29
15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Definisi dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menentukan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” 14 . Dari definisi tersebut beberapa sarjana kurang menyetujui karena mengandung beberapa kelemahan. Menurut J. Satrio, Kata “perjanjian” secara umum mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki oleh para pihak, termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian perkawinan dan lain-lain. Dalam arti sempit “perjanjian” disini hanya ditujukan kepada hubungan - hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III KUHPerdata. 15 Abdulkadir Muhammad juga menerangkan bahwa rumusan Pasal 1313 KUHPerdata mengandung beberapa kelemahan-kelemahan, yaitu 16 : 1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya 14 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit, hal. 338. 15 J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian (buku 1) , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.28. 16 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, 1992, hal.78. Universitas Sumatera Utara

15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

15

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Definisi dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang

menentukan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”14

. Dari

definisi tersebut beberapa sarjana kurang menyetujui karena mengandung

beberapa kelemahan.

Menurut J. Satrio, Kata “perjanjian” secara umum mempunyai arti yang

luas dan sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang

menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki

oleh para pihak, termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian perkawinan dan

lain-lain.

Dalam arti sempit “perjanjian” disini hanya ditujukan kepada hubungan-

hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud

oleh Buku III KUHPerdata.15

Abdulkadir Muhammad juga menerangkan bahwa rumusan Pasal 1313

KUHPerdata mengandung beberapa kelemahan-kelemahan, yaitu16

:

1. Hanya menyangkut sepihak saja.

Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya

14 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit, hal. 338. 15 J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian (buku 1), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.28. 16 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, 1992, hal.78.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

16

hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.

Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus

antara pihak-pihak.

2. Kata perbuatan termasuk di dalamnya konsensus.

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan

tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum

(onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya

dipakai kata “persetujuan”.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut diatas terlalu luas, karena

mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam

lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara

debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang

dikehendaki oleh buku ketiga KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian

yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

4. Tanpa menyebutkan tujuan.

Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan

perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk

apa.

Pendapat dari Abdul Kadir Muhamad ini juga sama dengan Mariam Darus

Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa: Definisi

perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah tidak

lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya

mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 3: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

17

mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji

kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian

yang diatur dalam KUHPerdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam

KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain

dinilai dengan uang.17

Pendapat dari Gunawan Widjaja yang menyatakan bahwa rumusan dalam

Pasal 1313 KUHPerdata menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseroang

mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti timbul prestasi dari satu atau

lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas

prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi.18

Rumusan

tersebut memberikan konsekuensi bahwa dalam satu perjanjian akan selalu ada

dua pihak, dimana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur)

dan pihak lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur).

Gunawan Widjaja memberikan alasan lain bahwa Pasal 1313 KUHPerdata

tidak berdiri sendiri tetapi dikembangkan dengan Pasal 1314 KUHPerdata yang

menentukan bahwa :

“Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan.

Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang

satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa

menerima imbalan. Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu

persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu,

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.”

17 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, (1), Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hal. 65. 18 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.249.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

18

Pasal 1313 KUHPerdata dikembangkan dengan menyatakan bahwa atas

prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur dalam perjanjian tersebut dapat

meminta dilakukannya kontraprestasi dari lawan pihaknya tersebut.19

Dua rumusan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 dan 1314

KUHPerdata menentukan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan

perikatan yang bersifat sepihak (dimana satu pihak yang wajib berprestasi) dan

perikatan yang bertimbal balik (kedua belah pihak saling berprestasi).

Berdasarkan hal tersebut, dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari

satu perikatan dengan kewajiban yang saling bertimbal balik yakni debitur pada

satu sisi menjadi kreditur. Kewajiban yang saling bertimbal balik merupakan

karakterisik dari perikatan yang lahir dari perjanjian, sedangkan perikatan yang

lahir dari undang- undang, hanya ada satu pihak yang menjadi debitur dan pihak

lain yang menjadi kreditur yang berhak atas pelaksanaan prestasi debitur.20

Para sarjana mencoba menguraikan definisi dari perjanjian walaupun

terdapat kelemahan definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata.

Subekti berpendapat bahwa ”Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang

berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal”.21

Abdulkadir Muhammad mengartikan “Perjanjian adalah suatu persetujuan

dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan

suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.22

19 Loc.it. 20 Ibid hal.250. 21

Subekti (1), Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, 1987, hal.1. 22 Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hal.78.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

19

M. Yahya Harahap mengartikan “perjanjian maksudnya adalah hubungan

hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang

memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu

prestasi”.23

B. Asas-Asas Perjanjian

Asas-asas perjanjian dalam hukum perdata, yaitu :

1. Asas konsensualisme

Asas konsensualisme, sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan

untuk lahirnya kesepakatan. Pengertian ini adalah tidak tepat, karena

maksud asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada

saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan

antara para pihak, maka lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum

dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya

kesepakatan oleh para pihak melahirkan hal dan kewajiban bagi mereka atau

biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni

melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.

Lahirnya perjanjian pada saat terjadinya kesepakatan tidak berlaku

bagi semua jenis kontrak, karena asas ini hanya berlaku terhadap kontrak

konsensual, sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riel tidak

berlaku, karena terhadap kontrak formal memerlukan formalitas tertentu

untuk lahirnya kontrak, sedangkan untuk kontrak riel, lahir pada saat

penyerahan barang yang menjadi objek kontrak.24

23 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6 24 Ahmadi Miru (2), Hukum Kontrak Bernuansa Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal.9.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

20

2. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat

penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sarjana

hukum biasanya didasarkan pada pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa

semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada

pasal 1320 KUHPerdata yang menerangkan syarat sahnya suatu perjanjian.

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada

seseorang dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,

diantaranya:

a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;

c. Bebas menentukan isi atau klausula perjanjian;

d. Bebas menentukan bentuk perjanjian;

e. Bebas menentukan hukum yang digunakan; dan

f. Kebebasan-kebebasan lainnya.

Kebebasan berkontrak ini tetap saja ada batasnya, yakni tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,

maupun kesusilaan. Larangan ini berlaku umum dalam hukum kontrak.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin

kebebasan seseorang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga

dari sifatnya buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang

mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya

Universitas Sumatera Utara

Page 7: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

21

(mengenyampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang

sifatnya memaksa.

Walaupun banyak para ahli yang mendasarkan asas kebebasan

berkontrak pada pasal 1338 KUHPerdata, namun dalam pasal tersebut

sebenarnya paling tidak terdapat 3 (tiga) asas, yakni :

a. Pada kalimat “semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan

asas kebebasan berkontrak;

b. Pada kalimat “berlaku sebagai undang-undang” menunjukkan asas

kekuatan mengikat atau yang disebut asas pacta sunt servanda; dan

c. Pada kalimat “bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas

personalitas.

Walaupun demikian, kalimat tersebut merupakan suatu kesatuan yang

tidak dapat dipenggal-penggal seperti tersebut diatas. Jadi pemenggalan

diatas hanya untuk melihat kandungan dari pasal tersebut.25

3. Asas mengikatnya kontrak (Pacta Sunt Servanda)

Setiap orang yang membuat kontrak, maka dia terikat untuk

memenuhi kontrak tersebut, karena kontrak tersebut mengandung janji-janji

untuk untuk dipenuhi, dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana

mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

25 Loc.cit

Universitas Sumatera Utara

Page 8: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

22

Dengan demikian, apabila dicermati, maka asas mengikatnya kontrak,

dapat dilihat dari kalimat “berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya”.26

Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum.

Karena substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, layaknya sebuah

undang-undang, selain itu pihak ketiga atau hakimpun tidak boleh

melakukan intervensi terhadap substansi kontrak.27

4. Asas iktikad baik

Asas iktikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam

hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam pasal

1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan

iktikad baik. Sedangkan Arrest H. R. dinegeri belanda memberikan peranan

tertinggi terhadap iktikad baik dalam tahap pra perjanjian, bahkan kesesatan

ditempatkan dibawah asas iktikad baik tersebut, sehingga dalam

perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah

pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus ini membawa

akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus ini bertindak dengan

mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari para pihak lain. Bagi

masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk

mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak

lawan sebelum menandatangani kontrak, atau masing-masing pihak harus

26 Loc.cit. Hal.11. 27 Salim H.S (1), Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Hal.10.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

23

menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan

dengan iktikad baik.28

Dalam perjanjian asas iktikad baik sangat ditekankan pada tahap pra

perjanjian, akan tetapi secara umum iktikad baik harus selalu ada pada

setiap tahap perjanjian, sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat

diperhatikan oleh pihak lainnya.

Makna iktikad baik yang sebenarnya mengalami perkembangan ini

tentu melahirkan banyak pendapat, namun prasa iktikad baik ini biasanya

dipasangkan dengan fair dealing. Iktikad baik juga sering kali dihubungkan

dengan makna fairness, reasonable standard of fair dealing, decency,

reasonableness, a common ethical sense, a spirit of solidarity and

community standards.29

C. Syarat Sah Perjanjian

Secara umum suatu perjanjian lahir pada saat tercapainya kesepakatan oleh

para pihak. Akan tetapi kesepakatan saja tidaklah cukup untuk lahirnya suatu

perjanjian, karena ada persyaratan lainnya, sebagaimana diatur dalam pasal 1320

KUHPerdata yaitu : “untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

(3) Suatu hal tertentu;

28 Ahmadi Miru (2), Op.cit., Hal.12 29 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,2004, Hal.130.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

24

(4) Suatu sebab yang halal.”30

1. Kesepakatan kedua belah pihak

Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau

konsensus para pihak. Kesepakatan diatur dalam pasal 1320 ayat (1)

KUHPerdata. Kesepakatan adalah kesesuain pernyataan kehendak antara

satu orang atau lebih de ngan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah

pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.

Ada 5 cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu:

a. bahasa yang sempurna dan tertulis;

b. bahasa yang sempurna secara lisan;

c. bahasa yang tidak sempurna asal dimengerti pihak lawan. Karena

dalam kenyataanya sering sekali seseorang menyampaikan dengan

bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

d. bahasa isyarat asal dapat diterima pihak lawannya; dan

e. diam atau membisu tetapi asal dipahami/diterima pihak lawan.

Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak

yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan tulisan. Tujuan

pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian

hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul

sengketa dikemudian hari.31

Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan

diri, terdapat beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan

30 Ahmadi Miru (2), Op.cit., Hal.25. 31 Salim H.S. (1), Op.Cit, hal.24

Universitas Sumatera Utara

Page 11: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

25

cacat pada kesepakatan tersebut yang dicantumkan dalam Pasal 1321 KUH

Perdata yang berbunyi: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu

diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau

penipuan.”32

Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian dikatakan tidak

memenuhi syarat kesepakatan kehendak apabila terdapat unsur-unsur antara

lain :

1) Kekhilafan

Masalah kekhilafan diatur dalam pasal 1322 KUHPerdata yang

berbunyi :

“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian,

kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang

menjadi pokok perjanjian.

Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu

hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang

bermaksud untuk berbuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu

dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.”

Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan pasal 1322

KUHPerdata yaitu :

a) kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian

b) ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan

perjanjian karena kekhilafan mengenai:

(1) hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak

sesuai dengan keadaan yang sebenarnya ;

(2) orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat.

32 Mariam Darus Badrulzaman (2), KUH Perdata Buku III (Hukum Perikatan dengan Penjelasan), Alumni, Bandung, 1993, hal. 99

Universitas Sumatera Utara

Page 12: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

26

Hal pertama adalah prinsip umum yang harus dipegang, diikuti

dan ditaati. Hal kedua merupakan pengecualian atau penyimpangan,

yang dibatasi alasannya. Dari kedua alasan tersebut, alasan kedua

lebih mudah dimengerti dari alasan kedua.33

2) Paksaan

Pada pasal 1323 KUHPerdata menyatakan bahwa ”paksaan yang

dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian

mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila

paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga, untuk kepentingan siapa

perjanjian tersebut tidak telah dibuat.”

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, yang dimaksud dengan

paksaan ialah: kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka

rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang

menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat

perjanjian. Jadi, bukanlah paksaan dalam arti absolut, misalnya

seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang yang lebih

lemah dan membuat ia mencantumkan tanda tangan pada sebuah

perjanjian sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali

tidak terjadi.34

3) Penipuan

Penipuan diatur dalam pasal 1328 KUHPerdata yaitu:

“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu

perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu

adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata bahwa pihak

33 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian), Raja Grafindo Persada, Jakarta,2003. Hal.105 34 Mariam Darus Badrulzaman (1), Op.cit., hal. 76.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

27

yang lain tidah telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan

tipu muslihat tersebut.

Penipuan tidak dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan.”

Melalui rumusan pasal 1328 KUHPerdata tersebut menjelaskan

bahwa penipuan berbeda dengan kekhilafan, penipuan melibatkan

unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian, untuk

mengelabui pihak lawannya, sehingga pihak pihak yang terakhir ini

memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang

dibuat diantara mereka.35

2. Kecakapan bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk

melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan

menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan

perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang

untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaiman ditentukan oleh undang-

undang. Orang cakap atau yang mempunyai wewenang untuk melakukan

perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan

adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak

berwenang melakukan perbuatan hukum adalah

a. Anak dibawah umur (minderjarigheid);

b. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan; dan

c. Istri (pasal 1330 KUHPerdata).

35 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit. hal.126

Universitas Sumatera Utara

Page 14: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

28

Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan

hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 jo SEMA Nomor 3 tahun 1963.36

3. Adanya suatu hal tertentu (Een Bepaald Onderwerp)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal

tertentu, dengan memberikan rumusan dalam pasal 1333 KUHPerdata, yang

berbunyi:

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu

kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja

jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang

yang telah ditentukan jenisnya” tampaknya KUHPerdata hanya menekanka

pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun jika

diperhatikan lebih lanjut, rumusan; tersebut hendak menegaskan kepada kita

bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUHPerdata

hendak menjelaskan bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan

keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan tertentu.37

4. Tentang sebab yang halal

Pada pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian orzaak

(causa yang halal). Namun dalam pasal 1337 KUHPerdata disebutkan sebab

36 Salim H.S. (1), Op.Cit, hal.24. 37 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit. hal.155.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

29

atau causa yang terlarang adalah apabila bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum.38

Dengan adanya pasal 1337 KUHPerdata suatu sebab yang halal adalah

prestasi dalam perjanjian yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan

atau dipenuhi oleh para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan

tersebut, maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak pernah ada

diantara para pihak. Lagi pula adanya causa yang tidak halal hanya akan

menghapuskan unsur Haftung dalam perikatan yang terbentuk, sehingga

menjadikannya sebagai perikatan alamiah. Dengan ini berarti kreditur yang

belum dipenuhi haknya tidak dapat memaksakan pelaksanaan kewajiban

debitor yang belum dipenuhi tanpa kehilangan unsur kewajiban (schuld)

pada diri debitur itu sendiri.39

Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena

menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat

ketiga dan keempat desebut syarat objektif, karena menyangkut objek

perjanjian.

Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu

dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan kapada

pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya. Akan

tetapi, apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap

dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu

38 Salim H.S. (1), Op.Cit, hal.25. 39 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit. hal.164.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

30

batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak

pernah ada.40

D. Jenis-Jenis Perjanjian

Menurut Satrio jenis-jenis perjanjian dibagi dalam beberapa jenis

perjanjian,41

yaitu :

1. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

a. Perjanjian cuma-cuma

Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan

dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada

pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

Contohnya : hibah, pinjam pakai cuma-cuma, pinjam mengganti

cuma-cuma penitipan barang cuma-cuma.

b. Perjanjian atas beban

Persetujuan atas beban menurut undang-undang adalah

persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu atau berbuat sesuatu.

2. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik

a. Perjanjian sepihak

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbualkan

kewajiban pada satu pihak saja (terhadap lawan janjinya), sedangkan

pada pihak lain hanya ada hak saja. Contohnya hibah, perjanjian kuasa

40 Salim H.S. (1), Op.Cit, hal.24. 41 J. Satrio. Op.Cit, hal.37.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

31

tanpa upah, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, pinjam mengganti

cuma-cuma penitipan barang cuma-cuma.

b. Perjanjian timbal balik

Perjanjian timbal balik sering kali juga disebut perjanjian

bilateral (sebenarnya bisa disebut juga perjanjian dua pihak).

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan

kewajiban-kewajiban (karena adanya hak juga) kepada kedua belah

pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan

lainnya. Contohnya jual-beli, sewa-menyewa dan tukar-menukar.

3. Perjanjian konsensuil, perjanjian riil dan perjanjian formil

a. Perjanjian konsensuil

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana adanya kata

sepakat antara para pihak saja sudah cukup timbulnya perjanjian yang

bersangkutan.

b. Perjanjian riil

Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi, kalau barang

yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan. Contohnya utang

piutang, pinjam pakai dan penitipan barang.

c. Perjanjian formil

Disamping adanya perjanjian yang konsensuil, ada kalanya

undang-undang mensyaratkan disamping sepakat, juga penuangan

perjanjian dalam suatu bentuk atau disertai dengan formalitas tertentu.

Contohnya perjanjian kawin, perjanjian pemberian kuasa untuk

memasang hipotik dan perjanjian perseroan terbatas.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

32

4. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama

Pasal 1319 KUHPerdata menyebutkan dua kelompok perjanjian, yaitu

perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus kita sebut

perjanjian bernama (benioemde atau nominaatcontracten) dan perjanjian

yang dalam undang-undang tak dikenal dengan suatu nama tertentu yang

kita sebut perjanjian tidak bernama (onbenioemde atau

innominaatcontracten).

Nama yang dimaksud adalah nama-nama yang diberikan oleh undang-

undang, seperti jual beli, sewa-menyewa, perjanjian pemborongan,

perjanjian wessel, perjanjian asuransi dan lain-lainnya.

Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah beberapa perjanjian yang

didalam kehidupan sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu, tetapi

tidak diatur didalam undang-undang, setidak-tidaknya di Indonesia belum

diberikan pengaturan secara khusus. Contohnya perjanjian sewa-beli,

fiducia dan lain-lain.

Disamping itu masih juga dikenal perjanjian-perjanjian yang diatur

secara khusus didalam undang-undang tetapi didalam prakteknya

mempunyai nama sendiri, yang unsur-unsurnya mirip atau sama dengan

unsur-unsur beberapa perjanjian bernama, tetapi terjalin menjadi satu

sedemikian rupa, sehingga perjanjian yang demikian itu tak dapat dipisah-

pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri-sendiri. Contohnya adalah

perjanjian indekos antara anak kos dengan pemilik kos.

5. Perjanjian-perjanjian lainnya

a. Perjanjian liberator

Universitas Sumatera Utara

Page 19: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

33

Perjanjian liberator adalah perjanjian yang membebaskan orang

dari keterikatannya dari suatu kewajiban tertentu. Jadi perjanjian

liberator atau perjanjian yang menghapus perikatan yaitu perjanjian

antara dua pihak yang maksud isinya adalah untuk menghapus

perikatan yang ada diantara mereka.

b. Perjanjian yang bersifat hukum keluarga

Perkawinan sebenarnya juga merupakan suatu perjanjian, karena

didasarkan atas kata sepakat dan menimbulkan hak dan kewajiban

ikatan lahir batin, tetapi perjanjian tersebut hanya mempunyai akibat

hukum keluarga saja dan hak serta kewajiban tersebut ada diluar

hukum kekayaan, kecuali yang ada dalam lapangan hukum harta

perkawinan.

c. Perjanjian kebendaan

Perjanjian ini bermaksud untuk mengoperasikan / mengalihkan

benda (hak atas benda), disamping itu untuk menimbulkan, mengubah

atau menghapuskan hak-hak kebendaan. Contoh perjanjian kebendaan

perjanjian cassie.

d. Perjanjian pembuktian

Perjanjian pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak

menetapkan alat-alat bukti apa yang dapat (atau dilarang) digunakan

dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak. Didalamnya dapat

pula ditetapkan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang akan

diberikan oleh para pihak terhadap suatu alat bukti tertentu. Dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 20: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

34

demikian dalam perjanjian pembuktian diatur kedudukan hukum

pembuktian (bewijsrechtelijke positie) bagi para pihak.

e. Perjanjian untuk menetapkan kedudukan hukum

Dalam perjanjian yang demikian para pihak sepakat untuk

menetapkan dan mengakui kedudukan hukum masing-masing pihak.

Disini tidak ada maksud pada para pihak untuk menciptakan hak-hak

atau kewajiban-kewajiban baru. Ia dimaksudkan untuk menghapuskan

ketidakpastian mengenai adanya atau isinya suatu hubungan hukum

(hak-hak atau kewajiban masing-masing pihak).

Perjanjian seperti ini bersifat deklaratif, karena ia hanya

menetapkan/manegaskan saja. Jadi tidak bersifat mengadakan/

menimbulkan sesuatu yang baru dan karena ada yang berpendapat,

bahwa perjanjian seperti itu bukan perjanjian seperti yang

dimaksudkan dalam pasal 1313 KUHPerdata. Namun H.R mengakui

perjanjian seperti itu dan sepanjanga memungkinkan, menerapkan

ketentuan-ketentuan umum tentang perjanjian.

Salim H.S. memaparkan jenis perjanjian dengan cara yang sedikit berbeda.

Salim H.S di dalam bukunya menyebutkan bahwa jenis kontrak atau perjanjian

adalah 42

:

1. Kontrak menurut sumber hukumnya

Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan

kontrak yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Perjanjian

(kontrak) dibagi jenisnya menjadi lima macam, yaitu:

42 Salim H.S (1), Op.Cit, hal.17.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

35

a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya

perkawinan;

b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan

dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;

c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;

d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan

bewijsovereenkomst;

e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan

publieckrechtelijke overeenkomst;

2. Kontrak menurut namanya

Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di

dalam Pasal 1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal

1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua macam

kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak

innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal

dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual

beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan

barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan

utang, perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang

timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum

dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak innominat

adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak

karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain. Namun, Vollmar

mengemukakan kontrak jenis yang ketiga antara bernama dan tidak

Universitas Sumatera Utara

Page 22: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

36

bernama, yaitu kontrak campuran. Kontrak campuran yaitu kontrak atau

perjanjian yang tidak hanya diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian)

sebagaimana yang terdapat dalam title I, II, dan IV karena kekhilafan, title

yang terakhir ini (title IV) tidak disebut oleh Pasal 1355 NBW, tetapi

terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan khusus untuk sebagian

menyimpang dari ketentuan umum. Contoh kontrak campuran, pengusaha

sewa rumah penginapan (hotel) menyewakan kamar-kamar (sewa

menyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual beli), dan menyediakan

pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa). Kontrak campuran

disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu ketentuan-ketentuan yang

mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara analogi

(Arrest HR 10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi

(absorptietheorie), artinya diterapkanlah peraturan perundang-undangan

dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang

paling menonjol, sedangkan dalam tahun 1947 Hoge Raad menyatakan diri

(HR, 21 Februari 1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi.

3. Kontrak menurut bentuknya

Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang

bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang

tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat

dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan

adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan

lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan

adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 23: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

37

golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Pembedaan ini diilhami

dari hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan

adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan

juga harus didasarkan atas penyerahkan nyata dari suatu benda. Perjanjian

konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para

pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan

dilaksanakan secara nyata.

Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak

dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang

harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata). Kontrak ini

dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan

akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak.

Akta yang dibuat oleh notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita

acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang

dibuat di hadapan notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di

hadapan notaris. Di samping itu, dikenal juga pembagian menurut

bentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian standar merupakan

perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk formulir.

4. Kontrak timbal balik

Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak

timbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan

hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan

sewamenyewa. Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu

timbal balik tidak sempurna dan yang sepihak.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

38

a. Kontrak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok

bagi satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini

tampak ada prestasi-prestasi seimbang satu sama lain. Misalnya, si

penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk melaksanakan pesan

yang dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan. Apabila si

penerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut

telah mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah,

maka pemberi pesan harus menggantinya.

b. Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan

kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah

perjanjian pinjam mengganti. Pentingnya pembedaan di sini adalah

dalam rangka pembubaran perjanjian.

5. Perjanjian cuma-cuma atau dengan alas hak yang membebani

Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan

adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan

perjanjian, yang menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagi

salah satu pihak. Contohnya, hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan

perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian,

disamping prestasi pihak yang satu senantiasa ada prestasi (kontra) dari

pihak lain, yang menurut hukum saling berkaitan. Misalnya, A menjanjikan

kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu

pula kepada A.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

39

6. Perjanjian berdasarkan sifatnya

Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang

ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya

dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke

overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu

perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal

demikian untuk memenuhi perikatan. Contoh perjanjian ini adalah

perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik. Sedangkan

perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban

dari para pihak.

Disamping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu

perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan

perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, baik kepada

individu maupun pada lembaga perbankan. Sedangkan perjanjian accesoir

merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak

tanggungan atau fidusia.

7. Perjanjian dari aspek larangannya

Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan

penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak

untuk membuat perjanjian yang bertentang dengan undang-undang,

kesusilaan, dan ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung

praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

40

Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang

dilarang dibagi menjadi tiga belas jenis, sebagaimana disajikan berikut ini.

a. Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama melakukan

penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjian

ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau

persaingan tidak sehat.

b. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku

usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas

suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau

pelanggaran pada pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari

ketentuan ini adalah

1) Suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan; dan

2) Suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang

berlaku.

c. Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara

pelaku-pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus

membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh

pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda.

d. Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang

dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk

menetapkan harga yang berada di bawah harga pasar, perjanjian ini

dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

41

e. Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat

antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat

persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual

atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya.

Tindakan ini dilakukan dengan harga yang lebih rendah daripada

harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan

terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

f. Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara

pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk

membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan

atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

g. Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang

dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk

mengahalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usah yang sama,

baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.

h. Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk

mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran

suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

i. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan

membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar,

Universitas Sumatera Utara

Page 28: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

42

dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup

masing-masing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk

mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa,

sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat.

j. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku

usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-

sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat

mengendalikan harga atas barang dan atau jas dalam pasar yang

bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

k. Perjanjian integrasi vertikal, perjanjian yang dibuat antara pelaku

usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai

produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi

barang dan/atau jasa tertentu. Setiap rangkaian produksi itu

merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu

rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat

mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau

merugikan masyarakat.

l. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang

menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang

dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau pada tempat tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: 15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A

43

m. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat

antara pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat

ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan

atau persaingan tidak sehat.

Dari berbagai perjanjian yang dipaparkan di atas, menurut Salim H.S, jenis

atau pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu

kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah

perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun

dari aspek hak dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah

perjanjian konsensual, obligator dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara