undang” menunjukkan asas
kekuatan mengikat atau yang disebut asas pacta sunt servanda; dan
c. Pada kalimat “bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas
personalitas.
Walaupun demikian, kalimat tersebut merupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipenggal-penggal seperti tersebut diatas. Jadi pemenggalan
diatas hanya untuk melihat kandungan dari pasal tersebut.25
3. Asas mengikatnya kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Setiap orang yang membuat kontrak, maka dia terikat untuk
memenuhi kontrak tersebut, karena kontrak tersebut mengandung janji-janji
untuk untuk dipenuhi, dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana
mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
25 Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
22
Dengan demikian, apabila dicermati, maka asas mengikatnya kontrak,
dapat dilihat dari kalimat “berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”.26
Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum.
Karena substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, layaknya sebuah
undang-undang, selain itu pihak ketiga atau hakimpun tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak.27
4. Asas iktikad baik
Asas iktikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam
hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik. Sedangkan Arrest H. R. dinegeri belanda memberikan peranan
tertinggi terhadap iktikad baik dalam tahap pra perjanjian, bahkan kesesatan
ditempatkan dibawah asas iktikad baik tersebut, sehingga dalam
perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah
pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus ini membawa
akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus ini bertindak dengan
mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari para pihak lain. Bagi
masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk
mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak
lawan sebelum menandatangani kontrak, atau masing-masing pihak harus
26 Loc.cit. Hal.11. 27 Salim H.S (1), Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Hal.10.
Universitas Sumatera Utara
23
menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan
dengan iktikad baik.28
Dalam perjanjian asas iktikad baik sangat ditekankan pada tahap pra
perjanjian, akan tetapi secara umum iktikad baik harus selalu ada pada
setiap tahap perjanjian, sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat
diperhatikan oleh pihak lainnya.
Makna iktikad baik yang sebenarnya mengalami perkembangan ini
tentu melahirkan banyak pendapat, namun prasa iktikad baik ini biasanya
dipasangkan dengan fair dealing. Iktikad baik juga sering kali dihubungkan
dengan makna fairness, reasonable standard of fair dealing, decency,
reasonableness, a common ethical sense, a spirit of solidarity and
community standards.29
C. Syarat Sah Perjanjian
Secara umum suatu perjanjian lahir pada saat tercapainya kesepakatan oleh
para pihak. Akan tetapi kesepakatan saja tidaklah cukup untuk lahirnya suatu
perjanjian, karena ada persyaratan lainnya, sebagaimana diatur dalam pasal 1320
KUHPerdata yaitu : “untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
(3) Suatu hal tertentu;
28 Ahmadi Miru (2), Op.cit., Hal.12 29 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,2004, Hal.130.
Universitas Sumatera Utara
24
(4) Suatu sebab yang halal.”30
1. Kesepakatan kedua belah pihak
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau
konsensus para pihak. Kesepakatan diatur dalam pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata. Kesepakatan adalah kesesuain pernyataan kehendak antara
satu orang atau lebih de ngan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah
pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.
Ada 5 cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu:
a. bahasa yang sempurna dan tertulis;
b. bahasa yang sempurna secara lisan;
c. bahasa yang tidak sempurna asal dimengerti pihak lawan. Karena
dalam kenyataanya sering sekali seseorang menyampaikan dengan
bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
d. bahasa isyarat asal dapat diterima pihak lawannya; dan
e. diam atau membisu tetapi asal dipahami/diterima pihak lawan.
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak
yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan tulisan. Tujuan
pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian
hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul
sengketa dikemudian hari.31
Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan
diri, terdapat beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan
30 Ahmadi Miru (2), Op.cit., Hal.25. 31 Salim H.S. (1), Op.Cit, hal.24
Universitas Sumatera Utara
25
cacat pada kesepakatan tersebut yang dicantumkan dalam Pasal 1321 KUH
Perdata yang berbunyi: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau
penipuan.”32
Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian dikatakan tidak
memenuhi syarat kesepakatan kehendak apabila terdapat unsur-unsur antara
lain :
1) Kekhilafan
Masalah kekhilafan diatur dalam pasal 1322 KUHPerdata yang
berbunyi :
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian,
kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang
menjadi pokok perjanjian.
Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu
hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang
bermaksud untuk berbuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu
dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.”
Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan pasal 1322
KUHPerdata yaitu :
a) kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian
b) ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan
perjanjian karena kekhilafan mengenai:
(1) hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya ;
(2) orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat.
32 Mariam Darus Badrulzaman (2), KUH Perdata Buku III (Hukum Perikatan dengan Penjelasan), Alumni, Bandung, 1993, hal. 99
Universitas Sumatera Utara
26
Hal pertama adalah prinsip umum yang harus dipegang, diikuti
dan ditaati. Hal kedua merupakan pengecualian atau penyimpangan,
yang dibatasi alasannya. Dari kedua alasan tersebut, alasan kedua
lebih mudah dimengerti dari alasan kedua.33
2) Paksaan
Pada pasal 1323 KUHPerdata menyatakan bahwa ”paksaan yang
dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian
mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila
paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga, untuk kepentingan siapa
perjanjian tersebut tidak telah dibuat.”
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, yang dimaksud dengan
paksaan ialah: kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka
rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang
menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat
perjanjian. Jadi, bukanlah paksaan dalam arti absolut, misalnya
seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang yang lebih
lemah dan membuat ia mencantumkan tanda tangan pada sebuah
perjanjian sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali
tidak terjadi.34
3) Penipuan
Penipuan diatur dalam pasal 1328 KUHPerdata yaitu:
“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu
perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu
adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata bahwa pihak
33 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian), Raja Grafindo Persada, Jakarta,2003. Hal.105 34 Mariam Darus Badrulzaman (1), Op.cit., hal. 76.
Universitas Sumatera Utara
27
yang lain tidah telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan
tipu muslihat tersebut.
Penipuan tidak dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan.”
Melalui rumusan pasal 1328 KUHPerdata tersebut menjelaskan
bahwa penipuan berbeda dengan kekhilafan, penipuan melibatkan
unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian, untuk
mengelabui pihak lawannya, sehingga pihak pihak yang terakhir ini
memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang
dibuat diantara mereka.35
2. Kecakapan bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaiman ditentukan oleh undang-
undang. Orang cakap atau yang mempunyai wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan
adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak
berwenang melakukan perbuatan hukum adalah
a. Anak dibawah umur (minderjarigheid);
b. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan; dan
c. Istri (pasal 1330 KUHPerdata).
35 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit. hal.126
Universitas Sumatera Utara
28
Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan
hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 jo SEMA Nomor 3 tahun 1963.36
3. Adanya suatu hal tertentu (Een Bepaald Onderwerp)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal
tertentu, dengan memberikan rumusan dalam pasal 1333 KUHPerdata, yang
berbunyi:
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu
kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja
jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”
Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang
yang telah ditentukan jenisnya” tampaknya KUHPerdata hanya menekanka
pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun jika
diperhatikan lebih lanjut, rumusan; tersebut hendak menegaskan kepada kita
bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUHPerdata
hendak menjelaskan bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan
keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan tertentu.37
4. Tentang sebab yang halal
Pada pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian orzaak
(causa yang halal). Namun dalam pasal 1337 KUHPerdata disebutkan sebab
36 Salim H.S. (1), Op.Cit, hal.24. 37 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit. hal.155.
Universitas Sumatera Utara
29
atau causa yang terlarang adalah apabila bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum.38
Dengan adanya pasal 1337 KUHPerdata suatu sebab yang halal adalah
prestasi dalam perjanjian yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan
atau dipenuhi oleh para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan
tersebut, maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak pernah ada
diantara para pihak. Lagi pula adanya causa yang tidak halal hanya akan
menghapuskan unsur Haftung dalam perikatan yang terbentuk, sehingga
menjadikannya sebagai perikatan alamiah. Dengan ini berarti kreditur yang
belum dipenuhi haknya tidak dapat memaksakan pelaksanaan kewajiban
debitor yang belum dipenuhi tanpa kehilangan unsur kewajiban (schuld)
pada diri debitur itu sendiri.39
Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena
menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat
ketiga dan keempat desebut syarat objektif, karena menyangkut objek
perjanjian.
Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu
dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan kapada
pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya. Akan
tetapi, apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap
dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu
38 Salim H.S. (1), Op.Cit, hal.25. 39 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit. hal.164.
Universitas Sumatera Utara
30
batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak
pernah ada.40
D. Jenis-Jenis Perjanjian
Menurut Satrio jenis-jenis perjanjian dibagi dalam beberapa jenis
perjanjian,41
yaitu :
1. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban
a. Perjanjian cuma-cuma
Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan
dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada
pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
Contohnya : hibah, pinjam pakai cuma-cuma, pinjam mengganti
cuma-cuma penitipan barang cuma-cuma.
b. Perjanjian atas beban
Persetujuan atas beban menurut undang-undang adalah
persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu atau berbuat sesuatu.
2. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
a. Perjanjian sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbualkan
kewajiban pada satu pihak saja (terhadap lawan janjinya), sedangkan
pada pihak lain hanya ada hak saja. Contohnya hibah, perjanjian kuasa
40 Salim H.S. (1), Op.Cit, hal.24. 41 J. Satrio. Op.Cit, hal.37.
Universitas Sumatera Utara
31
tanpa upah, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, pinjam mengganti
cuma-cuma penitipan barang cuma-cuma.
b. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik sering kali juga disebut perjanjian
bilateral (sebenarnya bisa disebut juga perjanjian dua pihak).
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan
kewajiban-kewajiban (karena adanya hak juga) kepada kedua belah
pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan
lainnya. Contohnya jual-beli, sewa-menyewa dan tukar-menukar.
3. Perjanjian konsensuil, perjanjian riil dan perjanjian formil
a. Perjanjian konsensuil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana adanya kata
sepakat antara para pihak saja sudah cukup timbulnya perjanjian yang
bersangkutan.
b. Perjanjian riil
Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi, kalau barang
yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan. Contohnya utang
piutang, pinjam pakai dan penitipan barang.
c. Perjanjian formil
Disamping adanya perjanjian yang konsensuil, ada kalanya
undang-undang mensyaratkan disamping sepakat, juga penuangan
perjanjian dalam suatu bentuk atau disertai dengan formalitas tertentu.
Contohnya perjanjian kawin, perjanjian pemberian kuasa untuk
memasang hipotik dan perjanjian perseroan terbatas.
Universitas Sumatera Utara
32
4. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama
Pasal 1319 KUHPerdata menyebutkan dua kelompok perjanjian, yaitu
perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus kita sebut
perjanjian bernama (benioemde atau nominaatcontracten) dan perjanjian
yang dalam undang-undang tak dikenal dengan suatu nama tertentu yang
kita sebut perjanjian tidak bernama (onbenioemde atau
innominaatcontracten).
Nama yang dimaksud adalah nama-nama yang diberikan oleh undang-
undang, seperti jual beli, sewa-menyewa, perjanjian pemborongan,
perjanjian wessel, perjanjian asuransi dan lain-lainnya.
Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah beberapa perjanjian yang
didalam kehidupan sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu, tetapi
tidak diatur didalam undang-undang, setidak-tidaknya di Indonesia belum
diberikan pengaturan secara khusus. Contohnya perjanjian sewa-beli,
fiducia dan lain-lain.
Disamping itu masih juga dikenal perjanjian-perjanjian yang diatur
secara khusus didalam undang-undang tetapi didalam prakteknya
mempunyai nama sendiri, yang unsur-unsurnya mirip atau sama dengan
unsur-unsur beberapa perjanjian bernama, tetapi terjalin menjadi satu
sedemikian rupa, sehingga perjanjian yang demikian itu tak dapat dipisah-
pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri-sendiri. Contohnya adalah
perjanjian indekos antara anak kos dengan pemilik kos.
5. Perjanjian-perjanjian lainnya
a. Perjanjian liberator
Universitas Sumatera Utara
33
Perjanjian liberator adalah perjanjian yang membebaskan orang
dari keterikatannya dari suatu kewajiban tertentu. Jadi perjanjian
liberator atau perjanjian yang menghapus perikatan yaitu perjanjian
antara dua pihak yang maksud isinya adalah untuk menghapus
perikatan yang ada diantara mereka.
b. Perjanjian yang bersifat hukum keluarga
Perkawinan sebenarnya juga merupakan suatu perjanjian, karena
didasarkan atas kata sepakat dan menimbulkan hak dan kewajiban
ikatan lahir batin, tetapi perjanjian tersebut hanya mempunyai akibat
hukum keluarga saja dan hak serta kewajiban tersebut ada diluar
hukum kekayaan, kecuali yang ada dalam lapangan hukum harta
perkawinan.
c. Perjanjian kebendaan
Perjanjian ini bermaksud untuk mengoperasikan / mengalihkan
benda (hak atas benda), disamping itu untuk menimbulkan, mengubah
atau menghapuskan hak-hak kebendaan. Contoh perjanjian kebendaan
perjanjian cassie.
d. Perjanjian pembuktian
Perjanjian pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak
menetapkan alat-alat bukti apa yang dapat (atau dilarang) digunakan
dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak. Didalamnya dapat
pula ditetapkan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang akan
diberikan oleh para pihak terhadap suatu alat bukti tertentu. Dengan
Universitas Sumatera Utara
34
demikian dalam perjanjian pembuktian diatur kedudukan hukum
pembuktian (bewijsrechtelijke positie) bagi para pihak.
e. Perjanjian untuk menetapkan kedudukan hukum
Dalam perjanjian yang demikian para pihak sepakat untuk
menetapkan dan mengakui kedudukan hukum masing-masing pihak.
Disini tidak ada maksud pada para pihak untuk menciptakan hak-hak
atau kewajiban-kewajiban baru. Ia dimaksudkan untuk menghapuskan
ketidakpastian mengenai adanya atau isinya suatu hubungan hukum
(hak-hak atau kewajiban masing-masing pihak).
Perjanjian seperti ini bersifat deklaratif, karena ia hanya
menetapkan/manegaskan saja. Jadi tidak bersifat mengadakan/
menimbulkan sesuatu yang baru dan karena ada yang berpendapat,
bahwa perjanjian seperti itu bukan perjanjian seperti yang
dimaksudkan dalam pasal 1313 KUHPerdata. Namun H.R mengakui
perjanjian seperti itu dan sepanjanga memungkinkan, menerapkan
ketentuan-ketentuan umum tentang perjanjian.
Salim H.S. memaparkan jenis perjanjian dengan cara yang sedikit berbeda.
Salim H.S di dalam bukunya menyebutkan bahwa jenis kontrak atau perjanjian
adalah 42
:
1. Kontrak menurut sumber hukumnya
Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan
kontrak yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Perjanjian
(kontrak) dibagi jenisnya menjadi lima macam, yaitu:
42 Salim H.S (1), Op.Cit, hal.17.
Universitas Sumatera Utara
35
a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya
perkawinan;
b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan
dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;
c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan
bewijsovereenkomst;
e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan
publieckrechtelijke overeenkomst;
2. Kontrak menurut namanya
Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di
dalam Pasal 1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal
1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua macam
kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak
innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal
dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual
beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan
barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan
utang, perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang
timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum
dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak innominat
adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak
karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain. Namun, Vollmar
mengemukakan kontrak jenis yang ketiga antara bernama dan tidak
Universitas Sumatera Utara
36
bernama, yaitu kontrak campuran. Kontrak campuran yaitu kontrak atau
perjanjian yang tidak hanya diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian)
sebagaimana yang terdapat dalam title I, II, dan IV karena kekhilafan, title
yang terakhir ini (title IV) tidak disebut oleh Pasal 1355 NBW, tetapi
terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan khusus untuk sebagian
menyimpang dari ketentuan umum. Contoh kontrak campuran, pengusaha
sewa rumah penginapan (hotel) menyewakan kamar-kamar (sewa
menyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual beli), dan menyediakan
pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa). Kontrak campuran
disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu ketentuan-ketentuan yang
mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara analogi
(Arrest HR 10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi
(absorptietheorie), artinya diterapkanlah peraturan perundang-undangan
dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang
paling menonjol, sedangkan dalam tahun 1947 Hoge Raad menyatakan diri
(HR, 21 Februari 1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi.
3. Kontrak menurut bentuknya
Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang
bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang
tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan
adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan
lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan
adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam
Universitas Sumatera Utara
37
golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Pembedaan ini diilhami
dari hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan
adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan
juga harus didasarkan atas penyerahkan nyata dari suatu benda. Perjanjian
konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para
pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan
dilaksanakan secara nyata.
Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak
dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang
harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata). Kontrak ini
dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan
akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak.
Akta yang dibuat oleh notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita
acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang
dibuat di hadapan notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di
hadapan notaris. Di samping itu, dikenal juga pembagian menurut
bentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian standar merupakan
perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk formulir.
4. Kontrak timbal balik
Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak
timbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan
hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan
sewamenyewa. Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu
timbal balik tidak sempurna dan yang sepihak.
Universitas Sumatera Utara
38
a. Kontrak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok
bagi satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini
tampak ada prestasi-prestasi seimbang satu sama lain. Misalnya, si
penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk melaksanakan pesan
yang dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan. Apabila si
penerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut
telah mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah,
maka pemberi pesan harus menggantinya.
b. Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan
kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah
perjanjian pinjam mengganti. Pentingnya pembedaan di sini adalah
dalam rangka pembubaran perjanjian.
5. Perjanjian cuma-cuma atau dengan alas hak yang membebani
Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan
adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan
perjanjian, yang menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagi
salah satu pihak. Contohnya, hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan
perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian,
disamping prestasi pihak yang satu senantiasa ada prestasi (kontra) dari
pihak lain, yang menurut hukum saling berkaitan. Misalnya, A menjanjikan
kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu
pula kepada A.
Universitas Sumatera Utara
39
6. Perjanjian berdasarkan sifatnya
Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang
ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya
dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke
overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu
perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal
demikian untuk memenuhi perikatan. Contoh perjanjian ini adalah
perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik. Sedangkan
perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban
dari para pihak.
Disamping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu
perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan
perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, baik kepada
individu maupun pada lembaga perbankan. Sedangkan perjanjian accesoir
merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak
tanggungan atau fidusia.
7. Perjanjian dari aspek larangannya
Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan
penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak
untuk membuat perjanjian yang bertentang dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Universitas Sumatera Utara
40
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang
dilarang dibagi menjadi tiga belas jenis, sebagaimana disajikan berikut ini.
a. Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjian
ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan tidak sehat.
b. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas
suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggaran pada pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari
ketentuan ini adalah
1) Suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan; dan
2) Suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang
berlaku.
c. Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara
pelaku-pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda.
d. Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang
dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga yang berada di bawah harga pasar, perjanjian ini
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Universitas Sumatera Utara
41
e. Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat
antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat
persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual
atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya.
Tindakan ini dilakukan dengan harga yang lebih rendah daripada
harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
f. Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara
pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan
atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
g. Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang
dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
mengahalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usah yang sama,
baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
h. Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
i. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan
membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar,
Universitas Sumatera Utara
42
dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
masing-masing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk
mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa,
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
j. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku
usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-
sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat
mengendalikan harga atas barang dan atau jas dalam pasar yang
bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
k. Perjanjian integrasi vertikal, perjanjian yang dibuat antara pelaku
usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai
produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan/atau jasa tertentu. Setiap rangkaian produksi itu
merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau
merugikan masyarakat.
l. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang
menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang
dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau pada tempat tertentu.
Universitas Sumatera Utara
43
m. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat
antara pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
atau persaingan tidak sehat.
Dari berbagai perjanjian yang dipaparkan di atas, menurut Salim H.S, jenis
atau pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu
kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah
perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun
dari aspek hak dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah
perjanjian konsensual, obligator dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara